Skripsi Tehnik Pertanian 3

Saturday, March 17, 2012

Sistem Informasi Lahan Rawa Gambut Hutan Produksi Pedamaran Kayuagung Kabupaten Ogan Komering Ilir



I. PENDAHULUAN



A. Latar Belakang
            Sumberdaya alam hayati didefinisikan sebagai unsur-unsur di alam yang terdiri dari sumber-sumber alam nabati dan hewani yang bersama dengan unsur non hayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk suatu ekosistem  (Poolock, 1991). Salah satu bentuk-bentuk sumberdaya alam adalah kekayaan hutan yang dimiliki bangsa Indonesia.
Pengelolaan sumberdaya hutan bertujuan untuk mendapatkan manfaat-manfaat penting dari hutan, diantaranya sebagai penghasil kayu dan vegetasi lainnya, satwa liar, tempat rekreasi, mencegah banjir dan erosi, mempertahankan kesuburan tanah, dan mengatur kondisi iklim dan lingkungan hidup (Worrel, 1970).
Hutan mempunyai banyak manfaat (multiple use) yang merupakan karakteristik sumberdaya alam yang berbeda dengan sumberdaya alam lainnya, sebab selain sebagai produksi kayu, hutan juga mempunyai berbagai fungsi penting lainnya, sehingga dalam pengambilan keputusan mengenai macam penggunaan hutan, perlu diperhatikan bahwa tidak semua hutan cocok untuk semua bentuk pemanfaatan (Suparmoko, 1989).
1
 
Hutan di Indonesia merupakan 75 % dari seluruh wilayah Indonesia atau 50% dari hutan tropika di Asia Tenggara dan 10 % dari seluruh wilayah hutan tropika dunia. Hutan di Indonesia berdasarkan Tata Guna Lahan Kesepakatan (TGHK) secara nasional seluas 144 juta hektar yang tersebar di berbagai pulau utama di Indonesia. Kawasan hutan seluas 144 juta hektar tersebut dalam pembulatan presentase dibagi menjadi beberapa fungsi, yaitu 20 % sebagai hutan konversi, 27 % sebagai hutan lindung, 9,8 % sebagai hutan suaka alam dan wisata hutan, 17 % sebagai hutan produksi tetap, 16,1 % sebagai hutan produksi terbatas (Arief, 2001).
            Salah satu wilayah Sumatera Selatan yang memiliki hutan produksi adalah Kabupaten Ogan Komering Ilir. Hutan produksi terdapat di berbagai lahan seperti lahan kering, rawa lebak, dan rawa gambut. Pengembangan hutan produksi sendiri masih memiliki berbagai kendala seperti kondisi lahan yang terbatas dan kemampuan lahan tidak merata, maka pengembangan lahan yang lestari dan berkelanjutan harus mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan sistem perencanaan yang akurat dan terukur, sehingga semua faktor yang mempengaruhi pengembangan hutan yang berkelanjutan, termasuk faktor pendukung dan pembatas, perlu dipikirkan sejak awal dan dituangkan dalam sebuah produk database dan peta.
            Perkembangan penggunaan sumber daya lahan sampai saat ini di Kabupaten Ogan Komering Ilir belum sepenuhnya memiliki kontribusi yang nyata dalam meningkatkan produksi tanaman secara berkelanjutan. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi lahan bervariasi berdasarkan letak geografis dan topografi, yang sangat mempengaruhi produktifitas tanaman, sehingga diperlukan perencanaan yang matang dalam mengambil keputusan jenis tanaman yang akan ditanam.
Perencanaan dan pengambilan keputusan yang tepat harus dilandasi oleh data dan informasi yang yang akurat tentang kondisi lahan. Penggunaan teknologi berbasis komputer untuk mendukung perencanaan tersebut mutlak diperlukan untuk menganalisis, memanipulasi dan menyajikan informasi dalam bentuk tabel dan keruangan. Salah satu teknologi tersebut adalah Sistem Informasi Geografis (SIG) yang memiliki kemampuan membuat model yang memberikan gambaran, penjelasan dan perkiraan dari suatu kondisi faktual.
Oleh karena itu maka untuk mendapatkan model, informasi dan gambaran keruangan tentang komoditas yang cocok di Kabupaten Ogan Komering Ilir secara cepat dan akurat, maka dilakukan kegiatan pembuatan peta dan sistem informasi mengenai lahan menggunakan metode GIS.

B. Tujuan
            Tujuan penelitian sistem informasi lahan rawa gambut hutan produksi Pedamaran Kayuagung Kabupaten Ogan Komering Ilir adalah :
Tujuan penelitian potensi dan pengembangan lahan hutan gambut melalui Sistem Informasi Manajemen di Kabupaten Ogan Komering Ilir adalah:
1.      Membuat database karakterisasi hutan rawa gambut sebagai data dasar dalam membuat suatu perencanaan pengelolaan hutan rawa gambut sesuai dengan karakteristik dan kemampuan lahan.
2.      Mengidentifikasi potensi kesesuaian lahan terutama pada kawasan hutan produksi dan menyajikan data dan informasi yang lebih akurat, obyektif dan lengkap sebagai bahan pertimbangan pengambilan keputusan dalam pengembangan hutan produksi.

3.   Membuat Sistem Informasi Manajemen Lahan pada hutan rawa gambut di bentang lahan Kayu Agung, Kabupaten  Ogan Komering Ilir.
4.   Memberikan alternatif kegiatan masyarakat dalam mengelolan kawasan hutan secara baik dan berkesinambungan.




















II. TINJAUAN PUSTAKA




A. Hutan

            Hutan merupakan salah satu bentuk tata guna lahan dijumpai di daerah tropis, subtropis, di dataran rendah maupun pegunungan bahkan di daerah kering sekalipun. Pengertian hutan disini adalah suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan dan hewan yang hidup dalam lapisan dan permukaan tanah, yang terletak pada suatu kawasan dan membentuk suatu kesatuan ekosistem yang berada dalam keseimbangan dinamis.
Hutan adalah masyarakat tetumbuhan dan binatang yang hidup dalam lapisan dan dipermukaan tanah dan terletak pada suatu kawasan, serta membentuk suatu kesatuan eksosistem yang berada dalam keseimbangan dinamis (Arief, 1994).
            Pengertian menurut pemerintah berdasarkan Undang-Undang Pokok Kehutanan No.5 Tahun 1967 adalah suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohonan yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati, alam lingkungannya dan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan (Arief, 1994)
            Menurut Arief (1994), hutan produksi adalah kawasan hutan yang khusus dikelola untuk menghasilkan jenis-jenis hasil hutan tertentu sebagai keperluan industri dan ekspor. Contohnya hutan jati (Tectona grandis), hutan pinus (Pinus merkusii), hutan damar (Agathis loranthifolia), hutan mahoni (Swietenia sp.) dan sonokeling (Dalbergia latifolia).
Berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tahun 1999, total luas hutan Indonesia adalah 120,34 juta hektar (WALHI, 2007). Departemen Kehutanan telah mengalokasikan hutan produksi tidak produktif untuk usaha Hutan Tanaman Rakyat (HTR) seluas 5,4 juta ha. Hutan Tanaman Rakyat  tersebut tersebar di 8 propinsi yang ada di 102 kabupaten di daratan Sumatera dan Kalimantan, merupakan alokasi untuk tahap pertama. Untuk realisasi pelaksanaannya terlebih dahulu akan dilakukan klarifikasi kondisi riil di lapangan (Departemen Kehutanan, 2007) .

