Skripsi Hukum 3

Tuesday, March 13, 2012

SKRIPSI ANTI MONOPOLI


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Hukum antimonopoli merupakan salah satu regulasi yang mengatur tata cara persaingan usaha di Indonesia. Hukum antimonopoli dimaksudkan agar persaingan usaha di Indonesia dapat berjalan dengan baik dan wajar yang dijalankan oleh para pelaku usaha serta menciptakan suatu keseimbangan dan persaingan usaha yang kondusif bagi para pelaku usaha. Dalam perkembangannya, hukum antimonopoli sangat berkaitan erat dengan prinsip prinsip dasar ekonomi. Hal tersebut dikarenakan setiap pelanggaran yang dilakukan oleh para pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahannya, dipastikan membawa dampak ekonomi, baik dampak dalam ruang lingkup ekonomi mikro maupun dampak dalam ruang lingkup ekonomi makro. Oleh karena itu regulasi yang telah dibuat, tidak semata - mata melihat dari segi hukumnya saja, melainkan harus juga dilihat dari segi ekonomi demi keberlangsungan kegiatan usaha di Indonesia.
Dengan berkembangnya dunia usaha di Indonesia, maka hal tersebut memacu berbagai masalah masalah baru yang berkenaan dengan praktek kegiatan usaha di lapangan. Sehingga pemerintah harus dapat membuat suatu regulasi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan permasalahan yang akan / sedang timbul. 
 Hukum antimonopoli di Indonesia diatur dalam Undang – Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam perundang – undangan tersebut diatur hal hal apa saja yang boleh dan tidak diperbolehkan pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya di Indonesia. Hal tersebut tercermin dalam pasal 3 UU No 5 Tahun 1999 yang berbunyi “ pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berazakan demokrasi Ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum “[1]
Cikal bakal dibentuknya Undang – Undang  No 5 Tahun 1999 karena begitu banyaknya pelanggaran – pelanggaran bentuk kegiatan usaha pada masa orde baru yang berakhir pada tahun 1998[2]. Monopoli dan gerak konglongmerasi yang cepat terjadi kesalahan dalam mendistribusikan PER ( power of Economic Regulation ) sehingga manfaat hanya bergulir pada lingkaran kelompok tertentu yang dekat dengan kekuasaan dan pusat pengambil keputusan saja.
Berdasarkan hal hal yang telah penulis paparkan diatas, maka penulis membuat sebuah karya tulis yang berjudul “ Kegiatan usaha dalam bentuk persekongkolan yang tidak sehat bagi para pelaku usaha “.
1.2              Permasalahan
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis dapat menyimpulkan suatu permasalahan :
Bagaimanakah dampak hukum bagi para pelaku usaha yang melakukan kegiatan kegiatan yang dilarang sesuai dengan UU No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ?   
1.3              Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian yang penulis lakukan adalah Untuk menganalis  dan menelusuri dampak hukum bagi para pelaku usaha yang melakukan kegiatan yang dilarang sesuai dengan UU No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
1.4              Manfaat Penelitian
      Beberapa manfaat dari penelitian yang penulis lakukan adalah :
1.      Dapat memberikan gambaran secara umum tentang kegiatan yang dilarang sesuai dengan UU No 5 Tahun 1999 kepada setiap orang yang membaca karya tulis ini, sehingga dapat memberikan suatu bentuk konstribusi dibidang ilmu pengetahuan.
2.      Agar dapat memperjelas pengaturan dan penyelesaian kasus yang dibahas penulis, sehingga dapat meminimalisir kerugian kerugian yang mungkin dapat terjadi pada pihak yang terkait.  
1.5              Sistematika penulisan
Untuk memudahkan dalam mengikuti sajian pembahasan materi skripsi ini, penulis akan menguraikan secara singkat bab demi bab yang terkait guna memberikan gambaran yang lebih jelas terhadap arah pembahasan seperti dibawah ini :  
1.      BAB I             PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan dibahas mengenai latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.   
