ABSTRAK
ANALISA HUKUM
ASURANSI KENDARAAN
BERMOTOR MENURUT UNDANG-UNDANG HUKUM DAGANG
Transaksi
pembiayaan konsumen kendaraan bermotor melibatkan tiga pihak. Pertama, kreditur
selaku badan usaha yang melakukan pembiayaan pengadaan angsuran kebutuhan
konsumen (motor atau mobil) dengan sistem pembayaran angsuran atau berkala.
Kedua, debitur selaku nasabah yang menerima fasilitas pembiayaan dari kreditur
guna pembelian kendaraan bermotor. Ketiga, dealer selaku perusahaan yang
menyediakan barang kebutuhan konsumen (motor atau mobil) dalam rangka
pembiayaan konsumen. Hubungan antara resiko dan asuransi merupakan hubungan
yang erat satu dengan yang lain. Dari sisi manajemen resiko, asuransi malah
dianggap sebagai salah satu cara yang terbaik untuk menangani suatu resiko.
Dalam pasal 246 KUHD memberikan batasan perjanjian asuransi sebagai berikut :
Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, mana seorang penanggung
mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan meminta suatu premi, untuk
memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, kehilangan
keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu
peristiwa yang tidak tertentu.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini teknologi di bidang industri pengangkutan baik darat, laut
maupun udara berkembang dengan pesat. Di Indonesia pun penggunaan hasil-hasil
produksi teknologi yang tinggi dibidang alat angkut pesat sekali, meskipun yang
menikmati hasil produksi tersebut baru sebhagian golongan masyarakat saaja.
Produksi kendaraan bermotor saat ini tidak terbilang jumlahnya disebabkan
persaingan harga dan kualitas kendaraan pribadi dan alat angkut penumpang umum,
baik yang melalui darat, laut maupun udara, dari tahun ke tahun semakin
meningkat jumlahnya yang merupakan dampak lain yang harus dipeerhitungkan dari
segi ekonomi.
Karena
itu, bermacam-macam perusahaan telah muncul, khususnya prusahan yang
berhubungan dengan kegiatan memberikan jaminan atau tangungan kepada seseorang
atau kepada suatu aset tertentu, karena standar suatu saat dapat ditimpa oleh
suatu kerugian atau peristiwa.
Karena
itu kita menyaksikan puluhan bahkan ratusan perusahan asuransi di Indonesia
menawarkan jasanya. Mereka menawarkan jasanya agar seseorang anggota masyarakat
bersedia menjadi angota atau nasabah suatu perusahaan asuransi.
Pada
kenyatannya kinerja perusahaan asuransi di Indonesia pada saat ini dapat
dikatakan umumnya belum menggembirakan. Belum menggembirakan, yang mana dari
pihak pengelola usaha asuransi belum memberikan pelayanan yang baik, bahkan
sering kali melakukan penipuan terhadap konsumen atau muncul kesan dipersulit
ketika akan menggugat hak, baik dalam asuransi jiwa maupun dalam asuransi
kerugian.
Sedangkan
dari pihak masyararat industri asuransi kurang diminati, disamping minimnya
pengetahuan masyarakat terhadap asuransi, juga disebabkan masih rendahnya income per kapita masyarakat.
Bagi mereka yang akan bergabung atau
menjadi nasabah perusahaan asuransi perlu mengetahui apa kriteria, pedoman
layak dipertimbangkan ketika akan memilih suatu asuransi. Dalam hubungan ini,
beberapa kriteria atau pedoman tersebut dapat dikemukakan antara lain :
1. Perusahaan asuransi hanya menjual program berdasarkan kemampuan
nasabah. Jika kemampuan konsumen tak memenuhi implikasinya pertanggungan putus
di tengah jalan.
2. Produk yang dijual sesuai dengan kebutuhan,
artinya kebutuhan nasabah lebih diutamakan. Logikanya produk yang dibutuhkan
masyarakat akan laris di pasaran, oleh sebab itu masyarakat sudah semakin sadar
akan pentingnya suatu program asuransi.
3. Pastikan nasabah yang membeli polis dalam
keadaan sehat. Ini penting
agar tidak terjadi penipuan. Nasabah mengaku sehat, padahal mengidap penyakit,
hal ini tentunya akan merugikan pihak asuransi. Hal ini berkaitan dengan pasal
1338 ayat (3) KUH perdata, yang menyebutkan bahwa suatu perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik.
4. Ini
berkaitan erat dengan komitmen nasabah dala program atau produk yang
dipilih. Tak
kalah penting lagi, asuransi harus dijual dengan tatap muka dalam hal ini tidak
bisa menjual asuransi hanya lewat telepon.
5. Kondisi keuangan perusahaan asuransi sendiri.
Saat ini ada sebagian perusahaan asuransi cenderung mengulur-ulur waktu ketiga
akan membayar klaim. Oleh sebab itu faktor permodalan lebih menjadi perhatian
perusahaan asuransi tersebut.
Gambaran
negatif bahwa perusahaan asuransi yang mempersulit nasabah dalam hal klaim,
bukan kebiasaan. Namun kadang kala nasabah mempersulit dirinya sendiri, antara
lain dengan tidak jujur dalam mengisi formulir aplikasi (SPAJ) yang mana
ketidak jujuran tersebut akan merugikan dirinya sendiri.
Kriteria yang di atas sangat
penting. Sebab bila salah pilih, nasabah bisa rugi. Untuk itulah ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan dan diterapkan oleh asuransi di Indonesia. Oleh
karena itu seorang agen dalam kegiatannya, dalam menyampaikan program‑program
asuransi yang ada di Indonesia harus. memberikan keterangan yang jelas dan
benar mengenai perusahaan, produk‑produk perusahaan asuransi maupun proposal
kepada setiap calon pemegang polis, yang mana, hal ini sesuai dengan apa yang
dikemukakan. Di dalam surat permintaan asuransi jiwa (SPAJ) telah dibutuhkan
bahwa setiap keterangan yang diberikan oleh calon pemegang polis dan atau calon
Tertanggung, oleh agen tidak boleh menyembunyikan informasi apapun kepada calon
pemegang polis dan tidak memberikan keterangan yang bertentangan dengan
ketentuan umum dan ketentuan khusus polis PT Asuransi di Indonesia.
Konsekuensi nasabah membeli
polis harus dengan cara tanggung jawab. Seperti yang telah diuraikan di atas,
bahwa dalam perlindungan nasabah peraturan, perundang‑undangan yang berlaku dan
berkaitan dengan desakan perasuransian terutama KUH Perdata dan KUHD sebagai
acuan dalam hukum asuransi yang kemudian diberlakukan beberapa ketentuan‑ketentuan
lainnya, seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, dan Peraturan‑peraturan
lainnya juga menyangkut polis.
Akan halnya kepada siapa
seorang nasabah bisa berharap mendapat jaminan ketenangan, tentunya pertama kepada Tuhan Yang Maha Esa, kedua
kepada asuransi. Dengan cara berasuransi maka orang yang menghadapi resiko atas
jiwanya bermaksud untuk mengalihkan resikonya itu atau setidak‑tidaknya membagi
resikonya itu kepada pihak lain yang bersedia menerima peralihan atau pembagian
resiko tersebut. Peralihan resiko itu tidak terjadi dengan begitu saja, tanpa
kewajiban apa‑apa pada pihak yang memperalihkan. Hal itu harus diperjanjikan
terlebih dahulu.
Contoh kasus, Bapak HD,
mengaku, sakit hati. Kalim yang dia ajukan benar‑benar dipersulit pihak
asuransi, dan baru diluluskan setelah menunggu setahun. Pengusaha yang
berdomisili di Jakarta ini menilai, Asuransi X melakukan wanprestasi alias
ingkar janji. Pasalnya, asuransi pendidikan yang hendak ditutup tidak tunduk
kepada kurs nilai rupiah yang berlaku, melainkan dipaksakan dengan kurs nilai
tukar rupiah yang telah dipatok pihak asuransi.
Padahal, menurut pejanjian
mengikuti kurs nilai tukar‑rupiah yang berlaku, kasus kurang nyaman Bapak HD
ini makin memperkuat anggapan bahwa konsumen selalu berada di pihak yang lemah.
Apalagi hingga kini tidak ada aturan yang secara khusus mengatur akibat‑akibat
hukum yang timbul antara perusahaan asuransi dengan konsumen. Namun demikian hal ini dapat dikaitkan dengan Pasal 27 ayat (4) PP No. 73 tahun 1992 yang
menyebutkan bahwa agen harus memberikan informasi yang benar.
Kisah kelabu tadi memperpanjang kasusnya bermuara kepada
betapa perlakuan perusahaan asuransi masih ada yang tak berubah dari pola‑pola
lama. Kewajiban membayar premi yang sudah ditunaikan dengan baik dan lancar
seringkali tidak diikuti dengan kemudahan ketika klaim diajukan. Prosedurya
malah rumit, berbelit‑belit dan lama. Sangat jauh berbeda dibandingkan dengan
ketika para konsumen dibujuk rayu untuk bergabung menjadi nasabah. Nasabah
mesti pontang‑panting terlebih dahulu, setelah itu jika beruntung haknya baru
dipenuhi oleh perusahaan asuransi.
Namun dari sekian banyak ketentuan‑ketentuan tersebut,
satu hal yang terpenting yaitu perlindungan nasabah yang langsung dapat
dijadikan jaminan oleh semua asuransi yang ada di Indonesia ,
yakni berupa polis. Adapun
syarat‑syarat umum polis harus memperhatikan tiga kepentingan, yakni :
1. Kepentingan nasabah: Kepentingan
nasabah di sini agar bisa memberikan sesuatu hal yang jelas untuk kepentingan
nasabah atau tertanggung. Nasabah bisa dilindungi, mereka mendapatkan syarat‑syarat
yang sama di perusahaan asuransi.
2. Kepentingan instansi pembina
atau pengawas: Yang dimaksud kepentingan instansi pembina, atau pengawas
yakni kepentingan pemerintah melalui direktorat asuransi, apa yang tercantum
dalam undang‑undang, peraturan‑peraturan pemerintah harus menjadi referensi dan
syarat‑syarat umum polis tersebut.
3. Kepentingan industri
asuransi: Yang dimaksud dengan kepentingan industri asuransi adalah
industri asuransi harus terlindungi dari usaha atau itikad buruk pihak-pihak
yang ingin mendapatkan keuntungan diri dari asuransi.
Seperti yang tersebut dalam Pasal 25
KUHD, bahwa suatu pertanggungan harus dibuat secara tertulis di dalam suatu
akta yang dinamakan polis. Di dalam polis itu sendiri tidak boleh merugikan
kepentingan pemegang polis (nasabah) seperti disebutkan dalam Pasal 11 (bab 1)
undang-undang No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. yang menimbulkan
penafsiran berbeda mengenai hak dan kewajiban penanggung maupun tertanggung,
yang tertera dalam Pasal 19 ayat (1) undang-undang No. 2 tahun 1992.
Adapun dalam Pasal 5 (bab 11)
Keputusan Menteri Keuangan No. 225/KMK.O 17/1993, bahwa di dalam polis asuransi
dilarang mencantumkan pembatasan upaya hukum begitu pula yang terdapat pada
Pasal 6 Kep. Menkeu. No. 225/KMIK.017/1993, yang menyatakan bahwa dalam polis
dilarang mencantumkan pembatasan upaya hukum, disamping itu tindakan yang dapat
dianggap memperlambat penyelesaian atau pembayaran klaim secara wajar antara
lain :
1. Memperpanjang masa penyelesaian klaim, dengan
memilih dokumen lain yang pada dasarnya isi tersebut sama dengan dokumen yang
telah ada.
2. Menunda pembayaran klaim, dengan mengkaitkan
pembayaran klaim reasuransi.
3. Menerapkan prosedur yang tidak lagi dalam
lingkup kegiatan asuransi.
4. Tidak menyelesaikan klaim dengan mengkaitkan
pada penyelesaian klaim yang lain pada polis yang sama.
Di samping itu
peran agen dalam kegiatan agency asuransi yang ada di Indonesia , yakni ‑harus menyimpan
informasi atau rahasia tentang nasabahnya dan juga tentang eksistensi
perusahaannya. Sekali lagi agen harus menjaga kerahasiaan, ahli waris dan
perusahaan serta menyediakan akses hanya untuk mereka.
Oleh karena itu
setiap usaha asuransi yang ada di Indonesia mewajibkan semua agen
agar mematuhi seluruh kebijakan, peraturan serta prosedur yang diberlakukan.
Hal ini untuk menjamin bahwa perusahaan mampu memenuhi janji dan integritas
dalam berurusan dengan nasabah. Berkenaan dengan ketentuan ini, tentu akan menimbulkan
perselisihan yang mengakibatkan kerugian atau akibat‑akibat hukum.
Untuk melindungi
reputasi perusahaan seharusnya ada tindakan dalam hal terjadi pelanggaran atas
peraturan ini termasuk didalamnya berupa pelanggaran hukum atau praktek‑praktek
yang tidak etis yakni memberhentikan pertanggungan dari tertanggung secara
sepihak. Tertanggung dapat menuntut secara hukum sesuai dengan ketentuan dan
peraturan yang berlaku.
