PENGARUH NEOPLATONISME DALAM
WAĤDATUL
WUJŪD IBNU ‘ARABI
SKRIPSI
Diajukan kepada
Fakultas Ushuluddin
Institut Agama
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Untuk memenuhi
sebagian syarat memperoleh Gelar
Sarjana Filsafat
Islam
Oleh
:
Siti
Robi’ah
NIM
: 98512629
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2004
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dalam Islam, sufisme memberi makna isoteris yang melandasi formalisme.
Mengkaji tasawuf berarti mempelajari dimensi-dimensi isoterik dari sebuah
bangunan kepercayaan, sehingga sebuah agama (Islam) dapat dipandang secara utuh
dan universal, bukan sekedar dogma-dogma yang mengukung tanpa makna. Apabila
Islam dipisahkan dari aspek ini, maka hanya menjadi kerangka formal. Ibaratnya
apabila kerangka tersebut tidak dibalut dengan daging dan kemudian dihidupkan
sesungguhnya keindahan Islam tidak akan pernah ditemukan.
Tasawuf seperti halnya sebuah mata air yang mengalir terus menerus yang
berasal dari alam dan menjadi sumber untuk memenuhi segala kebutuhan hidup
sekaligus sebagai obyek pengkajian dan penelitian yang tidak akan pernah
berakhir, meskipun pada setiap masa, tuntutan yang ditujukan padanya nampak
dalam kerangka yang berbeda-beda. Dalam ranah aktivitas intelektual, pembahasan
tasawuf dapat dikatakan cukup meriah dari waktu ke waktu. Bahkan saat ini
pembicaraan mengenai nilai-nilai spiritual dianggap sangat urgen dan mendesak
untuk dikaji. Hal ini mungkin suatu keniscayaan yang terjadi sebagai reaksi
dari arus perkembangan zaman, yang membawa manusia pada peradaban yang dirasa
semakin kehilangan orientasi keilahiannya.
Memang, dalam satu sisi manusia boleh bangga, usahanya yang terus menerus
untuk mencapai kesempurnaan alamiahnya dalam ilmu pengetahuan dan kebudayaan
sudah pada titik keberhasilan. Dunia modern menciptakan keajaiban-keajaiban
yang mencengangkan. Dengan pesatnya perkembangan teknologi, kemudahan-kemudahan
dalam berbagai aspek kehidupan dapat tercapai. Dalam era globasisasi ini terdapat
– meminjam istilahnya Dimitri Mahayana[1]
– ledakan-ledakan yang luar biasa yaitu : ledakan besar komunikasi (communication
big bang), ledakan besar informasi (information big bang), ledakan
besar pengetahuan (knowledge big bang) dan ledakan besar manajemen (management
big bang). Ledakan di sini dalam arti suatu loncatan kemajuan yang amat
besar yang berhasil diciptakan oleh manusia. Big bang-big bang inilah yang
mengantarkan manusia pada puncak kesempurnaan peradabannya.
Pada era tanpa batas ini, kita bisa menguji keberhasilan manusia dengan
melontarkan satu pertanyaan, apa yang tidak dapat diperbuat manusia saat ini?
Kita bisa menengok ke belakang ke jaman dahulu kala untuk menjawab pertanyaan
itu sebelum kemudian membandingkannya dengan saat ini. Beberapa abad yang lalu
dapat dibayangkan betapa manusia hidup dalam ruang yang sangat terbatas. Dunia
terasa amat luas tanpa terjangkau oleh pikiran maupun indera. Manusia tidak
mengenal apa-apa kecuali lingkungan yang sangat sempit, masyarakat yang satu, yaitu
yang melahirkannya sekaligus tempat kematiannya. Kini jaman telah berubah,
sejak terjadinya gelombang pencerahan pada abad 18 dan revolusi industri di
Inggris, manusia mulai menggunakan akalnya dan muncullah temuan-temuan
teknologi yang merubah seluruh sendi kehidupan.
Yang mengagumkan adalah manusia sudah mampu membuat miniatur dunia dengan
segala perniknya dalam sebuah layar komputer dan internet. Internet merupakan
sebuah lambang kesempurnaan kehidupan manusia. Di dalamnya mampu mencakup
segala aspek yang berkaitan dengan kebutuhan manusia mulai dari hiburan,
informasi, komunikasi dan bisnis.
Internet membuat dunia begitu kecil, begitu global menuju arah yang
disamping positif juga negatif. Bahkan amat mengerikan yakni kebebasan tanpa
batas. Dunia yang global memunculkan persoalan-persoalan yang rumit jika
dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat kodrati seperti etika moral dan
spiritual.
Itu hanyalah sekelumit gambaran tentang bagaimana manusia dengan
memanfaatkan akal pikirannya, disatu sisi mencapai keberhasilan dan sekaligus
dalam waktu yang sama secara perlahan manusia kehilangan dimensi keilahiannya.
Menurut Fromm dalam bukunya Revolution of Hope, masyarakat tidak lebih
dari sebuah mesin otomatis dan manusia sebagai onderdil-onderdilnya menjadi bagian
dari mesin besar peradaban dan teknologi.[2]
Pada mulanya manusia yang menciptakan teknologi demi kebutuhan-kebutuhannya
tetapi kemudian manusialah yang akhirnya menjadi budak dari teknologi itu
sendiri. Muncullah suatu fenomena yang tidak dapat dipungkiri oleh setiap
manusia modern yakni kekosongan spiritual.
Jika dulu Aristoteles mengklasifikasikan hal-hal dalam 10 kategori yaitu
substansi, ruang, waktu, kualitas, kuantitas dan lain-lain kini manusia modern
mereduksi dirinya menjadi satu kategori saja yaitu kuantitas. Nilai-nilai yang
dianut manusia dalam menentukan keberhasilannya diukur dari hal-hal yang
empirik, material dan bersifat biologis. Lalu bagaimana peran agama dalam
menghadapi krisis spiritual dunia modern? Kenyataannya adalah meskipun agama
tetap dipegang akan tetapi hanya menjadi kerangka formalitas yang tidak
mempunyai makna dan kekuatan untuk mengatur roda kehidupan.
Adalah penting untuk menyadari bahwa spiritualitas tidak hanya sekedar
bagian dari relitas manusia, tetapi spiritualitas adalah keseluruhan makna
manusia. Keseluruhan integral ini adalah batu fondasi dari kesadaran diri, dan
mencakup semua aspek khusus (manusia). Ia menjadi terlihat di dalam apa-apa
yang kita ketahui dan pahami, di dalam bagaimana kita bertindak, berpikir, dan
merasakan. Singkatnya kita adalah makhluk spiritual dan keseluruhan dari apa
yang disebut dengan dunia material diruhanikan. Kita harus hati-hati terhadap
pemikiran yang menganggap spiritualitas hanya berhubungan dengan salah satu
fakultas dalam diri kita, atau sebagai sesuatu yang sepenuhnya berada di luar
dunia ini, yang tidak ada kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Kita juga
harus berhati-hati agar tidak terjatuh ke dalam perangkap intelektual yang
terlalu mudah memisahkan akal dari intuisi, kepala dari hati. Ini jauh dari
realitas yang dijelaskan oleh Ibnu ‘Arabi. Bagi dia, setiap realitas dunia,
atau setiap aspek dari dunia, hanya dapat dipahami dengan tepat melalui
asal-usul spiritualnya. Ia menghubungkan
setiap realitas keduniawian dengan prinsip ilahiahnya, dan karena itu
menempatkan segala sesuatu di tempat yang sebenarnya.[3]
Jika tasawuf memberikan makna isoterik bagi formalitas, dengan
metode-metode mujahadah, musyahadah dan intuisi, lain halnya
dengan filsafat yang menawarkan akal, argumentasi dan logika untuk mencapai
tujuannya. Sekilas keduanya seperti dua hal yang berlawanan dan tidak mungkin
bertemu. Tetapi ketika kita menyakini bahwa kebenaran adalah satu seperti
halnya kita beriman bahwa Tuhan adalah satu,
maka pertentangan itu tidak ada. Baik tasawuf maupun filsafat hanya
sebagai instrumen untuk mencapai kebenaran. Menurut Charis Zubair, untuk
menangkap kebenaran dari realitas, alat-alat yang digunakan dari yang terendah
adalah indera, naluri, akal rasional, dan intuisi. Jika kita menggunakan secara
bersamaan maka akan diperoleh kebenaran hakiki yang mencakup dimensi transenden
dan imanen.[4] Dalam hal
ini tasawuf dan filsafat adalah frame bagi instrumen-instrumen tersebut.
Dengan demikian pengkajian terhadap nilai-nilai spiritual sekaligus
filosofis diharapkan mampu menghidupkan kembali eksistensi kemanusiaan kita
yang nyaris terlupakan. Sebagai salah satu upaya memenuhi kebutuhan rohani di
tengah peradaban moderen yang gersang. Selain itu dimaksudkan untuk
melestarikan pemikiran-pemikiran paratokoh islam dengan mencari sisi-sisi
positif yang mungkin untuk dipertimbangkan dalam menghadapi zaman global.
Kegelisahan merupakan ciri universal manusia di sepanjang masa dan di
berbagai tingkatan, tetapi semakin kentara di dunia modern ini pada mereka yang
justru serba kecukupan. Sebenarnya kegelisahan tak perlu ditafsirkan negatif,
karena pada dirinya ia tidaklah buruk. Ia malah menunjukkan kepada kita rahasia
terdalam eksistensi kita sebagai manusia. Kegelisahan inilah yang oleh SH.
Nashr disebut sebagai The Mystical Quest atau pencaharian spiritual.
Pencaharian mistik adalah wujud kerinduan sang jiwa untuk kembali ke tempat
asalnya, yaitu Allah SWT. Manusia tidak akan penah berhenti mencari – dan
karena itu akan selalu gelisah- sebelum mencapai apa yang dirindukannya selama
ini, yaitu prtemuan dengan Tuhan atau kesatuan mistik (mystical union)
dalam istilah yang dipakai para sufi.[5]
Hal pokok yang paling mendasar dalam agama wahyu adalah ajaran tauhidnya,
yaitu pemahaman tentang keesaan Tuhan.[6]
Ajaran tauhid ini merupakan suatu jawaban yang diberikan Tuhan kepada manusia
atas segala upayanya selama berabad-abad kehidupannya dalam rangka pencarian
terhadap realitas Tuhan. Namun pada dasarnya manusia diciptakan dengan segenap
fitrah yang dimilikinya, mempunyai agama hakiki sejak lahir, yaitu agama
Tauhid. [7]
Dalam suatu masa tertentu, kadang seorang manusia
terlahir sebagai seorang terpilih yang mempunyai kemampuan melampaui manusia
lain dalam hal menggunakan potensi kemanusiaannya dalam melihat realitas
obyektif serta melahirkan cara pandang independent dan uviversal yang sama
sekali baru dan mempengaruhi jamannya juga jaman sesudahnya. Tokoh-tokoh ini
mencapai derajat kemanusiaan sejati tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Hal ini terjadi pula dalam hal pemahaman terhadap
realitas tauhid. Salah satu eksponen yang paling menonjol dalam fenomena ini
adalah pemikiran Syaikh Akbar Ibnu ‘Arabi dengan gagasan tentang tauhidnya yang
terkenal : Wahdatul wujud.
Menurut A.E. Affifi, wahdatul wujud adalah satu bentuk
pantheisme, yang mengasumsikan bahwa Tuhan itu sesuatu yang absolut, yakni
wujud yang tidak terbatas dan abadi yang merupakan sumber dari landasan puncak
dari wujud kini, yang lalu dan yang akan datang yang lambat laun menjadi suatu
bentuk akosmisme yang menyatakan bahwa Dunia Fenomena itu hanyalah semacam
bayang-bayang yang lewat dari realitas yang terletak dibelakangnya. Segala
sesuatu yang terbatas dan temporal hanyalah ilusi dan tidak riel.
Wahdatul wujud merupakan doktrin yang paling populer dalam
sejarah perdebatan dunia sufistik. Sebagian kalangan menganggapnya sebagai
ajaran yang menyesatkan dan sebagian lagi menilainya sebagai suatu produk yang
berasal dari ketajaman pemikiran dan keagungan hati. Bahkan sampai saat ini
boleh dibilang polemik wacana tentang Ibnu ‘Arabi dan wahdatul wujudnya masih
berlangsung.
Suatu lembaga dakwah yang berdiri di Saudi Arabia baru-baru
ini menerbitkan buletin yang disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia dengan
tujuan mempropagandakan misi-misinya, yang salah satu buletinnya memberikan
penilaian yang negatif terhadap sufisme dan ajaran tasawuf. Dan pada buletin
yang lain menyatakan dilarangnya paham penyatuan agama (wahdatul adyan)
yang notabene berakar dari faham wahdatul wujud.
Dilain fihak, di Barat khususnya di kalangan intelektual,
semangat untuk melakukan penelitian-penelitian terhadap sufisme khususnya dalam
hal ini Ibnu’Arabi terus menyala. Sebut saja misalnya Henry Corbin, Stephen Hirtenstein atau William Chittick
yang malah mengkhususkan dirinya menelaah filsafat Ibnu ‘Arabi hingga sudah
menghasilkan belasan buku tentang tokoh satu ini. Hal ini tentu tidak menafikan
bahwa banyak juga sarjana timur yang menulis tentang Ibnu ‘Arabi.
Kajian tentang doktrin wahdatul wujud menjadi penting pula,
mengingat pengaruhnya yang luar biasa dalam sejarah pemikiran sufi hampir di
seluruh pelosok negeri-negeri Islam, termasuk Indonesia. Pengaruh doktrin ini
terus membekas secara mendalam dan berkembang dengan subur sampai sekarang pada
pemikiran mistik Islam kontemporer. Minat terhadap kajian pemikiran Ibnu ‘Arabi
semakin meningkat. Sikap simpati terhadap sufi dari Andalusia ini ditunjukkan
pula oleh sekelompok sarjana yang mengaguminya dengan mendirikan suatu
organisasi bernama The Muhyidin Ibn ‘Arabi Society.[8]
Organisasi yang didirikan pada 1977 dan berpusat di Oxford itu, sejak 1982
menerbitkan sebuah jurnal yang diberi nama Journal of the Muhyiddin Ibn
‘Arabi Society. Organisasi ini secara berkala mengadakan pertemuan umum
tahunan dan simposium tahunan di tempat-tempat berbeda. Dalam pertemuan dan
simposium itu para sarjana menyajikan makalah tentang berbagai aspek pemikiran
Ibnu ‘Arabi.
Di Indonesia sendiri, polemik juga tidak dapat
terelakkan. Disamping penulisan secara obyektif dan netral, ada juga yang
bersifat menolak dan bahkan mengunggulkan. Sebuah buku karangan Drs. H. Abdul
Qadir Jailani berjudul Koreksi terhadap Ajaran Tasawuf mengatakan bahwa ajaran yang disebarluaskan
guru-guru sufi adalah ajaran sesat yang berasal dari agama kuno, yaitu Hindu,
yang salah satunya adalah doktrin pantheistik wahdatul wujud.[9] Sedangkan dalam bukunya Menjemput Masa
Depan, Dr. Dimitri Mahayana justru menawarkan doktrin wahdatul wujud
sebagai alternatif untuk menjawab berbagai tantangan zaman, khususnya di
Indonesia. Bahkan dalam buku ini Dimitri memberikan sebanyak dua belas point
untuk memperkuat argumennya dalam menawarkan doktrin ini.
Berkaitan dengan antusiasme yang besar dalam mempelajari
pemikiran Ibnu ‘Arabi, kajian yang tertuang dalam skripsi ini diharapkan dapat
ikut serta memberikan masukan dan inventaris ilmiah pada pengkajian pemikiran
sufi filosofis dan ikut serta dalam upaya pelestarian nilai-nilai tradisi
spiritual Islam.
Berikut ini adalah uraian yang menunjukkan bagaimana pengaruh
yang ditimbulkan oleh Ibnu ‘Arabi dapat menjadi alasan yang memadai untuk
menjadikan Ibnu’Arabi sebagai obyek penelitian dan sumber inspirasi yang tiada
habisnya bagi para pemikir, dan para peneliti.
Seperti
apa yang diuraikan oleh AJ. Arberry dalam Pasang Surut Aliran Tasawuf :
Ibnu ‘Arabi menandai satu titik balik dalam sejarah tasawuf. Kendati
diserang hebat-hebatan karena ajaran pantheistik (namun tatanannya lebih
monistik ketimbang pantheistik) dan hujah-hujahnya yang berlebihan, tidak ada
sufi setelahnya terlepas dari pengaruhnya, dan ia juga berjasa dalam semua
literatur mistisisme sesudahnya. Bukanlah pada tempatnya membahas dampak bagi
mistisisme Kristen zaman pertengahan, dan cukuplah disebutkan bahwa hal ini
kini lazim dianggap memang terbukti. Untuk memaparkan secara sederhana ihwal
pelestarian gagasan-gagasannya dalam tulisan-tulisan ke-Islaman terkemudian
rasanya akan memadai kalau disebutkan bahwa penyair Parsi, Iraqi (W 688 H /
1289 M) menggubah Lama’atnya setelah mengenal ajaran Sadruddin Qonawi (W
672 H / 1273 M) dalam Fushusul Hikamnya Ibnu ‘Arabi. Perlu disebut pula
bahwa Jami tidak saja merangkum sebuah ulasan tentang Al Lama’at tapi juga
menyusun Lawa’ihnya untuk menandingi karya itu. Dua risalah mungil yang
artistik ini, yang sama-sama berasal dari kitab berbahasa Parsi, Sawanih
dari saudara Al Ghazali, Ahmad (W 517 H / 1123 M) mengandung tema khas doktrin
trinitas mistik tentang cinta, pecinta, yang dicinta dan yang mereka tafsirkan
dengan garis-garis teosofi Ibnu ‘Arabi.9
Dalam halaman lain buku ini juga menjelaskan :
Doktrin manusia sempurna yang dikembangkan oleh Abdul Karim Al Jili (W
832 H / 1428 M) dalam kitabnya yang terkenal Al Insanul Kamil, dipengaruhi oleh
gagasan Ibnu ‘Arabi tentang kesatuan wujud yang melacak asal-usul wujud sejati
yang tidak bernama, tidak bersifat; melalui tiga tahap manifestasi beruntun
yang disebutnya : kesatuan (ahadiyah), ke Dia-an (Huwiyah) dan ke Akua-an
(aniyah). Manusia pada hakikatnya adalah pikiran kosmik yang mempertalikan
wujud mutlak dengan alam melalui tiga tahap yang bersesuaian dari penerangan
mistik (tajalli) sang mistikus bisa berharap dapat menelusuri kembali
asal-usulnya dan akhirnya dapat menjadi manusia sempurna, bersih dari segala
atribut, kembali sebagai mutlak dari yang mutlak. Gagasan tentang
turunnya ruh semesta ke dalam materi dan tentang pendakian penyucian manusia
dari materi, memang akrab dalam pikiran kalangan sufi, jauh sebelum zaman Al
Jili. Sumbangsih istimewa Al Jili yang terletak pada penghabluran konsepsi itu,
di bawah pengaruh tatanan umum Ibnu ‘Arabi, menjadi sebuah metafisika yang
jelas dan konsisten.10
Alasan lain yang tidak dapat dianggap remeh dalam penelitian tentang
konsep wahdatul wujud Ibnu ‘Arabi adalah, bahwa jika dibandingkan dengan obyek
lain seperti mahabbah, ma’rifah atau Hullul dan ittihad, wahdatul wujud lebih
bersifat luas dan universal yang mencakup seluruh realitas yang ada. Sedangkan
yang lain bersifat individual atau pemikiran yang berasal dari pengalaman
mistis pribadi ketika berhubungan dengan Tuhan. Ketika faham lain hanya bisa
dirasakan dan dipahami sendiri oleh sang mistikus tanpa dapat dipahami orang
lain dengan akal sehat, konsep Ibnu ‘Arabi dapat ditelusuri dengan cara
berfikir yang logis bahkan mampu menawarkan pandangan yang tajam untuk memahami
realitas.
Seperti halnya pada filsafat Islam, dalam tasawuf tidak ada yang dapat
menyangkal kenyataan bahwa keduanya bercorak hellenistik, karena memang sejarah
telah mencatat bahwa pengaruh pemikiran Yunani amatlah besar bagi para filosof
Islam dan para Sufi. Meskipun berbagai penelitian dilakukan untuk mengembangkan
filsafat Islam dan tasawuf menjadi satu disiplin yang otentik yang berhakikat pada
Islam (Qur’an dan Sunah) tetapi tidak dapat dipungkiri pemikiran Yunani menjadi
salah satu pangkal mata rantai yang kuat sebagai dasar terbentuknya
sistem-sistem dalam filsafat Islam dan sufisme. Demikian pula yang menjadi
kenyataan dalam sistem sufi besar Ibnu ‘Arabi. Selain Plato dan Aristoteles
pengaruh pikiran Yunani yang sangat kentara dalam pemikirannya adalah
Neoplatonisme.
Neoplatonisme adalah sebutan yang diberikan untuk hasil pemikiran
Plotinus, orang filosof abad pertengahan. Disebut Neoplatonisme karena pada
prinsipnya Plotinus merujuk pada ajaran Plato. Bedanya, Plato mendasarkan
ajarannya pada Yang Baik, sedangkan Plotinus pada Yang Satu (The One).
Filosofi Plotinus berpangkal kepada keyakinan, bahwa segala ini, Yang
Asal itu adalah satu dengan tidak ada pertentangan di dalamnya. Yang satu itu
bukan kwalita dan bukan pula yang terutama dari segala keadaan dan perkembangan
dalam dunia, segala datang dari sesuatu, Yang Asal. Yang Asal itu adalah sebab
kwantita, bukan akal bukan jiwa, bukan bergerak bukan pula tenang terhenti,
bukan dalam ruang dan bukan dalam waktu. Yang satu itu tidak dapat dikenal,
sebab tak ada ukuran untuk membandingkannya. Orang hanya dapat mengatakan, apa
yang tidak sama dan serupa dengan Dia, tetapi tidak dapat dikatakan apa Dia.
Pada dasarnya yang satu itu tidak dapat, karena nama-nama yang satu, yang baik,
berlainan dengan Yang Asal. Yang satu itu menunjukkan apa artinya baik itu
untuk makhluk Yang lain, bukan apa itu baginya sendiri. Hanya satu saat yang
positif yang tidak boleh tidak ada padanya, yaitu Yang Asal itu adalah
permulaan dan sebab yang pertama dari segala yang ada.11
Dari sini kita dapat melihat sisi persamaan antara
wahdatul wujudnya Ibnu ‘Arabi dan The One-nya Plotinus. Akan tetapi sebenarnya
tidaklah sama antara keduanya, karena pemikiran Plotinus hanyalah salah satu
unsur dari sekian banyak unsur yang mempengaruhi sistemnya Ibnu ‘Arabi.
Dikarenakan Plotinus hidup pada periode terakhir
dalam fase Hellenisme Romawi, maka sistem Neoplatonisme menjadi lebih lengkap,
jelas, dan konsisten dibanding Plato dan Aristoteles. Sehingga hal ini
menjadikan pengaruhnya lebih dirasakan bagi tokoh sesudahnya. Pengaruhnya yang
besar pada tokoh-tokoh Islam maupun Kristen sesudahnya patut untuk dikaji.
Tokoh-tokoh Islam yang tidak dapat melepaskan diri dari pengaruhnya adalah
antara lain : Al Farabi, Ibnu Sina, Ihwanus Shafa, dan tak terkecuali Ibnu
‘Arabi. Semua yang disebut adalah para tokoh yang tidak dapat dipandang sebelah
mata dalam kancah pemikiran dunia Islam. Hal lain yang menjadi alasan untuk
mengulas Plotinus adalah karena ajarannya yang bisa disoroti dengan seksama dan
jelas jika dikaitkan dengan para sufi, teutama pada teori emanasi dan
hirarkinya. Begitu pula yang mempengaruhi Ibnu ‘Arabi lebih signifikan pada teori
ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah seperti yang telah diuraikan di atas,
maka penulis mengajukan dua hal pokok sebagai rumusan masalah, yaitu:
1.
Bagaimana proses terwujudnya keterkaitan antara
wahdatul wujudnya Ibnu ‘Arabi dengan filsafat Neoplatonisme? Jika ada,
dimanakah letaknya?
2.
Bagaimana persamaan dan perbedaan antara filsafat
Neoplatonisme dengan wahdatul wujud Ibnu ‘Arabi?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
I. Tujuan Penelitian
a.
Mencari keterkaitan antara pemikiran Ibnu ‘Arabi dengan
filsafat Neoplatonisme.
b.
Mengetahui titik-titik persamaan dan perbedaan antara
filsafat Ibnu ‘Arabi dengan Neoplatonisme.
II. Kegunaan Penelitian
a.
Sebagai partisipasi penulis dalam rangka ikut
melestarikan pemikiran tokoh islam khususnya Ibnu ‘Arabi.
b.
Memenuhi sebagian persyaratan guna meraih gelar
kesarjanaan strata 1 (S1) di bidang kefilsafatan pada fakultas Ushuluddin IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta.
D. Metode Penelitian
Penelitan ini bersifat
kepustakaan murni atau library research. Artinya data-data yang digunakan
berasal dari sumber kepustakaan baik primer maupun sekunder, baik berupa buku,
ensiklopedi, jurnal, majalah dan lain sebagainya. Yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah:
- Model penelitian historis faktual mengenai tokoh dan alirannya. Dalam hal ini adalah Ibnu ‘Arabi dengan wahdatul wujudnya dan Plotinus dengan Neoplatonismenya.
- Model penelitian komparatif, yaitu membandingkan antara sistem Ibnu ‘Arabi dan filsafat Neoplatonisme sebelum kemudian mencari titik temunya.
Metode yang akan digunakan adalah deskriptif sintesis. Deskriptif adalah
menggambarkan konsep atau pemikiran Ibnu ‘Arabi dan Plotinus lengkap dengan
riwayat hidupnya. Sintesis adalah suatu usaha mencari kesatuan dalam keragaman
atau mencari titik temu antara kedua pemikiran sehingga terwujud keterkaitan.
E. Tinjauan Pustaka
Sudah dijelaskan bahwa antusiasme pengkajian
terhadap Ibnu ‘Arabi sejak lama sampai saat ini terus menyala. Pemikiran Ibnu
‘Arabi menjadi daya tarik yang luar biasa melebihi tokoh-tokoh sezamannya dalam
bidang tasawuf, untuk selalu dan selalu dikaji dan dipelajari. Ratusan karya
yang membahas tentangnya sudah diterbitkan baik berupa buku, artikel, maupun
jurnal yang ditulis intelektual Barat maupun Timur termasuk Indonesia. Seperti
halnya sebuah obyek yang tidak hanya mempunyai satu sisi untuk dilihat, Ibnu
‘Arabi menawarkan banyak sisi yang selalu menantang untuk diteliti,
pemikirannya yang luas dapat dilihat dari banyak segi.
Ada sebagian tokoh yang mengkhususkan diri meneliti
riwayat hidupnya saja, misalnya Claude Addas dalam bukunya Quest for the Red
Sulphur atau R.W.J. Austin dalam Sufis of Andalusia. Buku yang
pertama memaparkan biografi Ibnu ‘Arabi dan yang kedua mengenai riwayat hidup
dan zamannya yang memberi penjelasan tentang tujuh puluh orang Maghribi yang
menurut Ibnu ‘Arabi dari merekalah dia “mengambil manfaat di jalan akhirat”.
Buku-buku yang memberikan gambaran tentang
pemikiran Ibnu ‘Arabi juga tidak kalah banyaknya. Sebagai contoh buku Seal
of the Saints dan An Ocean without Shore yang memberikan gambaran
yang jelas tentang kedalaman ajaran Ibnu ‘Arabi tentang kewalian dan Qur’an.
Buku ini ditulis oleh Michel Chodkiewicz. Sedangkan Henry Corbin dalam bukunya Creative
Imagination in the Sufism of Ibnu ‘Arabi menyajikan ajaran Ibnu ‘Arabi dengan cara
sendiri. Stephen Hirtenstein bahkan menulis tentang ajaran dan kehidupan
spiritual pribadi Ibnu ‘Arabi sekaligus dalam satu buku, yang sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul: Dari Keragaman ke
Kesatuan Wujud, Ajaran & Kehidupan Spiritual Syaikh Al Akbar Ibnu ‘Arabi .
Dari sekian banyak buku yang membahas tentang Ibnu
‘Arabi, ada juga yang berusaha sekedar menterjemahkan karya-karyanya dalam
bagian-bagian tetentu. Misalnya William C. Chittick mencoba menerjemahkan
bagian-bagian dalam Futtuhat Makiyah dalam buku The Sufi Path of
Knowledge dan The Self Disclosure of God. Ada juga Angela Seymour
yang menerjemahkan 12 bab dari Fusushul Hikam dalam The Wisdom of the
Prophet.12
Untuk mewakili tokoh intelek Timur yang menulis
buku tentang Ibnu ‘Arabi, kita bisa menyebut A.E. Afifi yang bukunya sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi. Di
dalamnya memaparkan hasil pemikiran Ibnu ‘Arabi yang dia petakan sebagai
berikut : Ontologi, logos, Etika dan Estetika. Keempat klasifikasi tersebut
saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Tokoh lain dari Timur yaitu S.H.
Nashr yang memasukkan Ibnu ‘Arabi dalam tiga besar pemikir Islam dalam buku Three
Muslim Sages yang meskipun karya pendek tetapi cukup representatif untuk
memaparkan pemikiran Ibnu ‘Arabi.
