Skripsi Tata Negara 2

Friday, March 16, 2012

PERAN DPR DALAM PENGANGKATAN DUTA BESAR RI SETELAH PERUBAHAN UUD 1945














Disusun Oleh :
Edy Susanto
98410355











FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2003

BAB I

PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang Masalah

Suasana perpolitikan nasional pasca tumbangnya rezim orde baru Suharto, disambut oleh semua kalangan sebagai masa kebebasan dan berekpresi. Keadaan ini semakin bertambah seiring dengan dilakuakannya perubahan terhadap UUD 1945 yang di anggap turut melindungi kekuasaan otoriter tersebut selama 32 tahun dan kerap melahirkan kekuasaan tanpa batas.
Nuansa kehidupan demokratis semakin terasa ketika para elit politik kembali melakukan peran dan fungsi masing-masing. Sentralisasi kekuasaan yang menumpuk pada lembaga eksekutif pada masa lalu, berubah menjadi pemerataan kekuasaan dengan saling kontrol di antara tiap lembaga negara.
Hal ini pula yang memulihkan kembali peran lembaga perwakilan. Lembaga yang merupakan simbol dari keluhuran demokrasi di mana didalamnya terdapat orang-orang pilihan yang dijadikan wakil rakyat yang memiliki integritas, tanggung jawab, etika serta kehormatan, yang kemudian dapat diharapkan menjadi perangkat penyeimbang dan pengontrol terhadap kekuasaan eksekutif sebagi penggerak roda pemerintahan.
Bagi negara yang menganut kedaulatan rakyat keberadaan lembaga perwakilan hadir sebagai suatu keniscayaan. Adalah tidak mungkin membayangkan terwujudnya suatu pemerintah yang menjujung demokrasi tanpa kehadiran institusi tersebut. Karna lewat lembaga inilah kepentingan rakyat tertampung kemudian tertuang dalam berbagai kebijakan umum yang sesuai dengan aspirasi rakyat.
Untuk itu menurut kelaziman teori-teori ketatanegaraan dalam hal mana pada umumnya lembaga ini berfungsi dalam tiga wilayah, yaitu, Pertama, wilayah legislasi atau pembuat aturan Perundang-undangan, Kedua, wilayah penyusunan anggaran. dan Ketiga, wilayah pengawasan terhadap jalannya pemerintahan.
Dalam UUU 1945 setelah perubahan pengaturan terhadap lembaga perwakilan di Indonesia ini dapat kita lihat pada Pasal 1 ayat (2) dimana Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sedangkan pada Pasal 20A ayat (1), DPR sendiri memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Selanjutnya dalam melaksanaakan fungsinya. sebagai mana dijelasakan pada Pasal 20A ayat (2), DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Serta setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, hak menyatakan usul dan berpendapat sekaligus hak imunitas. Sedangkan kedudukan DPR sangat kuat, karena presiden tidak dapat membekukan ataupun membubarkan DPR sebagai mana tertera pada Pasal 7C.
Namun demikian keberadaan lembaga perwakilan yang baru tersebut belum dapat berfungsi penuh sebagai mana mestinya, karna   masih perlu di tindak lanjuti dengan kesepakatan Undang-Undang yang akan menjadi aturan main terbentuknya lembaga itu. Dan ini diharapkan tuntas setelah pemilu 2004 yang akan datang, di mana akan diadakan pemilihan langsung terhadap DPR dan DPD serta Presiden dengan Wakil Presiden.
Sejalan dengan perubahan struktur Sistem kelembagaan negara dengan di amandemen UUD 1945 serta perubahan dinamika perpolitikan yang terus melangkah maju dengan kemudian menata kearah perpolitikan yang sehat dan demokratis, maka pengamatan terhadap DPR sebagai salah satu lembaga perwakilan berikut sebagai lembaga politik sangatlah penting dan urgen. Kenyataan yang berkembang menunjukan adanya fenomena baru terhadap peran lembaga perwakilan tersebut. Peran DPR seakan di sulap dari yang tak berdaya tatkala berhadapan dengan pemerintah, tiba-tiba berubah menjadi lembaga yang kuat terutama dalam fungsinya mengawasi gerak-gerik keberadaan lembaga eksekutif.
Secara legal formal peran DPR terlebih dalam fungsi pengawasan mengalami Perubahan besar setelah di lakukan amandemen terhadap UUD 1945 yang dilakukan sejak Sidang Umum MPR 1999. Dengan fungsi pengawasan yang dimiliki legislatif misalnya, menjadikan setiap kebijakan pemeritah yang akan di buat maupun akan dilaksanakan harus terlebih dahulu mendapat persetujuannya. Hak prerogatif yang dimiliki presiden semakin sempit karna di sisi lain DPR menempatkan diri sebagi lembaga penentu kata-putus dalam betuk memberi persetujuan dan beberapa pertimbangan   terhadap   agenda-agenda   pemerintah.   Dalam   pembuatan   undang - undang presiden kini hanya memiliki kekuasaan mengusulkan rancangan Undang-Undang (RUU). Sedangkan kekuasaan untuk menetapkan suatu RUU menjadi Undang-Undang ada di tangan DPR. Dalam hal pengangkatan duta, Peresiden harus terlebih dahulu memperhatikan pertimbangan DPR, kemudian Presiden menerima penempatan duta dari negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR pula. Selain itu, DPR juga telah memiliki peranan yang lebih besar dalam pengangkatan Direktur Bank Indonesia dan dalam pengangkatan Ketua Mahkamah Agung. Wewenang dan kekuasaan yang lebih besar juga diindikasikan oleh frekuensi pemanggilan mentri yang menjadi lebih sering dan melalui pembentukan panitia khusus untuk melakukan investigasi terhadap dugaan penyimpangan yang dilakukan oleh eksekutif.
Dalam pada itu kekuasaan DPR pada fungsi pengawasan terlihat pula dalam pengangkatan Duta Besar Republik Indonesia (RI). Pasal 13 ayat (2) UUD 1945 setelah perubahan, menyebutkan “Dalam hal pengangkatan duta, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR”. Menurut ketentuan yang baru tersebut diisyaratkan bahwa dalam pengangkata duta besar (dubes) tidak hanya merupakan hak prerogratif Presiden namun juga melibatkan peran DPR untuk memberikan pertimbangan. Dubes yang akan ditempatkan di suatu negara oleh pemerintah, harus terlebih dahulu melalui dengar pendapat yang dilakukan DPR. Hal ini kemudian menjadikan hubungan antara Presiden dan DPR berkaitan dengan pencalonan dubes mulai dipersoalkan oleh sekian banyak kalangan, ketika keputusan DPR yang mempermasalahkan calon-calon dubes yang diajukan oleh pemerintah.
Pada waktu melakukan uji visi dan misi terhadap 27 calon dubes tanggal 27 Juni 2002 Komisi I DPR yang mengurusi hubungan luar negeri, tidak meloloskan tujuh calon dubes yang diajukan oleh Mentri Luar Negeri (Menlu)[1]. Dibagian lain sebaliknya bahwa dalam pemantauan kompas ada 37 pos perwakilan RI yang kosong, tanpa kepala perwakilan atau duta besar[2]. Permasalahan demikian dapat menggangu hubungan luar negeri Indonesia, di mana pada saat ini bangsa kita sedang meyakinkan pihak luar untuk memberikan pengakuan terhadap acaman disintegrasi, memberikan kepercayaaan untuk menanamkan investasi serta dapat menjalin hubungan (politik, ekonomi, sosial, budaya) terhadap bangsa yang selama ini sedang mengalami krisis multidimensi.
Dalam pemahaman legal formal diasumsikan jika wewenang dan kekuasaan yang dimiliki oleh lembaga perwakilan lebih besar, maka kemampuannya untuk melakuakan pengawasan otomatis akan menjadi lebih besar pula. Hal demikian apakah tidak mempengaruhi gerak langkah eksekutif sebagai lembaga yang bersentuhan langsung dengan rakyat lewat kebijakan-kebijakannya. Menurut Jimly Asshiddiqy,[3] gejala penambahan kewenangan atau penumpukan kekuasaan pada DPR di  satu  segi   baik  dan   positif,  tetapi  di   pihak  lain   dapat  pula  menimbulkan kekhawatiran tersendiri. Apalagi dikaitkan dengan aura euphoria dalam Pelaksanaan fungsi pengawasan oleh DPR cenderung meluap-luap seperti tidak dapat dikendalikan dan belum tentu sehat.

B.        Rumusan Masalah

Berdasarkan   latar   belakang   yang   telah   diuraikan   di   atas   maka  dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.      Bagai manakah pengaturan tentang tata cara pengangkatan duta besar RI?
2.      Bagai manakah  peran dan kekuasaan DPR dalam pengangkatan Duta Besar RI setelah perubahan UUD 1945 ?

C.        Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah
1.      Untuk mengetahui pengaturan tentang tata cara pengangkatan duta besar RI.
2.      Untuk mengetahui peran dan kekuasaan DPR dalam pengangkatan Duta Besar RI setelah perubahan UUD 1945

D.        Kerangka Pemikiran

1.         Kekuasaan dan Trias Political Pembagian Kekuasaan Menurut Fungsinya
Kekuasaan mempunyai peran yang amat penting dan dapat menentukan berjuta-juta umat manusia. Oleh karna itu, kekuasaan (power) sangat menarik perhatian para ahli ilmu sosial, politik, serta ahli hukum tata negara.
Mengenai pengertian kekuasaan sendiri sampai saat ini belum ada difinisi yang seragam di antara para ahli. Namun demikian Menurut Mariam Budiarjo[4], kekuasaan merupakan kemampuan seseorang atau kelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah lakunya seseorang atau kelompok lain seseorang sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu.
Sedangkan menurut Max Weber[5] mengatakan, kekuasaan adalah kesempatan seseorang atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauan sendiri, dengan sekaligus menerapkannya terhadap tindakan-tindakan perlakuan dari orang-orang atau golongan tertentu. Kekuasaan mempunyai aneka macam bentuk, dan bermacam-macam sumber. Hak milik kebendaan dan kedudukan adalah sumber dari kekuasaan.
Umumnya kekuasaan itu berbentuk hubungan (relationship), dalam arti bahwa ada satu fihak memerintah dan ada pihak yang diperintah (the rule and the ruled); satu pihak yang memberi perintah, satu pihak yang mematuhi perintah. Selain itu sebagaimana dikemukakan Robert M. Maclver bahwa kekuasaan dalam suatu masyarakat selalu berbentuk piramid. Ini terjadi karena kenyataan bahwa kekuasaan yang satu membuktikan dirinya lebih unggul dari pada lainnya, hal mana berarti bahwa yang satu itu lebih kuat dengan jalan mensubordinasikan kekuasaan lainya itu.[6]
Dari sekian banyak bentuk kekuasaan yang ada, maka kekuasaan politik mempunyai arti dan kedudukan sangat penting. Karena penting dan strategisnya kekuasaan politik, maka kekuasaan itu harus diintergrasikan, dan intergrasi kekuasaan politik itu diwujudkan dalam bentuk negara. Oleh karena negara merupakan sesuatu yang bersifat abstrak, maka dalam kenyataannya tindakan negara itu dilakukan oleh kelompok orang dari kekuatan kelompok tertentu yang terdapat dalam masyarakat negara melalui cara-cara tertentu. Pada hakekatnya kelompok atau kekuatan politik yang sedang memegang kekuasan negara inilah yang membuat keputusan-keputusan atas nama negara kemudian melaksanakannya. Oleh kamanya bukan tidak mungkin bahwa kekuatan politik tertentu yang sedang memegang kekuasan dalam negara dapat menyalah gunakan kekuasaan.[7]
Kecenderungan otoriter adalah kodrat yang melekat pada kekuasaan. Kekuasaan berpotensi otoriter dan otoritarian membutuhkan kekuasaan. Kekuasaan yang otoriter akhirnya melahirkan sistem bernegara yang korup. Power tend to corrupt, absolute power lands to corrupt absolutely, begitulah menurut Lord Action. Oleh karena itu pembatasan kekuasaan dari sejak dulu telah diperbicangkan oleh para ahli politik maupun ahli hukum tata negara. Mereka sependapat, agar supaya kekuasaan tidak disalahgunakan maka kekuasaan itu perlu dibatasi dan dipisahkan, kemudian lalu di atur pada seperangkat kaidah hukum yang tertuang dalam konstitusi.
Teori tentang pemisahan kekuasaan (separation of power) maupun pembagian kekuasaan (distribution of power) yang menjadi salah satu muatan konstitusi sebagai pijakan dalam penyelenggaraan negara sering disebut Sistem penyelenggaraan negara. Gagasan pemisahan kekuasaan maupun pembagian kekuasaan mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan doktrin trias politica. Trias politica adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan, yaitu : Pertuma, kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat Undang-Undang (rule making function). Kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan Undang-Undang {rule application). Ketiga, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran Undang-Undang (rule judication function). Trias politica merupakan suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.[8]
Gagasan trias politica pertama kali dikemukakan oleh John Locke( 1632-1704) dan ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan atau separation of power dalam bukunya yang berjudul "Two Treatises on civil government" (1690) menurut Locke kekuasan regara di bagi dalam tiga kekuasaan yaitu, kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan fedaratif, yang masing-masing terpisah satu sama lain.
Dalam kurun waktu selanjutnya tepatnya pada tahun 1798. Gagasan separation of power yang dikemukakan oleh Locke dikembangkan kemudian oleh seorang filsuf perancis Montesquieu dalam bukunya berjudul " L 'Espirit Des Lois " (the spirit of law). Menurut Montesquieu kekuasaan pemerintah di bagi dalam tiga jabatan, yaitu; kekuasan legislatif, kekuasan eksekutif, dan kekuasan yudikatif. Ketiga kekuasan itu menurutnya harus terpisah sama sekali, baik mengenai tugasnya maupun mengenai alat perlengkapan penyelenggaranya.[9] Montesquieu menekankan kebebasan yang sungguh-sungguh (kemandirian) bagi kekuasaan yudikatif, oleh kekuasaan inilah yang menjadi tulang punggung kemerdekaan individu dan sebagai tonggak penentu dalam memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi.
Dari penegasan tentang pemisahan kekuasaan maupun pembagian kekuasaan tersebut, pada kenyataannya ternyata menunjukan bahwa cara pembagian kekuasan yang dilakukan oleh Montesquieu yang lebih di terima.[10] Hal ini lebih disebabkan karena kekuasaan federatif diberbagai negara sekarang ini dilakukan oleh eksekutif melalui departemen luar negennya masing-masing.
Kendatipun konsep trias politica Montesquieu sangat popular, namun tidak diperaktekan secara murni karna tidak sesuai dengan kenyataan. Berbagai kritik telah dilontarkan terhadap konsep tersebut, antaranya diungkapkan oleh E.Utrecht,[11] ia tidak sejalan dengan pemisahan kekuasaan yang dilakukan oleh Montesquieu dengan mengajukan dua keberatan :
a.         Pemisahan mutlak seperti yang dikemukakan oleh Cahales Montesquieu,
mengakibatkan adanya badan kenegaraan yang tidak ditempatkan di bawah pengawasan  suatu  badan  negara  lain.  Tidak  ada  pengawasan itu berarti kemungkinan   bagi    suatu   badan   kenegaraan   untuk melampaui   batas kekuasaannya dan oleh sebab itu kerja sama antara masing-masing badan kenegaraan dipersulit. Oleh karena itu, tiap-tiap badan diberikan kesempataan untuk saling mengawasi.
b.         Dalam negara modern atau welfare state (mulai berkembang pada akhir abad 19  awal   abad  20)   lapangan  tugas  pemerintahan  bertambah luas  untuk mewujudkan berbagai kepentingan masyarakat. Dalam hal demikian, tidak mungkin di terima asas pemisahan tegas (vast beginsel) bahwa tiga fungsi tersebut masing-masing hanya diserahkan kepada suatu badan kenegaraan tertetentu.
Terlepas dari apakah konsep trias politica itu dapat dilaksanakan secara murni atau tidak, yang jelas pembagian kekuasaan itu dimaksudkan untuk menjamin kemerdekaan dan menghindari penumpukan kekuasaan negara pada pihak tertentu, serta melidungi  rakyat dari  keserakahan penguasa.  Untuk itu, dalam mengupas konsep     pemisahan  kekuasaan   tidak  dapat  ditafsirkan   secara  harafiah,  tetapi
disesuaikan dengan ide demokrasi.
Dengan bertitik tolak dari pemikiran pemisahan kekuasaan yang ditawarkan
Montesquieu yang mengarah pada keharusan menciptakan struktur kekuasaan
pemerintah di mana tugas dan fungsi masing-masing terpisah satu sama lain. Sebagai
langkah untuk menciptakan pemerintahan yang tidak korup, maka layak kiranya di
simak pendapat yang cukup moderat tentang penapsiran pemisahan kekuasaan yang
dilontarkan oleh Sir Ivan Jeninng,[12] dalam bukunya yang berjudul The Law and Constitution, menurutnya pemisahan kekuasan itu dapat di lihat dari dua sisi yaitu,
pemisahan kekuasaan dalam arti materiil dan pemisahan kekuasaan dalam arti formil.
Pemisahan dalam arti materiil berarti bahwa pembagian kekuasaan itu dipertahankan
dengan tegas dalam tugas ketatanegaraan yang secara karakteristik memperlihatkan
adanya pemisahan kekuasaan itu dalam tiga bagian: legislatif, eksekutif, yudikatif.
Hal ini dikatakan sebagai Pelaksanaan dari teori trias politica Montesquieu secara
konsekwen dan pembagian seperti itu dapat di sebut sebagai pemisahan kekuasaan.
Sebaliknya apabila pembagian kekuasaan tidak dipertahankan secara tegas, maka di
buat pemisahan kekuasaan dalam arti formil.
Menurut ketentuan UUD 1945 sebelum di amandemen, keseluruhan aspek kekuasaan negara di anggap terjelma secara penuh dalam Majelis Permusyawaratan rakyat. Sumbernya berasal dari rakyat yang berdaulat. Dari majelis inilah kekuasaan rakyat itu dibagikan secara vertikal kedalam fungsi-fungsi 5 lembaga Tinggi Negara, yaitu lembaga kepresidenan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR, Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Dalampembagian fungsi legislatif, eksekutif, yudikatif tersebut, sebelum diadakannya perubahan terhadap UUD 1945 bisa dipahami bahwa fungsi kekuasaan yudikatiflah yang tegas ditentukan bersifat mandiri dan tidak dicampuri cabang kekuasaan lain. Sedangkan presiden meskipun merupakan lembaga eksekutif, juga ditentukan memiliki kekuasaan membuat undang-undang, sehingga dapat dikatakan memiliki fungsi legislatif dan sekaligus fungsi eksekutif. Kenyataan inilah yang menyebabkan munculnya kesimpulan bahwa UUD 1945 tidak dapat disebut menganut ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power) seperti dibayangkan Montesqiueu.[13]
Oleh karena itu, dimasa reformasi ini, berkembang aspirasi untuk lebih membatasi kekuasaan presiden dengan menerapkan perisip pemisahan kekuasan yang tegas antara fungsi legislatif dan eksekutif itu.

