Pendek kata tidak ada satupun pemenuhan kebutuhan masyarakat yang tidak terkait dengan prinsip-prinsip manajemen pelayanan publik yang berkualitas. Pada saat ini terdapat isue korupsi, kolusi dan nepotisme yang menyimpang dan prinsip-prinsip tersebut. Hal ini tentunya merupakan suatu tantangan yang sedapat mungkin perlu segera diatasi. Karena itu diperlukan kajian lebih mendalam tidak hanya secara konseptual akan tetapi juga secara pragmatis agar dapat menjawab tantangan tersebut melalui peningkatan kualitas pelayanan publik yang berpihak pada kepentingan masyarakat.
Merespon tantangan tersebut, mahasiswa Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Program Pascasarjana, Universitas Brawijaya khususnya angkatan tahun 1998/1999 telah mendiskusikan secara intensif dan terprogram mengenai berbagai konsep dan isue dalam rangkaian proses perkuliahan Manajemen Pelayanan Publik selama Semester Genap 1998/1999. Buah dari proses tersebut adalah tersajinya Bunga Rampai Manajemen Pelayanan Publik ini. Bunga rampai sejenis telah diterbitkan pula oleh para mahasiwa angkatan sebelumnya, akan tetapi untuk sajian kali ini terdapat beberapa substansi kajian yang berbeda, menyesuaikan dengan topik-topik aktual yang didapat dari berbagai jurnal dan pustaka lainnya.
Dengan tidak mengurangi arti pentingnya terbitan sebelumnya, menurut hemat kami bunga rampai kali ini memiliki beberapa perkembangan kajian. Kerangka konseptual tentang efektifitas dan efisiensi, netralitas, transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, privatisasi, etika dan budaya pelayanan publik, maupun konsep-konsep lainnya tetap ditelaah secara kritis. Di samping itu dikaji pula berbagai fenomena global tentang upaya peningkatan kualitas pelayanan publik yang diperoleh dari beberapa jurnal yang dianggap relevan dengan fenomena di Indonesia. Hal ini berbeda dengan terbitan sebelumnya yang secara spesifik menelaah kasus-kasus pelayanan publik di Indonesia. Perbedaan ini sengaja dirancang untuk membuka wacana diskusi agar lebih berkembang dalam menemukan esensi pelayanan publik yang lebih mengutamakan kepentingan masyarakat pengguna jasa pelayanan.
Kami selaku tutor dan fasilitator dari mata kuliah Manajemen Pelayanan Publik menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para mahasiswa karena telah bernuansa "partnership" hingga membuahkan hasil karya ini. Bunga Rampai ini adalah hasil dari suatu proses penelaahan yang patut dihargai. Tidak ada hasil akhir yang sempurna tanpa suatu proses pnelaahan yang sungguh-sungguh, dan karenanya proses penelaahan ini merupakan bagian dari kesungguhan untuk mencapai kesempurnaan hasil akhir tersebut. Kesungguhan tersebut semakin penting artinya mengingat hakekat kebenaran ilmiah adalah bersifat relatif.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam sajian ini besar kemungkinan masih ditemukan banyak kekurangan. Hal ini tentunya merupakan tantangan bagi kita semua untuk menyempurnakannya sehingga dikelak kemudian hari akan didapatkan wacanan Manajemen Pelayanan Publik yang lebih mutakhir. Mudah-mudahan Bunga Rampai ini bermanfaat bagi para pembacanya. Terima kasih.
Malang, 12 Juli 1999
Drs. Mardiyono, MPA
Drs. Bambang Supriyono, MS
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................
DAFTAR ISI ...........................................................................................................
1. MANAJEMEN SEKTOR PRIVAT DAN SEKTOR PUBLIK ........................
Norveman Duadji & Novita Tresiana
2. RAHASIA JABATAN DAN NETRALITAS PEGAWAI PENGARUHNYA
TERHADAP MONOLOYALITAS PELAYANAN PUBLIK ...............
Tijan & Mahardin Tegap
3. EFISIENSI, EFEKTIFITAS DAN EKONOMI DALAM PELAYANAN
PUBLIK ..............................................................................................................
Margono & Nur Wahyu Rochmadi
4. MENJAMIN AKUNTABILITAS PEJABAT PUBLIK ...................................
Fadillah Putra & Karjuni Daetuk Maani
5. SIGNIFIKANSI KEPEMIMPINAN MANAJER PUBLIK GUNA
MEMPERBAIKI KEGAGALAN-KEGAGALAN PADA SISTEM
PEMERINTAHAN ............................................................................................
Ali Imron & Jumiati
6. MENYOROTI MEROSOTNYA PROFESIONALISME PELAYANAN
PUBLIK ..............................................................................................................
Yasril Yunus & Abdullah Said
7. ETIKA PELAYANAN PUBLIK ......................................................................
Petrus Toda Atawolo & Marthinus Mandagi
8. MENGOPTIMALKAN PRODUKTIVITAS MELALUI PRIVATISASI
DAN MANAJEMEN WIRAUSAHA ...............................................................
Elvis Sahri Munir & Hermawan
9. PEMERINTAH YANG DIGERAKKAN OLEH MISI DAN BERORIEN-
TASI PADA PELANGGAN .............................................................................
Hadi Soekanto & Sri Untari
10.REFORMASI LAYANAN UMUM:
MENEMUKAN KEMBALI ATAU MELEPASKAN BEBAN ......................
Lukman Arif & Kartika Ningtias
11.BANISHING BUREAUCRASY:
THE FIVE STRATEGIES FOR REINVENTING GOVERNMENT ..............
Unggul & Heryono Susilo Utomo
12.PERJUANGAN DALAM USAHA TRANSFORMASI:
PENELITIAN TENTANG TQM, KEPEMIMPINAN, DAN KULTUR
ORGANISASI PADA LEMBAGA PEMERINTAH .......................................
Andhy Hendro Wijaya dan Hermawan.
Pendek kata tidak ada satupun pemenuhan kebutuhan masyarakat yang tidak terkait dengan prinsip-prinsip manajemen pelayanan publik yang berkualitas. Pada saat ini terdapat isue korupsi, kolusi dan nepotisme yang menyimpang dan prinsip-prinsip tersebut. Hal ini tentunya merupakan suatu tantangan yang sedapat mungkin perlu segera diatasi. Karena itu diperlukan kajian lebih mendalam tidak hanya secara konseptual akan tetapi juga secara pragmatis agar dapat menjawab tantangan tersebut melalui peningkatan kualitas pelayanan publik yang berpihak pada kepentingan masyarakat.
Merespon tantangan tersebut, mahasiswa Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Program Pascasarjana, Universitas Brawijaya khususnya angkatan tahun 1998/1999 telah mendiskusikan secara intensif dan terprogram mengenai berbagai konsep dan isue dalam rangkaian proses perkuliahan Manajemen Pelayanan Publik selama Semester Genap 1998/1999. Buah dari proses tersebut adalah tersajinya Bunga Rampai Manajemen Pelayanan Publik ini. Bunga rampai sejenis telah diterbitkan pula oleh para mahasiwa angkatan sebelumnya, akan tetapi untuk sajian kali ini terdapat beberapa substansi kajian yang berbeda, menyesuaikan dengan topik-topik aktual yang didapat dari berbagai jurnal dan pustaka lainnya.
Dengan tidak mengurangi arti pentingnya terbitan sebelumnya, menurut hemat kami bunga rampai kali ini memiliki beberapa perkembangan kajian. Kerangka konseptual tentang efektifitas dan efisiensi, netralitas, transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, privatisasi, etika dan budaya pelayanan publik, maupun konsep-konsep lainnya tetap ditelaah secara kritis. Di samping itu dikaji pula berbagai fenomena global tentang upaya peningkatan kualitas pelayanan publik yang diperoleh dari beberapa jurnal yang dianggap relevan dengan fenomena di Indonesia. Hal ini berbeda dengan terbitan sebelumnya yang secara spesifik menelaah kasus-kasus pelayanan publik di Indonesia. Perbedaan ini sengaja dirancang untuk membuka wacana diskusi agar lebih berkembang dalam menemukan esensi pelayanan publik yang lebih mengutamakan kepentingan masyarakat pengguna jasa pelayanan.
Kami selaku tutor dan fasilitator dari mata kuliah Manajemen Pelayanan Publik menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para mahasiswa karena telah bernuansa "partnership" hingga membuahkan hasil karya ini. Bunga Rampai ini adalah hasil dari suatu proses penelaahan yang patut dihargai. Tidak ada hasil akhir yang sempurna tanpa suatu proses pnelaahan yang sungguh-sungguh, dan karenanya proses penelaahan ini merupakan bagian dari kesungguhan untuk mencapai kesempurnaan hasil akhir tersebut. Kesungguhan tersebut semakin penting artinya mengingat hakekat kebenaran ilmiah adalah bersifat relatif.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam sajian ini besar kemungkinan masih ditemukan banyak kekurangan. Hal ini tentunya merupakan tantangan bagi kita semua untuk menyempurnakannya sehingga dikelak kemudian hari akan didapatkan wacanan Manajemen Pelayanan Publik yang lebih mutakhir. Mudah-mudahan Bunga Rampai ini bermanfaat bagi para pembacanya. Terima kasih.
Malang, 12 Juli 1999
Drs. Mardiyono, MPA
Drs. Bambang Supriyono, MS
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................
DAFTAR ISI ...........................................................................................................
1. MANAJEMEN SEKTOR PRIVAT DAN SEKTOR PUBLIK ........................
Norveman Duadji & Novita Tresiana
2. RAHASIA JABATAN DAN NETRALITAS PEGAWAI PENGARUHNYA
TERHADAP MONOLOYALITAS PELAYANAN PUBLIK ...............
Tijan & Mahardin Tegap
3. EFISIENSI, EFEKTIFITAS DAN EKONOMI DALAM PELAYANAN
PUBLIK ..............................................................................................................
Margono & Nur Wahyu Rochmadi
4. MENJAMIN AKUNTABILITAS PEJABAT PUBLIK ...................................
Fadillah Putra & Karjuni Daetuk Maani
5. SIGNIFIKANSI KEPEMIMPINAN MANAJER PUBLIK GUNA
MEMPERBAIKI KEGAGALAN-KEGAGALAN PADA SISTEM
PEMERINTAHAN ............................................................................................
Ali Imron & Jumiati
6. MENYOROTI MEROSOTNYA PROFESIONALISME PELAYANAN
PUBLIK ..............................................................................................................
Yasril Yunus & Abdullah Said
7. ETIKA PELAYANAN PUBLIK ......................................................................
Petrus Toda Atawolo & Marthinus Mandagi
8. MENGOPTIMALKAN PRODUKTIVITAS MELALUI PRIVATISASI
DAN MANAJEMEN WIRAUSAHA ...............................................................
Elvis Sahri Munir & Hermawan
9. PEMERINTAH YANG DIGERAKKAN OLEH MISI DAN BERORIEN-
TASI PADA PELANGGAN .............................................................................
Hadi Soekanto & Sri Untari
10.REFORMASI LAYANAN UMUM:
MENEMUKAN KEMBALI ATAU MELEPASKAN BEBAN ......................
Lukman Arif & Kartika Ningtias
11.BANISHING BUREAUCRASY:
THE FIVE STRATEGIES FOR REINVENTING GOVERNMENT ..............
Unggul & Heryono Susilo Utomo
12.PERJUANGAN DALAM USAHA TRANSFORMASI:
PENELITIAN TENTANG TQM, KEPEMIMPINAN, DAN KULTUR
ORGANISASI PADA LEMBAGA PEMERINTAH .......................................
Andhy Hendro Wijaya dan Hermawan.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masalah
Dalam dunia modern dewasa ini,
kehidupan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari keberadaan serta peran serta
penting sektor jasa keuangan pada umumnya dan perbankan pada khususnya. Lembaga
perbankan merupakan unsur pokok dari sistem pembayaran. Melalui sektor jasa
keuangan inilah, dana atau potensi investasi yang ada pada masyarakat
disalurkan ke dalam kegiatan-kegiatan produktif, sehingga pertumbuhan ekonomi
dapat terwujud.
Bank Islam sebagai salah satu lembaga perbankan yang
beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip
dan nilai-nilai syariah memiliki tiga azas yang melandasi praktek cara
kerjanya, yaitu : azas moral kemanusiaan, azas tanpa bunga, azas profit and loss sharing. Konsep
perbankan Islam dengan ketiga azas tersebut adalah bagian integral dari
keseluruhan value system dalam Islam,
sehingga karenanya memiliki potensi yang sangat besar untuk mengembangkan rasa
tanggung jawab sosial, keadilan sosial dan stabilitas nasional yang merupakan
syarat mutlak berseminya komitmen perbankan yang mendukung program-program
restrukturisasi bidang ekonomi.
Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah dan Bank Indonesia
sebagai suatu badan yang memiliki wewenang untuk mengatur perkreditan nasional
telah mengeluarkan UU No. 10 Tahun 1998 yang merupakan perubahan dari UU No.7
tahun 1992 tentang Perbankan. UU tersebut memberikan pengakuan yang lebih tegas
mengenai keberadaan dan perlunya bank-bank berdasarkan prinsip syariah, serta
memberikan peluang yang lebih besar bagi pengembangan bank-bank tersebut. UU
tersebut antara lain mengatur mengenai dimungkinkannya bank-bank konvensional
mendirikan cabang-cabang yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah. Dasar
hukum yang lebih jelas ini serta peluang yang diciptakannya akan cenderung mendorong
tumbuhnya bank Islam atau cabang syariat dari bank-bank konvensional pada masa
mendatang. Semakin terbukanya peluang bagi pengembangan bank Islam di Indonesia
harus didukung oleh penerapan metode dan
praktek akuntansi yang lebih mantap
dalam kegiatan operasional bank Islam.
Salah satu metode investasi yang terpenting dalam bank Islam
adalah murabahah (penjualan kembali
dengan laba) karena merupakan investasi jangka pendek dengan resiko yang sangat
kecil dan paling menguntungkan (Al-Khadas, 1999, 2) serta berhasil menguasai 98% dari total
investasi (Omar, 1987, 224).
Bank-bank Islam melalui pembiayaan murabahah mulai
mempertimbangkan eksistensi dirinya sebagai pihak perantara antara klien atau
nasabah yang membutuhkan barang dan para supplier di luar bank yang memiliki
ataupun menghasilkan produk tersebut. Untuk selanjutnya, bank Islam akan
membeli produk barang secara tunai dan menjualnya kembali kepada klien atau
nasabah yang membutuhkannya dengan dasar beban yang ditangguhkan.
Pembiayaan murabahah membutuhkan kerangka akuntansi yang
menyeluruh yang dapat menghasilkan pengukuran akuntansi yang tepat dan sesuai,
dapat mengkomunikasikan informasi akuntansi secara tepat waktu dengan kualitas
yang dapat diandalkan serta mengurangi adanya perbedaan perlakuan akuntansi
antara bank Islam yang satu dengan yang lain. Karena hal tersebut akan
berdampak dalam hal keadilan untuk menentukan laba bagi pemegang saham (stakeholder) dan depositor (deposan).
Dalam hal perlakuan akuntansi untuk pembiayaan murabahah, bank-bank
Islam menerapkan metode akuntansi yang berbeda (Al-Nagi, 1985; Shahata, 1986 ). Salah satu masalah penting yang dihadapi oleh bank Islam untuk
pembiayaan murabahah adalah pembagian laba bagi depositor (Abdel Majeed, 1994,
3). Dari hasil perbandingan laporan keuangan beberapa bank Islam, terdapat
perbedaan diantara bank-bank Islam tersebut mengenai pengukuran biaya-biaya
lain terkait (subsequent costs) yang seharusnya dan tidak seharusnya dibebankan dalam biaya awal operasi pembiayaan murabahah
(Al- Khadas, 1999, 7). Perbedaan tersebut selanjutnya akan menimbulkan adanya
kesulitan dalam hal perbandingan realisasi laba oleh bank Islam yang satu
dengan bank Islam yang lain (FAO-IBFI, 1998, 146).
Di samping itu, beberapa bank Islam mengakui bahwa pendapatan dalam pembiayaan murabahah
menggunakan dasar akrual (accrual basis) yaitu pendapatan diakui
pada saat nasabah atau klien telah melunasi seluruh pinjaman atau melunasi
semua cicilannya. Sedangkan pada bank Islam yang lain mengakui pendapatan dari
murabahah dengan menggunakan dasar kas (cash basis) yaitu pendapatan diakui pada
saat bank menerima kas dari nasabah atau klien ketika mengangsur ataupun
mencicil pinjamannya (FAO-IBFI, 1998, 146).