Usaha
untuk mengatasi risiko akibat persaingan jual beli kendaraan bermotor dilakukan
dengan berbagai macam cara antara lain dengan mengadakan perjanjian asuransi
yang mempunyai tujuan mengaplihkan sebagian atau seluruh risiko kepada pihak
lain layng mampu menerima atau dengan mengganti kerugian kepada pembeli atau
pemakaian dengan mengganti kerugian kepada orang yang menghadapi risiko itu. Manfaat dari suatu pertanggungan bagi
kehidupan masyarakat dirasakan oleh pemerintah. Hal ini terbukti dengan adanya
berbagai jenis pertanggungan atau asuransi dengan maksud memberikan jaminan
sosial bagi anggota masyarakat pengguna. Keberadaan asuransi krugian, misalnya
PT. Asuransi Jasa Raharja untuk pertanggungan asuransi kecelakaan adalah
perwujudan pemberian jaminan perlindungan atau asuransi untuk masyarakat dengan
cara pemberian jaminan sosial bagi segolongan masyarakat yang memang wajar
memperolehnya yaitu para korban kecelakan lalulintas jalan baik yang melalui
darat, sungai/danau, laut maupun udara. Sedangkan untuk kendaraan bermotor itu
sendiri ada asuransi khusus sebagai pertanggungan atau asuransi apabila
kendaraan itu mendapat kecelakaan dan atau hilang. Menganai pertanggungan atau
asuransi ialah untuk memberikan jaminan kepada anggota masyarakat yang tertimpa
musibah kecelakaan lalulintas di luar kesalahannya sendiri karena pengguna kendaraan
baik pribadi atau umum yang ditumpanginya, karena baik kecelakaan lalu lintas,
maupun hilang atau cacatnya kendaraan adalah merupakan suatu peristiwa yang
tidak disengaja atauun tidak disangka-sangka terjadinya, sehingga dapat saja
mengakibatkan seseorang menjadi luka, cacat dan meninggal dunia, sementara
kendaraan bermotornyapun rusak atau menjadi hancur tidak dapat digunakan lagi.
Walaupun
Asuransi kendaraan bermotor sebagai lembaga jaminan yang dipercayakan untuk
pemberian jaminan perlindungan dirasakan semakin penting, tetapi masih terdapat
anggota masyarakat yang belum memahami peranan Asuransi kendaraan bermotor
dalam meringankan beban baik kepada korban kecelakaan, lalulintas ataupun
jaminan kendaraan bermotor itu sendiri. Jumlah santunan yang disediakan
Asuransi santunan kepada pengguna kendaraan bermotor dan pengendara yang
menjadi korban relatif cukup besar dan bermanfaat bagi para korban dan menadpat
kembali kendaran bermotor yang rusak menjadi layak pakai kembali.
B. Pokok Permaslahan
Dalam hal
ini pokok permasalahan yang akan dibahas antara lain :
1. Sejumlah persyaratan untuk mengklaim asuransi
kendaraan yang hilang, apakah ada kemudahan.
2. Bagaimana jalan keluar apabila perusahaan
asuransi tersebut bangkrut ?
3. Bagaimana jalan keluar apabila pembayaran
premi asuransi terhenti ?
4. Apakah dapat dipermudah untuk kendaraan
bermotor yang diasuransikan hilang.
C. Tujuan
Penulisan
Penulisan
skripsi ini merupakan kewajiban mahasiswa yang akan menyelesaikan studi tingkat
akhir dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan atau
memenuhi program S1 pada Sekolah Tinggi Hukum Indonesia . Disamping itu merupakan
bentuk sumbangan pikiran yang bermanfaat bagi masyarakat khususnya dibidang
ilmu pengetahuan hukum yang berkaitan dengan asuransi kendaraan bermotor.
Tujuan
penulisan skripsi ini adalah untuk menambah dan memadatkan ilmu pengetahuan
hukum yang selama ini diperoleh, menjadi satu bentuk tulisan yang memberi ciri
tersendiri sebagai seorang calon sarjana hukum. Akan tetapi penulis juga
menyadari bahwa dalam membahas permasalahan dalam ilmu pengetahuan, waktu and
hal-hal lainnya, sehingga menjadikan kewajiban penulis untuk memperbaiki dan
menyempurnakan di kemudian hari.
D. Metode Penelitian
Dalam usaha untuk
mencapai kelengkapan penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan sumber
penelitian yaitu :
Penelitian Kepustakaan. Dalam hal ini penulis membaca dan
mempelajari buku-buku, surat
kabar, majalah dan penerbitan hubungan dengan obyek uraian skripsi. Dan
perpustakaan.
E. Sistematika Penulisan
Pembahasan skripsi ini terbagi menjadi 5
(lima) bab dan setiap bab terdiri dari beberapa bab. Pembagian tersebut
dilakukan secara sistematis sesuai dengan tahapan-tahapan uraiannya, sehingga
tidak berdiri sendiri tetapi berhubungan erat satu sama lain dan merupakan satu
kesatuan yang menyeluruh.
Adapun
isi dari tiap-tiap bab tersebut adalah sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan
Dalam
bab ini diuraikan latar belakang tujuan penulisan, metode penelitian yang
didalamnyamenjelaskan jasa cara-cara penelitian untuk memperoleh data pembuatan
skripsi ini dan sebagai uraian yang terakhir mengenai sistematika skripsi.
BAB
II : Tujuan
Umum Tentang Asuransi Atau Pertanggungan
Menguraikan pengertian
dan macam-macam tujuan jenis pertanggungan atau asuransi serta premi dan polis
dalam pertanggungan atau asuransi, premi dan polis asuransi serta diakhiri
dengan klaim pertanggungan atau klaim
asuransi.
BAB
III : Pertanggungan asuransi dalam Hukum Dagang yaitu berisi
mengenai pengertian dan pengaturannya, jenis dan macam pertanggungan atau
asuransi, premi dan polis asuransi serta diakhiri dengan klaim pertanggungan
atau klaim asuransi.
BAB
IV : Analisa
Hukum Asuransi Kendaraan Bermotor menurut KUH Dagang. Membicarakan Asuransi
Kendaraan bermotor yang mendapat ganti rugi pertanggungan wajib kendaraan
bermotor, proses pemberian ganti kerugian para penggunaan kendaraan bermotor
dan cara klaim ganti rugi memuat KUHD.
BAB V : Penutup
Memuat kesimpulan penulis
mengenai segala sesuatu yang telah diuraikan pada bab-bab yang terdahulu serta
saran-saran yang mungkin bermanfaat bagi pembaca skripsi ini terutama bagi yang
berkepentingan.
BAB II
ASURANSI PADA UMUMNYA
A. Pengertian dan Tujuan Asuransi
- Pengertian Asuransi
Asuransi atau dalam bahasa Belanda “Verzekering”
yang berarti pertanggungan. Dalam pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang (KUHD) atau Wetboek Van
Koophandle, bahwa asuransi atau pertanggungan adalah suatru perjanjian
dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri dengan seseorang tertanggung
dengan menerima uang premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu
kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin
akan didenda karena suatu peristiwa tak tentu. Ketentuan ini berlaku bagi semua macam pertanggungan, baik
yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) maupun yang ada di luar
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
Terdapat 3 (tiga) unsur mutlak yang perlu diperhatikan dalam Pasal
246 Kitab Undang-undang Hukum Dagang, yaitu :
- Adanya Kepentingan
Kepentingan
adalah obyek pertanggungan dan merupakan hak subyektif yang mungkin akan lenyap
atau berkurang karena terjadinya suatu peristiwa tak tentu atau pasti. Unsur
kepentingan adalah unsur yang mutlak harus ada pada tiap-tiap pertanggungan,
baik pada saat ditutupnya pertanggungan maupun pada saat terjadinya
avemen.
- Adanya Peristiwa Tak
Tentu
Unsur
peristiwa tak tentu dalam pertanggungan jiwa, yaitu kematian adalah suatu
peristiwa yang pasti akan terjadi, dimana yang tidak tertentu adalah “kapan” kematian itu akan menjadi
kenyataan. Peristiwa tak tentu dalam pertanggungan jiwa baru ada apabila si
penanggung mengikatkan diri untuk membayar, kalau kematian datang lebih pendek
daripada jangka waktu dan kemungkinan berlangsungnya hidup orang yang
bersangkutan. Lain halnya dengan pertanggungan kerugian sebab disana peristiwa
itu adalah suatu kejadian yang menurut pengalaman manusia tidak dapat
diharapkan akan terjadi.[1]
- Adanya Kerugian
Penggantian
kerugian diberikan penanggung sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai suatu
ganti rugi, oleh karena orang yang menerima ganti rugi tidak menerima ganti
rugi yang sungguh-sungguh sesuai dengan kerugian yang dideritanya. Ganti rugi
yang diterimanya sebenarnya adalah hasil penentuan sejumlah uang tertentu yang
telah disepakati pihak-pihak. [2]
Jadi pemberian
uang oleh penanggung bukanlah murni merupakan suatu penggantian kerugian, oleh
karena jiwa manusia tidak mungkin dinilai dengan uang. Rumusan definisi
pertanggungan dalam Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum dagang (KUHD) berlaku
bagi segala macam pertanggungan, dengan demikian berlaku bagi pertanggungan
kerugian maupun bagi pertanggungan sejumlah uang atau pertanggungan jiwa.
- Tujuan Asuransi
Tujuan dari Asuransi atau Pertanggungan
adalah sebagai berikut : [3]
- Tujuan
Ganti Rugi
Ganti
rugi yang diberikan oleh penanggung kepada tertanggung apabila tertanggung
menderita kerugian yang dijamin oleh polis, yang bertujuan untuk mengembalikan
tertangung dari kebangkrutan sehingga ia masih mampu berdiri seperti sebelum
menderita kerugian.
Jadi
tertanggung hanya oleh boleh memperoleh ganti rugi sebesar kerugian yang dideritanya, artinya
tertanggung tidak boleh mencari keuntungan (speklasi) dari asuransi. Bagitu
juga dengan penanggung, ia tidak boleh mencari keuntungan atas interst yang
ditanggungnya, kecuali memperoleh baals jasa atau premi.
- Tujuan tertanggung
Adalah
sebagai berikut :
a. Untuk memperoleh rasa tentram dan aman dari
resiko yang dihadapinya atas kegiatan usahanya atas harta miliknya.
b. Untuk mendorong keberanianya mengikatkan usaha
yang lebih besar dengan resiko yang lebih besar pula, karena risiko yang benar
itu idiambil oleh penanggung.
- Tujuan Penanggung
Tujuan
penanggung dibagi 2 (dua), yaitu :
a. Tujuan Umum, yaitu : memperoleh keuntungan
selain menyediakan lapangan kerja, apabila penanggung membutihkan tenaga
pembantu.
b. Tujuan Khusus, adalah :
- Meringankan resiko yang yang dihadapi oleh
para nasabah atau para tertanggung dengan mangambil alhi risiko yang dihadapi.
- Menciptakan rasa tentram dan aman
dikalangan nasabahnya, sehingga lebih berani mengikatkan usaha yang lebih
besar.
- Mengumpulkan dana melalui premi yang
terkumpul sedikit demi sedikit dari para nasabahnya sehingga terhimpun dana
besar yang dapat digunakan untuk membiayai pembagian Bangsa dan Negara.
B. Sifat Asuransi
Asuransi
atau pertanggungan di Indonesia sebenarnya berasal dari hukum Berat, baik dalam
pengertian maupun adlam bentuknya. Asuransi sebagai bentuk hukum di Indonesia
yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mempunyai beberapa
sifat sebagai berikut : [4]
a. Sifat Perjanjian
Semua asuransi berupa perjanjian
tertentu (Boyzondere Over Komst), yaitu
suatu pemufakatan antaar dua pihak atau lebih dengan maksud akan mencapai suatu
tujuan, dimana seorang atau lebih berjanji terhAdap seorang lain atau lebih
(pasal 1315 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
b. Sifat timbal balik
(Weder Kerige)
Persetujuan asuransi
atau pertanggungan merupakan suatu persetujuan timbal balik (Weder Kerige
Overeen Komst), yang berarti bahwa masing-masing pihak berjanji akan melakukan sesuatu
bagi pihak lain.
Pihak terjamin berjanji akan
membayar uang premi, pihak penjamin berjanji akan membayar sejumlah uang (uang
asuransi) kepada pihak terjamin, apabila suatu peristiwa tertentu terjadi.
c. Sifat Konsensual
Persetujuan asuransi
atau pertangungan merupakan suatu persetujuan yang bersifat konsensual, yaitu
sudah dianggap terbentuk dengan adanya kata sepakat antara kedua belah pihak
(pasal 251 KURD).
d. Sifat Perkumpulan
Jenis asuransi yang
bersifat perkumpulan (Vereeninging ) adalah asuransi saling menjamin yang
terbentuk diantara para terjamin selaku anggota. Asuransi seperti ini
disebutkan dalam pasal 286 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) yang
menyatakan bahwa asuransi itu takluk pada persetujuannya dan peraturannya.
Perkumpulan asuransi diatur
dalam Pasal 1635, 1654 dan 1655 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer),
yang dapat disimpulkan bahwa perkumpulan asuransi saling menjamin merupakan “Zadelijk Lichaam” yang artiny asuransi
dalam masyarakat dapat bertindak selaku orang dan dapat mengadakan segala
perhubungan hukum dengan orang lain secara sah.
Perkumpulan asuransi dapat
bertindak kedalam dan keluar, yaitu kedalam jdapat mengadakan persetujuan
asuransi dengan para anggota selaku terjamin, dan keluar dengan perbuatan hukum
lainnya, persetujuan ini takluk pada
ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), baik dengan anggota
sendiri maupun dengan orang lain.
c. Sifat Perusahaan
Asuransi yang mengatur sifat
perusahaan adalah asuransi secara premi dimana diadakan antara pihak penjamin
dan pihak terjamin, tanpa ikatan hukum
diantara terjamin dengan orang lain yang juga menjadi pihak terjamin terhadap
si penjamin.
Dalam hal ii pihak penjamin
biasanya bukan seorang individu, melainkan suatu badan yang bersifat
perusahaan, yang memperhitungkan untung rugi dalam tindakannya.
