PENGGUNAAN
MODEL SYNECTIK DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR DI SD INPRES
RAPPOKALLING
I MAKASSAR
ABSTRAK
Skripsi ini membahas
tentang “Penggunaan Model Synectik dalam
Proses Belajar Mengajar di SMU Negeri 1 Bajeng Kabupaten Gowa”. Adapun pokok permasalahannya
adalah bagaimana teknik penggunaan
penerapan model synectik dalam proses belajar mengajar di SMU Negeri 1
Bajeng Kecamatan Bajeng Kabupaten Gowa. Dan faktor apakah yang menunjang bagi
penerapan model synectik dalam proses
dalam belajar mengajar di SMU Negeri 1
Bajeng Kec. Bajeng Kab. Gowa.
Untuk menjawab
permasalahan tersebut di atas, penulis mengadakan pengumpulan data melalui
studi pustaka dan penelitian lapangan, dengan menggunakan metode observasi,
wawancara dan angket, setelah data terkumpul penulis mengolah dengan memakai
metode induktif, deduktif, tabulasi dan komperatif.
Kemudian dari pengolahan
data tersebut maka hasilnya dapat diketahu bahwa teknik penerapan Model
synectik oleh guru yakni guru berusaha memaparkan sesuatu yang baru, mengenal
keanehan, dan hal ini akan membantu para siswa memahami masalah, ide atau
produk dalam sesuatu yang baru. Jadi peranan guru hanya memberikan gambaran
atau informasi tentang sesuatu bahan pelajaran, kemudian siswa tersebut
mengolahnya sendiri, nantipada tahap akhir baru guru memberikan bimbingan lagi.
Jadi peranan guru hanya memberikan bimbingan pada tahap awal dan tahap akhir
kegiatan. Sedangkan yang menjadi faktor penunjang bagi penggunaan penerapan
model synectik ini adalah adanya sarana prasarana pendidikan yang lengkap dan
juga didukung oleh guru-guru yang profesional dalam bidangnya masing-masing.
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam proses belajar mengajar pada dasarnya merupakan
proses interaksi antara yang belajar (siswa) dengan pengajar (guru). Seorang
siswa telah dikatakan belajar apabila ia telah mengetahui sesuatu yang
sebelumnya ia tidak dapat mengetahuinya, termasuk sikap tertentu yang
sebelumnya belum dimilikinya. Sebaliknya, seorang guru dikatakan telah mengajar
apabila ia telah membantu siswa atau orang lain untuk memperoleh perubahan yang
dikehendaki.
Guru sebagai fasilitator dalam proses belajar
mengajar hendaknya berupaya menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan
terjadinya proses belajar mengajar yang efektif dan efesien untuk para
siswanya. Dalam hal ini dapat meningkatkan efektivitas kegiatan belajar
mengajar.
Model mengajar adalah suatu rencana atau pola mengajar yang
digunakan oleh guru dalam menyusun kurikulum, mengatur materi-materi pelajaran
dan petunjuk bagaimana seharusnya guru mengajar di kelas.
Mengingat beragamnya
model mengajar yang telah diterapkan di sekolah-sekolah ini, tentu akan lebih
bijaksana bila guru memilih dan mencoba menggunakan model mengajar secara
bervariasi untuk meningkatkan kualitas profesi dan produktivitasnya dalam
mengacu pada pemenuhan kebutuhan siswa, dan hal inilah yang dilakukan oleh
guru-guru di SD Inpres Rappokalling I Makassar untuk mencoba model synectik
diterapkan dalam proses belajar mengajar.
Dalam penerapan model synectik
ini oleh guru, yakni guru tersebut hanya memberikan gambaran atau informasi
tentang suatu bahan pelajaran kemudian siswa atau informasi tentang suatu bahan
pelajaran kemudian siswa tersebut mengelolanya sendiri, nanti pada tahap akhir
baru guru memberikan bimbingan lagi. Jadi peranan guru hanya memberikan
bimbingan pada tahap awal dan tahap akhir kegiatan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mengangkat beberapa
permasalahan sebagai berikut:
1.
Bagaimana teknik penggunaan/
penerapan model synectik dalam proses belajar mengajar di SD Inpres
Rappokalling I Makassar.
2.
Faktor-faktor apa yang menjadi
penunjang dan penghambat penerapan model synectik dalam proses belajar
mengajar di SD Inpres Rappokalling I Makassar.
C. Hipotesis
Adapun hipotesis yang merupakan jawaban sementara dari permasalahan
di atas, adalah:
1.
Teknik penerapan model synectik
oleh guru-guru dalam proses belajar mengajar adalah model yang berhasil
memecahkan masalah atau kesulitan belajar yang mereka miliki.
2.
Mengingat bahwa model synectik
adalah model pengembangan kreatifitas berfikir siswa untuk memecahkan kesulitan
berfikir dalam belajar, berdasarkan analisa tersebut maka dapat dipikirkan
bahwa model synectik efektif diterapkan dalam proses belajar mengajar.
D. Pengertian Judul
dan Defenisi Operasional
Agar skripsi ini mudah dipahami
dan dimengerti dengan jelas, maka akan diberikan pengertian kata-kata yang
dianggap penting untuk memahami judul tersebut di atas adapun kata-kata yang
dimaksud adalah:
“Model synectik”, model
pengembangan kreatifitas untuk memecahkan masalah dengan melatih individu untuk
bekerjasama mengatasi problema, sehingga mampu meningkatkan produktivitasnya.1
“Proses Belajar Mengajar, proses
komunikasi, proses penyampaian pesan dari sumber pesan melalui saluran atau
media tertentu ke penerima pesan.2
Berdasarkan pengertian tersebut
di atas, maka penulis dapat menyimpulkan pengertian judul bahwa model synectic dalam proses belajar mengajar
adalah model pengembangan kreatifitas untuk memecahkan masalah dengan melatih
individu untuk bekerjasama mengatasi problema. Sehingga mampu meningkatkan
produktivitasnya dengan melibatkan seluruh komponen yang ada dalam unsur
pendidikan baik itu guru, lingkungan siswa, sarana masyarakat sehingga
terjadi proses belajar mengajar yang efektif dan efisien, sehingga tercapai
tujuan yang diharapkan.
E. Tujuan
dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian adalah
sebagai berikut:
a. Untuk memperoleh data tentang sejauhmana
penguasaan guru dan pemahaman siswa terhadap mata pelajaran apabila menggunakan
model synectik.
b. Untuk mengetahui kerajinan dan perhatian siswa
terhadap mata pelajaran apabila menggunakan model synectik dalam proses
belajar mengajar di SD Inpres Rappokalling I Makassar.
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini
pada intinya, sebagai berikut:
a. Untuk menjadi pertimbangan bagi pembaca pada
khususnya pendidik dan si terdidik pertimbangan bagi pembaca pada khususnya
pendidik dan si terdidik dalam proses belajar mengajar.
b. Agar
supaya hasil penelitian nanti dapat memberikan gambaran kepada pembaca tentang
hal-hal yang menjadi faktor pendukung didalam pelaksanaan penggunaan model synectik
dalam proses belajar mengajar di SD Inpres Rappokalling I Makassar.
c. Memberikan konstribusi pemikiran atau strategi
dan operasionalisasi tentang penggunaan model synectik dalam proses
belajar mengajar di SD Inpres Rappokalling I Makassar.
d. Supaya hasil penelitian nanti dapat berfungsi
sebagai informasi kepada pembaca
tentang sejauh mana penggunaan model synectik dalam proses belajar
mengajar di SD Inpres Rappokalling I Makassar.
F. Garis
Besar Isi
Untuk memudahkan cara pembaca
mengerti secara global dari pada isi skripsi ini, maka penulis perlu memberikan
gambaran kandungan skripsi ini:
Pada bab pertama adalah
pendahuluan, yang membicarakan latar belakang, di mana dalam proses belajar
mengajar pada dasarnya merupakan proses interaksi antara yang belajar (siswa) dengan pengajar
(guru), rumusan masalah meliputi bagaimana teknik penggunaan penerapan model synectik
dan faktor-faktor apa yang menjadi penunjang penerapan model synectik
dalam proses belajar mengajar di SD Inpres Rappokalling I Makassar, hipotesis
sebagai jawaban sementara terhadap problema, pengertian judul dari skripsi ini,
meliputi pengertian penggunaan model synectik dalam proses belajar
mengajar ,tujuan dan kegunaan penelitian, dan terakhir adalah garis–garis besar
isi yang meliputi abstrak dari semua bab.
Pada bab dua, membahas tinjauan
pustaka yang meliputi proses belajar mengajar di mana proses kegiatan yang
berinteraksi antara guru dengan siswa, pengertian komponen yang meliputi tujuan
pengajaran yang bersumber dari tujuan kurikuler dan tujuan instruksional umum
yang berfungsi sebagai indikator keberhasilan pengajaran, faktor-faktor yang
mempengaruhi pelaksanaannya meliputi faktor anak didik, pendidik, alat
pendidikan dan tujuan pendidikan, dan terakhir adalah model mengajar
synectik yang merupakan suatu pendekatan baru yang menarik guna
mengembangkan kreatifitas.
Bab tiga membahas tentang metode penelitian
yang meliputi lokasi, populasi dan sampel, yang membahas jumlah keseluruhan
dari siswa dan jumlah guru SD Inpres Rappokalling I Makassar instrumen
pengumpulan data, teknik pengumpulan data, adalah merupakan keberhasilan dalam
penelitian karena berfungsi sebagai sarana mengumpulkan data yang banyak,
prosedur pengumpulan data dan tahap pengumpulan data yang meliputi tahap
persiapan dalam menyusun instrumen pengumpulan data, dan tahap pengumpulan data
yang meliputi riset kepustakaan ,kutipan langsung dan kutipan tidak langsung
serta penelitian lapangan dan terakhir teknik analisis data meliputi metode
induksi, deduksi, tabulasi dan metode komparatif.
Bab empat, membahas hasil
penelitian tentang tinjauan
deskripsi SD Inpres Rappokalling I
Makassar yang meliputi keadaan sarana dan prasarana, keadaan guru, keadaan
siswa, dan keadaan kurikulum, teknik penerapan model synectik yakni guru
hanya memberikan gambaran atau informasi tentang suatu bahan pelajaran nanti
siswa tersebut mengelolanya sendiri, faktor yang menjadi penunjang penerapan
model synectik, efektivitas penerapan model mengajar synectik
dalam proses belajar mengajar di mana model synectik ini efektif
diterapkan dalam proses belajar mengajar dan terakhir prestasi belajar siswa
yang meliputi hasil belajar siswa.
Kemudian bab lima, yakni pada bab terakhir berisi penutup yang berupa
kesimpulan yang meliputi teknik penggunaan penerapan model synectik dan
faktor penunjang penerapan model synectik dan terakhir implikasi
penelitian.
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A. Proses Belajar Mengajar
1. Pengertian
Proses belajar mengajar dapat terjadi di rumah, di lingkungan
masyarakat dan di sekolah. Tetapi yang ditekankan di sini adalah proses belajar
mengajar merupakan suatu kegiatan yang berinteraksi, yakni terjadi aktivitas
belajar dan bersamaan dengan itu berlangsung pula aktivitas mengajar. Siswa
yang menjadi objek belajar dan guru merupakan subjek sumber informasi. Oleh
karena adanya proses belajar mengajar, dengan sendirinya memberikan hasil bagi
anak didik itu dengan kata lain prestasi belajar siswa.
Untuk memberikan pengertian tentang proses belajar
mengajar, maka penulis akan menguraikan pengertian menurut para ahli sebagai
berikut:
a. Pengertian Belajar
Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, maka
kegiatan yang sangat pokok dilakukan oleh seseorang atau siswa adalah belajar.
Siswa merupakan salah satu komponen yang menempati posisi sentral dalam proses
belajar mengajar yang harus diperhatikan dengan penuh perhatian.
Untuk memberikan batasan tentang pengertian belajar
dapat dilihat dari pengertian yang diungkapkan oleh para ahli di bawah ini:
Engkoswara, sebagaimana dikutip oleh Sudirman N,
dkk., mengemukakan bahwa “Belajar adalah proses perubahan prilaku yang dapat
dinyatakan dalam bentuk penguasaan, penggunaan dan penilaian tentang
pengetahuan, sikap dan nilai-nilai dan keterampilan”.[1]
Winarno Surachmad, memberikan pengertian sebagai
berikut: ”Belajar adalah proses perubahan yang terjadi pada diri manusia”.[2]
Sedangkan Kimle dan Germezy memberikan pengertian
belajar sebagai berikut: “Belajar suatu kecenderungan dalam pengubahan tingkah
laku yang secara relatif bersifat permanen dan sebagai hasil praktek yang
bersifat menguatkan”.[3]
Kemudian pengertian belajar menurut Slameto, dalam
bukunya “Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya”, mengemukakan
bahwa:
Suatu proses usaha yang diperlukan oleh individu untuk memperoleh
suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil dari
pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya.[4]
Dari beberapa pengertian belajar oleh para ahli tersebut di atas,
maka penulis dapat menyimpulkan, bahwa belajar itu merupakan suatu kebutuhan
manusia agar pada dirinya terjadi perubahan-perubahan, baik pengetahuan, sikap
dan nilai-nilai moral atau nilai akhlak yang akan membentuk pribadi seseorang
sebagai hasil interaksinya terhadap lingkungan dan masyarakat sekitarnya.
Menurut Brunner yang dikutip oleh Nasution, proses belajar itu dapat
dibedakan atas tiga fase, yaitu:
1.