Situasi tersebut diatas memperlihatkan bahwa bank-bank Islam
ternyata belum sepenuhnya memakai satu standar yang baku sebagai acuan
dalam operasionalnya dan selanjutnya akan mengurangi kegunaan informasi
keuangan yang dihasilkan oleh bank Islam bagi para pemakai laporan keuangan.
Oleh karenanya kebutuhan dalam menetapkan dasar dan metode pengukuran akuntansi, khususnya untuk
pembiayaan murabahah menjadi sangat penting dan harus disesuaikan dengan
ketentuan-ketentuan syariah yang telah diatur dalam “Financial Accounting Standards For Islamic Bank and Financial Institutions” (FAS -
IBFI) agar para pemegang saham dan depositor mendapatkan bagian laba yang
sesuai dengan haknya.
Untuk itu penulis mencoba menganalisa bagaimana praktek
akuntansi untuk pembiayaan murabahah khususnya tentang metode pengukuran biaya,
pendapatan dan laba operasi dalam Bank Muamalat Indonesia sebagai salah satu
bank Islam terbesar di Indonesia yang menjalankan kegiatan operasi berdasarkan
prinsip keadilan dan ketentuan syariah.
Berdasarkan uraian di atas, maka Skripsi ini diberi judul
:
PERLAKUAN
AKUNTANSI PEMBIAYAAN MURABAHAH :
DASAR DAN METODE PENGUKURAN BIAYA DAN LABA
OPERASI
(STUDI KASUS DI BANK MUAMALAT INDONESIA)
1.2. Perumusan dan Pembatasan Masalah
1.2.1.
Perumusan Masalah
Masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana metode pengukuran akuntansi biaya-biaya operasi
pembiayaan murabahah pada BMI ?
2.
Bagaimana dasar dan metode pengukuran pendapatan dan laba
operasi pembiayaan murabahah pada BMI ?
3.
Sejauh mana kesesuaian antara metode pengukuran akuntansi pembiayaan
murabahah pada BMI dengan prinsip keadilan dan ketentuan syariah sebagai dasar
operasional bank Islam yang telah diatur dalam “Financial Accounting Standards For Islamic Bank and Financial Institutions” (FAS -
IBFI)?
1.2.2. Pembatasan
Masalah
Dalam penulisan kali ini
penulis berusaha memberikan batasan-batasan guna memfokuskan pembahasan.
Beberapa pembatasan tersebut antara lain :
1. Biaya-biaya
operasi dalam pembiayaan murabahah
mencakup biaya awal (initial cost)
dan biaya-biaya lain yang terkait dengan biaya awal (subsequent costs).
2. Dasar pengukuran
akuntansi untuk pembiayaan murabahah dalam bank Islam meliputi:
·
Pengukuran akuntansi biaya awal (initial cost) pembiayaan murabahah.
·
Pengukuran akuntansi biaya-biaya lain yang terkait dengan
biaya awal (subsequent costs)
pembiayaan murabahah.
3. Pengukuran laba operasi pembiayaan murabahah dalam Bank
Islam, meliputi :
·
Dasar pengukuran laba operasi pembiayaan murabahah.
·
Dasar penentuan dan
pembagian rasio laba operasi pembiayaan murabahah.
1.3. Tujuan dan Manfaat
Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan dasar dan
metode pengukuran biaya-biaya, pendapatan dan laba operasi dalam pembiayaaan
murabahah yang diterapkan oleh BMI dan
menganalisa kesesuaiannya dengan metode
pengukuran biaya, pendapatan dan laba operasi pembiayaan murabahah yang
seharusnya dipakai oleh bank-bank Islam pada umumnya dengan mengacu pada Financial Accounting Standards For Islamic
Bank and Financial Institutions (FAS-IBFI) khususnya tentang Murabahah
Operation.
1.3.2.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang diharapkan adalah sebagai berikut :
·
Bagi kalangan akademisi (dosen dan mahasiswa) :
Sebagai dasar
tambahan dalam membangun program akademik, pelatihan dan riset ekonomi Islam,
khususnya dalam bidang akuntansi dan perbankan.
·
Bagi kalangan perbankan dan pengguna jasa perbankan :
Sebagai sumber
info dan masukan kepada lembaga-lembaga terkait tentang bentuk penerapan
metode pengukuran akuntansi dalam
kegiatan pembiayaan perbankan Islam khususnya pembiayaan murabahah yang telah
diatur dalam FAS-IBFI.
·
Bagi masyarakat :
Memberikan
pengetahuan dan pemahaman kepada masyarakat tentang prinsip dasar dan kegiatan pembiayaan perbankan Islam,
khususnya di Indonesia.
1.4.
Sistematika Pembahasan
Dalam penelitian ini, pembahasan akan dibagi menjadi beberapa
bab dengan materi masing-masing :
·
BAB I : PENDAHULUAN
Berisi latar belakang, pokok
dan batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika
pembahasan.
·
BAB II : LANDASAN TEORI
Bagian ini menjelaskan teori-teori yang mendasari dan berhubungan dengan
pembahasan dalam Skripsi ini, yang akan digunakan sebagai dasar dalam
menganalisa masalah. Teori-teori yang akan digunakan diambil dari
literatur-literatur yang ada, baik dari perkuliahan maupun dari sumber yang
lainnya.
·
BAB III : METODOLOGI
PENELITIAN
Pada bab ini
akan dijelaskan sifat atau jenis penelitian yang digunakan, teknik pengumpulan
data, jenis dan sumber data serta metode
analisa data yang akan dipakai dalam
mengadakan penelitian yang berhubungan dengan judul Skripsi.
·
BAB IV : ANALISA DAN PEMBAHASAN
Menguraikan hasil observasi pada obyek studi yang dipilih sebagai tempat
mendapatkan info serta data yang dibutuhkan. Disini akan dipaparkan tentang
gambaran umum obyek yang dijadikan sebagai obyek penelitian, yang meliputi
sejarah singkat, tujuan dan misi, struktur organisasi, produk dan jasa yang
ditawarkan, dasar dan metode pengukuran biaya-biaya, pendapatan dan laba
operasi pembiayaan murabahah pada BMI, hasil analisa secara deskriptif atas semua info dan data dengan mengacu pada
landasan teori dan hasil observasi yang diperoleh, serta hasil evaluasi dari
yang diharapkan.
·
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini berisi uraian mengenai
kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari hasil seluruh pembahasan dan
memberikan saran-saran yang berkenaan dengan pembahasan masalah dalam studi dan
kebijaksanaan selanjutnya.
BAB
II
LANDASAN TEORI
2.1.
Prinsip-Prinsip Operasional Perbankan Islam
Bank Islam adalah bank
yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Kegiatan bank Islam
merupakan implementasi dari prinsip ekonomi Islam dan ada tiga karakteristik
yang mendasari sistem perbankan Islam (IAI, PSAK, 1999). Pertama, uang
merupakan alat tukar dan bukan merupakan komoditi yang dapat diperjualbelikan.
Kedua, nilai uang tidak akan berubah dari waktu ke waktu sehingga tidak dikenal
adanya konsep time value of money.
Ketiga, kegiatan yang bersifat spekulatif tidak diperkenankan karena memiliki
unsur ketidakpastian.
Secara garis besar,
operasi bank Islam didasarkan pada dua prinsip. Pertama, sistem bagi hasil,
yaitu sistem yang meliputi cara pembagian hasil usaha antara bank dengan
penyimpan dana dan antara bank dengan nasabah penerima kredit mudharabah. Hasil usaha bank yang
dibagikan kepada penyimpan dana adalah laba usaha bank yang telah dihitung
selama satu periode tertentu. Hasil usaha nasabah penerima kredit mudharabah yang dibagi dengan bank
adalah laba usaha yang dihasilkan penerima kredit mudharabah dari salah satu usahanya yang secara utuh dibiayai dari
kredit mudharabah dari bank, setelah
melewati suatu periode tertentu yang disepakati bersama dan setelah dikurangi
pajak. Kedua, sistem mark-up, yaitu
semacam biaya-biaya bank yang diperhitungkan secara lump sum dalam bentuk
nominal diatas nilai kredit yang diterima nasabah penerima kredit dari bank.
Biaya bank tersebut ditetapkan sesuai dengan kesepakatan antara bank dengan
nasabah.
Dalam melaksanakan
kegiatan operasionalnya, bank Islam berfungsi sebagai manager investasi,
investor, jasa layanan bank dan layanan sosial dalam bentuk pengelolaan dana ZIS (zakat,
infaq dan shadaqah) serta penyaluran pinjaman kebajikan (al qard al hasan). Selain itu bank Islam
juga dapat melakukan transaksi yang tidak dilakukan oleh bank konvensional,
misalnya jual-beli dan sewa-menyewa.
2.2.
Pembiayaan Murabahah dalam Bank Islam
2.2.1. Definisi dan Tipe
Murabahah
Definisi murabahah menurut
Ibnu Qudamah dalam bukunya “Mughni” (Tazkia Institute, 1999, 21) :
Murabahah adalah menjual dengan harga
asal ditambah dengan margin keuntungan yang telah disepakati.
Pembiayaan Murabahah syah dalam
Islam, seperti disebutkan dalam Al-Quran :
Dan Allah telah menghalalkan jual-beli dan
mengharamkan riba (Q.S. Al Baqarah : 275).
Juga dalam hadist dari Sohib r.a,
bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Tiga hal yang dari dalamnya terdapat keberkatan :
jual-beli secara tangguh, muqaradhah
(mudharabah) dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah,
bukan untuk dijual. (HR. Ibnu Majah)
Sedangkan tipe murabahah dibedakan
menjadi 2 macam (Tazkia Institute, 1999,
1) :
1.
Murabahah
Murabahah adalah jual-beli barang
pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Karakteristiknya
adalah penjual harus memberitahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu
tingkat keuntungan sebagai tambahannya.
2.
Murabahah kepada pemesan pembelian
Adalah jual-beli dimana kedua belah
pihak atau lebih bernegosiasi dan berjanji satu sama lainnya untuk melaksanakan
sebuah kesepakatan dimana pemesan meminta pembeli untuk membeli sebuah aset
yang pemesan akan memilikinya. Pemesan berjanji kepada pembeli untuk membeli
aset itu darinya dan memberi keuntungan yang diminta.
Gambar 1 : Transaksi Pembiayaan
Murabahah
Sumber : Tazkia Institute, 1999, 6
Keterangan gambar :
1.
Nasabah memesan barang kepada bank.
2.
Bank membeli dan membayar barang kepada supplier.
3.
Supplier mengirim barang kepada nasabah.
4.
Nasabah membayar kepada bank (tunai maupun cicilan).
2.2.2.
Perbedaan antara Murabahah dengan Al Bai’ Bitsaman Ajil
Bank Islam
memiliki produk-produk pembiayaan dengan prinsip pengambilan keuntungan (
Zainul Arifin, 1999, 6-7) yang terdiri atas :
1. Al Murabahah
Yaitu kontrak
jual-beli dimana barang yang diperjual-belikan tersebut diserahkan segera
sedangkan harga (pokok dan margin keuntungan yang disepakati bersama) dibayar
kemudian hari secara sekaligus (lum sump
defered payment). Dalam prakteknya, bank bertindak sebagi penjual dan
nasabah sebagai pembeli dengan kewajiban membayar secara tangguh dan lump sum.
2. Al Bai’ Bitsaman Ajil
Yaitu kontrak al
murabahah dimana barang yang diperjual-belikan
tersebut diserahkan dengan
segera sedang harga barang tersebut dibayar dikemudian hari secara angsuran (installment deffered payment). Dalam
prakteknya pada bank sama dengan murabahah hanya saja kewajiban nasabah
dilakukan secara angsuran.
3. Bai’ Salam
Yaitu kontrak
jual-beli dimana harga atas barang yang diperjual-belikan dibayar dimuka
sebelum barang diserahkan kepada pembeli (pre-paid
purchase of goods). Melalui cara ini harga barang dibayar dimuka pada waktu
kontrak dibuat, tetapi penyerahan barang dilakukan beberapa waktu kemudian.
Jadi pada
dasarnya transaksi al bai’ bitsaman ajil
merupakan jenis kontrak murabahah dimana kewajiban nasabah dilakukan secara
angsuran dan untuk transaksi murabahah kewajiban nasabah dilakukan secara
tangguh dan sekaligus. Sedangkan transaksi murabahah merupakan kebalikan dari bai’ salam. Pada murabahah, barang
diserahkan terlebih dahulu oleh penjual (bank) kepada pembeli (nasabah), baru
pembayarannya dilakukan dikemudian hari setelah penyerahan barang (baik
pembayaran dilakukan secara sekaligus maupun secara cicilan). Sedangkan pada bai’ salam, pembayaran harga barang oleh
pembeli (bank) dilakukan dimuka sebelum penyerahan barang oleh penjual (pemasok atau nasabah) dan kepada pembeli
(bank) dilakukan kemudian hari setelah pembayaran selesai dilakukan (Syahdeni,
1999, 69).
2.2.3. Tujuan
Pembiayaan Murabahah pada Bank Islam
Tujuan pembiayaan
murabahah pada bank Islam ( Al Khadas,
1999, 13):
1.
Bank Islam mendapatkan keuntungan yang pantas dari pembiayaan
murabahah.
2.
Beberapa bank Islam memiliki pengalaman untuk membeli produk
tertentu.
3.
Untuk klien, bank Islam mendanai pembelian produk kemudian
pembeli (klien) akan membayar dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan
kesepakatan.
4.
Pembiayaan murabahah memberikan alternatif jual-beli bebas riba sebagai perbandingan
dalam sistem perbankan konvensional.
2.2.4.
Kondisi/ Syarat-Syarat Pembiayaan Murabahah
Menurut perspektif Islam,
pembiayaan murabahah adalah bentuk penjualan karena itu kondisi murabahah sama
dengan penjualan pada umumnya (Tazkia Institute, 1999, 1) yang meliputi :
1.
Bank Islam memberitahu biaya modal kepada nasabah.
2.
Kontrak pertama harus syah.
3.
Kontrak harus bebas dari unsur riba.
4.
Bank Islam harus memiliki dan menguasai barang komoditi
tersebut sebelum menjualnya ke klien.
5.
Komoditi yang diperjual-belikan harus halal.
6.
Bank Islam seharusnya mengungkapkan setiap cacat yang terjadi
setelah pembelian atas produk dan membuka semua hal yang berhubungan dengan
cacat.
7.
Bank Islam harus membuka semua ukuran yang berlaku bagi harga
pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.
8.
Jika syarat dalam 1, 6 atau 7 tidak dipenuhi, pembeli
memiliki pilihan :
a.
Melanjutkan pembelian seperti apa adanya.
b.
Kembali kepada penjual dan menyatakan ketidaksetujuan.
c.
Membatalkan kontrak.
2.2.5. Prosedur Pembiayaan
Murabahah
Pembiayaan murabahah dalam
bank Islam harus mengikuti prosedur sebagai berikut (Al Khadas, 1999, 11) :
1.
Klien meminta bank melalui form tertulis untuk membeli produk
tertentu, dimana klien akan membeli melalui murabahah. Form tersebut berisi
tentang spesifikasi produk yang diminta, persyaratan dokumen, total nilai
produk, informasi tentang klien, pembagian laba dan sumber penawaran produk.
2.
Bank Islam mempelajari form surat permohonan klien dari
segala aspek yang meliputi :
a.
Mempelajari posisi klien, seperti jenis bisnis klien,
situasi kredit dan likuiditasnya.
b.
Mempelajari produk dari segi ekonomi, gambaran situasi umum
pasar, yaitu jumlah penawaran dan permintaan produk.
c.
Mempelajari metode penawaran pembelian, seperti biaya operasi
pembiayaan murabahah, jangka waktu perjanjian, laba pembiayaan dan pembayaran
angsuran pinjaman.
d.
Meminta jaminan untuk melindungi hak bank dalam mendapatkan
kembali uangnya sesuai dengan waktu perjanjian.
3.
