”ANALISIS PERKEMBANGAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH DALAM MENDUKUNG
PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN SUKOHARJO”
Dalam
menjalankan Otonomi Daerah, Pemerintah Daerah dituntut untuk menjalankan roda
pemerintahan yang efektif, etlsien, dan mampu mendorong peran masyarakat dalam
meningkatkan pemerataan dan keadilan dengan mengembangkan seluruh potensi yang
dimiliki oleh masing-masing daerah. Keberhasilan Otonomi
Daerah tidak terlepas dari
kemampuan dalam bidang keuangan
Tujuan
dari Penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat perkembangan kemampuan
keuangan di Kabupaten
Sukoharjo dalam rangka mendukung
pelaksanaan otonomi daerah. Penelitian ini mengambil lokasi di Kabupaten Sukoharjo .
Sedangkan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data keuangan APBD di
Kabupaten Sukoharjo tahun anggaran 2001-2005. Adapun teknik pengumpulan data
adalah dengan dokumentasi dan yang dilakukan di BKD Kabupaten Sukoharjo
Dengan
melihat hasil analisis diatas, perkembangan keuangan di Kabupaten Sukoharjo
disektor Keuangan masih kurang. Untuk itu diperlukan upaya untuk peningkatan
PAD baik secara ekstensifikasi yaitu pemerintah daerah harus dapat
mengidentifikasi potensi daerah sehingga peluang-peluang baru untuk sumber
penerimaan daerah dapat dicari, sedangkan secara intensifikasi dengan
memeperbaiki kinerja pengelolaan pemungutan pajak.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Organisasi pemerintah merupakan salah satu bentuk
organisasi non profit yang bertujuan meningkatan pelayanan kepada masyarakat
umum yang dapat berupa peningkatan keamanan, peningkatan mutu pendidikan atau
peningkatan mutu kesehatan dan lain-lain. Selain itu organisasi non profit ini merupakan
organisasi yang orientasi utamanya bukan untuk mencari laba.
Apabila
dibandingkan dengan organisasi lain, organisasi pemerintah memiliki
karakteristik tersendiri yang lebih terkesan sebagai lembaga politik daripada
lembaga ekonomi. Akan tetapi, sebagaimana bentuk-bentuk kelembagaan lainnya,
lembaga / organisasi pemerintah juga memiliki aspek sebagai lembaga ekonomi.
Lembaga pemerintahan melakukan berbagai bentuk pengeluaran guna membiayai
kegiatan-kegiatan yang dilakukan di satu sisi, dan di sisi lain lembaga ini
harus melakukan berbagai upaya untuk memperoleh penghasilan guna menutupi seluruh
biaya tersebut.
Dalam
melaksanakan aktivitas ekonominya, organisasi atau lembaga pemerintah
membutuhkan jasa akuntansi untuk pengawasan dan menghasilkan informasi keuangan
yang akan digunakan untuk pengambilan keputusan-keputusan ekonominya. Akan tetapi,
karena sifat lembaga pemerintahan berbeda dari sifat perusahaan yang bertujuan
mencari laba, maka sifat akuntansi pemerintahan berbeda dari sifat akuntansi
perusahaan. Dengan adanya akuntansi pemerintahan maka pemerintah harus
mempunyai rencana yang matang untuk suatu tujuan yang dicita-citakan sesuai
dengan penerapan akuntansi pemerintahan di Indonesia.
Dengan
ditetapkannya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 jo Undang-Undang No. 32 tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah serta
Undang-Undang No. 25 tahun 1999 jo Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara pusat dan daerah akan dapat memberikan kewenangan atau otonomi
yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah secara secara
proporsional. Hal ini diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan
sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan daerah dan pusat secara
demokratis, peran serta masyarakat, pemerataan keadilan, serta memperhatikan
potensi dan keragaman daerah, terutama kepada Pemerintah Kabupaten dan
Pemerintah Kota. Tujuan pemberian keuangan dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah
adalah guna meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan sosial.
Menurut
Undang-Undang No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 5. Otonomi Daerah adalah hak,
wewenang dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berkaitan
dengan hal tersebut peranan pemerintah daerah sangat menentukan berhasil
tidaknya menciptakan kemandirian yang selalu didambakan Pemerintah Daerah.
Terlepas dari perdebatan mengenai ketidaksiapan daerah di berbagai bidang untuk
melaksanakan kedua Undang-Undang tersebut, otonomi daerah diyakini merupakan
jalan terbaik dalam rangka mendorong pembangunan daerah. Menggantikan system
pembangunan terpusat yang oleh beberapa pihak dianggap sebagai penyebab
lambannya pembangunannya di daerah dan semakin besarnya ketimpangan antar
daerah.
Di dalam
pelaksanaan Otonomi Daerah terdapat empat elemen penting yang diserahkan
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Ke empat elemen tersebut menurut
Cheema dan Rondinelli (dalam Anita Wulandari, 2001:17), adalah Desentralisasi
Politik , Desentralisasi Fiskal, Desentralisasi Administrasi dan Desentralisasi
Ekonomi. Keempat elemen tersebut menjadi kewajiban daerah untuk mengelola
secara efisien dan efektif. Sehingga dengan demikian akan terjadi kemampuan /
kemandirian suatu daerah untuk melaksanakan fungsinya dengan dengan baik. Salah satu elemen yang diserahkan
pemerintah pusat kepada pemerintah deerah adalah desentralisasi fiskal.
Desentralisasi fiskal yang merupakan komponen utama dari desentralisasi
pelaksanaan otonomi daerah dan menandai dimulainya babak baru dalam pembangunan
daerah serta masyarakatnya dalam mengelola sumber daya / segenap potensi yang
dimiliki untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemajuan daerah.
Dengan
adanya otonomi daerah, kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah akan
semakin besar sehingga tanggung jawab yang diembannya akan bertambah banyak.
Implikasi dari adanya kewenangan urusan pemerintahan yang begitu luas yang
diberikan kepada daerah dalam rangka otonomi daerah dapat menjadi suatu berkah
bagi daerah. Namun disisi lain bertambahnya kewenangan daerah tersebut juga
merupakan beban yang menuntut kesiapan daerah untuk pelaksanaannya, karena
semakin besar urusan pemerintah yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.
Oleh karena itu ada beberapa aspek yang harus dipersiapkan antara lain sumber
daya manusia, sumber daya keuangan, sarana dan pra sarana daerah. Aspek
keuangan merupakan salah satu dasar kriteria untuk dapat mengetahui secara
nyata kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri. Kemampuan daerah
yang dimaksud adalah sampai sejauh mana daerah dapat menggali sumber-sumber
keuangan sendiri guna membiayai kebutuhan keuangan daerah tanpa harus
menggantungkan diri pada bantuan dan subsidi dari pemerintah pusat.
Kemampuan
pemerintah daerah dalam mengelola keuangan tercermin dalam Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah (APBD) yang menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam
membiayai kegiatan pelaksanaan tugas pembangunan, serta pemerataan dan keadilan
dengan mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah.
Salah satu
ciri utama daerah mampu dalam melaksanakan otonomi daerah menurut Yuliati
(2001:22), adalah terletak pada kemampuan keuangan daerah untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan daerahnya dengan tingkat ketergantungan kepada
pemerintah pusat mempunyai proporsi yang semakin mengecil dan diharapkan bahwa
PAD harus menjadi bagian terbesar dalam memobilisasi dana penyelenggaraan
pemerintah daerah. Pendapatan Asli Daerah merupakan salah satu faktor yang
penting dalam pelaksanaan roda pemerintahan suatu daerah yang berdasar pada
prinsip otonomi yang nyata, luas dan bertanggung jawab. Peranan Pendapatan Asli
Daerah dalam keuangan daerah menjadi
salah satu tolak ukur penting dalam pelaksanaan otonomi daerah, dalam arti
semakin besar suatu daerah memperoleh dan menghimpun PAD maka akan semakin besar
pula tersedianya jumlah keuangan daerah yang dapat digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan Otonomi Daerah.
Anita
Wulandari (2001), melakukan penelitian tentang kemampuan keuangan daerah di
kota Jambi dalam pelaksanaan Otonomi Daerah. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, kota Jambi dihadapkan pada kendala
rendahnya kemampuan keuangan daerah, yang dilihat dari rendahnya kontribusi
Pendapatan Asli Daerah.
Widodo
(2001), melakukan penelitian tentang Analisis Rasio Keuangan APBD Kabupaten
Boyolali. Hasilnya menunjukkan bahwa kemandirian pemerintah daerah Boyolali
dalam memenuhi kebutuhan dana untuk penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan,
pembangunan dan pelayanan sosial kemasyarakatan masih relatif rendah dan cenderung
menurun.
Dengan
mengacu pada penelitian sebelumnya, tentu saja disesuaikan dengan kemampuan
pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, penulis ingin mereplikasi dan
mengembangkan penelitian-penelitian tersebut. Akan tetapi terdapat beberapa
perbedaan, antara lain:
1. Periode penelitian. Penelitian ini
dilakukan pada periode tahun 2001-2005, sedangkan penelitian sebelumnya pada
periode sebelum tahun 2002.
2. Daerah penelitian. Penelitian ini
mengambil daerah penelitian di Kabupaten Sukoharjo, sedangkan peneliti
terdahulu mengambil daerah penelitian di kota Jambi, Boyolali, dan Sragen.
Berdasarkan
uraian sebelumnya, penulis tertarik unuk melakukan penelitian dalam bentuk
skripsi dengan judul :
”ANALISIS
PERKEMBANGAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH DALAM MENDUKUNG PELAKSANAAN OTONOMI
DAERAH DI KABUPATEN SUKOHARJO”
B.
Perumusan
Masalah
Perumusan
masalah yang akan dibahas dalam penilitian ini adalah: ”Apakah tedapat
perkembangan kemampuan keuangan daerah di kabupaten Sukoharjo dalam rangka
mendukung pelaksanaan otonomi daerah?”
C.
Pembatasan
Masalah
Pembatasan
masalah dalam penelitian ini lebih terfokus pada perkembangan APBD di Kabupaten
Sukoharjo tahun anggaran 2001-2005.
D.
Tujuan Penelitian
Berdasar
latar belakang masalah tersebut diatas, maka tujuan dari penelitian adalah untuk
mengetahui tingkat perkembangan kemampuan keuangan di Kabupaten Sukoharjo dalam
rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat
yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:
1. Menjadi bahan masukan bagi perencanaan
pembangunan dan pengambilan keputusan pembangunan dalam rangka meningkatkan
pelaksanaan otonomi daerah.
2. Dapat dijadikan acuan atau referansi untuk
penelitian berikutnya.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika
penulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran penelitian yang lebih jelas
dan sistematis agar mempermudah bagi pembaca dalam memahami penulisan
penelitian ini. Dari masing-masing bab secara garis besar dapat diuaraikan
sebagai berikut
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini akan diuaraikan
tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan skripsi.
BAB II TINJAUAN
PUSTAKA
Pada bab ini berisi pembahasan
tentang akuntansi pemerintahan, otonomi daerah, tinjauan keuangan daerah,
anggaran pendapatan belanja daerah (APBD), analisis rasio APBD dan tinjauan
penelitian terdahulu.
BAB III METODE
PENELITIAN
Pada bab ini berisi tentang
jenis penelitian, obyek penelitian, data dan sumber data, serta metode analisis
data.
BAB IV ANALISIS
DATA DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini membahas tentang
gambaran umum Kabupaten Sukoharjo, baik kondisi geografis maupun segi ekonomi
dan hasil analitis data serta pembahasannya.