Ironis rasanya jika menyebutkan tokoh-tokoh
pengkaji Ibnu ‘Arabi tanpa mengikutkan tokoh dari Indonesia, sedangkan
penelitian ini dilakukan di tanah air dan juga karya-karya yang dihasilkan
tentang Ibnu ‘Arabi masih bisa dhitung dengan jari. Tokoh-tokoh yang dimaksud
adalah DR. Kautsar Azhari Noer dan DR. Yunasril Ali. Tokoh yang pertama
menghasilkan karya berupa Disertasi yang saat ini sudah dibukukan dengan judul Ibnu
‘Arabi, Wahdatul Wujud dalam Perdebatan. Karya ini menampilkan pemikiran
wahdatul wujud Ibnu ‘Arabi, membandingkan dengan Pantheisme dan polemik
pemakian istilah Pantheisme untuk wahdatul wujud.
Tokoh yang kedua, DR. Yunasril Ali berhasil menulis
sebuah buku tentang konsep Insan Kamil dari Ibnu ‘Arabi yang dikembangkanoleh
Al Jili. Buku yang juga berasal dari Disertasi penulis ini diberi judul Manusia Citra Illahi, Pengembangan Konsep Insan Kamil
Ibnu ‘Arabi oleh Al Jili.
Dengan demikian, sejauh penelitian awal yang
dilakukan penulis, pembahasan mengenai Ibnu ‘Arabi dan filsafat yang melatar
belakangi pemikirannya belum pernah dilakukan. Mengenai Plotinus sendiri,
memang ada seorang tokoh bernama Michael Anthony Sells yang melakukan studi
banding antara teori emansi Plotinus dan Ibnu ‘Arabi, tetapi tidak secara
eksplisit karena disamping Ibnu ‘Arabi ada tokoh John the Scot dan Meister
Eckhart yang ikut serta diperbandingkan.
Adapun mengenai skripsi yang telah disusun oleh
mahasiswa-mahasiswa Ushuludin, penulisan tentang Ibnu ‘Arabi sudah banyak dilakukan,
tetapi sejauh pengamatan penulis, belum ada yang meneliti tentang filsafat yang
telah mempengaruhi pemikirannya. Tentang Ibnu ‘Arabi, skripsi yang telah
disusun adalah: Mengenai Epistimologi (Ahmad Khamin, 1987), pandangan tentang
Tuhan (Alih M.S. 3053), tentang wujud (Alimuddin, 3695), Pantheisme (Haryanto,
05852383), dan tentang kejahatan (Ahmad Sahidah Rahem, 9251213). Sebagian dari
skripsi itupun sudah lama dibahas sehingga kondisinya ada yang dalam keadaan
nyaris tak bisa dibaca. Skripsi terbaru tentang Ibnu ‘Arabi adalah tahun 2003
yang disusun oleh Saltana dengan judul Hubungan Kualitatif Antara Tuhab dan
Manusia Menurut Ibnu ‘Arabi. Sedangkan tentang Plotinus, Muh. Isnanto
(05863574) menyusun skripsi berjudul Pemikiran tentang Emanasi antara Plotinus
dan Al Farabi. Demikianlah telaah pustaka yang sementara ini dapat
dilakukan oleh penulis.
F. Sistematika
Pembahasan
Agar mendapat gambaran
yang sistematis dan konsisten secara utuh, maka skripsi ini dituangkan dalam
suatu sistematika penulisan secara ringkas sebagai berikut :
Bab I. Pendahuluan
terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metode penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika pembahasan.
Bab II. Mendeskripsikan
biografi tokoh, yaitu Ibnu ‘Arabi dalam beberapa sub Bab. Meliputi Riwayat
hidup, Corak pemikiran, unsur-unsur yang mempengaruhi pemikiran tokoh, dan
karya-karyanya.
Bab III. Membahas
tinjauan umum tentang definisi wahdatul wujud dan Neoplatonisme. Sub ba pertama
meliputi pengertian dan perdebatan tentang istilah wahdatul wujud. Sub bab
kedua tentang Neoplatoisme yang meliputi pengertian dan tokoh-tokohnya ; fase-fase
dan unsur-unsur yang mempengaruhinya.
Bab IV. Merupakan inti
dari penulisan Skripsi.Yaitu mengenai pengaruh Neoplatonisme dalam wahdatul
wujud Ibnu ‘Arabi. Meliputi point-point yang menghubungkan keduanya. Perbedaan
dan persamaan kemudian merefleksikannya.
Bab V. Merupakan
Penutup. Terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.
BAB
II
BIOGRAFI IBNU ‘ARABI
A. Rifayat Hidup
Nama lengkapnya Muhammad Ibnu Ali ibnu Muhammad Ibnu ’Arabi al Tha’i al
Hatimi. Nama ini dibubuhkan oleh Ibnu ’Arabi dalam Fihrist (katalog
karya-karyanya). Orang-orang sezamannya, khususnya Sadruddin al Qunawi
memanggilnya Abu’Abdullah. Banyak penulis pada umumnya menyebut dia sebagai
Ibnu ‘Arabi. Nama singkat ini telah lama dipakai oleh para penulis Barat,
sebagian mungkin meniru gaya pengarang Turki dan Iran, namun singkatan ini juga
berfungsi untuk membedakan dirinya dengan salah seorang tokoh Andalusia lainnya
yang terkenal, yakni Abu Bakr Muhammad Ibn ’Arabi (1076-1148), kepala hakim
(Qadi) Sevilla ; kelak Ibnu ’Arabi belajar pada sepupu dari tokoh ini. 1
Dari nama lengkap tersebut kemudian oleh orang-orang setelahnya terutama
yang mengaguminya Ia diberi gelar, antara lain : Muhyi-Din (Penghidup Agama)
dan Syaikh al Akbar (Doktor Maximus). Lalu banyak penulis yang
menggabungkan dua gelar itu menjadi : Syaikh al Akbar Muhyidin Ibnu al’Arabi.
Dalam banyak penulisan, tokoh ini seringkali hanya disingkat dengan Ibn
al’Arabi (dengan Al), Ibnu’Arabi (tanpa al) ataupun Ibn’Arabi saja. 2
Ibnu ‘Arabi dilahirkan pada 17 Ramadan 560 H, bertepatan dengan 28 Juli
1165 m, di Mursia, Spanyol bagian tenggara. Pada waktu kelahirannya Mursia
diperintah oleh Muhammad Ibnu Sa’id Ibnu Mardanisy.3 Sebagai anak pertama dan satu-satunya
lelaki, kelahirannya jelas merupakan kebahagiaan besar bagi orang tuanya. Tujuh
tahun pertama kehidupannya tampaknya dihabiskan di tengah konflik dan
ketegangan lokal. Ayahnya bertugas sebagai tentara Ibnu Mardanisy, penguasa
lokal yang mendirikan kerajaan kecil untuk diri sendiri dengan bantuan tentara
bayaran kristen. Dalam tradisi Rodrigo Diaz (El Cid), leluhurnya yang terkenal
pada abad ke XI, Ibnu Mardanisy berdiam di Mursia dan Valencia dan oleh
orang-orang Kristen dijuluki “Raja Serigala”. Dia bersekutu dengan raja-raja dari Castile dan Aragon dan selama
25 tahun membela kerajaannya melawan kekuatan baru dari Al Muwahidin, meskipun
kekuasaanya semakin surut ketika Ibnu ’Arabi lahir. Dinasti Al Muwahidin
berasal dari suku-suku Berber dari pegunungan Atlas Maroko. Pengikut dari
pemimpin keagamaan Ibnu Tumart, dan muncul pertama kalinya di tahun 1145.
Menjelang tahun 1163 mereka menyerbu Afrika Utara sampai Tripoli. Sepanjang 20
tahun sebelum kelahiran Ibnu ’Arabi, Al Muwahidin telah membangkitkan dan
mengkosolidasi kembali persatuan muslim di Andalusia, membangun benteng
pertahanan untuk melawan gangguan dari orang-orang Kristen di utara. Mereka
menjadikan Sevilla sebagai Ibukota lokal dan membangun stabilitas diseluruh
daerah Afrika Utara.4
Pada tahun 1172 Ibnu Mardanisy wafat, dan berakhirlah perlawanan terhadap
kekuasaan Al Muwahidin. Ayah Ibnu’Arabi bersama-sama dengan rombongan pengikut
Ibnu ’Mardanisy yang terkemuka, tampaknya mengalihkan kesetiannya pada sultan
Al Muwahidin, Abu Ya’qub Yusuf I, dan menjadi salah satu penasehat militernya.
Pada tahun itu juga semua keluarganya pindah ke Sevilla, pusat kosmopolit yang
ramai dan makmur, dan menjadi ibukota kerajaan Al Muwahidin di Spanyol.
Program-program pembangunan baru yang dibiayai oleh sultan ; seperti memulihkan
kembali sistem air Romawi Kuno, membuat Sevilla menjadi kota utama di negeri
ini. Kota ini menjadi titik temu antara berbagai ras, dan kultur dimana
penyanyi dan penyair bergaul dengan filosof dan teolog, dan para wali berdampingan
dengan para pendosa. Jadi, sejak usia 7 tahun Ibnu ’Arabi tumbuh di lingkungan
yang penuh dengan ide-ide penting pada masa itu, ilmu pengetahuan, agama dan
filsafat. Ketika komunikasi massa sebagaimana kita kenal sekarang belum ada
lingkungan semacam ini menjadi unsur penting dalam perkembangan dirinya.
Sevilla abad ke dua belas pada masa Ibnu ’Arabi masih muda bisa disamakan
dengan gabungan kota London, Paris dan New York dimasa sekarang – sebuah
campuran yang luar biasa dari berbagai orang, bangunan dan peristiwa. 5
Sebagian besar dari kehidupan awalnya dihabiskan seperti lazimnya
anak-anak muda yang baru tumbuh. Pendidikannya adalah pendidikan standar untuk
keluarga muslim yang baik, meskipun tampaknya ia tidak belajar disekolah resmi,
hampir bisa dipastikan ia mendapatkan pelajaran privat di rumah. Dia diajari Al
Qur’an oleh salah seorang tetanganya, Abu Abdallah Muhammad al Khayyat, yang
kemudian sangat dia cintai dan tetap menjadi sahabat dekatnya selama
bertahun-tahun.6
Sejak menetap di Sevilla ketika berusia delapan tahun, Ibnu’Arabi memulai
pendidikan formalnya. Di kota pusat ilmu pengetahuan itu, dibawah bimbingan
sarjana-sarjana terkenal mempelajari Al Qur’an dan tafsirnya, hadist, fiqih,
teologi, dan filsafat skolastik. Sevilla adalah suatu pusat sufisme yang
penting pula, dengan sejumlah guru sufi terkemuka yang tinggal disana.7
Selama menetap di Sevilla, Ibnu ‘Arabi muda sering melakukan perjalanan
ke berbagai tempat di Spanyol dan Afrika Utara. Kesempatan itu dimanfaatnya
untuk mengunjungi para sufi dan sarjana terkemuka. Salah satu kunjungannya yang
sangat mengesankan ialah ketika berjumpa dengan Ibnu Rusyd (w 595 / 1198) di
Kordova.8 Ibnu ‘Arabi
dikirim oleh ayahnya untuk bertemu dengan filsuf besar Ibnu Rusyd yang berasal dari keluarga
yang sangat terpandang di Kordova. Ibnu Rusyd, dari semua tokoh abad
pertengahan Spanyol, mungkin orang yang paling terkenal di Eropa, karena ia
memperkenalkan kembali karya-karya Aristoteles – Astronomi, meteorologi,
pengobatan, biologi, etika, logika – dan dan ulasan-ulasannya berpengaruh luar
biasa terhadap Eropa ketika orang-orang Eropa kemudian menemukan kembali
Aristoteles.9 Percakapan Ibnu ‘Arabi
dengan filsuf besar ini membuktikan
kecemerlangan yang luar biasa dalam wawasan spiritual dan intelektual.
Percakapan tersebut menjelaskan perbedaan
dan pertentangan asasi antara jalan akal logis dan jalan imajinasi gnostik
yang kemudian membagi pemikiran Islam secara keseluruhan kedalam 2 cabang.
Fakta bahwa sufi muda mengalahkan filsuf peripatetik itu dalam tukar pikiran
tersebut dengan tepat menunjukan titik buhul pemikiran filosofis dan pengalaman
mistik Ibnu’Arabi, yang memperlihatkan bagaimana mistisisme dan filsafat
berhubungan satu sama lain dalam kesadaran metafisisnya. Pengalaman-pengalaman visioner mistiknya
berhubungan paling dekat dengan, dan disokong oleh pemikiran filosofisnya yang
ketat. Ibnu’Arabi adalah seorang mistikus yang sekaligus seorang guru filsafat
peripatetik, sehingga ia bisa atau lebih tepat telah memfilsafatkan pengalaman
spiritual batinnya kedalam suatu pandangan dunia metafisis maha besar
sebagaimana terdalam dalam hubungan dengan struktur metafisikanya kedalam waĥdatul
wujūd.10
Pada usia relatif muda, mungkin 16 tahun. Dia menjalani pengasingan diri
(khalwat). Menurut kisah yang ditulis lebih dari 150 tahun setelah
wafatnya, diceritakan bahwa Ibnu ’Arabi suatu ketika ikut pesta makan-makan
bersama teman-temannya dan sebagaimana
kebiasaan di Andalusia, setelah hidangan daging lalu disajikan anggur. Saat dia
hendak mulai minum segelas anggur, tiba-tiba dia mendengar seruan, “Wahai
Muhammad, bukan untuk ini engkau diciptakan!” Karena ketakutan mendengar suara
yang tegas ini, dia lari ke sebuah pemakaman di luar kota Sevilla. Disana ia
menjumpai reruntuhan yang mirip sebuah gua. Selama empat hari ia tetap tinggal
disana sendirian melakukan khalwat, melakukan zikir dan hanya keluar saat
shalat.11
Ibnu’Arabi tampaknya ditakdirkan untuk mengikuti jejak ayahnya : Ia
bertugas dalam pasukan tentara Sultan Al Muwahiddin selama beberapa waktu, dan
dijanjikan kedudukan sebagai asisten untuk gubernur Sevilla. Dia sendiri
menyebut periode kehidupan ini sebagai periode kejahilan. Periode kejahilan
atau kebodohan ini diakhiri oleh pengalaman konvensi atau pencerahan. Kejahilan
Ibnu’Arabi bukan merupakan masa ia melakukan dosa besar atau tindakan yang
melampaui batas, namun hanya ketidakpedulian (terhadap Tuhan) dan godaan dari
daya tarik duniawi. Ini adalah masa yang hampir semua manusia pasti mengalami,
agar mereka memahami makna kejauhan dari Tuhan dan karena itu memahami makna
kedekatan dengan Tuhan.12
Setelah pertemuannya dengan Ibnu Rusyd dan mengalami pencerahan
spiritual, pada tahun 580 H (1184), Ibnu’Arabi mengundurkan diri dari
ketentaraan dan segala urusan duniawi yang dimilikinya. Peristiwa terakhir yang
memberinya keputusan bulat adalah saat ia dan panglima Al Muwahidin
bersama-sama mengerjakan shalat di Masjid Agung Kordova.
Alasan aku
menolak dan mengundurkan diri dari ketentaraan dan alasanku untuk menempuh
jalan (Tuhan) dan kecenderunganku terhadap jalan itu adalah sebagai berikut :
aku pergi bersama tuanku, Panglima (Al Muwahidin) Abu bakar Yusuf bin Abd al
Mu’min bin Ali, menuju ke Masjid Agung Kordova, dan aku melihat dia bersimpuh,
sujud dengan rendah hati memohon pada Allah. Kemudian pikiran melintas (khatir)
menerpaku (sehingga) aku berkata pada diriku sendiri, “jika penguasa negeri ini
begitu pasrah dan sederhana dihadapan Allah, maka dunia ini tidak artinya”.
Lalu aku meninggalkannya pada hari itu juga, dan tidak pernah melihatnya lagi.
Sejak itu aku mengikuti Jalan ini.13
Begitulah, sejak saat itu Ibnu’Arabi mengabdikan diri pada kehidupan
spiritual dan penghambaan penuh terhadap Allah sesuai dengan ajaran yang
diberikan oleh Isa, Musa dan Muhammad.
Pada 590 H (1193) ketika pikiran-pikirannya telah mengkristal ia
berkelana mengelilingi Andalusia. Petama ia munuju kota Murur, untuk menemui
Syeikh Abu Muhammad al Maururi. Selanjutnya ia meneruskan kelananya ke Cordova
dan Granada, Setelah puas menikmati kelananya ke berbagai kota di Andalusia ia
ingin menyeberangi laut dan menuju daratan lain. Ia pun pergi ke Bejayah
(Bugia) Aljazair untuk mengunjungi Syeikh Abu Madyan, seorang pendiri aliran
tasawuf,14 yang barangkali adalah Syeikh paling
terkemuka pada zamannya. Abu Madyan adalah seorang yang sangat berpengaruh pada
diri Ibnu’Arabi. Hal ini terlihat dari kisah-kisah yang ditulisnya sendiri
mengenai tokoh-tokoh spiritual pada zamannya.15 Meskipun keinginannya untuk bertemu dengan
Abu Madyan secara fisik tidak pernah tercapai – bahkan ajaran Abu Madyan
diperolehnya hanya dari murid-muridnya yang nota bene adalah guru-gurunya,
seperti A Mawruri, Al Kumi, dan Al Sadrani – akan tetapi Ibnu’Arabi meyakini
bahwa Abu Madyan mengenalnya bahkan telah menemuinya berkali-kali secara spiritual.16 Tokoh inilah yang kerap kali
disebut-sebut sebagai salah satu mata rantai yang menghubungkan Ibnu’Arabi
dengan aliran Neopatonisme.
Dari Bugia Ibnu’Arabi meneruskan kelananya ke Tunisia. Disana dia mengkaji karya seorang sufi
politisi Abu al Qasim Ibnu Qushai, Khal’an Na’lain (melepas kedua
sandal). Tokoh inilah yang terkenal pembelotannya terhadap dinasti Al
Murabithun di Andalusia Barat.17 Selain mengakaji karya tersebut pada tahun
yang sama Ibnu’Arabi mengunjungi beberapa murid Abu Madyan seperti Abd al Aziz
al Mahdawi dan Abu Muhammad Abdallah al Kinani. Dituturkan bahwa selama berada
di Tunisia, Ibnu Arabi bertemu dengan nabi Khidir. Pertemuan kemudian terjadi
lagi ketika pada akhir 1194 Ibnu’Arabi kembali ke Andalusia. Dengan demikian sebanyak
tiga kali Ibnu’Arabi telah ditemui oleh Khidir, dalam tingkatan yang berada
secara fisik. Pertemuan pertama berlangsung di daratan, di jalan kota pada
siang hari, dimana ia menekankan kepasrahan lahiriah kepada guru duniawi. Kedua
terjadi di air, sebuah pertemuan pribadi di bawah cahaya bulan purnama. Dan
ketiga Khidir memperlihatkan di atas udara. Tampaklah bahwa ada tahapan dari
ajaran Khidir dalam “bahasa yang khusus” untuk menuntun Ibnu’Arabi kedalam
pengetahuan misteri Illahi dan mendorongnya untuk merenungkan kualitas dari
pendidikan tersebut.18
Sejak saat itu ia memulai aktifitas menulis, menuangkan ilham atau
inspirasi yang diterimanya kedalam tulisan agar bisa dibaca para sahabatnya. Di
akhir 1194 setelah kembali ke Andalusia ia menulis salah satu karya besarnya, Mashashid
al Asrar (kontemplasi atas misteri-misteri) untuk sahabat-sahabat dari
Mahdawi. Dan sekitar tahun yang sama ia menyusun Tadbirat al Ilahiyyah (pemerintahan
ilahiyah) untuk al Mawruri.
Dalam periode sepuluh tahun sejak pengunduran dirinya dari pemerintahan
Al Muwahidin dan memasuki jalan rohani, Ibnu ’Arabi melakukan perjalanan yang
menandai masa instruksi dalam kebijaksanaan kenabian. Dia mulai sebagai Isawi,
kemudian menjadi Musawi, dan setelah bertemu dengan Hud dan semua nabi,
ia akhirnya sampai pada warisan Muhammad. Terkadang proses ini berada dibawah
bimbingan para guru spiritual, terkadang melalui campur tangan langsung dari
para nabi itu sendiri. Ibnu ’Arabi dengan jelas melihat seluruh proses
perkembangan spiritual dan kewalian dari segi kebijaksanaan khusus dari para
nabi dan rasul. Bagi dia kebijaksanaan-kebijaksanaan itu tidak lain adalah
ekspresi intergral dan menyatukan kebijaksanaan Muhammad. Warisan kenabian ini
membentuk basis riil dari semua tulisannya. Ia mulai sebagai pengikut Isa,
menekankan pada penarikan diri, dan kemudian di dalam jalan spiritual Musa,
saat cahaya wahyu diturunkan. Setelah melalui tempat-tempat wahyu diwakili oleh
masing-masing nabi, dia akhirnya sampai pada warisan sempurna dari Muhammad.19
Ketika ayahnya meninggal dunia, lalu disusul ibunya beberapa bulan
kemudian, Ibnu’Arabi menerima kenyataan bahwa ia harus merawat kedua saudara
perempuannya, sehingga ia harus meninggalkan kehidupan spiritualnya. Desakan
duniawi juga muncul, ketika terjadi ketegangan politik antara Al Muwahidin di
Sevilla dan Raja Alfonso VIII dari Castile. Ibnu ’Arabi mendapat tawaran
pekerjaan dalam pasukan pengawal sultan. Karena teringat ucapan Salih al Adawi,
Ibnu ’Arabi menolak tawaran itu. Kemudian ia meninggalkan Sevilla membawa kedua
saudara perempuannya menuju Fez dan
tinggal disana untuk beberapa tahun. Setelah kedua adiknya mendapatkan suami,
tanggung jawab duniawinya selesai dan ia kembali mencurahkan diri pada jalan
spiritual.20
Fez tampaknya menandai periode kebahagian yang luar biasa dalam
kehidupannya, dimana dia bisa mengabdikan dirinya secara penuh kepada kegiatan
spiritual dan bergaul dengan orang-orang yang sepaham dan memiliki aspirasi
yang sama. Dia tidak hanya bertemu dengan para wali yang merupakan pewaris
Muhammad – dia sendiri juga semakin jauh masuk kedalam warisan ini. Di Masjid
Al Azhar di Fez dia memasuki tingkatan baru dari visi di dalam bentuk cahaya –
visi cahaya ini adalah sejenis rasa pendahuluan dari perjalanan cahanya yang
besar. Di tahun berikutnya, pada usia tiga puluh tiga tahun, dia mengalami
suatu perjalanan yang luar biasa dari semuanya, yaitu pendakian (mi’raj)
yang mencerminkan perjalanan malam Nabi Muhammad yang terkenal. Perjalanan ini
kemudian tertuang dalam kitab Al Isra (Kitab Perjalanan Pertama).21
Setelah di anugerahi visi yang paling terang tentang takdirnya,
Ibnu’Arabi kembali ke semenanjung Liberia untuk terakhir kalinya pada tahun
1198. Di bulan Desember tahun itu ia berada di Kordova saat pemakaman Ibnu
Rusyd. Kemudian dari Kordova, bersama sahabat dekatnya Al Habasyi mereka menuju
ke Granada dan kembali bertemu dengan
Abdallah al Mawrauri. Pada bulan Januari 1199 di Granada Ibnu’Arabi mendapat
visi yang memperkuat makna dari penutup para wali.22
Dari Granada mereka menuju Murcia. Setelah dua tahun berada di negri
kelahirannya ini, mereka pergi ke Marakesy. Pada awal 1201 (597) dari kota ini
mereka menuju Bugia lagi, setelah itu berkelana ke Tripoli, Tunisia, Mesir dan
kemudian menuju Makkah.23
Di akhir perjalanan panjangnya dari barat, Ibnu’Arabi akhirnya tiba di
Makkah pada pertengahan 1202. Di kota ini namanya mencuat, para tokoh dan
ilmuwanpun sering menemuinya. Diantara mereka adalah Abu Syuja’ al Imam al
Muwakkil yang mempunyai seorang putri cantik dan cerdas bernama Nizam. Gadis
ini memunculkan inspirasi pada diri Ibnu’Arabi sehingga lahirlah karyanya Turjumān
al Asywāq.24
Ketika aku
tinggal di Makkah pada tahun 599 H, disana aku bertemu dengan banyak pria
maupun wanita yang sangat terhormat, beradab, dan saleh. Tak ada satupun
diantara mereka yang membangga-banggakan diri sekalipun mereka memiliki
berbagai keutamaan dan kemuliaan ;
orang-orang seperti Abu Syaja’ Zhahir bin Rustam bin Abu Raja al
Isfahani dan saudara perempuannya, binti Rustam, seorang wanita tua alim,
seorang teladan cemerlang di kalangan kaum wanita …. Syaikh ini mempunyai
seorang anak gadis, seorang dara semampai yang memikat perhatian orang yang
melihatnya, yang kehadirannya menerangi pertemuan-pertemuan dengan sinar
cemerlang, yang mempesona dan membuat terkagum-kagum semua orang yang bersama
dengannya dan menawan kesadaran semua orang yang memandanginya. Namanya adalah
Nizam (keselarasan) dan nama panggilannya adalah ‘Ayn al Syams (mata
sang surya). Dia sangat religius, alim, zuhud, seorang bijak diantara
orang-orang bijak di Tanah Suci itu.25
Menurut Ibnu ’Arabi dalam mukadimah karyanya itu, secara lahiriah karya
itu merupakan untaian puisi cintanya kepada gadis rupawan itu, tapi sebenarnya
karya itu merupakan ungkapan cintanya kepada Sang Pencipta.26
Selama dua tahun di Makkah (1202-1204), Ibnu’Arabi sibuk dalam penulisan.
Karya-karyanya pada periode ini adalah : Misykātul Anwār, Ĥilyatul Abdāl,
Ruhul Quds, dan Tājul Rāsail. Namun karyanya yang paling monumental
adalah Al Futūĥātul Makkiyyah, yang diklaimnya merupakan hasil
pendidikan langsung dari Tuhan. Penulisan kitab yang menjadi masterpiece-nya
ini berawal dari peristiwa saat ia bertawaf di Ka’bah, dimana dia bertemu
dengan figur pemuda misterius yang memberinya pengetahuan tentang makna
isoterik dari al Qur’an. Di samping itu, sebuah visi tentang nabi Muhammad
melengkapi perjalanan rohaninya menuju puncak, yakni sebagai penutup kewalian.27 Pada periode Makkah ini juga terjadi
pertemuan antara dia dengan Syaikh Majduddin Ishaq bin Yusuf dari Anatolia
(daerah Rum). Syakh ini adalah seorang tokoh spiritual penting yang menjadi
penasehat raja di Istana Seljuk, yang suatu saat nanti akan menjadi ayah dari
Sadruddin al Qunawi, salah seorang tokoh kunci diantara murid-murid Syaikh al
Akbar.28
Pada tahun 1204 (601 H) Ibnu ’Arabi meninggalkan Makkah menuju Bagdad dan
tinggal selama 12 hari, lalu melanjutkan perjalanan ke Mosul. Tinggal di Mosul
selama satu bulan, Ibnu’Arabi bertemu dengan Abdallah bin Jami yang memberinya
pentahbisan al Khidr untuk ketiga kalinya.29 Selama tinggal di sini ia berhasil
menyelesaikan tiga karya, yaitu Tarazzulah
al Maushiliyyah, Kitab Al Jalāl wal Jamāl, dan kitab Kunh mā
lā Budda lil murīd minhu. Dari Mosul, selama tahun 1205 (602 H) mereka (Ibnu ’Arabi dan Habasyi) berangkat keutara
melalui Dyarbakir, dan Malatya sampai di Konya. Pada tahun ini Ibnu’Arabi
menyusun Risalah al Anwār (Risalah Cahaya). Dan untuk pertama kalinya
berhbungan dengan Ahaduddin Hamid al Kirmani seorang guru spiritual dari Iran.
Pada tahun 1206 Ibnu ‘Arabi menuju ke Yerussalem lalu Hebron (disini berhasil
menulis Kitab Al Yaqin) dan menunaikan ibadah Haji di Makkah pada bulan
Juli 1206. Menjelang 1207 mereka kembali berada di Kairo, berkumpul bersama
sahabat lama Ibnu’Arabi dari Andalusia yaitu Al Khayyat dan Al Mawruri.30 Tetapi sayangnya lingkungan di Kairo
tidak bersimpati pada Ibnu’Arabi, karena ajaran-ajarannya dianggap menyimpang
dan dituduh melakukan bid’ah. Mereka merasa tertekan dengan keadaan ini, pada
akhir tahun 1207 Ibnu’Arabi kembali ke Makkah untuk melanjutkan belajar Hadist
dan juga mengunjungi keluarga Abu Syuja’bin Rustam. Setelah tinggal di Makkah
sekitar satu tahun lalu berjalan lagi ke utara menuju Asia kecil. Tiba di Konya
pada tahun 1210 (607 H) dan disambut baik oleh penguasa Kay Kaus dan
orang-orang disana.31
Pada tahun 1212 (609 H) Ibnu ’Arabi kembali mengunjungi Bagdad. Di sana
dia bertemu dengan guru sufi terkenal Shihabuddin Umar al Suhrawardi, pengarang
kitab Awarif al Ma’arif.32
Pada periode antara 1213 – 1221
Ibnu’Arabi berkelana lagi ke Aleppo, Makkah, Anatolia, Malatya dan Aleppo lagi.
Sewaktu tinggal di Malatya Ibnu’Arabi sempat menulis Istilāhāt al Shufiyyah.
Pada tahun 1221 di Aleppo, Majduddin Ishaq wafat, dan Ibnu’Arabi mengambil
tugas membesarkan dan mendidik putra Majduddin, Sadruddin Qunawi yang saat itu
berusia sekitar 7 tahun. Tidak berapa lama kemudian sahabatnya Al Habasyi juga
wafat.33
Pada tahun 1223 (620 H) Ibnu’Arabi menetap di Damaskus hingga akhir
hayatnya, kecuali sekedar kunjungan singkat ke Aleppo pada tahun 1231.
