Skripsi Akuntansi 1

Sunday, March 11, 2012

”ANALISIS PERKEMBANGAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH DALAM MENDUKUNG PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN SUKOHARJO”



ABSTRAKSI
Dalam menjalankan Otonomi Daerah, Pemerintah Daerah dituntut untuk menjalankan roda pemerintahan yang efektif, etlsien, dan mampu mendorong peran masyarakat dalam meningkatkan pemerataan dan keadilan dengan mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Keberhasilan Otonomi Daerah tidak terlepas dari kemampuan dalam bidang keuangan
Tujuan dari Penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat perkembangan kemampuan keuangan di Kabupaten Sukoharjo dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Penelitian ini mengambil lokasi di Kabupaten Sukoharjo. Sedangkan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data keuangan APBD di Kabupaten Sukoharjo tahun anggaran 2001-2005. Adapun teknik pengumpulan data adalah dengan dokumentasi dan yang dilakukan di BKD Kabupaten Sukoharjo
Metode Penelitian adalah Deskriptif Komparatif, dengan menggunakan beberapa rasio keuangan, yaitu rasio kemandirian keuangan daerah, derajat desentralisasi tiskal, indeks kemempuan rutin, rasio keserasian dan rasio pertumbuhan. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut : Berdasarkan rasio kemandirian keuangan daerah yang ditunjukkan dengan angka rasio rata-ratanya adalah 7,88% masih berada diantara 0% - 25% tergolong mempunyai pola hubungan instruktif yang berarti kemampuan Pemerintah Kabupaten Sukoharjo dalam memenuhi kebutuhan dana untuk penyelenggaraan tugas-tugas Pemerintahan, Pembangunan dan Pelayanan Sosial masyarakat masih relatif rendah meskipun dari tahun ke tahun mengalami kenaikan dan penurunan Dalam Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal hanya memiliki rata-rata 6,80%. hal ini berarti bahwa tingkat kemandirian/kemampuan keuangan Kabupaten Sukoharjo masih rendah dalam melaksanakan otonominya. Berdasarkan rasio IKR rata-rata hanya sebesar 9,75 %, ini artinya PAD memiliki kemampuan  yang sangat kurang untuk membiayai pengeluaran rutinnya. Pada Rasio Keserasian, pengeluaran belanja rutin lebih besar dibandingkan dengan belanja pembangunan. Sedangkan dalam Rasio Pertumbuhan, secara keseluruhan mengalami peningkatan disetiap tahunnya yang disebabkan bertambahnya pajak dan retribusi daerah.
Dengan melihat hasil analisis diatas, perkembangan keuangan di Kabupaten Sukoharjo disektor Keuangan masih kurang. Untuk itu diperlukan upaya untuk peningkatan PAD baik secara ekstensifikasi yaitu pemerintah daerah harus dapat mengidentifikasi potensi daerah sehingga peluang-peluang baru untuk sumber penerimaan daerah dapat dicari, sedangkan secara intensifikasi dengan memeperbaiki kinerja pengelolaan pemungutan pajak.
Kata Kunci: Pemerintah daerah, otonomi daerah, Keuangan daerah.



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Organisasi  pemerintah merupakan salah satu bentuk organisasi non profit yang bertujuan meningkatan pelayanan kepada masyarakat umum yang dapat berupa peningkatan keamanan, peningkatan mutu pendidikan atau peningkatan mutu kesehatan dan lain-lain. Selain itu organisasi non profit ini merupakan organisasi yang orientasi utamanya bukan untuk mencari laba.
Apabila dibandingkan dengan organisasi lain, organisasi pemerintah memiliki karakteristik tersendiri yang lebih terkesan sebagai lembaga politik daripada lembaga ekonomi. Akan tetapi, sebagaimana bentuk-bentuk kelembagaan lainnya, lembaga / organisasi pemerintah juga memiliki aspek sebagai lembaga ekonomi. Lembaga pemerintahan melakukan berbagai bentuk pengeluaran guna membiayai kegiatan-kegiatan yang dilakukan di satu sisi, dan di sisi lain lembaga ini harus melakukan berbagai upaya untuk memperoleh penghasilan guna menutupi seluruh biaya tersebut.
Dalam melaksanakan aktivitas ekonominya, organisasi atau lembaga pemerintah membutuhkan jasa akuntansi untuk pengawasan dan menghasilkan informasi keuangan yang akan digunakan untuk pengambilan keputusan-keputusan ekonominya. Akan tetapi, karena sifat lembaga pemerintahan berbeda dari sifat perusahaan yang bertujuan mencari laba, maka sifat akuntansi pemerintahan berbeda dari sifat akuntansi perusahaan. Dengan adanya akuntansi pemerintahan maka pemerintah harus mempunyai rencana yang matang untuk suatu tujuan yang dicita-citakan sesuai dengan penerapan akuntansi pemerintahan di Indonesia.
Dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 jo Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah  serta Undang-Undang No. 25 tahun 1999 jo Undang-Undang  No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara pusat dan daerah akan dapat memberikan kewenangan atau otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah secara secara proporsional. Hal ini diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan daerah dan pusat secara demokratis, peran serta masyarakat, pemerataan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keragaman daerah, terutama kepada Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota. Tujuan pemberian keuangan dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah adalah guna meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan sosial.
Menurut Undang-Undang No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 5. Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom  untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berkaitan dengan hal tersebut peranan pemerintah daerah sangat menentukan berhasil tidaknya menciptakan kemandirian yang selalu didambakan Pemerintah Daerah. Terlepas dari perdebatan mengenai ketidaksiapan daerah di berbagai bidang untuk melaksanakan kedua Undang-Undang tersebut, otonomi daerah diyakini merupakan jalan terbaik dalam rangka mendorong pembangunan daerah. Menggantikan system pembangunan terpusat yang oleh beberapa pihak dianggap sebagai penyebab lambannya pembangunannya di daerah dan semakin besarnya ketimpangan antar daerah.
Di dalam pelaksanaan Otonomi Daerah terdapat empat elemen penting yang diserahkan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Ke empat elemen tersebut menurut Cheema dan Rondinelli (dalam Anita Wulandari, 2001:17), adalah Desentralisasi Politik , Desentralisasi Fiskal, Desentralisasi Administrasi dan Desentralisasi Ekonomi. Keempat elemen tersebut menjadi kewajiban daerah untuk mengelola secara efisien dan efektif. Sehingga dengan demikian akan terjadi kemampuan / kemandirian suatu daerah untuk melaksanakan fungsinya dengan dengan baik. Salah satu elemen yang diserahkan pemerintah pusat kepada pemerintah deerah adalah desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal yang merupakan komponen utama dari desentralisasi pelaksanaan otonomi daerah dan menandai dimulainya babak baru dalam pembangunan daerah serta masyarakatnya dalam mengelola sumber daya / segenap potensi yang dimiliki untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemajuan daerah.
Dengan adanya otonomi daerah, kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah akan semakin besar sehingga tanggung jawab yang diembannya akan bertambah banyak. Implikasi dari adanya kewenangan urusan pemerintahan yang begitu luas yang diberikan kepada daerah dalam rangka otonomi daerah dapat menjadi suatu berkah bagi daerah. Namun disisi lain bertambahnya kewenangan daerah tersebut juga merupakan beban yang menuntut kesiapan daerah untuk pelaksanaannya, karena semakin besar urusan pemerintah yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Oleh karena itu ada beberapa aspek yang harus dipersiapkan antara lain sumber daya manusia, sumber daya keuangan, sarana dan pra sarana daerah. Aspek keuangan merupakan salah satu dasar kriteria untuk dapat mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri. Kemampuan daerah yang dimaksud adalah sampai sejauh mana daerah dapat menggali sumber-sumber keuangan sendiri guna membiayai kebutuhan keuangan daerah tanpa harus menggantungkan diri pada bantuan dan subsidi dari pemerintah pusat.
Kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan tercermin dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai kegiatan pelaksanaan tugas pembangunan, serta pemerataan dan keadilan dengan mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah.
Salah satu ciri utama daerah mampu dalam melaksanakan otonomi daerah menurut Yuliati (2001:22), adalah terletak pada kemampuan keuangan daerah untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya dengan tingkat ketergantungan kepada pemerintah pusat mempunyai proporsi yang semakin mengecil dan diharapkan bahwa PAD harus menjadi bagian terbesar dalam memobilisasi dana penyelenggaraan pemerintah daerah. Pendapatan Asli Daerah merupakan salah satu faktor yang penting dalam pelaksanaan roda pemerintahan suatu daerah yang berdasar pada prinsip otonomi yang nyata, luas dan bertanggung jawab. Peranan Pendapatan Asli Daerah dalam  keuangan daerah menjadi salah satu tolak ukur penting dalam pelaksanaan otonomi daerah, dalam arti semakin besar suatu daerah memperoleh dan menghimpun PAD maka akan semakin besar pula tersedianya jumlah keuangan daerah yang dapat digunakan untuk membiayai penyelenggaraan Otonomi Daerah.
Anita Wulandari (2001), melakukan penelitian tentang kemampuan keuangan daerah di kota Jambi dalam pelaksanaan Otonomi Daerah. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, kota Jambi dihadapkan pada kendala rendahnya kemampuan keuangan daerah, yang dilihat dari rendahnya kontribusi Pendapatan Asli Daerah.
Widodo (2001), melakukan penelitian tentang Analisis Rasio Keuangan APBD Kabupaten Boyolali. Hasilnya menunjukkan bahwa kemandirian pemerintah daerah Boyolali dalam memenuhi kebutuhan dana untuk penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan sosial kemasyarakatan masih relatif rendah dan cenderung menurun.
Dengan mengacu pada penelitian sebelumnya, tentu saja disesuaikan dengan kemampuan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, penulis ingin mereplikasi dan mengembangkan penelitian-penelitian tersebut. Akan tetapi terdapat beberapa perbedaan, antara lain:
1.      Periode penelitian. Penelitian ini dilakukan pada periode tahun 2001-2005, sedangkan penelitian sebelumnya pada periode sebelum tahun 2002.
2.      Daerah penelitian. Penelitian ini mengambil daerah penelitian di Kabupaten Sukoharjo, sedangkan peneliti terdahulu mengambil daerah penelitian di kota Jambi, Boyolali, dan Sragen.
Berdasarkan uraian sebelumnya, penulis tertarik unuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul :
”ANALISIS PERKEMBANGAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH DALAM MENDUKUNG PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN SUKOHARJO”

B.     Perumusan Masalah

Perumusan masalah yang akan dibahas dalam penilitian ini adalah: ”Apakah tedapat perkembangan kemampuan keuangan daerah di kabupaten Sukoharjo dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah?”

C.    Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah dalam penelitian ini lebih terfokus pada perkembangan APBD di Kabupaten Sukoharjo tahun anggaran 2001-2005.

D.    Tujuan Penelitian

Berdasar latar belakang masalah tersebut diatas, maka tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui tingkat perkembangan kemampuan keuangan di Kabupaten Sukoharjo dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah.



