ANALISIS KINERJA BIROKRASI PEMERINTAH
ABSTRAK
Penelitian ini bertjuan untuk
mengetahui kinerja birokrasi, khususnya yang berkaitan dengan tingkat efesiensi
organisasi, kerja, kerjasama tim, dan hubungan antara pimpinan dengan bawahan,
serta faktor pendukung dan penghambat kinerja birokrasi pada Dinas Pendidikan
Kabupaten Bone.
Populasi
penelitian ini adalah keseluruhan pegawai dinas pendidikan kabupaten bone
sebanyak 109 orang, selanjutnya dilakukan penarikan sampel sebanyak 49 orang
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja birokrasi berada taraf baik. Hal ini terutama terlihat pada semua variabel penelitian, yakni, efesiensi, kerjasama tim, dan hubungan antara pimpinan dengan bawahan. Faktor pendukung kinerja birokrasi antara lain; tingkat kerjasama yang solid, hubungan vertical dan horizontal yang harmonis, serta dukungan dari pemerintah dan masyarakat yang cukup memadai. Faktor penghambat antara lain, alokasi anggaran untuk pengembangan pegawai relatif rendah, kurangnya inisiatif dari dinas untuk menyusun program pengembangan pegawai, pola pengembangan pegawai saat ini masih sangat sentralistik, inisiatif pegawai untuk mengembangkan diri masih rendah; dan jangkauan wilayah kerja dinas yang luas dibandingkan dengan jumlah pegawai yang dimiliki, sehingga mempersulit pengontrolan.
Implikasi yang dapat direkomendasikan dalam penelitian ini seperti berikut; (1) perlu rasionalisasi pegawai dan penataan struktur organisasi dalam Dinas Pendidikan Kabupaten Bone, (2) Pengelolaan organisasi birokrasi yang hanya menekankan pada pendekatan prosedur harus disempurnakan melalui perubahan visi, misi, pendekatan, strategi dan kegiatan operasional agar dapat tercipta, kerjasama tim yang prima, hubungan kerja berdasarkan pendekatan partisipasi dan kelompok kerja (teamwork) guna dapat mencapai misi organisasi yang efisiensi, efektif dan berkeadilan kearah yang lebih baik.
ABSTRACT
This aim of this research was to know the performance of the bureaucracy, particularly that related to the organization efficiency level, team work, and superior-staff working relations and also bureaucracy performance resistor and supplementary factor at in the case of the on Duty Education in Bone Regency.
This research population is overall of officer on duty education of Bone Regency bay 109 people, hereinafter done withdrawal of sample by 49 people
The result of the research showed that the performance of the bureaucracy good level. Particularly, the variables of efficiency, team work, superior-staff working relations good levels. Inter alia bureaucracy performance supplementary factor; level of cooperation which solid, the relation of vertical and horizontal harmonious, and also support from enough public and government adequate. inter alia resistor factor, Budget allocation for development of low relative officer, lack of initiative from on duty to compile development program of officer, pattern of development of officer in this time still hardly centralistic, officer initiative for self evolving still be low; and job region reach on duty which area compared with amount of the owned officers, causing complicate controller
The policy implications which were recommended in this research were (1) to rationalize employees and to restructure of the organization of the education office; and (2) to improve the management of the bureaucracy of organization, which so far objectives, goals, and strategic in order to have a government bureaucracy with high level of performance in its public service.
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan paradigma studi
ilmu administrasi negara sangat cepat dan mengikuti perubahan lingkungan yang
mempengaruhinya. Seperti studi yang sistematis yang dilakukan oleh Nicholas
Henry (1995) yang mengelompokkan paradigma administrasi negara atas; (a)
dikhotami politik administrasi, (b) paradigma prinsip-prinsip administrasi
negara, (c) paradigma administrasi negara sebagai ilmu politik, (d) paradigma administrasi
negara sebagai ilmu administrasi, dan
(e) paradigma administrasi negara sebagai ilmu administrasi negara
sampai pada tahun 1970. Setelah tahun 1970, paradigma administrasi negara
berkembang menjadi paradigma administrasi pembangunan (J.B Kritiadi:1997).
Dalam paradigma ini peran pemerintah dalam pembangunan negara-negara berkembang
sangatlah besar. Oleh karena itu menurut Abdullah (1984) peran administrasi
pembangunan dalam proses pembangunan adalah sebagai ”Agen of Change”. Hal ini berarti proses perencanaan, perumusan
kebijaksanaan, implementasi dan pengendalian pelaksanaan pembangunan semuanya
dilakukan oleh pemerintah.
