Skripsi Hukum Pidana 1

Tuesday, March 13, 2012

PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA

PADA TAHAP PENYIDIKAN
( Studi di Kepolisian Resort Kotamadya Malang )


BAB  I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara tersebut. Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mengungkap suatu perkara baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan dan penuntutan maupun pada tahap persidangan perkara tersebut.1) 
            Usaha-usaha yang dilakukan oleh para penegak hukum untuk mencari kebenaran materiil suatu perkara pidana dimaksudkan untuk menghindari adanya kekeliruan dalam penjatuhan pidana terhadap diri seseorang, hal ini sebagaimana  ditentukan dalam Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pasal 6 ayat 2 yang menyatakan : “Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung  jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya”.
            Dengan adanya ketentuan perundang-undangan diatas,  maka dalam proses penyelesaian perkara pidana penegak hukum wajib mengusahakan pengumpulan bukti maupun fakta mengenai perkara pidana yang ditangani dengan selengkap mungkin. Adapun mengenai alat-alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud diatas dan yang telah ditentukan menurut ketentuan perundang-undangan adalah sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada pasal 184 ayat 1 yang menyebutkan :
“Alat bukti yang sah ialah : 
a.       keterangan saksi ;
b.       keterangan ahli  ;
c.       surat ;
d.       petunjuk ;
e.       keterangan terdakwa.”

            Di dalam usaha memperoleh bukti-bukti yang diperlukan guna kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali para penegak hukum dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal tertentu yang tidak dapat diselesaikan sendiri dikarenakan masalah tersebut berada di luar kemampuan atau keahliannya. Dalam hal demikian maka bantuan seorang ahli sangat penting diperlukan dalam rangka mencari kebenaran materiil selengkap-lengkapnya bagi para penegak hukum tersebut.
Mengenai perlunya bantuan seorang ahli dalam memberikan keterangan yang terkait dengan kemampuan dan keahliannya untuk membantu pengungkapan dan pemeriksaan suatu perkara pidana, Prof. A. Karim Nasution menyatakan :
“Meskipun pengetahuan, pendidikan dan pengalaman dari seseorang mungkin jauh lebih luas daripada orang lain, namun pengetahuan dan pengalaman setiap manusia tetap terbatas adanya. Maka oleh sebab itulah selalu ada kemungkinan bahwa ada soal-soal yang tidak dapat dipahami secukupnya oleh seorang penyidik dalam pemeriksaan pendahuluan, ataupun seorang hakim di muka persidangan sehingga ia perlu diberi pertolongan oleh orang-orang yang memiliki sesuatu pengetahuan tertentu. 
Agar tugas-tugas menurut hukum acara pidana dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka oleh undang-undang diberi kemungkinan agar para penyidik dan para hakim dalam keadaan yang khusus dapat memperoleh bantuan dari orang-orang yang berpengetahuan dan berpengalaman khusus tersebut.”2)

Menurut ketentuan hukum acara pidana di Indonesia, mengenai permintaan bantuan tenaga ahli diatur dan disebutkan didalam KUHAP. Untuk permintaan bantuan tenaga ahli pada tahap penyidikan disebutkan pada pasal 120 ayat (1), yang menyatakan : “Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus”.
Sedangkan untuk permintaan bantuan keterangan ahli pada tahap pemeriksaan persidangan, disebutkan pada pasal 180 ayat (1) yang menyatakan : “Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan”.
Mengenai keterangan ahli sebagaimana disebutkan dalam kedua pasal KUHAP diatas, diberikan pengertiannya pada pasal 1 butir ke-28 KUHAP, yang menyatakan : “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”.
            Bantuan seorang ahli yang diperlukan dalam suatu proses pemeriksaan perkara pidana, baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan dan pada tahap pemeriksaan lanjutan di sidang pengadilan, mempunyai peran dalam membantu aparat yang berwenang untuk membuat terang suatu perkara pidana, mengumpulkan bukti-bukti yang memerlukan keahlian khusus, memberikan petunjuk yang lebih kuat mengenai pelaku tindak pidana, serta pada akhirnya dapat membantu hakim dalam menjatuhkan putusan dengan tepat terhadap perkara yang diperiksanya.
            Pada tahap pemeriksaan pendahuluan dimana dilakukan proses penyidikan atas suatu peristiwa yang diduga sebagai suatu tindak pidana, tahapan ini mempunyai peran yang cukup penting bahkan menentukan untuk tahap pemeriksaan selanjutnya dari keseluruhan proses peradilan pidana. Tindakan penyidikan yang dilakukan oleh pihak Kepolisian atau pihak lain yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan tindakan penyidikan, bertujuan untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut dapat membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Berdasarkan hasil yang didapat dari tindakan penyidikan suatu kasus pidana, hal ini selanjutnya akan diproses pada tahap penuntutan dan persidangan di pengadilan.
            Terkait dengan bantuan keterangan ahli yang diperlukan dalam proses pemeriksaan suatu perkara pidana, maka bantuan ini pada tahap penyidikan juga mempunyai peran yang cukup penting untuk membantu penyidik mencari dan mengumpulkan bukti-bukti dalam usahanya menemukan kebenaran materiil suatu perkara pidana. Dalam kasus-kasus tertentu, bahkan penyidik sangat bergantung terhadap keterangan ahli untuk mengungkap lebih jauh suatu peristiwa pidana yang sedang ditanganinya. Kasus-kasus tindak pidana seperti pembunuhan, penganiayaan dan perkosaan merupakan contoh kasus dimana penyidik membutuhkan bantuan tenaga ahli seperti dokter ahli forensik atau dokter ahli lainnya, untuk memberikan keterangan medis tentang kondisi korban yang selanjutnya cukup berpengaruh bagi tindakan penyidik dalam mengungkap lebih lanjut kasus tersebut.
            Suatu kasus yang dapat menunjukkan bahwa pihak Kepolisian selaku aparat penyidik membutuhkan keterangan ahli dalam tindakan penyidikan yang dilakukannya yaitu pada pengungkapan kasus perkosaan. Kasus kejahatan kesusilaan yang menyerang kehormatan seseorang dimana dilakukan tindakan seksual dalam bentuk persetubuhan dengan menggunakan ancaman kekerasan atau kekerasan ini, membutuhkan bantuan keterangan ahli dalam penyidikannya. Keterangan ahli yang dimaksud ini yaitu keterangan dari dokter yang dapat membantu penyidik dalam memberikan bukti berupa keterangan medis yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai keadaan korban, terutama terkait dengan pembuktian adanya tanda-tanda telah dilakukannya suatu persetubuhan yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
            Melihat tingkat perkembangan kasus perkosaan yang terjadi di masyarakat saat ini, dapat dikatakan kejahatan perkosaan telah berkembang dalam kuantitas maupun kualitas perbuatannya. Dari kuantitas kejahatan perkosaan, hal ini dapat dilihat dengan semakin banyak media cetak maupun televisi yang memuat dan menayangkan kasus-kasus perkosaan. Sebuah Lembaga Perlindungan Anak di Jawa Timur (LPA Jatim), dalam datanya mengenai tingkat kejahatan perkosaan yang terjadi pada anak, mengungkapkan bahwa kasus perkosaan anak mengalami peningkatan yang cukup memprihatinkan. Disebutkan dalam laporan tahunan lembaga tersebut, pada tahun 2002 kekerasan seksual pada anak mencapai 81 kasus. Pada tahun 2003 di triwulan pertama sampai bulan Maret, di Jawa Timur telah terdapat 53 anak dibawah umur yang menjadi korban perkosaan. Jumlah ini meningkat 20 % dibandingkan kasus yang terjadi pada tahun 2002. Ditengarai  bahwa kasus perkosaan yang terjadi jumlahnya lebih banyak dari data yang diperoleh oleh lembaga tersebut.3)
            Dari kualitas kejahatan perkosaan, hal ini dapat dilihat dengan semakin beragamnya cara yang digunakan pelaku untuk melakukan tindak perkosaan, berbagai kesempatan dan tempat-tempat yang memungkinkan terjadinya tindak perkosaan, hubungan korban dan pelaku yang justru mempunyai kedekatan karena hubungan keluarga, tetangga, bahkan guru yang seharusnya membimbing dan mendidik, bentuk kekerasan yang dilakukan terhadap korban, serta usia korban perkosaan yang saat ini semakin banyak terjadi pada anak-anak.  
            Mengungkap suatu kasus perkosaan pada tahap penyidikan, akan dilakukan serangkaian tindakan oleh penyidik untuk mendapatkan bukti-bukti yang terkait dengan tindak pidana yang terjadi, berupaya membuat terang tindak pidana tersebut, dan selanjutnya dapat menemukan pelaku tindak pidana perkosaan. Terkait dengan peranan dokter dalam membantu penyidik memberikan keterangan medis mengenai keadaan korban perkosaan, hal ini merupakan upaya untuk mendapatkan bukti atau tanda pada diri korban yang dapat menunjukkan bahwa telah benar terjadi suatu tindak pidana perkosaan.
            Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan visum et repertum. Menurut pengertiannya, visum et repertum diartikan sebagai laporan tertulis untuk kepentingan peradilan (pro yustisia) atas permintaan yang berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-baiknya4)  .   
            Dalam kenyataannya, pengusutan terhadap kasus dugaan perkosaan oleh pihak Kepolisian telah menunjukkan betapa penting peran visum et repertum. Sebuah surat kabar memuat berita mengenai kasus dugaan perkosaan yang terjadi di daerah hukum Polresta Tanjung Perak Surabaya, terpaksa kasus tersebut dihentikan pengusutannya oleh pihak Kepolisian disebabkan hasil visum et repertum tidak memuat keterangan mengenai tanda terjadinya persetubuhan. Orang tua korban dengan dibantu oleh sebuah lembaga perlindungan perempuan, berupaya agar pihak Kepolisian dapat meneruskan pengusutan kasus tersebut karena menurut keterangan lisan yang disampaikan dokter pemeriksa kepada keluarga korban menyatakan bahwa selaput dara korban robek dan terjadi infeksi. Permintaan tersebut tidak dapat ditindaklanjuti karena pihak Kepolisian mendasarkan tindakannya pada hasil visum et repertum yang menyatakan tidak terdapat luka robek atau infeksi pada alat kelamin korban. Disebutkan oleh Kapolresta Tanjung Perak Surabaya bahwa karena hasil visum dokter menyatakan selaput dara masih utuh, maka tidak ada alasan bagi polisi untuk melanjutkan pemeriksaan kasus tersebut.5)
            Peranan visum et repertum dalam pengungkapan suatu kasus perkosaan sebagaimana terjadi dalam pemberitaan surat kabar di atas, menunjukkan peran yang cukup penting bagi tindakan pihak Kepolisian selaku aparat penyidik. Pembuktian terhadap unsur tindak pidana perkosaan dari hasil pemeriksaan yang termuat dalam visum et repertum, menentukan langkah yang diambil pihak Kepolisian dalam mengusut suatu kasus perkosaan.
Dalam kenyataannya tidak jarang pihak Kepolisian mendapat laporan dan pengaduan terjadinya tindak pidana perkosaan yang telah berlangsung lama. Dalam kasus yang demikian barang bukti yang terkait dengan tindak pidana perkosaan tentunya dapat mengalami perubahan dan dapat kehilangan sifat pembuktiannya. Tidak hanya barang-barang bukti yang mengalami perubahan, keadaan korban juga dapat mengalami perubahan seperti telah hilangnya tanda-tanda kekerasan. Mengungkap kasus perkosaan yang demikian, tentunya pihak Kepolisian selaku penyidik akan melakukan upaya-upaya lain yang lebih cermat agar dapat ditemukan kebenaran materiil yang selengkap mungkin dalam perkara tersebut.
Sehubungan dengan peran visum et repertum yang semakin penting dalam pengungkapan suatu kasus perkosaan, pada kasus perkosaan dimana pangaduan atau laporan kepada pihak Kepolisian baru dilakukan setelah tindak pidana perkosaan berlangsung lama sehingga tidak lagi ditemukan tanda-tanda kekerasan pada diri korban, hasil pemeriksaan yang tercantum dalam visum et repertum tentunya dapat berbeda dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan segera setelah terjadinya tindak pidana perkosaan. Terhadap tanda-tanda kekerasan yang merupakan salah satu unsur penting untuk pembuktian tindak pidana perkosaan, hal tersebut dapat tidak ditemukan pada hasil pemeriksaan yang tercantum dalam visum et repertum. Menghadapi keterbatasan hasil visum et repertum yang demikian, maka akan dilakukan langkah-langkah lebih lanjut oleh pihak penyidik agar dapat diperoleh kebenaran materiil dalam perkara tersebut dan terungkap secara jelas tindak pidana perkosaan yang terjadi.
Berdasarkan kenyataan mengenai pentingnya penerapan hasil visum et repertum dalam pengungkapan suatu kasus perkosaan pada tahap penyidikan sebagaimana terurai diatas, hal tersebut melatarbelakangi penulis untuk mengangkatnya menjadi topik pembahasan dalam penulisan skripsi dengan judul “PERANAN  VISUM ET REPERTUM PADA TAHAP PENYIDIKAN DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PERKOSAAN (Studi di Kepolisian Resort Kota Malang) ”.
  
B.  Permasalahan  
Berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan yang dapat diangkat untuk selanjutnya diteliti dan dibahas dalam penulisan skripsi ini yaitu sebagai berikut :
1.      Bagaimanakah peranan visum et repertum pada tahap penyidikan dalam mengungkap suatu tindak pidana perkosaan ?
2.      Upaya apakah yang dilakukan penyidik apabila hasil visum et repertum tidak sepenuhnya mencantumkan keterangan tentang tanda kekerasan pada diri korban perkosaan ?

a.       Tujuan Penelitian      

            Berdasarkan permasalahan yang dibahas dalam penulisan skripsi ini,  penelitian yang dilakukan untuk membahas permasalahan tersebut mempunyai tujuan:
1)      Untuk mengetahui peranan visum et repertum pada tahap penyidikan dalam mengungkap suatu tindak pidana perkosaan.
2)      Untuk mengetahui upaya yang ditempuh penyidik apabila hasil visum et repertum tidak memuat keterangan tentang tanda kekerasan pada korban perkosaan, dalam tujuannya untuk mendapatkan kebenaran materiil suatu kasus perkosaan.

D.   Manfaat Penelitian :
Memperhatikan tujuan penelitian yang ada, maka penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat :
1)      Bagi kalangan akademisi
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan dan gambaran mengenai realitas penerapan hubungan ilmu hukum khususnya hukum pidana dengan bidang ilmu lainnya yaitu ilmu kedokteran. Kepentingan penyidik untuk mendapatkan kebenaran materiil suatu perkara yang ditanganinya merupakan aplikasi dari ketentuan hukum acara pidana, sedangkan pembuatan visum et repertum yang dilakukan oleh dokter merupakan aplikasi dari ilmu kedokteran yang dapat berperan dan membantu penyidik dalam tugasnya menemukan kebenaran materiil tersebut. Disamping itu dapat memberikan informasi yang berguna bagi pengembangan ilmu hukum acara pidana khususnya mengenai penggunaan bantuan tenaga ahli yang dalam hal ini adalah dokter pembuat visum et repertum dalam tahap penyidikan suatu perkara pidana.
2)      Bagi masyarakat luas
Hasil penelitian ini dimaksudkan agar dapat memberikan informasi dan gambaran mengenai peran visum et repertum dan penerapannya oleh pihak Kepolisian selaku penyidik, khususnya dalam mengungkap tindak pidana perkosaan yang saat ini semakin banyak terjadi di masyarakat.
3)      Bagi penulis
Penelitian yang dilakukan dapat melatih dan mengasah kemampuan penulis dalam mengkaji dan menganalisa teori-teori yang didapat dari bangku kuliah dengan penerapan teori dan peraturan yang terjadi di masyarakat. Hasil penelitian yang diperoleh dapat memberikan pengetahuan dan gambaran mengenai realitas penggunaan visum et repertum bagi kepentingan penyidikan untuk mengungkap suatu tindak pidana perkosaan.