C. Polis dan Premi di dalam Asuransi
- Polis Asuransi
Suatu
perjanjian asuransi atau pertanggungan bersifat konsensual (adanyakesepakatan),
harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta antara pihak yang mengadakan
perjanjian. Pada akta yang dibuat secara tertulis itu dinaman “polis”. Jadi, polis adalah tanda bukti
perjanjianprtanggungan yang merupakan bukti tertulis.
Pada
perjanjian asuransi atau pertanggungan antara para pihak, seorang penanggung
harus menyerahkan polis kepada tertanggung dalam jangka waktu sebagai berikut :[5]
a. Bila perjanjian dibuat seketika dan langsung
antara penanggung dan tertanggung yang dikuasakan tertanggung, maka polis yang
telah ditandatangani oleh penanggung harus duserahkan kepada tertanggung dalam
tempo 24 jam (pasal 259 KUHD).
b. Jika pertanggungan dilakukan mulai makelar
asuransi (broker), maka polis yang telah ditandatangani oleh penanggung harus
diserahkan kepada tertangung paling lama dalam tempo 8 (delapan) hari (pasal
260 KUHD).
- Fungsi Umum Polis, adalah :
a. Perjanjian pertanggungan
(Contract Of Indonesia)
b. Sebagai bukti jaminan dri penanggung kepada
tertanggung untuk mengganti krugian yang mungkin dialami oleh tergugat akibat
peristiwa yang tidak diduga sebelumnya dengan prinsip :
- Untuk mengembalikan tertanggung kepada
kedudukannya semula sebelum mengalami kerugian; atau
- Untuk mengindarkan tertanggung dari
kebangkrutan (Toial Collapse)
c. Bukti pembayaran premi asuransi oleh
tertanggung kepada penanggung sebagai balas jasa atas jaminan penanggung.
- Is polis pada Umumnya dalam Asuransi
Sesuai dengan
peraturan Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), dengan pengecualian terhadap
asuransi atau pertanggungan jiwa, terdapat 8 (delapan) syarat diantaranya yaitu
:[6]
a. Hari
ditutupnya perjanjian pertanggungan
b. ama oranh yang menutup pertanggungan, atas
namanya sendiri atau atas tanggungan orang ketiga.
c. Uraian yang jelas mengenai
benda pertangungan atau obyek yang dijamin
d. Jumlah pertanggungan, untuk mana diadakan
jaminan (uang asuransi)
e. Bahaya-bahaya yang ditanggung oleh penanggung
f. Saat mulai dan akhir tenggang waktu, dalam
mana didakan jaminan oleh penjamin.
g. Jumlah uang Premi yang harus dibayar oleh si
terjamin
h. Keterangan tambahan yang perlu diketahui oleh
penjamin dan janji-janji khusus yang diadakan oleh kedua belah pihak.
- Premi Didalam
Asuransi
Pengertian premi
dalam asuransi atau pertanggungan adalah kewajiban tertanggung, dimana hasil
dari kewajiban tertanggung akan digunakan oleh penangung untuk mengganti
kerugian yang diderita tertanggung.
Premi
biasanya ditentukan dalam suatu presentase dari jumlah pertanggungan, dimana
dalam presentase menggambarkan penilaian penanggung terhadap resiko yang
ditanggungnya, penilaian penanggung berbeda-beda, akan tetapi hal ini
dipengaruhi oleh hukum permintaan dan penawaran.[7]
Fungsi
dari premi merupakan harga pembelian dari tanggungan yang wajib diberikan oleh
penanggung atau sebagai imbalan resiko yang diperalihkan pertanggungan dibuat,
kecuali pertanggungngan saling menanggung. Sedangkan mengenai pembayaran premi,
biasanya dibayar tunai pada saat perjanjian pertanggungan ditutup. Tetapi jika premi diperjanjikan dengan
anggaran maka premi dibayar pada permulaan tiap-tiap waktu angsuran.
D. Subyek dan Obyek Asuransi
- Subyek Asuransi
Dalam tiap-tiap
persetujuan selalu ada 2 (dua) macam subyek, yaitu di satu pihak seorang atau
badan hukum mendapat badan kewajiban untuk sesuatu, dan dilain pihak ada seorang
atau suatu badan hukum yang mendapat hak atas pelaksanaan kewajiban itu, maka
dalam tiap-tiap persetujuan selalu ada pihak berkewajiban dan pihak berhak.
Dengan demikian, para pihak dalam perjanjian pertanggungan yaitu penanggung dan
tertanggung.[8]
Jadi
berdasarkan Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. (KUHD) bisa
disaimpulkan bahwa ada dua pihak yang berperan sebagai subyek asuransi, yaitu :
a. Pihak tertanggung, yaitu pihak yang mempunyai
harta benda yang diancam bahaya. Pihak ini bermaksud untuk mengalihkan resiko
atas harta bendanya, atas peralihan resiko tersebut pihak tertanggung mempunyai
kewajiban untuk membayar premi.
b. Pihak
penanggung, yakni pihak yang mau menerima resiko atas harta benda orang lain,
dengan suatu kontra prestasi berupa premi. Dengan demikian apabila terjadio
peristiwa yang mengakibatkan keinginan penanggnglah yang memberi ganti rugi
- Obyek Asuransi
Yang
dipergunakan pada umumny adalah harta benda seseorang atau tepatnya milik atas
harta benda, misalnya ; rumah, bangunan, perhiasan dan benda berharga lainnya.
Dalam hal ini dikatakan bahwa yang pertanggungkan adalah sama dengan benda
pertanggungan.
Disamping
itu bisa terjadi bahwa obyek pertanggungan tidak sama dengan benda
pertanggungan. Contohnya asuransi kendaraan bermotor, benda pertanggungannya
adalah tanggung jawab pemilik pabila kendaraan itu membuat celaka orang lain.
Jadi
ada 3 (tiga) hal yang dapat didipertanggungkan (obyek asuransi), yaitu :
a. Risiko pribadi, yaitu
kehidupan dan kesehatan.
b. Hak milik atas benda
c. Tanggung jawab atau kewajiban yang harus
dipikul seseorang.
Obyek
pertanggungan dikenal pula dengan sebutan “Kepintangan”.
kepentingan merupakan unsur utama dalam pertanggungan Pasal 250 Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) menyebutkan bahwa bila pada waktu
pertanggungan seorang tertanggung tidak mempunyai kepentingan atas benda yang
dipertanggungkan, penanggung tidak wajib memberi ganti rugi.
Mengingat
pentingnya obyek pertanggungan tersebut maka tidak setiap kepentingan dapat
dieprtanggungkan. Agar dapat diprtanggungkan, kepentingan yang dimaksud harus
memenuhi syarat tertentu.
Pasal 268
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) menyatakan, bahwa yang dapat menjadi
obyek asuransi ialah semua kepentingan yang :
a. Dapat dinilai dengan sejumlah uang
b. Dapat diancam oleh macam bahaya
c. Tidak dikecualikan oleh undang-undang
a. Benda Pertanggungan
Jika
seorang pemilik rumah mempertanggungkan rumahnya terhadap bahaya kebakaran,
maka disini benda pertanggungannya ialah apa yang menjadi obyek dari bahaya
itu, yaitu rumahnya. Kerugian yang timbul disebabkan terbakarnya rumah. Sebagai
akibat kebakaran rumah, maka pemilik menderita suatu kehilangan yang akan
diganti kerugiannya oleh penanggung dan rumah itulah benda yang terkena.
Dalam hal ini benda pertanggungannya jatuh
bersamaan dengan pokok pertanggungannya.[10]
b. Kepentingan Yang Tidak Jatuh Bersamaan Dengan
Benda Pertanggungan
Ada
pertanggungan dimana benda pertanggungannya dan pokok pertanggungannya tidak
jatuh bersama. Pokok pertanggungan berbeda dengan benda pertanggungan, walaupun
sering dikemukakan bahwa pokok penanggungan dan benda pertanggungan itu adalah
identik.
Kepentingan
adalah obyek pertanggungan dan merupkan hak subyektif yang mungkin akan lenyap
atau berkurang karena terjadinya suatu peristiwa tak tentu atau tidak pasti.
Unsur kepentingan adalah unsur mutlak harus ada pada tiap-tiap pertanggungan,
baik pada sat ditutupnya pertanggungan maupun pada saat terjadinya evenemen.
Molengraff
mendefenisikan bahwa yang dimaksud dengan kepentingan ialah harta kekayaan atau
sebagian dari harta kekayaan tertanggung yang dipertanggungkan yang mungkin
diserang bahaya. Definisi Molengraff ini menunjuk langsung pada benda, yakni
harta kekayaan.
Namun
hal ini sulit dijelaskan pada pertanggungan kendaraan bermotor dengan WA
(Wettelijke Annsprakelijkeheid), yaitu pertanggungan tanggung jawab menurut
hukum. Pada pertentangan jenis ini yang merupakan kepentingan ialah kewajiban
tertanggung menurut hukum terhadap kerugian pada pihak ketiga. Jadi singkatnya
menurut Purwosutjipto, S.H., kepentingan adalah hak dan kewajiban tertanggung
yang dipertanggungkan.
BAB III
ASURANSI KENDARAAN
BERMOTOR
MENURUT KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM DAGANG
A. Dasar Hukum Asuransi atau
Pertanggungan
Hukum
pertanggungan pada umumnya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum (KUHD) Bukti
I title 9 dan 10, dan buku II title 9 dan 10, buku 1 title 9 : mengatur
pertanggungan kerugian pada umumnya. Buku I title 10 :
mengatur pertanggungan terhadap bahaya yang mengancam hasil pertanian disawah
tentang pertanggungan jiwa. Buku
I title 10 ini dibagi atas beberapa bagian yang meliputi :
a. Bagian
Pertama : Mengatur pertanggungan terhadap bahaya kebakaran
b. Bagian
Kedua : Mengatur pertanggungan terhadap bahaya-bahaya yang mengancam
hasil-hasil pertanian di sawah.
c. Bagian
Ketiga : Mengatur pertanggungan jiwa.
Sedangkan
Buku II title 9 : mengatur pertanggungan terhadap bahaya-bahaya laut dan
bahaya-bahaya perbudakan dengan pembagian Bagian I mengatur tentang bentuk dan
isi pertanggungan. Bagian II mengatur tentang anggaran dari barang-barang yang
dipertanggungkan. Bagian III mengatur tentang awal dan akhir bahaya. Bab IV
mengatur abdomen dan bagian IV mengatur kewajiban-kewajiban dan hak-hak makelar
didalam pertanggungan laut. Di darat dan di sungai-sungai serta perairan
pedalama. Kecuali, selanjutnya mengenai Buku II title 10 adalah mengatur
mengenai pengangkutan peraturan yang terdapat didalam Buki I title 9 dam Buku
II title 9, maka peraturan-peraturan yang terdapat didalam Buku I title 10 dan
Buku II title 10 adalah pengaturan yang sifatnya secara ringkas.
Selain
pertanggungan didalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), masih terdapat
juga peraturan Pertanggungan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD),
yaitu :
1. Ordonnantie
Op Het levens Verzwekering Bedrijf,s. 1941-101, mulai berlaku pada 1 Mei 1941,
penjelasannya dalam Bijbald 15101.
2. Pertanggungan terhadap
pencurian dan pembongkaran
3. Pertanggungan terhadap
kerugian perusahaan
4. Pertanggungan terhadap
kecelakaan
5. Pertanggungan atas
pertanggungjawaban seseorang atas kerugian yang diderita oleh pihak ketiga
karena perbuatan melawan hukum sendiri atau orang bawahannya.
6. Pertanggungan kredit
yaitu pertanggungan terhadap kerugian yang timbul atau diderita karena debitur
tidak dapat mengembalikan kredit yang diambil dari bank.
7. Pertanggungan atas
kerugian atas krugian yang diderita oleh suatu perusahaan (Dedrijfts
Verzekering).
8. Pertanggungan wajib wajib
kecelakaan penumpang yang diatur didalam undang-Undang No. 33 tahun 1964
tentang Pertanggungan Kecelakaan.
9. Pertanggungan atas
kecelakaan lalu lintas, Undang-Undang No. 34 tahun 1964 Tentang kecelakaan
lalu-lintas.
10. Usaha peransurasian yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor. 2 tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian,
mulai berlaku sejak tanggal 11 Februari 1992, sesuai dengan Pasal 37 maka
Ordonnatie Op Het Levens Verzekering Bedrijf
(Staatbad tahun 1941 nomor 101) dinyatakan tidak berlaku lagi.
Bahwa ada
ketidakseragaman pada peraturan hukum di bidang asuransi atau pertanggungan
yang berlaku atau dibuat oleh Pemerintah Republik Indonesia setelah Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, yaitu :
1. Undang-undang Nomor 33 tahun 1964 dab
Peraturan Pemerintah Nomor7 tahun 1965, memakai istilah pertanggungan
kecelakaan penumpang.
2. Undang-undang Nomor 34 tahun 1964 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1965, memakai istilah pertangungan
kecelakaan lalulintas.
3. Undang-undang Pokok kesehatan Nomor 9 tahun
1960, memakai istilah asuransi kesehatan (IRES).
4. Pengaturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1963
memakai istilah Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN)
5. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1971 memakai
istilah Asuransi Sosial Angkat Bersenjata
RI ; (ASABRI)
6. Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 1977
memakai istilah Asuransi Sosial Tenaga kerja (ISTEK).
Penggunaan
istilah yang berbeda tersebut mempunyai arti dan maksud yang sama dan maksud
yang sama dan Undang-undang tentang asuransi kendaraan bermotor sampai saat ini
tahun 2006 belum ada.