Studi yang dilakukan oleh
David Osborne dan Gaebler (1992) menggugat tesis tersebut, bahwa pemerintah
tidaklah cukup mampu untuk melakukan sendiri kegiatan sektor publik; pemerintah tidak memiliki cukup biaya
untuk membiayai kegiatan sektor publik. Oleh karena itu keterlibatan unsur
swasta, masyarakat dan kelembagaan masyarakat lainya dalam menyelenggarakan
sektor publik merupakan pilihan tepat untuk menciptakan efisiensi, efektifitas,
pemberdayaan masyarakat itu sendiri. Dari sinilah peran pemerintah dalam
menyelenggarakan kegiatan sektor publik berubah, dimana tidak hanya pemerintah
yang terlibat dalam proses pembangunan, tetapi pihak swasta, kelembagaan
masyarakat dan LSM merupakan tiga pilar utama yang harus berperan aktif dalam
melakukan proses pembangunan.
Salah satu fungsi pemerintah
yang utama adalah menyelenggarakan pelayanan umum sebagai wujud dari tugas umum
pemerintahan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Birokrasi merupakan instrumen
pemerintah untuk mewujudkan pelayanan publik yang efisien, efektif,
berkeadilan, transparan dan akuntabel. Hal ini berarti bahwa untuk mampu
melaksanakan fungsi pemerintah dengan baik maka organisasi birokrasi harus
profesional, tanggap, aspiratif terhadap berbagai tuntutan masyarakat yang
dilayani. Seiring dengan hal tersebut pembinaan aparatur negara dilakukan
secara terus menerus, agar dapat menjadi alat yang efisien dan efektif, bersih
dan berwibawa, sehingga mampu menjalankan tugas-tugas umum pemerintah maupun
untuk menggerakkan pembangunan secara lancar dengan dilandasi semangat dan
sikap pengabdian terhadap masyarakat.
Seiring dengan hal tersebut
Abdullah (1984) mengatakan bahwa determinan penting untuk meningkatkan kinerja
birokrasi pemerintah adalah dibutuhkan ”Infra-Struktur Admnistrasi” yang
memiliki kesiapan dan ketangguhan pada semua tingkatan dan tahapan yang
meliputi : (a) organisasi pelaksana yang berintikan birokrasi yang mantap dan
tangguh; (b) sistem administrasi atau tata laksana yang efektif dan efisien;
dan (c) susunan aparatur atau personalia yang berkemampuan tinggi dari segi
profesional, orientasional yang disertai rasas dedikasi yang tinggi. Hal ini
berarti bahwa kinerja birokrasi pemerintah dalam merencanakan, mengimplementasikan
dan evaluasi serta pengendalian proses pembangunan dan pelayanan masyarakat
sangat ditentukan oleh faktor kelembagaan, ketatalaksanaan, sumber daya
manusia, aparatur dan dukungan sarana dan prasarana yang tersedia.
Sorotan tajam tentang kinerja
birokrasi dalam menyelenggarakan pelayanan publik menjadi wacana yang aktual
dalam studi administrasi negara akhir-akhir ini. Hal ini disebabkan oleh
rendahnya kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan dan pada sisi lain
munculnya konsep privatisasi, swastanisasi, kontak kerja yang pada intinya
ingin meminimalkan campur tangan pemerintah yang terlalu besar dalam pelayanan
publik (Savas, 1983, Osborne, 1992).
Studi yang dilakukan oleh
Savas (1983), LAN Jawa Barat (1999) menunjukkan bahwa kinerja birokrasi dalam
menyelenggarakan pelayanan publik lebih rendah ketimbang yang dilakukan oleh
pihak swasta atau kelembagaan masyarakat lainnya. Bahkan Savas mengatakan bahwa
tugas pemerintah adalah mengarahkan bukan mengayuh perahu. Memberikan pelayanan
adalah mengayuh dan pemerintah tidaklah pandai mengayuh.
Di kalangan masyarakat masih
terdapat keluhan berbagai pelayanan pemerintah (birokrasi) bahkan pameo
masyarakat mengatakan bahwa kalau bisa dipersulit mengapa harus dipermudah dan
bila ada pilihan lain untuk mendapat KTP selain dari Kantor Kelurahan dan
Kantor Kecamatan, maka saya akan memilih ke Supermaket karena disana pegawainya
ramah, suka senyum, menanyakan apa yang dapat dibantu. Sebaliknya kalau anggota
warga masyarakat ke kantor Kelurahan atau Kecamatan sangat paradoksal dengan
apa yang terjadi di Supermaket untuk mendapat pelayanan (Zanapiha, 1999).
