SKRIPSI ANTI MONOPOLI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Hukum antimonopoli merupakan salah satu regulasi yang
mengatur tata cara persaingan usaha di Indonesia . Hukum antimonopoli
dimaksudkan agar persaingan usaha di Indonesia dapat berjalan dengan
baik dan wajar yang dijalankan oleh para pelaku usaha serta menciptakan suatu
keseimbangan dan persaingan usaha yang kondusif bagi para pelaku usaha. Dalam
perkembangannya, hukum antimonopoli sangat berkaitan erat dengan prinsip prinsip
dasar ekonomi. Hal tersebut dikarenakan setiap pelanggaran yang dilakukan oleh
para pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahannya, dipastikan membawa
dampak ekonomi, baik dampak dalam ruang lingkup ekonomi mikro maupun dampak
dalam ruang lingkup ekonomi makro. Oleh karena itu regulasi yang telah dibuat,
tidak semata - mata melihat dari segi hukumnya saja, melainkan harus juga
dilihat dari segi ekonomi demi keberlangsungan kegiatan usaha di Indonesia .
Dengan berkembangnya dunia usaha di Indonesia , maka
hal tersebut memacu berbagai masalah masalah baru yang berkenaan dengan praktek
kegiatan usaha di lapangan. Sehingga pemerintah harus dapat membuat suatu
regulasi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan permasalahan yang akan /
sedang timbul.
Hukum
antimonopoli di Indonesia
diatur dalam Undang – Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam perundang – undangan tersebut diatur
hal hal apa saja yang boleh dan tidak diperbolehkan pelaku usaha dalam menjalankan
kegiatan usahanya di Indonesia .
Hal tersebut tercermin dalam pasal 3 UU No 5 Tahun 1999 yang berbunyi “ pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan
kegiatan usahanya berazakan demokrasi Ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan
antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum “[1]
Cikal bakal dibentuknya Undang – Undang No 5 Tahun 1999 karena begitu banyaknya
pelanggaran – pelanggaran bentuk kegiatan usaha pada masa orde baru yang
berakhir pada tahun 1998[2].
Monopoli dan gerak konglongmerasi yang cepat terjadi kesalahan dalam
mendistribusikan PER ( power of Economic Regulation ) sehingga manfaat hanya
bergulir pada lingkaran kelompok tertentu yang dekat dengan kekuasaan dan pusat
pengambil keputusan saja.
Berdasarkan hal hal yang telah penulis paparkan diatas,
maka penulis membuat sebuah karya tulis yang berjudul “ Kegiatan usaha dalam
bentuk persekongkolan yang tidak sehat bagi para pelaku usaha “.
1.2
Permasalahan
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis dapat
menyimpulkan suatu permasalahan :
Bagaimanakah dampak hukum bagi para pelaku usaha yang melakukan
kegiatan kegiatan yang dilarang sesuai dengan UU No 5 Tahun 1999 Tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ?
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian yang penulis lakukan adalah Untuk
menganalis dan menelusuri dampak hukum
bagi para pelaku usaha yang melakukan kegiatan yang dilarang sesuai dengan UU
No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat.
1.4
Manfaat Penelitian
Beberapa manfaat dari penelitian yang
penulis lakukan adalah :
1.
Dapat
memberikan gambaran secara umum tentang kegiatan yang dilarang sesuai dengan UU
No 5 Tahun 1999 kepada setiap orang yang membaca karya tulis ini, sehingga
dapat memberikan suatu bentuk konstribusi dibidang ilmu pengetahuan.
2.
Agar
dapat memperjelas pengaturan dan penyelesaian kasus yang dibahas penulis,
sehingga dapat meminimalisir kerugian kerugian yang mungkin dapat terjadi pada
pihak yang terkait.
1.5
Sistematika penulisan
Untuk memudahkan dalam mengikuti
sajian pembahasan materi skripsi ini, penulis akan menguraikan secara singkat
bab demi bab yang terkait guna memberikan gambaran yang lebih jelas terhadap
arah pembahasan seperti dibawah ini :
1.