2.         Sistim Pemerintahan Presidensial
Baik teori pemisahan kekuasaan maupun teori pembagian kekuasaan yang telah dijelaskan di muka, ternyata erat kaitanya dengan bangunan sistem pemerintahan presidensial. Hal ini terlihat dari pada adanya pemisahan secara tegas antara badan legislatif (parlemen) dengan eksekutif (pemerintah) dalam sistem pemerintahan persidensial. Lebih lanjut dalam Sistem ini menentukan presiden sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan, kemudian presiden dan parlemen dipilih oleh rakyat secara langsung, sehingga presiden dan parlemen memperoleh mandat dari rakyat secara sendiri-sendiri dan keduanya terbuka untuk di nilai oleh rakyat, serta eksekutif tidak bertanggung jawab kepada parlemen.
Hal diatas didasarkan oleh pandangan John Locke dan Montesquieu yang telah diuraikan sebelumnva John Locke menegaskan bahwa konflik panjang antara raja Inggris dan badan parlemen dipecahkan dengan baik melalui pemisahan raja Inggris sebagai eksekutif dari badan parlemen sebagai legislatif. dipecahkan, dan masing-masing mempunyai kekuasaan sendiri. Sedangkan Montesquieu yang mengamati keadaan politik Inggris, menyatakan dukunganya kepada sistem pemerintahan Inggris yang telah mewujudkan pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif yang berbeda dengan despotisme Bourbons, namun demikian pada ahirnya Inggris lebih memilih bentuk pemerintahannya dengan menggunakan Sistem parlementer. Secara historis. yang diuraikan amat rinci oleh Locke dan Montesquieu sangat besar pengaruhnyn terhadap terbentuknya konstitusi Amerika Serikat, yang mengatur secara jelas pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, yudikatif dengan mengunakan bangunan Sistem pemerintahan presidensial.
Munurut pendapat S.L. Whitman,[14] yang menjadi ciri dalam pemerintahan persidensial adalah:
1.                  Didasarkan atas pemisahan kekuasaan
2.                  Eksekutif tidak mempunyai kekuasaan membubarkan badan legislatif dan eksekutif tidak harus meletakan  jabatanya   apabila   tidak   mendapatkan dukungan mayoritas angota badan legislatif.
3.                  Tidak ada pertanggung jawaban bersama kepada parlemen, antara presiden
dengan anggota-anggota kabinet; yang terakhir bertanggung jawab sepenuhnya kepada presiden sebagai kepala pemerintahan.
4.                  Eksekutif (presiden) dipilih melalui badan perwakilan.
Dengan didasarkan pada pemisahan kekuasaan pada bagian 1 (satu) serta presiden di pilih melalui lembaga pemilihan bagian 4 (empat) menurut hemat penulis, untuk mendapat ligitimasi yang setara dengan parlemen maka, presiden haruslah dipilih secara langsung oleh rakyat. Keberadaan lembaga perwakilan sebagai Badan Pemilih (electoral college)[15] yang telah   dikemukakan di atas oleh S.L. Whitman hanya bertugas menetapkan saja presiden yang sudah terpilih oleh rakyat, hal demikian di praktekan oleh Amerika Serikat (AS) sebagi negara yang mengaku penganut murni sistem presidensial. Dengan demikian dikarnakan presiden dipilih secara   langsung   oleh   rakyat,   maka   memaksa   hubungan   kelembagaan   secara horizontal dijalankan dengan semangat pengawasan dan perimbangan (checks and balance mechanism).

3.         Lembaga Perwakilan
Walaupun Rousseau, menginginkan tetap berlangsung demokrasi langsung seperti pada jaman Yunani Kuno, tetapi karena luasnya wilayah suatu negara, bertambahnya jumlah penduduk dan bertambah rumitnya permasalahan-permasalahan kenegaraan maka keinginan Rousseau tersebut tidak mungkin terealisir, maka munculah sebagai gantinya demokrasi tidak langsung melalui lembaga perwakilan", yang sebutannya serta jenisnya tidak sama di semua negara, dan sering di sebut "parlemen" atau kadang-kadang disebut Dewan Perwakilan Rakyat".[16]
Perkataan parlemen asalnya dari bahasa Prancis "parler" yang artinya: berbicara. Sebelum tahun 1789 di Perancis yang dinamakan perlemen itu adalah Mahkamah Agung. Dewasa ini yang di maksud dengan parlemen adalah Lembaga Perwakilan   Rakyat,   yaitu   tempat   rakyat   memperdengarkan   suaranya   dalam pemerintah. Parlemen merupakan badan perwakilan yang tertinggi dalam negara, yang susunanannya ditetapkan dengan Undang-Undang.
Umumnya fungsi badan perwakilan ataupun lembaga legislatif di pelbagai negara berbeda-beda, meskipun dalam garis besarnya sama saja, yaitu:[17]
1.                  Menentukan undang-undang;
2.                  Di   beberapa  negara   seperti   Inggris   misalnya,  juga  berwenang   untuk mewujudkan perubahan terhadap konstitusi;
3.                  Menempatkan dan mengawasi jalanya pemerintahan dengan interpelasi, mosi, hak angket dan sebagainya;
4.                  Menetapkan anggaran (keungan) negara (budget) dengan menentukan cara-cara  memperoleh  dan   menggunakan  dana  serta  melakukan  pengawasan terhadap anggaran tersebut (melalui Badan Pemeriksa Keuangan);
5.                  Dibeberapa  negara juga  memberikan  rekomendasi   (mengusulkan)  bagi jabatan-jabatan penting negara seperti anggota Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan dan sebagainya;
6.                  Menentukan hubungan dengan negara-negara lain, termasuk juga menentukan perang dan damai.
Dalam   UUD   1945   setelah   perubahan   keberadaan   lembaga   perwakilan tersebut dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (1) di mana MPR terdiri dari DPR dan DPD. DPR sebagai salah satu lembaga perwakilan serta lembaga legislatif memiliki fungsi sebagai mana di atur dalam UUD 1945 setelah perubahan, sebagai berikut : [18]
Pasal 20A ayat 1
"Dewan Perwakilan Rakyat memiliki Fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan ''.
Pasal 20A ayat 2
"Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang Undang Dasar ini, Dewan perwakilan rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat".
Pasal 20A ayat 3
"Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyatakan usul dan pendapat serta hak imunitas”.
Pasal 20A ayat 4
"Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Penrwakilan Rakyat dan hak anggota perwakilan rakyat di atur dalam Undang-Undang”.
Sedangkan dibagian lain dalam peraturan Tata Tertib DPR NO. 16/ DPR RI/1/1999-2000 dalam Pasal 4, disebutkan Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai tugas dan wewenang untuk melaksanakan pengawasan terhadap :[19]
1.      Pelaksanaan UU
2.      Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
3.      Kebijakan pemerintah sesuai dengan jiwa UUD 1945 dan ketetapan MPR.
Kemudian untuk melaksanakan tugas dan wewenang tersebut sebagai mana di maksud dalam pasal 4 ayat (1), DPR dalam pasal 10 Tata Tertib DPR mempunyai beberapa hak, yaitu:
a.                   Meminta keterangan kepada presiden
b.                  Mengadakan penyelidikan
c.                   Mengadakan perubahan terhadap rancangan Undang-Undang
d.                  Mengajukan pernyataan pendapat
e.                   Mengajukan rancangan Undang-Undang
f.                   Menganjukan seseorang untuk jabatan tertentu jika
ditentukan oleh suatu peraturan Perundang-undangan
g.                  Menentukan anggaran DPR
h.                  Memanggil seseorang
Selain dari Tata Tertib DPR NO. 16/DPR RI/I/ 1999-2000 yang lebih lanjut mengatur tugas dan wewenang DPR, serta hak-hak yang dimiliki oleh DPR, hal serupa juga terdapat dalam UU NO. 4 Tahun 1999 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, yang dapat dilihat pada Pasal 33 ayat (2), yakni sebagai berikut :[20]

(2) Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai tugas dan wewenang :
a.       Bersama-sama dengan presiden membuat UU
b.      Bersama-sama dengan presiden menetapkan APBN
c.       Melaksanakan pengawasan terhadap;
1.      Pelaksanaan Undang-Undang
2.      Pelaksanaan APBN
3.      Kebijakan pemerintah sesuai dengan jiwa UUD 1945 dan ketetapan
MPR
d.      Membahas hasil pemeriksaan atas pertanggung jawaban keuangan negara yang diberitahukan Badan Pemeriksa Keuangan, yang disampaikan dalam rapat paripurna DPR, untuk dipergunakan sebagai pengawasan
e.       Membahas untuk meratifikasi dan/atau memberi persetujuan atas pernyataan
perang serta pembuatan perdamaian dan perjanjian dengan negara lain yang
dilakukan oleh presiden
f.       Menampung dan menindak lanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat
g.      Melaksanakan hal-hal yang ditegaskan oleh ketetapan MPR dan/atau Undang-Undang kepada DPR
Kemudian dalam ayat (3) pada Pasal yang sama dan Undang-Undang yang sama menyebutkan, bahwa :
(3) Untuk melaksanakan tugas dan wewenang sebagimana di maksud dalam ayat (20), DPR mempunyai beberapa hak :
a.                   Meminta keterangan kepada presiden
b.                  Mengadakan penyelidikan
c.                   Mengadakan perubahan atas Rancangan Undang-Undang
d.                  Mengajukan pernyataan pendapat
e.                   Mengajukan Rancangan Undang-Undang
f.                   Mengajukan/menganjurkan    seseorang    untuk   jabatan    tertentu   jika
ditentukan oleh suatu peraturan Perundang-undangan
g.                  Menetukan anggota DPR
Dengan fungsi, tugas dan wewenang serta hak yang dimiliki oleh DPR sebagai mana diatur dalam Pasal 20A UUD 1945, Pasal 4 dan 10 peraturan Tata Tertib DPR N0.16/DPR RI/I/1999-2000 dan pasal 33 ayat (2) dan (3) UU No.4 Tahun 1999, maka sebagi bentuk tanggung jawab sebagai wakil rakyat, DPR yang merupakan lembaga legislatif senantiasa dapat melakukan/dapat selalu mengawasi penyelenggaraan pemeritah.

E.        Metode Penelitian

1.         Obyek Penelitian
Tinjauan   yuridis   dan   politis   tentang   peran   dan   kekuasaan   DPR   dalam pengangkatan Duta Besar RI setelah perubahan UUD 1945.
2.         Sumber Data
Sumber data yang dipergunakan adalah data skunder dari bahan hukum primer yaitu data yang digali dari peraturan dasar, peraturan Perundang-undangan, buku-buku/literatur,   hasil-hasil   penelitian   maupun   dari   sumber-sumber   lain   yang berhubungan dengan dengan masalah penelitian.
3.         Teknik Pengumpulan Data
Mengunakan Studi  kepustakaan  yaitu (library research) dengan  mempelajari UUD, peraturan UU.   Peraturan  Tata Tertib  DPR,  literature-literatur, Koran, makalah dan hasil Studi terhadap masalah yang diteliti.
4.         Metode Pendekatan
Pendekatan   yang   dipergunakan   dalam   penelitian   ini   adalah   yuridis   yakni pendekatan yang mengutamakan segi normatif dari obyek penelitian.
5.         Analisa Data
Data dalam penelitian ini akan di analisa dengan metode deskriptif, yaitu data-data yang diperoleh dari data skunder dan hasil penelitian akan diuraikan secara sistematis dan logis menurut pola deduktif kemudian dijelaskan, dijabarkaan dan diintergrasikan berdasarkan Hukum Tata Negara.













BAB II
TINJAUAN TERHADAP PEMBAGIAN KEKUASAAN DI INDONESIA SETELAH PERUBAHAN UUD 1945

A.        Kedaulatan (Sovereignity) dan Kedaulatan Rakyat

Kekuasaan merupakan konsep hubungan sosial yang terdapat baik dalam kehidupan komunitas, masyarakat, negara dan umat manusia. Konsep hubungan sosial itu meliputi hubungan personal di antara dua manusia yang berinteraksi, hubungan institusional yang bersifat hierarkis, dan hubungan subyek dengan obyek yang dikuasai.[21]
Sedangkan konsep kekuasaan dalam sebuah negara pada umumnya bersifat hierarkis dan berjenjang, melaluai kekuasaan yang tertinggi sampai kekuasaan yang terendah. Kekuasaan tertinggi dalam struktur negara adalah kedaulatan. Kedaulatan sendiri merupakan hak kekuasaan yang mutlak, tertinggi, tak terbatas, tak tergantung, dan tak terkecuali.[22]  Kedaulatan menurut Jellinek adalah sesuatu kekuasaan yang tidak mengenai kekuasaan lain diatasnya, ia sekaligus kekuasaan yang tidak tergantung pada kekuasaan lain dan karenanya kekuasaan yang tertinggi. Sementara Jean Bodin mendefinisikan arti kedaulatan ialah kekuasaan yang ketidak terbatasannya menguasai semua rakyat, ia sendiri tidak dapat diikat oleh suatu Undang-Undang.[23]
Lebih lanjut mengenai kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara haruslah bersifat:[24]
1.                  Asli, maksudnya bukan berdasarkan dari kekuasaan lain.
2.                  Tertinggi, maksudnya tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi di atasnya.
3.                  Tidak dapat dibagi-bagi, maksudnya kedalam  maupun keluar negara itu
merupakan kekuasaan sepenuhnya.
Kedaulatan (sovereignity) sendiri merupakan ciri atau atribut hukum dari negara-negara, dan sebagai atribut negara dia sudah lama ada, bahkan ada yang berpendapat bahwa sovereignity itu mungkin lebih tua dari konsep negara itu sendiri.[25]
Dalam perkembangan lebih lanjut, sesuatu yang tertinggi dalam negara menimbulkan adanya bermacam-macam pandangan atau teori, yakni:[26]
a.                   Yang tertinggi dalam negara itu adalah Tuhan (Godssouvereiniteit)
b.                  Yang tertinggi dalam negara adalah negara itu sendiri (Staatssouvereiniteit)
c.                   Yang tertinggi dalam negara itu adalah hukum (Rechtssouvereinitiet)
d.                  Yang tertinggi dalam negara itu adalah rakyat (Volkssouvereintiet)
Sebagai teori, tidak satupun dari ajaran itu yang dapat disebut paling modern. Hanya saja harus diakui, hampir semua negara modern dewasa ini, secara formil mengaku menganut asas kedaulatan rakyat.[27]
Kedaulatan rakyat berarti bahwa yang berdaulat di suatu negara adalah rakyat. Penguasa memperoleh kekuasaan untuk menjalankan fungsi-fungsi kenegaraan (pemerintah) karena mendapat persetujuan rakyat (kontrak sosial) yang dilakukan melalui proses pemilihan umum (Pemilu). Karena pemilu merupakan mekanisme demokratis untuk menegakan prinsip kedaulatan rakyat dalam tatanan kehidupan kenegaraan. Esensi kedaulatan rakyat sama dengan Sistem demokrasi. Dengan demikian negara yang berkedaulatan rakyat adalah negara demokrasi.[28]
Robert A. Dahl mengajukan lima kreteria bagi sebuah negara demokrasi yang ideal, yaitu; (1) persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat, (2) partisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga negara dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif, (3) pembeberan kebeneraan, yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang untuk memberikan penilaian terhadap jalannya proses politik dan pemerintahan secara logis, (4) kontrol terahir terhadap agenda, yaitu adanya kekuasaan eksklusif bagi masyarakat untuk menentuakan agenda mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses pemerintahan, termasuk mendelegasikan kekuasaan itu pada orang atau lembaga yang mewakili masyarakat, dan (5) pencakupan, yaitu terliputnya masyrakat yang tercakup semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum.[29] Sementara itu Andrews dan Chapman[30] dalam The Social Construction of Democracy, 1870-1990: An Introduction, menyatakan ada enam ciri penting dalam rezim Demokrasi: (1) hak suara yang luas, (2) pemilihan umum yang bebas dan terbuka, (3) kebebasan berbicara dan berkumpul, (4) rule of law, (5) pemerintahan yang tergantung pada parlemen, dan (6) badan pengadilan yang bebas.
Selanjutnya asas kedaulatan rakyat atau paham demokrasi menurut Dahlan Tahib mengandung 2 (dua) arti : Pertama, demokrasi yang berkaitan dengan Sistem pemerintahan atau bagaimana caranya rakyat diikutsertakan dalam penyelenggaraan pemerintahan, dan yang Kedua, demokrasi sebagai asas yang dipengaruhi keadaan kultur, historis suatu bangsa sehingga muncul demokrasai konstitusional, demokrasi rakyat dan demokrasi Pancasila. Yang jelas bahwa di setiap negara dan setiap pemerintahan modern pada akhirnya akan berbicara tentang rakyat. Dalam proses bernegara rakyat sering dianggap hulu dan sekaligus muaranya. Rakyat adalah titik sentral karna rakyat disuatu negara pada hakekatnya adalah pemegang kedaulatan, artinya rakyat menjadi sumber kekuasaan.[31]
Untuk memperkaya pemahaman kita tentang demokrasi patut dikutip pendapat Samuel Hutington,[32] yang menyatakan: “sebuah Sistem politik disebut demokratis bila para pembuat keputusan kolektif yang lebih kuat dalam Sistem itu di pilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur, dan berkala dan di dalam sistem itu para calon bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hampir semua penduduk dewasa berhak memberikan suara”.
Rumusan demokrasai tersebut dan banyak lagi pada hakekatnya merupakan pemahaman prinsip kedaulatan rakyat yang diartikan suatu pemerintaha oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat (The Goverment of the People, by the People and for the People) Rumusan tersebut memberikan gambaran bahwa pada hakekatnya negara tidak lain adalah suatu organisasi dalam bentuk pemerintahan sebagai alat untuk mencapai tujuan yaitu untuk melindungi dan menjaga kepentingan rakyat.[33] Dengan demikian negara tidak berhak untuk membenarkan segala macam tindakan dengan fakta kedaulatannya, karenanya segala tindakan yang berkaitan dengan kebijakannya haruslah mendapat legitimasi dari rakyat, dan segalanya harus dapat dipertanggung jawabkan. Dalam hal tindakan yang bertentangan dengan kepentingan serta melanggar hak-hak dasar rakyat tidaklah dibenarkan. Dan bahwa negara secara hakiki berfungsi untuk melengkapi apa yang kurang dalam masyarakat dan untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi, untuk selanjutnya juga memberikan kepada rakyatnya rasa aman, tentram, adil, makmur, dan sejahtera.