Selama ini seperti yang diakui
oleh Moestopadidjaja (1997) bahwa pelayanan publik oleh birokrasi cenderung
dipersulit, prosedur berbelit-belit, rendahnya ketidakpastian waktu
pelayanan. Gejala ini oleh Bryant dan White (1987) sebagai suatu gejala
ketidak mampuan administratif, umumnya terjadi di Negara-negara sedang
berkembang.
Penilaian kinerja birokrat
pemerintah selama ini cenderung didasarkan pada faktor-faktor input seperti
jumlah pegawai, anggaran, peraturan perundangan dan termasuk pedoman dan
petunjuk teknis pelaksanaan; dan bukan pada faktor-faktor output atau
outcomes-nya, misalnya tingkat efisiensi biaya, kualitas layanan, jangkauan dan
manfaat pelayanan yang dirasakan oleh masyarakat. Oleh karena itu dalam praktek
penyelenggaraan pelayanan publik masih terdapat berbagai masalah antara lain
perbedaan antara kinerja yang diharapkan (intended perfomance) dengan praktek
sehari-hari (actual perfomance), perbedaan antara tuntutan kebutuhan masyarakat
dengan kemampuan pelayanan aparatur pemerintah, perbedaan antara keterbatasan
sumber daya anggaran pemerintah dengan kebocoran pada tingkat pelaksanaanya
(LAN Jawa Barat, (1999). Studi lainnya dilakukan oleh Hardjo Soekarto (1999)
menunjukkan bahwa pelayanan publik selama ini masih menunjukkan mental model
birokrat sebagai yang di layani oleh masyarakat, bukan justru sebaliknya aparat yang harus melayani
masyarakat. Hal ini terjadi karena pendekatan kekuasaan birokrasi lebih dominan
ketimbang keberadaan aparatur sebagai pelayan masyarakat. Kekuasaan birokrat
sangat kuat sekali dan bahkan tak ada organisasi sosial kemasyarakatan yang
mampu mengontrolnya sehingga praktek penyelenggaraan pelayanan publik selama
ini yang menjadi beban masyarakat dan birokrat cenderunng melakukan praktek
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Mohammad, 1999).
Sementara itu peran aparatur
negara (birokrasi) sejak beberapa dekade yang lalu lebih disiarkan sebagai
penyandang dua peran yaitu sebagai Abdi Negara dan sebagai Abdi masyarakat dan
peran sebagai abdi negara menjadi sangat dominan ketimbang peran sebagai abdi
masyarakat. Siklus pelayanan lebih berakses ke kekuasaan birokrasi ketimbang
melayani masyarakat. Akibatnya aparatur cenderung melayani dirinya sendiri dan
meminta layanan dari masyarakat (Thoha, 1993, Idrus, 1995). Berkaitan dengan
hal ini Kaufman (1976) mengatakan bahwa tugas aparatur sebagai pelayan harus
lebih diutamakan terutama yang berkaitan dengan mendahulukan kepentingan umum,
mempermudah urusan masyarakat, mempersingkat waktu proses pelaksanaan urusan
publik dan memberikan kepuasan publik.
Berdasarkan studi yang
dilakukan LAN Sulsel (1997) menunjukkan bahwa pelayanan aparat birokrat
terhadap masyarakat/ dunia usaha masih menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high
cost economy). Hal ini dapat dilihat dari terdapatnya 4.396 jenis pungutan yang
dilakukan aparatur mulai dari tingkat pusat sampai tingkat daerah. Dari jumlah
pungutan tersebut, sekitar 27% dari total biaya produksi dialokasikan untuk
memperoleh pelayanan aparatur. Hal ini menunjukkan birokrat menjadi penghambat
bagi tumbuhnya daya asing masyarakat itu sendiri.
Tjokroamidjojo (1988)
mengidentifikasi ada empat faktor besar yang menghambat efisiensi administrasi negara (birokrasi),
yaitu : (1) kecenderungan membengkaknya birokrasi baik dalam arti struktur
maupun luasnya campur tangan terhadap kehidupan masyarakat, (2) lemahnya
kemampuan manajemen pembangunan baik dalam perencanaan, pelaksanaan,
koordinasi, dan pengawasan, dan (3) rendahnya produktivitas pegawai negeri.
