Karakteristik Tanah Gambut Areal Lahan
Hutan Rawa di Desa Cinta Jaya Kecamatan Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering
Ilir.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia
memiliki kawasan hutan seluas 144 juta hektar dan lebih dari 5 juta hektar berada
di Sumatera Selatan, yang sekitar 8% merupakan hutan produksi terbatas. Hutan
produksi terbatas ialah hutan yang hanya dapat dikelola dengan cara tebang
pilih tanpa merusak atau mengurangi fungsi alaminya (Arief, 2001). Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) memiliki
hutan produksi terbatas seluas 9.986 hektar atau sekitar 0,53% dari luas
Kabupaten OKI yang seluas 1.902.311 hektar (Sumber: Subdin Perencanaan Dinas
Kehutanan OKI, 2006). Hutan produksi terbatas di Kabupaten OKI termasuk dalam
hutan dataran rendah dengan tipe hutan rawa dan hutan gambut. Kecamatan Pedamaran merupakan
kecamatan di Kabupaten OKI yang memiliki wilayah hutan rawa gambut yang cukup
luas. Ini merupakan suatu potensi sumberdaya alam yang sangat berharga.
Pengelolaannya harus bersifat bijak dan sesuai kaidah konservasi alam dan
kemampuan lahan. Hutan rawa gambut yang
ada di Kecamatan Pedamaran, sebagian besar terdapat di Desa Cinta Jaya.
Lahan gambut ialah suatu ekosistem lahan basah yang dicirikan oleh adanya
akumulasi bahan organik yang berlangsung dalam kurun waktu lama. Akumulasi
bahan organik ini terjadi karena lambatnya laju dekomposisi dibandingkan dengan
laju penimbunan bahan organik di lantai hutan lahan basah (Najiyati et al., 2005).
Lahan gambut juga merupakan ekosistem yang marjinal dan rapuh sehingga mudah
rusak, namun sangat sulit untuk diperbaharui. Kondisi seperti ini menuntut
semua pihak untuk bersikap bijak dan harus melihat lahan gambut dari berbagai
sudut pandang.
Perubahan dan penyusutan luas gambut dari masa ke masa selalu terjadi.
Penyusutan lahan gambut dapat disebabkan oleh reklamasi dan pengatusan yang
berlebihan (over drainage reclamation), perladangan
(slash and burn), intensifikasi
pemanfaatan dan kebakaran yang sering terjadi pada musim kemarau panjang. Tingkat
kerusakan hutan di Indonesia tiap tahunnya terus bertambah dari sebelumnya 1,6
juta hektar pada periode 1985-1997, menjadi 2,1 juta hektar pada periode
1997-2001 (Media Indonesia, 2007). Dari kerusakan hutan yang ada sebagian
merupakan hutan gambut. Hampir semua kerusakan lahan gambut disebabkan oleh
kegiatan manusia. Kerusakan lahan ini umumnya terjadi karena penebangan dan
pembukan lahan dengan cara membakar yang dilakukan oleh masyarakat penduduk
desa sekitar hutan. Tekanan untuk memenuhi kebutuhan hidup merupakan hal yang
mendasari penduduk desa melakukan kegiatan eksploitasi hutan dan lahan gambut.
Keseimbangan terhadap pentingnya
berbagai fungsi gambut akan lebih menjamin keberlanjutan pemenuhan fungsi
sosial, ekonomi, dan kelestarian lingkungan. Namun kesadaran semacam ini belum
dimiliki oleh semua pihak sehingga kerusakan lahan gambut masih terjadi. Salah
satu penyebab kerusakan lahan gambut adalah tidak diterapkannya konsep
pembangunan berkelanjutan secara benar dan utuh.
Pembangunan hutan sebenarnya untuk
mewujudkan interaksi positif antara masyarakat dengan hutan melalui pengelolaan
partisipatif dan pembinaan produksi hasil hutan non-kayu yang dapat dirasakan
manfaatnya langsung oleh masyarakat sekitar hutan. Pembangunan hutan baik dalam
kawasan hutan maupun di luar hutan akan mendukung fungsi hutan sekaligus
mendukung kepentingan masyarakat, tanpa mengurangi fungsi hutan itu sendiri
(Arief, 2001).
Pemanfaatan lahan gambut harus sesuai dengan daya dukung lahan itu
sendiri berdasarkan karakteristik lahan tersebut. Sehingga pembangunan yang
berwawasan lingkungan dan berkelanjutan dapat tercapai.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi karakteristik tanah gambut areal lahan hutan rawa di Desa
Cinta Jaya Kecamatan Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering Ilir.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Gambut
Pusat Penelitian Tanah (1990) mengemukakan bahwa tanah gambut atau
Organosol adalah tanah yang mempunyai lapisan atau horison H, setebal 50 cm
atau lebih atau dapat 60 cm atau lebih bila terdiri dari bahan Sphagnum atau
lumut, atau jika berat isinya kurang dari 0,1 g cm-3. Ketebalan horison H dapat kurang dari 50 cm
bila terletak diatas batuan padu.
Tanah yang mengandung bahan organik tinggi disebut tanah gambut
(Wirjodihardjo, 1953) atau Organosol (Dudal dan Soepratohardjo, 1961) atau
Histosol (PPT, 1981).