B.        Pembagian Kekuasaan di Indonesia

Kecenderungan negara demokrasi modern dalam merefleksi kedaulatan rakyat
dengan sistem perwakilan, artinya rakyat memilih seseorang yang dipercaya untuk mewakili dirinya. Robert Dahl[34]    melihat bahwa pemerintahan rakyat dalam sekala besar (negara bangsa) hanya dapat dibentuk dengan sistem perwakilan sebagai bentuk pemerintahan yang demokratis, pemerintahan yang berkedaulatan rakyat.
Sri Sumantri,[35] dalam kontek yang sama berpendapat bahwa, dengan masih menganut paham kedaulatan rakyat harus dicari suatu sistem yang sesuai untuk membicarakan masalah kenegaraan dan kemudian mengambil keputusan bagi negara yang memiliki jumlah rakyat warga negaranya besar seperti Indonesia. Adapun sistem yang dianut di negara Republik Indonesia ialah yang diatur dalam UUD 1945.
Negara Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat, hal ini dapat kita lihat dalam Pancasila dan UUD 1945. Sila keempat dari Pancasila, yakni menyebutkan "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan". Dalam pancasila konsep kerakyatan dapat diartikan sebagai pentingnya suara-suara rakyat di politik. Konsep kerakyatan juga bermakna adanya kekuasaan rakyat untuk mengawasi dan berpartisipasi dalam pengabilan keputusan publik. Dengan demikian konsep kerakyatan identik konsep kedaulatan rakyat.[36] Sedangkan prinsip kedaulatan rakyat di dalam UUD 1945 setelah perubahan ditegaskan pada Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan bahwa "Kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan oleh Undang-Undang Dasar". Hal ini merupakan Perubahan mendasar mengenai paham kedaulatan rakyat dimana dalam naskah sebelumnya menyebutkan "Kedaulatan ada ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat". Kedaulatan rakyat yang semula dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Perwakilan Rakyat (MPR) sebagai lembaga kekuasaan negara tertinggi (Supermacy of the People’s Consultative Assembly) kini pelaksanaannya diserahkan kepada UUD. Dengan demikian dalam kosep teoritik, UUD sebagai hukum fundamental (grundnorm), merupakan kristalisasi dari kesepakatan rakyat (kontrak sosial) sebagai pemegang kedaulatan tetang bagai mana mereka hidup dalam manifestasi kedaulatannya. Kemudian UUD yang menjadi instrument hukum dasar rakyat dan juga pemegang kedaulatan, untuk seterusnya mendelegasikan kekuasaan berupa kewenangan kepada lembaga negara untuk menjalankan roda negara.
Perubahan atau Amandemen UUD 1945 selain telah merubah pemahaman baru tentang kedaulatan rakyat juga telah merubah secara mendasar bangunan Sistem pemerintahan di Indonesia. Amandemen[37] sendiri dilakukan secara bertahap dengan Sistem adendum terhadap UUD 1945: Amandemen ke-1 (19 Oktober 1999), Amandemen ke-2 (18 Agustus 2000), Amandemen ke-3 (10 November 2001), Amandemen ke-4 (10 Agustus 2002). Sedangkan UUD 1945 sebelum perubahan terdiri 16 bab dan 37 pasal. Jika dihitung dalam bagian-bagian terkecil terdiri 65 butir termasuk didalamnya bab, pasal, ayat, dapat dikatakan UUD tersimple di dunia. Dari 37 pasal UUD 1945 yang asli hanya lima pasal yang tidak di sentuh perubahan, yakni Pasal 4 tentang Kekuasaan Pemerintahan, Pasal 10 tentang Kekuasaan Presiden memegang Kekuasaan Tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara, Pasal 12 tentang Presiden menyatakan keadaan bahaya, Pasal 22 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), Pasal 29 tentang Agama, Pasal 35. Dengan menganalisis dari butir-butir hasil perubahan UUD 1945 yang semula 65 butir kini bertambah menjadi 197 butir. Dari jumlah itu 20 butir diantaranya tetap, 45 butir diubah, dan 128 butir merupakan tambahan baru.
Hasil perubahan UUD 1945 yang dilakukan MPR itu sendiri terdapat beberapa lembaga negara yang di ruduksi kekuasaannya serta ada juga yang di tambah. Di bagian lain hasil perubahan tersebut juga mengintrodusir adanya lembaga-lembaga baru dan ada juga lembaga yang di hapus dimana keberadaan lembaga tersebut dirasakan tidak lagi relevan dengan tuntutan jaman dan kebutuhan demokrasi saat ini. Lembaga-lembaga demokratis baru yang telah dilahirkan UUD 1945 dan perubahanya itu antara lain Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Makamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial. Sedangkan lembaga yang di hapus dari struktur kenegaraan kita adalah Dewan Pretimbangan Agung (DPA), Utusan Golongan serta peran Fraksi TNI/Polri yang sejak Demokrasi Terpimpin tahun 1959 ikut serta dalam kancah percaturan politik di parlemen. Hal ini semua merupakan kesepakatan bersama untuk menghadirkan keseimbangan    penyelenggaraan kekuasaan negara, serta dapat menjadi basis arah terciptanya mekanisme checks and balances di Negara Republik Indonesia.

1.         Kekuasaan MPR Setelah Perubahan UUD 1945.
Pasal 1 ayat (2) naskah asli UUD 1945 menyebutkan Kedaulata berada ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sedangkan dalam penjelasan naskah asli UUD 1945 disebutkan bahwa MPR memegang kekuasaan negara tertinggi dan kekuasaannya tidak terbatas, sedangkan Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang ditetapkan oleh MPR. Presiden di angkat oleh MPR, tunduk dan bertangguang jawab pada MPR. Presiden adalah mandataris MPR. Presiden wajib menjalankan putusan-putusan MPR.
Apabila kita lihat redaksi pada naskah asli dari Pasal 1 ayat (2), dapat kita interprestasikan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagi pelaksana dari kedaulatan rakyat itu. Hal ini mengandung arti, bahwa kedaulatan dalam negara Indonesia tetap berada ditangan rakyat. Menurut Sri Sumantri,[38] bahwa secara oprasional kedaulatan yang yang di pegang rakyat Indonesia dilaksanakan atau dilakukan oleh:
1.         Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Dalam hal ini MPR adalah pelaksan kedaulatan rakyat atau the legal soverign yang pertama, yang berposisi sebagi nasional policy
2.         Presiden bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden bersama-sama dengan DPR bersama sama adalah the legal soverign yang kedua, yang berposisi sebagai public policy.
Sementara itu Muhamad Yamin menafsirkan kata "sepenuhnya" yang terdapat pada pasal tersebut diatas berarti MPR memegang kekuasaan tertinggi dan bulat scmpurna. MPR adalah badan yang paling tinggi dalam Republik Indonesia. Kekuasaan ini kemudian dibagi-bagi kepada lembaga-lembaga negara. Anggota MPR juga boleh dipilih, ditunjuk atau diangkat[39]
Perubahan UUD 1945 mengubah Pasal 1 ayat (2) itu menjadi Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Hal itu ditafsirkan oleh beberapa kalangan termasuk para ahli hukum tata negara bahwa MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara. Lebih lanjut bahwa MPR adalah lembaga negara yang tingkatannya sama dengan lembaga negara lainnya seperti Presiden, DPR, DPD, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka saling menyeimbang satu sama lain dalam mekanisme checks and balances. Bahkan apabila kita lihat Pasal 2 ayat (1) dimana dikatakan Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut oleh Undang-Undang. Dapat dikatakan MPR tidak lagi menjadi lembaga tinggi negara karena telah menjadi lembaga dua kamar (bikameral), dengan demikian tidak lebih hanya dijadikan sidang gabungan (joint session) oleh DPR dan DPD dengan memiliki kewenangan yang lebih terbatas.[40]
Kewenangan MPR juga telah dibatasi dalam perubahan UUD 1945. Pada Pasal 3 disebutkan bahwa MPR hanya berwenang dalam tiga hal. Pertama, mengubah dan menetapkan UUD. Kedua, melantik Presiden dan Wakil Presiden. Ketiga, hanya dapat memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD.
Dengan pemahaman baru terhadap paham kedaulatan rakyat itu, maka semua anggota MPR harus dipilih melalui pemilihan umum. Utusan Golongan tidak lagi memenuhi kriteria paham kedaulatan hasil dari perubahan UUD 1945 tersebut. Utusan Daerah sebagai perwakilan aspirasi daerah kini terakomodasi dalam DPD yang juga harus dipilih melalui pemilihan umum.
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dalam studinya mengenai Reposisi MPR, DPR, dan Lembaga Kepresidenan di Indonesia (Semua Harus Terwakili, PSHK, 2000) menyebutkan bahwa ada sedikitnya tiga alasan yang menyebabakan perlunya penyesuaian terhadap susunan, kedudukan, dan kekuasaan MPR menjadi suatu lembaga perwakilan rakyat dengan dua kamar (bikameral). Pertama, kebutuhan dalam pembenahan sistem ketatanegaraan sehubungan dengan berbagai Permasalahan dalam sistem MPR yang lama. Anggota MPR yang bukan DPR yaitu Utusan Golongan dan Utusan Daerah tidak berfungsi efektif dan tidak jelas oreientasi keperwakilannya. MPR mempunyai kekuasaan yang rancu dalam sistem presidensial karena dapat menjatuhkan presiden dengan mekanisme sidang istimewa. Kedua, kebutuhan untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat daerah secara setruktural. Artinya, dengan adanya dewan yang secara khusus mereperentasikan wilayah-wilayah, maka diharapkan maka kepentingan masyarakat daerah akan terakomodasikan melalui institusi formal di tingkat nasional. Ketiga, kebutuhan bagi Indonesia pada saat ini untuk mulai menerapkan Sistem checks and balances dalam rangka memperbaiki kehidupan ketatanegaraan dan mendorong demokrasi. Dengan adanya perwakiian rakyat dengan dua kamar, maka diharapkan lembaga ini akan mampu menjalankan fungsi legislasi dan fungsi kontrolnya dengan lebih baik.[41]

2.         Hubungan Presiden dengan DPR Setelah Perubahan UUD 1945.
Reformasi konstitusi dalam bentuk amandemen ataupun perubahan UUD 1945 ini dilakukan oleh karena UUD 1945 mengandung kelemahan krusial, misalnya tidak memberikan atribusi kewenangan yang jelas, dan tegas kepada lembaga tinggi negara, memuat pasal-pasal ambigu, dan bersifat executive heavy.[42]
Setelah diadakannya amandemen terhadap UUD 1945, produk perubahan itu ternyata telah mereduksi hal-ihwal yang berkaitan dengan kekuasaan Presiden dan sebaliknya meningkatkan kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat di sisi lain. Dengan kalimat  berbeda  implikasi   perubahan     tersebut     mengakibatkan  berkurangnya kekuasaan Presiden (weak president). Sebaliknya yang terjadi dengan DPR justru semakin mengkuatkan kedudukannya setelah dilakukan perubahan konstitusi tersebut.[43]
Adapun adanya perubahan hubungan Presiden dengan DPR menurut UUD 1945 setelah perubahan dapat kita lihat, sebagai berikut: Perihal kekuasaan legislatif. Presiden tidak lagi memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang (UU), menurut Pasal 5 perubahan UUD 1945 menyebutkan Presiden berhak mengajukan rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Selanjutnya dalam Pasal 20 ayat (1) ditegaskan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang. Presiden hanya berhak mengajukan rancangan Undang-Undang (RUU), sedangkan DPR lah yang memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang. Dengan demikian kekuasaan utama membuat undang-undang yang semula ada di tangan Presiden beralih kepada kekuasaan legislatif yang sesungguhnya yaitu DPR.
Dalam soal pemberian grasi, rehabilitasi, amnesti dan abolisi, Presiden tidak lagi berwenang penuh. Menurut Pasal 14 perubahan UUD 1945, untuk memberikan grasi dan rehabilitasi, Presiden memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (MA). Untuk memberikan amnesti dan abolisi, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR.
Selanjutnya Pasal 11 ayat (2) yang tidak ada dalam naskah asli UUD 1945, juga mempertegas bahwa Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainya yang menmbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Sedang ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan Undang-Undang Pasal 11 ayat (3), ini tentunya melibatkan peran DPR juga. Demikian pula dalam pengangkatan dan penerimaan duta, sekarang Presiden harus terlebih dahulu memperhatikan pertimbangan DPR. Adapun untuk penerimaan duta yang harus memperhatikan DPR banyak mendapat kritik oleh beberapa kalangan karena dinilai terlalu berlebihan.
Hubungan Presiden dengan DPR juga dipertegas dalam Pasal 7C perubahan UUD 1945 bahwa Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR. Namun lain halnya dengan Presiden, pada Pasal 7A diterangkan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan pada masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR. Hal demikian apabila Presiden terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupu apabila tidak lagi memenuhi syarat sebagi Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Adapun beberapa hak mutlak Presiden yang tercantum dalam konstitusi, berdasarkan ketentuan yang baru implementasi kekuasaan prerogratif itu dikaitkan dengan peran dan fungsi DPR. Ada yang ditentukan harus disetujui DPR, ada yang harus   mendapat   pertimbambangan   oleh   DPR,   atau   adapula   pelaksanaannya ditentukan harus diatur terlebih dahulu dengan Undang-Undang yang tentunya melibatkan peran DPR.
Sedangkan agenda pemerintah yang membutuhkan DPR sebagai lembaga yang memberikan persetujuaan dan pertimbangan itu, antara lain (i) Presiden dalam membuat perjanjian internasional yang berakibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat ( Pasal 11 ayat 2), (ii) peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang (Pasal 22 ayat 2), (iii) pengankatan duta (Pasal 13 ayat 2), (iv) penerimaan penempatan duta negara lain (Pasal 13 ayat 3) (v) pemberian amnesti dan abolisi (Pasal 14 ayat 2) (vi) pengangkatan dan pemberhetian Kapolri (Ketetapan MPR No. IV/MPR/2000), (vii) Pengankatan dan Pemberhentian Panglima TNI (Ketetapan MPR No. IV/MPR/2000).[44]
Disamping itu untuk melaksanakan peran dan tugasnya, perubahan UUD 1945 juga memberikan DPR berbagai fungsi, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan yang tercantum pada Pasal 20A ayat (1). Sedangkan untuk melaksanakan fungsinya dalam Pasal 20A ayat (2) DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Selain itu ayat (3) dalam pasal yang sama menyebabkan setiap anggota DPR mempunyai hak mcngajukan pertanyaan, meyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas.
Dengan berbagai hak yang dimiliki DPR jelaslah bahwa secara legal formal Perubahan UUD 1945 telah memberikan kedudukan kuat kepada DPR untuk selalu melakukan pengawasan kepada Presiden. Penyimpangan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah akan selalu terkontrol dengan mempertanyakan melalui hak iterpelasi misalnya dan lain sebagainya.
Dengan demikian Perubahan UUD 1945 ini telah menjadikan DPR kuat dan sejajar dengan segala kewenagannya untuk berhadapan dengan Presiden. Hal demikian wajar karena tugas DPR sebagi lembaga perwakilan menjadi alat kontrol bagi Presiden sebagi penggerak roda pemerintahan. Kekuasaan yang dimiliki DPR telah dicantumkan dalam UUD 1945 yang merupakan the suprime law of the land. Artinya, apa yang dilakukan oleh DPR telah mempunyai legitimasi konstitusional. Hal ini seharusnya menjadikan DPR lebih berani dalam melaksanakan apa yang menjadi tugasnya. Besarnya kekuasaan DPR hendaknya dipahami sebagi upaya untuk mewujudkan checks and balances serta menciptakan pemeritahan yang bersih.
Tapi harus di ingat pada sejarah supremasi di tangan eksekutif yang tanpa pengawasan telah menghasilkan pemeritah yang sentralis dan otoriter. Hal ini hendaknya menjadi dasar pemahaman bahwa memberi kekuasaan atau memberi supremasi kepada DPR tampa adanya pengawasan hanya akan mengulang sejarah masa lalu yang buruk.