B. Lahan Gambut
a. Definisi
Rawa adalah kawasan sepanjang pantai, aliran sungai, danau atau lebak yang menjorok masuk ke pedalaman sungai sampai sekitar 100 km atau sejauh dirasakannya pengaruh gerakan pasang. Jadi, lahan rawa dapat dikatakan sebagai lahan yang mendapatkan pengaruh pasang surut air laut atau sungai sekitarnya. Pada saat musim hujan, lahan tergenang sampai satu meter, tetapi pada musim kemarau menjadi kering bahkan sebagian muka air tanah turun sampai kedalaman lebih dari 50 cm dari permukaan tanah (Noor, 2004).
            Pengertian rawa yang lebih luas adalah rawa digolongkan sebagai lahan basah (wetlands) atau lahan bawahan (lowlands), tetapi tidak berarti bahwa lahan basah atau lahan bawahan hanya rawa. Menurut Ramsar yang dimaksud dengan lahan basah adalah daerah rawa, payau, gambut, atau badan perairan lainnya, baik alami maupun buatan, yang airnya mengalir atau tergenang, bersifat tawar, payau atau salin, termasuk kawasan laut yang mempunyai kedalaman air pada saat surut terendah tidak lebih dari enam meter (Ramsar dalam Noor, 2004).
            Hutan Rawa Gambut Tropika pada umumnya disebut pula sebagai hutan ramin, mengingat jenis ini sangat mendominasi tipe hutan ini, meskipun pola sebarannya cenderung berubah mengikuti trend perubahan ketebalan lapisan gambut. Jenis Ramin (Gonystilus bancanus) pada umumnya terkonsentrasi berada di daerah dengan ketebalan lapisan gambut berkisar antara 0,5 - 5 meter. Di daerah-daerah dimana ketebalan lapisan gambut mencapai 5 meteran, jenis ini cenderung berkurang, sedangkan untuk daerah-daerah peralihan (0,5 meter), jenis ramin ini berasosiasi dengan cukup nyata dengan jenis Agathis dan beberapa jenis meranti rawa (Anonim, 2007).

b. Sebaran Gambut
          Luasan lahan gambut atau bergambut pada kondisi utuh dan asli penutupan vegetasinya adalah identik dengan luas hutan rawa gambut, karena pada hutan primer di lahan gambut merupakan sumber utama bahan organik sebagai bahan utama gambut.
        Luasan lahan gambut pada awalnya adalah sama dengan luas lahan gambut, namun dengan perkembangan kebutuhan manusia dan teknologi yang ada menusia mengelola lahan rawa gambut dan sebagian besar terjadi degradasi lahan (Lopez dan Shanley, 2005).
Indonesia memiliki kawasan gambut dan lahan basah air tawar yang sangat luas yaitu sekitar 19 juta hektar atau 10 persen luas wilayah negara. Delapan puluh sembilan persen diantaranya berupa lahan gambut yang sebagian besar terletak di Papua Barat, Sumatera, dan Kalimantan. Lahan-lahan basah tropis ini secara alami tertutup rapat oleh vegetasi hutan dan seringkali memilki jenis kayu bernilai tinggi  (Chokkalingam dan Suyanto, 2004).
Luasan lahan gambut atau bergambut pada kondisi utuh dan asli penutupan vegetasinya (virgin forest) adalah identik dengan luas hutan rawa gambut, karena pada hutan primer di lahan gambut merupakan sumber utama bahan organik sebagai bahan utama gambut.  Dengan demikian luasan lahan gambut pada awalnya adalah sama dengan luas lahan gambut.  Namun dengan perkembangan kebutuhan manusia dan teknologi yang ada manusia mengelola lahan rawa gambut dan sebagian besar terjadi degradasi lahan (Lopez dan Shanley, 2005).

c. Proses Pembentukan
            Tanah gambut terbentuk karena laju akumulasi bahan organik melebihi proses mineralisasi yang biasanya terjadi pada kondisi jenuh air yang hampir terus menerus sehingga sirkulasi oksigen dalam tanah terhambat. Hal tersebut akan memperlambat proses dekomposisi bahan organik dan akhirnya bahan organik itu akan menumpuk  (Chotimah, 2002).
            Gambut terbentuk dari seresah organik yang terdekomposisi secara anaerobik dimana laju penambahan bahan organik lebih tinggi daripada laju dekomposisinya. Di dataran rendah dan daerah pantai, mula-mula terbentuk gambut topogen karena kondisi anaerobik yang dipertahankan oleh tinggi permukaan air sungai, tetapi kemudian penumpukan seresah tanaman yang semakin bertambah menghasilkan pembentukan hamparan gambut ombrogen yang berbentuk kubah (dome). Gambut ombrogen di Indonesia terbentuk dari seresah vegetasi hutan yang berlangsung selama ribuan tahun, sehingga status keharaannya rendah dan mempunyai kandungan kayu yang tinggi (Radjagukguk, 1990).

d. Karakteristik Gambut
Analisis laboratorium bahan organik dinyatakan dalam kadar karbon 12-18% atau lebih. Makin tinggi kadar karbon, bahan organik dapat dikatakan masih segar, sedangkan makin kecil kadar karbon maka bahan organik makin lanjut pelapukannya dan disebut dengan humus (Rismunandar, 2001).
            Tanah gambut di Indonesia pada umumnya mempunyai reaksi kemasaman tanah (pH) yang rendah, yaitu antara 3,0 – 5,0 (Hardjowigeno, 1996). Hasil analisis di berbagai wilayah di Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya, memperlihatkan bahwa Histosols menunjukkan reaksi tanah masam ekstrim (pH 3,5 atau kurang) sampai sangat masam sekali (pH 3,6 – 4,5).
            Kandungan bahan organik di seluruh lapisan, sangat tinggi ( 6 – 91 %) dan kandungan nitrogen di seluruh lapisan gambut, sebagian besar, juga sangat tinggi (>75 %), rasio C/N tergolong tinggi sampai sangat tinggi (16 – 69), yang berarti walaupun kandungan N tinggi, tetapi dalam bentuk tidak tersedia bagi tanaman.
            Kandungan P dan K-potensial lapisan atas (0 -50 cm) sedang sampai tinggi, lebih baik dari pada lapisan bawah yang umumnya rendah. Pada gambut dangkal dan gambut eutrofik kandungan potensial kedua unsur tersebut termasuk sedang sampai tinggi.
Analisis laboratorium bahan organik dinyatakan dalam kadar karbon 12-18% atau lebih. Makin tinggi kadar karbon, bahan organik dapat dikatakan masih segar, sedangkan makin kecil kadar karbon maka bahan organik makin lanjut pelapukannya dan disebut dengan humus (Rismunandar, 2001).
            KTK tanah karena kandungan bahan organik tinggi, semuanya menunjukkan nilai sangat tinggi (60 – 350 Cmol(+)kg-1 tanah. Namun sebaliknya, KB-nya semuanya termasuk sangat rendah (1-5%). Dengan demikian, disimpulkan bahwa potensi kesuburan alami tanah gambut adalah sangat rendah sampai rendah.
            Tanah gambut memiliki berat isi yang rendah berkisar antara 0,05 – 0,25 gcm-3, semakin lemah tingkat dekomposisinya semakin rendah berat isi (BD), sehingga daya topang terhadap bebadan diatasnya seperti tanaman, bangunan irigasi, jalan, dan mesin-mesin pertanian adalah rendah. Gambut yang sudah direklamasi akan lebih padat dengan berat isi antara 0,1 – 0,4 gcm-3 (Subagyono et al., 1997).
            Menurut Subagjo (2002), tanah gambut mempunyai pori-pori dan kapiler yang tinggi, sehingga mempunyai daya menahan air yang sangat besar. Dalam keadaan jenuh kandungan air tanah gambut dapat mencapai 4,50-30 kali bobot keringnya.
            Pada kondisi gambut pada musim kemarau, tanah gambut masih tetap lembab dengan kadar air tinggi. Kondisi tersebut merupakan kondisi yang optimal bagi pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu, pengambilan sampel pada kondisi lembab akan lebih mendekati keadaan di lapangan. Sifat fisik juga sangat berkaitan dengan aspek teknik pembangunan rumah, pembuatan dan pemeliharaan jalan, serta pembuatan saluran drainase dan irigasi (Widjaja, 1984).
            Kualitas tanah gambut sangat bergantung pada vegetasi yang menghasilkan bahan organik pembentuk tanah gambut, bahan mineral yang berada di bawahnya, faktor lingkungan tempat terbentuknya tanah gambut dan proses pembentukan tanahnya. Di daerah tinggi atau dingin bahan organik yang terbentuk lebih halus atau mudah melapuk daripada di dataran rendah atau pantai. Makin halus kadar serat bahan organik berarti yang bahan organik makin tinggi, sehingga pada umumnya kualitas gambut makin baik (Rismunandar, 2001).