B. Proses Pembentukan Gambut
Gambut dibentuk oleh timbunan bahan sisa tanaman yang berlapis-lapis
hingga mencapai ketebalan >30cm. Proses penimbunan bahan sisa tanaman ini
merupakan proses geogenik yang berlangsung dalam waktu yang sangat lama
(Hardjowegeno, 1986). Gambut terbentuk dari lingkungan yang khas, yaitu rawa
atau suasana genangan yang terjadi hampir sepanjang tahun. Kondisi langka udara
akibat genangan, ayunan pasang surut, atau keadaan yang selalu basah telah
mencegah aktivitas mikro-organisme yang diperlukan dalam perombakan. Laju
penimbunan gambut dipengaruhi oleh peduan antara keadaan topografi dan curah
hujan dengan curahan perolehan air yang lebih besar dari pada kehilangan air
serta didukung oleh sifat tanah dengan kandungan fraksi debu (silt) yang
rendah.
Ketebalan gambut pada setiap bentang lahan adalah sangat tergantung pada:
1). proses penimbunan yaitu jenis tanaman yang tumbuh, kerapatan tanaman dan
lama pertumbuhan tanaman sejak terjadinya cekungan tersebut, 2). proses
kecepatan perombakan gambut, 3). proses kebakaran gambut, dan 4). Perilaku
manusia terhadap lahan gambut.
Gambut dengan ketebalan 3 m atau lebih termasuk kategori kawasan lindung sebagai kawasan yang tidak
boleh diganggu. Kebijakan ini dituangkan melalui Keppres No. 32 tahun 1990 yang
merupakan kebijakan umum dalam reklamasi dan pemanfaatan lahan gambut di
Indonesia.
Berdasarkan besarnya potensi sumberdaya, kendala biofisik dan peluang
pengembangan, maka rawa khususnya gambut pedalaman perlu mendapatkan perhatian
serius. Gambut dikategorikan sebagai lahan marjinal, karena kendala biofisiknya
sukar diatasi. Prodiktifitas gambut sangat beragam, ketebalan gambut juga menentukan
kesuburannya (Barchia, 2006).
C.
Tingkat Kematangan Gambut
Menurut Soil Survey Staff (1990), bahwa
tingkat kematangan atau tingkat pelapukan tanah gambut dibedakan berdasarkan
tingkat dekomposisi dari bahan atau serat tumbuhan asalnya. Tingkat kematangan terdiri dari tiga katagori
yaitu fibrik, hemik dan saprik.
Tingkat kematangan tanah gambut
dalam pengamatan di lapangan dapat dilakukan dengan cara mengambil segenggam
tanah gambut dan memersnya dengan tangan. Kriteria mentah atau matang dari
gambut dapat ditunjukkan dengan melihat hasil cairan dan sisa bahan perasan.
Ketentuan dalam menentukan kematangan gambut untuk masing-masing katagori
adalah sebagai berikut:
1. Tingkat
kematangan fibrik yaitu apabila kandungan serat yang tertinggal dalam
telapak tangan setelah pemerasan adalah tiga per empat bagian atau lebih
(>3/4).
2. Tingkat kematangan hemik yaitu apabila
kandungan serat yang tertinggal dalam telapak
tangan setelah pemerasan adalah antara kurang dari tiga per empat sampai seperempat bagian atau lebih (<3/4 -
>1/4).
3. Tingkat kematangan saprik yaitu apabila kandungan serat yang tertinggal dalam telapak tangan setelah pemerasan adalah kurang dari seperempat bagian (<1/4).
Kadar abu dapat dijadikan gambaran
kesuburan tanah gambut. Kadar abu tanah gambut beragam antara 5% - 65%. Makin
tinggi kadar abu, makin tinggi mineral yang terkandung pada gambut. Makin dalam
ketebalan gambut, makin rendah kadar abunya. Kadar abu gambut sangat dalam
(tebal >3m) sekitar 5%, gambut dalam dan tengahan (tebal 1m – 3m) sekitar
11% -12%, dan gambut dangkal sekitar 15% (Noor, 2001). Kadar abu dan kadar bahan organik mempunyai
hubungan dengan tingkat kematangan gambut. Gambut mentah (fibrik)
mempunyai kadar abu 3,09% dengan kadar bahan organik 45,9%. Sedangkan gambut
hemik mempunyai kadar abu 8,04% dengan kadar bahan organik 51,7% dan gambut
matang (saprik) mempunyai kadar abu 12,04% dengan kadar bahan organik
78,3% (Setiawan, 1991).
D.
Klasifikasi Tanah Gambut
Menurut Sistem Klasifikasi Tanah, tanah gambutdikelompokkan dalam ordo Histosol. Disebut tanah gambut jika memenuhi kriteria
sebagai berikut.
1. Jika dalam keadaan jenuh air dengan genangan
dalam priode yang lama (sekalipun dengan
adanya pengatusan buatan) dan dengan meniadakan akar-akar tanaman hidup, mengandung:
a.