Fase Informasi
2.
Fase Transformasi
3.
Fase Evaluasi.[5]
Fase informasi, dimana tiap-tiap pelajaran yang diperoleh adalah
merupakan sejumlah informasi, dan informasi itu ada yang berupa pengetahuan,
memperdalam dan ada pula yang bertentangan dari apa yang diperoleh sebelumnya.
Fase transformasi, dimana informasi yang diperoleh
itu akan ditransformasikan dalam bentuk yang konseptual agar dapat dipergunakan
untuk hal-hal yang lebih luas.
Fase evaluasi, merupakan hasil dari informan dan transformasi dalam
prose belajar mengajar, kemudian dinilai sejauh mana hasil dari informan dan
transmisi dapat dimanfaatkan dalam kehidupan.
Keterpaduan dari ketiga fase tersebut di atas akan menghasilkan
perubahan-perubahan pada diri individu tersebut. Adapun jenis-jenis perubahan
yang terjadi yaitu:
1. Perubahan yang terjadi secara sadar
Pada diri individu yang belajar akan mengalami perubahan, yang mana
perubahan itu akan disadarinya. Misalnya ia menyadari bahwa pengetahuannya
bertambah, kecakapannya bertambah, dan kebiasaannya berubah.
2. Perubahan yang bersifat kontinyu atau fungsional
Sebagai hasil belajar maka perubahan yang terjadi pada diri individu
itu berlangsung secara terus menerus dan tidak statis. Satu perubahan yang
terjadi akan menyebabkan perubahan berikutnya, dan akan berguna bagi keadaan
proses belajar berikutnya.
3. Perubahan yang bersifat positif dan aktif.
Dalam perubahan belajar, maka perubahan-perubahan itu senantiasa
bertambah dan tertuju untuk memperoleh sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya.
Perubahan aktif yaitu bahwa perubahan itu tidak terjadi dengan sendirinya,
melainkan karena usaha individu tersebut.
4. Perubahan yang bersifat permanen
Perubahan yang permanen itu terjadi karena hasil proses belajar yang
bersifat menetap, maksudnya bahwa tingkah laku anak memainkan piano setelah
belajar, tidak akan hilang begitu saja, melainkan akan terus berkembang kalau
dipergunakan atau dilatih.
5. Perubahan yang bersifat terarah atau tertentu
Perubahan yang bersifat terarah dan tertentu dimaksudkan bahwa
perubahan tingkah laku itu terjadi dikarenakan ada tujuan yang ingin dicapai.
Perubahan terarah kepada perubahan tingkah laku yang benar-benar disadari.
6. Perubahan seluruh aspek tingkah laku
Dalam perubahan ini diperoleh individu setelah melalui proses
belajar, meliputi keseluruhan perubahan tingkah laku secara menyeluruh dalam
sikap keterampilan dan pengetahuan. Misalnya seorang anak atau siswa telah
belajar membuat adaptor, maka perubahan yang paling nampak adalah keterampilan
membuat adaptor itu dan bahan-bahan dari adaptor tersebut serta memahami cara
kerja adaptor itu.
b. Pengertian Mengajar
Mengajar pada dasarnya merupakan suatu usaha untuk menciptakan
kondisi atau sistem lingkungan yang mendukung dan memungkinkan berlangsungnya
proses belajar. Kalau belajar dikatakan milik siswa maka mengajar itu sendiri
merupakan kegiatan guru.
Mengajar dalam pengertian sempit adalah menyampaikan
berbagai pengetahuan kepada anak didik. Sebagai konsekuensi pengertian semacam
ini dapat membuat kecenderungan anak menjadi pasif, karena hanya menerima
informasi atau pengetahuan yang diberikan oleh guru atau pendidiknya, sehingga
pengajar bersifat teacher center. Jadi gurulah yang memegang posisi
kunci dalam proses belajar mengajar di kelas[6].
Kemudian pengertian mengajar dalam arti luas, maka mengajar
diartikan sebagai suatu aktivitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan
sebaik-baiknya dan menghubungkan dengan anak didik dan diharapkan terjadi
perubahan secara optimal baik jasmani maupun rohani. Pengertian pengajar ini
sepadan dengan pengertian yang dikemukakan oleh Alvin W. Horward yang dikutip
oleh Slameto bahwa:
Mengajar adalah suatu aktivitas untuk mencoba menolong,
membimbing seseorang untuk mendapatkan perubahan dan pengembangan skill,
attitude, ideals, cita-cita, appreciation (penghargaan) dan knowledge.[7]
Dari pengertian tersebut di atas, maka penulis dapat menyimpulkan
bahwa mengajar itu suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar oleh seorang guru
atau pengajar untuk mengubah karakteristik dan kemampuan berfikir kearah
kemajuan seorang anak didik, baik kemajuan dalam pengetahuan dan
kemampuan-kemampuan lainnya melalui proses belajar.
Jadi yang dimaksud proses belajar mengajar adalah proses kegiatan
yang berinteraksi, dimana terjadi belajar disitu juga akan berlangsung mengajar
siswa yang menjadi objek belajar dan guru sebagai informasi subjek.
2. Komponen Proses Belajar Mengajar
Dalam proses belajar mengajar ada beberapa komponen yang harus
dipenuhi, apabila salah satu dari komponen tersebut tidak ada maka proses
belajar mengajar tidak akan berlangsung dengan baik.
Oemar Hamalik, mengemukakan bahwa:
Pengajaran, materi pelajaran, teknik mengajar, siswa,
secara operasional, ada 5 variabel utama yang berperan dalam proses belajar
mengajar, yakni: tujuan guru dan logistik.[8]
Sedangkan menurut Dr. Nana Sudjana, mengemukakan
bahwa:
Ada empat persoalan dalam proses belajar mengajar
yakni: persoalan pertama berhubungan dengan tujuan pengajaran, persoalan kedua
berbicara tentang materi dan bahan pengajaran, persoalan ketiga berhubungan
dengan metode dan alat yang digunakan dalam proses pengajaran, persoalan
keempat berkenaan dengan penilaian dalam proses pengajaran.[9]
Keempat persoalan (tujuan, bahan, metode dan alat penilaian) menjadi
komponen utama yang harus dipenuhi dalam proses belajar mengajar. Keempat
komponen tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi saling berhubungan dan saling
mempengaruhi satu sama lain.
Berikut ini penulis akan menguraikan keempat komponen
tersebut yaitu:
a. Tujuan pengajaran
Tujuan pengajaran merupakan arah yang hendak dicapai dalam proses
belajar mengajar. Umumnya tujuan pengajaran bersumber dari tujuan kurikuler
(yang terkandung dalam setiap bidang studi), sedangkan tujuan itu bersumber
dari tujuan lembaga (tujuan instruksional umum) yang mengarah pada tujuan umum
(tujuan pendidikan nasional). Jadi tujuan pendidikan tersusun dalam struktur
berjenjang dari tingkat yang paling umum sampai ke tingkat operasional, yang
disebut tujuan instruksional khusus (TIK).
Tujuan pengajaran ini berfungsi sebagai indikator keberhasilan
pengajaran. Tujuan ini pada dasarnya merupakan rumusan tingkah laku dan
kemampuan yang harus dicapai dan dimiliki siswa setelah ia menyelesaikan
pengalaman dan kegiatan belajar dalam proses belajar mengajar.
b. Bahan atau materi pelajaran.
Materi pelajaran adalah hal-hal yang pokok yang akan disajikan
kepada siswa berkaitan dengan usaha pencapaian tujuan pengajaran. Materi tersebut
bersumber dari masing-masing bidang studi. Setiap bidang studi memiliki
sejumlah materi pelajaran, yang berbeda satu sama lain. Satu materi pelajaran
turut menentukan strategi pencapaian yang akan digunakan, sistem lingkungan
belajar dibutuhkan yang memungkinkan pemberian kesempatan yang bervariasi.
Di dalam materi pelajaran terkandung aspek-aspek
materi yakni: konsep, fakta, prosedur, keterampilan dan sebagainya, atau dapat
dikategorikan sebagai pengetahuan dan keterampilan itu sendiri mengundang dua
aspek yakni aspek reproduktif dan aspek produktif.
Bahan pelajaran inilah yang diharapkan dapat mewarnai
tujuan, mendukung tercapainya tujuan atau tingkah laku yang diharapkan untuk
dimiliki siswa.
c. Metode dan teknik mengajar
Metode adalah cara, sedangkan teknik adalah prosedur atau langkah
dan teknik yang akan ditentukan oleh tujuan pengajaran yang hendak dicapai dan
materi yang hendak diajarkan.
Setiap strategi pengajaran pada hakekatnya memiliki
karakteristik sendiri-sendiri. Karekteristik tersebut menyebabkan satu metode
berbeda dengan lainnya, baik secara konseptual maupun secara operasional.
d. Alat penilaian
Dalam menilai hasil belajar siswa, guru perlu menetapkan suatu
kriteria tertentu. Melalui kriteria itu maka dapat diperoleh informasi mengenai
hasil yang diperoleh siswa, untuk kemudian dapat ditetapkan kedudukan atau
posisi siswa dalam hubungannya dengan penguasaan bahan pengajaran, penetapan
kriteria dalam menilai hasil belajar siswa pada hakekatnya berhubungan dengan
sistem penilaian. Ada dua sistem penilaian hasil belajar, yakni:
1) Kriteria penilaian acuan norma disingkat PAN atau norm
referenced
2) Kriteria penilaian acuan patokan disingkat PAP
atau criteria referenced.
Kedua sistem penilaian yang sering digunakan sebagai
patokan (kriteria dalam mengukur tingkat keberhasilan prestasi belajar siswa.[10]
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaannya
Kegiatan belajar mengajar, merupakan bahagian dari pendidikan yang
tidak terlepas dari beberapa faktor yang mencakup: faktor anak didik, pendidik,
alat pendidikan dan tujuan pendidikan. Maka demikian pula dengan proses belajar
mengajar tentunya tidak terlepas dari beberapa faktor tersebut yang dikenal
dengan faktor siswa, faktor guru, faktor materi atau bahan pelajaran, faktor
lingkungan dan faktor lainnya, dimana tujuan utamanya adalah terjadinya suatu
perubahan tingkah laku.
Perubahan tingkah laku yang diharapkan adalah suatu tingkah laku
yang diperlukan dalam situasi kerja tertentu. Jika perubahan tingkah laku
terjadi sesuai yang diharapkan, yakni tercapainya pengetahuan, kemahiran,
keterampilan, kepribadian, sikap, kebiasaan dan sebagainya, maka kelak ia akan
mampu melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya dengan baik.
Suatu pendidikan khususnya pendidikan di SMU dikatakan berhasil
apabila, benar-benar terjadi perubahan tingkah laku yang diharapkan, juga bahwa
dicapainya perubahan tingkah laku itu terlaksana dalam waktu yang telah
ditentukan, dengan perkataan lain terjadinya secara efektif dan efisien.
. . . Ada keadaan dimana
pendidikan dikatakan tidak ada atau kurang berhasil yaitu:
- Tidak tercapainya perubahan tingkah laku yang
diharapkan
- Perubahan tingkah laku terjadi dalam waktu relatif lama atau lebih
lama dari batas waktu yang ditentukan.[11]
Selanjutnya bila hal tersebut terjadi, maka berarti bahwa proses
belajar tidak berjalan semestinya, sehingga perubahan tingkah laku tidak
berjalan semestinya, tidak sesuai dengan harapan. Hal tersebut tentu tidak
dikehendaki.
Bila terjadi ketidakberhasilan dalam belajar, maka
dalam penanggulangannya perlu memperhatikan berbagai faktor yang mempengaruhi
proses belajar mengajar.
Dalam hal ini penulis akan mengemukakan beberapa
faktor yang mempengaruhi pelaksanaan proses belajar mengajar, yakni:
a. Bahan, metode mengajar dan mengajar
Aspek belajar akan berhasil atau tidak tergantung dari bahan yang
diberikan, bahan yang diberikan hendaknya sesuai dengan taraf perkembangan dan
kemampuan individu, juga bahan itu menentukan metode yang bagaimana yang
sesuai.
Metode mengajar adalah suatu alat atau cara digunakan
oleh guru untuk mencapai tujuan pengajaran. Berhasil atau tidaknya tujuan
pengajaran tentunya sangat dibutuhkan metode pengajaran yang efektif. Dalam
hubungan ini guru hendaknya harus pandai memilih dan menerapkan metode yang
baik. Di samping itu, pengajar memegang peranan penting, pengajar harus
menguasai teknik mengajar, menguasai bahan, juga harus mengadakan kontak dengan
anak didiknya dan sebagainya.
Faktor bahan, metode mengajar dan pengajaran sering
berpengaruh terhadap jalannya proses belajar mengajar, hal ini disebabkan
karena ada bahan atau materi pelajaran yang sulit atau lambat dimengerti oleh
sebahagian dari siswa, demikian pula dengan metode yang digunakan kurang sesuai
dengan situasi dan kondisi. Dan demikian pengajar cukup berpengaruh terhadap
jalannya proses belajar mengajar karena pengajarlah yang menentukan metode yang
digunakan itu.