Setelah memeriksa dan mengesahkan pembiayaan murabahah, bank
meminta pembeli untuk menandatangani kontrak perjanjian. Pada tahap ini, biaya
operasi pembiayaan murabahah dan penentuan pembagian laba didiskusikan dan
disepakati. Disamping itu bank Islam
meminta pembeli untuk membayar angsuran pertama harga murabahah. Bentuk paling
umum kontrak pembelian bank Islam disini adalah pernyataan oleh klien bahwa
klien akan menyelesaikan perjanjian pembeliannya ketika diberitahukan oleh bank
bahwa produk telah tersedia.
4.
Setelah bank Islam membeli produk, kemudian bank Islam dan
pembeli menandatangani kontrak penjualan murabahah. Pada kontrak tersebut,
biaya operasi yang sesungguhnya pembiayaan murabahah dan keuntungan yang
diperoleh bank harus diketahui.
5.
Pembeli menerima produk.
2.2.6.
Murabahah kepada Pemesan Pembelian
Ide tentang jual-beli
murabahah kepada pemesan pembelian nampak berasal karena dua alasan (Tazkia Institute, 1999, 2) :
1.
Mencari pengalaman. Satu pihak yang berkontrak (pemesan
pembelian) meminta pihak lain (pembeli) untuk membeli sebuah aset, dan pihak
pertama menjanjikan kepada pihak kedua akan membeli aset itu darinya dan
memberinya suatu keuntungan, tergantung pada pengalaman dari pembeli.
2.
Mencari pembiayaan.
Pemesan beli meminta kepada pembeli untuk membeli aset dan berjanji
untuk membelinya dan memberinya suatu keuntungan, dengan pengertian bahwa pembeli
akan menjual aset kepada pemesan secara kredit penuh atau sebagiannya. Kredit
adalah motif dari kebanyakan, jika tidak semua, yang berhubungan dengan bank
Islam berdasarkan jual-beli murabahah secara pesanan.
Dua tujuan diatas dapat bergabung
menjadi satu. Memang peningkatan pada pembelian kredit sekarang ini karena
berbagai alasan telah menyebabkan meningkatnya permintaan penjualan semacam
itu. Menjual dengan kredit bukanlah sebuah syarat baik murabahah atau murabahah
kepada pemesan pembelian, meskipun sangat dominan banyak transaksi.
2.2.7.
Jenis Murabahah kepada
Pemesan Pembelian
Janji pemesan pembelian
dalam murabahah kepada pembeli bisa mengikat bisa juga tidak mengikat. Para
ulama syariah awal yang sepakat pada bolehnya jual-beli ini menggariskan bahwa
pemesan tidak boleh diikat untuk memenuhi kewajiban ini. The Islamic Fiqih Academic akhir-akhir ini telah menetapkan hukum
yang sama, dan karenanya pemesan pembelian telah diberikan pilihan, baik untuk
membeli aset itu atau menolaknya ketika ditawarkan kepadanya oleh pembeli. Hal
ini karena transaksi ini tidak membawa seseorang untuk menjual apa yang ia
tidak miliki (yang tidak dibolehkan), atau untuk melakukan tindakan lain yang
dilarang syariah seperti yang dijelaskan secara detail oleh ulama syariah terdahulu.
Tetapi, beberapa ulama syariah modern telah mengijinkan janji dalam jenis
jual-beli ini mengikat pemesan pembelian, yaitu jual-beli murabahah dengan
kewajiban pada pemesan pembelian untuk mengambil penghantaran (AAO-IFI, 1998,
142-143).
·
Jual-Beli Murabahah kepada Pemesan Pembelian dengan Disertai Kewajiban, dan
Hukum-Hukumnya.
a.
Jika pembeli menerima permintaan pemesan, ia harus membeli
aset itu dan menyempurnakan sebuah kontrak jual-beli yang syah antara ia dan
pedagang aset itu. Pembelian ini dianggap pelaksanaan dari janji yang mengikat
secara hukum antara pemesan dan pembeli.
b.
Pembeli menawarkan aset itu kepada pemesan yang harus
menerimanya demi janji yang mengikat secara hukum dan karenanya harus membangun
sebuah kontrak jual-beli.
c.
Dalam jenis jual-beli dibolehkan untuk membayar hamish gedyyah (jumlah yang dibayar oleh
pemesan pembelian atas sebuah permintaan dari pembeli untuk memastikan pemesan
serius dalam permintaannya akan aset itu) ketika menandatangani kesepakatan
asli tetapi sebelum pembeli membeli aset itu. Tetapi jika pemesan menolak untuk
membeli aset itu, kerugian aktual pada pembeli harus dibayar dari hamish gedyyah.
d.
Pembeli dapat kembali kepada hamish gedyyah dalam jumlah kerugian yang dideritanya jika pemesan
menolak untuk membeli aset itu. Jika hamish
gedyyah kurang dari jumlah yang diderita pembeli, pembeli dapat kembali
kepada pemesan untuk sisa kerugiannya.
Beberapa bank Islam
menggunakan urboun (jumlah uang yang
dibayar di muka kepada penjual) sebagai sebuah alternatif dari hamish gedyyah. Jika pembeli memutuskan
untuk menyempurnakan transaksi dan mengambil aset itu maka urboun akan dianggap sebagai harga yang dibayar dimuka. Jika tidak,
maka urboun akan ditahan oleh
penjual.
Karenanya, dalam hal urboun, pembeli mengambil jumlah keseluruhan
dari urboun itu, apakah lebih atau
kurang dari kerusakan. Tetapi dalam hal hamish
gedyyah pembeli akan mengurangi hanya jumlah aktual dari kerugian yang
dideritanya, dan jika jumlah hamish
gedyyah melebihi kerugian, ia boleh mengembalikan kelebihan itu kepada
pemesan.
·
Murabahah kepada Pemesan Pembelian tanpa Disertai Kewajiban
dan Hukum-Hukumnya.
a.
Salah satu pihak (pemesan pembelian) meminta pihak lainnya
(pembeli) untuk membeli sebuah aset dan berjanji bahwa ketika ia membeli aset
itu, pemesan akan membelinya darinya pada sebuah harga ditambah keuntungan.
Permintaan ini dianggap sebagai keinginan untuk membeli, bukan penawaran.
b.
Jika pembeli menerima permintaan ini, ia lalu membeli aset
itu untuk dirinya di bawah sebuah kontrak jual-beli antara ia dengan pedagang
aset itu.
c.
Pembeli, sesudah memiliki secara hukum aset itu harus
menawarkannya kembali kepada pemesan menurut syarat-syarat janji pertama. Hal
ini dianggap sebagai tawaran dari pembeli.
d.
Ketika aset itu ditawarkan kepada pemesan, ia harus memiliki
pilihan untuk menyempurnakan sebuah kontrak jual-beli atau menolak untuk
membeli yaitu pemesan tidak wajib untuk memenuhi janjinya. Jika ia memilih
untuk masuk pada sebuah kontrak, itu akan dianggap sebagai sebuah penerimaan
tawaran. Sebuah kontrak jual-beli dibuat antara pemesan dan pembeli.
e.
Pada saat pemesan menolak untuk membeli aset itu, ia masih
tetap dalam pemilikan pembeli yang memiliki hak untuk menggunakannya dengan
cara-cara yang dibutuhkan.
f.
Jika sebuah syarat dibuat bahwa pemesan harus membayar
cicilan pertama, pembayaran harus dibuat sesudah kontrak ditandatangani dan
cicilan itu harus menjadi bagian dari harga jual.
2.2.8. Hukum-Hukum Umum
Hukum-hukum umum yang
menyangkut tentang murabahah dan murabahah kepada pemesan pembelian meliputi
(AAO-IFI, 1998, 143-144) :
1.
Jaminan
Kreditur (pembeli) dapat
meminta debitur (pemesan pembelian) untuk
menyediakan sebuah jaminan. Dalam hal ini debitur harus menyerahkan
sebuah jaminan yang bisa diterima. Barang-barang yang dipesan dapat menjadi salah
satu jaminan yang bisa diterima untuk pembayaran hutang.
2.
Hutang dalam murabahah kepada pemesan pembelian.
Menurut hukum syariah, penyelesaian
hutang dalam murabahah kepada pemesan pembelian tidak boleh dikaitkan kepada
sifat barang yang dijual, apakah hasil penjualan itu positif atau negatif. Ini
karena ketika penjualan sempurna, pemilikan berpindah kepada pemesan dan
pembeli pertama memegang pemilikan piutang. Karenanya jika pemesan menjual aset
itu segera atau pada suatu waktu sebelum hutangnya kepada pembeli jatuh tempo
bahkan jika untuk harga berganda, ia tidak diwajibkan menyelesaikan hutangnya
kecuali aset itu sendiri diletakkan pada colateral
untuk hutang ini, juga kerugian nilai dari aset tidak menjustifikasi
kelambatan dalam penyelesaian hutang yang jatuh tempo itu.
3.
Penundaan oleh debitur yang mampu.
Seorang yang mampu dilarang menunda
penyelesaian hutangnya. Tetapi jika seorang pemesan menundanya pembeli dapat
mengambil tindakan berikut :
a.
Mengambil prosedur kriminal yang diperlukan terhadap pemesan
yang membuat cek palsu atau pemegang jaminan untuk jumlah hutang itu, jika
pembuatan instrumen yang tidak syah dilarang oleh hukum.
b.
Mengambil prosedur perdata untuk mendapatkan kembali hutang
itu dan mengklaim kerusakan finasial aktual karena penundaan.
c.
Mengambil prosedur perdata untuk memperbaiki kerusakan karena
kerugian kesempatan akibat penundaan. Ini adalah pandangan beberapa ahli hukum
modern.
4.
Bangkrut.
Jika pemesan yang berhutang dianggap pailit
dan gagal menyelesaikan hutangnya, kreditur harus menunda tagihan hutang sampai
ia menjadi sanggup kembali.
5.
Hukum perwakilan yang diberikan oleh yang dipesan kepada
pemesan pembelian, dan menjual untuk pemesan sendiri. Sesuai dengan syarat
sahnya jual-beli murabahah kepada pemesan pembelian, dan untuk mencegah riba, pembeli
tidak boleh mengijinkan pemesan untuk membeli aset yang diperlukan mewakilinya
dan kemudian menjualnya kepadanya.
6.
Dampak potongan harga pada murabahah.
Beberapa ulama syariah memandang bahwa pembeli
(pemesan) harus mendapat manfaat dari potongan yang penjual dapatkan sebagai
pembeli. Jumlah ini mengurangi keuntungan murabahah sampai porsi yang sama
dengan potongan tersebut bahkan meskipun penjual (sebagai pembeli) mendapat
potongan sesudah jual-beli murabahah sempurna. Hal ini disebabkan bolehnya mendapat
potongan pada harga pembelian dan memasukkannya sebagai harga penjualan. Tetapi
beberapa ulama syariah berpandangan bahwa pembeli harus mendapat manfaat dari
potongan hanya jika penjual mendapatkannya sebelum murabahah jadi sempurna,
atau pada saat membuat janji. Jika tidak potongan itu harus menjadi milik
penjual.
2.2.9
Aplikasi Dalam Perbankan
Murabahah umumnya
diterapkan pada produk pembiayaan untuk pembelian barang-barang investasi, baik
domestik maupun luar negeri seperti melalui Letter
of Credit (L/C). Skema ini paling
banyak digunakan karena sederhana dan menyerupai kredit investasi pada bank
konvensional.
Berbeda dengan apa yang
dilakukan oleh bank-bank Islam di Indonesia yang menggunakannya secara
berkelanjutan (roll over/ evergreen)
seperti untuk modal kerja, sebenarnya murabahah adalah kontrak jangka pendek
dengan sekali akad (one short deal).
Karena itu murabahah tidak tepat diterapkan untuk skema modal kerja, yang lebih
tepat jika diterapkan dengan skema mudharabah.
Sampai saat ini portfolio mudharabah
di bank-bank Islam didapati sedikit sekali digunakan. Alasan yang paling sering
didengar adalah resiko yang sangat besar pada mudharabah, sehingga masih dicari pola yang tepat untuk
melaksanakannya ( Tazkia Institute, 1999, 5).
2.3. Konsep
Dasar Akuntansi
2.3.1.
Konsep Dasar Akuntansi Konvensional
Dalam menyusun suatu
laporan keuangan, informasi yang diberikan harus dapat bermanfaat bagi para
pemakainya. Untuk itu laporan keuangan harus dapat memenuhi karakteristik
kualitatif. International Accounting
Standard Committee (IASC)
menetapkan karakterisik kualitatif pokok yang harus dipenuhi adalah : dapat
dipahami, relevan, keandalan (mencakup kejujuran, substansi netralitas,
prudensi dan kelengkapan) dan dapat dibandingkan.
Untuk memenuhi karakteristik
kualitatif laporan keuangan, IAI dalam PSAK No.1 mengakui asumsi dasar
akuntansi sebagai berikut (IAI, PSAK,
1996):
1.
Kelangsungan Usaha
Suatu entitas ekonomi diasumsikan terus
melakukan usahanya secara berkesinambungan tanpa maksud untuk dibubarkan,
kecuali bila ada bukti sebaliknya. Perusahaan dianggap akan melanjutkan
usahanya untuk waktu mendatang yang dapat diduga, tidak bermaksud atau
berkepentingan dengan likuidasi atau
penutupan usaha.
2.
Akrual
Pengukuran aktiva, kewajiban, pendapatan,
beban serta perubahannya diakui pada saat terjadi, tidak pada saat uang
diterima atau dibayarkan, dicatat dan berpengaruh pada laporan keuangan pada
periode kejadian.
Konsep dasar akuntansi
dijelaskan kembali dalam Intermediate
Accounting (Smith & Skousen, 1984, 23) menurutnya model akuntansi
tradisional dibentuk dari asumsi-asumsi dasar, yaitu :
1.
Perusahaan dipandang sebagai satu kesatuan ekonomi yang
berbeda dari pemilikan unit usaha lainnya.
2.
Perusahaan dianggap akan terus melanjutkan usaha, sehingga
neraca melaporkan beban-beban berkaitan dengan kegiatan-kegiatan di masa depan
dan tidak dilaporkan pada nilai realisasi jika perusahaan dilikuidasi.
3.
Kegiatan yang dicatat adalah transaksi dan kejadian yang telah lalu. Jadi perubahan
nilai sumber-sumber dan modal tidak dibukukan sebelum terjadi.
4.
Akuntansi menganut prinsip penilaian beban. Jadi dasar
pencatatan transaksi adalah jumlah uang atau nilai moneter dari akuntansi yang
ditukarkan saat transaksi.
5.
Transaksi diakui dengan unit-unit moneter.
6.
Kesatuan usaha dibagi dalam periode akuntansi, sehingga dalam
setiap periode, pengukuran penghasilan berdasarkan akrual. Beban dalam satu
periode ditentukan dalam mengkaitkannya dengan pendapatan tertentu dalam
periode waktu tertentu (matching concept).
7.
Konservatif, yaitu jika dalam pelaporan terdapat dua
alternatif, perusahaan memilih alternatif yang mempunyai manfaat paling sedikit
bagi modal pemilik.
2.3.2.
Konsep Dasar Akuntansi
Syariah
Tujuan dari laporan
keuangan menurut AAO-IFI (The Accounting and Auditing Organization for
Islamic Financial Institutions) dalam SFA No. 1 Chapter 6
adalah bahwa laporan harus mengandung informasi tentang kepatuhan bank
terhadap syariah, dan oleh karenanya harus ada informasi tentang pos-pos non halal; informasi sumber daya kewajiban, termasuk
akibat suatu transaksi atau kejadian
ekonomi terhadap sumber entitas, maupun kewajibannya; informasi yang dapat membantu pihak-pihak
terentu dalam menghitung zakatnya;
informasi yang dapat membantu pihak terkait dalam memprediksi aliran kas
bank dan seterusnya (para 36-41).
Sedangkan kerangka dasar
akuntansi keuangan versi AAO-FI
seperti dituangkan dalam SFA No. 2 meliputi 9 Bab. Tidak seperti halnya
akuntansi keuangan konvensional, akuntansi bank syariah menuntut lebih banyak
laporan yang meliputi : statement of finacial position, statement of
income, statement of cashflows, statement of retained earning, statement of
changes in restricted investment, statement of sources and uses of funds in
Zakah and charity fund and statement of sources uses of funds in qard fund.