e. Klasifikasi Tanah Gambut
            Menurut Soil Survey Staff (1990) tanah gambut termasuk ordo Histosol yang dibedakaan lagi ke dalam sub ordo, great group, sub group dan famili. Sub group terdiri dari Folist, Fibrist, Hemist dan Saprist. Pembagian pada tingkat ordo lebih menekankan kepada tingkat kematangan gambut.
Fibrik adalah bahan organik tanah yang sangat sedikit terdekomposisi yang mengandung serat sebanyak 2/3 volume. Bobot volume fibrik lebih kecil dari 0.075 g cm-3 dan kandungan air tinggi jika tanah dalam keadaan jenuh air. Saprik adalah bahan organik yang terdekomposisi paling lanjut yang mengandung serat kurang dari 1/3 volume dan bobot isi saprik adalah 0.195 g cm3, sedangkan hemik adalah bahan organik yang mempunyai tingkat dekomposisi antara fibrik dengan saprik dengan bobot isi 0.075 sampai 0.195 g cm3.
Pusat Penelitian Tanah (1983), memasukkan tanah gambut kedalam tanah organosol yang dibedakan kedalam tiga macam yaitu : 1) Organosol Fibrik, ialah tanah organosol yang didominasi oleh bahan fibrik sedalam 50 cm atau berlapis sampai 80 cm dari permukaan; 2) Organosol Hemik ialah tanah organosol yang didominasi bahan hemik sedalam 50 cm atau berlapis sampai 80 cm dari permukaan; dan 3) Organosol Saprik, ialah tanah organosol selain organosol fibrik maupun hemik yang umumnya didominasi oleh bahan saprik.
            Untuk menentukan kematangan gambut di lapangan ditentukan melalui sidik cepat.
a.   Berdasarkan Kadar Air Maksimum (KAM)
1.      Fibrik – KAM 850 - > 3.000 % berat
     Warna coklat kekuningan muda, coklat tua, atau coklat
     kemerahan
2.      Hemik – KAM 450 – 850 %
     Warna coklat tua, atau coklat kemerahan
3.      Safrik – KAM < 450 %
     Warna coklat tua, coklat kehitaman, atau hitam
b.   Berdasarkan Kadar Serat
Kematangan
Kadar Serat Utuh
Kadar Serat Gosok
Fibrik
> 66%
> 75 %
Hemik
33 – 66 %
15 – 75%
Saprik
< 33%
< 15 %

            Berdasarkan kualitasnya tanah gambut dibagi menjadi 3 macam, yaitu gambut eutropik, mesotropik, dan oligotropik.
            Gambut Eutropik terdiri dari gambut topogenus yaitu gambut yang terbentuk di daerah pedalaman dataran pantai atau dapat juga di daerah dataran pasang surut, sehingga gambut ini relatif subur.
            Gambut Topogenus dicirikan oleh akumulasi bahan organik yang tidak terlalu tebal, yang berkisar antara 0,5 – 2,0 m, dan biasanya dijumpai pada landform dataran gambut atau pada sisi kubah gambut.
            Gambut Mesotropik dan gambut oligotropik terdiri dari gambut ombrogenus yang terbentuk dari tumpukan bahan organik yang tidak dipengaruhi oleh luapan air sungai dan biasanya membentuk kubah gambut (dome), serta memiliki ketebalan > 2 m (Siswanto et al., 2006).

f. Fungsi Hutan Rawa Gambut

            Maltby (1997), menekankan perlunya pengelolaan terpadu dan pemanfaatan yang berkelanjutan untuk lahan gambut tropika. Hutan Rawa Gambut mempunyai banyak fungsi yaitu pengamanan biodiversitas dan habitat kehidupan liar (wildlife), serta pemeliharaan lingkungan dan bentang lahan, seperti penyimpanan  karbon bumi (global carbon storage), pengatur iklim skala mikro dan meso, penyimpan dan pemasok air, pengaturan aliran, pencegahan banjir, pencegahan intrusi air asin, dan sumbangan pendapatan bagi masyarakat lokal dari hasil hutan (damar, rotan, kayu, perikanan).
            Hutan gambut disamping merupakan “gudang” plasma nutfah dan genes, juga merupakan sumber tanaman obat-obatan tradisional yang potensial. Ada bagian lahan gambut yang lebih sesuai untuk konservasi alam dan lingkungan hidup dan ada bagian yang masih sesuai utuk poenggunaan pertanian. Wilayah yang potensial untuk pengembangan pertanian harus dipilih secara hati-hati, dan umumnya terbatas pada gambut topogen dangkal dengan sisipan tanah mineral, dan atau pada gambut dangkal di wilayah pinggiran kubah gambut (peatswamp).   

C.  Rawa Lebak

a. Defenisi

Rawa lebak adalah wilayah daratan yang mempunyai genangan hampir sepanjang tahun minimal selama tiga bulan dengan tinggi genangan minimal 50 cm. Rawa lebak dipengaruhi oleh iklim tropika basah atau agak basah dengan curah hujan antara 2000-3000 mm per tahun dengan jumlah bulan basah antara 6-7 bulan dan 3-4 bulan kering. Bulan basah adalah bulan yang mempunyai curah hujan bulanan lebih dari 200 mm dan bulan kering adalah bulan yang mempunyai curah hujan bulanan kurang dari 100 mm.  Agih (distribition) curah hujan di beberapa wilayah rawa lebak menunjukkan perbedaan yang terkait dengan ketinggian tempat dari permukaan laut dan vegetasi yang tumbuh (Noor, 2004).
            Swamp ialah rawa yang tertumbuhi pohon di sana sini dan lebih bersifat air tergenang. Menurut pengertian ahli Amerika, swamp ialah rawa bergambut, sedangkan di Inggris dinamakan bog atau morass. Kondisi rawa sangat berbeda antara lain dengan yang genangannya dipertahankan oleh air permukaan ( runoff) atau luapan sungai yang berlangsung secara berkala. Tebal air genangan rawa ini berfluktuasi menurut musim hujan dan kemarau.




b. Karakteristik Lahan Rawa Lebak
            Rawa merupakan daerah cekungan di dataran rendah yang tergenang secara permanen atau pada beberapa waktu akibat limpasan sumber air yang berasal dari sungai, danau atau laut (Hanafiah, 1992).
            Berdasarkan ketinggian genangan air, lahan rawa lebak dibagi menjadi tiga macam, yaitu rawa lebak dangkal (pematang), tengahan dan dalam.  Rawa lebak dangkal mempunyai ketinggian air permukaan antara 0 cm sampai 50 cm dengan masa genangan kurang dari 3 bulan, rawa lebak tengahan mempunyai ketinggian air permukaan antara 50 cm sampai 100 cm dengan masa genangan antara 3 bulan sampai 6 bulan, sedangkan rawa lebak dalam mempunyai ketinggian air permukaan lebih dari 100 cm dengan masa genangan lebih dari 6 bulan (Waluyo et al., 1997).
             Menurut Djafar (1992), tanah di kawasan lebak umumnya dicirikan oleh kandungan bahan organik rendah hingga tinggi, kesuburan alami yang rendah, kandungan N, P, dan K dan kejenuhan basa rendah kadar Al dan Fe tinggi serta reaksi tanah yang masam hingga sangat masam.
            Lahan rawa dapat dijumpai baik pada dataran rendah di sepanjang dan di muara sungai maupun di dataran yang lebih tinggi, di tengah dan hulu sungai sehingga dikenal secara awam lahan rawa lebak dan lahan rawa pasang surut.  Lahan rawa lebak secara internasional disebut sebagai fresh waterswamps karena pada umumnya rawa ini terletak di bagian tengah hingga hulu sungai yang airnya tawar, sedangkan lahan rawa pasang surut disebut tidal swamps karena letaknya di bagian hilir sungai yang secara langsung dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Departemen Pertanian,  2005).
             Menurut Soebagjo dan Soepraptohardjo (1978), umumnya tanah yang terdapat di daerah rawa lebak terdiri dari tanah tanggul sungai dan dataran rawa belakang. Tanah tanggul sungai mempunyai jenis tanah Alluvial Hidromorf dan Alluvial kelabu, sedangkan tanah dataran rawa belakang terletak lebih jauh dari  tanggul sungai dan didominasi oleh jenis tanah Glei Humus dan Oganosol.  Tanah Glei Humus dan Organosol mempunyai kandungan bahan organik tinggi, N rendah, K sangat rendah, reaksi tanah (pH) umumnya masam sampai sangat masam, KTK tinggi, dan kejenuhan basa rendah, yang mengakibatkan tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik.
             Tingkat kesuburan lahan rawa lebak sangat bervariasi dan tergantung pada sistem saluran reklamasi.  Kemerosotan kesuburan lahan rawa lebak berhubungan dengan heterogenitas lahan lebak, antara lain lahan yang mengandung pirit dan lahan yang bergambut tebal.  Kemerosotan kesuburan lahan rawa lebak dikaitkan dengan sistem tata air. Semakin dekat dengan saluran utama, maka kematangan bahan organik semakin meningkat (Armanto et al., 1998).

