Skripsi Hukum 2

Tuesday, March 13, 2012

EKSISTENSI GRASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum.  Undang-undang Dasar 1945 menetapkan bahwa Negara Republik Indonesia itu suatu negara hukum (rechstsaat) dibuktikan dari ketentuan dalam Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan Undang-undang Dasar 1945.[1] Ide negara hukum, terkait dengan konsep the rule of law dalam istilah Inggris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey. Tiga ciri penting setiap negara hukum atau yang disebutnya dengan istilah the rule of law oleh A.V. Dicey, yaitu: 1) supremacy of law; 2) equality before the law; 3) due process of law.
Dalam  Amandemen Undang-undang Dasar 1945, teori equality before the law termaktub dalam Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Teori dan konsep equality before the law seperti yang dianut oleh Pasal 27 (1) Amandemen Undang-undang Dasar 1945 tersebut menjadi dasar perlindungan bagi warga negara agar diperlakukan sama di hadapan hukum dan pemerintahan.
Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 sering dikatakan menganut sistem presidensiil, akan tetapi sifatnya tidak murni, karena bercampur baur dengan elemen-elemen sistem parlementer. Namun dengan empat perubahan pertama Undang-undang Dasar 1945, khususnya dengan diadopsinya sistem pemilihan presiden  secara langsung, dan dilakukannya perubahan struktural maupun fungsional terhadap kelembagaan MPR, maka sistem pemerintahannya menjadi makin tegas menjadi sistem pemerintahan presidensiil murni[2]. Dalam sistem presidensiil yang murni, tidak perlu lagi dipersoalkan mengenai pembedaan atau pemisahan antara fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan, karena dalam pemerintahan presidensiil murni cukup memiliki presiden dan wakil presiden saja tanpa mempersoalkan kapan ia berfungsi sebagai kepala negara dan kapan sebagai kepala pemerintahan.
Di negara dengan tingkat keanekaragaman penduduknya yang luas seperti Indonesia, sistem presidensiil ini efektif untuk menjamin sistem pemerintahan yang kuat dan efektif. Namun seringkali, karena kuatnya otoritas yang dimilikinya,  timbul persoalan berkenaan dengan dinamika demokrasi[3]. Oleh karena itu, dalam perubahan Undang-undang Dasar 1945, kelemahan sistem presidensiil seperti kecenderungan terlalu kuatnya otoritas dan konsentrasi kekuasaan di tangan presiden, diusahakan untuk dibatasi. Misalnya, Pasal 14 ayat (1) Amandemen Undang-undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan MA”. Hal ini bertujuan agar hak preogratif presiden dibatasi dan tidak lagi bersifat mutlak.
            Wacana pelaksanaan dan penerapan pidana mati berkembang pada enam tahun terakhir. Dengan kata lain soal pidana mati justru populer di masa desakan perubahan sistem peradilan. Pada periode ini beberapa ketentuan hukum baru justru mencantumkan pidana mati sebagai ancaman hukuman maksimal. Misalnya pada Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia, ataupun Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan masih ada peraturan perundang-undangan lainnya.
             KUHP Indonesia, dalam pidana pokoknya mencantumkan pidana mati dalam urutan pertama. Pidana mati di Indonesia merupakan warisan kolonial Belanda, yang sampai saat ini masih tetap ada. Sementara praktik pidana mati masih diberlakukan di Indonesia, Belanda telah menghapus praktik pidana mati sejak tahun 1870 kecuali untuk kejahatan militer. Kemudian pada tanggal 17 Febuari 1983, pidana mati dihapuskan untuk semua kejahatan[4]. Tentu saja hal ini merupakan hal yang sangat menarik. Karena pada saat diberlakukan di Indonesia melalui asas konkordansi, di negara asalnya Belanda ancaman pidana mati sudah dihapuskan.
Di dalam penjelasan ketika membentuk KUHP dinyatakan, bahwa alasan-alasan tetap memberlakukan ancaman pidana mati, karena adanya keadaan-keadaan khusus di Indonesia (sebagai jajahan Belanda). Keadaan-keadaan tersebut antara lain: 1) bahaya terganggunya ketertiban hukum yang lebih besar dan lebih mengancam; 2) Indonesia adalah negara kepulauan, sehingga komunikasi menjadi tidak lancar; 3) penduduk Indonesia heterogen, sehingga menimbulkan potensi bentrokan pada masyarakat; 4) aparat Kepolisian dan pemerintah yang tidak memadai[5]. Namun apabila kita bandingkan dengan keadaan sekarang, maka alasan-alasan tersebut perlu ditinjau kembali. Karena alasan- alasan tersebut sudah tidak cocok dengan keadaan dan perkembangan jaman. 
            KUHP Indonesia memuat 11 pasal kejahatan yang mengancam pidana mati. Diantaranya Pasal 104 tentang makar, Pasal 340 tentang pembunuhan berencana, Pasal 365 ayat (4) tentang pencurian dengan kekerasan, Pasal 444 tentang kejahatan pelayaran, dan lain-lain. Pidana mati dalam KUHP merupakan pidana pokok atau utama. Perkembangan yang terjadi di Indonesia dalam Konsep Rancangan KUHP Baru adalah menjadikan pidana mati sebagai pidana eksepsional, dalam bentuk ‘pidana bersyarat’. Artinya, ancaman pidana mati tidak lagi dijadikan sebagai sarana pokok penanggulangan kejahatan, namun merupakan pengecualian. Ancaman pidana mati  tetap tercantum dan diancamkan dalam KUHP, namun dalam penerapannya akan dilakukan secara lebih selektif. 
            Indonesia merupakan salah satu negara yang banyak menjatuhkan pidana mati. Berdasarkan catatan berbagai Lembaga Hak Asasi Manusia Internasional, Indonesia termasuk salah satu negara yang yang masih menerapkan ancaman hukuman mati pada sistem hukum pidananya (Retentionist Country). Retentionist maksudnya de jure secara yuridis, de facto menurut fakta mengatur pidana mati untuk segala kejahatan. Tercatat 71 negara yang termasuk dalam kelompok ini. Salah satu negara terbesar di dunia yang termasuk dalam retentionist country ini adalah Amerika Serikat. Dari 50 negara bagian, ada 38 negara bagian yang masih mempertahankan ancaman pidana mati[6]. Padahal seperti  diketahui, Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang paling besar gaungnya dalam menyerukan perlindungan hak asasi manusia di dunia. Namun dalam kenyataannya masih tetap memberlakukan ancaman pidana mati, juga dalam hukum militernya.
            Angka orang yang dihukum mati di Indonesia, termasuk cukup tinggi setelah Cina, Amerika Serikat, Kongo, Arab Saudi, dan Iran. Di Indonesia sendiri, sejak 1982 hingga 2004, tidak kurang dari 63 yang berstatus sedang menunggu eksekusi, atau masih dalam proses upaya hukum di pengadilan lanjutan[7]. Alasan yang banyak dikemukakan berkaitan dengan resistensi politik agar setiap negara menghormati pemikiran bahwa masalah sistim peradilan pidana merupakan persoalan kedaulatan nasional yang merupakan refleksi dari nilai-nilai kultural dan agama, dan menolak argumen bahwa pidana mati merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Terkecuali Cina dan Amerika Serikat, negara yang masih mempertahankan ancaman pidana mati adalah negara yang didominasi oleh penduduk muslim. Sedangkan Indonesia adalah negara yang notabene merupakan negara yang penduduknya juga didominasi oleh  penduduk muslim.
            Hasil sejumlah studi tentang kejahatan tidak menunjukkan adanya korelasi antara hukuman mati dengan berkurangnya tingkat kejahatan. Beberapa studi menunjukkan, mereka yang telah dipidana karena pembunuhan (juga yang berencana) lazimnya tidak melakukan kekerasan di penjara. Begitu pula setelah ke luar penjara mereka tidak lagi melakukan kekerasan atau kejahatan yang sama. Sebaliknya sejumlah ahli mengkritik, suatu perspektif hukum tidak dapat menjangkau hukum kerumitan kasus-kasus kejahatan dengan kekerasan di mana korban bekerjasama dengan pelaku kejahatan, di mana individu adalah korban maupun pelaku kejahatan, dan dimana orang yang kelihatannya adalah korban dalam kenyataan adalah pelaku kejahatan[8].
Mereka yang pro-hukuman mati berpendapat:
(1) hukuman mati merupakan pidana tepat bagi pelaku pembunuhan (berencana) dan percaya pandangan retribution, atonement or vengeance, yang memiliki sifat khusus yang menakutkan;
(2)  pidana mati masih tercantum dalam sejumlah perundang-undangan;
(3)  hukuman mati lebih ekonomis daripada hukuman seumur hidup.

Mereka yang tidak setuju pidana mati berpendapat:
(1)  ancaman pidana mati secara historis tidak bersumber pada pancasila, karena KUHP kita warisan Belanda, bahkan Belanda sendiri termasuk salah satu negara yang telah menghapuskan hukuman mati;
(2)   hukuman mati (pada dasarnya pembunuhan berencana juga) merupakan  sesuatu yang amat berbahaya bila yang bersangkutan tidak bersalah. Tidaklah mungkin diadakan suatu perbaikan apapun bila orang sudah dipidana mati;
(3)  mereka yang menentang hukuman mati menghargai nilai pribadi,   martabat kemanusiaan umumnya dan menghargai suatu pendekatan ilmiah untuk memahami motif-motif yang mendasari setiap tingkah laku manusia[9].

