“Anak Putus Sekolah dan Cara
Pembinaannya
di Kecamatan Jangka Kabupaten
Bireuen”.
ABSTRAK
Putus sekolah bukan merupakan salah satu permasalahan pendidikan yang tak
pernah berakhir. Masalah ini telah berakar dan sulit untuk dipecahkan
penyebabnya, tidak hanya karena kondisi ekonomi, tetapi ada juga yang
disebabkan oleh kekacauan dalam keluarga, dan lain-lain. Hal ini juga dialami
oleh beberapa anak di Kecamatan Jangka Kabupaten Bireuen. Oleh karena itu
penulis ingin mengetahui dan meneliti lebih jauh tentang sebab-sebab anak putus
sekolah. Pembahasan ini berjudul “Anak Putus Sekolah dan Cara Pembinaannya di
Kecamatan Jangka Kabupaten Bireuen”. Permasalahan dalam penelitian ini adalah
apa yang menyebabkan anak-anak putus sekolah di Kecamatan Jangka. Bagaimana
orang tua, masyarakat dalam mengatasi terjadinya anak putus sekolah serta
bagaimana cara pembinaannya. Tujuan pembahasan ini adalah menemukan jawaban
dari permasalahan di atas yaitu untuk mengetahui berapa banyak anak putus
sekolah di Kecamatan Jangka, faktor-faktor apa saja yang menyebabkan anak putus
sekolah, sikap orang tua, serta bagaimana cara pembinaan terhadap anak yang
putus sekolah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
lapangan dan kepustakaan. Metode lapangan dilakukan dengan tiga teknik
pengumpulan data yaitu observasi, angket dan wawancara. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ada beberapa faktor penyebab anak putus sekolah di Kecamatan
Jangka. Secara umum masalah utamanya adalah kondisi ekonomi keluarga yang
kurang mendukung. Sebagian lagi adalah faktor keluarga yang menyebabkan
anak-anak di Kecamatan Jangka putus sekolah. Adapun orang tua dan masyarakat
dalam menghadapi anak putus sekolah ada dua yaitu upaya pencegahan dan upaya
pembinaan. Upaya pencegahan dilakukan sebelum putus sekolah dengan mengamati,
memperhatikan permasalahan-permasalahan anak-anak dan dengan menyadarkan orang
tua akan pentingnya pendidikan demi menjamin masa depan anak serta memberikan
motivasi belajar kepada anak. Adapun upaya pembinaan yang dilakukan adalah
dengan mengajarkan nilai-nilai keagamaan dan sosial kemasyarakatan kepada anak,
serta memberikan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya supaya anak
disibukkan serta dapat menghindarinya dari pikiran yang menyimpang.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak merupakan
amanah dari Allah Swt, seorang anak dilahirkan dalam keadaan fitrah tanpa noda
dan dosa, laksana sehelai kain putih yang belum mempunyai motif dan warna. Oleh
karena itu, orang tualah yang akan memberikan warna terhadap kain putih
tersebut; hitam, biru hijau bahkan bercampur banyak warna.
Setiap orang tua menginginkan
anak-anaknya cerdas, berwawasan luas dan bertingkah laku baik, berkata sopan
dan kelak suatu hari anak-anak mereka bernasib lebih baik dari mereka baik dari
aspek kedewasaan pikiran maupun kondisi ekonomi. Oleh karena itu, di setiap
benak para orang tua bercita-cita menyekolahkan anak-anak mereka supaya
berpikir lebih baik, bertingkah laku sesuai dengan agama serta yang paling
utama sekolah dapat mengantarkan anak-anak mereka ke pintu gerbang kesuksesan
sesuai dengan profesinya.[1]
Setelah keluarga, lingkungan kedua bagi anak adalah
sekolah. Di sekolah, guru merupakan penanggung jawab pertama terhadap
pendidikan anak sekaligus sebagai suri teladan. Sikap maupun tingkah laku guru
sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan pembentukan pribadi anak.
Pada perspektif lain, kondisi ekonomi
masyarakat tentu saja berbeda, tidak semua keluarga memiliki kemampuan ekonomi
yang memadai dan mampu memenuhi segala kebutuhan anggota keluarga. Salah satu
pengaruh yang ditimbulkan oleh kondisi ekonomi seperti ini adalah orang tua
tidak sanggup menyekolahkan anaknya pada jenjang yang lebih tinggi walaupun
mereka mampu membiayainya di tingkat sekolah dasar. Jelas bahwa kondisi ekonomi
keluarga merupakan faktor pendukung yang paling besar kelanjutan pendidikan
anak-anak., sebab pendidikan juga membutuhkan dana besar.
Hampir di setiap tempat banyak
anak-anak yang tidak mampu melanjutkan pendidikan, atau pendidikan putus di
tengah jalan disebabkan karena kondisi ekonomi keluarga yang memprihatinkan. Kondisi
ekonomi seperti ini menjadi penghambat bagi seseorang untuk memenuhi
keinginannya dalam melanjutkan pendidikan. Sementara kondisi ekonomi seperti
ini disebabkan berbagai faktor, di antaranya orang tua tidak mempunyai
pekerjaan tetap, tidak mempunyai keterampilan khusus, keterbatasan kemampuan
dan faktor lainnya.
Putus sekolah bukan merupakan persoalan
baru dalam sejarah pendidikan. Persoalan ini telah berakar dan sulit untuk di
pecahkan, sebab ketika membicarakan solusi maka tidak ada pilihan lain kecuali
memperbaiki kondisi ekonomi keluarga. Ketika membicarakan peningkatan ekonomi
keluarga terkait bagaimana meningkatkan sumber daya manusianya. Sementara semua
solusi yang diinginkan tidak akan lepas dari kondisi ekonomi nasional secara
menyeluruh, sehingga kebijakan pemerintah berperan penting dalam mengatasi
segala permasalahan termasuk perbaikan kondisi masyarakat.[2]
Menurut pengamatan sementara, sebagian
anak-anak di Kecamatan Jangka mengalami putus sekolah terutama anak-anak yang
sedang menempuh pendidikan di tingkat atas. Maka hal yang menjadi rumusan
masalah di sini adalah sebagai berikut:
1. Berapa banyak anak putus sekolah di Kecamatan
Jangka?
2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya
anak putus sekolah di Kecamatan Jangka?
3. Bagaimana sikap orang tua terhadap pendidikan
anaknya?
4. Bagaimana cara pembinaan orang tua terhadap anak
putus sekolah di Kecamatan Jangka?
5. Bagaimanakah cara masyarakat menanggulangi anak
putus sekolah di Kecamatan Jangka?
Berdasarkan latar belakang dan rumusan
masalah tersebut di atas maka timbullah keinginan penulis untuk mengangkat
permasalahan ini dalam sebuah karangan ilmiah (skripsi)dengan menetapkan
sebagai judul adalah: “Anak Putus Sekolah dan Cara pembinaannya di Kecamatan
Jangka Kabupaten Bireuen”.
B. Penjelasan Istilah
Untuk menghindari kekeliruan dan lebih
mengarahkan pembaca dalam memahami judul skripsi ini penulis merasa perlu untuk
menjelaskan beberapa istilah yang terdapat dalam judul tersebut. Adapun
istilah- istilah yang perlu di jelaskan adalah sebagai berikut:
1. Anak
Artinya orang atau binatang yang baru
di teteskan. Anak adalah turunan kedua sesudah orang yang dilahirkan. Dari
pengertian di atas dapat dipahami bahwa anak adalah manusia yang hidup setelah
orang yang melahirkannya, anak itu merupakan rahmat Allah kepada manusia yang
akan meneruskan cita-cita orang tuanya dan sebagai estafet untuk masa yang akan
datang.[3]
Adapun anak yang penulis maksudkan
dalam skripsi ini adalah anak sebagai keturunan kedua dari sepasang suami istri
yang terikat dengan tali pernikahan yang sah yang tidak terlepas dari didikan
orang tua baik didikan agama maupun pendidikan umum sehingga anak bisa bersaing
dan tercapai cita-citanya.
2. Anak Putus
Sekolah
Putus sekolah (dalam bahasa Inggris
dikenal dengan Putus sekolah) adalah proses berhentinya siswa secara
terpaksa dari suatu lembaga pendidikan tempat dia belajar. Anak Putus sekolah
yang dimaksud dalam penulisan skripsi ini adalah terlantarnya anak dari sebuah
lembaga pendidikan formal, yang disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya
kondisi ekonomi keluarga yang tidak memadai.
3. Cara Pembinaannya
Cara: 1). Aturan sistem. 2). Gaya,
laku, ragam. 3). Adat, resam, kebiasaan. Pembinaan merupakan suatu proses
kegiatan yang di lakukan secara berdaya guna memperoleh hasil yang baik.[4]
Adapun pembinaan yang dimaksud dalam
pembahasan ini adalah suatu usaha untuk pembinaan kepribadian yang mandiri dan
sempurna serta dapat bertanggungjawab, atau suatu usaha, pengaruh, perlindungan
dalam bantuan yang di berikan kepada anak yang tertuju kepada kedewasaan anak
itu, atau lebih cepat untuk membantu anak agar cakap dalam melaksanakan tugas
hidup sendiri, pengaruh itu datangnya dari orang dewasa (diciptakan oleh orang
dewasa seperti sekolah, buku pintar hidup sehari-hari, bimbingan dan nasehat
yang memotivasinya agar giat belajar), serta di tujukan kepada orang yang belum
dewasa.
Menurut Yurudik Yahya, pembinaan
adalah “suatu bimbingan atau arahan yang dilakukan secara sadar dari orang
dewasa kepada anak yang perlu dewasa agar menjadi dewasa, mandiri dan memiliki
kepribadian yang utuh dan matang kepribadian yang dimaksud mencapai aspek
cipta, rasa dan karsa.[5]
Istilah pembinaan atau berarti “ pendidikan”
yang merupakan pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa
kepada anak yang belum dewasa. Selanjutnya pembinaan atau kelompok orang lain
agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat kehidupan yang lebih tinggi dalam
arti mental.
Dari penjelasan di atas dapat penulis
simpulkan bahwa pembinaan merupakan suatu proses yang di lakukan untuk merubah
tingkah laku individu serta membentuk kepribadiannya, sehingga apa yang di
cita-citakan dapat tercapai sesuai dengan yang diharapkan.
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak penulis
capai dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui berapa banyak anak putus sekolah
di Kecamatan Jangka.
2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan anak putus
sekolah.
3. Bagaimana sikap orang tua terhadap anak putus
sekolah?
4. Bagaimana usaha masyarakat dalam menanggulangi
anak putus sekolah di Kecamatan Jangka.
D. Postulat dan Hipotesis
Bertitik tolak pada latar belakang masalah di atas, maka
penulis perlu mengemukakan beberapa postulat yang kedudukannya sebagai dasar
pemikiran dalam suatu wilayah. Winarno Surachman mengemukakan bahwa: “ Anggapan
dasar (postulat) yang menjadi tumpuan dasar segala pandangan dan kegiatan
terhadap masalah yang dihadapi dalam suatu penelitian. Postulat ini menjadi
titik pangkal, di mana dengan adanya postulat ini tidak lagi menjadi
keragu-raguan penyelidik”.[6]
Adapun postulat (anggapan dasar) dalam
masalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Anak-anak
wajib memperoleh pendidikan, terutama pada usia 9 (sembilan) sampai 15 (lima belas) tahun, karena sesuai
dengan peraturan pemerintah.
2.
Tanggung jawab
pendidikan anak berada pada tangan orang tua, guru dan masyarakat.
Berdasarkan anggapan dasar di atas,
maka yang menjadi hipotesis (dugaan sementara) adalah sebagai berikut:
1. Kebanyakan anak putus sekolah di Kecamatan Jangka
disebabkan oleh kurangnya biaya dan kesadaran orang tua dalam menyekolahkan anaknya.
2. Anak putus sekolah di Kecamatan Jangka berdampak
negatif dalam masyarakat.
3. Cara pembinaan terhadap anak putus sekolah di
Kecamatan Jangka belum optimal.
E. Populasi dan Sampel
Populasi adalah “Keseluruhan objek
penelitian, sedangkan sampel adalah sebagian dari populasi yang dapat mewakili
keseluruhan populasi yang ada”.[7]
Adapun yang menjadi populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang ada di Kecamatan Jangka yang
berjumlah 44 desa dengan jumlah penduduknya 24.208 jiwa, yang terdiri dari 5
(lima) kemukiman dan tingkat putus sekolahnya diambil mulai dari Sekolah Dasar
dan Menegah. Berdasarkan populasi di atas maka yang dijadikan sebagai sampel
dalam penelitian ini adalah 3 desa yang terdapat dalam Kecamatan Jangka yang
mempunyai anak putus sekolah. Sampel yang penulis ambil di sini adalah
masing-masing 2 orang dari 3 desa yaitu kepalah desa dan Tgk. Imum Meunasah. Sampel
ini dianggap dapat mewakili seluruh populasi dan dapat memberikan data yang
penulis perlukan. Tiga desa tersebut menurut pengamatan penulis adalah desa
yang banyak terdapat anak putus sekolah, yaitu:
1. Bugak Punjot, dengan jumlah 2 orang (Kepala Desa
dan Tgk. Imum)
2. Bugak Mesjid, dengan jumlah 2 orang (Kepala Desa
dan Tgk. Imum)
3. Bugak Meunasah dua, dengan jumlah 2 orang (Kepala
Desa dan Tgk. Imum)
F. Metodelogi Penelitian
Setiap penelitian memerlukan metode
dan teknik pengumpulan data yang sesuai dengan masalah yang dihadapi. Metode
penelitian yang dapat dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif yaitu “suatu metode yang ingin mengungkapkan, mengembangkan dan
menafsirkan data, peristiwa, kejadian-kejadian dan gejala-gejala
fenomena-fenomena yang terjadi pada saat sekarang”.[8]
Metodologi penelitian ini sangat tepat
digunakan untuk memperoleh data dan informasi yang objektif. Dalam
pelaksanaannya penulis menggunakan dua jenis penelitian, adalah sebagai
berikut:
1. Library Research (studi kepustakaan), digunakan untuk melihat dan mempelajari buku-buku,
literatur-literatur dan bahan referensi lainnya sebagai sumber untuk
menguraikan landasan teoritis dari skripsi ini.
2. Field Research (studi lapangan), digunakan untuk mencari dan mengumpulkan data dari
lapangan. Yang dalam pelaksanaannya digunakan3 (tiga) instrumen penelitian,
yaitu:
a. Observasi
Yaitu cara yang
ditempuh untuk mengamati kondisi lapangan penelitian, yaitu pengamatan langsung
maupun tidak langsung yang ditemui di daerah penelitian.
b. Wawancara
Wawancara yaitu
cara yang ditempuh untuk mewawancarai para informan demi memperoleh data-data
yang diperlukan dalam penelitian ini. Wawancara ditujukan dengan jalan
mengajukan pertanyaan langsung kepada tokoh pimpinan dengan pertanyaan yang
telah di persiapkan.
c. Angket
Angket merupakan
beberapa pertanyaan-pertanyaan sesuai dengan masalah penelitian yang telah di
persiapkan kepada masing-masing responden, yaitu masyarakat tiap desa yaitu 3
desa yang terdapat dalam Kecamatan Jangka yang mempunyai anak putus sekolah
untuk memberikan jawabannya.
Adapun teknik penulisan skripsi ini
penulis berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Fakultas Tarbiyah
IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh Tahun 2004”. Dan buku-buku lain yang
dianggap penting.
BAB II
PENDIDIKAN BAGI ANAK
A. Pentingnya Pendidikan Bagi Anak
Pentingnya pendidikan telah ditegaskan
dalam agama Islam sejak turunnya ayat pertama yaitu:
اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ(1) خَلَقَ اْلإِنْسَانَ مِنْ
عَلَقٍ(2) اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ(3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ(4) عَلَّمَ
الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ(5)...
Artinya: “Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah, yang mengajarkan
(manusia)”.
Itulah ayat yang pertama turun pada
Nabi Muhammad Saw ketika berkhalwat di goa Hira, yang menyangkut dengan
perintah membaca. Landasan atau dasar
hukum mengenai belajar banyak sekali ditemukan dalam Al-Qur`an maupun hadits,
seperti firman Allah dalam surat Az-Zumar ayat 9:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ إِنَّمِا يَتَذَكَّرُ أُوْلُوا اْلأَلْبَابِ
(الزمر:9)
Artinya:“Katakanlah
(Ya Muhammad), tidaklah sama antara orang berilmu dengan orang yang tidak
berilmu, sesungguhnya orang yang memiliki akan pikiran adalah orang yang dapat
memberi pelajaran.(Al-Zumar: 9).