Empat laporan pertama adalah unsur-unsur laporan keuangan yang sudah dikenal
selama ini secara konvensional, sedangkan tiga yang terakhir bersifat khas.
Bila dibandingkan dengan
asumsi dasar yang ada dalam SAK dengan menganut IASC (International
Accounting Standards Committee), maka terdapat sedikit perbedaan. Kalau
kerangka dasar akuntansi konvensional secara eksplisit memakai dua asumsi
dasar, yakni dasar akrual (accrual basis)
dan kelangsungan usaha (going concern),
maka asumsi dasar yang dipakai dalam kerangka dasar versi AAO-IFI terdiri dari
empat hal yaitu : the accounting unit
concept, the going concern concept, the periodicity concept and the stability
of the purchasing power of the monetery unit. Komparasi kedua konsep
diatas, secara tegas menunjukkan ada satu konsep dasar yang sama-sama diakui
oleh oleh kedua model akuntansi yakni konsep going concern.
Aspek pengakuan memegang
peranan penting sebagai kerangka dasar, karena pengakuan merujuk kepada prinsip yang mengatur kapan dicatatnya
transaksi pendapatan (revenue), beban
(expense), laba (gain) dan rugi (loss).
Pada dasarnya AAO-IFI memakai konsep
akrual sebagai dasar pengakuan untuk semua bentuk transaksi. Ini sejalan dengan
kerangka dasar versi IASC yang juga
dianut oleh akuntansi konvensional di Indonesia. Namun demikian, kalau kita
mengacu kepada praktik beberapa bank syariah, ada sejumlah penyimpangan.
Misalnya dasar akrual hanya dipakai untuk pengakuan beban atau expenses, tetapi dasar kas (cash basis) dipakai dalam pengakuan revenue dan/ atau income. Argumentasi yang dijadikan landasan atas sikap ini adalah
unsur ketidakpastian dan konservatisme (Adnan, 1999, 7).
Untuk aspek pengukuran
hampir tidak berbeda bila dibandingkan dengan akuntansi konvensional, karena
semua atribut yang akan dijadikan acuan harus mempertimbangkan unsur : reliability, understandability dan comparability.
2.4. Dasar Pengukuran
Akuntansi Pembiayaan Murabahah pada Bank Islam
Dasar pengukuran akuntansi pembiayaan murabahah pada bank
Islam, dibagi menjadi 3 yaitu :
pengukuran akuntansi biaya awal (initial
cost), pengukuran akuntansi biaya-biaya lain yang terkait dengan biaya awal
(subsequent costs) operasi dan dasar
pengukuran laba operasi.
2.4.1.
Pengukuran Akuntansi Biaya
Awal (Initial Cost) Operasi Pembiayaan
Murabahah
Initial cost adalah biaya-biaya yang
dibayar oleh bank Islam kepada supplier. Biaya adalah unit uang yang
dikeluarkan untuk mendapatkan produk atau jasa. Dalam Islam, biaya seharusnya
dibebankan secara adil tanpa penambahan maupun pengurangan. Biaya tidak
seharusnya mencakup pemborosan waktu dan sumber alam. Allah menganjurkan kepada
kita untuk mengurangi pemborosan baik dalam waktu maupun sumber-sumber alam
(Q.S. Al Isra’ : 27). Selanjutnya, biaya harus menjadi dasar untuk harga yang
wajar dan adil, yang tidak merugikan penjual maupun pembeli (Al Jadawi, 1985,
24). Antara penjual dan pembeli seharusnya mengungkapkan kebenaran karena
menurut ketentuan syariah Islam setiap muslim harus jujur, adil, tidak menipu
dan ekonomis (Q.S. Al A’Raf : 85).
Biaya
merupakan dasar untuk penentuan harga dan pengukuran laba. Adalah logis untuk
mengidentifikasi dan mengukur biaya yang timbul dari produk yang akan
menghasilkan. Pencocokan yang benar antara beban dan pendapatan masih menjadi
masalah paling penting yang dihadapi oleh akuntan dalam akuntansi konvensional.
Harga dalam pembiayaan murabahah tergantung pada biaya operasi murabahah dan
keuntungan yang dikehendaki, dalam hal ini adalah persentase harga biaya. Biaya
murabahah merupakan dasar dari harga dan keuntungan murabahah, karenanya para
ahli syariah cenderung untuk memperlakukannya dengan cara penjualan di luar
kontrak murabahah. Hal tersebut menghindarkan terjadinya kesalahan atau
memperkirakannya selama penetapan biaya operasi pada pembiayaan murabahah.
Tetapi secara nyata, pembiayaan murabahah menyajikan 90% pendapatan investasi.
Dalam bank-bank Islam (Al Nagi, 1985, 215), dimana 98% dana depositor dalam
beberapa bank Islam ditunjukkan hanya untuk pembiayaan murabahah, karena
merupakan investasi jangka pendek dengan resiko yang cukup kecil.
Biaya awal
produk (aset) murabahah adalah biaya yang dibayar oleh bank Islam kepada
supplier. Pada kasus murabahah kepada pemesan pembelian, produk yang
dikehendaki dalam murabahah harus sama dengan di pasar, sama jenis dan
penghitungannya menggunakan ukuran yang tepat (Shahata, 1990, 95). Para ahli
dan ulama syariah setuju jika biaya historis (historical cost) adalah dasar untuk menentukan biaya awal produk
(aset) murabahah. Mereka menyatakan bahwa pengukuran akuntansi harus
menggunakan pengukuran yang tepat dan akurat tanpa estimasi dan perkiraan.
FAO-IBFI (1998, 132) menjelaskan bahwa biaya historis (historical cost) seharusnya digunakan sebagai dasar pengukuran dan
pencatatan biaya awal saat akuisisi atau perolehan. Oleh karena itu produk
(aset) yang diperoleh bank Islam dengan tujuan untuk dijual dengan murabahah
seharusnya diukur pada saat perolehan dengan dasar biaya historis.
Ada beberapa
faktor yang harus dicatat berkenaan dengan biaya awal operasi pembiayaan murabahah :
1.
Perubahan harga.
Yaitu
perubahan harga produk (aset) murabahah akibat penurunan atau peningkatan harga
produk itu dalam pasar yang menyangkut waktu transaksi murabahah. Sebagai
contoh : bank membeli barang seharga Rp 100.000, dan sebelum menandatangani
kontrak penjualan murabahah, harga di pasar
meningkat menjadi Rp 110.000. Menurut Islam penambahan harus dihilangkan
dan beban atau harga tetap Rp 100.000.
2.
Perubahan atas nilai produk.
Yaitu
perubahan harga produk (aset) murabahah yang disebabkan karena peningkatan atau
penurunan nilai produk itu sendiri. Sebagai contoh : penurunan nilai produk
akibat kerusakan sehingga mengakibatkan penurunan harga ataupun peningkatan
nilai produk akibat jumlah permintaan lebih besar dari jumlah penawaran
sehingga terjadi peningkatan harga.
3.
Perubahan atas nilai tukar.
Yaitu
perubahan harga produk murabahah yang disebabkan perubahan nilai tukar dalam
transaksi murabahah. Sebagai contoh :
bank membeli dalam rupiah misalnya Rp 105.000 tetapi pembayaran dilakukan
dengan dollar pada nilai tukar 3 untuk setiap dollarnya. Jadi, jumlah aktual
yang dibayar menjadi Rp 35.000. Pada saat penjualan kembali, nilai tukar tumbuh
menjadi 3,5 setiap dollar, membuat nilai menjadi Rp 30.000. Para ahli syariah
sepakat jumlah yang harus dibayar adalah Rp 35.000.
4.
Diskon (Muqashah)
Dalam praktek,
bank Islam tidak mempertimbangkan saat menjual kembali. Pertimbangannya hanya
diskon komersial, padahal keduanya memerlukan pertimbangan. Para ahli syariah
berpendapat bahwa penjual (bank) memiliki pemilihan untuk mengurangi harga
penjualan kembali. Mereka juga menyatakan bahwa waktu diskon merupakan faktor
penentu, maksudnya jika diskon dibuat sebelum mencapai masa kontrak maka harus
ada pengurangan harga saat penjualan. Jika sebaliknya, maka tidak ada
pengurangan tetapi dikenakan pelonggaran. Dengan demikian setiap perubahan
untuk biaya awal yang berhubungan dengan nilai fisik produk harus
dipertimbangkan. Lebih lanjut, diskon yang berhubungan dengan produk (aset)
murabahah dan diakui sebelum mencakup kontrak murabahah harus dikurangi dari
biaya murabahah.
2.4.2.
Pengukuran Akuntansi
Biaya-Biaya yang Terkait dengan Biaya Awal Operasi (Subsequent Costs) Pembiayaan Murabahah.
Subsequent cost adalah biaya-biaya yang
dibayar oleh bank Islam setelah bank Islam membayar biaya-biaya awal (intial costs). Studi Al-Khadas (1999,
18) menjelaskan tentang opini para ahli syariah tentang biaya yang terkait
dengan biaya awal operasi dan harus
dibebankan dalam pembiayaan murabahah, meliputi:
1.
Biaya langsung, yaitu biaya yang dibayar atau akan dibayar
oleh bank Islam sehubungan dengan perolehan produk (aset) murabahah.
2.
Biaya-biaya tidak langsung, yaitu biaya-biaya yang akan
meningkatkan nilai produk (aset) murabahah tetapi tidak berhubungan dengan
pekerjaan yang dilakukan oleh murabih
(bank) sehingga murabih harus
membayar kepada pihak lain sehubungan dengan pekerjaan tersebut.
Sedangkan biaya-biaya lain
terkait yang tidak seharusnya dibebankan ke dalam biaya awal operasi dalam pembiayaan murabahah :
1.
Biaya-biaya langsung yang berhubungan dengan pekerjan yang
dilakukan oleh murabih.
2.
Biaya-biaya tidak langsung yang berhubungan dengan pekerjaan
yang dilakukan oleh murabih.
3.
Macam-macam biaya
tidak langsung yang meningkatkan nilai produk dan berhubungan dengan pekerjaan
yang dilakukan oleh bagian lain tetapi hal ini merupakan tanggung jawab murabih untuk melakukannya.
4.
Macam-macam biaya tidak langsung yang tidak meningkatkan
nilai produk.
Shahata (1987,
125) menyebutkan bahwa biaya awal dan biaya-biaya lain yang terkait dengan
biaya awal tersebut dalam perspektif akuntansi Islam harus diberlakukan menurut
konsep biaya historis seperti dalam akuntansi konvensional. Ada beberapa pekerjaan yang
seharusnya dilakukan oleh murabih,
seperti pekerjaan manajemen murabahah, dan menurut perspektif akuntansi Islam,
biaya-biaya tersebut merupakan biaya-biaya langsung yang tidak dipertimbangkan
sebagai biaya operasi pembiayaan murabahah. Hal ini karena berhubungan dengan
pekerjaan yang dilakukan oleh murabih seperti penjelasan sebelumnya.
Studi lain
(Al-Galaf, 1996, 29-30) menjelaskan bahwa biaya-biaya lain yang terkait yang
dapat dibebankan pada biaya awal murabahah, meliputi :
1.
Biaya langsung industri.
2.
Biaya langsung penjualan.
3.
Biaya langsung manajerial.
Studi ini mengabaikan
biaya-biaya tidak langsung tersebut belum tentu benar karena seperti sebelumnya
disebutkan beberapa biaya tidak langsung ada yang dapat dan tidak dapat dibebankan pada biaya
awal operasi pembiayaan murabahah. Studi lain (Shahata, 1990, 132-135) menjelaskan
tentang biaya-biaya lain yang terkait apa saja yang seharusnya dan tidak seharusnya dibebankan ke
biaya awal operasi pembiayaan murabahah.
1.
Biaya-biaya lain yang terkait dengan biaya awal operasi
pembiyaaan murabahah dan seharusnya dibebankan adalah :
- Biaya-biaya langsung pada kondisi dimana biaya-biaya
tersebut dibayar atau akan dibayar dan berlawanan dengan pekerjaan yang
dilakukan oleh bagian lain kecuali murabih
sendiri.
- Macam-macam biaya tidak langsung pada kondisi
biaya-biaya meningkatkan nilai produk dan telah dibayarkan.
2.
Biaya-biaya lain yang terkait dengan biaya awal operasi
pembiayaan murabahah dan tidak seharusnya dibebankan adalah :
- Biaya-biaya yang berhubungan dengan pekerjaan yang
dilakukan oleh murabih sendiri,
seperti : biaya manajemen umum atau biaya manajemen murabih.
- Biaya-biaya untuk pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh
murabih sendiri.
- Biaya-biaya untuk pekerjaan yang dilakukan oleh pihak
lain dan tidak meningkatkan nilai produk.
- Biaya-biaya umum selama alokasinya tergantung pada
estimasi dan perkiraan.
FAS-IBFI (Financial Accounting
Standard for Islamic Bank andFinancial Instituion) menjelaskan bahwa pengukuran
pembiayaan murabahah seperti akuisisi produk (aset) murabahah oleh bank Islam
harus mengikuti ketentuan :
1.
Dalam kasus murabahah kepada pemesan pembelian yang
diwajibkan untuk memenuhi janjinya. Barang-barang yang tersedia untuk penjualan
setelah akuisisi akan diukur pada biaya historisnya. Dalam kasus ini dimana
penurunan nilai barang di bawah biaya
akibat kerusakan atau dari keadaan yang tidak menguntungkan, seperti penurunan
yang dinyatakan dalam nilai akhir barang pada akhir periode laporan keuangan.
2.
Pada kasus murabahah atau murabahah kepada pemesan pembelian
yang tidak memenuhi kewajibannya. Ketika bank Islam menemukan adanya indikasi
kemungkinan tidak tertutupnya biaya barang-barang yang tesedia.
FAS-IBFI mengabaikan analisa tipe-tipe biaya-biaya lain yang terkait secara langsung maupun tidak
langsung yang seharusnya dibebankan kepada biaya awal operasi pembiayaan
murabahah. Dan fokus mereka hanyalah pada perlakuan biaya awal pembiayaan
murabahah dan dalam kasus jika
pemesan pembelian wajib memenuhi janjinya atau tidak.
Jelas bahwa
praktek-praktek bank tersebut sesuai dengan pandangan ahli khususnya madhab
Hanafi, yang merujuk pada persetujuan (al-urf)
(Omar, 1987, 155). Hasil dari pembahasan sebelumnya bahwa isu yang paling
penting adalah untuk membuat suatu pengukuran yang unik dan formal yang harus
diterapkan oleh semua bank Islam. Menurut pendapat-pendapat sebelumnya,
biaya-biaya lain yang terkait yang dapat dibebankan ke dalam biaya awal harus
berada dalam batasan-batasan berikut :
1.
Biaya langsung apapun yang menghasilkan peningkatan nilai
produk (aset) murabahah dan dibayar
oleh bank Islam seperti biaya transportasi, biaya pengiriman, komisi pembelian,
biaya cukai, biaya manajerial langsung, dll. Semua ahli setuju dengan hal itu.
2.
Biaya tidak langsung dapat dibebankan ke dalam biaya awal
operasi murabahah dalam dua kondisi berikut: (1) harus dibayar, (2) harus meningkatkan
nilai produk. Semua ahli setuju dengan hal ini, kecuali madhab Al-Maliki yang
menyatakan bahwa tidak diperbolehkan untuk membebankan biaya awal dengan biaya
tidak langsung apapun yang berkaitan dengan pekerjaan yang bisa dilakukan oleh
murabih tetapi dilakukan oleh pihak
lain, meskipun dibayar untuk itu, karena itu merupakan kewajiban dari murabih untuk melakukan pekerjaan tersebut.
3.
Biaya apapun yang berkaitan dengan kerja atau jasa amal tidak
boleh dibebankan kepada biaya awal barang murabahah. Semua ahli setuju dengan itu.
4.
Semua biaya tidak langsung, yang tidak meningkatkan nilai
dari produk tidak boleh dibebankan pada biaya awal. Semua ahli setuju dengan
itu.
5.
Tidak diperbolehkan untuk membebankan biaya operasi murabahah dengan biaya operasi apapun yang
berkaitan dengan bank Islam seperti gaji, depresiasi, upah, alat tulis, dll.
Semua biaya ini harus dipotong dari bagian bank Islam dari laba murabahah.
6.