            Dari dimensi dan kacamata HAM, dapat dicatat perkembangan instrumen-instrumen sebagai berikut:
(1)   Universal Declaration of Human Rights tahun 1948, pada Pasal 3 mengenai hak          untuk hidup, jelas bertentangan dengan pidana mati;
(2)  Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan politik (International Covenat on Civil and Political Rights- ICCPR). Hak untuk hidup (rights to life), yaitu pada Bagian III Pasal 6 (1), menyatakan bahwa setiap memusia berhak atas hak untuk hidup dan menyatakan perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu. Konvenan Internasional ini  diadopsi pada 1966, dan berlaku (enter into force) sejak 1976. Hingga 2 November 2003, tercatat telah 151 negara melakukan ratifikasi/aksesi terhadap konvenan ini;
(3)   Second Optional of ICCPR Aiming or The Abolition of Death Penalty, tahun 1990. protocol opsional ini bertujuan untuk menghapuskan pidana mati. Hingga saat ini, tercatat 50 negara telah meratifikasi;
(4)  Protocol No.6 Europian Convention far The Protection Human Rights and Fundamental Freedom, tahun 1950 (berlaku mulai 1 Naret 1985). Instrumen ini bertujuan untuk menghapuskan pidana mati si kawasan Eropa;
(5)   The Rome Statute of International Criminal Court, 17 Juli 1998. dalam Pasal 7 tidak mengatur pidana mati sebagai salah satu cara pemidanaan. Hingga saat ini, tercatat 94 negara telah meratifikasi instrument ini.[10]

Dengan segala pro dan kontra atas penerapan pidana mati di Indonesia, jenis pidana ini masih tetap diterapkan bahkan tercantum dalam Konsep Rancangan KUHP Baru Indonesia. Bila dihubungkan dengan terpidana mati itu sendiri, terpidana mati berhak mengajukan upaya hukum, baik melalui penasihat hukumnya, keluarganya, atau dirinya sendiri. Upaya hukum itu mencakup banding, kasasi,  dan peninjauan kembali. Selain itu, baik melalui dirinya sendiri, keluarga, atau kuasa hukumnya, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada presiden.
Mengenai kewenangan presiden meberikan grasi, disebut kewenangan presiden yang bersifat judicial, atau disebut juga sebagai kekuasaan presiden dengan konsultasi. Kekuasaan dengan kosultasi adalah kekuasaan yang dalam pelaksanaannya memerlukan usulan atau nasehat dari institusi-institusi yang berkaitan dengan materi kekuasaan tersebut. Selain grasi dan rehabilitasi, amnesti dan abolisi juga termasuk dalam kekuasaan presiden dengan konsultasi. Seperti tercantum dalam Pasal 14 ayat (1) Amandemen Undang-undang Dasar 1945, “Presiden memberikan amnesti dan abolisi atas pertimbangan DPR”.
Kewenangan Presiden memberikn grasi terkait dengan hukum pidana dalam arti subyektif. Hukum pidana subyektif membahas mengenai hak negar untuk menjatuhkan dan menjalankan pidana.  Hak negara yang demikian ini merupakan hak negara yang besar, sehingga perlu dicari dasar pijakannya melalui teori pemidanaan. Oleh karena  itu, Presiden dalam memberikan grasi harus  didasarkan  pada   teori  pemidanaan.       
Masalah grasi mulai banyak diperbincangkan akhir-akhir ini, sejak pertengahan 2003 lalu presiden Megawati Soekarnoputri menolak permohonan grasi enam terpidana mati. Mereka adalah lima orang terlibat pembunuhan, dan satu orang dalam kasus narkoba[11]. Pemberian grasi pada masa Orde Baru bukan suatu hal yang baru. Grasi berupa perubahan status terpidana mati menjadi seumur hidup, pernah diberikan kepada Soebandrio dan Omar Dhani. Demikian pula terhadap sembilan terpidana lain (1980), setelah itu, tidak kurang dari 101 permohonan grasi diberikan oleh presiden Soeharto[12]. Tentu saja hal ini bukanlah jumlah yang sedikit, mengingat kekuasaan Orde Baru telah bertengger selama 32 tahun.
Pada tahun 1997, hakim Pengadilan Negeri Sekayu Sumatera Selatan menjatuhkan vonis pidana mati kepada Jurit Bin Abdullah dan seorang rekannya. Jurit dan rekannya didakwa telah melakukan pembunuhan berencana terhadap Soleh Bin Zaidan di Mariana, Banyuasin, Sumatera Selatan, lewat  Putusan No 310/Pid B/1997 PN Sekayu. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan dengan Putusan No 30/Pid/PT, 21 April 1998, juga memvonis pidana mati kepada Jurit dan rekannya. Putusan ini sekaligus menguatkan putusan dari pengadilan sebelumnya. Kemudian mereka langsung mengajukan grasi, namun grasi ini ditolak oleh presiden. Sedangkan permohonan Peninjauan Kembali Jurit terdaftar di Pengadilan Negeri Sekayu pada 17 Febuari 2003. Permohonan Peninjauan Kembali itu diajukan secara pribadi oleh Jurit melalui LP Kelas I Palembang, tempat dirinya menjalani hukuman. Permohonan Peninjauan Kembali ini juga ditolak.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, Jurit juga didakwa dengan kasus pembunuhan yang lain. Yaitu pembunuhan terhadap Arpan Bin Cik Din pada 27 Agustus 1997 di Mariana, Banyuasin. Dalam kasus ini hakim Pengadilan Negeri Palembang memvonis pidana penjara seumur hidup. Peninjauan Kembali yang diajukan dalam rangka kasus ini juga dinyatakan tidak dapat diterima.
Beberapa resiko yang dikhawatirkan sebagai akibat dari vonis yang dijatuhkan oleh hakim, khususnya untuk pidana maksimal seperti pidana mati, yaitu adanya kemungkinan terjadi eksekusi terhadap innocent people. Selain itu, adanya kekhilafan dalam proses hukum, meliputi proses penuntutan, penangkapan yang salah, atau keterangan dari saksi yang tidak dapat dipercaya, bisa  saja terjadi[13]. Boleh dibilang grasi merupakan salah satu lembaga yang bisa mengkoreksi dan mengatasi resiko tersebut. Itulah sebabnya mengapa grasi berada di luar lingkup peradilan pidana. Hal ini memberikan indikasi bahwa, meskipun grasi merupakan kewenangan presiden yang berada dalam lingkup Hukum Tata Negara, hukum pidana juga memandang tentang keberadaan grasi dalam hal upaya dari terpidana untuk menghindarkan dari eksekusi putusan.
Berdasarkan paparan yang telah diuraikan di atas, maka penulis berinisiatif  untuk menuangkan tulisan ini dalam bentuk skripsi yang berjudul  “EKSISTENSI GRASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA”.

B.  Permasalahan
            Sehubungan dengan latar belakang pemilihan judul di atas, maka  timbul permasalahan yang akan diangkat dalam penulisan skripsi ini, yaitu: Bagaimanakah eksistensi grasi dalam perspektif hukum pidana?
C.  Ruang Lingkup
      Untuk  mendapatkan  gambaran yang  lebih  jelas   dan menyeluruh  mengenai
pembahasan skripsi ini, serta untuk menghindari agar pembahasan tidak menyimpang dari permasalahan yang diangkat, maka untuk itu penulis perlu memberikan batasan ruang lingkup penulisan yaitu hanya mengenai masalah eksistensi grasi dalam perspektif hukum pidana.

D.    Tujuan dan Manfaat Penulisan
  1. Tujuan
Penulisan ini bertujuan untuk:
Mengetahui eksistensi dan kedudukan grasi dalam perspektif hukum pidana secara umum.
  1. Manfaat
Manfaat yang ingin dicapai oleh penulis dalam skripsi ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, sebagai berikut:
    1. Manfaat Teoritis
Penulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis, mahasiswa, pemerintah, maupun masyarakat umum mengenai grasi dan eksistensinya dalam perspektif hukum pidana. Dan menambah perbendaharaan atas kepustakaan hukum pidana.

    1. Manfaat Praktis
Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pemerintah, pembentuk Undang-undang, serta masyarakat.

E.     Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian
Penulis dalam penulisan skripsi ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis, dengan pendekatan yuridis normatif[14]. Yaitu penelitian yang dilakukan dengan mendasarkan pada data kepustakaan atau data sekunder.
  1. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang berdasarkan pada data sekunder. Data sekunder ini diperoleh dari studi kepustakaan dan dokumen, terutama bahan hukum yang berkaitan dengan grasi.
  1. Teknik Pengumpulan Data
Data didapatkan dengan menggunakan bahan hukum yang berkaitan dengan masalah grasi. Data yang diperoleh dari bahan hukum yaitu[15]:
a.       Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari:
1)      KUHP;
2)      KUHAP;
3)      RKUHP;
4)      Amandemen UUD 1945;
5)      Undang- undang No.22 Tahun 2002 tentang Grasi;
6)      Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasan Kehakiman.
b.      Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, doktrin,  yurisprudensi, dan azas-azas hukum.
c.       Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, terdiri dari:
1)                                          Kamus Umum Bahasa Indonesia;
2)                                                                                                      Kamus Hukum;
3)                                                                                                      Buku literatur;
4)                                                                                                      Hasil-hasil penelitian;
5)                                                                                                      Hasil karya dari kalangan hukum;
6)                                                                                                      Majalah, koran, media cetak dan elektronik.
  1. Menganalisis Data
      Pada tahap selanjutnya, setelah memperoleh data dan mengolah data tersebut, maka dilanjutkan dengan menganalisis data yang diperoleh baik dari bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder dan membahas permasalahannya. Dengan penganalisaan data primer dan data sekunder secara kualitatif dari sudut pandang ilmu hukum. Data primer dan data sekunder yang diperoleh dari penelitian telah disusun dengan teratur dan sistematis, kemudian dianalisa untuk mendapatkan suatu kesimpulan.
BAB II
TIJAUAN UMUM

                Seperti  kita  ketahui sebelumnya, grasi merupakan hak preogratif yang dimiliki oleh Presiden. Dalam keputusan dari  permohonan grasi  ini, baik  diitolak atau dikabulkan oleh Presiden, dasar keputusannya tetap didasarkan pada teori pemidanaan. Hal ini tidak berbeda  dengan penjatuha pidana yang dijatuhkan oleh hakim kepada pelaku tindak pidana, yang juga didasarkan pada  teori  pemidanaan. Seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana, dipidana dengan pidana berdasarkan Pasal 10 KUHP. Bentuk-bentuk pidana  berdasarkan Pasal 10   KUHP, terdiri dari:
1)      Pidana pokok, terdiri atas:
a)      Pidana mati;
b)      Pidana penjara;
c)      Pidana kurungan;
d)     Pidana denda;
e)      Pidana tutupan (Undang-undang No.20  Tahun 1946).
       2)  Pidana   tambahan, terdiri atas:
a)      Pencabutan  hak-hak tertentu;
b)      Pengumuman putusan hakim;
c)      Perampasan benda-benda tertentu.

         Sedangkan bentuk-bentuk atau jenis-jenis pidana menurut  Rancangan  KUHP  Nasional, yaitu:
1)   Pidana pokok, adalah:
Ke-1 Pidana penjara
Ke-2 Pidana tutupan
Ke-3 Pidana pengawasan
Ke-4 Pidana denda
Ke-5 Pidana kerja sosial
2)      Pidana tambahan, adalah:
Ke-1 Pencabutan hak-hak tetentu
Ke-2 Perampasan barang-barang tertentu dengan tagihan
Ke-3 Pengumuman putusan hakim
Ke-4 Pembayaran ganti   rugi
Ke-5  Pemenuhan kewajiban adat.