2.      BAB II            TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini akan dibahas mengenai pengertian monopoli dan persaingan curang,ruang lingkup hukum antimonopoli,prosedur pemeriksaan perkara, tata cara penyedia barang / jasa terhadap  perusahaan pemerintah, persekongkolan, dan dampak hukum bagi pengusaha yang melakukan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.   
3.      BAB III          METODE PENELITIAN
Dalam bab ini akan dibahas metode yang dipergunakan oleh penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yaitu dengan menggunakan penelitian hukum normatif secera kualtitatif yaitu mencari kebenaran melalui rumusan hukum yang terdiri dari pendapat para ahli, teori - teori dan ketentuan reguolasi hukum.
4.      BAB IV          ANALISIS HASIL PENELITIAN
Dalam bab ini akan dibahas mengenai putusan KPPU  ( Komisi Pengawas Persaingan Usaha ) terhadap kasus persekongkolan tender antara PT. GARDATAMA NUSANTARA dengan PT. PAM THAMES JAYA.
5.      BAB V            Kesimpulan Dan Saran
Bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran atas permasalahan yang ada berdasarkan analisis yang telah penulis lakukan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teoritis
2.1.1 Pengertian Monopoli dan Persaingan Curang
Kata “ monopoli “ berasal dari kata Yunani yang berarti “ penjual tunggal “. Disamping itu istilah monopoli sering disebut juga “Antitrust” untuk pengertian yang sepandan dengan istilah “ antimonopoli “ atau istilah “dominasi” yang dipakai oleh masyarakat Eropa yang artinya sepadan dengan arti istilah “ monopoli “ dikekuatan pasar. Dalam praktek keempat istilah tersebut yaitu istilah monopoli, antitrust, kekuatan pasar dan istilah dominasi saling ditukarkan pemakaiannya. Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk menunjukan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar, dimana pasar tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi atau produk subtitusi yang potensial dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang permintaan pasar.[3]
Yang dimaksud oleh persaingan usaha tidak sehat adalah suatu persaingan antara pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara cara yang tidak jujur atau dengan cara melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.[4]
Pelaku usaha adalah setiap orang atau pun badan usaha , baik yang berbentuk badan hukum atau tidak, yang didirikan atau berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah Republik Indonesia yang menyelenggarakan berbagai kegiatan dalam bidang ekonomi.[5]
Dengan demikian maka dengan tidak diikutsertakannya bukan badan hukum sebagai pelaku usaha, maka cakupannya makin luas. Yakni termasuk juga Yayasan, CV, Firma, dan berbagai perkumpulan lainnya.  
2.1.2          Ruang Lingkup Hukum Antimonopoli
Berdasarkan Undang – Undang No 5 Tahun 1999 , maka ruang lingkup antimonopoli tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Perjanjian yang dilarang. Perjanjian yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam UU No 5 Tahun 1999 mencakup oligopoly, penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertikal, perjanjian tertutup, dan perjanjian dengan pihak luar negeri.
  2. Kegiatan yang dilarang. Kegiatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam UU No 5 Tahun 1999 mencakup monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, dan persekongkolan.
  3. Penyalahgunaan posisi dominan. Penyelahgunaan posisi dominan mencakup jabatan rangkap, kepemilikan saham dan merger, akuisisi, dan konsolidasi.
  4. Komisi Pengawas Persaingan Usaha
  5. Tata cara penanganan perkara
  6. Sanksi sanksi
  7. Perkecualian perkecualian
Dari keseluruhan ruang lingkup yang ada pada Undang Undang No 5 Tahun 1999, penulis lebih menekankan pada kegiatan yang dilarang sebagaimana terdapat dalam pasal 22 tentang persekongkolan.  
2.1.3          Prosedur Pemeriksaan perkara oleh KPPU