BAB V PENUTUP
Pada bab ini berisi tentang
kesimpulan hasil analisis data dan pembahasan serta saran-saran yang dapat
diberikan kepada pemerintah kabupaten Sukoharjo.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang
Akuntansi Pemerintahan
1. Pengertian Akuntansi
Pemerintahan
Pada hakekatnya akuntansi
pemerintahan adalah aplikasi akuntansi di bidang keuangan Negara (public finance), khususnya pada tahapan pelaksanaan
anggaran (budget execution), termasuk segala pengaruh yang ditimbulkannya, baik
yang bersifat seketika maupun yang lebih permanen pada semua tingkatan dan unit
pemerintahan. (Kustadi
Arinta )
Menurut
Revrisond Baswir (2000:7), Akuntansi Pemerintahan (termasuk akuntansi untuk
lembaga non profit pada umumnya) merupakan bidang akuntansi yang berkaitan
dengan lembaga pemerintahan dan lembaga-lembaga yang bertujuan untuk tidak
mencari laba. Walaupun lembaga pemerintah senantiasa berukuran besar, namun
sebagaimana dalam perusahaan ia tergolong sebagai lembaga mikro.
Bachtiar
Arif dkk (2002:3) mendefinisikan akuntansi pemerintahan sebagai suatu aktivitas
pemberian jasa untuk menyediakan informasi keuangan pemerintah berdasarkan
proses pencatatan, pengklaifikasian, pengikhtisaran suatu transaksi keuangan
pemerintah serta penafsiran atas informasi keuangan tersebut.
Sedangkan
menurut Abdul Halim (2002:143) menyebutkan bahwa Akuntansi Pemerintahan adalah
sebuah kegiatan jasa dalam rangka menyediakan informasi kuantitatif terutama
yang bersifat keuangan dari entitas pemerintah guna pengambilan keputusan
ekonomi yang nalar dari pihak-pihak yang berkepentingan atas berbagai
alternatif arah tindakan.
2.
Tujuan Akuntansi Pemerintahan
Menurut
Bachtiar arif, Muchlis, Iskandar dalam Akuntansi Pemerintahan, tujuan akuntansi
pemerintahan dan akuntansi bisnis pada umumnya adalah sama yaitu :
a. Akuntabilitas
b.
Manajerial
Akuntansi pemerintahan memungkinkan pemerintah untuk
melakukan perencanaan berupa penyusunan APBN dan strategi pembangunan lain,
untuk melakukan pelaksanaan kegiatan pembangunan dan pengendalian atas kegiatan
tersebut dalam rangka pencapaian ketaatan kepada peraturan perundang-undangan,
efisiensi, efektivitas, dan ekonomis.
c.
Pengawasan
Pemeriksaan
keuangan di Indonesia terdiri dari
pemeriksaan keuangan secara umum, pemeriksaan ketaatan , dan pemeriksaan
operasional atau manajerial.
3.
Karakteristik Akuntansi Pemerintahan
Akuntansi
Pemerintahan memiliki karakteristik tersendiri jika dibandingkan dengan akuntansi bisnis. Berdasarkan tujuan pemerintah
diatas, Bachtiar Arif, Muclis, Iskandar (2002:7) menyebutkan beberapa
karaktristik akuntansi pemerintahan yaitu sebagai berikut:
a.
Pemerintah tidak berorientasi pada laba sehingga dalam
akuntansi pemerintah tidak ada laporan laba (income statement) dan treatment
akuntansi yang berkaitan dengannya.
b.
Pemerintah membukukan anggaran ketika anggaran tersebut
dibukukan.
c.
Dalam akuntansi pemerintahan dimungkinkan mempergunakan
lebih dari satu jenis dana.
d.
Akuntansi pemerintahan akan membukukan pengeluaran modal.
e.
Akuntansi pemerintahanan bersifat kaku karena sangat
bergantung pada peraturan perundang-undangan.
f.
Akuntansi pemerintahan tidak mengenal perkiraan modal dan
laba yang ditahan dalam neraca.
4.
Syarat Akuntansi Pemerintahan
Beberapa syarat yang harus dipenuhi
oleh pemerintahan sesuai dengan karakteristik dan betujuan untuk memenuhi
akuntabilitas keuangan negara yang memadai. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
mengeluarkan suatu pedoman untuk akuntansi pemerintahan (A Manual Governmental
Accounting) yang dapat diringkas sebagai berikut (dalam Bahctiar Arif
dkk, 2002:9):
a.
Dapat memenuhi persyaratan UUD, UU, dan Peraturan lain.
Akuntansi pemerintahan dirancang
untuk persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh UUD, UU, dan Peraturan lain. Apabila terdapat dua
pilihan yaitu untuk kepentingan efisiensi dan ekonomis di satu sisi, sedangkan
disisi lain hal tersebut bertentangan dengan UUD, UU atau Peraturan lainnya,
maka akuntansi tersebut harus disesuaikan dengan UUD, UU dan Peraturan lainnya.
b.
Dikaitkan dengan klasifikasi anggaran
Sistem Akuntansi Pemerintah harus
dikembangkan sesuai dengan klasifikasi anggaran yang telah disetujui pemerintah
dan lembaga legislatif. Fungsi anggaran dan akuntansi harus saling melengkapi
di dalam pengelolaan keuangan negara serta harus diintegrasikan.
c.
Perkiraan-perkiraan yang harus diselenggarakan
Sistem Akuntansi Pemerintah harus
mengembangkan perkiraan-perkiraan untuk mencatat transaksi uang terjadi.
Perkiraan-perkiraan yang dibuat harus dapat menunjukkan akuntabilitas keuangan
negara yang andal dari sisi obyek dan tujuan pengguanaan dana serta pejabat
atau organisasi yang mengelolanya.
d.
Memudahkan pemeriksaan oleh aparatur negara
Sistem akuntansi pemerintah yang
dikembangkan harus memungkinkan aparat pemeriksaan untuk melakukan tugasnya.
e.
Sistem akuntansi harus terus dikembangkan
Dengan adanya perubahan
lingkungan dan sifat transaksi, sistem akuntansi pemerintahan harus terus
disesuaikan dan dikembangkan sehingga
tercapai efisiensi, efektivitas dan relevansi.
f.
Perkiraan-perkiraan yang harus dikembangkan secara
efektif
Sistem akuntansi pemerintahan
harus mengembangkan perkiraan-perkiraan secara efektif sehubungan dengan sifat
dan perubahan lingkungan sehingga dapat mengungkapkan hasil ekonomi dan
keuangan dari pelaksanaan suatu program.
g.
Sistem harus dapat melayani kebutuhan dasar informasi
keuangan guna pengembangan rencana dan program.
Sistem akuntansi pemerintahan
harus dikembangkan untuk para pengguna informasi keuangan, yaitu pemerintah,
rakyat (lembaga legislatif), lembaga dodnor, Bank Dunia, dan lain sebagainya.
h.
Pengadaan suatu perkiraan
Perkiraan-perkiraan yang dibuat
harus memungkinkan analisis ekonomi atas data keuangan dan mereklasifikasi
transaksi-transaksi pemerintah baik pusat maupun daerah dalam rangka
pengembangan perkiraan-perkiraan nasional.
B. Otonomi Daerah
1.
Pengertian Otonomi Daerah
Dalam
Undang-Undang No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 5, pengertian otonomi derah adalah
hak ,wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Sedangkan menurut Suparmoko (2002:61) mengartikan otonomi
daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Sesuai
dengan penjelasan Undang-Undang No. 32 tahun 2004, bahwa pemberian kewenangan otonomi
daerah dan kabupaten / kota didasarkan kepada desentralisasi dalam wujud
otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.
a.
Kewenangan Otonomi Luas
Yang
dimaksud dengan kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk
menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup semua bidang pemerintahan kecuali
bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal
agama serta kewenangan dibidang lainnya ditetapkan dengan peraturan
perundang-undangan. Disamping itu keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan
yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan mulai dalam perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, pengendalian dan evaluasi.
b. Otonomi Nyata
Otonomi nyata adalah
keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan
diperlukan serta tumbuh hidup dan berkembang di daerah.
c.
Otonomi
Yang Bertanggung Jawab
Otonomi yang bertanggung
jawab adalah berupa perwujudan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi
pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam mencapai tujuan pemberian
otonomi berupa peningkatan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik,
pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan
hubungan yang sehat antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka
menjaga Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan UU No. 32 tahun
2004 pasal 1 ayat 7, 8, 9 tentang Pemerintah Daerah, ada 3 dasar sistem
hubungan antara pusat dan daerah yaitu :
1)
Desentralisasi
yaitu penyerahan wewenang pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus urusan pemerintah dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia .
2)
Dekonsentrasi
adalah pelimpahan wewenang pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah
dan atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu
3)
Tugas
perbantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan atau desa atau
sebutan lain dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggung jawabkan
pelaksanaannya kepada yang menugaskan.
2.
Daerah Otonom
Dalam Undang-Undang No. 32
tahun 2004 pasl 1 ayat 6 menyebutkan bahwa daerah otonomi selanjutnya disebut
daerah adalah kesatuan masyarakat yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara kesatuan Republik
Indonesia.
Menurut
Profesor Oppenhein (dalam Mohammad Jimmi Ibrahim, 1991:50) bahwa daerah otonom
adalah bagian organis daripada negara, maka daerah otonom mempunyai kehidupan
sendiri yang bersifat mandiri dengan kata lain tetap terikat dengan negara
kesatuan. Daerah otonom ini merupakan masyarakat hukum yaitu berhak mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri.
3.
Hakekat, Tujuan dan Prinsip Otonomi Daerah
a.
Hakekat Otonomi Daerah
Pelaksanaan
otonomi daerah pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan sesuai dengan
kehendak dan kepentingan masyarakat. Berkaiatan dengan hakekat otonomi daerah
tersebut yang berkenaan dengan pelimpahan wewenang pengambilan keputusan
kebijakan, pengelolaan dana publik dan pengaturan kegiatan dalam
penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan masyarakat maka peranan data keuangan
daerah sangat dibututuhkan untuk mengidentifikasi sumber-sumber pembiayaan
daerah serta jenis dan besar belanja yang harus dikeluarkan agar perencanaan
keuangan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Data keuangan daerah
yang memberikan gambaran statistik perkembangan anggaran dan realisasi, baik
penerimaan maupun pengeluaran dan analisa terhadapnya merupakan informasi yang
penting terutama untuk membuat kebijakan dalam pengelolaan keuangan daerah
untuk meliahat kemampuan/ kemandirian daerah (Yuliati, 2001:22)
b.
Tujuan Otonomi Daerah
Menurut
Mardiasmo (Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah) adalah: Untuk meningkatkan
pelayanan publik (public service) dam memajukan perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung tiga misi utama
pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu:
a.
Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan
kesejahteraan masyarakat.
b.
Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber
daya daerah.
c.
Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat
(publik) untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.
Selanjutnya
tujuan otonomi daerah menurut penjelasan Undang-undang No 32 tahun 2004 pada
dasarnya adalah sama yaitu otonomi daerah diarahkan untuk memacu pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menggalakkan
prakarsa dan peran serta aktif masyarakat secara nyata, dinamis, dan
bertanggung jawab sehingga memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, mengurangi
beban pemerintah pusat dan campur tangan di daerah yang akan memberikan peluang
untuk koordinasi tingkat lokal.
c.
Prinsip Otonomi Daerah
Menurut penjelasan Undang-Undang No. 32 tahun 2004,
prinsip penyelenggaraan otonomi daerah adalah :
1)
penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan aspek
demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keaneka ragaman daerah.
2)
Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas,
nyata dan bertanggung jawab.
3)
pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan
pada daerah dan daerah kota, sedangkan otonomi provinsi adalah otonomi yang
terbatas.
4)
Pelaksanaan otonomi harus sesuai dengan konstitusi negara
sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.
5)
Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan
kemandirian daerah kabupaten dan derah kota tidak lagi wilayah administrasi.
Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah.
6)
Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan
peranan dan fungsi badan legislatif daerah baik sebagai fungsi legislatif,
fungsi pengawasan, mempunyai fungsi anggaran atas penyelenggaraan otonomi
daerah.
7)
Pelaksanaan dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi
dalam kedudukan sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan
pemerintah tertentu dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah.