BAB
I PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan dibahas
mengenai latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian
dan sistematika penulisan.
2.
BAB
II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini akan dibahas mengenai pengertian monopoli
dan persaingan curang,ruang lingkup hukum antimonopoli,prosedur pemeriksaan
perkara, tata cara penyedia barang / jasa terhadap perusahaan pemerintah, persekongkolan, dan
dampak hukum bagi pengusaha yang melakukan praktek monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat.
3.
BAB
III METODE PENELITIAN
Dalam bab ini akan dibahas metode
yang dipergunakan oleh penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yaitu dengan menggunakan
penelitian hukum normatif secera kualtitatif yaitu mencari kebenaran melalui
rumusan hukum yang terdiri dari pendapat para ahli, teori - teori dan ketentuan
reguolasi hukum.
4.
BAB
IV ANALISIS HASIL PENELITIAN
Dalam bab ini akan dibahas
mengenai putusan KPPU ( Komisi Pengawas
Persaingan Usaha ) terhadap kasus persekongkolan tender antara PT. GARDATAMA
NUSANTARA dengan PT. PAM THAMES JAYA.
5.
BAB
V Kesimpulan Dan Saran
Bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran atas
permasalahan yang ada berdasarkan analisis yang telah penulis lakukan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teoritis
2.1.1 Pengertian Monopoli dan Persaingan Curang
Kata “ monopoli “ berasal dari kata Yunani yang berarti
“ penjual tunggal “. Disamping itu istilah monopoli sering disebut juga “Antitrust”
untuk pengertian yang sepandan dengan istilah “ antimonopoli “ atau istilah
“dominasi” yang dipakai oleh masyarakat Eropa yang artinya sepadan dengan arti
istilah “ monopoli “ dikekuatan pasar. Dalam praktek keempat istilah tersebut
yaitu istilah monopoli, antitrust, kekuatan pasar dan istilah dominasi saling
ditukarkan pemakaiannya. Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk menunjukan
suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar, dimana pasar tersebut tidak
tersedia lagi produk subtitusi atau produk subtitusi yang potensial dan
terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk
tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum
tentang permintaan pasar.[3]
Yang dimaksud oleh persaingan usaha tidak sehat adalah
suatu persaingan antara pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan
atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara cara yang tidak
jujur atau dengan cara melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.[4]
Pelaku usaha adalah setiap orang atau pun badan usaha ,
baik yang berbentuk badan hukum atau tidak, yang didirikan atau berkedudukan
atau melakukan kegiatan dalam wilayah Republik Indonesia yang menyelenggarakan
berbagai kegiatan dalam bidang ekonomi.[5]
Dengan demikian maka dengan tidak diikutsertakannya
bukan badan hukum sebagai pelaku usaha, maka cakupannya makin luas. Yakni
termasuk juga Yayasan, CV, Firma, dan berbagai perkumpulan lainnya.
2.1.2
Ruang Lingkup Hukum Antimonopoli
Berdasarkan Undang – Undang No 5 Tahun 1999 , maka ruang
lingkup antimonopoli tersebut adalah sebagai berikut :
- Perjanjian yang dilarang. Perjanjian yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam UU No 5 Tahun 1999 mencakup oligopoly, penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertikal, perjanjian tertutup, dan perjanjian dengan pihak luar negeri.
- Kegiatan yang dilarang. Kegiatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam UU No 5 Tahun 1999 mencakup monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, dan persekongkolan.
- Penyalahgunaan posisi dominan. Penyelahgunaan posisi dominan mencakup jabatan rangkap, kepemilikan saham dan merger, akuisisi, dan konsolidasi.
- Komisi Pengawas Persaingan Usaha
- Tata cara penanganan perkara
- Sanksi sanksi
- Perkecualian perkecualian
Dari keseluruhan ruang lingkup yang ada pada Undang
Undang No 5 Tahun 1999, penulis lebih menekankan pada kegiatan yang dilarang
sebagaimana terdapat dalam pasal 22 tentang persekongkolan.