Dari pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa
perbuatan pendidik tidak boleh diadakan tanpa adanya kesanggupan dan tanpa
disadari. Selain dari pada itu perbuatan-perbuatan itu harus bertujuan
meningkatkan kesusilaan anak didik. Jika kita menganalisis proses belajar
mengajar pada intinya bertumpuh pada satu persoalan, yaitu bagaimana guru
memberi kemungkinan bagi siswa agar terjadi proses belajar yang efektif atau
dapat dicapai hasil yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
b. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan adalah salah satu faktor yang sangat berpengaruh
didalam proses belajar mengajar. Adapun faktor lingkungan yang akan dibahas
pada pasal ini meliputi:
1)
Lingkungan keluarga
2)
Lingkungan Sekolah
3)
Lingkungan Masyarakat
Ketiga lingkungan belajar tersebut satu sama lain saling
mempengaruhi dan berkaitan satu dengan lainnya. Di antara ketiganya mempunyai
karakteristik masing-masing dalam kaitannya dengan belajar, baik belajar yang
kategorinya berhasil maupun tidak berhasil atau disebut pula kesulitan dalam
belajar. Untuk lingkungan ini dibahas satu demi satu sebagai berikut:
1) Lingkungan keluarga
Keluarga sebagai lingkungan yang pertama dan utama dari individu.
Keluarga merupakan peletak dasar pertama pendidikan dalam pembentukan
nilai-nilai dan kepribadian anak sejak kecil sampai usia 7 (tujuh) tahun.
2) Lingkungan sekolah
Seperti telah diketahui bahwa sekolah adalah lembaga pendidikan
formal, tempat membina dan membimbing siswa tidak selalu memperlancar proses
belajar.
Dalam keadaan tertentu dapat menyebabkan kesulitan
belajar seperti:
a) Kurang alat (sarana dan prasarana) sekolah, baik yang berbentuk
fisik maupun yang berbentuk non fisik berupa gedung dan perabotannya.
b) Kondisi lingkungan sekitarnya seperti: kebersihan, keadaan suhu
udara, penerangan dan sebagainya.
c) Demikian pula guru dengan kualifikasinya seperti cara mengajar,
cara mengelola kelas, cara menilai yang kesemuanya berhubungan erat dengan
tingkat pendidikan dan keterampilan serta pengalaman yang telah dimiliki
sebagai pendidik, pengasuh dan pembimbing sekolah yang baik. Yang tidak kurang
pentingnya yang telah disebutkan diatas adalah kurikulum sekolah, kemampuan
anak didik dan kemampuan sekolah. Hal ini dapat mempengaruhi kegiatan belajar
siswa di sekolah.
3) Lingkungan masyarakat
Lingkungan ini tidak kalah pentingnya dengan kedua lingkungan yang
telah dibicarakan di atas. Lingkungan masyarakat seperti: Media massa, kelompok
organisasi sosial budaya, serta nilai-nilai agama yang kesemuanya mempengaruhi
kesulitan belajar seseorang atau kelompok siswa. Media massa seperti: televisi,
komik, selebaran-selebaran, panpel, atau spanduk dan sebagainya.
c. Pengetahuan Dasar
Pengetahuan dasar atau kecakapan dasar yang diperoleh sebelumnya
mempengaruhi pula hasil belajar individu, di dalam sekolah ataupun di luar
sekolah. Anak sebelum mengenal sekolah sudah memiliki pengetahuan dasar yang
diperoleh dari orang tua atau keluarga (rumah tangga). Pengetahuan inilah yang
menjadi dasar selanjutnya bagi anak di sekolah dasar menjadi pengetahuan dasar
di sekolah menengah, pengetahuan yang diperoleh di sekolah menengah akan
menjadi pengetahuan dasar di sekolah tinggi atau perguruan tinggi. Makin kuat
pengetahuan dasar yang diperoleh individu dari sekolah sebelumnya makin mudah
keberhasilan dapat diraih. Akan terjadi sebaliknya jika individu memiliki
pengetahuan dasar yang kurang memadai pada sekolah sebelumnya akan dapat
mengalami kesulitan belajar. Misalnya siswa SD yang tamat dan tidak memiliki
pengetahuan atau sekolah lanjutan atas. Hal ini dapat diatasi jika guru, siswa
bahkan orang tua menyadari dan berusaha dalam berbagai bentuk, misalnya: lees
(pelajaran tambahan di luar sekolah) aktif belajar kelompok, tugas-tugas
tambahan dari guru, pelajaran perbaikan dan sebagainya.
d. Faktor Keturunan
Faktor keturunan dan kebiasaan belajar dengan baik
sangat memerlukan keteraturan dan kedisiplinan. Teratur dan disiplin dalam
menggunakan alat belajar, waktu belajar dan catatan-catatan lain. Lengkapnya
alat belajar, waktu yang memadai tempat belajar yang baik tanpa pengaturan dan
disiplin yang baik, tidak banyak memperoleh keberhasilan. Demikian halnya
kebiasaan belajar, walaupun sarana yang memadai dan waktu yang cukup tanpa
kebiasaan belajar yang memadai.
Kebiasaan yang kurang baik atau buruk seperti malas, acuh tak acuh,
mencari gampangnya saja, suka menunda-nunda waktu, belajar yang keras pada
waktu ujian tidak mengalami selingan dan sebagainya. Jadi faktor-faktor ini
semua dapat menyebabkan kegagalan belajar atau ketidaksuksesan.
e. Faktor Motivasi
motivasi dalam belajar merupakan kondisi psikologis yang menjadi
pendorong atau tenaga penggerak untuk melakukan kegiatan belajar. Kuat atau
lemahnya motivasi belajar dipengaruhi oleh berbagai kebutuhan hidup realisasi
diri. Makin rill kebutuhan hidup individu, makin kuat motivasinya.
Motivasi bersumber dari dua hal yaitu:
1) Motivasi yang bersumber dalam diri individu tanpa
rangsangan dari luar, yang biasa disebut insting.
2) Motivasi yang bersumber dari luar diri pribadi
individu didasari dengan rangsangan dari luar.
f. Faktor Intelegensi
Kesanggupan individu untuk menyesuaikan diri secara
mandiri pada situasi-situasi baru atau krisis dalam kehidupannya, disebut
intelegensi, pengertian lain mengemukakan
bahwa intelegensi adalah “keseluruhan kemampuan individu”.[12]
Untuk berfikir dan bertindak secara baik serta
mengelola dan menguasai lingkungan secara efektif maka lahirlah suatu. Anggapan
tradisional berpendapat bahwa intelegensi itu berkembang, padahal tidak
demikian, para ahli umumnya berpendapat:
. . . bahwa intelegensi
merupakan kecakapan yang bersifat potensial yang dapat dikembangkan. Proses
perkembangan intelegensi sebagai kecakapan yang bersifat potensial (Thorndike,
ahli psikologi), utamanya pada masa kanak-kanak dipengaruhi oleh gizi makanan,
pengalaman kesempatan belajar.[13]
Selanjutnya beliau berpendapat:
Intelegensi digolongkan atas tiga jenis, yaitu:
1) Intelegensi abstrak, yaitu kecakapan individu yang
dinyatakan dalam bentuk konsep-konsep kata atau simbol-simbol lainnya.
2) Intelegensi konkrit, yaitu kecakapan individu yang
dinyatakan dalam bentuk keterampilan dan perbuatan.
3) Intelegensi sosial, yaitu kecakapan individu yang dinyatakan
dalam bentuk penyesuaian sosial.[14]
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa intelegensi dan hasil
belajar mempunyai kaitan yang erat secara statistik angka korelasi dari
keduanya menunjukkan sekitar 0,50., perkiraan umum dijelaskan di SD. Sedangkan
tingkat IQ di atas rata-rata (120-keatas) dapat menyelesaikan studinya sampai
di perguruan tinggi.
g. Faktor Minat
Kecenderungan jiwa untuk bereaksi dengan cara tertentu terhadap
suatu objek disebut minat.
Minat sangat besar pengaruhnya terhadap belajar. Karena minat
sebagai suatu daya tarik untuk memperhatikan bahkan untuk melakukan konsentrasi
terhadap pelajaran atau bidang studi yang akan atau sedang diikuti dapat
mengandung rasa senang, gairah dan semangat belajar, minat belajar terhadap
pelajaran akan menambah perasaan senang pada guru atau pengajar, bahkan
menumbuhkan rasa senang dan menyentuh seluruh aktivitas jiwa siswa di sekolah.
Sebaliknya, kurang minat terhadap pelajaran, akan menimbulkan perasaan kurang
senang terhadap guru bahkan terhadap berbagai aktivitas sekolah secara
keseluruhan. Hal ini dapat berakibat tingkah laku tidak sesuai, acuh tak acuh,
bolos, malas ke sekolah, mogok belajar, dendam atau dengan kata lain mengalami
kesulitan belajar.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kurangnya minat
siswa terhadap pelajaran akan mengakibatkan tidak tertarik pada guru sekolah,
sehingga dapat berakibat kesulitan belajar yang serius. Usaha untuk mengembangkan
minat siswa terhadap pelajaran dilakukan latihan untuk membentuk kebiasaan
berkonsentrasi, karena konsentrasi bukanlah suatu warisan (bawaan), tetapi
sesuatu yang diperoleh dan dipelajari. Anggapan ini memperoleh minat dan
konsentrasi sebagai aktivitas kejiwaan yang tidak terpisah.
Konsentrasi merupakan akibat dari perhatian yang
spontan (walaupun ada pula perhatian yang tidak spontan) yang timbul minat
terhadap sesuatu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konsentrasi itu
muncul jika ada minat terhadap sesuatu, jadi minat dan konsentrasi adalah dua
aktivitas yang tidak terpisahkan.
Untuk menumbuhkan dan memperoleh konsentrasi dapat
dilakukan sebagai usaha, antara lain:
1) Membawakan materi
pelajaran secara sistematis, praktis dan berseni
2) Memberi rangsangan
terhadap aktivitas siswa individu sehingga merupakan suatu yang menarik dan
menantang.
3) Membiasakan diri
secara teratur, disiplin dan melakukan kegiatan-kegiatan secara terprogram.
4) Kondisi kesehatan
fisik dan psikis senantiasa dalam keadaan utuh, sehat dan tidak mengalami
kegoncangan. [15]
h. Faktor Bakat
Bakat atau aptitude adalah aktualisasi potensi (potencial
actualization) yang sering pula disebut sebagai kemampuan khusus dari
individu.
Sesuatu yang dibawa lahir kemudian dikembangkan oleh lingkungan
melalui berbagai kegiatan pengalaman dan latihan. Bakat mempunyai pengaruh yang
besar sekali terhadap proses dan hasil belajar individu, sehingga hampir tidak ada yang membantah pernyataan bahwa individu
yang belajar pada bidang yang sesuai dengan bakatnya, ia akan berhasil, sukses
dan berprestasi apakah itu bidang pelajaran atau bidang lain dalam berbagai
aktivitas atau kegiatan. Pada bidang studi yang ada di sekolah lanjutan atau
kejuruan, hal ini (bakat) perlu diidentifikasi secara akurat sehingga
perkembangan maksimal dari individu dapat dicapai.
Usaha-usaha pemahaman bakat siswa di sekolah
hendaknya dapat dilakukan oleh semua staf sekolah, apakah ia sebagai pemimpin
sekolah, guru, konselor, atau staf lain dari sekolah, baik dengan pengamatan
langsung dengan tes standar (baku) atau tidak. Pengetahuan guru atau petugas
lain tentang bakat siswa di sekolah dapat dilakukan secara sistematis atau
tidak sistematis terhadap: kecakapan, penyelesaian tugas, prestasi yang
dicapai, tingkat kepuasan, minat dan daya tahan konsentrasi dan sebagainya.
Bertolak dari beberapa penjelasan di atas, penulis
dapat mengambil kesimpulan bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku
berkat pengalaman dan latihan, tanpa pengalaman dan latihan sangat sedikit
proses belajar mengajar berlangsung. Pengalaman merupakan suatu interaksi
antara individu dengan lingkungan, pengalamannya, dalam interaksi itulah
individu belajar, ia memperoleh pengertian sikap keterampilan dan sebagainya.
Sehingga dari sekian faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses belajar
mengajar ini merupakan garis penentu tujuan proses belajar mengajar, dimana
peranan guru mesti mengatur lingkungan sebagai komponen pengajaran yang penting
kedudukannya secara baik dan memenuhi syarat.
B. Model Mengajar Synectik
1. Pengertian
Ada sejumlah model atau pendekatan mengajar yang perlu dikenal oleh
para guru. Model-model atau pendekatan tersebut pada umumnya bersumber dari
literatur asing. Model atau pendekatan itu ada baiknya diketahui untuk
memperluas wawasan tentang pembelajaran. Berikut ini akan dijelaskan model yang
sesuai dengan judul skripsi yang penulis bahas yakni model synectik.
Synectik merupakan
suatu pendekatan baru yang menarik guna mengembangkan kreatifitas, dirancang
oleh William J. J. Gordon dan kawan-kawannya. Mula-mula William J. J. Gordon
menerapkan prosedur synectik untuk keperluan mengembangkan aktivitas
kelompok dalam organisasi-organisasi industri, di mana individu dilatih untuk
mampu bekerja sama satu dengan yang lainnya agar nantinya dapat berfungsi
sebagai orang yang mampu mengatasi masalah atau sebagai orang yang mampu
mengembangkan produksi.