8)
Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan tidak
hanya di pemerintah daerah dan daerah kepada desa yang disertai pembiayaan,
sarana dan pra sarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan
pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskan.
C.
Tinjauan Keuangan Daerah
1.
Kemampuan Keuangan Daerah
Kriteria
penting yang lain untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur
dan mengurus rumah tangganya adalah kemampuan daerah dalam bidang keuangan.
Dengan perkataan lain, faktor keuangan merupakan faktor yang penting dalam
mengatur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah.
Dalam
Peraturan Pemerintah No. 105 tahun 2000, menyebutkan bahwa keuangan daerah
adalah semua hak dan kewjiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah
daerah yang dapat dinilai dengan uang temasuk didalamnya segala bentuk kekayaan
lain yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut dalam kerangka
APBD.
Sehubungan
dengan pentingnya posisi keuangan tersebut, keuangan daerah sebagai salah satu
indikator untuk mengetahui kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri. Dengan dikeluarkannya undang-undang tentang Otonomi Daerah,
membawa konsekuensi bagi daerah yang akan menimbulkan perbedaan antar daerah
yang satu dengan yang lainnya, terutama dalam hal kemampuan keuangan daerah,
antara lain (Nataluddin, 2001:167):
a.
Daerah yang mampu melaksanakan otonomi daerah.
b.
Daerah yang mendekati mampu melaksanakan otonomi daerah.
c.
Daerah yang sedikit mampu melaksanakan otonomi daerah dan
d.
Daerah yang kurang mampu melaksanakan urusan otonomi
daerah
Selain itu
ciri utama yang menunjukkan suatu daerah mampu melaksanakan otonomi daerah
adalah sebagai berikut (Nataluddin, 2001:167):
a.
Kemampuan keuangan daerah, artinya daerah harus memiliki
kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan
menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahannya.
b.
Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal
mungkin agar Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi bagian sumber keuangan
terbesar, yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah,
sehingga peranan pemerintah daerah menjadi lebih besar.
Berkaitan
dengan hakekat otonomi daerah yaitu berkaitan dengan pelimpahan wewenang
pengambilan keputusan kebijakan, pengelolaan dana publik dan pengaturan
kegiatan dalam penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan masyarakat, maka
peranan data keuangan daerah sangat dibutuhkan untuk mengidentifikasi
sumber-sumber pembiayaan daerah serta jenis dan besar balanja yang harus
dikeluarkan agar perencanaan keuangan dapat dilaksanakan secara efektif dan
efisien. Data keuangan daerah yang memberikan gambaran statistik perkembangan
anggaran dan realisasi, baik penerimaan maupun pengeluaran dan analisa
terhadapnya merupakan informasi yang penting terutama untuk membuat kebijakan
dalam pengelolaan keuangan daerah untuk melihat kemampuan / kemandirian daerah
(Yuliati, 2001:22)
Secara konseptual, pola hubungan antara
pemerintah pusat dan daerah harus dilakukan sesuai dengan kemampuan keuangan
daerah dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan, walaupun
pengukuran kemampuan keuangan daerah ini akan menimbulkan perbedaan. Paul
Hersey dan Kenneth Blanchard memperkenalkan “Hubungan Situasional” dalam
pelaksanaan otonomi daerah (dalam Nataluddin, 2001:168-169) :
a.
Pola Hubungan Instruktif, peranan pemerintah puasat lebih
dominan dari pada kemandirian pemerintah daerah (daerah yang tidak mampu
melaksanakan otonomi daerah)
b.
Pola Hubungan Konsultif, campur tangan pemerintah pusat
sudah mulai berkurang, karena daerah dianggap sedikit lebih mampu melaksanakan
otonomi.
c.
Pola Hubungan Partisipatif, peranan pemerintah pusat
semakin berkurang, mengingat daerah yang bersangkutan tingkat kemandiriannya
mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi.
d.
Pola Hubungan Delegatif, campur tangan pemerintah pusat
sudah tidak ada karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam
melaksanakan urusan otonomi daerah.
Bertolak
dari teori tersebut, karena adanya potensi sumber daya alam dan sumber daya
manusia yang berbeda, akan terjadi pula perbedaan pola hubungan dan tingkat
kemandirian antar daerah. Sebagai pedoman dalam melihat pola hubungan dengan
kemampuan daerah (dari sisi keuangan) dapat dikemukakan tabel sebagai berikut :
Tabel II.I
Pola Hubungan Tingkat
Kemampuan Daerah
Kemandirian (%)
|
Pola hubungan
|
|
Rendah sekali
Rendah
Sedang
Tinggi
|
0%-25%
25%-50%
50%-75%
75%-100%
|
Instruktif
Konsultatif
Partisipatif
Delegatif
|
Sumber
: Abdul Halim (2002:169)
2.
Pengelolaan Penerimaan Daerah
Menurut UU
No. 32 tahun 2004 pasal 157 dan UU No. 33 tahun 2004 pasal 6, serta PP No. 105
tahun 2000 dan PP No 64 tahun 2000, sumber-sumber penerimaan dapat diperinci
sebagai berikut:
a.
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Sumber-sumber
Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber keuangan yang digali dari dalam wilayah
yang bersangkutan. Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah terdiri dari :
1)
Pajak Daerah, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 65
tahun 2001 tentang pajak daerah, yang dimaksud dengan pajak daerah yang
selanjutnya disebut dengan pajak adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang
pribadi atau badan kepala daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang
dapat dilaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan
daerah.
2)
Retribusi Daerah, menurut Peraturan Pemerintah No. 66
tahun 2001 tentang retribusi daerah, yang dimaksud dengan retribisi daerah
adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atau jasa atau pemberian ijin
tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk
kepentingan orang pribadi atau badan.
3)
Hasil Perusahaan Milik Daerah, merupakan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan. Jenis penerimaan yang termasuk hasil pengelolaan kekayaan daerah
lainnya yang dipisahkan antara lain bagian laba, deviden dan penjualan saham
milik daerah.
4)
Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah, antara lain
hasil penjualan asset negara dan jasa giro.
b.
Dana Perimbangan
Dana
perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah (APBD) yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan
daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan tersebut
saling mengisisi dan melengkapi. Adapun pos-pos dana perimbangan tersebut terdiri
dari :
1)
Bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan,
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dan penerimaan dari Sumber Daya Alam
seperti : kehutanan, perikanan, pertambangan, minyak dan gas.
2)
Dana
Alokasi Umum
Dana
Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan
dengan tujuan pemerataan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. (UU No. 33 pasal 1 ayat 2)
3)
Dana
Alokasi Khusus
Langkah-langkah yang dapat
dilaksanakan agar pendapatan daerah dapat ditingkatkan antara lain sebagai
berikut (dalam Nirzawan, 2001:75):
a. Intensifikasi, dilaksanakan antara lain
dengan cara sebagai berikut :
1) Melaksanakan tertib penetapan pajak yang
harus dibayar oleh wajib pajak, tertib dalam pemungutan kepada wajib pajak,
tertib dalam administrasi serta tertib dalam administrasi serta tertib dalam
penyetoran.
2) Melaksanakan secara optimal pemungutan
pajak dan retribusi daerah sesuai dengan potensi yang obyektif berdasarkan peraturan
yang berlaku.
3) Melakukan pengawasan dan pengendalian
secara sistematis dan kontinyu (berkelanjutan) untuk mengantisipasi terjadinya
penyimpangan dalam pelaksanaan pemungutan di lapangan oleh petugas.
4) Membentuk tim satuan tugas (satgas) pada dinas terkait yng bertugas mengawasi pemungutan di
lapangan oleh petugas.
5) Memberikan insentif (rangsangan)secara
khusus kepada aparat pengelola PAD yang dapat melampui penerimaan dari target
yang telah ditetapkan.
6) Mengadakan pendekatan persuasif kepada
wajib pajak agar memenuhi kewajibannya melalui kegiatan penyuluhan.
7) Melakukan langkah-langkah pengendalian lain
guna menghindari timbulnya penyimpangan terhadap pelaksanaan peraturan daerah
mengenai pengelolaan maupun penetapan pajak dan retribusi daerah.
b. Ekstensifikasi, dilaksanakan dengan cara antara lain sebagai berikut:
1) Menyusun program kebijakan dan strategi
pengembangan dan menggali obyek pungutan baru yang potensial dengan lebih
memprioritaskan kepada retribusi daerah untuk ditetapkan dan dijabarkan dalam
peraturan daerah.
2) Meninjau kembali ketentuan tarif dan
pengembangan sasaran sesuai dengan peraturan daerah yang ada dan mengkaji ulang
peraturan daerah untuk diajukan perubahan.
3) Mengadakan studi banding ke daerah lain
guna mendapat informasi terhadap jenis-jenis penerimaan pajak dan retribusi
lain yang memungkinkan untuk dikembangkan.
3. Pengelolaan Pengeluaran Daerah
Dalam Peraturan pemerintah
No. 105 tahun 2000, menyebutkan bahwa Pengeluaran Daerah adalah semua
pengeluaran kas daerah periode tahun anggaran yang bersangkutan yang meliputi
belanja rutin (operasional), belanja pembangunan (belanja modal) serta
pengeluaran tidak disangka.
a. Belanja Rutin
Belanja rutin adalah
pengeluaran yang manfaatnya hanya untuk satu tahun anggaran dan menambah asset
/ kekayaan bagi daerah. Belanja rutin terdiri dari :
1) Belanja administrasi dan umum :
· Belanja pegawai
· Belanja barang
· Belanja perjalanan dinas
· Belanja pemeliharaan
2) Belanja operasi dan pemeliharaan sarana dan
prasarana
b. Belanja Investivasi / Pembangunan
Belanja investasi adalah
pengeluaran yang manfaatnya cenderung melebihi satu tahun anggaran dan akan
menambah asset / kekayaan daerah, dan selanjutnya akan menambah anggaran rutin
untuk biaya rutin untuk biaya operasional dan pemeliharaannya. Belanja
investasi terdiri dari :
1)
Belanja publik. Belanja yang
manfaatnya dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat. Belanja publik
merupakan belanja modal (capital expenditure) yang berupa investasi fisik
(pembangunan infrastruktur) yang mempunyai nilai ekonomis lebih dari satu tahun
dan mengakibatkan terjadinya penambahan asset daerah.
2)
Balanja aparatur adalah belanja yang manfaatnya tidak
secara langsung dinikmati oleh masyarakat, tetapi dirasakan secara langsung
oleh aparatur. Belanja aparatur menyebabkan terjadinya penambahan aktiva tetap
dan aktiva tidak lancar lainnya. Belanja aparatur diperkirakan akan memberikan
manfaat pada periode berjalan dan periode yang akan datang.
3)
Pengeluaran transfer adalah pengalihan uang dari
pemerintah daerah dengan kriteria :
· Tidak menerima secara
langsung imbalan barang dan jasa seperti layaknya terjadi transaksi pembelian
dan penjualan.
· Tidak mengharapkan
dibayar kembali dimasa yang akan datang, seperti yang diharapkan pada suatu
pinjaman.
· Tidak mengharapkan adanya
hasil pendapatan, seperti layaknya yang diharapkan pada suatu investasi.
Pengeluaran transfer ini terdiri dari atas : angsuran
pinjaman, dana bantuan dana cadangan.
c.
Pengeluaran Tidak
Tersangka
Pengeluaran
tidak tersangka adalah yang disediakan untuk pembiayaan :
1)
Kejadian-kejadian luar biasa seperti bencana alam,
kejadian yang dapat membahayakan daerah.
2)
Tagihan tahun lalu yang belum diselesaikan dan atau tidak
tersedia anggarannya pada tahun yang bersangkutan.
3)
Pengambilan penerimaan yang bukan haknya atau penerimaan
yang dibebaskan (dibatalkan) dan atau kelebihan penerimaan.