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa keseluruhan prosedur penanganan perkara oleh KPPU adalah sebagai berikut :
  1. Laporan kepada komisi pengawas
Laporan yang diajukan kepada KPPU dapat terbagi menjadi 3 yaitu :
                                      i.                              Laporan pihak ketiga yang mengetahui terjadinya pelanggaran atau laporan dari pihak yang merasa dirugikan. ( Pasal 38 UU No 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat )
                                    ii.                              Atas inisiatif sendiri dan Komisi Pengawas tanpa adanya laporan ( pasal 40 UU No 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ) 
  1. Pemeriksaan Pendahuluan
Apabila terdapat laporan tentang dugaan pelanggaran Undang Undang Antimonopoli, maka KPPU berkewajiban untuk memeriksa dugaan tersebut untuk mengetahui apakah perkara tersebut dapat diproses ke tingkat yang lebih lanjut atau tidak. Waktu yang diberikan dalam proses pemeriksaan tersebut adalah 30 hari setelah penerimaan laporan. Dalam proses ini,  apakah KPPU  dapat menemukan suatu permasalahan yang timbul sebagaimana yang dilarang dalam UU No 5 Tahun 1999, apabila ditemukan , maka dapat dilanjutkan ke pemeriksaan selanjutnya. Dalam tahap pemeriksaan pendahuluan, KPPU dapat mengadirkan saksi apabila dianggap perlu. ( pasal 39 Ayat 4 ).  
  1. Pemeriksaan lanjutan
Pemeriksaan lanjutan dapat dilakukan oleh KPPU , apabila terdapat suatu bentuk bukti permulaan dalam pemeriksaan pendahuluan tentang dugaan pelanggaran yang terjadi pada pelaku usaha. Waktu pemeriksaan lanjutan yang dilakukan oleh KPPU adalah 60 hari ( pasal 43 ayat 1 )dan bilama pemeriksaan tersebut belum terselesaikan , maka akan diberi waktu selama 30 hari ( Pasal 43 ayat 3 ).    
  1. Putusan komisi
Setelah melewati pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan lanjutan , maka KPPU harus memberikan keputusan yang menyatakan bahwa apakah pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran bersalah atau tidak. 
  1. Pelaksaan Putusan
Setelah putusan komisi telah ditetapkan , maka KPPU dapat melakukan atas sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku usaha yang melakukan palanggaran. Sanksi yang diberikan oleh KPPU dapat berupa sanksi administrtif , sanksi pidana pokok dan sanksi pidana tambahan. Hal tersebut tergantung jenis pelanggaran yang dilanggar oleh pelaku usaha.  
  1. Pengajuan Keberatan
Pengajuan keberatan terhadap putusan KPPU , dapat diajukan oleh para pelaku usaha yang kurang puas terhadap putusan KPPU tersebut. Pengajuan keberatan tersebut diajukan melalui pengadilan negeri ( pasal 45 ). Pengadilan negeri harus dapat memberikan keputusan terhadap keberatan yang diajukan oleh pelaku usaha dalam waktu 30 hari. Setelah keputusan telah ditetapkan oleh Pengadilan negeri , maka terdapat 2 pilihan lagi bagi pelaku usaha , yaitu melaksanakan putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri ( eksekusi putusan ) atau mengajukan keberatan ke tingkat Makhamah Agung / kasasi. Pada tingkat ini Makhamah Agung harus memberikan putusan selama 30 hari sejak permohonan kasasi diterima ( pasal 45 ayat 4 ) dan keputusan tersebut merupakan keputusan yang berkekuatan hukum tetap. ( pasal 46 ayat 1 ). 
2.1.4         Tata Cara Penyedia Barang / jasa terhadap   perusahaan pemerintah
Tata cara penyedia barang atau jasa terhadap perusahaan pemerintah diatur lebih spesifik dalam Kepres No 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan penyedia Barang atau jasa pemerintah. Beberapa hal hal penting tersebut termuat dalam pasal sebagai berikut :
1.      Pasal 2 ayat 2 Kepres No 80 tahun 2003 Tentang Pedoman Pelasakanaan Pengadaan Barang / Jasa  yang berbunyi :
Tujuan diberlakukannya keputusan presiden ini adalah agar pelaksanaan barang atau jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai APBN/APBD dilakukan secara efesien,efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil / tidak diskriminatif, dan akuntebel ”.[6]