Ayat di atas menegaskan bahwa orang
yang berilmu tersebut tidak sama dengan orang yang tidak berilmu, karena hanya
orang yang berilmulah yang dapat menerima pelajaran.
Adapun dasar hukum wajib belajar dalam
hadis adalah:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: طَلَبُ اْلْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلىَ كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ
(رواه البخارى ومسلم)
Artinya: “Dari
Abu Hurairah ra. Rasulullah Saw bersabda: menuntut ilmu itu wajib bagi setiap
kaum muslim dan kaum muslimah (HR.
Bukhari dan Muslim).[9]
Dalam hadits lain Rasulullah Saw
bersabda:
عَنْ اِبْنُ عَبَّاس رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ وَمَنْ
أَرَادَا اْلأَخِرَةِ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ وَمَنْ أَرَادَهُمَامَعًا فَعَلَيْهِ
بِالْعِلْمِ (رواه أحمد)
Artinya: “Dari Ibnu Abbas
berkata: Rasulullah Saw bersabda: siapa yang ingin meraih kehidupan dunia
dengan baik maka harus dengan ilmu, begitu juga siapa yang ingin meraih
kesuksesan di akhirat maha juga harus dengan ilmu, dan siapa saja yang ingin
meraih kedua-duanya, maka harus dengan ilmu (HR. Ahmad).[10]
Hadits
di atas menjelaskan bahwa, ilmu adalah segala-galanya dan wajib dituntut oleh
kaum muslimin dan muslimah serta siapa saja yang ingin mencari kebahagiaan baik
di dunia maupun akhirat. Dua kebahagiaan tersebut baru bisa dicapai adalah
dengan ilmu (pendidikan). Karena kebahagiaan merupakan tujuan setiap manusia,
Seseorang yang menempuh jalan kebahagiaan berarti sedang menuju pada
kesempurnaan. Menurut Ibn Bajjah :
Kebahagiaan adalah
jika seseorang telah mencapai dalam hidupnya martabat ilmu atau hikmah atau
keberanian atau kemuliaan dan ia sendiri sadar sebagai seseorang yang berilmu,
bijaksana, berani atau mulia, lalu ia berbuat sesuatu dengan apa yang
diketahuinya, tanpa ria dan tanpa mengharapkan keuntungan apapun. Maka itu ia
merasa ketenteraman batin dan mengetahui hakikat hidup dan wujud itu.[11]
Berdasarkan kutipan di atas maka kebahagiaan itu ialah
apabila seseorang telah mencapai tujuan hidupnya dan dapat melakukan aktivitas
sehari-hari berdasarkan ilmu sehingga ia menjadi orang yang bijaksana, beramal
mulia dan bermartabat.
Dalam Islam kebutuhan seseorang
terhadap pendidikan bukanlah hanya sekedar mengembangkan aspek individual dan
sosial yang bersifat mementingkan pertumbuhan dan perkembangan secara fisik
saja, akan tetapi juga untuk mengarahkan naluri agama yang telah ada dalam setiap diri anak, karena pada
dasarnya setiap jiwa manusia itu telah disirami dengan nilai-nilai agama Islam.
Naluri agama yang dimiliki oleh manusia untuk melangsungkan kehidupannya di
dunia ini merupakan suatu pedoman yang harus di tanamkan kepada anak sejak
dini, sehingga proses pendidikan adalah untuk mengembangkan potensi agama
tersebut ke arah yang sebenarnya.[12]
Pertumbuhan dan perkembangan jiwa anak
tidak mungkin tumbuh dan berkembang baik tanpa adanya latihan dan bimbingan
yang bersifat mendidik. Pendidikan tersebut menyangkut dengan pertumbuhan dan
perkembangan jasmani maupun rohani anak. Pendidikan secara umum dimulai pada
usia 9 (sembilan) sampai dengan 15 (lima belas) tahun.
Sudirman, N. mengatakan bahwa:
Belajar adalah pendidikan bagi seseorang.
Pendidikan sendiri adalah terjemahan dari bahasa Yunani paedagogie asal
katanya adalah pais yang artinya anak dan again yang
terjemahannya membimbing, dengan demikian paedagogie berarti bimbingan
yang diberikan pada anak. Dalam perkembangan selanjutnya pendidikan berarti
usaha yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi seseorang
atau kelompok lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan
yang lebih tinggi dalam arti mental.[13]
Sudah jelas bahwa arti pendidikan itu
adalah proses pendewasaan seseorang yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap
anak didiknya melalui proses pendidikan baik formal maupun non formal.
Pendapat lain menerangkan bahwa
pendidikan itu adalah usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan
pribadinya atau kehidupan kemasyarakatan serta kehidupan di alam sekitarnya.[14]
Dalam hal ini anak-anak dididik cara
bergaul dengan masyarakat dan lingkungannya. Sehingga anak akan mampu mengemban
tanggung jawab kepemimpinan masa depan yang sukses. Kalau pendidikan anak
diperhatikan dengan benar, maka dapat diharapkan di kemudian hari akan muncul
generasi baru yang berkualitas, sehat fisik dan akalnya, sempurna akhlaknya
serta mampu melaksanakan dan mengemban cita-cita orang tua dan bangsa secara
bertanggung jawab.
Anak ketika pertama dilahirkan ke
permukaan bumi ini dalam keadaan lemah dan bodoh, tidak tahu apa-apa sehingga
memerlukan kepada bantuan orang lain untuk mendidiknya hal ini sebagaimana
firman Allah Swt:
وَاللهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُوْنِ أُمَّهَتِكُمْ لاَتَعْلَمُوْنَ
شَيْئًا...(النحل: 78)
Artinya:
“Dan Allah telah mengeluarkan kamu
dari perut ibumu sedangkan kamu tidak mengetahui apa-apa”, (QS. An-Nahl: 78).
Ayat di atas menyatakan bahwa manusia
dilahirkan ke bumi ini dalam keadaan lemah dan tidak mengetahui apa-apa.
Kelemahan manusia itu harus dikembangkan melalui proses pendidikan secara
kontinu mulai dari masa kanak-kanak sampai dewasa bahkan sampai manusia itu
meninggalkan dunia fana ini. Seperti yang ditegaskan Rasulullah Saw dalam
hadisnya:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قاَلَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أُطْلُبُوا اْلعِلْمِ مِنَ اْلمَهْدِ اِلَى الْلَحْدِ
(رواه البخارى والمسلم)
Artinya:
“Dari Abu Hurairah ra. berkata:
Rasulullah Saw berkata: Tuntutlah ilmu mulai dari ayunan hingga ke liang
lahad”. (HR. Bukhari dan Muslim).[15]
Hadis di atas memberi pengertian bahwa
pendidikan itu tidak mengenal usia, mulai semenjak dalam ayunan (kanak-kanak)
pendidikan sudah diberikan hingga umur beranjak dewasa. Berakhirnya masa dewasa
bukan berarti berakhir pula pendidikan, karena Islam berprinsip bahwa
pendidikan manusia berakhir setelah berpisahnya roh dari badan. Hal ini di
pahami dari hadis di atas yang menyatakan bahwa pendidikan tersebut dimulai
dari ayunan hingga ke liang lahad.
Bantuan dan pendidikan yang diberikan
oleh orang tua kepada anak-anak adalah untuk mengembangkan potensinya menjadi
manusia dewasa yang dapat mengemban tanggung jawab yang dibebankan kepadanya.
Dari itu bagaimanapun terbelakangnya peradaban suatu masyarakat tersebut pasti
berlangsung suatu proses pendidikan. Tapi maju mundurnya tingkat pendidikan itu
berbeda-beda menurut perkembangan peradaban suatu masyarakat.
Pendidikan itu sudah ada semenjak
manusia itu ada, karena pada hakikatnya pendidikan merupakan usaha manusia
untuk mengembangkan potensi dalam dirinya. Setiap individu akan berbeda tingkat
perkembangan potensinya, sejauh mana ia memahami perbedaan dalam hidupnya, dari
tidak bisa berjalan menjadi bisa berjalan, dari kecil menjadi besar dan dari
sukar menjadi mudah. Sehingga kekuatan potensinya akan mempengaruhi pada
seluruh aspek kehidupannya.
Mhd. Tabrani. ZA mengemukakan bahwa:
Pendidikan berkembang dari yang sederhana
(primitif) yang berlangsung dalam zaman di mana manusia masih berada dalam
ruang lingkup kehidupan yang serba sederhana. Tujuan-tujuannya pun amat
terbatas pada hal-hal yang bersifat survival (pertahanan hidup terhadap ancaman
alam sekitar).[16]
Pendapat di atas menyatakan bahwa,
pendidikan dimulai dari yang sederhana, yaitu pendidikan yang diberikan kepada
anak harus disesuaikan dengan situasi dan kondisinya. Pendidikan ditujukan
bukan hanya pada pembinaan keterampilan, melainkan kepada pengembangan
kemampuan-kemampuan teoretis dan praktis berdasarkan konsep-konsep berpikir
ilmiah. Kemampuan konsepsional demikian berpusat pada pengembangan kecerdasan
manusia itu sendiri. Oleh karena itu faktor daya pikir manusia menjadi
penggerak terhadap daya-daya lainnya untuk menciptakan peradaban dan kebudayaan
yang semakin maju.
Pendidikan adalah suatu hal yang amat
esensial dalam perkembangan anak-anak dalam menuju kedewasaannya. Pendidikan
yang utama pada dasarnya adalah penanaman nilai-nilai akhlak yang terpuji ke
dalam jiwa anak sejak kecil hingga menjadi dewasa, sehingga dalam menghadapi
kehidupannya di tengah masyarakat memiliki kemampuan dan keterampilan serta
berakhlak mulia.[17]
Pendidikan sangat menentukan diri anak
dalam perkembangannya menuju ke arah yang lebih baik. Apalagi di zaman modern
ini yang segala sesuatu dapat berubah dengan serba cepat adalah berkat pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), sehingga dapat menciptakan
bermacam-macam alat yang canggih. Bahkan kecepatan alat itu dapat mengalahkan kecepatan
manusia itu sendiri. Pendidikan merupakan hal yang penting dalam pertumbuhan
individu anak. Pendidikan adalah semacam investmen untuk menumbuhkan
sumber-sumber manusia yang tidak kurang nilainya dari investmen pada
pertumbuhan sumber-sumber material.[18]
Dalam hal ini Hasan Langgulung
mengemukakan bahwa;
Di antara segi-segi pertumbuhan dan
persiapan yang mungkin adalah membuka dan mengembangkan serta memperkenalkan
kepada anak akan hak-hak yang diberikan oleh Tuhan sebagai individu di dalam
suatu masyarakat Islam. Anak juga harus disiapkan dengan sehat untuk menikmati
dan memperkenalkan dengan bijaksana akan hak-hak itu, memikul kewajiban,
tanggung jawab dengan penuh kemampuan, juga untuk mengadakan hubungan sosial
yang berhasil dan kehidupan ekonomi yang produktif.[19]
Dari kutipan di atas dapat dipahami
bahwa anak-anak dalam pertumbuhannya harus dipersiapkan dengan sematang mungkin
dengan pendidikan untuk mengembangkan dirinya sebagai seorang muslim yang tidak
hanya mementingkan hak saja melainkan juga mengetahui tentang kewajibannya
terhadap Tuhan.
Islam mengaku akan pentingnya
pendidikan bagi anak sebagai salah satu tujuan pokok yang dituju oleh individu atau
masyarakat untuk membinanya. Begitu juga sebagai salah satu alat kemajuan dan
ketinggian bagi individu dan masyarakat, yang merupakan langkah pertama untuk
membina keterampilan dan sikap yang diinginkan pada diri anak ke arah yang
lebih baik.[20]
Pendidikan secara langsung merupakan
dasar pembentukan kepribadian, kemajuan ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi,
dan kemajuan kehidupan sosial pada umumnya. Ilmu pengetahuan telah menjadi
dasar perkembangan teknologi serta menjadi tulang punggung pembangunan dan
kehidupan modern dalam meningkatkan kesejahteraan hidup umat manusia.
Mengingat pentingnya pendidikan dalam
upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan mempunyai andil besar dalam memberikan
makna yang sangat tinggi kepada pembangunan bagi kesejahteraan umat manusia
dalam mengarungi bahtera kehidupan, maka dirasa sangat dominan pentingnya
pendidikan bagi anak sebagai suatu usaha untuk memberikan bekal kepada anak
agar ia pada suatu ketika dalam hidupnya dapat berdiri dan dapat memikul
tanggung jawab atas segala perbuatannya.
M. Noor Syam mengemukakan bahwa:
Pendidikan adalah suatu usaha manusia untuk membina kepribadian anak sesuai
dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan budaya.[21]
Berdasarkan pendapat di atas,
pendidikan adalah mengantarkan anak yang belum dewasa ke tingkat kedewasaannya.
Sesudah tingkat ini tercapai orang beranggapan bahwa usaha pendidikan yang
menjadi tugas orang tua dan guru akan berakhir. Kemudian anak yang sudah dewasa
itu dianggap mampu atas kekuatan sendiri tanpa bantuan orang lain dalam
menghadapi segala sesuatu dalam hidupnya. Dan atas dasar pendidikan yang telah
diperolehnya si anak berusaha sendiri mencari pemecahan untuk segala kesulitan
yang dijumpainya dalam perjalanan hidupnya.
Pendidikan mempunyai peranan yang
sangat berarti dalam kehidupan anak, karena dengan pendidikan anak dalam
kiprahnya di dunia ini dapat berbuat banyak. Melalui pendidikan pula anak
nantinya berhasil memecahkan segala persoalan yang ia hadapi, maka ia akan
memperoleh pengalaman dan pengetahuan baru yang akan bermanfaat di dalam
perjalanan hidupnya.
Apalagi di zaman globalisasi ini di
mana munculnya berbagai gejala serta masalah yang menuntut berpikir secara
global. Di era globalisasi ini umat manusia dituntut menggantikan pola-pola
berpikir yang bersifat nasional semata-mata kepada pola-pola berpikir yang
bercakupan dunia, bermoral tinggi dan berakhlak mulia.[22]
Dengan demikian pentingnya pendidikan
bagi anak adalah suatu hal yang amat esensial dalam perkembangan menuju
kedewasaannya. Pendidikan yang utama pada dasarnya adalah penanaman nilai-nilai
akhlak yang terpuji ke dalam jiwa anak sejak kecil hingga menjadi dewasa,
sehingga dalam menghadapi kehidupannya di tengah masyarakat memiliki kemampuan
dan keterampilan serta berakhlak mulia.
Pendidikan formal dapat mendidik
kedisiplinan anak dan sangat berpengaruh dalam pendidikan anak itu sendiri
sehingga terjadi keselarasan antara pendidikan di dalam keluarga dengan sekolah
dalam hal menanamkan suatu kebiasaan-kebiasaan dan budi pekerti yang baik.
B. Peranan Orang Tua Terhadap Pendidikan Anak
Orang tua merupakan orang pertama yang
sangat besar peranannya dalam membina pendidikan anak, karena dari pendidikan
itu akan menentukan masa depan anak. Peran dan upaya orang tua tersebut harus
diperhatikan dengan baik sehingga kepribadian anak dapat tumbuh dan berkembang
dengan sempurna.
Dalam hal ini Al-Husaini Abdul Majid
Hasyim, mengemukakan bahwa: Anak merupakan tanaman kehidupan, buah cita-cita,
penyejuk hati manusia, bunga bangsa yang sedang mekar berkembang dan putik
kemanusiaan yang merupakan dasar terbitnya pagi yang cerah, hari esok yang
gemilang guna merebut masa depan yang cemerlang, memelihara kedudukan umat,serta
di pundaknyalah masa depan bangsa.[23]
Pendapat di atas dengan jelas
menyatakan bahwa mempersiapkan dan mendidik anak sebagai elemen yang membentuk
keluarga, masyarakat dan bangsa. Anak merupakan unit inti yang akan membentuk
unsur pertama bagi kerangka umum pembangunan bangsa yang berkembang dan penuh
toleransi.