Perjalanan yang panjang, hasil karya yang luar biasa, kefakiran dan kemiskinan
yang menjadi panggilan hidupnya, semua telah menggerogoti kesehatannya. Kini
dia amat terkenal dan dihormati di mana-mana. Penguasa Damaskus Al Malik al
‘Adl menawarinya untuk tinggal di Istana. Disini Ibnu ’Arabi merampungkan karya
besarnya Futūĥātul al Makkiyyah dan juga Fushūsul Hikam sebagai
ikhtisar ajaran-ajarannya. Selain itu menyelasaikan puisinya Al Diwan al
Akbar.34 Adapun Sadruddin al
Qunawi yang telah dibesarkan dan dididiknya selalu mendampinginya dengan setia,
bersama dengan Awhaduddin Kirmani, sahabat Ibnu ‘Arabi sekaligus guru Qunawi.
Ibnu ‘Arabi wafat di Damaskus pada 16 November 1240 (28 Rabi’al Tsani 638
H) dalam usia 76 tahun. Qadhi ketua di Damaskus dan 2 orang murid Ibnu ‘Arabi
melakukan upacara pemakamannya.35
Tentang isteri-isterinya menurut R.W.J. Austin yang dapat diketahui ada
tiga orang yaitu, Maryam, yang dinikahinya di Sevilla dan disebutnya sebanyak
dua kali dalam Futūĥātul al Makkiyyah II halaman 278 dan III
halaman 235. Fathimah binti Yunus bin Yusuf ; putri seorang syarif di Makkah,
ibunda dari Imad al Din (Futuhat IV halaman 554). Dan seorang wanita yang tidak
diketahui namanya, putii seorang Qadi ketua Maliki yang dinikahinya di Damaskus
(Futūĥātul IV halaman 559). Sedangkan ibunda dari Zainab (anak perempuan
Ibnu ‘Arabi) tidak diketaui namanya serta bagaimana nasibnya.36
B. Corak Pemikiran dan Gaya Ibnu ‘Arabi
Secara tipikal Ibnu ‘Arabi dianggap sebagai seorang sufi. Dan anggapan
ini relatif benar jika kita memahami istilah sufisme untuk menunjuk pada
tambatan pemikiran dan praktek Islam yang menekankan pengalaman langsung dari
obyek-obyek iman.37
Terlepas dari perbedaan mengenai asal-usul kata yang membentuk artinya seperti safa
(suci) ; shaf (baris) suffah (penghuni masjid nabawi) : sophia
(hikmah) ; atau suf (bulu domba) – tasawuf mengandung makna yang dalam
yang merujuk pada kebersihan batin, mendekatkan diri pada Tuhan, menjauhkan
diri dari kesombongan dan ketamakan terhadap daya tarik dunia. Tasawuf secara
umum adalah falsafah hidup dan cara tertentu dalam tingkah laku manusia dalam
upaya merealisasikan kesempurnaan moral, pemahaman hakikat realitas dan
kebahagian rohaniah.38
Dari sekian pengertian tasawuf (sufisme) di atas adalah benar jika
dikatakan bahwa Ibnu ‘Arabi adalah seorang tokoh sufisme. Karena jika kita
menyimak kembali riwayat hidupnya, adalah sosok yang memilih jalan ruhani yang
penuh kesederhanaan pada saat kenikmatan duniawi mengelilinginya. Harta,
jabatan, dan segala kemewahan ditinggalkannya demi mencari kabahagiaan hakiki.
Dalam banyak literatur, Ibnu ‘Arabi memang lebih sering dimasukkan dalam
kategori tokoh sufi atau dalam disiplin bidang tasawuf. Tetapi jika ada yang
menyebutnya sebagai seorang filosof – seperti halnya AE. Affifi yang memandang
Ibnu ‘Arabi dari sudut pandang filsafat – maka tidaklah mudah untuk
menyangkalnya. Hal ini dikarenakan corak pemikirannya yang mensintesakan antara
tasawuf dan filsafat.
Dari segi epistemologi, sufisme atau tasawuf adalah hasil dari proses mujahadah
(mengekang hawa nafsu), musyahadah (pandangan batin) dan intuisi.
Sedangkan filsafat adalah hasil dari cara kerja akal (logika) dan argumentasi
yang kuat. Keduanya mempunyai obyek yang sama, yakni alam beserta isinya,
manusia serta perilakunya dan eksistensi Tuhan. Pemaduan kedua unsur ini, yakni
filsafat dan tasawuf menjadi sinergi luar biasa yang melahirkan corak berfikir
rasional transedental. Inilah yang mewarnai corak pemikiran Ibnu ‘Arabi. Hasilnya
adalah terjalin kamunitas antara perspektif nalar dan spiritual.
Dalam wacana ilmu tasawuf, dibedakan adanya tiga corak atau aliran
pemikiran sufisme, yaitu : Tasawuf akhlaki, tasawuf amali dan tasawuf filosofis
atau falsafi. Kemudian pembagian tiga corak ini disingkat oleh Prof. H.A. Rivay
Siregar menjadi dua aliran yaitu tasawuf sunni (gabungan antara tasawuf akhlaki
dan tasawuf amali) dan tasawuf filosofi.39
Keduanya mempunyai sejumlah kesamaan yang prinsipil disamping perbedaan
–perbedaan yang mendasar. Persamaannya adalah bahwa keduanya mengaku bersumber
dari Qur’an dan Sunnah dan sama-sama berjalan al maqamat dan al
ahwal. Perbedaannya adalah mengenai kedekatan antara sufi dengan Tuhannya.
Penganut tasawuf sunni mengatakan bahwa sedekat apapun antara seorang manusia
dengan Tuhannya tidak mungkin jumbuh karena tidak satu esensi. Sedangkan
penganut tasawuf filosofis mengatakan bahwa manusia berpadu dengan Tuhan karena
manusia tercipta dari esensi-Nya. Selain itu perbedaan bersumber dari perbedaan
instrumen yang digunakan dalam memecahkan persoalan. Di satu pihak, tasawuf
sunni cukup menggunakan dalil-dalil naqli dari ajaran Islam, cenderung ortodok
dan sederhana dalam pemikiran. Di lain pihak tasawuf filosofis sangat gemar
terhadap ide-ide spekulatif dengan menggunakan analisis filsafat yang mereka
kuasai, baik filsafat Timur maupun Barat.40
Cikal bakal kemunculan dua aliran dalam tasawuf ini, terjadi pada abad
ketiga dan keempat Hijriyah. Pada saat itu muncul dua aliran dalam tradisi
asketisme. Aliran pertama melandaskan diri pada Qur’an dan sunnah dan memegang
tradisi kalam dan fiqih dengan kuat. Aliran inilah yang menjadi pangkal
munculnya tasawuf sunni. Aliran kedua adalah aliran yang selain berprinsip pada
Qur’an dan sunnah juga pada tradisi di luar Islam yang cenderung pada hal-hal
yang metafisis yang disebut union
mystica. Aliran ini sering menunjukkan keganjilan (syathahat)
sehingga menimbulkan pertentangan dan dianggap menyimpang dari ajaran Islam.
Aliran inilah yang menjadi awal munculnya tasawuf filosofis.
Kemudian pada abad kelima Hijriyyah, aliran sunni mengalami masa kejayaan
di tangan Abu al Hasan al Asyari (w. 324 H) dengan teologi Ahlus sunnah wal
jama’ah dan mengkritik keras terhadap keekstriman tokoh sufi seperti Abu Yazid
al Busthami dan Al hallaj, yang ungkapan-ungkapannya terkenal ganjil. Pada abad
kelima Hijriyyah ini tasawuf aliran filosofis tenggelam dan baru muncul kembali
dalam bentuk lain, yaitu pribadi para sufi yang juga filosof pada abad keenam
Hijriyyah dan setelahnya.41 Mulai
saat itulah tasawuf filosofis berkembang lagi dan sampai pada puncaknya, aliran
ini melahirkan sesosok sufi filosofis yang menggemparkan pada abad-abad
berikutnya yakni Syaikh al Akbar Ibnu al ‘Arabi. Bahkan sampai saat ini terus
menjadi bahan kajian yang aktual.
Umumnya para sufi filosofis begitu gigih mengkompromikan ajaran-ajaran
filsafat yang bersal dari luar Islam ke dalam ajaran mereka, serta menggunakan
terminologi-terminologi filsafat, tetapi maknanya telah disesuaikan dengan
ajaran tasawuf mereka. Para sufi juga filosof ini mengenal dengan baik filsafat
Yunani seperti Socrates, Plato dan aliran Stoa (didirikan oleh Zeno), serta
aliran Neoplatonisme dengan filsafatnya tentang emanasi. Selain itu mereka juga
mempelajari filsafat-filsafat timur kuno, baik dari persia maupun India, serta
menelaah karya-karya filosof Islam, seperti Al Farabi, Ibnu Sina dan lain-lain.42
Begitulah yang dilakukan Ibnu ‘Arabi.
Dengan begitu dapat dikatakan bahwa pemikiran Ibnu ‘Arabi dapat dilihat
dari dua sudut pandang, yakni tasawuf dan filsafat, meskipun tidak secara
murni. Jika dalam membahasnya kita menggunakan kacamata tasawuf, maka
pemikirannya dapat dikategorikan tasawuf filosofis. Jika menggunakan kacamata
filsafat, maka pemikirannya dikategorikan filsafat mistis.
Kita dapat melihat dari segi tasawuf karena ia menjalani laku kehidupan
rohani seperti sufi pada umumnya dan kehidupannya dipenuhi pengalaman spiritual
yang agung dan secara epistemologis ia mendapatkan pengetahuan dari intuisi, kasyf
(penyingkapan) dan dzauq (rasa). Sedangkan dari sudut pandang filsafat,
Ibnu ‘Arabi dapat disebut seorang filosof, karena selain dia faham betul dengan
teori-teori filsafat dari berbagai unsur sehingga bahasa yang digunakan adalah
bahasa filsafat, tetapi juga pemikirannya menambah pada obyek-obyek kajian
filsafat, yaitu problem metafisika.
Menurut A.E. Affifi, secara keseluruhan Ibnu ‘Arabi dapat digambarkan
sebagai filosof bertipe tidak beraturan (desultory) dan eklektik.
Dikatakannya bahwa gayanya yang ambiquity (mendua) disebabkan paling
tidak oleh tiga hal, yaitu : pertama Ibnu ‘Arabi menggunakan istilah-istilah
yang diambilnya dari berbagai sumber. Misalnya The Good-nya Plato, The
One-nya Plotinus, substansi universal-nya Asy’ari dan Allahnya Islam.
Kadang-kadang ia menggunakan satu kata untuk beberapa makna, misalnya hakikat,
diartikan sebagai realitas, kadang esensi, kadang suatu idea atau suatu ciri.
Yang kedua, bahwa Ibnu ‘Arabi selalu berusaha merekonsiliasikan dogma-dogma ortodok Islam dengan pemikiran
panteistik. Dan yang ketiga, ia menggunakan bahasa yang puitis dan fantastis
sehingga mengaburkan pemikiran yang logis dan ketat.43
Siapapun tidak menyangkal bahwa memahami pemikiran Ibnu ‘Arabi bukanlah
hal yang mudah. Meskipun karya-karyanya yang berjumlah ratusan dapat memberikan
gambaran yang utuh buah pemikirannya, tetapi ungkapan-ungkapan yang digunakan
bersifat simbolis dan mengandung makna yang begitu dalam sehingga sulit
dimengerti oleh orang-orang yang mempelajarinya. Tidak mengherankan jika, pada
suatu waktu di musim dingin di parlemen Mesir terjadi perdebatan seru di tengah
para tokoh pemikir, mengenai boleh tidaknya salah satu karya Ibnu ‘Arabi
diterbitkan secara bebas. Sebagian berpendapat boleh, sebagian melarangnya
karena dikhawatirkan menyesatkan pembacanya.44 Memang diperlukan sikap kritis dan ekstra
hati-hati karena pembahasannya merambah hal-hal yang sangat fundamental dalam
pemikiran, yaitu spekulasi tentang hakikat segala realitas. Itulah mengapa
karya-karyanya cenderung dicurigai dan dianggap membahayakan keimanan, terutama
dikalangan sunni yang nota bene dianut oleh mayoritas umat Islam.
Namun lain halnya bagi sejumlah sarjana, yang sebagian
berasal dari kalangan Syi’ah dan sebagian dari luar Islam. Mereka memiliki
sikap yang lebih menggembirakan terhadap konsep-konsep tasawuf filosofis,
termasuk didalamnya Ibnu ‘Arabi. Hal ini antara lain disebabkan karena
pandangan para sufi dianggap lebih liberal yang mengandung pesan universal bagi
bentuk agama apapun. Sehingga adanya keragaman di dunia ini tidak menjadi
halangan untuk terjalinnya harmoni kehidupan, karena hanya ada satu realitas
yang mendasarinya.
C. Karya-karya Ibnu ‘Arabi
Dalam catatan sejarah pemikiran umat Islam, Ibnu
‘Arabi adalah tokoh yang memberi konstribusi besar terhadap tradisi intelektual
secara tertulis. Separoh akhir dari kehidupannya telah menghasilkan ratusan
karya yang mempunyai nilai sastra, intelektual dan spiritual yang tidak
ternilai harganya. Memang ia adalah pemikir yang paling tinggi tingkat
produktifitasnya dibanding pemikir lain.
Namun sampai saat ini belum ada jumlah pasti yang disepakati para
peneliti atas karya-karya Ibnu ‘Arabi. Berbagai angka telah disebutkan oleh
para sarjana. L. Massignon, seorang orientalis Perancis mengemukakan, Ibnu
‘Arabi menulis sekitar 300 karya. Sementara C. Brockelmann mencatat tidak
kurang dari 239 karya. Osman Yahya dalam karya bibliografinya yang berbahsa
Perancis, menyebutkan 846 judul dan menyimpulkan bahwa hanya sekitar 700 yang
asli dan hanya 400 yang masih ada. Ibnu ‘Arabi sendiri dalam Ijazah li al Malik
al Muzaffar menyebutkan 289 judul.45
Menurut SH. Nash, karya-karya Ibnu ‘Arabi beragam ukuran dari isinya:
dari uraian-uraian pendek dan surat-surat yang hanya terdiri dari beberapa
halaman sampai karya ensiklopedik besar; dari risalah metafisis yang abstrak
sampai puisi-puisi sufi yang mengandung aspek kesadaran ma’rifah yang
muncul dalam bahasa cinta. Karya-karya itu mencakup persoalan metafisika,
kosmologi, psikologi, penafsiran terhadap Al Qur’an dan semuanya bertujuan
menjelaskan makna-makna isoterik.46
Menurut Stephen Hirtenstein, Ibnu ‘Arabi menulis tidak kurang dari 350
buku. Karya-karya utamanya disebutkan Stephen sebanyak 30 buah, termasuk
didalamnya master piece Futūĥātul al Makkiyyah dan magnum opus
Fushūsh al Ĥikam.47
Futūĥāt al Makkiyyah (pembukaan Makkah) adalah karya Ibnu
‘Arabi yang menjadi perdebatan di parlemen Mesir. Berisi tentang kehidupan
spiritual para sufi beserta ajaran-ajarannya, prinsip-prinsip metafisika, dan
ilmu-ilmu keagamaan seperti tafsir atas Al Qur’an, hadist dan fiqih. Menurut
pengakuan Ibnu ‘Arabi, karya ini merupakan hasil pendiktean dari Tuhan melalui
malaikat-Nya. Mulai disusun di Makkah pada tahun 1202 (598 H) setelah Ibnu
‘Arabi menerima visi tentang pemuda dan selesai pada tahun 1231 (629 H) untuk
versi pertama dan pada tahun 1238 (636 H) untuk versi kedua. Dalam edisi lama
kitab ini setebal 2.580 halaman. Dan atas prakarsa Departemen Ilmu Pengetahuan
dan Kebudayaan Mesir diterbitkan kembali sebanyak 18.000 halaman/37 volume dalam
4 jilid dengan pentahqiq Osman Yahia dan disunting oleh Ibrahim Madkour.48
Karya monumental kedua adalah Fushūsh al Hikam (untaian
permata kebijaksanaan). Diakui Ibnu’Arabi, karya ini ditulis berdasarkan
perintah Nabi SAW untuk diajarkan pada umat manusia. Terdiri dari 27 bab,
setiap bab mengajarkan tentang kebijaksanaan yang dimiliki setiap nabi, dimulai
dari nabi Adam dan ditutup dengan Nabi Muhammad. Secara keseluruhan
mempresentasikan kebijaksanaan umat yang berbeda-beda menuju kebijaksanaan
universal yang dicakup oleh kenabian Muhammad. Karya ini dianggap sebagai
intisari dari ajaran Ibnu ‘Arabi, yang ditulis pada tahun 1229 (627 H) di
Damaskus, sekitar 10 tahun sebelum ia wafat.49
Selain dua karya utama tersebut, berikut adalah karya-karyanya yang terhimpun
dalam beberapa kategori. Karya yang berisi tentang metafisika dan kosmologi ada
tiga buah, yaitu Insya’al Dawair (lingkaran yang meliputi) Uqlah al
Mustawfiz dan Tadbirah al Ilahiyyah (pemerintahan ilahiyyah)
Suatu kumpulan karya Ibnu ‘Arabi yang berisi tentang
pengalaman-pengalaman spiritual dan petunjuk-petunjuk abstrak maupun praktis
bagi penempuh jalan ruhani, tergabung dalam Rasa’il Ibnu al Arabi. Diantaranya
adalah kitab-kitab sebagai berikut :50
a.
Kitab Al Isra’ (Perjalanan malam)
Ditulis pada tahun 1198 (594 H), menggambarkan pendakian mistik
dan pertemuan dengan realitas spiritual
nabi di tujuh langit.
b.
Hilyah al Abdāl (perhiasan para pengganti)
Ditulis pada tahun 1203 (599 H) di Thaif. Mengajarkan empat
penopang jalan yaitu : penyendirian, diam,lapar dan terjaga.
c.
Risalah al Anwār (risalah cahaya-cahaya)
Ditulis pada tahun 1205 (602 H) di Konya untuk memenuhi permintaan
seorang sahabat. Mendiskripsikan persoalan-persoalan spiritual mengenai
pendakian non stop melalui berbagai tingkatan menuju kesempurnaan manusia.
d.
Kitab Al Fana’ fi al Musyahadah (fana’ dalam
kontemplasi)
Ditulis di Bagdad pada tahun 1212 (608 H). Merupakan pemikiran
mendalam atas surat ke 98. Mendiskripsikan mengalaman visi mistik dan perbedaan
orang-orang berpengetahuan riil dengan orang-orang intelek.
e.
Istilah al Shufiyyah (istilah sufi)
Ditulis pada tahun 1218 (615 H) di Malatya. Terdiri dari 199
definisi singkat dari ekspresi penting yang lazim digunakan di antara
hamba-hamba Allah.
Karya-karya mengenai biografi para sufi yang hidup di zamannnya adalah Ruĥ
al Quds (Ruh-ruh suci) dan Al Durrah al Fakhirah. Kedua kitab ini
diterjemahkan dalam satu buku oleh R.W.J Austin dan di beri judul Sufis of
Andalusia.
Turjumān al Asywāq adalah karya Ibnu ‘Arabi yang mengundang
penafsiran negatif tentangnya, karena dianggap sebagai ekspresi dari cinta
nafsu yang dipersembahkan untuk Nizam. Tetapi kemudian sebagai pembelaan bahwa
itu merupakan ekspresi cinta terhadap Tuhan, Ibnu ‘Arabi menulis Dzakha’ir
al Alāq.
Kitab Al Alif, kitab Al Ba’, kitab Al Ya’, adalah
seni karya-karya ringkas, menggunakan sistem penomoran alfabetis. Dimulai di
Yerusalem tahun 1204 (602 H). Seri kitab ini membahas prinsip-prinsip Ilahiyyah
yang berbeda-beda seperti : ketunggalan (ahadiyyah), kasih (Rahman)
dan cahaya (Nūr).
Fihrist al mu’allafah adalah katalog karya tulis yang dibuat Ibnu
‘Arabi sendiri untuk karya-karyanya yang memuat 248 karya. Di tulis pada tahun
1229/1230 (627 h) di Damaskus untuk muridnya Sadruddin al Qunawi.
Selain karya-karya di atas, masih banyak lagi karya Ibnu
‘Arabi yang akan memakan tempat jika dituliskan semua. Di bawah ini adalah
karya-karya yang dapat kami sebutkan :
-
Mashasid al Asrar al Qusdsiyyah (kontemplasi
misteri kudus)
-
Anqa’Mughrib (burung anqa’ di barat)
-
Misykat al Anwār (relung cahaya)
-
Mawaqi’ al Nujūm (letak bintang-bintang)
-
Taj al Rasa’il (mahkota surat-surat)
-
Kitab Jalāl wa al Jamāl (keagungan dan
keindahan)
-
Kitab Tajalliyah (kitab teofani)
-
Dan Awrat al Usbu’ (doa’ untuk seminggu)
D.
Unsur-unsur yang mempengaruhi pemikirannya
Secara umum
telah terbukti bahwa tasawuf merupakan fenomena spiritual dan kultural yang
tunduk kepada berbagai faktor dan pengaruh yang melingkupi realitas sosial.
Meskipun tidak diragukan lagi bahwa ajaran dan prinsip Islam memiliki peran
utama di mata kaum muslimin yang dipegang dan dijadikan pedoman asasi, tetapi
lingkungan Islam tidak terlepas dari unsur-unsur lain yang masuk kemudian
mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya berbagai aliran tasawuf. Menurut Ibrahim
Madkour, ada dua klasifikasi besar yang menjadi faktor yang mempengaruhi
tasawuf Islam yaitu faktor internal dan faktor eksternal.51
Secara
internal tasawuf terpengaruh oleh tindakan nabi dan para sahabatnya yang
berlandaskan pada hikmah dan mauidzah yang terdapat dalam Al qur’an dan Al
sunnah. Banyak ayat Al Qur’an yang mereka gunakan sebagai dalil untuk
justifikasi atas tindakan maupun perilaku mereka. Misalnya saja Al Muzammil :
1-8 yang mengajak untuk berdzikir dan beribadah. Atau surat Al Mujadalah : 7
yang menggambarkan kedekatan hubungan manusia dengan Allah. Adapun
hadist-hadist yang dijadikan dasar pemikiran mereka tentang tujuan dari
penciptaan makluk, seperti hadist qudsi yang berbunyi :
“Aku
(bagaikan) gudang yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenali, untuk itu aku
menciptakan makluk, kemudian mereka mengenalku”52
Faktor-faktor
eksternal yang mempengaruhi tasawuf diantaranya adalah tradisi Kristen yang
sudah lebih dulu muncul di Jazirah Arab sebelum Islam datang. Peradaban
India-Cina. Selain itu yang begitu terlihat dalam faktor eksternal ini adalah
pengaruh dari filsafat Yunani, terutama
Plato, Aristoteles dan Neoplatonisme.53
Klasifikasi
faktor internal dan eksternal ini ditujuakan untuk tasawuf secara umum, meski
demikian pemikiran tasawuf Ibnu ‘Arabi juga tidak dapat dilepaskan dari
faktor-faktor yang telah disebut di atas.
Secara
eksplisit A.E. Affifi memaparkan sumber-sumber yang mempengaruhi pemikiran Ibnu
‘Arabi dalam dua kelompok besar yaitu : sumber-sumber dari Islam dan
sumber-sumber non Islam. Sumber-sumber Islam disebutkan ada tujuh macam yaitu :
a.
Qur’an dan Hadist-hadist Nabi
b.
Sufi-sufi pantheistik, seperti Hallaj, Bayazid dan
sebagainya.
c.
Asketik-asketik muslim.
d.
Theologia-theologia skolastik seperti Asy’ari dan
Mu’tazilah.
e.
Carmathian dan Ismailian (terutama Ikhwanus Shafa)
f.
Aristotelian dan Neoplatonik Persia, terutama Ibnu Sina
g.
Isyraqiyah
Sedangkan
sumner-sumber non Islam adalah filsafat hellenistik, terutama Neoplatonik dan
filsafat Pilo dan Stoies.54
AE. Affifi
tidak memberi penjelasan secara rinci mengenai unsur-unsur tersebut, tetapi
menurutnya pada sisi filosofis Ibnu ‘Arabi lebih merupakan seorang Neoplatonis
sebagaimana yang di tunjukkan oleh aliran Ikhwanus Shafa. Pada sisi mistis
gayanya sama dengan Hallaj, tetapi tidak dalam emosionalnya, karena Ibnu ‘Arabi
jauh lebih besar sikap intelektualnya. Pada sisi logika serta dalam hal etika
dan eskatologinya, Ibnu ‘Arabi menggunakan banyak sekali theologia-theologia
muslim.55
Bagaimanapun
juga harus diakui bahwa Ibnu ‘Arabi sosok ekletik yang berusaha memadukan
berbagai unsur – unsur pemikiran. Disamping ajaran Islam yang menjadi unsur
fundamental dari permikirannya, unsur-unsur tersebut juga berasal dari ajaran
Kristen kuno, Filsafat Yunani, Persia dan India. Namun kita harus mengakui
bahwa pemikirannya ini tidak semata-mata diambil secara apa adanya atau
asal-asalan dari sumbernya. Oleh Ibnu ‘Arabi setiap unsur yang diambil
disesuaikan dengan proporsinya kemudian dipadukan, diolah dan di analisa
sehingga menghasilkan formula yang dapat diklaim otentik sebagai hasil pemikirannya.
Fakta sejarah membuktikan, meskipun dalam penyampaiannya cenderung tidak
beraturan dan sangat sulit dipahami, ajaran Ibnu ‘Arabi dinyatakan oleh banyak
pemikir sebagai doktrin yang paling lengkap dan matang. Pemikiran Ibnu ‘Arabi
digambarkan sebagai puncak dari penggambaran spritual dan intelektual dari
tokoh tokoh sebelumnya.56
BAB III
WAĤDATUL
WUJŪD DAN FILSAFAT NEOPLATONISME
Waĥdatul Wujūd
Pengertian
Sebelum melangkah pada pembahasan mengenai konsep waĥdatul wujūd,
sebaiknya yang pertama kali kita uraikan adalah istilah kuncinya, yakni wujūd.
Banyak penulis merasa kesulitan dalam menemukan suatu terjemah yang tepat bagi
kata wujūd.[10]
Kebanyakan dari mereka lebih memilih tidak menerjemahkan istilah ini ke dalam
kata yang pendek atau singkat. Mereka tetap menggunakannya dengan terlebih
dahulu diberi penjelasan panjang lebar, sebagai konsep yang independent maupun
digunakan sebagai bahasa teknis yang disesuaikan dengan konteksnya.
Kata wujūd mempunyai pengertian obyektif sekaligus subyektif.[11]
Dalam pengertian obyektif, kata wujūd adalah masdar dari wujida
yang artinya “ditemukan”. Dalam pengertian ini biasanya wujūd
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi being atau existence
atau “ada” dan di dalamnya terdapat aspek ontologis.[12]
sedangkan dalam pengertian subyektif wujūd adalah masdar dari wajada
yang berarti “menemukan”. Biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris
menjadi finding dan di dalamnya terdapat aspek epistemologis.[13]
dalam sistem Ibnu ‘Arabi, kedua aspek ini menyatu secara harmonis.[14]
Pada satu fihak, wujūd atau satu-satunya wujūd adalah “menemukan”
Tuhan yang dialami oleh Tuhan sendiri dan para pencari rohani. Orang-orang yang
“menemukan” Tuhan oleh Ibnu ‘Arabi disebut sebagai ahlu kasyf wal wujūd
(orang-orang yang menyingkap dan menemukan).[15]
Ketika Ibnu ‘Arabi berbicara tentang sesuatu yang spesifik atau suatu ide
yang dapat didiskusikan, dia menggunakan term eksistensi yang artinya sesuatu
itu ada dan dapat ditemukan. Dalam pengertian ini kita dapat mengatakan bahwa
Tuhan mewujud atau “Tuhan ada dan ditemukan”.[16]
Seperti hubungan antara timur dan barat, depan dan belakang, jika wujūd
diartikan sebagai “yang ada” atau eksistensi, kita akan dihadapkan pada
konsekwensi logisnya yakni ‘adam, “ketiadaan” atau non eksistensi. Hubungan wujūd
dengan ‘adam dinisbatkan secara mutlak oleh Ibnu ‘Arabi sebagai hubungan
antara cahaya dan kegelapan. Wujūd adalah cahaya dan ‘adam adalah
kegelapan, karena itu wujūd atau cahaya adalah milik Tuhan sedangkan ‘adam
atau kegelapan adalah milik alam atau kosmos.[17]
Ibnu ‘Arabi seringkali menggunakan kata wujūd dalam pengertian
yang beragam, tetapi dalam pengertian fundamental wujūd adalah satu.
Perbedaan pengertian pada saat istilah ini digunakan harus dipahami dengan mengandaikan
perbedaan realitas tunggal dan penampakan wujūd itu sendiri. Pada
tingkatan tertinggi wujūd adalah realitas Tuhan yang absolut dan tidak
terbatas, yakni “wujūd niscaya” (wajibul wujūd). Dalam pengertian
ini wujūd menandakan esensi Tuhan atau Hakikat (Dzat al Ĥaqq),
yaitu satu-satunya realitas yang nyata di setiap sisi. Sedangkan pada tingkatan
terbawah wujūd berupa substansi yang meliputi segala sesuatu selain
Tuhan (Ma Siwallah). Dengan cara inilah Ibnu ‘Arabi mendefinisikan alam,
kosmos atau jagad raya (al ‘alam). Pada pengertian kedua ini istilah wujūd
digunakan sebagai stenografi untuk merujuk pada keseluruhan yang eksis dan
ditemukan di jagad raya[18].
Pengertian wujūd yang senada juga telah dikemukakan oleh AE.
Affifi yakni (a) wujūd sebagai suatu konsep : ide tentang wujūd
eksistensi atau wujūd bil ma’na al masdari, (b) wujūd berarti
yang mempunyai wujud, yakni yang ada atau yang hidup atau wujūd bil ma’na
maujūd.[19]
Dalam kamus Khasanah Istilah Sufi disebutkan definisi wujūd
sebagai berikut : wujūd adalah eksistensi, wujūd atau penemuan.