2.      Pasal 10 ayat 1 Kepres No 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelasanaan pengadaan Barang / Jasa yang berbunyi :” Panitia pengadaan wajib untuk dibentuk untuk semua pengadaan dengan nilai diatas Rp. 50.000.000 ( lima puluh juta rupiah )”.[7]
3.      Pasal 15 Ayat 1 Kepres No 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman pelaksaanan Pengadan Barang atau Jasa yang berbunyi :
Proses prakualifikasi secara umum meliputi pengumuman prakualifikasi, pengambilan dokumen prakualifikasi, pemasukan dokumen prakualifikasi, evaluasi dokumen prakualifikasi, penetapan calon peserta pengadaan yang lulus prakualifikasi, dan pengumuman hasil prakualifikasi”.[8]
 
  1. Pasal 7 ayat (1)Kepres No 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Penyeedia barang / Jasa pemerintah yang menyatakan bahwa ruang lingkup berlakunya Keputusan Presiden ini adalah untuk :
a. “pengadaan barang/jasa yang pembiayaannya sebagian atau seluruhnya dibebankan pada APBN/APBD;”
b. “Pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai dari pinjaman/hibah luar negeri (PHLN) yang sesuai atau tidak bertentangan dengan pedoman dan ketentuan pengadaan barang/jasa dari pemberi pinjaman/hibah bersangkutan”;
c.”Pengadaan barang/jasa untuk investasi di lingkungan BI, BHMN, BUMN, BUMD, yang pembiayaannya sebagian atau seluruhnya dibebankan pada APBN/APBD”.[9] 

2.1.5         Persekongkolan
Yang dimaksudkan persekongkolan adalah          “ konspirasi usaha “ yakni suatu bentuk kerjasama diantara pelaku usaha dengan maksud untuk menguasai pasar yang bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol tersebut”.[10]
Persekongkolan menurut UU No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat memiliki 3 pengertian , yaitu :
  1. Persekongkolan untuk mengatur pemenang tender.
Undang-undang Anti Monopoli melarang setiap persekongkolan oleh pelaku usaha dengan pihak lain dengan tujuan untuk mengatur dan atau menentukan pemenang suatu tender. Hal tersebut jelas merupakan perbuatan curang dan tidak fair terutama bagi peserta tender lainnya. Sebab, sudah lazim dalam istilah “tender” bahwa pemenangnya tidak dapat diatur-atur, melainkan siapa yang melakukan penawaran yang terbaik dialah yang menang. Karena itu, perbuatan persekongkolan untuk mengatur atau menentukan pemenang tender dapat mengakibatkan terjadinya suatu persaingan usaha yang tidak sehat.
Menurut Penjelasan Pasal 22 dari Undang-undang Anti Monopoli, yang dimaksudkan dengan tender dalam hal ini adalah tawaran untuk mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang, atau untuk menyediakan suatu jasa.
  1. Persekongkolan untuk memperoleh rahasia perusahaan
Sebagaimana diketahui bahwa yang namanya “rahasia perusahaan” adalah property dari perusahaan yang bersangkutan. Karenanya tidak boleh dicuri, dibuka atau dipergunakan oleh orang lain tanpa seijin pihak perusahaan yang bersangkutan. Ini adalah prinsip hukum bisnis yang sudah berlaku secara universal.
Karena itu pula, Undang-undang Anti Monopoli dilarang terhadap tindakan persekongkolan antara seorang pelaku usaha dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi tentang kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan. Karena hal tersebut dianggap dapat mengakibatkan terjadinya suatu pesaingan usaha tidak sehat.
Larangan bersekongkol mendapatkan rahasia perusahaan dalam Pasal 23 tersebut menekankan kepada rahasia perusahaan tersebut. Artinya apabila dapat dibuktikan ada rahasia perusahaan yang didapati secara bersekongkol, maka larangan oleh pasal pasal tersebut sudah dapat diterapkan, karena “demi hukum” telah dianggap adnya suatu persaingan usaha tidak sehat, tanpa perlu harus dibuktitikan lagi persaingan usasha tidak sehat tersebut.
  1. Persekongkolan untuk menghambat pasokan produk.
Salah satu strategi tidak sehat dalam berbisnis adalah dengan  berupaya agar produk-produk dari si pesaing menjadi tidak baik dari segi mutu, jumlah atau ketetapan waktu ketersedianya atau waktu yang telah dipersyratkan.