E.     Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:
1.      Menjadi bahan masukan bagi perencanaan pembangunan dan pengambilan keputusan pembangunan dalam rangka meningkatkan pelaksanaan otonomi daerah.
2.      Dapat dijadikan acuan atau referansi untuk penelitian berikutnya.
F.     Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran penelitian yang lebih jelas dan sistematis agar mempermudah bagi pembaca dalam memahami penulisan penelitian ini. Dari masing-masing bab secara garis besar dapat diuaraikan sebagai berikut
BAB I       PENDAHULUAN
Pada bab ini akan diuaraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan skripsi.
BAB II     TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini berisi pembahasan tentang akuntansi pemerintahan, otonomi daerah, tinjauan keuangan daerah, anggaran pendapatan belanja daerah (APBD), analisis rasio APBD dan tinjauan penelitian terdahulu.
BAB III    METODE PENELITIAN
Pada bab ini berisi tentang jenis penelitian, obyek penelitian, data dan sumber data, serta metode analisis data.
BAB IV    ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini membahas tentang gambaran umum Kabupaten Sukoharjo, baik kondisi geografis maupun segi ekonomi dan hasil analitis data serta pembahasannya.
BAB V     PENUTUP
Pada bab ini berisi tentang kesimpulan hasil analisis data dan pembahasan serta saran-saran yang dapat diberikan kepada pemerintah kabupaten Sukoharjo.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.      Tinjauan Tentang Akuntansi Pemerintahan

1.       Pengertian Akuntansi Pemerintahan
Pada hakekatnya akuntansi pemerintahan adalah aplikasi akuntansi di bidang keuangan Negara (public finance), khususnya pada tahapan pelaksanaan anggaran (budget execution), termasuk segala pengaruh yang ditimbulkannya, baik yang bersifat seketika maupun yang lebih permanen pada semua tingkatan dan unit pemerintahan. (Kustadi Arinta)
Menurut Revrisond Baswir (2000:7), Akuntansi Pemerintahan (termasuk akuntansi untuk lembaga non profit pada umumnya) merupakan bidang akuntansi yang berkaitan dengan lembaga pemerintahan dan lembaga-lembaga yang bertujuan untuk tidak mencari laba. Walaupun lembaga pemerintah senantiasa berukuran besar, namun sebagaimana dalam perusahaan ia tergolong sebagai lembaga mikro.
Bachtiar Arif dkk (2002:3) mendefinisikan akuntansi pemerintahan sebagai suatu aktivitas pemberian jasa untuk menyediakan informasi keuangan pemerintah berdasarkan proses pencatatan, pengklaifikasian, pengikhtisaran suatu transaksi keuangan pemerintah serta penafsiran atas informasi keuangan tersebut.
Sedangkan menurut Abdul Halim (2002:143) menyebutkan bahwa Akuntansi Pemerintahan adalah sebuah kegiatan jasa dalam rangka menyediakan informasi kuantitatif terutama yang bersifat keuangan dari entitas pemerintah guna pengambilan keputusan ekonomi yang nalar dari pihak-pihak yang berkepentingan atas berbagai alternatif arah tindakan.
2.       Tujuan Akuntansi Pemerintahan
Menurut Bachtiar arif, Muchlis, Iskandar dalam Akuntansi Pemerintahan, tujuan akuntansi pemerintahan dan akuntansi bisnis pada umumnya adalah sama yaitu :
a.       Akuntabilitas
Di dalam pemerintahan, keuangan Negara yang dikelola harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai amanat konstitusi. Pelaksanaan fungsi ini di Indonesia diatur dalam UUD 1945 Ps 23 ayat (5).
b.       Manajerial
Akuntansi pemerintahan memungkinkan pemerintah untuk melakukan perencanaan berupa penyusunan APBN dan strategi pembangunan lain, untuk melakukan pelaksanaan kegiatan pembangunan dan pengendalian atas kegiatan tersebut dalam rangka pencapaian ketaatan kepada peraturan perundang-undangan, efisiensi, efektivitas, dan ekonomis.
c.        Pengawasan
Pemeriksaan keuangan di Indonesia terdiri dari pemeriksaan keuangan secara umum, pemeriksaan ketaatan , dan pemeriksaan operasional atau manajerial.
3.       Karakteristik Akuntansi Pemerintahan
Akuntansi Pemerintahan memiliki karakteristik tersendiri jika dibandingkan dengan akuntansi bisnis. Berdasarkan tujuan pemerintah diatas, Bachtiar Arif, Muclis, Iskandar (2002:7) menyebutkan beberapa karaktristik akuntansi pemerintahan yaitu sebagai berikut:
a.       Pemerintah tidak berorientasi pada laba sehingga dalam akuntansi pemerintah tidak ada laporan laba (income statement) dan treatment akuntansi yang berkaitan dengannya.
b.       Pemerintah membukukan anggaran ketika anggaran tersebut dibukukan.
c.       Dalam akuntansi pemerintahan dimungkinkan mempergunakan lebih dari satu jenis dana.
d.       Akuntansi pemerintahan akan membukukan pengeluaran modal.
e.       Akuntansi pemerintahanan bersifat kaku karena sangat bergantung pada peraturan perundang-undangan.
f.        Akuntansi pemerintahan tidak mengenal perkiraan modal dan laba yang ditahan dalam neraca.
4.       Syarat Akuntansi Pemerintahan
    Beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh pemerintahan sesuai dengan karakteristik dan betujuan untuk memenuhi akuntabilitas keuangan negara yang memadai. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan suatu pedoman untuk akuntansi pemerintahan (A Manual Governmental Accounting) yang dapat diringkas sebagai berikut (dalam Bahctiar Arif dkk, 2002:9):
a.       Dapat memenuhi persyaratan UUD, UU, dan Peraturan lain.
Akuntansi pemerintahan dirancang untuk persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh UUD, UU, dan Peraturan lain. Apabila terdapat dua pilihan yaitu untuk kepentingan efisiensi dan ekonomis di satu sisi, sedangkan disisi lain hal tersebut bertentangan dengan UUD, UU atau Peraturan lainnya, maka akuntansi tersebut harus disesuaikan dengan UUD, UU dan Peraturan lainnya.
b.       Dikaitkan dengan klasifikasi anggaran
Sistem Akuntansi Pemerintah harus dikembangkan sesuai dengan klasifikasi anggaran yang telah disetujui pemerintah dan lembaga legislatif. Fungsi anggaran dan akuntansi harus saling melengkapi di dalam pengelolaan keuangan negara serta harus diintegrasikan.
c.        Perkiraan-perkiraan yang harus diselenggarakan
Sistem Akuntansi Pemerintah harus mengembangkan perkiraan-perkiraan untuk mencatat transaksi uang terjadi. Perkiraan-perkiraan yang dibuat harus dapat menunjukkan akuntabilitas keuangan negara yang andal dari sisi obyek dan tujuan pengguanaan dana serta pejabat atau organisasi yang mengelolanya.
d.       Memudahkan pemeriksaan oleh aparatur negara
Sistem akuntansi pemerintah yang dikembangkan harus memungkinkan aparat pemeriksaan untuk melakukan tugasnya.
e.        Sistem akuntansi harus terus dikembangkan
Dengan adanya perubahan lingkungan dan sifat transaksi, sistem akuntansi pemerintahan harus terus disesuaikan dan dikembangkan  sehingga tercapai efisiensi, efektivitas dan relevansi.
f.        Perkiraan-perkiraan yang harus dikembangkan secara efektif
Sistem akuntansi pemerintahan harus mengembangkan perkiraan-perkiraan secara efektif sehubungan dengan sifat dan perubahan lingkungan sehingga dapat mengungkapkan hasil ekonomi dan keuangan dari pelaksanaan suatu program.
g.        Sistem harus dapat melayani kebutuhan dasar informasi keuangan guna pengembangan rencana dan program.
Sistem akuntansi pemerintahan harus dikembangkan untuk para pengguna informasi keuangan, yaitu pemerintah, rakyat (lembaga legislatif), lembaga dodnor, Bank Dunia, dan lain sebagainya.
h.       Pengadaan suatu perkiraan
Perkiraan-perkiraan yang dibuat harus memungkinkan analisis ekonomi atas data keuangan dan mereklasifikasi transaksi-transaksi pemerintah baik pusat maupun daerah dalam rangka pengembangan perkiraan-perkiraan nasional.

B.      Otonomi Daerah

1.       Pengertian Otonomi Daerah
Dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 5, pengertian otonomi derah adalah hak ,wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan menurut Suparmoko (2002:61) mengartikan otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Sesuai dengan penjelasan Undang-Undang No. 32 tahun 2004, bahwa pemberian kewenangan otonomi daerah dan kabupaten / kota didasarkan kepada desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.
a.       Kewenangan Otonomi Luas
Yang dimaksud dengan kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup semua bidang pemerintahan kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal agama serta kewenangan dibidang lainnya ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Disamping itu keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan mulai dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi.
b.       Otonomi Nyata
Otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh hidup dan berkembang di daerah.
c.        Otonomi Yang Bertanggung Jawab
Otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi berupa peningkatan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang sehat antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 7, 8, 9 tentang Pemerintah Daerah, ada 3 dasar sistem hubungan antara pusat dan daerah yaitu :
1)          Desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2)          Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu
3)          Tugas perbantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan atau desa atau sebutan lain dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggung jawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan.
2.       Daerah Otonom
Dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 pasl 1 ayat 6 menyebutkan bahwa daerah otonomi selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Profesor Oppenhein (dalam Mohammad Jimmi Ibrahim, 1991:50) bahwa daerah otonom adalah bagian organis daripada negara, maka daerah otonom mempunyai kehidupan sendiri yang bersifat mandiri dengan kata lain tetap terikat dengan negara kesatuan. Daerah otonom ini merupakan masyarakat hukum yaitu berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
3.       Hakekat, Tujuan dan Prinsip Otonomi Daerah
a.       Hakekat Otonomi Daerah
Pelaksanaan otonomi daerah pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan sesuai dengan kehendak dan kepentingan masyarakat. Berkaiatan dengan hakekat otonomi daerah tersebut yang berkenaan dengan pelimpahan wewenang pengambilan keputusan kebijakan, pengelolaan dana publik dan pengaturan kegiatan dalam penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan masyarakat maka peranan data keuangan daerah sangat dibututuhkan untuk mengidentifikasi sumber-sumber pembiayaan daerah serta jenis dan besar belanja yang harus dikeluarkan agar perencanaan keuangan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Data keuangan daerah yang memberikan gambaran statistik perkembangan anggaran dan realisasi, baik penerimaan maupun pengeluaran dan analisa terhadapnya merupakan informasi yang penting terutama untuk membuat kebijakan dalam pengelolaan keuangan daerah untuk meliahat kemampuan/ kemandirian daerah (Yuliati, 2001:22)
b.       Tujuan Otonomi Daerah
Menurut Mardiasmo (Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah) adalah: Untuk meningkatkan pelayanan publik (public service) dam memajukan perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung tiga misi utama pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu:
a.       Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat.
b.       Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah.
c.        Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat (publik) untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.
Selanjutnya tujuan otonomi daerah menurut penjelasan Undang-undang No 32 tahun 2004 pada dasarnya adalah sama yaitu otonomi daerah diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menggalakkan prakarsa dan peran serta aktif masyarakat secara nyata, dinamis, dan bertanggung jawab sehingga memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan di daerah yang akan memberikan peluang untuk koordinasi tingkat lokal.
c.        Prinsip Otonomi Daerah
Menurut penjelasan Undang-Undang No. 32 tahun 2004, prinsip penyelenggaraan otonomi daerah adalah :
1)       penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keaneka ragaman daerah.
2)       Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
3)       pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah dan daerah kota, sedangkan otonomi provinsi adalah otonomi yang terbatas.
4)       Pelaksanaan otonomi harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.
5)       Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah kabupaten dan derah kota tidak lagi wilayah administrasi. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah.
6)       Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawasan, mempunyai fungsi anggaran atas penyelenggaraan otonomi daerah.
7)       Pelaksanaan dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukan sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintah tertentu dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah.
8)       Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan tidak hanya di pemerintah daerah dan daerah kepada desa yang disertai pembiayaan, sarana dan pra sarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskan.