D.  Sistem Informasi Geografis
a. Definisi
            Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu sistem (berbasiskan komputer) yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografis. Sistem informasi geografis dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objek-objek dan fenomena-fenomena dimana lokasi geografis merupakan karateristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Dengan demikian, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan berikut dalam menangani data yang bereferensi geografis seperti masukan, keluaran, manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data), dan analisis data (Stanley dalam Prahasta, 2005).
SIG (Gambar 1) merupakan sebuah sistem yang saling serangkaian satu dengan yang lain. BAKOSURTANAL menjabarkan SIG sebagai kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi, dan personel yang didesain untuk memperoleh, menyimpan, memperbaiki, memanipulasi, dan menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografi. Dengan demikian, basis analisis dari SIG adalah data spasial dalam bentuk digital yang diperoleh melalui data satelit atau data lain terdigitasi. Analisis SIG memerlukan tenaga ahli sebagai interpreter, perangkat keras komputer, dan software pendukung (Budiyanto, 2002).
 

Oval: REAL WORLDOval: USER
 
Result
 
 





Gambar 1. Pola keterkaiatan GIS

b. Sejarah Perkembangan GIS
            Dalam rangka mendeteksi perubahan yang terjadi di permukaan bumi diperlukan suatu teknik yang dapat mengidentifikasi perubahan-perubahan atau fenomena melalui pengamatan pada berbagai waktu yang berbeda. Menurut Singh (1989) salah satu data yang paling banyak digunakan adalah data penginderaan jauh dari satelit yang dapat mendeteksi perubahan karena peliputannya yang berulang-ulang dengan interval waktu yang pendek dan terus menerus. Penginderaan jauh merupakan suatu teknik untuk mengumpulkan informasi mengenai obyek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik. Biasanya menghasilkan beberapa bentuk citra yang selanjutnya diproses dan diinterpretasi untuk menghasilkan data yang bermanfaat untuk aplikasi sesuai dengan kebutuhannya (Lo, 1996).
            Sejak SIG pertama kali hadir pada tahun 1960-an, terjadi perkembangan yang sangat pesat di bidang perangkat lunak SIG baik yang berbasiskan data spasial vektor maupun raster. Beberapa diantara sistem SIG ini dikembangkan dengan tujuan eksperimental di lingkungan akademis di beberapa universitas. Sementara sistem-sistem SIG yang lain sudah dikembangkan sebagai sistem yang benar-benar operasional sebagaimana perangkat lunak aplikasi SIG pada saat ini. Tetapi sayangnya, tidak sedikit dari sistem-sistem yang dikembangkan pada saat itu tidak berfungsi secara penuh sebagai tools untuk analisis spasial. Sementara pada kasus-kasus yang lain, sistem-sistem (khususnya SIG) tersebut masih sering mengalami gangguan seperti ‘hang’ sehingga menyebabkan kemacetan atau kegagalan dalam menjalankan fungsi-fungsinya (Prahasta, 2001).
            Penggunaan sistem informasi geografis meningkat tajam sejak tahun 1980-an. Peningkatan pemakaian sistem ini terjadi di kalangan pemerintah, militer, akademis, atau bisnis terutama di negara-negara maju. Perkembangan teknologi digital sangat besar peranannya dalam perkembangan penggunaan SIG dalam berbagai bidang. Hal ini dikarenakan teknologi SIG banyak mendasarkan pada teknologi digital ini sebagai alat analisis (Budiyanto, 2002).

c. Cara Kerja SIG
            SIG dapat merepresentasikan dunia nyata di atas monitor sebagaimana lembaran peta dapat memrepresentasikan dunia nyata di atas kertas. Tetapi, SIG memiliki kekuatan lebih dan fleksibilitas dari pada lembaran peta kertas. Peta merupakan representasi grafis dari dunia nyata; objek-objek yang direpresentasikan diatas peta disebut unsur peta atau map features (contohnya adalah sungai, taman, kebun, jalan, dan lain-lain). Karena peta mengorganisasikan unsur-unsur berdasarkan lokasinya, peta sangat baik dalam memperlihatkan hubungan atau relasi yang dimiliki oleh unsur-unsurnya.
            SIG menyimpan semua informasi deskriptif unsur-unsurnya sebagai atribut-atribut di dalam basis data. Kemudian, SIG membentuk dan menyimpan dalam tabel (relasional). Setelah itu, SIG menghubungkan unsur-unsur  di atas dengan tabel-tabel bersangkutan, dengan demikian, atribut-atribut ini dapat diakses melalui lokasi-lokasi unsur-unsur peta, dan sebaliknya, unsur-unsur dapat dicari dan ditemukan berdasarkan atribut-atributnya.
            SIG menghubungkan sekumpulan unsur-unsur peta dengan atribut-atributnya di dalam satuan-satuan yang disebut layer. Sungai, bangunan, jalan, laut, batas-batas administrasi, perkebunan, dan hutan merupakan contoh-contoh layer. Kumpulan dari layer-layer ini akan membentuk basis data SIG. Dengan demikian, perancangan basisdata merupakan hal yang esensial di dalam SIG. Rancangan basisdata akan menentukan efektifitas dan efisiensi proses-proses masukan, pengelolaan, dan keluaran SIG.

d. Peran Sistem Informasi Geografis
            Menurut Bernhardsen (1992), dalam SIG terdapat berbagai peran dari berbagai unsur, baik manusia sebagai tenaga ahli dan sekaligus operator, perangkat alat (lunak/keras) maupun objek permasalahan. SIG adalah sebuah rangkaian sistem yang memanfaatkan teknologi digital untuk melakukan analisis spasial. Sistem ini memanfaatkan perangkat keras dan lunak komputer untuk melakukan pengolahan data seperti perolehan dan verifikasi, kompilasi, penyimpanan, pembaruan dan perubahan, manajemen dan pertukaran, manipulasi, penyajian, dan analisis. Rustiadi et al. (1999) mendefinisikan analisis spasial sebagai suatu kemampuan umum untuk memanipulasi data spasial ke dalam bentuk-bentuk yang berbeda dan mengekstraksi pengertian tambahan

D.  Software
1. ArcView GIS
ArcView GIS mempunyai kemampuan yang handal dalam manajemen database spasial dan tabular untuk melakukan analisis data bereferensi geografis. Saat ini Arcview telah menjadi software Sistem Informasi Geografis ternama di dunia, paling cepat mengalami perkembangan, dan paling banyak digunakan. Bukan saja dipakai sebagai alat analisis dalam pengambilan keputusan terhadap masalah-masalah pengelolaan sumberdaya alam, melainkan juga akhir-akhir ini semakin banyak digunakan dalam pemecahan masalah ekonomi, kependudukan, kesehatan, kriminal, pariwisata, pemerintah, dan sebagainya (Nuarsa, 2005).
Arc View merupakan salah satu perangkat lunak pengolahan data spasial. Perangkat lunak ini memiliki berbagai keunggulan yang dapat dimanfaatkan oleh kalangan pengolah data spasial. Arcview memiliki kemampuan dalam pengolahan atau editing arc, menerima atau konversi dari data digital lain seperti CAD, atau dihubungkan data image seperti format JPG, TIFF, atau Image gerak.
Arc View memiliki kemampuan untuk melakukan input data spasial (digitasi). Data hasil digitasi yang berasal dari proses input data disimpan dalam sebuah Theme yang selanjutnya dapat diolah atau ditransfer ke perangkat lunak lain untuk pengolahan lebih lanjut.
Sumber data dapat berasal dari perangkat lunak SIG lain seperti Arc Info, atau perangkat lunak rancang bangun Auto CAD. Sumber data yang akan dimasukkan kedalam sebuah proyek ArcView akan dianggap sebagai sebuah Theme baru. Theme merupakan serangkaian penampakan Geografi dalam sebuah View. Sebuah Theme sebaiknya hanya berisi satu macam tema data. Misalnya, sebuah Theme berisi data tentang peta dasar, jaringan jalan, jaringan sungai, bentuk lahan, penutup lahan, dan lain-lain.
Arcview dalam operasi rutinnya secara default-membaca, menggunakan dan mengolah data spasial dengan format yang disebut sebagai Shapefile. Format yang dikembangkan dan dipublikasikan oleh ESRI digunakan untuk menyimpan informasi-informasi atribut dan geometri non-topologi features spasial di dalam sebuah kumpulan data. Geometri feature ini disimpan sebagai shape yang terdiri dari sekumpulan koordinat-koordinat vektor (ESRI, 1997). Shapefile dapat mendukung representasi sebagai features baik titik (point), garis (line), maupun poligon (area). Setiap feature poligon direpresentasikan sebagai loop tertutup. Data atribut disimpan dalam format perangkat lunak Database Management System (DBMS) Dbase. Setiap record, memiliki relasi one to one terhadap feature data spasial yang bersangkutan (Prahasta, 2002).
                        2. Microsoft Access