Untuk memberikan batasan tentang pengertian model synectik
ini, maka penulis akan memaparkan beberapa pengertian yang diungkapkan oleh para
ahli antara lain:
Drs. H. Abdurrahman memberikan pengertian synectik[16]
bahwa:
“Synectik adalah model pengembangan
kreatifitas untuk memecahkan masalah dengan melatih individu untuk bekerja sama
mengatasi problema sehingga mampu meningkatkan produktivitasnya”.[17]
Prof. Dr. M.D. Dahlan, memberikan pengertian synectik
mengemukakan, bahwa “Synectik adalah suatu cara baru untuk mengenal ide
yang “asing” dan dengan cara ini menghasilkan perspektif baru”.[18]
Dr. Nana Sudjana dan Dra. Wari Suwariyah mengemukakan pengertian synectik,
bahwa “Synectik adalah suatu pendekatan untuk mengembangkan kreatifitas
siswa, termasuk kreatifitas dalam mengarang (creative writing)’.[19]
Dari pengertian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa pengertian
model synectik adalah suatu model mengajar untuk mengembangkan
kreatifitas berfikir siswa baik secara kelompok maupun secara individual dan
dapat pula mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam proses belajar mengajar.
Partisipasi dalam suatu kelompok synectik tentang kreatif
merupakan andil yang unik membantu mengembangkan pemahaman interpersonal dan
rasa kemasyarakatan, menyebabkan yang bersangkutan dapat saling memahami satu
dengan yang lainnya, menyadari kelemahan dan kebebasannya dalam berbagai
persepsi anggota kelompok.
2. Proses dan Prosedur Penyusunan Model
Model mengajar adalah suatu rencana atau pola mengajar yang
digunakan oleh guru baik dalam menyusun kurikulum, mengatur materi pelajaran
apa yang harus diberikan dan petunjuk yang bagaimana seharusnya guru mengajar
di kelas.
a. Proses synectik
Menurut Gordon, ada empat yang mendasari synectik yaitu:
1) Kreatifitas merupakan
kegiatan sehari-hari. Pada umumnya beranggapan bahwa proses kreatifitas adalah
suatu pekerjaan yang unik seperti seni, musik, atau penemuan-penemuan yang
baru.
Menurut Gordon, kreatifitas adalah kegiatan rutin
setiap hari yang dilakukan oleh individu dan berlangsung terus-menerus
sepanjang hidup manusia, karena itu model ini menekankan pada peningkatan kreatifitas
untuk memecahkan masalah yang dihadapi jadi kreatifitas bukanlah sesuatu yang
misterius, tetapi dapat diuraikan dan dijelaskan proses dan prosedurnya.[20]
2) Proses kreatif tidak
selamanya misterius. Tetapi dapat dimanfaatkan untuk melatih individu dalam
meningkatkan kreatifitas mereka. Menurut pandangan yang tradisonal kreatifitas
itu merupakan suatu misterius, bahwa sejak lahir, dan kreatifitas ini bisa
hilang sewaktu-waktu. Gordon percaya jika individu memahami proses kreatifitas,
maka mereka dapat belajar atau memanfaatkannya untuk meningkatkan kreatifitas
dimana mereka hidup atau bekerja, secara kelompok atau secara mandiri.
3) Kreatifitas tercipta di
segala bidang. Ide ini sangat bertentangan dengan keyakinan umum bahwa
kreatifitas itu hanya terbatas meningkat karena kreasi manusia.
4) Peningkatan berfikir kreatif
individu dan kelompok sama. Individu dan kelompok menimbulkan ide-ide dan
produk dalam berbagai hal, sangat berbeda dengan pendirian yang mengatakan,
bahwa kreatifitas merupakan pengalaman yang bersifat individual.
Proses spesifik dalam synectik dikembangkan dari seperangkat
anggapan dasar tentang psikologis kreatifitas.
Pertama, proses kreatif itu harus mampu dimunculkan
agar dapat menuju kesadaran serta dapat dikembangkan secara nyata untuk
membantu kreatifitas.
Kedua, komponen perasaan dianggap lebih penting dari
pada komponen pemikiran atau intelektual. Kreatifitas merupakan pengembangan
pola mental yang baru. Hal-hal yang bersifat irrasional dapat membuka fikiran
dan membimbing mental guna memunculkan ide-ide baru.
Ketiga, elemen-elemen emosional dan irrasional
sekiranya dapat dipahami untuk meningkatkan kemungkinan sukses dalam situasi
pemecahan masalah.
b. Proses penyusunan model
Strategi synectik mempergunakan aktivitas metaporik yang
terencana, memberikan struktur langsung di mana individu bebas mengembangkan
daya imajinasinya dan pemahaman mereka dalam aktivitas kegiatan sehari-hari.
Ada tiga tipe analogi yang dipergunakan sebagai dasar
latihan synectik yaitu:
1) Analogi personal
2) Analogi langsung
3) Menekankan pertentangan.[21]
Analogi personal menuntut siswa agar dapat ditempati terhadap ide
atau objek yang dibandingkan. Siswa menjadi bagian dari elemen fisik suatu
masalah. Penjabaran mungkin pada individu, perancang, binatang atau benda mati.
Contohnya siswa diperintahkan: jadilah mesin motor apa yang kamu rasakan ketika
kamu distater di pagi hari sementara akimu mati, dan ketika kamu tiba dilampu
stop.
Gordon mengidentifikasi empat tingkat keterlibatan
individu dalam analogi personal:
1) Orang pertama menjabarkan kenyataan
2) Orang pertama menganalisis dengan perasaan
3) Identifikasi empatetik dengan benda mati
4) Identifikasi empatetik dengan sesuatu yang hidup
Analogi personal adalah membedakan dua objek atau konsep secara
sederhana. Analogi personal ini berfungsi menyederhanakan pengubahan kondisi
suatu kenyataan atau problema menjadi situasi yang lain untuk memperoleh suatu
pandangan baru tentang ide atau masalah.
Bentuk metapora yang ketiga adalah memberikan tekanan
pada pertentangan, umumnya berbentuk dua buah kata yang bertentangan misalnya:
kawan musuh, siang-malam.
3. Keunggulan dan Kelemahan Model Synectik
Dalam proses belajar mengajar sangatlah diperlukan
seorang guru untuk dapat menerapkan suatu model mengajar untuk menghindari
kejenuhan siswa dalam belajar, walaupun sangat disadari bahwa setiap
model-model mengajar itu memiliki kelemahan dan keunggulan, demikian pula
halnya dengan model mengajar synectik yang penulis bahas memiliki
keunggulan dan kelemahan.
Di bawah ini penulis akan memaparkan kelemahan dan
keunggulan model synectik.
a. Kelemahan model synectik
Seperti telah dibahas sebelumnya, bahwa model synectik
adalah model pengembangan kreatifitas berfikir siswa, yang mula-mula
dikembangkan oleh William J.J. Gordon, walaupun menurut Gordon model ini
berhasil meningkatkan kreatifitas berfikir siswa dan dapat memecahkan masalah
berbagai masalah yang dialami oleh siswa baik kelompok maupun individu, tetapi
menurut Prof. Dr. S. Nasution M.A., mengklasifikasikan kelemahan model synectik,
yakni model synectik menuntut persiapan siswa yang sering makan waktu
yang banyak, akibatnya sering sukar dievaluasi karena memerlukan yang konfleks,
pelaksanaannya makan waktu yang banyak”.[22]
Melihat kelemahan model synectik yang
dipaparkan oleh para ahli tersebut, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa model
synectik itu menuntut persiapan siswa yang lebih matang dan persiapan
siswa yang lebih matang ini memakan waktu yang banyak, dan dari hasil apa yang
dilakukan tersebut sulit untuk dievaluasi secara nyata, karena memerlukan
beberapa kriteria yang lengkap. Pelaksanaan terhadap semuanya itu memerlukan
waktu yang banyak.
Walaupun model synectik ini memiliki kelemahan
umum, bukan berarti kelemahan itu membuat model synectik ini tidak
efektif dijadikan oleh guru sebagai model mengajar dalam proses belajar
mengajar, karena model synectik ini pula memiliki keunggulan–keunggulan.
b. Keunggulan model synectik
Seperti telah dijelaskaan sebelumnya bahwa setiap mengajar memiliki
keunggulan dan kelemahan, termasuk pula model synectik.
Keunggulan-keunggulan model synectik ini
diungkapkan oleh para ahli yakni:
Prof.Dr. S. Nasution M.A. mengungkapkan keunggulan model synectik
yakni:
“Mendorong siswa menjelajahi hal–hal yang tak biasa, yang lain dari
pada yang lain, menciptakan suasana baru, merangsang siswa mengadakan sintesis
serta pertimbangan dan pemikiran kritis kreatif.”[23]
Drs. Abdurrahman mengungkapkan keunggulan model synectik
sebagai berikut:
1) Meningkatkan kemampuan kreatifitas siswa pada umumnya secara
berkelompok
2) Meningkatkan kemampuan
dan kreatifitas siswa secara individual
3) Membina keakraban dan
kerukunan kelompok.
4) Meningkatkan produktivitas secara perorangan
maupun berkelompok.[24]
Menurut Prof. Dr. M.D. Dahlan mengungkapkan keunggulan model synectik
yakni:
1) Model synectik
bermanfaat dalam kurikulum
2) Model synectik
dapat mengembangkan kreasi menulis
3) Model synectik
dapat menjelajahi masalah-masalah sosial
4) Sebagai problem
solving
5) Pengembangan kreasi
rencana produk
6) Memperluas perspektif
tentang konsep.[25]
Model synectik dapat bermanfaat dalam pembuatan kurikulum
karena model synectik dirancang untuk meningkatkan kreatifitas siswa
baik secara individu maupun secara kelompok. Dengan pengalaman synectik
ini dapat membentuk perasaan kemasyarakatan para siswa. Siswa tersebut dapat
belajar satu sama lain seperti melihat bagaimana rekan-rekannya bereaksi
tentang suatu ide atau masalah.
Model synectik dapat merangsang kreasi menulis
siswa karena aktivitas metaporik dari model synectik merangsang
imajinasi siswa, dan hal ini membentuk fikiran dan perasaan siswa dalam
menulis.
Model synectik dapat menjelajahi
masalah-masalah karena strategi dari model synectik ini yakni, metapora
atau analogi menciptakan jarak, sehingga konfrontasi itu tidak mengancam siswa
dan memungkinkan terjadinya diskusi dan saling menguji diri. Model synectik
ini dapat pula membantu memecahkan baik masalah pribadi maupun masalah sosial
dan itu dapat dipertanggungjawabkan.
Model synectik dapat pula digunakan untuk
menciptakan suatu rencana atau produk. Produk adalah suatu yang nyata seperti
lukisan, gedung atau buku-buku, sedangkan suatu pola seperti ide-ide,
konsep-konsep, atau pemahaman baru yang dipergunakan sebagai bahan untuk
transportasi.
Model synectik dapat pula memperluas pandangan
tentang suatu konsep, karena model ini dapat dimanfaatkan untuk semua tingkatan
umur, meskipun oleh anak-anak yang masih sangat mudah untuk memperkuat atau
memperpanjang latihan.
Sesuai dengan analisa tersebut di atas, maka penulis
dapat menyimpulkan bahwa kelemahan model synectik itu dapat ditutupi
oleh keunggulan model synectik. Prosedur synectik dapat
dimanfaatkan siswa dalam semua bidang studi baik sains maupun seni. Dapat pula
prosedur ini diaplikasikan terhadap hubungan guru siswa di dalam kelas di mana
guru membuat materi untuk siswa-siswanya.
4. Tehnik pelaksanaan oleh guru, faktor pendukung dan
penghambat.
a. Teknik pelaksanaan oleh guru
Teknik pelaksanaan model synectik oleh guru, yakni guru
berusaha untuk memaparkan sesuatu yang baru, mengenal keanehan, dan hal ini
akan membantu para siswa memahami masalah ide, atau produk dalam sesuatu yang
baru.
Ada dua strategi atau model mengajar yang mendasari
prosedur synectik itu yakni: “Strategi pertama: menciptakan sesuatu yang
baru. Strategi kedua : memperkenalkan keanehan.”[26]
Strategi pertama membantu para siswa melihat sesuatu yang dikenalkannya
melalui sesuatu yang tidak dikenal dengan mempergunakan analogi-analogi untuk
menciptakan konsep jarak, kecuali dalam langkah yang terakhir, para siswa
kembali ke masalah yang sebenarnya dengan memberikan perbedaan yang berarti.
Tujuan strategi ini untuk dapat mengembangkan suatu pemahaman baru, misalnya
terhadap gerak-gerik atau tingkah laku seseorang, pemecahan masalah-masalah
hubungan sosial, antara lain perkelahian, pemogokan dan sebagainya. Peranan
guru hanya memberikan bimbingan pada tahap awal dan tahap akhir kegiatan.
Strategi kedua, memperkenalkan keanehan memberikan
pemahaman para siswa untuk menambah dan memperdalam hal-hal yang baru atau
materi yang sulit. Metapora dipergunakan untuk keperluan penganalisaan, bukan
untuk menciptakan konsep jarak seperti halnya pada siswa strategi pertama.
Kedua strategi tersebut di atas memiliki
tahapan-tahapan yaitu:
1)
Tahapan strategi pertama:
(a) mendeskripsikan kondisi saat ini, yakni guru menyuruh siswa
mendeskripsikan situasi atau sesuatu topik yang mereka lihat saat ini.
(b) Analogi langsung, salah satu diseleksi dan selanjutnya
dikembangkan.
(c) Analogi personal, yakni para siswa mengambil analogi yang
diseleksinya pada tahap kedua.
(d) Konflik ditekan, yakni berdasarkan pada tahap kedua dan ketiga,
para siswa mengemukakan beberapa konflik dan dipilih salah satunya.
(e) Analogi langsung, yakni para siswa mengembangkan dan menyeleksi
analogi langsung lainnya berdasarkan konflik tadi.