C.        Tentang Lembaga Perwakilan di Indonesia
Dalam pemahaman demokrasi ada yang dilaksanakan secara langsung (direct democracy) dan ada juga demokrasi tidak langsung (indirect democracy). Namun dengan  melihat  pertumbuhan  masyarakat  dengan  segala  perkembangannya serta pemerintahan dalam suatu wilyah tidak lagi seperti polis-polis di jaman Yunani kuno, tapi sudah berkembang menjadi negara yang luas berbentuk kesatuan ataupun federal yang terdiri dari negara bagian-bagian. Bahkan pada jaman pasca kolonial ini banyak negara-negara bekas jajahan yang merdeka membentuk negara bangsa (nation state). Maka kecuali Swiss yang menerapkan direct democracy, keinginan untuk menerapkan demokrasi secara langsung sepertinya akan sulit diterapkan bahkan dapat dikatakan mustahil.
Sedangkan yang dimaksud dengan indirect democracy adalah suatu demokrasi di mana kedaulatan rakyat itu tidak dilaksanakan oleh rakyat secara langsung melainkan melalui lembaga-lembaga perwakilan rakyat.[45] Dengan demikian indirect democracy adalah demokrasi dengan sistem perwakilan, artinya rakyat memilih seseorang yang dipercaya untuk mewakili.
Sehubungan   dengan   dianutnya   demokrasi   tidak   langsung   sebagimana dikemukakan di atas, kita mengenal dua macam sistem lembaga perwakilan yaitu :
1.                  Sistem dua kamar (bicameral system)
2.                  Sistem satu kamar (one bicameral system)[46]

1.         Sistem Bikameral
Sistem ini pada umumnya dianut dan dilaksanakan di dalam negara-negara yang berbentuk federal atau pemerintahanya berbentuk kerajaan antara lain Inggris, Belanda, Kekaisaran Jepang dan Amerika Serikat. Namun di samping dianut di dalam negara-negara yang berbentuk kerajaan dan federal, bukan berarti negar-negara yang berbentuk kesatuan tidak menganut Sistem ini. Republik Perancis, dalam Pasal 24 Kontstitusinya menentukan, bahwa parlemennya terdiri dari Nasional Assembly dan Senate. Apabila Nasional Assembly anggota-anggotany dipilih oleh rakyat Prancis di dalam pemilihan umum secara langsung, sesuai dengan jumlah penduduk dan warga negaranya, maka anggota-anggo Senate dipilih secara tidak langsung oleh kesatuan-kesatuan yang dinamakan Comunals dan Depertments.[47]
Dalam UUD 1945 setelah perubahan berhasil merumuskan keberadaan perwakilan di Indonesia menjadi dua kamar. Pasal 2 ayat (1) menyebutkan "Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut oleh Undang-Undang \ Dengan adanya lembaga perwakilan yang terdiri dari DPR dan DPD maka untuk pertama kalinya di introdusir sistem bikameral dalam Sistem perwakilan politik di Indonesia.
Namun demikian terhadap dua kamar di MPR sekarang ini masih terdapat perbedaan penafsiran. Adapun keberadaan dua lembaga DPR dan DPD itu merupakan konsep bikameral yang sesungguhnya diperlukan telaah lebih lanjut Beberapa kalangan berpendapat Sistem bikameral yang kita anut adalah Sistem bikameral lunak (soft bicameral), sistem bikameral terbatas, week bicameral, dan sebaginya.
Menurut Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar yang juga anggota PAH I Badan Pekerja (BP) MPR Theo L Sambuaga, sistem MPR yang dianut adalah sistem bikameral yang lunak (soft bicameral). Lebih lanjut dikatakan sistem perwakilan yang selama ini dinilai agak sentralislistis supaya lebih demokratis dan desentralisasi, maka diperlukan ada perwakilan dua kamar tetapi lunak. Dalam sistem ini fungsi legislasi dan pengawasan DPD tidak sama dengan DPR. DPD tidak membentuk Undang-Undang karna kekuasaan membentuk Undang-Undang ada pada DPR. Kemudian ada sistem checks and balances, dan lewat DPD, daerah punya kontnbusi dalam perumusan kebijakan nasional.[48]
Sedangkan menurut Dahlan Thaib,[49] sistem bikameral yang digariskan dalam UUD 1945 setelah perubahan masih bukan bikameralisme murni yang menjamin adanya keseimbangan atau checks and balances antara dua kamar di parlemen yakni DPR dan DPD. Wewenang DPD lebih lemah dibandingkan dengan wewenang DPR. DPD hanya memiliki hak legislasi dan pembahasan dalam hal-hal yang berkaitan dengan otonomi daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan antara pusat dan daerah (Pasal 22D ayat 1 dan 2). Maka untuk mempertahankan akutabilitas horizontal dan menjamin keterwakilan suatu daerah, maka seharusnya DPD diberi kewenangan yang sejajar dengan DPR, sehingga wakil daerah pun dapat memberikan suaranya mengenai persoalan-persoalan nasional.

2.         Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Terlepas dari perdebatan diatas keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) merupakan suatu kenyataan dan telah memberikan warna baru bagi Sistem perwakilan kita dengan segala wewenang dan tugasnya yang terbatas.
Pengaturan tentang Dewan Perwakilan Daerah sendiri diatur dalam UUD 1945 dan perubahannya yaitu pada Pasal 22C dan 22D. Dikatakan pada Pasal 22C ayat (1) DPD dipilih dari tiap provinsi melalui pemilihan umum. Pasal 22C ayat (2) jumlah arggota DPD dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota DPD tidak lebih dari sepertiga jumlah DPR. Kemudian menurut 22C ayat (3) DPD dalam bersidang sedikitnya sekali dalam setahun. Dalam ayat (4) pasal yang sama susunan dan kedudukan DPD diatur oleh Undang-Undang.
Selanjutnya sesuai Pasal 22D ayat (1), DPD juga berwenang mengajukan rancangan Undang-Undang (RUU) kepada DPR yang terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat daerah, pembentukan dan pemekarai serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan Pusat dan Daerah. Pada Pasal 22D ayat (2) DPD juga ikut membahas RUU yang terkait hal-hal diatas, serta DPD juga memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
Pasal 22D ayat (3) mengatur DPD dapat melakukan pengawasan atas Pelaksanaan berbagai undang-undang yang telah disebutkan diatas, dan menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR sebagi bahan pertimbangan untuk ditindak lanjuti. Kemudian yang Pasal 22D ayat (4) menjelaskan bahwa angota DPD dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang.
Dengan keberadaan DPD sebagi wakil politik daerah sedangkan DPR mewakili kepentingan politik nasional maka Sistem lembaga pervvakilan kita kira-kira mirip dengan sistem bikameral di Amerika Serikat (AS). Parlemen AS adalah kongres yang terdiri atas Senat yang dipilih di setiap negara bagian dan House of Representatives dipilih melalui populasi penduduk negara Amerika Serikat. Adapun keberadan DPD sebagi lembaga perwakilan daerah, berfungsi untuk menyalurkan kepentingan-kepentingan daerah, ikut mengawasi, membahas serta memberikan masukan-masukan kepada DPR terhadap produk undang-undang yang mempunyai implikasi terhadap Pembangunan yang ada di daerah

D.        Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
1.         Pengaturan DPR Setelah Perubahan UUD 1945
Di dalam perubahan UUD 1945 pengaturan tegas mengenai Dewan Perwakilan Rakyat dapat dilihat dalam Bab VII. Perubahan mendasar terjadi pada kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat terutama dalam bidang legislasi dan bidang pengawasan. Lebih lanjut mengenai pengaturan tehadap lembaga perwakilan tersebut dapat dilihat dalam pasal-pasal sebagai berikut:
Pasal 19 ayat   (1)        “Anggota Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum”.
(2)        “Susunan   Dewan  Perwakilan  Rakyat  diatur  dengan  Undang-Undang”
(3)        “Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam setahun”.
Pasal 20 ayat   (1)        “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk
undang- undang”.
(2)        “Setiap rancangan Undang-Undang dibahas Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”.
(3)        “Jika rancangan Undang-Undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan Undang-Undang tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu”.
(4)        “Presiden mengesahakan rancangan Undang-Undang yang  telah
disetujui bersama untuk menjadi Undang-Undang”.
(5)        “Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan Undang-Undang tersebut disetujui, rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan”.
Pasal 20A ayat            (1)        “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi
anggaran dan fungsi pengawasan “.
(2)        Dalam melaksanakan fungsi nya, selain diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai   hak   iterpelasif   hak  angket,   dan   hak menyatakan pendapat”.
(3)        “Selain yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas”.
(4)        “Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-undang”.
Pasal 21 ayat   (1)        “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul
rancangan Undang-Undang”.
Pasal 22 ayat   (1)        “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak
menetapkan peraturan pemerintah sebagi pengganti Undang-Undang”.
(2)        “Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut”.
(3)        “Jika tidak mendapat persetujuan maka peraturan pemerintah itu harus dicabut”.
Pasal 22A
"Ketentuan lebih lanjut tentang tentang tata cara pembentukan  Undang-Undang diatur dengan Undang-Undang "
Pasal 22B
“Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam Undang-Undang”.
Selain pada Bab VII pengaturan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat juga terdapat pada Pasal 23 perubahan UUD 1945 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 23 ayat   (1)        “Aggaran pendapatan dan belanja negara sebagi wujud dari
pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat"
(2)        “Rancangan Undang-Undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah”.
(3)        “Apabila       Dewan   Perwakilan   Rakyat   tidak   menyetujui
rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang
diusulkan    Presiden,    Pemerintah    menjalankan   Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu”[50]

Dari beberapa ketentuan tentang Dewan Perwakilan Rakyat sebagi mana dirumuskan dalam perubahan UUD 1945, dapat di simpulkan bahwa perumusam UUD 1945 setelah perubahan banyak memberi peluang kepada Dewan Perwakilan Rakyat yang memungkinkan Dewan Perwakilan Rakyat untuk melaksanakan apa yang diharapkan dari pembuatnya juga dari rakyat, untuk berperan lebih besar di parlemen. Tentang harapan itu tentunya agar Dewan Perwakilan Rakyat lebih mandiri, lebih berani, dan lebih dapat memanfaatkan fungsi dan hak-hak konstitusionalnya.

2.         Kedudukan, Fungsi, dan Wewenang DPR.
Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kuat, ini ditegaskan dalam perubahan UUD 1945 tercantum dalam Pasal 7C yang menyebutkan "Presiden tidak dapat membekukan dan atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat” Hal ini sesuai dengan prinsip presidensial sebagi sistem pemerintahan Indonesia yang dipertahankan dan lebih disempurnakan dalam perubahan UUD 1945. Presiden dan DPR dipilih langsung oleh rakyat, sehingga keduanya memiliki legitimasi yang sama dan kuat serta masing-masing tidak bisa saling menjatuhkan.
Selain ditentukan dalam UUD 1945 dan perubahannya, ketentuan fungsi dan wewenang DPR juga diatur dalam Tata Tertib DPR NO. 16/ DPR RI/1/1999-2000 dalam Pasal 4, disebutkan Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai tugas dan wewenang untuk melaksanakan pengawasan terhadap :[51]
1.                  Pelaksanaan UU
2.                  Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
3.                  Kebijakan pemerintah sesuai dengan jiwa UUD 1945 dan ketetapan MPR
Kemudian untuk melaksanakan tugas dan wewenang tersebut sebagai mana di maksud dalam pasal 4 ayat (1), DPR dalam pasal 10 Tata Tertib DPR mempunyai beberapa hak, yaitu :
a.   Meminta keterangan kepada presiden
b.   Mengadakan penyelidikan
c.   Mengadakan perubahan terhadap rancangan Undang-Undang
d.   Mengajukan pernyataan pendapat
e.   Mengajukan rancangan Undang-Undang
f.    Mengajukan   mengajurkan   seseorang   untuk  jabatan   tertentu jika ditentukan oleh suatu peraturan Perundang-undangan
g.   Menentukan anggaran DPR
h.   Memanggil seseorang
Selain dari Tata Tertib DPR NO. 16/DPR RI/1/1999-2000 yang lebih lanjut mengatur tugas dan wewenang DPR, serta hak-hak yang dimiliki oleh DPR, hal serupa juga terdapat dalam UU NO. 4 Tahun 1999 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, yang dapat dilihat pada Pasal 33 ayat (2), yakni sebagai berikut :[52]
(2)        Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai tugas dan wewenang :
a.         Bersama-sama dengan presiden membuat UU
b.         Bersama-sama dengan presiden menetapkan APBN
c.         Melaksanakan pengawasan terhadap:
1.         Pelaksanaan undang-undang
2.         Pelaksanaan APBN
3.         Kebijakan pemerintah sesuai dengan jiwa UUD 1945 dan ketetapan MPR
d.         Membahas hasil pemeriksaan atas pertanggung jawaban keuangan negara yang diberitahukan Badan Pemeriksa Keuangan, yang disampaikan dalam rapat paripurna DPR, untuk dipergunakan sebagai pengawasan
e.         Membahas untuk meratifikasi dan/atau memberi persetujuan atas pernyataan perang serta pembuatan perdamaian dan perjanjian dengan negara lain yang dilakukan oleh presiden
f.          Menampung dan menindak lanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat
g.         Melaksanakan hal-hal yang ditegaskan oleh ketetapan MPR dan/atau undang-undang kepada DPR
Kemudian dalam ayat (3) pada Pasal yang sama dan Undang-Undang yang sama menyebutkan, bahwa :
(3)        Untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagimana dimaksud dalam ayat (20), DPR mempunyai beberapa hak :
a.         Meminta keterangan kepada presiden
b.         Mengadakan penyelidikan
c.         Mengadakan perubahan atas Rancangan Undang-Undang
d.         Mengajukan pernyataan pendapat
e.         Mengajukan Rancangan Undang-Undang
f.          Mengajukan/menganjurkan    seseorang    untuk    jabatan    tertentu jika
ditentukan oleh suatu peraturan Perundang-undangan
g.         Menentukan anggota DPR
Dengan fungsi, tugas dan wewenang serta hak yang dimiliki oleh DPR sebagai mana diatur dalam Pasal 20A UUD 1945, Pasal 4 dan 10 peraturan Tata Tertib DPR No. 16/DPR RI/1/1999-2000 dan pasal 33 ayat (2) dan (3) UU No.4 Tahun 1999, maka sebagai bentuk tanggung jawab sebagai wakil rakyat, DPR senantiasa dapat melakukan atau selalu mengawasi penyelenggaraan pemerintah.
Kemudian apabila kita analisis dari sekian banyak pasal-pasal dalam UUD setelah perubahan yang menyangkut mengenai tugas pokok dari Dewan Perwakilan Rakyat, juga dalam UU No.4 Tahun 1999 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPRD, dipertegas lagi oleh Tata Tertib DPR No. 16/DPR/RI/l999-2000. dari wewenang dan tugas DPR diatas maka dapat dirumuskan bahwa DPR mempunyai tugas pokok sebagi berikut.
1.                  Fungsi di bidang pembuatan Undang-Undang (legislasi).
2.                  Fungsi di bidang anggaran (bageter).
3.                  Fungsi di bidang pengawasan.
Berikut peran Dewan Perwakilan Rakyat dalam ketiga fungsinya tersebut disertai dengan perubahan-perubahan yang dilakukan.
1.a.      Fungsi di Bidang Pembuatan Undang-Undang (Legislasi)
Salah satu pilar pemerintah yang demokratis adalah menjunjung tinggi supermasi hukum. Supermasi hukum dapat terwujud apabila di dukung oleh perangkat peraturan Perundang-undangan yang dihasilkan melalui proses legislasi. Oleh karena itu, fungsi legislasi DPR dalam proses demokrasi sangatlah penting.
Menurut ketentuan konstitusi rancangan Undang-Undang (RUU) yang akan dibahas di DPR dapat berasal dari pemerintah dan dapat pula berasal dari DPR sebagai RUU usul inisiatif. Untuk masa yang akan datang jumlah RUU yang berasal dari inisiatif DPR diharapkan    akan semakin banyak.  Hal ini merupakan bagian penting dari komitmen reformasi hukum nasional dan pemberian peran yang lebih besar kepada DPR secara konstitusional dalam pembuatan undang-undang.
Peningkatan peran tersebut merupakan hasil dari perubahan UUD 1945. dalam naskah asli UUD 1945 hak membuat undang-undang berada pada Presiden "Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang" (Pasal 5 ayat 1). Dari hasil perubahan hak tersebut bergeser dari Presiden kepada DPR dan rumusan tersebut dituangkan dalam perubahan UUD 1945 dalam Pasal 20 ayat (1) menyebutkan "DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang".
Namun demikian kinerja dan produktifitas DPR dalam pembuatan undang-undang dirasakan masih kurang. Tercatat rancangan undang-undang yang dibahas di DPR Sebagian besar berasal dari pemerintah, sedangkan RUU usul inisiatif DPR sangat lah minim sekali. Oleh karena itu untuk meningkatkan kinerja dalam bidang legislasi sebaiknya DPR tidak terjebak pada fungsi pengawasan saja yang pada akhirnya menelantarkan fungsi legislasi.