Sebagaimana telah
disinggung pada Bab II mengenai pengertian asuransi ayau pertanggungan
berdasarkan pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang adalah suatu perjanjian
timbal balik, dengan mana seseorang mengikatkan diri pada seseorang
pertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian
kepadanya, karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa tak tentu.
Dari definisi
tersebut terlihat unsur-unsur sebagai berikut : [11]
1. Pihak Penanggung mengikatkan diri terhadap
pertanggungan untuk mengganti tertanggung atas persesuaian kehendaknya sendiri.
2. Pihak tertanggung mengikatkan diri terhadap
penanggung untuk membayar premi atas persesuaian kehendaknya sendiri;
3. Penggantian kerugian dari penanggung itu
didasarkan pada peristiwa tak pasti.
Dari pasal
246 KHUD tersebut selain dapat dismpulka unsur-unsurnya, juga terdapat
sifat-sifat asuransi, yaitu :[12]
1. Bahwa asuransi itu pada azaznya adalah suatu
perjanjian kerugian. Dalam hal ini jelas bahwa penanggung menderita kerugian
karena pihak tertanggung menderita kerugian, sedangkan kerugian yang diganti
adalah seimbang dengan kerugian yang diganti adalah seimbang dengan kerugian
yang sungguh-sungguh diderita (prinsip idenmita). Asas atau prinsip idemnitta
lebih lanjut dapat digariskan atau ditarik kepada kedua ketentuan pokok, yaitu
:
a) Bahwa tertanggung (atau orang ketiga yang
untuk kepentingannya siap diadakan asurans) harus mempunyai kepentingan atas
peristiwa tidak tertentu itu dengan pengertian bahwa sebagai akibat dari
peristiwa tersebut ia menderita kerugian (pasal 250 jo 268 KUHDS).
Apabila
kepentingan dalam arti seperti itu ada dalam perjanjian tersebut, tidak mungkin
dimaksudkan untuk mengganti kerugian dan sebagaimana dikatakan diatas, bahwa
justru salah satu sifat pokok atau sifat inti dari perjanjian asuransi itu
adalah sebagai perjanjian untuk mengganti kerugian, yang jumlahnya harus
seimbang dengan kerugian yang sungguh-sungguh diderita. Adakalanya suatu ganti
rugi itu tidak mencakup seluruh kerugian yang diderita, ini dapat terjadi
apabila tidak seluruhnya harga obyek asuransi itu diasuransikan, sehingga masih
ada resiko yang ditanggung oleh tertanggung sendiri. Oleh karena itulah maka
kita masih melihat adanya ketentuan yang ditarik lebih lanjut dari prinsip
idemnita itu ialah berikut ini :
b)
Bahwa asuransi itu tidak boleh
menjurus kepada pemberian ganti rugi yang lebih besar dari kerugian yang
diderita (253 KUHD). Pelaksanan yang amat penting dari ketentuan pokok yang
kedua ini terdapat dalam beberapa beberapa ketentuan berikut :
(1) Penggantian kerugian maksimal atas nama penanggung
meningkat mengikat dirinya (yaitu jumlah) yang dipertanggungkan (verzekerdesom)
tidak boleh melebihi nilai pada asuransi. Apabila jumlah yang diasuransikan itu
ternyata melebihi, maka disini kita menjumpai asuransi diatas nilai benda
(opverzver zekering) dan persoalan ini harus diselesaikan menurut pasal 253 (1)
KUHD yang menentukan bahwa : Overzekering hanya sah untuk sejumlah harga benda
yang diasuransikan.
(2) Bahwa asuransi itu adalah suatu perjanjian
bersyarat, artinya kewajiban mengganti rugi dari penanggung hanya dilaksanakan
kalau peristiwa yang tak tertentu atas nama asuransi itu terjadi. Jadi
pelaksanaan kewajiban mengganti rugi kepada satu syarat.
(3) Asuransi adalah suatu perjanjian timbal balik,
artinya : bahwa kewajiban penanggung mengganti rugi diharapkan dengan kewajiban
tertanggung membayar premi walaupun dengan pengertian bahwa kewajiban membayar
premi itu tidak bersyarat atau tidak digantungkan pada satu syarat.
Jadi
jelasnya unsur-unsur maupun sifat-sifat yang terdapat dalam definisi
pertanggungan atau asuransi pada pasal 246 KUHD adalah hanya untuk Asuransi
kerugian saja.
Kemudian
bagaimana dengan asuransi jiwa, apakah pengendara kendaraan bermotor juga termasuk
dalam definisi pasal 246 KUHD, mengingat bahwa jika manusia tidak dapat
dimasukkan dalam kelompok harta benda atau harta kekayaan sedangkan kendaraan
bermotor yang celaka dan ada korban jiwa kalau kita mengkaji isi rumusan pasal
246 KUHD, ternyata pertanggungan jiwa sama sekali tidak tercakup didalamnya,
karena : [13]
1. Dalam prtanggungan jiwa tidak dapat dikatakan
bahwa kematian seseorang dapat diganti dengan sejumlah uang sehingga ganti rugi
itu sama nilainya dengan kerugian yang diderita karena matinya seseorang.
2. Peristiwa yang menimbulkan kerugian pada
pertanggungan jiwa sifatnya adalah sudah pasto ,
hanya kapan akan terjadinya itulah yang tidak pasti.
Padahal
maksud dari pembentuk Unadng-Undang, pasal 246 KUHD adalah untuk pertanggungan
pada umumnya yang seharusnya dapat termasuk pertanggungan jiwa, karena
kendaraan bermotor yang diasuranasikan menabrak dan pengemudinya meninggal.
Mengenai definisi pertanggungan pada
umumnya, ada yang memberi rumusannya sebagai berikut : [14]
Pertanggungan pada umumhya adalah suatu
perjanjian timbal-baik, dengan penanggung yang menerima suatu premi,
meningkatkan diri untuk memberikan pembayaran kepada pengambil asuransi atau
orang yang ditunjuk karena terjadinya peristiwa yang belum pasti disebutkan
dalam perjanjian, baik karena pengambil asuransi atau tertunjuk menderita
kerugian yang disebabkan oleh peristiwa tadi, maupun karena peristiawa mengenai
hidup, kesehatan atau validitiet seseorang tertanggung. Atau rumusan lainnya : [15]
Pertanggungan
atau asuransi adalah suatu perjanjian, pada mana penanggungan dengan meenrima
uang premi dari lawan pihaknya, penutup asuransi, meningkatkan diri untuk satu
atau beberapa kali pembayaran, pada mana baik perikatan ini maupun pembayaran
premi ataupun kedua-duanya digantungkan pada suatu peristiwa tak tentu bagi
kedua belah pihak pada waktu ditutupnya perjanjian.
Dari
pengertian tersebut dapat disimak bahwa : dalam pengertian asuransi tersebut
diatas tercakup dua pertanggungan yaitu pertanggungan kerugian dan
pertanggungan jumlah. Kemudian dari pengertian tersebut juga dinyatakan dengan
tegas bahwa pertanggungan itu menimbulkan kewajiban kepada kedua belah pihak.
Dari
definisi lainnya diatas, batasan penelitian tersebut luas dan memenuhi syarat
bagi asuransi pada umumnya dari definisi yang ditetapkan pada pasal 246 KUHD.
Tetapi
pengertian asuransi yang terjadi dalam praktej masyarakat tidaklah dijumpai
pengertian yang menympang dari pengertian yang dimaksudkan oleh pasal 246 KUHD
tersebut. Oleh karena itu untuk penutupan suatu asuransi atau pertanggungan
haruslah dipenuhi unsur-unsur yang diperlukan untuk mengadakan prjanjian.
Dalam
definisi asuransi atau prtanggungan sebagaimana diatur dalam pasal 246 KUHD
tadi disebitkan kata-kata “peristiwa tak tentu (Onzeker vooral)”, maka
pertanggungan atau asuransi ini dianggap sebagai suatu prjanjian
untung-untungan (kansovereneenkomst). Hal ini ditegaskan di dalam pasal 1774
KitabUndang-undang Hukum Perdata sebagai berikut :
a. Perjanjian untung-untung untingan adalah
suatu perbuatan yang hasilnya mengenai untung ruginya baik bagi semua pihak
maupun bagi sementara pihak bergantung pada suatu peristiwa yang belum tentu.
b. Tiga cntoh dari perjanjian tersebut
yakni :
1) Perjanjian asuransi
2) Bunga cagak hidup
3) Perjanjian dan pertaruhan
Perjanjian
yang pertama itu diatur dalam KUHD.
Terhadap
peraturan seperti tersebut dalam pasal 1774 KUH Perdata tersebut banyak Sarjana
Hukum kita tidak sependapat apabila perjanjian pertanggungan dimasukkan dalam
perjanjian untung-untungan :
Wiryono
Prodjodikoro, SH, mengatakan bahwa :
Penyebutan
tiga contoh pada pasal 1774 KUHPerdata tersebut adalah tepat, tetapi mengenai
penyebutkan kata adalah kurang tepat, karena di situ dikatakan bahwa hasil dari
pelaksanaan persetujuan berupa untung atau rugi tergantung pada peristiwa yang
belum tentu terjadi sebetulnya yang tergantung secara langsung ini adalah
pelaksanaan kewajiban dari pihak penjamin. Dan pelaksanaan ini berarti rugi
bagi si penjamnin, sedangkan kalau kewajiban pihak penjamin tidak perlu
dilaksanakan, ini berarti untuk bagi si penjamin.[16]
Sedangkan
H.M.N Purwosutjipto, S.H., Mengatakan bahwa : [17]
Perjanjian
pertanggungan itu termasuk perjanjian kemungkinan (konsovereenkomst) ialah
perjanjian yang mengandung unsur “kemungkinan”, karena kewajiban penanggung
untuk mengganti kerugian yang diderita oleh tertanggung itu trgantung ada dan
tidaknya peristiwa tak tentu (onzeker voorval). Kalau peristiwa tak tentu itu
timbul, maka tertanggung menderita rugi yang akibatnya ialah penanggung harus
menggantu kerugian tertanggung. Jika peristiwa tak tentu itu tidak ada, maka
penanggung tidak prlu mengganti apa-apa, dimasukkannya perjanjian pertanggungan
dalam kelompok perjudian dan peratruhan (pasal 1744 KUHPerdata) adalah tidak
tepat.
Dari
kedua pendapat diatas tampak ada perbedaan tetapi lebih baik pedapat Wiryono
Prodjodikoro, SH, oleh karena sesungguhnya pelaksanaan perjanjian pertanggungan
ini tertangung kepada peritiwa yang belum tentu akan terjadi dan ini merupakan
salah satu prinsip yang harus dipenuhi. Dimasukkannya perjanjian pertanggungan
ke dalam kelompok perjudian dan pertaruhan (pasal 1774 KUHPerdata) tidak tepat,
karena terdapat perbedaan yang menolak mencolok antara kedua kelompok
perjanjian tersebut ialah :[18]
a. Pada pertanggungan, hubungan antara
kemungkinan untung rugi dengan peristiwa tak tentu masih dapat diperhitungkan
atau diperkirakan, artinya bila kemungkinan terjadinya pristiwa itu dekat
kemungkinan timbulnya kerugian / kerusakan itu tidak jauh, maka penanggung
dapat menolak pertangungan atau menaikkan preminya.
b. Pada perjudian atau pertaruhan, hubungan
antara kemungkinan untung rugi dengan peristiwa tak tentu itu tidak dapat
diperhitungkan atau diperkirakan semula. Adanya untung rugi itu sama sekali
tergantung kepada nasib orang yang melakukan prjudian atau pertaruhan.
B. Tujuan Pertanggungan atau
Asuransi Kendaraan Bermotor
Setiap
orang yang memiliki kendaraan bermotor baik roda dua atau lebih pasti
menghadapi suatu resiko bahwa nilai dari miliknya itu akan berkurang baik
karena hilangnya atau catat dan rusak kednaraan-kednaraan bermotor atau
sebab-sebab yang lain. Resiko adalah kewajiban menanggung atau memikul kerugian
sebagai akibat dari suatu peristiwa di luar kesalahannya, yang menimpa
kendaraan bermotor menjadi miliknya.
Besarnya
resiko tersebut dapat diukur dengan nilai kendaraan yang terkena bahaya dan hal
ini tentu saja merugikan pemiliknya. Maka makin besar kendaraan bermotor yang
dimiliki seseorang makin besar pula resikonya menghadapi hilang, rusak, atau
tabrakan dalam kecelakaan.
Banyak
diantara sebab-sebab yang menjadikan pengurangan nilai itu dapat dicegah dan sudah
diperkirakan terjadinya, misalnya keusangan (slijtage),yaitu sesuatu kendaraan
bermotor karena dipakai. Tetapi banyak juga sebab-sebab yang mengurangi nilai
kendaran bermotor itu mempunyai sifat yang tidak dapt dipasti terlebih dahulu
dan tidak dapat dicegah, misalnya : kebakaran, kecurian, tabrakan kednaraan
bermotor dan lain sebagainya.
Resiko
tabrakan kendaraan bermotor yang tidak parah masih dapat ditanggulangi oleh
pemiliknya sendiri dengan uang tabungan atau modal cadangan yang disimpannya. Tetapi
kalau resiko tabrakan itu menimbulkan korban dan menimbulkan kerugian besar
jumlahnya, akan terasa berat bagi pemilik kednaraan itu akan jatuh pailit bila
dia memiliki perusahaan kendaraan bermotor. Untuk menghindari hal tersebut maka
diusahakan agar resiko itu dapat diperingan atau dikurangi, bahkan ditanggung
oleh orang lain asal untuk itu diperjanjikan sebelumnya. Dengan cara
berasuransi maka orang yang menghadapi resiko atas harta kekayaan termasuk
kendaraan bermotor bermaksud untuk mengalihkan risikonya itu atau
setidak-tidaknya membagi resiko itu dengan pihak lain yang bersedia menerima
pralihan atau membagi resiko tersebut.