2.1.3
Prosedur Pemeriksaan perkara oleh KPPU
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa keseluruhan
prosedur penanganan perkara oleh KPPU adalah sebagai berikut :
- Laporan kepada komisi pengawas
Laporan yang diajukan kepada KPPU dapat terbagi menjadi
3 yaitu :
i.
Laporan pihak ketiga yang
mengetahui terjadinya pelanggaran atau laporan dari pihak yang merasa
dirugikan. ( Pasal 38 UU No 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat )
ii.
Atas inisiatif sendiri dan
Komisi Pengawas tanpa adanya laporan ( pasal 40 UU No 5 tahun 1999 Tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat )
- Pemeriksaan Pendahuluan
Apabila terdapat laporan tentang dugaan pelanggaran
Undang Undang Antimonopoli, maka KPPU berkewajiban untuk memeriksa dugaan
tersebut untuk mengetahui apakah perkara tersebut dapat diproses ke tingkat
yang lebih lanjut atau tidak. Waktu yang diberikan dalam proses pemeriksaan
tersebut adalah 30 hari setelah penerimaan laporan. Dalam proses ini, apakah KPPU
dapat menemukan suatu permasalahan yang timbul sebagaimana yang dilarang
dalam UU No 5 Tahun 1999, apabila ditemukan , maka dapat dilanjutkan ke
pemeriksaan selanjutnya. Dalam tahap pemeriksaan pendahuluan, KPPU dapat
mengadirkan saksi apabila dianggap perlu. ( pasal 39 Ayat 4 ).
- Pemeriksaan lanjutan
Pemeriksaan lanjutan dapat dilakukan oleh KPPU , apabila
terdapat suatu bentuk bukti permulaan dalam pemeriksaan pendahuluan tentang
dugaan pelanggaran yang terjadi pada pelaku usaha. Waktu pemeriksaan lanjutan
yang dilakukan oleh KPPU adalah 60 hari ( pasal 43 ayat 1 )dan bilama pemeriksaan
tersebut belum terselesaikan , maka akan diberi waktu selama 30 hari ( Pasal 43
ayat 3 ).
- Putusan komisi
Setelah melewati pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan
lanjutan , maka KPPU harus memberikan keputusan yang menyatakan bahwa apakah
pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran bersalah atau tidak.
- Pelaksaan Putusan
Setelah putusan komisi telah ditetapkan , maka KPPU
dapat melakukan atas sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku usaha yang melakukan
palanggaran. Sanksi yang diberikan oleh KPPU dapat berupa sanksi administrtif ,
sanksi pidana pokok dan sanksi pidana tambahan. Hal tersebut tergantung jenis
pelanggaran yang dilanggar oleh pelaku usaha.
- Pengajuan Keberatan
Pengajuan keberatan terhadap putusan KPPU , dapat
diajukan oleh para pelaku usaha yang kurang puas terhadap putusan KPPU
tersebut. Pengajuan keberatan tersebut diajukan melalui pengadilan negeri (
pasal 45 ). Pengadilan negeri harus dapat memberikan keputusan terhadap
keberatan yang diajukan oleh pelaku usaha dalam waktu 30 hari. Setelah
keputusan telah ditetapkan oleh Pengadilan negeri , maka terdapat 2 pilihan
lagi bagi pelaku usaha , yaitu melaksanakan putusan yang dijatuhkan oleh
pengadilan negeri ( eksekusi putusan ) atau mengajukan keberatan ke tingkat
Makhamah Agung / kasasi. Pada tingkat ini Makhamah Agung harus memberikan
putusan selama 30 hari sejak permohonan kasasi diterima ( pasal 45 ayat 4 ) dan
keputusan tersebut merupakan keputusan yang berkekuatan hukum tetap. ( pasal 46
ayat 1 ).