C.      Tinjauan Keuangan Daerah

1.       Kemampuan Keuangan Daerah
Kriteria penting yang lain untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya adalah kemampuan daerah dalam bidang keuangan. Dengan perkataan lain, faktor keuangan merupakan faktor yang penting dalam mengatur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 105 tahun 2000, menyebutkan bahwa keuangan daerah adalah semua hak dan kewjiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang temasuk didalamnya segala bentuk kekayaan lain yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut dalam kerangka APBD.
Sehubungan dengan pentingnya posisi keuangan tersebut, keuangan daerah sebagai salah satu indikator untuk mengetahui kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dengan dikeluarkannya undang-undang tentang Otonomi Daerah, membawa konsekuensi bagi daerah yang akan menimbulkan perbedaan antar daerah yang satu dengan yang lainnya, terutama dalam hal kemampuan keuangan daerah, antara lain (Nataluddin, 2001:167):
a.       Daerah yang mampu melaksanakan otonomi daerah.
b.       Daerah yang mendekati mampu melaksanakan otonomi daerah.
c.       Daerah yang sedikit mampu melaksanakan otonomi daerah dan
d.       Daerah yang kurang mampu melaksanakan urusan otonomi daerah
Selain itu ciri utama yang menunjukkan suatu daerah mampu melaksanakan otonomi daerah adalah sebagai berikut (Nataluddin, 2001:167):
a.       Kemampuan keuangan daerah, artinya daerah harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahannya.
b.       Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin agar Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah, sehingga peranan pemerintah daerah menjadi lebih besar.
Berkaitan dengan hakekat otonomi daerah yaitu berkaitan dengan pelimpahan wewenang pengambilan keputusan kebijakan, pengelolaan dana publik dan pengaturan kegiatan dalam penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan masyarakat, maka peranan data keuangan daerah sangat dibutuhkan untuk mengidentifikasi sumber-sumber pembiayaan daerah serta jenis dan besar balanja yang harus dikeluarkan agar perencanaan keuangan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Data keuangan daerah yang memberikan gambaran statistik perkembangan anggaran dan realisasi, baik penerimaan maupun pengeluaran dan analisa terhadapnya merupakan informasi yang penting terutama untuk membuat kebijakan dalam pengelolaan keuangan daerah untuk melihat kemampuan / kemandirian daerah (Yuliati, 2001:22)
    Secara konseptual, pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah harus dilakukan sesuai dengan kemampuan keuangan daerah dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan, walaupun pengukuran kemampuan keuangan daerah ini akan menimbulkan perbedaan. Paul Hersey dan Kenneth Blanchard memperkenalkan “Hubungan Situasional” dalam pelaksanaan otonomi daerah (dalam Nataluddin, 2001:168-169) :
a.       Pola Hubungan Instruktif, peranan pemerintah puasat lebih dominan dari pada kemandirian pemerintah daerah (daerah yang tidak mampu melaksanakan otonomi daerah)
b.       Pola Hubungan Konsultif, campur tangan pemerintah pusat sudah mulai berkurang, karena daerah dianggap sedikit lebih mampu melaksanakan otonomi.
c.       Pola Hubungan Partisipatif, peranan pemerintah pusat semakin berkurang, mengingat daerah yang bersangkutan tingkat kemandiriannya mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi.
d.       Pola Hubungan Delegatif, campur tangan pemerintah pusat sudah tidak ada karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam melaksanakan urusan otonomi daerah.
Bertolak dari teori tersebut, karena adanya potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang berbeda, akan terjadi pula perbedaan pola hubungan dan tingkat kemandirian antar daerah. Sebagai pedoman dalam melihat pola hubungan dengan kemampuan daerah (dari sisi keuangan) dapat dikemukakan tabel sebagai berikut :
Tabel II.I
Pola Hubungan Tingkat Kemampuan Daerah
Kemampuan Keuangan
Kemandirian (%)
Pola hubungan
Rendah sekali
Rendah
Sedang
Tinggi
0%-25%
25%-50%
50%-75%
75%-100%
Instruktif
Konsultatif
Partisipatif
Delegatif
                Sumber : Abdul Halim (2002:169)
2.       Pengelolaan Penerimaan Daerah
Menurut UU No. 32 tahun 2004 pasal 157 dan UU No. 33 tahun 2004 pasal 6, serta PP No. 105 tahun 2000 dan PP No 64 tahun 2000, sumber-sumber penerimaan dapat diperinci sebagai berikut:
a.       Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber keuangan yang digali dari dalam wilayah yang bersangkutan. Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah terdiri dari :
1)       Pajak Daerah, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 65 tahun 2001 tentang pajak daerah, yang dimaksud dengan pajak daerah yang selanjutnya disebut dengan pajak adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepala daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat dilaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.
2)       Retribusi Daerah, menurut Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 2001 tentang retribusi daerah, yang dimaksud dengan retribisi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atau jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
3)       Hasil Perusahaan Milik Daerah, merupakan  hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Jenis penerimaan yang termasuk hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan antara lain bagian laba, deviden dan penjualan saham milik daerah.
4)       Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah, antara lain hasil penjualan asset negara dan jasa giro.
b.       Dana Perimbangan
Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan tersebut saling mengisisi dan melengkapi. Adapun pos-pos dana perimbangan tersebut terdiri dari :
1)          Bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dan penerimaan dari Sumber Daya Alam seperti : kehutanan, perikanan, pertambangan, minyak dan gas.
2)          Dana Alokasi Umum
Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. (UU No. 33 pasal 1 ayat 2)
3)          Dana Alokasi Khusus
Dana Alokasi Khusus  adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. (UU No. 33 tahun 2004 pasal 1 ayat 23).
Langkah-langkah yang dapat dilaksanakan agar pendapatan daerah dapat ditingkatkan antara lain sebagai berikut (dalam Nirzawan, 2001:75):
a.       Intensifikasi, dilaksanakan antara lain dengan cara sebagai berikut :
1)       Melaksanakan tertib penetapan pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak, tertib dalam pemungutan kepada wajib pajak, tertib dalam administrasi serta tertib dalam administrasi serta tertib dalam penyetoran.
2)       Melaksanakan secara optimal pemungutan pajak dan retribusi daerah sesuai dengan potensi yang obyektif berdasarkan peraturan yang berlaku.
3)       Melakukan pengawasan dan pengendalian secara sistematis dan kontinyu (berkelanjutan) untuk mengantisipasi terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan pemungutan di lapangan oleh petugas.
4)       Membentuk tim satuan tugas (satgas) pada dinas terkait yng bertugas mengawasi pemungutan di lapangan oleh petugas.
5)       Memberikan insentif (rangsangan)secara khusus kepada aparat pengelola PAD yang dapat melampui penerimaan dari target yang telah ditetapkan.
6)       Mengadakan pendekatan persuasif kepada wajib pajak agar memenuhi kewajibannya melalui kegiatan penyuluhan.
7)       Melakukan langkah-langkah pengendalian lain guna menghindari timbulnya penyimpangan terhadap pelaksanaan peraturan daerah mengenai pengelolaan maupun penetapan pajak dan retribusi daerah.
b.       Ekstensifikasi, dilaksanakan dengan cara antara lain sebagai berikut:
1)       Menyusun program kebijakan dan strategi pengembangan dan menggali obyek pungutan baru yang potensial dengan lebih memprioritaskan kepada retribusi daerah untuk ditetapkan dan dijabarkan dalam peraturan daerah.
2)       Meninjau kembali ketentuan tarif dan pengembangan sasaran sesuai dengan peraturan daerah yang ada dan mengkaji ulang peraturan daerah untuk diajukan perubahan.
3)       Mengadakan studi banding ke daerah lain guna mendapat informasi terhadap jenis-jenis penerimaan pajak dan retribusi lain yang memungkinkan untuk dikembangkan.
3.       Pengelolaan Pengeluaran Daerah
Dalam Peraturan pemerintah No. 105 tahun 2000, menyebutkan bahwa Pengeluaran Daerah adalah semua pengeluaran kas daerah periode tahun anggaran yang bersangkutan yang meliputi belanja rutin (operasional), belanja pembangunan (belanja modal) serta pengeluaran tidak disangka.
a.       Belanja Rutin
Belanja rutin adalah pengeluaran yang manfaatnya hanya untuk satu tahun anggaran dan menambah asset / kekayaan bagi daerah. Belanja rutin terdiri dari :
1)       Belanja administrasi dan umum :
·    Belanja pegawai
·    Belanja barang
·    Belanja perjalanan dinas
·     Belanja pemeliharaan
2)       Belanja operasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana
b.       Belanja Investivasi / Pembangunan
Belanja investasi adalah pengeluaran yang manfaatnya cenderung melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah asset / kekayaan daerah, dan selanjutnya akan menambah anggaran rutin untuk biaya rutin untuk biaya operasional dan pemeliharaannya. Belanja investasi terdiri dari :
1)       Belanja publik. Belanja yang manfaatnya dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat. Belanja publik merupakan belanja modal (capital expenditure) yang berupa investasi fisik (pembangunan infrastruktur) yang mempunyai nilai ekonomis lebih dari satu tahun dan mengakibatkan terjadinya penambahan asset daerah.
2)       Balanja aparatur adalah belanja yang manfaatnya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat, tetapi dirasakan secara langsung oleh aparatur. Belanja aparatur menyebabkan terjadinya penambahan aktiva tetap dan aktiva tidak lancar lainnya. Belanja aparatur diperkirakan akan memberikan manfaat pada periode berjalan dan periode yang akan datang.
3)       Pengeluaran transfer adalah pengalihan uang dari pemerintah daerah dengan kriteria :
·     Tidak menerima secara langsung imbalan barang dan jasa seperti layaknya terjadi transaksi pembelian dan penjualan.
·     Tidak mengharapkan dibayar kembali dimasa yang akan datang, seperti yang diharapkan pada suatu pinjaman.
·     Tidak mengharapkan adanya hasil pendapatan, seperti layaknya yang diharapkan pada suatu investasi.
Pengeluaran transfer ini terdiri dari atas : angsuran pinjaman, dana bantuan dana cadangan.
c.        Pengeluaran Tidak Tersangka
Pengeluaran tidak tersangka adalah yang disediakan untuk pembiayaan :
1)       Kejadian-kejadian luar biasa seperti bencana alam, kejadian yang dapat membahayakan daerah.
2)       Tagihan tahun lalu yang belum diselesaikan dan atau tidak tersedia anggarannya pada tahun yang bersangkutan.
3)       Pengambilan penerimaan yang bukan haknya atau penerimaan yang dibebaskan (dibatalkan) dan atau kelebihan penerimaan.
Pengeluaran daerah tersebut harus dikelola dengan memperhatikan beberapa prinsip yang harus dipertimbangkan antara lain (Nirzawan,2001:77):
a.       Akuntabilitas
Akuntabilitas pengeluaran daerah adalah kewajiban pemerinta daerah untuk memberikan pertanggung jawaban, menyajikan dan melaporkan segala aktivitas dan kegiatan yang terkait dengan penggunaan uang publik kepada pihak yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta  pertanggung jawaban tersebut (DPRD dan masyarakat luas). Aspek penting yang harus dipertimbangkan oleh para manajer daerah adalah :
1)       Aspek legalitas pengeluaran daerah yaitu setiap transaksi pengeluaran yang dilakukan harus dapat dilacak otoritas legalnya.
2)       Pengelolaan (stewardship) atas pengeluaran daerah yang baik, perlindungan asset fisik dan financial, mencegah terjadinya pemborosan dan salah urus.
Prinsip-prinsip akuntabilitas pengeluaran daerah  :
1)       Adanya sistem akuntansi dan sistem anggaran yang dapat menjamin bahwa pengeluaran daerah dilakukan secara konsistensi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2)       Pengeluaran daerah yang dilakukan dapat menunjukkan tingkat pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.
3)       Pengeluaran daerah yang dilakukan dapat berorientasi pada pencapaian visi, misi, hasil dan manfaat yang akan diperoleh.
b.       Value of Money
Pengeluaran daerah harus mendasarkan konsep value of money, yaitu :
1)       Ekonomi, adalah hubungan antara pasar (nilai uang) dan masukan (input). Ekonomi adalah pembelian barang dan jasa pada kualitas yang diinginkan dan pada harga terbaik yang memungkinkan. Pengertian ekonomi sebaiknya mencakup juga pengeluaran daerah yang berhati-hati atau cermat dan penggunaan keuangan daerah secara optimal tanpa pemborosan (tepat guna). Suatu kegiatan operasional dikatakan ekonomis apabila dapat menghilangkan atau mengurangi biaya yang dianggap tidak perlu. Dengan demikian pada hakekatnya ada pengertian yang serupa antara efisiensi dan ekonomi, karena kedua-keduanya menghendaki penghapusan dan penurunan biaya.
2)       Efisiensi, berhubungan erat dengan konsep efektivitas, yaitu rasio yang membandingkan antara output yang dihasilkan terhadap input yang digunakan. Proses kegiatan operasional dapat dikatakan dilakukan secara efisiensi apabila suatu target kinerja tertentu dapat dicapai dengan menggunakan sumber daya dan biaya yang serendah-rendahnya.
3)       Efektivitas, merupakan kaitan atau hubungan antara keluaran suatu pusat pertanggung jawaban dengan tujuan atau sasaran yang harus dicapainya. Efektivitas dalam Pemerintah Daerah dapat diartikan penyelesaian kegiatan tepat pada waktunya dan didalam batas anggaran yang tersedia, dapat berarti pula mencapai tujuan dan sasaran seperti apa yang telah direncanakan. Namun demikian, walaupun ada yang dilaksanakan menyimpang dari rencana semula, tetapi mempunyai dampak yang menguntungkan pada kelompok penerima sasaran manfaat, maka dapat dikatakan efektif. Semakin besar kontribusi pengeluaran yang dilakukan terhadap nilai pencapaian tujuan atau sasaran yang ditentukan dapat dikatakan efektif proses kerja dari unit kerja dimaksud.