A.    Dasar Hukum Grasi
               Pada mulanya pemberian grasi atau pengampunan di zaman kerajaan    absolut di Eropa, adalah berupa anugerah raja (vorstelijke  gunst) yang  memberikan pengampunan terhadap orang yang telah dipidana.  Jadi sifatnya sebagai kemurahan  hati raja yang berkuasa.  Tetapi setelah tumbuhnya negara-negara modern, di mana kekuasaan kehakiman telah terpisah   dengan kekuasan pemerintahan atas pengaruh dari paham trias politica, maka pemberian grasi berubah sifatnya menjadi upaya koreksi terhadap putusan pengadilan khususnya  mengenai   pelaksanannya.
                  Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, eksistensi berarti adanya atau keberadaan[16]. Sedangkan grasi, dalam Kamus Hukum berarti wewenang dari kepala negara untuk memberi pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim untuk menghapuskan seluruhnya, sebagian, atau merobah sifat atau bentuk hukuman itu[17].
   Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No.22 Tahun 2002 tentang Grasi[18], menyebutkan bahwa “Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden”. Jadi, dapat disimpulkan bahwa grasi adalah hak presiden untuk menghapuskan hukuman keseluruhannya ataupun sebagian yang dijatuhkan oleh hakim, atau menukarkan hukuman itu dengan yang lebih ringan menurut urutan Pasal 10 KUHP.
Sebelum berlakunya Undang-undang No.22 Tahun 2002 tentang Grasi, dua Konstitusi yang pernah berlaku yakni Konstitusi RIS 1949 dan UUDS  1950, juga memberikan dasar kepada Presiden untuk memberikan grasi. Dalam dua Konstitusi ini, rumusan mengenai grasi justru diatur lebih lengkap. Pasal 160 ayat   (1) dan (2) Konstitusi RIS, merumuskan sebagai berikut:
(1)      Presiden mempunyai hak memberi ampun dari hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan kehakiman.  Hak itu dilakukannya sesudah meminta nasihat dari Mahkamah Agung, sekedar dengan Undang-undang federal tidak ditunjuk pengadilan yang lain untuk memberi  nasihat.
(2)      Jika hukuman mati dijatuhkan, maka keputusan kehakiman itu tidak dapat dijalankan, melainkan sesudah presiden, menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan Undang-undang federal diberikan kesempatan untuk memberikan ampun.

         Sedangkan dalam UUDS 1950 yang diundangkan tanggal 15 Agustus  1950, pada Pasal 107 ayat (1) dan (2), dicantumkan pula tentang hak Presiden tersebut yang rumusannya senada dengan Pasal 160 ayat (1) dan (2) Konstitusi RIS tersebut. Yaitu sebagai berikut:
(1)        Presiden mempunyai hak memberi grasi dari hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan pengadilan. Hak itu dilakukannya sesudah meminta nasihat dari Mahkamah Agung, sekedar dengan Undang-undang tidak ditunjuk  pengadilan yang lain untuk memberi nasihat.
(2)        Jika hukuman mati dijatuhkan, maka keputusan pengadilan itu tidak dapat dijalankan, melainkan sesudah Presiden, menurut aturan-aturan yang ditetapkan Undang-undang, diberikan kesempatan untuk memberikan grasi.
        
         Ketika berlakunya Kontitusi RIS 1949,  diundangkan Undang-undang Darurat No.3 Tahun 1950 tentang Grasi pada 6 Juli 1950. Pada zaman Hindia Belanda, mengenai hukum acara grasi diatur dalam Gratieregeling (Stb. 1933 No.2). Setelah Proklamasi, dikeluarkan Peraturan Pemerintah RI No.67 Tahun 1948 tentang Permohonan Grasi. Keduanya  kemudian dicabut oleh   Undang-undang No.3  Tahun 1950 tentang Grasi (L.N. 1950 No. 40), yang juga dicabut oleh Undang-undang No.22 Tahun 2002 tentang Grasi (L.N. 2002  No.108). 
 Keterangan mengenai grasi di dalam KUHP, hanya terdapat dalam satu Pasal saja. Yaitu pada Pasal 33a, yang berbunyi:
 “Jika orang yang ditahan sementara dijatuhi pidana penjara atau pidana kurungan, dan kemudian dia sendiri atau orang lain dengan persetujuannya mengajukan permohonan ampun, maka waktu mulai permohonan diajukan hingga ada putusan presiden, tidak dihitung sebagai waktu menjalani pidana, kecuali jika presiden, dengan mengingat keadaan perkaranya, menentukan bahwa waktu itu seluruhnya atau sebagian dihitung sebagai waktu menjalani pidana”.

               Pasal 33a tersebut tidak mengatur mengenai grasi secara lengkap. Namun hanya mengatur mengenai waktu menjalani hukuman bagi yang mengajukan permohonan grasi, dalam hal yang berkepentingan dijatuhi hukuman pidana penjara atau hukuman pidana kurungan.
             Permohonan grasi kepada Presiden dapat diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Artinya, setelah suatu perkara selesai diputus oleh hakim, barulah dapat diajukan permohonan grasi. Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah putusan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, dan pidana penjara paling rendah selama 2 (dua) tahun. Namun, terpidana yang biasanya mengajukan permohonan grasi adalah terpidana yang dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.
               Hukuman pidana penjara dalam waktu tertentu maupun hukuman pidana penjara seumur hidup, eksekusinya dilakukan oleh jaksa yaitu dijalankan oleh terpidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Sedangkan untuk pidana mati, menurut Pasal 11 KUHP, eksekusi dilakukan dengan cara digantung di tiang gantungan. Namun, melalui ketentuan Undang-undang No.11 Tahun 1964, eksekusi dilakukan oleh regu tembak.
               Permohonan grasi sebagaimana dimaksud , hanya dapat diajukan satu kali, kecuali dalam hal:
a. terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu dua tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut; atau
b. terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana seumur hidup dan telah lewat waktu dua tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima.
Permohonan grasi dapat diajukan oleh terpidana sendiri, kuasa hukumnya, atau keluarga terpidana dengan persetujuan terpidana. Dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa persetujuan dari terpidana.   Permohonan grasi ini diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya, kepada Presiden.
Dalam permohonan grasi ini, Presiden berhak mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan, setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 14 ayat (1) Amandemen Undang-undang Dasar 1945,  “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung”. Pernyataan ini juga sejalan dengan  isi Pasal 27 Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman[19], “Mahkamah Agung dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum,  kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan apabila diminta”. Oleh karenanya kewenangan Presiden memberikan grasi ini disebut kewenangan dengan konsultasi, maksudnya kewenangan yang memerlukan usulan atau nasihat dari institusi lain. Selain grasi, yang termasuk dalam kewenangan dengan konsultasi yaitu kewenangan memberikan amnesti dan abolisi, dan kewenangan memberikan rehabilitasi.
Adapun mengenai wewenang Presiden, biasanya dirinci secara tegas dalam Undang-ndang Dasar. Perincian kewenangan ini penting untuk membatasi sehingga Presiden tidak bertindak sewenang-wenang. Beberapa kewenangan Presiden yang biasa dirumuskan dalam Undang-undang Dasar berbagai negara, mencakup lingkup kewenangan sebagai berikut:
a.       Kewenangan yang bersifat eksekutif atau menyelenggarakan berdasarkan Undang-undang Dasar (to govern based on constitution). Bahkan, dalam sistim yang lebih ketat, semua kegiatan pemerintahan yang dilakukan oleh Presiden haruslah didasarkan atas perintah konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian kecenderungan yang biasa terjadi dengan apa yang disebut dengan discretionary power, dibatasi sesempit mungkin wilayahnya.
b.      Kewenangan yang bersifat legislatif atau untuk mengatur kepentingan umum atau publik (to regulate public affairs based on the law and the constitution). Dalam sistim pemisahan kekuasaan (separation of power), kewenangan untuk mengatur ini dianggap ada di tangan lembaga perwakilan, bukan di tangan eksekutif. Jika lembaga eksekutif merasa perlu mengatur maka kewenangan mengatur di tangan eksekutif itu bersifat derivatif dari kewenangan legislatif. Artinya, Presiden tidak boleh menetapkan suatu, misalnya Keputusan Presiden tidak boleh lagi bersifat mengatur secara mandiri seperti dipahami selama ini.
c.       Kewenangan yang bersifat judisial dalam rangka pemulihan yang terkait dengan putusan pengadilan, yaitu untuk mengurangi hukuman, memberikan pengampunan, ataupun menghapuskan tuntutan yang terkait erat dengan kewenangan pengadilan. Dalam sistim parlementer yang mempunyai Kepala Negara, ini biasanya mudah dipahami karena adanya peran simbolik yang berada di tangan Kepala Negara. Tetapi dalam sistim presidensiil, kewenangan untuk memberikan grasi, abolisi, dan amnesti itu ditentukan berada di tangan Presiden.
d.      Kewenangan yang bersifat diplomatik, yaitu menjalankan perhubungan dengan negara lain atau subjek hukum internasional lainnya dalam konteks hubungan luar negeri, baik dalam keadaan perang maupun damai. Presiden adalah pucuk pimpinan negara, dan karena itu dialah yang menjadi simbol kedaulatan politik suatu negara dalam berhadapan dengan negara lain. Dengan persetujuan parlemen, dia jugalah yang memiliki kewenangan politik untuk menyatakan perang dan berdamai dengan negara lain.
e.       Kewenangan yang bersifat administratif untuk mengangkat dan memberhentikan orang dalam jabatan-jabatan kenegaraan dan jabatan-jabatan administrasi negara. Karena Presiden juga merupakan kepala eksekutif maka sudah semestinya dia berhak untuk mengangkat dan memberhentikan orang dalam jabatan pemerintahan atau jabatan administrasi negara[20].

         Kelima jenis kewenangan di atas sangat luas cakupannya, sehingga perlu diatur dan ditentukan batas-batasnya dalam Undang-undang Dasar atau Undang-undang. Oleh karena itu, biasanya ditentukan:
a.       Penyelengaraan pemerintahan oleh Presiden haruslah didasarkan atas Undang-undang Dasar;
b.      Dalam sistem pemisahan pemisahan kekuasaan dan checks and balances, kewenangan regulatif bersifat derivatif dari kewenangan legislatif yang dimiliki oleh parlemen;
c.       Dalam sistem pemerintahan parlementer, jabatan kepala pemerintahan biasanya dibedakan dan bahkan dipisahkan dari kepala pemerintahan. Kepala negara biasanya dianggap berwenang pula memberikan grasi, abolisi, dan amnesti untuk kepentingan memulihkan keadilan. Namun, dalam sistem presidensiil  kewenangan tersebut dianggap ada pada presiden yang merupakan kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan.  Untuk membatasi kewenangan tersebut, presiden harus mendapatkan pertimbangan dari Mahkamah Agung atau Dewan Perwakilan Rakyat sebelum memberikan grasi, amnesti, dan abolisi;
d.      Dalam konteks hubungan diplomatik, puncak jabatan adalah presiden. Untuk membatasi agar jangan sampai presiden mengadakan perjanjian yang merugikan kepentingan rakyat, maka setiap perjanjian internasional harus mendapat persetujuan lembaga perwakilan rakyat (parlemen). Begitu juga halnya mengenai pernyataan perang dengan negara lain;
e.       Kewenangan yang bersifat administratif, meliputi pengangkatan dan pemberhentian pejabat publik, juga tetap harus diatur dan dibatasi[21].  

