Sistem Informasi Lahan Rawa Gambut Hutan
Produksi Pedamaran Kayuagung Kabupaten Ogan Komering Ilir
A. Latar Belakang
Sumberdaya alam hayati didefinisikan
sebagai unsur-unsur di alam yang terdiri dari sumber-sumber alam nabati dan hewani
yang bersama dengan unsur non hayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk
suatu ekosistem (Poolock, 1991). Salah
satu bentuk-bentuk sumberdaya alam adalah kekayaan hutan yang dimiliki bangsa
Indonesia.
Pengelolaan sumberdaya hutan bertujuan untuk mendapatkan manfaat-manfaat
penting dari hutan, diantaranya sebagai penghasil kayu dan vegetasi lainnya,
satwa liar, tempat rekreasi, mencegah banjir dan erosi, mempertahankan
kesuburan tanah, dan mengatur kondisi iklim dan lingkungan hidup (Worrel, 1970).
Hutan mempunyai banyak manfaat (multiple
use) yang merupakan karakteristik sumberdaya alam yang berbeda dengan
sumberdaya alam lainnya, sebab selain sebagai produksi kayu, hutan juga
mempunyai berbagai fungsi penting lainnya, sehingga dalam pengambilan keputusan
mengenai macam penggunaan hutan, perlu diperhatikan bahwa tidak semua hutan
cocok untuk semua bentuk pemanfaatan (Suparmoko, 1989).
|
Salah satu wilayah Sumatera Selatan
yang memiliki hutan produksi adalah Kabupaten Ogan Komering Ilir. Hutan
produksi terdapat di berbagai lahan seperti lahan kering, rawa lebak, dan rawa
gambut. Pengembangan hutan produksi sendiri masih memiliki berbagai kendala
seperti kondisi lahan yang terbatas dan kemampuan lahan tidak merata, maka
pengembangan lahan yang lestari dan berkelanjutan harus mempertimbangkan daya
dukung lingkungan dan sistem perencanaan yang akurat dan terukur, sehingga
semua faktor yang mempengaruhi pengembangan hutan yang berkelanjutan, termasuk
faktor pendukung dan pembatas, perlu dipikirkan sejak awal dan dituangkan dalam
sebuah produk database dan peta.
Perkembangan penggunaan sumber daya
lahan sampai saat ini di Kabupaten Ogan Komering Ilir belum sepenuhnya memiliki
kontribusi yang nyata dalam meningkatkan produksi tanaman secara berkelanjutan.
Hal ini dipengaruhi oleh kondisi lahan bervariasi berdasarkan letak geografis
dan topografi, yang sangat mempengaruhi produktifitas tanaman, sehingga
diperlukan perencanaan yang matang dalam mengambil keputusan jenis tanaman yang
akan ditanam.
Perencanaan dan pengambilan keputusan yang tepat harus dilandasi oleh
data dan informasi yang yang akurat tentang kondisi lahan. Penggunaan teknologi
berbasis komputer untuk mendukung perencanaan tersebut mutlak diperlukan untuk
menganalisis, memanipulasi dan menyajikan informasi dalam bentuk tabel dan
keruangan. Salah satu teknologi tersebut adalah Sistem Informasi Geografis
(SIG) yang memiliki kemampuan membuat model yang memberikan gambaran,
penjelasan dan perkiraan dari suatu kondisi faktual.
Oleh karena itu maka untuk mendapatkan model, informasi dan gambaran
keruangan tentang komoditas yang cocok di Kabupaten Ogan Komering Ilir secara
cepat dan akurat, maka dilakukan kegiatan pembuatan peta dan sistem informasi
mengenai lahan menggunakan metode GIS.
B. Tujuan
Tujuan penelitian sistem informasi
lahan rawa gambut hutan produksi Pedamaran Kayuagung Kabupaten Ogan Komering
Ilir adalah :
Tujuan
penelitian potensi dan pengembangan lahan hutan gambut melalui Sistem Informasi
Manajemen di Kabupaten Ogan Komering Ilir adalah:
1.
Membuat database
karakterisasi hutan rawa gambut sebagai data dasar dalam membuat suatu
perencanaan pengelolaan hutan rawa gambut sesuai dengan karakteristik dan
kemampuan lahan.
2.
Mengidentifikasi potensi kesesuaian lahan terutama pada
kawasan hutan produksi dan menyajikan data dan informasi yang lebih akurat,
obyektif dan lengkap sebagai bahan pertimbangan pengambilan keputusan dalam
pengembangan hutan produksi.
3. Membuat
Sistem Informasi Manajemen Lahan pada hutan rawa gambut di bentang lahan Kayu
Agung, Kabupaten Ogan Komering Ilir.
4. Memberikan alternatif kegiatan masyarakat dalam mengelolan kawasan
hutan secara baik dan berkesinambungan.
II. TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Hutan
Hutan
merupakan salah satu bentuk tata guna lahan dijumpai di daerah tropis,
subtropis, di dataran rendah maupun pegunungan bahkan di daerah kering
sekalipun. Pengertian hutan disini adalah suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan dan
hewan yang hidup dalam lapisan dan permukaan tanah, yang terletak pada suatu
kawasan dan membentuk suatu kesatuan ekosistem yang berada dalam keseimbangan
dinamis.
Hutan adalah masyarakat tetumbuhan dan binatang yang
hidup dalam lapisan dan dipermukaan tanah dan terletak pada suatu kawasan,
serta membentuk suatu kesatuan eksosistem yang berada dalam keseimbangan
dinamis (Arief, 1994).
Pengertian
menurut pemerintah berdasarkan Undang-Undang Pokok Kehutanan No.5 Tahun 1967
adalah suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohonan yang secara keseluruhan
merupakan persekutuan hidup alam hayati, alam lingkungannya dan yang ditetapkan
oleh pemerintah sebagai hutan (Arief, 1994)
Menurut
Arief (1994), hutan produksi adalah kawasan hutan yang khusus dikelola untuk
menghasilkan jenis-jenis hasil hutan tertentu sebagai keperluan industri dan
ekspor. Contohnya hutan jati (Tectona
grandis), hutan pinus (Pinus merkusii),
hutan damar (Agathis loranthifolia),
hutan mahoni (Swietenia sp.) dan sonokeling (Dalbergia latifolia).
Berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tahun 1999, total luas
hutan Indonesia adalah 120,34 juta hektar (WALHI, 2007). Departemen Kehutanan
telah mengalokasikan hutan produksi tidak produktif untuk usaha Hutan Tanaman
Rakyat (HTR) seluas 5,4 juta ha. Hutan Tanaman Rakyat tersebut tersebar di 8 propinsi yang ada di
102 kabupaten di daratan Sumatera dan Kalimantan, merupakan alokasi untuk tahap
pertama. Untuk realisasi pelaksanaannya terlebih dahulu akan dilakukan
klarifikasi kondisi riil di lapangan (Departemen Kehutanan, 2007) .
B.
Lahan Gambut
a. Definisi
Rawa adalah kawasan
sepanjang pantai, aliran sungai, danau atau lebak yang menjorok masuk ke
pedalaman sungai sampai sekitar 100 km atau sejauh dirasakannya pengaruh
gerakan pasang. Jadi, lahan rawa dapat dikatakan sebagai lahan yang mendapatkan
pengaruh pasang surut air laut atau sungai sekitarnya. Pada saat musim hujan,
lahan tergenang sampai satu meter, tetapi pada musim kemarau menjadi kering
bahkan sebagian muka air tanah turun sampai kedalaman lebih dari 50 cm dari permukaan
tanah (Noor, 2004).
Pengertian
rawa yang lebih luas adalah rawa digolongkan sebagai lahan basah (wetlands) atau lahan bawahan (lowlands), tetapi tidak berarti bahwa
lahan basah atau lahan bawahan hanya rawa. Menurut Ramsar yang dimaksud dengan
lahan basah adalah daerah rawa, payau, gambut, atau badan perairan lainnya,
baik alami maupun buatan, yang airnya mengalir atau tergenang, bersifat tawar,
payau atau salin, termasuk kawasan laut yang mempunyai kedalaman air pada saat
surut terendah tidak lebih dari enam meter (Ramsar dalam Noor, 2004).