Dalam Islam dijelaskan bahwa anak
merupakan amanah Allah yang tidak boleh disia-siakan, karena menyia-nyiakan
anak berarti menyia-nyiakan amanah Allah Swt. Yang jelas dibebankan bagi setiap
manusia supaya anak tersebut wajib dijaga, dirawat dan dipelihara dengan baik
sesuai dengan norma-norma dan nilai islami. Dengan demikian orang tua
berkewajiban menjaga anak-anak baik melalui pembinaan keagamaan maupun
pengarahan lainnya.
Zakiah Daradjat mengemukakan bahwa:
“Hubungan orang tua dan anak sangat mempengaruhi jiwa anak. Baik buruknya serta
bertumbuh tidaknya mental anak sangat tergantung sama orang tua”.[24]
Dengan demikian jelaslah bahwa orang
tua sangat berperan dalam perkembangan anak. Peranan orang tua sangat besar
dalam membina, mendidik serta membesarkan si anak hingga menjadi dewasa. Orang
tua merupakan orang pertama anak-anak belajar mendapatkan pendidikan, otomatis
apa yang didapatkan anak pertama sekali semasa kecilnya akan membekas pada jiwa
dan raganya di kemudian
hari.
Kalau melihat peranan orang tua
sebagai pendidik pertama bagi anak, maka tidak bisa dipisahkan dari peran
seorang ibu. Karena ibulah sebagai pendidik yang utama dalam keluarga. Sebab
sejak bayi dalam kandungan sampai bayi lahir menjadi balita dan menjadi
anak-anak hingga ia dewasa, ibulah yang paling dekat dan paling sering bersama
anak.
Dalam hal ini Jamaluddin mengatakan:
Perkembangan bayi tak mungkin dapat berlangsung
secara normal tanpa adanya intervensi dari luar. Walaupun secara alami ia
memiliki potensi dari bawaan. Seandainya dalam pertumbuhan dan perkembangannya
hanya diharapkan menjadi normal sekalipun, maka ia masih memerlukan berbagai
persyaratan tertentu serta pemeliharaan yang berkesinambungan.[25]
Keterangan di atas menunjukkan bahwa
tanpa bimbingan dan pengawasan yang teratur, anak akan kehilangan kemampuan
untuk berkembang secara normal, walaupun ia memiliki potensi untuk tumbuh dan
berkembang dengan potensi-potensi lain. Yang dapat menciptakan kebahagiaan bagi
anak adalah orang tua yang merasa bahagia dan mampu memahami anaknya dari
segala aspek pertumbuhannya, baik jasmani maupun rohani dan sosial dalam semua
tingkat umur. Kemudian ia mampu memperlakukan dan mendidik anaknya dengan cara
yang akan membawa kepada kebahagiaan dan pertumbuhan yang sehat.
Orang tua memegang peranan yang sangat
penting dalam pendidikan dan bimbingan terhadap anak, karena hal itu sangat
menentukan perkembangan anak untuk mencapai keberhasilannya. Hal ini juga
sangat tergantung pada penerapan pendidikan khususnya agama, serta peranan
orang tua sebagai pembuka mata yang pertama bagi anak dalam rumah tangga. Dari
sinilah orang tua berkewajiban memberi
pendidikan dan pengajaran, terutama pendidikan agama kepada
anak-anaknya, guna membentuk sikap dan akhlak mulia, membina kesopanan dan
kepribadian yang tinggi pada mereka. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi Saw yang
menyebutkan sebagai berikut:
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةِ رَضِىَ
اللهُ عَنْهُ قَالَ : قاَلَ النَّبِى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كُلُّ
مَوْلَوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبْوَاهُ يَهُوْدِيْنِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ
أَوْيُمَاجُسِنِهِ (رواه البخارى)
Artinya:
“Dari Abu Hurairah r.a berkata: bersabda Nabi Saw. Setiap anak dilahirkan
dalam keadaan fitrah, maka orang tuanyalah yang menjadikan ia Yahudi atau
Nasrani atau Majusi”. (HR. Bukhari)[26]
Dari hadits di atas dapat disimpulkan
bahwa baik buruknya anak sangat tergantung pada sikap dari pada orang tuanya.
Seandainya orang tua akan dengki mendengki dalam praktek sehari-hari maka anak
akan turut mempengaruhi, demikian pula terhadap hal-hal yang lainnya. Anak yang
dilahirkan ke muka bumi ini dalam keadaan fitrah (kemampuan dasar) berupa
potensi religius (nilai-nilai agama). Kemampuan dasar ini pada dasarnya adalah
setiap jiwa manusia itu telah disirami dengan nilai-nilai agama Islam.[27] Naluri agama yang
dimiliki oleh manusia untuk melangsungkan kehidupannya di dunia ini merupakan
suatu pedoman yang harus ditanamkan kepada anak-anak sejak dini, sehingga
proses pendidikan adalah untuk mengembangkan potensi agama tersebut ke arah
yang sebenarnya.
Hadits
di atas juga menekankan bahwa fitrah yang dibawa sejak lahir bagi anak dapat di
pengaruhi oleh lingkungan. Fitrah tidak dapat berkembang tanpa adanya pengaruh
positif dari lingkungannya yang mungkin dapat dimodifikasi atau dapat diubah
secara drastis bila lingkungannya itu tidak memungkinkan untuk menjadikan
fitrah itu lebih baik.
Abdurrahman dalam bukunya “Madkhal
Ila At-Tarbiyah” menjelaskan bahwa pendidikan terdiri dari empat unsur
utama, yaitu:
1) Penjelasan terhadap fitrah (bakat)
2) Penumbuhan potensi dan menyimpan seluruhnya
3) Pengarahan fitrah dan potensi tersebut untuk
kebaikan dan kesehatan yang sesuai dengannya
4) Penataan dalam amaliyah pendidikan.[28]
Dari
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, pada diri anak harus ditanamkan
nilai-nilai yang baik, karena anak sejak lahir telah membawa potensi dan bakat,
dan potensi yang ada pada diri anak tersebut harus diarahkan kepada hal-hal
yang baik.
Pendidikan
berawal dari lingkungan keluarga, yaitu kedua orang tua kemudian dilanjutkan
dengan lingkungan masyarakat dan pendidikan formal (sekolah). Ketiga sumber
pendidikan (tri pusat pendidikan) tersebut harus merupakan satu kesatuan yang
saling berhubungan dan saling menunjang.
Di rumah orang tua dapat mengajarkan
dan menanamkan dasar-dasar keagamaan kepada anak-anaknya, termasuk di dalamnya
dasar-dasar bernegara, dan berperilaku baik serta berhubungan sosial lainnya.[29] Orang tua juga sangat
berpengaruh dalam pendidikan agama. Sebagaimana Firman Allah dalam surat
Luqman: 17
يَا بُنَيَّ أَقِمُ الصَّلاَةَ
وَأمْرُبِالْمَعْـرُوْفِ وَانْهَى عَنِ الْمُنْكَرُوا وَلصَّبْرُعَلىَ مَاأَصَابَكَ
اِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزَمِ اْلاُ مُوْرِ(لقمن:17)
Artinya: "Hai anakku dirikan shalat dan
suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang
mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu, sesungguhnya yang
demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan Allah Swt" (QS Luqman : 17)
Maksud
ayat di atas
adalah usaha penerapan pendidikan agama yang diusahakan oleh kedua orang tua
sebagai langkah awal adalah dengan menyuruh shalat yang dilaksanakan melalui
latihan-latihan secara rutin.
Zakiah
Daradjat mengatakan: “Anak-anak sebelum dapat memahami sesuatu pengertian
kata-kata yang abstrak seperti benar dan
salah, baik dan buruk, kecuali pengalaman sehari-hari dari orang tua dan
saudara-saudaranya”.[30]
Di
sinilah letak peran orang tua terhadap pendidikan anak yaitu dengan memberikan
pemahaman dengan kata-kata, berbuat dan bertindak. Contoh kehidupannya
sehari-hari bercorak dari tindak tanduk orang tuanya. Selanjutnya Ibnu Sina
mengatakan bahwa: “Anak-anak harus dibiasakan dengan hal-hal terpuji semenjak
ia kecil”.[31]
Contohnya adalah seperti menyuruh anak untuk shalat, bersikap santun terhadap
orang tua, bersikap sopan terhadap orang lain dan berbuat baik terhadap sesama.
Pembinaan
ini merupakan tanggung jawab sepenuhnya oleh orang tua, seperti yang
dikemukakan oleh Ibnu Sina di atas. Karena orang tua merupakan orang yang
pertama dikenal anak, maka hal ini adalah mutlak dan wajib dikerjakan, karena
merupakan perintah dari Allah.
Pendidikan
dari lingkungan keluarga (prasekolah) merupakan pendidikan yang pelaksanaannya
dilakukan sejak lahir, misalnya mulai dengan mengazankannya, mendidik dan
memperlakukannya sesuai dengan ajaran agama Islam. Orang tua sebagai kepala
keluarga haruslah berusaha semaksimal mungkin menciptakan situasi rumah tangga
yang harmonis, melaksanakan ajaran agama dengan tekun dan disiplin, menempatkan
segala tindak tanduknya (gerak-geriknya) yang baik dalam kehidupan sehari-hari,
sesuai dengan ajaran dan petunjuk agama.[32] Firman Allah Swt dalam
surat At-Tahrim ayat 6:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا قُوْا اَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ
نَارَا...(التحر يم: 6)
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka….."(QS At-Tahrim : 6).
Ayat
di atas menunjukkan bahwa memberikan pendidikan kepada anggota keluarga
merupakan suatu kewajiban supaya terhindar dari siksaan api neraka. Berarti
dalam hal ini melindungi diri dari kehancuran, juga melindungi keluarga dari
kehancuran api neraka. Sebagaimana dibutuhkannya perlindungan hari akhirat,
maka lebih dibutuhkan perlindungan di masa kehidupan di dunia. Karena yang kita
tanamkan di masa hidup di dunia, akan dipetik hasilnya di akhirat nanti.
Pendidikan yang di berikan oleh orang
tua bagi anak harus mencakup seluruh aspek kemanusiaan, baik segi kejiwaan,
fisik, intelektual dan sosial. Pendidikan tidak boleh hanya menekankan pada
satu segi saja dengan mengabaikan yang lain. Berbagai potensi dan kecenderungan
fitrah perlu dikembangkan secara bertahap dan berproses menuju kondisi yang
lebih baik.
Pendidikan prasekolah ini juga dasar
dari pada terbentuknya watak dan perilaku anak, yang dilakukan pada masa
pendidikan sekolah nanti. Pendidikan sekolah merupakan lanjutan pendidikan yang
telah diterima anak di dalam lingkungan keluarga, di mana pendidikan sekolah
merupakan pendidikan yang memberikan bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan
serta pendidikan moral anak yang pelaksanaannya selalu disesuaikan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan.
Pendidikan berarti pengembangan
potensi-potensi terpendam dan tersembunyi dalam diri anak. Anak itu laksana
lautan dalam yang penuh mutiara dan bermacam-macam ikan, tetapi tidak tampak
oleh pandangan mata. Ia masih berada di dasar laut, ia perlu kepada orang yang
ahli mengambilnya supaya mutiara itu bisa menjadi perhiasan dan ikan menjadi
makanan bagi manusia.
Hal ini juga pernah dinyatakan oleh
seorang filosof Jerman yaitu Schopenhouer, yang dikenal dengan teori Nativisme.
Teori ini menyatakan bahwa: “Bayi lahir dengan pembawaan baik atau pembawaan
buruk. Pembawaan yang bersifat kodrati dari kelahiran yang tidak dapat di rubah
oleh pengaruh alam sekitar atau pendidikan”.[33]
Dengan demikian tiap anak yang lahir
telah membawa bakatnya sendiri dari kandungan ibunya berupa potensi baik atau
buruk yang akan nampak pada kehidupan anak di masa yang akan datang yang tidak
dapat diubah. Anak mempunyai berbagai bakat dan kemampuan yang kalau pandai orang tua
menggunakannya, maka anak akan menjadi kebanggaan bagi orang tuanya, masyarakat
dan agama.
Hasan Langgulung mengemukakan bahwa:
“Pendidikan menurut pandangan individu adalah menggarap kekayaan yang terdapat
pada setiap individu agar dapat dinikmati oleh individu itu sendiri dan oleh
masyarakat serta mengantarkan anak menjadi mandiri”.[34]
Dalam hal ini Zahar Idris juga
mengemukakan sebagai berikut:
Pendidikan adalah serangkaian kegiatan
komunikasi yang bertujuan antara manusia dewasa dengan si anak didik secara
tatap muka atau dengan perkembangan media dalam rangka memberikan bantuan
terhadap mengembangkan potensinya semaksimal mungkin, agar menjadi manusia yang
bertanggung jawab.[35]
Dengan demikian pendidikan berusaha
mengadakan perkembangan dan pertumbuhan ke seluruh aspek pribadi individu agar
anak-anak dapat berkomunikasi baik dan mempersiapkannya untuk kehidupan yang
mulia serta berhasil dalam suatu masyarakat.
Orang
tua berkewajiban membimbing anak supaya terbinanya ketenangan dan ketertiban
dalam masyarakat. Orang tua juga harus mengajarkan anak-anak supaya menghindari dan mencegah orang-orang
yang berbuat kemungkaran sebagaimana sabda Nabi Saw:
عَنْ أَبِى سَعَدْ
اَلْخُدْرِى
رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا
فَلْيُغَيِّرُهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ ( رواه مسلم)
Artinya: “Dari Abu Said Al Khudri r.a berkata :
"Saya telah mendengar Rasulullah Saw bersabda: "Siapa diantara kamu
melihat kemungkaran, maka hendaklah dicegah dengan tangannya (kekuasaan), jika
tidak sanggup hendaklah dengan lidahnya, jika tidak sanggup pula hendaklah
dengan hatinya yang demikian itu adalah selemah-lemah iman”.[36]
Berdasarkan
hadits tersebut jelaslah bahwa ada tiga cara untuk mencegah kemungkaran, yang
pertama dengan kekuasaan, kedua dengan memberikan nasehat dan peringatan, dan
yang ketiga dengan membenci perbuatan yang mungkar. Di sinilah letak peran
orang tua juga termasuk masyarakat serta lembaga-lembaga terkait agar
membimbing anak supaya tidak menjadi pelaku kemungkaran. Peranan orang tua
menurut hadits di atas adalah supaya orang tua memberi pelajaran, bimbingan dan
nasehat kepada anaknya supaya menghindari dan mencegah kemungkaran serta
membedakan mana yang baik dan tidak baik. Di samping orang tua, masyarakat juga
sangat berperan dalam membimbing anak-anak serta mengarahkannya supaya menjauhi
perbuatan yang mungkar, misalnya dengan memberi contoh yang baik dalam
kehidupan masyarakat.
Sehubungan dengan ini Muhammad Athiyah
Al-Absrasyi mengemukakan bahwa:
Dalam bergaul dengan anak-anak, kita harus melihat
posisi diri kita, kemampuan ilmu kita dan cara berpikir kita, bahkan juga harus
dipikirkan tentang posisi anak, pengetahuan dan pikiran anak tentang ilmu yang
dimiliki serta lingkungannya. Dan ketika kita berpikir tentang posisi anak,
jangan menggunakan kaca mata orang dewasa, tetapi harus dengan menggunakan cara
berpikir anak.[37]
Pendapat di atas dengan jelas
mengemukakan bahwa dalam mendidik anak, orang tua harus dapat mengetahui cara
berpikir anak dan tidak menyamakan cara berpikirnya anak dengan orang dewasa.
Maka dalam hal ini ada beberapa
langkah yang mungkin dapat dilaksanakan oleh orang tua dalam peranannya
mendidik anak, antara lain adalah:
1. Orang Tua Sebagai Panutan
Anak selalu becermin dan bersandar
kepada lingkungannya yang terdekat. Dalam hal ini tentunya lingkungan keluarga
yaitu orang tua. Orang tua harus memberikan teladan yang baik dalam segala
aktivitasnya kepada anak.[38] Jadi orang tua adalah
sandaran utama anak dalam melakukan segala pekerjaan, kalau baik didikan yang
diberikan oleh orang tua, maka baik pula pembawaan anak tersebut.