Microsoft Access merupakan program aplikasi yang termasuk dalam kelompok Microsoft Office. Microsoft Access merupakan suatu sistem Manajemen Database relasional yang bisa mengatur, memilih dan melaporkan data dan informasi penting yang diperlukan dengan bidang subjek yang berbeda ke dalam tabel-tabel sehingga antara tabel yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan.
Microsoft Access 2003 yang untuk selanjutnya disingkat Access 2003 merupakan pengembangan dari Microsoft Access versi sebelumnya yang dikonsentrasikan agar program aplikasi database ini mudah dipakai, fleksibel, mudah diintegrasikan dengan program aplikasi Microsoft Office XP lainnya, dapat bekerja sama pada sistem jaringan dengan lebih baik serta dapat memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang terdapat pada internet dan atau intranet.
Tata cara pengaktifan program Microsoft Access menuruti urutan yang telah ditetapkan pada Microsoft Access, dengan memanfaatkan fasilitas tabel dan form yang ada di dalam Microsoft Access.



                        III. PELAKSANAAN PENELITIAN



A.  Tempat dan Waktu
            Penelitian ini akan dilaksanakan di areal hutan Pedamaran Kayuagung Kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Kimia, Biologi, dan Kesuburan Tanah dan Laboratorium Fisika Tanah Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Indralaya. Waktu pelaksanaan penelitian akan dimulai awal September 2007 hingga Desember 2007.

B.  Bahan dan Alat
            Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ; 1) bahan-bahan untuk pengambilan contoh tanah di lapangan, 2) contoh tanah, 3) bahan-bahan kimia untuk analisis tanah di laboratorium.
            Sedangkan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1) alat-alat survai dan pengambilan contoh tanah di lapangan, 2) alat-alat fisika tanah untuk analisis tanah di laboratorium, 3) alat-alat laboratorium untuk analisis contoh tanah, dan 4) komputer  yang mampu bekerja dengan program Microsoft Access, Arc View 3.3.

C.  Metode Penelitian
Metode pengumpulan data mencakup koordinasi dan konsultasi dengan instansi terkait, metode sampling survai dan wawancara untuk mendapatkan data sekunder dan data primer yang menjadi output. Satuan contoh ditentukan dengan metode purposive sampling yaitu berdasarkan pada keperluan serta tujuan pembuatan peta dan analisis lahan yang nantinya memungkinkan untuk digunakan pada setiap lahan. Untuk mendapatkan unsur keterwakilan data tiap-tiap lahan, maka sample ditempatkan di setiap lahan yang diambil sampel tanah nya.
Data primer dan sekunder yang didapatkan dari kegiatan lapangan dimasukkan(entry) ke dalam Microsoft Access 2003 dan Arc View. Hasil dari verifikasi lapangan ini digunakan untuk membuat klasifikasi ulang, guna mendapatkan database informasi lahan. Seluruh data yang disajikan dalam bentuk skripsi. Bagan alir Kegiatan Sistem Informasi Lahan Rawa Gambut Produksi Pedamaran Kayuagung Kabupaten Ogan Komering Ilir disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Bagan alir Kegiatan Sistem Informasi Lahan Rawa Gambut Produksi Pedamaran Kayuagung Kabupaten Ogan Komering Ilir
 
 


















D. Cara Kerja
Dalam pelaksanaan penelitian dilakukan melalui empat tahap yaitu :
1. Sebelum Pekerjaan Lapangan
            Kegiatan pengumpulan data dan informasi memerlukan instrumen yang sangat penting berupa studi pustaka, kuesioner dan pedoman wawancara (interview guide). Kuesioner diperlukan untuk pengumpulan data yang dilakukan melalui survai dan pengukuran. Sedangkan pedoman wawancara digunakan untuk mendapatkan informasi dari instansi terkait maupun informasi dari kelompok masyarakat.
            Sebelum dilaksanakan survai lapangan, terlebih dulu dilakukan analisis citra satelit untuk mendapatkan peta penutupan lahan misalnya hutan, perkebunan, sawah, ladang, semak belukar, pemukiman dan lahan kosong. Kemudian dilakukan pengecekan lapangan untuk menentukan penutupan lahan yang sebenarnya.
            Selain data dari citra satelit, diperlukan juga data-data pendukung lain seperti peta administrasi, peta land system, peta topografi dan data lain yang dapat diperoleh dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Kehutanan, Bappeda Kabupaten dan Biro Pusat Statistik.
2.  Kegiatan di Lapangan
a.   Survai Pendahuluan
            Sebelum melakukan survai utama, perlu dilakukan survai pendahuluan yang bertujuan untuk untuk mengetahui  kondisi umum lokasi penelitian, meliputi kegiatan :
1.      Meninjau daerah survai untuk mendapatkan gambaran menyeluruh tentang kondisi lapangan.
2.      Mempelajari batas-batas yang dijadikan lokasi penelitian.
3.      Penentuan tempat pengambilan contoh tanah.


b.   Survai Utama
            Survai utama dilakukan mulai bulan September 2007, yaitu kegiatan pengambilan data primer pada setiap lahan yang telah ditentukan. Data primer yaitu data yang diambil langsung dari lapangan berupa ground chek penutupan lahan hasil dari analisis citra satelit. Data lain yang diambil untuk keperluan mendukung analisis kesesuaian lahan berupa data fisik lapangan.
            Untuk keperluan analisis sifat kimia tanah maka pengambilan contoh tanah dilakukan dengan metode contoh tanah tidak utuh yaitu menggunakan bor tanah, sedangkan untuk sifat fisika pengambilan contoh tanah dilakukan dengan ring tanah untuk mendapatkan contoh tanah utuh.
                Kelengkapan data fisik lapangan tersebut di atas, dilakukan juga wawancara atau tanya jawab dengan masyarakat maupun petugas-petugas di intansi terkait. Untuk pertimbangan efektivitas dan efisiensi dalam pengambilan data di lapangan maka kuesioner disusun sesederhana mungkin dan dapat digunakan semudah mungkin. Kuisioner ini berisi pertanyaan-pertanyaan yang diperlukan untuk menjaring informasi di lokasi. Di samping itu daftar pertanyaan dalam kuisioner juga akan berisi pertanyaan yang sangat berguna untuk verifikasi data dari sumber lain.
3. Kegiatan di Laboratorium
            Kegiatan laboratorium yaitu menganalisis sifat kimia tanah di Laboratorium Kimia, Biologi, dan Kesuburan Tanah, sedangkan analisis sifat fisika tanah di Laboratorium Fisika Tanah Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya Indralaya.
4. Pengolahan Data
              Data-data yang berhasil dikumpulkan akan dianalisis dengan menggunakan beberapa software yaitu Ms.Excel (pengolah data numerik), Ms.Access (pengolah database), ArcInfo, ArcView (pengolah peta dan citra). Analisis citra landsat TM dengan menggunakan software Arcview dilakukan untuk mendapatkan gambaran penutupan lahan seluruh wilayah. Analisis ini dilakukan dengan mengelompokkan nilai-nilai pixel dalam kisaran tertentu ke dalam beberapa kelas penutupan lahan. Metode klasifikasi yang digunakan adalah metode klasifikasi terbimbing yaitu mengelompokkan citra ke dalam beberapa kelas penutupan lahan dengan mengacu pada peta dasar, dan kemudian melakukan verifikasi lapangan untuk masing-masing penutupan lahan tersebut.
            Data yang dimasukkkan ke dalam Ms. Access digunakan sebagai database informasi lahan hutan rawa gambut hutan produsi pedamaran Kayu Agung.
Hasil kegiatan ini antara lain menilai kesesuaian lahan pada beberapa lahan yang berbatasan langsung dengan hutan aslinya. Masyarakat akan mendapatkan informasi karakteristik lahan dan akan lebih giat memanfaatkan lahan daripada tergantung pada hutan.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


A.  Kegiatan Karakteristik Gambut

No.
Sampel
Tanah Gambut
Kedalaman
(cm)
Vegetasi
Kemasaman
(pH)
1.