2.a. Fungsi di Bidang Anggaran (Budgeter)
Untuk menjalankan fungsi pokok Dewan Perwakilan Rakyat di bidang anggaran diatur dalam Pasal 23 perubahan UUD 1945. Ditegaskan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ditetapkan tiap tahun dengan undang-undang. Kedudukan DPR dalam APBN sangatlah kuat, karena    apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan oleh pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun lalu.[53]

3.a. Fungsi di Bidang Pengawasan.
Tidaklah berlebihan, apabila rakyat Indonesia di semua tinggkatan memprediksikan potret DPR di era reformasi ini mengalami perubahan yang sangat signifikan. Perubahan UUD 1945 telah menggeser pradigma dari exsecutive heavy menjadi legislative heavy.
Pada dasa warsa yang lalu, peraktek ketatanegaraan lebih di dominasi oleh peran eksekutif atau pemerintah. Terlebih dominasi kekuasaan eksekutif pada waktu itu mendapat legitimasi secara konstitusional, hal ini terlihat pada pasal-pasal dalam UUD 1945 sebelum diadakan perubahan.[54]  Pada Pasal 4 ayat (1) naskah asli UUD 1945 menyatakan "Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar". Begitu pula kalau dilihat penjelasan umum angka IV ditegaskan bahwa " Dibawah Majelis Permusyawaratan Rakyat Presiden ialah penyelenggara pemerintahan tertinggi. Dalam menjalankan Pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah ditangan Presiden (comentration of power and responsibility upon the president)[55] Kemudian Pasal 5 ayat (1) Presiden membentuk undang-undang bersama DPR, Presiden juga dapat menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang (Pasal 5 ayat 2). Menurut pasal 10 Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Pasal 11 Presiden menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, dengan persetujuan DPR. Sedangkan Pasal 12 disebutkan Presiden dapat menyatakan keadaan bahaya menurut sarat-sarat yang ditetapkan undang-undang. Pasal 13 Presiden mengangkat duta dan konsul, serta pada Pasal 14 Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasai. Dan Pasal 15 disebutkan Presiden memberi gelar, tanda jasa dan lain-lain.[56] Dominasi kekuasaan eksekutif semakin bertambah ketika dengan kekuasaanya melakukan monopoli penapsiran terhadap Pasal 7. Penapsiran ini menimbulkan implikasi yang sangat luas karna Presiden dapat dipilih kembali untuk masa yang tidak terbatas.[57]
Dengan diadakan perubahan terhadap UUD 1945 kini peran itu mulai bergeser dan berubah. Meskipun Presiden masih memegang kekuasaan pemerintah, tetapi dengan adanya pergeseran ini, Presiden tidak lagi mempunyai kekuasaan di bidang legislasi, sebab kekuasan tersebut sekarang ada pada tangan DPR. Pasal 20 ayat (1) menyebutkan "Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang". Sedangkan Presiden hanya mempunyai hak mengajukan rancangan undang-undang saja.
Dalam kontek pengawasan, perubahan dan pergeseran tersebut terlihat dengan dicantumkanya fungsi pengawasan sebagi the orginal power DPR dalam perubahan UUD 1945 dan melalui berbagi perturan Perundang-undangan yang dihasilkan. Pasal 20A ayat (1) DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Kemudian untuk melaksanakan fungsinya, sebagi mana dijelaskan pada Pasal 20A ayat (2), DPR memiliki hak anggket, hak interpelasi, dan hak menyatakan pendapat Serta pada ayat (3) pasal yang sama setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, hak menyatakan usul dan berpendapat sekaligus hak imunitas.
Perubahan UUD 1945 telah memberikan peran yang kuat kepada DPR dalam melaksanakan fungsi pengawasan. Pengawasan yang dilakukan DPR dalam menjalankan pemerintahan, merupakan bagian dari sistem dalam kehidupan ketatanegaraan dan kebangsaan yang mencerminkan prinsip-prinsip demokrasi. Disaat yang bersamaan situasi masyarakat yang berkembang demikin cepat dan kepercayaan yang demikian besar untuk menggantungkan harapan serta kepentingan-kepentingannya kepada lembaga perwakilan, kemudian gejala demikian disambut oleh DPR sebagai salah satu lembaga perwakilan dengan meningkatkan kinerjanya dalam pelaksanan fungsi kontrol atau pengawasan kepada pemerintah. Pelaksanaan fungsi pengawasan dilakukan melalui mekanisme penggunaan beberapa hak yang pada sebelumnya tidak digunakan seperti hak interpelasi ataupun hak angket. Melalui hak interpelasi, Presiden diminta untuk memberikan keterangan atau klarifikasi atas kebijakannya. Sedangakan melalui hak angket, DPR melakukan penyelidikan terhadap peryeimpangan penggunaan dana-dana yang digunakan oleh Persiden.
Pengawasan DPR juga dilakukan melalui keterlibatan DPR dalam proses pemilihan  pejabat-pejabat  publik  yang  ditetapkan  oleh  pemerintah berdasarkan Perubahan UUD 1945 dan Undang-Undang lainya. Dalam hal pengangkatan duta, penempatan duta negara lain, pemberian amenesti, abolisi, Presiden harus mendengarkan pertimbangan DPR. Kemudian dalam hal pengangkatan Dewan Gubernur Bank Indonesia (UU No.23 Tahun 1999), pengangkatan dan pemberhentian panglima TNI (Tap MPR No. IV/MPR/2000), pengankatan dan pemberhentian Kapolri (Tap MPR No. IV/MPR/2000).
Selanjutnya tugas DPR dalam fungsi pengawasan lainnya adalah menindak lanjuti hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (Pasal 23E). Tugas ini merupakan suatu bentuk sikap pro-aktif DPR untuk mendorong penyelesaian kasus-kasus penyalah gunaan keuangan negara.
Pada akhirnaya peningkatan peran DPR dalam bidang pengawasan bagian dari upaya untuk menerapkan mekanisme checks and balances untuk menuju pemerintahan yang demokratik. Hal ini mengharuskan DPR untuk bekerja optimal demi melaksanakan fungsi-fungsi konstitusionalnya, dengan memanfatkan hak-haknya secara maksimal.

E.        Pengangkatan Duta Besar Setelah Perubahan UUD 1945.
Dalam pengangkatan duta yang akan ditempatkan di negara lain, Presiden terlebih dahulu mendengarkan pertimbangan DPR. Hal ini diatur dalam perubahan UUD 1945 pada Pasal 13 ayat (2) yang menyatakan "Dalam pengangkatan duta, Presiden     memperhatikan    pertimbangan    Dewan    Perwakilan    Rakyat".     Ini memungkinkan partisipasi DPR dalam pengangkatan duta, sehingga kekuasaan untuk mengangkat duta tidak semata-mata hak prerogratif Presiden. Namun juga merupakan hak DPR dalam fungsi pengawasan untuk mempertimbangkan setiap duta yang akan ditempatkan di negara sahabat yang tentunya akan membawa kepentingan negara berarti juga kepentingan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Adapun mekanisme pembahasan calon Duta Besar Republik Indonesia untuk negara sahabat tertuang dalam Keputusan Rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR RI tanggal 23 Mei & 29 Agustus 2002 sebagai berikut:
  1. surat mengenai pencalonan Duta Besar Republik Indonesia untuk Negara-
    negara yang disampaikan oleh Presiden, setelah diterima oleh Pimpinan
    Dewan, segera diberitahukan/diumumkan dalam Rapat Paripurna tanpa
    menyebutkan nama negara penerima/pengirim
  2. Hasil pembahasan Komisi I dilaporkan kepada Pimpinan Dewan untuk
    selanjutnya disampaikan kepada Presiden secara rahasia.[58]
Terlepas dari hal itu ketentuan Pasal 13 ayat (2) tersebut menimbulkan polemik dalam tingkat penafsiran. Bagi DPR Pasal ini dijadikan dasar untuk melakukan dengar pendapat melalui penilaian uji visi dan misi kepada calon duta besar (dubes) yang dipilih Presiden. Namun kemudian DPR lewat Komisi I membuat kreteria untuk memperitimbangkan keabsahan seorang calon dubes. Kreteria tersebut diantaranya.[59] Pertama, soal umur. Kedua, kemampuan diplomasi seorang diplomat. Ketiga, penampilan calon dubes. Keempat, kemampuan calon dalam mempersentasikan visi dan misi. Kelima, pengetahuan materi politik luar negeri dan pengetahuan tentang negara yang dituju. Dari keteria tersebut dapat dijadikan acuan bagi lulus atau tidaknya calon dubes. Sedangkan bagi Presiden menganggap bahwa peran DPR hanya untuk mengesahkan calon dubes yang dipilihnya.
Pengaturan lain tentang Duta Besar RI bisa dilihat dalam UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Pasal 6 menyebutkan kewenangan penyelenggaraan Hubungan Luar Negeri dan Pelaksanaan Politik Luar Negeri berada ditangan Presiden. Presiden dapat melimpahkan kewenangan tersebut kepada Menteri. Sedangkan dalam Pasal 29 dalam Undang-Undang yang sama menyebutkan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh di angkat dan diberhentikan oleh Presiden, dan merupakan wakil negara dan bangsa serta menjadi wakil pribadi Presiden Republik Indonesia.[60]
Dalam kontek yang lain namun masih terkait dengan keberadaan Dubes RI sebagi wakil diplomatik dari negara serta mewakili kepentingan nasional bangsa Indonesia. Untuk itu guna memulihkan kepercayaan pihak manca negara atas berbagai situasi multikrisis yang dialami bangsa, ada baiknya dapat kita perhatikan pula Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999-2000 pada Bab IV mengenai Arah Kebijakan Hubungan Luar Negeri. Pada huruf c menyebutkan "Meningkatkan kualitas dan kinerja aperatur luar negeri agar
mampu melakukan diplomasi pro-aktif dalam segala bidang untuk membangun citra
positif Indonesia di dunia internasional, memberikan perlindungan dan pembelaan
terhadap  warga  negara  dan   kepentingan   Indonesia,  serta   memanfaatkan  setiap
peluang positif   bagi kepentingan nasional". Sedangkan Pada huruf d disebutkan
Meningkatkan   kualitas   diplomasi   guna   mempercepat   pemulihan   ekonomi   dan
Pembangunan nasional, melalui kerjasama   ekonomi regional maupun internasional
dalam rangka setabilitas, kerja sama dan Pembangunan kawasan.[61]
Bertitik tolak pada Tap MPR No. IV/MPR/1999, adapun peningkatan kualitas kinerja aperatur luar negeri dalam hal ini calon Dubes RI untuk ditempatkan disuatu negara sangatlah perlu dan penting, guna mampu melakukan diplomasi pro-aktif dalam segala bidang untuk mengangkat dan membangun citra Indonesia di dunia internasional. Calon Dubes RI pun harus mempunyai kualitas diplomasi, baik pemahaman maupun pengalaman dalam bidang diplomasi. Hal ini untuk mepercepat pemulihan ekonomi dan Pembangunan nasional serta berbagai krisis yang dihadapi.
Menurut Hasjim Djalal sebagai mantan Dubes RI berpendapat bahwa Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN 1999-2004 mengenai Arah Kebijakan Hubungan Luar Negeri dapat dijadikan visi dan misi diplomasi Indonesia. Sedangkan mantan Menlu Ali Alatas pernah menggariskan kreteria bagi diplomasi Indonesia, yaitu teguh dalam pendirian dan prinsip namun luwes dalam pendekatan, efektif dan dinamis menuju sasaran, senantiasa mencari keharmonisan/keserasian antara negara, menjauhi konfrontasi/politik kekerasan, menjembatani kepentingan yang saling berbeda, memperbanyak kawan dan mengurangi lawan, didukung profesionalisme yang tangguh dan tanggap, aktif, kreatif, dan asertif.













BAB III
PERAN DPR DALAM PROSES PENGANGKATAN DUTA BESAR RI SETELAH PERUBAHAN UUD 1945

A.        Menguatnya Kekuasaan DPR dalam Fungsi Pengawasan.
Perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan oleh MPR bermakna besar dan meluas bagi penyelenggaraan tatanan kehidupan bernegara secara beradab dan demokratis. Penyempurnaan arti pemisahan kekuasaan (separation of power) dan pembagian kekuasaan (distribution of power) sebagai pijakan penyelenggaraan negara, pengembalian makna kedaulatan kepada rakyat sepenuhnya, serta pengaturan secara lengkap terhadap hak asasi manusia dalam UUD, telah menjadikan identitas bangsa Indonesia sebagi negara hukum, negara konstitusional, dan negara yang berkedaulatan rakyat atau negara demokrasi.
Di dalam negara yang menganut sistem demokrasi keberadan lembaga perwakilan hadir sebagi suatu keniscayaan. Keberadaan DPR sebagi salah satu lembaga perwakilan di Indonesia merupakan komponen pokok dalam politik dan kekuasaan yang hadir sebagi bentuk kristalisasi dari kehendak rakyat serta penyalur aspirasi rakyat, dengan memiliki fungsi dalam tiga wilayah yakni; fungsi legislasi atau pembuatan Undang-Undang, fungsi penyusunan anggaran, dan fungsi pengawasan jalannya pemerintahan.
Dalam UUD 1945 setelah perubahan fungsi DPR tersebut semakin dipertegas dengan lebih menguatkan peran DPR dalam fungsi legislasi dan fungsi pengawasan. Kenyatan in terlihat dari keberadaan Presiden yang tidak lagi memegang kekuasaan dalam membuat Undang-Undang melainkan sudah berpindah tangan menjadi kekuasaan DPR. Presiden hanya mempunyai hak saja untuk mengajukan rancangan Undang-Undang. Akan tetapi apabila mengkaji perubahan itu dengan teori trias politica dari Montesquieu dimana lembaga legislatif merupakan pemegang kekuasaan dalam bidang legislasi, maka perubahan UUD 1945 kecil artinya. Kranenburg[62] menjabarkan trias politika dalam dua arti yaitu : functie (fungsi) dan orgaan (badan atau lembaga). Berdasarkan pendapat itu maka, yang bergeser adalah functie-nya., sedangkan orgaan pembantuk Undang-Undang tetap sama yaitu, DPR dan Presiden.
Sedangkan dalam fungsi pengawasan perubahan kekuasaan itu semakin nampak dengan diberikan hak-hak kepada DPR guna menjalankan fungsi pengawasannya, hak-hak tersebuat yaitu; hak angket, hak iterpelasi, dan hak menyatakan pendapat. Kemudian bagi anggota DPR diberikan hak mengajukan pertanyaan, hak menyatakan usul dan berpendapat serta sekaligus hak imunitas. Pengawasan DPR juga terlihat dari berbagai kebijakan dan agenda-agenda pemerintah   yang  terkait   dengan   peran   dan   fungsi   DPR.   Ada   yang  melalui persetujuan, pertimbangan serta adapula yang pelaksanaannya ditentukan dengan dibuatnya Undang-Undang yang tentunya melibatkan peran DPR.
Pengawasan DPR juga dilakukan melalui keterlibatan DPR dalam proses pemilihan dan pengangkataan pejabat-pejabat publik yang ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan perubahan UUD 1945 dan undang-undang lainnya. Dalam pengangkatan duta dan penempatan duta negara sahabat, pengangkatan Gubernur BI, pengangkatan dan pemberhentian panglima TNI serta pengangkatan dan pemberhentian Kapolri harus terlebih dahulu melalui pertimbangan dan persetujuan DPR.
Untuk pengangkatan duta yang akan ditempatkan pada negara sahabat Presiden terlebih dahulu meminta pertimbangan DPR. Ketentuan demikian adalah isyarat dari pasal 13 ayat 2 perubahan UUD 1945, dimana dalam pengangkatan duta besar tidak lagi hak prerogratif Presiden sepenuhnya tetapi juga hak dari DPR untuk melaksanakan fungsi pengawasan dan kotrolnya terhadap pemerintah untuk selanjutnya memberikan pertimbangan kepada setiap calon duta besar yang diajukan oleh pemerintah. Duta besar sebagi wakil negara guna melakukan tugas hubungan dan politik luar negeri dengan membawa serta kepentingan bangsa yang juga kepentingan rakyat secara keseluruhan. Adapun DPR sebagi lembaga perwakilan yang dijadikan tempat untuk menyalurkan setiap kepentingan rakyat, dianggap penting agar memberikan pertimbangan terhadap dubes yang akan bertugas untuk menjalin hubungan dan kerjasama di negara sahabat.
Kiranya dengan kenyataan diatas dapat dikatakan perubahan UUD 1945 telah meberikan kekuasaan yang besar kepada DPR sebagi lembaga perwakilan, terutama dalam fungsi pengawasanya. Kcmudian perubahan juga telah menggeser pradigma dari executive heavy menjadi legislative heavy. Hal ini dapat diperhatiakan dari reduksi kekuasaan dalam ketentuan pasal-pasal mengenai Presiden. Sebaliknya terjadi penguatan kekuasaan dalam ketentuan pasal-pasal mengenai DPR.