D.      Anggaran Pendapatan  Dan Belanja Daerah

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah berlaku untuk daerah-daerah tingkat I dan II. Pembentukan dan pengelolaannya disesuaikan dengan tata cara yang berlaku pada pemerintahan pusat.
Pendapatan Daerah tingkat I antara lain terdiri dari pajak daerah tingkat I (pajak izin penangkapan ikan , pajak sekolah), pajak pusat diserahkan kepada daerah tingkat I, antara lain : Pajak Rumah Tangga, Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, opsen (opsen atas Pajak Kekayaan, opsen atas cukai bensin), retribusi (antara lain Retribusi izin pengambilan pasir, batu, kerikil, kapur, gamping, batu karang), subsidi daerah otonomi. Daerah tingkat II mendapatkan penghasilan dari berbagai pajak daerah (antara lain Pajak Tontonan, pajak reklame, pajak anjing dan lain-lain), pajak pusat (antara lain  pajak radio, pajak bangsa asing, pajak pembangunan I dan sebagainya), sumbangan daerah otonom, Ipeda. Belanjanya adalah sesuai dengan ruang lingkup kegiatan yang menjadi tugas di daerahnya.
Dalam UU No 33 pasal 1 ayat 17, menyebutkan bahwa APBD adalah rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. APBD merupakan rencana keuangan tahunan daerah, dimana disatu sisi menggambarkan anggaran pengeluaran guna membiayai kegiatan-kegiatan dan proyek-proyek daerah dalam satu tahun anggaran dan disisi lain menggambarkan penerimaan daerah guna membiayai pengeluaran yang telah dianggarkan.
APBD merupakan dokumen anggaran tahunan, maka seluruh rencana penerimaan dan pengeluaran Pemerintah Daerah yang akan dilaksanakan pada satu tahun anggaran dicatat dalam APBD. Dengan demikian APBD dapat menjadi cerminan kinerja dan kemampuan Pemerintah Daerah dalam membiayai dan mengelola penyelenggaraan pemerintah dan pelaksanaan pembangunan di daerah masing-masing pada satu tahun anggaran. (Kiflimansyah,2001: 319)
Anggaran daerah pada hakekatnya merupakan salah satu alat yang memegang peranan penting dalam rangka meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Dengan demikian maka APBD harus benar-benar dapat mencerminkan kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Atas dasar tersebut, penyusunan APBD hendaknya mengacu pada norma-norma dan prinsip anggaran sebagai berikut (Nirzawan, 2001:79) :
a.       Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran
Transparansi tentang anggaran daerah merupakan salah satu persyaratan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih dan bertanggungjawab. Mengingat anggaran daerah merupakan salah satu sarana evaluasi pencapaian kinerja dan tanggung jawab pemerintah mensejahterakan masyarakat, maka APBD harus dapat memberikan informasi yang jelas tentang tujuan, sasaran, hasil dan manfaat yang diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan atau proyek yang dianggarkan. Selain itu setiap dana yang diperoleh, penggunaannya harus dapat dipertanggung jawabkan.
b.       Disiplin Anggaran
Anggaran yang disusun harus dilakukan berlandaskan azas efisiensi, tepat guna, tepat waktu dan dapat dipertanggung jawabkan. Pemilihan antara belanja yang bersifat rutin dengan belanja yang bersifat pembangunan / modal harus diklasifikasikan secara jelas agar tidak terjadi pencampuradukan kedua sifat anggaran yang dapat menimbulkan pemborosan dan kebocoran dana. Pendapatan yang direncanakan merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan, sedangkan belanja yang dianggarkan pada setiap pos / pasal merupakan batas tertinggi pengeluaran belanja.
c.        Keadilan Anggaran
Pembiayaan pemerintah dapat dilakukan melalui mekanisme pajak dan retribusi yang dipikul oleh segenap lapisan masyarakat, untuk itu pemeintah daerah wajib mengalokasikan penggunannya secara adil agar dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi dalam pemberian pelayanan.
d.       Efisiensi dan Efektivitas Anggaran
Dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal guna kepentingan masyarakat. Oleh karena itu untuk dapat mengendalikan tingkat efisiensi dan efektivitas anggaran, maka dalam perencanaan perlu ditetapkan secara jelas tujuan, sasaran, hasil dan manfaat yang akan diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan atau proyek yang diprogramkan.
e.        Format Anggaraan
Pada dasarnya APBD disusun berdasarkan format anggaran defisit (defisit budget format). Selisih antara pendapatan dan belanja mengakibatkan terjadinya surplus atau defisit anggaran. Apabila terjadi surplus, daerah dapat membentuk dana cadangan, sedangkan bila terjadi defisit, dapat ditutupi melalui sumber pembiayaan pinjaman dan atau penerbitan obligasi daerah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (APBD) disusun dengan pendekatan kinerja dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah paling lambat 1 (satu) bulan setelah APBN ditetapkan, demikian juga halnya dengan perubahan APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya tahun anggaran. Sedangkan perhitungan APBD ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan. APBD yang disusun dengan pendekatan kinerja tersebut memuat hal-hal sebagai berikut (Nirzawan, 2001:81) :
1)       Sasaran yang ditetapkan menurut fungsi belanja.
2)       Standar pelayanan yang diharapkan dan perkiraan biaya satuan komponen kegiatan yang bersangkutan.
3)       Bagian pendapatan APBD yang membiayai belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal / pembangunan.

E.      Analisis Rasio Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Analisis keuangan adalah usaha mengidentifikasi ciri-ciri keuangan berdasarkan laporan keuangan yang tersedia. Dalam mengadakan analisis keuangan memerlukan ukuran tertentu. Ukuran yang sering digunakan adalah rasio. Erich Helfert (2000,49) mengartikan rasio adalah suatu angka yang menunjukkan hubungan suatu unsur dengan unsur lainnya dalam laporan keuangan sedangkan Slamet Munawir (1995:64) menjelaskan rasio sebagai hubungan atau perimbangan antara satu jumlah tertentu dengan jumlah yang lain.
Penggunaan analisa rasio pada sektor publik khususunya terhadap APBD belum banyak dilakukan sehingga secara teori belum ada kesepakatan secara bulat mengenai nama dan kaidah pengukurannya. Meskipun demikian dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang transparan, jujur, demokratis, efektif, efisien dan akuntabel, analisis rasio terhadap APBD perlu dilaksanakan meskipun kaidah perakuntasian dalam APBD berbeda dengan laporan keuangan yang dimiliki perusahaan swasta.
Analisis rasio pada APBD dilakukan dengan membandingkan hasil yang dicapai dari satu periode dibandingkan dengan periode sebelumnya sehingga dapat diketahui bagaimana kecenderungan yang terjadi. Selain itu dapat pula dilakukan dengan cara membandingkan dengan rasio keuangan yang dimiliki suatu pemerintah tertentu dengan rasio keuangan daerah lain yang terdekat maupun yang potensi daerahnya relatif sama untuk dilihat bagaimana posisi rasio keuangan Pemerintah Daerah tersebut terhadap Pemerintah Daerah lainnya. Adapun pihak-pihaknya yang berkepentingan dengan rasio keuangan pada APBD ini adalah (widodo, 2001: 261):
1.       DPRD sebagai wakil dari pemilik daerah (masyarakat).
2.       Pemerintah eksekutif sebagai landasan dalam menyusun APBD berikutnya.
3.       Pemerintah pusat / provinsi sebagai bahan masukan dalam pembinaan pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah.
4.       Masyarakat dan kreditur, sebagai pihak yang akan turut memiliki saham pemerintah daerah, bersedia memberi pinjaman ataupun membeli obligasi.
Beberapa rasio yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan data keuangan yang bersumber dari APBD diukur dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
1.           Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Rasio Kemandirian Keuangan Daerah menunjukkan tingkat kemampuan suatu daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Rasio kemandirian ditunjukkan oleh besarnya pendapatan asli daerah dibandingkan dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber lain (pihak ekstern) antara lain : Bagi hasil pajak, Bagi hasil Bukan Pajak Sumber Daya Alam, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus, Dana Darurat dan Dana Pinjaman (Widodo, 2001 : 262).