Hutan
Rawa Gambut Tropika pada umumnya disebut pula sebagai hutan ramin, mengingat
jenis ini sangat mendominasi tipe hutan ini, meskipun pola sebarannya cenderung
berubah mengikuti trend perubahan ketebalan lapisan gambut. Jenis Ramin (Gonystilus bancanus) pada umumnya
terkonsentrasi berada di daerah dengan ketebalan lapisan gambut berkisar antara
0,5 - 5 meter. Di daerah-daerah dimana ketebalan lapisan gambut mencapai 5
meteran, jenis ini cenderung berkurang, sedangkan untuk daerah-daerah peralihan
(0,5 meter), jenis ramin ini berasosiasi dengan cukup nyata dengan jenis
Agathis dan beberapa jenis meranti rawa (Anonim, 2007).
b. Sebaran Gambut
Luasan lahan gambut atau bergambut pada
kondisi utuh dan asli penutupan vegetasinya adalah identik dengan luas hutan
rawa gambut, karena pada hutan primer di lahan gambut merupakan sumber utama
bahan organik sebagai bahan utama gambut.
Luasan
lahan gambut pada awalnya adalah sama dengan luas lahan gambut, namun dengan
perkembangan kebutuhan manusia dan teknologi yang ada menusia mengelola lahan
rawa gambut dan sebagian besar terjadi degradasi lahan (Lopez dan Shanley,
2005).
Indonesia memiliki kawasan gambut
dan lahan basah air tawar yang sangat luas yaitu sekitar 19 juta hektar atau 10
persen luas wilayah negara. Delapan puluh sembilan persen diantaranya berupa
lahan gambut yang sebagian besar terletak di Papua Barat, Sumatera, dan
Kalimantan. Lahan-lahan basah tropis ini secara alami tertutup rapat oleh
vegetasi hutan dan seringkali memilki jenis kayu bernilai tinggi (Chokkalingam dan Suyanto, 2004).
Luasan lahan gambut atau bergambut pada kondisi utuh
dan asli penutupan vegetasinya (virgin
forest) adalah identik dengan luas hutan rawa gambut, karena pada hutan
primer di lahan gambut merupakan sumber utama bahan organik sebagai bahan utama
gambut. Dengan demikian luasan lahan
gambut pada awalnya adalah sama dengan luas lahan gambut. Namun dengan perkembangan kebutuhan manusia
dan teknologi yang ada manusia mengelola lahan rawa gambut dan sebagian besar
terjadi degradasi lahan (Lopez dan Shanley, 2005).
c. Proses Pembentukan
Tanah gambut terbentuk karena laju akumulasi
bahan organik melebihi proses mineralisasi yang biasanya terjadi pada kondisi
jenuh air yang hampir terus menerus sehingga sirkulasi oksigen dalam tanah
terhambat. Hal tersebut akan memperlambat proses dekomposisi bahan organik dan
akhirnya bahan organik itu akan menumpuk
(Chotimah, 2002).
Gambut terbentuk dari seresah
organik yang terdekomposisi secara anaerobik dimana laju penambahan bahan
organik lebih tinggi daripada laju dekomposisinya. Di dataran rendah dan daerah
pantai, mula-mula terbentuk gambut topogen karena kondisi anaerobik yang
dipertahankan oleh tinggi permukaan air sungai, tetapi kemudian penumpukan
seresah tanaman yang semakin bertambah menghasilkan pembentukan hamparan gambut
ombrogen yang berbentuk kubah (dome). Gambut ombrogen di Indonesia
terbentuk dari seresah vegetasi hutan yang berlangsung selama ribuan tahun,
sehingga status keharaannya rendah dan mempunyai kandungan kayu yang tinggi
(Radjagukguk, 1990).
d. Karakteristik Gambut
Analisis laboratorium bahan organik dinyatakan dalam kadar karbon 12-18%
atau lebih. Makin tinggi kadar karbon, bahan organik dapat dikatakan masih
segar, sedangkan makin kecil kadar karbon maka bahan organik makin lanjut
pelapukannya dan disebut dengan humus (Rismunandar, 2001).
Tanah
gambut di Indonesia pada umumnya mempunyai reaksi kemasaman tanah (pH) yang
rendah, yaitu antara 3,0 – 5,0 (Hardjowigeno, 1996). Hasil analisis di berbagai
wilayah di Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya, memperlihatkan bahwa Histosols
menunjukkan reaksi tanah masam ekstrim (pH 3,5 atau kurang) sampai sangat masam
sekali (pH 3,6 – 4,5).
Kandungan
bahan organik di seluruh lapisan, sangat tinggi ( 6 – 91 %) dan kandungan
nitrogen di seluruh lapisan gambut, sebagian besar, juga sangat tinggi (>75
%), rasio C/N tergolong tinggi sampai sangat tinggi (16 – 69), yang berarti
walaupun kandungan N tinggi, tetapi dalam bentuk tidak tersedia bagi tanaman.
Kandungan
P dan K-potensial lapisan atas (0 -50 cm) sedang sampai tinggi, lebih baik dari
pada lapisan bawah yang umumnya rendah. Pada gambut dangkal dan gambut eutrofik
kandungan potensial kedua unsur tersebut termasuk sedang sampai tinggi.
Analisis laboratorium bahan organik dinyatakan dalam kadar karbon 12-18%
atau lebih. Makin tinggi kadar karbon, bahan organik dapat dikatakan masih
segar, sedangkan makin kecil kadar karbon maka bahan organik makin lanjut
pelapukannya dan disebut dengan humus (Rismunandar, 2001).
KTK
tanah karena kandungan bahan organik tinggi, semuanya menunjukkan nilai sangat
tinggi (60 – 350 Cmol(+)kg-1 tanah. Namun sebaliknya, KB-nya semuanya termasuk
sangat rendah (1-5%). Dengan demikian, disimpulkan bahwa potensi kesuburan
alami tanah gambut adalah sangat rendah sampai rendah.
Tanah
gambut memiliki berat isi yang rendah berkisar antara 0,05 – 0,25 gcm-3,
semakin lemah tingkat dekomposisinya semakin rendah berat isi (BD), sehingga
daya topang terhadap bebadan diatasnya seperti tanaman, bangunan irigasi,
jalan, dan mesin-mesin pertanian adalah rendah. Gambut yang sudah direklamasi
akan lebih padat dengan berat isi antara 0,1 – 0,4 gcm-3 (Subagyono et al.,
1997).
Menurut
Subagjo (2002), tanah gambut mempunyai pori-pori dan kapiler yang tinggi,
sehingga mempunyai daya menahan air yang sangat besar. Dalam keadaan jenuh
kandungan air tanah gambut dapat mencapai 4,50-30 kali bobot keringnya.
Pada
kondisi gambut pada musim kemarau, tanah gambut masih tetap lembab dengan kadar
air tinggi. Kondisi tersebut merupakan kondisi yang optimal bagi pertumbuhan
tanaman. Oleh karena itu, pengambilan sampel pada kondisi lembab akan lebih
mendekati keadaan di lapangan. Sifat fisik juga sangat berkaitan dengan aspek
teknik pembangunan rumah, pembuatan dan pemeliharaan jalan, serta pembuatan
saluran drainase dan irigasi (Widjaja, 1984).
Kualitas
tanah gambut sangat bergantung pada vegetasi yang menghasilkan bahan organik
pembentuk tanah gambut, bahan mineral yang berada di bawahnya, faktor
lingkungan tempat terbentuknya tanah gambut dan proses pembentukan tanahnya. Di
daerah tinggi atau dingin bahan organik yang terbentuk lebih halus atau mudah
melapuk daripada di dataran rendah atau pantai. Makin halus kadar serat bahan
organik berarti yang bahan organik makin tinggi, sehingga pada umumnya kualitas
gambut makin baik (Rismunandar, 2001).
e. Klasifikasi Tanah Gambut
Menurut Soil Survey Staff (1990)
tanah gambut termasuk ordo Histosol yang dibedakaan lagi ke dalam sub ordo,
great group, sub group dan famili. Sub group terdiri dari Folist, Fibrist,
Hemist dan Saprist. Pembagian pada tingkat ordo lebih menekankan kepada tingkat
kematangan gambut.
Fibrik adalah bahan organik tanah yang sangat
sedikit terdekomposisi yang mengandung serat sebanyak 2/3 volume. Bobot volume
fibrik lebih kecil dari 0.075 g cm-3
dan kandungan air tinggi jika tanah dalam
keadaan jenuh air. Saprik adalah bahan organik yang terdekomposisi paling
lanjut yang mengandung serat kurang dari 1/3 volume dan bobot isi saprik adalah
0.195 g cm3, sedangkan hemik adalah bahan organik yang
mempunyai tingkat dekomposisi antara fibrik dengan saprik dengan bobot isi
0.075 sampai 0.195 g cm3.