E.  Metode Penelitian
            Dalam penelitian yang dilakukan digunakan beberapa metode yang bertujuan untuk  mendapatkan hasil penelitian yang seobyektif mungkin. Untuk mendapatkan hasil penelitian tersebut diperlukan informasi yang akurat dan data-data yang mendukung. Sehubungan dengan hal tersebut, metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :
1.  Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam mengkaji permasalahan adalah yuridis sosiologis yang berarti penelitian terhadap permasalahan hukum akan dilakukan secara sosiologis atau memperhatikan aspek dan pranata-pranata sosial yang lainnya. Dalam hal ini metode pendekatan akan menitikberatkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pedoman pembahasan masalah, juga dikaitkan dengan kenyataan yang ada dalam praktek dan aspek-aspek sosial yang berpengaruh.6)
Pendekatan yuridis dalam penelitian ini yaitu mengacu pada peraturan perundang-undangan dalam KUHAP yang mengatur penggunaan bantuan orang ahli dalam tahap penyidikan perkara pidana, dalam hal ini khususnya dokter sebagai pembuat visum et repertum. Sedangkan pendekatan sosiologis digunakan untuk mengetahui peranan visum et repertum dalam penyidikan tindak pidana perkosaan berdasarkan ketentuan tersebut dalam kenyataannya di lapang.    
2.  Lokasi Penelitian
         Dalam penyusunan skripsi ini diadakan penelitian di Kepolisian Resort Kota Malang (Polresta Malang) dengan pertimbangan di tempat tersebut pemeriksaan terhadap kasus perkosaan atau kejahatan kesusilaan lainnya sering menggunakan visum et repertum untuk mendapatkan bukti-bukti yang penting dan memerlukan keahlian khusus dalam pengungkapannya. Dari lokasi penelitian ini diharapkan dapat memperoleh data-data dan temuan lainnya guna penyusunan skripsi ini. 
3.   Jenis dan Sumber Data
                Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan jenis data sebagai berikut :
1)  Data Primer
         Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari lapang melalui teknik wawancara dengan responden7). Data jenis ini diperoleh dari sumber data yang merupakan responden penelitian yaitu penyidik di Polresta Malang khususnya yang bertugas di Ruang Pemeriksaan Khusus (RPK). RPK yaitu suatu bagian ruang pemeriksaan di Polresta Malang yang dipergunakan untuk melakukan penyidikan terhadap kasus-kasus tindak pidana kesusilaan dan tindak pidana dengan pelaku anak-anak.  
2)  Data Sekunder
                Data sekunder yaitu data tidak langsung yang diperoleh melalui studi kepustakaan.8) Sumber data dalam hal ini yaitu sebagai berikut :
a)Dokumen-dokumen resmi, arsip-arsip yang terdapat di lokasi penelitian (Polresta Malang).
b)      Literatur, perundang-undangan, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, artikel-artikel dalam media cetak serta media massa lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
4.   Teknik Pengumpulan Data
                   Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan melakukan kegiatan sebagai berikut :
1)      Wawancara atau interview yaitu proses tanya jawab secara lisan dimana dua orang atau lebih berhadapan secara fisik. Dalam proses interview terdapat dua pihak yang menempati kedudukan yang berbeda, satu pihak berfungsi sebagai pencari informasi atau penanya atau disebut interviewer sedang pihak yang lain berfungsi sebagai pemberi informasi atau informan atau responden.9) Pada penelitian yang dilakukan ini, penulis atau peneliti berkedudukan  sebagai interviewer dan responden adalah penyidik di Polresta Malang, khususnya yang bertugas di RPK yang pernah menangani kasus tindak pidana perkosaan.
Teknik wawancara yang dipakai bersifat bebas terpimpin yaitu wawancara dilakukan dengan menggunakan interview guide yang berupa catatan mengenai pokok-pokok yang akan ditanyakan, sehingga dalam hal ini masih dimungkinkan adanya variasi-variasi pertanyaan yang disesuaikan dengan situasi ketika interview dilakukan.10)
2)      Studi kepustakaan yaitu mendapatkan data melalui bahan-bahan kepustakaan yang dilakukan dengan cara membaca dan mempelajari peraturan perundang-undangan, teori-teori atau tulisan-tulisan yang terdapat dalam buku-buku literatur, catatan kuliah, surat kabar, dan bahan-bahan bacaan ilmiah yang mempunyai hubungan dengan permasalahan yang diangkat.11)
3)      Studi dokumentasi, yaitu studi terhadap dokumen-dokumen resmi serta arsip-arsip yang terkait dengan permasalahan yang diangkat.12) Dalam hal ini dokumen atau arsip seperti surat permohonan pembuatan visum et repertum, visum et repertum korban pemerkosaan, serta arsip lainnya yang terkait dengan permasalahan yang terdapat di lokasi penelitian yaitu Polresta Malang.
5. Teknik analisis data :
            Data penelitian ini dianalisa dengan menggunakan analisis deskriptif, yaitu berusaha menganalisa data dengan menguraikan dan memaparkan secara jelas dan apa adanya mengenai obyek yang diteliti. Data-data dan informasi yang diperoleh dari obyek penelitian dikaji dan dianalisa, dikaitkan dengan teori dan peraturan yang berlaku yang bertujuan untuk memecahkan permasalahan yang diangkat.13) Dari hal ini selanjutnya penulis dapat menarik kesimpulan mengenai peranan visum et repertum pada tahap penyidikan dalam membantu aparat Kepolisian mengungkap  suatu tindak pidana perkosaan.

5. Sistematika Penulisan
   Agar lebih mudah memahami hasil penelitian dan pembahasannya yang tertuang dalam skripsi ini, penulisan skripsi ini selanjutnya dibagi dengan sistematika sebagai berikut :
BAB I   :   PENDAHULUAN
             Pada bab ini diuraikan mengenai latar belakang permasalahan yang diangkat, permasalahan yang akan dibahas, tujuan penelitian dan manfaat penulisan, metode yang digunakan dalam penelitian, serta sistematika penulisan skripsi.
BAB II   :   TINJAUAN PUSTAKA
             Didalamnya berisi materi mengenai tinjauan hukum pidana yang bersifat formil dan materiil, pengertian, kewenangan dan tugas penyidikan, pengaturan tindak pidana perkosaan dalam peraturan perundang-undangan, pengertian, jenis, dan bentuk umum visum et repertum, dasar hukum visum et repertum sebagai alat bukti, serta peranan visum et repertum dalam proses penanganan perkara pidana dan dasar hukum penggunaannya oleh penyidik.
BAB III : PERANAN  VISUM ET REPERTUM PADA TAHAP PENYIDIKAN  DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA  PERKOSAAN
             Pada bab pembahasan ini dipaparkan data-data yang telah diperoleh dari penelitian lapang, didalamnya meliputi pembahasan mengenai prosedur penyidik dalam memperoleh visum et repertum untuk kasus perkosaan, penggunaan visum et repertum oleh penyidik yang meliputi pembahasan mengenai hal-hal yang termuat dalam visum et repertum yang dapat membantu penyidik dalam mengungkap suatu kasus perkosaan, kedudukan visum et repertum sebagai salah satu alat bukti dalam pemeriksaan suatu kasus pemerkosaan, serta upaya yang dilakukan penyidik apabila visum et repertum yang diperoleh tidak memuat keterangan tentang tanda kekerasan pada diri korban.
BAB  IV   :   PENUTUP
Bab ini merupakan bab penutup, berisi kesimpulan dari hasil pembahasan serta saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian yang telah dilakukan.   

BAB  II

TINJAUAN  PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Mengenai Hukum Pidana
             Hukum pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara. Beberapa sarjana mengemukakan pandangannya mengenai definisi hukum pidana sebagai berikut :
             Menurut van Hamel hukum pidana didefinisikan sebagai “semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu negara dalam menyelenggarakan ketertiban umum (rechtsorde) yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang melanggar larangan-larangan  tersebut.”14)
            Sedangkan Simons memberikan definisi sebagai berikut : “Hukum Pidana adalah semua perintah-perintah dan larangan-larangan yang diadakan oleh negara  yang mengancam dengan suatu nestapa (pidana) bagi barang siapa yang tidak mentaatinya, juga semua aturan-aturan yang menentukan syarat-syarat bagi akibat hukum itu, serta semua aturan-aturan untuk mengadakan (menjatuhi) dan menjalankan pidana tersebut.”15)  
            Dari rumusan-rumusan definisi hukum pidana yang ada, menurut Moeljatno dapat disimpulkan bahwa  :
“Hukum pidana mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
a.       menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut (criminal act),
b.      menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan (criminal responsibility);
c.       menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.17)
  
Sebagaimana dasar-dasar dan aturan yang diadakan oleh hukum pidana, menyebabkan hukum pidana dapat dipandang dari dua segi sebagai berikut :
a.       Hukum pidana dalam arti obyektif (ius poenale).
b.      Hukum pidana dalam arti subyektif (ius puniendi).18)
Ius poenale adalah sejumlah peraturan yang mengandung larangan-larangan atau keharusan-keharusan yang disertai ancaman pidana terhadap orang yang melanggarnya. Ius poenale ini dibagi menjadi hukum pidana materiil dan hukum pidana formil.
Hukum pidana materiil berisikan peraturan tentang :
a.       Perbuatan yang diancam pidana ;
b.       Pertanggungjawaban dalam hukum pidana ;
c.       Hukum penitensier, antara lain jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada orang yang melanggar ketentuan hukum pidana.19)
Hukum pidana formil adalah sejumlah peraturan tentang tata cara negara mempergunakan haknya untuk melaksanakan pidana. Hukum pidana formil ini sering disebut hukum acara pidana.
 Ius puniendi adalah peraturan-peraturan yang mengatur tentang hak negara atau alat perlengkapan negara untuk mengancam atau mengenakan pidana terhadap perbuatan tertentu. Mengancam pidana merupakan hak dari lembaga legislatif. Sedangkan mengenakan pidana dilaksanakan oleh lembaga peradilan.20)
            Terkait dengan ius poenale yang dapat dibagi menjadi hukum pidana materiil  dan hukum pidana formil, masing-masing hukum pidana tersebut mempunyai bentuk yang tertuang dalam ketentuan-ketentuan perundang-undangan. Di Indonesia ketentuan hukum pidana materiil diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan perundangan lainnya mengenai tindak pidana khusus, sedangkan hukum pidana formil dimana sebelumnya diatur dalam HIR (Herziene Inlandsch Reglement) sekarang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
1. Hukum Pidana Formil
Ketentuan hukum pidana formil berfungsi untuk menjalankan hukum pidana substantif (materiil), sehingga sering pula disebut hukum acara pidana. Mengenai istilah hukum acara pidana, Andy Hamzah mengemukakan sebagai berikut :
“Istilah “hukum acara pidana“ sudah tepat dibanding dengan istilah “hukun proses pidana” atau “hukum tuntutan pidana”. Belanda memakai istilah straf vordering yang jika diterjemahkan akan menjadi tuntutan pidana. Bukan istilah strafprocesrecht yang padanannya acara pidana. Istilah Inggris Criminal Procedure Law lebih tepat daripada istilah Belanda. Hanya karena istilah strafvordering sudah memasyarakat, maka tetap dipakai..”21)   

Menurut Simons, hukum pidana formil (hukum acara pidana) mengatur tentang bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana. Sedangkan Wirjono Projodikoro menyatakan sebagai berikut : “Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.”22)    
             Berdasarkan pengertian mengenai hukum acara pidana tersebut, dapat disimpulkan bahwa hukum acara pidana menetapkan aturan-aturan mengenai bagaimana alat-alat negara, yang dalam hal ini adalah aparat kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, menegakkan dan menjalankan ketentuan hukum pidana materiil.
             Mengenai fungsi hukum acara pidana, hal ini diantaranya dapat disimpulkan berdasarkan pendapat  JM. Van Bemmelen yang mengemukakan sebagai berikut :
             “Bahwa pada pokoknya hukum acara pidana mengatur hal-hal :
a.       diusutnya kebenaran dari adanya persangkaan dilanggarnya ketentuan pidana oleh alat-alat negara,
b.      diusahakan diusutnya para pelaku dari perbuatan tersebut ;
c.       diikhtiarkan segala daya agar pelaku dari perbuatan dapat ditangkap, jika perlu untuk ditahan ;
d.      dikumpulkannya bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh pada pengusutan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa ke hadapan hakim ;
e.       menyerahkan kepada hakim untuk diambil putusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang disangkakan dilakukan terdakwa serta untuk menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib lainnya ;
f.       menentukan upaya-upaya hukum yang dapat dipergunakan terhadap putusan yang diambil hakim ;
g.       akhirnya melaksanakan putusan tentang pidana atau tindakan tata tertib.23)
  
             Berdasarkan hal-hal yang diatur dalam hukum acara pidana diatas, dapat disimpulkan bahwa fungsi pokok hukum acara pidana adalah sebagai berikut :
a.       Mencari dan menemukan kebenaran.
b.      Pengambilan putusan oleh hakim.
c.       Pelaksanaan dari putusan yang telah diambil. 
Dari ketiga fungsi tersebut yang paling penting karena menjadi tumpuan kedua fungsi berikutnya ialah “mencari kebenaran”. Setelah menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti, dari bahan bukti inilah hakim akan sampai kepada putusan (yang seharusnya adil dan tepat) yang kemudian dilaksanakan oleh jaksa.
Sebagaimana fungsi dan tujuan dari hukum acara pidana dimana ditegaskan bahwa hukum acara pidana dilaksanakan untuk mendapatkan suatu kebenaran materiil dari suatu perkara pidana dengan tujuan diberikannya putusan yang tepat dan adil terhadap perkara tersebut, hal ini membawa akibat bahwa dalam usaha menemukan kebenaran tersebut terdapat dua proses yang teramat penting, kedua proses ini yaitu :
d.       Pemeriksaan penyidikan atau pemeriksaan pendahuluan sebelum dihadapkan pada sidang pengadilan.
e.       Pemeriksaan di depan sidang pengadilan.24)
Pemeriksaan penyidikan yang didahului dengan tindakan penyelidikan adalah serangkaian upaya penting dalam mencari kebenaran sejati tentang adanya persangkaan dilakukannya tindak pidana yang mempunyai arti penting dan berperan pada jalannya pemeriksaan sidang pengadilan serta pada gilirannya benar-benar mampu menetapkan, mempidana yang bersalah, atau membebaskan yang tidak bersalah, bahkan bagi yang merasa dirugikan atas kekurangtelitian dalam pemeriksaan pendahuluan, dapat memperoleh ganti rugi serta rehabilitasi nama baiknya.
Demikian pula pada tahap pemeriksaan persidangan, bukti-bukti suatu perkara pidana yang didapat pada proses penyidikan dan penuntutan akan menjalani pemeriksaan lebih lanjut untuk mendapatkan dan memperjelas kebenaran materiil yang akhirnya menentukan penjatuhan putusan pada perkara pidana tersebut.  
Dalam penulisan skripsi ini dimana permasalahan yang diangkat terkait dengan ketentuan hukum acara pidana pada proses penyidikan, berikut ini paparan mengenai pemeriksaan penyidikan sebagaimana yang diatur dalam ketentuan KUHAP serta undang-undang yang terkait.   
a.  Pengertian Penyidikan                                      
             Mengenai yang dimaksud dengan penyidikan, berikut ini pengertian penyidikan ditinjau secara etimologis dan berdasarkan definisi yuridis yang diberikan
oleh undang-undang :
R. Soesilo mengemukakan pengertian penyidikan ditinjau dari sudut kata sebagai berikut :
“Penyidikan berasal dari kata “sidik” yang berarti “terang”. Jadi penyidikan mempunyai arti membuat terang atau jelas. “Sidik”  berarti juga “bekas”, sehingga menyidik berarti mencari bekas-bekas, dalam hal ini bekas-bekas kejahatan, yang berarti setelah bekas-bekas ditemukan dan terkumpul, kejahatan menjadi terang. Bertolak dari kedua kata “terang” dan “bekas” dari arti kata sidik tersebut, maka penyidikan mempunyai pengertian “membuat terang suatu kejahatan”. Kadang-kadang dipergu-nakan pula istilah “pengusutan” yang dianggap mempunyai maksud sama dengan penyidikan. Dalam bahasa Belanda penyidikan dikenal dengan istilah “opsporing” dan dalam bahasa Inggris disebut “investigation”. 
     Penyidikan mempunyai arti tegas yaitu “mengusut”, sehingga dari tindakan ini dapat diketahui peristiwa pidana yang telah terjadi dan siapakah orang yang telah melakukan perbuatan pidana tersebut.”25)
           