2. Orang Tua Sebagai Motivator Anak
Anak mempunyai motivasi untuk bergerak
dan bertindak, apa bila ada sesuatu dorongan dari orang lain, lebih-lebih dari
orang tua. Hal ini sangat diperlukan terhadap anak yang masih memerlukan
dorongan. Motivasi bisa membentuk dorongan, pemberian penghargaan, pemberian
harapan atau hadiah yang wajar, dalam melakukan aktivitas yang selanjutnya
dapat memperoleh prestasi yang memuaskan.[39] Dalam hal ini orang tua
sebagai motivator anak harus memberikan dorongan dalam segala aktivitas anak,
misalnya dengan menjanjikan kepada anak akan hadiah apabila nanti dia berhasil
dalam ujian. Karena dengan motivasi yang diberikan oleh orang tua tersebut anak
akan lebih giat lagi dalam belajar.
3. Orang tua sebagai cermin utama anak.
Orang tua adalah orang yang sangat
dibutuhkan serta diharapkan oleh anak. Karena bagaimanapun mereka merupakan
orang yang pertama kali dijadikan sebagai figur dan teladan di rumah tangga.
Dan selain itu orang tua juga harus memiliki sifat keterbukaan terhadap
anak-anaknya, sehingga dapat terjalin hubungan yang akrab dan harmonis antara
orang tua dengan si anak, dan begitu juga sebaliknya. Sehingga nantinya dapat
diharapkan oleh anak sebagai tempat berdiskusi dalam berbagai masalah, baik
yang berkaitan dengan pendidikan, ataupun yang berkaitan dengan pribadinya.[40] Di sinilah peranan orang
tua dalam menentukan akhlak si anak. Kalau orang tua memberikan contoh yang
baik, maka anak pun akan mengambil contoh baik tersebut, dan sebaliknya.
4. Orang tua sebagai fasilitator anak[41]
Pendidikan bagi si anak akan berhasil
dan berjalan baik, apabila fasilitas cukup tersedia. Namun bukan semata-mata
berarti orang tua harus memaksakan dirinya untuk mencapai tersedianya fasilitas
tersebut. Akan tetapi, setidaknya orang tua sedapat mungkin memenuhi fasilitas
yang diperlukan oleh si anak, dan ini tentu saja ditentukan dengan kondisi
ekonomi yang ada.
Selain dari hal tersebut di atas orang
tua semestinya juga dapat diajak untuk bekerja sama dalam mendapatkan dan
memperoleh inovasi sistem belajar mereka yang efisien dan efektif, sehingga
anak tetap terkoordinir sebagaimana mestinya.
C. Latar Belakang Terjadinya Anak Putus Sekolah
Hampir di setiap tempat banyak
anak-anak yang tidak mampu melanjutkan pendidikan. Pendidikan putus di tengah
jalan disebabkan karena berbagai kondisi yang terjadi dalam kehidupan, salah
satunya disebabkan oleh kondisi ekonomi orang tua yang memprihatinkan. Disadari
bahwa kondisi ekonomi seperti ini menjadi penghambat bagi seseorang untuk
memenuhi keinginannya dalam melanjutkan pendidikan dan menyelesaikan. Kondisi
ekonomi seperti ini disebabkan berbagai faktor, di antaranya orang tua tidak
mempunyai pekerjaan tetap, tidak mempunyai keterampilan khusus, keterbatasan
kemampuan dan faktor lainnya.[42]
Pada perspektif lain, kondisi ekonomi
masyarakat tentu saja berbeda, tidak semua keluarga memiliki kemampuan ekonomi
yang memadai dan mampu memenuhi segala kebutuhan anggota keluarga. Salah satu
pengaruh yang ditimbulkan oleh kondisi ekonomi seperti ini adalah orang tua
tidak sanggup menyekolahkan anaknya pada jenjang yang lebih tinggi walaupun
mereka mampu membiayainya di tingkat sekolah dasar.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan
terjadinya anak putus sekolah (drop out) antara lain adalah:
1. Keadaan Kehidupan Keluarga
Kita ketahui bahwa pendidikan itu
tidak hanya berlangsung di sekolah (pendidikan formal), akan tetapi dapat juga
berlangsung di dalam keluarga (pendidikan informal). Keluarga sangat menentukan
berhasil tidaknya anak dalam pendidikan, karena pendidikan yang pertama dan
utama diterima oleh anak adalah di dalam keluarga. Begitu anak dilahirkan ke
dunia masih dalam keadaan yang sangat lemah dan tidak berdaya, pada saat ini
sangat membutuhkan bantuan terutama dari kedua orang tua dan anggota keluarga
yang lainnya sampai anak menjadi dewasa. Di sinilah anak memperoleh
bermacam-macam pengetahuan dan pengalaman, baik yang berupa susah, gembira dan
kebiasaan-kebiasaan lain, seperti larangan, celaan, pujian dan juga sikap
kepemimpinan orang tuanya, kesemuanya ini ikut mempengaruhi jiwa anak, baik secara
langsung ataupun tidak langsung.[43]
Jika orang tua selalu menunjukkan
sikap keras terhadap anak-anaknya, maka anak akan menjadi bimbangan atau
ragu-raguan di dalam dirinya, sehingga bagi mereka merupakan malapetaka yang
bakal membawanya ke arah kehancuran.
Kehidupan keluarga yang harmonis dan
penuh dengan rasa kasih sayang antara sesama anggota keluarga dapat memberikan
ketenangan dan kebahagiaan, terutama bagi pertumbuhan dan perkembangan jiwa
anak serta sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan pendidikan anak.
Dalam hal ini Winarno Surachmad
mengemukakan sebagai berikut:
Keluarga merupakan lingkungan yang pertama yang
memberikan pengaruh terhadap perkembangan anak, keluarga besar atau kecil,
keluarga miskin atau berada. Situasi keluarga tenang, damai gembira atau
keluarga yang sering cekcok, bersikap keras, ini akan mewarnai sikap anak,
jumlah orang yang tinggal di dalam keluarga tersebut, nenek, paman, bibi, ini
juga turut mempengaruhi perkembangan anak, pengaruh baik tetapi juga buruk
dapat dipelajari anak dalam keluarga.[44]
Dari kutipan di atas dapat diketahui
bahwa keadaan sebuah rumah tangga sangat besar pengaruhnya terhadap proses pendidikan
anak, karena di dalam keluargalah anak menerima kesan-kesan yang merupakan
pengalaman pertama setelah seorang anak dilahirkan. Kalau di dalam rumah tangga
sering terjadi pertengkaran antara ibu dan ayah, maka ini akan berakibat pada
mentalnya si anak dan akan mengakibatkan keminderannya dalam pergaulan,
sehingga anak akan malas pergi ke sekolah bahkan bisa mengakibatkan anak
meninggalkan bangku sekolahnya.
Dalam pendidikan agama, peranan
keluarga, terutama ibu adalah sangat dominan. Dalam pepatah Arab disebutkan:
الأُمُّ الْمَدْرَسَةُ الْكُبْرَا وَاْلأَفْضَالَ
Seorang ibu adalah sekolah yang
besar dan utama.[45]
Dari pepatah di atas dapat disimpulkan
bahwa ibulah fondasi utama dalam pendidikan anak. Jika ibu berhasil dalam
mendidik dan mengasuh anak, berarti dia telah berhasil menciptakan bangsa yang
baik.
Dari sinilah keluarga sangat
menentukan pendidikan yang akan menentukan corak kehidupan anak. Selanjutnya
juga tingkat pendidikan orang tua ikut mempengaruhinya. Hal ini seperti sering
kita lihat keluarga yang mampu ekonominya dan tidak mempunyai pendidikan, belum
tentu bisa berhasil dalam masalah pendidikan bagi anak-anaknya. Sebaliknya
keadaan keluarga yang ekonominya kurang tetapi banyaknya pengetahuan yang
dimiliki maka sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan anak dalam bidang
pendidikan.
Kemudian dari pada itu kehidupan
seorang anak dalam keluarga sangat mendambakan kasih sayang dari kedua orang
tuanya. Disini orang tua dituntut sangat hati-hati dalam memberikan kasih
sayang kepada anak-anaknya, agar tidak terlalu dimanjakan.
Dalam hal ini St. Vembriarto
mengemukakan bahwa:
Anak yang dimanjakan sering berwatak tidak patuh,
tidak dapat menahan emosinya dan menuntut orang lain secara berlebih-lebihan.
Faktor manja dibiasakan dengan hal yang sifatnya tidak mendidik dengan
kekhawatiran orang tua terhadap anak yang berlebihan, akan mengantarkan anak
tidak suka pergi sekolah.[46]
Berdasarkan kutipan di atas dapat
disimpulkan bahwa dalam memberikan kasih sayang kepada anak tidak perlu
berlebih-lebihan, karena hal itu dapat menghilangkan rasa tanggung jawab yang
ada pada diri anak dan memungkinkan si anak dapat menunjukkan sikap-sikap dan
cara bertingkah laku yang tidak baik.
Apabila seorang anak yang mendapat
kasih sayang secara berlebih-lebihan dari keluarganya, maka dalam tindakan
mereka sering menuruti kata hatinya sendiri (menurut kehendaknya). Dengan
demikian setiap perbuatan yang mereka lakukan kebanyakan cenderung ke arah yang
tidak baik, yang dapat menjadikan dirinya sebagai penjahat, pemalas dan
sebagainya. Hal ini dapat mengakibatkan anak putus sekolah serta terbengkalai
pendidikannya karena terlalu lalai dengan uang.
2. Keadaan Ekonomi Orang Tua
Lemahnya keadaan ekonomi orang adalah
salah satu penyebab terjadinya anak putus sekolah. Apabila keadaan ekonomi
orang tua kurang mampu, maka kebutuhan anak dalam bidang pendidikan tidak dapat
terpenuhi dengan baik. Sebaliknya kebutuhan yang cukup bagi anak hanyalah
didasarkan kepada kemampuan ekonomi dari orang tuanya, yang dapat terpenuhinya
segala keperluan kepentingan anak terutama dalam bidang pendidikan.
Sayyidina Ali Kw. berkata yang
artinya: “Dalam menuntut ilmu ada tiga Al yang harus diperhatikan: 1) Panjang
masa dalam menuntut ilmu, 2) Ekonomi yang mendukung, 3) Ada keinginan. Ketiga
hal tersebut adalah sejalan”.[47]
Dari perkataan Sayyidina Ali Kw di
atas dapat diambil kesimpulan bahwa, dalam menuntut ilmu masa harus panjang
(bukan cuma sebentar dalam menuntut ilmu), kemudian ada keinginan dari peserta
didik, supaya dalam dia menuntut ilmu tidak lalai dan tidak mengingat yang lain
selain belajar, serta ekonomi yang mendukung, yaitu dalam menuntut ilmu
tersebut ekonomilah yang menentukan sukses tidaknya pendidikan seseorang serta
tinggi rendahnya pendidikan.
Jelas bahwa kondisi ekonomi merupakan
faktor pendukung yang paling besar untuk kelanjutan pendidikan anak-anak, sebab
pendidikan juga membutuhkan biaya besar. Selanjutnya Baharuddin M juga
mengatakan bahwa: “Nampaknya di negara kita faktor dana merupakan penghambat
utama, untuk mengejar ketinggalan kita dalam dunia pendidikan. Sudah tidak
dapat dipungkiri bahwa tanpa dana yang cukup, tidak akan dapat diharapkan
pendidikan yang sempurna.[48] Jadi, kurangnya biaya
pendidikan, maka akan mengakibatkan pendidikan tertunda.
Bila dilihat dari segi perkembangan
zaman sekarang ini, yaitu biaya pendidikan yang setiap tahun terus meningkat,
kebutuhan pokok masyarakat terus meningkatkan harganya sedangkan mata
pencahariannya semakin merosot, sehingga keadaan kehidupan semakin sulit dan
melarat. Keadaan semacam ini bisa kita lihat secara langsung di negara kita
sendiri Indonesia. Hal seperti ini akan mengakibatkan antara lain: anak tidak
dapat melanjutkan pendidikannya karena terpaksa membantu orang tua dalam
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh karena itulah pendidikan anak
terhambat akibat kesibukan-kesibukannya dalam bekerja.[49]
Hal yang seperti ini sering terjadi di
kalangan keluarga yang kurang mampu dan akibatnya pendidikan anak terhambat.
Dalam hal ini faktor dana dalam dunia pendidikan sangat menentukan. Jika tanpa
adanya dana yang cukup, tidak bisa diharapkan untuk mendapatkan pendidikan yang
sempurna. Hal-hal seperti inilah yang dapat menjadikan seorang anak menjadi
putus.
3. Keadaan Sekolah
Lingkungan sekolah merupakan suatu
situasi yang sangat erat kaitannya dengan anak putus sekolah. Di mana sekolah
itu merupakan suatu lembaga atau tempat anak memperoleh atau menerima
pendidikan dan pengetahuan kepada anak serta berusaha supaya anak dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Di sekolah guru mengajarkan seorang
anak untuk bisa bertanggung jawab baik untuk dirinya sendiri, keluarga dan
masyarakat.
Dalam upaya untuk tercapainya tujuan
pendidikan faktor-faktor sarana dan prasarana sangat di butuhkan, seperti
fasilitas gedung, ruangan serta alat-alat sekolah lainnya.
Baharuddin M, mengemukakan bahwa:
Apabila faktor sarana ini tidak terpenuhi, maka
banyak murid usia sekolah, maupun
berbagi tingkat pendidikan yang tidak bisa bersekolah, atau tidak bisa
melanjutkan sekolahnya. Bila hal tersebut terjadi berarti “putus sekolah” pun
terciptalah dikarenakan faktor tersebut. Yang vital adalah kurangnya pengadaan
sarana tempat belajar dan pengadaan guru.[50]
Berdasarkan kutipan di atas dapat
disimpulkan bahwa sarana adalah penunjang utama dalam hal pendidikan bagi anak,
tanpa sarana yang memadai, maka pendidikan anak akan terbengkalai. Sedangkan di
negara Republik Indonesia sarana baik gedung sekolah maupun ruangan sekolah
masih adanya kekurangan, jumlah gedung atau ruangan yang ada tidak dapat menampung
seluruh aspek usia sekolah, sehingga masih ada anak yang ada lowongan untuk
sekolah dan akhirnya si anak terpaksa meninggalkan masa sekolahnya.
Selanjutnya di samping kekurangan
masalah sarana dan alat-alat sekolah tersebut di atas, juga masih ada masalah
tenaga pengajar, yaitu kurangnya tenaga guru.
Dalam hal ini Baharuddin M
mengemukakan bahwa:
Apalagi di daerah telah di bangun fasilitas
sekolah (sarana).Lalu guru tidak ada, tentu saja sekolah tadi tidak akan
terjadi. Dan para murid yang akan bersekolah, terpaksa tidak bersekolah. Kalau
saja hal ini terjadi di jenjang lanjutan sekolah, ini berarti mereka disebut
sebagai “putus sekolah sebelum bersekolah, dikarenakan oleh kekurangan tenaga
guru tadi”.[51]
Dari kutipan di atas guru sangat
menentukan untuk terhindarinya anak-anak putus sekolah. Di samping perlu
banyaknya jumlah tenaga pengajar juga sangat diperlukan kemampuan dan
sifat-sifat seorang guru yang baik. Guru harus sanggup menciptakan suasana yang
harmonis. Di sekolah para guru dapat memberikan contoh-contoh yang baik dalam
proses pendidikan dan pengajaran pada murid, agar mereka menjadi generasi yang
handal dan utuh, beriman, berpegang teguh kepada agama, membela dan bertanggung
jawab kepada tanah airnya, berwawasan luas, mempunyai kepribadian yang kuat,
senang belajar dan mencintai orang seperti mencintai dirinya sendiri dan
memiliki semangat gotong-royong.
Dalam hal ini, Zakiah Daradjat mengemukakan bahwa:
Bagi
anak didik, guru adalah contoh teladan yang sangat penting dalam pertumbuhannya,
guru adalah orang yang pertama sesudah orang tua yang mempengaruhi pembinaan
kepribadian anak didik. Apa saja yang dilakukan oleh guru dinilai baik oleh
anak dan sebaliknya apa saja yang tidak baik menurut guru juga tidak baik
menurut anak. Jadi guru memegang tanggung jawab dan peranan yang amat penting
terhadap pendidikan anak dalam rangka pembentukan kepribadiannya menjadi
seorang yang bertakwa dan berintelektual.[52]
Dari pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa guru juga mempunyai peranan sangat penting dalam pendidikan
anak. Jika guru tidak ada maka bisa mengakibatkan anak putus sekolah. Jika
diperhatikan tentang masalah-masalah tersebut, maka akan tampak persoalannya
walaupun masalah itu kelihatannya banyak dan bermacam-macam, tetapi sebenarnya
dapat dikembalikan kepada sebab-sebab yang sedikit saja.