Karena itu, Undang-undang Anti Monopoli dengan tegas melarang terhadap setiap persekongkolan oleh pelaku usaha dengan pihak lain yang dibuat dengan tujuan untuk menghambat produksi dan atau pemasaran suatu produk dari pelaku usaha pesaingnya dengan harapan agar produk yang dipasok atau ditawarkan tersebut menjadi kurang baik dari segi kualitasnya, dari segi jumlahnya, maupun dari segi ketetapan waktu yang dipersyaratkan. 
2.1.6 Dampak Hukum Bagi Pelaku Usaha
Dampak hukum yang dapat dikenakan kepada pelaku usaha yang telah melakukan pelanggaran terhadap praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat adalah berupa sanksi. Dimana sanksi tersebut dapat berupa :
  1. Sanksi Administratif
Berdasarkan pasal 47 UU No 5 Tahun 1999, maka KPPU berhak untuk menjatuhkan sanksi administratif bagi pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran. Sanksi tersebut dapat berupa :
a)      Penetapan pembatalan perjanjian yang telah dibuat oleh para pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 sampai apsal 13, pasal 15 dan pasal 16
b)      Perintah kepada usaha untuk menghentikan integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam pasal 14; dan atau
c)      Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat; dan atau
d)     Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan; dan atau
e)      Penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam pasal 28; dan atau
f)       Penetapan pembayaran ganti rugi; dan atau
g)      Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
  1.  Sanksi Pidana
Selain sanksi administratif , Hukum antimonopoli juga menyediakan sanksi pidana. Dimana saknsi pidana tersebut dibagi menjadi dua kategori, yaitu :
a)      Sanksi Pidana Dalam UU No 5 Tahun 1999 yang terbagi menjadi 2 kategori sanksi lagi, yaitu :
                               I.            Sanksi pidana pokok yang terdapat dalam pasal 48 UU No 5 Tahun 1999, yang berbunyi :
                                               i.      Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 14, pasal 16 sampai dengan pasal 19, pasal 25, pasal 27, dan pasal 28 diancam pidana serendah-rendahnya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000,00 (seratus miliar rupiah ), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
                                             ii.      Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 5 sampai dengan pasal 8, pasal 15, pasal 20 sampai dengan pasal 24,dan pasal 26 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 ( dua puluh lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (limi) bulan.
                                           iii.      Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.[11]
                            II.            Sanksi Pidana Tambahan yang terdapat dalam pasal 49 UU No 5 tahun  1999 yang berbunyi :
                                            i.            Pencabulan ijin usaha; atau
                                          ii.            Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap Undang undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang kurangnya dua tahun dan selama lamanya lima tahun
                                        iii.            Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain[12]
b)      Sanksi pidana dalam KUH Pidana. Selain sanksi pidana yang terdapat didalam UU No 5 tahun 1999 , maka ada pula sanksi pidana yang diatur dalam KUHP , yang terdapat dalam pasal 382 yang berbunyi :    “ barang siapa untuk mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasil perdagangan atau perdagangan atau perusahaan milik sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau seorang tertentu, diancam karena persaingan curang, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan denda paling banyak tiga belas ribu lima ratus rupiah, bila perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian bagi konkuren-konkurennya atau konkuren-konkuren orang lain itu”.[13] 