Istilah penyidikan terdapat juga dalam buku Pedoman Kerja Reserse Kriminil yang menjelaskan mengenai kata sidik. Disebutkan didalamnya “Penyidikan atau penyidik berasal dari kata sidik yang berarti membuat terang atau jelas sesuatu hal atau peristiwa yang telah terjadi berdasarkan keadilan atau kebenaran”.26)
Mengenai yang dimaksud dengan tindakan penyidikan berdasarkan definisi yuridis, beberapa ketentuan perundang-undangan yang menyebutkan pengertian penyidikan diantaranya KUHAP dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.   
Pasal 1 angka 13 Undang-undang Th.2002 No.2 tentang Kepolisian RI  serta Pasal 1 angka 2 KUHAP memberikan pengertian yang sama tentang tindakan penyidikan, dinyatakan bahwa : “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”
Berdasarkan pengertian dan rumusan yuridis diatas, dapat disimpulkan bahwa tugas utama penyidik adalah mencari serta mengumpulkan bukti agar tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang serta dapat diketahui dan ditemukan pelaku tindak pidana tersebut.
b.  Fungsi Penyidikan
            Fungsi penyidikan sebagaimana tugas dan tujuan dari hukum acara pidana ialah mencari dan menemukan kebenaran materiil yaitu kebenaran menurut fakta yang sebenarnya. Abdul Mun’in Idris dan Agung Legowo Tjiptomartono mengemukakan mengenai fugsi penyidikan sebagai berikut : “Fungsi penyidikan adalah merupakan fungsi teknis reserse kepolisian yang mempunyai tujuan membuat suatu perkara menjadi jelas, yaitu dengan mencari dan menemukan kebenaran materiil yang selengkap-lengkapnya mengenai suatu perbuatan pidana atau tindak pidana yang terjadi.”27)
            Sedangkan R.Soesilo menyamakan fungsi penyidikan dengan tugas penyidikan sebagai berikut : “Sejalan dengan tugas Hukum Acara Pidana maka tugas penyidikan perkara adalah mencari kebenaran materiil yaitu kebenaran menurut fakta yang sebenar-benarnya”28)
            Dari pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa fungsi penyidikan adalah untuk mencari dan mengumpulkan fakta dan bukti sebanyak-banyaknya untuk mencapai suatu kebenaran materiil yang diharapkan dan untuk meyakinkan bahwa suatu tindak pidana tertentu telah dilakukan.        
            Mengenai arti kebenaran materiil yang ingin dicapai dalam pemeriksaan perkara pidana, dalam Pedoman Kerja Reserse Kriminil  diberikan penjelasan sebagai berikut “Kebenaran materiil ini bukan berarti kebenaran mutlak, karena segala apa yang telah terjadi (apabila jangka waktunya telah lama), maka tidak mungkin kebenaran itu dapat dibuktikan dengan selengkap-lengkapnya. Tetapi yang diartikan disini ialah kenyataan yang sebenar-benarnya.”29)    
            Tujuan pertama-tama dalam rangka penyidikan adalah mengumpulkan sebanyak mungkin keterangan, hal ikhwal, bukti dan fakta-fakta yang benar mengenai peristiwa yang terjadi. Berdasarkan atas fakta ini kemudian dicoba membuat gambaran kembali apa yang terjadi. Fakta-fakta yang masih kurang dicari untuk dilengkapi sehingga gambaran peristiwa yang telah terjadi tersebut akhirnya menjadi lengkap.
c.  Pejabat Penyidik, Tugas dan Kewenangannya
Mengenai pejabat yang berwenang melakukan tindakan penyidikan, Pasal 1 butir 1 KUHAP menyatakan bahwa : “Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”, hal ini disebutkan lebih lanjut pada pasal 6 ayat (1) KUHAP yang juga menentukan bahwa penyidik adalah :
a.       pejabat polisi negara Republik Indonesia ;
b.      pejabat PNS tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Kemudian dalam ayat (2) pasal tersebut ditentukan mengenai syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Dalam Peraturan Pemerintah RI No. 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, pada bab II pasal 2 ditentukan syarat kepangkatan Penyidik adalah sebagai berikut :
(1)  Penyidik adalah :
a.       Pejabat Polisi Negara RI tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi;
Sekarang dengan berdasarkan Surat Keputusan No. Pol. : Skep/ 82 / VI/ 2000 tentang Penetapan Berlakunya Kembali Penggunaan Pakaian Dinas Harian di Lingkungan POLRI pangkat ini berubah menjadi Inspektur Polisi II (AIPDA Pol.).
b.      Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (Golongan II/b) atau yang disamakan dengan itu.
(2)   Dalam hal di suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, maka Komandan Sektor Kepolisian yang berpangkat Bintara di bawah Pembantu Letnan Dua Polisi karena jabatannya adalah penyidik.
Kepangkatan ini sekarang berubah menjadi Inspektur Polisi II.
   
             Mengenai tugas penyidik, hal ini terkait dengan pengertian penyidikan sebagaimana yang ditentukan secara yuridis dalam undang-undang. Berdasarkan pengertian secara yuridis maka tugas seorang penyidik yaitu mencari serta mengumpulkan bukti atas suatu peristiwa yang telah ternyata sebagai tindak pidana, untuk membuat terang tindak pidana tersebut dan guna menemukan pelakunya.
             Mengenai wewenang penyidik dalam melaksanakan tugasnya, hal ini mendapat pengaturan baik dalam KUHAP maupun dalam Undang-undang Tahun 2002 Nomor 2 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam pasal 7 ayat (1) KUHAP ditentukan mengenai wewenang penyidik, dimana disebutkan bahwa karena kewajibannya penyidik mempunyai wewenang :
  1. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
  2. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;  
  3. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
  4. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
  5. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
  6. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
  7. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
  8. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
  9. mengadakan penghentian penyidikan;
  10. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Pada pasal 16 ayat (1) Undang-undang Tahun 2002 Nomor 2 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, disebutkan bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugasnya di bidang penegakan hukum pidana, Kepolisian Negara RI mempunyai wewenang untuk :
a.       melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan,
b.       melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan ;
c.       membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan ;
d.      menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri ;
e.       melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat ;
f.        memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi ;
g.       mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara ;
h.       mengadakan penghentian penyidikan ;
i.         menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum ;
j.         mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak ;
k.       atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana ;
l.         memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum ; dan
m.     mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Tindakan lain yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud diatas (pada huruf m), lebih lanjut dijelaskan pada pasal 16 ayat (2) yang menyatakan bahwa tindakan tersebut adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut :
a.       tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum,
b.        selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;
c.       harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
d.      pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan
e.       menghormati hak asasi manusia.
Mulai dilakukannya penyidikan suatu perkara yang merupakan tindak pidana oleh penyidik diberitahukan kepada penuntut umum dengan diserahkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) sesuai dengan Ps. 109 ayat (1) KUHAP. Setelah bukti-bukti terkumpul dan yang diduga sebagai tersangkanya telah ditemukan selanjutnya penyidik menilai dengan cermat, apakah cukup bukti untuk dilimpahkan kepada penuntut umum atau ternyata bukan merupakan tindak pidana. Jika penyidik berpendapat bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana maka penyidikan dihentikan demi hukum.
Menurut Pasal 8 ayat (3) bila penyidikan telah selesai maka penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum, penyerahan dilakukan dengan dua tahap, yaitu :
a.       Tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara;
b.       Tahap kedua, dalam hal penyidikan telah dianggap selesai penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.
Berdasarkan Pasal 110 ayat (4) KUHAP, penyidikan dianggap selesai jika dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan mengenai hal tersebut dari penuntut umum kepada penyidik. Setelah penyidikan dianggap selesai, maka penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.  
      Pemeriksaan pada tahap penyidikan merupakan tahap awal dari keseluruhan proses pidana. Tujuan penyidikan adalah untuk memperoleh keputusan dari penuntut umum apakah telah memenuhi persyaratan untuk dapat dilakukan penuntutan. Proses pidana merupakan rangkaian tindakan pelaksanaan penegakan hukum terpadu. Antara penyidikan dan penuntutan terdapat hubungan erat, bahkan berhasil tidaknya penuntutan di sidang pengadilan tidak terlepas dari hasil penyidikan.
2.  Hukum Pidana Materiil.
Hukum pidana materiil memberi pengaturan mengenai tiga hal pokok sebagai berikut :
a.       Perbuatan yang diancam pidana (criminal act);
b.      Pertanggungjawaban dalam hukum pidana (criminal responsibility);
c.       Hukum penitensier, antara lain jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada orang yang melanggar ketentuan hukum pidana.30)
Ketentuan hukum pidana materiil ini diatur dalam KUHP serta ketentuan perundang-undangan lainnya tentang tindak pidana khusus. Terhadap isi hukum pidana materiil yang menentukan mengenai bentuk perbuatan yang dapat diancam pidana serta pertanggungjawabannya hal ini mempunyai fungsi yang sangat penting dalam rangka mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum bagi masyarakat. Pengaturan yang jelas dan tegas mengenai suatu perbuatan yang dapat diancam pidana dalam suatu perundang-undangan, memberi jaminan dan perlindungan bagi masyarakat dari tindakan sewenang-wenang aparat hukum yang dapat saja melanggar dan merampas hak masyarakat. 
Salah satu jenis perbuatan yang apabila dilakukan diancam dengan pidana atau disebut juga tindak pidana yang diatur dalam KUHP adalah tindak pidana perkosaan. Terkait dengan perbuatan perkosaan sebagai suatu tindak pidana, berikut ini uraian mengenai pengertian perkosaan serta pengaturan tindak pidana perkosaan dalam KUHP.
a. Pengertian Perkosaan
            Kejahatan perkosaan dalam kosa kata bahasa Indonesia berasal dari kata perkosaan yang berarti “menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan atau menggagahi”31) Berdasarkan pengertian tersebut maka perkosaan mempunyai makna yang luas yang tidak hanya terjadi pada hubungan sexual (sexual intercouse) tetapi dapat terjadi dalam bentuk lain seperti pelanggaran hak asasi manusia yang lainnya.
            Menurut Soetardjo Wignjo Soebroto yang dimaksud dengan perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual seorang laki-laki terhadap seorang perempuan yang menurut moral atau hukum yang berlaku adalah melanggar. Dalam pengertian demikian bahwa apa yang dimaksud perkosaan di satu pihak dapat dilihat sebagai suatu perbuatan (yaitu perbuatan seorang secara paksa hendak melampiaskan nafsu seksualnya) dan di lain pihak dapat dilihat sebagai suatu peristiwa pelanggaran norma serta tertib sosial.32)
            Berdasarkan pengertian perkosaan tersebut diatas, menunjukkan bahwa perkosaan merupakan bentuk perbuatan pemaksaan kehendak laki-laki terhadap perempuan yang berkaitan atau ditujukan pada pelampiasan nafsu seksual. Perbuatan ini dengan sendirinya baik secara  moral maupun hukum melanggar norma kesopanan dan norma kesusilaan di masyarakat. Terhadap hal ini adalah wajar dan bahkan keharusan untuk menjadikan perbuatan perkosaan sebagai suatu tindak pidana yang diatur bentuk perbuatan dan pemidanannya dalam hukum pidana materiil yang berlaku.      
b.  Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan Dalam KUHP
Mengenai tindak pidana perkosaan atau verkrachting, ketentuan yang mengatur mengenai bentuk perbuatan dan pemidanaannya terdapat dalam pasal 285 KUHP. Dirumuskan dalam pasal tersebut : “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”33)
Berdasarkan rumusan tindak pidana perkosaan dalam pasal 285 KUHP tersebut, dapat diuraikan unsur-unsur tindak pidana perkosaan adalah sebagai berikut:
  1. Perbuatannya : memaksa,
  2. Caranya : 1) dengan kekerasan,
2) dengan ancaman kekerasan;
  1. seorang wanita bukan istrinya;
  2. bersetubuh dengan dia.34)
Penjelasan unsur-unsur tindak pidana perkosaan diatas sebagai berikut:
  1. Yang dimaksud dengan perbuatan memaksa (dwingen) adalah perbuatan yang ditujukan pada orang lain dengan menekan kehendak orang lain itu, agar kehendak orang lain tadi menerima kehendak orang yang menekan atau sama dengan kehendaknya sendiri.35) Berdasarkan pengertian ini pada intinya bahwa memaksa berarti di luar kehendak dari seseorang atau bertentangan dengan kehendak seseorang tersebut.
Satochid Kartanegara menyatakan : “perbuatan memaksa ini haruslah ditafsirkan sebagai perbuatan sedemikian rupa sehingga menimbulkan rasa takut pada orang lain”36). Memaksa dapat dilakukan dengan perbuatan dan dapat juga dilakukan dengan ucapan. Perbuatan membuat seorang wanita “menjadi terpaksa” bersedia mengadakan hubungan kelamin, harus dimasukkan dalam pengertian “memaksa” seorang wanita mengadakan hubungan kelamin, walaupun yang menanggalkan semua pakaian yang dikenakan oleh wanita adalah wanita itu sendiri.
  1. Kekerasan (geweld) merupakan salah satu cara memaksa dalam Pasal 285 disamping cara memaksa lainnya yaitu dengan menggunakan ancaman kekerasan. Undang-undang tidak menjelaskan tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan “kekerasan”, hanya dalam Pasal 89 KUHP yang merumuskan tentang perluasan arti dari kekerasan. Disebutkan : “Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.”
Beberapa pakar memberikan pengertian kekerasan sebagai berikut :
Menurut R. Soesilo kekerasan ialah “mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil secara tidak syah”. Sedangkan Satochid mengartikan kekerasan adalah “setiap perbuatan yang terdiri atas digunakannya kekuatan badan yang tidak ringan atau agak berat”.37)
            Secara lebih khusus, Adami Chazawi memberikan pengertian kekerasan dalam Pasal 285 sebagai berikut : “Kekerasan yaitu suatu cara/upaya berbuat (sifatnya abstrak) yang ditujukan pada orang lain yang untuk mewujudkannya disyaratkan dengan menggunakan kekuatan badan yang besar, kekuatan badan mana mengakibatkan bagi orang lain itu menjadi tidak berdaya secara fisik”.38) Sifat kekerasan itu sendiri adalah abstrak, maksudnya ialah wujud konkritnya dari cara kekerasan ada bermacam-macam yang tidak terbatas. Misalnya memukul dengan kayu, menempeleng, menusuk, dan lain sebagainya.
            Mengenai maksud dari ancaman kekerasan (bedreiging met geweld), undang-undang juga tidak memberikan penjelasannya. Namun dalam arrest Hoge Raad tanggal 5 Januari 1914 dan tanggal 18 Oktober 1915 mengenai “ancaman kekerasan” disyaratkan :
a)       bahwa ancaman harus diucapkan dalam suatu keadaan yang demikian rupa, sehingga dapat menimbulkan kesan pada orang yang diancam, bahwa yang diancamkan tersebut benar-benar akan merugikan kebebasan pribadinya,
b)      bahwa maksud pelaku memang telah ditujukan untuk menimbulkan kesan seperti yang diancamkan.39)

            Menurut Adami Chazawi, ancaman kekerasan diartikan yaitu :
“ancaman kekerasan fisik  yang ditujukan pada orang, yang pada dasarnya juga berupa perbuatan fisik, perbuatan fisik mana dapat saja berupa perbuatan persiapan untuk dilakukan perbuatan fisik yang besar atau lebih besar yang berupa kekerasan, yang akan dan mungkin segera dilakukan/diwujudkan kemudian bilamana ancaman itu tidak membuahkan hasil sebagaimana yang diinginkan pelaku”.40)


            Kekerasan atau ancaman kekerasan pada pasal 285 KUHP, ditujukan terhadap wanita itu sendiri dan bersifat sedemikian rupa sehingga tidak dimungkinkan baginya untuk berbuat lain selain membiarkan tubuhnya untuk disetubuhi. Antara kekerasan dengan ketidakberdayaan perempuan terdapat hubungan kausal, dan karena tidak berdaya inilah maka persetubuhan dapat terjadi. Jadi sebenarnya terjadinya persetubuhan pada dasarnya adalah akibat dari perbuatan memaksa dengan menggunakan kekerasan dan ancaman kekerasan tersebut.
c.  Mengenai wanita bukan isterinya, disini persetubuhan dilakukan terhadap perempuan yang bukan istrinya. Ditentukannya hal tersebut karena perbuatan bersetubuh dimaksudkan sebagai perbuatan yang hanya dilakukan antara suami isteri dalam perkawinan.
d.   Menurut M.H. Tirtamidjaja “mengadakan hubungan kelamin” atau “bersetubuh” berati persentuhan sebelah dalam kemaluan laki-laki dan perempuan yang pada umumnya dapat menimbulkan kehamilan, tidak perlu telah terjadi pengeluaran mani dalam kemaluan si perempuan.41)
            Menurut Kedokteran Forensik, persetubuhan didefinisikan sebagai suatu peristiwa dimana terjadi penetrasi penis ke dalam vagina, penetrasi tersebut dapat lengkap atau tidak lengkap dan dengan atau tanpa disertai ejakulasi.42) 
Pada saat ini pengertian “bersetubuh” diartikan bila penis telah masuk (penetrasi) ke dalam vagina. 
Berdasarkan unsur-unsur tindak pidana perkosaan dalam pasal 285 KUHP diatas, perkosaan tidaklah disebut perkosaan apabila tidak terbukti adanya persetubuhan, padahal untuk membuktikan adanya persetubuhan sangat sulit terlebih apabila korban sudah pernah menikah atau bukan gadis lagi (tidak virgin). Apabila dalam suatu kasus yang diduga sebagai perkosaan ternyata tidak terbukti adanya persetubuhan, kasus tersebut dapat diarahkan pada tindak pidana pencabulan dimana dalam tindak pidana tersebut tidak disyaratkan adanya persetubuhan.