Sementara Siagian (1987), mengidentifikasikan ada tiga jenis kelemahan yang
melekat pada pegawai negeri (birokrat) kita, adalah (1) kemampuan manajerial,
yaitu kurangnya kemampuan memimpin, menggerakkan bawahan, melakukan koordinasi
dan mengambila keputusan, (2) kemampuan teknis, yaitu kurangnya kemampuan untuk
secara terampil melakukan tugas-tugas, baik yang bersifat rutin, maupun yang
bersifat pembangunan, dan (3) kemampuan teknologis, yaitu kurangnya kemampuan
untuk memanfaatkan hasil-hasil penemuan teknologi dalam pelaksanaan tugas.
Penelitian LAN Perwakilan
Sulawesi Selatan (2000) tentang tingkat kemampuan tenaga perencana Pembangunan
di Kawasan Timur Indonesia menunjukkan bahwa kemampuan tenaga perencana pembangunan
masih rendah. Hal ini disebabkan karena kurangnya iklim organisasi yang
mendukung berkembangnya kemampuan pegawai, tak ada kebijakan tentang jabatan
fungsional perencana dan rendahnya penghargaan pemerintah terhadap jabatan
tersebut sehingga motivasi tenaga perencana untuk mengembangkan diri masih
rendah. Studi lain adalah yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada di
Kalimantan Timur menunjukkan bahwa profesionalisme pegawai rendah, baik dilihat
dari tingkat pendidika, pengalaman, produktivitas kerja, ataupun disiplin kerja
terbukti rendah (PPK-UGM, 1991/1992:2). Penelitian yang sama oleh FISIPOL-UGM
pada kantor Bappeda di Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Lombok
menemukan bahwa penampilan Bappeda sangat dipengaruhi oleh para aparatnya dalam
menjalankan fungsi-fungsi perencanaan, koordinasi, monitoring dan evaluasi;
juga oleh tingkat profesionalisme pegawai, organisasi dan mutu kepemimpinan
dalam lembaganya (FISIPOL-UGM, 1991:4).
Studi empiris lain yang
berkaitan dengan kinerja organisasi pemerintah dilihat dari pendekatan proses
misalnya penelitian yang dilakukan oleh Baddu (1994), suatu analisis tentang
prestasi kerja dan hubungannya dengan kepuasaan dan semangat kerja pada Kantor
Setwilda Tk. I Sul-Sel, penelitian yang dilakukan oleh Thahir, M.M. (1997),
suatu analisis tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja
pegawai pada kantor Kopertis Wilayah IX Ujung Pandang.
Beberapa penelitian empiris di
atas baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun yang dilakukan oleh kalangan
akademik menunjukkan bahwa penelitian tentang kinerja birokrasi pemerintah
dilihat dari sudut pendekatan proses masih bersifat parsial, yaitu hanya
berkaitan dengan analisis pada tingkat individu pegawai, tetapi belum melihat
secara komprehensif dari sudut kinerja birokrasi pemerintah secara keseluruhan.
Semua ini menunjukkan bahwa
kerja birokrasi dalam menyelenggarakan pelayanan publik masih memerlukan kajian
yang mendalam dan sungguh-sungguh sehingga peran birokrasi sebagai instrumen
masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dapat diwujudkan.
Kasus pelayanan pendidikan
yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten khususnya di Kabupaten Bone menarik
dikaji terutama yang berkaitan dengan perumusan kebijakan, implementasi,
pengendalian dan evaluasi melibatkan birokrat daerah (lokal). Disamping itu
pula pelayanan pendidikan ini menyentuh kebutuhan seluruh masyarakat.
Penelitian ini diarahkan untuk
mengevaluasi dan menjelaskan fenomena kinerja birokrasi pemerintah kasus pada
Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dengan menggunakan pendekatan proses (internal process approach), terutama
memahami dan menjelaskan fenomena dalam hal efisiensi pelayanan, kerja,
kerjasama tim, dan hubungan pimpinan dengan bawahan. Variabel kinerja ini
penting diteliti karena didasarkan atas alasan bahwa kinerja output yang
diberikan kepada lingkungan akan sangat tergantung pada tinggi rendahnya
kinerja proses. Hal ini berarti organisasi birokrasi pemerintah tak dapat
meningkat kebertanggungjawabannya (accountability), kepercayaan, menciptakan
keadilan, efektivitas eksternal dan kepuasan masyarakat sebagai indikator
kinerja eksternalnya tanpa memiliki kinerja internal yang baik.
B.