4. Keadaan Masyarakat
Masalah kehidupan anak bukan saja
berlangsung di dalam rumah tangga dan sekolah, tetapi sebahagian besar
kehidupannya berada dalam masyarakat yang lebih luas. Kehidupan dalam masyarakat
merupakan lingkungan yang ketiga bagi anak yang juga salah satu faktor yang
sangat besar pengaruhnya terhadap pendidikan mereka. Karena dalam lingkungan
masyarakat inilah anak menerima bermacam-macam pengalaman baik yang sifatnya
positif maupun yang sifatnya negatif. Hal ini menunjukkan bahwa anak akan
memperoleh pengetahuan dan pengalaman yang berbeda-beda antara yang satu dengan
yang lain.
A.H. Harahap mengemukakan bahwa:
Lingkungan masyarakat merupakan faktor yang cukup
kuat dalam mempengaruhi perkembangan anak remaja yang sulit dikontrol
pengaruhnya. Orang tua dan sekolah adalah lembaga yang khusus, mempunyai
anggota tertentu, serta mempunyai tujuan dan tanggung jawab yang pasti dalam
mendidik anak. Berbeda dengan masyarakat, di mana di dalamnya terdapat berbagai
macam kegiatan. Berlaku untuk segala tingkatan umur dan ruang lingkup yang
sangat luas.[53]
Dari kutipan di atas, masyarakat
sangat mempengaruhi perkembangan anak, karena di lingkungan masyarakat terdapat
berbagai pengaruh. Pengaruh tersebut ada yang positif dan ada yang negatif.
yang ditimbulkan dari lingkungan masyarakat
Keadaan anak sejak ia dibesarkan di
tengah-tengah masyarakat, maka apa saja yang ditemukan di dalamnya itulah
menjadi pedoman yang bakal dicontohinya. Sebagaimana diketahui bahwa insting
pada anak cukup kuat, sehingga anak akan sangat mudah terpengaruh oleh
tindakan-tindakan yang ada di lingkungan di mana ia berada.
Dalam hal ini Singgih D.Gunarsa dan
Ny.Y.Singgih D.Gunarsa mengemukakan bahwa: “Masyarakat sebagai ruang gerak di mana
para remaja dalam pengembangan diri,
menemukan diri dan menetapkan diri, turut berperan dalam memberikan corak
khusus sesuai dengan yang masyarakat”.[54] Namun masyarakat itu sanggup untuk membentuk
anak sebagai seorang pilihan dalam masyarakat.
Jadi kehidupan manusia di dalam
masyarakat adanya hubungan timbal balik dalam mengembangkan, menetapkan dirinya
serta turut berperan dalam memberikan corak yang sesuai dengan kehidupan
masyarakat yang ada di lingkungannya. di sinilah peranan orang tua sangat
diharapkan oleh anak. Sebagai mana yang dikemukakan oleh Sunardi, bahwa:
Dalam pergaulan anak perlu di bekali dan didorong
untuk bergaul dan bermasyarakat. Jika ada hal-hal yang membahayakan diri akibat
pergaulan dengan teman-teman, maka sebagai orang tua kita harus mengadakan
pendekatan dengan memberikan pengertian sebab akibat dari suatu perbuatan,
sehingga anak dapat menganalisa dengan kemampuan daya nalarnya.[55]
Sejalan dengan hal tersebut di atas,
bila orang tua kurang memperhatikan tentang kehidupan anak dalam masyarakat,
maka segala tindak tanduk dan sikap serta perbuatan masyarakat yang tidak baik
dengan mudah akan diterima oleh anak begitu saja. Hal ini disebabkan karena
bentuk-bentuk pergaulan dan perbuatan dari suatu masyarakat dapat menyebabkan
terjadinya hambatan dan tanggapan terhadap pendidikan anak, dan perkataan dari
suatu masyarakat dapat menyebabkan terjadinya hambatan dan tantangan terhadap
pendidikan anak, dengan demikian cepat atau lambatnya hal tersebut dapat
mengakibatkan seorang anak putus sekolahnya.
Dari keterangan di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa terjadinya anak putus sekolah disebabkan oleh beberapa faktor,
antara lain keadaan ekonomi orang tua yang tidak stabil, juga sarana dan
prasarana. Sarana dan prasarana adalah salah satu penunjang bagi anak untuk
melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Kemudian masyarakat
merupakan lingkungan yang ketiga bagi anak yang juga salah satu faktor yang
sangat besar pengaruhnya terhadap pendidikan mereka. Karena dalam lingkungan
masyarakat inilah anak menerima bermacam-macam pengalaman baik yang sifatnya
positif maupun yang sifatnya negatif.
BAB III
ANAK PUTUS SEKOLAH DI KECAMATAN JANGKA
A. Sebab-Sebab Terjadinya Putus Sekolah
Kecamatan Jangka merupakan salah satu
Kecamatan yang terdapat dalam wilayah Kabupaten Bireuen Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Kecamatan Jangka terletak di pesisir utara Kecamatan Peusangan,
yang berjarak delapan kilometer dari pusat kota Matang Lumpang Dua. Kecamatan
Jangka termasuk daerah yang beriklim tropis sebagaimana daerah-daerah lain di
Indonesia. Penduduk Kecamatan Jangka umumnya bermata pencaharian sebagai petani
dan nelayan karena mereka dekat dengan laut, hanya relatif kecil yang menjadi
Pegawai Negeri, sedangkan yang lainnya adalah wiraswasta berupa buruh bangunan
dan pedagang.
Pendidikan di Kecamatan Jangka sudah
dapat digolongkan pada penduduk yang sudah mengecap pendidikan formal, terutama
pada tingkat sekolah dasar dan menengah, bahkan ada yang telah
berhasil menamatkan pendidikannya sampai tingkat akademi dan perguruan
tinggi/universitas. Di samping itu masih banyak juga anak-anak di Kecamatan
Jangka yang tidak lagi melanjutkan pendidikan (Putus Sekolah) yang di
sebabkan oleh beberapa faktor:
1. Faktor Ekonomi
Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat
di Kecamatan Jangka pada umumnya bermata pencaharian sebagai petani dan
nelayan, yang penghasilannya perbulan cukup untuk menghidupi keluarganya saja,
belum lagi untuk biaya pendidikan anak-anaknya. Menurut salah seorang tokoh
masyarakat desa Bugak Mesjid mengemukakan bahwa: “masyarakat di sini cukup
berkeinginan untuk menyekolahkan anaknya sampai ke jenjang yang tinggi, tapi
keadaan ekonomi tidak mendukung”.[56]
Dari hasil wawancara di atas dapat
disimpulkan bahwa hampir semua masyarakat berkeinginan untuk menyekolahkan
anaknya ke tingkat yang tertinggi, tapi kondisi ekonomi masyarakat tidak
memungkinkan untuk melanjutkan pendidikan anaknya.
Faktor ekonomi adalah faktor utama
untuk mendukung pendidikan anak, karena dengan ekonomi yang memadai biaya
pendidikan anak dapat terpenuhi. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan
oleh Bapak Kepala Desa Bugak Mesjid bahwa: “faktor ekonomi adalah penunjang
utama dalam hal pendidikan anak, karena tanpa ekonomi yang memadai, maka
pendidikan anak akan terbengkalai, apalagi zaman sekarang ini semua harga
barang bertambah mahal, juga termasuk biaya pendidikan yang makin meningkat,
sehingga tidak mampu di jangkau oleh rakyat biasa, harapan yang pernah
dijanjikan pemerintah nampaknya kurang terwujud”.[57]
Dari hasil wawancara di atas dapat
diketahui bahwa faktor ekonomi adalah faktor utama dalam masalah pendidikan.
Kalau ekonomi lemah maka dengan sendirinya pendidikan sulit untuk dilaksanakan.
Masyarakat di Kecamatan Jangka sangat
antusias untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang yang tinggi. Hal ini
sebagaimana yang di kemukakan oleh Bapak kepala desa Meunasah Dua bahwa:
“Masyarakat di sini sangat berkeinginan untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke
jenjang yang lebih tinggi, tapi karena keadaan ekonomi yang tidak mendukung,
mereka terpaksa harus mengenyampingkan pendidikan anak-anak mereka”.[58]
Berdasarkan hasil wawancara di atas
dapat disimpulkan bahwa orang tua anak yang putus sekolah di Kecamatan Jangka
Kabupaten Bireuen sangat antusias terhadap pendidikan anak-anak mereka, mereka
juga telah berusaha, tapi karena keadaan ekonomi yang tidak mendukung mereka
terpaksa mengesampingkan dulu pendidikan anak-anak mereka.
2. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan adalah salah satu
faktor yang menyebabkan anak putus sekolah, ini berdasarkan apa yang
dikemukakan oleh Tgk. Imum Meunasah desa Punjot, bahwa: “Lingkungan adalah
salah satu penunjang pendidikan anak, jika lingkungannya baik, maka anak
tersebut akan baik dan sebaliknya. Si anak yang bergaul dengan lingkungannya
yang tidak baik, maka akan mempengaruhinya juga untuk melakukan tindakan yang
tidak baik, seperti anak bergaul dengan temannya yang tidak sekolah, maka si
anak ini pun akan mengikuti jejak temannya untuk tidak sekolah, karena larut
dalam pergaulan sehari-hari sesama teman sehingga mengakibatkan anak
meninggalkan bangku sekolah”.[59]
Dari hasil wawancara tersebut dapat
disimpulkan bahwa penyebab anak putus sekolah di Kecamatan Jangka salah satunya
adalah karena mereka lalai dan sudah larut dalam pergaulan sesama teman tanpa
memikirkan kepentingan untuk bersekolah.
3. Faktor Keluarga
Faktor keluarga juga merupakan salah
satu faktor yang mengakibatkan si anak putus sekolah. Pernyataan ini di
kemukakan oleh salah seorang tokoh masyarakat desa Meunasah Dua yang mengatakan
bahwa: “keluarga merupakan tempat si anak untuk menumpahkan segala
permasalahannya. Orang tua adalah tempat anak bergantung, jika perhatian orang
tua kurang pada si anak terutama dalam pendidikannya, maka si anak akan bosan
untuk ke sekolah karena berbagai masalah yang dipikirkan oleh si anak, dan
akhirnya mengakibatkan anak putus sekolah”.[60]
Dari hasil wawancara tersebut dapat
diketahui bahwa keluarga khususnya orang tua adalah tempat bergantungnya anak
dalam menyelesaikan masalah, baik dari masalah pribadi sampai masalah
pendidikannya. Dengan demikian keluarga yang ada di Kecamatan Jangka tidak mau
memotivasi anak-anak mereka dalam hal pendidikannya atau tidak mau tahu dengan
keadaan anak secara maksimal, maka keadaan yang seperti itu akan menjadi beban
pikiran bagi anak dan anak yang tidak mendapat perhatian dari orang tua akan
bosan ke sekolah sehingga akhirnya akan mengakibatkan putus sekolah.
B. Cara Pembinaan Terhadap Anak Putus Sekolah
Bagi anak yang putus sekolah harus
dibimbing dan dibina secara maksimal baik oleh orang tuanya sendiri maupun
masyarakat tempat anak-anak bergaul sehari-hari. Hal ini seperti yang
dikemukakan oleh kepala desa Meunasah Dua, bahwa: “Pembinaan terhadap anak yang
putus sekolah adalah melalui orang tua, tokoh masyarakat, menyuruh anak
tersebut untuk bergabung dengan anak yang masih sekolah dan belajar mengaji
minimal di TPA (Taman Pendidikan Al-Qur`an) yang ada di desa. Dengan adanya
kegiatan yang dilakukan demikian maka sianak akan terhindari dari perbuatan
yang dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain”.[61]
Dengan demikian, pembinaan bagi anak
yang putus sekolah dapat dilakukan dengan cara menyuruh anak bergabung dengan
anak yang masih sekolah dan menyuruh belajar mengaji di TPA. Dengan adanya
kegiatan tersebut anak akan disibukkan dan akan terhindar dari perbuatan yang
dapat merugikan dirinya dan orang lain.
Selanjutnya cara pembinaan yang harus
dilakukan terhadap anak putus sekolah adalah dengan memberikan nilai-nilai
agama, sosial kemasyarakatan kepadanya, hal ini seperti yang dikemukakan oleh
Kepala Desa Bugak Mesjid, bahwa: “Anak putus sekolah yang tidak mendapat
perhatian dari orang tuanya atau masyarakatnya akan mengakibatkan anak menjadi
nakal dan pembangkang baik dalam keluarga maupun masyarakatnya. Hal ini karena
mereka tidak mempunyai pengetahuan dan tidak terdidik tentang nilai-nilai
kemasyarakatan yang baik dan nilai-nilai agama yang benar. Jadi untuk terhindari
dari hal yang demikian itu maka pada anak yang putus sekolah tersebut harus di
berikan serta diajarkan nilai-nilai agama dan kemasyarakatan yang benar, di
sinilah tanggung jawab orang tua dan tokoh-tokoh masyarakat seperti kepala desa
dalam melakukan pembinaan terhadap anak yang putus sekolah”.[62]
Dari hasil wawancara tersebut dapat
diketahui bahwa anak putus sekolah biasanya akan tumbuh sebagai anak yang
berperangai jahat. Karena itu kalau anak putus sekolah atau tidak mau sekolah
lagi, maka orang tua atau orang yang mau peduli pendidikan anak, dalam hal ini
adalah tokoh masyarakat, para komite sekolah, serta orang-orang kaya yang mau
membantu, harus mencari penyebabnya mengapa anak tidak mau sekolah. Setelah
diketahui penyebabnya dan tidak mungkin untuk melanjutkannya lagi, maka orang
tua harus mencari solusi lain untuk membentuk pendidikan berdasarkan minat dan
keinginannya. Misalnya dengan menyerahkan anak ke tempat pengajian atau untuk
lebih lengkapnya pada Dayah Terpadu (kalau memungkinkan biayanya), karena di
samping anak diasramakan agar anak tidak bebas berkeliaran, juga ada sekolah
sebagaimana formal lainnya.
Berdasarkan hasil wawancara penulis
dengan Tgk. Imum Meunasah desa Bugak Mesjid juga mengatakan bahwa: “Anak putus
sekolah atau anak-anak yang tidak mau sekolah lagi harus mendapat pendidikan
agama seperti di Dayah (Pesantren), sehingga anak-anak tidak sempat berpikiran
jelek atau takut berbuat jahat karena mengingat akan dosanya”.[63]
Dari hasil wawancara tersebut dapat
dimengerti bahwa sebagai alternatif lain bagi anak putus sekolah adalah harus
mendapat pendidikan agama yang dapat menjadi pengendali dari setiap
perbuatannya dan sebagai penahan dari perbuatan yang menimbulkan kerugian dan
dosa. Karena dengan bekal pendidikan agama yang cukup walaupun tidak dapat
menjadi bekal dalam bekerja tetapi dapat menjadi bekal dalam hidupnya, sehingga
dengan bekal tersebut dapat bekerja dengan benar dan tidak melanggar ketentuan
Allah Swt.
Cara pembinaan lain terhadap anak
putus sekolah adalah dengan mencari pekerjaan yang benar serta seimbang dengan
tenaganya dan kemampuannya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh
Bapak Kepala Desa Punjot, bahwa: “Kalau anak tidak sekolah lagi, dari pada
mondar-mandir di kampung atau keluar masuk kebun, orang tua harus mencarikan
pekerjaan yang memungkinkan serta setimpal dengan kemampuan dia, seperti pergi
ke sawah atau berjualan. Setidaknya hal ini dapat mencukupi uang untuk rokoknya
(bagi laki-laki), di samping sebagai tempat mencari kesibukan diri dan dapat
terhindar dari pengaruh pikiran yang menyimpang. Tapi kalau bagi anak perempuan
itu tidak jadi masalah, karena anak perempuan biasanya lebih banyak di rumah
membantu ibunya”.[64]
Dari hasil wawancara tersebut dapat
diketahui bahwa anak putus sekolah harus diberikan pekerjaan yang sesuai dengan
kemampuannya, pekerjaan apa saja yang penting halal sebagai kesibukannya,
setidaknya akan mencukupi uang jajannya serta dapat menghindari si anak dari
perbuatan jahat serta merugikan orang lain. Berbeda dengan anak perempuan. Anak
perempuan biasanya lebih banyak di rumah membantu ibunya.