Rumus yang digunakan adalah:
Rasio Kemandirian:

Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern. Semakin tinggi resiko kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern semakin rendah dan demikian pula sebaliknya. Rasio kemandirian juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen utama pendapatan asli daerah. Semakin tinggi masyarakat membayar pajak dan retribusi daerah menggambarkan bahwa timgkat kesejahteraan masyarakat semakin tinggi.
2.           Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal
Derajat Desentralisasi Fiskal adalah kemampuan pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli daerah guna membiayai pembangunan. Derajat Desentralisasi Fiskal, khususnya komponen PAD dibandingkan dengan TPD, menurut hasil penelitian Tim Fisipol UGM menggunakan skala interval sebagaimana terlihat dalam tabel III.I adalah sebagai berikut (Anita W, 2001 : 22):
Tabel 11.2
Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal
%
Kemampuan Keuangan Daerah
0,00-10,00
Sangat Kurang
10,01-20,00
Kurang
20,01-30,00
Cukup
30,01-40,00
Sedang
40,01-50,00
Baik
>50,00
Sangat baik
Sumber : Anita Wulandari (2001: 22)
Derajat Desentralisasi Fiskal dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
DDF :  x 100 %
Keteragan :
DDF : Derajat Desentralisasi Fiskal
PADt: Total PAD tahun t
TPDt : Total Penerimaan Daerah Tahun t
3.           Rasio Indeks Kemampuan Rutin
Indeks Kemampuan Rutin yaitu : Proporsi antara PAD dengan pengeluaran rutin tanpa transfer dari pemerintah pusat (kuncoro,1997). Sedangkan dalam menilai Indeks Kemampuan Rutin daerah (IKR) dengan menggunakan skala menurut Tumilar (1997:15) sebagaimana yang terlihat dalam table III, 2 sebagai berikut (Anita W, 2001 : 22)
Tabel 11.3
Skala Interval Indeks Kemampuan Rutin
%
Kemampuan Keuangan Daerah
0,00-20,00
Sangat Kurang
20,01-40,00
Kurang
40,01-60,00
Cukup
60,01-80,00
Baik
80,01-100
Sangat baik
Rumus :
IKR :
Keterangan :
IKR : Indeks Kemampuan Rutin
PAD : Pendapatan Asli Daerah
4.           Rasio Keserasian
Keserasian ini menggambarkan bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan alokasi dananya pada belanja rutin dan belanja pembangunan secara optimal. Semakin tinggi presentase dana yang dialokasikan untuk belanja rutin berarti presentase belanja pembangunan yang digunakan untuk menyediakan sarana prasarana ekonomi masyarakat cenderung semakin kecil. Secara sederhana rasio keserasian ini dapat diformulasikan sebagai berikut (Widodo, 2001 : 262) :
Rasio Belanja Rutin :
Rasio Belanja Pembangunan :
5.           Rasio Pertumbuhan
Rasio  pertumbuhan menggambarkan seberapa besar kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan yang dicapai dari periode ke periode lainnya. Pertumbuhan APBD dilihat dari berbagai komponen penyusun APBD yang terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, total pendapatan, belanja rutin dan belanja pembangunan (Widodo, 2001 : 270):
                Rumus yang digunakan adalah :
r                         :
Keterangan :
Pn                       : Data yang dihitung pada tahun ke-n
Po                       : Data yang dihitung pada tahun ke-0
r                         : Pertumbuhan
Apabila semakin tinggi nilai PAD, TPD dan Belanja Pembangunan yang diikuti oleh semakin rendahnya Belanja Rutin, maka pertumbuhannya  adalah positif. Artinya bahwa daerah yang bersangkutan telah mampu mempertahankan dan meningkatkan pertumbuhannya dari periode satu ke periode yang berikutnya. Selanjutnya jika semakin tinggi nilai PAD, TPD, dan Belanja Rutin yang diikuti oleh semakin rendahnya Belanja Pembangunan, maka pertumbuhannya adalah negatif. Artinya bahwa daerah yang bersangkutan belum mampu mempertahankan dan meningkatkan pertumbuhannya dari periode yang satu ke periode yang berikutnya.

F.       Tinjauan Penelitian Terdahulu

 Anita. W (2001 ), melakukan penelitian tentang Kemampuan Keuangan Daerah di kota Jambi dalam pelaksanaan Otonomi Daerah. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, kota Jambi dihadapkan pada kendala rendahnya kemampuan keuangan daerah, yang dilihat dari rendahnya kontribusi Pendapatan Asli Daerah.
Widodo (2001), melakukan penelitian tentang Analisis Rasio Keuangan APBD kabupaten Boyolali. Hasilnya menunjukkan bahwa kemandirian pemerintah daerah Boyolali dalam memenuhi kebutuhan dana untuk penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan sosial kemasyarakatan masih relatif rendah dan cenderung turun.

G.      Hipotesis

H 0     =      Tidak terdapat perkembangan kemampuan keuangan daerah di Kabupaten Sukoharjo dalam rangka mendukung otonomi daerah

BAB III
METODE PENELITIAN

A.     Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif menurut Mohammad Nazir (2003:54) adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian ini : untuk membuat deskriptif / gambaran, melukiskan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselediki. Penelitian ini berusaha untuk mendapatkan gambaran tentang perkembangan kemampuan keuangan daerah di kabupaten Sukoharjo dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah.

B.     Obyek Penelitian 
Penelitian ini mengambil lokasi di Kabupaten Sukoharjo. Dalam penelitian ini penulis memilih kabupaten Sukoharjo dengan alasan penulis berdomosili di Sukoharjo sehingga memudahkan dalam pengambilan data.

C.     Data Dan Sumber Data
Data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak langsung dan melalui perantara / diperoleh dan dicatat oleh pihak lain (Nur Indriantoro dan Bambang Supomo,2002:147). Data sekunder dalam penelitian ini adalah data keuangan APBD tahun anggaran 2001-2005. APBD tersebut diperoleh dari beberapa instansi pemerintah terkait, dalam hal ini diperoleh dari Dinas Pendapatan Daerah.

D.     Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Dokumentasi
Cara pengumpulan data melalui peninggalan tertulis terutama berupa arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori, hukum-hukum, dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penyelidikan (Hadari Nawawi,1991:133).

E.     Metode Analisis Data
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif komparatif. Deskriptif komparatif adalah suatu jenis metode penelitian yang ingin mencari jawab secara mendasar tentang sebab akibat dengan menganalisis faktor-faktor terjadinya atau munculnya fenomena tertentu (Mohammad Nazir, 2003:58).
Data yang berasal dari APBD kemudian dianalisis dengan menggunakan rasio keuangan daerah yang diukur dengan menggunakan rumus perhitungan sebagai berikut :


1.      Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Rasio Kemandirian Keuangan Daerah menunjukkan tingkat kemampuan suatu daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Rasio kemandirian ditunjukkan oleh besarnya pendapatan asli daerah dibandingkan dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber lain (pihak ekstern) antara lain : Bagi hasil pajak, Bagi hasil Bukan Pajak Sumber Daya Alam, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus, Dana Darurat dan Dana Pinjaman (Widodo, 2001 : 262).
Rumus yang digunakan untuk menghitung Rasio Kemandirian adalah:
Rasio kemandirian :
Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern. Semakin tinggi resiko kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern semakin rendah dan demikian pula sebaliknya. Rasio kemandirian juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen utama pendapatan asli daerah. Semakin tinggi masyarakat membayar pajak dan retribusi daerah menggambarkan bahwa timgkat kesejahteraan masyarakat semakin tinggi.

2.      Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal
Derajat Desentralisasi Fiskal atau otonomi Fiskal Daerah adalah kemampuan pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli Daerah guna membiayai pembangunan. Derajat Desentralisasi Fiskal, khususnya komponen PAD dibandingkan dengan TPD, menurut hasil penelitian Tim Fisipol UGM menggunakan skala interval sebagaimana terlihat dalam tabel III.I adalah sebagai berikut (Anita W, 2001 : 22):
Tabel III.1
Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal

%
Kemampuan Keuangan Daerah
0,00-10,00
Sangat Kurang
10,01-20,00
Kurang
20,01-30,00
Cukup
30,01-40,00
Sedang
40,01-50,00
Baik
>50,00
Sangat Baik
            Sumber : Anita Wulandari (2001: 22)

Derajat Desentralisasi Fiskal dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
DDF :  x 100 %
Keterangan :
DDF    : Derajat Desentralisasi Fiskal
PADt    : Total PAD Tahun t
TPDt    : Total Pendapatan Daerah Tahun t
3.      Rasio Indeks Kemampuan Rutin
Indeks Kemampuan Rutin yaitu : Proporsi antara PAD dengan pengeluaran rutin tanpa transfer dari pemerintah pusat (kuncoro, 1997 : 9). Sedangkan dalam menilai menilai Indeks Kemampuan Rutin (IKR) dengan menggunakan skala menurut Tumilar (1997 : 15) sebagaimana yang terlihat dalam table III.2 sebagai berikut (Anita W, 2001 : 22)
Tabel III.2
Skala Interval Indeks Kemampuan Rutin

%
Kemampuan Keuangan Daerah
0,00-20,00
Sangat Kurang
20,01-40,00
Kurang
40,01-60,00
Cukup
60,01-80,00
Baik
80,01-100
Sangat Baik
Sumber : Anita Wulandari (2001: 22)
Indeks Kemampuan Rutin dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
IKR :
Keterangan :
IKR : Indeks Kemampuan Rutin
PAD : Pendapatan Asli Daerah
4.      Rasio Keserasian
Keserasian ini menggambarkan bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan alokasi dananya pada belanja rutin dan belanja pembangunan secara optimal. Semakin tinggi presentase dana yang dialokasikan untuk belanja rutin berarti presentase belanja pembangunan yang digunakan untuk menyediakan sarana prasarana ekonomi masyarakat cenderung semakin kecil. Secara`sederhana rasio keserasian ini dapat diformulasikan sebagai berikut (Widodo, 2001 : 262) :
Rasio Belanja Rutin :
Rasio Belanja Pembangunan :
5.      Rasio Pertumbuhan
Rasio pertumbuhan menggambarkan seberapa besar kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan yang dicapai dari periode ke periode lainnya. Pertumbuhan APBD dilihat dari berbagai komponen penyusun APBD yang terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, total pendapatan, belanja rutin dan belanja pembangunan (Widodo, 2001 : 270) :
Rumus yang digunakan adalah :
r                   :


Keterangan :
Pn        : Data yang dihitung pada tahun ke-n
Po        : Data yang dihitung pada tahun ke-0
r           : Pertumbuhan
Apabila semakin tinggi nilai PAD , TPD dan Belanja Pembangunan yang diikuti oleh semakin rendahnya Belanja Rutin, maka pertumbuhannya  adalah positif. Artinya bahwa daerah yang bersangkutan telah mampu mempertahankan dan meningkatkan pertumbuhannya dari periode satu ke periode yang berikutnya. Selanjutnya jika semakin tinggi nilai PAD, TPD, dan Belanja Rutin yang diikuti oleh semakin rendahnya Belanja Pembangunan, maka pertumbuhannya adalah negatif. Artinya bahwa daerah yang bersangkutan belum mampu mempertahankan dan meningkatkan pertumbuhannya dari periode yang satu ke periode yang berikutnya.