Tidak diperbolehkan untuk membebankan biaya operasi murabahah
kepada kerugian apapun yang berkaitan dengan aktivitas bank Islam atau kerugian
apapun yang berkaitan dengan barang murabahah seperti penalti, kompensasi
yuridis, karena semua biaya tersebut berkaitan dengan tanggung jawab bank
Islam.
2.4.3. Pengukuran Laba Operasi Pembiayaan Murabahah dalam
Bank Islam
Sebelum
membahas pengukuran laba dari pembiayaan murabahah, definisi laba dari sudut
pandang akuntansi dan Islam akan diperkenalkan. Kemudian pembahasan ini akan
mencakup basis atau dasar dari pengukuran laba untuk pembiayaan murabahah, karena
banyak pertanyaan yang perlu dijawab pada titik ini.
2.4.3.1. Perspektif Konvensional dan Islam mengenai Definisi Laba
Laba
dianggap sebagai salah satu hal yang penting bagi bisnis dan merupakan alat
yang penting untuk mengevaluasi keberhasilan atau kegagalan bisnis. Laba dalam
akuntansi konvensional adalah selisih antara pendapatan dengan beban.
Pendapatan adalah peningkatan dalam aset yang dihasilkan dari penjualan barang
atau jasa kepada pihak ketiga (Harvey dan Keer, 1984, 52). Definisi yang lebih
spesifik adalah pendapatan merupakan arus masuk atau peningkatan lain, atau
penyimpanan dalam arus keluar, dari keuntungan ekonomi di masa depan dalam
bentuk peningkatan aset atau pengurangan dalam kewajiban dari entitas, selain
yang berkaitan dengan kontribusi oleh pemilik, yang menghasilkan peningkatan
dalam ekuitas selama periode pelaporan (Chartered
Accountants and Australian Society of CPAs, 1998, 112). Beban merupakan
konsumsi atau kerugian dari keuntungan ekonomi masa depan dalam bentuk
pengurangan aset atau peningkatan kewajiban dari entitas, selain yang berkaitan
dengan distribusi kepada pemilik, yang menghasilkan penurunan dalam ekuitas
selama periode pelaporan (Chartered
Accountants and Australian Society of CPAs, 1998, 113).
Dari perspektif Islam mengenai akuntansi, konsep laba
tidak berbeda dari konsep laba sekuler. Kata laba dalam Qur’an disebut sekali
dalam Surat Al-Baqarah : 16. Konsep laba dalam Islam terdiri dari laba selama
kehidupan dan setelah kehidupan. Selama hidup para ahli mendefiniskan laba
sebagai pertumbuhan dalam modal (Al-Asfahani, tanpa tanggal, 388 dan Mohammad,
1988, 7). Dalam zakat, konsep laba berarti pertumbuhan dan peningkatan nilai
(Naser,tanpa tanggal, 305). Dan dalam mu’amalat
(hukum sipil yang berkaitan dengan lingkup ekonomi dan sosial dari
aktivitas manusia) laba adalah selisih dari pendapatan dan beban (Naser, tanpa
tanggal, 305 dan Al-Masri, 1994, 3).
Laba ini datang dari campuran dari buruh dan modal, yang datang dari aktivitas
pembelian dan penjualan.
Dalam akuntansi
konvensional konsep laba sulit untuk didefinisikan karena pendapatan pada
umumnya diasosikan dengan
prosedur-prosedur akuntansi tertentu, tipe-tipe tertentu mengenai
perubahan-perubahan nilai dan aturan yang implisit untuk menentukan kapankah pendapatan
dilaporkan (Hendriksen, 1974, 159). Dalam perspektif Islam mengenai akuntansi,
para ahli membedakan antara gala (hasil)
dan laba. Gala adalah peningkatan
dalam orud al-tijarah atau aktiva
lancar non-kas (Al-Dawski, tanpa tanggal, 465). Dan ini bukanlah laba karena
tidak datang dari usaha pekerja. Sebagai contoh, al-gala dalam operasi mudharabah
menjadi bagian rab-ul-mal (pemilik
investasi). Jadi tidak didistribusikan sebagai laba antara mudharib (pekerja) dengan rab-ul-mal.
Juga ada perbedaan antara al-fa’adah (bunga)
dengan laba. Al-fa’adah adalah
peningkatan dalam orud al-quniah (aktiva
tetap). Dan diperoleh dari penjualan orud
al-quniah. Ini sama dengan pendapatan kapitalis dalam akuntansi
konvensional (Al-Ibji, 1996, 21). Jadi dalam Islam ada laba, gala, dan fa’adah, dan perlu untuk membedakan secara akurat di antara mereka
khususnya ketika kita melihat distribusi laba antara pemegang saham dengan
depositor dalam bank Islam.
Dalam Islam,
laba memiliki batasan-batasan, laba tidak boleh diperoleh dari riba, pemalsuan,
monopoli, dan penipuan. Laba diperoleh dari kombinasi dua atau semua modal,
buruh, dan risiko (jaminan). Laba dengan modal berarti bahwa rab-ul-mal bisa memperoleh laba dari
investasi modalnya dengan risiko sebagian dengan mudharib. Dan titik utama bahwa rab-ul-mal
tidak dapat memutuskan bagian labanya sebagai rasio modal terpisah dari
hasil bisnis jika suatu laba atau rugi telah terjadi. Laba dengan buruh berarti
bahwa mudharib memperoleh laba dengan
rab-ul-mal di luar kerjanya. Laba
dengan resiko berarti bahwa harus meningkatkan laba jika risiko meningkat
seperti transfer produk untuk dijual ke negara yang jauh.
2.4.3.2. Dasar Pengukuran Laba Operasi Pembiayaan Murabahah
Dalam operasi pembiayaan murabahah sang murabih dan pemesan
pembelian harus setuju dengan laba pada awal pembiayaan murabahah. Tetapi menyadari bahwa laba berbeda
dari satu murabih ke lainnya
khususnya jika pembiayaan murabahah berbentuk kredit, yang akan dibayar di masa
depan atau akan dibayar secara angsuran selama periode keuangan mendatang.
Dalam kasus-kasus tersebut ada empat alternatif :
1.
Mengakui laba pada saat penjualan sehingga efeknya
dicerminkan dalam periode keuangan saat itu.
2.
Mengakui laba pada saat menerima kas sehingga efeknya
dicerminkan dalam periode keuangan di masa depan.
3.
Mengalokasikan laba pada periode finansial pada saat
transaksi.
4.
Mengakui laba pada saat pemulihan biaya total.
Menurut studi
fikih ada pandangan-pandangan yang berbeda dari para ahli mengenai waktu
pengakuan laba. Alternatif pertama (1) direkomendasikan, karena pembiayaan
murabahah berakhir ketika barang
dikirimkan. Karena ada pemisahan antara operasi pembiayaan murabahah dengan operasi penagihan piutang
murabahah yang dianggap sebagai tugas
manajemen. FAO-IBFI menyatakan bahwa
laba dari penjualan kredit yang ditetapkan dalam satu pembayaran selama periode
finansial di masa depan akan dialokasikan selama periode finansial dari
transaksi penjualan. Meskipun badan dari FAO-IBFI
memberikan preferensi terhadap alternatif untuk mengalokasikan laba selama
periode finansial masa depan dari transaksi penjualan, badan tersebut juga
mempertimbangkan pengakuan laba pada saat menerima angsuran sebagai suatu
metode yang bisa diterima. Ini adalah pada kasus penjualan kredit, yang dibayar
secara angsuran selama periode finansial masa depan, dengan anggapan penggunaan
metode ini oleh bank Islam didukung dan
diperkuat oleh Badan Pengawas Syariah dari
bank Islam.
Dalam
pandangan ahli, bank Islam dapat memakai salah satu dari metode-metode yang
bisa diterima jika didukung oleh Badan Pengawas Syariah dari bank Islam. Tetapi metode ini juga harus diungkapkan dalam
laporan keuangan tahunan bank Islam, karena mempengaruhi nilai laba dari tahun
keuangan bank Islam.
Laba operasi pembiayaan murabahah dalam bank Islam dikalkulasikan sebagai
rasio dari biaya operasi pembiayaan murabahah, karena seperti yang disebutkan sebelumnya laba operasi pembiayaan
murabahah harus diketahui oleh pembeli atau pemesan pembelian. Pengukuran laba
memiliki dua sisi : dasar dari pengukuran laba dan rasio laba.
Pengukuran
laba operasi pembiayaan murabahah harus berdasar pada biaya-biaya operasi
murabahah, yaitu jenis biaya awal atau biaya akhir. Ada dua
pandangan ahli mengenai dasar pengukuran laba tersebut. Madhab Al-Maliki menyatakan
bahwa biaya awal operasi pembiayaan murabahah adalah dasar dari pengukuran laba
(Al-Daswki, tanpa tanggal, 160-161). Tetapi ahli lain berargumen bahwa biaya
akhir operasi (biaya awal ditambah biaya-biaya lain yang terkait dengan biaya
awal) pembiayaan murabahah adalah dasar dari pengukuran laba (Al-Galaf, 1996,
35-36). Contoh berikut menggambarkan kedua poin yang berbeda. Misalnya biaya
awal operasi pembiayaan murabahah adalah Rp 20.000, rasio laba untuk pembiayaan
murabahah adalah 8% dan murabih (bank
Islam) telah membayar pengeluaran-pengeluaran berikut:
·
biaya transportasi Rp
750
·
biaya ganti rugi transportasi Rp 150
·
biaya pabean Rp 250
·
biaya langsung lain yang dibayar oleh bank Islam Rp 250
Dalam kasus ini menurut madhab
Al Maliki:
·
labanya adalah Rp 1600 (20000x8%)
·
harganya adalah Rp 23000 ([20000+750+150+250+250]+1600)
Tetapi menurut madhab
lainnya:
·
labanya adalah Rp1712 ([20000+750+150+250+250]x8%)
·
harganya adalah Rp 23112 ([20000+750+150+250+250]+1712)
Sebagai
hasilnya bank Islam harus menerapkan pendapat dari ahli-ahli lain, karena
merupakan pendapat yang mayoritas. Dan dalam kasus bahwa bank Islam yang
mengikuti madhab Al-Maliki, bank Islam ini harus mengungkap pilihannya dalam
laporan keuangan tahunan karena dia telah memilih pendapat yang lebih inferior.
2.4.3.3. Dasar Penentuan Rasio Laba
Operasi Pembiayaan Murabahah
Menurut syariah Islamiah tidak ada batasan tertentu untuk
rasio laba. Rasio laba harus ditentukan menurut kenyataan pasar dan
pengendalian internal yang menjadi bagian dari penjual itu sendiri. Allah
berfirman (Qur’an, An-Nissa, 29), Islam melarang pengambilan laba yang terlalu
besar. Madhab Al-Maliki mengatakan bahwa ada tindakan mengambil laba terlalu
besar jika rasionya sama atau melebihi 1/3 (Al A’lami, tanpa tanggal, 393). Dan
madhab Hanafi menyatakan bahwa pengambilan laba yang berlebihan akan terjadi
jika rasio tersebut melebihi perhitungan yang bisa diterima yang dibentuk oleh
penghitung lainnya (Ibnu Abdeen, 1966, 143).
Para ahli dan
ulama syariah lebih suka bahwa rasio tersebut bisa diubah. Dalam kasus kredit
penjualan sebagian besar ahli setuju bahwa rasio penjualan kredit bisa lebih
tinggi dari rasio penjualan kas (Al Kardawi, 1987, 71-73; Al Sharbini, tanpa
tanggal, 79, dan Abu Al Basal, 1994, 11). Sedikit ahli yang tidak setuju dengan
hal ini, dan mereka melihat kenaikan ini sebagai riba (Al Ustad, 1975, 77).
Saat ini, sebagian besar bank Islam menentukan rasio laba menurut kenyataan
pasar dan tetap untuk sebagian besar pembiayaan. Beberapa mendebat bahwa rasio
laba tersebut sama dengan rasio laba untuk institusi konvensional, sehingga
fakta ini nampaknya merupakan pertanyaan yang berat (Abu Al-Basal, 1994, 11).
Oleh karena itu, bank Islam harus memilih rasio laba yang tepat untuk
diterapkan, dan rasio tersebut harus bisa diubah menurut kondisi pembiayaan
murabahah. Lebih lagi rasio laba
dalam bank Islam harus berbeda dari rasio yang diterapkan oleh institusi
konvensional untuk menghindari pertanyaan yang berat tersebut.
BAB
V
Kesimpulan dan Saran
5.1. Kesimpulan
1.
Metode pengukuran biaya-biaya
operasi pembiayaan murabahah yang diterapkan
dalam BMI :
- Biaya historis harus menjadi
dasar untuk menentukan biaya awal (initial
cost) dan biaya-biaya lain yang terkait dengan biaya awal operasi (subsequent costs) pembiayaan murabahah.
- Biaya langsung apapun harus
dibebankan ke dalam biaya awal barang (aset) murabahah jika biaya-biaya
ini dibayar oleh bank Islam dan menghasilkan peningkatan nilai dari barang
murabahah seperti biaya transportasi, biaya pengiriman, komisi pembelian,
biaya pabean, biaya manajerial langsung, dll.
- Biaya tidak langsung apapun
harus dibebankan ke dalam biaya awal barang murabahah dengan dua syarat:
(1) harus dibayarkan ke pihak lain. (2) harus meningkatkan nilai dari
produk.
- Semua biaya tidak langsung
yang tidak meningkatkan nilai produk dan
biaya-biaya yang berkaitan dengan kerja atau jasa amal tidak boleh
dibebankan ke dalam biaya awal barang murabahah.
- Tidak diperbolehkan untuk membebankan
biaya barang murabahah dengan biaya kerja apapun yang berkaitan dengan
bank seperti gaji, depresiasi,
upah, alat tulis, dll. Semua biaya ini harus dikurangkan dari bagian laba
bank.
- Tidak diperbolehkan untuk
membebankan biaya barang murabahah terhadap kerugian apapun yang berkaitan
dengan aktivitas bank atau kerugian yang berkaitan dengan barang murabahah seperti penalti, ketetapan hukum,
kompensasi.
- Jika pembeli tidak menaati
janjinya pada kasus murabahah kepada pemesan pembelian (murabahah purchase to the orderer),
barang (aset) murabahah harus diukur pada nilai yang setara dengan kas.
- Penarikan apapun atas
barang (aset) murabahah oleh bank
harus dikurangkan dari biaya produk
murabahah dan dari biayanya.
2.
Dasar dan Metode Pengukuran
Pendapatan dan Laba Operasi Pembiayaan Murabahah pada BMI :
- BMI mengakui
laba operasi pembiayaan murabahah sebagai salah satu sumber pendapatan operasional
bank berdasarkan prinsip jual beli dengan sistem mark up dengan
menggunakan metode cash basis.
- Pengukuran laba operasi
pembiayaan murabahah pada BMI menggunakan dasar biaya akhir yaitu biaya
awal (harga perolehan aset) ditambah dengan biaya-biaya lain yang terkait
dengan biaya awal seperti : biaya transportasi, biaya pengiriman, biaya
komisi dan provisi, biaya administrasi dsb.
- Pengakuan laba operasi
pembiayaan murabahah yang berasal dari penjualan angsuran dapat
menggunakan salah satu dari dua metode berikut :
-
Alokasi yang proporsional selama
periode kredit dimana masing-masing periode fiskal menanggung bagian
keuntungannya tidak peduli apakah yang diterima tunai atau tidak.
-
Ketika dan pada saat cicilan
diterima.
- Penentuan rasio laba operasi
pembiayaan murabahah pada BMI berdasarkan pada kondisi pasar yang ada dan
pengendalian internal bank itu sendiri.
- Diskon (muqashah) berkaitan dengan barang murabahah tidak dimasukkan
ke dalam pendapatan bank karena akan mengurangi harga (biaya awal) produk
murabahah.
Dengan
mengacu pada draft PSAK Perbankan Syariah mulai tahun 2000 yang merujuk pada FAS-IBFI, dasar dan penerapan metode pengukuran biaya,
pendapatan dan laba operasi pembiayaan murabahah pada BMI diatas secara umum
telah sesuai dengan prinsip keadilan dan ketentuan syariah sebagai dasar
operasional bank Islam.
5.2. Saran-Saran
Ada beberapa kasus yang terkait erat dengan
penerapan pengukuran biaya-biaya operasi pembiayaan murabahah yang tidak diatur
secara khusus dalam standard yang dipakai acuan, sehingga BMI harus
memperhatikan hal-hal berikut sesuai dengan pendapat sebagian besar ahli
syariah (jurist) :
1.