1

0 – 100
300 – 400
Purun tikus

3,67
3,61
2.

4

0 – 100
200 – 300
Purun tikus, Pakis, tumbuhan semak
3,74
3,38
3.

6

0 – 100
400 – 500
Perpat, purun tikus, tumbuhan semak, Pakis
3,59
3,51
4.
9
0 – 100
400 – 500
Purun tikus, Pakis, tumbuhan semak
3,43
3,75

            pH, Dari hasil analisis tanah, terlihat bahwa tanah gambut bereaksi sangat masam baik pada lapisan atas maupun lapisan bawahnya. Menurut Jones (1984), nilai pH rendah itu disebabkan oleh asam-asam organik, pirit (senyawa sulfur), dan ion hidrogen dapat ditukar (H-dd) yang tinggi terkandung dalam tanah gambut. Menurut Buckman dan Brady (1982), secara umum kompleks koloid gambut dipengaruhi oleh hidrogen yang menyebabkan pH tanah gambut lebih rendah daripada tanah mineral.



No.
Sampel
Tanah Gambut
Kedalaman
(cm)
Kemasaman
(pH)
C-Organik
(%)
N-Total
(%)
1.

1

0 – 100
300 – 400
3,67
3,61
35,59
31,48
0,73
0,69
2.

4

0 – 100
200 – 300
3,74
3,38
27,96
26,12
0,76
0,67
3.

6

0 – 100
400 – 500
3,59
3,51
32,75
32,01
0,76
0,73
4.
9
0 – 100
400 – 500
3,43
3,75
36,06
30,91
0,79
0,58


C-Organik, dari hasil analisis contoh tanah dan berdasarkan kriteria penilaian sifat kimia tanah PPT (1983)            menunjukkan kandungan C-organik yang sangat tinggi. Tingginya kandungan C-organik menunjukkan akumulasi bahan organik yang tinggi (seresah).  Terlihat dari data hasil analisis, tanah bagian atas memiliki kandungan C-organik yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah bagian bawahnya. Hal ini dilkarenakan tanah bagian atas telah terdekomposisi lebih lanjut dari tanah di bawahnya, karena terjadi pengeringan setiap musim kemarau terutama pada kemarau panjang.

            N-total, Hasil analisis contoh tanah menunjukkan kadar N-total (%) termasuk dalam kriteria tinggi  hingga sangat tinggi. Sumber Nitrogen yang utama adalah bahan organi, Nitrogen dalam tanah berasal dari bahan organik tanah (Hardjowigeno, 1995). Dari hasil analisis yang diperoleh terlihat bahwa kandungan N-total pada tanah lapisan atas lebih tinggi dari tanah lapisan bawahnya. Lebih rendahnya kandungan N-total pada lapisan bawah gambut dikarenakan keadaan yang selalu jenuh air.


No.
Sampel
Tanah Gambut
Kedalaman
(cm)
Na
(me/100 g)
Ec
(mhos)
1.

1

0 – 100
300 – 400
0,44
0,33
0,810
1,090
2.

4

0 – 100
200 – 300
0,33
0.44
0,890
1,710
3.

6

0 – 100
400 – 500
0,33
0,55
1,350
1,260
4.
9
0 – 100
400 – 500
0,44
0,55
1,140
1.410

Na, Kadar Na berkisar antara kriteria rendah sampai sedang.

Ec, Berdasarkan hasil analisis contoh tanah lokasi penelitian termasuk dalam topologi salin ringan (<1) hingga sedang (1-4)

Na, Kadar Na berkisar antara kriteria rendah sampai sedang. Ec, Berdasarkan hasil analisis contoh tanah lokasi penelitian termasuk dalam topologi salin ringan (<1) hingga sedang (1-4).

Pirit, pada lokasi penelitian reaksi tanah terhadap peroksida sangat cepat ini menunjukkan kadar pirit yang tergolong tinggi (potensi sulfat) terdapat pada lapisan tanah mineral di bawah gambut. Tanah mineral di bawah gambut memiliki tekstur liat dengan warna 5G 6/2.



No.
Sampel
Tanah Gambut
Kedalaman
(cm)
C-Organik
(%)
BO
(%)
1.

1

0 – 100
300 – 400
35,59
31,48
61,35716
54,27152
2.

4

0 – 100
200 – 300
27,96
26,12
48,20304
45,03088
3.

6

0 – 100
400 – 500
32,75
32,01
56,461
55,18524
4.
9
0 – 100
400 – 500
36,06
30,91
62,16744
53,28884





No.
Sampel
Tanah Gambut
Kedalaman
(cm)
Kadar Abu
(%)
BO
(%)

1.

1

0 – 100
300 – 400
5,86
5,43
61,357
54,272

2.

4

0 – 100
200 – 300
7,59
5,39
48,203
45,031

3.

6

0 – 100
400 – 500
5,51
5,72
56,461
55,185

4.
9
0 – 100
400 – 500
6,22
4,09
62,167
53,289



Abu (%), Dari data analisis tanah, terlihat bahwa kadar abu tergolong rendah. Hal ini menunjukkan tanah gambut pada lokasi penelitian tergolong gambut dalam dengan tingkat pelapukan yang belum lanjut. Kadar abu gambut yang belum terganggu tergolong rendah, peningkatan intensitas pertanian dapat meningkatkan kadar abu seiring dengan meningkatnya mineralisasi tanah, (Noor, 2001).










No.
Sampel
Tanah Gambut
Ketebalan Gambut
(cm)
Genangan
(cm)
Tingkat Kematangan
Warna tanah
1.

1
400
-15
Hemik
Fibik
10YR 3/1
10YR 3/2
2.

2
300
-20
Hemik
Fibik
10YR 3/1
10YR 3/2
3.

3
150
0
Hemik
Hemik
10YR 3/1
10YR 3/2
4.
4
300
-30
Hemik
Hemik
10YR 2/1
10YR 3/1
5.
5
500
- 50
Hemik
Fibik
10YR 3/1
10YR 3/2
6.
6
>500
-50
Hemik
Hemik
10YR 3/1
10YR 3/2
7.
7
>500
-50
Hemik
Fibik
10YR 3/1
10YR 3/2
8.
8
>500
-10
Hemik
Fibik
10YR 3/1
10YR 3/2
9.
9
>500
-5
Hemik
Fibrik
10YR 2/1
10YR 3/3
10.
10
>500
-5
Hemik
Hemik
10YR 3/1
10YR 3/2

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, ketebalan gambut pada lokasi penelitian berkisar dari gambut tengahan hingga sangat dalam. Gambut terdalam pada titik pengamatan 6,7,8,9, dan 10 (lebih dari 5 m). Gambut tengahan terdapat pada titik pengamatan 3, gambut dalam terdapat pada titik pengamatan 2 dan 4, dan gambut sangat dalam berada pada titik pengamatan 1,5,6,7,8,9, dan 10.





Rawa, lokasi penelitian termasuk lahan rawa lebak tengahan. Tinggi genangan dapat mencapai lebih dari 100cm pada saan nusim hujan. Nanun pada saat pengamatan dilakukan permukaan air tanah di bawah permukaan gambut, hal ini dikarenakaan musim kemarau.
Warna, warna gambut lapisan atas lebih gelap dari lapisan bawahnya hal ini dikarenakan bagian atas gambut lebih terdekomposisi, dan sebagian lokasi pengamatan telah terbakar.



