Jika diartikan sebagai wujūd istilah ini menunjukkan Dzat Allah itu
sendiri. Jika diartikan sebagai eksistensi, wujūd menunjukkan segala
sesuatu di alam semesta. Jika diartikan sebagai penemuan, wujūd menunjukkan
pengalaman “menemukan” Allah. Kalangan penegas, penyingkap dan penemu
“menemukan” Allah secara terus menerus dan tiada henti, baik di alam semesta
maupun di dalam diri mereka sendiri. Untuk definisi waĥdatul wujūd kamus
ini menyebutkan : kesatuan eksistensi, kesatuan wujud atau kesatuan penemuan.
Di akhir perjalanan hanya Allah yang ditemukan[20].
Dari pengertian-pengertian wujūd di atas, yakni “menemukan”, “ada”
ataupun eksistensi, makna paling fundamental yang menjadi inti dari pemikiran
Ibnu ‘Arabi adalah wujud sebagai realitas absolut yang dinisbatkan pada Tuhan.
Sedangkan term wujūd/eksistensi yang juga digunakan untuk menjelaskan
keberadaan kosmos termasuk manusia memiliki makna majazi atau metaforis, bukan
secara hakikat.
Dengan dijelaskannya pengertian wujūd, sebenarnya arti istilah wahdah
al wujūd sudah dapat dibayangkan dalam pikiran kita. Jika wujūd
adalah satu-satunya realitas yang ada, maka waĥdah sebagai kata depan
dari wujūd memiliki arti sebagai tambahan, waĥdatul wujūd atau
kesatuan wujud atau kesatuan eksistensi. Meskipun demikian, waĥdah tidak
sekedar menjadi tambahan saja. Waĥdah memiliki makna yang sama dengan
tauhid[21],
sebuah pengakuan keesaan yang merupakan prinsip dasar dalam bangunan Islam. Waĥdah
menjadi awal kata yang memberikan power lebih kepada wujūd untuk menjadi
satu istilah khusus yang membedakannya dari pengertian lain, yang kemudian
menjadi trade mark dari pemikiran Ibnu ‘Arabi.
Persepsi tentang waĥdatul wujūd dapat dianalogikan dengan apa yang
kita pahami ketika ada sorot cahaya menembus sebuah prisma : sekalipun terdapat
banyak warna cahaya yang berbeda, namun kita memahaminya hanya berupa cahaya,
karena hanya cahayalah yang eksis. Ibnu ‘Arabi mengatakan bahwa wadah
manifestasi Tuhan bersifat jamak karena keanekaragaman sifat-sifat dan efek
yang ditampilkan. Namun mereka satu, karena kesatuan wujud yang menjelmakan di
dalamnya. Kesatuan muncul dalam manifestasi wujud (segala sesuatu), sementara
keragaman bersemayam dalam entitas-entitas yang tidak memiliki eksistensi
sendiri. Oleh karena itu, Tuhan dalam keesaan-Nya adalah identik dengan wujud
dari segala sesuatu, tetapi Dia juga tidak identik dengan segala sesuatu itu.[22]
Menurut Kautsar Azhari Noer, Ibnu ‘Arabi tidak hanya menekankan keesaan
wujud, tapi menekankan juga keanekaan realitas. Ia mengajarkan konsep tanzih
(ketakdapat dibandingkan) dan tasybih (kemiripan); konsep al bathin
(yang tidak tampak) dan al Zhahir (yang tampak); al Ĥaqq dan al
Khalq konsep-konsep yang disebut pertama menunjukkan dari segi Dzat-Nya
yang satu, sedangkan yang kedua menunjukkan nama-nama-Nya dan penampakan-Nya
yang melahirkan keanekaragaman.[23]
Menurut Ibnu ‘Arabi, keragaman dan kemajemukan adalah inheren di dalam
Sang Asal. Sama seperti angka adalah inheren dalam unit “satu”. Keragaman ini
disebutnya sebagai Nama-nama Ilahi, yang menggambarkan hubungan yang inheren di
dalam wujūd itu sendiri. Nama-nama itu dapat dibagi dalam dua kelompok,
yaitu transenden dan imanen. Transenden adalah nama yang menunjukkan keadaan
dimana wujūd absolut berada di luar wujūd relatif berdasarkan
atas interioritas dan prioritas logis. Sedang imanen menunjukkan keadaan dimana
wujūd dihubungkan dengan relatifisasi. Mereka hanya dapat dikenali atau
diketahui jika efek-efeknya termanifestasikan. Misalnya, untuk
menggambarkan-Nya sebagai Yang Absolut, kita harus melepaskan-Nya dari semua
batas dan kondisi. Tapi dalam waktu yang sama, batas dan kondisi harus
dilekatkan pada bentuk lain agar kita dapat mentransendenkan-Nya dari bentuk
lain itu. Untuk menggambarkan-Nya sebagai Tuhan Penguasa, memerlukan eksistensi
yang membuat-Nya menjadi Tuhan. Untuk memanggil-Nya Tuhan diperlukan eksistensi
tempat menjalankan fungsi ketuhahanan-Nya. Eksistensi yang dimaksud adalah
dunia atau alam, dimana nama Tuhan memainkan peran-Nya, baik secara langsung
atau tidak dalam mementaskan drama Ilahiah. Demikianlah Ibnu ‘Arabi memandang
dunia yang terdiri dari kemajemukan merupakan manifestasi (tajalli)
tanpa akhir dari wujūd Tuhan.[24]
Ibnu ‘Arabi menjelaskan bahwa wujud menjadi nyata oleh karena Tuhan
sebagai Yang Zahir memperlihatkan Diri-Nya dalam suatu wadah manifestasi (locus
of manifestation/mazhar) yakni dalam kosmos itu sendiri. Tuhan tidak
memperlihatkan diri-Nya sebagai Yang Bathin, karena sebagai Yang Bathin Dia
tidak dapat dijangkau dan diketahui. Di dalam kosmos ini berbagai wadah
manifestasipun tampak, dan semua itu dikenal dengan “segala sesuatu” atau
entitas-entitas. Wadah manifestasi itu tidak ada dengan sendirinya, karena
Tuhanlah pemilik wujūd.[25]
Dengan begitu dapat dikatakan bahwa segala yang maujud di jagad raya mendapat
pinjaman wujūd dari Tuhan dan karenanya tidak abadi dan akan kembali
pada wujūd hakiki (Tuhan).
Al Ĥaqq identik
dengan locus manifestasi. Yang menjelma adalah sifat-sifat dari entitas yang
mungkin, yang kekekalannya berasal dari keabadian tanpa awal. Mereka tidak
memiliki wujud, maka al Ĥaqq dinyatakan terlalu suci untuk ternodai oleh
perubahan sifat-sifat dari mumkin al wujūd di dalam entitas wujūd
al Ĥaqq.[26]
Menurut Ibnu ‘Arabi kesatuan adalah karakteristik pertama dari Nama atau
asal usul dari segala sesuatu. Menggambarkan-Nya sebagai Yang Satu adalah cara
terbaik untuk menunjukkan-Nya, tapi cara ini tidak menjelaskan dan
menggambarkan-Nya. Karena realitas mutlak tidak dapat dinamai, dideskripsikan
dan tetap tidak dikenal. Yang Satu dan Yang Unik (al Waĥid al Aĥad)
adalah sebutan yang paling tepat. Nama ganda ini mengekspresikan makna tunggal
dari keesaan dan sekaligus menunjukkan perbedaan dalam kesatuan.
Nama pertama
adalah al Waĥid al Aĥad yang merupakan Nama gabungan seperti Baalbek
atau rumhurmuz atau al Raĥman al Raĥim. Ia menunjukkan pada esensi
terdalam dari kemandirian dan kesempurnaan, bukan sebagai hubungan yang
dengannya Dia disifati. Al Waĥid al Aĥad adalah Nama esensial bagi-Nya.[27]
Jika Yang Satu dan Yang Unik adalah asal usul dari segala sesuatu,
bagaimana bisa kemajemukan muncul dan kita melihat segala sesuatu dalam
keragaman? Ibnu ‘Arabi menganggap hal ini sebagai salah satu bukti bahwa rahmat
Allah mengalahkan murka-Nya, mengarahkan pada kebahagiaan tertinggi dari semua
ciptaan-Nya.[28] “Ketika
Tuhan adalah akar dari segala keragaman dan keyakinan di dalam kosmos, dan
ketika Dia menyebabkan eksistensi segala sesuatu di dalam kosmos sesuai
ketentuan tanpa terasuki oleh apapun, maka segala sesuatu ada karena
rahnat-Nya”.[29]
Ibnu ‘Arabi adalah tokoh pemikir yang mengangkat problem metafisika
dengan menggunakan kerangka sufistik, memandangnya melalui dzauq dan
menguraikannya dengan akal murni, sehingga apa yang diungkapkannya bersifat
hakikat. Baginya hakikat adalah wujūd dan wujūd adalah satu.
Kalaupun nampak keanekaragaman, itu hanyalah akibat dari keterbatasan indera
dan rasio manusia dalam menangkap hakikat yang satu. Disamping banyak yang
mengecamnya banyak pula para penulis tidak keberatan untuk mengatakan bahwa
rumusan pemikiran dari Kesatuan Wujud mengandung kedalaman, kejernihan dan
kehalusan yang tidak tertandingi. Prinsip ini bukan sekedar apresiasi dari ide
intelektual seorang tokoh genius, melainkan usaha pencarian makna hidup yang
harus diungkapkan dan diaktualisasikan. Waĥdatul wujūd tidak dapat
disejajarkan dengan kepercayaan kepada Yang Esa dalam konteks agama Ibrahim
tertentu. Prinsip ini bersifat absolut di luar pertentangan, meliputi semua
kepercayaan dan doktrin. Prinsip tersebut muncul dalam segala sesuatu namun
tidak terkandung di dalam segala sesuatu.
Sejarah Istilah Waĥdatul
Wujūd dan Perdebatan tentangnya
Dalam khasanah sufisme, secara umum konsep waĥdatul wujūd selalu
dihubungkan dengan Ibnu ‘Arabi. Karena dianggap sebagai pencetus dari doktrin
ini, maka waĥdatul wujūd juga dianggap berasal dari ucapan Ibnu ‘Arabi
sendiri. Tetapi seiring berjalannya waktu anggapan ini sedikit demi sedikit
berubah dengan diadakannya penelitian-penelitian yang dilakukan oleh
sarjana-sarjana kontemporer. Hasil yang diperoleh dari penelitian baru-baru ini
adalah bahwa istilah waĥdatul wujūd tidak diciptakan oleh sang syaikh
sendiri, karena dalam karyanya tidak ditemukan istilah ini.[30]
Tetapi lain halnya dengan apa yang dikemukakan oleh Stephen Hirtenstein.
Menurutnya Ibnu ‘Arabi pernah menggunakan istilah waĥdatul wujūd
meskipun hanya satu kali dalam karyanya :
Aku memohon
kepada-Mu dengan rahasia yang dengannya Engkau menyatukan hal-hal yang
bertentangan. Agar Engkau menyatukan untuk-ku hal-hal yang memisahkan
keberadaanku, dalam persatuan tempat. Engkau jadikan aku menyaksikan kesatuan
wujud-Mu. Masukkan aku ke dalam jubah keindahan-Mu dan mahkotai aku dengan
mahkota keagungan-Mu.[31]
Inilah satu-satunya tempat dimana Ibnu ‘Arabi menyebut istilah waĥdatul
wujūd dalam sebuah kitab tentang do’a siang dan malam.
Meskipun hanya sekali disebutkannya waĥdatul wujūd dan bahkan
sebagian sarjana menganggapnya tidak pernah menyebutnya, Ibnu ‘Arabi tetaplah
dipandang sebagai pendiri doktrin ini, karena ajaran-ajarannya yang mengandung
ide kesatuan. Misalnya dari ucapan-ucapannya di bawah ini :
Tidak ada
sesuatu selain wujud, absolut, yang murni, bukan ex nihilo, dan itu
adalah wujud Allah Yang Maha Tinggi. Keberadaan ex nihilo adalah esensi
dari benda-benda yang diciptakan itu sendiri, yang merupakan eksistensi dunia.
Tidak ada perbedaan diantara dua eksistensi tersebut; dan tidak ada perluasan
kecuali dalam imajinasi yang mengklasifikasikan benda-benda. Sehingga tidak ada
lagi yang tersisa kecuali wujud mutlak dan wujud relatif, aktif dan pasif.
Demikanlah realitas-realitas yang diturunkan dengan kedamaian melalui
kesempurnaan.[32]
Semua wujud adalah satu dalam realitas, tiada sesuatupun
dalam wujud bersama denganNya.[33]
......... Wujud bukan lain dari al Ĥaqq karena tak
ada sesuatupun dalam wujud selain Dia.[34]
......... Entitas wujud adalah satu, tetapi
hukum-hukumnya beraneka.[35]
Pada awalnya Ibrahim Madkour dan Su’ad al Hakim berpendapat dalam
karya-karya mereka bahwa orang pertama yang menggunakan istilah waĥdatul
wujūd adalah Ibnu Taimiyah. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh William
C. Chittick menggugurkan anggapan ini dan menyatakan bahwa Al Qunawi-lah orang
yang pertama kali menggunakan istilah waĥdatul wujūd. Hal ini dijelaskan
oleh Kautsar Azhari Noer. Menurut William C. Chitick, istilah ini pertama
digunakan oleh Al Qunawi (w. 673/1274) kemudian diikuti oleh muridnya Sa’id al
Din Farghani (w. 700/1301). Tokoh yang sezaman dengan Al Qunawi yang mendapat
pengaruh besar dari Ibnu ‘Arabi dan telah menyebut istilah waĥdatul wujūd adalah
Ibnu Sab’in (w 669/1270), Awhad al Din Balyani (w 686/1288), Sa’ad al Din
Hammuya (w. 649/1252) dan muridnya Azizal Din Nasafi (w. sebelum 700/1300).
Sedangkan tokoh yang dianggap paling besar peranannya dalam mempopulerkan
istilah waĥdatul wujūd adalah Ibnu Taimiyah (w. 728/1328).[36]
Diantara tokoh-tokoh di atas, nampaknya yang dianggap dapat
merepresentasikan ajaran dari Ibnu ‘Arabi secara utuh adalah Al Qunawi dan
muridnya Farghani. Kedua tokoh ini memberikan pandangannya yang proporsional
bagi dua dimensi dari ajaran waĥdatul wujūd yakni tanzih dan tasybih-Nya.
Meskipun Esa dalam Dzat-Nya, wujūd adalah banyak dalam penampakan-Nya.
Sedangkan Ibnu Sab’in dan Balyani dianggap hanya memandang satu aspek dari
konsep kesatuan wujud yakni tasybih atau imanensi-Nya tanpa tanzih
atau transendensi-Nya[37].
Ibnu Taimiyah dikemudian hari menggunakan istilah waĥdatul wujūd dengan
memberikan penilaian negatif tentang konsep ini dan para pendukungnya. Ibnu
Taimiyah mengkhususkan istilah ini untuk menyebut kaum penganut ittihad
dan hullul. Karena pandangannya ini, Ibnu Taimiyah dianggap telah memaknai waĥdatul wujūd
dari karya-karya Ibnu Sab’in dan murid-muridnya. Karena ia tidak memandang dua
dimensi dari konsep ini tetapi hanya satu dimensi, yakni tasybih-Nya
saja[38].
Sejak zaman Ibnu Taimiyah dan seterusnya, istilah waĥdatul wujūd
semakin sering digunakan secara umum untuk menunjukkan doktrin yang diajarkan
Ibnu ‘Arabi. Bagi para pengecamnya, doktrin waĥdatul wujūd dicap negatif
dan diberi label kufr, zindiq, dan bid’ah. Tetapi bagi penganut
dan pendukungnya doktrin dan istilah waĥdatul wujūd mempunyai pengertian
positif. Bagi mereka diartikan tauhid yang tinggi sebagai puncak dari keimanan.[39]
Sejak istilah waĥdatul wujūd
dirujukkan pada pemikiran Ibnu ‘Arabi, banyak sarjana yang tertarik untuk
mengulas apa yang diajarkan sufi dari Andalusia ini, seiring dengan
meningkatnya semangat para sarjana dalam mengkaji sufisme. Para sarjana yang
berasal dari Barat maupun timur tersebut berbeda satu sama lain dalam memberi
kesimpulan tentang ajaran Ibnu ‘Arabi. Menurut studi yang telah dilakukan oleh
Kautsar Azhari Noer, banyak sarjana yang setelah mempelajari doktrin waĥdatul
wujūd kemudian memberikan label-label yang beragam terhadapnya. Panteisme[40]
dan monisme[41]
adalah predikat yang banyak digunakan untuk menyebut doktrin ini. Meskipun
demikian, tidak sedikit pula sarjana yang menyanggah label-label tersebut
karena menganggap hal itu dapat mereduksi makna yang luas dari doktrin
ini.
Masih menurut Kautsar, nama para sarjana yang telah melabeli waĥdatul
wujūd dengan panteisme dan monisme antara lain : Reynold A. Nicholson dalam
tulisannya tentang Ibnu ‘Arabi dalam Encyclopedia of Religion and Ethic
pernah mengatakan bahwa sistem Ibnu ‘Arabi dapat dilukiskan sebagai monisme
panteistik.[42] Edward
J. Jurji memandang bahwa Ibnu ‘Arabi memandang bahwa Ibnu ‘Arabi adalah sang
mistikus monis dan panteis terbesar.[43]
Gerhard Endress juga memberikan label yang sama dengan Jurji yakni monisme dan
panteisme.[44] A.E.
Affifi telah mengkategorikan sistem Ibnu ‘Arabi sebagai panteisme yang
berbentuk akosmisme[45]
yang berbeda dengan panteisme materialistik.[46]
Menurut S.A.Q. Husaini, waĥdatul wujūd paling baik diberi label monisme
panteistik yang dibedakan dengan monisme lain seperti monisme substansial,
agnostik, atributif dan sebagainya.[47]
Kautsar berpendapat bahwa jika panteisme diartikan sebagai imanensi Tuhan
saja dan menolak transendensi-Nya, maka label panteisme tidak dapat diberikan
pada waĥdatul wujūd, karena hal ini tidak sesuai bahkan dapat
mengacaukan pengertian yang sesungguhnya.[48]
Dan hal inilah yang telah dilakukan oleh para sarjana seperti Nicholson, Jurji,
Endress dan Husaini. Tokoh dari Indonesia yang pernah mengulas tentang waĥdatul
wujūd adalah antara lain Hamka dan Yunasril Ali.[49]
Kedua tokoh ini memandang sama dalam menilai waĥdatul wujūd, yakni
panteisme. Hamka mengatakan bahwa menurut Ibnu ‘Arabi wujūd hanya satu. Wujūd
alam adalah satu dan tidak ada perbedaan diantara keduanya. Hamka hanya melihat
sisi tasybih dari waĥdatul wujūd, seperti halnya dengan
sarjana-sarjana Barat yang telah disebut di atas. Yunasril Ali memperkuat
pendapatnya bahwa waĥdatul wujūd adalah panteisme dengan mengutip
tulisan Sidi Gazalba “Tuhan dan alam itu identik. Tuhan adalah alam dan alam
adalah Tuhan”.[50]
Namun dikemudian hari, pendapat Yunasril Ali ini berubah. Ia tidak lagi
melabeli waĥdatul wujūd dengan panteisme, bahkan sekarang turut menolak
pelabelan ini.[51]
Lain halnya dengan apa yang dikatakan Dr. Simuh tentang waĥdatul wujūd.
Menurutnya waĥdatul wujūd adalah bentuk filsafat monisme. Pendapat ini
didasarkan pada teori tajalli yang artinya bahwa Allah menampakkan diri
dengan bercermin. Makhluk atau alam merupakan hasil dari bayang-bayang Allah
dan tidak memiliki wujud hakiki. Karena wujud yang sebenarnya hanya tunggal,
maka menurut Simuh paham ini disebut monisme.[52]
Dalam hal ini Simuh tidak menjelaskan lebih lanjut tentang transendensi dan
imanensi-Nya.
Demikian para tokoh Barat maupun Timur yang telah melabeli doktrin waĥdatul
wujūd dengan istilah panteisme dan monisme. Kembali pada apa yang
diungkapkan oleh Kautsar, bahwa pelabelan tersebut tidaklah dibenarkan. Namun
lanjutnya ada pula pelabelan panteisme yang sulit dibantah dan disalahkan
karena tambahan akosmisme di belakangnya. Inilah pendapat A.E. Affifi yang tidak
hanya menekankan imanensi-Nya tapi juga mengakui transendensi-Nya.[53]
Menurut A.E. Affifi, waĥdatul wujūd adalah satu bentuk panteisme yang
mengasumsikan bahwa sesuatu yang absolut, yakni wujud yang tidak terbatas dan
abadi yang merupakan sumber landasan puncak dari wujud kini, yang lalu dan akan
datang yang lambat laun menjadi suatu bentuk akosmisme yang menyatakan bahwa
dunia fenomena hanyalah semcam bayang-bayang yang lewat dari realitas yang
terletak di belakangnya. Segala sesuatu yang terbatas dan temporal hanyalah
ilusi dan tidak riil.[54]
Menurut hemat penulis, apa yang dimaksud oleh Simuh dan A.E. Affifi
mempunyai kesamaan. Mereka berpandangan bahwa wujūd hakiki adalah Tuhan
dan alam adalah hanya bayang-bayang yang tidak nyata. Perbedaan dari keduanya
adalah dalam memberi pelabelan. Simuh menyebut waĥdatul wujūd sebagai
monisme, sedangkan A.E. Affifi menyebutnya sebagai panteisme akosmik. Yang
perlu ditekankan disini bahwa Simuh tidak memberikan penjelasan tentang
imanensi dan transendensi sedangkan A.E. Affifi mengulasnya secara mendalam.
Selanjutnya mengenai tokoh-tokoh yang menolak pemakaian istilah panteisme
dan monisme untuk doktrin waĥdatul wujūd, Kautsar menyebutkan sebagai
berikut : Henry Corbin, Titus Burckhardt, SH. Nashr, RWJ. Austin dan William C.
Chittick.
Henry Corbin menginterpretasikan pemikiran Ibnu ‘Arabi menurut caranya
sendiri yang bersifat non panteistik dan non monistik. Ia menyebutnya sebagai
imajinasi kreatif yang membentuk dan menangkap ciri struktur berdimensi dua,
yakni : al Ĥaqq dan al Khalq; Lahut dan Nasut; Rabb
dan ‘Abd; al Bathin dan al Zhahir. Struktur berdimensi dua
ini merupakan prinsip contidentia oppositorum[55]
dalam sistem Ibnu ‘Arabi.[56]
Imajinasi yang dimaksud Corbin bukanlah dalam arti kata yang lazim –seperti khayalan
dan fantasi– tetapi lebih dari itu ia berbicara tentang suatu fungsi dasar yang
bersifat mutlak, aktif dan berdaya cipta yang terjalin dengan suatu alam khas
yang hanya ada padanya. Suatu alam yang didukung penuh oleh eksistensi obyektif
dan hanya bisa dimengerti secara tepat melalui imajinasi. Imajinasi kreatif
menjelaskan bahwa penciptaan sebagai teofani, yakni Tuhan yang dari-Nya
tercipta segala wujud. Imajinasi teofanik dari pencipta telah mengungkapkan
alam semesta, memperbarui ciptaan tanpa henti dalam wujud manusia sebagai citra
sempurna-Nya. Ini menunjukkan diri pada diri-Nya sendiri. Itulah sebabnya
mengapa imajinasi aktif tak mungkin berupa angan sia-sia, karena justru
imajinasi teofanik inilah “yang ada” dan oleh wujud manusia terus mengungkapkan
apa yang ditampilkan sendiri olehnya dengan cara pertama-tama
mengimajinasikannya.[57]
Menurut Henry Corbin pemberian label seperti panteisme dan monisme
menyimpangkan makna sebenarnya dari pandangan Ibnu ‘Arabi.[58]
Senada dengan Corbin, Titus Burckhardt juga tidak sepakat jika waĥdatul
wujūd diberi label panteisme. Dalam pandangan Burckhardt, panteisme
menghilangkan perbedaan antara Tuhan dan alam dan mengacaukan pengertian Tuhan.
Sedangkan sufisme dan waĥdatul wujūd tetap mengakui perbedaan itu.
Baginya panteisme tidak memberikan tempat kepada transendensi Tuhan, sedangkan waĥdatul
wujūd mempertahankannya. Karena itu ia keberatan menerima penamaan
panteisme atas waĥdatul wujūd.[59]
S.H. Nashr dalam bukunya Three Muslim Sages menyanggah pula
tuduhan panteistik yang ditujukan pada waĥdatul wujūd. Menurut Nashr
panteisme adalah sistem filosofis sedangkan Ibnu ‘Arabi dan sufi lain tidak
mengikuti atau menciptakan sistem filsafat, sehingga pemikirannya tidak dapat
dikategorikan ke dalam sistem filsafat apapun termasuk panteisme dan monisme.
Selain itu panteisme mengajarkan suatu kontinuitas substansial antara Tuhan dan
alam, sedangkan Ibnu ‘Arabi mengakui transendensial antara Tuhan dan alam,
sedangkan Ibnu ‘Arabi mengakui transendensi absolut Tuhan di atas setiap
kategori, termasuk kategori substansi.[60]
R.W.J. Austin adalah sarjana yang memiliki persepsi sama seperti para
tokoh penyangkal pelabelan panteisme dan monisme terhadap waĥdatul wujūd.
Menurutnya panteisme menyamakan Tuhan dengan alam dan menafikan
transendensi-Nya, sedangkan waĥdatul wujūd sebaliknya tidak menyamakan
Tuhan dengan alam dan menekankan transendensi-Nya. Austin mengatakan pula
keunikan pengertian wujūd dengan arti rangkapnya : wujūd (being)
dan persepsi (perception). Keunikan arti rangkap ini membuatnya tidak
sama dengan panteisme.[61]
William C. Chittick, seorang sarjana kontemporer yang serius mengkaji
pemikiran Ibnu ‘Arabi adalah termasuk tokoh yang menolak penyebutan panteisme
terhadap doktrin waĥdatul wujūd. Namun, menurut Kautsar Chittick
memiliki arah penekanan yang berbeda dengan tokoh-tokoh yang telah disebut di
depan. Jika kebanyakan tokoh menolak pelabelan tersebut dikarenakan faktor
penafian transendensi Tuhan dalam panteisme, maka bagi Chittick penolakan
tersebut lebih disebabkan karena pelabelan tersebut cenderung menyederhanakan
keseluruhan sistem dari Ibnu ‘Arabi. Jika waĥdatul wujūd adalah
panteisme berarti sebagai pencetusnya, Ibnu ‘Arabi adalah seorang panteis.
Padahal menurut Chittick keseluruhan sistem Ibnu ‘Arabi sangat kompleks dan waĥdatul
wujūd hanyalah salah satu dimensi dari ajaran Ibnu ‘Arabi.[62]
Yang penting dicatat bahwa Chittick mengakui ketaksebandingan (tanzih)
dan kesebandingan / kesetaraan (tasybih) dan memberikan penekanan yang
sama terhadap keduanya. Disatu pihak, alam semesta ada melalui wujud Tuhan.
Tuhan sendiri adalah esensi yang tidak terjangkau di luar segala yang ada.
“Tiada yang mengenal Tuhan selain Tuhan”. Inilah tanzih. Di pihak lain
segala sesuatu (sya’i) atau entitas (ayn) yang ditemukan di alam
semesta memiliki sifat khususnya sendiri. Semua itu adalah selain Tuhan (al
Ghair) yang dapat menjelaskan esensi Tuhan. Inilah tasybih yang
mengandung kesetaraan antara Tuhan dan makhluk.[63]
Dan Ibnu ‘Arabi meringkaskan pandangannya dalam kalimat pendek “Dia / bukan
Dia” (Huwa la Huwa).[64]
Persoalan keesaan dan kesetaraan mewarnai hampir seluruh karya-karya Ibnu
‘Arabi. Seluruh sifat yang saling berlawanan melekat pada Tuhan. Dalam upaya
mengenal Tuhan kita harus dapat meletakkan berbagai pertentangan secara
bersamaan.[65] Dari
uraian tentang pandangan William C. Chittick di atas, jelaslah bahwa Chittick
sangat tidak sepakat jika waĥdatul wujūd dan Ibnu ‘Arabi disebut sebagai
panteisme dan panteis.
Tidak lengkap rasanya jika tidak menyertakan nama-nama dari negeri kita
dalam pembicaraan ini. Dalam tulisan mereka, Prof. H. A. Riva’i Siregar dan Dr.
Dimitri Mahayana, meskipun dalam proporsi yang kecil sempat memberi sanggahan
terhadap pengkategorian panteisme bagi waĥdatul wujūd. Menurut Riva’i
Siregar, antara waĥdatul wujūd dan panteisme berbeda. Waĥdatul wujūd
menurutnya essential identification of manifested order with ontological
principle, yang berarti bahwa hakikat wujud adalah satu yakni Allah. Dan
wujud yang banyak hanya ilusi atau bayangan dari “yang satu” itu. Sedangkan
panteisme didefinisikannya sebagai substansial identification of universe
with God yaitu jauhar atau esensi Tuhan terdapat dalam setiap yang ada.