B.        Pertimbangan DPR dalam Pengangkatan Duta besar RI Sebagi Pelaksanan Fungsi Pengawasan terhadap Presiden (Pemerintah).
1.         Pelaksanaan Fungsi Pengawasan DPR.
Kalau kita kaji secara seksama pasal-pasal dalam perubahan UUD 1945 yang mengatur fungsi DPR dapat dikatakan bahwa, DPR mempunyai tugas yang penting di bidang Ketatanegaraan Indonesia. Secara implisit telah tercantumkan adanya 3 (tiga) fungsi yang dimiliki oleh DPR. Fungsi yang diamanatkan dalam konstitusi Indonesia itu antara iain; fungsi membentuk Undang-Undang, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran. Ismail Suny[63], membagi pengawasan dalam tiga bentuk, yaitu; control of exsecutive, control of expenditure, control of taxation.
Kemudian fungsi-fungsi yang dimiliki DPR sebagai mana diamanatkan dalam UUD 1945, diimplementasikan dalam sejumlah peraturan Perundang-undangan lainnya dan dalam tatib DPR-RI yang ketiga fungsi DPR tersebut dengan tugas dan wewenang DPR.
Dalam hal fungsi pengawasan yang dilakukan DPR dilakukan berdasarkan ketentuan dalam UUD 1945, Undang-Undang No. 4 Tahun 1999, dan Tatib DPR. Dalam dasar hukum tersebut disebutkan, fungsi utama pengawasan yang dilakukan DPR adalah, pengawasan terhadap jalannya pemerintahan yang dilakukan oleh Presiden. Selain itu fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPR adalah menindak lanjuti laporan dan/atau pengaduan dari perseorangan atau masyarakat atau kelompok tertentu.
Setelah adanya perubahan terhadap UUD 1945, fungsi pengawasan DPR dilakukan dengan memberikan kewenangan kepada DPR untuk membatasi beberapa hak prerogratif Presiden. Sebelumnya hak prerogratif Presiden tidak pernah melibatkan DPR, dan sekarang harus melibatkan DPR misalnya, harus konsultasikan terlebih dahulu atau mendapat persetujuan atau pertimbangan dari DPR. Perubahan mendasar yang diberikan hasil perubahan UUD 1945 dibidang pengawasan antara lain;
1.                  Dalam hal pengangkatan Duta.
2.                  Dalam hal menerima penempatan duta negara lain, dan
3.                  Dalam memberi amnesti dan abolisi.
Perubahan penting lainya ditindaklanjuti dengan memberikan hak sub poena kepada DPR dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1999 tentang Susduk MPR, DPR, DPRD. Penerapan sub poena ini sangat efektif untuk melengkapi fungsi pengawasan yang diatur dalam Tatib DPR. Fungsi pengawasan ini dapat dirinci lagi atas;
1.                  Pengawasan terhadap Pelaksanaan undang-undang.
2.                  Pengawasan terhadap Pelaksanaan APBN, dan
3.                  Pengawasan terhadap segala kebijakan pemerintah sesuai dengan jiwa UUD
1945 dan TAP MPR-RI.
Kemudian untuk menjalankan melakukan fungsi pengawasan sebagimana disebutkan diatas, dilakukan oleh DPR melalui serangkaian rapat dan pengawasan di lapangan dalam betuk kunjungan kerja ketika Masa Reses DPR. Masa Reses ialah kegiatan DPR di luar masa sidang, yang dilakuakan oleh anggota secara perorangan atau kelompok, terutama diluar Gedung DPR untuk melaksanakan kunjungan kerja.
Adapun rapat yang digunakan DPR dalam melakukan pengawasan melalui Rapat Kerja (Raker), Rapat Dengar Pendapat (RDP), dan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). Serangkaian rapat tersebut dilakukan oleh DPR melalui alat kelengkapan Dewan, seperti Komisi-komisi dan Subkomisi yang ada di DPR dan Pansus yang dibentuk oleh DPR. Fungsi pengawasan dilakukan oleh masing-masing Komisi dan Subkomisi dengan patner kerja dari pemerintah.
Keberadaan Jumlah Komisi dan Subkomisi sendiri berikut nama dan ruang lingkupnya tidak dimasukan secara eksplisit di dalam peraturan batang tubuh Tatib DPR-RI, namun diatur dalam Keputusan tersendiri, sehingga apabila dikemudian hari Dewan berkehendak untuk mengembangkan Komisi mapun Subkomisi, maka penyesuaiannya dapat dilakaukan tanpa harus merubah Peraturan Tata Tertib. Dalam hal   pembentukan   Komisi   dan   Subkomisi   tersebut,   tidak   mengunakan  acuan Departemen yang ada di lingkungan pemerintah, mitra kerja, melainkan pula pada pendekatan isu atau masalah-masalah penting yang menjadi perhatian nasional.
Setelah melalui proses pembahasan yang panjang ahirnya Panitia Khusus (Pansus) DPR menyepakati dibentuknya Komisi dan Subkomisi sebagi berikut :
I.          KOMISI PERTAHANAN KEAMANAN, DAN LUAR NEGERI
1.         Subkomisi Pertahanan dan Keamanan.
2.         Subkomisi Luar Negeri.
3.         Subkomisi Penerangan.
II.        KOMISI HUKUM DAN DALAM NEGERI
1.         Subkomisi Hukum dan Hak Asasi Manusia.
2.         Subkomisi Dalam Negeri.
3.         Subkomisi Pertanahan.
III.       KOMISI PERTANIAN DAN PANGAN
1.         Subkomisi Pertanian dan Pangan.
2.         Subkomisi kehutanan.
3.         Subkomisi Transmigrasi.
IV.       KOMISI TRANSPORTASI DAN INFRASTRUKTUR
1.         Subkomisi Perhubungan dan Telekomunikasi.
2.         Subkomisi Pariwisata.
3.         Subkomisi Pekerjaan Umum, Perumahan Dan Pemukiman.
V.        KOMISI INDUSTRI DAN PERDAGANGAN
1.         Subkomisi Industri dan Investasi.
2.         Subkomisi Perdagangan.
3.         Subkomisi Koprasi.
VI.       KOMISI AGAMA DAN SUMBER DAYA MANUSIA
1.         Subkomisi Agama.
2.         Subkomisi Pendidikan, Kebudayaan, Generasi Muda, dan Olah Raga.
3.         Subkomisi Tenaga Kerja.
VII.     KOMISI KEPENDUDUKAN DAN KESEJAHTRAAN
1.         Subkomisi Kependudukan.
2.         Subkomisi Kesehatan.
3.         Subkomisi Sosial.
VIII.    KOMISI ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGl, DAN LINGKUNGAN.
1.         Subkomisi RISTEK.
2.         Subkomisi Lingkungan Hidup
3.         Subkomisi Pertambangan dan Teknologi.
IX.       KOMISI KEUANGAN DAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN
1.         Subkomisi Keuangan.
2.         Subkomisi Perencanaan Pembangunan.
3.         Subkomisi Perbangkan dan Lembaga Keuangan Bukan Bank

Sedangkan dalam implementasi fungsi pengawasan dapat dilakukan melalui serangkaian hak yang dimiliki oleh DPR, adapun hak-hak yang dimiliki oleh DPR adalah :
1.                  Hak meminta keterangan kepada Presiden (interpelasi)
2.                  Hak mengajukan pernyatan pendapat.
3.                  Hak mengadakan penyelidikan (angket)
4.                  Hak menghadirkan seseorang untuk diminta keterangan.
5.                  Hak untuk memberikan pertimbangan dalam pengangkatan seorang Duta Besar dan penerimaan Duta negara sahabat.
6.                  Hak untuk memberikan amnesti dan abolisi, dan Hak untuk mengajukan/menganjurkan   seseorang   berdasarkan   perintah Undang-Undang.
Fungsi pengawasan yang dilakukan baik secara aktif sebagai mana hak-hak yang dimiliki diatas ataupun melaksanakan pengawasan karena adanya laporan dari masyarakat tentang kasus-kasus tertentu. Biasanya komisi-komisi yang ada di DPR meninindak lanjuti laporan dan/atau pengaduan dari delegasi masyarakat terhadap kasus-kasus tertentu terhadap yang merugikan masyarakat. Adanya pengaduan dari masyarakat ke DPR, sesungguhnya merupakan partisipasi aktif masyarakat terhadap proses pembangunan demokrasi di Indonesia.
Dari berbagai uraian diatas, terlihat adanya peningkatan fungsi pengawasan yang diberikan oleh sejumlah peraturan perundang-undang, khususnya perubahan UUD 1945, hal ini secara langsung ataupun tidak langsung telah meningkatkan peran dan fungsi serta tanggung jawab DPR. Perubahan UUD 1945 juga telah menjadikan DPR kuat dan sejajar dengan segala kewenagannya untuk berhadapan dengan Presiden. Hal demikian wajar karena tugas DPR sebagi lembaga perwakilan menjadi alat kontrol bagi Presiden sebagi penggerak roda pemerintahan. Kekuasaan yang dimiliki DPR telah dicantumkan dalam UUD 1945 yang merupakan the suprime law of the land. Artinya, apa yang dilakukan oleh DPR telah mempunyai legitimasi konstitusional. Hal ini seharusnya menjadikan DPR lebih berani dalam melaksanakan apa yang menjadi tugasnya.

2.         Mekanisme Proses Pengangkatan Duta Besar RI
Perubahan UUD 1945 Pasal 13 ayat (1) dan (2) berbunyi sebagi berikut :
(1)               Presiden mengangkat duta dan konsul.
(2)               Dalam hal  mengangkat duta,  Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Dari ketentuan diataslah yang menjadi dasar bagi DPR untuk berperan dalam hal pengangkatan duta besar berupa pemberian pertimbangan terhadap calon duta besar yang diajuakan oleh Presiden. Kemudian DPR lewat pimpinan dewan melimpahkan kekuasaan tersebut kepada komisi, dalam hal ini komisi yang membidangai masalah yang bersangkutan.
Adalah Komisi I sebagai alat kelengkapan DPR yang membidangai hubungan luar negeri, yang selanjutnya komisi ini menentukan agenda rapat kemudian memanggil calon duta untuk melakukan pembahasan dengan melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). Pada Pasal 86 Tata Tertib DPR RI disebutkan "Rapat Dengar Pendapat Umum ialah rapat antara Komisi, beberapa Komisi dalam Rapat Gabungan Komisi, atau Panitia Khusus dengan perseorangan, kelompok, organisasi atau badan swasta, baik atas undangan Pimpinan DPR ataupun atas permintnan yang bersangkutan, yang dipimpin oleh Pimpinan Komisi, Pimpinan Rapat Gabungan Komisi, atau Pimpinan Panitia Khusus". Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum itulah dilakukan clarification hearing, dengar pendapat ataupun pembahasan bersama antara DPR dengan calon Duta Besar RI sebelum dilakukan prtimbangan oleh DPR.
Dalam hal Pelaksanaan diatas Komisi I juga mengacu pada Pasal 35 Undang-Undang No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR, DPRD. Dan juga Peraturan Tata Tertib DPR RI No.16/DPR RI/1999-2000 Pasal 171 sebagi mana disebutkan: "DPR dalam melaksanakan fungsinya dapat meminta pejabat negara, pejabat pemerintahan, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan tentang sesuatu  hal  yang perlu ditangani  demi  kepentingan negara, bangsa, pemerintahan, dan Pembangunan sebagi dimaksud dalam Pasal 35 Undang-Undang No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR, DPR,DPRD”
Dalam prakteknya berdasarkan UUD 1945, didahului oleh Presiden mengajukan surat pencalonan duta besar kepada DPR untuk mendengarkan pertimbangan DPR. Surat mengenai pencalonan Duta Besar RI untuk negara-negara sahabat yang disampaikan oleh Presiden, setelah diterima oleh Pimpinan Dewan, segera diberitahukan/diumumkan dalam Rapat Paripurna terdekat tanpa menyebut nama dari negara penerima. Rapat paripurna tersebut langsung menugaskan kepada Komisi I untuk membahasnya secara rahasia. Dalam pembahasan tersebut atau dalam melakukan dengar pendapat dengan calon dubes tersebut, Komisi I satu wajib memberi saran, masukan terhadap priroritas yang harus dikerjakan, pesan titipan yang perlu diperhatikan, catatan atau keberatan, tetapi bukan penolakan. Setelah itu Komisi I melakukan diskusi internal untuk membenkan pcnilaian untuk dijadikan pertimbangan terhadap calon dubes yang diajukan oleh Presiden.
Ada tujuh kreteria dan dasar pertimbangan yang disiapkan Komisi I untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden. Pertama, memiliki kemampuan diplomasi yang mencakup komunikasi, konseptual, dan kemampuan berargumentasi. Kedua, memiliki kemempuan bahasa minimal bahasa Inggris dan/atau bahasa setempat. Ketiga, memiliki latar pendidikan minimal strata satu (S1). Keempat, memiliki kemampuan profesional dan menajerial. Kelima, tidak cacat moral dan tidak ada indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme. Keenam, memiliki integritas dan loyalitas tinggi terhadap bangsa dan negara, ketujuh, memiliki pengalaman panjang terhadap profesi dalam bidangnya.
Adapun Kemudian seluruh hasil dari diskusi internal Komisi I berikut dengan pertimbangannya tersebut dibawa ke Rapat Paripurna untuk pengesahan. Mengingat seluruh fraksi terwakili di Komisi I, maka logikanya Rapat Paripurna hanya merupakan tempat pengesahan. Setelah disahkan, lewat Pimpinan Dewan untuk selanjutnya disampikan kepada Presiden secara rahasia.
Apapun hasil dari pembahasan di DPR itu tentunya tidak mengikat bagi Presiden. Presiden dapat saja memperhatiakan pertimbangan tersebut, ataupun dengan berbagai perhitungannya Presiden dapat saja mengabaikan hasil pertimbangan DPR itu. Menurut kebiasaan diplomatik pada umumnya, setelah mendapat hasil keputusan pertimbangan DPR, segera Presiden lewat Departemen Luar Negeri RI mengjukan nama calon dubes kepada negara penerima untuk meminta persetujuan (agreement). Dalam ukuran waktu yang tidak lama, tentunya melalui proses verfikasi, negara peneriama menyampaikan persetujuan untuk menerima atau tidak menenma nama calon yang akan ditempatkan.
Dengan mendapat persetujuan dari negara penerima, maka calon dubes yang telah melewati perosedur yang telah dijelaskan diatas, sudah dapat ditempatkan, dan dapat langsung menjalankan tugasnya secara maksimal untuk menjalin hubungan dan kerjasama dengan negara penerima, yang tentunya membawa misi bangsa dan negara serta pesan seluruh rakyat Indonesia.