Dalam kasus perubahan harga barang
(aset) murabahah, jika terjadi perubahan dalam nilai produk
atau perubahan dalam nilai tukar, BMI harus
menerapkan hal sebagai berikut:
-
Perubahan apapun dalam harga harus
diabaikan. Dan produk murabahah harus dievaluasi dengan harga sebelumnya
yang sama.
-
Pertukaran yang timbul dalam nilai
barang (aset) itu sendiri baik naik
maupun turun harus dicerminkan dalam nilai produk.
-
Perubahan dalam nilai tukar antara
waktu pembelian dan penjualan adalah kenaikan yang sebenarnya dibayar untuk
barang (aset) murabahah.
2.
Jika ada diskon berkaitan dengan
barang murabahah, diskon (muqashah) ini harus dikurangkan dari
biaya barang murabahah apabila diskon tersebut dibuat sebelum membuat kontrak murabahah. Jika tidak, maka tidak dikurangkan
tetapi dipandang sebagai sumbangan sukarela.
3.
Dasar dan metode pengukuran biaya,
pendapatan dan laba operasi pembiayaan murabahah harus diungkapkan dalam
laporan keuangan tahunan bank Islam dan
didukung oleh Badan Pengawas Syariah
dari bank Islam tersebut.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Sifat Penelitian
Sifat penelitian dalam
tulisan ini adalah deskriptif analitis dengan pendekatan studi kasus.
Batasan penelitian deskriptif sebagai
berikut :
Metode deskriptif adalah suatu metode penelitian untuk
meneliti suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu
kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah
untuk membuat deskripsi/ lukisan secara sistematis, faktual dan akurat tentang
fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. (Moh
Nazir, 1988, 63)
Penelitian deskriptif
dimaksudkan untuk pengukuran yang cermat tentang fenomena sosial tertentu.
Peneliti mengembangkan konsep dan menghimpun fakta tetapi tidak melakukan
pengujian hipotesa (Masri Singarimbun,1989,4). Menurut Jalaludin Rakhmat
seperti yang dikutip oleh Hari Prasetya, penelitian deskriptif ditujukan untuk :
1.
Mengumpulkan informasi aktual secara terperinci yang
melukiskan gejala yang ada.
2.
Mengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi dan praktek
yang berlaku.
3.
Membuat perbandingan dan evaluasi.
Sedangkan studi kasus merupakan penelitian
tentang status subyek penelitian (dapat berupa individu, kelompok, lembaga
maupun masyarakat) yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari
keseluruhan subyek penelitian tersebut (Maxfield, 1930). Peneliti ingin
mempelajari secara intensif latar belakang serta interaksi lingkungan unit-unit
sosial yang menjadi subyek. Adapun tujuan studi kasus itu adalah untuk
memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta
karakter-karakter yang khas diatas dijadikan suatu hal yang bersifat umum.
Alasan dari penggunaan
metode deskriptif analitis dengan pendekatan studi kasus disini karena
penelitian ini bertujuan untuk meneliti, menganalisa dan menjelaskan tentang
penerapan dasar dan metode pengukuran akuntansi biaya, pendapatan dan laba
operasi pembiayaan murabahah pada Bank Muamalat Indonesia.
3.2 Fokus Penelitian
Menurut Moleong
(1996:62) penentuan fokus suatu penelitian mempunyai dua tujuan. Pertama, penetapan fokus membatasi
studi yang berarti bahwa dengan adanya fokus, penentuan tempat penelitian
menjadi lebih layak. Kedua, penentuan fokus secara efektif menetapkan kriteria
inklusi-eksklusi untuk menyaring informasi yang mengalir masuk. Mungkin data
cukup menarik, tetapi jika dipandang tidak relevan, data itu tidak akan
dihiraukan.
Disini fokus penelitiannya
adalah penerapan dasar dan metode pengukuran akuntansi biaya, pendapatan dan
laba operasi pembiayaan muarabahah pada Bank Muamalat Indonesia serta
menganalisa kesesuaiannya dengan prinsip keadilan dan ketentuan-ketentuan
syariah yang mengacu pada FAS-IBFI.
3.3. Lokasi Penelitian
Lokasi
penelitian yang hasilnya ditulis dalam
Skripsi ini adalah PT. Bank Muamalat Indonesia Kantor Cabang Surabaya
dengan alamat Jl. Raya Darmo No. 81 Surabaya dengan nomor telepon (031)
5611230.
3.4. Teknik
Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah
prosedur yang sistematik dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan.
Dalam rangka untuk memperoleh data-data yang diperlukan, maka penulis
menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :
1.
Studi literatur
Dalam hal ini penulis
mencoba mendapat literatur dengan memperkaya bacaan pustaka baik dari buku-buku
literatur, jurnal-jurnal penelitian, makalah-makalah, majalah dan surat kabar
referensi atau rujukan dari penelitian sebelumnya mengenai peristilahan,
kerangka pemikiran dan teori yang ada serta relevan dengan pokok bahasan yang
diteliti.
2. Studi lapangan
Dalam studi lapangan, data
dikumpulkan secara langsung dari lokasi
penelitian. Metode pengumpulan data di lapangan yang digunakan meliputi
:
·
Observasi
Yaitu cara pengumpulan data dengan
jalan melakukan pengamatan langsung
terhadap lembaga, dalam hal ini Bank Muamalat Indonesia dasar analisa serta
mengkonfirmasikan obyektifitas dan keakuratan tentang hal yang diperoleh dari
studi literatur.
·
Interview/wawancara
Merupakan suatu proses guna memperoleh informasi untuk tujuan
penelitian dengan cara tanya jawab dengan pihak-pihak yang berkaitan untuk
mendapatkan data-data pendukung yang tidak tertulis.
·
Dokumentasi
Yaitu pengumpulan data yang
dilakukan dengan cara melihat dokumen-dokumen, laporan-laporan serta
catatan-catatan yang terdapat di perusahaan.
3.5. Jenis dan Sumber
Data
Jenis data yang digunakan dalam
pendukung pembahasan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah :
1.
Data Primer
Merupakan
sumber data penelitian yang diperoleh peneliti secara langsung dari sumbernya.
Dalam penelitian ini, yang termasuk data primer adalah data yang diperoleh
dengan wawancara secara langsung dengan pihak terkait, khususnya para karyawan
Bank Muamalat Indonesia yang menangani bagian yang bersangkutan dengan masalah
yang akan diteliti.
2.
Data Sekunder
Data sekunder
merupakan sumber data penelitian yang
diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara (Indriantoro,
1999, 147). Sumber data dari penelitian ini berasal dari literatur-literatur
seperti buku-buku, jurnal-jurnal penelitian, makalah-makalah, majalah, surat
kabar, penelitian-penelitian sebelumnya maupun data yang telah disediakan oleh
pihak lain yang bersangkutan. Dalam penelitian ini, data sekunder yang
diperlukan adalah struktur organisasi, laporan keuangan tahun yang bersangkutan
beserta catatan atas laporan keuangannya.
3.6. Metode Analisa Data
Setelah data-data yang diperoleh dari studi pustaka dan riset
lapangan diolah, maka langkah selanjutnya adalah melakukan analisa data.
Analisa data adalah cara atau langkah-langkah untuk mengolah data primer maupun
data sekunder, yang bermanfaat bagi penelitian guna mencapai tujuan akhir
penelitian. Ada dua metode analisa data, yaitu:
1.
Analisa kualitatif, merupakan analisa data dengan cara
memberikan penjelasan dengan kata-kata
atau kalimat, untuk menerangkan data yang tidak dianalisis secara kuantitatif.
2.
Analisa kuantitatif, merupakan analisa data dengan cara
data-data yang berbentuk angka-angka dikumpulkan, dianalisis (dengan
perhitungan-perhitungan atau penilaian), serta dibandingkan antara data yang
satu dengan data yang lainnya.
Dalam penelitian ini, karena data-data yang disajikan dalam
bentuk deskriptif, yang menggambarkan apa yang ada di perusahaan, maka rencana
analisa permasalahan lebih bersifat kualitatif. Dimana setelah data diperoleh
dan diolah, data dianalisa dan dibandingkan antara penerapan metode pengukuran
akuntansi biaya, pendapatan dan laba
operasi dalam BMI dengan ketentuan dan prinsip syariah yang tertuang
dalam FAS-IBFI (Financial Accounting
Standard for Islamic Bank and Financial Institution) untuk selanjutnya dideskripsikan seberapa jauh
kesesuaiannya.
Penelitian ini
memerlukan penguasaan terhadap teori mengenai metode pengukuran biaya dan
pendapatan sebagai dasar penentuan laba. Teori tersebut akan digunakan sebagai
pedoman dalam mendeskripsikan hasil
analisis atas penelitian dalam Skripsi
ini.
Adapun langkah-langkah
pembahasan hasil penelitian yang akan dilakukan dalam Skripsi ini adalah :
1.
Memberikan gambaran umum Bank Muamalat Indonesia, meliputi :
latar belakang atau sejarah singkat BMI, tujuan dan misi perusahaan, struktur
organisasi serta produk dan jasa yang
ditawarkan BMI.
2.
Menggambarkan dan menjelaskan tentang kebijakan operasional
khususnya dasar dan metode pengukuran akuntansi biaya, pendapatan dan laba
operasi pembiayaan murabahah yang diterapkan
dalam Bank Muamalat Indonesia.
3.
Membandingkan dan mengevaluasi metode pengukuran biaya dan
pendapatan sebagai dasar penentuan laba operasi pembiyaan murabahah dalam Bank
Muamalat Indonesia dengan ketentuan syariah sebagai dasar operasi Bank Islam
pada umumnya yang mengacu pada FAS-IBFI.
BAB
IV
ANALISA DAN PEMBAHASAN
4.1.Gambaran Umum Perusahaan
4.1.1. Sejarah Singkat Bank Muamalat Indonesia
Bank Muamalat Indonesia (BMI) berkedudukan dan berkantor
pusat di Jakarta, didirikan berdasarkan
Akta Pendirian No. 1 tanggal 1 Nopember 1991 Masehi, atau 24 Rabiul Awal 1412
Hijriah, dibuat dihadapan Yudo Paripurna, SH, Notaris di Jakarta. Akta
Pendirian BMI tersebut telah disahkan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia
dengan Surat Keputusan No. C2-2413.HT.01.01 TH.92 tanggal 21 Maret 1992 dan didaftarkan
pada Kantor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 30 Maret 1992 dengan
nomor 970/1992 serta diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia No.34
tanggal 28 April 1992 Tambahan 1919A. Anggaran Dasar Perseroan telah beberapa
kali mengalami perubahan, terakhir dengan Akta No. 20 tanggal 9 Juni 1997,
dibuat oleh Yudo Paripurna, SH, Notaris di Jakarta. Akta ini juga telah
mendapatkan persetujuan Menteri Kehakiman Republik Indonesia dengan Surat
Keputusan No. C2-2319.HT.01.04.TH.98 tanggal 25 Maret 1998 didaftarkan dalam
Daftar Perusahaan No. TDP 0905182307 di Kantor Pendaftaran Perusahaan Kotamadya
serta diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia No. 33 tanggal 24 April
1998. Tambahan No. 2207.
BMI ini adalah bank yang berdasarkan pada Syari'ah Islam dan
tidak mengakui bunga (riba) yang dilarang keras dalan ajaran Islam. BMI
menerapkan sistem bagi hasil dalam menyalurkan dana yang diperoleh.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik
Indonesia No. 430/KMK.013/1992 tanggal 24 April 1992, BMI telah memperoleh ijin
untuk beroperasi sebagai bank umum. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Keuangan No. 131/KMK.017/1995 tanggal 30 Maret 1995, BMI dinyatakan sebagai
bank yang beroperasi dengan sistem bagi hasil. BMI resmi beroperasi sebagai
Bank Devisa sejak tanggal 27 Oktober 1994 berdasarkan Surat Keputusan Dirteksi
Bank Indonesia No. 27/76/KEP/DIR. Sedangkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Keuangan No.S-106/MK.03/1995 bertanggal 7 Maret 1995, BMI memperoleh status
Bank Persepsi yang mengijinkan BMI untuk menerima setoran-setoran pajak.
Pada tahun 1993, BMI melakukan Penawaran Umum dan
berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp. 2.489.090. Dalam rangka Penawaran Umum
ini, BMI telah mendaftarkan diri sebagai perusahaan publik pada BAPEPAM dengan
nomor S-1860/1993 tanggal 28 Oktober 1993.
4.1.2. Tujuan dan Misi
Perusahaan
Dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) BMI
disebutkan bahwa tujuan didirikannya BMI adalah:
1.
Meningkatkan kualitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat,
sehingga dapat mengurangi kesenjangan sosial dengan cara:
a. Meningkatkan kesempatan kerja.
b. Meningkatkan kuantitas dan kualitas
kegiatan usaha
c. Meningkatkan pendapatan masyarakat
banyak.
2.
Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan, terutama
dalam bidang ekonomi keuangan, karena:
a. Masih
banyak masyarakat yang enggan berhubungan dengan bank.
b. Masih banyak masyarakat yang
menganggap bunga bank adalah riba.
3.
Mengembangkan lembaga bank dan sistem perbankan yang sehat berdasarkan
efisiensi dan keadilan, mampu meningkatkan partisipasi masyarakat sehingga
menggalakkan usaha-usaha ekonomi rakyat dengan antara lain memperluas jaringan
lembaga keuangan perbankan ke daerah-daerah terpencil.
4.
Mendidik dan membimbing masyarakat untuk berpikir secara
ekonomis, berperilaku bisnis dalam meningkatkan kualitas hidup mereka.
Dengan
menitikberatkan pada kebersamaan, yaitu kebersamaan dalam menanggung resiko
usaha dan kebersamaan dalam membagi
hasil usaha yang adil, ada dua misi yang
ingin dicapai oleh perusahaan, yaitu:
1.
Misi pemerataan kesempatan berusaha, yaitu dengan
memberikan bermacam-macam jenis
pembiayaan kepada siap saja yang mempunyai bakat berusaha, mau bekerja keras
dan berakhlak baik.
2.
Misi pemerataan pendapatan, yaitu meningkatkan ekonomi umat
Islam, terutama golongan ekonomi lemah
di desa-desa.
4.1.3. Struktur Organisasi dan Job Description
Struktur organisasi pada PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk terdiri atas:
1.
Direktorat Utama: berwenang dan bertanggung jawab dalam seluruh
kegiatan BMI, dan membawahi Direktorat Operasi, PUM dan PUK serta secara
langsung beberapa unit kerja setingkat urusan/Group.
·
Urusan Sekretariat Perusahaan: bertanggung jawab terhadap
setiap aktivitas protokoler Perusahaan/Manajemen, juga kegiatan perusahaan yang
bersifat internal maupun eksternal dengan menciptakan image yang baik terhadap
pemegang saham, nasabah, instansi/organisasi/perusahaan lain serta masyarakat
umum. Mengatur administrasi saham perusahaan serta menangani permasalahan hukum
perusahaan.
·
Urusan Pengawasan: bertanggung jawab terhadap perencanaan,
koordinasi serta pelaksanaan pengawasan/audit terhadap kinerja operasional
obyek-obyek pengawasan serta cabang-cabang, melakukan monitoring terhadap hasil
pelaksanaan pengawasan tersebut apakah telah sesuai dengan kebijakan perusahaan
yang telah ditetapkan serta melaporkan hasil pengawasan tersebut kepada Direktur Utama.
·
Grup Penelitian dan Pengembangan Usaha: bertanggung jawab
dalam perencanaan dan pengembangan produk-produk baru, pembukaan cabang-cabang
baru, serta usaha-usaha perbankan yang baru. Juga melakukan perencanaan
reengineering strategi terhadap unit-unit usaha Bank Muamalat serta
implementasinya. Melakukan pengawasan terhadap kinerja cabang. Melakukan
perencanaan dan pembuatan Repelita Bank Muamalat dan evaluasi kinerja tahunan
terhadap Repelita tersebut. Serta melaporkan setiap hasil kegiatan tersebut
kepada Bank Indonesia, Dewan Komisaris, serta Direksi.