Peruahaan
yang pokok usahanya mengambil alih resiko itu disebut : perusahaan
pertanggungan atau perusahaan asuransi pengalihan resiko tersebut dilakukan
oleh pemilik harta benda, agar ia dapat menjalankan usahanya dengan tanang dan
tanpa kawatir akan kemungkinan adanya kerugian besar yang akan membuatnya
pailit atau jatuh miskin. Perusahaan pertanggungan atau asuransi kendaraan
bermotor dalam hal ini menjadi penanggung sedangkan pemilik kendaraan bermotor
itu disebut tertanggung. Jaman dahulu penanggung itu berbentuk orang pribadi,
sedangkan pada saat sekarang sudah berupah menjadi suatu badan hukum, yaitu
Perseroan terbatas, Perusahaan Umum dan lain sebagainya.
Dengan demikian tampak bahwa tujuan perjanjian asuransi adalah :
Mengalihkan
segala resiko yang ditimbulkan peristiwa-peristiwa yang tidak dapat diharapkan
terjadinya kepada orang lain yang mengambil resiko untuk mengganti kerugian.[19]
Setiap asuransi
pada prinsipnya merupakan saling menanggung. Dengan tidak disadari para
tertanggung dalam satu pertanggungan merupakan suatu paguyuban (gemeenschap).
Dan diantaranya banyak tertanggung tersebut pada umumnya hanya satu atau dua
orang tanggung itu cukup dibayar dengan sebagian dari uang premi yang telah
diterima oleh penanggung dari para tertanggung yang jumlahnya tidak sedikit.
Jadi semakin banyak jumlah tertanggung yang khawatir akan suatu resiko umumnya
penanggung semakin untung. Kalau misalnya tertanggung pada satu macam yang
mengalami evemen, yang berakibat penanggung harus mengganti kerugian atas suatu
kecelakaan kendaraan bermotor diambilkan dari uang premi yang telah dibayar
oleh tertanggung dalam macam resiko yang dipilih yang sudah diterima
penanggung. Dengan ini dijelaskan bahwa makin banyak yang ditanggung oleh
penanggung, maka kemungkinan penanggung. Dengan ini jelaslah bahwa makin banyak
yang ditanggung oleh penanggung, maka kemungkinan penanggung mengalami kerugian
dalam perusahaan pertanggungannya semakin jauh.
C. Jenis Asuransi Termasuk Untuk Asuransi Kendaraan Bermotor
suransi dibedakan sebagai akibat dari adanya asuransi itu sendiri antara
lain :
Menurut
ilmu pengetahuan hukum Asuransi atau Aspek Hukum Asuransi dibedakan menjadi
tiga jenis yaitu :
a. Asuransi
kerugian, ialah mengganti kerugian yang mungkin timbul pada harta kekayaan atau
harta benda, contoh Asuransi kebakaran, asuransi angkutan laut, dan asuransi
angkutan umum dan lain sebagainya.
b. Asuransi
jumlah, ialah asuransi yang tidak bertujuan memberikan ganti kerugian,
melainkan memberikan pembayaran sejumlah uang tertentu karena terletak dalam
lapangan harta kekayaan.
c. Asuransi campuran ialah asuransi
jumlah yang bercampur dengan pertanggungan kerugian.
Contoh : Asuransi
pada kecelakaan kendaraan bermotor dengan Asuransi kendaraan, asuransi jiwa dan
asuransi penumpang.
Menurut
KUHD dalam pasal 427, jenis pertanggungan atau asuransi yaitu :
Asuransi terhadap
kebakaran
Asuransi terhadap
bahaya yang mengancam hasil pertanian yang belum dipanen.
Asuransi jiwa
Asuransi terhadap
bahaya laut
Asuransi terhadap bahaya yang mengancam
pengangkutan di darat dan perairan pedalaman.
Menurut
terjadinya, asuransi itu dibedakan menjadi dua bentuk yaitu :
a. Asuransi sukarela, iaalh asuransi dengan
antara para pihak dalam mengadakan perjanjian asuransi itu tidak ada paksaan
dari pihak lain.
Jadi
penanggung dengan sukarela dan dengan persetujuan mengikatkan diri untuk
memikul resiko. Sedangkan tertanggung juga dengan sukarela membayar premi
sebagai imbalan peralihan resikonya kepada penanggung.
Bentuk pertanggungan yang demikian diatur dalam Buku 1 title IX dan
X serta buku II title IX dan X KUH dagang.
b. Asuransi wajib, yaitu asuransi dengan salah
satu pihak mewajibkan pada pihak lain dalam mengadakan perjanjian asuransi.
Pihak yang mewajibkan ini biasanya pihak pemerintah, sekaligus sebagai pihak
penanggung.
Contoh : Akses, telepon, Asabri, Astek
D. Premi dan Polis Asuransi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
1. Premi menurut pasal 246 KUHD
Menurut ketentuan pasal
246, premi merupakan suatu kewajiban teranggung sebagai imbalan terhadap
kewajiban penanggung untuk tertanggung sebagai imbalan, tahapan kewajiban
penanggung untuk mengganti kerugian tertanggung. Hal tersebut merupakan
konsekuensi dari peralihan resiko dengan orang yang memikul resiko itu berhak
atas kontra prestasi yang disebut premi.
Untuk kendaraan
bermotor yang diasuransikan maka premi biasanya dibayar dimuka secara tunai.
Tetapi apabila asuransi itu akan berjangka waktu lama maka pembayaran dapat
diperjanjikan secara angsuran. Tergantung terjamin asuransi dengan pemilik
kendaraan bermotor.
Undang-Undang
juga mengatur bahwa apabila perjanjian asuransi ditutup dengan peraturan
makelar, maka makelarlah yang harus membayar premi dahulu kepada pihak
penanggung, selanjutnya makelar mengadakan tuntutam kembali kepada tertanggung
sejumlah premi yang telah dibayar dan provinsinya. Apabila ternyata tertanggung
tidak mau membayar kembali kepada makelar tadi maka undang-undang memberikan
sejumlah retensi atas polis (Pasal 684 KUHD).
Premi
merupakan hal yang penting dalam suatu perjanjian asuransi. Ini dapat dilihat
dari pecahnya perjanjian asuransi yang disebabkan karena premi belum diserahkan
pada waktu yang telah disepakati bersama. Pemecahan itu dapat diminta
penanggung melalui Pengadilan Negeri berdasarkan pasal 1266 KUHPerdata.
Tetapi
dalam praktek tidak perlu sejauh itu, sebab sudah menjadi kebiasaan menambah
satu klasual dalam polis yang isisnya asuransi tidak berjalan bila premi tidak
dibayar pada waktunya. Dengan adanya klausal ini penanggung tidak perlu
menuntut Pemutusan perjanjian, bila terdapat wanprestasi dari tertanggung.
Biasanya
premi itu sendiri ditetapkan jumlahnya pada waktu perjanjian asuransi dibuat,
kecuali pada asuransi paling menanggung (onderlinge verzekering). Dalam
asuransi saling menanggung, premi tidak ditentukan lebih dahulu pada saat mengadakan
perjanjian asuransi, tetapi ditentukan dengan cara menanggung bersama-sama
kerugian-kerugian yang diderita dalam jangka waktu tertentu. Misalnya dalam
jangka waktu tertentu kwartel, setengah tahun atau satu tahun.
Kerugian-kerugian tertentu inilah yang dibebankan kepada tiap-tiap anggota
menurut timbangan jumlah yang diasuransikan. Jumlah premi itu ditentukan
sesudah periodenya lampau dengan menantikan persentase tertetu atau dapat juga
dengan menentukan uang muka pada waktu membuat perjanjian asuransi.
Biasanya
premi dibayar dengan tunai pada saat perjanjian itu ditutup, tetapi bila premi
itu diperjanjikan dengan angsuran, maka premi itu dibayar pada permulaan
tiap-tiap waktu angsuran.
Disamping
premi tertanggung masih dibebani kewajiban lainnya yaitu:
a. Memberitahukan kepada penanggung hal-hal yang
perlu mengenai benda yang diasuransikan (pasal 251, 283 dan 654 KUHD).
b. Berdaya upaya agar kerugian dapat dihindarkan atau diperkecil
(pasal 283 dan 655 KUHD).
c. Kewajiban-kewajiban khusus lainnya yang
mungkin disebutkan dalam polis, misalnya memberitahukan kepada penanggung jawab
resiko penanggung diperberat.
2. Fungsi Premi
Fungsi premi
adalah sebagai harga pembelian dari tertanggyng yang wajib diberikan pada
penanggung atau sebagai imbalan dari resiko yang diperalihkan kepada penanggung
dan ini berlaku pula untuk pembelian kendaraan bermotor baik roda dua dan roda
empat atau lebih.
Bagi tertanggung
sebenarnya tidak penting untuk mengetahui pengeluaran apa saja yang termasuk
dalam premi itu. Seorang tertanggung hanya tahu adanya suatu ganti kerugian
apabila kerugian itu menimpa kendaraan bermotor yang diasuransikan akibat
evemen yang benar-benar telah terjadi dan ia telah membayar premi. Harapan
tertanggung untuk mendapatkan ganti kerugian tidak akan terwujud tanpa adanya
pembayaran premi pada penanggung.
Sedangkan bagi
penanggung sangat penting mengetahui dan menetapkan pengeluaran apa saja yang
harus dimasukkan dalam premi. Bagi penanggung menentukan biaya-biaya apa saja
yang harus dimasukkan dalam premi menjadi suatu perhitungan yang tidak boleh
keliru.
Adapun perincian perhitungan premi adalah
sebagai berikut :
a. Banyaknya kerugian yang mungkin akan diderita
yang banyaknya dipastikan dalam presentase dari jumlah yang diasuransikan.
b. Sejumlah uang sebagai
penggantian ongkor-ongkos perusahaan penanggung.
c. Provisi untuk perantara, misalnya makelar dan
juga untung bagi penanggung serta sejumlah uang cadangan.[20]
3. Cara Penetapan
Premi
Menetapkan peremi bukanlah
suatu hal yang mudah. Untuk itu suatu perusahaan asuransi kendaraan bermotor
melakukan penelitian secara ilmiah dengan perencanaan yang cukup matang serta
membutuhkan data yang kuantitatif dapat dipertanggungjawabkan mengenai
kerugian-kerugian yang pernah terjadi atas benda yang diasuransikan yang
sejenis.
Misalnya untuk
jenis-jenis kendaraan roda dua saja atau lebih.
Itulah alasannya mengapa statistik tidak
dapat kita pisahkan dari lembaga-lembaga asuransi ini.
Premi
biasanya ditetapkan dalam suatu prosentase yang mencerminkan penilaian dari
resiko yang ditanggung oleh pihak penanggung. Penilaian dari penilaian dari
penangung berbeda-beda, akan tetapi selalu dikuasai oleh hukum permintaan dan
penawaran . bagaimanapun juga prusahaan asuransi akan menentukan besarnya premi
itu dengan pertimbangan yang dihubungkan dengan jumlah yang diasuransikan.
Misalnya berapa ribu kendaraan bermotor, berapa mobil jenis sedan, berapa
minibus dan sebagainya.
4. Cara Membayar Premi
Undang-undang tidak mengatur kapan saat pembayaran premi. Karena itu
dalam praktek terbuka kemungkinan bagi para pihak untuk menentukan saat
pembayaran premi. Tapi sudah menjadi kebiasaan dalam praktek bahwa saat
pembayaran premi ditentukan dalam setiap perjanjian pertanggungan di tutup.
Demikian pula mengenai jumlah premi yang dibayarkan oleh tertanggung biasanya
dapat diserahkan secara angsuran atau periode pertanggungan dengan jumlah waktu
yang telah disepakati bersama.
Selanjutnya
apabila tertanggung lalai dalam memenuhi kewajiban untuk membayar pada
waktunya, maka penanggung di beri hak untuk meminta pembayaran tersebut atau
minta ganti kerugian berdasarkan pasal 1266 KUHPerdata, dengan syarat batal
dianggap selalu ada dalam perjanjian timbal balik apabila salah satu pihak melakukan
wanprestasi. Akan tetapi dalam praktek selalu diusahakan agar jangan sampai
digunakan pasal 1266 KUHPerdata tersebut sebab jika pasal itu digunakan berarti
setiap ada kelalaian pihak penanggung harus menghadap ke muka Pengadilan
Neegri. Karen itu untuk mencegah hal seperti itu di dalam praktek digunakan
kklausula yang disebut “polis klausula” yang berarti bahwa pertanggungan itu
tidak akan berjalan apabila tidak dibayar pada waktu yang telah disepakati
bersama antara pihak penanggung dan pihak tertanggung.
a. Polis Menurut KUH Dagang
Menurut KUHD
polis merupakan alat bukti adanya pertanggungan, dan bukan merupakan syarat
untuk adanya perjanjian asuransi (pasal 252, 257 dan 258 KUHD). Akan tetapi
kriteria hal itu, bukan berarti bahwa polis itu tidak penting atau tidak perlu.
Polis tetap mempunyai arti yang penting, terutama bagi pihak yang tertangung,
karena polis itu merupakan alat bukti yang utama tentang apa yang mereka
(tanggung dan penanggung) perjanjian didalam
perjanjian peratnggungan, karena tanpa adanya polis bisa jadi pembuktian
menjadi sulit dan terbatas.
Didalam
praktek polis memegang peranan penting bagi tertanggung, karena dalam polis
tersebut terlihat apa yang menjadi hak dan kewajiban para pihak (tertanggung
dan penanggung).