Pengeluaran
daerah tersebut harus dikelola dengan memperhatikan beberapa prinsip yang harus
dipertimbangkan antara lain (Nirzawan,2001:77):
a. Akuntabilitas
Akuntabilitas pengeluaran daerah adalah kewajiban pemerinta daerah
untuk memberikan pertanggung jawaban, menyajikan dan melaporkan segala
aktivitas dan kegiatan yang terkait dengan penggunaan uang publik kepada pihak
yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta
pertanggung jawaban tersebut (DPRD dan masyarakat luas). Aspek penting
yang harus dipertimbangkan oleh para manajer daerah adalah :
1) Aspek legalitas pengeluaran daerah yaitu
setiap transaksi pengeluaran yang dilakukan harus dapat dilacak otoritas
legalnya.
2) Pengelolaan (stewardship) atas pengeluaran
daerah yang baik, perlindungan asset fisik dan financial, mencegah terjadinya
pemborosan dan salah urus.
Prinsip-prinsip
akuntabilitas pengeluaran daerah :
1)
Adanya sistem akuntansi dan sistem anggaran yang dapat
menjamin bahwa pengeluaran daerah dilakukan secara konsistensi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2)
Pengeluaran daerah yang dilakukan dapat menunjukkan
tingkat pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.
3)
Pengeluaran daerah yang dilakukan dapat berorientasi pada
pencapaian visi, misi, hasil dan manfaat yang akan diperoleh.
b. Value of Money
Pengeluaran daerah harus
mendasarkan konsep value of money, yaitu :
1) Ekonomi, adalah hubungan antara pasar
(nilai uang) dan masukan (input). Ekonomi adalah pembelian barang dan jasa pada
kualitas yang diinginkan dan pada harga terbaik yang memungkinkan. Pengertian
ekonomi sebaiknya mencakup juga pengeluaran daerah yang berhati-hati atau
cermat dan penggunaan keuangan daerah secara optimal tanpa pemborosan (tepat
guna). Suatu kegiatan operasional dikatakan ekonomis apabila dapat
menghilangkan atau mengurangi biaya yang dianggap tidak perlu. Dengan demikian
pada hakekatnya ada pengertian yang serupa antara efisiensi dan ekonomi, karena
kedua-keduanya menghendaki penghapusan dan penurunan biaya.
2) Efisiensi, berhubungan erat dengan konsep
efektivitas, yaitu rasio yang membandingkan antara output yang dihasilkan
terhadap input yang digunakan. Proses kegiatan operasional dapat dikatakan
dilakukan secara efisiensi apabila suatu target kinerja tertentu dapat dicapai
dengan menggunakan sumber daya dan biaya yang serendah-rendahnya.
3) Efektivitas, merupakan kaitan atau hubungan
antara keluaran suatu pusat pertanggung jawaban dengan tujuan atau sasaran yang
harus dicapainya. Efektivitas dalam Pemerintah Daerah
dapat diartikan penyelesaian kegiatan tepat pada waktunya dan didalam batas
anggaran yang tersedia, dapat berarti pula mencapai tujuan dan sasaran seperti
apa yang telah direncanakan. Namun demikian, walaupun ada yang dilaksanakan
menyimpang dari rencana semula, tetapi mempunyai dampak yang menguntungkan pada
kelompok penerima sasaran manfaat, maka dapat dikatakan efektif. Semakin besar
kontribusi pengeluaran yang dilakukan terhadap nilai pencapaian tujuan atau
sasaran yang ditentukan dapat dikatakan efektif proses kerja dari unit kerja
dimaksud.
D.
Anggaran Pendapatan
Dan Belanja Daerah
Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah berlaku untuk daerah-daerah tingkat I dan II. Pembentukan dan pengelolaannya disesuaikan
dengan tata cara yang berlaku pada
pemerintahan pusat.
Pendapatan
Daerah tingkat I antara lain terdiri dari pajak daerah tingkat I (pajak izin
penangkapan ikan , pajak sekolah), pajak pusat diserahkan kepada daerah tingkat
I, antara lain : Pajak Rumah Tangga, Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor, opsen (opsen atas Pajak Kekayaan, opsen atas cukai bensin),
retribusi (antara lain Retribusi izin pengambilan pasir, batu, kerikil, kapur,
gamping, batu karang), subsidi daerah otonomi. Daerah tingkat II mendapatkan
penghasilan dari berbagai pajak daerah (antara lain Pajak Tontonan, pajak
reklame, pajak anjing dan lain-lain), pajak pusat (antara lain pajak radio, pajak bangsa asing, pajak
pembangunan I dan sebagainya), sumbangan daerah otonom, Ipeda. Belanjanya adalah sesuai dengan ruang
lingkup kegiatan yang menjadi tugas di daerahnya.
Dalam UU No 33 pasal 1 ayat
17, menyebutkan bahwa APBD adalah rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah
yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD dan
ditetapkan dengan Peraturan Daerah. APBD merupakan rencana keuangan tahunan
daerah, dimana disatu sisi menggambarkan anggaran pengeluaran guna membiayai
kegiatan-kegiatan dan proyek-proyek daerah dalam satu tahun anggaran dan disisi
lain menggambarkan penerimaan daerah guna membiayai pengeluaran yang telah
dianggarkan.
APBD merupakan dokumen
anggaran tahunan, maka seluruh rencana penerimaan dan pengeluaran Pemerintah
Daerah yang akan dilaksanakan pada satu tahun anggaran dicatat dalam APBD.
Dengan demikian APBD dapat menjadi cerminan kinerja dan kemampuan Pemerintah Daerah
dalam membiayai dan mengelola penyelenggaraan pemerintah dan pelaksanaan
pembangunan di daerah masing-masing pada satu tahun anggaran.
(Kiflimansyah,2001: 319)
Anggaran daerah pada
hakekatnya merupakan salah satu alat yang memegang peranan penting dalam rangka
meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan
otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Dengan demikian maka
APBD harus benar-benar dapat mencerminkan kebutuhan masyarakat dengan
memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Atas dasar tersebut,
penyusunan APBD hendaknya mengacu pada norma-norma
dan prinsip anggaran sebagai berikut (Nirzawan, 2001:79) :
a. Transparansi dan
Akuntabilitas Anggaran
Transparansi tentang
anggaran daerah merupakan salah satu persyaratan untuk mewujudkan pemerintahan
yang baik, bersih dan bertanggungjawab. Mengingat anggaran daerah merupakan
salah satu sarana evaluasi pencapaian kinerja dan tanggung jawab pemerintah
mensejahterakan masyarakat, maka APBD harus dapat memberikan informasi yang
jelas tentang tujuan, sasaran, hasil dan manfaat yang diperoleh masyarakat dari
suatu kegiatan atau proyek yang dianggarkan. Selain itu setiap dana yang
diperoleh, penggunaannya harus dapat dipertanggung jawabkan.
b. Disiplin Anggaran
Anggaran yang disusun
harus dilakukan berlandaskan azas efisiensi, tepat guna, tepat waktu dan dapat
dipertanggung jawabkan. Pemilihan antara belanja yang bersifat rutin dengan
belanja yang bersifat pembangunan / modal harus diklasifikasikan secara jelas
agar tidak terjadi pencampuradukan kedua sifat anggaran yang dapat menimbulkan
pemborosan dan kebocoran dana. Pendapatan yang direncanakan merupakan perkiraan
yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan,
sedangkan belanja yang dianggarkan pada setiap pos / pasal merupakan batas
tertinggi pengeluaran belanja.
c.
Keadilan Anggaran
Pembiayaan pemerintah
dapat dilakukan melalui mekanisme pajak dan retribusi yang dipikul oleh segenap
lapisan masyarakat, untuk itu pemeintah daerah wajib mengalokasikan
penggunannya secara adil agar dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat
tanpa diskriminasi dalam pemberian pelayanan.
d. Efisiensi dan Efektivitas
Anggaran
Dana yang tersedia harus
dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan
pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal guna kepentingan masyarakat. Oleh
karena itu untuk dapat mengendalikan tingkat efisiensi dan efektivitas anggaran,
maka dalam perencanaan perlu ditetapkan secara jelas tujuan, sasaran, hasil dan
manfaat yang akan diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan atau proyek yang
diprogramkan.
e.
Format Anggaraan
Pada dasarnya APBD
disusun berdasarkan format anggaran defisit (defisit budget format). Selisih
antara pendapatan dan belanja mengakibatkan terjadinya surplus atau defisit
anggaran. Apabila terjadi surplus, daerah dapat membentuk dana cadangan,
sedangkan bila terjadi defisit, dapat ditutupi melalui sumber pembiayaan
pinjaman dan atau penerbitan obligasi daerah sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Anggaran
Pendapatan dan Belanja daerah (APBD) disusun dengan pendekatan kinerja dan
ditetapkan dengan Peraturan Daerah paling lambat 1 (satu) bulan setelah APBN
ditetapkan, demikian juga halnya dengan perubahan APBD ditetapkan dengan
Peraturan Daerah selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya tahun
anggaran. Sedangkan perhitungan APBD ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan
setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan. APBD yang disusun dengan
pendekatan kinerja tersebut memuat hal-hal sebagai berikut (Nirzawan, 2001:81)
:
1)
Sasaran yang ditetapkan menurut fungsi belanja.
2)
Standar pelayanan yang diharapkan dan perkiraan biaya
satuan komponen kegiatan yang bersangkutan.
3)
Bagian pendapatan APBD yang membiayai belanja
administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal /
pembangunan.
E.
Analisis Rasio Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Analisis
keuangan adalah usaha mengidentifikasi ciri-ciri keuangan berdasarkan laporan
keuangan yang tersedia. Dalam mengadakan analisis keuangan memerlukan ukuran
tertentu. Ukuran yang sering digunakan adalah rasio. Erich Helfert (2000,49)
mengartikan rasio adalah suatu angka yang menunjukkan hubungan suatu unsur
dengan unsur lainnya dalam laporan keuangan sedangkan Slamet Munawir (1995:64)
menjelaskan rasio sebagai hubungan atau perimbangan antara satu jumlah tertentu
dengan jumlah yang lain.
Penggunaan
analisa rasio pada sektor publik khususunya terhadap APBD belum banyak
dilakukan sehingga secara teori belum ada kesepakatan secara bulat mengenai
nama dan kaidah pengukurannya. Meskipun demikian dalam rangka pengelolaan
keuangan daerah yang transparan, jujur, demokratis, efektif, efisien dan
akuntabel, analisis rasio terhadap APBD perlu dilaksanakan meskipun kaidah
perakuntasian dalam APBD berbeda dengan laporan keuangan yang dimiliki
perusahaan swasta.
Analisis
rasio pada APBD dilakukan dengan membandingkan hasil yang dicapai dari satu periode
dibandingkan dengan periode sebelumnya sehingga dapat diketahui bagaimana
kecenderungan yang terjadi. Selain itu dapat pula dilakukan dengan cara
membandingkan dengan rasio keuangan yang dimiliki suatu pemerintah tertentu
dengan rasio keuangan daerah lain yang terdekat maupun yang potensi daerahnya
relatif sama untuk dilihat bagaimana posisi rasio keuangan Pemerintah Daerah
tersebut terhadap Pemerintah Daerah lainnya. Adapun pihak-pihaknya yang
berkepentingan dengan rasio keuangan pada APBD ini adalah (widodo, 2001: 261):
1.
DPRD sebagai wakil dari pemilik daerah (masyarakat).
2.
Pemerintah eksekutif sebagai landasan dalam menyusun APBD
berikutnya.
3.
Pemerintah pusat / provinsi sebagai bahan masukan dalam
pembinaan pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah.
4.
Masyarakat dan kreditur, sebagai pihak yang akan turut
memiliki saham pemerintah daerah, bersedia memberi pinjaman ataupun membeli
obligasi.
Beberapa rasio yang digunakan
dalam penelitian ini berdasarkan data keuangan yang bersumber dari APBD diukur
dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
1.