BAB IV
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
A.      Gambaran Umum Kabupaten Sukoharjo
1.       Keadaan Geografis
Kabupaten Sukoharjo merupakan salah satu Kabupaten  di Jawa Tengah, letaknya diapit oleh 6 (enam) Kabupaten / Kota yaitu di sebelah Utara berbatasan dengan Kota Surakarta dan Kabupaten Karanganyar, di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Gunung Kidul (DIY) dan Kabupaten Wonogiri serta sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Klaten dan Kabupaten Boyolali.
2.       Luas Wilayah
Secara administrasi Kabupaten Sukoharjo terbagi menjadi 12 kecamatan yang terdiri dari 167 Desa / Kelurahan. Luas wilayah Kabupaten Sukoharjo tercatat 46.666 Ha atau sekitar 1,43 % luas wilayah Propinsi Jawa Tengah. Kecamatan yang terluas adalah kecamatan Polokarto yaitu 6.218 Ha (13 %), sedangkan yang paling kecil adalah kecamatan Kartasura seluas 1.923 Ha (4 %) dari luas Kabupaten Sukoharjo. Menurut pengunaan lahan terdiri dari penggunaan lahan terdiri dari lahan sawah sebesar 45,38 % (21.178 Ha) dan lahan bukan sawah sebesar 54,62 % (25.488 Ha). Dari lahan sawah yang mempunyai pengairan teknis seluas 14.570 Ha (68.80 %), irigasi setengah teknis sebesar 2.250 Ha (10,62 %), irigasi sederhana 2.053 Ha (9,69 %) dan tadah hujan seluas 2.305 Ha (10,89 %).
B.      Analisis
Rasio keuangan yang digunakan dalam pembahasan pada bab IV ini adalah Rasio Kemandirian Keuangan Daerah, Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal, Rasio Indek Kemampuan Keuangan Rutin, Rasio Keserasian dan Pertumbuhan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Sukoharjo tahun 2001-2005, sehingga dapat diketahui bagaimana kecendurungan yang terjadi.
Adapun data yang digunakan adalah data yang berasal dari arsip dokumen pada bagian anggaran kantor pemerintah Kabupaten Sukoharjo yang berupa data APBD. Dari hasil APBD tersebut nantinya akan diketahui bagaimana kinerja keuangan APBD Kabupaten Sukoharjo.
Adapun hasil dari Analisis Rasio APBD tersebut adalah sebagai berikut :
1.       Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Rumus yang digunakan untuk menghitung Rasio Kemandirian Keuangan Daerah adalah :
Rasio kemandiian :

Hasil perhitungan Rasio Kemandirian Keuangan Daerah dapat dilihat dalam tabel IV.I dan IV.2 di bawah ini :
Tabel IV.1
Sumber Pendapatan Dari Pihak Ekstern

Keterangan
2001
2002
2003
2004
2005
Bagi hasil pajak
Bagi hasil bukan pajak
11.202.890742
27.549.945
13.565.682.296
461.718.716
21.527.918.400

25.074.688.097
27.700.950.309
Bagi hasil pajak dan Bukan Pajak


16.674.547.420
18.406.729.470
21.178.393.030
DAU
154.866.421.000
205.280.000.000
253.710.000.000
263.304.000.000
272.531.000.000
DAK


5.800.000.000
7.000.000.000
10.550.000.000
Dana Darurat



19.037.582.000
17.842.100.000
Pinjaman Daerah
15.000.000.000




Sumber: Perkembangan APBD Kabupaten Sukoharjo Tahun Anggaran 2001-2005

Jumlah
181.096.861.687
219.307.401.012
297.712.465.820
332.822.999.567
349.802.443.339

Tabel IV.2
Perhitungan Rasio Kemandirian Kabupaten Sukoharjo
Tahun Anggaran 2001-2005
No
TA
Total Pendapatan
Pendapatan Asli Daerah
%
Sumber Pendapatan Dari Pihak Ekstern
%
Rasio Kemandirian
Keteraangan
Rp
Perkem
bangan
Rp.
Perkem
bangan
1
2001
211.957.612.729,31
14.787.714.098
-
6,98%
181.096.861.687
-
85,44%
8,17%
Instruktif
2
2002
265.092.756.153,31
18.555.317.620
25,48%
7%
219.307.401.012
21,10%
82,73%
8,46%
Instruktif
3
2003
338.998.068.834
19.929.269.513
7,40%
5,98%
297.819.592.420
35,80%
87,85%
6,69%
Instruktif
4
2004
354.676.585.322
21.702.124.540
8,90%
6,12%
313.936.878.782
5,41%
88,51%
6,91%
Instruktif
5
2005
380.338.167.080
30.384.474.927
40,00%
7,99%
332.111.592.153
5,79%
87,32%
9,15%
Instruktif
Rata-rata                                                                                              20,45%

17,03%

7,88%
Instruktif
Sumber: Data diolah


Berdasarkan tabel IV.2 terlihat bahwa PAD dan sumber pendapatan dari pihak ekstern selalu meningkat. PAD yang semula di tahun 2001 sebesar Rp.14.787.714.098,- atau sebesar 6,98 % dari total pendapatan, selanjutnya pada tahun 2002 dan tahun 2003 PAD mengalami kenaikan sebesar Rp.18.555.317.620,- dan Rp19.929.269.513,- atau sebesar 7 % dan 5,98 % dari total pendapatan. Pada tahun 2004 dan tahun 2005 mengalami kenaikan kembali sebesar Rp.21.702.124.540,-  dan Rp30.384.474.927,- atau sebesar 6,12 % dan 7,99 % dari total pendapatan, sehingga rata-rata pertumbuhan PAD sebesar 20,44  %.
Sumber pendapatan dari pihak ekstern juga mengalami peningkatan yang semula pada tahun 2001 sebesar Rp.181.096.861.687,- atau 85,44 % dari total pendapatan, kemudian pada tahun 2002 dan tahun 2003 mengalami peningkatan sebesar 21,10 %  dan 35,80 % menjadi Rp.219.307.401.012 dan Rp.297.819.592.420 atau sebesar 82,73  % dan 87,85  % dari total pendapatan, lalu pada tahun 2004 dan tahun 2005 mengalami peningkatan menjadi Rp.313.936.878.782,- dan Rp. 332.111.592.153,- atau 88,51 % dan 87,32 % dari total pendapatan. Dari kenaikan diatas menjadikan rata-rata pertumbuhan sumber pendapatan dari pihak ekstern 17,03 %
Pada rasio kemandirian mengalami peningkatan dan penurunan. Pada tahun 2001 rasio kemandirian mencapai 8,17 % dan pada tahun 2002  naik menjadi 8,46 %. Selanjutnya pada tahun 2003 dan tahun 2004 mengalami penurunan menjadi 6,69 % dan 6,91 %. Sedangkan pada tahun 2005 mengalami kenaikan menjadi 9,15 %. Sehingga rata-rata rasio kemandirian adalah sebesar 7,28 %.
Menurut uraian dan perhitungan diatas dapat disimpulkan bahwa rasio kemandirian selama lima tahun pada Kabupaten Sukoharjo memiliki rata-rata tingkat kemandirian masih rendah dan dalam kategori kemampuan keuangan kurang dengan pola hubungan instruktif yaitu peranan pemerintah pusat sangat dominan dari pada daerah, hal ini dapat dilihat dari rasio kemandirian yang dihasilkan masih antara 0-25 %. Rasio kemandirian yang masih rendah mengakibatkan kemampuan keuangan daerah Kabupaten Sukoharjo dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan masih sangat terrgantung pada penerimaan dari pemerintah pusat.
Rasio kemandirian yang masih rendah dapat disebabkan pada sumber penerimaan daerah dan dasar pengenaan biaya, tampaknya Pendapatan Asli Daerah masih belum dapat diandalkan bagi daerah untuk otonomi daerah, karena relatif rendahnya basis pajak / retribusi yang ada di daerah dan kurangnya pendapatan asli daerah yang dapat digali oleh pemerintah daerah. Hai ini dikarenakan sumber-sumber potensial untuk menambah Pendapatan Asli Daerah masih dikuasai oleh pemerintah pusat. Sedangkan untuk basis pajak yang cukup besar masih dikelola oleh pemerintah pusat, yang di dalam pemungutan / pengenaannya berdasarkan undang-undang / peraturan pemerintah, dan daerah hanya menjalankan serta akan menerima bagian dalam bentuk dana perimbangan. Dana perimbangan itu sendiri terdiri dari : Bagi Hasil Pajak, Bagi Hasil Bukan Pajak / SDA, DAU, DAK, penerimaan lainnya.
Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah daerah harus mampu mengoptimalkan penerimaan dari potensi pendapatannya yang telah ada.  Inisiatif dan kemauan pemerintah daerah sangat diperlukan dalam upaya meningkatkan PAD. Pemerintah daerah harus mencari alternatif-alternatif yang memungkinkan untuk dapat mengatasi kekurangan pembiayaannya, dan hal ini memerlukan kreaitifitas dari aparat pelaksana keuangan daerah untuk mencari sumber-sumber pembiayaan baru baik melalui program kerjasama pembiayaan dengan pihak swasta dan juga program peningkatan PAD misalnya pendirian BUMD sektor potensial.
2.       Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal
Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
DDF :  x 100 %
Keterangan :
DDF        : Derajat Desentralisasi Fiskal
PADt           : Total PAD tahun E
TPDt       : Total Pendapatan Daerah Tahun
Hasil perhitungan Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal dapat dilihat dalam tabel IV.3 berikut ini :
Tabel IV.3
Kontribusi PAD terhadap TPD Kabupaten Sukoharjo
Tahun Anggaran 2001-2005

Tahun Anggaran
PAD
(Rp)
TPD
(Rp)
%
Kemampuan Keuangan
2001
14.787.714.098
211.957.612.729,31
6,98%
Sangat kurang
2002
18.555.317.620
265.092.756.153,31
7,00%
Sangat kurang
2003
19.929.269.513
338.998.068.834
5,88%
Sangat kurang
2004
21.702.124.540
354.676.585.322
6,12%
Sangat kurang
2005
30.384.474.927
380.338.167.080
7,99%
Sangat kurang
Rata-rata


6,80%
Sangat kurang
Sumber : Data diolah
Berdasar tabel IV.3 terlihat bahwa Rasio Pendapatan Asli Daerah terhadap Total Pendapatan Daerah Kabupaten Sukoharjo penurunan dan kenaikan walaupun relatif kecil. Pada tahun 2001 rasio derajat desentralisasi fiskal mencapai 6,98 % dan pada tahun 2002 mengalami kenaikan menjadi 7,00 % dan pada tahun 2003 turun menjadi 5,88 %. Kemudian pada tahun 2004 dan 2005 mengalami kenaikan yaitu sebesar 6,12 % dan 7.99 %. Sehingga rata-rata Derajat Desentralisasi Fiskal adalah: 6,80 %.
Menurut uraian dan perhitungan diatas dapat disimpulkan bahwa Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal selama lima tahun pada pemerintahan Kabupaten Sukoharjo masih dalam skala interval yang sangat kurang, karena masih berada dalam skala interval antara 0,00-10,00 yaitu sebesar 6,84 % dan ini berarti bahwa PAD mempunyai kemampuan yang sangat  kurang dalam membiayai pembangunan daerah. Hal ini  terjadi karena PAD di Kabupaten Sukoharjo masih relatif kecil dibandingkan dengan Total Pendapatan Daerah dan Kabupaten Sukoharjo dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan masih sangat tergantung pada sumber keuangan yang berasal dari pemerintah pusat.
3.       Rasio Indeks Kemampuan Rutin
Indeks Kemampuan Rutin dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

IKR :