18% bobot karbon organik (setara dengan 30% bahan organik) atau lebih
jika mengandung fraksi lempung sebesar 60% atau lebih, atau
b. 12%
bobot karbon organik (setara dengan 20% bahan organik) atau lebih jika tidak ada kandungan
fraksi lempung, atau
c. 12%
+ (lempung dengan kelipatan 0,1 kali) persen bobot karbon organik atau lebih, jika mengandung
fraksi lempung <60%, atau
2. Jika tidak pernah tergenang, kecuali beberapa
hari dan mengandung 20% bobot
atau lebih karbon organik.
Tanah gambut dibagi atas empat
sub-ordo: folist, fibrist, hemist, dan saprist. Umumnya, gambut
yang tergolong folist adalah gambut yang berasal dari dataran tinggi,
sedangkan kelompok utama lainnya adalah gambut yang berasal dari dataran
rendah. Selanjutnya, pengelompokan ke dalam group menggunakan kriteria penciri
berupa regim suhu tanah.
Berdasarkan ketebalan lapisan bahan
organiknya, gambut dipilah dalam empat kategori yaitu gambut dangkal, tengahan,
dalam, dan sangat dalam.
1. Gambut dangkal adalah lahan gambut yang
mempunyai ketebalan lapisan bahan organik
antara 50 – 100 cm.
2. Gambut tengahan adalah lahan gambut yang
mempunyai ketebalan lapisan bahan organik
antara 100 - 200 cm.
3. Gambut dalam adalah lahan gambut yang
mempunyai ketebalan lapisan bahan organik
antara 200 – 300 cm.
4. Gambut sangat dalam adalah lahan gambut yang
mempunyai ketebalan lapisan bahan organik
antara >300 cm.
Menurut Polak (1914) dalam Wirjodihardjo (1953) tanah gambut di
Indonesia dapat dibedakan menjadi gambut ombrogin, gambut topogin dan gambut
pegunungan.
Gambut Ombrogin adalah jenis gambut yang tersebar di dataran
rendah rawa lebak dan pantai yang
tersebar luas di Indonesia yang meliputi 16,5 juta hektar dan Sumatera mempunyai
luasan sekitar 7,5 juta hektar.
Ketebalan gambut berkisar antara 0,5 hingga 16 meter yang terbentuk dari
sisa-sisa vegetasi hutan rawa yang membusuk menjadi bahan yang berwarna
kecoklatan. Gambut ini mempunyai sifat jenuh air, bereaksi masam, miskin bahan
mineral terutama kapur, air berwarna hitam kecoklatan dan terdapat
rhizopoda. Kadar hara N, P dan K cukup
tinggi.
Gambut Topogin adalah gambut yang terbentuk pada depresi topografi
rawa terutama di Pulau Jawa. Daerah penyebaran gambur topogin adalah tidak luas
dan setempat-setempat, misalnya di Rawa Pening, Rawa Lakbok, Rawa Jatiroto,
Deli, Kalimantan Selatan dan Pangandaran.
Gambut Pegunungan adalah gambut yang terbentuk di dataran tinggi
pegunungan, dengan kondisi iklim hampir sama dengan iklim daerah sedang dan
dengan vegetasi dominan adalah tanaman tingkat rendah. Di Indonesia gambut Pegunungan dapat dijumpai
di dataran tinggi Dieng, puncak Papandayan, dan Pangrango. Vegetasi utama di
Gambut Pengunungan tersebut adalah Hydrophyta dan Cyperaceae.
Klasifikasi gambut berdasarkan bahan induk dapat digolongkan menjadi
Gambut Endapan, Gambut Berserat dan Gambut Berkayu.
Gambut Endapan adalah akumulasi bahan organik diperairan dalam
sehingga pada umumnya dijumpai dibagian bawah dari suatu profil organik. Gambut endapan dibentuk dari bahan tanaman
yang mudah dihumifikasikan. Gambut
endapan tidak disenangi sebagai tanah karena sifat fisiknya yang tidak
menguntungkan sehingga gambut ini tidak diusahakan. Gambut endapan berasal dari campuran tanaman
leli air, rumputan air, hornworth, plankton, dan lainnya.
Gambut Berserat adalah akumulasi bahan organik berbagai sedge,
lumut-lumutan, hepnum, reed dan rumpulan lainnya, latifolia dan
angustifolia. Sejumlah gambut berserat
sering dijumpai pada rawa dimana gembut endapan berada. Gambut ini mempunyai sifat fisik yang baik
akibat sifat serat dan filamennya.
Gambut berserat dapat juga dijumpai dipermukaan dari akumulasi bahan
organik.
Gambut Berkayu adalah gambut dengan bahan penyusun utamanya adalah
pohon-pohonan desidius, konifer dan tumbuhan dibawahnya. Pohon-pohonan banyak tumbuh di daerah rawa,
sehingga gambut ini banyak dijumpai di lahan rawa. Gambut berkayu berwarna coklat atau hitam
bila basah, dan warna ini sangat tergantung pada tingkat dekomposisinya. Gambut berkayu terbentuk dari sisa pohon,
semak dan tumbuhan lainnya
E. Rawa
Luas lahan basah di dunia
diperkirakan sekitar 242,80 juta hektar, di antaranya 114,90 juta hektar berada
di kawasan Asia. Lahan rawa lebak secara umum masuk dalam istilah lahan basah,
tetapi tidak berarti lahan basah hanyalah lahan rawa. Yang dimaksud dengan
lahan basah meliputi daerah rawa, paya, gambut, atau badan perairan lainnya,
baik alami maupun buatan, yang airnya mengalir atau tergenang, bersifat tawar,
payau atau salin, termasuk kawasan tergenang, yang minimal mempunyai jeluk enam
meter (Konvensi Ramsar, 1971).