Jika demikian nampaknya konsep waĥdatul wujūd bukanlah kesatuan
substansial atau kesatuan Zatiyah.[66]
Waĥdatul wujūd dalam terminologi Ibnu ‘Arabi memiliki sifat aljam’
baina an naqdayn (persatuan di antara hal-hal yang berlawanan). Hal ini
dikatakan oleh Dimitri Mahayana. Sifat ini tidak memandang bahwa Tuhan itu mutlak
imanen dan tidak transenden (sebagaimana halnya dengan panteisme) dan tidak
pula memandang bahwa Tuhan itu mutlak transenden dan tidak imanen. Tuhan adalah
Yang Maha Lahir sekaligus Yang Maha Batin. Menurut Dimitri tuduhan-tuduhan
negatif tentang doktrin waĥdatul wujūd kurang bersandar pada wacana
rasional dari waĥdatul wujūd. Ucapan-ucapan para sufi dalam keadaan
ekstase menurutnya tidak cukup dijadikan dasar untuk mengklaim mereka sebagai
panteis, karena ucapan-ucapan mereka tidak cukup hanya dipahami dari akal
rasional.[67]
Paradigma waĥdatul wujūd dalam pandangan Dimitri adalah sebagai
alternatif yang sesuai di era tanpa batas millenium ketiga khususnya di
Indonesia, jika doktrin ini mensintesiskan pendekatan syari’at, intuisi
intelektual-mistis (Dzauq) dan pembuktian rasional yang dimunculkan dari
berbagai aspek, dari tataran intelektual maupun tataran praktis.[68]
Dari pandangan Dimitri ini, sangat terlihat bahwa ia adalah salah seorang
penyangkal tuduhan panteisme bagi waĥdatul wujūd. Bahkan ia menaruh
harapan yang besar pada doktrin ini sebagai paradigma yang mampu menjawab
persoalan-persoalan di masa depan, tentu saja sejauh doktrin ini dipahami
secara mendalam.
Kembali pada penelitian yang telah dilakukan oleh Kautsar Azhari Noer,
bahwa kebanyakan dari sarjana yang tidak menyepakati pelabelan panteisme tidak
memperdulikan definisi panteisme secara terperinci. Hasil dari penelitiannya
menunjukkan bahwa panteisme yang dimaksud para penyangkal tersebut adalah
panteisme dalam definisi yang tidak mengakui transendensi dan personalitas-Nya.
Menurut Kautsar, jika panteisme dalam definisi yang mengakui transendensi-Nya,
maka pelabelan ini sulit ditolak.[69]
Namun sayangnya panteisme dalam definisi ini jarang dipahami dan digunakan oleh
para sarjana. Maka kesimpulan akhir dari penelitian ini, Kautsar cenderung
tidak menyepakati pemakaian istilah panteisme bagi waĥdatul wujūd dengan
alasan pemakaian istilah ini dapat menimbulkan kesalahanpahaman.[70]
Filsafat Neoplatonisme
Latar Belakang Sejarah Neoplatonisme
Pada akhir dunia kuno, kira-kira 5 abad sesudah Aristoteles, bangkitlah
lagi pemikiran filsafat kuno untuk kali yang terakhir dalam sistem yang
meliputi segala sesuatu, yaitu filsafat Neoplatonisme. Disini segala pemikiran
falsafi yang mendahuluinya disusun secara sistematis di atas suatu dasar yang
menguasai segala sesuatu. Sistem ini dibentuk pada abad ke 2 M dan bertahan
sampai abad ke 6 M. Waktu pembentukannya ini menunjukkan bahwa kebangkitan
pemikiran falsafi kuno bersamaan dengan timbulnya agama Kristen, bahkan terjadi
pergumulan yang dahsyat diantara keduanya.[71]
Neoplatonisme merupakan produk pemikiran filsafat yang muncul pada
rangkaian terakhir dari filsafat Hellenisme Romawi.[72]
Sesuai dengan namanya, Neoplatonisme bertujuan menghidupkan kembali ajaran
Plato demi keselamatan dunia dengan cara memperkayanya dengan unsur-unsur yang
terbaik dari sistem setelahnya, disesuaikan dengan kebutuhan jaman. Unsur-unsur
yang dimasukkan diantaranya adalah : ajaran Plato, Aristoteles, Stoa, dan
Philo. Usaha ini bermaksud mengembalikan roh Plato pada kemurniannya secara
sempurna, menaikkan dualisme Plato kepada tingkatan yang tinggi. Untuk mencapai
maksud ini maka disebutlah “Yang Satu” menjadi asas segala “Yang Ada” dan
menjadi asal dari segala sesuatu, baik yang bisa diamati maupun tidak, serta
menjadi tujuan terakhir bagi segala sesuatu tersebut.[73]
Neoplatonisme bukan hanya kebangkitan kembali filsafat Plato, namun
merupakan sistem filsafat yang mempunyai daya spekulatif yang besar. Selain
memadukan filsafat Plato dengan trend-trend utama lain dari filsafat kuno
kecuali Epikuros, sistem ini mencakup unsur-unsur religius dan mistik yang
diambil dari filsafat Timur.[74]
Unsur mistik merupakan perkembangan baru pada sejarah filsafat Yunani saat itu,
karena sebelumnya belum ada sistem filsafat yang menggunakannya.
Interpretasi yang dilakukan dalam Neoplatonisme cenderung mengkaitkan
Allah dengan prinsip kesatuan, dengan membuat-Nya sama sekali transenden, dan
dikaitkan dengan dunia melalui deretan perantara-perantara yang turun dari
“Yang Satu” oleh prinsip emanasi. Menurut pandangan ini realitas merupakan
deretan atau rangkaian bertingkat-tingkat mulai dari Ilahiah sampai yang
material. Karena manusia memiliki unsur Ilahiah, maka ia akan merindukan dengan
Sang Sumber-nya. Sistem ini dengan demikian mempunyai implikasi-implikasi
spiritual maupun intelektual.[75]
Dari banyak literatur, dijelaskan bahwa tokoh pendiri sekaligus tokoh
yang paling populer dalam Neoplatonisme adalah Plotinus (205–270). Bahkan karena
Plotinus begitu identik dengan Neoplatonisme, tokoh Plotinus tidak dapat
ditinggalkan. Padahal meskipun berkaitan erat dengan Plotinus, benih-benih
gerakan Neoplatonisme, menurut Lorens Bagus, dapat ditelusuri dalam akademi
Plato, yang merebak tidak lama setelah meninggalnya Plato. Lalu pada abad
pertama Masehi, Philo Judaeus juga telah merintis aliran Neoplatonisme dengan
beberapa cara dengan konsepsinya mengenai Allah yang mutlak transenden dan
pandangannya tentang hirarki tingkat-tingkat perantara antara Allah dan dunia. Pada abad 2 M,
Numenius dari Apamea seorang Neophytagorean yang menggabungkan tema khas
Neoplatonisme dianggap sebagai pendiri aliran ini sebelum Plotinus. Selain itu,
Ammonius Saccas, guru Plotinus pada abad 3 M juga dianggap sebagai pendiri
aliran pemikiran ini.[76]
Namun begitu, Neoplatonisme disebar luaskan pertama kali oleh Plotinus.[77]
Usahanya dalam menyusun pemikiran Neoplatonik secara sistematis yang belum
pernah dilakukan oleh filosof sebelumnya tertuang dalam karyanya Enneads.
Atas dasar inilah Plotinus dinisbatkan oleh para penulis sebagai pendiri
sekaligus tokoh paling besar dalam filsafat Neoplatonisme.
Adalah tidak mudah untuk mengetahui riwayat hidup Plotinus secara rinci.
Menurut muridnya Porphyri, Plotinus adalah sosok pemalu yang seringkali menolak
untuk menceritakan dirinya, orang tuanya maupun negerinya.[78]
Menurut banyak literatur, Plotinus hidup pada tahun 205 sampai 270 Masehi. Ia
dilahirkan di Lycopolis Yunani. Meski namanya harum karena ajaran-ajarannya ia
tidak mau menjadi orang yang terkemuka. Patungnyapun tidak ada sebagaimana
orang-orang terkenal pada waktu itu. Banyak sekali tukang patung datang untuk
membuat patungnya tetapi selalu ditolaknya. Meskipun namanya tersohor
dimana-mana tetapi hidupnya sederhana sekali.[79]
Plotinus belajar filsafat pada umur 28 tahun, yaitu ketika dia merasa
mempunyai pembawaan untuk menjadi seorang filosof. Mula-mula ia mempelajari
filsafat Yunani terutama Plato. Di Aleksandria dia mengikuti sekolah dan
belajar pada orang-orang terkenal. Tetapi dia gagal menemukan kepuasan, sampai
kemudian seorang teman mengantarkannya pada seorang filosof yang menjadi
gurunya, Ammonius Saccas. Porphyri menceritakan bahwa Plotinus amat terkesan
dengan gurunya itu sehingga ia sampai berseru : “Inilah orang yang saya cari!”.[80]
Selama 12 tahun Plotinus menjadi murid Ammonius. Mereka dan beberapa
orang murid lain menjalani hidup sederhana. Meskipun Plotinus pandai bicara
tetapi ia tidak menuliskan gagasannya sesuai dengan perintah gurunya. Tetapi
karena kawan-kawannya (Errenois dan Origenes) melanggar janji maka pada umur 29
tahun ia mulai menulis. Ajaran yang diperoleh dari Ammonius mengenai jalan
hidup spiritual dan pengembaraan intelektual yang digunakan untuk kepentingan
sendiri. Disamping filsafat, Plotinus juga menguasai ilmu-ilmu lain, seperti
ilmu ukur, optik, mekanika, seni dan musik secara teoritis.[81]
Setelah memahami filsafat Plato, rupanya Plotinus merasa pengetahuannya
belum cukup mendalam. Ketika berumur 39 tahun, ia meninggalkan Ammonius dan memutuskan
untuk memperdalam ilmunya dengan belajar filsafat mistis di Persia dan India,
yang pada waktu itu begitu tersohor. Kebetulan saat itu kekaisaran Roma
Gordianus mengadakan ekspedisi ke Persia, sehingga Plotinus dapat menumpang
dengan cara mendaftar sebagai tentara dalam laskar Gordianus. Tetapi sayang
rencananya ke Persia dan India gagal, karena pasukan kaisar mengalami kekalahan
perang sampai di Mesopotamia dan kaisar terbunuh. Lalu Plotinus melarikan diri
ke Antioch dan tiba di Roma pada tahun 245.[82]
Satu tahun kemudian, Plotinus berhasil mendirikan sekolah di Roma, dan
mengajarkan filsafatnya. Metode yang dipakai adalah diskusi. Murid-muridnya
berasal dari berbagai kalangan. Disamping Porphyri ada juga diantaranya ahli
jiwa, senator, ahli pidato dan wanita-wanita terhormat.[83]
Karena sifatnya yang baik dan sederhana semua orang menghormatinya, bahkan ada
juga yang mendewakanya karena ilmunya. Tetapi Plotinus tidak terpengaruh dengan
semua itu. Ia tetap mengutamakan kehidupan spiritualnya yang sangat bersahaja.
Pada awalnya Plotinus meniru gaya Ammonius, yaitu
tidak menuliskan ajaranya. Setelah 11 tahun di Roma barulah ia mulai menulis.
Ketika pada tahun 263 Porphyri menjadi pengikutnya, Plotinus melengkapi 54
risalahnya. Dengan dorongan dan pertanyaan Porphyri sangat membantu Plotinus
dalam menyelesaikan risalah itu. Sembilan terakhir dari 54 risalah itu
ditulisnya dua tahun terakhir kehidupannya. Saat itu kondisi kesehatanya mulai
memburuk. Setelah Plotinus meninggal, tulisan yang memuat ajaran-ajarannya
diterbitkan oleh Porphyri secara luas. Karya ini diberi judul Enneads,
karena memuat 54 bab yang terbagi dalam enam buku, dan tiap-tiap buku memuat 9
bab.[84]
Pada hari berikutnya, Plotinus sering sakit-sakitan sehingga ia berhenti
mengajar filsafat. Menurut Porphiry waktu-waktu terakhirnya digunakan untuk
bermeditasi. Tujuan terakhirnya dalam bermeditasi adalah persatuan dengan Tuhan
yang dianggap diatas segala-galanya. Pada tahun 270 M Plotinus meninggal dunia
disuatu tempat bernama Minturnea dalam usianya yang mencapai 65 tahun.[85]
Plotinus seorang mistikus yang yang mempunyai pengalaman langsung dan
pibadi akan rahasia Ilahi. Tetapi pemikirannya merupakan filsafat metafisik
yang sistematis dan bukan berdasar pada wahyu. Tingkat-tingkat penghayatan yang
mutlak diungkap dengan kategori-kategori intelektual spekulatif.[86]
Metode yang digunakan Plotinus desebut intuitif atau mistik, karena sifat
kontemplatif yang demikian meresapi seluruh metodenya. Filsafat bukan hanya
doktrin, tetapi juga way of life. Bersama-sama kelompoknya ia menghayati
hidup religius dan mengantarkan mereka pada hal-hal yang bersifat rohani.[87]
Jika Plato mendasarkan filsafatnya pada “ Yang Baik” yang meliputi
segala-galanya, maka Plotinus mendasarkan ajarannya pada “Yang Satu” yang
menjadi pokok pangkal segala sesuatu. Filsafat metafisikanya ini, Plotinus
memusatkan pada tiga prinsip yaitu The One, Nous dan Psyche.
The One/Yang Satu memiliki kesempurnaan mutlak melimpahkan pada Nous.
Nous lalu melimpahkan pada Psyche atau jiwa. Pada akhirnya
jiwa-jiwa ini akan melahirkan materi yang beragam.
Yang Satu dan Yang Baik adalah istilah yang digunakan untuk menyebut
Tuhan, sebagai hakikat segala sesuatu, asal muasal segala bentuk yang dengan
pelimpahan hirarkis-Nya terciptalah keanekaragaman. Dia adalah sumber kebaikan
mutlak. Dunia ini hanyalah hasil dari pancaran yang paling jauh, sehingga
cenderung bersifat negatif. Untuk memperoleh kebahagiaan sejati manusia harus
membersihkan diri dari hal-hal duniawi dan berusaha untuk mendekati sumbernya yaitu
menjalani persatuan dengan Tuhan. Dengan demikian Plotinus tidak membedakan
antara Yang Satu dengan yang bermacam-macam. Pada akhirnya ia berpendapat bahwa
hakikat segala sesuatu adalah satu.
Fase-fase dalam Aliran
Neoplatonisme.
Menurut Karl Praechter,[88]
fase-fase aliran Neoplatonisme dibedakan dalam empat macam, yaitu versi
metafisika spekulatif, Mazhab theurgi pergamum, sekolah Neoplatonis di
Aleksandria dan Neoplatonisme Latin.
Versi Metafisika Spekulatif
Merupakan fase pertama Neoplatonisme sistematis, yaitu terdiri dari masa
Plotinus dan Porphyri; aliran Syiria dari Lamblichus; dan aliran Athena dari
Plutarch dan proclus.[89]
Fase Plotinus dan Porhyri diakui sebagai fase yang pertama kalinya aliran
Neoplatonisme dianggap sebagai filsafat yang mandiri. Kedua tokoh ini tidak
dapat dipisahkan satu sama lain dengan sejarah Neoplatonisme. Enneads
adalah karya berharga yang dihasilkan dari kerjasama kedua tokoh ini. Meskipun
pada dasarnya Plotinuslah yang mengarang, tetapi bantuan Porphyri berupa pertanyaan-pertanyaan
dan dialog sangat berarti dalam penyelesaian Enneads. Setelah Plotinus
meninggal, atas prakarsa Porphyri-lah Enneads dapat diakses oleh
pemikir-pemikir berikutnya.
Enneads terdiri dari 6 buku. Setiap bukunya berisi 9 karangan yang
keseluruhan menggambarkan pikiran Plotinus secara utuh. Enneads pertama
berisi masalah etika, mengenai kebajikan, kebahgiaan, bentuk-bentuk kebaikan,
kejahatan dan masalah pencabutan kehidupan. Enneads kedua membicarakan
fisik alam semesta, tentang binatang-binatang, potensialitas dan aktualitas,
sirkulasi, kualitas dan bentuk, juga berisi kritikan terhadap gnotisisme. Enneads
ketiga membahas implikasi filsafat tentang dunia, iman, kuasa Tuhan, kekekalan,
waktu dan tatanan alam. Enneads keempat tentang sifat danm fungsi jiwa,
imortalitas jiwa, penginderaan, dan ingatan. Enneads kelima pembahasan
tentang roh ketuhanan atau divine spirit. Disini diterangkan ajaran
tentang idea. Enneads keenam berisi berbagai topik seperti kebebasan
berkehendak atau free will, ada sebagai realitas dan sebagainya.[90]
Karya lain dalam fase ini adalah Eisagoge karangan Porphyri.
Merupakan karya kritikan bagi logika Aristoteles dan mengulas lima kategori
(spesies, genus, perbedaan, sifat dan aksidensi) yang dikemudian hari dijadikan
konsep dasar bagi buku-buku filsafat abad pertengahan.[91]
Aliran kedua dalam fase metafisika spekulatif adalah Lamblicus dari
Syiria (250-325 M). Ia adalah murid Porphyri. Seorang neoplantonis yang
menambahkan embel-embel pada tiga hipotesa (The one, Nous, Psyche)
dengan menerima sesuatu yang lebih tinggi dan sesuatu yang lebih rendah.[92]
Aliran ketiga adalah dari Athena, Plutacch dan Proclus. Merupakan sekolah
Neoplantonis tertua di Athena sekitar tahun 380 sampai 529 M. Aliran ini
mencari suatu pandangan tunggal dalam pemikiran Plato, Aristoteles dan
Plotonius. Sekolah ini ditutup oleh Justinus pada tahun 529 karena dianggap
sebagai musuh agama Kristen.[93]
Buku yang dihasilkan dalam fase ini adalah Element of theology dan
Plato’s Theology yang sering dianggap sebagai karangan Aristoteles.[94]
Mazhab Theurgi Pergamum
Mazhab ini didirikan oleh Edesius, murid Lamblicus. Merupakan cabang dari
Mazhab Lamblicus yang telah menjadi perhatian istimewa dalam theurgi. Merupakan
hubungan Neoplantonisme dengan dongeng, Tuhan dan kesatuan yang dimaksudkan
membantu Julian Apostate (361-363) dalam perjuangan dengan Kristen.[95]
Sekolah Neoplatonis di Aleksandria
Hidup sekitar tahun 430 sampai penaklukan Aleksandria oleh Islam pada
tahun 642. Dimulai dengan Hierocles, murid Plutarch. Mazhab ini mendapat
pengaruh dari ajaran Kristen, seperti bila membicarakan penciptaan yang keluar dari pemikiran providence
dalam term-term melalui perantara perseorangan dalam hubungan antara manusia
dengan Tuhan melalui Rasul. Beberapa tokohnya memang beragama Kristen, seperti
Hermias, Ammonius, Asclepius dan Olimpiodorus.[96]
Aliran Neoplatonisme Latin
Tokohnya antara lain Marcrobius, Marus Victorianus dan Boethius. Tema
utamanya ialah pengembangtan konsep trinitas agama Kristen dalam kerangka
Neoplantonis. Banyak diantara mereka bergama Kristen, Seperti Boethius yang
dikenal dengan karangannya yang berjudul The Concolation of philisophy atau
Tentang Penghiburan Filsafat.[97]
Unsur-unsur Filsafat pada
Neoplatonisme
Seperti telah disebutkan bahwa filsafat Neoplatonisme merupakan suatu
kulminasi dan sintesa definitif dari aneka unsur fisafat Yunani yang didasarkan
pada ajaran Plato sebagai unsur paling dominan. Pada dasarnya ia hanya
menjelaskan secara implisit apa yang sudah ditemukan Plato. Disamping itu ia
juga mengintegrasikan unsur-unsur Pythagoras, Aristoteles, Stoa dan tasawuf
Timur. Jadi, Neoplatonisme mengandung unsur-unsur kemanusiaan (hasil pemikiran
manusia), kegamaan dan keberhalaan.[98]
Di bawah ini adalah unsur filsafat paling mendasar dalam Neoplatonisme :
Pythagoras
Dalam hal mistis, Plotinus terpengaruh oleh Pythagoras, yaitu filosof
paling kuno yang menganut aliran kebatinan. Menurut kepercayaan Pythagoras,
manusia berasal dari Tuhan karena jiwa adalah penjelmaan dari Tuhan.[99]
Jiwa tidak dapat mati seperti halnya jasmani. Jasmani dianggap sebagai sesuatu
yang kotor dan memenjarakan roh yang suci. Maka manusia harus membersihkannya
agar dapat mencapai kebahagiaan dengan cara bermeditasi dan berbuat baik. Jika
manusia mati dan jiwanya belum bersih, maka jiwa itu akan masuk dalam badan
yang lain. Pendek kata, jika jiwa bersih, maka ia akan menuju kebahagiaan
karena dapat kembali pada Tuhan.[100]
Istilah The One sedikit banyak juga terpengaruh dari Pythagoras yang
mendasarkan segala sesuatu dari angka satu.
Plato
Unsur Plato yang masuk Neoplatonisme adalah ajaran tentang idea,
yang merupakan inti dari seluruh filsafat Plato. Menurut Plato, idea
merupakan sesuatu yang obyektif, terlepas dari subyek yang berfikir. Idea
tidak dapat diciptakan oleh pemikiran kita serta tidak tergantung padanya.
Sebaliknya pemikiranlah yang tergantung pada idea-idea. Idea
berdiri sendiri maka pemikiranlah yang menaruh perhatian pada idea.[101]
Bagi Plato yang disebut idea adalah realitas yang ada dalam dunia yang
tetap (dunia idea), disebut juga dunia baka, tidak bersifat materi,
tidak berubah dan kekal.
Selanjutnya Plato mengatakan bahwa idea jumlahnya banyak tetapi
bukan berarti tidak punya kesatuan. Idea merupakan suatu orde, suatu
keteraturan, serta memiliki susunan tetap. Tersusun secara hirarki dan teratur
berasal dari dunia rohani. Sedangkan ide-ide yang bukan dari dunia rohani dan
berubah, pada akhirnya sampai pada idea tertinggi yaitu idea
kebaikan. Idea ini berlaku di mana-mana dan dimengerti oleh siapapun.
Inilah ide “kebaikan yang satu”.[102]
Plato adalah pemikir kedua setelah Pythagoras yang bersifat spiritual. Ia
tertarik pada dunia rohani dan berangan-angan terhadap dunia yang kekal.
Intisari dari filsafat Plato adalah menyelesaikan hubungan antara materi dan
rohani (sesuatu yang nisbi dan sesuatu yang mutlak). Filsafat Plato disebut
juga filsafat dualisme. Namun begitu, Plato meyakini dunia rohani sebagai
hakikat dari yang ada dan ini disebutnya sebagai “Yang Baik”. Dalam filsafat
Neoplatonisme Yang Baik-“nya Plato menjadi “Yang Satu”.
Aristoteles
Terdapat perbedaan antara Plato dan Aristoteles tentang idea-idea.
Aristoteles setuju bahwa dalam ilmu pengetahuan ada sesuatu yang umum dan
tetap, tetapi bukan dunia idea seperti kata Plato tetapi juga
benda-benda jasmani. Menurutnya dalam tiap benda jasmani ada dua hal yakni
materi dan bentuk (Hyle dan Morphe). Yang dimaksudkannya di sini
adalah prinsip metafisika. Materi adalah kemungkinan belaka untuk menerima
bentuk.[103] Tentang
kosmos, Aristoteles memikirkan dasar yang pertama adalah pertama (arkhe)
dari kosmos tersebut. Menurutnya dasar pertama adalah sesuatu hal yang tetap,
tidak berubah dan mutlak. Ia menjadi sebab pertama dari segala sesuatu atau causa
prima. Penggerak pertama yang tidak bergerak. Dia-lah Tuhan. Diantara
sifatnya ialah akal yang selalu berfikir, pemikirannya ditujukan kepada zatnya
sendiri.[104]
Pengaruh ini terlihat dalam Neoplatonisme mengenai “Yang Satu”, sebagai sumber
pertama yang tidak bergerak tapi menggerakkan dan tidak berubah.
Stoa atau Fisafat Zeno
Bagi Stoa pengetahuan itu berdasar indera. Tidak ada dunia lain selain
dunia pengalaman yang jasmani. Tetapi dunia sungguh-sungguh ada. Seluruh alam
merupakan keteraturan dengan hukum-hukum mutlak yang harmoni. Aturan-aturan ini
menimbulkan nasib, dan kejahatan sebenarnya tidak ada, hanya semu saja. Semua
di bawah kekuasaan logos (rasio). Manusia bagian dari logos
karenanya tidak dapat mengelak dari ketetapan logos. Jika ia hidup
sesuai rasio maka ia bijaksana dan bahagia karena dapat mengendalikan nafsunya.[105]
Manusia yang berpikir dan berbuat sesuai dengan rasio atau ketetapan
alamiah akan menjadi manusia yang merdeka. Terjadilah persesuaian antara
kemauan manusia dengan Tuhan sebagai pelaksana hukum kausal alamiah. Bukan
hanya syarat bagi merdeka sesungguhnya, tetapi juga syarat untuk mendapat
kebahagiaan.[106]
Pengaruh Stoa dalam Neoplatonisme disesuaikan dalam kerangka mistik Plotinus.
Kemerdekaan dan kemestian bukanlah dua hal yang bertentangan.[107]
Filsafat Emanasi
Dasar filsafat Plotinus adalah metafisikanya yang berpusat pada tiga
prinsip : Yang Esa / Satu / The One; nous / akal / mind
dan jiwa / psyche / the soul. Yang satu mempunyai kesempurnaan
yang mutlak dan melimpahkannya pada nous. Nous melimpahkannya
pada psyche, yang bagian atasnya berdasar pada nous dan bagian
bawah melahirkan jiwa manusia lalu jiwa manusia melahirkan materi. Proses
pelimpahan ini disebut sebagai emanasi[108].
The One adalah suatu realitas yang tidak mungkin dapat dipahami
melalui metode sains dan logika. Ia berada di luar eksistensi dan segala nilai.
Kita hanya dapat menghayatinya, karena Ia tidak dapat dipikirkan seperti ketika
kita memikirkan sesuatu yang ada definisinya. Yang satu adalah puncak dari
semua yang ada, cahaya di atas cahaya yang tidak mungkin diketahui esensinya.[109]
Ia sempurna karena mengatasi segala hal yang berlawanan. Pada-Nya tiada sifat,
tiada predikat. Segala sesuatu atau jagad raya dan segala isinya mengalir ke
luar dari-Nya, laksana sumber yang mengalirkan segala sesuatu ke luar, atau
laksana cahaya yang bersinar dalam gelap. Oleh karena itu maka dunia segenapnya
telah ada secara terpendam dalam Yang Ilahi ini.[110]
Konsekuensi dari pemancaran ini adalah, makin jauh aliran dari sumbernya maka
semakin tidak sempurna keadaannya. Pendek kata bahwa proses ini bersifat
hirarkis, sifat sempurnanya bertingkat-tingkat sesuai jaraknya dari Yang Asal.
Uniknya dari The One ini adalah bahwa hakikatnya tidak berkurang dan
esensinya tidak berubah karena memancarkan prinsip yang kedua (nous),
yang ketiga (jiwa) dan sampai ke materi. Hal ini digambarkan seperti matahari
yang memancarkan sinarnya ke segenap alam, tanpa membuatnya berkurang. Seperti
seorang manusia yang melahirkan banyak keturunan tanpa membuat kemanusiaannya
berkurang. Namun proses emanasi ini jangan dipahami sebagai suatu kejadian
fisis yang berlaku dalam ruang dan waktu, sebab ruang dan waktu sendiri
terletak pada tingkat terbawah dari emanasi tersebut.[111]
Prinsip kedua adalah nous, sebagai pengaliran tahap pertama dari The
One. Nous tidak sempurna karena pada tahap ini Yang Esa telah membedakan
diri dalam kedwitunggalan yang terdiri dari pemikir dan yang dipikirkan atau
subyek dan obyek. Tentu saja dalam pengertian yang rohani, yaitu suatu
permenungan dari Sang Ilahi bahwa Ia “ada”. Namun keluarnya akal atau roh dari
yang Pertama ini merupakan sesuatu yang niscaya terjadi begitu saja tanpa
kehendak atau kesengajaan.[112]
Hakikat nous adalah kesatuan pikiran dan eksistensi. Roh kembali kepada
Yang Satu yang merupakan asal usul dan sumbernya. Roh menerima dari Yang Satu
isinya, ide-ide. Namun ide-ide tersebut membentuk suatu keanekaan atau suatu
sistem dalam roh tersebut. Pembentukan sistem itu menuju pada kategori-kategori
dan bilangan-bilangan dan juga kepada materi intelijibel (materi yang
dapat dimengerti) sebagai substantrum dari semua ide.[113]
The Soul atau jiwa adalah realitas ketiga dalam emanasi.
Sebagaimana Yang Satu menghasilkan nous, demikian pula nous
melahirkan jiwa sebagai citranya yang tidak sempurna. Walau di dalam dirinya
tidak dapat dibagi, jiwa tetap dapat masuk ke dalam dan menjiwai dunia
spasial-sensibel yang diciptakannya. Jiwa memiliki dua macam hubungan, yaitu
hubungan dengan nous yang terang dan hubungan dengan materi yang gelap.