Keterangan :
IKR : Indeks Kemampuan Rutin
PAD : Pendapatan Asli Daerah

Hasil perhitungan rasio Indeks Kemampuan Rutin dapat dilihat dalam tabel IV.4 di bawah ini :
Tabel IV.4
Kontribusi PAD terhadap Pengeluaran Rutin Kabupaten Sukoharjo
Tahun Anggaran 2001-2005
Tahun Anggaran
PAD
(Rp)
Penegeluaran Rutin
(Rp)
%
Kemampuan Keuangan
2001
14.787.714.098
172.409.454.300
8,58%
Sangat kurang
2002
18.555.317.620
203.481.504.710
9,12%
Sangat kurang
2003
19.929.269.513
214.109.496.890
9,31%
Sangat kurang
2004
21.702.124.540
238.609.850.490
9,09%
Sangat kurang
2005
30.384.474.927
240.193.449.074
12,65%
Sangat kurang
Sumber: Data diolah

Rata-rata


9,75%
Sangat kurang
Berdasarkan tabel IV.4 terlihat bahwa Rasio Pendapatan Asli Daerah terhadap Pengeluaran Rutin Daerah Kabupaten Sukoharjo dari tahun ke tahun menunjukkan keadaan yang tidak stabil dan selalu berubah-rubah. Pada tahun 2001 dan 2002 rasio Indeks Kemapuan Rutin mencapai 8,58 % dan 9,12 %. Selanjutnya pada tahun 2003 mengalami kenaikan menjadi 9,31 % dan pada tahun 2004 menurun menjadi 9,09 %. Pada tahun 2005 rasio Indeks Kemampuan Rutin mengalami peningkatan yaitu menjadi sebesar 12,65  %.
Menurut uraian dan perhitungan pada tabel IV.4 dapat disimpulkan bahwa Rasio Indeks Kemampuan Rutin selama lima tahun pada pemerintahan Kabupaten Sukoharjo masih dalam skala yang sangat kurang, karena masih berada dalam skala interval antara 0,00-20,00 yaitu sebesar 9,75 % dan ini berarti bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD)
mempunyai kemampuan yang kurang untuk membiayai pengeluaran rutin, hal ini terjadi karena PAD Kabupaten Sukoharjo sangat kecil, dan selama ini lebih banyak tergantung pada sumber keuangan yang berasal dari pemerintah pusat.
4.       Rasio Keserasian
Rasio keserasian yang digunakan dalam analisis ini menggunakan rumus sebagai berikut :
Rasio Belanja Rutin :
Sumber: Data diolah


Rasio Belanja Pembangunan :
Hasil perhitungan analisis rasio keserasian dapat dilihat dalam IV.5 dibawah ini :
Tabel IV.5
Belanja Rutin, Pembangunan dan total APBD Kabupaten Sukoharjo
Tahun Anggaran 2001-2005
No
Tahun Anggaran
Total Belanja
(Rp)
Realisasi Belanja Rutin
Realisasi Belanja Pembangunan
Rasio Belanja Rutin
Rasio Belanja Pembangunan
Rp.
Perkembangan
Rp.
Perkembangan
1
2001
205.601.789.144
172.409.454.300
-
33.192.334.844
-
83,86%
16,14%
2
2002
239.662.082.558
203.481.504.710
18,02%
36.180.577.848
9,02%
84,90%
15,10%
3
2003
336.907.115.882
214.109.496.890
5,22%
64.889.597.394
79,35%
63,55%
19,26%
4
2004
328.493.367.602
238.609.850.490
11,44%
29.516.305.569
(54,51%)
72,64%
8,99%
5
2005
329.236.579.536
240.193.449.074
0,66%
31.152.651.535
5,54%
72,95%
9,46%
Sumber: Data diolah



Dari hasil perhitungan tabel IV.5 diatas, menunjukkan bahwa belanja rutin tahun 2001 sebesar Rp.172.409.454.300,- mengalami kenaikan menjadi Rp.203.481.504.710,- atau sebesar 18,02 % pada tahun 2002. Kemudian pada tahun 2003 dan 2004 belanja rutin naik menjadi Rp. 214.109.496.890,- dan Rp.238.609.850.490,- atau sebesar 5,22 % dan 11,44 %. Pada tahun 2005 kembali mengalami kenaikan menjadi Rp.240.193.449.074,- atau sebesar 0,66 %. Sedangkan untuk belanja pembangunan masih belum stabil dari tahun ke tahun. Pada tahun 2001 sebesar Rp.33.192.334.844,- naik ditahun 2002 menjadi Rp.36.180.577.848,- atau sebesar 9,02 %. Kemudian pada tahun 2003 mengalami kenaikan tajam menjadi Rp.64.889.597.394,-  atau sebesar 79,35 %. Selanjutnya pada tahun 2004 turun menjadi Rp.29.516.305.569,- atau sebesar (54,51 %) kemudian mengalami kenaikan pada tahun 2005 yaitu menjadi Rp.31.152.651.535,- atau sebesar 5,54 %.
Dari tabel diatas juga dapat dilihat rasio belanja rutin dan belanja pembangunan yang belum stabil. Pada tahun 2001 rasio belanja rutin dan rasio belanja pembangunan sebesar 83,86 % dan 16,14 %. Sedangkan pada tahun 2002 rasio belanja rutin naik menjadi 84,90 % dan rasio belanja pembangunan turun menjadi 15,10 %. Selanjutnya pada tahun 2003 rasio belanja rutin turun menjadi 63,55 % dan rasio belanja pembangunan mengalami kenaikan menjadi 19,26 %. Pada tahun 2004 rasio belanja rutin naik menjadi 72,64 % dan rasio belanja pembangunan turun menjadi 8,99%. Kemudian pada tahun 2005 rasio belanja rutin dan rasio belanja pembangunan naik menjadi 72,95 % dan 9,46 %.
Menurut uraian dan perhitungan diatas bahwa sebagian besar dana yang dimiliki pemerintah daerah masih diprioritaskan untuk kebutuhan belanja rutin sehingga rasio belanja pembangunan terhadap APBD relatif kecil. Ini dapat dibuktikan dari rasio belanja rutin yang selalu lebih besar dari rasio belanja pembangunan dan tingkat pertumbuhan belanja rutin jauh lebih besar dari pada tingkat pertumbuhan belanja pembangunan. Besarnya alokasi dana untuk belanja rutin terutama dikarenakan besarnya dinas-dinas otonomi dan belanja pegawai untuk gaji PNS. Dengan ini dapat menunjukkan pemerintah Kabupaten Sukoharjo yang lebih condong pada ekonomi kerakyatan belum memperhatikan pembangunan daerah, walaupun belanja pembangunan yang selalu naik meskipun relatif kecil. Hal ini dikarenakan belum ada patokan yang pasti untuk belanja pembangunan, sehingga pemerintah daerah masih berkonsentrasi pada pemenuhan belanja rutin yang mengakibatkan belanja pembangunan untuk pemerintah Kabupaten Sukoharjo kecil atau belum terpenuhi.
5.       Rasio Pertumbuhan
Rumus yang digunakan untuk menghitung Rasio pertumbuhan adalah sebagai berikut :
                r               :
                Keterangan :
                Pn           : Data yang dihitung pada tahun ke-n
                Po           : Data yang dihitung pada tahun ke-0
                r               : Pertumbuhan
Hasil perhitungan analisis rasio pertumbuhan dapat dilihat dalam tabel IV.6 dibawah ini :
                                                    Tabel IV.6
        Rasio pertumbuhan APBD Kabupaten Sukoharjo
                                    Tahun Anggaran 2001-2005

No
Keterangan
2001
2002
2003
2004
2005
1
2
3
4
5
6
7
Sumber: Data diolah

8
PAD
Pertumb PAD
Total Pendapatan
Pertumb. Pdpt
Biaya Rutin
Pertmbh. B. Rutin
B. Pembangunan
Pertmb. B. Pembang
14.787.714.098
211.957.612.729,31
172.409.454.300
33.192.334.844
18.555.317.620
25,48%
265.092.756.153,31
25,07%
203.481.504.710
18,02%
36.180.577.848
9,02%
19.929.269.513
7,40%
338.998.068.834
27,88%
214.109.496.890
5,22%
64.889.597.394
79,35%
21.702.124.540
8,90%
354.676.585.322
4,62%
238.609.850.490
11,44%
29.516.305.569
(54,51%)
30.384.474.927
40,0%
380.338.167.080
7,23%
240.193.449.074
0,66%
31.152.651.535
5,54%

Dari perhitungan Tabel IV.6 diatas dapat diketahui bahwa pertumbuhan pendapatan asli daerah tahun 2001 sebesar Rp.14.787.714.098,-  naik pada tahun 2002 menjadi Rp. 18.555.317.620,- atau sebesar 25,48 %. Lalu pada tahun 2003 dan 2004 pendapatan asli daerah mengalami kenaikan menjadi Rp.19.929.269.513,- dan Rp.21.702.124.540,- atau sebesar 7,40 % dan 8,90 %. Kemudian pada tahun 2005 pendapatan asli daerah mengalami kenaikan menjadi Rp.30.384.474.927,- atau sebesar 40,00 %. Kenaikan rasio pertumbuhan pendapatan asli daerah lebih banyak dipengaruhi kenaikan pemungutan pajak dan retribusi daerah. Begitu juga untuk pertumbuhan pandapatan, pada tahun 2001 mengalami kenaikan dari Rp.211.957.612.729,31,- menjadi Rp.265.092.756.153,31,- pada tahun 2002 atau sebesar 25,07 %. Pada tahun 2003 rasio pertumbuhan pada total pendapatan mengalami peningkatan pertumbuhan sebesar 27,88 % yaitu pada tahun 2002 Rp.265.092.756.153,31,- menjadi Rp.338.998.068.834,-. Selanjutnya pada tahun 2004 dan 2005 juga mengalami kenaikan menjadi Rp.354.676.585.322,- dan Rp.380.338.167.080 atau sebesar 4,62 % dan 7,23 %.
Pada rasio pertumbuhan belanja rutin mengalami kenaikan pada tahun 2001 sebesar Rp.172.409.454.300,- menjadi Rp.203.481.504.710,- pada tahun 2002 atau sebesar 18,02 %. Pada tahun 2003 dan 2004 belanja rutin kembali naik menjadi Rp.214.109.496.890,- dan Rp.238.609.850.490,- atau sebesar 5,22 % dan 11,44 %. Kemudian pada tahun 2005 juga mengalami kenaikan menjadi Rp.240.193.449.074,- atau sebesar 0,66 %.
Pada rasio perkembangan belanja pembangunan juga mengalami kenaikan dan penurunan. Pada tahun 2002 mengalami kenaikan yang semula Rp.33.192.334.844,- menjadi Rp.36.180.577.848,- atau sebesar 9,02 %. Selanjutnya pada tahun 2003 mengalami kenaikan menjadi Rp.64.889.597.394,- atau sebesar 79,35 %. Sedangkan pada tahun 2004 mengalami penurunan menjadi Rp.29.516.305.569,- atau (54,51 %). Dan pada tahun 2005 mengalami kenaikan menjadi Rp.31.152.651.535,- atau sebesar 5,54 %.
Menurut uraian dan perhitungan diatas kondisi pertumbuhan APBD Kabupaten Sukoharjo dapat disimpulkan bahwa APBD pada tahun anggaran 2001-2005 menunjukkan pertumbuhan rata-rata yang positif meskipun ada kecenderungan pertumbuhannya semakin berkurang. Hal ini dapat dilihat dari rasio belanja pembangunan tahun 2004.
BAB V
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan hasil analisis data dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.      Berdasarkan rasio kemandirian keuangan daerah yang ditunjukkan dengan angka rasio rata-ratanya adalah 7,88 % masih berada diantara 0 %-25 % tergolong mempunyai pola hubungan instruktif yang berarti kemampuan Pemerintah Kabupaten Sukoharjo dalam memenuhi kebutuhan dana untuk penyelenggaraan tugas-tugas Pemerintahan, Pembangunan, dan Pelayanan Sosial masyarakat masih relatif rendah meskipun dari tahun ke tahun terus meningkat. Sedangkan tingkat ketergantungan pada sumber pendapatan dari pihak ekstern yang masih cukup tinggi disebabkan karena sumber-sumber keuangan potensial negara adalah milik pemerintah pusat.
2.      Berdasarkan Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal, selama 5 (lima) tahun Derajat Desentralisasi Fiskal adalah sangat kurang karena hanya memiliki rata-rata  6,84 %, hal ini berarti bahwa tingkat kemandirian / kemampuan keuangan Kabupaten Sukoharjo masih rendah dalam melaksanakan otonominya.
3.      Berdasarkan kemampuan PAD untuk membiayai pengeluaran rutin daerah, yang sering disebut juga dengan IKR (Indeks Kemampuan Rutin) rata-rata hanya sebesar 9,75 %, ini artinya IKR di Kabupaten Sukoharjo sangat kurang karena masih berada dalam skala interval antara 0,00-20,00. Hal ini berarti PAD memiliki kemampuan yang sangat kurang untuk membiayai pengeluaran rutinnya dan pemerintah Kabupaten Sukoharjo masih tergantung pada sumber penerimaan keuangan dari pemerintah pusat.
4.      Berdasarkan rasio Keserasian, pengeluaran belanja rutin lebih besar dibandingkan dengan belanja pembangunan. Besarnya belanja rutin ini dikarenakan besarnya belanja pegawai.
5.      Berdasarkan Rasio Pertumbuhan, secara keseluruhan mengalami peningkatan disetiap tahunnya yang disebabkan bertambahnya penerimaan pajak dan retribusi daerah.