Kawasan rawa sesungguhnya merupakan ekosistem yang spesifik dan mempunyai
keunikan tersendiri sehingga pola pengguna lahan harus memperhatikan manfaat
dan azaz guna ekosistem secara optimal (Barchia, 2006).
Rawa ialah suatu bagian daratan, yang sepanjang tahunnya jenuh air atau
tergenang air. Lahan ini sepanjang tahun atau selama waktu yang panjang dalam
setahun selalu jenuh air (water logged) atau tergenang. Selanjutnya
menurut Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1991 yang dinamakan lahan rawa adalah
genangan air secara alamiah yang terjadi terus menerus atau musiman akibat
drainase yang terhambat dan mempunyai ciri-ciri khusus baik fisik, kimia maupun
biologi.
Topologi lahan rawa diklasifikasikan dengan beragam sistem. Berdasarkan
ekosistem, lahan rawa dicirikan oleh dua ekosistem utama, yaitu ekosistem hutan
dan ekosistem yang berkaitan dengan air. Ekosistem hutan, yang memiliki
komposisi tanah dan kondisi air, flora dan fauna yang spesifik : a) hutan rawa
payau atau hutan bakau, b) hutan rawa gambut, dan c) hutan rawa non gambut/air
tawar. Ekosistem yang berkaitan dengan air, yaitu : a) sungai yang membawa air
tawar, b) muara, termasuk hamparan lumpur pasang sureut dengan kombinasi air
tawar dan asin yang menciptakan kondisi payau, c) sistem pasir, (pasir,
rumput/ganggang laut) termasuk daerah pantai, rumput dasar laut dan rumput laut
yang keseluruhannya dengan sumber air asin.
Kawasan rawa terbentang 2 ekosistem lahan utama, yaitu ekosistem pasang
surut dan ekosistem rawa lebak. Berdasarkan imbangan antara kekuatan arus
sungai dan air pasang dari laut, lahan rawa dibedakan menjadi 3 zone,
yaitu Zona I: lahan rawa pasang surut
air salin/payau dengan fisiografi utamanya adalah gambut dan marin, Zona II;
lahan pasang surut air tawar dengan fisipografi utamanya adalah aluvial, gambut
dan marin, dan Zona III; lahan rawa bukan pasang surut atau rawa lebak dengan
fisiografi utamanya adalah aluvial dan gambut.
Rawa lebak adalah wilayah daratan yang mempunyai genangan hampir
sepanjang tahun minimal selama tiga bulan dengan tinggi genangan minimal 50 cm
(Noor, 2007). Berdasarkan topografi, dalam dan lama genangan, lahan rawa lebak
dibedakan dalam 3 katagori, yaitu:
1) Lebak dangkal atau lebak pematang, lahan ini
biasanya teletak disepanjang tanggul alam sungai dengan topografi relatif
tinggi dan genangan kurang dari 50 cm dengan lama genangan kurang dari 3 bulan.
2) Lebak
tengahan, lahan ini biasanya terletak di antara lebak dalam dan lebak pematang
kedalaman genangan antara 50 – 100 cm. Genangan bisa terjadi 3 – 6 bulan
3) Lebak
dalam, lahan yang terletak di sebelah dalam menjauhi sungai, merupakan suatu
cekungan dengan genangan lebih dari 100 cm dengan lama genangan lebih dari 6
bulan. .
Rawa lebak dipengaruhi oleh iklim tropika basah atau agak basah dengan
curah hujan antara 2000-3000 mm per tahun dengan jumlah bulan basah antara 6-7
bulan dan 3-4 bulan kering. Bulan basah adalah bulan yang mempunyai curah hujan
bulanan lebih dari 200 mm dan bulan kering adalah bulan yang mempunyai curah
hujan bulanan kurang dari 100 mm. Agih (distribition)
curah hujan di beberapa wilayah rawa lebak menunjukkan perbedaan yang terkait
dengan ketinggian tempat dari permukaan laut dan vegetasi yang tumbuh (Noor,
2007).
F.
Tanah Sulfat Masam
Bahan sulfidik (pirit) merupakan hasil endapan marin. pirit terbentuk
melalui serangkaian proses kimia, geokimia, dan biokimia secara bertahap.
Ion-ion sulfat yang banyak terkandung dalam air laut oleh ayunan pasang
diendapkan pada dataran-dataran pantai dan sebagian menjorok memasuki mintakat
pasang surut. Besi yang merupakan penyusun mineral silikat dalam bahan induk
tanah bersenyawa dengan sulfat. Pada dasarnya, persenyawaan antara sulfat
dengan besi inilah yang membentuk pirit (Noor, 2004). Pembentukan pirit dipengaruhi oleh banyak
faktor, antara lain (1) tingginya kandungan bahan organik, (2) suasana yang
anaerob, (3) jumlah sulfat terlarut, da, (4) kadar besi terlarut (Dent, 1986).