Pusat Penelitian Tanah (1983), memasukkan tanah gambut kedalam tanah
organosol yang dibedakan kedalam tiga macam yaitu : 1) Organosol Fibrik, ialah tanah organosol yang didominasi oleh bahan
fibrik sedalam 50 cm atau berlapis sampai 80 cm dari permukaan; 2) Organosol Hemik ialah tanah organosol
yang didominasi bahan hemik sedalam 50 cm atau berlapis sampai 80 cm dari
permukaan; dan 3) Organosol Saprik,
ialah tanah organosol selain organosol fibrik maupun hemik yang umumnya didominasi
oleh bahan saprik.
Untuk menentukan kematangan gambut
di lapangan ditentukan melalui sidik cepat.
a. Berdasarkan Kadar Air Maksimum (KAM)
1.
Fibrik – KAM 850 - > 3.000 % berat
Warna coklat kekuningan muda, coklat tua, atau coklat
kemerahan
2.
Hemik – KAM 450 – 850 %
Warna coklat tua, atau coklat kemerahan
3.
Safrik – KAM < 450 %
Warna coklat tua, coklat kehitaman, atau hitam
b. Berdasarkan Kadar Serat
Kematangan
|
Kadar Serat Utuh
|
Kadar Serat Gosok
|
Fibrik
|
> 66%
|
> 75 %
|
Hemik
|
33 – 66 %
|
15 – 75%
|
Saprik
|
< 33%
|
< 15 %
|
Berdasarkan
kualitasnya tanah gambut dibagi menjadi 3 macam, yaitu gambut eutropik,
mesotropik, dan oligotropik.
Gambut
Eutropik terdiri dari gambut topogenus yaitu gambut yang terbentuk di daerah pedalaman
dataran pantai atau dapat juga di daerah dataran pasang surut, sehingga gambut
ini relatif subur.
Gambut
Topogenus dicirikan oleh akumulasi bahan organik yang tidak terlalu tebal, yang
berkisar antara 0,5 – 2,0 m, dan biasanya dijumpai pada landform dataran gambut
atau pada sisi kubah gambut.
Gambut
Mesotropik dan gambut oligotropik terdiri dari gambut ombrogenus yang terbentuk
dari tumpukan bahan organik yang tidak dipengaruhi oleh luapan air sungai dan
biasanya membentuk kubah gambut (dome),
serta memiliki ketebalan > 2 m (Siswanto et
al., 2006).
f.
Fungsi Hutan Rawa Gambut
Maltby
(1997), menekankan perlunya pengelolaan terpadu dan pemanfaatan yang
berkelanjutan untuk lahan gambut tropika. Hutan Rawa Gambut mempunyai banyak
fungsi yaitu pengamanan biodiversitas dan habitat kehidupan liar (wildlife), serta pemeliharaan
lingkungan dan bentang lahan, seperti penyimpanan karbon bumi (global carbon storage), pengatur iklim skala mikro dan meso,
penyimpan dan pemasok air, pengaturan aliran, pencegahan banjir, pencegahan
intrusi air asin, dan sumbangan pendapatan bagi masyarakat lokal dari hasil
hutan (damar, rotan, kayu, perikanan).
Hutan
gambut disamping merupakan “gudang” plasma nutfah dan genes, juga merupakan
sumber tanaman obat-obatan tradisional yang potensial. Ada bagian lahan gambut
yang lebih sesuai untuk konservasi alam dan lingkungan hidup dan ada bagian
yang masih sesuai utuk poenggunaan pertanian. Wilayah yang potensial untuk
pengembangan pertanian harus dipilih secara hati-hati, dan umumnya terbatas
pada gambut topogen dangkal dengan sisipan tanah mineral, dan atau pada gambut
dangkal di wilayah pinggiran kubah gambut (peatswamp).
C. Rawa Lebak
a.
Defenisi
Rawa lebak adalah wilayah daratan yang mempunyai genangan hampir sepanjang
tahun minimal selama tiga bulan dengan tinggi genangan minimal 50 cm. Rawa
lebak dipengaruhi oleh iklim tropika basah atau agak basah dengan curah hujan
antara 2000-3000 mm per tahun dengan jumlah bulan basah antara 6-7 bulan dan
3-4 bulan kering. Bulan basah adalah bulan yang mempunyai curah hujan bulanan
lebih dari 200 mm dan bulan kering adalah bulan yang mempunyai curah hujan
bulanan kurang dari 100 mm. Agih (distribition)
curah hujan di beberapa wilayah rawa lebak menunjukkan perbedaan yang terkait
dengan ketinggian tempat dari permukaan laut dan vegetasi yang tumbuh (Noor,
2004).
Swamp ialah rawa yang tertumbuhi pohon
di sana sini dan lebih bersifat air tergenang. Menurut pengertian ahli Amerika,
swamp ialah rawa bergambut, sedangkan
di Inggris dinamakan bog atau morass. Kondisi rawa sangat berbeda
antara lain dengan yang genangannya dipertahankan oleh air permukaan ( runoff) atau luapan sungai yang
berlangsung secara berkala. Tebal air genangan rawa ini berfluktuasi menurut
musim hujan dan kemarau.
b. Karakteristik Lahan Rawa Lebak
Rawa
merupakan daerah cekungan di dataran rendah yang tergenang secara permanen atau
pada beberapa waktu akibat limpasan sumber air yang berasal dari sungai, danau
atau laut (Hanafiah, 1992).
Berdasarkan
ketinggian genangan air, lahan rawa lebak dibagi menjadi tiga macam, yaitu rawa
lebak dangkal (pematang), tengahan dan dalam.
Rawa lebak dangkal mempunyai ketinggian air permukaan antara 0 cm sampai
50 cm dengan masa genangan kurang dari 3 bulan, rawa lebak tengahan mempunyai
ketinggian air permukaan antara 50 cm sampai 100 cm dengan masa genangan antara
3 bulan sampai 6 bulan, sedangkan rawa lebak dalam mempunyai ketinggian air
permukaan lebih dari 100 cm dengan masa genangan lebih dari 6 bulan (Waluyo et al., 1997).
Menurut
Djafar (1992), tanah di kawasan lebak umumnya dicirikan oleh kandungan bahan
organik rendah hingga tinggi, kesuburan alami yang rendah, kandungan N, P, dan
K dan kejenuhan basa rendah kadar Al dan Fe tinggi serta reaksi tanah yang masam
hingga sangat masam.
Lahan
rawa dapat dijumpai baik pada dataran rendah di sepanjang dan di muara sungai
maupun di dataran yang lebih tinggi, di tengah dan hulu sungai sehingga dikenal
secara awam lahan rawa lebak dan lahan rawa pasang surut. Lahan rawa lebak secara internasional disebut
sebagai fresh waterswamps karena pada umumnya rawa ini terletak di
bagian tengah hingga hulu sungai yang airnya tawar, sedangkan lahan rawa pasang
surut disebut tidal swamps karena letaknya di bagian hilir sungai yang
secara langsung dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Departemen
Pertanian, 2005).
Menurut
Soebagjo dan Soepraptohardjo (1978), umumnya tanah yang terdapat di daerah rawa
lebak terdiri dari tanah tanggul sungai dan dataran rawa belakang. Tanah tanggul
sungai mempunyai jenis tanah Alluvial Hidromorf dan Alluvial kelabu, sedangkan
tanah dataran rawa belakang terletak lebih jauh dari tanggul sungai dan didominasi oleh jenis
tanah Glei Humus dan Oganosol. Tanah
Glei Humus dan Organosol mempunyai kandungan bahan organik tinggi, N rendah, K
sangat rendah, reaksi tanah (pH) umumnya masam sampai sangat masam, KTK tinggi,
dan kejenuhan basa rendah, yang mengakibatkan tanaman tidak dapat tumbuh dengan
baik.
Tingkat
kesuburan lahan rawa lebak sangat bervariasi dan tergantung pada sistem saluran
reklamasi. Kemerosotan kesuburan lahan
rawa lebak berhubungan dengan heterogenitas lahan lebak, antara lain lahan yang
mengandung pirit dan lahan yang bergambut tebal. Kemerosotan kesuburan lahan rawa lebak
dikaitkan dengan sistem tata air. Semakin dekat dengan saluran utama, maka
kematangan bahan organik semakin meningkat (Armanto et al., 1998).
D. Sistem Informasi Geografis
a. Definisi
Sistem
Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu sistem (berbasiskan komputer) yang
digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografis.
Sistem informasi geografis dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan
menganalisis objek-objek dan fenomena-fenomena dimana lokasi geografis
merupakan karateristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Dengan
demikian, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan berikut
dalam menangani data yang bereferensi geografis seperti masukan, keluaran,
manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data), dan analisis data (Stanley dalam Prahasta, 2005).