2.2              Konsepsional
Dilihat dari segi judul dan permasalahan diatas, maka perlu dijelaskan terlebih dahulu mengenai hal tertentu sebagai berikut :
Berdasarkan UU No 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dimaskud dengan pergertian :
1. Monopoli adalah penguasaan barang atau produksi dan atau pemasaran barang dan atau pengunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.
2. Praktek monopoli adalah Pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
3. Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk bedan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
4. Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
5. Persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.
6. Barang adalah setiap benda, baik yang berwujud atau tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.
7. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan konsumen atau pelaku usaha.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah komisi yang dibentuk untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.    
 BAB III
KESIMPULAN

Dengan melihat kepada semua kasus tersebut secara keseluruhan dapat ditarik kesimpulan bahwa kasus terebut terbagi dalam 2 kasus yang sengketa tanah dan kasus pidana yaitu penggelapan. Untuk memperjelas kasus atau perkara di atas maka juga dibentuk penilaian atau pandangan dari 2 segi yaitu dari segi hukum dan segi Real Estate itu sendiri sebagai berikut.

PENINJAUAN DARI SEGI HUKUM
·         Bahwa kasus ini terbagi dalam dua kasus yaitu sengketa hak milik tanah dan adanya tindakan melawan hukum yaitu perbuatan pidana : Penggelapan.
·         Bahwa kasus pidana penggelapan ini telah gugur karena meninggalnya H. Sahal sebagai tersangka.
·         Terdapat gugatan kepada kejaksaan karena terlalu mencampuri urusan atau perkara Perdata.
·         Bahwa seharusnya barang bukti dikembalikan kepada pihak dari siapa benda tersebut disita atau pihak ketiga yang berhak.
·         Bahwa H. Sahal digugat dengan ketentuan Pidana Pasal 372 KUHP.
·         Adanya pembuktian dari kedua pihak yang berupa:
1.      Bukti oleh H. Sahal : Surat keterangan Lurah dan Camat Mampang Prapatan nomor 340/1.711.02 tanggal 15 Oktober 1983.
2.      Bukti oleh pihak YMR : akta ikrar wakaf Nomor  B2B 2/Wali Kota Madya Kepala Daerah cq Kepala Subdir Agraria.
·         Bahwa bukti H. Sahal dianggap oleh pihak YMR bertentangan dengan surat keterangan Lurah Mampang Nomor 224/1.711.7/1991 tentang pewakafan tanah milik.






·         Gugurnya hak ahli waris H. Sahal diperkuat dengan telah dibentuknya kepengurusan YRM yang baru sejak 2004 dan telah disahkan berdasar akto Notaris Wildania nomor 4, tanggal 12 Agustus 2004.
·         Alasan dari gugurnya hak milik tersebut adalah bahwa yang bersangkutan sudah bukan lagi merupakan pengurus jadi ahli warisnya pun sudah tidak berhak untuk menguasainya.

Untuk segi Real Estate-Nya
            PENINJAUAN DARI SEGI REAL ESTATE

  • Dengan adanya ketentuan hukum real estate yang berlaku pihak H. Sahal tidak berhak atas hak milik tanah tersebut karena telah melakukan tindak kejahatan dengan tanah tersebut.
  • Gugurnya kepemilikan terhadap ahli waris merupakan hal yang benar yang harus diputus.
  • Hak atas tanah tersebut dapat dibuktikan dengan pengajuan bukti yang benar dan tepat dan tidak bertentangan dengan pembuktian yang lain.

Setelah melihat pada pandangan segi-segi tersebut maka dapat disimpulkan solusinya adalah sebagai berikut.
 SOLUSI
  • Untuk mendapatkan solusi yang terbaik dalam kasus ini sebenarnya ada beberapa hal yang dapat diusahakan :
    1. Dengan melakukan musyawarah untuk mufakat sehingga tidak menimbulkan banyaknya pertentangan.
    2. Mengetahui dan menyadari secara pasti bahwa semua hal yang dilakukan memiliki akibat hukumnya sendiri.




    1. Polri lebih serius dan aktif dalam menangani masalah ini sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
    2. Cermat dalam menilai suatu permasalahan atau suatu perbuatan hukum apakah merupakan perbuatan melawan hukum atau bukan.
    3. Sadar akan adanya arti kebersamaan yang dimana untuk mendukung kepentingan bersama harus di bahas terlebih dahulu secara bersama.

Dengan berbagai kesimpulan tersebut maka dapat kita tarik kesimpulan intinya bahwa perkara ini merupakan perkara yang saling berkaitan antara satu dengan lain meskipun terdapat perbedaan-perbedaannya sendiri.

BAB IV
PEMBAHASAN
MASALAH

Dengan melihat kepada semua kasus tersebut secara keseluruhan dapat ditarik kesimpulan bahwa kasus terebut terbagi dalam 2 kasus yang sengketa tanah dan kasus pidana yaitu penggelapan. Untuk memperjelas kasus atau perkara di atas maka juga dibentuk penilaian atau pandangan dari 2 segi yaitu dari segi hukum dan segi Real Estate itu sendiri sebagai berikut.