(f) Meninjau tugas yang sebenarnya, yakni guru menyuruh para siswa
meninjau kembali tugas atau masalah yang sebenarnya dan menggunakan analogi
terakhir dan masuk pada pengalaman synectik.
2)
Tahapan Strategi kedua:
(a) Input tentang keadaan yang sebenarnya, yakni guru menyajikaan
informasi tentang suatu topik yang baru.
(b) Analogi langsung, yakni guru mengusulkan analogi langsung dan
menyuruh siswa untuk menjabarkannya.
( c) Analogi personal, yakni guru menyuruh siswa untuk menjadi
analogi langsung.
(d) Membedakan analogi, yakni para siswa menjelaskan dan menerangkan
kesamaan antara materi yang baru dengan analogi yang langsung.
(e) Menjelaskan perbedaan, yakni para siswa menjelaskan mana
analogi-analogi yang tidak sesuai.
(f) Penjelajahan, yakni para siswa menjelajahi kembali kebenaran
topik-topik dengan batasan-batasan mereka.
(g) Membangkitkan analogi, yakni para siswa memberikan analogi
sendiri secara langsung dan menjelajahi persamaan dan perbedaan.[27]
Dari tahapan strategi tersebut di atas, maka penulis mengambil
kesimpulan bahwa dalam penerapan model synectik ini oleh guru yakni guru
tersebut hanya memberikan gambaran atau informasi tentang sesuatu bahan
pelajaran kemudian siswa tersebut mengelolanya sendiri, nanti pada tahap akhir
baru guru memberikan bimbingan lagi. Jadi peranan guru hanya memberikan
gambaran dan bimbingan hanya pada tahap awal dan tahap akhir kegiatan.
b. Faktor pendukung dan penghambat
1) Faktor Pendukung
Penerapan model mengajar synectik ini akan berlangsung dengan
baik apabila didukung oleh sarana-sarana pendidikan yang lengkap.
Menurut Prof. Dr. M.D. Dahlan mengungkapkan sistem pendukung model synectik
yaitu:
Dalam Prosedur synectik, kelompok membutuhkan semua fasilitas
melalui seorang pemimpin yang kompeten. Dalam hubungannya dengan
masalah-masalah yang membutuhkan laboratorium, mereka membutuhkan peralatan
untuk dapat digunakan dalam keperluan praktek yang lebih berdayaguna memberi
manfaat bagi siswa.[28]
Dari pendapat ahli tersebut di atas, maka penulis menarik kesimpulan
bahwa faktor pendukung model synectik adalah; (a) Guru yang profesional
dalam bidangnya masing-masing, (b) Adanya laboratorium yang lengkap, (c)
Tersedianya peralatan atau sarana pendidikan yang baik untuk keperluan praktek
bagi siswa.
2) Faktor penghambat
Penerapan modal mengajar synectik ini akan sulit untuk
diterapkan oleh guru-guru apabila sarana pendidikan tidak mendukung.
Faktor penghambat dari penerapan model synectik
ini adalah:
(a) Guru-guru kurang profesional
(b) Tidak ada laboratorium untuk praktek
(c) Kurangnya peralatan atau sarana yang ada di sekolah.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Dalam penelitian, teori membenarkan meneliti keseluruhan yang
menjadi pusat penelitian untuk memperoleh data yang diperlukan (penelitian
populasi) dan dapat pula meneliti dari sebagian kelompok yang menjadi pusat
penelitian.
Berkaitan dengan pembahasan ini, Prof. Dr. Sudjana mengemukakan
bahwa:
Populasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin,
hasil menghitung ataupun pengukuran, kuantitatif, maupun kualitatif mengenai
karakteristik tertentu dari semua anggota kumpulan yang lengkap dan jelas yang
ingin dipelajari sifat-sifatnya.[29]
Demikian pula I Made Putrawan mengatakan, “Populasi
adalah seluruh data yang menjadi pusat perhatian kita dalam satu lingkup dan
waktu yang kita tentukan”.[30]
Demikian pula halnya yang dikemukakan oleh Dr. Suharsimi Arikunto menyatakan
bahwa “Populasi adalah keseluruhan penelitian”.[31]
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka populasi
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jumlah keseluruhan dari siswa SD
Inpres Rappokalling I Makassar. Untuk lebih jelasnya perhatikan tabel berikut
ini:
Tabel I
Daftar Keadaan /Jumlah Siswa SD Inpres Rappokalling I Makassar
Periode 2002/2003
Kelas
|
Jenis Kelamin
|
Jumlah
|
|
Laki-Laki
|
Perempuan
|
||
I A-B
|
34
|
47
|
81
|
II A-B
|
36
|
44
|
80
|
III A-B
|
34
|
46
|
80
|
IV A-B
|
31
|
49
|
80
|
V A-B
|
26
|
53
|
79
|
VI A-B
|
24
|
55
|
79
|
Jumlah
|
185
|
294
|
479
|
Daftar
Keadaan Guru dan Staf SD Inpres Rappokalling I Makassar
No.
|
Jenis Kelamin
|
Jumlah
|
|
Laki-Laki
|
Perempuan
|
||
1
|
2
|
10
|
12
|
2
|
1
|
0
|
1
|
Jumlah
|
3
|
10
|
13
|
Sumber: Daftar Laporan Bulanan SD Inpres Rappokalling I
Makassar Juli 2003.
2. Sampel
Dalam suatu penelitian biasanya penelitian tidak menggunakan
kelompok populasi, sehingga tidak disangsikan penggeralisasian hasil penelitian
oleh karena sampel harus dipertanggungjawabkan, maka perlu kehati-hatian dalam
menetapkan besarnya sampel.
Sampel merupakan bagian dari populasi yang diteliti
dan untuk mengambil sampel dari populasi di atas, maka teknik sampling yang
digunakan oleh penelitian adalah sampel random atau sampel acak atau sampel
campur, yakni peneliti mencampur subjek-subjek di dalam populasi sehingga semua
subjek-subjek di dalam populasi dianggap sama. Dengan demikian, maka peneliti
memberi hak yang sama kepada setiap subjek untuk memperoleh kesempatan dipilih
menjadi sampel.
Adapun pengertian sampel yang penulis kutip dari Kamus
Besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa “sampel adalah bagian dari populasi
statistik yang cirinya dipelajari untuk memperoleh informasi tentang
seluruhnya.[32]
Penelitian sampel beranekaragam atau teknik yang ditempuh
berbeda-beda, dalam penelitian ini dipergunakan stratified sampling (sampel
berstrata atau sampel bertingkat). Menurut Suharsini Arikunto stratified
sampling digunakan jika:
Di dalam populasi terdapat kelompok-kelompok subjek dan antara satu
kelompok dengan kelompok yang lain tampak adanya strata atau
tingkatan-tingkatan.[33]
Atas pertimbangan itulah, maka besarnya sampel yang diambil dalam penelitian
ini ditetapkan oleh peneliti. Dalam hal ini jumlah siswa yang akan diteliti
atau akan dijadikan sampel penelitian adalah sebanyak 75 orang, masing-masing
kelas IV sebanyak 25 orang, kelas V sebanyak 25 orang, dan kelas VI sebanyak 25
orang siswa.
B. Instrumen Pengumpulan Data
Salah satu hal yang perlu disiapkan dalam penelitian adalah
instrumen penelitian atau alat pengumpulan data sesuai dengan masalah yang akan
diteliti. Keberhasilan dalam penelitian banyak dipengaruhi oleh instrumen yang
digunakan. Oleh karena itu, instrumen penelitian merupakan bagian penting dalam
penelitian karena berfungsi sebagai sarana mengumpulkan data yang banyak
menentukan keberhasilan proses penelitian, maka dalam penyusunannya berpedoman
pada pendekatan yang digunakan, agar data yang dikumpulkan dapat dijadikan
dasar untuk menguji hipotesis.
Adapun instrumen yang digunakan oleh penulis dalam
penelitian ini adalah:
1. Pedoman interview (wawancara), sebelum
mengumpulkan data dengan wawancara terlebih dahulu menyusun pedoman wawancara
yang menyangkut fasilitas, sarana dan prasarana sekolah, gambaran umum kondisi
guru dan siswa, di mana wawancara ini dilakukan penulis kepada guru, siswa dan
segenap unsur yang dapat memberikan data yang hasilnya dan dipilih-pilih
berdasarkan pembahasannya.
2. Instrumen observasi, digunakan dalam bentuk chek
list atau alat kontrol dengan mengamati proses belajar mengajar, dengan
menggunakan model synectik di kelas, mengamati keadaan dan kondisi
fasilitas belajar mengajar yang sangat menunjang dalam penerapan model synectik.
3. Instrumen angket, yaitu pernyataan melalui
lembaran yang sifatnya koesioner tertutup, angket ini terdiri dari 13 item yang
telah mewakili yang mungkin terjadi bagi siswa. Jawaban yang diperoleh dapat
memberikan gambaran, bagaimana tingkat efektifitas penggunaan model synectik
dalam proses belajar mengajar.
C. Prosedur Pengumpulan Data
1. Tahap Persiapan
Tahap persiapan adalah merupakan langkah awal dalam menyusun
instrumen pengumpulan data, dimana pertama-tama adalah menyusun pedoman
wawancara (interview) selanjutnya observasi, yang digunakan oleh penulis dalam
bentuk cek list atau alat kontrol dalam mengamati proses belajar mengajar,
kemudian instrumen angket yaitu pernyataan melalui lembaran yang sifatnya
kuesioner dan yang terakhir adalah penelitian.
2. Tahap pengumpulan data
Pengumpulan data merupakan yang paling penting dalam melaksanakan
penelitian untuk memperoleh hasil yang memuaskan. Realibilitas data yang
diperoleh selain ditentukan oleh instrumen yang digunakan juga didukung oleh
teknik pengumpulan data yang benar.
Dalam pengumpulan data penulis menggunakan beberapa teknik:
1. Riset kepustakaan yaitu
metode penelitian yang dipakai untuk memperoleh data dengan jalan membaca
buku-buku atau literatur, majalah, bacaan lainnya yang ada hubungannya dengan
pembahasan skripsi ini. Dalam riset kepustakaan, penulis mengumpulkan data-data
dengan menggunakan dua cara yaitu:
a. Kutipan langsung, yaitu
penulis membaca buku-buku yang ada hubungannya dengan pembahasan skripsi ini
kemudian mengutip pendapat di dalamnya sesuai dengan aslinya.
b. Kutipan tidak langsung, yaitu
penulis mengutip buku-buku bacaan dengan cara data yang diperoleh, dibahas
sendiri, penulis tidak mengurangi maksud dan tujuan yang terkandung di
dalamnya. Artinya terjadi perubahan–perubahan bahasa yang disesuaikan
pembahasan skripsi ini tanpa mengurangi maknanya.
2. Penelitian lapangan yaitu
metode yang digunakan untuk mendapatkan data secara obyektif dengan mengurangi
secara langsung ke lokasi penelitian, dengan hal ini pengambilan data dengan
wawancara, observasi, dan metode angket. Penelitian ini dilakukan selama
sebulan penuh yang lebih banyak berorientasi kepada guru dan siswa terhadap
penerapan model synectik dalam proses belajar mengajar.
D.
Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh baik melalui
penelitian kepustakaan maupun penelitian lapangan diolah dan disusun secara
sistematis dengan menggunakan metode:
1. Metode induksi yaitu suatu
metode yang digunakan untuk mengumpulkan data yang bersifat khusus untuk
mengambil kesimpulan yang sifatnya umum.
2. Metode deduksi yaitu suatu
metode yang digunakan untuk mengolah data yang bersifat umum untuk mengambil
kesimpulan yang bersifat khusus.
3. Metode tabulasi yaitu suatu
metode pengolahan data yang digunakan untuk mengolah data kualitatif yakni
menyajikan data dalam bentuk tabel atau daftar untuk memudahkan pengamatan atau
pengolahan.
4. Metode komparatif, yaitu
suatu metode yang digunakan untuk membandingkan antara data yang satu dengan
data yang lainnya untuk memperoleh kesimpulan yang sifatnya baru.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Teknik Penerapan
Model Synectik di SD Inpres Rappokalling I Makassar
Seperti yang telah dibahas pada bab sebelumnya, bahwa teknik
penerapan model synectik di SD Inpres Rappokalling I Makassar oleh guru yakni;
guru berusaha memaparkan sesuatu yang baru, mengenal keanehan, dan hal ini akan
membantu para siswa memahami masalah, ide atau produk dalam sesuatu yang baru,
dimana ada dua strategi atau model mengajar yang mendasari prosedur atau
penerapan model synectik di SD Inpres Rappokalling I Makassar yaitu: “Strategi
pertama: menciptakan sesuatu yang baru. Strategi kedua: memperkenalkan
keanehan.
Strategi pertama membantu para siswa melihat sesuatu yang dikenalnya
dengan mempergunakan analogi-analogi yang menciptakan konsep jarak. Kecuali
dalam langkah yang terakhir, para siswa kembali ke masalah yang sebenarnya
dengan memberikan perbedaan yang berarti. Tujuan strategi ini untuk dapat
mengembangkan suatu pemahaman baru misalnya terhadap gerak-gerik atau tingkah
laku seseorang, pemecahan masalah-masalah hubungan sosial, antara lain
perkelahian, pemogokan dan sebagainya peranan guru hanya memberikan bimbingan
pada tahap awal dan tahap akhir kegiatan.