Dengan adanya peran serta Mahkamah agung dalam hal pertimbangan pemberian grasi ini, memberikan indikasi pembatasan terhadap otoritasi presiden. Sebagaimana kita ketahui, sistim presidensiil yang dianut oleh negara ini mempunyai kelemahan berupa kecenderungan terlalu kuatnya otoritas dan konsentrasi kekuasaan di tangan Presiden. Dan dengan pembatasan ini, hak preogratif presiden tidak lagi bersifat mutlak.
Dalam hal permohonan grasi diajukan dalam jangka waktu yang bersamaan dengan permohonan peninjauan kembali atau jangka waktu antara kedua permohonan tersebut tidak terlalu lama, maka permohonan peninjauan kembali yang diputus terlebih dahulu. Selanjutnya, keputusan permohonan grasi ditetapkan paling lambat tiga bulan sejak salinan putusan peninjauan kembali diterima Presiden.
Hasil keputusan permohonan grasi yang dituangkan dalam bentuk Keputusan Presiden, dapat berupa penolakan atau penerimaan grasi. Penerimaan permohonan grasi dapat berupa:
1)      Peringanan atau perubahan jenis pidana;
2)      Pengurangan jumlah pidana;
3)      Penghapusan pelaksanaan pidana.



B. Teori  Pemidanaan
               Sebelum membahas mengenai teori  pemidanaan, berikut ini akan diberikan penjelasan singkat mengenai pembedaan hukum pidana. Dalam hukum pidana dikenal pembedaan antara hukum pidana dalam arti objektif dan hukum pidana dalam arti subjektif.
1.  Hukum Pidana Dalam Arti Objektif (Ius Ponale).
            Yaitu sejumlah peraturan yang mengandung larangan atau keharusan dimana terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana.
a.       Hukum Pidana Materiil, mengenai:
·    Peraturan yang diancam pidana;
·    Siapa yang dapat dipidana;
·    Pidana apa yang dijatuhkan.
b.      Hukum Pidana Formil,  mengenai sejumlah peraturan yang mengandung cara-cara negara menggunakan haknya untuk melaksanakan pemidanaan.
2.  Hukum Pidana Dalam arti Subjektif (Ius Poenendi)
·         Sejumlah peraturan mengenai hak untuk memidana seseorang yang melakukan yang dilanggar;
·         Hak untuk mengancam (dalam Undang-undang);
·         Hak untuk menjatuhkan pidana;
·         Hak untuk melaksanakan pidana[22].

                  Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum pidana dalam arti objektif berisi tentang perbuatan yang dilarang, yang terhadap perbuatan-perbuatan itu telah ditetapkan ancaman pidananya kepada setiap orang yang melakukannya. Sedangkan hukum pidana dalam arti subjektif berarti suatu hak atau kewenangan negara untuk menjatuhkan dan menjalankan pidana kepada orang yang terbukti telah melanggar hukum pidana. Hak dan kewenangan negara tersebut merupakan kekuasaan negara  yang besar, sehingga perlu dicari dan diterangkan dasar-dasarnya.
                  Teori-teori pemidanaan berhubungan langsung dengan hukum pidana dalam arti subjektif. Karena teori-teori ini menerangkan mengenai dasar-dasar dari hak negara dalam menjatuhkan dan menjalankan pidana. Kira-kira setelah abad 19, muncul teori-teori  pembaharuan mengenai tujuan pemidanaan. Teori-teori tersebut yakni teori pembalasan, teori tujuan, dan teori gabungan.  Jan Remmelink mengatakan selain adanya ketiga teori tersebut, ia juga menyebutkan mengenai teori perjanjian[23]. Menurutnya, teori hukum kodrat dan perjanjian dipandang sebagai satu-satunya yang benar. Secara kodrati adalah wajar seseorang yang melakukan kejahatan akan menerima kembali balasan yang setimpal, terhadap ketentuan kodrati demikian individu dianggap menundukkan diri.
                  Beberapa penulis bahkan meletakkan landasan kewenangan penguasa untuk menjatuhkan pidana pada kontrak antara individu dan negara. Sering kali hal itu dikonstruksikan sebagai kontrak sosial. Misalnya Fichte, berargumentasi bahwa melalui kejahatan yang dilakukannya, seorang penjahat memutuskan kontrak yang merupakan dasar keterikatannya sebagai anggota masyarakat. Dengan cara itu ia memutus hubungan dengan masyarakat, sehingga ia tidak lagi memiliki hak-hak maupun kedamaian. Dalam pandangan seperti itu, pidana merupakan hak istimewa dengan cara mana warga membeli kembali keanggotaannya (dalam masyarakat) dan mengakhiri status tanpa haknya (sebagai non warga).
                  Namun sebelum munculnya  teori-teori  tersebut, sebelumnya ada dua aliran utama, yakni aliran retributivisme dan aliran utilitarisme.
1.  Aliran Retributivisme
Aliran ini membenarkan hukum dengan dasar si terhukum memang layak dihukum atas kesalahan yang sudah terbukti, yang secara sadar dilakukan. Aliran ini mempunyai kelemahan, berupa tidak dapat meyakini secara sosial bahwa setiap hukuman akan membawa konsekuensi positif pada masyarakat.
2.      Aliran Utilitarisme
Aliran ini membenarkan hukuman dengan dasar prinsip kemanfaatan, yaitu bahwa hukuman akan mempunyai dampak positif pada masyarakat. Kelemahan teori ini yaitu tidak dapat mengakui bahwa penjatuhan hukuman semata-mata oleh karena kesalahanya dan bahwa  hukuman itu merupakan kesebandingan retribusi.
           Konflik antara kedua teori tersebut tidak teratasi. Para filsuf hukum percaya harus ada jalan tengah yaitu berupa  penggabungan antara keduanya. H.L.A. Hart berupaya  mencari jalan tengah dari kedua kutub tersebut,  dengan mengajukan tiga pertanyaan  pokok berupa:
1)      Apakah dasar pembenaran praktek hukuman, dan bagaimana distribusinya?
2)      Siapa yang harus dihukum?
3)      Berapa berat hukuman yang harus dijatuhkan? 
                Dalam pertanyaan ketiganya, Hart terkesan tidak jelas. Sehingga menimbulkan berbagai penafsiran tentang apakah jumlah hukuman harus diukur berdasarkan kerugian yang ditimbulkan, atau berdasarkan efek-efek sosial yang ditimbulkan menurut  perbandingan antara perlindungan yang harus diberikan kepada masyarakat dengan kerugian yang ditimbulkan dan besarnya kesalahan.
            Hingga kemudian muncul tiga teori pembaharuan mengenai pemidanaan, yakni berupa: 
1.   Teori Pembalasan (Absolut)
                Teori yang muncul pada akhir abad 18 ini menghendaki agar setiap perbuatan melawan hukum itu harus dibalas.   Tujuan pidana sebagai pembalasan pada umumnya dapat menimbulkan rasa puas bagi  orang dengan jalan menjatuhkan pidana yang setimpal dengan perbuatannya.
               Pada masyarakat Jawa ada semboyan “hutang pati nyaur pati”, yang maksudnya orang yang membunuh harus juga dibunuh. Dalam Kitab Suci Al-Qur’an Surah An Nisaa ayat 93, menyatakan “Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya”[24]. Dari kutipan tersebut menunjukkan bahwa di dalamnya terkandung makna pembalasan yang setimpal di dalam suatu pidana.
               Tindakan pembalasan di dalam penjatuhan pidana mempunyai dua arah, yaitu:
a. Ditujukan kepada pelakunya (sudut subyektif dari pembalasan);
b. Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di kalangan      masyarakat (sudut obyektif dari pembalasan).  
               Ada beberapa macam dasar atau alasan pertimbangan tentang adanya keharusan untuk diadakannya pembalasan itu, yaitu:
a.  Dari sudut Ketuhanan
               Pandangan ini dianut oleh Thomas  van  Aquino, Stahl, dan Rambonet. Menurut pandangan ini, hukum adalah suatu aturan yang bersumber pada aturan Tuhan yang diturunkan melalui pemerintah negara sebagai wakil Tuhan di dunia. Oleh karenanya, negara wajib memelihara dan melaksanakan hukum dengan cara membalas dengan setimpal bagi setiap pelanggar hukum.
b.  Dari sudut Ethika
               Pandangan ini berasal dari Immanuel Kant, yang dikenal dengan teori “de ethische vergeldings theorie”. Berdasarkan pandangan ini, menurut ratio, tiap kejahatan itu harus diikuti oleh suatu pidana. Menjatuhkan pidana adalah suatu yang dituntut oleh keadilan ethis, yang merupakan syarat ethika. Negara mempunyai hak untuk menjatuhkan dan menjalankan pidana dalam rangka memenuhi tuntutan ethika tersebut.
c.  Dari sudut Alam Pikiran Dialektika
               Pandangan ini berasal dari Hegel. Menurutnya, pidana mutlak harus ada sebagai reaksi dari setiap kejahatan. Hukum dan keadilan merupakan suatu kenyataan (these). Jika seseorang melakukan kejahatan, berarti ia mengingkari kenyataan adanya hukum (anti these). Oleh karena itulah harus diikuti dengan suatu pidana berupa ketidakadilan terhadap pelakunya (synthese) untuk mengembalikan menjadi suatu keadilan atau kembali tegaknya hukum (these).
d.  Dari sudut Aesthetica
               Pandangan ini berasal dari Herbart, yang dikenal dengan teori “de aesthetica theorie”. Menurut teori ini, apabila kejahatan tidak dibalas maka akan menimbulkan rasa ketidakpuasan pada masyarakat. Agar kepuasan dapat dicapai, maka dari sudut aesthetica harus dibalas dengan penjatuhan pidana yang setimpal.