Sedangkan cara pembinaan yang
dilakukan oleh orang tua anak yang putus sekolah di Kecamatan Jangka Kabupaten
Bireuen adalah dengan menyuruh anaknya mengikuti pengajian yang diadakan di
desa mereka untuk membimbing moral si anak, juga dengan menyuruh anaknya untuk
membantu mereka bekerja supaya anak disibukkan sehingga anak tidak berpikir
macam-macam yang akan merusak mereka. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh
salah satu tokoh masyarakat desa Bugak Mesjid bahwa: “orang tua dari anak yang
putus sekolah di sini dalam membimbing anak-anak mereka yang putus sekolah
dengan menyuruh dan menganjurkan anak-anak mereka untuk mengikuti pengajian
yang diadakan di meunasah-meunasah yang ada di desa mereka, juga dengan
mengajak anak mereka untuk membantu mereka bekerja, sehingga anak disibukkan
dan tidak sempat berpikir kepada hal-hal yang akan merusak mereka”.[65]
Dari hasil wawancara tersebut cara
pembinaan yang dilakukan oleh orang tua anak yang putus sekolah di Kecamatan
Jangka adalah dengan menyuruh anak-anak mereka untuk mengikuti pengajian yang
diadakan di meunasah-meunasah yang ada di desa mereka agar moral dan akhlak
sianak terbentuk dan terjaga, juga mengajak anak mereka untuk membantu mereka
bekerja untuk menyibukkan anak mereka supaya anak terhindar dari
perbuatan-perbuatan yang akan merusak diri sianak.
Dari beberapa hasil wawancara dengan
masyarakat desa (dalam penelitian ini penulis mengambil kepala Desa dan Tgk.
Imum Meunasah) di atas, dapat disimpulkan bahwa cara pembinaan terhadap anak
putus sekolah di antaranya adalah:
a. Menyuruh anak untuk bergabung dengan anak yang
masih sekolah
b. Menyuruh anak untuk belajar di TPA, minimal yang
ada di desanya
c. Memberikan serta mengajarkan nilai-nilai keagamaan
dan sosial kemasyarakatan kepada anak dan jika memungkinkan (dalam hal biaya)
memasukkan anak ke Dayah/Pesantren, baik Salafiyah maupun Modern (terpadu).
d. Memberikan pekerjaan yang sesuai dengan
kemampuannya supaya anak disibukkan serta dapat menghindarinya dari pikiran
yang menyimpang.
C. Analisa Data
Data yang telah terkumpul melalui
angket lalu diolah dan dianalisa dari setiap soal angket menurut nomor urutan masing-masing,
kemudian ditafsirkan dan disimpulkan dengan menggunakan frekuensi dan
persentase jawaban besar kecilnya frekuensi.
Untuk mengetahui keadaan anak putus
sekolah dalam kecamatan Jangka dapat kita perhatikan dalam tabel berikut ini.
Tabel. 3.1 Anak Bapak Termasuk Dalam Kelompok Anak
Putus Sekolah
No
|
Alternatif Jawaban
|
Frekuensi
|
Persentase
|
1.
2.
3.
4.
|
Ya
Tidak
Semuanya tidak sekolah
Sudah tamat semuanya
|
3
2
1
1
|
42.85
28.57
14.29
14.29
|
|
Jumlah
|
7
|
100
|
Dari tabel di atas dapat diketahui
bahwa masih banyak anak masyarakat dalam Kecamatan Jangka yang putus sekolah
yaitu mencapai 42.85 %. Sedangkan yang lainnya masih sekolah dan ada yang tidak
sekolah sama sekali yaitu sebanyak 14.29 % serta sudah tamat sebanyak 14.29 %.
Jadi kalau dilihat dari tabel di atas dapat diketahui bahwa lebih banyak anak
masyarakat yang putus sekolah dalam Kecamatan Jangka.
Selanjutnya untuk mengetahui jumlah
anak yang putus sekolah di Kecamatan Jangka Kabupaten Bireuen dapat dilihat
dalam tabel berikut ini.
Tabel. 3.2 Jumlah Anak Putus Sekolah
No
|
Alternatif Jawaban
|
Frekuensi
|
Persentase
|
1.
2.
3.
4.
|
5 orang
Di bawah 5 orang
Di atas 5 orang
Rata-rata putus sekolah
|
-
10
25
10
|
-
28.57
42.86
28.57
|
|
|
45
|
100
|
Dari tabel di atas dapat diketahui
bahwa rata-rata desa mempunyai anak yang putus sekolah, ini dibuktikan dengan
hasil penyebaran angket yang disebarkan kepada 3 desa sebagai sampel dalam
penelitian ini. Sebagian desa terdapat anak yang putus sekolah di atas 5 (lima)
orang (42.86 %), dan di bawah 5 (lima) orang mencapai 28.57 %, sedangkan yang
hampir semuanya putus sekolah di desa dalam Kecamatan mencapai 28.57 %.
Selanjutnya untuk mengetahui penyebab
anak putus sekolah di Kecamatan Jangka Kabupaten Bireuen dapat dilihat dalam
tabel berikut ini.
Tabel 3.3 Penyebab Anak
Putus Sekolah
No
|
Alternatif Jawaban
|
Frekuensi
|
Persentase
|
1.
2.
3.
4.
|
Tidak ada biaya
Pengaruh teman
Tidak ada kemauan
Lemah intelegensinya
|
30
-
5
-
|
85.72
-
14.28
-
|
|
|
35
|
100
|
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa
kebanyakan anak putus sekolah di Kecamatan Jangka disebabkan orang tuanya yang
tidak mampu membiayai sekolah anaknya. Hal ini memungkinkan bila ditinjau dai
segi pekerjaan dan pendapat orang tua dari hasil tabel pendapat orang tua anak
yang putus sekolah di bawah ini.
Tabel 3.4 Jumlah
Penghasilan Orang Tua Anak Yang Putus Sekolah Perbulan
No
|
Alternatif Jawaban
|
Frekuensi
|
Persentase
|
1.
2.
3.
4.
|
500 ribu/ perbulan
Di atas 500 ribu/
perbulan
1 juta/ perbulan
500 s/d 1 juta/ perbulan
|
6
1
-
-
|
85.72
14.28
-
-
|
|
|
7
|
100
|
Dari tabel di atas dapat diketahui
bahwa kebanyakan penghasilan para orang tua anak yang putus sekolah rata-rata
adalah ± Rp. 500.000. Hal ini disebabkan karena mereka tidak mempunyai
pekerjaan yang tetap. Apalagi kebanyakan orang tua anak yang putus sekolah ini
bermata pencaharian sebagai nelayan. Yang semata-mata mengharapkan belanja dari
hasil tangkapan ikan di laut yang kadang kala ada dan kadang kala tidak ada
apa-apa sehingga terpaksa harus mengutang dulu untuk belanja hari ini, dan uang
yang di dapatkan dari hasil penghasilannya tersebut terpaksa harus membayar
hutang dulu. Keadaan yang demikianlah yang membuat pendidikan anak di sekolah
tidak diperhatikan lagi. Dan akhirnya anak tidak sekolah lagi karena tidak
mampu membiayainya. Apalagi bila orang tua mempunyai tanggungan yang banyak.
Selanjutnya untuk mengetahui jumlah
tanggungan orang tua anak putus sekolah dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
Tabel 3.5 Jumlah
Tanggungan Orang Tua Anak Putus Sekolah
No
|
Alternatif Jawaban
|
Frekuensi
|
Persentase
|
1.
2.
3.
4.
|
1 orang
2 orang
3 orang
Lebih dari 3 orang
|
-
1
-
6
|
-
14.28
-
85.72
|
|
|
7
|
100
|
Dari tabel di atas dapat diketahui
bahwa banyak orang tua yang mempunyai anak putus sekolah adalah dari keluarga
besar yaitu dari keluarga yang mempunyai tanggungan lebih dari 3 orang yang
sekolah. Sehingga orang tua menjadi kewalahan seandainya membiayai anak sekolah
yang lebih dari 3 orang karena kekurangan biaya.
Kalau pendapatan orang tua tidak tetap
serta pas-pasan dan mempunyai tanggungan (nafkah) yang ramai, maka orang tua
sibuk mencukupi kebutuhan pokok lebih dahulu dan mengesampingkan dalam kebutuhan
anak. Sehingga dari sekian banyak anak yang sekolah harus ada yang berhenti
dahulu agar mampu seklolah yang lain, sehingga terjadilah anak putus sekolah.
Selanjutnya untuk mengetahui tentang
sikap orang tua terhadap anak yang putus sekolah dapat dilihat dalam tabel
berikut.
Tabel 3.6 Sikap Orang Tua
Terhadap Anak Putus Sekolah
No
|
Alternatif Jawaban
|
Frekuensi
|
Persentase
|
1.
2.
3.
4.
|
Memarahinya
Membiarkan saja
Tidak ada respons
apa-apa
Menegur saja
|
-
5
-
2
|
-
71.43
-
28.57
|
|
|
7
|
100
|
Dari tabel di atas dapat diketahui
kebanyakan dari anak putus sekolah tidak dipedulikan oleh orang tuanya dan
membiarkannya anak tidak sekolah lagi. Sikap orang tua merasa kalau anak
sekolah juga tidak akan membiayainya dengan sempurna, sehingga membiarkan saja
anak tidak sekolah dan mencari pekerjaan sendiri. Namun demikian ada juga yang
menegurnya atau memarahinya, walaupun demikian anak tetap tidak mau sekolah
lagi.
Selanjutnya untuk mengetahui tidaknya
orang tua mengontrol anak belajar di rumah dapat kita lihat dalam tabel
berikut.
Tabel 3.7 Ada Tidaknya
Orang Tua Mengontrol Anak Untuk Belajar Di Rumah
No
|
Alternatif Jawaban
|
Frekuensi
|
Persentase
|
1.
2.
3.
4.
|
Ada
Tidak
Kadang-kadang
selalu
|
7
-
-
-
|
100
|
|
|
7
|
100
|
Dari tabel di atas dapat diketahui
bahwa anak yang putus sekolah banyak mendapat pengontrolan dari orang tuanya
untuk belajar di rumah. Hal ini dibuktikan melalui penyebaran angket yang
dibagikan kepada masyarakat desa yang menjadi sampel dalam penelitian ini.
Selanjutnya untuk mengetahui bagaimana
cara orang tua mengontrol anak putus sekolah di rumah dapat dilihat dalam tabel
berikut.
Tabel 3.8 Cara orang Tua
Mengontrol Anak Putus Sekolah Di Rumah
No
|
Alternatif Jawaban
|
Frekuensi
|
Persentase
|
1.
2.
3.
4.
|
Menyuruh anak pergi ke
tempat pengajian
Menyuruh anak belajar
dengan temannya yang masih sekolah
Menyuruh anak belajar
sendiri
Tidak menghiraukan
|
5
-
1
1
|
71.43
-
14.28
14.28
|
|
|
7
|
100
|
Dari tabel dapat di ketahui bahwa
kebanyakan orang tua dalam mengontrol anak-anak yang putus sekolah dengan
menyuruh anak belajar, karena dengan adanya masalah belajar akan dapat
menyibukkan dan tidak sempat memikirkan hal-hal yang negatif yang dapat meresahkan
masyarakat. Orang tua menyuruh anaknya yang putus sekolah untuk pergi ke tempat
pengajian, dan ada juga yang tidak menghiraukan sama sekali tentang belajar
anaknya yang putus sekolah tersebut. Di samping itu ada juga orang tua yang
menyuruh anak yang tidak sekolah lagi untuk belajar sendiri di rumah sebagai
bekal di hari depannya. Hal ini biasanya dilakukan pada anak perempuan yang
banyak di rumah saja.
Selanjutnya untuk mengetahui apakah
orang tua pernah menyuruh anaknya yang putus sekolah untuk mencari bekerja
dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
Tabel 3.9 Orang Tua Sering Menyuruh
Anaknya Yang Putus Sekolah Untuk Bekerja
No
|
Alternatif Jawaban
|
Frekuensi
|
Persentase
|
1.
2.
3.
4.
|
Sering sekali
Kadang-kadang
Tidak pernah
Kemauannya sendiri untuk bekerja
|
3
1
1
2
|
42.86
14.28
14.28
28.57
|
|
|
7
|
100
|
Dari tabel di atas dapat diketahui
bahwa kebanyakan anak putus sekolah sering sekali di suruh bekerja oleh orang
tuanya untuk mencari nafkah sebagai tambahan pendapatan keluarga, ketika
melihat anaknya tidak ada kegiatan dan cuma main-main saja. Hal ini terjadi
pada anak-anak yang tidak mampu sekolah itu karena orang tuanya tidak mampu
membiayai sekolah mereka. Di samping itu ada juga kemauan dari diri sendiri
anak yang putus sekolah untuk bekerja untuk tambahan pendapatan keluarganya,
karena melihat orang tuanya sudah tua dan tidak sanggup lagi untuk bekerja
berat.
Kemudian untuk mengetahui ada-ada
tidaknya perhatian orang tua terhadap anak putus sekolah dalam mencari teman
dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 3.10
Perhatian Orang Tua Terhadap Anak Putus Sekolah Dalam Mencari Teman
No
|
Alternatif Jawaban
|
Frekuensi
|
Persentase
|
1.
2.
3.
4.
|
Sering
Tidak mau tahu
Kadang-kadang
Tidak pernah
|
1
-
5
1
|
14.28
-
71.43
14.28
|
|
|
7
|
100
|
Dari tabel di atas dapat diketahui
bahwa kebanyakan orang tua anak yang putus sekolah hanya kadang-kadang saja
memperhatikan anaknya yang putus sekolah untuk mencari teman (71.43%). Hal ini
di sebabkan karena orang tua sering tidak berada di rumah atau dalam
masyarakat, orang tua sering meninggalkan rumah dan kampungnya untuk mencari
nafkah. Apalagi bagi orang tua yang
bekerja sebagai nelayan sering tidak pulang sampai sehari penuh, berangkat jam
setengah enam pagi dan baru pulang jam lima sore.
Namun demikian, masih ada juga orang
tua yang sempat memperhatikan anaknya setelah tidak sekolah dalam memilih
teman, ketika melihat anaknya banyak bergaul dengan anak-anak yang nakal,
karena ditakutkan nanti anaknya terpengaruh dengan teman-temannya yang nakal, agar terhindar
dari pergaulan yang bebas tersebut orang tua banyak memperhatikan anaknya dalam
memilih teman (14.28%), juga ada yang tidak pernah sama sekali memperhatikan
anaknya yang putus sekolah dalam mencari teman (14.28%).
Selanjutnya untuk mengetahui sikap
masyarakat dalam menghadapi anak putus sekolah dapat dilihat dalam tabel
berikut ini.
Tabel 3.11 Sikap
Masyarakat dalam Menghadapi Anak Putus Sekolah
No
|
Alternatif Jawaban
|
Frekuensi
|
Persentase
|
1.
2.
3.
4.
|
Acuh saja
Membimbingnya
Biasa saja
Tidak ada respons
|
1
4
2
-
|
14.28
57.14
28.57
-
|
|
|
7
|
100
|
Dari tabel di atas dapat diketahui
bahwa masyarakat membimbing anak putus sekolah untuk tidak berlaku nakal dan
membimbing mereka untuk berdikari dan mandiri. Dan ada juga masyarakat yang
acuh saja terhadap anak putus sekolah. Hal ini memang sudah biasa terjadi
karena masyarakat ada yang menganggap bahwa anak yang putus sekolah tersebut
adalah anak yang nakal.
Kemudian untuk mengetahui bagaimana
peranan masyarakat dalam mengatasi anak putus sekolah dapat dilihat dalam tabel
berikut ini.
Tabel 3.12 Peranan
Masyarakat dalam Mengatasi Anak Putus Sekolah
No
|
Alternatif Jawaban
|
Frekuensi
|
Persentase
|
1.
2.
3.