PENINJAUAN DARI SEGI HUKUM
·         Bahwa kasus ini terbagi dalam dua kasus yaitu sengketa hak milik tanah dan adanya tindakan melawan hukum yaitu perbuatan pidana : Penggelapan.
·         Bahwa kasus pidana penggelapan ini telah gugur karena meninggalnya H. Sahal sebagai tersangka.
·         Terdapat gugatan kepada kejaksaan karena terlalu mencampuri urusan atau perkara Perdata.
·         Bahwa seharusnya barang bukti dikembalikan kepada pihak dari siapa benda tersebut disita atau pihak ketiga yang berhak.
·         Bahwa H. Sahal digugat dengan ketentuan Pidana Pasal 372 KUHP.
·         Adanya pembuktian dari kedua pihak yang berupa:
1.      Bukti oleh H. Sahal : Surat keterangan Lurah dan Camat Mampang Prapatan nomor 340/1.711.02 tanggal 15 Oktober 1983.
2.      Bukti oleh pihak YMR : akta ikrar wakaf Nomor  B2B 2/Wali Kota Madya Kepala Daerah cq Kepala Subdir Agraria.
·         Bahwa bukti H. Sahal dianggap oleh pihak YMR bertentangan dengan surat keterangan Lurah Mampang Nomor 224/1.711.7/1991 tentang pewakafan tanah milik.






·         Gugurnya hak ahli waris H. Sahal diperkuat dengan telah dibentuknya kepengurusan YRM yang baru sejak 2004 dan telah disahkan berdasar akto Notaris Wildania nomor 4, tanggal 12 Agustus 2004.
·         Alasan dari gugurnya hak milik tersebut adalah bahwa yang bersangkutan sudah bukan lagi merupakan pengurus jadi ahli warisnya pun sudah tidak berhak untuk menguasainya.

Untuk segi Real Estate-Nya
            PENINJAUAN DARI SEGI REAL ESTATE

  • Dengan adanya ketentuan hukum real estate yang berlaku pihak H. Sahal tidak berhak atas hak milik tanah tersebut karena telah melakukan tindak kejahatan dengan tanah tersebut.
  • Gugurnya kepemilikan terhadap ahli waris merupakan hal yang benar yang harus diputus.
  • Hak atas tanah tersebut dapat dibuktikan dengan pengajuan bukti yang benar dan tepat dan tidak bertentangan dengan pembuktian yang lain.

Setelah melihat pada pandangan segi-segi tersebut maka dapat disimpulkan solusinya adalah sebagai berikut.
 SOLUSI
  • Untuk mendapatkan solusi yang terbaik dalam kasus ini sebenarnya ada beberapa hal yang dapat diusahakan :
    1. Dengan melakukan musyawarah untuk mufakat sehingga tidak menimbulkan banyaknya pertentangan.
    2. Mengetahui dan menyadari secara pasti bahwa semua hal yang dilakukan memiliki akibat hukumnya sendiri.




    1. Polri lebih serius dan aktif dalam menangani masalah ini sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
    2. Cermat dalam menilai suatu permasalahan atau suatu perbuatan hukum apakah merupakan perbuatan melawan hukum atau bukan.
    3. Sadar akan adanya arti kebersamaan yang dimana untuk mendukung kepentingan bersama harus di bahas terlebih dahulu secara bersama.

Dengan berbagai kesimpulan tersebut maka dapat kita tarik kesimpulan intinya bahwa perkara ini merupakan perkara yang saling berkaitan antara satu dengan lain meskipun terdapat perbedaan-perbedaannya sendiri.
SKRIPSI ANTI
MONOPOLI

  

DI SUSUN OLEH :
BUDI PRAJAYA
05120050190
ILMU HUKUM



UPH LIPPO KARAWACI






[1] Indonesia, Undang Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, pasal 3 ayat 5
[2] Lihat Munir  Fuady, Hukum Antimonopoli, ( Bandung : PT. Citra Aditnya Bakti), hal. 3
[3] Ibid, hal 4
[4] Indonesia, Loc cit pasal 1 ayat 2  
[5] Ibid,  pasal 1 ayat 6  

[6] Indonesia, kepres No 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah, pasal 2 ayat 2  
[7] Ibid, pasal 10 ayat 1
[8] Ibid, Pasal 15 ayat 1
[9] Ibid, Pasal 7 ayat 1
[10] Munir  Fuady, Opcit, hal. 82

[11] Indonesia, UU No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, pasal 48
[12] Ibid, Pasal 49
[13] Indonesia , KUHP, Pasal 282  

0 komentar:

Post a Comment

 

Pengikut

Copyright © ZONA SKRIPSI All Rights Reserved • Design by Dzignine
best suvaudi suvinfiniti suv