SIG (Gambar 1) merupakan sebuah
sistem yang saling serangkaian satu dengan yang lain. BAKOSURTANAL menjabarkan
SIG sebagai kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat
lunak, data geografi, dan personel yang didesain untuk memperoleh, menyimpan,
memperbaiki, memanipulasi, dan menampilkan semua bentuk informasi yang
bereferensi geografi. Dengan demikian, basis analisis dari SIG adalah data
spasial dalam bentuk digital yang diperoleh melalui data satelit atau data lain
terdigitasi. Analisis SIG memerlukan tenaga ahli sebagai interpreter, perangkat
keras komputer, dan software pendukung (Budiyanto, 2002).
|
Gambar 1. Pola keterkaiatan GIS
b. Sejarah Perkembangan GIS
Dalam rangka mendeteksi perubahan yang
terjadi di permukaan bumi diperlukan suatu teknik yang dapat mengidentifikasi
perubahan-perubahan atau fenomena melalui pengamatan pada berbagai waktu yang
berbeda. Menurut Singh (1989) salah satu data yang paling banyak digunakan
adalah data penginderaan jauh dari satelit yang dapat mendeteksi perubahan
karena peliputannya yang berulang-ulang dengan interval waktu yang pendek dan
terus menerus. Penginderaan jauh merupakan suatu teknik untuk mengumpulkan
informasi mengenai obyek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa sentuhan
fisik. Biasanya menghasilkan beberapa bentuk citra yang selanjutnya diproses
dan diinterpretasi untuk menghasilkan data yang bermanfaat untuk aplikasi
sesuai dengan kebutuhannya (Lo, 1996).
Sejak
SIG pertama kali hadir pada tahun 1960-an, terjadi perkembangan yang sangat
pesat di bidang perangkat lunak SIG baik yang berbasiskan data spasial vektor
maupun raster. Beberapa diantara sistem SIG ini dikembangkan dengan tujuan
eksperimental di lingkungan akademis di beberapa universitas. Sementara
sistem-sistem SIG yang lain sudah dikembangkan sebagai sistem yang benar-benar
operasional sebagaimana perangkat lunak aplikasi SIG pada saat ini. Tetapi
sayangnya, tidak sedikit dari sistem-sistem yang dikembangkan pada saat itu
tidak berfungsi secara penuh sebagai tools untuk analisis spasial. Sementara
pada kasus-kasus yang lain, sistem-sistem (khususnya SIG) tersebut masih sering
mengalami gangguan seperti ‘hang’ sehingga menyebabkan kemacetan atau kegagalan
dalam menjalankan fungsi-fungsinya (Prahasta, 2001).
Penggunaan
sistem informasi geografis meningkat tajam sejak tahun 1980-an. Peningkatan
pemakaian sistem ini terjadi di kalangan pemerintah, militer, akademis, atau
bisnis terutama di negara-negara maju. Perkembangan teknologi digital sangat
besar peranannya dalam perkembangan penggunaan SIG dalam berbagai bidang. Hal
ini dikarenakan teknologi SIG banyak mendasarkan pada teknologi digital ini
sebagai alat analisis (Budiyanto, 2002).
c. Cara Kerja SIG
SIG
dapat merepresentasikan dunia nyata di atas monitor sebagaimana lembaran peta
dapat memrepresentasikan dunia nyata di atas kertas. Tetapi, SIG memiliki
kekuatan lebih dan fleksibilitas dari pada lembaran peta kertas. Peta merupakan
representasi grafis dari dunia nyata; objek-objek yang direpresentasikan diatas
peta disebut unsur peta atau map features (contohnya adalah sungai, taman,
kebun, jalan, dan lain-lain). Karena peta mengorganisasikan unsur-unsur
berdasarkan lokasinya, peta sangat baik dalam memperlihatkan hubungan atau
relasi yang dimiliki oleh unsur-unsurnya.
SIG
menyimpan semua informasi deskriptif unsur-unsurnya sebagai atribut-atribut di
dalam basis data. Kemudian, SIG membentuk dan menyimpan dalam tabel
(relasional). Setelah itu, SIG menghubungkan unsur-unsur di atas dengan tabel-tabel bersangkutan,
dengan demikian, atribut-atribut ini dapat diakses melalui lokasi-lokasi
unsur-unsur peta, dan sebaliknya, unsur-unsur dapat dicari dan ditemukan
berdasarkan atribut-atributnya.
SIG
menghubungkan sekumpulan unsur-unsur peta dengan atribut-atributnya di dalam
satuan-satuan yang disebut layer. Sungai, bangunan, jalan, laut, batas-batas
administrasi, perkebunan, dan hutan merupakan contoh-contoh layer. Kumpulan
dari layer-layer ini akan membentuk basis data SIG. Dengan demikian,
perancangan basisdata merupakan hal yang esensial di dalam SIG. Rancangan
basisdata akan menentukan efektifitas dan efisiensi proses-proses masukan,
pengelolaan, dan keluaran SIG.
d. Peran Sistem Informasi
Geografis
Menurut
Bernhardsen (1992), dalam SIG terdapat berbagai peran dari berbagai unsur, baik
manusia sebagai tenaga ahli dan sekaligus operator, perangkat alat
(lunak/keras) maupun objek permasalahan. SIG adalah sebuah rangkaian sistem
yang memanfaatkan teknologi digital untuk melakukan analisis spasial. Sistem
ini memanfaatkan perangkat keras dan lunak komputer untuk melakukan pengolahan
data seperti perolehan dan verifikasi, kompilasi, penyimpanan, pembaruan dan
perubahan, manajemen dan pertukaran, manipulasi, penyajian, dan analisis.
Rustiadi et al. (1999)
mendefinisikan analisis spasial sebagai suatu kemampuan umum untuk memanipulasi
data spasial ke dalam bentuk-bentuk yang berbeda dan mengekstraksi pengertian
tambahan
D. Software
1. ArcView GIS
ArcView GIS mempunyai kemampuan yang handal dalam manajemen database
spasial dan tabular untuk melakukan analisis data bereferensi geografis. Saat
ini Arcview telah menjadi software Sistem Informasi Geografis ternama di dunia,
paling cepat mengalami perkembangan, dan paling banyak digunakan. Bukan saja
dipakai sebagai alat analisis dalam pengambilan keputusan terhadap
masalah-masalah pengelolaan sumberdaya alam, melainkan juga akhir-akhir ini
semakin banyak digunakan dalam pemecahan masalah ekonomi, kependudukan,
kesehatan, kriminal, pariwisata, pemerintah, dan sebagainya (Nuarsa, 2005).
Arc View merupakan salah satu perangkat lunak
pengolahan data spasial. Perangkat lunak ini memiliki berbagai keunggulan yang
dapat dimanfaatkan oleh kalangan pengolah data spasial. Arcview memiliki
kemampuan dalam pengolahan atau editing arc, menerima atau konversi dari data
digital lain seperti CAD, atau dihubungkan data image seperti format JPG, TIFF,
atau Image gerak.
Arc View memiliki kemampuan untuk melakukan input data
spasial (digitasi). Data hasil digitasi yang berasal dari proses input data
disimpan dalam sebuah Theme yang selanjutnya dapat diolah atau ditransfer ke
perangkat lunak lain untuk pengolahan lebih lanjut.
Sumber data dapat berasal dari perangkat lunak SIG
lain seperti Arc Info, atau perangkat lunak rancang bangun Auto CAD. Sumber
data yang akan dimasukkan kedalam sebuah proyek ArcView akan dianggap sebagai
sebuah Theme baru. Theme merupakan
serangkaian penampakan Geografi dalam sebuah View. Sebuah Theme sebaiknya hanya berisi satu macam tema data.
Misalnya, sebuah Theme berisi data
tentang peta dasar, jaringan jalan, jaringan sungai, bentuk lahan, penutup
lahan, dan lain-lain.
Arcview dalam operasi rutinnya secara default-membaca,
menggunakan dan mengolah data spasial dengan format yang disebut sebagai
Shapefile. Format yang dikembangkan dan dipublikasikan oleh ESRI digunakan
untuk menyimpan informasi-informasi atribut dan geometri non-topologi features
spasial di dalam sebuah kumpulan data. Geometri feature ini disimpan sebagai
shape yang terdiri dari sekumpulan koordinat-koordinat vektor (ESRI, 1997).
Shapefile dapat mendukung representasi sebagai features baik titik (point),
garis (line), maupun poligon (area). Setiap feature poligon direpresentasikan
sebagai loop tertutup. Data atribut disimpan dalam format perangkat lunak Database Management System (DBMS) Dbase.
Setiap record, memiliki relasi one to one terhadap feature data spasial yang
bersangkutan (Prahasta, 2002).