B.  Pengertian Visum et Repertum
            Visum et repertum berkaitan erat dengan Ilmu Kedokteran Forensik. Mengenai disiplin ilmu ini, dimana sebelumnya dikenal dengan Ilmu Kedokteran Kehakiman, R. Atang Ranoemihardja menjelaskan bahwa Ilmu Kedokteran Keha-kiman atau Ilmu Kedokteran Forensik adalah ilmu yang menggunakan pengetahuan Ilmu Kedokteran untuk membantu peradilan baik dalam perkara pidana maupun dalam perkara lain (perdata). Tujuan serta kewajiban Ilmu Kedokteran Kehakiman adalah membantu kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman dalam menghadapi kasus-kasus perkara yang hanya dapat dipecahkan dengan ilmu pengetahuan kedokteran.43)
Tugas dari Ilmu Kedokteran Kehakiman adalah membantu aparat hukum (baik kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman) dalam mengungkapkan suatu perkara yang berkaitan dengan pengrusakan tubuh, kesehatan dan nyawa seseorang. Dengan bantuan Ilmu Kedokteran Kehakiman tersebut, diharapkan keputusan yang hendak diambil oleh badan peradilan menjadi obyektif berdasarkan apa yang sesungguhnya terjadi.
Bentuk bantuan ahli kedokteran kehakiman dapat diberikan pada saat terjadi tindak pidana (di tempat kejadian perkara, pemeriksaan korban yang luka atau meninggal) dan pemeriksaan barang bukti, dimana hal ini akan diterangkan dan diberikan hasilnya secara tertulis dalam bentuk surat yang dikenal dengan istilah visum et repertum.44)
Visum et repertum adalah istilah yang dikenal dalam Ilmu Kedokteran Forensik, biasanya dikenal dengan nama “Visum”. Visum berasal dari bahasa Latin, bentuk tunggalnya adalah “visa”. Dipandang dari arti etimologi atau tata bahasa, kata “visum” atau “visa” berarti tanda melihat atau melihat yang artinya penandatanganan dari barang bukti tentang segala sesuatu hal yang ditemukan, disetujui, dan disahkan, sedangkan “Repertum” berarti melapor yang artinya apa yang telah didapat dari pemeriksaan dokter terhadap korban. Secara etimologi visum et repertum adalah apa yang dilihat dan diketemukan.45)
Berdasarkan ketentuan hukum acara pidana Indonesia, khususnya KUHAP tidak diberikan pengaturan secara eksplisit mengenai pengertian visum et repertum. Satu-satunya ketentuan perundangan yang memberikan pengertian mengenai visum et repertum yaitu Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350. Disebutkan dalam ketentuan Staatsblad tersebut bahwa : “Visum et Repertum adalah laporan tertulis untuk kepentingan peradilan (pro yustisia) atas permintaan yang berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-baiknya.”46)  
            Abdul Mun’im Idris memberikan pengertian visum et repertum sebagai berikut : “Suatu laporan tertulis dari dokter yang telah disumpah tentang apa yang dilihat dan ditemukan pada barang bukti yang diperiksanya serta memuat pula kesimpulan dari pemeriksaan tersebut guna kepentingan peradilan.”47)
Dari pengertian visum et repertum tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa visum et repertum adalah keterangan dokter tentang apa yang dilihat dan ditemukan dalam melakukan pemeriksaan barang bukti guna kepentingan peradilan. Jadi dalam hal ini visum et repertum merupakan kesaksian tertulis dalam proses peradilan..
            Menurut pendapat Tjan Han Tjong, visum et repertum merupakan suatu hal yang penting dalam pembuktian karena menggantikan sepenuhnya corpus delicti (tanda bukti). Seperti diketahui dalam suatu perkara pidana yang menyangkut perusakan tubuh dan kesehatan serta membinasakan nyawa manusia, maka tubuh si korban merupakan corpus delicti.47)
1.   Jenis Visum et Repertum
            Sebagai suatu hasil pemeriksaan dokter terhadap barang bukti yang diperuntukkan untuk kepentingan peradilan, visum et repertum digolongkan menurut obyek yang diperiksa sebagai berikut :
1.             Visum et repertum untuk orang hidup.
Jenis ini dibedakan lagi dalam :
    1. Visum et repertum biasa. Visum et repertum ini diberikan kepada pihak peminta (penyidik) untuk korban yang tidak memerlukan perawatan lebih lanjut.
    2. Visum et repertum sementara. Visum et repertum sementara diberikan apabila korban memerlukan perawatan lebih lanjut karena belum dapat membuat diagnosis dan derajat lukanya. Apabila sembuh dibuatkan visum et repertum lanjutan.
    3. Visum et repertum lanjutan .
Dalam hal ini korban tidak memerlukan perawatan lebih lanjut karena sudah sembuh, pindah dirawat dokter lain, atau meninggal dunia.
2.   Visum et repertum untuk orang mati (jenazah).
      Pada pembuatan visum et repertum ini, dalam hal korban mati maka penyidik mengajukan permintaan tertulis kepada pihak Kedokteran Forensik untuk dilakukan bedah mayat (outopsi).
  1. Visum et repertum Tempat Kejadian Perkara (TKP). Visum ini dibuat setelah dokter selesai melaksanakan pemeriksaan di TKP.
  2. Visum et repertum penggalian jenazah. Visum ini dibuat setelah dokter selesai melaksanakan penggalian jenazah.
  3. Visum et repertum psikiatri yaitu visum pada terdakwa yang pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan menunjukkan gejala-gejala penyakit jiwa.
  4. Visum et repertum barang bukti, misalnya visum terhadap barang bukti yang ditemukan yang ada hubungannya dengan tindak pidana, contohnya darah, bercak mani, selongsong peluru, pisau.48)
Dalam penulisan skripsi ini, visum et repertum yang dimaksud adalah visum et repertum untuk orang hidup, khususnya yang dibuat oleh dokter berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap korban tindak pidana perkosaan.
2.  Bentuk Umum Visum et Repertum
            Agar didapat keseragaman mengenai bentuk pokok visum et repertum, maka ditetapkan ketentuan mengenai susunan visum et repertum sebagai berikut :
  1. Pada sudut kiri atas dituliskan “PRO YUSTISIA”, artinya bahwa isi visum et repertum hanya untuk kepentingan peradilan.
  2. Di tengah atas dituliskan Jenis visum et repertum serta nomor visum et repertum tersebut.
  3. Bagian Pendahuluan, merupakan pendahuluan yang berisikan :
    1. Identitas Peminta visum et repertum.
    2. Identitas Surat Permintaan Visum et Repertum.
    3. Saat penerimaan Surat Permintaan Visum et Repertum.
    4. Identitas Dokter pembuat visum et repertum.
    5. Identitas korban/barang bukti yang dimintakan visum et repertum.
    6. Keterangan kejadian sebagaimana tercantum di dalam Surat Permintaan Visum et Repertum.
  4. Bagian Pemberitaan, merupakan hasil pemeriksaan dokter terhadap apa yang dilihat dan ditemukan pada barang bukti.
  5. Bagian Kesimpulan, merupakan kesimpulan dokter atas analisa yang dilakukan terhadap hasil pemeriksaan barang bukti.
  6. Bagian Penutup, merupakan pernyataan dari dokter bahwa visum et repertum ini dibuat atas dasar sumpah dan janji pada waktu menerima jabatan.
  7. Di sebelah kanan bawah diberikan Nama dan Tanda Tangan serta Cap dinas dokter pemeriksa.49)
Dari bagian visum et repertum sebagaimana tersebut diatas, keterangan yang merupakan pengganti barang bukti yaitu pada Bagian Pemberitaan. Sedangkan pada Bagian Kesimpulan dapat dikatakan merupakan pendapat subyektif dari dokter pemeriksa.


3.   Visum et Repertum Sebagai Alat Bukti
            Dalam KUHAP tidak terdapat satu pasalpun yang secara eksplisit memuat perkataan visum et repertum. Hanya didalam Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350 pada Pasal 1 dinyatakan bahwa visum et repertum adalah suatu keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas sumpah atau janji tentang apa yang dilihat pada benda yang diperiksanya yang mempunyai daya bukti dalam perkara-perkara pidana.
KUHAP tidak pula menjelaskan secara langsung mengenai kedudukan visum et repertum sebagai alat bukti. Perihal apa yang dimaksud dengan alat bukti yang sah, disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) :
            Alat bukti yang sah ialah :
  1. keterangan saksi ;
  2. keterangan ahli ;
  3. surat ;
  4. petunjuk ;
  5. keterangan terdakwa.

            Apabila ditinjau dari ketentuan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350 yang merupakan satu-satunya ketentuan yang memberikan definisi visum et repertum, maka sebagai alat bukti visum et repertum termasuk alat bukti surat karena keterangan yang dibuat oleh dokter dituangkan dalam bentuk tertulis.50) Menurut Waluyadi, Visum et repertum merupakan keterangan tertulis dalam bentuk surat yang dibuat atas sumpah jabatan yaitu jabatan sebagai seorang dokter, sehingga surat tersebut mempunyai keontentikan sebagai alat bukti.51)
             Di samping ketentuan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350 yang menjadi dasar hukum kedudukan visum et repertum, ketentuan lainnya yang juga memberi kedudukan visum et repertum sebagai alat bukti surat yaitu Pasal 184 ayat (1) butir c KUHAP mengenai alat bukti surat serta Pasal 187 butir c yang menyatakan bahwa : “Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) butir c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah : c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya.”
Dengan demikian berdasarkan pengertian yuridis dari visum et repertum yang diberikan oleh Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350 maka kedua pasal KUHAP tersebut telah memberi kedudukan visum et repertum sebagai suatu alat bukti surat dalam pemeriksaan perkara pidana.

C.   Peranan Visum et Repertum Dalam Proses Penanganan Perkara Pidana Serta Dasar Hukum Penggunaannya Oleh Penyidik Menurut KUHAP
            Mengenai peranan visum et repertum dalam proses penanganan perkara, sebelum membahas bagaimana peranan tersebut, berikut ini yang dimaksud dengan arti kata “peranan”.
            Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “peran” diartikan sebagai “seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat”. Sedangkan kata “peranan” diartikan yaitu “bagian dari tugas yang harus dijalankan”. Kata “pemeranan” diartikan “proses, cara, perbuatan memahami, perilaku yang diharapkan dan diikatkan dengan kedudukan seseorang.”52)
              Berdasarkan definisi-definisi diatas, diterapkan dengan peranan visum et repertum, maka dapat disimpulkan bahwa peranan visum et repertum yaitu bagian dari tugas, cara, proses, yang dapat diikatkan pada visum et repertum menurut kedudukannya. Apabila meninjau peranan visum et repertum dalam penanganan suatu perkara, khususnya dalam penulisan skripsi ini, maka hal ini mempunyai arti yaitu tugas/ cara/ proses yang dapat dilakukan dan atau diberikan oleh visum et repertum dalam kedudukannya pada proses penyidikan suatu tindak pidana perkosaan.   
Menurut H.M. Soedjatmiko, sebagai suatu keterangan tertulis yang berisi hasil pemeriksaan seorang dokter ahli terhadap barang bukti yang ada dalam suatu perkara pidana, maka visum et repertum mempunyai peran sebagai berikut :
  1. Sebagai alat bukti yang sah.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam KUHAP pasal 184 ayat (1) jo pasal 187 huruf c.
  1. Bukti penahanan tersangka.
Di dalam suatu perkara yang mengharuskan penyidik melakukan penahanan tersangka pelaku tindak pidana, maka penyidik harus mempunyai bukti-bukti yang cukup untuk melakukan tindakan tersebut. Salah satu bukti adalah akibat tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka terhadap korban. Visum et repertum yang dibuat oleh dokter dapat dipakai oleh penyidik sebagai pengganti barang bukti untuk melengkapi surat perintah penahanan tersangka.
  1. Sebagai bahan pertimbangan hakim.
Meskipun bagian kesimpulan visum et repertum tidak mengikat hakim, namun apa yang diuraikan di dalam Bagian Pemberitaan sebuah visum et repertum adalah merupakan bukti materiil dari sebuah akibat tindak pidana, di samping itu Bagian Pemberitaan ini adalah dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti yang telah dilihat dan ditemukan oleh Dokter. Dengan demikian dapat dipakai sabagai bahan pertimbangan bagi hakim yang sedang menyidangkan perkara tersebut.53)

Karena tujuan pemeriksaan perkara pidana adalah mencari kebenaran materiil, maka setiap masalah yang berhubungan dengan perkara pidana tersebut harus dapat terungkap secara jelas. Demikian halnya dengan visum et repertum yang dibuat oleh dokter spesialis forensik atau atau dokter ahli lainnya, dapat memperjelas alat bukti yang ada bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Sehubungan dengan hakekat pemeriksaan perkara pidana adalah mencari kebenaran materiil maka kemungkinan menghadapkan Dokter untuk membuat visum et repertum adalah suatu hal yang wajar demi kepentingan pemeriksaan dan pembuktian.
Mengenai dasar hukum peranan visum et repertum dalam fungsinya membantu aparat penegak hukum menangani suatu perkara pidana, hal ini berdasarkan ketentuan dalam KUHAP yang memberi kemungkinan dipergunakannya bantuan tenaga ahli untuk lebih memperjelas dan mempermudah pengungkapan dan pemeriksaan suatu perkara pidana.
Ketentuan dalam KUHAP yang memberi dasar hukum bahwa pada tahap penyidikan penyidik dapat meminta keterangan ahli, dimana hal ini meliputi pula keterangan ahli yang diberikan oleh dokter pada visum et repertum yang dibuatnya atas pemeriksaan barang bukti, adalah sebagai berikut :
a)      Pasal 7 KUHAP mengenai tindakan yang menjadi wewenang Penyidik, khususnya dalam hal mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam pemeriksaan perkara.
b)      Pasal 120 KUHAP. Pada ayat (1) pasal ini disebutkan : “Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.”
c)      Pasal 133 KUHAP dimana pada ayat (1) dinyatakan : “Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya”.
Ayat (2) Pasal 133 KUHAP menyebutkan : “Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.”
Sedangkan mengenai dasar hukum tindakan dokter dalam memberikan bantuan keahliannya pada pemeriksaan perkara pidana, hal ini tercantum dalam Pasal 179 KUHAP dimana pada ayat (1) disebutkan : “Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.”  
            Bantuan dokter untuk proses peradilan dapat diberikan secara lisan (berdasar Pasal 186 KUHAP), dapat juga secara tertulis (berdasar pasal 187 KUHAP). Bantuan dokter untuk proses peradilan baik secara lisan ataupun tertulis semuanya termasuk dalam pasal 184 KUHAP tentang alat bukti yang sah.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam KUHAP diatas, maka baik tindakan  dokter dalam membantu proses peradilan (dimana dalam hal ini tindakan membuat visum et repertum untuk kepentingan penanganan perkara pidana) maupun tindakan penyidik dalam meminta bantuan tersebut, keduanya mempunyai dasar hukum dalam pelaksanaannya.