Rasio Kemandirian
Keuangan Daerah
Rumus
yang digunakan adalah:
Rasio kemandirian menggambarkan
ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern. Semakin tinggi resiko kemandirian mengandung arti bahwa
tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern semakin rendah dan
demikian pula sebaliknya. Rasio kemandirian juga menggambarkan tingkat
partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio
kemandirian, semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan
retribusi daerah yang merupakan komponen utama pendapatan asli daerah. Semakin
tinggi masyarakat membayar pajak dan retribusi daerah menggambarkan bahwa
timgkat kesejahteraan masyarakat semakin tinggi.
2.
Rasio Derajat
Desentralisasi Fiskal
Derajat Desentralisasi Fiskal
adalah kemampuan pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli
daerah guna membiayai pembangunan. Derajat Desentralisasi Fiskal, khususnya komponen
PAD dibandingkan dengan TPD, menurut hasil penelitian Tim Fisipol UGM
menggunakan skala interval sebagaimana terlihat dalam tabel III.I adalah
sebagai berikut (Anita W, 2001 : 22):
Tabel 11.2
Skala Interval Derajat Desentralisasi
Fiskal
%
|
|
0,00-10,00
|
|
10,01-20,00
|
Kurang
|
20,01-30,00
|
Cukup
|
30,01-40,00
|
Sedang
|
40,01-50,00
|
Baik
|
>50,00
|
Sangat baik
|
Sumber : Anita Wulandari
(2001: 22)
Derajat Desentralisasi Fiskal dapat
dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
DDF :
x 100 %
Keteragan :
DDF : Derajat Desentralisasi Fiskal
PADt: Total PAD tahun t
TPDt : Total Penerimaan Daerah Tahun t
3.
Rasio Indeks
Kemampuan Rutin
Indeks Kemampuan Rutin yaitu :
Proporsi antara PAD dengan pengeluaran rutin tanpa transfer dari pemerintah
pusat (kuncoro,1997). Sedangkan dalam menilai Indeks Kemampuan Rutin daerah
(IKR) dengan menggunakan skala menurut Tumilar (1997:15) sebagaimana yang
terlihat dalam table III, 2 sebagai berikut (Anita W, 2001 : 22)
Tabel
11.3
Skala Interval Indeks
Kemampuan Rutin
%
|
|
0,00-20,00
|
|
20,01-40,00
|
Kurang
|
40,01-60,00
|
Cukup
|
60,01-80,00
|
Baik
|
80,01-100
|
Sangat baik
|
Rumus :
IKR :
Keterangan :
IKR : Indeks Kemampuan Rutin
PAD : Pendapatan
Asli Daerah
4.
Rasio Keserasian
Keserasian ini menggambarkan
bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan alokasi dananya pada belanja rutin
dan belanja pembangunan secara optimal. Semakin tinggi presentase dana yang dialokasikan
untuk belanja rutin berarti presentase belanja pembangunan yang digunakan untuk
menyediakan sarana prasarana ekonomi masyarakat cenderung semakin kecil. Secara
sederhana rasio keserasian ini dapat diformulasikan sebagai berikut (Widodo,
2001 : 262) :
5.
Rasio Pertumbuhan
Rasio pertumbuhan menggambarkan seberapa besar
kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan
yang dicapai dari periode ke periode lainnya. Pertumbuhan APBD dilihat dari
berbagai komponen penyusun APBD yang terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, total
pendapatan, belanja rutin dan belanja pembangunan (Widodo, 2001 : 270):
Rumus
yang digunakan adalah :
r :
Keterangan :
Pn :
Data yang dihitung pada tahun ke-n
r :
Pertumbuhan
Apabila semakin tinggi nilai
PAD, TPD dan Belanja Pembangunan yang diikuti oleh semakin rendahnya Belanja
Rutin, maka pertumbuhannya adalah
positif. Artinya bahwa daerah yang bersangkutan telah mampu mempertahankan dan
meningkatkan pertumbuhannya dari periode satu ke periode yang berikutnya.
Selanjutnya jika semakin tinggi nilai PAD, TPD, dan Belanja Rutin yang diikuti
oleh semakin rendahnya Belanja Pembangunan, maka pertumbuhannya adalah negatif.
Artinya bahwa daerah yang bersangkutan belum mampu mempertahankan dan
meningkatkan pertumbuhannya dari periode yang satu ke periode yang berikutnya.
F.
Tinjauan Penelitian Terdahulu
Anita. W (2001 ), melakukan penelitian tentang
Kemampuan Keuangan Daerah di kota Jambi dalam pelaksanaan Otonomi Daerah. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, kota Jambi
dihadapkan pada kendala rendahnya kemampuan keuangan daerah, yang dilihat dari
rendahnya kontribusi Pendapatan Asli Daerah.
Widodo
(2001), melakukan penelitian tentang Analisis Rasio Keuangan APBD kabupaten
Boyolali. Hasilnya menunjukkan bahwa kemandirian pemerintah daerah Boyolali
dalam memenuhi kebutuhan dana untuk penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan,
pembangunan dan pelayanan sosial kemasyarakatan masih relatif rendah dan
cenderung turun.
G.
Hipotesis
H 0 = Tidak terdapat perkembangan kemampuan
keuangan daerah di Kabupaten Sukoharjo dalam rangka mendukung otonomi daerah
BAB III
METODE
PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini termasuk penelitian
deskriptif. Penelitian deskriptif menurut Mohammad Nazir (2003:54) adalah suatu
metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi,
suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan
dari penelitian ini : untuk membuat deskriptif / gambaran, melukiskan secara
sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan
antar fenomena yang diselediki. Penelitian ini berusaha untuk mendapatkan
gambaran tentang perkembangan kemampuan keuangan daerah di kabupaten Sukoharjo
dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah.
B. Obyek Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di
Kabupaten Sukoharjo. Dalam penelitian ini penulis memilih kabupaten Sukoharjo
dengan alasan penulis berdomosili di Sukoharjo sehingga memudahkan dalam
pengambilan data.
C. Data Dan Sumber Data
Data dalam penelitian ini adalah data
sekunder. Data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak langsung
dan melalui perantara / diperoleh dan dicatat oleh pihak lain (Nur Indriantoro
dan Bambang Supomo,2002:147). Data sekunder dalam penelitian ini adalah data
keuangan APBD tahun anggaran 2001-2005. APBD tersebut diperoleh dari beberapa instansi pemerintah terkait, dalam
hal ini diperoleh dari Dinas Pendapatan Daerah.
D. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Dokumentasi
Cara pengumpulan data melalui peninggalan tertulis terutama berupa
arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori, hukum-hukum,
dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penyelidikan (Hadari
Nawawi,1991:133).
E.
Metode Analisis Data
Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah deskriptif komparatif. Deskriptif komparatif adalah suatu
jenis metode penelitian yang ingin mencari jawab secara mendasar tentang sebab
akibat dengan menganalisis faktor-faktor terjadinya atau munculnya fenomena
tertentu (Mohammad Nazir, 2003:58).
Data yang berasal dari APBD kemudian
dianalisis dengan menggunakan rasio keuangan daerah yang diukur dengan
menggunakan rumus perhitungan sebagai berikut :
1.
Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Rasio Kemandirian Keuangan Daerah menunjukkan tingkat kemampuan suatu daerah dalam
membiayai sendiri kegiatan pemerintah, pembangunan dan pelayanan kepada
masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan
yang diperlukan daerah. Rasio kemandirian ditunjukkan oleh besarnya pendapatan
asli daerah dibandingkan dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal
dari sumber lain (pihak ekstern) antara lain : Bagi hasil pajak, Bagi hasil
Bukan Pajak Sumber Daya Alam, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus, Dana
Darurat dan Dana Pinjaman (Widodo, 2001 : 262).
Rumus
yang digunakan untuk menghitung Rasio Kemandirian adalah:
Rasio kemandirian :
Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber
dana ekstern. Semakin tinggi resiko kemandirian mengandung arti bahwa tingkat
ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern semakin rendah dan
demikian pula sebaliknya. Rasio kemandirian juga menggambarkan tingkat
partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio kemandirian,
semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah
yang merupakan komponen utama pendapatan asli daerah. Semakin tinggi masyarakat
membayar pajak dan retribusi daerah menggambarkan bahwa timgkat kesejahteraan
masyarakat semakin tinggi.
2.
Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal
Derajat Desentralisasi Fiskal atau otonomi Fiskal Daerah adalah
kemampuan pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
guna membiayai pembangunan. Derajat Desentralisasi Fiskal, khususnya komponen
PAD dibandingkan dengan TPD, menurut hasil penelitian Tim Fisipol UGM
menggunakan skala interval sebagaimana terlihat dalam tabel III.I adalah
sebagai berikut (Anita W, 2001 : 22):
Tabel III.1
Skala Interval Derajat Desentralisasi
Fiskal
%
|
|
0,00-10,00
|
|
10,01-20,00
|
Kurang
|
20,01-30,00
|
Cukup
|
30,01-40,00
|
Sedang
|
40,01-50,00
|
Baik
|
>50,00
|
Sumber : Anita Wulandari
(2001: 22)
Derajat Desentralisasi Fiskal dapat dihitung dengan menggunakan
rumus sebagai berikut :
DDF :
x 100 %
Keterangan :
DDF :
Derajat Desentralisasi Fiskal
PADt :
Total PAD Tahun t
TPDt :
Total Pendapatan Daerah Tahun t
3.
Rasio Indeks Kemampuan Rutin
Indeks Kemampuan Rutin yaitu : Proporsi antara PAD dengan pengeluaran
rutin tanpa transfer dari pemerintah pusat (kuncoro, 1997 : 9). Sedangkan dalam
menilai menilai Indeks Kemampuan Rutin (IKR) dengan menggunakan skala menurut
Tumilar (1997 : 15) sebagaimana yang terlihat dalam table III.2 sebagai berikut
(Anita W, 2001 : 22)
Tabel III.2
Skala Interval Indeks
Kemampuan Rutin
%
|
|
0,00-20,00
|
|
20,01-40,00
|
Kurang
|
40,01-60,00
|
Cukup
|
60,01-80,00
|
Baik
|
80,01-100
|
Sumber : Anita Wulandari
(2001: 22)
IKR :
Keterangan :
IKR : Indeks Kemampuan Rutin
PAD : Pendapatan
Asli Daerah
4.
Rasio Keserasian
Keserasian ini menggambarkan bagaimana pemerintah daerah
memprioritaskan alokasi dananya pada belanja rutin dan belanja pembangunan
secara optimal. Semakin tinggi presentase dana yang dialokasikan untuk belanja
rutin berarti presentase belanja pembangunan yang digunakan untuk menyediakan
sarana prasarana ekonomi masyarakat cenderung semakin kecil. Secara`sederhana
rasio keserasian ini dapat diformulasikan sebagai berikut (Widodo, 2001 : 262)
:
5.
Rasio Pertumbuhan
Rasio pertumbuhan menggambarkan seberapa besar kemampuan pemerintah
daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan yang dicapai dari
periode ke periode lainnya. Pertumbuhan APBD dilihat dari berbagai komponen
penyusun APBD yang terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, total pendapatan,
belanja rutin dan belanja pembangunan (Widodo, 2001 : 270) :
Rumus yang digunakan adalah :
r :
Keterangan :
Pn :
Data yang dihitung pada tahun ke-n
r :
Pertumbuhan
Apabila semakin tinggi nilai PAD , TPD dan Belanja Pembangunan yang
diikuti oleh semakin rendahnya Belanja Rutin, maka pertumbuhannya adalah positif. Artinya bahwa daerah yang
bersangkutan telah mampu mempertahankan dan meningkatkan pertumbuhannya dari
periode satu ke periode yang berikutnya. Selanjutnya jika semakin tinggi nilai
PAD, TPD, dan Belanja Rutin yang diikuti oleh semakin rendahnya Belanja
Pembangunan, maka pertumbuhannya adalah negatif. Artinya bahwa daerah yang
bersangkutan belum mampu mempertahankan dan meningkatkan pertumbuhannya dari
periode yang satu ke periode yang berikutnya.
ANALISIS DATA DAN
PEMBAHASAN
A.