Selanjutnya karena pertanggungan ini
merupakan suatu perjanjian maka untuk sahnya haruslah memenuhi syarat-syarat
yang diatur dalam 1320 KUHPerdata yaitu ada 4 syarat yakni :
1)
Adanya kata sepakat
2)
Kecelakaan bertindak
3)
Sauatu hal yang tertentu
4) Sebab yang halal/di perbolehkan.
Syarat pertama tersebut untuk perjanjian
pertanggungan diatur dalam KUHD. Menurut pasal 1321 KUHPerdata adanya paksaan,
kekeliruan dan penipuan dari persesuaian kehendak, menyebabkan persesuaian
kehendak atau perjanjian itu tidak berlaku. Peraturan diatas oleh pembentuk
undang-undang duianggap masih kurang cukup untuk melindungi pihak penanggung
sehingga diatur lagi dalam pasal 251 KUHD yaitu tentang keharusdan adanya
pemberitahuan dari semua keadaan-keadaan yang diketahui oleh teratnggung
mengenai pertanggungannya kepada penanggungnya.
Mengenai syarat keempat tadi dipandang hanya
apabila dalam perjanjian pertanggungan itu ada kepentingan yang
dipertanggungkan. Perjanjian pertanggungan ini bentuknya bebas untuk terjadinya
tidak diharuskan adanya syarat yang lebih dari apa yang telah ditetapkan dalam
pasal 1320 KUHPerdata.
b. Yang
Membuat Polis
Apabila
kita membaca ketentuan pada pasal 259 (1) KUHD yang dikatakan bahwa :
“Bilamana
pertanggungan diadakan langsung antara tertanggung atau yang mempunyai kuasa
atau kewenangan untuk dan penanggung maka polis harus ditandatangani dan
diserahkan dalam waktu 24 jam setelah penawaran oleh penanggung ....” dan
seterusnya.
Dari
bunyi pasal 259 (1) KUHD tersebut diatas maka polis di tawarkan kepada
penanggung untuk ditandatangani dan dalam waktu 24 jam setelah ditawarkan harus
diserahkan kembali kepada tertanggung. Dan jika ditarik
kesimpulan dari pasal tersebut diatas, yang membuat polis adalah pihak-pihak
tertanggung.
Akan tetapi hal ini ternyata
dalam praktek tidaklah selalu demikian. Biasanya perusahaan-prusahaan asuransi
yang besar memakai formulir polis mereka sendiri-sendiei dan mengisinya menurut
kepentingan keadaannya atau memakai standard polis bursa. Di dalam polis bursa
itu banyak sekalai syarat klasula yang ditentukan oleh para penanggung.
Ketentuan undang-undang
seperti yang disimpulkan dari pasal 259 (1) berpangkal pada pada suatu alasan,
bahwa dengan ditentukannya pihak tertanggung dalam pembuatan polis maka
kedudukan tertanggung yangdi dalam keadaan ekonomis lebih lemah terhadap para
penanggung menjadi terjamin. Jadi ketentuan ini merupakan perlindungan kepada
pihak tertanggung. Klausula-klausula yang tertera di dalam polis merupakan
undang-undang bagi para pihak yang telah menyetujuinya, terutama dalam hal ini
tertanggung. Tertanggung perlu sekali dengan seksama meneliti syarat-syarat
atau kondisi-kondisi atau klausula-klausula yang disodorkan kepadanya di dalam
polis itu. Sebab bagaimanapun juga syarat-syarat tersebut buatan dari
penanggung sebagai perusahaan-perusahaan besar yang tentunya mempunyai
kepentingan memperoleh praktek asuransi penanggung baru akan menyerahkan polis
kepada tertanggung setelah ia memperoleh pembayaran premi dari tertangung.
Fungsi Umum Polis Adalah :
1. Perjanjian
pertanggungan dari penanggung kepada tertanggung
2. sebagai bukti jaminan dari penanggung kepada
tertanggung akibat peristwia yang tidak diduga sebelumnya, dengan prinsip :
a. Untuk mengembalikan tertanggung kepada
kedudukannya semula sebelum mengalami kerugian.
b. Untuk menghindarkan
tertanggung dan kebangkrutan (total kolklips)
3. Bukti pembayaran premi asuransi oleh tertangung kepada penanggung
sebagai balas jasa jaminan penanggung.
Fungsi Polis Bagi Penanggung dalam Asuransi
a. Sebagai bukti tertulis atas jaminan penanggung untuk mengganti
kerugian yang mungkin di deritanya yang ditanggung oleh polis.
b. Sebagai bukti
(kwitansi) pembayaran premi pembayaran kepada penanggung.
c. Sebagai bukti otentik untuk menuntut penanggung bila lalai atau
tidak memenuhi jaminannya.
Fungsi Polis Bagi Penanggung Dalam Asuransi
1. Sebagai bukti (tanda terima) premi asuransi
dari tertanggung.
2. Sebagai bukti tertulis atas jaminan yang
diberikannua kepada tertanggung untuk membayar ganti rugi yang mungkin diderita
oleh tertanggung.
3. Sebagai bukti otentik untuk menolak tuntutan
ganti rugi (klaim) bila yang menyebabkan kerugian tidak memenuhi syarat-syarat
polis.
5. Isi Polis
Menurut ketentuan undang-undang (KUHD), polis harus berisi hal-hal
sebagai berikut (pasal 256) :
a. Hari ditutupnya pertanggungan;
b. Nama orang
yang menutup asuransi atas tanggungan sendiri atau tanggungan orang ketiga.
c. Suatu uraian yang cukup
jelas mengenai barang yamh diasuransikan;
d. Jumlah uang untuk berapa diadakan asuransi.
e. Bahaya-bahaya yang ditanggung oleh penanggung;
f. Premi pertanggungan
g. pada umumnya, semua keadaan yang kiranya penting bagi si
penanggung untuk diketahuinya dan segala syarat yang diperjanjikan antara para
pihak.
Hal-hal diatas merupakan
isi polis pada umumnya, tetapi bagi pertanggungan khusus masih terdapat isi
tambahan yaitu :
a.
Pasal 287 KUHD mengenai polis
pertangungan kebakaran
b.
Pasal 299 KUHD menenai polis
pertanggungan jiwa
c.
Pasal 304 KUHD mengenai polis
pertanggungan jiwa
d.
Psal 592 KUHD mengenai polis
pertanggungan terhadap bahaya-bahaya laut.
e. Pasal 686 KUHD mengenai polis
pertanggungan di darat, sungai serta perairan pedalaman.
Selain itu ada pula ketentuan-ketentuan mengenai
isi polis dari jenis pertanggungan dengan syarat-syarat yang disebutkan dalam
polisnya yang mengandung sifat keharusan, artinya apabila tidak disebutkan
mengenai syarat tersebut maka perajnjian pertanggungan itu akan batal.
Yang
termasuk dalam golongan sifat keharusan itu adalah polis yang disebutkan dalam
KUHD berikut :
1.
Pasal 272
Mengenai pertanggungan
dengan tertanggung dalam membebaskan penanggung dari segala kewajibannya untuk
waktu yang akan datang;
2.
Pasal 280
Mengenai tertanggung yang
mempertanggungkan suatu benda, lalu mempertanggungkan benda yang sama itu lagi
kepada penanggung yang lain .
3.
Pasal 603
Mengenai pertanggungan
atas kapal-kapal dan barang-barang yang sudah berangkat dari tempat bahaya
seharusnya mulai perjalanan.
4.
Pasal 606
Mengenai pertanggungan
terhadap kapal yang belim berada di tempat bahaya seharusnya mulai berjalan.
5.
Pasal 615
Mengenai pertanggungan
atas suatu keuntungan yang diharapkan akan didapat.
6. Polis dan Pembuktian
Polis sebagai alat bukti
juga tepat tertentu atau khusu. Nyatanya polis didalam bidang pembuktian
perjanjian asuransi bukanlah merupakan satu-satunya alat bukti.
Mengenai pembuktian
perjanjian khusus diatur dalam satu pasal yaitu pasal 258 KUHD yang membedakan
dua keadaan atau phase :
a. Jangka waktu yang terletak di antara
diadakannya perjanjian dengan dibuatnya polis atau phase sebelum polis dibuat.
Mengenai sebelum
polis dibuat maka peraturannya dapat dilihat dalam pasal 258 (2) KUHD. Memang
dalam keadaan seperti ini mungkin sekali sangat dibutuhkan apabila misalnya
evemen itu timbul.
a.
Pembuktian tentang tidakadanya
asuransi itu hanya dibuktikan dengan surat ,
tetapi kalau permulaan pembuktian dengan surat
itu tidak ada, maka diperbilahkan alat-alat bukti lainnya (pasal 258 (1) KUHD).
Alat bukti surat
ini tidak perlu suatu akta yang selalu dari kedua pijak, teta[pi mungkin juga pernyataan tertulis dari
pihak ketiga. Jadi alat bukti lainnya hanya dipakai apabila permulaan
pembuktian dengan surat
sudah ada.
b.
Pembuktian mengenai syarat-syarat
atau janji khusus dan dalam perjanjian asuransi, maka hal ini pembuktiannya
dapat dengan semua alat-alat bukti (pasal 258 KUHD).
c.
Pembuktian tentang janji-janji
khusus harus dimuat dalam polis dengan ancaman batal, maka pembuktiannya harus
dengan alat bukti surat .
b. Jangka
waktu setelah polis dibuat
Berdasarkan pasal 258 (1) KUHD
tentang adanya perjanjian asuransi itu juga janji-janji khusus didalamnya
hanyalah dapat dibuktikan dengan surat ,
maka diperkenankan juga memakai alat bukti lainnya.
Apabila
kita melihat kata-kata dalam ketentuan undang-undang, maka hal itu termasuk
dalam golongan jangka waktu setelah polis diserahkan/dibuat, sehingga
pembuktiannya harus dengan surat .
Tetapi secara rasional ternyaat maksud pembuatan undang-undang tidak demikian,
melainkan pembuktian itu menurut periode sebelum diserahkan. Yang perlu didalam
ini adalah pihak yang mengingat hal itu terlebih dahulu meminta supaya hakim
dipastikan tentang hilangnya polis tersebut.
Kalau diperhatikan aturan
pembuktian dari pasal 258 KUHD itu ternyata pembentuk undang-undang
menitikberatkan pada bukti surat ,
dalam hal ini polis. Pembuktian yang diatur dalam pasal tersebut di atas hanya
berlaku bagi tertanggung terhadap penanggung, sehingga dapat membuktikan
perjanjian pertanggungan ini dengan alat-alat pembuktian, antara lain
persangkaan, saksi, sumpah dan lain sebagainya.
7. Hal-hal Khusus yang Harus dimuat dalam Polis
Sifat khusus dalam polis adalah
mengenai hail-hal yang mutlak harus dimuat dalam polis, jika tidak maka
persetujuan pertanggungan menajdi batal. Hal-hal tersebut adalah :
a. Pasal
271Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(KUHD) Pihak Penjamin dapat menyuruh barang yang ia jamin supaya dijamin lagi
oleh penjamin lain (reasuransi), sedangkan menurut Pasal 272 Kitab
Undang-undang Hukum Dagang (KUHD), dimana dalam hal pertanggungan tertanggung
dapat membebaskan penanggung dari segala kewajibannya untuk waktu yang alam
datang . tetapi dalam polis yang baru harus disebutkan adanya asuransi yang
lama, jika tidak ada ataupun lalai,. Menurut pasal 272 ayat 2 Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) asuransi baru itu batal.
b. Pasal
280 Kitab Undang-Undang Dagang (KUHD), mengenai suatu benda yang telah
dipertanggungkan oleh tertanggung, kemudian benda tersebut dipertanggungkan
lagi olehnya. Dalam asuransi yang baru ini tanggungan hanya mendapat ganti
kerugian jika kerugiannya belum diganti sepenuhnya pada asuransi yang lama.
Dalam polis asuransi baru harus memuat janji yang ada dalam polis asuransi yang
lama, jika tiadk ataupun lalai maka asuransi yang baru tersebut batal.
c. Pasal
603 Kitab Undang-Undang Hukum dagang (KUHD), dikatakan bahwa pertanggungan atas
kapal-kapal dan barang-barang yang sudah berangkat dari tempat, darimana bahaya
seharusnya mulai berjalan.
Polis harus memuat kabar
terakhir yang diterima oleh siterjamin dari kapal tersebut, jika tidak maka
persetujuan asuransi batal (Pasal 603 ayat 2).
d. Pasal
606 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, mengenai pertanggungan terhadap kapal
yang belum sampai pada tempat, darimana bahaya seharusnya mulai berjalan. Jika
tidak disebutkan dalam polis maka asuransi menajdi batal.
e. Pasal
615 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)< mengenai suatu keuntungan yang
diharapkan dalam asuransi, dalam hal ini harus disebutkan barang-barang yang
diasuransikan didalam polis. Jika tidak maka polis akan gagal.
BAB IV
ANALISA HUKUM ASURANSI
KENDARAAN BERMOTOR
MENURUT KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM DAGANG
A. Praktek Asuransi Kendaraan Bermotor Roda Dua
Asuransi kerugian
atau asuransi umum (general insurance) merupakan
penanggulangan resiko atas kerugian, kehilangan manfaat dan tanggung jawab
hukum kepada pihak ketiga yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti.
Penjaminan ini bersifat jangka pendek (short
term) biasanya satu tahun. Sedangkan asuransi jiwa memberikan jasa dalam
penanggulangan resiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang
yang dipertanggungkan dan sifatnya jangka panjang (long term).
Sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang usaha peransurasian, masing-masing
bidang Asuransi dikelola oleh perusahaan yang berbeda. Asuransi bertujuan untuk
memindahkan resiko individu kepada perusahaan asuransi. Tujuan pertanggungan
terutama untuk mengurangi resiko-resiko melainkan menciptakan resiko. Akan
tetapi Sungguhpun demikian, antaar asuransi dan perjudian terdapat persamaan
dalam hal-hal tertentu.
Hubungan antara resiko dan asuransi
merupakan hubungan yang erat satu dengan yang lain. Dari sisi manajemen resiko. Dalam pasal 246 KUHD
memberikan batasan perjanjian asuransi sebagai berikut; Asuransi atau
pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan
diri kepada seseorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk
memberikan penggantuan kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, kehilangan
keuntunga yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa
yang tidak tertentu. [21]
Jadi oleh karena asuransi atau
pertanggungan itu merupakan suatu perjannjian, maka didalamnya paling sidikit
tersangkut dua pihak. Pihak yang satu pihak yang seharusnya menanggung
resikonya sendiri tetapi kemudian mengalihkannya kepada pihak lain, pihak prtama
ini lazim disebut sebagai tertanggung atau dengan kata lain
ialah pihak yang potensial mempunyai resiko. Sedangkan pihak yang lain ialah
pihak yang menerima resiko dari pihak pertama dengan menerima suatu pembayaran
yang disebut premi. Pihak yang menerima resiko pihak yang satu tersebut lazim
disebut sebagai penanggung (biasanya peruahaan pertanggungan/asuransi).
Kewajiban
utama penanggung dalam perjanjian asuransi sebenarnya adalah memberi ganti
kerugian. Meskipun demikian kewajiban memberi ganti rugi itu merupakan suatu
kewajiban bersyarat atas terjadi atau tidak suatu peristiwa yang diperjanjikan
yang mengakibatkan timbulnya suatu kerugian.
Artinya,
pelaksanaan kewajiban penanggung itu masih tergantung pada terjadi atau tidak
terjadinya peristiwa yang telah diprjanjikan oleh para pihak sebelumnya. Untuk
sampai pada suatu keadaan dimana penanggung/perusahaan harus benar-benar
memberi ganti kerugian harus dipenuhi 3 tiga syarat berikut ini :
a. Harus terjadi peristiwa
yang tidak tertentu yang diasuransikan.
b. Pihak
tertanggung harus menderita kerugian
c. Ada hubungan sebab akibat antara
peristiwa dengan kerugian
Apabila
suatu keerugian terjadi sebagai akibat dari suatu peristiwa yang tidak tertentu
yang tidak diperjanjikan, maka tentu saja penanggung harus memenuhi
kewajibannya untuk memberi ganti kerugian. Meskipun demikian tidak setiap
kerugian dan setiap adanya peristiwa selalu berakhir dengan pemenuhan kewajiban
penanggung terhadap tertanggung, melainkan harus dalam suatu rangkaian
peristiwa yang mempunyai hubungan sebab akibat.
Perusahaan
asuransi sebagai penanggung dengan tegas memebrikan kriteria dan batasan
luasnya proteksi atau jaminan yang diberikannya kepada tertanggung. Krteria dan
batasan tersebut dicantumkan di dalam polis, sesuai dengan jenis asuransi yang
bersangkutan. Sehingga setiap polis tercantum jenis peristiwa apa saja yang
menjadi tanggung jawab penanggung. Jadi apabila terjadi kerugian yang
disebabkan karena peristiwaperistiwa yang diperjanjikan itulah penanggung akan
membayar ganti kerugian.
Biasanya
dalam praktek sehari-hari, polis yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi
masih harus ditambah /diubah untuk memenuhi berbagai kebutuhan antara lain
kemungkinan perubahan keadaan, pemindahan tangan nama dan sebagainya. Setiap
perubahan / penambahan, baik yang bersifat syarat/bersifat pemberitahuan harus
dicatat dalam polis yang bersangkutan, agar perubahan ini dapat dianggap sah
dan mengikat patra pihak.
Mengenai masalah ini, menurut ketentuan pasal 263 Kitab Undang-Undang
Hukum dagang (KUHD),
“Apabila barang-barang yang
dipertanggungkan, dijual atau berpindah hakmiliknya, maka pertangggungan
berjalan terus guna keuntungan hak keuntungan si pembeli atau si pemilik baru,
biarpun pertanggungan itu tidak dioperkan, mengenai segala kerugian yang timbul
sesudah barang tersebut mulai menjadi tanggungannya si pembeli atau si
pemilik baru tadi; segala sesuatu itu
kecuali apabila telah diperjanjikan hal yang sebailknya antara si penanggung
dan tertanggung yang semula. Apabila telah diperjanjikan hal yang semula. Apabila pada waktu barang itu
dijual atau dipindahkan hak miliknya, si pembeli atau si pemilik baru menolak
untuk mengoper tanggungannya, sedangkan si tertanggung yang semula masih tetap
berkepentingan terhadap barang yang dipertanggungkan, maka pertanggungan itu
sementara tetap akan berjalan guna keuntungannya”.
Dari
ketentuan pasal 263 KUHD ini jika dikaitkan dengan masalah anda maka anda
memang belum berhak untuk menuntut asuransi tersebut dengan alasan karena mobil
itu berpindah kepemilikannya atas nama anda. Anda masih harus membayar cicilan
mobil tersebut. Kecuali pada saat mobil di curi, mobil itu telah anda lunasi
yang berarti telah menjadi milik anda, surat-surat dan BPKB telah atas nama
anda maka anda berhak untuk menuntut asuransi tersebut. [22]
B. Praktek
Asuransi Kedaraan Bermotor Roda Empat
Pihak Asuransi akan
memberikan kendaraan bermotor dengan penetapan jumlah pertanggungan lebih besar
atau lebih kecil dari harga pasaran yang perlu diperhatikan adalah pada saat
klaim, terutama untuk jumlah pertanggungan lebih kecil dari harga pasar. Lihat
contoh berikut :
Contoh A (Under Insured
/ Dibawah harga pasaran) :
Jumlah pertanggungan suatu
mobil dengan merk X adalah Rp. 100 juta.
Harga pasar pada saat resiko Rp. 125 juta.
Lalu ada klaim sebesar Rp. 10 juta
Maka pihak asuransi akan
membayar : 100 jt / 125 jt x 10 jt = 8 jt
Contoh B (Over Insured /
diatas harga pasar) :
Jumlah pertanggungan
suati mobil dengan merek Y adalah Rp. 125 juta
Harga pasar pada saat resiko terjadi Rp. 100 Juta
Lalu ada
kelainan sebesar Rp. 10 juta.
Maka pihak asuransi akan
membayar : 10 juta (Karena harga pertanggungan lebih besar dari harga pasar).
Risiko yang tidak dijamin asuransi.
Asuransi kendaraan bermotor tidak menjamin kerugian atau kerusakan yang
disebabkan oleh : beberapa perusahaan
memberikan peraturan yang berbeda)[23]
1. Kehilangan
keuntungan / penghasilan
2. Akibat perbuatan jahat
tertanggung, suami/istri/anak/saudara, orang yang sepengetahuan/seijin
tertanggung, orang yang bekerja pada tertanggung.
3. Akibat
menarik/mendorong kendaraan lain, menarik trailer, belajar mengemudi, pawai,
melakukan tindak kejahatan, kelebihan muatan, dijalankan oleh orang yang
sedang dipengaruhi minuman keras,
penggelapan.
4. Keausan
material pada kendaraan, karat
5. Perang
6. Reaksi
/ radiasi nuklir
7. Akibat serangga atau binatang kecil
8. Dikemudikan diatas jalan terlarang / melewati
jalan tertutup
9. Pengemudi tidak memiliki
SIM yang sah
10. Dipergunakan
dalam perlombaan keterampilan
11. Kendaraan
dijalankan dalam keadaan rusak / tidak layak jalan
C. Analisa
Hukum
Perjanjian
asuransi (pasal 246 KUHD dan pasal 1 angka 1 UU No. 2 tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian) terdiri dari beberapa unsur, setidaknya adalah : Penanggung
(Perusahaan Asuransi), tertanggung (nasabah), Premi, Peristiwa yang belum
pasti, kerugian. Jadi premi merupakan salah satu unsur yang harus ada dalam
perjanjian asuransi. Menurut perumusan kedua pasal diatas, seorang Penanggung
mendapat Premi, dan premi itu menurt pasal 256 (7) KUHD harus dinyatakan dalam
Polis. Menurut Dorhout Mess, bahwa penanggung tidak akan mengambil alih resiko
orang lain hanya berdasarkan rasa prikemanusiaan saja, akan tetapi sebagai
kontra prestasi dimintanya pembayaran premi dari tertanggung.
Menurut Soenawar
Soekawati, bahwa dalam perjanjianpertanggungan itu seolah-olah terjadi suatu
jual beli “kepastian”, yaitu suatu kepastian yang akan memadai derita material,
apabila terjadi suatu peristiwa yang merugikan itu. Dan harga pembelian itu berwujud
pembayaran-pembayaran periode yang dinamakan premi.
Suatu teknik
asuransi yang membutuhkan penyelidikan secara ilmiah dengan menggunakan static.
Biasanya premi itu ditetapkan secara prosentase dari jumlah uang yang dijamin
dan dihitung sedemikian rupa, sehingga dengan penerimaan premi itu penanggung
dapat memperhitungkan dengan kemampuannya untuk mengganti kerugian kepada
tertanggung bila tertimpa kerugian. Premi itu dapat dibayar sekaligus atau
berangsur-angsur misalnya tiap-tiap tahun atau tiap-tiap bulan dibayar premi.
Premi Restorno,
istilah lainnya adalah ristorno, return of premium. Molengraaf mengatakan :
Restorno/ristorno adalah pengembalian dari premi yang telah diterima dari
penanggung atau peniadaan dari kewajiban tertanggung untuk membayar premi,
berdasarkan adanya tidak terjadinya atau hilangnya resiko.
Premi restorno diatur dalam pasal 281
KUHD, dimana unsur itikad baik dipentingkan. Dalam hal adanya itikad buruk, tipu muslihat, penipuan
atau kecurangan dari tertanggung, maka penanggung tetap berhak atas premi,
pasal 282 KUHD asuransi batal.
Perjanjian asuransi harus dituangkan dalam suatu akta yang dinamakan
Polis. Pasal 255 KUHD menyebutkan bahwa : suatu pertanggungan harus dibuat
secara tertulis dalam suatu akta yang dinamakan polis.
Ali Rido
mengatakan, bahwa polis adalah suatu akat yang ditandatangani oleh penanggung,
yang fungsinya sebagai alat bukti dalam perjanjian asuransi. Molengraaf
mengatakan, bahwa polis adalah suatu akta sebagai tulisan sepihak, dimana
diuraikan dengan syarat-syarat apa penanggung menerima perjanjian asuransi.
Isi dan bentuk
suatu polis harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan pasal 256 KUHD, (kecuali polis asuransi jiwa) maka
semua polis harus menyebutkan :
1. Hari ditutupnya
pertanggungan
2. Nama orang yang menutup pertanggungan atas
tanggungan sendiri atau atas tanggungan seorang ketiga.
3. Suatu uraian yang cukup jelas mengenai
barang yang dipertanggungkan.
4. Jumlah uang untuk berapa diadakan
pertanggungan
5. Bahaya-bahaya yang ditanggung oleh si
penanggung
6. Saat pada mana hanya mulai berlaku untuk
tanggungan si penanggung dan saat berakhirnya.
7. Premi pertanggungan tersebut
8. Pada umumnya semua keadaan yang kiranya
penting bagi si penanggung untuk diketahuinya, dan segala yang diperjanjikan
antara para pihak.
Syarat umum polis
256 KUHD di atas berlaku sebagai syarat umum dengan tidak menyebutkan secara
khusus kelompok asuransinya. Dalam asuransi kebakaran maka syarat polis pasal
256 ditambah syarat khusus pasal 287 KUHD. Untuk asuransi Bahaya Laut, syarat
umum pasal 256 ditambah syarat khusus pasal 592 KUHD.
Dalam asuransi
bahaya yang mengancam hasil pertanian (pasal 256 + 299 KUHD), untuk asuransi
pengangkutan di darat dan di sungai (pasal 256 + 648 KUHD). Khusus bagi
asuransi jiwa berlaku syarat-syarat polis tersendiri yang diatur dalam pasal
304 KUHD, yaitu :
1.
Hari ditutupnya pertanggungan
2.
Nama si tertanggung
3.
Nama orang yang jiwanya
dipertanggungkan
4.
Saat
muai berlaku dan berakhirnya bahaya bagi si penanggung.
5.
Jumlah uang untuk nama diadakan
pertanggungan
6.
Premi pertanggungan tersebut
Hal terpenting
dalam perjanjian asuransi adalah menetapkan kapan saat perjanjian itu dianggap
lahir. Sebab hal ini turut
menentukan diterima/ditolaknya tuntutan ganti rugi dari tertanggung kepada
penanggung.
Berdasarkan
Pasal 246 KUHD dan Pasal 1 angka 1 UU No. 2 tahun 1992 tentang Usaha
Peransuransian maka aasuransi adalah Perjanjian. Landasan asuransi ini
selain dalam KUHD sebelumnya disebutkan lebih dulu dalam pasal 1774 KUHPerdata
termasuk dalam Buku III tentang Perikatan. Oleh karena itu perjanjian asuransi
berlaku jug pasal-pasal (ketentuan umum) bagi perikatan (perjanjian) pada
umumnya yang tercantum dalam KUHPerdata dari pasal 1313 KUHPerdata dan seterusnya.
Dalam pasal 255 KUHD dikatakan bahwa pertanggungan harus diadakan secara
tertulis dengan akta yang dinamakan Polis. Dengan demikian kapan dianggap
perjanjian asuransi itu lahir ?.