2.1.4
Tata Cara Penyedia Barang / jasa
terhadap perusahaan pemerintah
Tata cara penyedia barang atau jasa terhadap perusahaan
pemerintah diatur lebih spesifik dalam Kepres No 80 tahun 2003 tentang Pedoman
Pelaksanaan penyedia Barang atau jasa pemerintah. Beberapa hal hal penting
tersebut termuat dalam pasal sebagai berikut :
1.
Pasal
2 ayat 2 Kepres No 80 tahun 2003 Tentang Pedoman Pelasakanaan Pengadaan Barang
/ Jasa yang berbunyi :
“ Tujuan diberlakukannya keputusan presiden ini adalah agar pelaksanaan
barang atau jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai APBN/APBD dilakukan
secara efesien,efektif, terbuka dan
bersaing, transparan, adil / tidak diskriminatif, dan akuntebel ”.[6]
2.
Pasal
10 ayat 1 Kepres No 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelasanaan pengadaan Barang /
Jasa yang berbunyi :” Panitia pengadaan
wajib untuk dibentuk untuk semua pengadaan dengan nilai diatas Rp. 50.000.000 ( lima puluh juta rupiah )”.[7]
3.
Pasal
15 Ayat 1 Kepres No 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman pelaksaanan Pengadan Barang
atau Jasa yang berbunyi :
“ Proses prakualifikasi secara umum meliputi pengumuman prakualifikasi,
pengambilan dokumen prakualifikasi, pemasukan dokumen prakualifikasi, evaluasi
dokumen prakualifikasi, penetapan calon peserta pengadaan yang lulus
prakualifikasi, dan pengumuman hasil prakualifikasi”.[8]
- Pasal 7 ayat (1)Kepres No 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Penyeedia barang / Jasa pemerintah yang menyatakan bahwa ruang lingkup berlakunya Keputusan Presiden ini adalah untuk :
a. “pengadaan barang/jasa yang pembiayaannya sebagian atau
seluruhnya dibebankan pada APBN/APBD;”
b. “Pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai
dari pinjaman/hibah luar negeri (PHLN) yang sesuai atau tidak bertentangan
dengan pedoman dan ketentuan pengadaan barang/jasa dari pemberi pinjaman/hibah
bersangkutan”;
c.”Pengadaan barang/jasa untuk investasi di lingkungan BI, BHMN,
BUMN, BUMD, yang pembiayaannya sebagian atau seluruhnya dibebankan pada APBN/APBD”.[9]
2.1.5
Persekongkolan
Yang dimaksudkan persekongkolan
adalah “ konspirasi usaha “
yakni suatu bentuk kerjasama diantara pelaku usaha dengan maksud untuk
menguasai pasar yang bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol
tersebut”.[10]
Persekongkolan menurut UU No 5 Tahun
1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
memiliki 3 pengertian , yaitu :
- Persekongkolan untuk
mengatur pemenang tender.
Undang-undang Anti Monopoli melarang
setiap persekongkolan oleh pelaku usaha dengan pihak lain dengan tujuan untuk
mengatur dan atau menentukan pemenang suatu tender. Hal tersebut jelas
merupakan perbuatan curang dan tidak fair
terutama bagi peserta tender lainnya. Sebab, sudah lazim dalam istilah “tender” bahwa pemenangnya tidak dapat diatur-atur,
melainkan siapa yang melakukan penawaran yang terbaik dialah yang menang.
Karena itu, perbuatan persekongkolan untuk mengatur atau menentukan pemenang
tender dapat mengakibatkan terjadinya suatu persaingan usaha yang tidak sehat.
Menurut Penjelasan Pasal 22 dari
Undang-undang Anti Monopoli, yang dimaksudkan dengan tender dalam hal ini
adalah tawaran untuk mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk
mengadakan barang-barang, atau untuk menyediakan suatu jasa.