·
Urusan Luar Negeri dan Treasury: bertanggung jawab melakukan
pengelolaaan terhadap jaringan koresponden dengan pihak dalam dan luar negeri
secara efisien dan efektif guna memenuhi kebutuhan nasabah yang berkaitan
dengan jasa dan produk Bank Muamalat. Melakukan pengawasan dan menjaga
likuiditas Bank Muamalat sesuai dengan syarat yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia, serta mengelola dan mengawasi setiap transaksi valuta asing.
Mempersiapkan strategi operasional pemasaran Dana Pensiun Lembaga Keuangan Bank
Muamalat secara nasional serta pengelolaan Dana Pensiun secara optimal sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
1.
Direktorat operasi: berwenang dan bertanggung jawab dalam
seluruh kegiatan operasi/administrasi perusahaan, pelayanan nasabah, sistem dan
teknologi serta pengembangan Sumber Daya Insani Bank Muamalat.
·
Urusan Organisasi dan Sumber Daya Insani: bertanggung jawab
terhadap perencanaan dan strategi dan kebijakan pengembangan Sumber Daya Insani
(SDI) bank Muamalat, serta mengkoordinasi dan mengawasi seluruh pelaksanaan
program kerja SDI yang mencakup pengembangan organisasi, perencanaan dan
pemenuhan SDI, pengembangan karier karyawan, pendidikan dan pelatihan,
melakukan pengawasan terhadap administrasi pembayaran gaji/benefit dan
perencanaan kesejahteraan karyawan, juga administrasi personalia lainnya,
melakukan koordinasi dan konsultasi mengenai permasalah ketenagakerjaan untuk
merealisasikan rencana pengembangan yang telah digariskan oleh perusahaan, guna
menjamin kesinambungan dan kedinamisan Sumber Daya Insani Bank Muamalat yang
searah dengan visi dan misi perusahaan.
·
Urusan Operasi: bertanggung
jawab dalam merencanakan, mengkoordinasikan dan mengawasi seluruh
kegiatan operasional dan administrasi Bank Muamalat, yang meliputi pengelolaan
produk dan di bidang transaksi domestik dan luar negeri, pemeliharaan pembukuan
pembiayaan serta segala sesuatu yang berhubungan dengan administrasi dan
pembukuan pembiayaan, bertanggung jawab terhadap penyusunan laporan keuangan
internal dan eksternal, serta pengendalian biaya operasional perusahaan guna
menjamin kegiatan operasional dan administrasi perusahaan agar berjalan efektif
dan efisien yang sesuai dengan kebijakan yang telah digariskan oleh perusahaan.
·
Urusan Teknologi Sistem Informasi: bertanggung jawab dalam
merencanakan serta mengawasi seluruh pengembangan sistem dan teknologi
perbankan bank Muamalat melalui penyempurnaan sistem yang ada, atau membangun
suatu sistem yang baru, pengembangan perangkat lunak dan perangkat keras yang
sesuai dengan kebutuhan Bank Muamalat, penelitian dan pengembangan produk
perbankan yang baru, melakukan koordinasi, menilai dan melaksanakan
kebutuhan-kebutuhan setiap Urusan/Grup terhadap kebutuhan yang membutuhkan
dukungan teknologi informasi.
2.
Direktorat Pembiayaan.
4.1.4. Produk dan Jasa yang Ditawarkan
Sesuai dengan tujuan perusahaan tersebut diatas, maka perusahaan
berusaha untuk menjalankan kegiatannya dan sekaligus mengembangkan usahanya
semaksimal mungkin, sejauh tidak melanggar batasan-batasan syariah. Mengingat
segala aktivitas, mulai dari pendirian sampai operasional perusahaan ini adalah
berdasarkan pada syariah Islam.
Sebagai konsekuensinya, dalam menjalankan kegiatan
usahanyapun, perusahaan mengembangkan produk perbankan yang disesuaikan dengan
landasan syariah, antara lain:
1.
Produk pemupukan dana dari masyarakat.
·
Giro Al Wadiah
Merupakan
penyimpanan dana masyarakat yang termudah penarikannya dan paling likuid dalam
memperlancar pembayaran nasabah yang menyimpan dananya. Seluruh keuntungan atau
manfaat yang diperoleh dari penggunaan giro tersebut menjadi hak milik
bank.
·
Tabungan Mudharabah
Merupakan tabungan
yang penyetoran dan penarikannya dapat dilakukan setiap saat dan di semua
cabang perseroan. Pemilik tabungan memberikan imbalan atas dasar pembagian
keuntungan yang ditetapkan sebelumnya.
Selain itu,
nasabah ikut menanggung kerugian apabila perseroan mengalami kerugian.
·
Deposito Mudharabah
Sesuai dengan prinsip al
Mudharabah, deposan diberikan imbalan atas dasar pembagian keuntungan yang
telah ditetapkan dan disetujui sebelumnya, selanjutnya apabila perseroan
mengalami kerugian, maka deposan ikut menanggung resiko kerugian tersebut.
2.
Produk Penyaluran Dana.
·
Pembiayaan Bagi Hasil / Mudharabah / Qiradh
Pembiayaan al Mudharabah
didasarkan atas prinsip-prinsip mudharabah
dimana perseroan bertindak sebagai sahibul
maal (pemilik modal) dan nasabah sebagai mudharib (wirausaha). Dalam pembiayaan ini perseroan menyediakan
100% modal sementara nasabah menjalankan manajemen usaha tersebut. Keuntungan
yang didapat dari usaha akan didistribusikan oleh perseroan sementara nasabah
menjalankan manajemen usaha tersebut.
·
Pembiayaan Modal Kerja/ Murabahah
Pembiayaan al
Murabahah didasarkan atas prinsip murabahah, dimana perseroan bertindak sebagai
sahibul maal (penjual) dan nasabah
sebagai ba’i (pembeli). Perseroan
akan membeli komoditas dan menjual kepada nasabah pada harga yang telah
disepakati oleh kedua belah pihak. Perseroan dalam hal ini memperoleh laba atas
harga jual. Pada jenis pembiayaan ini mengharuskan nasabah untuk melakukan
pembayaran atas pokok pinjaman serta pendapatan margin atas pembiayaan pada
saat jatuh tempo.
·
Pembiayaan Investasi
Al Ba'i Bithaman Ajil
Pembiayaan Al
Ba’i Bithaman Ajil didasarkan atas prinsip ba’i (jual-beli) dimana perseroan
bertindak sebagai ba’i (penjual) dan
nasabah bertindak sebagai musytari
(pembeli). Perseroan akan membeli komoditas dan menjualnya kepada nasabah pada
tingkat harga yang disepakati kedua belah pihak. Perseroan dalam hal ini akan
memperoleh keuntungan dari harga jual tersebut yang harus diangsur oleh nasabah
secara bulanan.
·
Pembiayaan Kebijakan Al Qardh Hasan
Perseroan
dalam hal ini sebagai muqridh,
menyediakan fasilitas dana kepada nasabah, dalam hal ini sebagai muqtaridh untuk pengelolaan usaha tanpa
mengaharapkan imbalan dari nasabah. Fasilitas ini biasanya merupakan fasilitas
pembiayaan lunak yang diberikan kepada nasabah dalam rangka pelaksanaan
kewajiban sosial terhadap nasabah yang betul-betul membutuhkan dan berhak
menerimanya.. Sistem pembayarannya dapat dilakukan secara tunai maupun
angsuran.
·
Pembiayaan Bagi Hasil Musyarakah
Pembiayaan al
Musyarakah didasarkan atas prinsip-prinsip musyarakah, dimana perseroan dan
nasabah melakukan kerjasama dalam penyediaan modal. Pada pembiayaan jenis ini,
perseroan menyediakan sebagian dari modal yang dibutuhkan pada usaha nasabah.
Akumulasi keuntungan yang didapat dari usaha nasabah akan dibagikan atas dasar
perjanjian yang telah disepakati sebelumnya dan menurut
pertimbangan-pertimbangan yang berbeda.
3.
Jasa-jasa lainnya.
·
Ash-Sharf
Merupakan
penukaran satu mata uang dengan mata uang. Dalam jual-beli mata uang ini terdapat
dua syarat khusus , yaitu tiada penundaan, yang berarti harus segera (tunai),
baik mata uang sejenis maupun mata uang yang berlainan jenis dan tiadanya
pelebihan, yang berarti dengan syarat keseimbangan untuk mata uang yang
sejenis.
·
Al Kafalah/ Al Dhamanah
Merupakan jasa
pemberian jaminan (garansi), dimana perseroan bertanggung jawab atas pembayaran
kembali suatu hutang atau pelaksanaan prestasi tertentu yang menjadi hak
penerima jaminan.
·
Al Wakalah
Merupakan
pelimpahan kekuasaan oleh nasabah kepada perseroan, dalam hal ini berlaku pelimpahan untuk jasa
penerbitan L/C, dimana perseroan ditunjuk oleh nasabah sebagai wakilnya untuk
membayar atau menerima pembayaran serta pengadministraisan proses ekspor-impor
barang, dan juga jasa pengiriman uang/inkaso,
dimana perseroan ditunjuk oleh nasabah sebagai wakilnya untuk mengirimkan atau
menerima uang ke atau dari tujuan tertentu.
·
Al Hiwalah
Merupakan pengalihan
kewajiban dari satu pihak ke pihak lainnya dalam hal ini adalah jasa pengalihan tagihan.
4.2.Metode Pengukuran Akuntansi Biaya-Biaya Operasi Pembiayaan
Murabahah pada BMI
Dalam operasionalnya, BMI mengacu pada prinsip
akuntansi yang khusus diberlakukan untuk
sistem pembelian berdasarkan pesanan langsung atas aset atau dengan
istilah lain pembiayaan murabahah dan atau murabahah
to the purchase orderer yang mencakup biaya-biaya, pendapatan dan laba
ataupun rugi atas terjadinya transaksi murabahah.
4.2.1.
Pengukuran Akuntansi Biaya
Awal Operasi Pembiayaan Murabahah pada BMI
Untuk
menetapkan biaya awal dan metode
pengukuran biaya awal operasi pembiayaan murabahah tidak dapat terlepas dari
metode pengakuan dan pengukuran aset
yang diperoleh dengan tujuan untuk dijual kembali dalam bentuk murabahah yang
selanjutnya digunakan sebagai dasar penentuan harga dan pengukuran laba operasi
pembiayaan murabahah.
Sesuai
dengan ketentuan standar akuntansi khusus untuk perbankan syariah yang mulai
digunakan sebagai acuan pada awal tahun 2000, BMI mengukur dan mencatat aset murabahah berdasarkan atas biaya
historis. Oleh karena itu, aset yang dimiliki oleh BMI untuk tujuan menjual
kembali yang berdasarkan murabahah dan murabahah
purchase to orderer (murabahah kepada pemesan pembelian) harus diakui pada
saat perolehan atau akuisisi sebesar harga perolehan atau pembeliannya. Jadi,
biaya awal operasi pembiayaan murabahah ditentukan dengan dasar biaya historis
(historical cost).
Berdasarkan
perlakuan akuntansi untuk biaya awal operasi pembiayaan murabahah pada BMI di
atas, maka BMI telah menerapkan ketentuan dalam Financial Accounting Standard for Islamic Bank and Financial
Institutions (FAO-IBFI, 1998, 32)
dan kesepakatan dari para ahli dan ulama syariah ( Shahata, 1990, 95) yang setuju bahwa biaya
historis (historical cost) merupakan dasar yang paling tepat untuk menentukan
biaya awal aset pembiayaan murabahah.
Di
samping itu, BMI juga memperhatikan faktor-faktor lain yang perlu untuk dicatat
sehubungan dengan biaya awal operasi pembiayaan murabahah. Faktor-faktor lain
tersebut mencakup pemberian potongan harga (diskon) pembelian dari penjual atau
supplier dan terjadinya perubahan nilai aset murabahah akibat penurunan nilai
aset tersebut yang disebabkan kerusakan, kehancuran atau karena kondisi yang
tidak menguntungkan yang selanjutnya akan mempengaruhi penentuan dan pengukuran
biaya awal (harga aset) pembiayaan murabahah.
Kebijakan
perlakuan akuntansi BMI sehubungan dengan pemberian potongan harga (diskon)
dari penjual adalah sebagai berikut, pada saat bank melakukan pembelian dan
mendapatkan potongan harga pembelian (diskon) dari penjual, maka nilai diskon
tersebut tidak boleh dimasukkan sebagai bagian pendapatan bank, karena diskon
tersebut mengurangi total nilai harga aset atau harga perolehan aset tersebut.
Sehingga tidak perlu dimasukkan sebagai pendapatan bank. Akan tetapi bisa saja
diskon itu dimasukkan sebagai pendapatan bank asalkan ada pendapat yang shahih
dari Dewan Pengawas Syariah bank dan pendapatan tersebut harus diungkapkan
dalam laporan rugi laba.
Dalam
draft standar akuntansi perbankan syariah khususnya yang mengatur tentang
pembiayaan murabahah tidak disebutkan mengenai perlakuan diskon (muqashah) atas perolehan aset murabahah
yang mencakup waktu atau saat perolehan
diskon seperti yang dijelaskan oleh FAO-IBFI (AAO-IFI, 1998, 133). Apabila bank
mendapatkan diskon sehubungan dengan perolehan produk (aset) murabahah sebelum
mencakup waktu kontrak maka harus dikurangkan dari biaya awal murabahah. Jika
sebaliknya maka tidak dikenakan pengurangan tetapi pelonggaran sesuai dengan
keputusan Dewan Pengawas Syariah (Para 5-6).
Selanjutnya, BMI
menetapkan kebijakan perlakuan akuntansi untuk perubahan atas nilai aset
murabahah, dalam hal akad murabahah berdasarkan pesanan yang mengikat nasabah
untuk membeli dan terjadi penurunan nilai aset di bawah biaya yang disebabkan
karena kerusakan, kehancuran atau karena kondisi yang tidak menguntungkan, maka
penurunan tersebut harus tercermin di dalam penilaian aset pada akhir periode
fiskal masing-masing atau dengan kata lain diakui sebagai beban dan mengurangi
nilai aset pada setiap akhir periode pembukuan.
Sedangkan
untuk akad murabahah berdasarkan pesanan yang tidak mengikat atau jika nasabah
tidak diwajibkan untuk membelinya, dan terjadi penurunan nilai aset maka harus ada probabilitas indikasi bahwa
tidak bisa ditutupinya harga pokok barang ketika siap untuk dijual dan aset
tadi harus diukur pada nilai setara kas yaitu net realizable value. Oleh karena itu harus di buat suatu ketentuan
tentang penurunan nilai assets yang mencerminkan adanya perbedaan antara harga
pembelian (acquisition cost) dan
nilai setara kas (cash equivalent value)
atau dilakukan pembentukan cadangan sebesar selisih antara harga perolehan (acquisition cost) dan nilai setara kas (cash equivalent value).
Kebijakan
akuntansi operasional pembiayaan murabahah
yang diterapkan oleh BMI di atas hanya mengatur tentang penurunan nilai
aset murabahah berdasarkan pesanan yang mengikat ataupun tidak mengikat nasabah
untuk membelinya. Sedangkan perubahan harga dan perubahan atas nilai tukar yang
merupakan faktor-faktor lain yang mempengaruhi penentuan biaya awal operasi
pembiayaan murabahah seperti telah dijelaskan pada landasan teori sebelumnya
tidak diatur secara khusus dalam standar akuntansi perbankan syariah khususnya
tentang pembiayaan murabahah yang telah
dipakai sebagai acuan. Sehingga jika ada kasus perubahan harga dan perubahan
atas nilai tukar sehubungan dengan transaksi murabahah, BMI harus
memperlakukannya secara adil dan mengacu pada praktek bank-bank Islam lain yang
paling sesuai dan telah direkomendasikan oleh sebagian besar para ahli syariah.
Disini, bank Islam harus mengabaikan perubahan harga dan produk murabahah harus
dievaluasi dengan harga sebelumnya yang sama.
4.2.2.
Pengukuran Akuntansi
Biaya-Biaya Lain yang Terkait dengan Biaya Awal Operasi Pembiayaan Murabahah
pada BMI
Dalam
operasi pembiayaan murabahah, BMI juga akan membayar biaya-biaya lain yang
terkait dengan biaya awal atau harga perolehan aset murabahah. Biaya-biaya lain
yang dibebankan oleh BMI ke biaya awal tersebut harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut :
1.