B.        Peran dan Kekuasaan DPR dalam Pengangkatan Duta Besar RI
Pada naskah asli UUD 1945 Pasal 13 ayat (1) menyebutkan "Presiden mengangkat duta dan konsul". Untuk itu pada masa lalu pengangkatan duta merupakan hak prerogratif Presiden sepenuhnya, dimana duta merupakan wakil dari Presiden, diangakat dan diberhentikan Presiden serta merupakan bagian dari pemerintah berada dibawah Departemen Luar Negeri untuk melaksanakan politik dan hubungan luar negeri sebagi wakil bangsa dan negara Republik Indonesia.
Perubahan UUD 1945 pada Pasal 13 ayat (2) menyebutkan "Dalam hal pengangkatan duta, Presiden memperhatikan penimbangan Dewan Perwakilan Rakyat". Makna dari pasal tersebut berarti telah memberikan kewenangan kepada DPR untuk terlibat dalam pengangkatan duta yang semula adalah hak prerogratif Presiden. Keterlibatan peran DPR sebagai mana dikemukakan dalam pasal diatas adalah kewenangan memberikan pertimbangan terhadap calon duta besar (dubes) yang telah diajukan Presiden sebelum penempatanya di negara sahabat. Sedangkan kewenangannya tersebut merupakan bagian dari Pelaksanaan fungsi pengawasan dalam hal agenda pengangkata pejabat-pejabat negara yang memerlukan pembahasan bersama antara Presiden dengan DPR
Sebelum melihat lebih jauh mengenai peran DPR dalam memberikan pertimbangan, terlebih dahulu kita lihat dari berbagi sudut pandang yang berbeda namun satu sama lain dapat saling berhubungan sehingga dapat menjelaskan maksud dari kewenangan DPR tersebut, yaitu; dari sudut politik, sudut historis, dan sudut hukum.
1.         Dari  sudut politik,  kedudukan  DPR  sebagai  lembaga representasi  rakyat
merupakan komponen utama politik dan kekuasaan, disisi lain dubes yang
bertugas untuk melaksanakan hubungan dan kerjasama dengan negara lain
sebagi wakil     bangsa dan negara Republik Indonesia yang berarti juga
membawa serta seluruh kepentingan rakyat. Maka guna mendapatkan duta
yang dapat  mewakili  dan  mampu  memperhatikan  serta memperjuangkan
kepentingan rakyat secara sungguh-sungguh maka terhadap calon dubes yang
akan ditempatkan paling tidak dilakukan hearing terlebih dahulu dengan
DPR. Supaya duta-duta tersebut mengerti dan menangkap Semua pesan-pesan
politik rakyat yang selanjutnya akan memperjuangkan demi meningkatkan
kesejahteraan rakyat.
2.         Dari sudut historis, Pada masa lalu pengangkatan duta besar merupakan ajang
menyingkirkan dan pembuangan lawan politik dari pemerintah, sehingga pada
waktu itu ada istilah "di-dubes-kan". Pengangkatan duta terkesan merupakan
pos akomodasi orang-orang tertentu sehingga aspek kualitas dan kepentingan
diplomasi itu sangat terabaikan. Padahal duta merupakan alat negara untuk menjalin hubungan dan kerjasama dengan negara penerima baik dibidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain. Begitu pentingnya arti duta besar bagi sebuah negara untuk kepentingan diplomasi bangsa dan agar tidak terulang lagi pengangkatan dubes sebagi tempat buangan lawan politk, pensiunan, dan militer yang menjadikan tidak berbuat banyak dalam mejalankan tugasnya, maka telah terjadi kesepakatan bersama dikalangan wakil-wakil politik di MPR, bahwa demi meningkatkan kualitas dubes Indonesia hendaknya setiap calon dubes yang diajukan Presiden melibatkan juga peran DPR untuk membahas bersama melalui proses pertimbangan. Hal ini dilakukan agar tidak lagi ada istilah "di-dubes-kan".
3.         Dari sudut hukum, Peran DPR dalam memberikan pertimbanga kepada setiap calon dubes adalah hak yang diberikan oleh konstitusi. Hak ini diberikan sebagai bagian dari tugas DPR dalam fungsi pengawasan terhadap setiap kebijakan dan agenda-agenda pemerintah yang akan dijalanakan. Di negara Amerika Serikat yang menganut sistem presidensial secara mumi sekalipun dalam hal pengangkatan dubes harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari parlemen. Untuk itu kiranya tepat bagi konstitusi Indonesia untuk melibatkan peran DPR dalam pengangkatan dubes sebelum ditempatkan di negara-negara sahabat. Dengan adanya mekanisme pengangkatan dubes melalui pertimbangan DPR, diharapkan di masa datang sosok duta besar RI adalah benar-benar orang yang memiliki kemampuan menjalankan tugas dan perannya   secara   maksimal   sebagi   wakil   bangsa  di   negara   lain   untuk memajukan hubungan dan kerjasama antara kedua negara.
Dari ketiga sudut pandang tersebut peran DPR dalam memberikan pertimbangan terhadap calon dubes ternyata sangatlah perlu dan penting serta dijamin secara konstitusional. Hal ini guna meningkatkan peran duta besar sendiri dimata internasional dimana bangsa Indonesia sedang mengalami krisis identitas, pengakuan serta kepercayaan dari negara-negara asing. Serta sesuai dengan apa yang telah diamanatkan dalam Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN mengenai Arah Kebijakan Hubungan Luar Negeri, dimana perlunya peningkatkan kualitas dan kinerja aparatur luar negeri serta meningkaatkan kulitas diplomasi agar mampu melakukan diplomasi pro-aktif di segala bidang agar membangun citra positif Indonesia di dunia internasional, yang pada ahirnya dapat mempercepat pemulihan krisis ekonomi dan Pembangunan nasional.
Diplomasi sendiri merupakan usaha meyakinkan pihak/negara lain untuk dapat memahami, membenarkan, mendukung pandangan dan kepentingan nasional kita dengan membutuhkan pengetahuan dan profesionalisme tampa perlu menggunakan kekerasan.
Dengan memperhatikan asas hukum, lex superion derogat legi in feriori, maka dapat diketahui bahwa, semua peraturan Perundang-undangan dibawah UUD harus mengacu pada UUD. Kedudukan UUD sebagi hukum fudamental (grundnorm) untuk   dijadikan   hukum   dasar  bagi   pengaturaan   sebuah   negara,   maka  dalam Pelaksanaan pengangkatan Duta Besar RI pun harus merujuk pada hukum dasarnya, yaitu UUD 1945.
Materi perubahan UUD 1945 pada Pasal 13 ayat (2) yang berkaitan dengan pengangkatan duta, Presiden haruslah terlebih dahulu memperhatikan pertimbangan DPR. Pada masa lalu pengangkatan duta merupakan hak prerogratif Presiden yang tidak dapta dikontrol dan diawasi sehingga dalam pengangkatan duta telah mengabaikan unsur propesional dan tidak memperhatikan makna pentingnya duta di negara sahabat. Oleh sebab itu, kekuasaan Presiden yang mutlak itu telah direduksi dengan mengamanatkan perlunya memperhatikan pertimbangan DPR dalam pengangkatan duta.
Sedangkan pada tingkatan Undang-Undang hal mengenai pengangkatan duta merupakan sepenuhnya hak prerogratif Presiden, ini dapat kita lihat dalam UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Dimana dikatakan kewenangan penyelenggaraan Hubungan Luar Negeri dan Pelaksanaan Politik Luar Negeri berada ditangan Presiden. Presiden dapat melimpahkan kewenangan tersebut kepada Menteri. Sedang Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh di angkat dan diberhentikan oleh Presiden, dan merupakan wakil negara dan bangsa serta menjadi wakil pribadi Presiden Republik Indonesia.
Sesuai dengan ketentuan konstitusi peran DPR dalam pengangkatan dubes adalah memberikan pertimbangan. Dimulai dengan dipanggilnya calon duta untuk dilakukan dengar pendapat yang sepenuhnya dilakukan oleh Komisi I. Melalui Rapat Dengar Pendapat Umum sebagai mana diatur dalam Tatib DPR RI Pasal 86, Komisi I melakukan clarification hearing bersama calon duta besar dengan memberikan saran, masukan terhadap priroritas yang harus dikerjakan, titipan pesan yang perlu diperhatikan, catatan serta keberatan tapi bukan penolakan.
Berbeda dengan persetujuan, dalam hal pertimbangan yang dilakukan oleh Komisi I ini tidak perlu dilakukan fit and proper test terhadap calon yang akan ditempatkan dalam suatu jabatan. Fit and proper test sediri adalah uji kelayakan ataupun kepatutan misalnya pada calon Hakim Agung atau anggota Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) mengenai data pribadi, penjabaran terhadap visi dan misi kerja serta pengalaman dalam berkarir. Hasil uji kelayakan itu sangat menentukan bagi lulus atau tidaknya terhadap calon yang melakukan uji tersebut dan sifatnya mengikat.
Setelah dilakuakan dengar pendapat yang dilakukan oleh Komisi I terhadap calon dubes, maka dilakukan diskusi intern di Komisi I untuk membahas hasil dari dengar pendapat untuk memberikan penilaian terhadap apa yang akan dijadikan pertimbangan. Kemudian hasil pertimbangannya dilaporkan kepada Pimpinan Dewan untuk selanjutnya disampaikan kepada Presiden secara rahasia. Adapun kemudian untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden, Komisi I membuat kreteria dan dasar pertimbangan yaitu; Pertama, memiliki kemampuan diplomasi yang mencakup komunikasi, konseptual, dan kemampuan berargumentasi. Kedua, memiliki kemampuan  bahasa  minimal  bahasa  lnggris dan/atau  bahasa  setempat.  Ketiga, memiliki latar pendidikan minimal strata satu (S1). Kempat, memiliki kemampuan profesional dan menajerial. Kelima, tidak cacat moral dan tidak ada indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme. Keenam, memiliki integritas dan loyalifas tinggi terhadap bangsa dan negara. Ketujuh, memiliki pengalaman panjang terhadap profesi dalam bidangnya. Tetapi dari kreteria tersebut tidak bisa dijadikan acuan bagi lulus atau tidaknya calon Dubes yang diajukan oleh Presiden. Kewenangan DPR hanya memberikan masukan sebaiknya seorang calon dubes bisa diangkat atau tidak diangkat dengan aneka alasan dan argumentasi.
Lebih jauh mengenai bentuk pertimbangan itu apakah sifatnya mengikat (imperatif), ataukah sekedar sukarela (fakultatif). Dengan pertimbangan yang diberikan DPR apakah dapat menimbulkan akibat hukum tertentu apabila tidak dilaksanakan oleh Presiden. Menurut Satya Arinanto,[64] dari sudut pandang yuridis sebuah pertimbangan tidaklah mengikat, artinya bisa saja Presiden setelah memperhatikan pertimbangan tersebut kemudian membuat pertimbangan sendiri. Lebih lanjut Satya mengatakan tidak ada kewajiban mentaati yang ditimbulkan dari sebuah pertimbangan.
Kecuali itu memang pada setiap hasil dari pertimbangan DPR tersebut selalu diperhatiakan kemudian dilaksanakan oleh Presiden secara berulang-ulang sehingga telah menjadi konvensi (kebiasaan) ketatanegaraan di Indonesia. Menurut Ismail Suny, konvensi ketatanegaraan dapat diartikan sebagai perbuatan ketatanegaraan yang dilakukan berulang-ulang sehingga dapat diterima dan ditaati dalam praktek ketatanegaraan suatu negara, walaupun perbuatan tersebut bukan hukum. Sedangkan K.C. Wheare berpendapat bahwa konvensi merupakan suatu praktek tertentu berjalan untuk jangka waktu yang lama bersifat persuasif, kemudian diterima sebagai suatu hal yang wajib.[65] Dengan demikian, suatu prektek ketataneraan yang berulang ualang dapat menjadi suatu yang wajib dan kemudian ditaati oleh penyelenggara negara sebagai bentuk perkembangan penyelenggaraan negara.
Namun demikian karena kewenangan DPR untuk memberikan pertimbangan telah diatribusikan oleh konstitusi, dan hal itu bermakna sebagai implementasi dari fungsi pengawasan DPR terhadap Presiden. Kemudian pelaku perubahan konstitusi kita telah melihat bahwa hak prerogratif Presiden dalam pengangkatan duta tampa adanya kontrol dan pengawasan telah mengabaikan profesionalitas dan pentingnya diplomasi pada suatu negara. Untuk itu maka sebaiknya Presiden tetap memperhatikan pertimbangan DPR tersebut. Dalam hal lain yang perlu diperhatikan Presiden mengenai resiko politik yang harus ditanggung, apabila misalnya calon dubes yang oleh DPR disarankan tidak dingkat, tetapi dengan pertimbangannya Presiden tetap mengangkat dubes tersebut. Hal ini seandainya di tengah-tengah tugasnya dubes tersebut melakukan kesalahan, tindakan lain yang merugikan bangsa dan negara atau telah gagal menjalankan amanat negara, maka Presiden dapat dipertanyakan dalam hal itu, bahkan DPR bisa saja mengunakan salah satu haknya, yaitu mengajukan hak iterpelasi Presiden misalnya.
Presiden sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintah yang sebenarnya lebih menentukan dalam hal pengangkatan duta besar, ini lebih dikarenakan diplomasi merupakan wilayah eksekutif. Dan juga Presiden-lah dengan Menteri Luar Negeri sebagi pembantu Presiden serta lewat Departemen Luar Negeri-nya yang dianggap paling mengetahui dan mengerti tentang politik dan hubungan luar negeri suatu bangsa. Akan tetapi diberbagi negara seperti Amerika Serikat dalam hal pengangkatan dubes turut juga melibatkan peran parlemen. Bagi setiap calon dubes yang akan ditempatkan terlebih dahulu dilakukan hearing ataupun dengar pendapat dengan parlemen, walaupun peran parlemen sebatas exchange of views tentang prioritas yang harus dijalankan dan diperhatikan oleh setiap calon duta besar.



