Oleh karena itu jiwa berfungsi semacam penghubung atau perantara antara nous
dan materi. The Soul mengandung satu jiwa dunia dan banyak dunia
kecil. Jiwa dunia dapat dilihat dalam dua aspek, ia adalah energi di belakang
dunia, dan pada waktu yang sama ia adalah bentuk-bentuk alam semesta termasuk
jiwa-jiwa perorangan. Masing-masing seolah-olah mendukung seluruh jagad raya
dalam dirinya. Jiwa perorangan mewujudkan suatu pengungkapan jiwa dunia.[114]
Hasil terakhir pemancaran dari Yang Satu adalah materi atau benda-benda
yang dilahirkan dari jiwa. Meskipun materi tidak termasuk dalam tritunggal
tetapi ia akan tetap ada sebagai konsekwensi terakhir dari emanasi. Materi
tidak mengambil bagian dari kodrat Yang satu dan kebaikan, karena materi tidak
mampu mengadakan kelahiran lebih lanjut. Ia adalah matarantai yang terendah dan
terakhir. Oleh karena itu menurut Plotinus, ibarat sinar matahari yang semakin
jauh jaraknya, semakin menuju kegelapan. Yang Pertama sebagai Yang Baik
berangsur-angsur melalui hirarki emanasi menjadi keburukan dan ketiadaan
hakikat.[115]
Hal inipun berlaku bagi manusia. Manusia memiliki tiga substansi, yaitu nous
(roh / akal), jiwa (psyche) dan tubuh (soma). Ketiganya
mewujudkan suatu keseluruhan dimana jiwa sebagai tempat kesadaran mengambil
tempat sebagai pusat. Tubuh mewujudkan alat badani dan nous senantiasa
bersatu dengan yang tertinggi. Plotinus menganggap bahwa tubuh merupakan
penjara bagi jiwa dan roh. Untuk itu harus ada upaya mencari jalan untuk
kembali pada sumbernya yaitu yang Satu. Inilah tujuan hidup manusia yakni
bersatu kembali dengan yang Ilahi. Jalan kembali tersebut ada tiga tahap yakni
melakukan kebajikan umum, berfilsafat dan bersatu dengan Tuhan (mistik).[116]
Proses dari bawah ke atas ini merupakan prinsip-prinsip etika dalam
Neoplatonisme. Tujuan terakhir dari filsafat Plotinus ini adalah penyatuan
mistis yang akhirnya akan menerobos tirai dan menyingkap hakikat yang
sebenarnya dari Yang Satu yang tidak diketahui.[117]
Jika dilihat secara keseluruhan dari ketiga prinsip Plotinian ini,
jiwalah yang dapat digambarkan sebagai yang paling luas dan beragam
aktivitasnya. Jiwa bersifat pasif jika berhubungan dengan akal tetapi aktif
dalam hubungannya dengan segala sesuatu yang lain. Jiwa universal ini
bertanggung jawab untuk memelihara dan menggerakkan semesta material, dan juga
berperan penjadiannya, disamping itu memancarkan kebajikan-kebajikan dan
sifat-sifat yang telah diterimanya dari akal untuk dunia material.[118]
Singkatnya bahwa jiwa merupakan jembatan bagi prinsip-prinsip metafisika dan
dunia aktual.
BAB IV
PENGARUH
NEOPLATONISME DALAM WAĤDATUL WUJŪD
IBNU ‘ARABI
Sejarah Pertemuan Filsafat
Yunani dengan Islam Terkait dengan Pengaruh Neoplatonisme terhadap Filsafat
Ibnu ‘Arabi
Seluruh hasil pemikiran yang pernah muncul di bumi
ini, dari Barat maupun Islam, tidak bisa tidak menunjukkan suatu kesinambungan
yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain secara historis. Produk filsafat di
suatu abad tertentu pada dasarnya meneruskan problematika filosofis yang
diwarisi dari abad sebelumnya. Disinilah kita melihat bahwa filsafat selalu
harus berdialog dengan sejarahnya.[119]
Begitupun halnya ketika kita mempelajari filsafat
Ibnu ‘Arabi. Seluruh pemikirannya bukanlah semata-mata hasil dari usaha
perenungan tetapi juga dipengaruhi oleh faktor realitas sosial tempat
kelahirannya yang merupakan muara yang mempertemukan pemikiran dari seluruh
penjuru dunia pada waktu itu.
Sebelum filsafat Islam muncul, di Timur dan Barat
telah terdapat berbagai alam pikiran, diantaranya ialah pikiran Mesir Kuno,
Sumeria, Babilonia, Asiria, Iran, India, Cina dan Yunani. Dari pikiran-pikiran
tersebut yang paling banyak berhubungan dan bahkan menjadi sumber pemikiran
filsafat Islam adalah filsafat Yunani, walaupun pikiran Iran dan India juga
memberi sumbangannya.[120]
Yunani dikenal dengan kemajuan peradabannya melebihi
yang lain. Sejak abad 6 SM Yunani melahirkan pemikir-pemikir yang nantinya
menjadi tonggak dalam sejarah pemikiran filosofis. Thales, Anaximandros,
Anaximenes dan Heraklitos adalah nama-nama filosof pertama Yunani yang berusaha
mencari asas pertama atau hakikat segala sesuatu yang menjadi sumber semua yang
ada di muka bumi. Dilanjutkan dengan Pythagoras yang mengenalkan sistem
bilangan dan aspek rohani dalam pemikiran manusia. Kemudian Socrates, Plato dan
Aristoteles mengantarkan Yunani Kuno pada masa keemasannya. Plato dan
Aristoteles adalah dua tokoh yang pengaruhnya tidak dapat diragukan lagi dalam
perkembangan filsafat selanjutnya, termasuk filsafat Islam. Plotinus, bapak
Neoplatonisme menurut A.H. Armstrong digambarkan sebagai satu-satunya filosof
yang ketinggiannya disejajarkan dengan Plato dan Aristoteles dalam perjalanan
filsafat Yunani akhir.[121]
Ketiga tokoh inilah selain Pythagoras yang mewakili anggapan umum tentang
pengaruh filsafat Yunani terhadap para sufi maupun filosof Islam.
Gagasan-gagasan Yunani, menurut W. Montgomery Watt,
telah memasuki dunia intelektual dalam dua gelombang. Gelombang pertama
dikaitkan dengan penerjemahan-penerjemahan pertama pada abad pertama Abbasiyah.
Gelombang kedua berhubungan dengan karya Al Ghazali sekitar tahun 1100. Dalam
dua periode inilah ide-ide Yunani memasuki arus utama pemikiran Islam.
Disamping itu dilakukan juga dengan gencar telaah-telaah atas filsafat dan
sains Yunani.[122] Namun jika ditelusuri
sebenarnya perkenalan umat Islam dengan peradaban Yunani seiring dengan
pergerakan umat Islam yang melancarkan ekspansi ke arah Barat. Kemenangan umat
Islam tidak pernah mendapatkan tandingannya dalam sejarah Dunia. Kira-kira
tahun 600 mulailah Muhammad menyiarkan Islam dari Makkah. Pada tahun 625, yakni
pada saat meninggalnya, Arabia sudah masuk Islam. Pada masa Khalifah Umar
ekspansi dimulai dan Islam selalu mendapat kemenangan. Dalam masa 10 tahun dari
tahun 633 – 643 jatuhlah Suriah, Palestina dan Mesir ke tangan kaum muslimin.
Pada 708 Afrika Utara berhasil ditaklukkan. Pada tahun 711 Spanyol jatuh dan
pulau-pulau di laut Tengah diduduki.[123]
Masa paling menonjol dalam penetrasi budaya dan pengetahuan Yunani terhadap
Islam memang terjadi pada masa Khalifah Abbasiyah terutama Al Mansur dan Al
Ma’mun.
Masa Al Mansur pada abad ke-8 M dianggap sebagai
permulaan penerjemahan fisafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Proses ini
diteruskan oleh Khalifah Al Ma’mun dengan mendirikan Baitul Hikmah,
sebagai pusat penyelenggaraan diskusi, penerjemahan dan kompilasi. Karya-karya
yang diterjemahkan antara lain karya Plato, Aristoteles, dan beberapa
komentator dan sejumlah karangan Neoplatonisme. Terjemahan ini menjadi titik
tolak bagi gerakan filsafat Arab yang berlangsung selama tiga setengah abad.
Gerakan filsafat ini mempunyai pusat-pusat terpenting di Bagdad dan Cordoba,[124]
atau Spanyol dimana Ibnu ‘Arabi dilahirkan.
Selain karena kecondongan para penguasa pada masa
itu kepada ilmu pengetahuan, motivasi penerjemahan sebagai akibat terjadinya
pertentangan di kalangan kaum muslimin sendiri dan terpecahnya mereka menjadi
golongan-golongan yang masing-masing berusaha mempertahankan keyakinannya dan
mengalahkan lawan-lawannya dengan argumen-argumen yang kokoh.[125]
Dan kebanyakan dari mereka mempercayakan hal ini pada filsafat Yunani yang
diintegrasikan ke dalam struktur dasar wahyu Qur’an.
Mula-mula penerjemahan dilakukan dari bahasa Syriac
oleh orang-orang Kristen Irak, tetapi penerjemah paling terkemuka adalah Hunayn
ibnu Ishaq (809– 873) yang telah menguasai bahasa Yunani. Sementara bahasa Arab
berkembang dan bahan bahasan meningkat, penerjemahan terus berlangsung dan
mengalami perbaikan. Proses ini berlangsung sampai abad 11, menjelang saat itu
orang-orang Arab telah mengambil alih semua yang mereka perlukan dari Yunani.[126]
Selain Plato dan Aristoteles karya Yunani yang diterjemahkan adalah karya
Alexander dari Aphrodisias, Porphyri serta bagian-bagian dari Enneads-nya
Plotinus. Sebagai taraf tertinggi dari proses akulturasi ini, maka dimana-mana
didirikan lembaga-lembaga pengajaran, penterjemahan dan perpustakaan Yunani –
Arab. Diantara yang paling berpengaruh terdapat Baitul Hikmah. Didirikan
Khalifah Al Makmun di Bagdad tahun 833. Jamiah al Azhar dari Khalifah Al
Hakam di Kairo tahun 972, Al Nizamul Mulk di Seljuk tahun 1076. Selain
itu pusat kegiatan ilmiah di Kuffah tahun 635, Fustat tahun 640, Wasith dan
Basrah tahun 700, Samarra tahun 835 dan Nishapur tahun 889. Demikianlah
filsafat Yunani berfungsi sebagai daya integrasi masyarakat dalam situasi baru.[127]
Warisan pemikiran Yunani memiliki peran yang lebih
kompleks dan bervariasi dalam pembentukan peradaban Islam, dibanding unsur
lain. Namun kultur Yunani yang dikenal di kalangan istana bukanlah murni
pemikiran Yunani Kuno, melainkan sudah berkembang dan dipahami di sekitar Laut
Tengah beberapa abad menjelang kelahiran Islam. Pemikiran Yunani yang masuk ke
dalam percaturan intelektual Islam, merupakan pemikiran sebagaimana yang
terjaga, dipahami dan diinterpretasikan oleh imperium Romawi. Kultur tersebut
amatlah beragam. Ide-ide Plato terwujud dalam karya-karya politis dan beberapa
dialognya. Logika Aristoteles dan karya-karya ilmiah, etika, dan metafisikanya
juga sangat dikenal. Namun karya-karya mereka dikenal beberapa abad setelah
kematian dua tokoh tersebut, kemudian pemikiran keduanya ditafsirkan ulang
dalam term Neoplatonis sebagai guru dari sebuah jalan menuju kebahagiaan
spiritual. Warisan Yunani tersebut juga mencakup ide-ide semi ilmiah dan
kedokteran Galen, pseudo – science dunia Hellenistik mencakup kimia dan
semi mistikal, ide-ide semi ilmiah dari Neophytagorean dan Hermetic.[128]
Mistisisme intelektual yang berasal dari Plotinus,
menyediakan sebuah konsep teosofis mengenai jalan mistik. Neoplatonisme
memperkenalkan gagasan bahwasannya alam terpancar dari wujud Tuhan dalam
beberapa tahapan berturut-turut. Manusia sebagai penghubung dunia spiritual dan
material dengan cahaya batinnya mampu mendaki hirarki wujud menuju visi
ketuhanan tertinggi. Dengan menemukan kebenaran yang hakiki di dalam batin
sesuai dengan struktur kosmologi, kaum mistik mendaki dari keadaan diri yang
material menuju wujud spiritual dan pengetahuan tertinggi mengenai Tuhan secara
iluminatif.[129]
Konsep emanasi yang digagas oleh Plotinus ini,
menjadi dasar bagi terbentuknya filsafat metafisika yang tidak sekedar
pengetahuan intelektual, tetapi juga berupa keyakinan spiritual bagi para
filosof Islam. Diantara deretan
filosof muslim yang terpengaruh dengan
filsafat Emanasi Plotinus adalah Al Kindi (w. 873) yang dianggap sebagai
perintis, diikuti oleh Al Farabi (w. 950) lalu Ikhwanus Shafa (970), kemudian
Ibnu Maskawaih, Ibnu Sina serta filosof-filosof sufi seperti Al Ghazhali dan
Ibnu ‘Arabi.[130] Dalam beberapa bentuk
metafisika sufi awal ini memadukan pandangan transendentalis dengan imanentalis
mengenai eksistensi Tuhan. Tuhan sama sekali berbeda dari realitas makhluk
apapun, bahkan ia juga sumber pancaran cahaya spiritual yang menjadikan mungkin
atas keberadaan manusia.[131]
Secara berangsur-angsur, sejak Al Kindi, Al Farabi
dan Ibnu Sina sampai para filosof Islam Maghribi seperti Ibnu “Arabi, filsafat
Neoplatonik mengalami modifikasi sesuai dengan setting dan pemahaman yang
dimiliki masing-masing tokoh tersebut. Namun nampak jelas bahwa yang menjadi
tema Neoplatonik utama mereka adalah filsafat Emanasi. Meskipun setiap tokoh
dipengaruhi oleh sumber yang sama, masing-masing memiliki karakteristik sendiri
yang merupakan hasil dari segenap usaha mereka yang murni. Usaha yang paling
berani dan sangat radikal dalam mengekspresikan versi mistik tentang realitas
dalam istilah-istilah Neoplatonik tidak diragukan lagi adalah usaha Ibnu
‘Arabi. Nampaknya perkenalannya dengan sufisme dan filsafat dimulai di Almeria,
dimana aliran Ibnu Masarrah (w. 931 M) seorang filosof dan sufi, berkembang
dengan suburnya.[132]
Adalah tidak mudah untuk menguraikan secara
eksplisit kronologi dari keterpaduan Ibnu ‘Arabi pada Neoplatonisme. Suatu
kesepakatan umum bahwa sejarah filsafat Yunani yang berkesinambungan dengan
filsafat Islam maupun tasawufnya adalah point penting sebagai langkah awal
untuk menelurusi jejak lebih lanjut bagaimana bentuk keterikatan itu. Yang
perlu diingatkan disini bahwa sejarah mistisisme muslim atau tasawuf
berhubungan lebih erat dengan sejarah filsafat Islam dibandingkan dengan
mistisisme yang pernah ada. Dan Ibnu ‘Arabi, adalah tokoh yang menggeluti
keduanya, filsafat dan tasawuf.
Menurut Abdul Qadir Mahmud, orang terdekat yang
paling besar pengaruhnya terhadap pemikiran Ibnu ‘Arabi adalah Abu Madyan
Syu’aib bin Husain (w. 594 H / 1214 M). Menurutnya Ibnu ‘Arabi memperoleh
pengetahuan tasawuf dan filsafat melalui tokoh ini. Abu Madyan adalah guru
pertama dan utama serta pengayomnya dalam bidang tasawuf dan filsafat.
Disebutkan bahwa Abu Madyan adalah penganut aliran Ibnu Masarrah (w. 318 H /
938 M) yang dikenal sebagai sufi sekaligus tokoh filsafat aliran Neoplatonisme.[133]
Mengenai Abu Madyan, pendapat ini memperkuat apa yang diungkapkan oleh Usman
Yahya pada kata pengantarnya dalam Futtuhat
al Makiyyah I hlm. 28. Bahwa pada masa itu di Andalusia, sudah mulai
berkembang paham al Isyraq. Abu Madyan adalah orang pertama yang berjasa
dalam pengembangan tarikat ini di Andalusia. Dapat disimpulkan sementara bahwa
menurut pendapat satu ini, tokoh yang secara garis besar berperan dalam
kronologi keterpengaruhan Ibnu ‘Arabi pada Neoplatonis adalah Abu Madyan dan
Ibnu Masarrah.
Abu Madyan adalah tokoh
sufi filosof dari Afrika Utara yang sangat dikagumi oleh Ibnu ‘Arabi. Meskipun
warisan spiritual yang diperolehnya tidak secara langsung dari Abu Madyan,
tetapi Ibnu ‘Arabi berkeyakinan bahwa mereka mempunyai hubungan batin yang erat
dan bahkan Abu Madyan selalu membimbingnya dalam menempuh jalan spiritual.
Melalui murid-murid Abu Madyanlah Ibnu ‘Arabi mengenal dan mengikuti ajaran Abu
Madyan. Ibnu ‘Arabi begitu percaya tokoh-tokoh ini sebagai perantara antara dia
dengan Abu Madyan. Mereka adalah : Yusuf Khalaf al Kumi, Abu Muhammad al
Maururi, Abu Imran al Sadrani, Abd Aziz
Al Mahdawi dan Abu Muhammad Abdallah al Kinani. Disamping itu Ibnu ‘Arabi
menganggap tokoh-tokoh tersebut sebagai gurunya.[134]
Tidak seperti filosof Islam dari Barat pada umumnya
–seperti Ibnu Bajjah, Ibnu Tuffail dan Ibnu Rusyd–[135]
Ibnu ‘Arabi lebih memiliki karakteristik yang radikal dan menonjol dalam
mengungkapkan tema mistik Neoplatonik. Masih menurut pendapat awal bahwa hal
ini terkait dengan pengaruh dari Ibnu Masarrah. Keterkaitan antara Ibnu ‘Arabi
dan Ibnu Masarrah pernah diungkapkan oleh seorang penulis bernama M. Asin
Palacios. Melalui bukunya Aben Masarra, Palacios meyakini adanya hubngan
historis antara filsafat Ibnu ‘Arabi dengan aliran Al Meria yang lebih tua dan
aliran Ibnu Masarrah. Menurutnya ketiganya merupakan mata rantai jika
ditelusuri dengan cermat.[136]
Namun pendapat Palacois ini disangkal oleh A.E. Affifi. Menurutnya diantara
Ibnu ‘Arabi, Ibnu Masarrah dan aliran Almeria tidak memiliki hubungan historis
yang jelas. Pendapat ini diperkuatnya dengan menunjukkan bukti-bukti antara
lain : tidak adanya murid-murid dari Ibnu Masarrah yang menonjol yang mempunyai
otoritas untuk melanjutkan ajaran-ajarannya; tidak ada buku-buku peninggalan
Ibnu Masarrah maupun murid-muridnya; dan menurut literatur yang ada Ibnu
Masarrah adalah penganut filsafat Empedocles dan juga seorang heretik.[137]
Menurut Affifi lagi, satu-satunya hal yang pernah dipinjam Ibnu ‘Arabi dari
Ibnu Masarrah adalah simbolisme Tahta yang Kudus yang diartikan lain oleh Ibnu
‘Arabi. Bagi Affifi apa yang diungkapkan oleh Palacios bahwa Ibnu ‘Arabi
dipengaruhi oleh Ibnu Masarrah merupakan hipotesis semata yang belum memperoleh
bukti-bukti yang kuat.[138]
Dengan demikian apa yang telah dikemukakan oleh Abdul Qadir Mahmud dan Palacios
tentang pengaruh Ibnu Masarrah terhadap Ibnu ‘Arabi telah dipatahkan oleh
penelitian A.E. Affifi.
Untuk selanjutnya, Affifi tetap mengakui bahwa Ibnu
‘Arabi terpengaruh dengan filsafat Neoplatonisme, namun bukan melalui Ibnu
Masarrah melainkan dari Ikhwanus Shafa dan Neoplatonik Persia terutama Ibnu
Sina dan juga Al Farabi. Dari saluran inilah Ibnu ‘Arabi memadukan
sumber-sumber dari Islam maupun dari non Islam termasuk unsur Neoplatonik.[139]
Namun dari saluran-saluran tersebut yang dijelaskan secara rinci adalah saluran
dari Ikhwanus Shafa (sekitar 970 M). Affifi menyebutkan bahwa terdapat
persesuaian antara Ibnu ‘Arabi dan Ikhwanus Shafa, yakni tentang Ontologi
mencakup filsafat emanasi dan wujud mutlak; tentang psikologi dan epistemologi
serta tentang Mikrokosmos dan Makrokosmos.[140]
Prinsip-prinsip Neoplatonik dalam Pemikiran Ibnu ‘Arabi
Dalam membangun doktrin waĥdatul wujūdnya, Ibnu ‘Arabi mendapat
pengaruh dari prinsip-prinsip emanasi dan hirarki Neoplatonisme. Meskipun
keduanya tidak dapat dikatakan identik –karena Ibnu ‘Arabi sangat ekletik
terhadap sumber lain– tetapi pengaruh itu diakui tetap ada.
Ada kesamaan yang mendasar antara pemikiran Plotinus tentang The One
dengan pemikiran Ibnu ‘Arabi tentang waĥdatul wujūd. Seperti filsafat
pada umumnya, keduanya membicarakan seputar tema yang mencakup Tuhan, alam,
manusia dan bagaimana bentuk hubungan antara ketiganya. Kesamaan yang mendasar
dari keduanya adalah bahwa antara Tuhan, alam dan manusia merupakan satu
kesatuan yang utuh, hal ini terlepas dari perdebatan mengenai istilah panteisme
dan monisme. Namun yang membedakan keduanya adalah bagaimana bentuk hubungan
tersebut sehingga ketiganya disebut sebagai satu kesatuan.
Jika dalam Neoplatonisme terdapat 3 prinsip di atas materi, yakni The
One, Nous dan Psyche, maka dalam waĥdatul wujūd Ibnu
‘Arabi menyebut adanya Allah sebagai al wujūd mutlaq, al aql al kulli
dan al nafs al kulliyat. Plotinus menggambarkan 3 hipotesis yang
terhubung secara hirarkis dengan terjadinya pelimpahan atau emanasi. Yang satu
sebagai prinsip pertama melahirkan akal, lalu akal melahirkan jiwa, berikutnya
jiwa melahirkan materi termasuk di dalamnya alam dan tubuh manusia. Dengan
begitu, alam dan tubuh manusia merupakan
rangkaian terendah yang muncul setelah terjadinya emanasi dari tiga prinsip.
Intisari dari seluruh sistem Ibnu ‘Arabi adalah satu realitas yang
mengungkapkan atau memanifestasikan dirinya dalam bentuk-bentuk yang tidak
terbatas, bukan realitas yang memunculkan atau melahirkan atau mengemanasikan
sesuatu seperti halnya dalam pemikiran Plotinus.[141]
dalam Waĥdatul wujūd, segala sesuatu yang maujud adalah pantulan dari wujūd
mutlak, oleh karena itu sifat kesempurnaan dalam setiap pantulan seesuai
dengan urutan-urutan kejadiannya atau sesuai dengan jauh dekatnya jarak dari wujūd
mutlak, Ibnu ‘Arabi menamakan ini sebagai Tajalliyat. Jadi, adanya
keanekaragaman termasuk alam dan manusia, merupakan hasil dari pengejawantahan
atau tajalli Tuhan dan bukan dari proses emanasi.
Meskipun dalam hal penggunaan
terminologi, Ibnu ‘Arabi sering mengikuti Plotinus,[142]
tetapi doktrin emanasi Neoplatonisme diartikan oleh Ibnu ‘Arabi dengan
caranya sendiri yang sama sekali lain dari yang dimaksudkan oleh Plotinus. Pada
doktrin emanasi Neoplatonik, pergerakan terjadi secara progresif menurut garis
lurus atas ke bawah. Pergerakan itu merupakan rangkaian emanasi-emanasi yang
tiap anggota secara misterius menciptakan anggota baru. Hasil dari ciptaan itu
bersifat lebih rendah dan mencerminkan kesempuranaan dari yang lebih tinggi.[143]
Berbeda dengan pandangan Ibnu ‘Arabi
yang menganggap adanya intelek pertama, jiwa universal dan tubuh universal
sebagai hasil dari cara yang berbeda-beda dalam pengungkapan diri dari yang
satu, bukan berada dalam satu garis lurus yang hirarkis. Tajalli adalah
manifestasi diri yang abadi tanpa akhir, kadang sebagai esensi dan kadang
sebagai suatu bentuk atau form.[144]
Ibnu ‘Arabi menggambarkan doktrin Neoplatonik dengan istilah-istilah al
Qalam untuk intelek pertama, Lawh al mahfudz untuk jiwa universal
dan al Arsy untuk tubuh universal. Secara etimologi masing-masing
berarti pena, meja berkawal dan singgasana. Istilah yang dalam Neoplonisme
disebut sebagai hasil dan rangakaian emanasi, oleh Ibnu ‘Arabi disebut sebagai
atribut atau aspek-aspek darimana realitas Yang Satu dipandang. Intelek
pertama, ruh/jiwa universal dan natur universal merupakan cara memandang Yang
Satu dari segi yang berlainan. Misalnya Yang Satu dipandang sebagai kesadaran
universal, Yang Satu dipandang sebagai Prinsip Aktif dalam alam, Yang Satu
sebagai Prinsip Pemberi Hidup, Yang Satu memanifestasikan diri dalam dunia
fenomena dan sebagainya.[145]
Dalam Neoplatonisme, relitas dari keseluruhan bersumber dari The One.
Begitupula dalam sistem Ibnu ‘Arabi, wujud pada hakikatnya adalah satu, yakni
wujud mutlak (Allah) dan wujud mutlak ini bertajalli dalam tiga
martabat. Dalam tiga martabaat inilah Ibnu ‘Arabi sedikit meniru gaya Plotinus
yaitu menyusun tiga hipotesis secara hirarkis. Tiga martabat tersebut adalah :
1.
Martabat Aĥadiyyah atau Dzatiyyah, yakni
bahwa wujud Allah merupakan Dzat yang mutlak lagi mujarrad, atau tidak
terbayangkan. Merupakan The One dalam filsafat Neoplatonisme.
2.
Martabat Waĥidiyyah, disebut juga martabat
tajalli dzat atau fayd al aqdas (limpahan paling kudus). Dzat yang mujarrad
bertajalli melalui sifat dan asma’. Dengan tajalli ini Dzat
tersebut menjadi pengikat sifat-sifat dan nama-nama yang maha sempurna (asma’ul
husna). Tetapi sifat dan nama
tersebut berada dalam satu sisi yang tidak berlainan atau identik dengan
Dzat Allah. Inilah a’yan tsabitah atau mafātiĥ al ghaib.
3.
Martabat tajalli Syuhudi. Disebut juga Fayd
muqaddas (limpahan kudus/ kedua) atau kenyataan kedua. Allah bertajalli
melalui asma’ dan sifat-Nya dalam keadaan kongkrit. Dengan perkataan lain melalui
firman-Nya, maka a’yan tshabitah yang dulunya merupakan wujud potensial
dalam Dzat ilahi, kini menjadi kenyataan aktual dalam berbagi citra alam
empiris. Alam empiris ini merupakan wadah atau mazhar tajalli illahi
dalam berbagai wujud atau bentuk yang tiada akhir.[146]
Bedanya hirarki martabat wujud ini dari tiga hipotesis Plotinus terletak
pada alam empiris. Jika dalam sistem Ibnu ‘Arabi alam empiris atau materi
merupakan anggota penuh dari hirarki tajalli, sedangkan menurut Plotinus
alam empiris atau materi tidak termasuk tritunggalnya, karena baginya materi
merupakan prinsip kegelapan dan sumber kejahatan.[147]
Ada hal lain yang membedakan antara emanasi Plotinus dengan tajalliyat
Ibnu ‘Arabi. Dalam emanasi Plotinus, lahirnya hipostatis kedua dan ketiga sampai
akhirnya melahirkan materi adalah suatu keniscayaan yang begitu saja terjadi,
tanpa terencana dan kehendak.[148]
Sedangkan menurut Ibnu ‘Arabi terjadinya tajalli atau pengejawantahan
Tuhan melalui kosmos disebabkan oleh kehendak-Nya. Menurut Henry Corbin,
kesendirian Tuhan dalam kegaiban Nama-nama-Nya yang tidak dikenal adalah
kesedihan yang menimbulkan kerinduan untuk dikenal oleh ciptaan-Nya. Lalu Tuhan
berkehendak menghembuskan nafas kasih (Nafas Raĥmani). Nafas ini
menandai terlepasnya kesedihan Tuhan dan mengaktifkan wujūd, sehingga
Nama-nama-Nya akhirnya termanifestasi secara kongkrit.[149]
“Kosmos berasal dari Nafas Yang Maha Pengasih karena Dia menjadikan
Nama-nama-Nya memiliki akibat-akibat di dalam nama-nama itu sendiri”.[150]
Jadi segala sesuatu yang nampak merupakan pengadaan dari hembusan nafas
kasih Tuhan. Oleh karena itu Tuhan layak disebut sebagai al Raĥman,
seperti bahasa al Qur’an dalam Bismi Allah Al Raĥman Al Raĥim dan Kasih-Ku
meliputi segala sesuatu, maka Aku tetapkan kasih-Ku untuk orang-orang yang
bertakwa ... (QS. 7 : 156)
The One bagi Plotinus adalah wujud mutlak (wujud absolut)
bagi Ibnu ‘Arabi. Keduanya memberikan identifikasi yang sama terhadap prinsip
pertama ini. The One adalah wujud yang tidak dapat digambarkan dengan
apapun. Dia adalah sumber dari segala sesuatu, tidak dalam ruang dan waktu,
tidak dapat dikenal karena tidak ada ukuran untuk membandingkannya.[151]
Begitupula Ibnu ‘Arabi dalam mengidentifikasi wujud mutlak. Dia yang
mewujudkan segala sesuatu. Tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya. Ibnu ‘Arabi
menyebutnya sebagai tanzih (tidak dapat disetarakan). Merupakan esensi
yang tidak dapat dipahami dan tidak dapat disetarakan dengan sesuatupun. Tuhan
sebagai Dia dalam diri-Nya sendiri. Dalam kondisi ini Tuhan belum mewujudkan
diri-Nya dalam bentuk apapun sehingga Ia tidak dapat dikenali kecuali oleh
diri-Nya sendiri.[152]
Dalam hubungan dengan Esensi, tidak ada sebutan. Sebab Ia tanpa locus
atau wadah pengejawantahan, dan Ia tidak dapat dikenali oleh siapapun. Tiada
nama yang menunjukkan pada-Nya kecuali penisbatan, tidak juga dengan bantuan.