2. Teori Tujuan (Relatif)
               Berdasarkan pendirian dan azas bahwa tertib hukum perlu diperhatikan,              akibatnya tujuan pidana adalah untuk prevensi terjadinya kejahatan. Pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib diperlukan pidana.
               Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat  tersebut, maka pidana itu mempunyai tiga macam sifat, yaitu:
a. Bersifat menakut-nakuti (afschrikking);
b. Bersifat memperbaiki (verbetering/reclasering);
c. Bersifat membinasakan (onechadelijk maken).
               Teori ini dibedakan dua, yaitu
a.  Pencegahan  umum (Preventie General)
            Bersifat murni, semua teori pemidanaan harus ditujukan untuk menakut- nakuti semua orang supaya tidak melakukan kejahatan, dengan jalan pelaksanaan pidana yang dipertontonkan. Teori ini banyak dianut oleh negara-negara di Eropa Barat sebelum Revolusi Perancis (1789-1794). Namun kemudian teori ini banyak ditentang , diantaranya oleh Beccaria (1738-1794) dan Von Feuerbach  (1775-1833).
            Beccaria menginginkan agar pidana mati dan pidana penyiksaan yang dilakukan secara kejam, dihapuskan dan diganti dengan pidana yang memperhatikan perikemanusiaan. Penjatuhan pidana yang berupa penderitaan itu jangan sampai melebihi penderitaan yang diakibatkan oleh perbuatan pelaku yang dipidana tersebut.
            Sedangkan Von Feuerbach dengan teorinya “psychologische zwang”, menyatakan sifat menakut-nakuti dari pidana itu, bukan pada penjatuhan pidananya tetapi pada aturan ancaman pidananya yag diketahui oleh khalayak umum. Ancaman pidana dapat menimbulkan tekanan atau pengaruh kejiwaan bagi setiap orang untuk menjadi takut melakukan kejahatan. Teori ini muncul kembali pada azas legalitas, karena Von yang mengeluarkan ungkapan “nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali”. Namun teori ini mempunyai beberapa kelemahan, yaitu:
·         Terhadap pelaku yang pernah atau beberapa kali melakukan kejahatan dan dipidana serta menjalaninya, maka perasaan takut terhadap ancaman pidana tersebut menjadi sedikit atau bahkan hilang;
·         Ancaman pidana yang ditetapkan terlebih dahulu itu bisa saja tidak sesuai dengan kejahatan yang dilakukan. Karena begitu sulit untuk terlebih dahulu menentukan batas-batas beratnya pidana yang diancamkan, agar sesuai dengan perbuatan yang diancam pidana tersebut;
·         Terhadap orang-orang atau penjahat yang picik (bodoh) atau yang tidak mengetahiu perihal ancaman pidana itu, maka sifat menakut-nakutinya menjadi lemah atau tidak ada sama sekali.
                        Adanya kelemahan teori tersebut, mengakibatkan munculnya teori pencegahan umum yang menitikberatkan sifat menakut-nakuti pada penjatuhan pidana secara konkrit oleh hakim pada pelaku, yang dipelopori oleh Muller. Dengan tujuan memberi rasa takut kepada pelaku, maka hakim diperkenankan menjatuhkan pidana yang beratnya melebihi dari beratnya ancaman pidananya. Maksudnya agar para pelaku lain menjadi terkejut kemudian menjadi sadar bahwa perbuatannya dapat dijatuhi pidana yang lebih berat.
b.  Pencegahan  khusus (Preventie Special)
               Bertujuan mencegah niat buruk pelaku (dader) melakukan pengulangan perbuatannya atau mencegah pelanggar melaksanakan perbuatan jahat yang direncanakannya. Tujuan ini dapat dicapai dengan jalan menjatuhkan pidana, yang sifatnya ada tiga macam, yaitu:

  • Menakut-nakutinya;
  • Memperbaikinya, dan
  • Membuatnya menjadi tidak berdaya.
               Pendukung teori ini adalah Van Hamel (1842-1917), yang berpandangan bahwa pencegahan umum dan pembalasan tidak boleh dijadikan tujuan dan alasan dari penjatuhan pidana, tetapi pembalasan itu akan timbul dengan sendirinya sebagai akibat dari pidana dan bukan sebab dari adanya pidana.
               Van Hamel membuat suatu gambaran tentang pemidanaan yang bersifat pencegahan khusus, yaitu:
  • Pidana adalah melulu untuk pencegahan khusus, yakni untuk menakut-nakuti orang-orang yang cukup dapat dicegah  dengan cara menakut-nakutinya melalui penjatuhan pidana itu agar ia tidak melakukan niat jahatnya;
  • Apabila tidak dapat lagi ditakut-takuti dengan penjatuhan pidana, maka penjatuhan pidana harus dapat memperbaiki dirinya (reclasering);
  • Apabila tidak dapat lagi diperbaiki, maka penjatuhan pidana harus bersifat membinasakan atau membuatnya tidak berdaya;
  • Tujuan satu-satunya dari pidana adalah mempertahankan tata tertib hukum di dalam masyarakat.

3. Teori Gabungan
               Keberatan-keberatan terhadap teori pembalasan dan teori tujuan, melahirkan teori ketiga yang mendasarkan pada jalan pikiran bahwa pidana hendaknya didasarkan atas tujuan unsure-unsur pembalasan dan mempertahankan ketertiban dalam masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi dengan menitik beratkan pada salah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur lainnya, maupun pada semua unsur yang ada[25].
               Vos menerangkan bahwa di dalam teori gabungan terdapat tiga aliran, yaitu, teori yang menitikberatkan pada pembalasan, teori yang menitikberatkan pada tata tertib hukum, dan teori yang menganggap sama antara keduanya.
a.  Teori yang menitikberatkan pada pembalasan
            Pendukung teori ini adalah Pompe, yang berpandangan bahwa pidana adalah pembalasan pada pelaku, juga untuk mempertahankan tata tertib  hukum, supaya kepentingan umum dapat diselamatkan dan terjamin dari kejahatan. Pidana yang bersifat pembalasan itu dapat dibenarkan apabila bermanfaat  bagi pertahanan tata tertib (hukum) dalam masyarakat.
            Sedangkan Zevenbergen, berpandangan bahwa makna setiap pidana adalah suatu pembalasan, tetapi mempunyai maksud melindungi tata tertib hukum. Sebab pidana itu adalah mengembalikan dan mempertahankan  ketaatan pada hukum. Oleh sebab itu, pidana baru dijatuhkan jika memang tidak ada jalan lain untuk mempertahankan tata tertib hukum.
b.  Teori yang menitikberatkan pada tata tertib hukum
            Menurut pendukung teori ini, Thomas Aquino, yang menjadi dasar pidana itu ialah kesejahteraan umum. Untuk adanya pidana maka harus ada kesalahan pada pelaku, dan kesalahan (schuld) itu hanya terdapat pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sukarela. Sifat membalas dari pidana merupakan sifat umum dari pidana, tetapi bukan tujuan pidana, sebab tujuan pidana adalah pertahanan dan perlindungan tata tertib masyarakat.
c. Teori gabungan yang menitikberatkan sama antara pembalasan dan  perlindungan kepentingan masyarakat
               Penganutnya adalah De Pinto. Selanjutnya oleh Vos diterangkan, karena pada umumnya suatu pidana harus memuaskan masyarakat maka hukum pidana harus disusun sedemikian rupa sebagai suatu hukum pidana yang adil, dengan ide pembalasannya yang tidak mungkin diabaikan baik secara negatif maupun secara positif.
              Sedangkan Simons, mempergunakan jalan pikiran bahwa secara prevensi umum terletak pada ancaman pidananya, dan secara prevensi khusus terletak pada sifat pidana menakutkan, memperbaiki dan membinasakan serta selanjutnya secara absolut pidana itu harus disesuaikan dengan kesadaran hukum anggota masyarakat.
          Sistim pemidanaan dan susunan pidana di dalam WvS Nederlandse dipengaruhi oleh aliran prevensi khusus. Hal ini seperti dinyatakan oleh Pompe dalam Handboek v.h. Ned. Strafrecht 1959. Berbeda dengan pendapat Hazewinkel Suringa, menyatakan bahwa WvS Nederlandse mempunyai tujuan yang kompromis. Menurut literatur mengenai KUHP (Undang-undang No.1 Tahun 1946) dengan menilik sistim dan susunan yang masih belum berubah dari materi hukum induknya (WvS Ned.) dapat dikatakan mempunyai tujuan pidana dengan aliran kompromis atau teori gabungan mencakup semua aspek yang berkembang di dalamnya.
       Di Indonesia, tujuan pemidanaan tidak pernah diatur secara eksplisit dalam Undang-undang hukum pidana, namun dalam Rancangan KUHP dapat dijumpai, yaitu:
·         Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
  • Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikannya orang yang baik dan berguna, serta mampu untuk hidup bermasyarakat;
  • Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
  • Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
              Selain adanya teori-teori mengenai pembenaran hukum pidana tersebut, terdapat juga pandanga-pandangan negatif yang menganggap hukum pidana itu sebagai ketidak adilan. Yakni keberatan dari sisi religius, keberatan biologis, dan keberatan sosial.
1.      Keberatan Religius
                  Beranggapan bahwa pengenaan pidana (pengenaan derita dengan sengaja oleh pihak penguasa) tidak dapat dibenarkan. Leo Tolsoi, berpendapat bahwa kita tidak mungkin menghukum dengan nurani yang bersih. Mereka yakin bahwa orang-orang jahat janga dilawan atau ditolak, orang seperti itu harus dikasihi.
2.  Keberatan Biologis
                  Pandangan yang dikemukakan oleh Max Schlapp dalam bukunya The New Criminology, bahwa gagasan pertanggungjawaban harus ditolak dan pidana dianggap sebagai suatu campur tangan yang buruk. Menurutnya, semua perbuatan asosial bersumberkan dari kerja tidak sempurna kelenjar-kelenjar endokrin, dan sebab itu memandang hukum pidana sebagai a system on ignorance.
3.  Keberatan Sosial
                  Keberatan ini mempertanyakan kewenangan negara untuk menghukum, karena negara sendiri yang secara langsung maupun tidak menetapkan syarat-syarat atau batasan kriminalitas. Lacassagne, salah satu pendukung aliran sosiologis Perancis menyatakan: tout le monde est coupable du crime, excepte le criminel (tiap orang sanggup melakukan delik atau dinyatakan bersalah, terkecuali si penjahat).
                  Sedangkan Clara Wichman, menolak adanya kewenangan negara untuk menghukum, karena dengan itu negara bukan menegakkan tertib hukum, melainkan justru melestarikan penguasaan suatu tertib hukum oleh kelas tertentu dan dengan cara itu membenarkan dan menjaga kelestarian hubungan-hubungan kemasyarakatan yang menguntungkan dominasi penguasa. Setiap penguasa memandang pelanggaran yang ditujukan terhadapnya sebagai bid’ah (penyimpangan aturan).
BAB III
PEMBAHASAN