BAB IV
PENUTUP

A.        Kesimpulan
Sebagaimana telah diketahui, perubahan UUD 1945 telah mengubah struktur Ketatanegaraan secara mendasar. Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial merupakan lembaga-lembaga baru yang telah diintrodusir dalam perubahan tersebut. Sedangkan Dewan Pertimbangan Agung, Utusan Golongan, dan peran Fraksi TNI/Polri adalah lembaga yang dianggap tidak relevan dengan tuntutan jaman dan kebutuhan demokrasi sekarang ini, sehingga keberadaan lembaga tersebut di hapus dari struktur ketatanegaraan Indonesia. Kekuasan dalam negara-pun telah bergeser dari executive heavy kepada legislative heavy, hal ini dapat diperhatiakan dari reduksi kekuasaan dalam ketentuan pasal-pasal mengenai Presiden. Sebaliknya terjadi penguatan kekuasaan dalam ketentuan pasal-pasal mengenai DPR. Dalam pembuatan Undang-Undang Presiden tidak lagi memegang kekuasaan, melainkan sudah berpindah tangan kepada DPR. Presiden hanya memiliki hak untuk mengajukan rancangan Undang-Undang saja.
Sedangkan perubahan yang nampak dan berdampak pada kekuasaan dan peran DPR adalah dalam hal Pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap pemerintah, telah diberikan serangkaian hak kepada DPR yang diberikan oleh sejumlah Peraturan Perundang-undangan diantaranya Tata Tertib DPR RI No.l6/DPR-RI/1999-2000, Undang-Undang No. 4 Tahun 1999, serta hasil dari perubahan UUD 1945. Adapun hak yang dimiliki oleh DPR yaitu; (i) hak meminta keterangan kepada Presiden (interpelasi), (ii) hak mengajukan pernyataan pendapat, (iii) hak mengadakan penyelidikan (angket), (iv) hak untuk menghadirkan seseorang untuk diminta keterangan, (v) hak untuk memberikan pertimbangangan dalam pengangkatan Duta Besar dan penerimaan Duta negara sahabat, (vi) hak untuk memberikan pertimbangan amnesti dan abolisi, dan (vii) hak untuk menganjurkan seseorang berdasarkan perintah Undang-Undang.
Pengawasan DPR juga terlihat dari berbagai kebijakan dan agenda-agenda pemerintah yang terkait dengan peran dan fungsi DPR. Ada yang melalui persetujuan, pertimbangan serta adapula yang pelaksanaannya dibuatkan Undang-Undang terlebih dahulu yang tentunya melibatkan peran DPR. Perubahan UUD 1945 juga telah memberikan kewenangan kepada DPR untuk mejalankan fungsi pengawasanya dengan tnembatasi beberapa hak prerogratif Presiden. Dimana pada sebelumnya hak prerogratif Presiden ini tidak pernah melibatkan peran DPR, dan sekarang harus melibatkan DPR, salah satu misalnya dapat dilihat dalam hal pengangkatan Duta Besar Rl yang akan ditempatkan di negara sahabat.
Pada Pasal 13 ayat (2) UUD 1945 setelah perubahan menyebutkan "Dalam hal pengengkatan duta, Presiden memperha/ikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat". Dari ketentuan inilah yang menjadi dasar bagi DPR untuk berperan dalam pengangkatan duta besar (dubes) berupa pemberian pertimbangan kepada Presiden. Kemudian DPR lewat Pimpinan Dewan melimpahkan kewenangan tersebut kepada Komisi I yang dalam hal ini membidangi hubungan luar negeri.
Sebagai mana tercantum pada Pasal 86 dan 171 Tatib DPR RI N0.16/DPR RI/1999-2000, dan juga pada Pasal 35 Undang-Undang No. 4 Tahun 1999, selanjutnya Komisi I memanggil calon duta untuk dilakukan clarification hearing, dengar pendapat ataupun pembahasan bersama dengan melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama setiap calon dubes yang diajukan oleh Presiden. Setelah itu kemudian, Komisi I melakukan diskusi internal untuk melakukan penilaian terhadap apa yang akan dijadikan pertimbanga yang diberikan kepada Presiden.
Adapun kemudian untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden, Komisi I membuat kreteria dan dasar pertimbangan yaitu; Pertama, memiliki kemampuan diplomasi yang mencakup komunikasi, konseptual, dan kemampuan berargumentasi. Kedua, memiliki kemempuan bahasa minimal bahasa Inggris dan/atau bahasa setempat. Ketiga, memiliki latar pendidikan minimal strata satu (S1). Kempat, memiliki kemampuan profesional dan menajerial. Kelima, tidak cacat moral dan tidak ada indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme. Keenam, memiliki integritas dan loyalitas tinggi terhadap bangsa dan negara. Ketujuh, memiliki pengalaman panjang terhadap profesi dalam bidangnya. Tetapi dari kreteria tersebut tidak bisa dijadikan acuan bagi lulus atau tidaknya calon Dubes yang diajukan oleh Presiden.
Untuk memberikan pertimbangan terhadap calon dubes sebagai mana tercantum dalam Pasal 13 ayat (2) perubahan UUD 1945 adalah merupakan hak dari pada DPR. Akan tetapi kewenangan DPR dalam memberikan pertimbangan apabila ditinjau secara yuridis tidaklah mengikat, artinya bisa saja setelah memperhatikan pertimbangan tersebut, kemudian Presiden membuat pertimbangan sendiri. DPR hanya memberikan masukan sebaiknya seorang calon dubes bisa diangkat atau tidak diangkat dengan aneka alasan dan argumentasi.
Namun demikian hendaknya Presiden tetap memperhatikan hasil
pertimbangan DPR tersebut. Hal ini dikarnakan kewenangan DPR yang telah
diatribusikan oleh konstitusi itu bermakna sebagai implementasi fungsi pengawasan
DPR terhadap Presiden (Pemerintah). Dan juga bertitik tolak dalam sejarah
pengangkatan duta besar pada masalalu dimana tidak adanya pengawasan dari DPR,
Presiden telah mengabaikan aspek kualitas, profesionalisme, dan kepentingan
diplomasi. Hal inipun sesuai dengan apa yang telah diamanatkan dalam Tap MPR
No. IV/MPR/1999 tentang GBHN mengenai Arah Kebijakan Hubungan Luar Negeri,
dimana perlunya peningkatkan kualitas dan kinerja aparatur luar negeri serta
meningkaatkan kulitas diplomasi agar mampu melakukan diplomasi pro-aktif
disegala bidang agar membangun citra positif Indonesia di dunia internasional, yang
pada ahirnya dapat mempercepat pemulihan krisis ekonomi dan Pembangunan
nasional.
Di samping itu aspek politik yang akan ditangguang dan akan terus menggangu keleluasan Presiden dalam menjalankan roda pemeritahan, apabila misalnya dubes yang tidak disepakati DPR tersebut ditengah-tengah tugasnya melakukan kesalahan yang dapat merugikan bangsa dan negara. Dengan hak-haknya lain tentunya DPR dapat mempersoalkan hal tersebut.
Kerjasama antara dua lembaga DPR dergan Presiden dalam pengangkatan Duta Besar RI merupakan amanat dari konstitusi. Presiden mengangkat duta dan konsul, namun dalam hal pengangkatan duta, Presiden memperhatikan pertimbangan dari DPR Dengan adanya ketentuan tersebut diharapkan pengangkatan dubes tidak lagi sebagai tempat buangan politik, pensiunan pejabat, dan militer yang selanjutnya menghilangkan pandangan terhadap istilah "di-dubes-kan". Dimasa datang sosok Duta Besar RI adalah benar-benar orang yang memiliki kemampuan untuk menjalankan tugas dan peranannya secara maksimal sebagai wakil bagsa di negara lain untuk selanjutnya memajukan hubungan dan kerjasama antara kedua negara.

B.        Saran
Beberapa saran yang dapat diberikan dengan melihat uraian dari skripsi ini
adalah: :
  1. DPR sebagai lembaga repersentasi rakyat dan merupakan komponen utama politik dan kekuasaan seharusnya ditempati oleh orang-orang yang memiliki integritas, tanggung jawab dan kehormatan yang baik sehingga benar-benar mampu mewakili, menyalurkan aspirasi serta memperjuangkan kepentingan-kepentingan rakyat.
  2. Perubahan UUD 1945 telah meberikan kekuasaan yang besar   kepada DPR
    terutama dalam fungsi pengawasannya. Dan juga kekuasaan yang dimiliki
    DPR telah tercantum dalam UUD 1945 yang merupakan the suprime law of
    the land. Artinya, apa yang dilakukan oleh DPR telah mempunyai legitimasi
    konstitusional. Dengan demikian perlu adanya optimalisasi kinerja dari DPR
    serta menjadikannya lebih berani dalam melaksanakan apa yang menjadi hak-
    hak konstitusionalnya.
  3. Kewenangan DPR sesuai dengan Pasal 13 ayat (2) perubahan UUD 1945
    dalam hal memberikan pertimbangan kepada Presiden pada pengangkatan
    duta   besar   harus   disabut   dengan   baik   dan   positif.   Pada   masa   lalu
    pengangkatan duta merupakan hak prerogratif Presiden yang tidak dapat
    dikontrol dan diawasi sehingga aspek kualitas dan kepentingan diplomasi
    sangat terabaikan. Dengan kententuan yang baru tersebut diupayakan dapat
    terjalin kerjasama yang baik antara Presiden dan DPR dalam pengangkata
    duta  besar  sehingga  dapat  meningkatkar.  profesionalisme,  kualitas,  dan
    netralitas kinerja dari Duta Besar RI.
  4. Dari sudut pandang yuridis sebuah pertimbangan tidaklah mengikat, tetapi ada
    baiknya Presiden tetap memperhatikan setiap pertimbangan DPR. Hal ini
    disebabakan adanya beberapa hal yang harus diperhatiakan Presiden yaitu mengenai resiko politik, pertimbangan sejarah, aspek kualitas, profesionalitas, dan pentingnya diplomasi dalam suatu negara, serta supaya hubungan antara DPR dengan Presiden tetap lerjalin dengan baik melalui mekanisme checks and balances, untuk mengawasi dan mengimbangi, saling menjaga serta mengoreksi

















DAFTAR PUSTAKA

A. Hamid S. Attamimi, Peran Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara - Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I - Pelita IV, Desertasi Doktor, Universitas Indonesia, 1990.

Bintan.R.Saragih, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia, Gaya Media Pratama,Jakarta, 1988.

C.S.T. Kansil, Sistem Pemerintahan Indonesia, Jakarta, Bumi Aksara, 1995. Cetakan Kedelapan.

Dahlan Thaib, Pancasila Yuridis Ketatanegaraan, UUP AMP YKPN, Yogyakarta, 1990

----------,   Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945,   Liberti, Yogyakarta, 1993.
----------,   Kedaulutan   Rakyat,   Negara   Hukum   dan   Konstitusi,   Liberty, Yogyakarta, 1999.

----------, DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Libertty, Yogyakarta, 2000.

E.Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Emas, Jakarta, 1992.

Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, 1977.

----------, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta, Aksara Baru, 1987.

Mariam Budiharjo, Dasar-Dasar ilmu politik, Gramedia pustaka utama, Jakarta, 1993, Cetakan Kelimabelas.

Moh. Mafud MD., , Dasar dan Struktur Ketata Negaraan Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 1993.

Ni'matul Huda, Hukum Tata Negara Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Konstitusi Indonesia, PSH. FH. UII, Yogyakarta, 1999.

Ramdlion Naning, Aneka Asas Ilmu Negara, Bina Ilmu, Surabaya, 1982.

Sarjono Sukanto, Sosiologi Suatu Penghantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000.

Sri   Sumantri,   Tentang Lembaga-Lembaga negara menurut  UUD  1945, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993.

Suharizal,   Reformasi   Konstitusi   1998-2002   Pergulatan  Konsep  dan  Pemikiran Amandemen UUD 1945, Sinar Repro, Jakarta, 2002.

Sumali, Reduksi Kekuasaan Eksekutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu), UMM Press, Malang, 2002.

Syaiful Anwar, Sendi-Sendi Hukum Tata Negara, Tarsito, Bandung, 1996.


B.         Makalah, Artikel dan Koran.

Dahlan Tahib, "Telaah Kritis Nilai Substansi Amandemen Konstitusi; Prespektif Masyarakat  Politik  dan   Hukum",   Makalah,  disampaikan  dalam  seminar, Amandemen Konstitusi dalam setting Indonesia Baru Menuju Reformasi Jilid 2, KM UGM, Yogyakarta, 29 Juni 2002.

Kamal Firdaus, " Catatan kamal Firdaus", Makalah, untuk diskusi panel, Urgensi Undang-Undang Kepresidenan dalam Struktur ketatanegaraan Republik Indonesia, FH-UII, 2001.

Jimliy Asshiddiqie, " Otonomi Daerah dan Peran Legislatif Daerah", Makalah, Pada Lokakarya Tentang Peraturan Daerah dan Budget bagi Anggota DPRD Se-Propinsi (Baru) Banten, Di Anyer, Banten, 20 Oktober 2000.

Hasjim Djalal, Artikel, DPR dan Calon Dubes RI, Harian Kompas, 24 Juni 2002

Salman Luthan, Artikel, Dialektika Hukum dan Kekuasaan, Jurnal Hukum. NO. 14 Vol. 7 Agustus 2000.

Y. Hartono, Artikel, SI: Dari Supermasi Eksekutif ke Supermasi Legislatif?, www. google. Com

Koran

Harian Kompas, 18 Juni 2002.
----------, 24 Juni 2002.
----------, 1 Juli 2002.
----------, 12 Agustus 2002.
----------, 23 September 2002.

C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang Undang Dasar 1945 (Pasca Amandemen)

Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara 1999-2004.

Undang-Undang No. 4 Tahun 1999 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
Undang-Undang No.37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.

Peraturan Tata Tertib DPR Republik Indonesia No. 16/DPR RI/1999-2000

Keputusan Rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR RI Tanggal 23 Mei & 29 Agustus 2002, mengenai Penyempurnaan Mekanisme Pemberian Pertimbangan DPR RI terhadap Pencalonan Duta Besar Negara-negara Sahabat untuk Republik Indonesia dan Duta Besar Republik Indonesia untuk Negara-negara Sahabat.




[1] Kompas, 18 Juni 2002
[2] Kompas, 23 September 2002
[3] Jimly Asshiddiqy sebagaimana di kutip Sumali, Reduksi Kekusaan Eksekutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu), UMM Press, Malang, 2002, hlm 48.
[4] Mariam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993,cet.Kelimabelas, hlm 35
[5] Max Waber sebagaimana dikutip Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm 296-297
[6] Mariam Budiarjo, op.cit., hlm 35-36.
[7] Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Liberty, Yogyakarta, 1993, hlm 18
[8] Mariam Budiarjo, op. cit., hlm. 151
[9] Ibid., hlm.151,152,dan 153
[10] Moh. Mafud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 1993, hlm.83
[11] E.Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Emas, Jakarta, 1982, hlm.20
[12] Sir Ivan Jening sebagaimana dikutip, dalam Bintan R Saragih, Lembaga perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1988, hlm.14.
[13] Jimly Asshiddiqie, “Otonomi Daerah dan Peran Legislatif Daerah”, Makalah pada Lokakarya Tentang Peraturan Daerah dan Budget Anggota DPRD SePropinsi (Baru) Banten, Di Anyer, Banten, 20 Oktober 2000, hlm.6
[14] S.L. Whitman sebagaimana terdapat pada "Catatan Kamal Firdaus", Kamal firdaus, Makalah, untuk Diskusi Panel, Urgensi Undang-Undang Kepresidenan dalam Struktur Ketatanegaraan Republik Indonesia, FH-UII,2001. hlm 1

[15] Secara formal menurut Konstitusi Amerika Serikat, Presiden di pilih oleh para pemilih (electros) yang di dalam literatur di kenal dengan electoral college, yaitu badan pemilih yang keanggotaannya di pilih langsung oleh rakyat di setiap negara bagian dengan jumlah yang sama dengan jumlah utusan dari negara bagian yang bersangkutan dalam keanggotaan senat dan lembaga perwakilan (House of  Representative) di congress, untuk setiap kali diadakan pemilihan Presiden. Fungsi electoral college tidak lebih sebagai party dummies dan mereka hanya sebagai rubber stamps
[16] Padmo Wahyono sebagi mana di kutip Bintan R. Saragih, op.cit., hlm 56
[17] Ibid., hlm.65-66
[18] Lihat UUD 1945 Pasca Amandemen
[19] Lihat Tat Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia 1999 - 2000
[20] Lihat UU No.4 Tahun 1999 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPRD
[21] Salman Luthan, Artikel, Dialektika Hukum dan Kekuasaan, Jurnal Hukum. NO. 14 Vol. 7. Agustus 2000, hlm 85-86
[22] Frans Magnis Suseno dalam Salman Luthan, Ibid, hlm 93
[23] Sumali, Op.Cit., hlm.17
[24] C.S.T. Kansil dalam Syaiful Anwar, Sendi-Sendi Hukum Tata Negara, Tarsito, Bandung, 1996, hlm.57
[25] Dahlan Tahib, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum dan Konstitusi, Liberty, Yogyakarta, 1999, hlm 6
[26] Ibid
[27] Jimly Asshiddiqe dalam Dahlan Tahib, Ibid, hlm 7
[28] Salman Luthan, Op Cit, hlm 94-95
[29] Suharizal, Reformasi Konstitusi 1998-2002 Pergulatan Konsep dan Pemikiran Amandemen UUD 1945, Sinar Repro, Jakarta, 2002, hlm 37
[30] Sumali, Op.Cit. hlm 15-16
[31] Dahlan Tahib, Op.Cit, hlm 7.
[32] Samuel Hutington dalam Sumali, Op Cit, hlm 16.
[33] Dahlan Tahib, Op.Cit.hlm 8.
[34] Robert Dahl dalam Dahlan Tahib, Ibid, hlm 10
[35] Sri Sumantri dalam Dahlan Tahib, Ibid.
[36] Sumali, Op.Cit., hlm 17
[37] Kompas, 1 Juli 2002
[38] Sri Sumantri dalam Dahlan Tahib, Op Cit, hlm 12-13
[39] Kompas, 12 Agustus 2002
[40] Ibid
[41] Ibid
[42] Mahfud. MD dalam Sumali, Op Cit. hlm 45.
[43] Ibid, hlm 46.
[44] Ibid, hlm 48.
[45] Sri Sumantri. Tentang Lembaga-Lembaga negara menurut UUD 1945, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm 27
[46] Ibid
[47] Ibid, hlm.27&29
[48] Kompas, Op Cit.
[49]Dahlan Tahib, “Telaah Kritis Nilai Substansi Amandemen Konstitusi; Prespektif Masyarakat Politik dan Hukum, “Makalah, disampaikan dalam seminar, Amandemen Konstitusi dalam setting Indonesia Baru Menuju Reformasi Jilid 2, KM UGM, Yogyakarta, 29 Juni 2002, hlm 5.

[50] Lihat UUD 1945 setelah perubahan
[51] Lihat Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia 1999-2000
[52] Lihat UU No. 4 Tahun 1999 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPRD
[53] Dahlan Tahib. DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Libertty, Yogyakarta, 2000, hlm 96
[54] Y. Hartono, Artikel, SI: Dari Supermasi Eksekutif ke Supermasi Legislatif ?, www. google. com
[55] Dahlan Thaib Pancasila Yuridis Ketatanegaraan, UUP AMP YKPN, Yogyakarta, 1990, hlm 79
[56] Lihat Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, 1977, hlm 199-200
[57] Y.Hartono, Op Cit
[58] Keputusan Rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR RI Tanggal 23 Mei & 29 Agustus 2002, mengenai Penyempurnaan Mekanisme Pemberian Pertimbangan DPR RI terhadap Pencalonan Duta Besar Negara-negara Sahabat untuk Republik Indonesia dan Duta Besar Republik Indonesia untuk Negara-negara Sahabat
[59] Kompas, 24 Juni 2002
[60] Lihat UU No.37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri
[61] Lihat Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN 1999-2004
[62] Kranenburg dalam A. Hamid S. Attamimi, Peran Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV Desertasi Doktor, Universitas Indonesia, 1990, hlm 166.
[63] Ismail Suny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta, Aksara Baru, 1987, hlm 27-28
[64] Satya Arinanto, DPR Seharusnya Hanya Beri Pertimbangan, Kompas, 19 Juni 2002
[65] Ni'matul Huda, Hukum Tata Negara Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Konstitusi Indonesia, PSH. FH. UII, Yogyakarta, 1999, hlm 180 & 182

0 komentar:

Post a Comment

 

Pengikut

Copyright © ZONA SKRIPSI All Rights Reserved • Design by Dzignine
best suvaudi suvinfiniti suv