2. Microsoft Access
Microsoft
Access merupakan program aplikasi yang termasuk dalam kelompok Microsoft
Office. Microsoft Access merupakan suatu sistem Manajemen Database relasional
yang bisa mengatur, memilih dan melaporkan data dan informasi penting yang
diperlukan dengan bidang subjek yang berbeda ke dalam tabel-tabel sehingga
antara tabel yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan.
Microsoft
Access 2003 yang untuk selanjutnya disingkat Access 2003 merupakan pengembangan
dari Microsoft Access versi sebelumnya yang dikonsentrasikan agar program
aplikasi database ini mudah dipakai, fleksibel, mudah diintegrasikan dengan
program aplikasi Microsoft Office XP lainnya, dapat bekerja sama pada sistem
jaringan dengan lebih baik serta dapat memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang
terdapat pada internet dan atau intranet.
Tata
cara pengaktifan program Microsoft Access menuruti urutan yang telah ditetapkan
pada Microsoft Access, dengan memanfaatkan fasilitas tabel dan form yang ada di
dalam Microsoft Access.
III. PELAKSANAAN PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu
Penelitian
ini akan dilaksanakan di areal hutan Pedamaran Kayuagung Kabupaten Ogan
Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan. Analisis tanah dilakukan di
Laboratorium Kimia, Biologi, dan Kesuburan Tanah dan Laboratorium Fisika Tanah
Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Indralaya. Waktu
pelaksanaan penelitian akan dimulai awal September 2007 hingga Desember 2007.
B. Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ; 1)
bahan-bahan untuk pengambilan contoh tanah di lapangan, 2) contoh tanah, 3)
bahan-bahan kimia untuk analisis tanah di laboratorium.
Sedangkan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah
: 1) alat-alat survai dan pengambilan contoh tanah di lapangan, 2) alat-alat
fisika tanah untuk analisis tanah di laboratorium, 3) alat-alat laboratorium
untuk analisis contoh tanah,
dan 4) komputer yang mampu bekerja
dengan program Microsoft Access, Arc View 3.3.
C. Metode Penelitian
Metode pengumpulan data
mencakup koordinasi dan konsultasi dengan instansi terkait, metode sampling
survai dan wawancara untuk mendapatkan data sekunder dan data primer yang
menjadi output. Satuan contoh ditentukan dengan metode purposive sampling yaitu
berdasarkan pada keperluan serta tujuan pembuatan peta dan analisis lahan yang
nantinya memungkinkan untuk digunakan pada setiap lahan. Untuk mendapatkan
unsur keterwakilan data tiap-tiap lahan, maka sample ditempatkan di setiap
lahan yang diambil sampel tanah nya.
Data primer dan sekunder yang
didapatkan dari kegiatan lapangan dimasukkan(entry) ke dalam Microsoft Access 2003 dan Arc View. Hasil dari verifikasi lapangan ini digunakan untuk membuat
klasifikasi ulang, guna mendapatkan database informasi lahan. Seluruh data yang
disajikan dalam bentuk skripsi. Bagan alir Kegiatan Sistem Informasi Lahan Rawa
Gambut Produksi Pedamaran Kayuagung Kabupaten Ogan Komering Ilir disajikan pada
Gambar 2.
|
D. Cara Kerja
Dalam pelaksanaan penelitian
dilakukan melalui empat tahap yaitu :
1. Sebelum Pekerjaan Lapangan
Kegiatan pengumpulan data dan informasi memerlukan
instrumen yang sangat penting berupa studi pustaka, kuesioner dan pedoman
wawancara (interview guide).
Kuesioner diperlukan untuk pengumpulan data yang dilakukan melalui survai dan
pengukuran. Sedangkan pedoman wawancara digunakan untuk mendapatkan informasi
dari instansi terkait maupun informasi dari kelompok masyarakat.
Sebelum dilaksanakan survai lapangan, terlebih dulu
dilakukan analisis citra satelit untuk mendapatkan peta penutupan lahan
misalnya hutan, perkebunan, sawah, ladang, semak belukar, pemukiman dan lahan
kosong. Kemudian dilakukan pengecekan lapangan untuk menentukan penutupan lahan
yang sebenarnya.
Selain data dari citra satelit, diperlukan juga data-data
pendukung lain seperti peta administrasi, peta land system, peta topografi dan data lain yang dapat diperoleh dari
Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Kehutanan, Bappeda Kabupaten dan Biro
Pusat Statistik.
2. Kegiatan di Lapangan
a. Survai Pendahuluan
Sebelum
melakukan survai utama, perlu dilakukan survai pendahuluan yang bertujuan untuk
untuk mengetahui kondisi umum lokasi
penelitian, meliputi kegiatan :
1.
Meninjau daerah survai untuk mendapatkan gambaran menyeluruh
tentang kondisi lapangan.
2.
Mempelajari batas-batas yang dijadikan lokasi penelitian.
3.
Penentuan tempat pengambilan contoh tanah.
b. Survai Utama
Survai utama dilakukan mulai bulan September 2007, yaitu
kegiatan pengambilan data primer pada setiap lahan yang telah ditentukan. Data
primer yaitu data yang diambil langsung dari lapangan berupa ground chek penutupan lahan hasil dari
analisis citra satelit. Data lain yang diambil untuk keperluan mendukung
analisis kesesuaian lahan berupa data fisik lapangan.
Untuk keperluan analisis sifat kimia tanah maka
pengambilan contoh tanah dilakukan dengan metode contoh tanah tidak utuh yaitu
menggunakan bor tanah, sedangkan untuk sifat fisika pengambilan contoh tanah
dilakukan dengan ring tanah untuk mendapatkan contoh tanah utuh.
Kelengkapan data fisik lapangan tersebut di atas,
dilakukan juga wawancara atau tanya jawab dengan masyarakat maupun
petugas-petugas di intansi terkait. Untuk pertimbangan efektivitas dan
efisiensi dalam pengambilan data di lapangan maka kuesioner disusun sesederhana
mungkin dan dapat digunakan semudah mungkin. Kuisioner ini berisi
pertanyaan-pertanyaan yang diperlukan untuk menjaring informasi di lokasi. Di
samping itu daftar pertanyaan dalam kuisioner juga akan berisi pertanyaan yang
sangat berguna untuk verifikasi data dari sumber lain.
3. Kegiatan di Laboratorium
Kegiatan laboratorium yaitu menganalisis sifat kimia
tanah di Laboratorium Kimia, Biologi, dan Kesuburan Tanah, sedangkan analisis
sifat fisika tanah di Laboratorium Fisika Tanah Jurusan Tanah Fakultas
Pertanian Universitas Sriwijaya Indralaya.
4. Pengolahan Data
Data-data yang berhasil dikumpulkan akan dianalisis dengan
menggunakan beberapa software yaitu Ms.Excel (pengolah data numerik), Ms.Access
(pengolah database), ArcInfo, ArcView
(pengolah peta dan citra). Analisis citra landsat TM dengan menggunakan
software Arcview dilakukan untuk mendapatkan gambaran penutupan lahan seluruh
wilayah. Analisis ini dilakukan dengan mengelompokkan nilai-nilai pixel dalam
kisaran tertentu ke dalam beberapa kelas penutupan lahan. Metode klasifikasi
yang digunakan adalah metode klasifikasi terbimbing yaitu mengelompokkan citra
ke dalam beberapa kelas penutupan lahan dengan mengacu pada peta dasar, dan
kemudian melakukan verifikasi lapangan untuk masing-masing penutupan lahan
tersebut.
Data yang dimasukkkan ke dalam Ms. Access digunakan
sebagai database informasi lahan hutan rawa gambut hutan produsi pedamaran Kayu
Agung.
Hasil kegiatan ini antara lain
menilai kesesuaian lahan pada beberapa lahan yang berbatasan langsung dengan
hutan aslinya. Masyarakat akan mendapatkan informasi karakteristik lahan dan
akan lebih giat memanfaatkan lahan daripada tergantung pada hutan.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kegiatan Karakteristik Gambut
No.
|
Sampel
Tanah Gambut
|
Kedalaman
(cm)
|
Vegetasi
|
Kemasaman
(pH)
|
1.
|
1
|
0 – 100
300 – 400
|
Purun tikus
|
3,67
3,61
|
2.
|
4
|
0 – 100
200 – 300
|
Purun tikus, Pakis,
tumbuhan semak
|
3,74
3,38
|
3.
|
6
|
0 – 100
400 – 500
|
Perpat, purun
tikus, tumbuhan semak, Pakis
|
3,59
3,51
|
4.
|
9
|
0 – 100
400 – 500
|
Purun tikus, Pakis,
tumbuhan semak
|
3,43
3,75
|
pH,
Dari hasil analisis tanah, terlihat bahwa tanah gambut bereaksi sangat
masam baik pada lapisan atas maupun lapisan bawahnya. Menurut
Jones (1984), nilai pH rendah itu disebabkan oleh
asam-asam organik, pirit (senyawa sulfur), dan ion hidrogen dapat ditukar (H-dd) yang tinggi terkandung dalam tanah
gambut. Menurut Buckman dan Brady (1982),
secara umum kompleks koloid gambut dipengaruhi oleh hidrogen yang menyebabkan pH tanah gambut lebih rendah
daripada tanah mineral.