Biaya-biaya langsung apapun yang dikeluarkan oleh BMI
sehubungan dengan perolehan aset murabahah yang dapat meningkatkan nilai aset
murabahah, meliputi : biaya transportasi, biaya pengiriman, biaya komisi dan
provisi, biaya administrasi dan sebagainya.
2.
Biaya-biaya tidak langsung yang harus dibayar oleh BMI dan dapat meningkatkan
nilai aset murabahah, misalnya : biaya notaris. Biaya ini berkaitan dengan
pekerjaan yang dilakukan oleh pihak lain yang ditunjuk bank dan karenanya bank harus membayar biaya ke pihak lain
tersebut.
3.
Semua biaya awal yang berkaitan dengan kerja atau jasa amal
tidak boleh dibebankan ke dalam biaya awal barang murabahah.
4.
Semua biaya tidak langsung yang tidak meningkatkan nilai
produk tidak diperbolehkan untuk dibebankan ke dalam biaya awal.
5.
Tidak diperbolehkan untuk membebankan biaya barang murabahah
dengan biaya kerja apapun yang berkaitan dengan bank seperti gaji depresiasi, upah, alat tulis,
dll. Semua biaya ini harus dikurangkan dari bagian laba BMI.
Sebagaimana
halnya dengan biaya awal, biaya-biaya lain yang terkait dengan biaya awal atau
harga perolehan atas aset murabahah dalam BMI ini juga diukur dan dicatat
berdasarkan atas biaya historis (historical cost).
Berdasarkan landasan teori pada bab II
sebelumnya yang membahas tentang hasil kesepakatan para ahli syariah mengenai
batasan-batasan biaya-biaya lain terkait yang dapat dibebankan ke dalam biaya
awal operasi pembiayaan murabahah dan maka biaya-biaya terkait lainnya yang
dibebankan ke dalam biaya awal oleh BMI diatas telah memenuhi persetujuan para
ahli.
4.3.Dasar dan Metode Pengukuran Akuntansi Pendapatan dan Laba
Operasi Pembiayaan Murabahah pada BMI
Laba
operasi murabahah atau murabahah berdasarkan pesanan merupakan salah satu
sumber pendapatan operasional BMI berdasarkan prinsip jual beli dengan sistem mark up. Jadi, sebelum membahas
perlakuan akuntansi sehubungan dengan laba operasi murabahah di BMI, akan
dijelaskan terlebih dahulu mengenai kebijakan akuntansi BMI khusus untuk
pendapatan.
4.3.1. Dasar dan Metode
Pengukuran Akuntansi Pendapatan pada BMI
Dalam
catatan atas atas laporan keuangan BMI dijelaskan bahwa dalam hal pengakuan
pendapatan, BMI menggunakan metode cash
basis sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah. Hal ini berarti BMI telah menerapkan metode
pengakuan pendapatan sesuai pernyataan badan FAO-IBFI (AAO-IFI, 1998, 53) dan
standar akuntansi khusus untuk perbankan syariah di Indonesia yang baru bahwa
pendapatan diakui dan dicatat pada saat kas diterima secara tunai.
Ketentuan
di Indonesia dalam hal ini Standar Akuntansi Keuangan yang ada mewajibkan bank
untuk menggunakan dasar akrual dalam mengakui pendapatan kecuali BMI yang diberikan perkecualian jika tidak
didukung oleh Dewan Pengawas Syariah Bank tersebut karena operasionalnya harus
berdasarkan prinsip-prinsip dan ketentuan syariah. Jika dasar akrual yang
digunakan, pendapatan akan dicatat pada saat perusahaan mempunyai hak untuk
mengklaim sejumlah tertentu pada pihak lain, misalnya saat perusahaan tersebut
telah memberikan jasa atau menyerahkan barang. Jadi kriterianya adalah :
1.
Timbulnya hak untuk menagih.
2.
Nilai telah dapat ditentukan.
3.
Kegiatan/transaksi telah dilakukan atau faktur telah dapat
dibuat.
4.
Beban yang berkaitan dengan pendapatan yang bersangkutan
telah dapat dikreditkan pada pendapatan tersebut atau tidak ada kemungkinan
timbulnya beban baru yang berkaitan dengan pendapatan tersebut.
Jika dasar tunai yang
digunakan, pendapatan diakui pada saat penerimaan kas secara tunai.
Bagi
BMI yang beroperasi dengan sistem mark up
termasuk pendapatan yang berasal dari laba operasi pembiayaan murabahah,
penggunaan dasar akrual dalam mengakui
pendapatan tidak mungkin dilakukan karena pada sistem mark up, pembayaran kredit dan keuntungan (mark up) yang telah disepakati dilakukan setelah jatuh tempo yang
telah ditetapkan. Dua alasan yang cukup mendukung penggunaan metode cash basis adalah :
1.
Nilai dari pendapatan atau aktiva yang akan diterima tidak
dapat ditentukan dengan tepat.
2.
Kemungkinan timbulnya biaya/beban baru bagi bank.
Pendapatan
yang diterima BMI terdiri atas : pendapatan operasional yang mencakup
pendapatan margin (mark up) termasuk
pendapatan atas laba operasi pembiayaan murabahah dan pendapatan bagi hasil
serta penggantian administrasi pembiayaan, pendapatan operasional lain, meliputi
: komisi bank garansi, provisi/komisi L/C, jasa administrasi, laba selisih kurs
dan lain-lain serta pendapatan non operasional yang meliputi : pengurusan ONH,
penjualan aplikasisoftware G/L dan pendapatan non operasional lain.
Pendapatan
adalah kenaikan kotor dalam aset atau penurunan dalam liabilitas atau gabungan
dari keduanya selama periode yang dipilih oleh pernyataan pendapatan yang
berakibat dari investasi yang halal, perdagangan, memberikan jasa atau
aktifitas lain yang bertujuan keuntungan dari bank seperti manajemen investasi
rekening investasi terbatas. Disini BMI
mengakui pendapatan ketika diperoleh dengan syarat sebagai berikut :
1.
Bank sudah memiliki hak untuk menerima pendapatan tersebut
atau proses perolehan dan pemindahan hak sudah selesai dilakukan dengan
nasabah.
2.
Kewajiban membayar atau memenuhi pendapatan tersebut sudah
jelas siapa pihak yang bertanggung jawab yang bisa dituntut atau dimintakan
untuk memenuhi kewajibannnya kepada bank.
Kewajiban pendapatan yang belum ditagih dan tagihan tersebut mempunyai
kepastian yang cukup baik ditinjau dari sudut realisasinya.
Dari
segi hukum Islam (syariah), penggunaan metode cash basis merupakan cara yang paling manusiawi dan sesuai dengan
syariah. Dalam Islam, orang yang berhutang dan dalam kesulitan, hendaknya
diberi kemudahan dan jika ia benar-benar tidak sanggup membayar maka lebih baik
jika orang yang memberi piutang itu menyedekahkannya sehingga ia bebas dari
hutang tersebut (Q.S. Al Baqarah : 280).
Penggunaan
metode akrual, secara hukum akan tetap memberikan hak kepada bank untuk menagih
sejumlah pendapatan yang diakui, dalam kondisi apapun. Hal ini tidak sejalan
dengan prinsip kebersamaan dalam menanggung resiko. Selain itu dengan
menggunakan metode akrual berarti piutang dan keuntungan diakui sebelum laba
terealisasi. Hal ini berarti pula bank mengambil manfaat (keuntungan) yang
ditetapkan di muka (berdasarkan perjanjian). Jika hal itu terjadi, maka usaha
bank tersebut digolongkan sebagai riba sesuai dengan hadits nabi “tiap-tiap
piutang yang mengambil manfaat, maka ia semacam dari beberapa macam riba” (H.R. Baihaqi). Dari sisi syariah, hal-hal
lain yang mendukung pendapat teoritis di atas adalah :
1.
Kemungkinan terjadinya musibah sehingga bank tidak dapat
menagihkan pendapatannnya.
2.
Keuntungan tidak boleh ditetapkan di muka dalam bentuk
nominal tertentu, sehingga nilai aktiva tidak dapat diperkirakan dengan tepat.
4.3.2.
Dasar dan Metode
Pengukuran Akuntansi Laba Operasi Pembiayaan Murabahah pada BMI
Sesuai
dengan ketentuan akuntansi khusus untuk perbankan syariah yang mulai dipakai
sebagai acuan mulai awal tahun 2000, BMI mengakui laba operasi atau keuntungan
murabahah pada saat pembayaran diterima baik penjualan dilakukan secara tunai
maupun secara cicilan atau pada saat
akad ditandatangani dan meskipun bentuk penjualannya tunai atau secara angsur
asalkan tidak melewati periode fiskal. Sedangkan untuk laba yang berasal dari penjualan bertempo/ angsur
dapat dilakukan dengan cara satu kali pembayaran jatuh tempo dihitung setelah
periode fiskal sekarang, atau dengan cara angsur yaitu selama beberapa periode
fiskal yang akan datang harus diakui dengan menggunakan salah satu dari dua
metode berikut ini:
1.
Alokasi yang proporsional laba atau keuntungan selama periode
kredit dimana masing-masing periode fiskal harus menanggung bagian
keuntungannya tidak peduli apakah yang diterima tunai atau tidak. Ini adalah
metode yang lebih disukai.
2.
Ketika dan pada saat cicilan diterima. Metode ini harus
digunakan berdasarkan suatu keputusan Dewan Pengawas Syariah bank Islam atau
jika diminta oleh pihak berwenang didalam pengawasan.
Pada dua point diatas,
pendapatan dan harga pokok penjualan harus diakui pada waktu menutup akad
penjualan sesuai dengan penangguhan keuangan pada point yang kedua.
Mengenai
waktu pengakuan laba yang seharusnya diterapkan dalam bank-bank Islam termasuk
BMI, badan dari FAO-IBFI memberikan
preferensi terhadap beberapa alternatif dalam pengakuan laba yang ada (pada
saat penjualan, saat menerima kas, alokasi laba pada periode finansial
transaksi dan saat pemulihan biaya total) asalkan penggunaan metode tersebut
didukung dan diperkuat oleh Badan Pengawas Syariah dari bank Islam dan
diungkapkan dalam laporan keuangan tahunan
bank. Sedangkan hasil dari studi fikih merekomendasikan alternatif
pengakuan laba yang pertama yaitu laba diakui pada saat penjualan dengan alasan
bahwa pembiayaan murabahah berakhir ketika barang dikirimkan karena ada
pemisahan antara operasi pembiayaan murabahah dan operasi penagihan piutang
murabahah sebagai tugas manajemen.
Laba operasi pembiayaan murabahah dalam BMI
diketahui oleh pembeli atau pemesan pembelian. Mengenai metode yang digunakan
oleh BMI sebagai dasar pengukuran labanya, BMI menggunakan dasar biaya akhir
operasi (biaya awal ditambah dengan biaya-biaya lain yang terkait dengan biaya
awal) dari pembiayaan murabahah. Contoh
dalam kasus, jika diketahui :
·
Biaya awal (harga perolehan) aset murabahah Rp 20.000.
·
Rasio laba ditetapkan sebesar 8%.
·
Biaya-biaya lain yang terkait dan dibebankan ke dalam biaya
awal meliputi : biaya transportasi Rp 750, biaya ganti rugi transportasi Rp
150, biaya pabean Rp 250 dan biaya langsung lain yang diabayar oleh bank Rp
250.
Maka BMI akan mengukur
laba dan harga operasi pembiayaan murabahah sebagai berikut :
·
Laba operasi adalah Rp
1712 ([20.000+750+150+250+250]X8%)
·
Harga operasi adalah Rp 23.112
([20.000+750+150+250+250]+1712)
Dari
sini, BMI telah menerapkan metode pengukuran laba dan penentuan harga operasi
pembiayaan murabahah sesuai dengan kesepakatan para ahli dan sebagian besar madhab seperti yang
telah dijelaskan pada landasan teori sebelumnya. Di samping itu, BMI juga perlu
untuk mengungkapkan dasar metode
pengukuran laba dan harga tersebut dalam laporan keuangannya.
BMI
menetapkan rasio laba operasi dari pembiayaan murabahah berdasarkan kenyataan
pasar dan pengendalian internal yang menjadi bagian dari bank itu sendiri.
Dalam catatan atas laporan keuangan BMI, disebutkan bahwa margin keuntungan
22-24% per tahun dari pokok pembiayaan baik itu diperoleh melalui prinsip bagi
hasil maupun jual beli (Prospektus BMI, 1998). Hal ini menggambarkan bahwa BMI
mengambil laba secara wajar, tidak terlalu besar dan tidak melebihi 1/3 dari
harga operasi pembiayaan murabahah. Disamping itu, penetapan rasio laba dalam BMI juga mempertimbangkan faktor kondisi
ekonomi nasabah sehingga sangat negotiable
dan tidak memberatkan nasabah. Dari
sini dapat disimpulkan bahwa penerapan penetapan rasio laba pada BMI berbeda
dengan institusi konvensional dimana dalam kasus penjualan kredit, rasio laba
akan ditetapkan lebih tinggi dari rasio penjualan kas karena memiliki resiko
yang lebih tinggi. Menurut sebagian besar para ahli, kenaikan atau penambahan
tersebut dilihat sebagi riba. Dan
penentuan rasio laba pada bank-bank Islam termasuk BMI harus terhindar dari
segala macam praktek riba.
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’anul Karim
Abdel Majeed M, 1994. Accounting Policy for Investment
Revenue Distribution between Investment Deposits in Al Baraka Islamic Bank : Al Bahrain. A paper submitted for the 17th
meeting of Directors of Investment Operation in Islamic Bank, November.
Al Khadas H, 1999. Accounting Measurement for
Murabahah Operations in Islamic Banks. Presented at the International Conference III Accounting Commerce
and Finance : The Islamic Perspective, February, Indonesia, Jakarta.
Al Nagi M, 1985. Accounting Policies in Islamic Bank.
The Scientific Journal for the Trade of Izhar, No.2, p.200-232.
Bank Indonesia, 1999. Kebijakan Pengembangan Perbankan
Syariah di Indonesia : Sosialisasi Perbankan Syariah, Tazkia Institute
for Shariah Finance and Management, 6 Mei.
Bank Muamalat Indonesia, 1998. Prospektus BMI
Bank
Muamalat Indonesia, 1996-1998. Annual Report BMI
Belkaoui, Ahmed Riahi, 1992. Accounting Theory.
Academic Press Limited, London.
FAO-IBFIA, 1998. Accounting and Auditing Standards for
Islamic Bank and Financial Institutions, Al Bahrain.
Hendriksen, Eldon S and Michael F. Van Breda, 1992. Accounting
Theory. Richard D. Irwin Inc, Boston.
IAI, 1996. Standar Akuntansi Keuangan, Salemba
Empat, Jakarta.
IAI, 1999. Draft PSAK Perbankan Syariah,
Jakarta.
Parwataatmadja, Karnaen A, 1990. Bank yang Beroperasi Sesuai
dengan Prinsip-Prinsip Syariah Islam. Makalah Disajikan pada Lokakarya
Bunga Bank dan Perbankan, MUI Pusat, Bandung, 9 s.d. 22 Agustus.
Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Bank Syariah,
1992. Prinsip-prinsip Syariah dalam Operasional Bank, BMI, Jakarta.
Indrajaja Lubis, 1999. Sistem Akuntansi Bank Islam,
Tazkia Institute, Jakarta.
Moh Nazir, 1988. Metodologi Penelitian, Ghalia
Indonesia, Jakarta.
Singarimbun, Masri dan Sofian Affendi, 1989. Metode
Penelitian Survei, LP3ES, Jakarta.
Sjahdeni, Sutan Remi, 1999. Perbankan Islam dan Kedudukannya
dalam Tata Hukum di Indonesia, Grafitti, Jakarta.
Smith Jr, Jay M. and K. Fred Skousen, 1992. Intermediate
Accounting, South Western Publishing Co, Cincinati, Ohio.
UU
RI No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,
Jakarta
Zainul Arifin, 1999. Produk Bank Islam dan Manajemen
Keuangan Syariah. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Strategi
Manajemen Keuangan Syariah, Batu - Malang, 14 Agustus.
PPS-UB MALANG 1999
PPS-UB MALANG 1999
2 komentar:
sangat membantu sekali bagi para mhasiswa pak..tks
mudah-mudahan, itulah yg qta harapkan !
Post a Comment