Strategi kedua, memperkenalkan keanehan memberikan pemahaman kepada
para siswa untuk menambah dan memperdalam hal-hal yang baru atau materi yang
sulit. Metapora dipergunakan untuk keperluan penganalisaan, bukan untuk
menciptakan konsep jarak seperti halnya pada siswa strategi pertama. Dimana tahapan
strategi kedua ini memiliki input tentang keadaan yang sebenarnya yakni guru
menyajikan informasi tentang suatu topik yang baru, disamping itu juga memiliki
analogi langsung yakni guru mengusulkan analogi langsung dan menyuruh siswa
untuk menjabarkannya.
Dari tersebut di atas maka penulis mengambil kesimpulan bahwa dalam
penerapan model synectik ini oleh guru yakni guru tersebut hanya memberikan
gambaran atau informasi tentang sesuatu bahan pelajaran kemudian siswa tersebut
mengolahnya sendiri, nanti pada tahap akhir baru memberikan bimbingan lagi.
Jadi peranan guru hanya memberikan bimbingan pada tahap awal dan tahap akhir
kegiatan.
Dalam teknik penerapan model synectik di SD Inpres
Rappokalling I Makassar, seperti yang kita ketahui bahwa untuk mencapai tujuan
belajar sebagai mana yang diharapkan, maka perlu diciptakan situasi dan kondisi
belajar yang baik. Untuk mencapai situasi tersebut, maka guru memegang peranan
penting karena gurulah secara langsung mengatur. Jadi dalam hal ini, peranan
guru sangat menentukan berhasil atau tidaknya proses belajar mengajar.
Untuk mengetahui cara guru menerapkan model synectik
di SD Inpres Rappokalling I Makassar perhatikan tabel berikut ini:
Tabel II
Tanggapan Siswa Terhadap Cara Guru Menerapkan Model Synectik
dalam Proses Belajar Mengajar
No.
|
Kategori jawaban
|
Frekuensi jawaban
|
Persentase
|
a.
|
Membangkitkan minat
|
68
|
68
|
b.
|
Kurang membangkitkan minat
|
20
|
20
|
c.
|
Membosankan
|
12
|
12
|
|
Total
|
100
|
100
|
Sumber
Data; Hasil angket siswa No.5
Dari tabel tersebut di atas, dapat dilihat bahwa sekitar 68 persen
siswa yang berpendapat bahwa guru yang mengajarkan mata pelajaran dengan
menerapkan model synectik dapat membangkitkan minat siswa, hal ini sangat
berpengaruh pada prestasi belajar siswa.
Untuk mengetahui apakah penerapan model synectik ini
sudah merata diterapkan dalam proses belajar mengajar di SD Inpres Rappokalling
I Makassar, maka perhatikan tabel berikut ini:
Tabel III
Tanggapan siswa terhadap setiap guru yang masuk kelas
menggunakan model synectik dalam proses belajar mengajar
No.
|
Kategori Jawaban
|
Frekuensi jawaban
|
Persentase
|
a.
|
Ya
|
60
|
80
|
b.
|
Kebanyakan
|
15
|
20
|
c.
|
Jarang
|
-
|
-
|
d.
|
Tidak ada
|
-
|
-
|
|
T o t a l
|
75
|
100
|
Sumber
Data : Hasil angket siswa No. 9
Dari tabel tersebut di atas, dapat dilihat bahwa 80 persen siswa
yang berpendapat, setiap guru yang masuk di kelas menggunakan model synectik
dalam proses belajar mengajar.
Dari hasil persentase data angket siswa tersebut di atas, penulis
dapat menyimpulkan bahwa:
1. Model synectik itu sudah merata diterapkan
dalam proses belajar mengajar di SD Inpres Rappokalling I Makassar.
2. Bahwa dalam penerapan model synectik oleh
guru-guru tersebut hanya memberikan gambaran atau informasi tentang sesuatu bahan
pelajaran kemudian siswa tersebut mengelolanya sendiri, nanti pada tahap akhir
baru guru memberikan bimbingan lagi jadi peranan guru hanya memberikan
bimbingan pada tahap awal dan pada tahap akhir kegiatan.
Untuk mengetahui pemahaman siswa SD Inpres Rappokalling I Makassar
terhadap pelajaran apabila menggunakan model synectik, maka perhatikan
tabel berikut:
Tabel IV
Pemahaman siswa terhadap pelajaran apabila
menggunakan model synectik
No
|
Kategori jawaban
|
Frekwensi jawaban
|
Persentase %
|
a.
|
Mudah sekali
|
11
|
14,67
|
b.
|
Mudah
|
39
|
52,00
|
c.
|
Sukar
|
15
|
20,00
|
d.
|
Sukar sekali
|
10
|
13,33
|
|
T o t a l
|
75
|
100,00
|
Sumber Data: Hasil angket
siswa No 3.
Dari tabel tersebut di atas, dilihat bahwa sekitar 52 persen siswa
yang berpendapat bahwa pelajaran tersebut mudah dipahami apabila menggunakan
model synectik, sedangkan yang mengatakan bahwa pelajaran tersebut sukar
dipahami hanya 20 persen dan selebihnya menjawab mudah sekali dan sukar sekali.
Tingginya perhatian siswa terhadap mata pelajaran
mengakibatkan kerajinan siswa terhadap mata pelajaran tersebut otomatis
meningkat.
Untuk mengetahui tingkat kerajinan siswa siswi SD
Inpres Rappokalling I Makassar terhadap pelajaran apabila menggunakan model synectik,
maka perhatikan tabel berikut:
Tabel V
Kerajinan Siswa dalam Mengikuti Pelajaran Apabila
Menggunakan Model Synectik
No.
|
Kategori jawaban
|
Frekuensi jawaban
|
Persentase
|
a.
|
Rajin sekali
|
23
|
30,67
|
b.
|
Rajin
|
39
|
52,00
|
c.
|
Kurang rajin
|
13
|
17,33
|
d.
|
Tidak rajin
|
-
|
-
|
|
T o t a l
|
75
|
100
|
Sumber
Data: Hasil angket No. 4
Dari tabel tersebut di atas, dapat dilihat bahwa 30,67 persen siswa
yang rajin sekali mengikuti pelajaran apabila menggunakan model synectik,
sedangkan yang rajin 52 persen dan yang kurang rajin 17,33 persen serta yang
tidak rajin tidak ada.
Dengan demikian jelas, bahwa tingkat prestasi belajar
siswa SD Inpres Rappokalling I Makassar terhadap pelajaran cukup baik, itu
disebabkan karena model synectik yang membuat siswa tidak bosan belajar
baik pada pelajaraan eksakta maupun non eksakta.
Selanjutnya tingginya minat siswa terhadap mata
pelajaran tersebut, untuk lebih jelasnya berikut ini disajikan dalam tabel:
Tabel VI
Perhatian Siswa Terhadap Pelajaran Apabila
Menggunakan Model Synectik
No
|
Keterangan
|
Frekuensi Jawaban
|
Persentase
|
a.
|
Sangat memperhatikan
|
15
|
20,00
|
b.
|
Memperhatikan
|
45
|
60,00
|
c.
|
Kurang memperhatikan
|
8
|
10,67
|
d.
|
Tidak memperhatikan
|
7
|
9,33
|
|
T o t a l
|
75
|
100
|
Sumber
Data: Hasil angket No 13
Dari tabel tersebut di atas, dapat dilihat bahwa siswa yang sangat
memperhatikan pelajaran yang disajikan oleh guru bidang studi apabila
menggunakan model synectik yaitu sebanyak 20 persen, siswa yang
memperhatikan 60 persen, sedangkan yang kurang memperhatikan 10,67 persen,
sementara yang tidak memperhatikan 9,33 persen.
Senangnya siswa terhadap suatu pelajaran terkadang
disebabkan oleh guru bidang studi, mungkin karena model pengajarannya yang
sangat menarik, bahkan mungkin karena guru tersebut sangat menguasai dalam
penerapan model mengajar dalam proses belajar mengajar, sehingga minat siswa
terhadap mata pelajaran tersebut otomatis disenangi.
Untuk mengetahui penguasaan guru bidang studi pada
penerapan model synectik dalam proses belajar mengajar di SD Inpres
Rappokalling I Makassar dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel VII
Penguasaan Guru dalam Menerapkan Model Synectik
No
|
Kategori jawaban
|
Frekuensi Jawaban
|
Persentase
|
a
|
Sangat menguasai
|
17
|
22,67
|
b.
|
Menguasai
|
43
|
57,33
|
c.
|
Kurang menguasai
|
12
|
16,00
|
d.
|
Tidak menguasai
|
3
|
4,00
|
|
T o t a l
|
75
|
100,00
|
Sumber
Data: Hasil angket No 2.
Dari tabel tersebut di atas, dapat dilihat bahwa jumlah persentase
jawaban siswa terhadap penguasaan guru pada penerapan model synectik
yaitu; guru menguasai sebanyak 57,33 persen, sedangkan sangat menguasai 22,67
persen, sementara yang kurang menguasai 16 persen dan yang tidak menguasai
hanya 4 persen.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa guru yang
menguasai model mengajar dalam proses belajar mengajar, jelas dapat
membangkitkan minat siswa terhadap mata pelajaran yang disajikan tersebut.
Kemudian minat siswa dalam menerima pelajaran apabila
menggunakan model synectik. Untuk jelasnya tentang hal tersebut, maka
berikut ini akan disajikan keadaan minat siswa dalam menerima pelajaran apabila
menggunakan model synectik.
Tabel VIII
Minat Siswa Menerima Pelajaran apabila Menggunakan Model Synectik
No.
|
Kategori Jawaban
|
Frekuensi Jawaban
|
Persentase %
|
a.
|
Senang sekali
|
22
|
29,33
|
b.
|
Senang
|
35
|
46,67
|
c.
|
Kurang senang
|
11
|
14,67
|
d.
|
Tidak senang
|
7
|
9,33
|
|
T o t a l
|
75
|
100,00
|
Sumber
Data: Hasil angket No 7
Dari tabel tersebut di atas, dapat dilihat bahwa minat siswa dalam
menerima pelajaran apabila menggunakan model synectik, cukup senang
terbukti hasil angket siswa pada tabel tersebut. Siswa yang tidak senang dengan
persentase jawaban 9,33 persen sedangkan yang kurang senang hanya 14,67 persen.
Dengan demikian masih tersisa 76 persen siswa yang senang dan yang senang sekali
menerima pelajaran apabila menggunakan model synectik dalam proses
belajar mengajar.
C. Faktor Penunjang Peranan Model Synectik
dalam Proses Belajar Mengajar di SD Inpres Rappokalling I Makassar.
Penerapan model synectik ini akan berjalan dengan baik karena
ditunjang oleh:
a. Sarana-sarana pendidikan yang memadai,
dikatakan memadai karena tersedianya peralatan atau pendidikan untuk keperluan
praktek bagi siswa, walaupun masih sederhana, seperti perpustakaan, mushalla,
lapangan olah raga dan sarana-sarana pendidikan lainnya.
b. Sebagian besar gurunya yang sudah profesional,
dikatakan sudah profesional dimana latar belakang pendidikan guru-guru SD
Inpres Rappokalling I Makassar, mengajar sesuai dengan disiplin ilmu yang
mereka dapatkan dan dipelajari pada waktu duduk di bangku kuliah, selain itu
keikutsertaan mereka terhadap pelatihan-pelatihan atau penataran yang
berhubungan dengan disiplin ilmu yang mereka miliki.
c. Dukungan orang tua yang sudah mengarah ke
penggunaan model synectik, dimana dalam hal ini orang tua siswa
memberikan dukungan, walaupun dalam bentuk saran sebagai bahan masukan terhadap
kelancaran penggunaan penerapan model synectik dalam proses belajar
mengajar.
d. Menarik dalam penerapan, disini kita dapat
lihat kembali pada tabel dan hasil angket siswa No. 3, 4, 5, 7, 9, 13.
D. Efektivitas
Penerapan Model Mengajar Synectik dalam Proses Belajar Mengajar di SD Inpres
Rappokalling I Makassar
Untuk membahas masalah yang berbunyi, “apakah model synectik efektif
diterapkan dalam proses belajar mengajar, maka diajukan hipotesis yang berbunyi
“Model synectik efektif diterapkan dalam proses belajar mengajar di SD
Inpres Rappokalling I Makassar”.
Untuk membahas masalah dan pengujian hipotesis
tersebut, maka penulis mengajukan data-data yang dikumpulkan dari jawaban siswa
kelas IV, V, dan VI di SD Inpres Rappokalling I Makassar, dengan menggunakan
model synectik pada semester II tahun pelajaran 2002/2003 .
Untuk mengetahui hasil belajar siswa atau daya serap siswa dengan
menggunakan model synectik di SD Inpres Rappokalling I Makassar, maka
hasil belajar siswa tersebut, akan diolah dengan menggunakan rumus statistik
sebagai berikut:
Keterangan:
x = Mean
fx = Jumlah hasil perkalian frekuensi dengan nilai
tengah
f = Jumlah frekuensi
Nilai (x)
|
Frekuensi
|
Fx
|
9
|
7
|
63
|
8
|
38
|
304
|
7
|
25
|
245
|
6
|
5
|
30
|
Jumlah
|
75
|
642
|
x = 8,56
Dari keseluruhan jumlah rata-rata hasil belajar siswa SD Inpres
Rappokalling I Makassar diperoleh nilai rata-rata sebanyak 8,56 dengan demikian
dapat dikategorikan nilai rata-ratanya baik.