Gambaran Umum
Kabupaten Sukoharjo
1.
Keadaan Geografis
Kabupaten Sukoharjo merupakan salah satu Kabupaten di Jawa Tengah, letaknya diapit oleh 6 (enam)
Kabupaten / Kota yaitu di sebelah Utara berbatasan dengan Kota Surakarta dan
Kabupaten Karanganyar, di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten
Karanganyar, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Gunung Kidul (DIY) dan
Kabupaten Wonogiri serta sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Klaten dan
Kabupaten Boyolali.
2.
Luas Wilayah
Secara administrasi Kabupaten Sukoharjo terbagi menjadi 12
kecamatan yang terdiri dari 167 Desa / Kelurahan. Luas wilayah Kabupaten
Sukoharjo tercatat 46.666 Ha atau sekitar 1,43 % luas wilayah Propinsi Jawa
Tengah. Kecamatan yang terluas adalah kecamatan Polokarto yaitu 6.218 Ha (13
%), sedangkan yang paling kecil adalah kecamatan Kartasura seluas 1.923 Ha (4
%) dari luas Kabupaten Sukoharjo. Menurut pengunaan lahan terdiri dari
penggunaan lahan terdiri dari lahan sawah sebesar 45,38 % (21.178 Ha) dan lahan
bukan sawah sebesar 54,62 % (25.488 Ha). Dari lahan sawah yang mempunyai
pengairan teknis seluas 14.570 Ha (68.80 %), irigasi setengah teknis sebesar
2.250 Ha (10,62 %), irigasi sederhana 2.053 Ha (9,69 %) dan tadah hujan seluas
2.305 Ha (10,89 %).
B.
Analisis
Rasio keuangan yang digunakan dalam pembahasan pada bab IV
ini adalah Rasio Kemandirian Keuangan Daerah, Rasio Derajat Desentralisasi
Fiskal, Rasio Indek Kemampuan Keuangan Rutin, Rasio Keserasian dan Pertumbuhan
Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Sukoharjo tahun 2001-2005, sehingga dapat
diketahui bagaimana kecendurungan yang terjadi.
Adapun data yang digunakan adalah data yang berasal dari
arsip dokumen pada bagian anggaran kantor pemerintah Kabupaten Sukoharjo yang
berupa data APBD. Dari hasil APBD tersebut nantinya akan diketahui bagaimana
kinerja keuangan APBD Kabupaten Sukoharjo.
Adapun hasil dari Analisis Rasio APBD tersebut adalah sebagai
berikut :
1.
Rasio Kemandirian
Keuangan Daerah
Rumus yang digunakan untuk menghitung Rasio Kemandirian
Keuangan Daerah adalah :
Rasio
kemandiian :
Hasil
perhitungan Rasio
Kemandirian Keuangan
Daerah dapat dilihat dalam tabel
IV.I dan IV.2 di bawah ini :
Tabel IV.1
Keterangan
|
2001
|
2002
|
2003
|
2004
|
2005
|
|
Bagi hasil pajak
Bagi hasil bukan pajak
|
11.202.890742
27.549.945
|
13.565.682.296
461.718.716
|
21.527.918.400
|
25.074.688.097
|
27.700.950.309
|
|
Bagi hasil pajak dan
Bukan Pajak
|
16.674.547.420
|
18.406.729.470
|
21.178.393.030
|
|||
DAU
|
154.866.421.000
|
205.280.000.000
|
253.710.000.000
|
263.304.000.000
|
272.531.000.000
|
|
DAK
|
5.800.000.000
|
7.000.000.000
|
10.550.000.000
|
|||
Dana
|
19.037.582.000
|
17.842.100.000
|
||||
Pinjaman
|
15.000.000.000
|
|||||
|
181.096.861.687
|
219.307.401.012
|
297.712.465.820
|
332.822.999.567
|
349.802.443.339
|
Tabel IV.2
Tahun Anggaran 2001-2005
No
|
TA
|
Total Pendapatan
|
%
|
%
|
Keteraangan
|
|||||
Rp
|
Perkem
bangan
|
Rp.
|
Perkem
bangan
|
|||||||
1
|
2001
|
211.957.612.729,31
|
14.787.714.098
|
-
|
6,98%
|
181.096.861.687
|
-
|
85,44%
|
8,17%
|
Instruktif
|
2
|
2002
|
265.092.756.153,31
|
18.555.317.620
|
25,48%
|
7%
|
219.307.401.012
|
21,10%
|
82,73%
|
8,46%
|
Instruktif
|
3
|
2003
|
338.998.068.834
|
19.929.269.513
|
7,40%
|
5,98%
|
297.819.592.420
|
35,80%
|
87,85%
|
6,69%
|
Instruktif
|
4
|
2004
|
354.676.585.322
|
21.702.124.540
|
8,90%
|
6,12%
|
313.936.878.782
|
5,41%
|
88,51%
|
6,91%
|
Instruktif
|
5
|
2005
|
380.338.167.080
|
30.384.474.927
|
40,00%
|
7,99%
|
332.111.592.153
|
5,79%
|
87,32%
|
9,15%
|
Instruktif
|
Rata-rata 20,45%
|
17,03%
|
7,88%
|
Instruktif
|
Sumber: Data diolah
|
Berdasarkan tabel IV.2 terlihat bahwa PAD dan sumber pendapatan dari
pihak ekstern selalu meningkat. PAD yang semula di tahun 2001 sebesar
Rp.14.787.714.098,- atau sebesar 6,98 % dari total pendapatan, selanjutnya pada
tahun 2002 dan tahun 2003 PAD mengalami kenaikan sebesar Rp.18.555.317.620,-
dan Rp19.929.269.513,- atau sebesar 7 % dan 5,98 % dari total pendapatan. Pada
tahun 2004 dan tahun 2005 mengalami kenaikan kembali sebesar
Rp.21.702.124.540,- dan
Rp30.384.474.927,- atau sebesar 6,12 % dan 7,99 % dari total pendapatan,
sehingga rata-rata pertumbuhan PAD sebesar 20,44 %.
Sumber pendapatan dari pihak ekstern juga mengalami peningkatan yang
semula pada tahun 2001 sebesar Rp.181.096.861.687,- atau 85,44 % dari total
pendapatan, kemudian pada tahun 2002 dan tahun 2003 mengalami peningkatan
sebesar 21,10 % dan 35,80 % menjadi
Rp.219.307.401.012 dan Rp.297.819.592.420 atau sebesar 82,73 % dan 87,85
% dari total pendapatan, lalu pada tahun 2004 dan tahun 2005 mengalami
peningkatan menjadi Rp.313.936.878.782,- dan Rp. 332.111.592.153,- atau 88,51 %
dan 87,32 % dari total pendapatan. Dari kenaikan diatas menjadikan rata-rata
pertumbuhan sumber pendapatan dari pihak ekstern 17,03 %
Pada rasio kemandirian mengalami peningkatan dan penurunan. Pada tahun
2001 rasio kemandirian mencapai 8,17 % dan pada tahun 2002 naik menjadi 8,46 %. Selanjutnya pada tahun
2003 dan tahun 2004 mengalami penurunan menjadi 6,69 % dan 6,91 %. Sedangkan
pada tahun 2005 mengalami kenaikan menjadi 9,15 %. Sehingga rata-rata rasio
kemandirian adalah sebesar 7,28 %.
Menurut uraian dan perhitungan diatas dapat disimpulkan bahwa rasio
kemandirian selama lima tahun pada Kabupaten Sukoharjo memiliki rata-rata
tingkat kemandirian masih rendah dan dalam kategori kemampuan keuangan kurang
dengan pola hubungan instruktif yaitu peranan pemerintah pusat sangat dominan
dari pada daerah, hal ini dapat dilihat dari rasio kemandirian yang dihasilkan
masih antara 0-25 %. Rasio kemandirian yang masih rendah mengakibatkan
kemampuan keuangan daerah Kabupaten
Sukoharjo dalam membiayai
pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan masih sangat terrgantung pada
penerimaan dari pemerintah pusat.
Rasio kemandirian yang masih rendah dapat disebabkan pada sumber
penerimaan daerah dan dasar pengenaan biaya, tampaknya Pendapatan Asli Daerah
masih belum dapat diandalkan bagi daerah untuk otonomi daerah, karena relatif
rendahnya basis pajak / retribusi yang ada di daerah dan kurangnya pendapatan
asli daerah yang dapat digali oleh pemerintah daerah. Hai ini dikarenakan
sumber-sumber potensial untuk menambah Pendapatan Asli
Daerah masih dikuasai oleh
pemerintah pusat. Sedangkan untuk basis pajak yang cukup besar masih dikelola
oleh pemerintah pusat, yang di dalam pemungutan / pengenaannya berdasarkan
undang-undang / peraturan pemerintah, dan daerah hanya menjalankan serta akan
menerima bagian dalam bentuk dana
perimbangan. Dana perimbangan itu
sendiri terdiri dari : Bagi Hasil Pajak , Bagi Hasil
Bukan Pajak
/ SDA, DAU, DAK, penerimaan lainnya.
Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah daerah harus mampu
mengoptimalkan penerimaan dari potensi pendapatannya yang telah ada. Inisiatif dan kemauan pemerintah daerah
sangat diperlukan dalam upaya meningkatkan PAD. Pemerintah daerah harus mencari
alternatif-alternatif yang memungkinkan untuk dapat mengatasi kekurangan
pembiayaannya, dan hal ini memerlukan kreaitifitas dari aparat pelaksana keuangan
daerah untuk mencari sumber-sumber pembiayaan baru baik melalui program
kerjasama pembiayaan dengan pihak swasta dan juga program peningkatan PAD
misalnya pendirian BUMD sektor potensial.
2.
Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal
Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal dapat dihitung
dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
DDF :
x 100 %
Keterangan :
DDF : Derajat Desentralisasi Fiskal
PADt : Total PAD tahun E
TPDt : Total Pendapatan Daerah Tahun
Hasil perhitungan Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal dapat dilihat dalam
tabel IV.3 berikut ini :
Tabel IV.3
Kontribusi PAD terhadap TPD Kabupaten
Sukoharjo
Tahun Anggaran 2001-2005
Tahun Anggaran
|
PAD
(Rp)
|
TPD
(Rp)
|
%
|
Kemampuan Keuangan
|
2001
|
14.787.714.098
|
211.957.612.729,31
|
6,98%
|
Sangat
kurang
|
2002
|
18.555.317.620
|
265.092.756.153,31
|
7,00%
|
Sangat
kurang
|
2003
|
19.929.269.513
|
338.998.068.834
|
5,88%
|
Sangat
kurang
|
2004
|
21.702.124.540
|
354.676.585.322
|
6,12%
|
Sangat
kurang
|
2005
|
30.384.474.927
|
380.338.167.080
|
7,99%
|
Sangat
kurang
|
Rata-rata
|
6,80%
|
Sangat
kurang
|
Sumber : Data diolah
Berdasar tabel IV.3 terlihat bahwa Rasio Pendapatan
Asli Daerah terhadap Total Pendapatan Daerah
Kabupaten Sukoharjo penurunan dan kenaikan walaupun relatif kecil. Pada tahun
2001 rasio derajat desentralisasi fiskal mencapai 6,98 % dan pada tahun 2002
mengalami kenaikan menjadi 7,00 % dan pada tahun 2003 turun menjadi 5,88 %.
Kemudian pada tahun 2004 dan 2005 mengalami kenaikan yaitu sebesar 6,12 % dan
7.99 %. Sehingga rata-rata Derajat Desentralisasi Fiskal adalah: 6,80 %.
Menurut uraian dan perhitungan diatas dapat
disimpulkan bahwa Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal selama lima tahun pada pemerintahan
Kabupaten Sukoharjo masih dalam skala interval yang sangat kurang, karena masih
berada dalam skala interval antara 0,00-10,00 yaitu sebesar 6,84 % dan ini
berarti bahwa PAD mempunyai kemampuan yang sangat kurang dalam membiayai pembangunan daerah.