BAB  III
PEMBAHASAN

 

A. Peranan Visum et Repertum Pada Tahap Penyidikan Dalam Mengungkap Tindak Pidana Perkosaan

Sebagaimana tujuan Hukum Acara Pidana yang tertuang dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman yang menyatakan bahwa :
“Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.”54)

Berdasarkan tujuan tersebut, maka hal ini menuntut aparat penegak hukum yang berwenang menangani dan memeriksa suatu perkara pidana pada setiap tahap pemeriksaannya agar dapat bertindak secara jujur dan tepat dalam rangka menemukan dan mengungkapkan kebenaran materiil suatu perkara pidana dan akhirnya dapat memberikan putusan yang tepat yang dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat.
            Dalam pemeriksaan penyidikan yang didalamnya dilakukan serangkaian tindakan oleh aparat penyidik untuk mencari dan mengumpulkan  bukti  yang  dengan bukti tersebut dapat membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya, pada proses ini dapat dikatakan merupakan langkah awal yang sangat penting dan menentukan dalam menemukan kebenaran materiil suatu perkara pidana. Terhadap suatu peristiwa atau perbuatan yang diduga melanggar hukum pidana, pengusutan kebenaran materiil terhadap peristiwa tersebut dilakukan pada tahap penyidikan.
Proses penyidikan dapat dimulai dan dilaksanakan apabila penyidik telah mendapatkan dasar atau pedoman tertentu. Dasar atau pedoman bagi penyidik untuk memulai suatu penyidikan yaitu adanya kemungkinan sumber tindakan sebagaimana yang diatur dalam  KUHAP sebagai berikut :
1.      Kedapatan tertangkap tangan. (Pasal 1 butir 19 KUHAP)
2.      Adanya laporan. (Pasal 1 butir 24 KUHAP)
3.      Adanya pengaduan. (Pasal 1 butir 25 KUHAP)
4.      Diketahui sendiri atau dari pemberitahuan, atau cara lain sehingga penyidik mengetahui terjadinya delik.55)
Terkait dengan penyidikan suatu tindak pidana yang dalam penulisan skripsi ini adalah mengenai tindak pidana perkosaan, jenis tindak pidana ini pada umumnya diketahui dari adanya pengaduan atau laporan baik yang dilakukan oleh korban, orang tua korban, atau keluarga korban lainnya.56) Pengaduan dalam hal ini yaitu sebagaimana dimaksudkan pada KUHAP Pasal 1 butir 25 yaitu pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum  seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya. Sedangkan laporan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1 butir 24 KUHAP yaitu pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana. 
Terhadap pengaduan atau laporan mengenai terjadinya tindak pidana perkosaan, kemudian dilakukan tindakan lebih lanjut oleh penyidik yaitu serangkaian tindakan untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut dapat membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Tindakan penyidikan terhadap tindak pidana perkosaan sebagai salah satu jenis tindak pidana kesusilaan dalam pelaksanaannya mempunyai kekhususan karena bentuk dari tindak pidana tersebut. Tindak pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP yang mensyaratkan adanya perbuatan memaksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap seorang wanita untuk bersetubuh dengan dirinya di luar pernikahan, dengan sendirinya penyidikan terhadap tindak pidana ini akan mengusut suatu perbuatan asusila mengenai persetubuhan yang menimbulkan korban seorang wanita. Terhadap tindak pidana ini pada umumnya petugas penyidik terdiri dari penyidik wanita yang diharapkan mampu melakukan pendekatan terhadap wanita korban perkosaan yang sering mengalami trauma psikologis akibat perkosaan yang dialami, dengan tujuan dapat mengumpulkan keterangan dan bukti selengkap mungkin dalam rangka menemukan kebenaran materiil perkara tersebut.
Berdasarkan data yang diambil dalam penelitian skripsi ini, menurut Ketut Mariyati seorang penyidik yang bertugas di Polresta Malang, tingkat terjadinya tindak pidana perkosaan di daerah hukum Polresta Malang dapat dikatakan terjadi dalam jumlah yang tidak sedikit apabila dibandingkan dengan tindak pidana kesusilaan lainnya seperti pencabulan atau perzinahan. Bentuk-bentuk kekerasan atau ancaman kekerasan yang dilakukan pelaku juga semakin beragam, bahkan tindak pidana perkosaan ini lebih sering terjadi dengan korban anak-anak. 57)
Mengenai kuantitas perkara tindak pidana perkosaan serta perkara tindak pidana kesusilaan lainnya khususnya yang ditangani oleh Polresta Malang selama tahun 2002 sampai dengan awal Juni tahun 2003 dapat ditunjukkan sebagai berikut :
Tabel 1
Kasus Tindak Pidana Kesusilaan yang ditangani Penyidik
Polresta Malang selama Tahun 2002  sampai Bulan Juni Tahun 2003

No. Laporan/ Tanggal
Perkara/
Pasal
Pelaku
Korban
Barang Bukti
1. K/ LP/  18 / I/02
    28 – 1 – 2002
2. K/LP/ 107 /II/02
    19 – 2 – 2002
3. K/LP/ 206 /III/02
    20 – 3 – 2002
4. K/LP/ 313 /IV/02
    2 – 4 – 2002
5. K/LP/ 460 /V/02
    7 – 5 – 2002

6. K/LP/ 532 /V/02
    29 – 5 – 2002

7. K/LP/ 659 /VI/02
    28 – 6 – 2002   

8. K/LP/695/VII/02
    10 – 7 – 2002

9. K/LP/710/VII/02
    10 – 7 – 2002
10. K/LP/955/8/02 
      25 – 8 – 2002
11. K/LP/1050/9/02
      25 – 9 – 2002


12. K/LP/1071/9/02
      27 – 9 – 2002

13. K/LP/I/03
      17 – 1 – 2003

14. K/LP/337/IV/03
      4 – 4 – 2003

15. K/LP/33/IV/03
      15 – 4 – 2003
16. K/LP/34/IV/03
      21 – 4 – 2003  
17. K/LP/785/V/03
      31 – 5 – 2003

18. K/LP/110/V/03
      20 – 3 – 2003


19. K/LP/724/V/03
      19 – 5 – 2003

20. K/LP/771/V/03
      20 – 5 – 2003
21. K/LP/844/VI/03
      7 – 6 – 2003
Perbuatan cabul
Ps. 289 KUHP
Perbuatan cabul
Ps. 290 KUHP
Perbuatan cabul
Ps. 289 KUHP
Perkosaan
Ps. 285 KUHP
Perkosaan, Per-
buatan cabul
Ps. 285, Ps. 290
Pencabulan, Perkosaan
Ps. 285, Ps. 290
Perkosaan
Ps. 285 KUHP

Pencabulan, tindak susila thd anak, Ps. 290
Perbuatan cabul
Ps. 289 KUHP
Perbuatan cabul
Ps. 289, Ps. 290
Perbuatan cabul,  serta membawa pergi tanpa ijin,
Ps. 293, Ps. 332
Perbuatan cabul,
Perkosaan
Ps. 285, Ps. 290
Perbuatan cabul
Ps. 290 subs.
Ps. 293 KUHP
Perkosaan, Pencabulan anak
Ps.285, Ps. 290
Perzinahan
Ps. 284 KUHP
Perbuatan cabul
Ps. 290 KUHP
Perbuatan cabul terhadap anak
Ps. 290 KUHP
Perbuatan cabul terhadap anak, perkosaan
Ps. 285, Ps. 290
Perbuatan cabul terhadap anak
Ps. 293 KUHP
Perbuatan cabul
Ps. 293 KUHP
Persetubuhan
terhadap wanita
tidak berdaya
Ps. 286 KUHP

Turimo
20 th
Daniel
14 th
Djoko
18 th
Dadang

Sahid
24 th

Bimura
60 th

Atim P
33 th

Sugeng
40 th

Iklas,22
Amin,22
Edy S.
22 th
I Gede
Yustina,
23 th

Slamet H
(DPO)

Supadi
17 th

Tulimin
82 th

Bambang
40 th
Atim S.
32 th
Yudi
 33 th

Priyono
43 th


Stanlous
40 th

Anton S.
25 th
Marten
50 th
Juwariyah
17 th
Puji Astuti
7 th
Junaidi
29 th
Tutik R.  17 th
Nurhayati
20 th

Kusni 10th
Misni 10th

Kusnul
 Khotimah
19 th
M. Arifin
14 th

S. Natalia
20 th
Sukarti 44,
Suliana 17
Fransiska
19 th


Jumani
35 th

Sri Bawon
15 th

Indrawati
15 th

Supeno
55 th
Eko Suryo
16 th
Ibnu M.
22 th

Sundari
20 th


Olivia S.N.
7 th

Supingatun
20 th
Rasi
60 th
celana panjang

-   

celana dalam

celana dalam, visum et repertum
 visum et repertum


visum et repertum


pisau, tas,
celana dalam, visum et repertum
celana dalam, 
8 gambar porno

-

-

visum et repertum



visum et repertum celana dalam

visum et repertum


celana dalam, celurit,
visum et repertum
visum et repertum

visum et repertum celana dalam
visum et repertum
celana dalam, pakaian
visum et repertum
celana dalam


uang Rp.1000,-


celana dalam

celana dalam pria

Sumber : Data skunder, diolah. 
Berdasarkan data pada tabel diatas jenis tindak pidana perkosaan sebagai salah satu bentuk tindak pidana kesusilaan mempunyai kuantitas yang tidak sedikit bila dibandingkan dengan tindak pidana kesusilaan lainnya. Dalam 1 tahun (tahun 2002 sebagaimana tabel diatas) dari 12 perkara tindak pidana kesusilaan, terdapat 5 perkara tindak pidana perkosaan. Dalam kurun waktu 6 bulan pertama (di tahun 2003) terdapat 2 perkara tindak pidana perkosaan dari 9 perkara tindak pidana kesusilaan yang terjadi di daerah hukum Polresta Malang.
Dalam tahap penyidikan suatu tindak pidana perkosaan, berdasarkan data mengenai barang bukti perkara tindak pidana perkosaan pada tabel diatas, dapat diketahui bahwa pada tiap perkara tindak pidana perkosaan, barang bukti yang diperoleh oleh penyidik terdiri dari barang-barang yang hampir sama seperti pakaian yang dikenakan korban khususnya celana dalam, alat yang dipergunakan pelaku untuk melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan dalam perkosaan (seperti pisau atau celurit), serta pada semua perkara tersebut terdapat barang bukti berupa visum et repertum.
Keberadaan visum et repertum yang selalu menjadi barang bukti dalam penyidikan tindak pidana perkosaan, hal ini dimungkinkan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 133 ayat (1) KUHAP juncto Pasal 1 butir 28 KUHAP yang mengatur perihal permintaan bantuan keterangan ahli yang dapat dimintakan oleh penyidik dalam rangka membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan yang sedang dilakukannya. Visum et repertum yang dibuat oleh dokter dari hasil pemeriksaan medis yang dilakukannya terhadap korban perkosaan merupakan bentuk keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam kedua pasal KUHAP tersebut yang diberikan dalam bentuk keterangan tertulis.
Pada proses penyidikan, penyidik mempunyai tugas yang sangat penting yaitu mencari dan mengumpulkan bukti-bukti serta menemukan tersangkanya. Dari bukti-bukti tersebut akan semakin jelas diketahui terjadinya suatu tindak pidana. Bukti-bukti ini pula yang diajukan ke persidangan oleh penuntut umum sebagai alat bukti yang sah. Oleh karena itu bukti yang dikumpulkan oleh penyidik harus kuat, apabila penyidik mengalami kesulitan dalam pemeriksaan karena sifat perkaranya memiliki kekhususan seperti pada perkara tindak pidana perkosaan dimana harus dibuktikan adanya unsur persetubuhan, penyidik dapat meminta bantuan dokter spesialis untuk membuat visum et repertum dalam rangka memastikan unsur tersebut . 
Mengenai barang bukti berupa visum et repertum, dalam kasus perkosaan hal ini dimintakan segera setelah diterimanya pengaduan oleh penyidik. Atas pengaduan yang diterima, oleh penyidik kemudian dibuatkan Laporan Polisi yaitu laporan tertulis yang dibuat oleh petugas Polri tentang adanya pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan Undang-undang, bahwa telah atau sedang terjadi peristiwa pidana. Setelah dibuat Laporan Polisi kemudian dilakukan prosedur untuk memperoleh visum et repertum yang bertujuan untuk mengetahui keadaan korban terutama terkait dengan pembuktian unsur-unsur persetubuhan dan ancaman kekerasan/kekerasan dalam tindak pidana perkosaan. Pembuatan visum et repertum harus dilakukan segera setelah diterimanya pengaduan tindak pidana perkosaan agar keadaan korban tidak begitu banyak mengalami perubahan dan dapat diketahui secepat mungkin setelah terjadinya tindak pidana perkosaan.58)           
Dalam prosedur untuk mendapatkan visum et repertum tersebut, hal ini hanya dilakukan oleh penyidik sebagaimana tugas dan wewenangnya yang telah diatur dalam undang-undang. Dalam perkara pidana khususnya pada tahap penyidikan yang berhak meminta visum et repertum adalah sebagai berikut :
a.       Penyidik, sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP yaitu pejabat polisi RI dengan syarat kepangkatan serendah-rendahnya Pembantu Letnan Dua Polisi (sebagaimana disebutkan dalam Ps. 2 ayat (1) huruf a jo. Ps. 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983) yang sekarang dengan berdasarkan Surat Keputusan No. Pol. : Skep/ 82 / VI/ 2000 tentang Penetapan Berlakunya Kembali Penggunaan Pakaian Dinas Harian di Lingkungan POLRI berubah menjadi Inspektur Polisi II (AIPDA Pol.).
b.       Penyidik Pembantu, sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) KUHAP yaitu pejabat kepolisian RI dengan syarat kepangkatan serendah-rendahnya Sersan Dua Polisi (sebagaimana tercantum dalam Ps. 3 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983) yang  sekarang berubah menjadi Brigadir Dua Polisi (BRIPDA Pol.).59)          

                Berdasarkan ketentuan yang ada, tata cara dalam permintaan visum et repertum dalam perkara pidana adalah sebagai berikut :

a.       Permintaan harus diajukan secara tertulis, tidak dibenarkan mengajukan permintaan secara lisan atau melalui telepon atau melalui pos.
b.       Surat permintaan harus dibawa sendiri oleh penyidik bersama-sama korban atau barang buktinya ke Rumah Sakit, Puskesmas atau Dokter.
c.       Tidak dibenarkan meminta visum et repertum tentang keadaan atau peristiwa yang lampau. Hal ini mengingat akan adanya kewajiban menyimpan rahasia Kedokteran bagi seorang Dokter.
d.      Di dalam Surat Permintaan Visum et Repertum harus dicantumkan :
1.       Jenis surat permintaan visum et repertum,
2.       Identitas korban sedapatnya sejelas mungkin;
3.       Keterangan tentang peristiwa kejadian dan keterangan lain.
e.       Untuk korban luka yang meninggal dalam perawatan harus segera disusulkan Surat Permintaan Visum et Repertum Jenazah.
f.        Untuk permintaan visum et repertum jenazah, maka berarti bahwa jenazah harus dioutopsi. Tidak dibenarkan meminta visum et repertum luar saja, oleh karena Dokter tidak mungkin memberikan Kesimpulan tentang sebab kematiannya tanpa outopsi.
g.       POLRI bertanggung jawab atas keamanan Dokter selama melakukan outopsi, sebab masih ada hal-hal yang tidak diinginkan yang dapat terjadi akibat keluarga jenazah menolak dilakukan outopsi. Untuk ini sesuai dengan Pasal 134 ayat (2) KUHAP, perlu diberikan penjelasan oleh Penyidik tentang perlunya outopsi tersebut. Bahkan apabila dipandang perlu dapat ditegakkan Pasal 222 KUHP.
h.       Sesuai dengan Pasal 133 ayat (3) KUHAP serta untuk mencegah terjadinya kekeliruan,  maka dalam pengiriman barang bukti termasuk jenazah harus diberikan label yang bersegel.60)
Dalam prosedur untuk mendapatkan visum et repertum korban perkosaan, sebagaimana ketentuan yang ada penyidik membuat Surat Permintaan Visum et Repertum (SPVR) Korban Perkosaan yang secara administratif ditujukan kepada Kepala Rumah Sakit tempat dilakukan pemeriksaan medis terhadap korban. Dalam surat tersebut termuat keterangan mengenai korban sebagai berikut :
1.       Nama, tanggal lahir/umur, kewarganegaraan, pekerjaan, agama, dan alamat,
2.       Tempat dan waktu terjadinya perkosaan;
3.       Tanggal dan jam pengaduan atau pelaporan kepada Polisi atau ditemukan Polisi;
4.       Dibawa/datang ke kantor Polisi oleh siapa, tanggal dan jamnya atau ditemukan oleh Polisi;
5.       Barang bukti yang disertakan agar disebutkan secara lengkap dan jelas.61)
Pembuatan SPVR Korban Perkosaan ini sebagaimana pelaksanaan ketentuan Pasal 133 ayat (2) KUHAP mengenai bentuk permintaan keterangan ahli oleh penyidik dimana disebutkan bahwa “Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.”
Permintaan visum et repertum ini tidak hanya dapat dimintakan pada rumah sakit pemerintah namun juga dapat dimintakan pada rumah sakit swasta. Setelah dipenuhinya syarat administrasi pembuatan SPVR oleh penyidik, kemudian oleh penyidik korban diantar ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan. Selama pemeriksaan medis tersebut, petugas harus memastikan bahwa benar telah dilakukan pemeriksaan medis terhadap korban yang dimaksud.62)
Dalam pembuatan visum et repertum perkosaan, pemeriksaan medis terhadap korban dilakukan oleh dokter yang memiliki keahlian/spesialis kandungan dan penyakit kebidanan (Spesialis Obstetri Ginekologi) yang memang berkompeten dalam melakukan pemeriksaan untuk membuktikan unsur persetubuhan yang dialami korban perkosaan, yang dengan sendirinya pemeriksaan medis terhadap hal ini akan lebih terkonsentrasi  pada alat kelamin korban. 63)   
Sebagaimana prosedur yang telah dilakukan penyidik untuk mendapatkan visum et repertum diatas, hasil visum et repertum baru dapat diketahui oleh penyidik dalam jangka waktu antara 2 minggu sampai 1 bulan setelah pemeriksaan terhadap korban. Hal ini mengingat bahwa dalam pembuatan visum et repertum tersebut, juga dilakukan beberapa test laboratorium terhadap beberapa hal yang ditemukan pada korban saat pemeriksaan.64)
Visum et repertum yang dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan medis terhadap korban perkosaan mempunyai fungsi yang penting bagi penyidik khususnya untuk mengetahui adanya unsur persetubuhan yang terjadi pada korban. Mengingat penyidik tidak mempunyai kemampuan dan keahlian untuk membuktikan adanya tanda persetubuhan pada diri korban perkosaan, maka peranan visum sangat penting untuk membuktikan hal tersebut. Pemeriksaan yang dilakukan penyidik terhadap korban perkosaan hanya sebatas pada pemeriksaan luar fisik dan tidak mungkin dapat mengetahui tanda persetubuhan yang terdapat dalam alat kelamin korban.65)   
            Disamping untuk membuktikan adanya tanda persetubuhan pada diri korban, visum et repertum juga dapat memuat hasil pemeriksaan terhadap adanya tanda kekerasan pada diri korban. Terhadap unsur ini merupakan unsur yang juga penting disamping unsur persetubuhan dalam tindak pidana perkosaan. Kedua unsur tersebut merupakan unsur utama yang harus dicari dan ditemukan oleh penyidik dalam mengungkap suatu kasus perkosaan.66)
Visum et repertum yang memuat hasil pemeriksaan medis mengenai keadaan  korban yang dilakukan oleh dokter yang berwenang merupakan salah satu barang bukti yang yang penting bagi penyidik untuk mengadakan tindakan lebih lanjut dalam penyidikannya, seperti melakukan penggeledahan, penyitaan, penahanan, atau tindakan penyidikan lainnya.
Berikut hal-hal yang secara umum termuat dalam visum et repertum yang dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap korban tindak pidana perkosaan yang dapat membantu penyidik dalam mengungkap terjadinya tindak pidana perkosaan :      