Rumusan Masalah
- Bagaimana
kinerja birokrasi pemerintah khususnya berkaitan dengan efesiensi
organisasi, kerjasama tim, dan hubungan pimpinan dengan bawahan pada Dinas
Pendidikan di Kabupaten Bone ?
- Faktor
apa yang mendukung dan menghambat kinerja birokrasi pemerintah khususnya
berkaitan dengan efesiensi pelayanan, kerjasama tim, dan hubungan pimpinan
dengan bawahan pada Dinas
Pendidikan Kabupaten Bone ?
C.
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui kinerja birokrasi
pemerintahan khususnya berkaitan dengan efesiensi organisasi, kerjasama tim,
dan hubungan pimpinan dengan bawahan pada Dinas Pendidikan di Kabupaten Bone
2. Untuk mengetahuai faktor yang mendukung
dan menghambat kinerja birokrasi pemerintah khususnya berkaitan dengan
efesiensi pelayanan, kerjasama tim, dan hubungan pimpinan dengan bawahan kasus
pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone
D.
Manfaat Penelitian
- Secara
akademik; sebagai bahan informasi bagi peneliti lain yang mengkaji kinerja
birokrasi pemerintah pada masa yang akan datang .
- Secara
metodologi; penelitian ini memperkaya indikator pengukuran tentang kinerja
birokrasi pemerintah khususnya dilihat dalam sudut pandang pendekatan
proses.
- Secara
praktis; penelitian ini dapat menjadi bahan untuk evaluasi kinerja
instansi Pemerintah khususnya Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dalam
menyempurnakan dan meningkatkan kualitas pelayanan publik pada masa
datang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A.
Administrasi Pembangunan dan Reformasi
Administrasi
Seperti yang diakui oleh
Kristiadi (1994) bahwa administrasi pembangunan sebenarnya merupakan salah satu
paradigma admnistrasi negara yaitu paradigma yang berkembang setelah ilmu
administrasi negara sebagai ilmu administrasi pada sekitar tahun 1970. Mengacu
dari kerangka perkembangan administrasi pembangunan seperti tersebut di atas,
Kristiadi memberi pengertian tentang Administrasi Pembangunan adalah ”Administrasi
Negara yang mampu mendorong kearah proses perubahan dan pembaharuan serta
penyesuaian”. Oleh karena itu administrasi pembangunan juga merupakan pendukung
perencanaan dan implementasinya.
Masalah yang serius dihadapi
oleh negara-negara berkembang adalah lemahnya kemampuan birokrasi dalam
menyelenggarakan pembangunan. Dari latar belakang ini, maka administrasi
pembangunan yang berkembang di negara-negara sedang berkembang memiliki
perbedaan ruang lingkup dan karakteristik dengan negara-negara yang telah maju.
Dasar inilah Bintoro Tjokroamidjojo (1995) mengemukakan bahwa administrasi
pembangunan mempunyai tiga fungsi:
Pertama, penyusunan
kebijaksanaan penyempurnaan administrasi negara yang meliputi: upaya
penyempurnaan organisasi, pembinaan lembaga yang diperlukan, kepegawaian dan
pengurusan sarana-sarana administrasi lainnya. Ini
disebut the development of administration
(pembangunan administrasi), yang kemudian lebih dikenal dengan istilah “Administrative Reform” (reformasi admnistrasi).
Kedua, perumusan kebijaksanaan-kebijaksanaan
dan program-programa pembangunan di berbagai bidang serta pelaksanaannya secara
efektif. Ini disebut the administration
of development (Administrasi untuk pembangunan). Administrasi untuk
pembangunan (the development of administration) dapat dibagi atas dua; yaitu;
(a) Perumusan kebijaksanaan pembangunan, (b) pelaksanaan kebijaksanaan
pembangunan secara efektif.
Ketiga, pencapaian
tujuan-tujuan pembangunan tidak mungkin terlaksana dari hasil kegiatan
pemerintahan saja. Faktor yang lebih penting adalah membangun partisipasi
masyarakat.
Seperti yang diuraikan di atas
bahwa administrasi pembangunan adalah administrasi negara yang cocok diterapkan
di negara-negara yang sedang berkembang, namun Bintoro Tjokroamidjojo
membedakan bahwa administrasi pembangunan lebih banyak memberika perhatian
terhadap lingkungan yang berbeda-beda, terutama lingkungan masyarakat yang baru
berkembang. Sedangkan administrasi pembangunan berperan aktif dan
berkempentingan terhadap tujuan-tujuan pembangunan, sedangkan dalam ilmu
administrasi negara bersifat netral terhadap tujuan-tujuan pembangunan.