Sebelum
menjawab pertanyaan itu, baiknya dijelaskan dulu bahwa dalam hukum dikenal 3
macam bentuk perjanjian, yaitu :
1. Perjanjian formil
2. Perjanjian Riil
3. Perjanjian Konsensuil
Perjanjian Formil adalah suatu perjanjian yang baru sah (baru
mempunyai akibat hukum menimbulkan hak dan kewajiban)apabila sudah atau telah
dibuat suatu akta tanpa adanya akta maka perjanjian ini adalah batal. Jika
disini akta merupakan syarat mutlak bagi sahnya perjanjian maka contohnya
adalah : perjanjian hak tanggungan, pertanggungan PT. Perjanjian Riil adalah suatu perjanjian yang harus diikuti dengan
suatu penyerahan, contoh : perjanjian pinjam-meminjam. Perjanjian
menitipkan barang dan lain-lain. Dalam hal ini perjanjian belum ada bila sampai
perundingan (maka sepakat) saja, maak perjanjian itu belum dianggap lahir.
Perjanjian Konsensuil adalah suatu
perjanjian yang sangat sederhana, adanya perjanjian cukup dengan adanya sepakat
dari pihak-pihak. Berdasarkan kerangka hukum diatas, kapan perjanjian asuransi
dianggap lahir ? jika hanya pasal 255 KUHD yang dilihat, maka perjanjjian
asuransi dianggap lahir bila akta (polis) nya suadah ada. Ketentuan perjanjian
asuransi yang menurut pasal 255 KUHD adalah formil hal ini kemudian dikalahkan
oleh pasal 257 (1) yang berbunyi :
“Perjanjian pertanggungan
diterbitkan seketika setelah ia ditutup. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban
bertimbal balik dari si penanggung dan si tertanggung mulai berlaku semenjak
saat itu, bahkan sebelum polisnya ditandatangani”.
Jadi berdasarkan pasal 257 (1) KUHD itu,
perjanjian asuransi adalah suatu perjanjian yang konsensuil. Dengan demikian perjanjian asuransi dianggap lahir semenjak adanya
kata sepakat. Dalam praktek “kata sepakat” dalam perjanjian asuransi identik
dengan tindakan si tertanggung mengisi formulir permohonan asuransi disertai
pembayaran dan penanggung menyatakan setuju meskipun polis belum dikeluarkan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Asuransi bertujuan untuk
memindahkan resiko individu kepada perusahaan asuransi. Tujuan pertanggungan
terutama untuk mengurangi resiko-resiko yang ditemui dalam masyarakat.
Persyaratan untuk mengklaim benda yang diasuransikan yang hilang saat ini masih
berbelit-belit, belum ada kemudahan.
2. Polis
adalah suatu akta yang ditandatangani oleh penanggung, yang fungsinya sebagai
alat bukti dalam perjanjian asuransi. Apabila saaat mengklaim asuransi
perusahaan tersebut bangkrut (pailit), maka harus ke Pengadilan Pailit di
Jakarta Pusat. .
3. Landasan
asuransi ini selain dalam KUH Dagang dan undang-undang No. 2 tahun 1992 tentang
Asuransi. Karena itu secara peraturan maka perjanjian asuransi tersebut batal
dan gugur apabila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi.
B. Saran-saran
1. Pembuatan perjanjian harus
jelas dikarenakan apabila suatu saat barang yang diasuransikan khususnya
kendaraan bermotor hilang, maka perusahaan tersebut dengan perjanjian tersebut
harus mengganti motor tersebut.
2. Perlunya
pelaksanaan pembinaan dan pengawasan, perusahaan peransuransian (perusahaan
asuransi, perusahaan reasuransi, perusahaan pialang asuransi, dan perusahaan
pialang asuransi) diwajibkan untuk menyampaikan laporan secara periodik.
Laporan yang wajib disampaikan meliputi laporan keuangan dan laporan
operasional. Pelanggaran
terhadap ketentuan mengenai pelaporan dikenakan sanksi baik sanksi administrasi
maupun sanksi denda. Untuk perusahaan asuransi dan perusaaan reasuransi.
ANALISA HUKUM ASURANSI KENDARAAN
BERMOTOR
MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM DAGANG
S K R I P S I
Diajukan Untuk Memenuhi
Salah Satu Persyaratan
Guna Mencapai Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
Nama : BUDIATI
N.P.M : 23130461
Program Studi : ILMU
HUKUM
SEKOLAH
TINGGI HUKUM INDONESIA
2007
DAFTAR PUSTAKA
Bahri, Zaimul, Kamus Umum Khususnya Bidang Hukum &
Politik. Cet. 1 Bandung
: Angkasa 1996.
Mertokusumo, Sudikno Hukum Acara
Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty Yogyakarta. 1998.
Setiawan. Aneka Masalah Hukum dan
Hukum Acara Perdata. Bandung : Alumni, 1992.
Soerjono Soekanto, Pengantar
Penelitian Hukum, Cet. 3 Jakarta : UI Press, 1986.
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang, Terj. R. Subekti, Cet. 23, Jakarta : Pradaya Paramita, 1997.
“Menyiasati Resiko Lwat Asuransi “, Kompas, 17 Februari 2002.
“Tips Memilih Perusahaan Asuransi Yang
Baik”, Media Indonesia,
06 Pebruari 2006.
http://www.asuransi-mobil.com/faq-asuransi-mobil.htm,
diakses tanggal 06 Pebruari 2006.
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0405/27/Otomotif/1047298.htm,
diakses 06 Pebruari 2006
http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/eureka/2002/071/eurl.htmlm
diakses tanggal 06 Pebruari 2006
http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/promarketing/2003/0306/prom1.html diakses tanggal 06 Pebruari 2006
http://www,simaya.com/konsultasi_hukum/asuransi/asuransi_motor.htm,
diakses tanggal 06 Pebruari 2006.
http://www.asuransi-mobil.com/faq-asuransi-mobil.htm
, diakses tanggal 06 Pebruari 2006
STHI
SEKOLAH
TINGGI HUKUM INDONESIA
LEMBAR PERSETUJUAN
UNTUK DIAJUKAN DALAM SIDANG TIM
PENGUJI
SKRIPSI
ANALISA HUKUM ASURANSI
KENDARAAN BERMOTOR
MENURUT KITAB
UNDANG-UNDANG
HUKUM DAGANG
Oleh :
Nama
: BUDIATI
N.I.P : 231130431
Program
Studi : ILMU HUKUM
Pembimbing Penulis
Hj. SAMSYUL FARYETI, SH BUDIATI
STHI
SEKOLAH
TINGGI HUKUM INDONESIA
LEMBAR PERSETUJUAN
YANG TELAH DIUJI DALAM SIDANG TIM
PENGUJI
S K R I P S I
ANALISA HUKUM ASURANSI
KENDARAAN BERMOTOR
MENURUT KITAB
UNDANG-UNDANG
HUKUM DAGANG
Oleh :
Nama
: BUDIATI
N.I.P : 231130431
Program Studi : ILMU HUKUM
Tim Penguji :
1. Maman Suparman, SH, MH ( ……………………………..)
2. Herry Bantolo, SH (………………………………)
3. Hj. Syamsul Faryeti, SH (………………………………)
Mengetahui,
Ketua
Sekolah Tinggi Hukum Indonesia
H. TOIP HERYANTO, SH MH
KATA PENGANTAR
Penulis
pertama-tama mengucapkan puji syukur pada Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan
rahmat dan kekuatan serta ketabahan pada penulis untuk menyelesaikan
tugas-tugas kuliah serta memenuhi syarat-syarat dalam mencapai gelar Sarjana
Ilmu Hukum pada Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jakarta.
Penulis skripsi ini
terselesaikan atas bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, baik berupa
pikiran, tenaga maupun materi sejak penulis memulai kuliah hingga penulisan
skripsi ini.
Pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada :
1. Yang terhormat, Bapak H.
Toip Heryanto, SH, MH Ketua Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jakarta.
2. Yang terhormat Drs. HM.
Muniarto, SH (Almarhum) mantan Ketua Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jakarta.
3. Yang terhormat, Bapak
James Pardede, SH PUKET I, Bapak H. Hasan Tjakrana, SH Puket II dan bapak H.
Suparman Wibisono, SH MM Puket III, Pada Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Indonesia
(STHI) Jakarta .
4. Yang terhormat, Ibu Hj.
Syamsul Faryeti, SH, selaku dosen pembimbing yang telah membantu dan meluangkan
bimbingannya untuk skripsi ini.
5. Yang terhormat,
Bapak-bapak/Ibu Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia yang telah banyak
memberikan waktu dan ilmunya kepada kami.
6. Yang terhormat,
rekan-rekan mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jakarta, yang telah banyak
memberikan bantuan baik langsung atau tidak langsung.
Dengan kerendahan
hati, penulis mohon maaf apabila dalam penulisan skripsi ini ada kekurangan
kesempurnaan, hal ini karena keterbatasan penulis.
Demikian atas semua
bantuannya kami mengucapkan terima kasih.
Penulis
BUDIATI
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR JUDUL
LEMBAR PERSETUJUAN ......................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................................ ii
KATA PENGANTAR ................................................................................................ iii
ABSTRAK ................................................................................................................... v
DAFTAR ISI ............................................................................................................. iv
BAB I PENADHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan ............................................................... 1
B. Pokok Permasalahan .............................................................................. 9
C. Tujuan Penulisan ................................................................................. 10
D. Metode Penelitian ............................................................................... 10
E. Sistematikan Penulisan ........................................................................ 11
BAB II ASURANSI PADA UMUMNYA
A. Pengertian dan Tujuan
Asuransi Menurut KUH
Dagang .......................................................................................... ..... 13
B.
Sifat Asuransi ...................................................................................... 16
C. Polis dan Premi dalam Asuransi .................................................... ..... 13
D. Subyek dan Obyek Asuransi ............................................................... 21
BAB III ASURANSI KENDARAAN BERMOTOR MENURUT
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM DAGANG
A. Dasar Hukum Asuransi atau pertanggungan ................................. ..... 26
B. Tujuan Pertanggungan atau Asuransi
Kendaraan
Bermotor
36
C.
Jenis Asuransi Termasuk untuk
Asuransi Kendaraan
Bermotor
39
D. Premi dan Polis Asuransi
menurut Undang-Undang
Hukum
Dagang 41
BAB IV ANALISA HUKUM ASURANSI KENDARAAN BERMOTOR
MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
DAGANG
A. Praktek Asuransi Kendaraan Bermotor Roda Dua ............................. 56
B. Praktek Asuransi Kendaraan Bermotor Roda
empat .......................... 60
C. Analisa Hukum .................................................................................... 61
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................... 67
B. Saran .................................................................................................... 67
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
[1] Prof Emmy Pangaribuan
Simanjuntak., SH., Hukum Pertanggungan,
Penerbit Liberti,
[2] Ibid, Halaman 9
[3] Radiks Purba, Memahami Asuransi di
Indonesia, Jakarta : Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen, 1995, halaman
56
[4] Wirjono Projodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia jakarta, Inter Masa, 1994, halaman 10.
[5] Radiks Purba, Op Cit. halaman 59
[6] M.N Purwosujipto, SH. Pengertian Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia , Hukum Pertanggungan, Jakarta : Djambatan, 1990, halaman 63
[7] Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan, Yogyakarta : Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum UGM, 1990,
halaman 41
[8] Ibid, halaman 34
[9] Wirjono Prof Jodikoro, SH., Asuransi di
Indonesia, penerbit PT Intermasa, Jakarta, 1994, halaman 41
[10] Prof. emmy Pangaribuan Simanjuntak, Op Cit, Halaman 13 : 14
[11] Emmy Pangaribuan Simanjuntak, SH Pertanggungan Wajib,
Penerbit Seksi Hukum Dagang UGM, Yogyakarta ,
1995, halaman 7
[12] Prof. Emmy Pangaribuan Simanjuntak, SH. Seri Hukum Dagang Hukum Pertanggungan dan Perkembangannya seksi
Hukum Dagang. Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Cetakan I edisi Kedua,
1983, Yogyakarta , hal 22
[13] Emmy Pangaribuan Simanjuntak, SH, Pertanggungan Wajib Sosial,
Penerbitan Seksi Hukum Dagang UGM, Yogya, 198, hal 92
[14] Santoso Poedjosoebroto, Dr. SH, Beebrapa Aspek tentang hukum Pertanggungan
Jiwa di Indonesia, Penerbit Bharata Jakarta, Halaman 82.
[15] Purwosutjipto H.M.N., S.H Pengertian
Pokok Hukum Dagang Indonesia, Penerbit Djambatan Cetakan Pertama, 1983,
halaman 10
[16] Wiryono Prodjodikoro, Prof. Drs. S.H, Hukum
Asuransi di Indonesia, Penerbit PT. Inetrmasa, Jakarta, Cetakan Ketujuh,
1982, halaman 2
[17] Purwosutjipito H.M.N, SH., Pengertian
Pokok Hukum Dagang Indonesia, Peenrbit Djambatan, Jakarta, cetakan Pertama,
1983, halaman 1
[18] H.M.M Porwosutjipto, S.H. Pengertian
Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid Buku 6 Hukum Pertanggungan, Cetakan ke
ke 11, 1983, Peenrbit, Djambatan, Jakarta, Halaman 1
[19] Ibid, halaman 25
[20] Emmy Pangaribuan Simanjuntak, S.H. Opcit. halaman 42
[22] http://www.Simaya.com/konsultasi_hukum/asuransi/asuransi_motor.htm,
diakses tanggal 06 Pebruari 2006
[23] http: asuransi-mobil.com/faq-asuransi-mobil, htm, diakses tanggal
06 februari 2006
0 komentar:
Post a Comment