1.      Pada bagian Pemberitaan atau Hasil Pemeriksaan

Dalam visum et repertum yang dimintakan untuk penyidikan kasus perkosaan, hasil pemeriksaan medis terhadap korban yang termuat pada bagian ini pada umumnya adalah sebagai berikut :
a)  Keterangan mengenai waktu dan keadaan fisik luar korban yang dilihat pada saat dilakukan pemeriksaan oleh dokter. Keadaan luar korban seperti mengenai pakaian yang dikenakan (meliputi pakaian dalam), alas kaki yang dikenakan, dan barang lain yang dikenakan korban.
Mengenai barang yang dikenakan korban, hal ini diuraikan sejelas mungkin oleh dokter pemeriksa mengingat hal tersebut juga penting bagi penyidik untuk menjadikan barang tersebut sebagai barang bukti jika pakaian atau benda lainnya tersebut dikenakan korban pada saat terjadinya tindak pidana perkosaan.67)
b)      Hasil pemeriksaan medis terhadap adanya tanda kelainan dan atau tanda kekerasan pada bagian tubuh yang meliputi : kepala, leher, dada, perut, punggung, anggota gerak atas kiri dan kanan, anggota gerak bawah kiri dan kanan.
c)      Hasil pemeriksaan alat kelamin dengan colok dubur, meliputi pemeriksaan terhadap :
-          Otot lingkar dubur (regangan baik atau tidak),
-          Selaput lendir poros usus (licin atau tidak);
-          Selaput dara (mengalami robekan atau tidak, lama atau baru robekan tersebut, dan pada arah jam berapa robekan tersebut berada);
-          Kerampang kemaluan (terdapat luka atau tidak);
-          Rahim (dalam ukuran normal atau mengalami pembesaran karena kehamilan)
d)      Hasil pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap :
-          Lendir liang senggama (apakah didapati sel mani atau tidak),
-          Air seni untuk pemeriksaan adanya kehamilan (positif atau negatif).
2.  Pada bagian Kesimpulan
Bagian ini merupakan kesimpulan yang diambil dari hasil pemeriksaan terhadap korban, pada umumnya berisi keterangan tentang :
a)       Keadaan selaput dara penderita (pernah mengalami persetubuhan atau tidak),
b)      Adanya kehamilan atau tidak dan jika ada berapa usia kehamilan tersebut;
c)       Adanya tanda kekerasan atau tidak pada tubuh korban;
d)      Ditemukan sel mani atau tidak dalam liang senggama korban.

Bagian Pemberitaan atau Hasil Pemeriksaan merupakan bagian yang terpenting dari visum et repertum karena memuat hal-hal yang ditemukan pada korban saat dilakukan pemeriksaan oleh dokter. Bagian ini merupakan bagian yang paling obyektif dan menjadi inti visum et repertum karena setiap dokter diharapkan dapat memberikan keterangan yang selalu sama sesuai dengan pengetahuan dan pengalamannya. Setiap bentuk kelainan yang terlihat dan dijumpai langsung dituliskan apa adanya tanpa disisipi pendapat-pendapat pribadi. Pada bagian ini terletak kekuatan bukti suatu visum et repertum yang bila perlu dapat dipakai sebagai dasar oleh dokter lain sebagai pembanding untuk menentukan pendapatnya.

            Dengan membaca hal-hal yang termuat dalam visum et repertum terutama pada bagian Pemberitaan seperti tersebut diatas, penyidik dapat memperoleh gambaran yang cukup penting dan tidak sedikit mengenai tindak pidana perkosaan yang terjadi pada korban.
Berdasarkan hasil pemeriksaan korban yang termuat dalam visum et repertum penyidik dapat menjadikannya gambaran petunjuk  mengenai hal-hal sebagai berikut:
-          Terdapatnya unsur persetubuhan pada diri korban.
Unsur persetubuhan merupakan unsur penting yang harus dibuktikan oleh penyidik dalam mengungkap suatu tindak pidana perkosaan. Menurut Ilmu Kedokteran Forensik persetubuhan diartikan suatu peristiwa dimana terjadi penetrasi penis ke dalam vagina, penetrasi tersebut dapat lengkap atau tidak lengkap dan dengan atau tanpa disertai ejakulasi. Pemeriksaan unsur persetubuhan dalam hal ini dipengaruhi dari bentuk dan elastisitas selaput dara, besarnya penis dan derajat penetrasinya, ada tidaknya ejakulasi dan keadaan ejakulat itu sendiri, posisi persetubuhan, serta keaslian keadaan korban pada waktu pemeriksaan.68)
Terhadap unsur persetubuhan, dalam visum et repertum tanda terjadinya persetubuhan dapat dilihat pada hasil pemeriksaan selaput dara korban, apabila terjadi robekan kemungkinan besar korban telah mengalami persetubuhan, namun demikian tidak terdapatnya robekan juga tidak berarti korban tidak mengalami persetubuhan. Elastisitas selaput dara, besar kecilnya penis, derajat penetrasi penis, serta posisi persetubuhan, dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan selaput dara korban.69)
Berdasarkan hal-hal yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaaan selaput dara untuk penentuan adanya tanda persetubuhan tersebut diatas,   
Namun apabila menurut hasil pemeriksaan laboratorium terhadap lendir liang senggama korban ditemukan sel mani maka hal ini merupakan tanda pasti telah terjadi persetubuhan pada korban. Demikian juga apabila terjadi kehamilan serta adanya penyakit kelamin tertentu yang hanya menular dari persetubuhan jelas merupakan tanda pasti akibat adanya persetubuhan.70)
Mengenai unsur persetubuhan apakah korban seperti wanita yang belum atau pernah bersetubuh, hal ini selalu dinyatakan oleh Dokter pada bagian Kesimpulan visum et repertum tersebut. Untuk mengetahui dan membuktikan adanya unsur persetubuhan, pada umumnya penyidik mengacu pada hasil pemeriksaan selaput dara di bagian Hasil Pemeriksaan serta pendapat dokter di bagian hasil Kesimpulan visum et repertum.71)
Dengan demikian terkait dengan hal-hal yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan selaput dara untuk menentukan tanda persetubuhan sebagaimana tersebut diatas, hal ini tidak begitu diperhatikan oleh penyidik, penyidik hanya berpatokan pada hasil pemeriksaan yang sudah termuat dalam visum et repertum tersebut.
-          Perkiraan saat terjadinya persetubuhan terhadap korban.
Saat terjadinya persetubuhan penting diketahui oleh penyidik dalam hal memeriksa alibi tersangka yang dapat mengelak tindak pidana perkosaan yang disangkakan.
Ada tidaknya sel mani pada liang senggama korban yang dapat termuat dalam visum et repertum dapat menunjukkan saat terjadinya persetubuhan. Mengenai hal ini terdapat dasar pemeriksaan sperma yang menunjukkan bahwa sperma di dalam liang vagina masih dapat bergerak dalam waktu 4-5 jam post-coital, sperma masih dapat ditemukan tidak bergerak sampai sekitar 24-36 jam post-coital, dan bila wanitanya mati masih akan dapat ditemukan sampai 7-8 hari. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium terhadap lendir liang senggama korban yang termuat dalam visum et repertum, hal ini dapat dijadikan petunjuk bagi penyidik untuk memperkirakan saat terjadinya persetubuhan dalam suatu tindak pidana perkosaan. Demikian pula mengenai hasil pemeriksaan terhadap umur kehamilan, hal ini juga dapat dijadikan petunjuk oleh penyidik dalam hal menentukan kebenaran kapan tindak pidana perkosaan dilakukan.72)  
-          Adanya unsur kekerasan pada tubuh korban.
Unsur kekerasan dan atau ancaman kekerasan dalam penyidikan tindak pidana perkosaan harus dapat ditemukan dan dibuktikan oleh penyidik agar dapat memproses perkara tersebut lebih lanjut. Adanya unsur persetubuhan tanpa ditemukan adanya unsur kekerasan atau ancaman kekerasan pada diri korban, dapat menjadikan perkara tersebut dihentikan penyidikannya. Visum et repertum yang menerangkan mengenai tanda kekerasan pada tubuh korban merupakan bukti yang dapat menunjukkan unsur kekerasan pada pengungkapan tindak pidana perkosaan.
Untuk pembuktian adanya kekerasan pada tubuh korban perkosaan, sebelumnya perlu diketahui lokasi luka-luka yang sering ditemukan, yaitu seperti di daerah mulut dan bibir, leher, puting susu, pergelangan tangan, pangkal paha serta di sekitar dan pada alat genital. Luka-luka akibat kekerasan pada kejahatan seksual biasanya berbentuk luka lecet bekas kuku, bekas gigitan (bite marks) serta luka-luka memar.73)
            Di dalam hal pembuktian adanya kekerasan tidak selamanya kekerasan meninggalkan jejak atau bekas yang berbentuk luka. Oleh karena tindakan pembiusan dikategorikan pula sebagai tindakan kekerasan, maka dengan sendirinya diperlukan pemeriksaan medis untuk menentukan ada tidaknya obat-obat atau racun yang sekiranya dapat membuat wanita menjadi pingsan.
Dalam visum et repertum tanda-tanda kekerasan pada tubuh korban dapat diketahui dari hasil pemeriksaan terhadap kepala, leher, dada, perut, punggung, anggota gerak atas kiri dan kanan, anggota gerak bawah kiri dan kanan serta keadaan kerampang kemaluan korban yang selalu termuat pada bagian Pemberitaan.
-          Hasil pemeriksaan terhadap barang bukti lain yang terkait dengan tindak pidana perkosaan.
                  Dalam pembuatan visum et repertum yang dilakukan terhadap korban perkosaan, biasanya disertakan barang bukti lain yang dapat menunjukkan bekas terjadinya tindak pidana perkosaan, seperti misalnya celana dalam korban, pakaian korban yang dipakai pada saat kejadian. Pemeriksaan terhadap benda-benda tersebut dimaksudkan untuk memeriksa adanya bekas darah atau sperma yang dapat dicocokkan dengan darah dan sperma pelaku, disamping kemungkinan adanya bekas perlawanan/tanda kekerasan yang terdapat pada pakaian tersebut.
            Hasil pemeriksaan barang bukti ini dengan sendirinya dapat menguatkan kedudukan benda-benda tersebut sebagai salah satu barang bukti yang penting, baik dalam tahap penyidikan maupun dalam tahap pemeriksaan persidangan perkara tersebut.
      Fungsi dan manfaat visum et repertum sebagaimana terurai diatas menunjukkan peranan tekhnis visum et repertum yang dapat membantu dan memberi petunjuk bagi penyidik dalam mengungkap suatu tindak pidana perkosaan. Kelengkapan hasil pemeriksaan terhadap korban perkosaan yang tercantum dalam visum et repertum serta kemampuan dan keterampilan penyidik dalam membaca dan menerapkan hasil visum et repertum, menjadi hal yang penting dalam menemukan kebenaran materiil yang selengkap mungkin pada pemeriksaan suatu perkara tindak pidana perkosaan.      
Visum et repertum dalam penyidikan tindak pidana perkosaan membantu penyidik dalam upaya mencari dan mengumpulkan bukti-bukti yang cukup disamping bukti-bukti lainnya seperti dari keterangan korban, saksi, tersangka serta pemeriksaan barang bukti lainnya. Dengan adanya visum et repertum yang memuat hasil pemeriksaan medis terhadap seorang wanita yang diduga sebagai korban perkosaan, seorang penyidik akan memperoleh suatu keyakinan bahwa suatu tindak pidana yang dimaksud benar telah terjadi atau sebaliknya.
Peranan visum et repertum dalam pengungkapan tindak pidana perkosaan pada tahap penyidikan, tentunya harus didukung dengan pemeriksaan bukti-bukti lainnya agar dicapai kebenaran materiil yang sejati dalam pemeriksaan perkara tersebut. Terdapat keterbatasan hasil visum et repertum dalam peranannya membantu penyidik dalam mengungkap suatu tindak pidana perkosaan, hal ini terjadi khususnya terkait dengan keaslian keadaan korban perkosaan pada waktu pemeriksaan, keadaan lainnya yang sudah terjadi pada diri korban sebelum tindak pidana perkosaan terjadi (misalnya korban sebelumnya dalam keaadan tidak virgin), serta jangka waktu diketahuinya atau dilaporkannya tindak pidana tersebut. Adanya kemungkinan hal-hal yang bisa mempengaruhi hasil pemeriksaan terhadap korban yang termuat dalam visum et repertum tersebut, maka diperlukan tindakan lain oleh penyidik agar hasil visum et repertum justru tidak ditafsirkan dengan salah. Tindakan lain ini seperti dengan mencari keterangan dari korban, tersangka, saksi-saksi, pemeriksaan barang bukti dan bila perlu pemeriksaan terhadap tempat kejadian perkara.
Visum et repertum yang didalamnya memuat hasil pemeriksaan yang menyebutkan adanya tanda persetubuhan dan kekerasan pada diri korban, apabila terdapat kesesuaian dengan pengaduan dan laporan tindak pidana tersebut, hal ini mempunyai peran yang sangat penting bagi penyidik dalam mengungkap lebih jauh tindak pidana perkosaan. Visum et repertum dapat menjadi bukti permulaan yang cukup yang menjadi dasar penyidik untuk melakukan penindakan. Bukti permulaan yang cukup yaitu alat bukti untuk menduga adanya suatu tindak pidana dengan mensyaratkan adanya minimal Laporan Polisi ditambah salah satu alat bukti yang sah. Penindakan yaitu setiap tindakan hukum yang dilakukan terhadap orang maupun benda yang ada hubungannya dengan tindak pidana yang terjadi, seperti pemanggilan tersangka dan saksi, penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.74) 
Menurut penyidik visum et repertum dalam pemeriksaan perkara pidana di persidangan dianggap sebagai alat bukti surat.75) Sebagaimana jenis-jenis alat bukti yang sah yang disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP juncto Pasal 187 KUHAP tentang penjelasan yang dimaksud dengan alat bukti surat, visum et repertum telah memenuhi kriteria alat bukti tersebut. Pembuatan visum et repertum yang dilakukan oleh dokter spesialis kebidanan dan penyakit kandungan (spesialis Obstetri Ginekologi) dan permintaan pembuatannya yang dilakukan dengan mengajukan SPVR (Surat Permintaan Visum et Repertum) Korban Perkosaan, hal ini telah memenuhi ketentuan mengenai bantuan keterangan ahli yang dapat dimintakan penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 133 ayat (1) dan (2) KUHAP.
Berdasarkan peranan yang dapat diberikan visum et repertum dalam penyidikan tindak pidana perkosaan sebagaimana terurai di atas, hal ini menyebabkan kedudukan visum et repertum menjadi salah satu alat bukti yang penting dan harus ada dalam pemeriksaan perkara tersebut sampai di tahap persidangan. Pembuatan visum et repertum dalam tahap penyidikan tindak pidana perkosaan adalah hal yang mutlak dan harus dilaksanakan. 76)  
Tidak adanya visum et repertum dalam berkas perkara tindak pidana perkosaan yang dibuat penyidik yang kemudian diserahkan kepada Penuntut Umum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2) KUHAP, dapat menyebabkan berkas perkara tersebut dianggap tidak lengkap/ tidak sempurna dan akan dikembalikan oleh penuntut umum kepada penyidik. Penuntut umum mempunyai pandangan yang sama dalam melihat visum et repertum pada pemeriksaan tindak pidana perkosaan, terhadap pembuktian adanya unsur persetubuhan hal ini secara lebih pasti dan lebih dapat dipertanggungjawabkan hanya dapat dibuktikan dari hasil visum et repertum yang dilakukan terhadap korban.77)        
            Berdasarkan Pasal 138 ayat (2) KUHAP yaitu apabila hasil penyidikan ternyata oleh penuntut umum dianggap belum lengkap, maka penuntut umum akan mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai dengan petunjuk mengenai hal yang harus dilengkapi. Hal ini berarti bahwa bukti-bukti yang dikumpulkan oleh penyidiklah yang akan diajukan oleh penuntut umum ke pengadilan. Beban pembuktian dalam pemeriksaan perkara pidana pada hakekatnya dilaksanakan oleh penyidik, karena itu penyidik akan berupaya semaksimal mungkin untuk mengumpulkan alat-alat bukti yang selanjutnya akan diperiksa kembali oleh penuntut umum apakah alat bukti tersebut telah cukup kuat dan memenuhi syarat pembuktian dalam KUHAP untuk diajukan ke persidangan.
            Adanya visum et repertum dalam penyidikan suatu tindak pidana perkosaan, merupakan salah satu bentuk upaya penyidik untuk mendapatkan alat bukti yang selengkap dan semaksimal mungkin yang nantinya akan dipakai dalam pemeriksaan perkara tersebut di persidangan. Visum et repertum sebagai suatu alat bukti yang dibuat berdasarkan sumpah jabatan seorang dokter berfungsi memberi keyakinan dan pertimbangan bagi hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara. Terhadap unsur persetubuhan dan kekerasan atau ancaman kekerasan yang harus ada dalam tindak pidana perkosaan, hal ini salah satunya dapat dilihat dan dibuktikan dalam visum et repertum terhadap korban. Hakim dapat mempunyai keyakinan dan melihat terbuktinya unsur persetubuhan dan kekerasan pada diri korban serta petunjuk lainnya dari hasil visum et repertum yang disertakan sebagai alat bukti dalam persidangan.
            Melihat peranan visum et repertum dalam pemeriksaan suatu tindak pidana perkosaan yang tidak hanya berperan dalam membantu penyidik mengungkap tindak pidana tersebut, bahkan hal ini juga penting dalam pemeriksaan persidangan perkara tersebut, maka upaya penyidik untuk meminta pembuatan visum et repertum sejak tahap awal pemeriksaan perkara tersebut merupakan hal yang penting dan harus dilakukan. Kedudukan visum et repertum sebagai suatu alat bukti surat dalam pemeriksaan persidangan perkara tersebut, dapat menjadi pertimbangan dari minimal dua alat bukti yang disyaratkan bagi hakim dalam memutus suatu perkara sebagaimana hal ini ditentukan dalam pasal 6 ayat (2) Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam hal ini diharapkan visum et repertum dapat berperan secara optimal dalam membantu hakim menjatuhkan putusan yang tepat atas perkara tindak pidana perkosaan yang diperiksanya.           