Hal ini terjadi karena PAD di Kabupaten
Sukoharjo masih relatif kecil dibandingkan dengan Total Pendapatan Daerah dan
Kabupaten Sukoharjo dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan
masih sangat tergantung pada sumber keuangan yang berasal dari pemerintah
pusat.
3.
Rasio Indeks Kemampuan Rutin
Indeks Kemampuan Rutin dapat dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :
IKR :
Keterangan :
IKR : Indeks
Kemampuan Rutin
PAD : Pendapatan
Asli Daerah
Hasil perhitungan rasio Indeks Kemampuan Rutin dapat dilihat dalam tabel
IV.4 di bawah ini :
Tabel IV.4
Kontribusi
PAD terhadap Pengeluaran Rutin Kabupaten Sukoharjo
Tahun Anggaran 2001-2005
Tahun Anggaran
|
PAD
(Rp)
|
Penegeluaran Rutin
(Rp)
|
%
|
Kemampuan Keuangan
|
|
2001
|
14.787.714.098
|
172.409.454.300
|
8,58%
|
Sangat
kurang
|
|
2002
|
18.555.317.620
|
203.481.504.710
|
9,12%
|
Sangat
kurang
|
|
2003
|
19.929.269.513
|
214.109.496.890
|
9,31%
|
Sangat
kurang
|
|
2004
|
21.702.124.540
|
238.609.850.490
|
9,09%
|
Sangat
kurang
|
|
2005
|
30.384.474.927
|
240.193.449.074
|
12,65%
|
Sangat
kurang
|
|
|
9,75%
|
Sangat
kurang
|
Berdasarkan tabel IV.4 terlihat bahwa Rasio
Pendapatan Asli Daerah terhadap Pengeluaran Rutin Daerah
Kabupaten Sukoharjo dari tahun ke tahun menunjukkan keadaan yang tidak stabil
dan selalu berubah-rubah. Pada tahun 2001 dan 2002 rasio Indeks Kemapuan Rutin
mencapai 8,58 % dan 9,12 %. Selanjutnya pada tahun 2003 mengalami kenaikan
menjadi 9,31 % dan pada tahun 2004 menurun menjadi 9,09 %. Pada tahun 2005
rasio Indeks Kemampuan Rutin mengalami peningkatan yaitu menjadi sebesar
12,65 %.
Menurut uraian dan perhitungan pada tabel IV.4 dapat
disimpulkan bahwa Rasio Indeks Kemampuan Rutin selama lima tahun pada
pemerintahan Kabupaten Sukoharjo masih dalam skala yang sangat kurang, karena
masih berada dalam skala interval antara 0,00-20,00 yaitu sebesar 9,75 % dan
ini berarti bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD)
mempunyai kemampuan yang kurang untuk membiayai
pengeluaran rutin, hal ini terjadi karena PAD Kabupaten Sukoharjo sangat kecil,
dan selama ini lebih banyak tergantung pada sumber keuangan yang berasal dari
pemerintah pusat.
4.
Rasio Keserasian
Rasio keserasian yang digunakan dalam analisis ini menggunakan
rumus sebagai berikut :
Rasio Belanja Rutin :
Sumber: Data diolah
|
Rasio Belanja Pembangunan :
Hasil perhitungan analisis rasio keserasian dapat
dilihat dalam IV.5 dibawah ini :
Tabel IV.5
Belanja Rutin, Pembangunan dan total APBD Kabupaten
Sukoharjo
Tahun Anggaran 2001-2005
No
|
Tahun Anggaran
|
Total Belanja
(Rp)
|
Realisasi Belanja Rutin
|
Realisasi Belanja Pembangunan
|
Rasio Belanja Rutin
|
Rasio Belanja Pembangunan
|
||
Rp.
|
Perkembangan
|
Rp.
|
Perkembangan
|
|||||
1
|
2001
|
205.601.789.144
|
172.409.454.300
|
-
|
33.192.334.844
|
-
|
83,86%
|
16,14%
|
2
|
2002
|
239.662.082.558
|
203.481.504.710
|
18,02%
|
36.180.577.848
|
9,02%
|
84,90%
|
15,10%
|
3
|
2003
|
336.907.115.882
|
214.109.496.890
|
5,22%
|
64.889.597.394
|
79,35%
|
63,55%
|
19,26%
|
4
|
2004
|
328.493.367.602
|
238.609.850.490
|
11,44%
|
29.516.305.569
|
(54,51%)
|
72,64%
|
8,99%
|
5
|
2005
|
329.236.579.536
|
240.193.449.074
|
0,66%
|
31.152.651.535
|
5,54%
|
72,95%
|
9,46%
|
Sumber: Data diolah
|
Dari hasil perhitungan tabel IV.5 diatas,
menunjukkan bahwa belanja rutin tahun 2001 sebesar Rp.172.409.454.300,-
mengalami kenaikan menjadi Rp.203.481.504.710,- atau sebesar 18,02 % pada tahun
2002. Kemudian pada tahun 2003 dan 2004 belanja rutin naik menjadi Rp.
214.109.496.890,- dan Rp.238.609.850.490,- atau sebesar 5,22 % dan 11,44 %.
Pada tahun 2005 kembali mengalami kenaikan menjadi Rp.240.193.449.074,- atau
sebesar 0,66 %. Sedangkan untuk belanja pembangunan masih belum stabil dari
tahun ke tahun. Pada tahun 2001 sebesar Rp.33.192.334.844,- naik ditahun 2002
menjadi Rp.36.180.577.848,- atau sebesar 9,02 %. Kemudian pada tahun 2003
mengalami kenaikan tajam menjadi Rp.64.889.597.394,- atau sebesar 79,35 %. Selanjutnya pada tahun
2004 turun menjadi Rp.29.516.305.569,- atau sebesar (54,51 %) kemudian
mengalami kenaikan pada tahun 2005 yaitu menjadi Rp.31.152.651.535,- atau
sebesar 5,54 %.
Dari tabel diatas juga dapat dilihat rasio belanja
rutin dan belanja pembangunan yang belum stabil. Pada tahun 2001
rasio belanja rutin dan rasio belanja pembangunan sebesar 83,86 % dan 16,14 %.
Sedangkan pada tahun 2002 rasio belanja rutin naik menjadi 84,90 % dan rasio
belanja pembangunan turun menjadi 15,10 %. Selanjutnya pada tahun 2003 rasio
belanja rutin turun menjadi 63,55 % dan rasio belanja pembangunan mengalami
kenaikan menjadi 19,26 %. Pada tahun 2004 rasio belanja rutin naik menjadi
72,64 % dan rasio belanja pembangunan turun menjadi 8,99%. Kemudian pada tahun
2005 rasio belanja rutin dan rasio belanja pembangunan naik menjadi 72,95 % dan
9,46 %.
Menurut uraian dan perhitungan diatas bahwa sebagian
besar dana yang dimiliki pemerintah daerah masih diprioritaskan untuk kebutuhan
belanja rutin sehingga rasio belanja pembangunan terhadap APBD relatif kecil.
Ini dapat dibuktikan dari rasio belanja rutin yang selalu lebih besar dari
rasio belanja pembangunan dan tingkat pertumbuhan belanja rutin jauh lebih
besar dari pada tingkat pertumbuhan belanja pembangunan. Besarnya alokasi dana
untuk belanja rutin terutama dikarenakan besarnya dinas-dinas otonomi dan
belanja pegawai untuk gaji PNS. Dengan ini dapat menunjukkan pemerintah
Kabupaten Sukoharjo yang lebih condong pada ekonomi kerakyatan belum
memperhatikan pembangunan daerah, walaupun belanja pembangunan yang selalu naik
meskipun relatif kecil. Hal ini dikarenakan belum ada patokan yang pasti untuk
belanja pembangunan, sehingga pemerintah daerah masih berkonsentrasi pada
pemenuhan belanja rutin yang mengakibatkan belanja pembangunan untuk pemerintah
Kabupaten Sukoharjo kecil atau belum terpenuhi.
5.
Rasio Pertumbuhan
Rumus yang digunakan untuk menghitung Rasio
pertumbuhan adalah sebagai berikut :
r :
Keterangan :
Pn : Data yang dihitung pada tahun ke-n
Po : Data yang dihitung pada tahun ke-0
r : Pertumbuhan
Hasil perhitungan analisis rasio pertumbuhan dapat
dilihat dalam tabel IV.6 dibawah ini :
Tabel
IV.6
Rasio pertumbuhan APBD Kabupaten
Sukoharjo
Tahun
Anggaran 2001-2005
No
|
Keterangan
|
2001
|
2002
|
2003
|
2004
|
2005
|
|
1
2
3
4
5
6
7
|
PAD
Pertumb
PAD
Total
Pendapatan
Pertumb.
Pdpt
Biaya
Rutin
Pertmbh.
B. Rutin
B.
Pembangunan
Pertmb. B.
Pembang
|
14.787.714.098
–
211.957.612.729,31
–
172.409.454.300
–
33.192.334.844
–
|
18.555.317.620
25,48%
265.092.756.153,31
25,07%
203.481.504.710
18,02%
36.180.577.848
9,02%
|
19.929.269.513
7,40%
338.998.068.834
27,88%
214.109.496.890
5,22%
64.889.597.394
79,35%
|
21.702.124.540
8,90%
354.676.585.322
4,62%
238.609.850.490
11,44%
29.516.305.569
(54,51%)
|
30.384.474.927
40,0%
380.338.167.080
7,23%
240.193.449.074
0,66%
31.152.651.535
5,54%
|
Dari perhitungan Tabel IV.6 diatas dapat diketahui
bahwa pertumbuhan pendapatan asli daerah tahun 2001 sebesar
Rp.14.787.714.098,- naik pada tahun 2002
menjadi Rp. 18.555.317.620,- atau sebesar 25,48 %. Lalu pada tahun 2003 dan
2004 pendapatan asli daerah mengalami kenaikan menjadi
Rp.19.929.269.513,- dan Rp.21.702.124.540,- atau sebesar 7,40 % dan 8,90 %.
Kemudian pada tahun 2005 pendapatan asli daerah mengalami kenaikan menjadi
Rp.30.384.474.927,- atau sebesar 40,00 %. Kenaikan rasio pertumbuhan pendapatan
asli daerah lebih banyak dipengaruhi kenaikan pemungutan pajak dan retribusi
daerah. Begitu juga untuk pertumbuhan pandapatan, pada tahun 2001 mengalami
kenaikan dari Rp.211.957.612.729,31,- menjadi Rp.265.092.756.153,31,- pada
tahun 2002 atau sebesar 25,07 %. Pada tahun 2003 rasio pertumbuhan pada total
pendapatan mengalami peningkatan pertumbuhan sebesar 27,88 % yaitu pada tahun
2002 Rp.265.092.756.153,31,- menjadi Rp.338.998.068.834,-. Selanjutnya pada
tahun 2004 dan 2005 juga mengalami kenaikan menjadi Rp.354.676.585.322,- dan
Rp.380.338.167.080 atau sebesar 4,62 % dan 7,23 %.
Pada rasio pertumbuhan belanja rutin mengalami
kenaikan pada tahun 2001 sebesar Rp.172.409.454.300,- menjadi
Rp.203.481.504.710,- pada tahun 2002 atau sebesar 18,02 %. Pada tahun 2003 dan
2004 belanja rutin kembali naik menjadi Rp.214.109.496.890,- dan
Rp.238.609.850.490,- atau sebesar 5,22 % dan 11,44 %. Kemudian pada tahun 2005
juga mengalami kenaikan menjadi Rp.240.193.449.074,- atau sebesar 0,66 %.
Pada rasio perkembangan belanja pembangunan juga
mengalami kenaikan dan penurunan. Pada tahun 2002 mengalami kenaikan yang
semula Rp.33.192.334.844,- menjadi Rp.36.180.577.848,- atau sebesar 9,02 %.