No.
|
Sampel
Tanah Gambut
|
Kedalaman
(cm)
|
Kemasaman
(pH)
|
C-Organik
(%)
|
N-Total
(%)
|
1.
|
1
|
0 – 100
300 – 400
|
3,67
3,61
|
35,59
31,48
|
0,73
0,69
|
2.
|
4
|
0 – 100
200 – 300
|
3,74
3,38
|
27,96
26,12
|
0,76
0,67
|
3.
|
6
|
0 – 100
400 – 500
|
3,59
3,51
|
32,75
32,01
|
0,76
0,73
|
4.
|
9
|
0 – 100
400 – 500
|
3,43
3,75
|
36,06
30,91
|
0,79
0,58
|
C-Organik, dari hasil analisis
contoh tanah dan berdasarkan kriteria penilaian sifat kimia tanah PPT (1983) menunjukkan kandungan C-organik yang
sangat tinggi. Tingginya kandungan C-organik menunjukkan akumulasi bahan
organik yang tinggi (seresah). Terlihat
dari data hasil analisis, tanah bagian atas memiliki kandungan C-organik yang
lebih tinggi dibandingkan dengan tanah bagian bawahnya. Hal ini dilkarenakan
tanah bagian atas telah terdekomposisi lebih lanjut dari tanah di bawahnya,
karena terjadi pengeringan setiap musim kemarau terutama pada kemarau panjang.
N-total,
Hasil analisis contoh tanah menunjukkan kadar N-total (%) termasuk dalam
kriteria tinggi hingga sangat
tinggi. Sumber Nitrogen yang utama adalah bahan organi, Nitrogen dalam
tanah berasal dari bahan organik tanah (Hardjowigeno, 1995). Dari hasil
analisis yang diperoleh terlihat bahwa kandungan N-total pada tanah lapisan
atas lebih tinggi dari tanah lapisan bawahnya. Lebih rendahnya kandungan
N-total pada lapisan bawah gambut dikarenakan keadaan yang selalu jenuh air.
No.
|
Sampel
Tanah Gambut
|
Kedalaman
(cm)
|
Na
(me/100 g)
|
Ec
(mhos)
|
1.
|
1
|
0 – 100
300 – 400
|
0,44
0,33
|
0,810
1,090
|
2.
|
4
|
0 – 100
200 – 300
|
0,33
0.44
|
0,890
1,710
|
3.
|
6
|
0 – 100
400 – 500
|
0,33
0,55
|
1,350
1,260
|
4.
|
9
|
0 – 100
400 – 500
|
0,44
0,55
|
1,140
1.410
|
Na, Kadar Na
berkisar antara kriteria rendah sampai
sedang.
Ec, Berdasarkan hasil analisis contoh tanah lokasi penelitian
termasuk dalam topologi salin ringan
(<1) hingga sedang (1-4)
Na, Kadar Na berkisar antara kriteria rendah sampai sedang. Ec, Berdasarkan hasil analisis contoh
tanah lokasi penelitian termasuk dalam topologi salin ringan (<1) hingga sedang (1-4).
Pirit, pada lokasi penelitian reaksi
tanah terhadap peroksida sangat cepat ini menunjukkan kadar pirit yang
tergolong tinggi (potensi sulfat)
terdapat pada lapisan tanah mineral di bawah gambut. Tanah mineral di bawah
gambut memiliki tekstur liat dengan warna 5G 6/2.
No.
|
Sampel
Tanah Gambut
|
Kedalaman
(cm)
|
C-Organik
(%)
|
BO
(%)
|
||
1.
|
1
|
0 – 100
300 – 400
|
35,59
31,48
|
|
||
2.
|
4
|
0 – 100
200 – 300
|
27,96
26,12
|
|
||
3.
|
6
|
0 – 100
400 – 500
|
32,75
32,01
|
|
||
4.
|
9
|
0 – 100
400 – 500
|
36,06
30,91
|
|
No.
|
Sampel
Tanah Gambut
|
Kedalaman
(cm)
|
Kadar Abu
(%)
|
BO
(%)
|
|
||
1.
|
1
|
0 – 100
300 – 400
|
5,86
5,43
|
|
|
||
2.
|
4
|
0 – 100
200 – 300
|
7,59
5,39
|
|
|
||
3.
|
6
|
0 – 100
400 – 500
|
5,51
5,72
|
|
|
||
4.
|
9
|
0 – 100
400 – 500
|
6,22
4,09
|
|
|
Abu (%), Dari data analisis tanah, terlihat bahwa kadar abu
tergolong rendah. Hal ini menunjukkan tanah gambut pada lokasi penelitian
tergolong gambut dalam dengan tingkat pelapukan yang belum lanjut. Kadar abu
gambut yang belum terganggu tergolong rendah, peningkatan intensitas pertanian
dapat meningkatkan kadar abu seiring dengan meningkatnya mineralisasi tanah,
(Noor, 2001).
No.
|
Sampel
Tanah Gambut
|
Ketebalan Gambut
(cm)
|
Genangan
(cm)
|
Tingkat Kematangan
|
Warna tanah
|
1.
|
1
|
400
|
-15
|
Hemik
Fibik
|
10YR 3/1
10YR 3/2
|
2.
|
2
|
300
|
-20
|
Hemik
Fibik
|
10YR 3/1
10YR 3/2
|
3.
|
3
|
150
|
0
|
Hemik
Hemik
|
10YR 3/1
10YR 3/2
|
4.
|
4
|
300
|
-30
|
Hemik
Hemik
|
10YR 2/1
10YR 3/1
|
5.
|
5
|
500
|
- 50
|
Hemik
Fibik
|
10YR 3/1
10YR 3/2
|
6.
|
6
|
>500
|
-50
|
Hemik
Hemik
|
10YR 3/1
10YR 3/2
|
7.
|
7
|
>500
|
-50
|
Hemik
Fibik
|
10YR 3/1
10YR 3/2
|
8.
|
8
|
>500
|
-10
|
Hemik
Fibik
|
10YR 3/1
10YR 3/2
|
9.
|
9
|
>500
|
-5
|
Hemik
Fibrik
|
10YR 2/1
10YR 3/3
|
10.
|
10
|
>500
|
-5
|
Hemik
Hemik
|
10YR 3/1
10YR 3/2
|
Berdasarkan
hasil pengamatan di lapangan, ketebalan gambut pada lokasi penelitian berkisar
dari gambut tengahan hingga sangat dalam. Gambut terdalam pada titik pengamatan
6,7,8,9, dan 10 (lebih dari 5 m). Gambut tengahan terdapat pada titik
pengamatan 3, gambut dalam terdapat pada titik pengamatan 2 dan 4, dan gambut
sangat dalam berada pada titik pengamatan 1,5,6,7,8,9, dan 10.
Rawa, lokasi penelitian termasuk lahan
rawa lebak tengahan. Tinggi genangan dapat mencapai lebih dari 100cm pada saan
nusim hujan. Nanun pada saat pengamatan dilakukan permukaan air tanah di bawah
permukaan gambut, hal ini dikarenakaan musim kemarau.
Warna, warna gambut lapisan atas lebih
gelap dari lapisan bawahnya hal ini dikarenakan bagian atas gambut lebih
terdekomposisi, dan sebagian lokasi pengamatan telah terbakar.