Kemudian hasil belajar tersebut diolah dalam bentuk persentase untuk mengetahui tingkat daya serap siswa
tersebut, adapun rumus daya serap yang digunakan sebagai berikut:
Jumlah seluruh nilai siswa x 10 %
Banyaknya siswa
Jadi untuk mengetahui daya serap siswa SD Inpres
Rappokalling I Makassar, kelas IV adalah:
|
Berdasarkaan hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa daya
serap siswa kelas IV SD Inpres Rappokalling I Makassar pada pelajaran apabila
menggunakan model synectik 85,6 %.
Selanjutnya akan diolah
data hasil belajar siswa kelas V SD Inpres Rappokalling I Makassar dengan
menggunakan rumus yang sama, yakni sebagai berikut:
Nilai (x)
|
Frekuensi
|
Fx
|
8
|
42
|
336
|
7
|
27
|
189
|
6
|
6
|
36
|
Jumlah
|
75
|
561
|
x = 7,48
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari nilai rata-rata hasil belajar
siswa kelas V SD Inpres Rappokalling I Makassar yakni 7,48. Dengan demikian,
dapat dikategorikan nilai rata-ratanya baik.
Kemudian hasil belajar siswa tersebut akan diolah
untuk mencari tingkat daya serap siswa tersebut dengan menggunakan rumus yang
sama.
|
Berdasarkan data tersebut di atas, maka penulis dapat
menyimpulkan bahwa tingkat daya serap siswa kelas V SD Inpres Rappokalling I
Makassar sudah baik karena sudah mencapai daya serap 74,8 %.
Selanjutnya akan diolah
data hasil belajar siswa kelas VI yakni sebagai berikut:
Nilai
(x)
|
Frekuensi
|
Fx
|
9
|
19
|
117
|
8
|
24
|
128
|
7
|
11
|
105
|
6
|
9
|
36
|
Jumlah
|
75
|
368
|
x = 7, 72
Hasil belajar siswa tersebut di atas, dapat dikategorikan bahwa
siswa kelas VI mempunyai hasil belajar yang baik dengan nilai rata-rata 7,72.
|
Sedangkan daya serapnya, dapat dilihat pada
pengolahan data berikut ini:
Berdasarkan data tersebut di
atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa tingkat daya serap siswa kelas VI
SD Inpres Rappokalling I Makassar, sudah mempunyai daya serap 77,2 %. Ini
berarti bahwa hasil yang diharapkan sudah tercapai dan mendapat hasil yang diharapkan
sudah tercapai dan mendapat hasil yang baik, karena model synectik yang
diterapkan guru dalam proses belajar mengajar.
Dari uraian tersebut di atas, tentang hasil belajar
siswa SD Inpres Rappokalling I Makassar dengan menggunakan model mengajar synectik
dapat disimpulkan, bahwa untuk kelas IV, V, dan VI sudah mencapai rata-rata
7,52. Sedangkan daya serap yang diperoleh sudah mencapai 75,2 persen.
Dari hasil uraian
tersebut di atas, diperoleh bahwa hasil belajar siswa dengan menerapkan model synectik
dalam proses belajar mengajar itu cukup baik. Hal ini dapat dilihat melalui
tabel interprestasi dibawah ini:
F
|
Interprestasi
|
76 – 100
|
Baik
|
56 – 75
|
Cukup
|
40 – 55
|
Kurang baik
|
< 40
|
Tidak baik
|
Jadi menurut tabel interprestasi tersebut di atas, menunjukkan bahwa
tingkat efektivitas model synectik dalam proses belajar mengajar dilihat
dari hasil belajar yang penulis teliti sesuai dengan besarnya sampel mulai dari
kelas I, II, dan III itu cukup baik.
Selanjutnya berdasarkan sampel yang telah penulis teliti sejumlah 75
orang, terdiri dari kelas IV sebanyak 25 orang siswa, kelas V sebanyak 25 orang
siswa, dan kelas VI sebanyak 25 orang siswa di SD Inpres Rappokalling I
Makassar, maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis pertama dan kedua dapat
diterima.
Hipotesis pertama berbunyi, “diduga teknik penerapan
model synectik ini oleh guru-guru dalam proses belajar mengajar adalah
model yang berhasil memecahkan masalah atau kesulitan belajar yang mereka
miliki”. Mengingat model ini adalah model mengajar yang berhasil memecahkan
kesulitan siswa, oleh karena adanya rasa kebersamaan yang mereka miliki, ini
terbukti dari hasil penelitian angket siswa No.9 dari 75 orang responden,
menjawab bahwa setiap guru yang masuk di kelas untuk mengajar kebanyakan
menggunakan model mengajar synectik dalam proses belajar mengajar.
Hipotesis kedua berbunyi: “Mengingat model synectik
sebagai model pengembangan kreativitas berpikir siswa untuk memecahkan
kesulitan dalam belajar, maka dapat diperkirakan bahwa model synectik
efektif diterapkan dalam proses belajar mengajar”. Hal ini terbukti dari hasil
angket siswa dan nilai belajar siswa yang menunjukkan rata-rata 7,52 dan daya
serap siswa 75,2 % ini menunjukkan, bahwa model synectik efektif
diterapkan dalam proses belajar mengajar.
D. Prestasi Belajar Siswa
Dalam hal ini jumlah siswa yang diukur hasil
belajarnya sebanyak 75 orang, kelas IV sebanyak 25 orang, kelas V sebanyak 25
orang, dan kelas VI sebanyak 25 orang siswa. Untuk lebih jelasnya perhatikan
tabel berikut.
Tabel IX
Hasil belajar siswa SD Inpres Rappokalling I Makassar dengan
Menggunakan Model Mengajar Synectik Tahun Pelajaran 2002/2003
No.
|
Kelas IV
|
No
|
Kelas V
|
No
|
Kelas VI
|
1.
|
8
|
26
|
8
|
51
|
8
|
2.
|
7
|
27
|
7
|
52
|
9
|
3.
|
8
|
28
|
8
|
53
|
8
|
4.
|
7
|
29
|
8
|
54
|
8
|
5.
|
8
|
30
|
8
|
55
|
9
|
6.
|
6
|
31
|
8
|
56
|
8
|
7.
|
7
|
32
|
6
|
57
|
7
|
8.
|
8
|
33
|
7
|
58
|
8
|
9.
|
7
|
34
|
7
|
59
|
8
|
10.
|
8
|
35
|
8
|
60
|
7
|
11.
|
7
|
36
|
8
|
61
|
7
|
12.
|
7
|
37
|
8
|
62
|
6
|
13.
|
7
|
38
|
7
|
63
|
9
|
14.
|
7
|
39
|
8
|
64
|
9
|
15.
|
7
|
40
|
8
|
65
|
8
|
16.
|
8
|
41
|
8
|
66
|
9
|
17.
|
8
|
42
|
7
|
67
|
9
|
18.
|
7
|
43
|
8
|
68
|
8
|
19.
|
7
|
44
|
8
|
69
|
8
|
20.
|
7
|
45
|
7
|
70
|
7
|
21.
|
8
|
46
|
7
|
71
|
7
|
22.
|
6
|
77
|
6
|
72
|
8
|
23.
|
8
|
48
|
8
|
73
|
9
|
24.
|
8
|
49
|
8
|
74
|
8
|
25.
|
8
|
50
|
7
|
75
|
8
|
Jumlah 184
|
|
187
|
|
386
|
Sumber Data: Daftar nilai
siswa SD Inpres Rappokalling I Makassar Tahun pelajaran 2002/2003
Untuk mengetahui tingkat hasil belajar siswa atau daya serap siswa
di SD Inpres Rappokalling I Makassar, maka hasil belajar siswa tersebut, akan
diolah dengan menggunakan rumus statistik.
Adapun rumus statistik yang dimaksud adalah:
Keterangan :
x = Mean
Σ = Jumlah
f
= frekuensi x = nilai hasil belajar
Sebagaimana diketahui bahwa prestasi belajar adalah hasil yang
dicapai setelah melakukan kegiatan belajar, hasil tersebut merupakan kecakapan
nyata yang diukur langsung dengan menggunakan tes hasil belajar. Prestasi
belajar adalah suatu nilai (angka) pada tiap-tiap mata pelajaran yang
ditempuhnya di sekolah.
Dengan adanya hasil belajar siswa, maka kita dapat
mengetahui tingkat kesiapan masing-masing siswa dalam setiap kelas atau secara
umum dapat diketahui antara siswa yang cakap dengan siswa yang kurang cakap.
Dalam kaitannya dengan hasil belajar siswa yang
dicapai dengan menggunakan model synectik dalam proses belajar mengajar
di SD Inpres Rappokalling I Makassar penulis akan menyajikan sesuai dengan
besarnya sampel penilaian.
Berdasarkan distribusi nilai-nilai hasil belajar
siswa SD Inpres Rappokalling I Makassar tahun pelajaran 2002/2003 yang telah
penulis kumpulkan melalui metode dokumentasi, dimana secara sepintas dapat
dipahami bahwa nilai-nilai belajar siswa SD Inpres Rappokalling I Makassar
dengan menggunakan model synectik bergerak dari 6 sampai 9.
Nilai-nilai hasil belajar itu menunjukkan bahwa nilai
hasil belajar yang paling rendah adalah 6. Frekuensi nilai hasil belajar siswa
tersebut dapat dilihat dari tabel berikut:
Tabel X
Frekuensi nilai hasil belajar
siswa SD Inpres Rappokalling I Makassar
tahun pelajaran 2002/2003
Nilai (x)
|
Frekuensi
|
9
|
7
|
8
|
38
|
7
|
25
|
6
|
5
|
Sumber Data: Tabel V
Sedangkan data yang dikumpulkan dengan menggunakan metode angket
adalah faktor yang mempengaruhi efektivitas penggunaan model synectik yang
meliputi minat siswa, perhatian, kerajinan, pemahaman siswa dalam belajar
mengajar.
Data angket yang dinyatakan masuk dalam sebanyak
eksamplar sedangkan item yang diolah adalah 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, dan 13.
Sedangkan 1, 6, 11, 12 tidak diolah, hanya merupakan pelengkap saja.
BAB V
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan melalui pembahasan
skripsi ini, maka dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Teknik penggunaan penerapan
model synectik dalam proses belajar mengajar di SD Inpres Rappokalling I
Makassar yakni guru tersebut hanya memberikan gambaran atau informasi tentang
suatu bahan pelajaran kemudian siswa tersebut mengolahnya sendiri nanti pada
tahap akhir, baru guru memberikan bimbingan lagi. Jadi peranan guru hanya
memberikan bimbingan pada tahap awal dan tahap akhir kegiatan.
2. Yang menjadi faktor
penunjang penerapan model synectik dalam proses belajar mengajar di SD
Inpres Rappokalling I Makassar adalah :
a. Guru yang profesional dalam
bidangnya masing-masing
b. Adanya laboratorium yang
lengkap
c. Tersedianya peralatan atau
sarana pendidikan yang baik untuk keperluan praktek bagi siswa.
B. Implikasi Penelitian
1. Kepada Kepala SD Inpres
Rappokalling I Makassar agar dapat memantau guru dari dekat terhadap penerapan
model synectik dalam proses belajar mengajar agar mutu dan kualitas
siswa dapat lebih ditingkatkan pada masa yang akan datang, dimana putra-putri
Indonesia dituntut untuk dapat mengembangkan kreatifitas berpikir mereka untuk
menyongsong millenium ketiga Indonesia baru.
2. Kepada para guru di SD Inpres
Rappokalling I Makassar kiranya model mengajar synectik ini terus
dipertahankan dan dikembangkan semaksimal mungkin untuk mendapat hasil yang
memuaskan.
3. Kepada para siswa SD Inpres
Rappokalling I Makassar, kiranya dapat lebih bersungguh-sungguh dalam belajar
agar pengembangan kreatifitas berpikir yang mereka miliki lebih meningkat
dengan bantuan model mengajar synectik.
|
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Ambo Enre. H. Pokok-pokok
Layanan Bimbingan Belajar. Ujung Pandang: Fakultas Ilmu Pendidikan, 1990.
Abdurrahman, H. Pengelolaan
Pengajaran. Ujung Pandang: Bintang Selatan, 1990.
Arief, Sadiman. et.al. Media
Pendidikan. Pustekkom Dikbud dan PT. Raja Grafindo
Persada. t.th.
Dahlan M.D. Model-model
Mengajar. Cet. II; Bandung: Diponegoro, 1990.
Hamalik, Oemar. Strategi
Belajar Mengajar. Cet. I; Bandung: Sinar Baru, 1989.
Ibnu Hajar, Sumiati. Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Proses Belajar Mengajar. Universitas Indonesia,
1980/1981.
Kimle dan Germezy. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum.
Yogyakarta: PBFE, 1989.
Komaruddin. Kamus
Istilah Skripsi dan Tesis. Bandung: Angkasa, 1988.
Nasution, S. Kurikulum
dan Pengajaran. Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1989.
Shadily, Hassan, Ensiklopedi
Indonesia. Jilid II.
Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya.
Jakarta: Bina Aksara, 1987.
Sudirman N. dkk., Ilmu
Pendidikan. Bandung: Remaja Karya, 1989.
Sudjana, Nana. Dasar-dasar
Proses Belajar Mengajar. Cet. II; Bandung: Sinar Baru, 1989.
Surachmad, Winarno. Psikologi
Perkembangan. Jakarta: Aksara Baru, 1984.
Suwariyah, Wari dan Nana
Sudjana. Model-model Belajar CBSA. Cet. I; Bandung: Sinar Baru, 1991
Tim Penyusun Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta.