Pada tanah-tanah mineral rawa sering terjadi keracunan, antara lain oleh
alumunium (Al), besi (Fe3+), sulfida (H2S),
karbondioksida (CO2), dan asam-asam organik yang tinggi. Kadar Al
pada tanah mineral rawa berkaitan dengan oksidasi pirit. Suasana
yang sangat masam mempercepat pelapukan mineral alumino-silikat akibat
perusakan kisi dari mineral tipe 2:2 (seperti monmorilonit) menjadi mineral
tipe 1:1 (kaolinit) dengan membebaskan dan melarutkan Al yang lebih banyak
(Notohadikusumo, 2000).
Menurut klasifikasi tanah Badan Makanan dan Pertanian Dunia (FAO –
Unesco, 1994), tanah sulfat masam dibagi menjadi tiga jenis yaitu Thionic
Fluvisol, Thionic Gleysol, dan Thionic Histosol. Istilah fluvi
(fluviatil) menunjukkan arti sebagai hasil endapan (marin), gley menunjukkan
kadar lempung yang tinggi, sedangkan histo menunjukkan adanya lapisan
gambut diatas permukaan.
Tanah sulfat masam ditandai warna tanah yang kelabu, bersifat mentah, dan
kemasaman sedang sampat tinggi (Breemen dan Pons, 1978). Identifikasi dan mengenal tanah sulfat masam
dapat dilakukan di lapangan secara cepat, mudah dan sederhana (Notohadiprawiro,
1985).
Warna matriks tanah pada lahan sulfat masam umumnya cokelat gelap untuk
lapisan atas dan abu-abu (grey) untuk lapisan bawah yang menunjukkan
adanya pirit. Warna coklat gelap menunjukkan tingginya kadar bahan organik,
sedangkan warna abu-abu mencerminkan tingginya kadar mineral kaolinit (Breemen,
1982). Warna matriks tanah sulfat masam
mempunyai hubungan dengan ada tidaknya pirit. Warna abu-abu gelap
kehijauan (5Y 4/1) menunjukkan adanya pirit dan warna semakin gelap menunjukkan
kadar pirit yang semakin tinggi (Noor, 2004).
III.
PELAKSANAAN PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu
Kegiatan lapangan pada
penelitian ini dilakukan di lahan hutan rawa Desa Cinta Jaya Kecamatan
Pedamaran Kabupaten OKI. Analisis
contoh tanah dilakukan di Laboratorium
Kimia Tanah, Biologi Tanah dan Kimia Tanah Jurusan Tanah Fakultas
Pertanian Universitas Sriwijaya.
Penelitian ini dimulai bulan September sampai dengan Desember 2007.
Skala 1 : 430.000
Gambar 1. Lokadi Desa Cinta Jaya
B. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah: 1) contoh tanah yang akan dianalisis, 2) kantung
plastik, 3) kertas label, 4) larutan Hydrogen Peroksida 30%, 5) kertas pH, dan 6) tali karet.
Alat-alat yang digunakan dalam
penelitian ini adalah: 1) global position system (GPS), 2) kompas, 3) foto
citra lokasi penelitian, 4) kamera, 5) meteran, 6) bor gambut, 7) bor belgi, 8) buku
Munsell, 9) pisau lapangan, dan 10) Alat tulis.
C. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini kegiatan
lapangan dibagi menjadi dua tahap yang terdiri atas kegiatan prasurvai dan
survai utama. Kegiatan prasurvai atau survai pendahuluan dilakukan untuk
mengetahui gambaran umum lokasi penelitian dan masyarakat Desa Cinta Jaya.
Survai utama dilakukan dengan pengamatan lahan dan tanah pada setiap titik
pengamatan, yang dilanjutkan dengan analisis tanah di laboratorium.
Penelitian ini menggunakan metode survai tingkat semi detail, dengan luas
area yang diamati 250 hektar yang ditentukan berdasarkan foto citra dan dengan
meninjau lokasi secara langsung. Dalam penelitian ini, titik pengamatan
sebanyak sepuluh titik yang ditentukan secara sengaja dengan sistem transek,
dengan menentukan koordinat menggunakan
alat bantu GPS.
Skala 1 : 100.000
Skala 1 : 170.000
Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian dan Titik
Pengamatan
D.
Cara Kerja
Kegiatan yang dilakukan meliputi persiapan, pelaksanaan kegiatan
lapangan, kegiatan laboratorium dan analisa data dan pembuatan laporan.
1. Persiapan
Pada tahap persiapan dilakukan kegiatan yang meliputi studi pustaka dan
pengumpulan literatur serta persiapan alat yang akan digunakan.
2. Kegiatan Lapangan
Pada
tahap pelaksanaan kegiatan di lapangan dilakukan dua tahap yaitu kegiatan
prasurvai atau survai pendahuluan dan survai utama.