Kriteia Penilaian Sifat Kimia Tanah
Sifat tanah
|
SR
|
R
|
S
|
T
|
ST
|
|
C-organik (%)
N-total (%)
Nisbah C/N
P2O5-Bray (µg g-1)
KTK (cmol (+) kg-1)
K-dd (cmol (+) kg-1)
Na-dd (cmol (+) kg-1)
Mg-dd (cmol (+) kg-1)
Ca-dd (cmol (+) kg-1)
Kejenuhan basa (%)
Kejenuhan Al (%)
|
<1,00
<0,1
<5
<10
<5
<0,1
<0,1
<0,4
<2
<20
<5
|
1,00-2,00
0,1-0,2
5-10
10-15
5-16
0,1-0,3
0,1-0,3
0,4-1,0
2-5
20-35
5-50
|
2,01-3,00
0,21-0,50
11-15
16-25
17-24
0,4-0,5
0,4-0,7
1,1-2,0
6-10
36-50
21-30
|
3,01-5,00
0,51-0,75
16-25
26-35
25-40
0,6-1,0
0,8-1,0
2,1-8,0
11-20
51-70
31-60
|
>5,00
>0,75
>25
>35
>40
>1,00
>1,00
>8,00
>20
>70
>60
|
|
pH – H2O
|
SM
|
M
|
AM
|
N
|
AB
|
B
|
<4,5
|
4,5-5,5
|
5,6-6,5
|
6,6-7,5
|
7,6-8,5
|
>8,5
|
Keterangan
: SM = Sangat Masam M =
Masam
AM =
Agak Masam N =
Netral
AB =
Agak Basa B =
Basa
SR =
Sangat Rendah R =
Rendah
ST =
Sangat Tinggi S =
Sedang
T =
Tinggi
Sumber
: Pusat Penelitian Tanah, 1983.
A. Sifat
Fisik Tanah yang dinilai
Menurut CSR/FAO Staff (1983), sifat
fisik tanah yang dinilai adalah kelas drainase, kedalaman efektif tanah, dan
tekstur tanah. Sifat fisik tanah ini berpengaruh terhadap kondisi perakaran.
1. Kelas
Drainase
Berdasarkan hasil pengamatan di
lapangan, pada lokasi penelitian semuanya memiliki kelas draenase tanah yang
tergolong baik. Hal ini dapat dilihat dari semua titik pengamatan tidak
ditemukannya adanya lahan yang tergenagang. Menurut CSR/FAO Staff (1983),
kriteria tingkat kesesuaian lahan untuk tanaman karet pada lokasi penelitian
tergolong S1 (sangat sesuai).
2. Kedalaman
Efektif Tanah
Dari hasil pengamatan di lapangan
kedalaman efektif tanah pada lokasi penelitian adalah 150 cm. Hal ini diketahui dengan ditemukanya lapisan krokos
pada kedalaman 150 cm. Dengan adanya lapisan krokos, maka akar tanaman sukar
untuk menembus lapisan ini sehingga lapisan krokos merupakan salah satu faktor
pembatas kedalaman efektif tanah.
Berdasarkan kriteria penilaian
tingkat kesesuaian lahan untuk tanaman karet menurut CSR/FAO Staff (1983)
kedalaman efektif tanah pada lokasi penelitian adalah tergolong S2 (cukup
sesuai).
3. Tekstur
Tanah
Tekstur
tanah pada lokasi penelitian adalah lempung berpasir dan lempung liat berpasir,
tetapi didominasi oleh lempung berpasir. Dari hasil analisis laboratorium,
diketahui bahwa pada titik T1, T5, T8, T13,
T21, T23, T26 dan T29 memiliki
tekstur tanah lempung berpasir sedangkan pada titik T11 dan T15
memiliki tekstur tanah lempung liat berpasir. Berdasarkan kriteria penilaian tingkat kesesuaian lahan
untuk tanaman karet menurut CSR/FAO Staff (1983) tektur tanah pada lokasi
penelitian adalah tergolong S1 (sangat sesuai).
Tabel….Data Hasil Analisis Sifat Fisik Tanah Lokasi Penelitian
Kode
|
Kelas Tekstur
|
Kelas Draenase
|
Kedalaman
Efektif (cm)
|
T1
T5
T8
T11
T13
T15
T21
T23
T26
T29
|
Lempung
Berpasir
Lempung
Berpasir
Lempung Berpasir
Lempung
Liat Berpasir
Lempung Berpasir
Lempung
Liat Berpasir
Lempung
Berpasir
Lempung
Berpasir
Lempung Berpasir
Lempung Berpasir
|
Baik
Baik
Baik
baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
|
150
150
150
150
150
150
150
150
150
150
|
B. Sifat
Kimia Tanah yang dinilai
Sifat kimia
tanah yang dinilai adalah meliputi retensi hara (pH dan KTK) dan ketersediaan
hara (N, P2O5, dan K2O).
1. Retensi
unsur hara (pH dan KTK)
Dari hasil analisis di laboratorium,
pH tanah pada lokasi penelitian adalah berkisar antara 4,34 – 5,44. Berdasarkan
kriteria penilaian tingkat kesesuaian lahan untuk tanaman karet menurut CSR/FAO
Staff (1983), pH tanah pada lokasi penelitian adalah tergolong S1 (sangat
sesuai).
Nilai KTK pada lokasi penelitian
tergolong dalam kategori rendah yaitu antara 13,05 – 16, 31 cmol(+)kg-1.
Rendahnya nilai KTK pada lokasi penelitian , diduga karena kadar liat pada
tanah yang rendah. Nilai KTK tanah tertinggi pada lokasi penelitian ditemukan
pada sampel tanah T11 dengan tekstur tanah lempung liat berpasir dan
nilai KTK terendah adalah pada titik T26.
Berdasarkan kriteria penilaian tingkat kesesuaian lahan
untuk tanaman karet menurut CSR/FAO Staff (1983) KTK tanah pada titik T11
tergolong dalam tingkat kesesuaian kelas S1, sedangkan untuk titik pengamatan
yang lain tergolong S2 (cukup sesuai).
2. Ketersediaan
hara N, P, dan K.
1. N-total
Dari hasil analisis laboratorium, diperoleh nilai N-total pada lokasi
penelitian tergolong rendah sampai sedang, yaitu berkisar antara 0,15 % –
0,29%. Berdasarkan kriteria kesesuaiaan lahan CSR/FAO (1983) tiik T1,
T5, T8, T13, T23, dan T26
yang memiliki nilai N-total sedang tergolong kelas kesesuaian S1 (sangat
sesuai) sedangkan titik T11, T15, T21 dan T29
yang memiliki kandungan N-total rendah tergolong kelas kesesuiaian S2 (cukup
sesuai) untuk tanaman karet.
2. P-tersedia
Berdasarkan hasil analisis laboratorium, kandungan P2O5
dalam tanah pada lokasi penelitian berkisar antara 3,67 sampai 93,04 ug g-1.
dengan demikian, kandungan P2O5 pada lokasi penelitian
tergolong sangat rendah sampai sangat tinggi. Berdasarkan kriteria kesesuaian
lahan CSR/FAO (1983) untuk tanaman karet , pada lokasi penelitian yang diwakili
oleh titik T1,T5, T8, T26 dan T29
memiliki kandungan P-tersedia tergolong kelas kesesuaian N (tidak sesuai),
titik T13 dan T21 memiliki kandungan P-tersedia rendah
tergolong kelas kesesuaian S3 (kurang sesuai), titik T11 memiliki
kandungan P-tersedia sedang tergolong kelas kesesuaian S2 (cukup sesuai)
sedangkan untuk titik T15 dan T23 memiliki kandungan
P-tersedia sangat tinggi tergolong kelas kesesuaian S1 (sangat sesuai).
Dari data yang diperoleh tingkat
kesesuaian lahan pada lokasi penelitian untuk kandungan tersedia sangat
bervariasi yaitu dari N (tidak sesuai) sampai (sangat sesuai).
- K-tersedia
Kandungan K2O dilokasi penelitian
tergolong rendah sampai tinggi, dengan kisasaran 0,29 sampai 0,99 cmol(+)kg-1. Berdasarkan kriteria kesesuaian lahan
CSR/FAO (1983) untuk tanaman karet, kandungan K2O pada lokasi penelitian
tergolong kelas kesesuaian S1 (sangat sesuai).
Tabel....Hasil Analisis sifat
kimia pada lokasi penelitian.
Kode
sampel
|
N – Total
(%)
|
P2O5- Bray
(µg g-1)
|
K2O
(Cmol(+) Kg-1)
|
KTK
(Cmol(+) Kg-1)
|
pH
|
|
|
|
T1
T5
T8
T11
T13
T15
T21
T23
T26
T29
|
0,24 (S)
0,29 (S)
0,27 (S)
0,16 (R)
0,23 (S)
0,18 (R)
0,19 (R)
0,21 (S)
0,21 (S)
0,15 (R)
|
5,15 (SR)
9,62 (SR)
3,67 (R)
16,03 (S)
14,42 (R)
61,83 (ST)
11,34 (R)
93,09 (ST)
8,93 (SR)
9,62 (SR)
|
0,42 (T)
0,29 (R)
0,42 (T)
0,57 (T)
0,42 (R)
0,99 (T)
0,57 (T)
0,42 (T)
0,29 (R)
0,57 (T)
|
15,23 (R)
13,05 (R)
14,14 (R)
16,31 (S)
14,14 (R)
15,23 (R)
15,23 (R)
12,18 (R)
11,31 (R)
14,14 (R)
|
4,99
(M)
4,94
(M)
4,93
(M)
4,34 (SM)
4,77
(M)
5,44 (SM)
4,96
(M)
5,03
(M)
5,10
(M)
4,87
(M)
|
|
|
|
Sumber
: Laboratorium Kimia Tanah, Jurusan Tanah Fakultas Pertanian UNSRI, 2007
Keterangan :
SM = Sangat masam
M =
Masam
SR =
Sangat rendah
T =
Tinggi
S =
Sedang
R =
Rendah
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2007.