Nama-nama perbuatan diciptakan sebagai sarana untuk mengenal-Nya dan
membedakan-Nya dari selain Dia, tapi pintu (pengetahuan menuju esensi) ini
hanya untuk Tuhan, bukan untuk yang lain. Karena “Tiada seorangpun yang
mengenal Tuhan, kecuali Tuhan”.[153]
Tentang Akal Pertama
Dalam emanasi Neoplatonik, akal adalah yang pertama kali keluar dari The
One. Plotinus menggambarkan akal (nous) selalu merenungkan yang satu
dan terus-menerus berusaha mencapai Yang Satu, yang disebut pula sebagai Yang Baik (The Good).[154]
Aktivitas dasar akal adalah memancarkan jiwa universal, yang dalam berhubungan
dengannya akal bersifat aktif, sedangkan terhadap The One ia bersifat pasif.[155] Akal atau nous ini dalam sistem Ibnu ‘Arabi
disebut sebagai al aql al awwal (akal pertama) atau al aql al kulli
(akal universal). Namun akal pertama dalam pemikiran Ibnu ‘Arabi ini tidak
sesederhana apa yang diutarakan oleh Plotinus. Oleh Ibnu ‘Arabi akal pertama
diidentifikasikan dengan peran yang lebih kompleks, meskipun pada dasarnya
memiliki kedudukan yang sama dalam arti, berada di bawah Yang Esa dan di atas
materi.
Akal atau intelek pertama dalam sistem Ibnu ‘Arabi adalah salah satu
sebutan yang diberikan pada logos atau hakikat Muhammadiyah. Merupakan
kategori metafisik murni darimana hakikat Muhammadiyah dipandang.[156]
Al aqlu al awwal adalah sesuatu yang pertama keluar dari wujud mutlak.
Keluar tidak dalam proses ruang dan waktu, dan tanpa terjadi perubahan pada wujud
mutlak. Ia penyebab kejadian segala yang ada dan bersifat qadim
seperti qadimnya wujud mutlak.
Ibnu ‘Arabi membedakan tiga jenis kategori ontologis, pertama adalah
wujud absolut (wujud mutlaq) yang berdiri sendiri dengan entitasnya.
Wujudnya mustahil dari tiada. Kedua adalah wujud yang diwujudkan oleh wujud
pertama. Ia adalah wujud terbatas dan terikat karena tidak punya esensi sendiri
(‘adam). Kategori pertama dan kedua ini diidentifikasi oleh Ibnu ‘Arabi
sebagai Tuhan (Allah) dengan alam materi. Sedangkan kategori ketiga adalah
tidak wujud dan tidak pula ‘adam, tidak hudust dan tidak qidam.
Secara ontologis ia Tuhan dan alam, tetapi pada waktu yang sama ia bukan
keduanya. Ia berada diposisi tengah antara Tuhan dan alam materi. Kategori
ketiga ini disebut Realitas dari realitas (Haqiqatul Haqa’iq). Hubungan
antara Tuhan dengan alam adalah hubungan yang mewujudkan dan yang diwujudkan
atau dapat disebut dengan tajalli. Tajalli terjadi jika kategori
ketiga ini diikutsertakan.[157]
Dengan demikian posisi Haqiqatul Haqa’iq dalam urutan tajalli
sama dengan posisi akal atau nous dalam emanasi Neoplatonik.
Haqiqatul Muhammadiyah, haqiqatul
haqa’iq maupun al barzakh adalah
satu realitas yang sama yang dapat pula disebut sebagai al aqlu awwal atau
al qalam (pena). Akal pertama merupakan lambang dari pengetahuan
Tuhan yang tidak terbatas dan azali, yang bertajalli pada hakikat
Muhammad, sedangkan pena melambangkan alat tulis Tuhan, yang menuliskan
pengetahuan tersebut. Di dalam “pena” terdapat “tinta” yang melambangkan ruh
yang masih berwujud potensialitas. Dan “huruf-huruf” yang ditulis oleh pena
melambangkan bentuk alam. Dialah yang menjadi perantara penciptaan alam semesta
dan sebab terpeliharanya.[158]
Mengenai posisi tengah antara Tuhan dan alam dan mengenai sifat nous
yang pasif terhadap The One dan aktif hubungannya terhadap materi, Ibnu
‘Arabi juga mengenakan sifat ini pada a’yan tsabitha atau
entitas-entitas permanen. Sebelum menjadi wujud yang konkrit, segala sesuatu
dari dunia fenomena ini berada di bawah pengendalian esensi Tuhan dan sesuai
dengan apa yang ada dalam ilmu Tuhan sejak zaman azali. Artinya, segala urusan
dan apa yang ada tidak akan keluar dari rencana yang telah ditetapkan Tuhan
dalam ilmu-Nya.[159]
Inilah a’yan tsabita atau entitas-entitas permanen yang terletak di
tengah-tengah antara Yang Esa sebagai realitas absolut dan dunia fenomena. Ibnu
‘Arabi menamakannya mafātiĥ al ghaib (kunci-kunci kegaiban). Mereka
adalah bab pembukaan dalam sejarah penciptaan, yakni pewahyuan Yang Esa kepada
diri-Nya sendiri, sebagai pencipta yang merenungkan diri sendiri tentang
ketidakterbatasan ciptaan-Nya atau manifestasi-Nya di masa depan. Keadaan
khusus ini hanya diketahui oleh Tuhan sendiri.[160]
Oleh karena posisi yang unik sebagai perantara antara Yang Esa dan dunia
fenomena, maka menurut Ibnu ‘Arabi mempunyai ciri yang unik juga, yakni sifat
aktif sekaligus pasif atau reseptif. Pada satu sisi mereka bersifat pasif dan
reseptif dalam hubungannya dengan yang lebih tinggi yakni Tuhan. Karena sebagai
hasil emanasi dari Yang Esa mereka menerima determinasi-determinasi (aĥkam)
dari nama-nama Tuhan secara potensial. Di sisi lain mereka aktif dalam
hubungannya dengan yang lebih rendah, yaitu alam konkrit, karena penciptaannya
tidak lepas dari keberadaan a’yan tsabitha.[161]
Dari apa yang dijelaskan tentang a’yan tsabitha, menurut A.E.
Affifi, Ibnu ‘Arabi sedikit terpengaruh dengan idea-ideanya
Plato, tetapi keduanya tidak identik dan berbeda dalam hal-hal tertentu, yakni
tentang kesadaran Tuhan yang menyertai entitas-entitas permanen dan tidak
dimiliki dalam idea-ideanya Plato. Kesadaran kudus diidentikkan
Ibnu ‘Arabi dengan intelek pertama Plotinus yang mencakup semua bentuk-bentuk
intelek dari a’yan : esensi, semua esensi yang potensial. Tuhan menjadi
sadar akan diri-Nya sendiri melalui intelek pertama, ruh, tetapi menjadi sadar
akan masing-masing a’yan mereka sendiri, yakni melalui ruh-ruh yang
merupakan modes khusus dalam ruh universal. Ini nampaknya sama dengan
pandangan Plotinus tentang mind (pikiran) Yang Esa dan ide-ide-Nya.
Pandangan Ibnu ‘Arabi tentang identifikasi pengetahuan Tuhan dengan a’yan
benda-benda pada dasarnya sama dengan Plotinus meski tidak begitu tepat.
Pengetahuan Tuhan diidentifikasi dengan esensi Tuhan, lalu seperti menurut
Plotinus, pengetahuan adalah identik dengan semua modes esensi yang
potensial (Yang Esa-nya Plotinus) dan bahwa masing-masing mode harus
diidentifikasi dengan ide sendiri dalam kesadaran kudus. Singkat kata, tiap mode
harus pada saat yang sama merupakan suatu keadaan esensi dan suatu keadaan yang
berada di dalam pengetahuan Tuhan. Kedua keadaan itu serentak dalam keadaan
bersatu dalam a’yan tsabitha.[162]
Menurut Wiliam C. Chittick, ajaran Ibnu ‘Arabi yang lebih tepat
dihubungkan dengan idea-idea Plato adalah nam-nama Tuhan, sedangkan entitas-entitas
permanen adalah segala sesuatu yang belum diberi wujud di dunia ini.[163]
Tentang Jiwa
Konsep hirarki emanasi yang
ketiga Plotinus adalah jiwa atau psyche. Ibnu ‘Arabi menamakannya al
nafs al kulliyat seperti halnya ikhwanus shafa. Seperi halnya Aristoteles
dan Plotinus, yang membagi jiwa dalam tiga bagian yaitu jiwa rasional, jiwa
sensitif dan jiwa vegetatif. Masing-masing disifati sebagai jiwa yang ada pada
manusia, binatang dan tumbuhan.[164]
Berbeda dari Aristoteles yang mengidentifikasikan jiwa rasional sebagai
intelek, Ibnu ‘Arabi mengikuti Plotinus yang mengkategorikan jiwa rasional
sebagai bagian dari jiwa universal. Ibnu ‘Arabi sepakat dengan pendapat
Plotinus yang mengatakan bahwa jiwa-jiwa partikular adalah modes (cara,
ragam) dari jiwa universal. Jiwa universal selalu menyadari dirinya sebagai
suatu keseluruhan dan sadar bahwa jiwa-jiwa partikular merupakan satu substansi
dengannya, sedangkan jiwa-jiwa partikular itu tidak sadar terhadap keseluruhan,
mereka hanya tahu bahwa mereka berdiri sendiri. Yang perlu ditekankan adalah
bahwa jiwa-jiwa tersebut bukanlah bagian-bagian yang melambangkan kemajemukan
yang terpisah-pisah, melainkan sebagai fungsi jiwa universal.[165]
Jiwa universal tetap utuh tidak terbagi-bagi, oleh karena itu tetap abadi selamanya.
Dengan meluapnya jiwa universal ke dalam kosmos, seluruh kosmos ini berjiwa dan
hidup. Karena itu, semuanya yang ada merasakan pertalian jiwa, terikat satu
sama lain.[166]
Dari ketiga hipotesisnya, Plotinus
menggambarkan jiwalah yang paling luas dan beragam aktifitasnya. Masing-masing
dari jiwa partikular memiliki fungsi sendiri. Menurut Ibnu ‘Arabi jiwa
vegetatif berfungsi sebagai pengendali proses organisme. Jiwa binatang dianggap
sebagai uap yang sangat halus yang berada di dalam organ hati. Dua jiwa ini
berbentuk materi dan berada dalam semua makhluk. Sedangkan jiwa rasional hanya
dimiliki oleh manusia. Merupakan ruh murni yang bersih dari kesalahan. Jiwa
rasional tidak dapat hancur dan abadi.[167]
Ibnu ‘Arabi mengidentifikasikan jiwa ini dalam diri manusia sebagai hati
mistis. Sebagai prinsip rasional tujuan tunggalnya adalah mencapai pengetahuan
sejati, yakni kesadaran akan makna kesatuan dengan Yang Esa.
Hal ini seperti Plotinus yang dalam
pengembaraan spiritualnya ditujukan untuk mencapai puncaknya pada penyatuan
mistis antara manusia dengan sumbernya. Menurut Plotinus hanyalah penyatuan
mistis yang akhirnya akan dapat menerobos tirai dan menyingkap hakikat yang
sebenarnya dari Yang Satu.[168]
Inti dari pemikiran Plotinus dan
Ibnu ‘Arabi tentang jiwa adalah dalam diri manusia terdapat ketiga jiwa
partikular, yakni jiwa tumbuhan, jiwa binatang dan jiwa rasional (hati mistis).
Kedua jiwa pertama lebih terkait erat dengan siklus biologis, yakni aktivitas
dari organ-organ tubuh. Disini Ibnu ‘Arabi mengatakan bahwa tubuh adalah modes
dari jiwa universal atau al jism al kulli. Sedangkan jiwa rasional
merupakan jiwa murni yang lebih terkait dengan yang diatasnya yakni akal.
Karena ia menerima pancaran dari akal dan menghendaki persatuan dengan sumber
utama yakni Yang Esa.
Tentang
Analogi
Dalam menjelaskan ajarannya tentang hubungan antara al ĥaqq dengan
al Khalq. Ibnu ‘Arabi banyak menggunakan analogi yang memudahkan kita
untuk memahami apa yang diajarkannya. Diantaranya adalah analogi “makanan dan
yang memakan” ; simbol pelangi dan simbol cermin.[169]
Namun analogi yang sama dengan yang digunakan Plotinus adalah “matahari dan
cahayanya”. Plotinus membandingkan konsep emanasi dengan pengeluaran cahaya
yang terus menerus oleh matahari.[170]
Tentang hal ini kata-kata Ibnu
‘Arabi diabadikan dalam manuskrip al Zhahiriah Damaskus no. 4266, yang
dikutip oleh Su’ad al Hakim dalam Al Mu’jamul Shufi : “Maka setiap
maujud adalah cahaya dari cahaya-cahaya matahari kekuasaan. Cahaya matahari
tidak memiliki tingkat kesertaan, tetapi tingkat kelilinan.....”[171]
BAB
V
PENUTUP
Kesimpulan
Kemenangan-kemenangan Islam pada abad-abad permulaan setelah hijrah, yaitu pada saat kebangkitannya, telah menciptakan suatu akulturasi peradaban
dan kebudayaan termasuk intelektualisme antara orang-orang muslim dengan non
muslim. Diantara unsur-unsur yang berpengaruh kuat dalam pembentukan
intelektual Islam selanjutnya adalah warisan Yunani. Sebagai akibat
meningkatnya hubungan Islam dengan dunia Hellenistik, maka pendapat-pendapat
Phytagoras, Plato, Aristoteles dan Neoplatonisme mulai dikibarkan dalam
cakrawala Islam baru. Berawal dari besarnya minat orang-orang muslim terhadap
ilmu pengetahuan dan kedokteran, mereka mengadakan penerjemahan besar-besaran
terhadap karya-karya Yunani. Karena kondisi sosial politik yang mendorong
mereka untuk mempertahankan diri dan keimanan, mereka akhirnya mempelajari
filsafat Yunani yang menawarkan argumen-argumen rasional yang dianggap mampu
membantu mereka. Melalui teks-teks terjemahan dan rentetan tokoh-tokoh yang
berkesinambungan, pemikir Islam yang genius banyak mendapat pengaruh dari
warisan Yunani. Diantara yang terpengaruh adalah syaikhul akbar Ibnu
‘Arabi.
Secara kronologis keterpengaruhan Ibnu ‘Arabi tehadap filsafat
Neoplatonisme memang tidak secara langsung
tetapi melalui beberapa tokoh perantara yang memiliki jarak rentang
waktu yang tidak sedikit.
Namun dari beberapa pokok pemikirannya memberikan petunjuk pada kita
bahwa ada unsur-unsur lain sambil disesuaikan dengan pondasi dasarnya sebagai
seorang Muslim.
Menurut Abdul Qadir Mahmud dalam fil falsafah al shufiyah Ibnu
‘Arabi memperoleh pengetahuan tasawuf dan filsafat melalui Abu Madyan Syuaib
bin Husain (w. 594). Abu Madyan adalah penganut aliran Ibnu Masarrah (w. 319 H)
yang dikenal sebagai tokoh aliran Neoplatonisme di Andalusia. Abu Madyan adalah
orang yang paling besar pengaruhnya bagi Ibnu ‘Arabi dalam menempuh jalan
spiritualnya, meskipun ajaran-ajaran yang ia dapatkan dari Abu Madyan tidak secara
langsung, tetapi melalui murid-muridnya antara lain : Al Kumi, Al Sadrani dan
Al Maururi.
Mengenai Ibnu Masarrah, tokoh ini dikenal sebagai tokok filosof sekaligus
sufi dari Almeria yang sangat berpengaruh pada abad 9 M. Namun sayangnya ia
tidak meninggalkan tulisan-tulisan yang cukup untuk memahami ajaran-ajarannya.
Menurut A.E. Affifi, Ibnu ‘Arabi memang seorang Neoplatonis Muslim, namun
ajaran yang diperolehnya sebagai sumber pemikirannya tidak melalui Ibnu
Masarrah, tetapi lebih tepat melalui Ikhwanus Shafa dengan Epistles-nya
dan Sufi peripatetik seperti Ibnu Sina dan juga sufi panteistik seperti Al Hallaj.
Sedangkan hubungan antara Ibnu ‘Arabi dengan ajaran Almeria Ibnu Masarrah terlalu jauh
sehingga tidak dapat menjadi bukti yang cukup untuk mengatakan bahwa keduanya
terkait seperti apa yang telah dikatakan oleh Asin Palacious.
Doktrin Ibnu ‘Arabi yang mendapat pengaruh dari Neoplatinisme adalah tajalliyat-nya
yang menggantikan emanasi dari Neoplatonisme. Persamaan antara tajalliyat
Ibnu ‘Arabi dan Emanasi Plotinus terletak pada point-point sebagai
berikut :
1.
Keduanya (Ibnu Arabi dan Plotinus) meyakini bahwa pada
dasarnya antara Tuhan, manusia dan alam semesta merupakan satu kesatuan yang
utuh yang bersumber dari Tuhan dan nantinya akan kembali kepada-Nya.
2.
Salah satu istilah yang digunakan oleh Ibnu ‘Arabi
adalah istilah fayd yang merupakan terjemah dari emanasi meskipun
didefinisikan dengan caranya sendiri.
3.
Proses yang sama antara emanasi dan tajalliyat
adalah : Diawali dengan wujud mutlak atau The One yang ber-tajalli
atau ber emanasi menuju akl pertama atau Nous. Lalu muncullah jiwa universal
atau psyche dan terakhir terciptalah natur universal, haba dan hayula
atau alam empiris.
4.
Apa yang digambarkan The One dalam emanasi
Plotinus memiliki kesamaan dengan apa yang digambarkan wujud mutlak dalam tajalliyat
Ibnu ‘Arabi, begitupun dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh anggota hirarki
emanasi dan hasil tajalliyat Ibnu
‘Arabi, yakni bersifat pasif terhadap yang di atasnya dan bersifat aktif
terhadap yang di bawahnya.
5.
Mengenai jiwa-jiwa partikular yaitu jiwa
vegetatif, jiwa binatang dan jiwa
rasional, Ibnu ‘Arabi mengikuti cara Plotinus. Ketiganya adalah bagian dari
jiwa universal.
6.
Seperti halnya Plotinus yang memusatkan kehidupannya
untuk hal-hal spiritual dan pencapaian mistik yaitu bersatunya diri dengan
Tuhan sebagai sumber dari kemanusiaannya. Demikian pula Ibnu ‘Arabi menjalani
kehidupan spiritual untuk mencapai maqam tak bermaqam.
7.
Persamaan lain di antara Ibnu ‘Arabi dengan
Neoplatonisme adalah dalam hal pemberian analogi terhadap pemikiran mereka,
yaitu tetang hubungan antara Yang Esa dengan
alam fenomena atau Al Ĥaqq dengan
Al Khalq. Analogi yang
digunakan adalah matahari dan cahayanya. Yang Esa atau Tuhan digambarkan
seperti cahaya matahari yang secara
terus-menerus mengeluarkan sinarnya
tanpa mengurangi esensinya dan memberikan eksistensi pada alam material.
Sedangkan point-point yang membedakan antara Ibnu
‘Arabi dengan Neoplatonisme adalah :
1.
Yang membedakan tajalliyat Ibnu ‘Arabi dengan
emanasi Plotinus adalah bentuk hubungan yang
terjalin antara Yang Satu/Allah, manusia dan alam semesta.
a.
Emanasi bersifat vertikal karena melalui pelimpahan
yang berurutan dari atas ke bawah. Segala sesuatu mengalir sehingga
menjadi alam yang serba aneka. Sedangkan tajalli
bersifat horisontal, karena segenap fenomena maknawi dan empiris muncul sebagai
manifestasi Al Ĥaqq dari segala aspek, bukan dalam satu arah.
b.
Proses emanasi menurut Plotinus merupakan proses
alamiah yang memang harus terjadi demikian, tanpa sebab, tanpa kesengajaan dari
Yang Esa. Sedangkan Tajalliyat dalam sistem Ibnu ‘Arabi, merupakan kehendak
Tuhan. Karena ingin dikenal, Allah dengan segaja menghembuskan nafas kasih-Nya
sehingga terciptalah makhluk kemudian memberikan kasih sayang terhadap
makhluknya bahkan dalam pengejawantahan yang terkecil sekalipun.
2.
Banyak hal-hal baru yang dikenalkan dalam ajaran Ibnu
‘Arabi yang tidak terdapat dalam sistem 3 hipostasis Plotinus seperti, a’yan
tsabitha dan insan kamil. Karena memang selain mengambil unsur-unsur
Neoplatonik, Ibnu ‘Arabi juga mengambil unsur-unsur lain dan tetap menjaga
keimanannya sebagai seorang muslim.
Gagasan Ibnu ‘Arabi tentang kesatuan agama-agama merupakan konsekwensi
logis yang menjadi kesimpulan akhir dari doktirn wahdatul wujud-nya
terutama jika ditelusuri dari doktrin logos-nya. Segala ide berasal dari
dan akan kembali pada sumber yang sama, termasuk agama. Ini dapat disamakan
dengan teori emanasi Neoplatonisme. Segala sesuatu muncul dari Yang Satu. Agama
pada dasarnya juga satu, yakni kepunyaan Allah, apapun nama, bentuk dan
atributnya.
Saran-saran
Dengan selesainya skripsi ini, maka penulis menyatakan harapan-harapan
sebagai berikut :
Karena penulisan skripsi ini
masih terlalu global dan banyak kekurangan di sana sini, maka ada baiknya
penulisan ini dijadikan sebagai awal untuk menelusuri pemikiran Ibnu ‘Arabi
lebih lanjut, mengingat kajian-kajian tentang pemikirannya sangat luas dan
kompleks, sehingga tidak mungkin dimengerti hanya dengan satu langkah
penelitian.
Pembahasan mengenai tasawuf
yang bercorak filosofis atau filsafat mistis termasuk Ibnu ‘Arabi hendaknya
menggunakan bahasa-bahasa yang familiar dan mudah dicerna sehingga dapat
memberi akses bagi para peminatnya untuk lebih memahami kandungan nilai-nilai
yang disampaikan oleh penulis.
DAFTAR PUSTAKA
Affifi, A.E. Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi. terj. Sjahrir Mawi
dan Nandi Rahman. Jakarta : Gaya Media Pratama, 1995.
Ahwani, Ahmad Fuad Al. Filsafat Islam. terj. Sutardji C.B.
Jakarta : Pustaka Firdaus, 1988.
Ali, Yunasril. Membersihkan Tasawuf dari Syirik, Bid’ah dan
Khurafat. Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1987.
______ Manusia Citra Ilahi : Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibnu
‘Arabi Oleh Al Jili. Jakarta : Paramadina, 1997.
Amstrong, Amatullah. Khasanah Istilah Sufi. terj. M.S.
Nasrullah dan Ahmad Baiquni. Bandung : Mizan, 1995.
‘Arabi, Ibnu al. Futtuhat al Makiyyah. ed : Usman Yahya. Kairo,
1979.
Arberry, AJ. Pasang Surut Aliran Tasawuf. terj. Bandung :
Mizan, 1985.
Asdi, Endang Daruni dan A. Husnan Aksa. Filsuf-filsuf Dunia dalam
Gambar. Yogyakarta : Karya Kencana, 1982.
Austin, R.W.J. Sufi-sufi Andalusia. terj. M.S. Nasrullah.
Bandung : Mizan : 1994.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta : Gramedia, 1996.
Bakker, Anton dan Achmad Charis Zubeir. Metode Penelitian Filsafat.
Yogyakarta : Kanisius. 1992.
______ Metode-metode Filsafat. Jakarta : Ghalia Indonesia,
1984.
Berten, K. Sejarah Filsafat dalam Islam. Yogyakarta : Kanisius,
1978.
Chittick, C. William. Dunia Imajinal Ibnu ‘Arabi, Kreativitas
Imajinasi dan Persoalan Diversitas Agama. terj. Ahmad Syahid. Surabaya :
Risalah Gusti, 2001.
______ SPK : Tuhan Sejati dan Tuhan-tuhan Palsu. terj. Ahmad
Nidjam, Sadat Ismail dan Ruslani. Yogyakarta : Qalam, 2001.
______ SPK : Pengetahuan Spritual Ibn Al ‘Arabi. terj. Ahmad
Nidjam, Sadat Ismail dan Ruslani. Yogyakarta : Qalam, 2001.
Corbin, Henry. Imajinasi Kreatif : Sufisme Ibn ‘Arabi. terj. M.
Khozim dan Suhadi. Yogyakarta : LKIS, 2002.
Daudy, Ahmad. Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syekh Nuruddin Ar
Raniri. Jakarta : Rajawali Perss, 1983.
DEPAG RI, YPP Al Qur’an. Al Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta :
1983.
Edward, Paul. The Encyclopedia of Philosophy. New York : Mac
Millan Publishing & The Free Press, 1967.
Gazalba, Sidi. Sistematika Filsafat 3. Jakarta : Bulan Bintang,
1996.
Hamka, Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta :
Panjimas, 1986.
Hatta, Mohammad. Alam Pikiran Yunani. Jakarta : Tintamas &
UI Perss, 1980.
Hadiwijoyo, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat I. Yogyakarta :
Kanisius, 1980.
Helwig, W.L. Sejarah Gereja Kristus I. Yogyakarta : Kanisius,
1999.
Hirtenstein, Stephen. Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud, Ajaran dan
Kehidupan Spiritual Syaik al Akbar Ibn ‘Arabi. terj. Tri Wibowo B.S.
Jakarta : Murai Kencana, 1999.
Jailani, Abdul Qadir. Koreksi Terhadap Ajaran Tasawuf. Jakarta
: Gema Insani Perss, 1996.
Kattsof, louis O. Pengantar Filsafat. terj. Soejojo Soemargono.
Yogyakarta : Tiara Wacana, 1996.
Kertanegara, Mulyadi. “Pencarian Spiritual di Dunia Modern” dalam Pensyl.
Jakarta : STT. Apostolos, 2000.
Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Umat Islam 1 & 2. terj.
Jakarta : Rajawali Perss, 1999.
Mackenna, Stephen dan B.S Page. “Biographical Note” dalam Enneads.
Chicago : The University of Chicago, 1989.
Madkour, Ibrahim. Aliran dan Teori Filsafat Islam. terj. Yudian
W.A. Yogyakarta: Bumi Aksara, 1995.
Mahayana, Dimitri. Menjemput Masa Depan, Futuristik dan Rekayasa
Masyarakat Menuju Era Global. Bandung : Rosdakarya, 1999.
Mahmud, Abdul Qadir. Al Falsafah al Shufiyyah fil Islam. Kairo
: Darul Fikr al ‘Arabi, 1966.
Mudhofir, Ali. Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi.
Yogyakarta : UGM Perss, 1996.
Muzairi. “Filsafat Islam, Suatu Tinjauan Historis” dalam Filsafat
Islam. ed : Irma Fatimah. Yogyakarta : LESFI, 1992.
Nasr, Seyyed Hossein. Three Muslim Sages : Avicenna, Suhrawardi,
Ibn ‘Arabi. New York : Caravan Books, 1976.
______ Tasawuf, Dulu dan Sekarang. terj. Abdul Hadi W.M.
Jakarta : Pustaka Firdaus, 1991.
Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta :
Bulan Bintang, 1995.
Netton, Ian Riochard. Muslim Kebatinan. terj. Musoffa Ihsan.
Yogyakarta : Aditya Media, 1994.
Noer, Kautsar Azhari. Ibn Al Arabi, Wahdat al Wujud dalam
Perdebatan. Jakarta: Paramadina, 1995.
Poerwantana, dkk. Seluk Beluk Filsafat Islam. Bandung :
Rosdakarya, 1994.
Poejawijatna. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta :
Rineka Cipta, 1997.
Plotinus. Enneads. trans. by S. Mackenna & B.S. Page.
Chicago : The University of Chicago, 1989.
Simuh. Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam. Jakarta :
Rajawali Perss, 2002.
Siregar, Rivay H.A. Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neosufisme.
Jakarta : Rajawali Perss, 1999.
Taftazani, Abul Wafa’ al Ghanimi. Sufi dari Zaman ke Zaman.
terj. Ahmad Rofi’ Usmani. Bandung : Penerbit Pustaka, 1997.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales sampai
Capra. Bandung : Rosdakarya, 2000.
Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat. Bandung : Rosdakarya, 1995.
Usmani, Rofi’. Tokoh-tokoh Muslim Pengukir Zaman. Bandung :
Penerbit Pustaka, 1998.
Watt, W. Montgomery. Kejayaan Islam, Kajian Kritis dari Tokoh
Orientalis. terj. Hartono Hadikusumo. Yogyakarta : Tiara Wacana, 1990.
Zubeir, Ahmad Charis. “Metodologi Penelitian Filsafat” Makalah pada
Lokakarya Dosen-dosen Filsafat Pancasila se-Indonesia di Yogyakarta, Juli 1998.
[1]
Selengkapnya lihat Dimitri Mahayana, Menjemput Masa Depan, Futuristik dan
Rakayasa Masyarakat Menuju Era Global (Bandung : Rosda, 1999)
[2]
Eric Fromm, Revolution of Hope, hlm. 31. Dikutip oleh Dimitri Mahayana
dalam Menjemput Masa Depan ..., ibid., hal. 131.
[3]
Stephen Hirtenstein, Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud, Ajaran dan Kehidupan
Spiritual Syaikh Al Akbar Ibnu ‘Arabi, terj. Tri Wibowo (Jakarta : Murai
Kencana 2001) hlm. 9.
[4]
Ahmad Charis Zubair, “Metodologi Penelitian Filsafat” Makalah yang disampaikan
pada lokakarya dosen-dosen filsafat Pancasila se-Indonesia di Yogyakarta, Juli
1998.
[5]
Mulyadi Kertanegara, “Pencarian Spiritual di Dunia Modern”, Pensyil 39,
2000, hlm. 44.
[6]
Dalam Islam kemurnian ke- Esa- an Allah ditegaskan dalam firman-Nya Al-Qur’an
surat Al Ikhlas ayat 1-4 yang menolak segala macam kemusyrikan dan menyatakan
tidak ada sesuatu yang menyamaiNya.