B.  Upaya Penyidik Mengungkap Tindak Pidana Perkosaan Dalam Hal Visum et Repertum Tidak Memuat Tanda Kekerasan Terhadap Korban Perkosaan
Sebagaimana rumusan Pasal 285 KUHP yang mengatur mengenai tindak pidana perkosaan yang menyatakan bahwa : “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”, hal ini mensyaratkan bahwa dalam tindak pidana perkosaan harus dipenuhi unsur-unsur seperti adanya persetubuhan, adanya kekerasan atau ancaman kekerasan sebagai cara memaksa, serta dilakukannya persetubuhan tersebut terhadap seorang wanita yang bukan istri pelaku.
Untuk mendapatkan bukti mengenai unsur persetubuhan dan kekerasan pada tahap penyidikan tindak pidana perkosaan, penyidik akan melakukan serangkaian upaya dan tindakan untuk memperoleh bukti yang kuat yang dapat menunjukkan  hal tersebut. Salah satu upaya penyidik untuk membuktikan kedua hal tersebut adalah melalui pembuatan visum et repertum terhadap korban.
Dalam visum et repertum, terhadap unsur persetubuhan hal ini masih dapat dibuktikan dan diterangkan didalamnya meskipun terjadinya tindak pidana perkosaan telah berlangsung dalam jangka waktu lama dari dilaporkannya tindak pidana tersebut. Namun terhadap tanda kekerasan pada diri korban perkosaan, hal ini dapat tidak termuat dalam visum et repertum, mengingat tanda kekerasan yang biasanya berbentuk luka pada tubuh korban dapat berangsur pulih dan hilang dengan bertambahnya waktu.
Pembuktian unsur kekerasan yang dapat dilihat dari hasil visum et repertum korban perkosaan mempunyai peran yang membantu penyidik agar dapat segera memproses perkara tersebut pada tahap selanjutnya. Termuatnya hasil pemeriksaan  yang menyatakan terdapatnya tanda-tanda kekerasan pada tubuh korban memberi kemudahan bagi penyidik dalam mengungkap perkara tersebut, terlebih apabila tanda kekerasan tersebut berada pada bagian tubuh korban yang biasanya didapati tanda kekerasan akibat kejahatan seksual, seperti di daerah mulut dan bibir, leher, puting susu, pergelangan tangan, pangkal paha serta di sekitar dan pada alat genital. Luka-luka akibat kekerasan pada kejahatan seksual biasanya berbentuk luka lecet bekas kuku, bekas gigitan (bite marks) serta luka-luka memar. Termuatnya tanda kekerasan yang demikian pada visum et repertum korban, tidak saja membantu penyidik mengungkap tindak pidana perkosaan namun juga dapat memberi keyakinan bagi hakim dalam hal pembuktian terpenuhinya unsur kekerasan dalam tindak pidana perkosaan.
Termuatnya tanda kekerasan dalam visum et repertum masih membutuhkan pembuktian lain yang menunjukkan bahwa tanda kekerasan tersebut adalah benar akibat perbuatan pelaku yang memaksa melakukan persetubuhan terhadap korban. Apabila hasil visum et repertum tidak memuat tanda kekerasan pada diri korban perkosaan, dengan sendirinya hal ini lebih membutuhkan upaya dan tindakan lain penyidik untuk membuktikan adanya unsur kekerasan dalam tindak pidana perkosaan tersebut.
Unsur kekerasan dalam tindak pidana perkosaan diartikan yaitu suatu cara/upaya berbuat yang ditujukan pada orang lain yang untuk mewujudkannya disyaratkan dengan menggunakan kekuatan badan yang besar, kekuatan badan mana mengakibatkan bagi orang lain itu menjadi tidak berdaya secara fisik.78) Sedangkan Pasal 89 KUHP memperluas pengertian kekerasan sebagai berikut “Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan”. Dengan demikian seseorang yang melakukan perbuatan dengan tujuan untuk membuat seorang wanita menjadi pingsan atau tidak berdaya sehingga ia dapat melakukan persetubuhan terhadap wanita tersebut, perbuatan ini termasuk dalam tindak pidana perkosaan.
Menurut May Retnowati, unsur kekerasan atau ancaman kekerasan diartikan apabila ada perbuatan pemaksaan yang dilakukan pelaku terhadap korban untuk melakukan persetubuhan yang tidak dikehendaki dan tidak diinginkan korban sehingga korban terpaksa membiarkan persetubuhan tersebut terjadi. Bentuk-bentuk kekerasan dalam tindak pidana perkosaan yang selama ini ditemui penyidik seperti kekerasan dipaksa dengan ditarik baju dan tubuh korban, disekap, diikat, diberi minuman sehingga korban tidak sadarkan diri atau tidak berdaya, diancam dengan pisau, dan tindakan pemaksaan lainnya dengan ancaman senjata tajam.79)
Dalam hal hasil pemeriksaan korban perkosaan yang termuat dalam visum et repertum menyatakan bahwa pada diri korban perkosaan didapati tanda persetubuhan namun tidak didapati tanda kekerasan, agar dapat ditemukan bukti adanya unsur kekerasan atau ancaman kekerasan dalam tindak pidana tersebut sehingga menjadi terang tindak pidananya, upaya yang dilakukan penyidik adalah dengan dilakukannya tindakan-tindakan sebagai berikut :
1.       Pemanggilan tersangka dan korban.
Terhadap tersangka dan korban dilakukan tindakan pemeriksaan yaitu tindakan untuk mendapatkan keterangan, kejelasan dan keidentikkan tersangka dan atau korban dan atau barang bukti maupun tentang unsur-unsur tindak pidana, sehingga kedudukan atau peranan seseorang maupun barang bukti di dalam tindak pidana tersebut menjadi jelas.80)
Dalam metode pemeriksaan ini, digunakan teknik sebagai berikut :
a.       Interogasi yaitu salah satu teknik pemeriksaan tersangka atau saksi dalam rangka penyidikan tindak pidana dengan cara mengajukan pertanyaan baik lisan maupun tertulis kepada tersangka atau saksi guna mendapatkan keterangan, petunjuk-petunjuk dan alat bukti lainnya dan kebenaran keterlibatan tersangka.
Interogasi yang dilakukan terhadap tersangka dan korban dalam penyidikan tindak pidana perkosaan bertujuan untuk mendapatkan keterangan mengenai 7-kah terjadinya suatu tindak pidana. 7-kah yang dimaksud yaitu mengenai :
1)      Apakah yang terjadi ? (macam peristiwa atau perbuatannya)
2)      Kapankah perbuatan tersebut terjadi ? (waktunya)
3)      Dimanakah perbuatan tersebut terjadi ? (tempatnya)
4)      Siapakah yang melakukan perbuatan tersebut ? (pelakunya)
5)      Mengapa perbuatan tersebut dilakukan ? (alasannya)
6)      Dengan apa perbuatan tersebut dilakukan ? (alatnya)
7)      Bagaimanakah perbuatan tersebut dilakukan ? (caranya)
Secara khusus jenis pertanyaan yang diberikan penyidik kepada pelaku, korban dan saksi (bila ada) dalam pemeriksaan tindak pidana perkosaan seperti misalnya sebagai berikut :
-          Apakah yang dilakukan pelaku dan saksi sebelum terjadinya persetubuhan ?
-          Dengan cara bagaimana persetubuhan tersebut dilakukan oleh pelaku ?
-          Apakah yang saudara (korban) lakukan ketika pelaku mulai menunjukkan perbuatan untuk melakukan persetubuhan ?
-          Bagaimanakah posisi saudara (pelaku dan korban) ketika persetubuhan tersebut terjadi ?
Pertanyaan tersebut dimaksudkan untuk menemukan unsur-unsur tindak pidana perkosaan khususnya kekerasan atau ancaman kekerasan, terutama dalam hal pengaduan dan visum et repertum korban telah menunjukkan adanya unsur persetubuhan namun belum ditemukan adanya unsur kekerasan.81)
b.       Konfrontasi yaitu salah satu teknik pemeriksaan dalam rangka penyidikan dengan cara mempertemukan satu dengan lainnya (sesama tersangka, sesama saksi, dan tersangka dengan saksi) untuk menguji kebenaran dan persesuaian keterangan masing-masing.
2.       Pemeriksaan dan penyitaan benda-benda yang dapat menjadi barang bukti terjadinya tindak pidana perkosaan.
Atas keterangan yang didapat dari pemanggilan tersangka dan korban kemudian dilakukan penyitaan terhadap benda-benda yang terkait dengan tindak pidana. Dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP ditentukan mengenai benda-benda yang dapat disita diantaranya yaitu :
a.       benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya,
b.       benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
c.       benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
Dalam penyidikan tindak pidana perkosaan, benda-benda yang disita yang dapat menjadi barang bukti pemeriksaan perkara tersebut seperti misalnya pakaian yang dikenakan korban, terutama celana dalam yang sering terdapat noda darah atau sperma, sprei (alas tidur tempat dilakukannya persetubuhan) yang terdapat bekas sperma atau noda darah, alat yang digunakan pelaku untuk mengancam korban, seperti pisau atau celurit, atau senjata tajam lainnya, sisa minuman atau obat yang digunakan pelaku untuk membuat korban tidak berdaya, atau benda lain yang terkait dan dapat menjadi bukti terjadinya tindak pidana perkosaan.
Benda-benda tersebut dalam pemeriksaan korban untuk pembuatan visum et repertum seperti misalnya celana dalam korban biasanya juga disertakan untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium yang hasilnya juga termuat dalam visum et repertum korban perkosaan.82)
3.       Bila perlu dilakukan pemeriksaan Tempat Kejadian Perkara (TKP).  
Dalam hal pengaduan tindak pidana perkosaan dilakukan segera setelah terjadinya perkosaan, dapat dilakukan pemeriksaan TKP. TKP yaitu tempat dimana suatu tindak pidana dilakukan/terjadi dan tempat-tempat lain dimana tersangka dan atau korban dan atau barang-barang bukti yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut dapat ditemukan. Pemeriksaan ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan barang bukti yang terkait dengan tindak pidana perkosaan, khususnya dalam rangka pembuktian adanya unsur kekerasan yang dilakukan terhadap korban. Barang bukti yang kemungkinan dapat di temukan di TKP tindak pidana perkosaan seperti misalnya sprei (alas tidur tempat dilakukannya perkosaan), noda darah, atau benda-benda yang menunjukkan bekas perlawanan korban.83)
      Upaya yang dilakukan penyidik dalam mengumpulkan bukti-bukti pada pemeriksaan tindak pidana perkosaan di atas, khususnya untuk menemukan bukti adanya unsur kekerasan atau ancaman kekerasan dalam hal mendapatkan hasil visum et repertum yang tidak memuat keterangan tentang tanda kekerasan pada korban perkosaan. Tindakan-tindakan tersebut bertujuan untuk mendapatkan kebenaran materiil suatu perkara tindak pidana perkosaan agar dapat dihindari adanya penghentian penyidikan karena tidak dipenuhinya unsur kekerasan atau ancaman kekerasan dalam hal memang benar telah terjadi suatu tindak pidana perkosaan.
            Setiap tindakan penyidik seperti melakukan pemanggilan tersangka dan saksi, hal ini sebagaimana wewenangnya yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) butir g KUHAP, dalam pelaksanaan prosedur pemanggilan sesuai dengan ketentuan Ps. 112 dan 113 KUHAP, jalannya pemeriksaan juga dilakukan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 117, 118, 119, KUHAP, serta penyidik harus tetap memperhatikan hak tersangka sebagaimana ditentukan dalam Ps. 50, 51, 52, 53, 54, 55, dan Ps.114,  KUHAP.
            Demikian pula mengenai pemeriksaan dan penyitaan barang bukti, dalam pelaksanaannya penyidik berpedoman pada Ps. 38, Ps. 39, Ps. 42, Ps. 46 KUHAP. Pemeriksaan tempat kejadian perkara juga bardasarkan ketentuan Pasal 34 ayat (1) huruf c KUHAP yang mengatur bahwa penyidik dapat melakukan penggeledahan di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya.
            Terhadap pengungkapan tindak pidana perkosaan, disamping penyidik dapat memperoleh bantuan dari hasil visum et repertum korban, namun dalam hal tidak dimuatnya keterangan tentang tanda kekerasan pada diri korban dalam visum et repertum tersebut, tindak lanjut terhadap hal ini yaitu untuk menemukan unsur kekerasan atau ancaman kekerasan dalam pengungkapan perkara tersebut harus tetap didasari dengan azas praduga tidak bersalah terhadap tersangka.    
           