4.
|
Memberikan nasihat
kepada anak-anak
Menyuruhnya untuk
bergabung dengan remaja mesjid
Tidak ada sama sekali
Lain-lain
|
5
2
-
-
|
71.43
28.57
-
-
|
|
|
7
|
100
|
Dari tabel di atas dapat diketahui
bahwa masyarakat tidak membiarkan saja anak-anak yang putus sekolah begitu
saja, mereka memberikan nasihat dan semangat bagi anak tersebut, sehingga
mereka tetap bergairah sekalipun mereka tidak lagi sekolah. Dan ada juga yang
menyuruh anak-anak yang putus sekolah tersebut untuk bergabung dengan remaja
mesjid supaya mereka disibukkan dengan kegiatan-kegiatan keagamaan sehingga
mereka terhindar dari segala perbuatan yang merusak bagi diri mereka sendiri.
Selanjutnya untuk mengetahui apakah
anak putus sekolah sering membuat keonaran di dalam desa dapat dilihat dalam
tabel berikut ini.
Tabel 3.13
Apakah Anak Putus Sekolah Sering Membuat Keonaran di dalam Desa
No
|
Alternatif Jawaban
|
Frekuensi
|
Persentase
|
1.
2.
3.
4.
|
Sering
Kadang-kadang
Tidak ada
Ada
|
-
15
15
5
|
-
42.86
42.86
14.28
|
|
|
35
|
100
|
Dari tabel di atas dapat diketahui
bahwa anak yang putus sekolah suka membuat keonaran di dalam desanya dan hal
ini dapat meresahkan masyarakat. Ada juga sebagian anak yang putus sekolah
tidak membuat keonaran, bahkan mereka justru menjadi keamanan di dalam desanya.
Selanjutnya untuk mengetahui bagaimana
sikap sekolah dalam menangani anak putus sekolah dapat dilihat dalam tabel
berikut ini.
Tabel 3.14 Sikap Sekolah
Dalam Mengatasi Anak Putus Sekolah
No
|
Alternatif Jawaban
|
Frekuensi
|
Persentase
|
1.
2.
3.
4.
|
Menyediakan fasilitas
sekolah secukupnya
Memberikan kebebasan
dalam hal biaya
Menyediakan jadwal
khusus belajar
Tidak ada sama sekali
|
1
5
-
1
|
14.28
71.43
-
14.28
|
|
|
7
|
100
|
Dari tabel di atas dapat ketahui bahwa
sekolah juga berperan aktif dalam hal mengatasi anak putus sekolah yaitu dengan
cara meringankan beban biaya serta memberikan beasiswa bagi anak yang
keluarganya tidak mampu ketika melihat banyak di antara anak yang putus sekolah
ada berasal dari keluarga yang tidak mampu (71.43%). Dengan memberikan
kebebasan dalam hal biaya, maka anak yang keluarganya tidak mampu akan dapat
melanjutkan dan meneruskan pendidikannya.
Selanjutnya untuk mengetahui apakah
masyarakat dan sekolah ada bekerja sama dalam hal mengatasi anak putus sekolah
dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
Tabel 3.15 Apakah masyarakat dan
Sekolah ada bekerja sama dalam mengatasi anak putus sekolah
No
|
Alternatif Jawaban
|
Frekuensi
|
Persentase
|
1.
2.
3.
4.
|
Ada
Kadang-kadang
Tidak ada
Jarang kompromi
|
3
4
-
-
|
42.86
57.14
-
-
|
|
|
7
|
100
|
Dari tabel di atas dapat diketahui
bahwa masyarakat dan sekolah dalam hal mengatasi anak putus sekolah adalah
saling bekerja sama dan saling memberikan aspirasi untuk tercegah dan teratasinya
anak putus sekolah. Untuk mencegah dan mengatasi anak putus sekolah masyarakat
(yang diwakili oleh komite sekolah) dan Sekolah membicarakan dalam sebuah
musyawarah sekolah.. Hal ini dibuktikan dengan jawaban dari penyebaran angket
dalam penelitian ini.
D. Usaha-Usaha Untuk Mengatasi Terjadinya Anak Putus
Sekolah
Setiap orang tua pada dasarnya
menghendaki agar anak dapat belajar di sekolah sampai di perguruan tinggi.
Untuk itu dalam mengatasi terjadinya anak putus sekolah harus adanya berbagai usaha
pencegahannya sejak dini, baik yang dilakukan oleh orang tua, sekolah
(pemerintah) maupun oleh masyarakat. Sehingga anak putus sekolah dapat dibatasi
sekecil mungkin.
Berdasarkan hasil wawancara penulis
dengan salah seorang anggota masyarakat (Imum Meunasah) Desa Punjot,
mengemukakan bahwa: “untuk mengatasi terjadinya anak putus sekolah harus adanya
kesadaran dari orang tua untuk menyekolahkan anak, dalam hal ini tokoh
masyarakat yang disegani diharapkan bisa menyadarkan orang tua anak akan
pentingnya pendidikan bagi masa depan anak nantinya. Karena orang tua telah
mengecap banyak asam garamnya kehidupan dengan tidak mempunyai ilmu pengetahuan
dan keahlian dalam bekerja. Oleh karena itu oleh orang tua harus mengusahakan
masa depan anak-anak lebih baik dari pada keadaannya sekarang. Karena dalam
agama sendiri telah dinyatakan bahwa Allah Swt akan mengangkat derajat
orang-orang yang berilmu pengetahuan. Sebagaimana firman-Nya:
يَرْفَعُ اللهُ الَّذِيْنَ أَمَنُوْامِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوْتُوْ الْعِلْمِ
دَرَجَاتِ ... (المجادلة:11)
Artinya: “Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan
berilmu pengetahuan di antara kamu”. (QS. Al-Mujadilah: 11)”.[66]
Dengan demikian, dapat di pahami salah
satu usaha untuk mengatasi terjadinya anak putus sekolah adalah dengan
menyadarkan orang tua akan pentingnya pendidikan anak demi menjamin masa
depannya dan dapat meneruskan cita-cita orang tuanya. Sebagaimana kita ketahui
bahwa tidak ada orang yang memperoleh jabatan atau pangkat yang tinggi dengan
tanpa adanya pendidikan sebagai modalnya.
Dalam mencegah anak dari putus sekolah orang tua perlu juga memberikan
dorongan (motivasi) kepada anak dalam belajar dan memberikan bantuan kalau ada
kesulitan belajar yang dialami anak. Hal ini pernah di kemukakan oleh Bapak
Kepala Desa Meunasah Dua, yang mengatakan bahwa: “apabila anak tidak pernah
memperoleh dorongan semangat dari orang tuanya, maka anak akan merasa bosan
dalam belajar. Dorongan yang diberikan orang tua dapat berupa hadiah yang
dijanjikan kalau anak dapat mencapai suatu nilai tertentu. Kemudian apabila
anak mengalami kesulitan dalam mengerjakan pekerjaan rumah, orang tua perlu
memberikan bimbingan dan bantuan dalam mengerjakannya, sehingga anak tidak
merasa kesulitan dalam belajar dan takut ke sekolah karena tidak selesai
membuat pekerjaan rumah”.[67]
Dari hasil wawancara tersebut dapat diketahui bahwa salah satu usaha untuk
mengatasi terjadinya anak putus sekolah adalah dengan adanya dorongan dan
bantuan dari orang tua kepada anak sehingga anak lebih bersemangat untuk
sekolah dan senang mengerjakan pekerjaan rumah karena orang tuanya ikut
membantu mengerjakannya apabila ada yang tidak dapat dikerjakannya.
Untuk mengatasi terjadinya anak putus sekolah juga perlu adanya pengawasan
dari orang tua terhadap kegiatan dan hasil belajar anak. Sebagaimana pendapat
yang di kemukakan oleh seorang masyarakat Desa Bugak Mesjid, yang mengatakan
bahwa: “Sudah menjadi kebiasaan anak apabila tidak mendapat pengawasan, ia akan
suka melanggar aturan atau kadang-kadang tidak masuk sekolah. Dan jika sering
tidak masuk sekolah maka akan mempengaruhi terhadap nilai rapornya atau jika
anak tidak masuk sekolah akan dihukum oleh guru. Akibatnya bila anak sering
mendapat hukuman akan membuat anak takut dan bisa jadi tidak mau sekolah lagi”.[68]
Dari hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa untuk mengatasi
terjadinya anak putus sekolah, maka pada anak di sekolah memerlukan pengawasan
dari orang tuanya. Sehingga anak tidak mempunyai kesempatan untuk tidak ke
sekolah dan bermain-main dengan teman-temannya yang tidak sekolah. Pengawasan
dapat juga dilakukan oleh orang tua di rumah dengan memeriksa hasil kegiatan
belajar anak pada hari itu, apabila tidak ada kegiatan yang ditulis berarti
anak tidak masuk sekolah. Pergi ke sekolah hanya sekedar hilang dari rumahnya
atau takut dimarahi orang tuanya. Dalam hal ini orang tua juga seharusnya
memperhatikan keadaan teman-teman bermain anak jangan sampai dipengaruhi oleh temannya
untuk tidak masuk sekolah.
Usaha untuk mengatasi terjadinya anak putus sekolah juga dapat dilakukan
dengan cara tidak membiarkan anak untuk bekerja mencari uang sendiri, karena
hal ini dapat melalaikan anak untuk sekolah. Hal ini sebagaimana dikemukakan
oleh salah seorang tokoh masyarakat Desa Meunasah Dua adalah: “Untuk
menghindari anak malas sekolah atau putus sekolah maka orang tua jangan
membiarkan anak untuk bekerja atau cari uang sendiri pada umur sekolah. Karena
dengan banyak uang sendiri anak akan lupa belajar bahkan malas sekolah dan
akhirnya tidak mau sekolah lagi. Dan anak menganggap sekolah itu tidak pernah
memberikan uang atau sekolah tidak pernah menjanjikan pekerjaan setelah tamat
belajar. Apabila anak punya uang bisa jadi orang tuanya sudah kurang berharga
di matanya. Karena apabila diusir d ari rumah ia sudah bisa cari makan
sendiri”.[69]
Dari hasil wawancara tersebut dapat dipahami bahwa dengan membiarkan anak
mencari uang sendiri dalam waktu belajar dapat membuat anak harus memilih mana yang
lebih mudah dan lebih enak untuk masa sekarang. Yaitu lebih mementingkan uang
dari pada sekolah sehingga lebih cenderung meninggalkan bangku sekolah. Untuk
menghindari hal itu orang tua perlu mengatasinya dengan tidak membiarkan anak
bekerja pada usia belajar. Pada saat itulah orang tua harus berusaha dengan
sekuat tenaganya untuk membiayai sekolah anak dan tidak mempekerjakan anak di
waktu sekolah.
Di sisi lain apabila anak sering dimanjakan dan terlalu banyak diberikan
uang jajan di sekolah juga dapat mengakibatkan anak malas belajar. Bahkan
sering tidak masuk sekolah dan pergi bermain bersama teman-temannya, apalagi
anak yang mempunyai motor dan mempunyai uang banyak ia bebas pergi ke mana
saja. Hal ini pernah di kemukakan oleh Kepala Desa Punjot, bahwa: “Anak putus
sekolah bukan terjadi pada keluarga miskin yang tidak mampu membiayai
pendidikan anaknya, tetapi putus sekolah juga bisa terjadi pada anak keluarga
kaya yang sering dimanjakan dan terlalu banyak diberikan uang jajan”.[70]
Dari hasil wawancara tersebut dapat dipahami bahwa memberikan uang jajan
yang berlebihan juga dapat mengakibatkan anak putus sekolah. Di samping itu
orang tua juga harus memberikan uang jajan yang cukup pada anaknya supaya si
anak bergairah dalam belajar di sekolah.
Dari berbagai hasil wawancara di atas dapat di simpulkan bahwa usaha-usaha
untuk mengatasi terjadinya anak putus sekolah di antaranya dapat di tempuh
dengan cara:
1. Membangkitkan
kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan anak
2. Memberikan
dorongan dan bantuan kepada anak dalam belajar
3. Mengadakan
pengawasan terhadap di rumah serta memberikan motivasi kepada anak sehingga
anak rajin dalam belajar dan tidak membuat si anak bosan dalam mengerjakan
pekerjaan rumah yang diberikan di sekolah.
4. Tidak
membiarkan anak bekerja mencari uang dalam masa belajar.
5. Tidak
memanjakan anak dengan memberikan uang jajan yang terlalu banyak.
E.
Pembuktian Terhadap Hipotesa
Dalam pembahasan ini penulis akan
melihat kembali hipotesis yang penulis susun pada bab satu. Di sini penulis akan
menguji kebenaran dari hipotesis tersebut.
Hipotesa pertama
adalah: “Kebanyakan anak putus sekolah di Kecamatan Jangka disebabkan oleh
kurangnya biaya dan kesadaran orang tua dalam menyekolahkan anaknya”.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kebanyakan anak putus sekolah di Kecamatan Jangka Kabupaten Bireuen di sebabkan
oleh kurangnya biaya, ini berdasarkan jawaban dari para responden yaitu 85.72 %
(Lihat Tabel 3.4), dan pendapatan orang tua mereka tidak mencukupi untuk
belanja sehari-hari yang rata-rata perbulannya sebanyak Rp. 500.000 (Lihat
Tabel 3.5). Hipotesa ini bisa diterima kebenarannya.
Hipotesa kedua: “Anak
putus sekolah di Kecamatan Jangka berdampak negatif dalam masyarakat”.
Hipotesa ini adalah tidak semuanya
benar karena ada sebagian anak yang putus sekolah di Kecamatan Jangka Kabupaten
Bireuen tidak membuat keonaran yang meresahkan masyarakat di dalam desanya, hal
ini berdasarkan hasil penelitian dari responden yang menjawab 42.86 % (Lihat
Tabel 3. 13), dan ada juga anak yang putus sekolah di Kecamatan Jangka
Kabupaten Bireuen yang suka membuat keonaran yang meresahkan masyarakat
desanya, hal ini berdasarkan hasil penelitian dari responden yang menjawab
42.86 % (Lihat Tabel 3. 13). Jadi hipotesa ini bisa di terima kebenarannya
setengah dan setengah lagi tidak bisa di terima kebenarannya.
Hipotesa ketiga: “Cara
pembinaan terhadap anak putus sekolah di Kecamatan Jangka belum optimal”.
Berdasarkan hasil penelitian,
masyarakat telah berusaha semampu mungkin untuk mengatasi anak yang putus
sekolah di Kecamatan Jangka serta membinanya dengan cara membimbing serta
menyuruhnya untuk bergabung dengan remaja mesjid, hal ini berdasarkan jawaban
dari responden 71.43 (Lihat Tabel 3. 12). Jadi hipotesa ini tidak bisa di
terima kebenarannya.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dalam bab-bab
sebelumnya, maka dalam bab terakhir ini ada beberapa kesimpulan tentang anak
putus sekolah di Kecamatan Jangka Kabupaten Bireuen (faktor penyebab dan
solusinya). Adapun kesimpulan tersebut adalah :
1.
Pendidikan
adalah suatu usaha mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki anak agar
berhasil guna dan berdaya guna baik bagi dirinya maupun untuk masyarakatnya.
2.
Orang tua
adalah orang pertama yang harus bertanggung jawab terhadap pendidikan anak,
yang mana baik buruknya sikap anak di kemudian hari akan dikaitkan dengan
berhasil tidaknya orang tua dalam mendidik anak.
3.
Beberapa faktor
penyebab anak di Kecamatan Jangka putus sekolah, secara umum masalah utamanya
adalah kondisi ekonomi keluarga yang sangat kekurangan, karena kebanyakan
masyarakat di Kecamatan Jangka berekonomi lemah, berpenghasilan pas-pasan
sehingga tidak mampu membiayai pendidikan anaknya sehingga si anak terpaksa
harus meninggalkan bangku sekolah.
4.
Dalam
mengatasi terjadinya anak putus sekolah harus adanya kesadaran dari orang tua
anak akan pentingnya pendidikan bagi masa depan anak, orang tua harus
memberikan dorongan (rangsangan) bagi anak untuk belajar.
5.
Orang tua
tidak membiarkan anak mencari kesibukan lain dalam waktu belajar yang dapat
membuka jalan bagi anak untuk meninggalkan bangku sekolah.
6.