Kegiatan pra survai ini dilakukan
untuk mengetahui desa yang akan menjadi lokasi penelitian, interaksi masyarakat
desa dengan hutan rawa gambut, informasi tentang lokasi penelitian, akses
menuju lokasi pengamatan dan waktu tempuhnya. Untuk memperoleh informasi di
atas dilakukan dengan cara wawancara dengan perangkat desa, dan beberapa
penduduk desa setempat.
Sedangkan dalam kegiatan survai
utama adalah untuk pengamatan tanah dan keadaan lingkungan. Pengamatan tanah
dan pengambilan sampel dilakukan pada setiap titik pengamatan yang sudah
ditentukan, sedangkan pengamatan lingkungan dilakukan di sekitar lokasi titik
pengamatan. Hal- hal yang diamati dalam kegiatan ini adalah: vegetasi dominan,
ketebalan gambut, hidrologi lahan (genangan dan atau muka air tanah),
pengelolaan lahan, tingkat kemasaman tanah di lapangan, tingkat kematangan
gambut, serta keberadaan pirit (dengan uji menggunakan peroksida (H2O2)
30%).
Titik pengamatan ditentukan
berdasarkan citra lansat Desa Cinta Jaya dan sekitarnya. Pengamatan titik-titik
menggunakan sistem transek. Penelitian ini menggunakan dua transek yang
masing-masing memiliki panjang 2,5 km. Tiap transek terdiri dari lima titik
pengamatan dan jarak antar transek 500 m.
Pengamatan dan pengambilan sampel
tanah gambut dengan menggunakan bor gambut. Pengeboran dan penggamatan
dilakukan hingga kedalaman lima meter. Sedangkan untuk gambut yang memiliki
kedalaman kurang dari lima meter, pengeboran dan pengamatan dilakukan hingga
mencapai lapisan mineral. Pengambilan sampel tanah gambut pada kedalaman satu
meter teratas dan satu meter terbawah.
(a)
(b)
Gambar
3. (a) skema pengambilan sampel
gambut. (b) bor gambut
3.
Analisis Tanah
Analisis contoh tanah dilakukan di laboratorium oleh analisator untuk
mengukur pH tanah, N total, C organik, Na, DAL, dan Kadar abu. Hasil analisis
laboratorium akan sangat berguna untuk menentukan pengelolaan lahan, pengaruh
pasang surut air laut terhadap lahan, dan tingkat kematangan gambut pada lokasi
penelitian.
4.
Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam kegiatan penelitian ini meliputi :
a.
Keadaan umum daerah penelitian meliputi iklim (curah
hujan), geografis, vegetasi dan topografi,
b.
Ketebalan dan tingkat kematangan gambut,
c.
Tinggi genangan air,
d.
Data hasil analisis sifat kimia tanah gambut pH tanah,
N total, C organik, Na, DAL serta Kadar abu.
5.
Pengolahan Data dan Pembuatan Laporan
Data yang diperoleh dari hasil pengamatan lapangan dan analisis
laboratorium di-intepretasi agar dapat disajikan secara deskriptif dalam bentuk
skripsi. Informasi ini diharapkan dapat digunakan untuk membantu penyusunan
kemampuan lahan, perencanaan dan kebijakan penggunaan lahan.
Pada lokasi penelitian suhu udara
rata-rata 26,8o C. Suhu udara
dipengaruhi oleh ketinggian wilayah dari permukaan laut. Semakin rendah wilayah
dari permukaan laut, maka suhu udara akan semakin tinggi. Data suhu udara dapat
dilihat pada Gambar... dan lampiran ...
Gambar 2. Grafik Rata-rata Suhu Udara Tahunan
Berdasarkan
data curah hujan selama 10 tahun (1997 – 2006) yang diperoleh dari Badan
Meteorologi dan Geofisika (BMG) Kenten untuk wilayah Kecamatan Pedamaran
diketahui bahwa lokasi penelitian memiliki curah hujan 2244,16 mm/tahun. Berdasarkan
kerangka acuan CSR/FAO (1983), jumlah bulan kering dapat ditentukan dengan melihat
curah hujan bulanan yang kurang dari 75mm, sehingga dari data curah hujan yang
ada dapat diketahui bahwa pada lokasi penelitian bulan baah terjadi sepanjang
tahun dengan bulan kering sebanyak satu bulan, yaitu pada bulan agustus.
Grafik Curah Hujan Tahunan
Grafik Curah Hujan Bulanan
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
No.
|
Sampel
Tanah Gambut
|
Kedalaman
(cm)
|
Vegetasi
|
Kemasaman
(pH)
|
1.
|
1
|
0 – 100
300 – 400
|
Purun tikus
|
3,67
3,61
|
2.
|
4
|
0 – 100
200 – 300
|
Purun tikus, Pakis,
tumbuhan semak
|
3,74
3,38
|
3.
|
6
|
0 – 100
400 – 500
|
Perpat, purun
tikus, tumbuhan semak, Pakis
|
3,59
3,51
|
4.
|
9
|
0 – 100
400 – 500
|
Purun tikus, Pakis,
tumbuhan semak
|
3,43
3,75
|
pH,
Dari hasil analisis tanah, terlihat bahwa tanah gambut bereaksi sangat
masam baik pada lapisan atas maupun lapisan bawahnya. Menurut
Jones (1984), nilai pH rendah itu disebabkan oleh
asam-asam organik, pirit (senyawa sulfur), dan ion hidrogen dapat ditukar (H-dd) yang tinggi terkandung dalam tanah
gambut. Menurut Buckman dan Brady (1982),
secara umum kompleks koloid gambut dipengaruhi oleh hidrogen yang menyebabkan pH tanah gambut lebih rendah
daripada tanah mineral.