BAB IV

PENUTUP


A.  Kesimpulan
            Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan serta pembahasan sebagaimana terurai pada bab sebelumnya, dalam penulisan skripsi ini dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.       Bahwa keberadaan visum et repertum selalu dibutuhkan dalam setiap  penyidikan tindak pidana perkosaan. Peranan visum et repertum dalam membantu penyidik mengungkap tindak pidana perkosaan adalah sebagai berikut :
a.       visum et repertum dapat memberi petunjuk mengenai adanya unsur persetubuhan dan unsur kekerasan, perkiraan waktu terjadinya tindak pidana perkosaan, juga dapat memberikan hasil pemeriksaan terhadap barang bukti dalam tindak pidana perkosaan,
b.       hasil yang termuat dalam visum et repertum dapat menjadi bukti permulaan bagi penyidik untuk melakukan penindakan lainnya dalam mengungkap suatu kasus tindak pidana perkosaan ;
c.       keberadaan visum et repertum penting untuk kelengkapan/kesempurnaan berkas perkara tindak pidana perkosaan yang dibuat dan diserahkan penyidik kepada penuntut umum.  
2.       Bahwa dalam hal visum et repertum tidak sepenuhnya mencantumkan keterangan mengenai tanda kekerasan pada diri korban, maka akan dilakukan upaya/tindakan oleh penyidik untuk menemukan dan membuktikan adanya unsur tersebut atau unsur ancaman kekerasan. Tindakan yang dimaksud ini seperti pemeriksaan terhadap pelaku, saksi-saksi, dan korban untuk mendapatkan keterangan selengkap mungkin, pemeriksaan dan penyitaan benda-benda yang dapat menjadi barang bukti terjadinya tindak pidana perkosaan khususnya yang menunjukkan terjadinya unsur kekerasan terhadap korban, serta bila perlu dilakukan pemeriksaan di Tempat Kejadian Perkara.

B.      Saran   

Adapun saran-saran  yang dapat dikemukakan berdasarkan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.       Peranan visum et repertum dalam pemeriksaan suatu perkara pidana khususnya dalam hal ini pada tahap penyidikan menunjukkan peran yang cukup besar dan penting dalam pengungkapan suatu perkara pidana yang membutuhkan keahlian khusus, mengingat belum adanya pengaturan yang secara jelas dan rinci  mengenai tata cara penggunaan visum et repertum oleh aparat penegak hukum khususnya dalam hal ini bagi penyidik, seharusnya dibuat ketentuan atau pedoman mengenai hal tersebut.    
2.       Mengingat terdapat keadaan-keadaan tertentu yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan dokter yang tertuang dalam visum et repertum, seperti keaslian keadaan korban perkosaan pada waktu pemeriksaan, keadaan tertentu lainnya yang sudah terjadi pada diri korban (misalnya sebelum tindak pidana perkosaan korban sudah pernah bersetubuh/tidak virgin, keadaan elastisitas selaput dara korban, derajat penetrasi saat perkosaan, dan keadaan khusus lainnya), terhadap kemungkinan hal-hal tersebut sebaiknya penyidik juga mempertimbangkannya dalam membaca dan menerapkan hasil visum et repertum. Dalam hal ini diperlukan tambahan pengetahuan bagi penyidik mengenai hal-hal yang mungkin dapat mempengaruhi hasil visum et repertum. Pengetahuan ini penting agar penyidik tidak menafsirkan secara apa adanya hasil visum et repertum yang diperoleh yang selanjutnya dapat mempengaruhi dan menentukan tindak lanjut penyidik dalam memeriksa perkara tersebut.
3.       Hal-hal yang termuat dalam visum et repertum korban perkosaan yang selama ini selalu dalam bentuk yang umum dan baku mengenai hal-hal yang diperiksa, sebaiknya dapat dilakukan secara lebih lengkap dan tidak terpaku pada hal-hal yang umum tersebut. Seperti misalnya mengenai bentuk dari tanda-tanda kekerasan dan tanda persetubuhan, kemungkinan korban mengalami keadaan pingsan atau tidak berdaya saat dilakukan perkosaan, hal ini sebaiknya dicantumkan pula dalam visum et repertum. Hasil yang lengkap ini sebaiknya juga diikuti dengan pemaparan yang jelas dan tidak banyak mengandung  kata-kata  medis yang kurang dipahami oleh penyidik.

PERANAN VISUM ET REPERTUM

DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA

PADA TAHAP PENYIDIKAN
( Studi di Kepolisian Resort Kotamadya Malang )

PROPOSAL  SKRIPSI


Oleh  :
Kurnia dwi prasetyo
Copy of LOGOs


DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2007


DAFTAR  PUSTAKA



Abdul Mun’im Idries, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, Edisi Pertama, Binarupa Aksara, Jakarta, 1997.

_______, Agung Legowo Tjiptomartono, Penerapan Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Proses Penyidikan, Karya Unipres, Jakarta, 1982.

Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Biro Konsultasi & Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2002.

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, CV. Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1996.

_______, Pengusutan Perkara Kriminil Melalui Sarana Teknik dan Sarana Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984.

Djoko Prakoso dan I Ketut Martika, Dasar-Dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman, Bina Aksara, Jakarta, 1987.

Harun M. Husein, Penyidikan Dan Penuntutan Dalam Proses Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1991.

H.M.Soedjatmiko, Ilmu Kedokteran Forensik, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang, 2001.

Kepolisian Negara RI, Himpunan Bujuklak, Bujuklap, dan Bujukmin Proses Penyidikan Tindak Pidana, Jakarta, 2001.

Kerjasama antara Kejaksaan Agung RI dengan FHPM Unibraw, Laporan Penelitian Tentang Masalah Visum Et Repertum Sebagai Alat Bukti, Depdikbud Fakultas Hukum Unibraw, Malang, 1981/1982.

            Leden Marpaung, S.H., Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya, Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan I, 1996.

            Masruchin Ruba’i, Hukum Pidana I, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, 1999.
           
Moch. Anwar, Hukum Pidana Khusus (KUHP Buku II) Jilid II, Alumni Bandung, 1986.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993. 

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini, Jakarta, 1988.

Njowito Hamdani, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Gramedia Pustaka Tama, 1992.

P.A.F. Lamintang, Delik-Delik Khusus Tindak Pidana Melanggar Norma-Norma Kesusilaan Dan Norma-Norma Kepatutan, Mandar Maju, Bandung, 1990.

Pedoman Kerja Reserse Kriminil, Komando Kepolisian RI Direktorat Reserse Kriminil, Jakarta, 1971.

R. Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science), Edisi Kedua, Tarsito, Bandung, 1983.

R. Soesilo, Taktik dan Teknik Penyidikan Perkara Kriminal, Politeia, Bogor, 1980.

_______, M. Karyadi, Kriminalistik (Ilmu Penyidikan Kejahatan), Politeia, Bogor, 1989.

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982.

Soedjono. D, Pemeriksaan Pendahuluan Menurut KUHAP, Penerbit Alumni, Bandung, 1982.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1986.

Soetardjo Wignjo Soebroto, Kejahatan Perkosaan Telaah Dari Sudut Tinjauan Ilmu Sosial, dalam Eko Prasetyo (ed), Perempuan Dalam Wacana Perkosaan, PKBI, Yogyakarta, 1997.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1990.

Waluyadi, Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Perspektif Peradilan dan Aspek Hukum Praktik Kedokteran, Djambatan, Jakarta, 2000.

Wirjono Projodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, 1967.

Perundang-undangan :
            Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Lengkap Dengan Penjelasan, Karya Anda, Surabaya.

Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cetakan kesembilan belas, Bumi Aksara, Jakarta, 1996.

            Undang-undang Tahun 2002 Nomor 2 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman

Artikel :

Kasus Perkosaan Anak Meningkat, Jawa Pos, Kamis 24 April 2003.
           
Kasus Perkosaan Balita Mandek, KPPD (Kelompok Perempuan Pro Demokrasi) Menyoal Visum Dokter, Jawa Pos, Rabu 30 April 2003.






























 












1) Kerjasama antara Kejaksaan Agung RI dengan FHPM Unibraw, Laporan Penelitian Tentang Masalah Visum Et Repertum Sebagai Alat Bukti, Depdikbud Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, 1981/1982, h.1. 
2) Kerjasama antara Kejaksaan Agung RI dengan FHPM Unibraw, Ibid., h.5 dikutip dari Prof. A. Karim Nasution, S.H., Masalah Hukum Pembuktian Dalam Kasus Pidana, Jilid II, tanpa nama penerbit, 1975, h.135. 
. 
3) Kasus Perkosaan Anak Meningkat, Jawa Pos, Kamis 24 April 2003, h. 29.
4) H.M.Soedjatmiko, Ilmu Kedokteran Forensik, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang, 2001, h.1.   
5) Kasus Perkosaan Balita Mandek, KPPD (Kelompok Perempuan Pro Demokrasi) Menyoal Visum Dokter, Jawa Pos, Rabu 30 April 2003, h. 30.
6) Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, h.15.

7) Ibid., h.24. 
8) Ibid.
 9) Ibid., h.71.
10) Ibid., h.73.
11) Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1986, h.21.
12) Ibid., h. 22.
13) Ronny Hanitijo Soemitro, op.cit., h.93.
14)  Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993,  h. 8. 
15)  Ibid., h.7.
17)  Ibid., h.1.
18)  Masruchin Ruba’I, Hukum Pidana I, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, 1999, h.8.
19)  Ibid.
20)  Ibid.
21) Andy Hamzah (I), Hukum Acara Pidana Indonesia, CV. Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1996, h.2.
22) Wirjono Projodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, 1967, h.13.
23) Soedjono. D, Pemeriksaan Pendahuluan Menurut KUHAP, Penerbit Alumni, Bandung, 1982. h.1
24)  Soedjono D., Op.Cit., h.3.
25) R.Soesilo, Taktik dan Teknik Penyidikan Perkara Kriminal, Politeia, Bogor, 1980, h.17.
26) Pedoman Kerja Reserse Kriminil, Komando Kepolisian RI Direktorat Reserse Kriminil, Jakarta, 1971, h.165.
27) Abdul Mun’in Idries dan Agung Legowo Tjiptomartono, Penerapan Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Proses Penyidikan, Karya Unipres, Jakarta, 1982, h. 4. 
28)  R.Soesilo, Op.Cit., h. 27.
29)  Pedoman Kerja Reserse Kriminil, Op.Cit., h.166.
30)  Masruchin Rubai, Op. Cit., h. 8.
31)  Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1990,  h. 209.
32) Soetardjo Wignjo Soebroto, Kejahatan Perkosaan Telaah Dari Sudut Tinjauan Ilmu Sosial, dalam Eko Prasetyo (ed), Perempuan Dalam Wacana Perkosaan, PKBI, Yogyakarta, 1997, h.20.
33) Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cetakan kesembilan belas, Bumi Aksara, Jakarta, 1996. hal.105.
34) Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Biro Konsultasi & Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2002, hal.56.
35)  Ibid., hal. 57.
36) Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya, Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan I 1996, hal. 52.
37)   Adami Chazawi, Op. Cit.
38)   Ibid., hal. 58.
39) P.A.F. Lamintang, Delik-Delik Khusus Tindak Pidana Melanggar Norma-Norma Kesusilaan Dan Norma-Norma Kepatutan, Mandar Maju, Bandung, 1990, hal. 110.
40) Adami Chazawi, Op. Cit., hal. 59.
41)  Leden Marpaung, Op. Cit.,  h. 53.
42)  Moch. Anwar, Hukum Pidana Khusus (KUHP Buku II) Jilid II, Alumni Bandung, 1986, h.266.
43) R. Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science), Edisi Kedua, Tarsito, Bandung, 1983,  h. 10.
44) Waluyadi, Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Perspektif Peradilan dan Aspek Hukum Praktik Kedokteran, Djambatan, Jakarta, 2000,  h. 26.
45) H.M.Soedjatmiko, Op.Cit.,  h.1.
46) Ibid.
47) R. Atang Ranoemihardja, Op.Cit., h.18.


48) Njowito Hamdani, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Gramedia Pustaka Tama, 1992,  h. 26.
49) H.M. Soedjatmiko.D., Op. Cit., h. 4.
50) Ibid., h. 6.
51) Waluyadi, Op.Cit., h.37.
52) Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Op. Cit., h.224. 
53) H.M. Soedjatmiko, Op.Cit., h.7.
54) Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Jakarta, 1982, h.1.
55) Andy Hamzah (II), Pengusutan Perkara Kriminil Melalui Sarana Teknik dan Sarana Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, h.97.
56) Wawancara dengan Bripka Ketut Mariyati, Penyidik di RPK (Ruang Pemeriksaan Khusus) Polresta Malang, tanggal 5 Agustus 2003.
57) Wawancara dengan Bripka Ketut Mariyati, Penyidik di RPK (Ruang Pemeriksaan Khusus) Polresta Malang, tanggal 5 Agustus 2003.
58) Wawancara dengan Bripka Ketut Mariyati, Penyidik di RPK (Ruang Pemeriksaan Khusus) Polresta Malang, tanggal 5 Agustus 2003.
59) H.M. Soedjatmiko, Op. Cit., hal. 12.
60) Instruksi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, tanggal 19 September 1975, No. Pol.: INST/ E / 20 / IX / 75 dalam R. Soesilo,  h. 34.
61) Buku Petunjuk Administrasi Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Administrasi Penyidikan, dalam Himpunan Bujuklak, Bujuklap, dan Bujukmin Proses Penyidikan Tindak Pidana, Kepolisian Negara RI, Jakarta, 2001, hal. 408.
62) Wawancara dengan Bripka Tri Handari, Penyidik di RPK (Ruang Pemeriksaan Khusus) Polresta Malang, tanggal 5 Agustus 2003. 
63) Wawancara dengan Bripka Ketut Mariyati, Penyidik di RPK (Ruang Pemeriksaan Khusus) Polresta Malang, tanggal 5 Agustus 2003. 
64) Wawancara dengan Bripka Ketut Mariyati, Penyidik di RPK (Ruang Pemeriksaan Khusus) Polresta Malang, tanggal 5 Agustus 2003.
65) Wawancara dengan Bripda May Retnowati, Penyidik di RPK (Ruang Pemeriksaan Khusus) Polresta Malang, tanggal 5 Agustus 2003.  
66) Wawancara dengan Bripka Ketut Mariyati, Penyidik di RPK (Ruang Pemeriksaan Khusus) Polresta Malang, tanggal 5 Agustus 2003.

67) Wawancara dengan Bripda May Retnowati, Penyidik di RPK (Ruang Pemeriksaan Khusus) Polresta Malang, tanggal 5 Agustus 2003. 

68) Abdul Mun’im Idries, Op. Cit., hal. 222.
69) Ibid.
70) Ibid, hal. 223.
71) Wawancara dengan Bripda May Retnowati, Penyidik di RPK (Ruang Pemeriksaan Khusus) Polresta Malang, tanggal 12 Agustus 2003.
72) Abdul Mun’im Idries, Ibid.
73) Abdul Mun’im Idries, Ibid., h. 225.
74)  Kepolisian Negara RI Op.Cit. hal.13.
75) Wawancara dengan Bripda May Retnowati, Penyidik di RPK (Ruang Pemeriksaan Khusus) Polresta Malang, tanggal 12 Agustus 2003. 
76) Wawancara dengan Bripda May Retnowati, Penyidik di RPK (Ruang Pemeriksaan Khusus) Polresta Malang, tanggal 16 Agustus 2003.
77) Wawancara dengan Bripka Tri Handari, Penyidik di RPK (Ruang Pemeriksaan Khusus) Polresta Malang, tanggal 16 Agustus 2003.
78) Adami Chazawi, Op.Cit., hal. 58.
79) Wawancara dengan Bripda May Retnowati, Penyidik di RPK (Ruang Pemeriksaan Khusus) Polresta Malang, tanggal 12 Agustus 2003.

80) Kepolisian Negara RI Op.Cit. hal.23.

81) Wawancara dengan Bripda May Retnowati, Penyidik di RPK (Ruang Pemeriksaan Khusus) Polresta Malang, tanggal 12 Agustus 2003.

82) Wawancara dengan Bripda Tri Handari, Penyidik di RPK (Ruang Pemeriksaan Khusus) Polresta Malang, tanggal 12 Agustus 2003.
83) Wawancara dengan Bripka Ketut Mariyati , Penyidik di RPK (Ruang Pemeriksaan Khusus) Polresta Malang, tanggal 12 Agustus 2003.

0 komentar:

Post a Comment

 

Pengikut

Copyright © ZONA SKRIPSI All Rights Reserved • Design by Dzignine
best suvaudi suvinfiniti suv