- Persekongkolan untuk
memperoleh rahasia perusahaan
Sebagaimana diketahui bahwa yang
namanya “rahasia perusahaan” adalah property
dari perusahaan yang bersangkutan. Karenanya tidak boleh dicuri, dibuka atau
dipergunakan oleh orang lain tanpa seijin pihak perusahaan yang bersangkutan.
Ini adalah prinsip hukum bisnis yang sudah berlaku secara universal.
Karena itu pula, Undang-undang Anti
Monopoli dilarang terhadap tindakan persekongkolan antara seorang pelaku usaha
dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi tentang kegiatan usaha pesaingnya
yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan. Karena hal tersebut dianggap
dapat mengakibatkan terjadinya suatu pesaingan usaha tidak sehat.
Larangan bersekongkol mendapatkan
rahasia perusahaan dalam Pasal 23 tersebut menekankan kepada rahasia perusahaan
tersebut. Artinya apabila dapat dibuktikan ada rahasia perusahaan yang didapati
secara bersekongkol, maka larangan oleh pasal pasal tersebut sudah dapat
diterapkan, karena “demi hukum” telah dianggap adnya suatu persaingan usaha
tidak sehat, tanpa perlu harus dibuktitikan lagi persaingan usasha tidak sehat
tersebut.
- Persekongkolan untuk
menghambat pasokan produk.
Salah satu strategi tidak sehat dalam
berbisnis adalah dengan berupaya agar
produk-produk dari si pesaing menjadi tidak baik dari segi mutu, jumlah atau
ketetapan waktu ketersedianya atau waktu yang telah dipersyratkan.
Karena itu, Undang-undang Anti
Monopoli dengan tegas melarang terhadap setiap persekongkolan oleh pelaku usaha
dengan pihak lain yang dibuat dengan tujuan untuk menghambat produksi dan atau
pemasaran suatu produk dari pelaku usaha pesaingnya dengan harapan agar produk
yang dipasok atau ditawarkan tersebut menjadi kurang baik dari segi
kualitasnya, dari segi jumlahnya, maupun dari segi ketetapan waktu yang
dipersyaratkan.
2.1.6 Dampak Hukum Bagi Pelaku Usaha
Dampak hukum yang dapat dikenakan
kepada pelaku usaha yang telah melakukan pelanggaran terhadap praktek monopoli
dan persaingan usaha tidak sehat adalah berupa sanksi. Dimana sanksi tersebut
dapat berupa :
- Sanksi Administratif
Berdasarkan pasal 47 UU No 5 Tahun
1999, maka KPPU berhak untuk menjatuhkan sanksi administratif bagi pelaku usaha
yang telah terbukti melakukan pelanggaran. Sanksi tersebut dapat berupa :
a)
Penetapan pembatalan perjanjian
yang telah dibuat oleh para pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 4
sampai apsal 13, pasal 15 dan pasal 16
b)
Perintah kepada usaha untuk
menghentikan integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam pasal 14; dan atau
c)
Perintah kepada pelaku usaha
untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau
menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat; dan
atau
d)
Perintah kepada pelaku usaha
untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan; dan atau
e)
Penetapan pembatalan atas
penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana
dimaksud dalam pasal 28; dan atau
f)
Penetapan pembayaran ganti
rugi; dan atau
g)
Pengenaan denda
serendah-rendahnya Rp 1.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya
Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
- Sanksi Pidana
Selain sanksi administratif , Hukum
antimonopoli juga menyediakan sanksi pidana. Dimana saknsi pidana tersebut
dibagi menjadi dua kategori, yaitu :
a)
Sanksi Pidana Dalam UU No 5
Tahun 1999 yang terbagi menjadi 2 kategori sanksi lagi, yaitu :
I.
Sanksi pidana pokok yang
terdapat dalam pasal 48 UU No 5 Tahun 1999, yang berbunyi :
i.
Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 14, pasal 16 sampai dengan
pasal 19, pasal 25, pasal 27, dan pasal 28 diancam pidana serendah-rendahnya Rp
25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000,00
(seratus miliar rupiah ), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6
(enam) bulan.
ii.
Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 5 sampai dengan pasal 8, pasal
15, pasal 20 sampai dengan pasal 24,dan pasal 26 Undang-undang ini diancam pidana
denda serendah-rendahnya Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 ( dua puluh lima miliar rupiah), atau
pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (limi) bulan.
iii.
Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 41 Undang-undang ini diancam
pidana denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp 5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga)
bulan.[11]
II.
Sanksi Pidana Tambahan yang
terdapat dalam pasal 49 UU No 5 tahun
1999 yang berbunyi :
i.
Pencabulan ijin usaha; atau
ii.
Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan
pelanggaran terhadap Undang undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau
komisaris sekurang kurangnya dua tahun dan selama lamanya lima tahun
iii.
Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan
timbulnya kerugian pada pihak lain[12]
b)
Sanksi pidana dalam KUH Pidana.
Selain sanksi pidana yang terdapat didalam UU No 5 tahun 1999 , maka ada pula
sanksi pidana yang diatur dalam KUHP , yang terdapat dalam pasal 382 yang
berbunyi : “ barang siapa untuk mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasil
perdagangan atau perdagangan atau perusahaan milik sendiri atau orang lain,
melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau seorang
tertentu, diancam karena persaingan curang, dengan pidana penjara paling lama
satu tahun empat bulan denda paling banyak tiga belas ribu lima ratus rupiah,
bila perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian bagi konkuren-konkurennya atau
konkuren-konkuren orang lain itu”.[13]
2.2
Konsepsional
Dilihat dari segi judul dan
permasalahan diatas, maka perlu dijelaskan terlebih dahulu mengenai hal
tertentu sebagai berikut :
Berdasarkan UU No 5 tahun 1999
Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang
dimaskud dengan pergertian :
1. Monopoli adalah penguasaan barang atau produksi dan atau pemasaran
barang dan atau pengunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu
kelompok pelaku usaha.
2. Praktek monopoli adalah Pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau
lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat
dan dapat merugikan kepentingan umum.
3. Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk bedan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama sama melalui perjanjian,
menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
4. Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha
dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa
yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat
persaingan usaha.
5. Persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerjasama yang
dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk
menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.
6. Barang adalah setiap benda, baik yang berwujud atau tidak berwujud,
baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai,
dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.
7. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi
yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan konsumen atau pelaku
usaha.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah
komisi yang dibentuk untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan
usahanya agar tidak melakukan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat.
BAB III
KESIMPULAN
Dengan melihat kepada semua kasus tersebut secara keseluruhan dapat
ditarik kesimpulan bahwa kasus terebut terbagi dalam 2 kasus yang sengketa
tanah dan kasus pidana yaitu penggelapan. Untuk memperjelas kasus atau perkara
di atas maka juga dibentuk penilaian atau pandangan dari 2 segi yaitu dari segi
hukum dan segi Real Estate itu sendiri sebagai berikut.
PENINJAUAN DARI SEGI HUKUM
·
Bahwa kasus ini terbagi dalam
dua kasus yaitu sengketa hak milik tanah dan adanya tindakan melawan hukum
yaitu perbuatan pidana : Penggelapan.
·
Bahwa kasus pidana penggelapan
ini telah gugur karena meninggalnya H. Sahal sebagai tersangka.
·
Terdapat gugatan kepada
kejaksaan karena terlalu mencampuri urusan atau perkara Perdata.
·
Bahwa seharusnya barang bukti
dikembalikan kepada pihak dari siapa benda tersebut disita atau pihak ketiga
yang berhak.
·
Bahwa H. Sahal digugat dengan
ketentuan Pidana Pasal 372 KUHP.
·
Adanya pembuktian dari kedua
pihak yang berupa:
1.
Bukti oleh H. Sahal : Surat keterangan Lurah dan
Camat Mampang Prapatan nomor 340/1.711.02 tanggal 15 Oktober 1983.