(http://www.kalteng.go.id/indo/kehutanan_potensi.htm). Diakses tanggal
25 Mei 2007
Arief,
Arifin. 2001. Hutan & Kehutanan. Kanisius, Yogyakarta.
Arief, Arifin. 1994. Hutan : Hakikat dan Pengaruhnya terhadap
Lingkungan. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Armanto, M. E., M. S. Imanudin., dan I. Naning. 1998. Evaluasi Dampak
Reklamasi Rawa Lebak Terhadap Kemerosotan Produksi Padi di Kabupaten OKI.
Seminar Workshop Proceeding on Setting the Action Plants for Revitalization of
the South Sumatera Province. Indralaya, 26-27 Oktober 1998.
Bernhardsen,
Tor. 1992. Geographics Information Systems. Viak IT, Norway.
Budiyanto, Eko. 2002. Sistem Informasi Geografis Menggunakan ArcView
GIS. Penerbit Andi, Yogyakarta.
Chokkalingam, U. , Suyanto. 2004 Kebakaran, mata pencaharian, dan
kerusakan lingkungan pada lahan basah di Indonesia : lingkaran yang tiada
berujung pangkal.. Fire Brief. No. 4. CIFOR, Bogor, Indonesia.
Djafar , Z.R. 1992. Potensi Lahan Lebak Mencapai dan Pelestarian
Swasembada Pangan. Dalam Makalah
Seminar Nasional Pemanfaatan Potensi Lahan Rawa untuk Pencapaian dan
Pelestarian Swasembada Pangan. Fakultas
Pertanian Universitas Sriwijaya, Palembang.
Departemen Pertanian. 2005. Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Lebak
Melalui Penguatan Sistem Kelembagaan dan Infrastruktur Pendukung Dalam Rangka
Penyangga Produksi Tanaman Pangan, Jakarta.
Departemen Kehutanan. 2007. Dephut Alokasikan Lahan Hutan 5,4 Juta
Hektar Untuk Usaha Hutan Tanaman Rakyat,
(ttp://www.indonesia.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=3152&Itemid=694)
diakses tanggal 25 Mei 2007.
ESRI. 1997. ESRI Shapefile : A Technical Description.An ESRI White
Paper, May 1997.
Hanafiah, K.
A. 1992.
Intervensi dan Adaptasi Budidaya dalam Ameliorasi Lahan Rawa untuk
Pertanian. Dalam : Prosiding Seminar
Nasional Pemanfaatan Lahan Rawa untuk Pencapaian dan Pelestarian Swasembada
Pangan. Fakultas Pertanian. Universitas Sriwijaya, Palembang.
Lo, C. P. 1996. Penginderaan Jauh Terapan. Terjemahan: Purbowaseso, B. UI Press, Jakarta.
Lopez, C. Dan Shanley. 2005.
Kekayaan Hutan Asia. Makanan, rempah-rempah, kerajinan tangan dan
resin. PT Gramedia Pustaka Utama.
Noor, Muhammad. 2004. Lahan Rawa : Sifat dan Pengelolaan tanah
bermasalah sulfat masam. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Nuarsa, I Wayan. 2005. Menganalisis Data Spasial dengan ArcView GIS
3.3 untuk Pemula. Elex Media Komputindo, Jakarta.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 2000. Kriteria Kesesuain Lahan
untuk Komoditas Pertanian. Badan
Penelitian Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor.
Prahasta, Eddy. 2005. Sistem Informasi Geografis:Tutorial ArcView.
Informatika Bandung, Bandung.
Prahasta, Eddy. 2001. Konsep-konsep dasar sistem informasi geografis.
Informatika Bandung, Bandung.
Radjagukguk, B. 1990. Prospek pengelolaan tanah-tanah gambut untuk
perluasan lahan pertanian. Seminar Nasional Tanah-tanah bermasalah di Indonesia
KMIT Fakultas Pertanian UNS Surakarta 15 Oktober 1990, Surakarta.
Rismundar, T. 2001. Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Menciptakan
Pembangunan Berwawasan Lingkungan.
Makalah Falsafah Sains. Juni 2001. Institut pertanian Bogor. Program Pasca
Sarjana (S3).
Rustiadi, E., K. Mizuno
and S. Kobayashi. 1999. Measuring Spatial
Pattern of Suburbanization Process. Journal of Rural Planning
Association 18 (1):31-41
Singh, A. 1989. Review
Article. Digital Change Detection Techniques
Using Remotely-sensed Data. International Journal Remote Sensing. 10 (6):
989-1003.
Siswanto, Agus B., Candradinata, S., Lilih M, dan Nata S. 2006. Karakteristik
dan Penyebaran Lahan Gambut di Indonesia. Climate Change, Forests, and
Peatlands in Indonesia. Wetlands International.
Soepraptohardjo, M. 1961a. Klasifikasi Tanah Kategori Tinggi. Kong.
Nas. Ilmu Tanah I, Bogor.
Soepraptohardjo, M. 1961b. Jenis Tanah di Indonesia. Mimeograph 25
hlm. Lembaga Penyelidikan Tanah, Bogor.
Soil Survey Staff, 1975. Soil Taxonomy. A Basic System for Making
Interpreting Soil Surveys. USDA-SCS Agric. Handb. 436.
Subagyono H. Suharta N., dan Siswanto A.B. 2000. Tanah-Tanah pertanian
di Indonesia. Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Hal 21 – 61.
Puslittanak. Badan Litbang Pertanian, Bogor.
Soepraptohardjo, M. and P.M. Dreissen. 1976. The lowland and peat of
Indonesia, a challange for the future. In Peat and Podsolic and Their Potential
fof Agriculture in Indonesia. Bull. Soil Res., Bogor, 3:11-19.
Subagjo dan
M. Soepraptohardjo. 1978. Beberapa Catatan Kecil Tentang Potensi/Aspek Tanah
Daerah Lebak/Rawa di Sumatera Selatan. Makalah Pada Simposium Pemanfaatan
Potensi Daerah Lebak, Palembang.
Subagjo, H.,
D. Suharta, dan A.B. Siswanto. 2000. Sumberdaya Lahan Indonesia. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Subagjo, H. 2002. Penyebaran dan Potensi Tanah Gambut di Indonesia
untuk Pengembangan Pertanian.Technical Report 41.02. Wetlands
International-Indonesia Programme, Wildlife Habitat, Bogor.
Subagyono. K, Vadari T., dan Widjaja-Adhi I.P.G. 1997. Strategi
Pengelolaan Air dan Tanah pada Lahan Rawa pasang Surut : Prospek dan Kendala.
Makalah disampaikan pada Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian
Tanah dan Agroklimatm Tanggal 4 s/d 6 Maret.
Suparmoko. 1989. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Pusat Antar
Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Yogyakarta.
WALHI, 2007. Hentikan Perluasan dan Pembangunan HTI Baru di Indonesia.
(http://www.walhi.or.id/kampanye/hutan/konversi/070307_hti_li/)
diakses tanggal 25 Mei 2007.
Waluyo, Suparwoto, A. Suzana, Muzhar, R. Dewi, I. W. Supartha, T. Arief, Z.
Arifin, M. Syarief, dan Suhendi.
1997. Pengkajian Model Sistem
Usahatani di Lahan Lebak Kayu Agung Sumatera Selatan. Loka Pengkajian Teknologi Pertanian
Puntikayu. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian
Sumatera Selatan, Palembang.
Widjaja, Adhi, I P.G. 1984. Masalah Tanaman Di Tanah Gambut. Prosiding
Pertemuan Teknis Penelitian Pola Usahatani Menunjang Transmigrasi. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Widjaya, Adhi, I. P. G.
1988. Physical and chemical characteristics of peat soils of Indonesia. IARDJ 10 (3) : 59 – 64.
Worrel, A.C. 1970. Principle of Forest Policy. McGraw Hill Book
Company, New York.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Kabupaten Ogan
Komering Ilir
0 komentar:
Post a Comment