[7]
Seperti yang diterangkan dalam Al Qur’an surat Ar Rum 30. Agana Islam adalah
agama yang diturunkan untuk terakhir kali sehingga menjadi penyempurna bagi
agama sebelumnya.
[8]
Organisasi yang diberikan pada 1977 dan berpusat di Oxford. Sejak 1982 menerbitkan Journal
of the Muhyiddin Ibn ‘Araby Society. Organisasi ini secara berkala
mengadakan pertemuan dan simposium yang menyajikan, makalah tentang berbagai
aspek pemikiran Ibnu ‘Araby. Kautsar Azhari Noer, Ibn Al’Araby Wahdatul
Wujud dalam perdebatan. (Jakarta : Paramadina 1995) hlm.8.
[9]
Selengkapnya baca Abdul Qadir Jaenali, Koreksi terhadap Ajaran Tasawuf.
(Jakarta : Gema Insani Perss, 1996)
9
AJ Arberry, Pasang Surut Aliran Tasawuf Terj: (Bandung : Mizan, 1985) hlm. 133.
10Ibid.,
hlm 137.
11 Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani,
(Jakarta : UI-Tintamas 1986) hlm. 166-167.
12 Untuk buku-buku yang telah disebut,
secara lengkap dapat dilihat dalam Stephen Hirtenstein, “Bacaan Lanjut”, ibid.,
hlm. 367-368.
1 Stephen Hirtenstein, Dari Keragaman ke Kesatuan
Wujud, Ajaran dan Kehidupan Spiritual Syaikh al Akbar Ibnu ‘Arabi,
terj. Tri Wibowo (Jakarta : Murai Kencana, 2001) hlm. 43. Selanjutnya lihat
footnote no 3 dalam buku ini hlm. 331.
2 Secara konsisten penulis akan
menggunakan sebutan Ibnu ‘Arabi saja, dengan alasan sebutan ini banyak dipakai
dan mudah dalam ejaan.
3 Kautsar Azhari Noer, Ibn Al’Arabi,
Waĥdatul wujūd dalam Perdebatan (Jakarta : Paramadina,1995 ) hlm. 17.
4
Stephen Hirtenstein, op.cit., hlm. 44.
5 Ibid., hlm. 47.
6 Ibid., hlm. 51.
7
Kautsar Azhari Noer, op.cit., hlm. 18.
8 Ibid.
9 Stephen Hirtenstein, op.cit.,
hlm. 74.
10 Kautsar Azhari Noer, loc.cit.
11 Stephen Hirtenstein, op.cit.,
hlm. 67.
12 Ibid., hlm. 52.
13 Stephen Hirtenstein, Ibid.,
hlm. 52. Dikutip dari G. Elmore, On the Road. Seperti diceritakan Ibnu
‘Arabi kepada Ibnu al Sha’ar (1197-1256).
14 A. Rofi’ Usmani, Tokoh-tokoh Muslim
Pengukir Zaman (Bandung : Penerbit Pustaka, 1998) hlm. 30.
15 Karya Ibnu’Arabi mengenai kehidupan
dan ajaran para sufi sezamannya adalah Ruh al Quds dan Al Durrah al
Fakhirah. Nama Madyan disebut berkali-kali dalam Ruh al Quds.
16 Lihat RWJ Austin, Sufi-sufi
Andalusia. Diterjemahkan dari Ruh al Quds dan Al Durrah al
Fakhirah, terj. MS. Nasrulloh (Bandung : Mizan, 1994) hlm. 148 –149.
17 Rofi’Usmani, loc.cit.
18 Stephen Hirtenstein, op.cit.,
hlm. 118. Selengkapnya Ibnu’Arabi mengabadikan Khidr dalam Futtuhat Bab
25, tentang pengetahuan orang-orang terpilih dan dianugerahi panjang umur.
19 Ibid., hlm. 120.
20 Ibid., hlm. 142 – 143.
21 Ibid., hlm. 148 – 149.
22 Ibid., hlm. 161.
23 Rofi’ Usmani, loc.cit.
24 Ibid., hlm. 31.
25 Ibnu ‘Arabi, Turjumān al Asywāq,
Beirut 1961. Diterjemahkan oleh RW. J. Austin dalam Sufi-sufi Andalusia,
terj. MS. Nasrulloh, Mizan 1994. hlm. 38 – 39.
26 Rofi’ Usmani, loc.cit.
27 Peristiwa selengkapnya dapat dilihat
pada : Stephen Hirtenstein, ibid., hlm 198 – 202. Diterjemahkan dari Futuhat
OY.
28 Stephen Hirtenstein, ibid.,
hlm. 205.
29 RW. J. Austin op.cit., hlm 42.
30 Ibid., hlm. 234-236.
31 RW. J. Austin op.cit., hlm. 43.
32 Ibid., hlm. 46.
33 Stephen Hirtenstein, op.cit.,
hlm. 249.
34 RW. J. Austin, op.cit., hlm.
50-51.
35 Kautsar Azhari Noer, op.cit.,
hlm. 24.
36 RWJ. Austin, op.cit.
37 William C. Chittick, Dunia Imajinal
Ibu ‘Arabi, Kreativitas Imajinasi dan Persoalan Diversitas Agama, terj.
Ahmad Syahid (Surabaya : Risalah Gusti, 2001) hlm. 4.
38 Abu al Wafa’al Ghanimi al Taftazani,
Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi Usmani (Bandung : Penerbit
Pustaka, 1997) hlm. 1.
39 H.A. Rivay Siregar, Tasawuf : Dari
Sufisme Klasik ke Neo Sufisme (Jakarta : Rajawali Press, 1999) hlm. 55.
40 Ibid., hlm. 56.
41 Abu al Wafa’al Ghanimi al Taftazani, op.
cit. hlm. 140.
42 Ibid., hlm. 188.
43 A.E. Afifi, Filsafat Ibnu ‘Arabi,
terj. Sjahrir Mawi dan Nandi. R (Jakarta : GMP, 1995) hlm. 6
44 Rofi’ Usmani, op.cit., hlm. 29.
45 Kautzar Azhari Noer, op.cit.,
hlm. 25.
46 S.H. Nashr, Three Muslim Sages (Delmar,
New York : Caravan Books, 1976) hlm 97-98.
47 Stephen Hirtenstein, op.cit.,
hlm. 353-360.
48 Kautsar Azhari Noer, op.cit., hlm.
25.
49 Ibid.
50 Semua kitab yang disebut dikutip dari
Stephen Hirtenztein, loc.cit.
51 Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori
Filsafat Islam, terj. Yudian, WA. (Yogyakarta : Bumi Aksara, 1995) hlm.
208.
52 Ibid., hlm 210. Dikutip dari Al
Zahabi, Mizan al I’tidal, XIII : 197.
53 H.A. Rivai Siregar, op.cit.,
hlm. 47.
54 A.E. Affifi, op.cit., hlm. 257.
55 Ibid.
56 Ibnu ‘Arabi mempersatukan banyak
aliran kerohanian yang berbeda-beda dan memberikan dasar bagi perkembangannya
di kemudian hari. Lihat SH. Nashr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, terj.
Abdul Hadi WM. (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1991) hlm. 111.
[10]
Seperti diakui William C. Chittick dalam Dunia Imajinal Ibnu ‘Arabi,
Kreativitas Imajinasi dan Persoalan Diversitas Agama, terj. Ahmad Syahid
(Surabaya : Risalah Gusti, 2001) hlm. 27.
[11]
Kautsar Azhari Noer, Ibn Al ‘Arabi, Wahdat al Wujūd dalam Perdebatan
(Jakarta : Paramadina, 1995) hlm. 42.
[12]
Ontologi adalah salah satu bagian dari cabang filsafat metafisika. Berasal dari
kata Yunani on (yang ada) dan logos (ilmu/penyelidikan tentang). Ontologi
membicarakan asas-asas rasional “yang ada” atau mengetahui esensi terdalam dari
“yang ada”. Lihat Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. Soejono
Soemargono (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1996) hlm. 76
[13]
Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal mula, susunan,
metode-metode dan sahnya pengetahuan. Louis O. Kattsoff, ibid.
[14]
Seperti juga diartikan oleh William C. Chittick bahwa wujūd adalah menemukan,
ada atau eksistensi. “Menemukan berada dalam dataran epistemologis dan sekaligus
ontologis. William C. Chttick, Sufi Path Of Knowledge (SPK), Tuhan
Sejati dan Tuhan-tuhan Palsu, terj. Achmad Nidjam dkk. (Yogyakarta : Qalam,
2001) hlm. 40.
[15] Ahlu
Kasyf wal Wujūd, yaitu mereka yang telah mampu membuka tabir (hijab)
yang menjadi penghalang antara mereka dan Tuhan; merekapun kemudian berada
dalam kehadiran Tuhan. William C. Chittick, ibid, hlm. 37.
[16] Ibid.,
hlm. 45.
[17]
Dijelaskan dalam Futūĥātul Makkiyyah 3 : 274 ; 4 : 39 ; 2 : 486.
Diungkapkan oleh Kautsar Azhari Noer, op. cit., hlm. 43.
[18]
William C. Chittick, Dunia Imajinal Ibnu ‘Arabi ... op. cit.,
hlm. 28.
[19]
A.E. Affifi, Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi, terj. Sjahrir Mawi dan Nandi
Rahman (Jakarta : GMP, 1995) hlm. 14.
[20]
Amatullah Amstrong, Khasanah Istilah Sufi, terj. MS. Mashrullah dan
Ahmad Baiquni (Bandung : Mizan, 1995) hlm. 321 dan 311.
[21] Al
Waĥdah menurut Amstrong adalah kesendirian Tuhan. Berada diantara keesaan
tertinggi (al Aĥadiyyah) dan ketunggalan unik (al Waĥidiyyah).
Sang hamba Allah berkehendak untuk menyelam ke sumber lautan kesendirian Allah.
Di dalam keesaan tertinggi sang hamba muncul dalam Allah. Inilah kesempurnaan
yang banyak di dalam Yang Satu, dan Yang Satu di dalam yang banyak. Hamba
adalah hamba dan Tuhan adalah Tuhan. Inilah kesempurnaan dari pengahambaan. Ibid.,
hlm. 309.
[22]
William C. Chittick, Dunia Imajinal, op. cit., hlm. 32.
[23]
Kautsar Azhari Noer, op. cit., 35. Secara tipikal Syaikh menggunakan
dalil Qur’an Surat 57 : 3.
[24]
Stephen Hirtenstein, Dari Keragaman
ke Kesatuan Wujūd, Ajaran & Kehidupan Spritual Syaikh al Akbar Ibn ‘Arabi,
terj : Triwibowo B.s. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001) hlm. 29.
[25]
William C. Chittick, Dunia Imajinal ... loc. cit.
[26] Al
Futūĥāt al Makkiyyah IV : 202.6. Dikutip oleh William C. Chittick, Dunia
Imajinal ... ibid.
[27] Al
Futūĥāt II : 57. Dikutip oleh Stephen Hirtenstein. Dari Keragaman ...
op. cit., hlm. 28
[28]
Sesuai dengan hadits shahih “Rahmat Allah mengalahkan murka-Nya”. Menurut Henry
Corbin, Tuhan bersedih dalam kesendirian-Nya. Dia merindu untuk disingkapkan
dalam bentuk makhluk-makhluk yang akan memanifestasikan diri-Nya. Dalam
kesendirian inilah yang turun dalam bentuk nafas Ilahi (tanaffus) berupa
kasih (rahman) dan peng – ada – an (‘ijad). Henry Corbin, Imajinasi
Kreatif Sufisme Ibn ‘Arabi, terj. Moh. Khozim dan Suhadi (Yogyakarta :
LKIS, 2002) hlm. 237 – 238.
[29] Al
Futūĥāt III : 465 . 23. Dikutip oleh William C. Chittick, Dunia Imajinal
... op. cit., hlm. 7.
[30]
Kautsar Azhari Noer, op. cit., hlm. 34. Menurut Kautsar, sarjana-sarjana
yang telah melakukan penelitian adalah : Ibrahim Madkour, Su’ad al Hakim, dan
William C. Chittick. Namun Chittick adalah satu-satunya sarjana yang telah
melakukan penelitian tentang sejarah istilah waĥdatul wujūd dengan
serius.
[31]
Dari do’a malam Jum’at dalam Kitab Wird karya Ibnu ‘Arabi. Dikutip oleh
Stephen Hirtenstein, op. cit., hlm 23 dan 330.
[32] Al
Futūĥātt I : 90. Dikutip oleh Stephen Hirtenstein, ibid., hlm. 38.
[33] Kitab
Jalallah dalam Rasa’il Ibnu ‘Arabi, hlm. 9. Dikutip oleh Kautsar
Azhari Noer, op. cit., hlm. 35.
[34] Al
Futūĥātt 2 : 516. Dikutip oleh Kautsar, ibid.
[35] Al
Futūĥātt 2 : 519. Dikutip oleh Kautsar, ibid.
[36]
Lihat Kautsar, ibid., hlm. 36 – 39.
[37] Ibid.,
hlm. 38.
[38] Ibid.,
hlm. 39. Ibnu Taimiyah menggunakan istilah ini sebagai judul dari
karyanya-karyanya : Ibtal waĥdatul wujūd dan risalah ila man sa’alahu
an haqiqat madahab al ittihad ay al qa’ilin bi waĥdatul wujūd.
[39] Ibid.,
hlm. 40.
[40]
Panteisme berasal dari kata Yunani Pan = semua dan Theos = Tuhan, sebagai teori
metafisika menganggap kenyataan mencakup suatu keberadaan tunggal dimana
hal-hal lainnya merupakan penampakan atau proyeksinya. Sebagai teori keagamaan
menganggap Tuhan adalah alam dan alam adalah Tuhan. Keduanya adalah satu
realitas dua nama. Lihat Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat
dan Teologi (Yogyakarta : UGM Press, 1996) hlm. 177. Lihat Tim Penulis
Rosda, Kamus Filsafat (Bandung : Rosda Karya, 1995) hlm. 133. Dan Lorens
Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta : Gramedia, 1996) hlm. 774.
[41]
Monisme berasal dari kata Yunani Monos = Tunggal / sendiri. Suatu teori yang
menganggap bahwa segala hal berasal dari satu sumber terakhir dan tunggal,
misal : Tuhan, Materi, Pikiran dll. Dibedakan dengan Dualisme dan Pluralisme.
Lihat Lorens Bagus, ibid., hlm. 670; Tim Penulis Rosda, ibid.,
hlm. 212; dan Ali Mudhofir, ibid., hlm. 142.
[42]
Kautsar, op. cit., hlm. 203.
[43] Ibid.,
hlm. 204.
[44] Ibid.,
hlm. 205.
[45]
Akosmisme adalah suatu pandangan bahwa alam dan segala yang tampak hanyalah
maya atau tipuan belaka. Dunia fisik sebetulnya tidak ada. Ali Mudhofir, op.
cit., hlm. 2.
[46]
Kautsar, loc. cit.
[47] Ibid.,
hlm. 206.
[48] Ibid.,
hlm. 209.
[49]
Lihat Hamka, Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya (Jakarta : Panjimas,
1986) hlm. 154. Dan Yunasril Ali, Membersihkan Tasawuf dari Syirik, Bid’ah
dan Khurafat. (Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1987) hlm. 35.
[50]
Kautsar, op. cit., hlm. 208. Lihat pula Sidi Gazalba, Sistematika
Filsafat 3. (Jakarta : Bulan Bintang, 1996) hlm. 58.
[51]
Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi. Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibnu
‘Arabi oleh Al Jili (Jakarta : Paramadina, 1997) hlm. 52.
[52]
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam (Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2002) hlm. 190.
[53]
Kautsar, op. cit., hlm. 209.
[54]
A.E. Affifi, Filsafat Mistis ... op. cit., hlm. 83.
[55] Coincidentia
Oppositorum adalah persatuan diantara hal-hal yang berlawanan atau Jam’baina
Naqdain. Al Kharaj, seorang sufi termasyur ditanya “dengan jalan apa engkau
mengenal Tuhan?” Dia menjawab “Dengan kenyataan bahwa Dia adalah Coincidentia
Oppositorum”. Fut : II : 379. Diungkapkan oleh Henry Corbin, Imajinasi
Kreatif ..., op. cit., hlm. 242.
[56]
Kautsar, op. cit., hlm. 210.
[57]
Henry Corbin, loc. cit.
[58] Ibid.,
hlm. 1.
[59]
Kautsar, op. cit., hlm. 212.
[60] Ibid.
Lihat pula S.H. Nashr, Three Muslim Sages, Avicenna, Suhrawardi, Ibn ‘Arabi
(New York : Caravan Books, 1976) hlm. 105.
[61]
Kautsar, op. cit., hlm. 213.
[62] Ibid.,
hlm. 215.
[63]
William C. Chittick, Dunia Imajinal ... op. cit., hlm. 29. Lihat juga
William C. Chittick, SPK Tuhan Sejati ... op. cit., hlm. 202.
[64]
William C. Chittick, Dunia Imajinal ... ibid., hlm. 45.
[65]
William C. Chittick, SPK Tuhan Sejati..., ibid., hlm. 205.
[66]
Riva’i Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme (Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 1999) hlm. 184.
[67]
Dimitri Mahayana, Menjemput Masa depan, Futuristik dan Rekayasa Masyarakat
Menuju Era Global (Bandung : Rosda Karya, 1999) hlm. 171.
[68] Ibid.,
hlm. 178.
[69]
Kautsar, ibid., hlm. 216.
[70] Ibid.,
hlm. 226.
[71]
Harun Nasution, Sari Sejarah Filsafat Barat I (Yogyakarta : Kanisius,
1980) hlm. 65.
[72]
Ketika bangsa Romawi pada tahun 146 SM menaklukkan seluruh daerah kekuasaan
Yunani, terjadilah akulturasi kebudayaan dan peradaban antara keduanya. Masa
inilah yang disebut sebagai Hellenisme Romawi. Pada masa ini muncullah dua
periode pemikiran dalam sejarah fisafat yaitu masa etik dan masa religi. Masa
etik terdiri dari Sekolah Epikuros, Stoa dan Skeptisisme. Masa religi terdiri
dari aliran Neopythagorean, Philon dari Aleksandria dan yang terakhir adalah
Neoplatonisme.
[73]
Harun Nasution, op. cit., hlm. 66.
[74]
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta : Gramedia, 1996) hlm. 701.
[75] Ibid.
[76] Ibid.,
hlm. 702.
[77] Ibid.,
hlm. 704.
[78]
Stephen Mackenna dan B.S. Page, “Biographical Note” dalam Enneads
(Chicago : The University of Chicago, 1989) hlm. v.
[79]
Moh. Hatta, Alam Pikiran Yunani (Jakarta : Tintamas dan UI Press, 1986)
hlm. 165.
[80]
Stephen Mackenna dan BS. Page, loc. cit.
[81]
Endang Daruni Asdi dan A. Husnan Aksa, Filsuf-filsuf Dunia dalam Gambar
(Yogyakarta : Karya Kencana, 1982) hlm. 191.
[82]
Stephen Mackenna dan BS. Page, loc. cit.
[83] Ibid.
[84] Ibid.
[85]
Moh. Hatta, op. cit., hlm. 166.
[86]
Anton Bakker, Metode-metode Filsafat (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984)
hlm. 40.
[87] Ibid.,
hlm. 41.
[88]
Lihat Paul Edward, The Encyclopedia of Philosophy Vol. 5-6 (New York :
Macmillan Publishing & The Free Press, 1967) hlm. 474.
[89]
Purwantana dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam (Bandung : Rosada Karya,
1994) hlm. 76.
[90]
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra
(Bandung : Rosda Karya, 2000) hlm. 67. Lihat pula Encyclopedia Americana
22 : 250.
[91]
Ian Richard Netton, Muslim Kebatinan, terj : Mustofa Ihsan (Yogyakarta :
Aditya Media, 1994) hlm. 55.
[92] Ibid.,
hlm. 42. Lihat pula Lorens Bagus, op. cit., hlm. 702.
[93]
Lorens Bagus, ibid.
[94]
Purwantana dkk, op. cit., hlm. 95.
[95]
Paul Edward, op. cit., hlm. 475.
[96]
Lorens Bagus, op. cit., hlm. 703.
[97] Ibid.
[98]
Purwantara, dkk, op. cit., hlm. 75.
[99]
Moh. Hatta, op. cit., hlm. 29.
[100]
Poejawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat (Jakarta : Rineka Cipta,
1997) hlm. 23.
[101]
K. Berten, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta : Kanisius, 1976) hlm.
106.
[102]
Moh. Hatta, op. cit., hlm. 104.
[103]
K. Berten, op. cit., hlm. 15.
[104]
Moh. Hatta, op. cit., hlm. 128.
[105]
K. Berten, op. cit., hlm. 16.
[106]
Moh. Hatta, op. cit., hlm. 154.
[107] Ibid.,
hlm. 172.
[108]
Endang Daruni Asdi dan A. Husnan Aksa, op. cit., hlm.192.
[109]
Ahmad Tafsir, op. cit., hlm. 68.
[110]
Harun Nasution, op. cit., hlm. 67.
[111]
Ian Richard Netton, op. cit., hlm. 40. Dan Moh. Hatta, op. cit.,
hlm. 168.
[112]
Harun Nasution, op. cit., hlm. Dan Purwantoro, dkk., op. cit.,
hlm. 79.
[113]
Lorens Bagus, op. cit., hlm. 705.
[114] Ibid.
Lihat pula Harun Nasution, op. cit., hlm. 68. Dan Ahmad Tafsir, op.
cit., hlm. 69.
[115]
Lorens Bagus, ibid. Lihat Purwantara, dkk., op. cit., hlm. 81.
[116]
Harun Nasution, op. cit., hlm. 69.
[117]
Ian Richard Netton, op. cit., hlm. 58.
[118] Ibid.,
hlm. 52
[119]
Muzairi, “Filsafat Islam, Suatu Tinjauan Historis” dalam Filsafat Islam,
ed : Irma Fatimah (Yogyakarta : Lesfi, 1992) hlm. 66.
[120]
Poerwantana dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam (Bandung : Rosdakarya,
1994) hlm. 68.
[121]
Ian Richard Netton, Muslim Kebatinan, terj. Muhammad Musoffa Ihsan
(Yogyakarta : Adtya Media, 1994) hlm. 40.
[122]
W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam, Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis,
terj. Hartono Hadikusumo (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1990) hlm. 140.
[123]
W.L. Helwig, Sejarah Gereja Kristus 1 (Yogyakarta : Kanisius, 1999) hlm.
61.
[124]
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat (Yogyakarta : Kanisius, 1998)
hlm. 22.
[125]
Poerwantana dkk., op. cit., hlm. 87.
[126]
W. Montgomery Watt, op. cit., hlm. 139.
[127]
J.W.M. Bakker, Sejarah Filsafat dalam Islam (Yogyakarta : Kanisius,
1978) hlm. 13.
[128]
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam 1 dan 2 (Jakarta : Rajawali
Perss, 1999) hlm. 141.
[129] Ibid.,
hlm. 175.
[130]
Ian Richard Netton, op. cit., hlm. VIII.
[131]
Ira M. Lapidus, op. cit.
[132]
Muzairi, “Filsafat Islam ... “, op. cit., hlm. 86.
[133]
Abdul Qadir Mahmud, Al Falsafah al Shufiyyah fi al Islam (Kairo : Dar al
Fikr al ‘Arabi, 1966) hlm. 493.
[134]
Stephen Hirtenstein, Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud ... terj.
Triwibowo, BS., (Jakarta : Murai Kencana, 1999) hlm. 104 – 107.
[135]
Ibnu Bajjah, meskipun menerima pengaruh dari Yunani, tetapi lebih banyak
berkecimpung dalam soal-soal keduniaan dan tidak banyak menulis ilmu filsafat.
Ibnu Tufail lebih cenderung pada aliran Hermetic Phytagorean yang
menginterpretasikan fenomena dengan simbol-simbol matematis. Sedangkan Ibnu
Rusyd lebih serius dalam menggeluti filsafat Aristoteles yang bersifat
rasional. Lihat Ahmad Fuad al Ahwani, Filsafat Islam, terj. Sutardji
C.B. (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1998) hlm. 74 dan 87. Lihat pula Muzairi,
“Filsafat Islam ... “ op. cit., hlm. 75.
[136]
A.E. Affifi, Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi, terj. Sjahrir Mawi dan Nandi
Rahman (Jakarta: GMP, 1995) hlm. 249.
[137] Ibid.,
hlm. 250 – 251.
[138] Ibid.,
hlm. 256.
[139] Ibid.,
hlm. 257 – 258.
[140] Ibid.,
hlm. 259 – 263.
[141] Ibid.,
hlm. 93.
[142]
Selain menggunakan sinonim zuhur, tanazzul dan fath untuk tajjali,
Ibnu ‘Arabi juga menggunakan terminologi Plotinus emanasi (fayd) dengan
maksud berbeda. Lihat Kautsar Azhari Noer, Ibn al ‘Arabi, Waĥdatul
Wujūd dalam Perdebatan (Jakarta : Paramadina, 1995) hlm. 57.
[143]
A.E. Affifi, op.cit., hlm. 91.
[144] Ibid.,
hlm. 92.
[145] Ibid.,
hlm. 93.
[146]
Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syekh Nurudding Ar Rini
(Jakarta : Rajawali Perss, 1983) hlm. 203. Menurut Kautsar, martabat ke 2 dan
ke 3 disebut dua tipe utama emanasi, yaitu emanasi paling suci dan emanasi
suci. Lihat Kautsar, op.cit., hlm. 62.
[147] Enneads
I, 8, 14 dikutip oleh Ian Richard Netton, op.cit., hlm. 41.
[148] Enneads
II, 2, 2 dikutip oleh Ian Richard Netton, ibid.
[149]
Henry Corbin, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibnu ‘Arabi, terj. M. Khozim dan
Suhadi (Yogyakarta : LKiS, 2002) hlm. 128.
[150] Al
Futūĥāt II : 123. 26 dikutip oleh William C. Chittick, SPK Tuhan Sejati
dan Tuha-tuhan Palsu, terj. Achmad Nidjam dkk, (Yogyakarta : Qalam, 2001)
hlm. 359.
[151]
Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani (Jakarta : UI Perss dan Tintamas,
1986) hlm. 165.
[152]
Kautsar Azhari Noer, op.cit., hlm. 45. Lihat pula William C. Chittick, op.cit.,
hlm. 52.
[153] Futtuhat
II : 230. 15. Dikutip oleh William C. Chitick, ibid., hlm. 183.
[154] Enneads
II, 8, 11 dikutip Ian Richard Netton, op.cit., hlm. 51.
[155]
Ian Richard Netton, ibid.
[156]
Nama-nama lain bagi Logos Muhammad adalah realitas dari segala realitas
(Haqiqatul Haqa’iq); manusia sempurna (insanul kamil); alam
antara (alam Barzakh); Singgasana (al Arsy) dan lain-lain.
Nama-nama tersebut diberikan untuk aspek yang berbeda-beda tergantung darimana
Hakikat Muhammadiyah dipandang. Lihat A.E. Affifi, op.cit., hlm. 99.
[157]
Kautsar Azhari Noer, op.cit., hlm. 46.
[158]
Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi, Pengembangan Konsep Insani Kamil Ibn
‘Arabi oleh Al Jili (Jakarta : Paramadina, 1997) hlm. 56.
[159]
A.E. Affifi, op.cit., hlm. 75. Lihat Pula Kautsar Azhari Noer, op.cit.,
hlm. 120.
[160]
A.E. Affifi, ibid., hlm. 81.
[161] Ibid.,
hlm. 82. Lihat Kautsar ... ibid., hlm. 121.
[162]
A.E. Affifi, ibid., hlm. 80.
[163]
William C. Chittick, Tuhan Sejati ... op.cit., hlm. 237.
[164]
Ian Richard Netton, op.cit., hlm. 52. Lihat pula A.E. Affifi, op.cit.,
jlm. 167.
[165]
A.E. Affifi, ibid., hlm. 63. Dan Ian Richard Netton, ibid.
[166]
Moh. Hatta, op.cit., hlm. 171.
[167]
A.E. Affifi, op.cit., hlm. 168.
[168] Enneads
VI, 7, 36. Dikutip oleh Ian Richard Netton, op.cit., hlm. 58.
[169]
Kautsar Azhari Noer, op.cit., hlm. 51-53. lihat pula A.E. Affifi, op.cit.,
hlm. 32-33.
[170] Enneads
V, 1, 8. Dikutip oleh Ian Richard Netton, op.cit., hlm. 40.
[171]
Kautsar Azhari Noer, op.cit., hlm. 52.
1 komentar:
Hati-hati di sini. Tidak ada yang dapat membantu Anda di sini atau bahkan menyarankan bagaimana Anda bebas untuk mendapatkan bantuan keuangan. Setiap jawaban dari pemberi pinjaman kredit atas pertanyaan Anda, Anda harus mengabaikan, karena Mereka Apakah Penipuan ... penipuan yang nyata ... saya adalah korban yang saya robek Ribuan dolar ... baik terima kasih Tuhan untuk saudara Kristen yang dimaksud saya untuk sebuah organisasi pinjaman yang dibentuk oleh beberapa Ibu Clara, claraloan@financier.com.
Mereka membuat hidup saya yang berharga dan memberikannya makna. Ketika adik memberiku semata-mata untuk Untuk kontak lebih lanjut, saya menghubungi dia. Mereka menyetujui pinjaman sebesar $ 75.000,00 USD dan dalam 48 jam setelah bertemu semata-mata untuk orang lanjut Untuk melawan persyaratan, pinjaman saya disimpan di rekening bank saya tanpa agunan. Saya akan menyesal Total hidupku, Karena pada titik waktu saya hanya bercerai ayah dari anak saya, dan anak saya (Ridwan) dihadapkan dengan situasi hidup dan mati. Jangan ragu untuk menghubungi via Email: Claraloan@financier.com. Untuk pertanyaan lebih lanjut. hubungi saya via: Yunitanurudeen@gmail.com
Post a Comment