A. Kekuatan Hukum Putusan Pengadilan (Vonis)
                  Berdasarkan prinsip pemisahan kekuasan, fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif, merupakan cabang-cabang kekuasan yang terpisah satu sama lain. Dengan diterapkannya sistim pemisahan kekuasaan dan prinsip check and balances antara lembaga-lembaga negara, struktur ketatanegaraan Republik Indonesia yang terdiri dari tiga cabang kekuasaan tersebut, saling mengontrol dan saling mengimbangi satu sama lain. Tiga kekuasaan tersebut yakni, kekuasaan eksekutif oleh presiden dan wakil presiden, kekuasaan lelegislatif oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (terdiri atas DPR dan DPRD), dan Kekuasaan Kehakiman oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
                  Kekuasaan kehakiman sebagai satu kesatuan sistim, berpuncak pada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi tidak dikenal dalam konstitusi Negara Republik Indonesia. Mahkamah Konstitusi baru terdapat dalam Perubahan Ketiga Undang-undang Dasar 1945. sebelum adanya perubahan Undang-undang Dasar 1945, kekuasan kehakiman hanya terdiri atas badan-badan peradilan yang berpuncak pada Mahkamah agung.
                  Dalam lingkungan Mahkamah Agung, terdapat empat lingkup peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer. Sebelumnya, administrasi Peradilan Umum berada di bawah Departemen Kehakiman, administrasi Peradilan Agama berada di bawah Departemen Agama, dan Peradilan Militer di bawah organisasi tentara. Namun kini, keempat lingkup peradilan tersebut berada di bawah satu atap, yaitu Mahkamah Agung. Hal ini seperti tercantum dalam Pasal 24 ayat (2) Amandemen Undang-undang Dasar 1945, yamg berbunyi: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dala lingkungan peradilan umum, peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Hal senada dituangka juga dalam Pasal 2 Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman[26], dan Pasal 10 ayat (2) yang lebih spesifik berbunyi: “Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan dalam lingkup Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara”.
                  Mahkamah Agung mempunyai wewenang untuk:
  • Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkup peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung;
  • Sengketa kewenangan (kompetensi pengadilan);
  • Permohonan peninjauan kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (inkracht);
  • Menguji Perundang-undangan di bawah Undang-undang terhadap Undang-undang (juditial review).
                  Selain beberapa hal tersebut, Mahkamah Agung juga mempunyai kewenangan untuk memberikan pendapat hokum atas pemerintahan presiden ataupun lembaga Negara lainnya. Hal ini dianggap perlu agar Mahkamah Agung benar-benar dapat berfungsi sebagai rumah keadilan bagi siapa saja dan lembaga mana saja yang memerlukan pendapat hukum mengenai suatu masalah yang dihadapi[27].  Mengenai hal ini, diatur dalam Pasal 27 Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman[28], yang berbunyi: “Mahkamah agung dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hokum pada lembaga negara dan lembaga pemerintah apabila diminta”.
                  Pasal 24 Amandemen Undang-undang Dasar 1945 jo. Pasal 1 Undang-undang No.4 Thun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan: “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia”. Ketentuan tersebut mengandung makana bahwa kekuasan kehakiman itu bebas dari segala campur tangan kekuasaan ekstra yudisial. Sehingga kekuasaan di luar kekuasaan kehakiman tidak diperkenankan untuk turut campur tangan dalam urusan pengdialan. Cabang kekuasaan lainnya hanya dapat saling mengontrol dengan sistem check and balances, tanpa turut campur tangan.
                  Namun apabila kita telusuri lebih lanjut, pada Pasal 4 ayat (3) Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dinyatakan: “Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-undang Dasar 1945”. Pernyataan ini mengandung makna pengecualian bagi Pasal 1 yang disebutkan sebelumnya. Maksudnya, mengenai campur tangan dalam kekuasaan kehakiman diperbolehkan sejauh yang diatur dalam Undang-undang Dasar 1945.
                  Dalam Pasal 14 Amandemen Undang-undang Dasar 1945, secara umum dapat disimpulkan mengenai adanya intervensi atau campur tangan di bidang kekuasaan yudisial, yang dilakukan oleh Presiden. Jadi mengenai pemberian grasi yang menyangkut dalam linkup kekuasaan yudisial (peradilan). Dengan pengabulan grasi, seseorang dapat lebih ringan, berkurang, atau bahkan hapus sama sekali pelaksanaan pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim.
                  Seperti diketahui sebelumnya, permohonan grasi hanya dapat diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht). Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tidak dapat dilawan dengan upaya hukum biasa, tapi dapat dengan jalan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa menurut KUHAP (Undang-undang No.8 Tahun 1981), terdiri dari: perlawanan (verzet), banding, dan kasasi. Sedangkan upaya hukum luar biasa terdiri atas: kasasi demi kepentingan hukum dan peninjauan kembali keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukun tetap.
                  Bila diperinci lebih lanjut, putusan pengadilan dapat berupa:
1. bebas dari segala tuntutan (vrijspraak);
2. lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging);
3. pemidanaan (veroordelend vonnis).
                  Putusan pengadilan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pelaksanaan eksekusinya dilaksanakan oleh jaksa, dan pengawasannya dilakukan oleh ketua pengadilan yang bersangkutan berdasarkan Undang-undang. Dalam hal pemgajuan permohonan grasi, tidak dapat menunda pelaksanaan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati.
                  Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berupa pemidanaan dalam bentuk apapun, tidak dapat dibatalkan dan diberikan putusan oleh kekuasaan pemerintahan di luar lingkup badan peradilan. Dengan kata lain, putusan tersebut tidak dapat diganggu gugat. Pemberian grasi bukan dimaksudkan untuk menganulir hukum atau membatalkan hukum. Hukum telah ditegakkan. Pemberian grasi sifatnya hanya memberikan pengampunan, tanpa meniadakan kesalahan terpidana.

B. Eksistensi Grasi dalam Perspektif Hukum Pidana
                  Undang- undang tidak mengatur secara eksplisit yang merinci mengenai alasan dari pemberian grasi. Jan Remmelink mengemukakan alasan-alasan pemberian grasi sebagai berikut:
1. Jika setelah vonis berkekuatan hukum pasti terpidana menghadapi suatu keadaan khusus yang sangat tidak menguntungkan baginya. Misalnya terpidana menderita penyakit tidak tersembuhkan atau keluarganya terancam akan tercerai berai;
2. Jika setelah vonis berkekuatan hukum pasti, ternyata bahwa hakim secara tidak layak telah tidak memberi perhatian pada keadaan, yang bila ia ketahui sebelumnya, akan mengakibatkan penjatuhan pidana yang jauh lebih rendah. Patut dicermati bahwa hal ini bukanlah alasan untuk memohonkan peninjauan kembali. Terpikirkan juga sejumlah kesalahan hakim lainnya yang tidak membuka peluang bagi permohonan peninjauan kembali;
3. Jika semenjak putusan berkekuatan hukum pasti, ternyata situasi kemasyarakatan telah berubah total, misalnya deklarasi perihal situasi darurat sipil karena tiadanya pangan telah dicabut atau pandangan politik yang dulu berlaku telah mengalami perubahan mendasar;
4. Jika ternyata telah terjadi kesalahan hukum yang  besar. Terbayangkan di sini putusan-putusan pengadilan terhadap para pelaku kejahatan perang, yang di periksa dan diadili setelah perang usai. Melalui grasi , putusan-putusan yang nyata sangat tidak adil masih dapat diluruskan[29]. 
                  Sedangkan Utrecht, menyebutkan  4 alasan pemberian grasi secara singkat,  yaitu
1. kepentingan keluarga terpidana;
2. terpidana pernah berjasa pada masyarakat;
3. terpidana menderita penyakit yang tidak dapat di sembuhkan;
4. terpidana berkelakuan baik selama berada di lembaga permasyarakatan dan memperlihatkan keinsyafan atas kesalahannya[30].

                  Di negara maju seperti Amerika dan Australia, terdapat lembaga-lembaga pengampunan seperti grasi (clemency), komunikasi (communication), dan pemaafan eksekutif (gubernatorial pardon), sejak tahun 1976 sampai dengan 2005 di seluruh Amerika terdapat 229 terpidana mati yang mendapat grasi (clemency) berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:
Alasan
Jumlah
1.   Permohonan jaksa / hakim / judge / prosecutor
2.   Menjalani lama pemenjaraan / length of sentence
3.   Kemungkinan tidak bersalah (innocence)
4. Pemberian hukuman mati yang tak layak (inproper / death  sentences)
5.   Disparitas / terdakwa
6.   Pandangan / political view
7.   Tak ada alasan / no reason
8.   Keraguan atas kesalahannya / doubt of guilty
9.   Alasan kesehatan mental / dismental
10. Permohonan Paus (John Pope)
11. Cacat hukum / flawed
12. Ketidakadilan
1
8
13
9

3
1
8
10
6
1
167
2

*Sumber: “Executive Clemency Process and Execution warrant Precedure in Death Penalty Cases”, National Coalition to Abolish the Death Penalty (1993) with updates by DPIC.


                  Dari data tersebut, jumlah terbanyak adalah alasan cacat hukum yaitu sebanyak 167 orang. Kemungkinan seperti ini juga mungkin terjadi dalam putusan-putusan pidana di Indonesia. Putusan-putusan yang mempunyai cacat hukum tidak seharusnya diberikan putusan pidana yang berat, apalagi sampai dijatuhi pidana mati. Dengan diberikannya grasi, putusan-putusan yang mempunyai cacat huku diharapkan dapat memperoleh putusan yang lebih adil.
                  Grasi dalam hukum pidana, tidak hanya mengenai ampunan   atau pengurangan hukuman terhadap putusan hakim saja. Kita perlu melihat grasi dari sisi lainnya, untuk mengetahui mengenai eksistensi grasi dalam perspektif hukum pidana. Sisi-sisi lain tersebut, yakni grasi sebagai hak warga negara, grasi mengatasi keterbatasan hukum (recovery system), grasi sebagai dasar hapusnya hak negara menjalankan pidana, dan grasi dihubungkan dengan tujuan pemidanaan.

a.  Grasi Sebagai Hak Warga Negara
                  Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pemberian grasi merupakan pencabutan atau upaya meringankan sanksi yang dijatuhkan melalui putusan pengadilan pidana. Dahulu kala, penguasa beranjak dari kekuasaan mutlak yang dimilikinya menganugerahkan grasi sebagai wujud kebajikan hatinya. Sekarang kita tak lagi mengenal grasi dalam bentuk seperti itu, terutama karena hak prerogatif (hak istemewa) telah diserahkan kepada pemerintah dan pelaksanaannya menjadi tanggung jawab Kepala Negara atau dalam sistem pemerintahan presidensiil ada di tangan presiden.
                  Dalam uraian sebelumnya juga telah dijelaskan mengenai perubahan sistem pemerintahan yang dianut oleh Negara Republik Indonesia, yaitu menjadi presidensiil murni. Dalam sistem pemerintahan presidensiil murni, meskipun tidak ada pembedaan antara Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, tugas dan wewenang presiden sebagai puncak kepemimpinan negara, tetap saja ada tugas dan wewenangnya yang merupakan lingkup pemerintahan atau eksekutif dan kewenangan yang berada di luar lingkup tersebut. Meskipun hal ini tidak secara nyata dibedakan, seperti nampak dalam sistem pemerintahan parlementer.
                  Kewenangan presiden di luar lingkup eksekutif tersebut, misalnya kewenangan di bidang judisial. Kewenangan ini mencakup pemulihan yang terkait dengan putusan pengadilan, yaitu untuk mengurangi hukuman, memberikan pengampunan, ataupun menghapuskan tuntutan yang terkait erat dengan kewenangan pengadilan.
                  Mengenai pemberian ampunan atau grasi, perlu diketahui konsep bahwa terpidana yang mengajukan permohonan grasi ini bukan sebagai terpidana, melainkan sebagai warga negara. Sebagai seorang warga negara, seseorang berhak meminta ampun kepada presiden sebagai pemimpin negara. Pasal 28 D ayat (1) Amandemen Undang-undang Dasar 1945 dalam sub mengenai Hak Asasi Manusia, diatur mengenai “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Inilah yang menjadi dasar setiap warga negara apapun status yang sedang disandangnya, untuk mendapatkan suatu kepastian hukum.
                    Pemberian grasi bukan isu kepastian hukum, tetapi cerminan tingkat kearifan hukum presiden dan juga masyarakat. Dengan adanya pertimbangan dari Mahkamah Agung, dan berbagai faktor sosial serta respon dari kelompok tertentu, pemberian grasi mencerminkan kearifan hukum dari presiden. Mungkin kita lupa bahwa pemberian grasi adalah juga tempat dimana kita memberikan tempat bagi hati nurani kemanusiaan kita.
                  Bagi pemohon yang dijatuhi pidana mati,  grasi merupakan persoalan hidup dan mati. Melalui pemberian grasi, mungkin saja seseorang yang dijatuhi pidana mati dapat menjadi penjara seumur hidup atau pidana penjara dalam waktu tertentu. Hal seperti ini akan terasa lebih arif. Karena terpidana akan mempunyai kesempatan untuk memperbaiki dirinya. Berbeda dengan pidana mati yang tidak memberikan kesempatan bagi terpidana untuk memperbaiki kesalahannya.
                  Seorang pemohon yang mengajukan permohonan grasi mempunyai satu dari dua alasan berikut, mengapa ia mengajukan grasi:
1. seorang yang telah mengakui kesalahannya dan memohon ampun atas kesalahannya, namun pidana yang dijatuhkan kepadanya dirasakannya terlalu berat. Sehingga ia mengajukan grasi dengan harapan memperoleh keringanan pidana (hukuman);
2.  seorang yang merasa dirinya benar-benar tidak bersalah, berniat ingin mencari keadilan bagi dirinya. Dengan mengajukan grasi ia berharap presiden dapat mengoreksi kesalahan pengadilan sebelumnya, sehingga keadilan dapat ditegakkan. 
                        Menurut Adami Chazawi, dengan mengajukan grasi berarti dari sudut hukum pemohon telah dinyatakan bersalah, dan dengan mengajukan  permohonan ampuan (grasi) berarti dia telah mengakui kesalahannya itu[31].