2.
Bukti oleh pihak YMR : akta
ikrar wakaf Nomor B2B 2/Wali Kota Madya Kepala Daerah
cq Kepala Subdir Agraria.
·
Bahwa bukti H. Sahal dianggap
oleh pihak YMR bertentangan dengan surat
keterangan Lurah Mampang Nomor 224/1.711.7/1991 tentang pewakafan tanah milik.
·
Gugurnya hak ahli waris H.
Sahal diperkuat dengan telah dibentuknya kepengurusan YRM yang baru sejak 2004
dan telah disahkan berdasar akto Notaris Wildania nomor 4, tanggal 12 Agustus
2004.
·
Alasan dari gugurnya hak milik
tersebut adalah bahwa yang bersangkutan sudah bukan lagi merupakan pengurus
jadi ahli warisnya pun sudah tidak berhak untuk menguasainya.
Untuk segi Real Estate-Nya
PENINJAUAN DARI SEGI REAL ESTATE
- Dengan adanya ketentuan hukum real
estate yang berlaku pihak H. Sahal tidak berhak atas hak milik tanah
tersebut karena telah melakukan tindak kejahatan dengan tanah tersebut.
- Gugurnya kepemilikan terhadap ahli
waris merupakan hal yang benar yang harus diputus.
- Hak atas tanah tersebut dapat
dibuktikan dengan pengajuan bukti yang benar dan tepat dan tidak
bertentangan dengan pembuktian yang lain.
Setelah melihat pada pandangan segi-segi tersebut maka dapat
disimpulkan solusinya adalah sebagai berikut.
SOLUSI
- Untuk mendapatkan solusi yang
terbaik dalam kasus ini sebenarnya ada beberapa hal yang dapat diusahakan
:
- Dengan melakukan musyawarah untuk
mufakat sehingga tidak menimbulkan banyaknya pertentangan.
- Mengetahui dan menyadari secara
pasti bahwa semua hal yang dilakukan memiliki akibat hukumnya sendiri.
- Polri lebih serius dan aktif
dalam menangani masalah ini sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan.
- Cermat dalam menilai suatu
permasalahan atau suatu perbuatan hukum apakah merupakan perbuatan
melawan hukum atau bukan.
- Sadar akan adanya arti
kebersamaan yang dimana untuk mendukung kepentingan bersama harus di
bahas terlebih dahulu secara bersama.
Dengan berbagai kesimpulan tersebut maka dapat kita tarik kesimpulan
intinya bahwa perkara ini merupakan perkara yang saling berkaitan antara satu
dengan lain meskipun terdapat perbedaan-perbedaannya sendiri.
BAB IV
PEMBAHASAN
MASALAH
Dengan melihat kepada semua kasus tersebut secara keseluruhan dapat
ditarik kesimpulan bahwa kasus terebut terbagi dalam 2 kasus yang sengketa
tanah dan kasus pidana yaitu penggelapan. Untuk memperjelas kasus atau perkara
di atas maka juga dibentuk penilaian atau pandangan dari 2 segi yaitu dari segi
hukum dan segi Real Estate itu sendiri sebagai berikut.
PENINJAUAN DARI SEGI HUKUM
·
Bahwa kasus ini terbagi dalam
dua kasus yaitu sengketa hak milik tanah dan adanya tindakan melawan hukum
yaitu perbuatan pidana : Penggelapan.
·
Bahwa kasus pidana penggelapan
ini telah gugur karena meninggalnya H. Sahal sebagai tersangka.
·
Terdapat gugatan kepada
kejaksaan karena terlalu mencampuri urusan atau perkara Perdata.
·
Bahwa seharusnya barang bukti dikembalikan
kepada pihak dari siapa benda tersebut disita atau pihak ketiga yang berhak.
·
Bahwa H. Sahal digugat dengan
ketentuan Pidana Pasal 372 KUHP.