ANGKET PENELITIAN
PENGANTAR
Angket ini
dimaksudkan untuk memperoleh data dari siswa dalam rangka menyusun skripsi yang
berjudul EFEKTIVITAS PENGGUNAAN MODEL SYNECTIK DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR DI
SMU NEGERI I BAJENG KECAMATAN BAJENG KABUPATEN GOWA. Dengan demikian jawaban
anda tidak ada sangkut pautnya dengan penilaian dalam mata pelajaran.
Untuk itu
penelitian sangat mengharapkan bantuan anda untuk mengisi/ menjawab angket ini
dengan sejujurnya sesuai dengan penilaian anda serta penuh dengan kesungguhan,
tanpa menulis nama. Atas bantuan anda dalam mengisi/jawaban angket ini peneliti
tidak lupa mengucapkan terima kasih.
PETUNJUK
Jawablah setiap pertanyaan/pertanyaan dalam
angket ini dengan memberi tanda silang (X) pada salah satu pilihan jawaban yang
telah disiapkan pada masing-masing pertanyaan.
PERTANYAAN-PERTANYAAN
1. Model mengajar yang bagaimana yang adik senangi dalam menerima
pelajaran?
a. Model syinectik b.
Model Inkuiri
c. Model Pertemuaan kelas d.
Model permainan perang
2. Bagaimana tingkat penguasaan guru adik dalam menerapkan model
syinectik di kelas?
a. Sangat menguasai b. Menguasai
c. Kurang menguasai d. Tidak menguasai
3. Bagaimana pemahaman adik terhadap pelajaran yang menggunakan model
syinectik?
a. Mudah sekali b. Mudah
c. Sukar d.
Sukar sekali
4. Apakah adik rajin mengikuti pelajaran apabila guru menggunakan
model syinectik?
a. Rajin sekali b. Rajin
c. Kurang rajin d. Tidak rajin
5. Bagaimana tanggapan adik terhadap cara guru
dalam menerapkan model mengajar syinectik?
a. Membangkitkan minat b. Membosankan
c. Kurang membangkitkan
minat
6. Bagaimana hubungan adik dengan teman-temannya dalam belajar.
a. Kerja sama dengan
baik b. Tidak kerja kelompok
7. Apakah adik senang menerima pelajaran apabila guru menggunakan
model syinectik?
a. Senang sekali b. Senang
c. Kurang senang d. Tidak senang
8. Apakah dalam proses belajar mengajar guru sering menggunakan model
syinectik?
a. Sering sekali b. Sering
c. Jarang d.
Tidak sama sekali
9. Apakah setiap guru yang masuk dikelas
menggunakan model syinectik dalam proses belajar mengajar?
a. Ya b.
Kebanyakan
c. Jarang d.
Tidak ada
10. Apakah penerapan model syinectik ini sudah merata di kelas
a. Sudah merata b. Belum merata
11. Setelah berlangsungnya proses belajar
mengajar dengan menggunakan model syinectik, bagaimana penguasaan adik terhadap
pelajaran tersebut?
a. Sangat meningkat b. Meningkat
c. Kurang meningkat d. Tidak meningkat
12. Bagaimana tanggapan adik dengan penerapan model syinectik
tersebut?
a. Perlu diterapkan b. Diterapkan
c. Tidak perlu
diterapkan
13. Bagaimana perhatiaan adik terhadap pelajaran
apabila guru menerapkan model syinectik dalam proses belajar mengajar
a. sangat memperhatikan b. Memperhatikan
c. Kurang memperhatikan d. Tidak memperhatikan.
PEDOMAN WAWANCARA UNTUK GURU
1.
Apakah teknik penerapan model
syinectik oleh guru-guru dalam proses belajar mengajar adalah model yang
berhasil memecahkan masalah?
2.
Apakah kendala yang dihadapi
untuk menerapkan model syinectik dalam proses belajar mengajar?
3.
faktor-faktor apa saja yang
mendorong bapak dan ibu untuk menerapkan model syinectik dalam proses belajar
mengajar?
4.
Apakah menurut tanggapan ibu
dan bapak model syinectik itu efektif diterapkan dalam proses belajar mengajar?
PENGGUNAAN MODEL SYNECTIK DALAM PROSES BELAJAR
MENGAJAR DI SD INPRES
RAPPOKALLING I MAKASSAR
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi
Sebahagian Syarat-syarat Ujian
Skripsi Guna Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan
Jurusan MIPA Program Studi Biologi
Oleh
:
NAMA : R U J I A H
STAMBUK :
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
VETERAN REPUBLIK INDONESIA
MAKASSAR
2004
|
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing untuk diajukan kepada
Panitia Ujian Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Veteran
Republik Indonesia Makassar.
Judul : PENGGUNAAN MODEL SYNECTIK DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR DI SD
INPRES RAPPOKALLING I MAKASSAR
Atas Nama : BAHARUDDIN
Stambuk :
Program : Strata
Satu (S1)
Jurusan : Biologi
Fakultas : Keguruan
dan Ilmu Pendidikan
Makassar, Maret
2004
Pembimbing
I Pembimbing II
Muh. Khalifah Mustami, M.Pd. Drs.
Ahmad Hasyim, M.Si.
Mengetahui
Ketua Jurusan MIPA
FKIP UVRI Makassar
Drs. H.M. Said Arman
KATA PENGANTAR
بسم الله الرØمن الرØيم
Segala puji
adalah bagi Allah, Tuhan tempat menyampaikan segala hajat permohonan untuk
mengharapkan pertolongan di dalam mengerjakan dan menyelesaikan segala masalah
dan segala urusan.
Atas rahmat dan pertolongan
Allah jualah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “PENGGUNAAN
MODEL SYNECTIK DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR DI SD INPRES RAPPOKALLING I
MAKASSAR”.
Salawat dan salam kami
haturkan kepada Nabiullah Muhammad saw. Sebagai anutan hidup yang sempurna dan
pembawa keselamatan dan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Penulis menyadari sedalam-dalamnya,
bahwa baik isi maupun penulisan skrispi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu saran dan kritikan yang
sifatnya membangun senantiasa penulis harapkan. Begitu pula penyelesaian
skripsi ini tidak terlepas dari adanya bantuan dari berbagai pihak, sehingga
pada kesempatan ini penulis menghaturkan ucapan terima kasih dan penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada:
1. Rektor UVRI Makassar, Dekan dan Pembantu Dekan
FKIP UVRI Makassar, Ketua Jurusan MIPA, serta seluruh staf, atas segala bimbingan
dan perhatiannya, baik selama penulis menjalani perkuliahan hingga berhasil
menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Muh. Khalifah Mustami, M.Pd., dan Bapak
Drs. Ahmad Hasyim, M.Si., pembimbing dalam penulisan skripsi ini, yang telah
membimbing dalam penyelesaian penulisan skripsi ini. Keduanya telah berjasa
mengarahkan dan membangkitkan semangat dan mendorong penulis dalam penyelesaian
skripsi ini.
3. Para bapak dan
ibu Dosen serta segenap jajaran civitas akademika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(FKIP)-UVRI Makassar, khususnya program Studi Biologi.
Tak lupa kepada semua pihak
yang turut membantu dan telah memberikan bantuannya baik langsung maupun tidak
langsung, penulis menyerahkan semuanya kepada Allah swt., semoga mendapat
ganjaran yang setimpal di sisi-Nya. Amin.
Makassar, Oktober 2003
Penulis,
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL ................................................................................................... i
PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................................................. ii
KATA
PENGANTAR ............................................................................................... iii
DAFTAR
ISI ............................................................................................................... v
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 2
C. Hipotesis ............................................................................................ 2
D. Pengertian Judul dan Definisi Operasional......................................... 3
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian........................................................ 4
F. Garis Besar Isi .................................................................................... 5
BAB II. TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A. Proses Belajar Mengajar ..................................................................... 8
B. ................................................................................................ Model
Mengajar Synectik 26
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Populasi dan Sampel ........................................................................ 39
B. Instrumen Pengumpulan Data ......................................................... 42
C. Prosedur Pengumpulan Data ........................................................... 43
D. Teknik Analisis Data ........................................................................ 44
BAB IV. HASIL PENELITIAN
A. ................................................................................................ Teknik
Penerapan Model Synectik di SD Inpres Rappokalling I
Makassar ............................. 45
B. Faktor Penunjang dan Penghambat Penerapan Model Synectik dalam
Proses Belajar Mengajar di SD Inpres Rappokalling I
Makassar............................. 52
C. Efektivitas Penerapan Model Mengajar Synectik dalam Proses Belajar
Mengajar di SMU Negeri I Bajeng................................................................................. 53
D. Prestasi Belajar Siswa....................................................................... 59
BAB V. P E N U T U P
A. Kesimpulan....................................................................................... 63
B. Implikasi Penelitian .......................................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 65
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
I Daftar Keadaan/ Jumlah
Siswa SMU Negeri I Bajeng Kecamatan Bajeng Kabupaten Gowa Periode 2002/2003............................................................................................. 39
II Keadaan Sarana dan
Prasarana SMU Negeri I Bajeng Kecamatan Bajeng Kabupaten Gowa .............................................................................................................. 45
III Daftar Keadaan Guru SMU
Negeri I Bajeng Kecamatan Bajeng Kabupaten Gowa 46
IV Daftar Keadaan/ Jumlah
Siswa SMU Negeri I Bajeng Kecamatan Bajeng Kabupaten Gowa Tahun Pelajaran
2002-2003............................................................................. 49
V Frekwensi Nilai Hasil
Belajar Siswa SMU Negeri I Bajeng Kecamatan Bajeng Kabupaten Gowa Tahun
Pelajaran 2002/2003................................................................... 51
VI Tanggapan Siswa Terhadap
Cara Guru Menerapkan Model Synectik dalam Proses Belajar Mengajar .............................................................................................. 56
VII Tanggapan Siswa Terhadap
setiap Guru yang Masuk Kelas Menggunakan Model Synectik dalam Proses Belajar
Mengajar........................................................................ 56
VIII Pemahaman Siswa terhadap
Pelajaran apabila Menggunakan Model Synectik 57
IX Kerajinan Siswa dalam
Mengikuti Pelajaran apabila Menggunakan Model Synectik 58
X Perhatian Siswa terhadap
Pelajaran apabila Menggunakan Model Synectik 59
XI Penguasaan Guru dalam
Menerapkan Model Synectik........................ 60
XII Minat Siswa Menerima
Pelajaran apabila Menggunakan Model Synectik 61
XIII Hasil Belajar Siswa SMU
Negeri I Bajeng Kecamatan Bajeng Kabupaten Gowa Dengan Menggunakan Model
Mengajar Synectik Tahun Pelajaran 2002/2003 68
1H. Abdurrahman, Pengelolaan Pengajaran, (Ujung Pandang;
Bintang Selatan, 1990), h. 144
2Sadiman Arief. et.al. Media Pendidikan, (Pustekkom Dikbud dan
PT. Raja Grafindo Persada), h. 11
[1]Sudirman N.dkk., Ilmu Pendidikan, (Bandung: Remaja Karya,
1989) h. 99
[2]Winarno Surachmad, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Aksara
Baru, 1984) h. 18
[3]Kimle dan Germezy, Dasar-dasar
Pengembangan Kurikulum, (Yogyakarta: PBFE, 1989), h. 59.
[4]Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang
Mempengaruhinya, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), h. 18
[5]Nasution., Berbagai pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar,
(Jakarta: Bina Aksara, 1987), h. 9
[6]Nasution, op. cit, h. 13
[7]Slameto, op. cit., h. 33
[8]Oemar Hamalik, Strategi Belajar Mengajar, (Cet.I;Bandung:
Mandar Maju, 1993), h. 3.
[9] Dr. Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, (Cet.
II: Bandung; Siamar Baru, 1989). h.30.
[11]Sumiati Ibnu Hajar, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses
belajar mengajar, (Universitas Indonesia: 1980/1981)
[12]H. Ambo Enre Abdullah, Pokok-pokok Layanan Bimbingan Belajar,
(Ujungpandang: Fak Ilmu Pendidikan, 1990).,h. 43.
[16] H. Abdurrahman, Pengelolaan
Pengajaran. (Ujung Pandang: Bintang Selatan, 1998), h. 146.
[18]M.D. Dahlan, Model-model Mengajar, (Cet. II; Bandung:
Diponegoro, 1990) h. 101.
[19]Nana Sudjana dan Wari Suwariyah, Model-model Mengajar CBSA, (Cet,
I; Bandung: Sinar Baru, 1991), h. 49
[20]H. Abdurrahman, op. cit., h. 145.
[21]M.D. Dahlan, op.cit., h. 90.
[22]S. Nasution, Kurikulum dan Pengajaran, (Cet. I; jakarta: Bumi
Aksara, 1989) h. 82-83.
[24] Abdurrahman, op. cit., h. 146-147
[25]M.D. Dahlan, op. cit., h. 99-100.
[27] M.D. Dahlan. Model-model Mengajar. (Cet. III: Bandung;
Diponegoro, 1990), h. 109.
[28]M.D. Dahlan, op. cit., 99.
[29]Sudjana, Metode Statistika, (Cet. V; Bandung: Tarsito, 1992)
h. 6
[30]I Made Putrawan. Pengujian Hipotesis dalam Penelitian sosial,
(Cet. I; jakarta: Rineka Cipta, 1990) h. 5
[31]Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktik, (Cet. VIII; Jakarta: Rineka Cipta, 1992) h.
102.
[32] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 122.
[33] Suharsini Arikunto, Manajemen Penelitian (Cet. IV; Jakarta:
Rineka Cipta, 1998). H. 127.
0 komentar:
Post a Comment