No.
|
Sampel
Tanah Gambut
|
Kedalaman
(cm)
|
Kemasaman
(pH)
|
C-Organik
(%)
|
N-Total
(%)
|
1.
|
1
|
0 – 100
300 – 400
|
3,67
3,61
|
35,59
31,48
|
0,73
0,69
|
2.
|
4
|
0 – 100
200 – 300
|
3,74
3,38
|
27,96
26,12
|
0,76
0,67
|
3.
|
6
|
0 – 100
400 – 500
|
3,59
3,51
|
32,75
32,01
|
0,76
0,73
|
4.
|
9
|
0 – 100
400 – 500
|
3,43
3,75
|
36,06
30,91
|
0,79
0,58
|
C-Organik, dari hasil analisis
contoh tanah dan berdasarkan kriteria penilaian sifat kimia tanah PPT (1983) menunjukkan kandungan C-organik yang
sangat tinggi. Tingginya kandungan C-organik menunjukkan akumulasi bahan
organik yang tinggi (seresah). Terlihat
dari data hasil analisis, tanah bagian atas memiliki kandungan C-organik yang
lebih tinggi dibandingkan dengan tanah bagian bawahnya. Hal ini dilkarenakan
tanah bagian atas telah terdekomposisi lebih lanjut dari tanah di bawahnya,
karena terjadi pengeringan setiap musim kemarau terutama pada kemarau panjang.
N-total,
Hasil analisis contoh tanah menunjukkan kadar N-total (%) termasuk dalam
kriteria tinggi hingga sangat
tinggi. Sumber Nitrogen yang utama adalah bahan organi, Nitrogen dalam
tanah berasal dari bahan organik tanah (Hardjowigeno, 1995). Dari hasil
analisis yang diperoleh terlihat bahwa kandungan N-total pada tanah lapisan
atas lebih tinggi dari tanah lapisan bawahnya. Lebih rendahnya kandungan
N-total pada lapisan bawah gambut dikarenakan keadaan yang selalu jenuh air.
No.
|
Sampel
Tanah Gambut
|
Kedalaman
(cm)
|
Na
(me/100 g)
|
Ec
(mhos)
|
1.
|
1
|
0 – 100
300 – 400
|
0,44
0,33
|
0,810
1,090
|
2.
|
4
|
0 – 100
200 – 300
|
0,33
0.44
|
0,890
1,710
|
3.
|
6
|
0 – 100
400 – 500
|
0,33
0,55
|
1,350
1,260
|
4.
|
9
|
0 – 100
400 – 500
|
0,44
0,55
|
1,140
1.410
|
Na, Kadar Na
berkisar antara kriteria rendah sampai
sedang.
Ec, Berdasarkan hasil analisis contoh tanah lokasi penelitian
termasuk dalam topologi salin ringan
(<1) hingga sedang (1-4)
Na, Kadar Na berkisar antara kriteria rendah sampai sedang. Ec, Berdasarkan hasil analisis contoh
tanah lokasi penelitian termasuk dalam topologi salin ringan (<1) hingga sedang (1-4).
Pirit, pada lokasi penelitian reaksi
tanah terhadap peroksida sangat cepat ini menunjukkan kadar pirit yang tergolong
tinggi (potensi sulfat) terdapat
pada lapisan tanah mineral di bawah gambut. Tanah mineral di bawah gambut
memiliki tekstur liat dengan warna 5G 6/2.
No.
|
Sampel
Tanah Gambut
|
Kedalaman
(cm)
|
C-Organik
(%)
|
BO
(%)
|
||
1.
|
1
|
0 – 100
300 – 400
|
35,59
31,48
|
|
||
2.
|
4
|
0 – 100
200 – 300
|
27,96
26,12
|
|
||
3.
|
6
|
0 – 100
400 – 500
|
32,75
32,01
|
|
||
4.
|
9
|
0 – 100
400 – 500
|
36,06
30,91
|
|
No.
|
Sampel
Tanah Gambut
|
Kedalaman
(cm)
|
Kadar Abu
(%)
|
BO
(%)
|
|
||
1.
|
1
|
0 – 100
300 – 400
|
5,86
5,43
|
|
|
||
2.
|
4
|
0 – 100
200 – 300
|
7,59
5,39
|
|
|
||
3.
|
6
|
0 – 100
400 – 500
|
5,51
5,72
|
|
|
||
4.
|
9
|
0 – 100
400 – 500
|
6,22
4,09
|
|
|
Abu (%), Dari data analisis tanah, terlihat bahwa kadar abu
tergolong rendah. Hal ini menunjukkan tanah gambut pada lokasi penelitian
tergolong gambut dalam dengan tingkat pelapukan yang belum lanjut. Kadar abu
gambut yang belum terganggu tergolong rendah, peningkatan intensitas pertanian
dapat meningkatkan kadar abu seiring dengan meningkatnya mineralisasi tanah,
(Noor, 2001).