B.     Keterbatasan Penelitian
Dari hasil penelitian dan hasil analisis data serta kesimpulan. Keterbatasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.      Penelitian ini tidak dapat menganalisis keseluruhan unsur perkembangan APBD, sehingga tidak didapatkan hasil analisis yang lengkap dan menyeluruh.
2.      Penelitian ini hanya menggunakan lima model analisis rasio keuangan, sehingga tidak didapatkan hasil analisis yang lengkap dan menyeluruh.
3.      Penelitian ini hanya menganalisis APBD tahun anggaran 2001-2005 Kabupaten Sukoharjo saja.


C.    Saran
Berdasarkan hasil analisis data dan kesimpulan tentang kinerja keuangan Pemerintah kabupaten Sukoharjo, penulis mencoba mengajukan beberapa saran. Saran-saran tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana dinyatakan dalam UU Nomor 22 tahun 1999 Jo UU Nomor 32 tahun 2004, sangat diperlukan kemandirian keuangan daerah agar tingkat ketergantungan keuangan daerah kepada pemerintah pusat dapat dikurangi melalui intensifikasi Pendapatan Asli Daerah yang dilakukan oleh masing-masing daerah.
2.      Mengingat terbatasnya jumlah dan jenis sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah, maka diperlukan penyerahan beberapa sumber keuangan nasional yang potensial untuk dikelola dan dipungut sendiri oleh daerah dan menjadi penerimaan PAD.
3.      Penelitian ini hanya menganalisis beberapa komponen dalam perkembangan APBD, diharapkan untuk penelitian selanjutnya dapat menganalisis seluruh komponen yang terdapat dalam APBD sehingga akan lebih lengkap.
4.      Penelitian ini hanya menggunakan beberapa model analisis rasio keuangan, untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat menggunakan seluruh model analisis rasio keuangan sehingga hasil analisisnya lebih lengkap dan menyeluruh.
5.      Penelitian ini hanya dilakukan pada tahun anggaran 2001-2005 di Kabupaten Sukoharjo saja, diharapkan untuk penelitian selanjutnya obyek penelitiannya dilakukan dibeberapa kota sehingga terdapat perbandingan antara kota yang satu dengan kota yang lain.
DAFTAR ISI
                                                                                                                Halaman

HALAMAN JUDUL..............................................................................        i          
KATA PENGANTAR............................................................................        ii         
DAFTAR ISI..........................................................................................        iv
DAFTAR TABEL..................................................................................        vii       
DAFTAR LAMPIRAN..........................................................................        viii
ABSTRAKSI..........................................................................................        ix
BAB I.  PENDAHULUAN...................................................................        1
A.       Latar Belakang..................................................................        1
B.        Perumasan Masalah...........................................................        6
C.        Pembatasan Masalah..........................................................        6
D.       Tujuan Penelitian...............................................................        6
E.        Manfaat Penelitian.............................................................        7
F.         Sistematika Penulisan........................................................        7
BAB II  TINJAUAN PUSTAKA..........................................................        9
A.       Tinjauan Tentang Akutansi pemerintahan.........................        9
1.          Pengertian akutansi pemerintahan............................        9
2.          Tujuan Akutansi Pemerintahan.................................        10
3.          Karakteristi Akutansi Pemerintahan.........................        11
4.          Syarat Akutansi Pemerintahan..................................        11       
B.        OTONOMI DAERAH.....................................................        14
1.          Pengertian Otonomi Daerah.....................................        14
2.          Daerah Otonomi.......................................................        16
3.          Hakekat, Tujuan dan Prinsip Otonomi Daerah.........        16
C.        Tinjuan Keuangan Daerah.................................................        20
1.          Kemampuan Keuangan Daerah................................        20
2.          Pengelolaan Keuangan Daerah.................................        23
3.          Pengelolaan Pengeluaran Daerah..............................        27
D.       Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD)........        32       
E.        Analisis Rasio Anggaran Pendapatan Dan Belanja                   Daerah                        36       
F.         Tinjauan Penelitian Terdahulu...........................................        42
BAB III METODE PENELITIAN........................................................        43
A.       Jenis Penelitian..................................................................        43
B.        Obyek Penelitian...............................................................        43
C.        Data Dan Sumber Data.....................................................        43
D.       Metode Pengumpulan Data...............................................        44
E.        Metode Analisis Data........................................................        44
BAB IV ANALISA DATA DAN PERSEMBAHAN..........................        50
A.       Gambaran Umum Kabupaten Sukoharjo...........................        50
1.            Keadaan Geografis...................................................        50
2.            Luas Wilayah............................................................        50       
B.        Analisa...............................................................................        51
1.            Rasio Kemandirian keuangan Daerah.......................        51       
2.            Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal...........................        55       
3.            Rasio Indeks Kemampuan Rutin..............................        57
4.            Rasio Keserasian.......................................................        59
5.            Rasio Pertumbuhan...................................................        61
BAB  V PENUTUP................................................................................        65
A.            Kesimpulan......................................................................        65
B.            Keterbatasan Penelitian...................................................        66
C.            Saran-Saran.....................................................................        67
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN













DAFTAR TABEL
    Halaman


Tabel II.1         Pola Hubungan Dan Tingkat Kemampuan Daerah........        23
Tabel II.2         Skala Internal Derajad Desentralisasi Fiskal..................        39
Tabel II.3         Skala Interval Indeks Kemampuan Rutin......................        40       
Tabel III.1        Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal...................        46       
Tabel III.2        Skala Interval Indeks Kemampuan Rutin......................        47       
Tabel IV.1        Sumber Pendapatan Dari Pihak Ekstern.........................        52       
Tabel IV.2        Perhitungan Rasio Kemandirian Keuangan Daerah.......        52
Tabel IV.3        Kontribusi PAD terhadap TPD Kab Sukoharjo.............        56
Tabel IV.4       Kontribusi PAD Terhadap Pengeluaran Rutin Kab
                         Sukoharjo........................................................................        58       
Tabel V.5         Belanja Rutin, Belanja Pembangunan Dan Total APBD
                         Kab Sukoharjo................................................................        59
Tabel IV.6        Rasio Pertumbuhan APBD Kab Sukoharjo....................        62






DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1      Realisasi APBD  Sukoharjo Tahun Anggaran 2001 – 2005.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim. 2001. Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta: UPP YKPN.

Abdul Halim. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Jakarta : Salemba Empat. 
  
Anita  Wulandari.   2001.   Kemampuan   Keuangan   Daerah.   Jurnal  Kebijakan  dan Adminislrasi Publik Vol 5 No 2 November

Bahtiar  Arif,   Muchlis,   Iskandar.   2002.  Akuntansi Pemerintahan,   Jakarta  : Salemba Empat.

Biro Pusat Statistik. 2005. Sukoharjo Dalam Angka 2004. BPS  Sukoharjo.

Hadari Nawawi. 1991. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : UGM Press.

Helfert, Erich. 2000. Teknikanalisa Keuangan. Jakarta : Erlangga.

Kifliansyah.   2001. Analisa Realisasi Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah, Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta : UPP YKPN.

Kustadi Arinta. 1996. Pengantar Akuntansi Pemerintahan. Bandung : Citra Aditya Bakti.

Mohammad  Jimmi Ibrahiin. 1991. Prospek Otonomi Daerah. Semarang : Dahara Prize.

Mohammad Nazir. 2003. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Mudrajat Kuncoro. 1997. Kkonomi Pembangunan : Teori, masalah-masalah dan kebijakan. Yogyakarta : UPP YKPN.

Natahiddin.  2001. Potensi dana perimbangan pada pemerintahan daerali di Propinsi Jambi, Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta : UPP YKPN.

Nirzawan. 2001, Tinjauan umum terhadap sistem pengelolaan Keuangan Daerah di  Bengkulu Utara, Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta : UPP YKPN. v-

Nur Indriantoro, Bambang Supomo. 2002. Metode Penelitian Bisnis.  Yogyakarta: BPFE.
Revrisond Baswir. 2000. Akuntansi Pemerintahan Indonesia. Yogyakarta:  BPFE.

Slamet Munawir. 1995. Analisa Laporan Keuangan. Yogyakarta: Liberty.

Suparmoko. 2002. Ekonomi Publik. Yogyakarta: ANDI.

UU RI. 2004. Undang-UndangRipublikIndonesia Nomor 32 Tahun 2004  tentang Pemerintah Daerah.

UU RI. 2004. Undang-UndangRipublik Indonesia Nomor 3 3 Tahun 2004  tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah.

UU  RI. 2000. Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 Tentang   Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.

Widodo. 2001. Analisa Rasio Keuangan pada APBD  Boyolali, Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: UPP YKPN.

Yuliati. 2001. Analisis Kemampuan Keuangan Daerah dalam menghadapai Otonomi Daerah, Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: UPP YKPN.



”ANALISIS PERKEMBANGAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH DALAM MENDUKUNG PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN SUKOHARJO”









Disusun oleh :
Adhidian Fajar Sakti
B 200 040 345


FAKULTAS EKONOMI AKUNTANSI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2007
















0 komentar:

Post a Comment

 

Pengikut

Copyright © ZONA SKRIPSI All Rights Reserved • Design by Dzignine
best suvaudi suvinfiniti suv