Kriteia Penilaian Sifat Kimia Tanah

Sifat tanah
SR
R
S
T
ST
C-organik (%)
N-total  (%)
Nisbah C/N
P2O5-Bray (µg g-1)
KTK (cmol (+) kg-1)
K-dd (cmol (+) kg-1)
Na-dd (cmol (+) kg-1)
Mg-dd (cmol (+) kg-1)
Ca-dd (cmol (+) kg-1)
Kejenuhan basa  (%)
Kejenuhan Al  (%)
<1,00
<0,1
<5
<10
<5
<0,1
<0,1
<0,4
<2
<20
<5
1,00-2,00
0,1-0,2
5-10
10-15
5-16
0,1-0,3
0,1-0,3
0,4-1,0
2-5
20-35
5-50
2,01-3,00
0,21-0,50
11-15
16-25
17-24
0,4-0,5
0,4-0,7
1,1-2,0
6-10
36-50
21-30
3,01-5,00
0,51-0,75
16-25
26-35
25-40
0,6-1,0
0,8-1,0
2,1-8,0
11-20
51-70
31-60
>5,00
>0,75
>25
>35
>40
>1,00
>1,00
>8,00
>20
>70
>60
pH – H2O
SM
M
AM
N
AB
B
<4,5
4,5-5,5
5,6-6,5
6,6-7,5
7,6-8,5
>8,5
Keterangan :    SM      =  Sangat Masam                    M         =  Masam
                        AM      =  Agak Masam                       N         =  Netral
                        AB      =  Agak Basa                          B         =  Basa
                        SR       =  Sangat Rendah                   R         =  Rendah
                        ST        =  Sangat Tinggi                      S          =  Sedang
                                                                                    T          =  Tinggi


Sumber :  Pusat Penelitian Tanah,  1983.


Vegetasi





Lahan Gambut Bekas Terbakar












A.  Sifat Fisik Tanah yang dinilai
            Menurut CSR/FAO Staff (1983), sifat fisik tanah yang dinilai adalah kelas drainase, kedalaman efektif tanah, dan tekstur tanah. Sifat fisik tanah ini berpengaruh terhadap kondisi perakaran.
1.   Kelas Drainase
            Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, pada lokasi penelitian semuanya memiliki kelas draenase tanah yang tergolong baik. Hal ini dapat dilihat dari semua titik pengamatan tidak ditemukannya adanya lahan yang tergenagang. Menurut CSR/FAO Staff (1983), kriteria tingkat kesesuaian lahan untuk tanaman karet pada lokasi penelitian tergolong S1 (sangat sesuai).
2.   Kedalaman Efektif Tanah
            Dari hasil pengamatan di lapangan kedalaman efektif tanah pada lokasi penelitian adalah 150 cm. Hal ini diketahui dengan ditemukanya lapisan krokos pada kedalaman 150 cm. Dengan adanya lapisan krokos, maka akar tanaman sukar untuk menembus lapisan ini sehingga lapisan krokos merupakan salah satu faktor pembatas kedalaman efektif tanah.
            Berdasarkan kriteria penilaian tingkat kesesuaian lahan untuk tanaman karet menurut CSR/FAO Staff (1983) kedalaman efektif tanah pada lokasi penelitian adalah tergolong S2 (cukup sesuai).


3.   Tekstur Tanah
            Tekstur tanah pada lokasi penelitian adalah lempung berpasir dan lempung liat berpasir, tetapi didominasi oleh lempung berpasir. Dari hasil analisis laboratorium, diketahui bahwa pada titik T1, T5, T8, T13, T21, T23, T26 dan T29 memiliki tekstur tanah lempung berpasir sedangkan pada titik T11 dan T15 memiliki tekstur tanah lempung liat berpasir.           Berdasarkan  kriteria penilaian tingkat kesesuaian lahan untuk tanaman karet menurut CSR/FAO Staff (1983) tektur tanah pada lokasi penelitian adalah tergolong S1 (sangat sesuai).

Tabel….Data Hasil Analisis Sifat Fisik Tanah Lokasi Penelitian
Kode
Kelas Tekstur
Kelas Draenase
Kedalaman
Efektif (cm)
T1
T5
T8
T11
T13
T15
T21
T23
T26
T29
Lempung Berpasir
Lempung Berpasir
Lempung  Berpasir
Lempung Liat Berpasir
Lempung  Berpasir
Lempung Liat Berpasir
Lempung Berpasir
Lempung Berpasir
Lempung  Berpasir
Lempung  Berpasir

Baik
Baik
Baik
baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
150
150
150
150
150
150
150
150
150
150

B.  Sifat Kimia Tanah yang dinilai
Sifat kimia tanah yang dinilai adalah meliputi retensi hara (pH dan KTK) dan ketersediaan hara (N, P2O5, dan K2O).
1.   Retensi unsur hara (pH dan KTK)
            Dari hasil analisis di laboratorium, pH tanah pada lokasi penelitian adalah berkisar antara 4,34 – 5,44. Berdasarkan kriteria penilaian tingkat kesesuaian lahan untuk tanaman karet menurut CSR/FAO Staff (1983), pH tanah pada lokasi penelitian adalah tergolong S1 (sangat sesuai).
            Nilai KTK pada lokasi penelitian tergolong dalam kategori rendah yaitu antara 13,05 – 16, 31 cmol(+)kg-1. Rendahnya nilai KTK pada lokasi penelitian , diduga karena kadar liat pada tanah yang rendah. Nilai KTK tanah tertinggi pada lokasi penelitian ditemukan pada sampel tanah T11 dengan tekstur tanah lempung liat berpasir dan nilai KTK terendah adalah pada titik T26.
            Berdasarkan  kriteria penilaian tingkat kesesuaian lahan untuk tanaman karet menurut CSR/FAO Staff (1983) KTK tanah pada titik T11 tergolong dalam tingkat kesesuaian kelas S1, sedangkan untuk titik pengamatan yang lain tergolong S2 (cukup sesuai).

2.   Ketersediaan hara N, P, dan K.

1.   N-total
Dari hasil analisis laboratorium, diperoleh nilai N-total pada lokasi penelitian tergolong rendah sampai sedang, yaitu berkisar antara 0,15 % – 0,29%. Berdasarkan kriteria kesesuaiaan lahan CSR/FAO (1983) tiik T1, T5, T8, T13, T23, dan T26 yang memiliki nilai N-total sedang tergolong kelas kesesuaian S1 (sangat sesuai) sedangkan titik T11, T15, T21 dan T29 yang memiliki kandungan N-total rendah tergolong kelas kesesuiaian S2 (cukup sesuai) untuk tanaman karet.
2.   P-tersedia
Berdasarkan hasil analisis laboratorium, kandungan P2O5 dalam tanah pada lokasi penelitian berkisar antara 3,67 sampai 93,04 ug g-1. dengan demikian, kandungan P2O5 pada lokasi penelitian tergolong sangat rendah sampai sangat tinggi. Berdasarkan kriteria kesesuaian lahan CSR/FAO (1983) untuk tanaman karet , pada lokasi penelitian yang diwakili oleh titik T1,T5, T8, T26 dan T29 memiliki kandungan P-tersedia tergolong kelas kesesuaian N (tidak sesuai), titik T13 dan T21 memiliki kandungan P-tersedia rendah tergolong kelas kesesuaian S3 (kurang sesuai), titik T11 memiliki kandungan P-tersedia sedang tergolong kelas kesesuaian S2 (cukup sesuai) sedangkan untuk titik T15 dan T23 memiliki kandungan P-tersedia sangat tinggi tergolong kelas kesesuaian S1 (sangat sesuai).
            Dari data yang diperoleh tingkat kesesuaian lahan pada lokasi penelitian untuk kandungan tersedia sangat bervariasi yaitu dari N (tidak sesuai) sampai (sangat sesuai).
  1. K-tersedia
Kandungan K2O dilokasi penelitian  tergolong rendah sampai tinggi, dengan kisasaran  0,29 sampai 0,99 cmol(+)kg-1. Berdasarkan kriteria kesesuaian lahan CSR/FAO (1983) untuk tanaman karet, kandungan K2O pada lokasi penelitian tergolong kelas kesesuaian S1 (sangat sesuai).














Tabel....Hasil Analisis sifat kimia pada lokasi penelitian.
Kode
sampel
N – Total
(%)
P2O5- Bray
(µg g-1)
K2O
(Cmol(+) Kg-1)
KTK
(Cmol(+) Kg-1)

pH




T1
T5
T8
T11
T13
T15
T21
T23
T26
T29
0,24 (S)
0,29 (S)
0,27 (S)
0,16 (R)
0,23 (S)
0,18 (R)
0,19 (R)
0,21 (S)
0,21 (S)
0,15 (R)

5,15 (SR)
9,62 (SR)
3,67 (R)
16,03 (S)
14,42 (R)
61,83 (ST)
11,34 (R)
93,09 (ST)
8,93 (SR)
9,62 (SR)
0,42 (T)
0,29 (R)  
0,42 (T)
0,57 (T)
0,42 (R)
0,99 (T)
0,57 (T)
0,42 (T)
0,29 (R)
0,57 (T)

15,23 (R)
13,05 (R)
14,14 (R)
16,31 (S)
14,14 (R)
15,23 (R)
15,23 (R)
12,18 (R)
11,31 (R)
14,14 (R)


4,99  (M)
4,94  (M)
4,93  (M)
4,34 (SM)
4,77  (M)
5,44 (SM)
4,96  (M)
5,03  (M)
5,10  (M)
4,87  (M)



Sumber : Laboratorium Kimia Tanah, Jurusan Tanah Fakultas Pertanian UNSRI, 2007

Keterangan :  SM    =  Sangat masam
                       M     =   Masam
                       SR    =  Sangat rendah  
                       T      =  Tinggi
                       S      =   Sedang
                       R      =   Rendah













DAFTAR PUSTAKA



Anonim, 2007.  (http://www.kalteng.go.id/indo/kehutanan_potensi.htm). Diakses tanggal 25 Mei 2007

Arief, Arifin. 2001. Hutan & Kehutanan. Kanisius, Yogyakarta.