Cara
pembinaan bagi anak yang putus sekolah khususnya di Kecamatan Jangka adalah
dengan cara memberikan pengertian akan nilai-nilai agama dan sosial
kemasyarakatan, kepada anak-anak yang putus sekolah baik oleh orang tua maupun
oleh tokoh masyarakat setempat.
7.
Memberikan
kesibukan pada anak sehingga anak terhindar dari hal-hal yang dapat merugikan
orang lain serta menjauhkan anak dari pikiran yang menyimpang.
B. Saran-Saran
Pada bagian ini penulis ingin
menyampaikan beberapa saran yang berkaitan dengan judul pembahasan ini yaitu:
1.
Permasalahan
putus sekolah hampir terjadi di setiap lembaga dan jenjang pendidikan, oleh
karena itu semua lembaga dan jenjang pendidikan harus mampu meningkatkan
pelayanan pendidikan dalam upaya menanggulangi tingkat anak yang drop out dari
sekolah.
2.
Keluarga
terutama orang tua berkewajiban mencerdaskan anak-anak mereka melalui
pendidikan, maka orang tua harus mempunyai tekad yang kuat dan semangat yang
besar untuk menyekolahkan anak-anak mereka, jangan menjadikan kondisi ekonomi
lemah terus dijadikan alasan anak putus
sekolah.
3.
Orang tua
hendaknya memberikan nasihat-nasihat kepada anak agar giat belajar, karena
dengan pendidikannya nanti bisa mencapai masa depan yang cerah.
4.
Tiga wadah
pendidikan, keluarga, sekolah dan masyarakat harus meningkatkan kerja sama
dalam rangka membenahi berbagai permasalahan pendidikan, termasuk masalah putus
sekolah.
5.
Di harapkan
kepada masyarakat yang mampu, untuk memperhatikan nasib pendidikan anak orang
yang tidak mampu dan berusaha membantu pendidikannya jangan sampai putus
sekolah.
6.
kepada
pemerintah diharapkan agar dapat memberikan beasiswa kepada anak-anak yang
kurang mampu agar dapat melanjutkan pendidikannya.
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat Keputusan Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN
Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh Tentang Pembimbing
2. Surat Izin Penelitian dari Dekan Fakultas Tarbiyah
IAIN Ar-Raniry
3. Surat Keterangan telah mengadakan penelitian dari
Kepala Desa Bugak Punjot
4. Surat Keterangan telah mengadakan penelitian dari
Kepala Desa Meunasah Dua
5. Surat Keterangan telah mengadakan penelitian dari
Kepala Desa Bugak Mesjid
6. Daftar Wawancara Penelitian
7. Daftar Angket Penelitian
8. Daftar Riwayat Hidup Penulis
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abu
Abdullah bin Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahihul Bukhari, Juz I,
Mesir: Maktabah al Husaini, t.t.
Abuddin Nata, Mengatasi
Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, ed. 1, cet. 1, Jakarta: Kencana,
2003
Al-Husaini Abdul
Hasyim, Pendidikan Anak Menurut Islam (Terjemahan Abdullah Mahadi),
cet.I, Bandung: Sinar baru Al-Gensiondo, 1994
Abdurrahman
Shaleh, Madrasah dan Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 1995
Ahmad
Daudy, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta : Bulan Bintang. 1992
Ali Imran, Kebijakan Pendidikan di Indonesia, Cet. II Jakarta: Bumi
Aksara, 2002
A.H. Harahap, Bina
Remaja, Medan: Yayasan Bina Pembangunan Indonesia, 1981
Baharuddin M, Putus
Sekolah dan Masalah Penanggulangannya, Jakarta: Yayasan Kesejahteraan
Keluarga Pemuda 66, 1982
Farmadi,
(Kumpulan Makalah Seminar Pendidikan), Pendidikan Islam di Zaman Modern, (Selangor:
Al-Jenderami Press, 2005
_________, Selamatkan
Anak-Anak dari Putusnya Pendidikan, Semarang: Mujahid Press, 2004
Hasan
Langgulung, Azas-Azas Pendidikan Islam, cet. II, Jakarta: Pustaka
Al-Husna, 1988
Ibnu
Sina, Majalah Santunan, no 24, Tahun ke IV 1978
Imam
Muslim, Shahih Muslim, Juz I, Mesir, Isa Al-Bay Al-Halaby, t.t
Irawati Istadi, Istimewakan
Setiap Anak, Jakarta: Pustaka Inti, 2005
Jamaluddin, Psikologi
Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995
Kartini Kartono, Pengantar Metodelogi Research Sosial, Bandung:
Grafika, 1974
M. Noor Syam, Pengantar
Dasar-Dasar kependidikan, cet. I, Surabaya: Usaha Nasional, 1980
M.
Sufi Abdullah dan Nurdin Nafie, Dasar-Dasar Pendidikan, Banda Aceh: FKIP
Unsyiah, 1984
M. Arief, Menggali Manusia Melalui
Proses Pendidikan, Dinamika, No. 12, 1998
Mhd. Tabrani.
ZA, Kajian Ilmu Pendidikan Islam, Selangor: Al-Jenderami Press, 2005
Mhulyadi
Kartanegara, Mozaik Khazanah Islam, Bunga Rampai Dari Chicago,
cet. I,
Jakarta Selatan: Paramadina, 2000
Muhammad Athiyah
Al-Abrasyi, Psikolgi Pendidikan Anak, Bandung: Angkasa Raya, 1992
Muhammad Taqi
Falsafi, Anak Antara Kekuatan Gen dan Pendidikan, Bogor: Cahaya, 2003
Muslim Ibn
Hajjaj Al-Qusyairy, Shahih Bukhari, terj. Muhajir, juz. III, Bandung:
Dahlan, t.t.
Omar Muhammad
At-Touny Al-Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam, tp.,tt.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1996
Safri, Peran
Orang Tua Dalam Pembinaan Mental Anak, Santunan, No. 237, April 1998
Sudirman, N.dkk.
Ilmu Pendidikan, cet. III, Bandung: Remaja Karya, 1989
Singgih
D.Gunarsa dan Ny. Y. Singgih D. Gunarsa, Psikologi Remaja, Jakarta:
Gunung Mulia, 1985
Sutrisno hadi, Metodelogi
Research, Jilid I, cet V, Yogyakarta: UGM, 1996
Tim Penyusun
Peace Education Program, Pendidikan Damai Dalam Perspektif Ulama Aceh, Banda
Aceh: PPD, 2005
Vembriarto, Pendidikan
Sosial, Jilid II, Yogyakarta Paramita, 1975
Winarno
Surachmad, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: Departemen P dan K,
1977
Winarno Surachman, Dasar dan Tehnik Research Pengantar Metodelogi
Ilmiyah, Bandung: Tarsito, 1982
WJS Pooerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. II, Jakarta:
Balai Pustaka, 1985
Yang Kassin, Kamus Bahasa Malaysia Baru, tahun 1996
Zahar
Idris, Dasar-Dasar Pendidikan, Bandung: Angkasa Raya, t.t.
Zakiah
Daradjat, Pendidikan Rumah Tangga Dalam Pembinaan Mental, Jakarta: Bulan
Bintang, 1975
______________, Kepribadian
Guru, cet. II, Jakarta: Bulan Bintang, 1980
DAFTAR
RIWAYAT HIDUP
1.
Nama Lengkap : ELLIZA MURTALA
2.
Tempat/Tanggal Lahir : Bugak Punjot/ 01 November 1984
3.
Jenis Kelamin : Perempuan
4.
Agama : Islam
5.
Kebangsaan/Suku : Indonesia/Aceh
6.
Status : Belum kawin
7.
Pekerjaan : Mahasiswi
8.
Nama Orang Tua :
- Ayah : Murtala
- Pekerjaan : Tani
- Ibu : Naimah
- Pekerjaan : IRT
- Alamat : Desa Bugak Punjot Kecamatan Jangka
Kabupaten Bireuen
9.
Riwayat Pendidikan :
- MIN Bugak Punjot, Tamat Tahun 1997
- SMP Bugak Punjot, Tamat Tahun 2000
- MAN Matang Glumpang Dua, Tamat Tahun 2003
- IAIN Ar-Raniry Fakultas Tarbiyah Jurusan TPA, Masuk 2003 s/d Sekarang
Darussalam,
Juli 2007
Penulis,
Elliza Murtala
[1] Mulyadi Kartanegara, Mozaik Khazanah Islam, Bunga Rampai
Dari Chicago, cet. I
(Jakarta Selatan: Paramadina, 2000), h. 75
[2] Ali Imran, Kebijakan Pendidikan di
Indonesia, Cet. II (Jakarta: Bumi Aksara, 2002), h. 39
[3] WJS Pooerwadarminta, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, cet. II (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), hal. 226
[4] Yang Kassin, Kamus Bahasa Malaysia
Baru, tahun 1996, hal. 83
[5] Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hal. 866
[6] Winarno Surachman, Dasar dan Tehnik
Research Pengantar Metodelogi Ilmiyah ,(Bandung: Tarsito, 1982), hal. 38
[7] Sutrisno hadi, Metodelogi Research,
Jilid I, cet V (Yogyakarta: UGM, 1996), hal. 56
[8] Kartini Kartono, Pengantar Metodelogi
Research Sosial (Bandung: Grafika, 1974), hal. 116
[9] Muslim Ibn Hajjaj Al-Qusyairy, Shahih Bukhari, terj.
Muhajir, juz. III (Bandung: Dahlan, t.t.), hal. 1312
[10] Ibid, hal. 1314
[12] Abdurrahman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan (Jakarta: Rineka
Cipta, 1995), hal. 152
[13] Sudirman, N.dkk. Ilmu Pendidikan, cet. III (bandung: Remaja
Karya, 1989), hal. 4
[14] Omar Muhammad At-Touny Al-Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam,
tp. Tt., hal. 399
[15] Muslim Ibn Hajjaj Al-Qusyairy, Shahih Bukhari,…hal. 1318
[16] Mhd. Tabrani. ZA, Kajian Ilmu Pendidikan Islam (Selangor:
Al-Jenderami Press, 2005), hal. 2
[17] Mhd. Tabrani. ZA, Kajian…, hal. 63
[18] Irawati Istadi, Istimewakan Setiap Anak (Jakarta: Pustaka
Inti, 2005), hal 54
[19] Hasan Langgulung, Azas-Azas Pendidikan Islam, cet. II,
(Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988), hal. 34-35
[21] M. Noor Syam, Pengantar Dasar-Dasar kependidikan, cet. I
(Surabaya: Usaha Nasional, 1980), hal. 2
[22] Farmadi, (Kumpulan Makalah Seminar Pendidikan), Pendidikan Islam di
Zaman Modern (Selangor: Al-Jenderami Press, 2005), hal. 254
[23] Al-Husaini Abdul Majid Hasyim, Pendidikan Anak…, hal. 68
[24] Safri, Peran Orang Tua Dalam Pembinaan Mental Anak,
Santunan, No. 237, April 1998, hal. 15
[25] Jamaluddin, Psikologi Agama (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1995), hal. 202.
[26] Abu Abdullah bin Muhammad bin Ismail
Al-Bukhari, Shahihul Bukhari, Juz I. (Mesir: Maktabah al Husaini t.t) hal.
240.
[27] Al-Husaini Abdul Hasyim, Pendidikan Anak Menurut Islam
(Terjemahan Abdullah Mahadi), cet.I (Bandung: Sinar baru Al-Gensiondo, 1994),
hal. 68
[28] M. Arief, Menggali Manusia Melalui Proses Pendidikan,
Dinamika, No. 12, 1998, hal. 9
[29]M.Arif, Menggali, hal. 84
[30] Zakiah Daradjat, Pendidikan Rumah Tangga
Dalam Pembinaan Mental (Jakarta: Bulan Bintang, 1975) hal 42
[32] Ibnu Sina, Majalah…, hal. 59
[33] M. Sufi Abdullah dan Nurdin Nafie, Dasar-Dasar
Pendidikan (Banda Aceh: FKIP Unsyiah, 1984), hal. 3
[34] Hasan Langgulung, Azas-Azas ..., hal. 4
[35] Zahar Idris, Dasar-Dasar Pendidikan
(Bandung: Angkasa Raya, t.t), hal. 10
[37] Muhammad Athiyah Al-Abrasyi, Psikolgi Pendidikan Anak
(Bandung: Angkasa Raya) hal. 88
[38] Mhd. Tabrani. ZA, Kajian…, hal. 120
[39] Mhd. Tabrani. ZA, Kajian…,
hal. 123
[40] Muhammad Taqi Falsafi, Anak Antara Kekuatan Gen dan Pendidikan
(Bogor: Cahaya, 2003), hal. 83
[42] Abuddin Nata, Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia,
ed. 1, cet. 1 (Jakarta: Kencana, 2003), hal. 127
[43] Farmadi, Selamatkan Anak-Anak dari Putusnya Pendidikan
(Semarang: Mujahid Press, 2004), hal. 59
[44] Winarno Surachmad, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Jakarta:
Departemen P dan K, 1977) hal. 31
[45] Manajemen PT. Arun, Pernik-Pernik…, hal. 130
[46] Vembriarto, Pendidikan Sosial, Jilid II (Yogyakarta
Paramita, 1975), hal. 85
[47] Tim Penyusun Peace Education Program, Pendidikan Damai Dalam
Perspektif Ulama Aceh (Banda Aceh: PPD, 2005), hal. 208
[48] Baharuddin M, Putus Sekolah dan Masalah Penanggulangannya
(Jakarta: Yayasan Kesejahteraan Keluarga Pemuda 66, 1982), hal 320
[49] Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan…, hal. 122
[50] Baharuddin M, Putus Sekolah…, hal. 320
[51] Baharuddin M, Putus Sekolah…, hal. 322.
[52] Zakiah Daradjat, Kepribadian Guru, cet. II (Jakarta: Bulan
Bintang, 1980) hal. 18
[53] A.H. Harahap, Bina Remaja (Medan: Yayasan Bina Pembangunan
Indonesia, 1981), hal. 143
[54] Singgih D.Gunarsa dan Ny. Y. Singgih D. Gunarsa, Psikologi
Remaja (Jakarta: Gunung Mulia, 1985), hal. 87
[55] Manajemen PT. Arun, Pernik-Pernik…, hal. 159
[56] Hasil wawancara dengan Bapak Murtala (tokoh
masyarakat desa Bugak Mesjid), pada tanggal 24 Mai 2007
[57] Hasil wawancara dengan Bapak M. Daud (Kepala Desa Bugak Mesjid), Pada
tanggal 24 Mai 2007
[58] Hasil wawancara dengan
Bapak Jailani M. Ali (Kepala Desa Meunasah Dua), pada tanggal 22 Mai 2007
[59] Hasil wawancara dengan Tgk Mustafa (Imum
Meunasah) Desa Punjot, pada tanggal 23 Mai 2007
[60] Hasil wawancara dengan Tgk. Mahyeddin (Imum
Meunasah) desa Meunasah Dua, pada tanggal 22 Mai 2007
[61] Hasil wawancara dengan Bapak Jailani M. Ali (Kepala
Desa Meunasah Dua), pada tanggal 22 Mai 2007
[63] Hasil wawancara dengan Bapak Tgk. Edi Karim (Imum Meunasah) desa
Bugak Mesjid pada tanggal 24 mai 2007
[64] Hasil wawancara dengan Bapak M. Nur (Kepala Desa Punjot), pada
tanggal 23 Mai 2007
[65] Hasil wawancara dengan
Bapak Murtala (tokoh masyarakat Desa Bugak Mesjid), pada tanggal 24 Mai 2007
[66] Hasil wawancara dengan Tgk. Mustafa, (Imum Meunasah) Desa Punjot
Kecamatan Jangka, pada tanggal 23 Mai 2007
[67] Hasil wawancara dengan
Bapak Jailani M. Ali (Kepala Desa Meunasah Dua), pada tanggal 22 Mai 2007
[68] Hasil wawancara dengan Bapak Tgk. Edi Karim (Imum Meunasah) desa
Bugak Mesjid pada tanggal 24 mai 2007.
[69] Hasil wawancara dengan Tgk,. Mahyeddin (Imum Meunasah) Desa
Meunasah Dua, pada tanggal 22 Mai 2007
[70] Hasil wawancara dengan Bapak M. Nur (Kepala Desa Punjot), pada
tanggal 23 Mai 2007
0 komentar:
Post a Comment