·
Adanya pembuktian dari kedua
pihak yang berupa:
1.
Bukti oleh H. Sahal : Surat keterangan Lurah dan
Camat Mampang Prapatan nomor 340/1.711.02 tanggal 15 Oktober 1983.
2.
Bukti oleh pihak YMR : akta
ikrar wakaf Nomor B2B 2/Wali Kota Madya Kepala Daerah
cq Kepala Subdir Agraria.
·
Bahwa bukti H. Sahal dianggap
oleh pihak YMR bertentangan dengan surat
keterangan Lurah Mampang Nomor 224/1.711.7/1991 tentang pewakafan tanah milik.
·
Gugurnya hak ahli waris H.
Sahal diperkuat dengan telah dibentuknya kepengurusan YRM yang baru sejak 2004
dan telah disahkan berdasar akto Notaris Wildania nomor 4, tanggal 12 Agustus 2004.
·
Alasan dari gugurnya hak milik
tersebut adalah bahwa yang bersangkutan sudah bukan lagi merupakan pengurus
jadi ahli warisnya pun sudah tidak berhak untuk menguasainya.
Untuk segi Real Estate-Nya
PENINJAUAN DARI SEGI REAL ESTATE
- Dengan adanya ketentuan hukum real
estate yang berlaku pihak H. Sahal tidak berhak atas hak milik tanah
tersebut karena telah melakukan tindak kejahatan dengan tanah tersebut.
- Gugurnya kepemilikan terhadap ahli
waris merupakan hal yang benar yang harus diputus.
- Hak atas tanah tersebut dapat
dibuktikan dengan pengajuan bukti yang benar dan tepat dan tidak
bertentangan dengan pembuktian yang lain.
Setelah melihat pada pandangan segi-segi tersebut maka dapat
disimpulkan solusinya adalah sebagai berikut.
SOLUSI
- Untuk mendapatkan solusi yang
terbaik dalam kasus ini sebenarnya ada beberapa hal yang dapat diusahakan
:
- Dengan melakukan musyawarah untuk
mufakat sehingga tidak menimbulkan banyaknya pertentangan.
- Mengetahui dan menyadari secara
pasti bahwa semua hal yang dilakukan memiliki akibat hukumnya sendiri.
- Polri lebih serius dan aktif
dalam menangani masalah ini sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan.
- Cermat dalam menilai suatu
permasalahan atau suatu perbuatan hukum apakah merupakan perbuatan melawan
hukum atau bukan.
- Sadar akan adanya arti
kebersamaan yang dimana untuk mendukung kepentingan bersama harus di
bahas terlebih dahulu secara bersama.
Dengan berbagai kesimpulan tersebut maka dapat kita tarik kesimpulan
intinya bahwa perkara ini merupakan perkara yang saling berkaitan antara satu
dengan lain meskipun terdapat perbedaan-perbedaannya sendiri.
SKRIPSI ANTI
MONOPOLI
DI SUSUN OLEH :
BUDI PRAJAYA
05120050190
ILMU HUKUM
UPH LIPPO KARAWACI
[1] Indonesia , Undang Undang No 5 Tahun
1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, pasal
3 ayat 5
[2] Lihat Munir Fuady, Hukum
Antimonopoli, ( Bandung
: PT. Citra Aditnya Bakti), hal. 3
[3] Ibid, hal 4
[4] Indonesia , Loc cit pasal 1 ayat 2
[5] Ibid, pasal 1 ayat 6
[6] Indonesia , kepres No 80 Tahun 2003
Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah, pasal 2 ayat 2
[7] Ibid, pasal 10 ayat 1
[8] Ibid, Pasal 15 ayat 1
[9] Ibid, Pasal 7 ayat 1
[10] Munir Fuady, Opcit, hal. 82
[11] Indonesia , UU No 5 Tahun 1999
Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, pasal 48
[12] Ibid, Pasal 49
[13] Indonesia , KUHP, Pasal 282
0 komentar:
Post a Comment