No.
|
Sampel
Tanah Gambut
|
Ketebalan Gambut
(cm)
|
Genangan
(cm)
|
Tingkat Kematangan
|
Warna tanah
|
1.
|
1
|
400
|
-15
|
Hemik
Fibik
|
10YR 3/1
10YR 3/2
|
2.
|
2
|
300
|
-20
|
Hemik
Fibik
|
10YR 3/1
10YR 3/2
|
3.
|
3
|
150
|
0
|
Hemik
Hemik
|
10YR 3/1
10YR 3/2
|
4.
|
4
|
300
|
-30
|
Hemik
Hemik
|
10YR 2/1
10YR 3/1
|
5.
|
5
|
500
|
- 50
|
Hemik
Fibik
|
10YR 3/1
10YR 3/2
|
6.
|
6
|
>500
|
-50
|
Hemik
Hemik
|
10YR 3/1
10YR 3/2
|
7.
|
7
|
>500
|
-50
|
Hemik
Fibik
|
10YR 3/1
10YR 3/2
|
8.
|
8
|
>500
|
-10
|
Hemik
Fibik
|
10YR 3/1
10YR 3/2
|
9.
|
9
|
>500
|
-5
|
Hemik
Fibrik
|
10YR 2/1
10YR 3/3
|
10.
|
10
|
>500
|
-5
|
Hemik
Hemik
|
10YR 3/1
10YR 3/2
|
Berdasarkan
hasil pengamatan di lapangan, ketebalan gambut pada lokasi penelitian berkisar
dari gambut tengahan hingga sangat dalam. Gambut terdalam pada titik pengamatan
6,7,8,9, dan 10 (lebih dari 5 m). Gambut tengahan terdapat pada titik
pengamatan 3, gambut dalam terdapat pada titik pengamatan 2 dan 4, dan gambut
sangat dalam berada pada titik pengamatan 1,5,6,7,8,9, dan 10.
Rawa, lokasi penelitian termasuk lahan
rawa lebak tengahan. Tinggi genangan dapat mencapai lebih dari 100cm pada saan
nusim hujan. Nanun pada saat pengamatan dilakukan permukaan air tanah di bawah
permukaan gambut, hal ini dikarenakaan musim kemarau.
Warna, warna gambut lapisan atas lebih
gelap dari lapisan bawahnya hal ini dikarenakan bagian atas gambut lebih
terdekomposisi, dan sebagian lokasi pengamatan telah terbakar.
Kriteia Penilaian Sifat Kimia Tanah
Sifat tanah
|
SR
|
R
|
S
|
T
|
ST
|
|
C-organik (%)
N-total (%)
Nisbah C/N
P2O5-Bray (µg g-1)
KTK (cmol (+) kg-1)
K-dd (cmol (+) kg-1)
Na-dd (cmol (+) kg-1)
Mg-dd (cmol (+) kg-1)
Ca-dd (cmol (+) kg-1)
Kejenuhan basa (%)
Kejenuhan Al (%)
|
<1,00
<0,1
<5
<10
<5
<0,1
<0,1
<0,4
<2
<20
<5
|
1,00-2,00
0,1-0,2
5-10
10-15
5-16
0,1-0,3
0,1-0,3
0,4-1,0
2-5
20-35
5-50
|
2,01-3,00
0,21-0,50
11-15
16-25
17-24
0,4-0,5
0,4-0,7
1,1-2,0
6-10
36-50
21-30
|
3,01-5,00
0,51-0,75
16-25
26-35
25-40
0,6-1,0
0,8-1,0
2,1-8,0
11-20
51-70
31-60
|
>5,00
>0,75
>25
>35
>40
>1,00
>1,00
>8,00
>20
>70
>60
|
|
pH – H2O
|
SM
|
M
|
AM
|
N
|
AB
|
B
|
<4,5
|
4,5-5,5
|
5,6-6,5
|
6,6-7,5
|
7,6-8,5
|
>8,5
|
Keterangan
: SM = Sangat Masam M =
Masam
AM =
Agak Masam N =
Netral
AB =
Agak Basa B =
Basa
SR =
Sangat Rendah R =
Rendah
ST =
Sangat Tinggi S =
Sedang
T =
Tinggi
Sumber
: Pusat Penelitian Tanah, 1983.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Lahan
gambut di lokasi penelitian bervariasi dari gambut tengahan hingga sangat
dalam.
2. Kesuburan
termasuk rendah dengan reaksi tanah sangat masam dan tingkat kematangan gambut rendah antara
fibrik hingga hemik.
3. sebagian besar lahan gambut Cinta Jaya
telah terbuka akibat penebangan dan terbakaran
4. vegetasi
didominasi oleh purun tikus, pakis (Stenochama
polushis) dan perpat (Sonneratia sp).
B. Saran
Lahan gambut Cinta Jaya termasuk dalam kawasan konservasi, diperlukan
sosialisasi tentang manfaat lahan gambut.
0 komentar:
Post a Comment