Arief, Arifin. 1994. Hutan : Hakikat dan Pengaruhnya terhadap Lingkungan. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Armanto, M. E., M. S. Imanudin., dan I. Naning. 1998. Evaluasi Dampak Reklamasi Rawa Lebak Terhadap Kemerosotan Produksi Padi di Kabupaten OKI. Seminar Workshop Proceeding on Setting the Action Plants for Revitalization of the South Sumatera Province. Indralaya, 26-27 Oktober 1998.

Bernhardsen, Tor. 1992. Geographics Information Systems. Viak IT, Norway.

Budiyanto, Eko. 2002. Sistem Informasi Geografis Menggunakan ArcView GIS. Penerbit Andi, Yogyakarta.

Chokkalingam, U. , Suyanto. 2004 Kebakaran, mata pencaharian, dan kerusakan lingkungan pada lahan basah di Indonesia : lingkaran yang tiada berujung pangkal.. Fire Brief. No. 4. CIFOR, Bogor, Indonesia.

Djafar , Z.R. 1992. Potensi Lahan Lebak Mencapai dan Pelestarian Swasembada Pangan. Dalam Makalah Seminar Nasional Pemanfaatan Potensi Lahan Rawa untuk Pencapaian dan Pelestarian Swasembada Pangan. Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Palembang.

Departemen Pertanian. 2005. Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Lebak Melalui Penguatan Sistem Kelembagaan dan Infrastruktur Pendukung Dalam Rangka Penyangga Produksi Tanaman Pangan, Jakarta.

Departemen Kehutanan. 2007. Dephut Alokasikan Lahan Hutan 5,4 Juta Hektar Untuk Usaha Hutan Tanaman Rakyat, (ttp://www.indonesia.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=3152&Itemid=694) diakses tanggal 25 Mei 2007.

ESRI. 1997. ESRI Shapefile : A Technical Description.An ESRI White Paper, May 1997.

Hanafiah, K. A.  1992.  Intervensi dan Adaptasi Budidaya dalam Ameliorasi Lahan Rawa untuk Pertanian.  Dalam : Prosiding Seminar Nasional Pemanfaatan Lahan Rawa untuk Pencapaian dan Pelestarian Swasembada Pangan.  Fakultas Pertanian.  Universitas Sriwijaya,  Palembang.

Lo, C. P. 1996. Penginderaan Jauh Terapan. Terjemahan: Purbowaseso, B. UI Press, Jakarta.

Lopez, C. Dan Shanley. 2005.  Kekayaan Hutan Asia. Makanan, rempah-rempah, kerajinan tangan dan resin.  PT Gramedia Pustaka Utama.

Noor, Muhammad. 2004. Lahan Rawa : Sifat dan Pengelolaan tanah bermasalah sulfat masam. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Nuarsa, I Wayan. 2005. Menganalisis Data Spasial dengan ArcView GIS 3.3 untuk Pemula. Elex Media Komputindo, Jakarta.

Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 2000. Kriteria Kesesuain Lahan untuk Komoditas Pertanian.  Badan Penelitian Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor.

Prahasta, Eddy. 2005. Sistem Informasi Geografis:Tutorial ArcView. Informatika Bandung, Bandung.

Prahasta, Eddy. 2001. Konsep-konsep dasar sistem informasi geografis. Informatika Bandung, Bandung.

Radjagukguk, B. 1990. Prospek pengelolaan tanah-tanah gambut untuk perluasan lahan pertanian. Seminar Nasional Tanah-tanah bermasalah di Indonesia KMIT Fakultas Pertanian UNS Surakarta 15 Oktober 1990, Surakarta.

Rismundar, T. 2001. Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Menciptakan Pembangunan Berwawasan  Lingkungan. Makalah Falsafah Sains. Juni 2001. Institut pertanian Bogor. Program Pasca Sarjana (S3).
 

Rustiadi, E., K. Mizuno and S. Kobayashi. 1999. Measuring Spatial Pattern of Suburbanization Process. Journal of Rural Planning Association 18 (1):31-41

Singh, A. 1989. Review Article. Digital Change Detection Techniques Using Remotely-sensed Data. International Journal Remote Sensing. 10 (6): 989-1003.

Siswanto, Agus B., Candradinata, S., Lilih M, dan Nata S. 2006. Karakteristik dan Penyebaran Lahan Gambut di Indonesia. Climate Change, Forests, and Peatlands in Indonesia. Wetlands International.

Soepraptohardjo, M. 1961a. Klasifikasi Tanah Kategori Tinggi. Kong. Nas. Ilmu Tanah I, Bogor.

Soepraptohardjo, M. 1961b. Jenis Tanah di Indonesia. Mimeograph 25 hlm. Lembaga Penyelidikan Tanah, Bogor.

Soil Survey Staff, 1975. Soil Taxonomy. A Basic System for Making Interpreting Soil Surveys. USDA-SCS Agric. Handb. 436.

Subagyono H. Suharta N., dan Siswanto A.B. 2000. Tanah-Tanah pertanian di Indonesia. Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Hal 21 – 61. Puslittanak. Badan Litbang Pertanian, Bogor.

Soepraptohardjo, M. and P.M. Dreissen. 1976. The lowland and peat of Indonesia, a challange for the future. In Peat and Podsolic and Their Potential fof Agriculture in Indonesia. Bull. Soil Res., Bogor, 3:11-19.

Subagjo dan M. Soepraptohardjo. 1978. Beberapa Catatan Kecil Tentang Potensi/Aspek Tanah Daerah Lebak/Rawa di Sumatera Selatan. Makalah Pada Simposium Pemanfaatan Potensi Daerah Lebak, Palembang.

Subagjo, H., D. Suharta, dan A.B. Siswanto. 2000. Sumberdaya Lahan Indonesia. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Subagjo, H. 2002. Penyebaran dan Potensi Tanah Gambut di Indonesia untuk Pengembangan Pertanian.Technical Report 41.02. Wetlands International-Indonesia Programme, Wildlife Habitat, Bogor.

Subagyono. K, Vadari T., dan Widjaja-Adhi I.P.G. 1997. Strategi Pengelolaan Air dan Tanah pada Lahan Rawa pasang Surut : Prospek dan Kendala. Makalah disampaikan pada Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimatm Tanggal 4 s/d 6 Maret.

Suparmoko. 1989. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Pusat Antar Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Yogyakarta.

WALHI, 2007. Hentikan Perluasan dan Pembangunan HTI Baru di Indonesia. (http://www.walhi.or.id/kampanye/hutan/konversi/070307_hti_li/) ­­diakses tanggal 25 Mei 2007.

Waluyo, Suparwoto, A. Suzana, Muzhar, R. Dewi, I. W. Supartha, T. Arief, Z. Arifin, M. Syarief, dan Suhendi.  1997.  Pengkajian Model Sistem Usahatani di Lahan Lebak Kayu Agung Sumatera Selatan.  Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Puntikayu. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian Sumatera Selatan,  Palembang.

Widjaja, Adhi, I P.G. 1984. Masalah Tanaman Di Tanah Gambut. Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Pola Usahatani Menunjang Transmigrasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.

Widjaya, Adhi, I. P. G. 1988. Physical and chemical characteristics of peat soils  of Indonesia. IARDJ 10 (3) : 59 – 64.

Worrel, A.C. 1970. Principle of Forest Policy. McGraw Hill Book Company, New York.























































LAMPIRAN

Lampiran 1. Peta Kabupaten Ogan Komering Ilir


0 komentar:

Post a Comment

 

Pengikut

Copyright © ZONA SKRIPSI All Rights Reserved • Design by Dzignine
best suvaudi suvinfiniti suv