Selanjutnya pada tahun 2003 mengalami kenaikan menjadi Rp.64.889.597.394,- atau
sebesar 79,35 %. Sedangkan pada tahun 2004 mengalami penurunan menjadi
Rp.29.516.305.569,- atau (54,51 %). Dan pada tahun 2005 mengalami kenaikan
menjadi Rp.31.152.651.535,- atau sebesar 5,54 %.
Menurut uraian dan perhitungan diatas kondisi
pertumbuhan APBD Kabupaten Sukoharjo dapat disimpulkan bahwa APBD pada tahun
anggaran 2001-2005 menunjukkan pertumbuhan rata-rata yang positif meskipun ada
kecenderungan pertumbuhannya semakin berkurang. Hal ini dapat dilihat dari
rasio belanja pembangunan tahun 2004.
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan hasil
analisis data dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.
Berdasarkan rasio kemandirian
keuangan daerah yang ditunjukkan dengan angka rasio rata-ratanya adalah 7,88 %
masih berada diantara 0 %-25 % tergolong mempunyai pola hubungan instruktif yang
berarti kemampuan Pemerintah Kabupaten Sukoharjo dalam memenuhi kebutuhan dana
untuk penyelenggaraan tugas-tugas Pemerintahan, Pembangunan, dan Pelayanan
Sosial masyarakat masih relatif rendah meskipun dari tahun ke tahun terus
meningkat. Sedangkan tingkat ketergantungan pada sumber pendapatan dari pihak
ekstern yang masih cukup tinggi disebabkan karena sumber-sumber keuangan
potensial negara adalah milik pemerintah pusat.
2.
Berdasarkan Rasio Derajat
Desentralisasi Fiskal, selama 5 (lima) tahun Derajat Desentralisasi Fiskal
adalah sangat kurang karena hanya memiliki rata-rata 6,84 %, hal ini berarti bahwa tingkat
kemandirian / kemampuan keuangan Kabupaten Sukoharjo masih rendah dalam
melaksanakan otonominya.
3.
Berdasarkan kemampuan PAD untuk
membiayai pengeluaran rutin daerah, yang sering disebut juga dengan IKR (Indeks
Kemampuan Rutin) rata-rata hanya sebesar 9,75 %, ini artinya IKR di Kabupaten
Sukoharjo sangat kurang karena masih berada dalam skala interval antara
0,00-20,00. Hal ini berarti PAD memiliki kemampuan yang sangat kurang untuk
membiayai pengeluaran rutinnya dan pemerintah Kabupaten Sukoharjo
masih tergantung pada sumber penerimaan keuangan dari pemerintah pusat.
4.
Berdasarkan rasio Keserasian,
pengeluaran belanja rutin lebih besar dibandingkan dengan belanja pembangunan.
Besarnya belanja rutin ini dikarenakan besarnya belanja pegawai.
5.
Berdasarkan Rasio Pertumbuhan , secara keseluruhan mengalami peningkatan disetiap tahunnya yang
disebabkan bertambahnya penerimaan pajak dan retribusi daerah.
B.
Keterbatasan Penelitian
Dari hasil penelitian dan hasil
analisis data serta kesimpulan. Keterbatasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Penelitian ini tidak dapat menganalisis
keseluruhan unsur perkembangan APBD, sehingga tidak didapatkan hasil analisis
yang lengkap dan menyeluruh.
2. Penelitian ini hanya menggunakan lima model
analisis rasio keuangan, sehingga tidak didapatkan hasil analisis yang lengkap
dan menyeluruh.
3. Penelitian ini hanya menganalisis APBD
tahun anggaran 2001-2005 Kabupaten Sukoharjo saja.
C. Saran
Berdasarkan
hasil analisis data dan kesimpulan tentang kinerja keuangan Pemerintah
kabupaten Sukoharjo, penulis mencoba mengajukan beberapa saran. Saran-saran
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana
dinyatakan dalam UU Nomor 22 tahun 1999 Jo UU Nomor 32 tahun 2004, sangat
diperlukan kemandirian keuangan daerah agar tingkat ketergantungan keuangan
daerah kepada pemerintah pusat dapat dikurangi melalui intensifikasi Pendapatan
Asli Daerah yang dilakukan oleh masing-masing daerah.
2. Mengingat terbatasnya jumlah dan jenis
sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah, maka diperlukan penyerahan beberapa
sumber keuangan nasional yang potensial untuk dikelola dan dipungut sendiri
oleh daerah dan menjadi penerimaan PAD.
3. Penelitian ini hanya menganalisis beberapa
komponen dalam perkembangan APBD, diharapkan untuk penelitian selanjutnya dapat
menganalisis seluruh komponen yang terdapat dalam APBD sehingga akan lebih
lengkap.
4. Penelitian ini hanya menggunakan beberapa
model analisis rasio keuangan, untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat
menggunakan seluruh model analisis rasio keuangan sehingga hasil analisisnya
lebih lengkap dan menyeluruh.
5.
Penelitian
ini hanya dilakukan pada tahun anggaran 2001-2005 di Kabupaten Sukoharjo saja,
diharapkan untuk penelitian selanjutnya obyek penelitiannya dilakukan
dibeberapa kota sehingga terdapat perbandingan antara kota yang satu dengan
kota yang lain.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL.............................................................................. i
KATA PENGANTAR............................................................................ ii
DAFTAR ISI.......................................................................................... iv
DAFTAR TABEL.................................................................................. vii
DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................... viii
ABSTRAKSI.......................................................................................... ix
A.
Latar Belakang.................................................................. 1
B.
Perumasan Masalah........................................................... 6
C.
Pembatasan Masalah.......................................................... 6
D.
Tujuan Penelitian............................................................... 6
E.
Manfaat Penelitian............................................................. 7
F.
Sistematika Penulisan........................................................ 7
A.
Tinjauan Tentang Akutansi
pemerintahan......................... 9
1.
Pengertian akutansi
pemerintahan............................ 9
2.
Tujuan Akutansi Pemerintahan................................. 10
3.
Karakteristi Akutansi
Pemerintahan......................... 11
4.
Syarat Akutansi Pemerintahan.................................. 11
B.
OTONOMI DAERAH..................................................... 14
1.
Pengertian Otonomi Daerah..................................... 14
2.
Daerah Otonomi....................................................... 16
3.
Hakekat, Tujuan dan Prinsip
Otonomi Daerah......... 16
C.
Tinjuan Keuangan Daerah................................................. 20
1.
Kemampuan Keuangan Daerah................................ 20
2.
Pengelolaan Keuangan Daerah................................. 23
3.
Pengelolaan Pengeluaran Daerah.............................. 27
D.
Anggaran Pendapatan Dan Belanja
Daerah (APBD)........ 32
E.
Analisis Rasio Anggaran
Pendapatan Dan Belanja
Daerah 36
F.
Tinjauan Penelitian Terdahulu........................................... 42
BAB III METODE PENELITIAN........................................................ 43
A.
Jenis Penelitian.................................................................. 43
B.
Obyek Penelitian............................................................... 43
C.
Data Dan Sumber Data..................................................... 43
D.
Metode Pengumpulan Data............................................... 44
E.
Metode Analisis Data........................................................ 44
BAB IV ANALISA DATA DAN PERSEMBAHAN.......................... 50
A.
Gambaran Umum Kabupaten
Sukoharjo........................... 50
1.
Keadaan Geografis................................................... 50
2.
Luas Wilayah............................................................ 50
B.
Analisa............................................................................... 51
1.
Rasio Kemandirian keuangan
Daerah....................... 51
2.
Rasio Derajat Desentralisasi
Fiskal........................... 55
3.
Rasio Indeks Kemampuan Rutin.............................. 57
4.
Rasio Keserasian....................................................... 59
5.
Rasio Pertumbuhan................................................... 61
A.
Kesimpulan...................................................................... 65
B.
Keterbatasan Penelitian................................................... 66
C.
Saran-Saran..................................................................... 67
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel II.1 Pola Hubungan Dan Tingkat Kemampuan Daerah........ 23
Tabel II.2 Skala Internal Derajad Desentralisasi Fiskal.................. 39
Tabel II.3 Skala Interval Indeks Kemampuan Rutin...................... 40
Tabel III.1 Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal................... 46
Tabel III.2 Skala Interval Indeks Kemampuan Rutin...................... 47
Tabel IV.1 Sumber Pendapatan Dari Pihak Ekstern......................... 52
Tabel IV.2 Perhitungan Rasio Kemandirian Keuangan Daerah....... 52
Tabel IV.3 Kontribusi
PAD terhadap TPD Kab Sukoharjo............. 56
Tabel IV.4 Kontribusi
PAD Terhadap Pengeluaran Rutin Kab
Sukoharjo........................................................................ 58
Tabel V.5 Belanja Rutin, Belanja Pembangunan Dan Total
APBD
Kab Sukoharjo................................................................ 59
Tabel IV.6 Rasio Pertumbuhan APBD Kab Sukoharjo.................... 62
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Realisasi APBD Sukoharjo Tahun Anggaran 2001 – 2005.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim. 2001.
Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta: UPP YKPN.
Abdul Halim. 2002.
Akuntansi Sektor Publik. Jakarta : Salemba Empat.
Anita
Wulandari. 2001. Kemampuan
Keuangan Daerah. Jurnal
Kebijakan dan Adminislrasi Publik
Vol 5 No 2 November
Bahtiar Arif,
Muchlis, Iskandar. 2002.
Akuntansi Pemerintahan, Jakarta : Salemba Empat.
Biro Pusat Statistik. 2005. Sukoharjo
Dalam Angka 2004. BPS Sukoharjo.
Hadari Nawawi. 1991. Metode
Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : UGM Press.
Helfert, Erich.
2000. Teknikanalisa Keuangan. Jakarta : Erlangga.
Kifliansyah. 2001. Analisa Realisasi Anggaran Pendapatan
Dan Belanja Daerah, Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta : UPP YKPN.
Kustadi Arinta. 1996. Pengantar
Akuntansi Pemerintahan. Bandung : Citra Aditya Bakti.
Mohammad Jimmi Ibrahiin. 1991. Prospek Otonomi
Daerah. Semarang : Dahara Prize.
Mohammad
Nazir. 2003. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Mudrajat Kuncoro. 1997. Kkonomi Pembangunan
: Teori, masalah-masalah dan kebijakan. Yogyakarta
: UPP YKPN .
Natahiddin. 2001. Potensi dana perimbangan
pada pemerintahan daerali di Propinsi Jambi , Manajemen
Keuangan Daerah .
Yogyakarta : UPP YKPN .
Nirzawan. 2001, Tinjauan umum terhadap
sistem pengelolaan Keuangan Daerah di Bengkulu Utara, Manajemen Keuangan Daerah .
Yogyakarta : UPP YKPN. v-
Nur Indriantoro, Bambang
Supomo. 2002. Metode Penelitian Bisnis.
Yogyakarta : BPFE.
Slamet
Munawir. 1995. Analisa Laporan Keuangan. Yogyakarta: Liberty.
Suparmoko.
2002. Ekonomi Publik. Yogyakarta: ANDI.
UU RI. 2004. Undang-UndangRipublikIndonesia
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah.
UU RI. 2004. Undang-UndangRipublik
Indonesia Nomor 3 3 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah.
UU RI. 2000. Peraturan Pemerintah Nomor 105
Tahun 2000 Tentang Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.
Widodo. 2001. Analisa Rasio
Keuangan pada APBD Boyolali, Manajemen
Keuangan Daerah. Yogyakarta: UPP YKPN.
Yuliati. 2001.
Analisis Kemampuan Keuangan Daerah dalam menghadapai Otonomi Daerah, Manajemen
Keuangan Daerah. Yogyakarta : UPP YKPN .
”ANALISIS PERKEMBANGAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH DALAM MENDUKUNG PELAKSANAAN
OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN SUKOHARJO”
Disusun
oleh :
Adhidian
Fajar Sakti
B 200 040 345
FAKULTAS EKONOMI AKUNTANSI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2007
0 komentar:
Post a Comment