b.  Grasi Mengatasi Keterbatasan Hukum (Recovery System)
                  Keterbatasan dan kelemahan dalam sistem hukum, dapat terjadi dimana saja dan pada tingkat masyarakat manapun. Negara-negara maju seperti Amerika, meskipun tingkat kejahatan dan kontrol terhadap aparat pelaksana hukum sangat tinggi, namun orang masih menyadari kemungkinan terjadi kekeliruan pada subjek orang  dan penerapan hukumnya. Lebih dari pada itu, terdapat pula pengertian bahwa sampai di suatu titik tertentu hukum mempunyai keterbatasan internal (the limit of  law). Seperti tentang adanya kelemahan-kelemahan dalam sistim pengumpulan informasi di lingkungan peradilan pidana yang dapat merusak kehidupan atau masa depan seseorang.
                  Di negara yang menganut sistim common law, dalam hal ini Amerika, sebelum seseorang didakwa dengan pasal pidana mati (capital punishment), saksi- saksi yang mmberatkan terdakwa (ade charge) harus digelar dalam sebuah sidang terpisah atau pendahuluan (preliminary hearing), untuk menentukan apakah kesaksian itu dapat diterima secara hukum dan dapat dijadikan alat bukti di persidangan utama. Tidak dengan mudah sebuah kesaksian yang memberatkan terdakwa dapat diperlakukan sebagai alat bukti.
                  Sistim yang demikian ini tidak terdapat dalam sistim beracara di Indonesia. Seorang terdakwa yang diancaman pidana mati mempunyai kedudukan yang sangat rentan atau lemah. Satu kesaksian atau lebih dapat dengan mudah di gelar tanpa diperiksa tingkat  kelayakannya, yang seharusnya dilaksanakan khusus untuk itu. Bedanya, sistim beracara pidana di Indonesia terkesan begitu mudah memperlakukan sebuah kesaksian menjadi alat bukti yang nota benenya dapat mengakibatkan kehancuran  hidup si terdakwa.
                  Beban mengejar pengajuan target perkara, sering kali mendorong aparat Kepolisian menggunakan cara-cara  yang tidak fair untuk menjebak terdakwa. Saksi terdakwa yang dijadikan saksi memperoleh kemudahan seperti pengurangan hukuman atau bebas dari tuntutan hukum[32]. Praktik demikian ini telah umum di lingkungan para penyidik perkara pidana di Kepolisian.
                  Hakim di Indonesia, sesuai dengan sistim beracara hakim aktif,  mempunyai peran yang aktif dalam persidangan. Peran aktif ini sering kali tidak dijalankan sesuai standar profesi kehakiman. Banyak faktor yang mempengaruhi, diantaranya gaji yang relatif rendah, dan tingkat pendidikan hukum yang hanya S1. Kita dapat membayangkan seseorang yang baru selesai dari program S1, kemudian diterima sebagai hakim dan mengikuti kursus calon hakim selama 12 bulan, kemudian magang selama 6 bulan, lalu mulai menangani perkara.
                  Putusan-putusan  dan analisa hukum hakim tidak tebuka untuk umum. Sehingga publik tidak dapat mengetahui bobot analisa hukum hakim. Hal ini di satu pihak tidak mendidik hakim,  karena tidak ada sarana mempertajam analisa hukum hakim akibatnya sebuah putusan dapat menjadi bias atau error. Keadaan jauh berbeda dengan hakim-hakim di negara maju,  sebelum seseorang menjadi hakim yang bersangkutan harus menjadi jaksa (rata- rata 10 tahun), kemudian menjadi pembela (rata-rata 10 tahun), baru kemudian dia dapat dicalonkan menjadi hakim. Begitupun mengenai putusan pengadilan, meskipun peran hakim pasif dalam sistim juri, hakim selalu memberikan argumen hukum secara tertulis yang dapat dibaca oleh siapapun.
                  Kesemua keterbatasan dan kelemahan sistim hukum tersebut, mengharuskan kita untuk menyingkapi prinsip-prinsip pengambilan keputusan hukum. Bidang-bidang hukum sendiri telah menyediakan lembaga atau sarana untuk memungkinkan memperbaiki ”error-error hukum itu”, seperti adanya lembaga peninjauan kembali ( herziening) yang  dapat digunakan oleh terpidana. Di luar ranah hukum, lembaga rekoveri untuk error itu adalah grasi. Grasi dapat sebagai sarana mengoreksi kesalahan-kesalahan dalam penyelenggaraan hukum. Oleh karenanya lembaga ini tidak dengan kebetulaan berada di luar sistim peradilan. Di sini sebenarnya presiden dapat melakukan koreksi-koreksi dengan menunjukan kearifan hukumnya. Kearifan hukum di perlukan untuk megisi lubang-lubang dalam penyelenggaraan sistem hukum dan peradilan pada khususnya.

c.       Hapusnya Hak Negara Untuk Menjalankan Pidana
                 Jan remelink memasukan grasi sebagai salah satu dari tiga alasan gugurnya kewenangan untuk mengeksekusi pidana[33]. Adami Chazawi juga menyebutkan hal yang sama, namun ia menyebutnya dengan istilah hapusnya hak negara untuk menjalankan pidana[34].
                  Dasar hapusnya hak negara menjalankan pidana yang di tentukan dalam KUHP, ialah:
1.      Matinya terpidana ( Pasal 83 )
2.      Daluarsa dari eksekusi ( Pasal 84 )
            Sedangkan dasar dari hapusnya hak negara menjalankan pidana di luar KUHP adalah grasi yang diberikan oleh presiden dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (Amademen Undang-undang Dasar 1945 Pasal 14 jo. Undang-undang  No 22 tahun 2002).
               Prinsip dasar pemberian grasi ialah diberikan pada orang yang telah dipidana dengan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sifat pemberian grasi sekedar mengoreksi mengenai pidana yang dijatuhkan, tidak mengoreksi substansi pertimbangan pokok perkaranya. Sifat yang demikian ini tampak dari tiga hal yang dapat diputuskan oleh presiden dalam permohoanan grasi, yakni:
1.      Meniadakan pelaksanaan seluruh pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan pengadilan;
2.      Melaksanakan  sebagian saja dari pidana yang dilakukan dalam putusan;
3.      Mengubah jenis pidana (komutasi) jenis pidananya yang telah dijatuhkan dalam putusan menjadi pidana yang lebih ringan seperti tersebut dalam Pasal 10 KUHP.
             Dari tiga hal tersebut di atas, yang menjadi dasar dari hapusnya hak negara untuk menjalankan pidana adalah poin no1 saja. Sedangkan poin no 2 dan 3 tidak menghapuskan hak negara untuk melaksanakan pidana, tetapi sekedar meringankan pelaksanaan pidananya. 

d.  Hubungan Grasi dengan Tujuan Pemidanaan
                Terlepas dari hal-hal tersebut diatas, mengenai pemberian grasi harus didasarkan pada tujuan pemidanaan, presiden baik mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan, haruslah disandarkan pada tujuan pemidanaan. Menurut literatur mengenai KUHP ( Undang-undang N0 1 tahun 1946 ) dengan menilik sistim dan susunan yang masih tidak berubah dari materi hukum induknya (WvS Ned.) dapat dikatakan mempunyai tujuan pemidanaan dengan aliran kompromis atau  teori gabungan, mencakup semua aspek yang ada di dalamnya[35].
               Jadi, dalam permohonan grasi ini presiden harus mempertimbangkan masalah pembalasan juga tidak lupa mempertimbangkan masalah mengenai perlindungan tertib hukum masyarakat, baik mengabulkan atau menolak permohonan grasi dari permohonan. Dalam hal ini masukan dari Mahkamah Agung sangat diperlukan oleh presiden sebagai badan yang memang brekompeten untuk itu, dalam pengambilan putusan oleh presiden.
BAB IV
PENUTUP

            Dalam bab ini penulis mencoba untuk menyampaikan beberapa hal yang dianggap penting dari uraian-uraian bab terdahulu serta memberikan saran guna perkembangan grasi di masa yang akan datang. Maka kesimpulan dan saran yang dapat penulis kemukakan, adalah:

A.    Kesimpulan
Berikut ini akan disampaikan mengenai kesimpulan dari penelitian mengenai eksistensi grasi dalam perspektif hukum pidana:
  1. Grasi bukan merupakan upaya hukum. Meskipun grasi dapat merubah status hukuman seseorang, grasi dipandang sebagai hak prerogatif yang hanya ada di tangan Presiden. Upaya hukum hanya yang disebutkan di dalam KUHAP.
  2. Perbedaan grasi, amnesti, dan abolisi:
    1. Grasi adalah kewenangan Presiden untuk memberikan ampunan berupa pengurangan pidana, penggantian jenis pidana menjadi pidana yang lebih ringan, atau penghapusan pelaksanaan pidana. Dalam memberikan grasi, presiden memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung.
    2. Amnesti adalah kewenangan presiden untuk meniadakan akibat hukum yang mengancam terhadap sesuatu perbuatan atau kejahatan politik. Dengan pemberian amnesti, perbuatan atau kejahatan tersebut dihapuskan atau dipandang tidak ada, sehingga tidak berakibat hukum apapun. Dalam memberikan amnesti, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat
    3. Abolisi adalah kewenangan Presiden untuk menggugurkan hak penuntut umum untuk menuntut seseorang yang sebelumnya terhadap orang tersebut telah atau sedang dilakukan penuntutan. Sehingga proses penuntutan dan peradilan terhadap orang yang bersangkutan diakhiri dan tertuntut dibebaskan. Dalam memberikan abolisi, Pesiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
  3. Eksistensi grasi dalam perspektif hukum pidana
    1. Grasi sebagai hak warga negara
Pemohon yang mengajukan grasi tidak sebagai terpidana melainkan sebagai warga negara yang berhak meminta ampun atas kesalahannya kepada Presiden sebagai pemimpin negara.
    1. Grasi sebagai hapusnya hak negara untuk menjalankan pidana
Meskipun tidak tercantum dalam KUHP, namun grasi dapat menggugurkan hak negara untuk menjalankan pidana. Dengan dikabulkannya grasi, maka pidana yang dijatuhkan kepada seseorang dapat hapus, berkurang, atau berubah jenisnya.
    1. Hubungan grasi dengan tujuan pemidanaan
Berkaitan dengan jawaban atas permohonan grasi, dalam hal grasi dikabulkan maupun ditolak harus disandarkan pada tujuan pemidanaan


    1. Grasi bukan merupakan intervensi eksekutif
Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan.
Grasi tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan hakim dan tidak dapat menghilangkan kesalahan terpidana..

B.     Saran
Saran-saran yang dapat penulis kemukakan berkaitan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:
  1. Setelah diperhatikan, peraturan mengenai grasi yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 dirasa perlu diperbaiki. Undang-undang tersebut tidak mengatur dengan jelas batasan waktu maksimal pengajuan grasi. Undang-undang grasi tersebut hanya menyebutkan grasi ke dua dapat diajukan dua tahun setelah grasi pertama. Grasi juga dapat diajukan oleh terpidana maupun keluarga. Sehingga jika grasi dari terpidana mati ditolak, keluarga bisa mengajukannya lagi dan itu bisa masing-masing dilaksanakan dua kali. Keadaan seperti ini memakan waktu yang sangat lama, dan dapat menunda pelaksanaan eksekusi bagi terpidana mati.
  2. Para pihak yang berperan dibalik permohonan grasi seperti pengadilan pada tingkat pertama, Mahkamah Agung, bahkan sampai Presiden, agar dapat memproses permohonan grasi secara sungguh-sungguh. Sehingga grasi tidak hanya dijadikan alasan untuk menunda atau mengulur pelaksanaan eksekusi, khususnya dalam hal eksekusi pidana mati.
  3. Grasi sebenarnya dapat dijadikan sebagai lembaga rekoveri untuk mengkoreksi “kesalahan-kesalahan” dalam penyelenggaraan hukum. Meskipun sudah ada lembaga peninjauan kembali (herziening) yang dapat digunakan oleh terpidana, namun grasi yang berada diluar ranah hukum dan berada di luar sistim peradilan pidana ini, dapat dijadikan presiden sebagai sarana untuk mengkoreksi dan menunjukkan kearifan hukumnya. Di Amerika sebagai negara maju yang tingkat kehati-hatian dan kontrol terhadap pelaksana hukumnya sangat tinggi, terjadinya kekeliruan dalam hukum masih sangat tinggi pula. Hal seperti ini bisa saja terjadi di Indonesia. Menjadi tugas Presiden untuk mengobati keragu-raguan atas kelemahan hukum yang mungkin terjadi. Sehingga grasi dapat mencerminkan tingkat kearifan hukum Presiden dan juga masyarakat.




























EKSISTENSI GRASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA



Unsri%20BW-2


SKRIPSI


Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan
Memperoleh gelar Sarjana Hukum
Pada Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Unsri


Oleh

N A M A          : WAHYU TRISNAWATI
N I M                : 02023100137



UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
INDERALAYA
2006                                    
DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL  …………………………………………………..……       i
HALAMAN PERSETUJUAN ………..…………………………………….      ii
HALAMAN PENGESAHAN ………...………………………………….….     iii
HALAMAN PERSEMBAHAN DAN MOTTO …………………………....    iv
KATA PENGANTAR ……………………………………………………….      v
DAFTAR ISI  ………………………………………………………………...     vi

BAB I PENDAHULUAN
            A. Latar Belakang ………………………………………………….       1
            B. Permasalahan ……………………………………………………....    10
            C. Ruang Lingkup …………………………………………………….    10
            D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .……………………………….…..    10
            E.  Metode Penelitian ……………………………………………...….    11    

BAB II TINJAUAN UMUM
            A. Dasar Hukum Grasi ………………………………………………..    14
            B. Teori Pemidanaan ………………………………………………….    21

BAB III PEMBAHASAN
            A. Latar Belakang Grasi ………………………………………………    35
            B. 1.  Grasi Bukan Merupakan Upaya Hukum ………………………..   38
                 2.. Perbedaan Grasi, Amnesti, dan Abolisi ………………………...   40
            C. Eksistensi Grasi dalam Perspektif Hukum Pidana …………………   44
                 1. Grasi Sebagai Hak Warga Negara ………………………………    46
                 2. Grasi Dapat Meniadakan Hak Negara Menjalankan Pidana ……    49
                 3. Hubungan Grasi dengan Tujuan Pemidanaan …………………..    53
                 4. Grasi Bukan Merupakan Intervensi Eksekutif ………………….    55

BAB IV PENUTUP
            A. Kesimpulan ………………………………………………………..     63 
            B. Saran ……………………………………………………………….    65  

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

























DAFTAR LAMPIRAN


Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi.

Penjelasan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi.
DAFTAR PUSTAKA

A.  Buku-buku:
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian II, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
            2002
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991
Bambang Purnomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Terbitan Ketujuh, Jakarta,1994
E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Universitas, Bandung, 1965
Ismail Suny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Aksara Baru, Jakarta, 1981
Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-pasal dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, Gramedia Pustaka, Jakarta, 2003
JCT. Simonangkir (et-al), Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta,2004
Jimly Ashiddiqe, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Sekjen dan Kepaniteraan
            Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006
J.S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pustaka
            Sinar Harapan, 1996
Martiman Prodjohamidjojo, Seri Pemerataan Keadilan: Upaya Hukum, Ghalia
            Indonesia, Jakarta, 1983
Roeslan Saleh, Masalah Pidana Mati, Aksara Baru, Jakarta, 1978
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali
            Press, Jakarta, 2001
______________ , Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986
Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco, Jakarta, 1981

B.  Peraturan Perundang-undangan:
Amandemen Undang-undang Dasar 1945
KUHP
KUHAP
RKUHP
Undang-undang Darurat Nomor 3 Tahun 1950 tentang Grasi
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnedti dan Abolisi
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komosi Kebenaran dan Rekonsiliasi

C.  Dokumen Lainnya:
Acehkita.com, Al Araf, Membuka Selubung Amnesti
apakabar@clark.net, Mulyana W. Kusumah, Pengampunan Politik, MIM Edisi 6
            Agustus 1995
Muladi, Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia: Relevansi dan signifikasinya,
            7 Mei 2003, Gedung The Habibie Center, Jakarta
Thomas Sunaryo, Hukuman Mati, Penyelenggaraan HAM dan Reformasi, Kompas,
            25 Febuari 2003
Tin Imparsial, Sebuah Kebijakan di Indonesia: Jalan Panjag Menghapus Praktik
            Hukuman Mati di Indonesia, Juni 2004
www.indonesiawatch.org (Dikunjungi 10 Agustus 2006)
www.mediaindo.co.id, Mulai Soekarno Hingga Gus Dur, Amnesti Dulu dan
            Sekarang, 31 Agustus 2005
www.pikiranrakyat.com/cetak/ 0203/ 10/ 1514.htm (Dikunjungi 1 April 2004)

















[1] Ismail Suny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta, Aksara Baru, 1981, hlm.10
[2] Jimly Ashiddiqe, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta, Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 20006, hlm.161
[3] Ibid, hlm.164
[4] Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-pasal dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka, 2003, hlm.459
[5] Roeslan Saleh, Masalah Pidana Mati, Jakarta, Aksara Baru, 1978
[6] Tim Imparsial, Sebuah Studi Kebijakan di Indonesia: Jalan Panjang Menghapus Praktik Hukuman Mati di Indonesia, Juni 2004
[7] Muladi (Makalah), Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia: Relevansi dan Signifikasinya, 7 Mei 2003, Gedung The Habibie Center, Jakarta
[8] Thomas Sunaryo, Hukuman Mati, Pelanggaran HAM dan Reformasi, Kompas, 25 Febuari 2003, hlm.1
[9] Ibid
[10] Tim Imparsial, Op.Cit, hlm.3
[11] www.pikiran rakyat.com/cetak/0203/10/1514.htm (Dikunjungi 1 April 2004)
[12] apakabar@clark.net,Mulyana W.Kusumah, Pengampunan Politk,MIM edisi 6 Agustus 1995
[13] Muladi (Makalah), Op.Cit, hlm.12
[14] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1986, hlm.10
[15] Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 2001, hlm.13
[16] J.S.Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1996, hlm.375
[17] JCT.Simorangkir (et-al), Kamus Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2004, hlm.58
[18] Lembaran Negara RI No.108 Tahun 2002
[19] Lembaran Negara RI Tahun 2004 No.08
5 Jimly Ashiddiqe, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta, Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hlm.176
[21] Jimly Ashiddiqe, Op.Cit, hlm.177
[22] Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 1991, hlm.4
[23] Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-pasal dari KUHP Belanda dan Padananya dalam KUHP Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka, 2003, hlm.598
[24] Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Pidana Di Indonesia, Jakarta, Eresco, 1981, hlm.20
[25] Bambang Waluyo, Asas-asas Hukum Pidana,  Ghalia Indonesia, hlm.30
[26] Lembaran Negara RI Tahun 2004 No. 08
[27] Jimly Ashiddiqe,  Op.Cit, hlm.193
[28] Lembaran Negara RI Tahun 2004 No.08
[29] Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm.587
[30] E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Universitas, Bandung, 1965, hlm.240
[31] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian II, Raja GrafindoPersada, Jakarta, 2002,hlm.192
[32] www.Indonesiawatch.org (dikunjungi 10 Agustus 2006)
[33] Jan Remmelink, Op.Cit, hlm.583
[34] Adami Chazawi, Op.Cit, hlm.168
[35] Bambang Waluyo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm.33

0 komentar:

Post a Comment

 

Pengikut

Copyright © ZONA SKRIPSI All Rights Reserved • Design by Dzignine
best suvaudi suvinfiniti suv