Administrasi pembangunan berorientasi pada upaya yang mendorong
perubahan-perubahan kearah ke keadaan yang lebih baik dan berorientasi mada
depan, sedangkan ilmu administrasi negara lebih menekankan pada pelaksanaan
kegiatan secara efektif/tertib, efisien pada masing-masing unit pemerintahan.
Administrasi pembangunan
berorientasi pada pelaksanaan tugas-tugas pembangunan yaitu kemampuan
merumuskan kebijakan pembangunan sedangkan ilmu administrasi negara lebih
menekankan pada tugas-tugas rutin dalam rangka pelayanan kepada masyarakat.
Administrasi pembangunan mengaitkan diri dengan substansi perumusan
kebijaksanaan dan pelaksanaan tujuan-tujuan pembangunan diberbagai bidang, Ilmu
administrasi negara lebih memperhatikan pada kerapihan/ketertiban aparatur
administrasinya sendiri. Administrator pada administrasi pembangunan merupakan
penggeraka perubahan (change agent), sedangkan administrator pada administrasi
pembangunan berorientasi pada lingkungan, kegiatan dan pemecahan masalah
sedangkan pada administrasi negara lebih bersifat legalitas.
Reformasi administrasi atau
pembaharuan administrasi dilakukan karena ketidakmampuan administratif untuk
melaksanakan fungsi-fungsi yang diembannya. Studi yang dilakukan Heady (1995),
menemukan lima ciri yang umum administrasi publik di negara-negara berkembang,
yaitu: (1) pola dasar (basic pattern) administrasi publik bersifat ciplakan
(imitative) daripada asli (indigenous), (2) birokrasi di negara berkembang
kekurangan (difficient) sumber daya manusia terampil untuk menyelenggarakan
pembangunan. Kekurangan ini bukan dalam arti jumlah tetapi kualitas. Yang
justru kurang adalah administrator yang terlatif dengan kapasitas manajemen,
keterampilan-keterampilan pembangunan (development skills) dan penguasaan tesis
yang kurang memadai, (3) birokrat lebih
berusaha mewujudkan tujuan pribadinya dibanding dengan pencapaian sasaran
program. Dari sifat seperti ini lahir Nepotisme, korupsi dan penyalagunaan
wewenang, (4) adanya kesenjangan yang lebar antara apa yang hendak ditampilkan
dengan kenyataan. Fenomena ini oleh Rigss disebut formalisme, yaitu gejala yang
lebih berpegang pada wujud-wujud dan ekspresi formal dibanding dengan
sesungguhnya, dan (5) Birokrasi di negara berkembang acapakali bersifat otonom,
artinya lepas dari proses politik dan pengawasan masyarakat.
Dari fenomena dan wajah
administrasi publik ini, maka reformasi atau pembaharuan administrasi publik
menjadi suatu tuntutan dan keharusan. Berdasarkan kasus administrasi negara di
Indonesia oleh Bintoro (1999) mengajukan pada: (a) reformasi kearah sistem
politik yang demokratis, partisipatif dan egalitarian, (b) reformasi ABRI (TNI)
sebagai birokrasi pemerintahan, (c) reformasi sistem pemerintahan yang
sentralistik kearah desentralisasi, dan (d) reformasi terhadap upaya penciptaan
clean goverment. Pada bukunya yang lain, Bintoro Tjokroamidjojo (1998),
mengatakan bahwa pembangunan administrasi publik atau reformasi birokrasi
pemerintah diarahkan pada program-program sebagai berikut: (1) deregulasi dan
debirokratisasi ekonomi serta dekonsetrasi dan desentralisasi pemerintah, (2)
meningkatkan efisiensi birokrasi (termasuk mengurangi pungutan-pungutan tak
resmi), (3) mutu, orientasi, pelayanan dan pemberdayaan birokrasi, (4) sistem
karier dan efektivitas birokrasi, (5) kesejahteraan pegawai dan pelayanan
administrasi kepegawaian.
Menurut Riggs (1996),
pembaharuan administrasi merupakan suatu pola yang menunjukkan peningkatan
efektivitas pemanfaatannya sumber daya yang tersedia untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Birokrasi itu sendiri menurut pandangan Riggs, merupakan
sebuah organisasi yang konkrit, terdiri dari peran-peran yang bersifat hirarkis
dan saling berkaitan, yang bertindak secara formal sebagai alat (agent) untuk
suatu kesatuan (entity) atau sistem sosial yang lebih besar. Dengan demikian
menurut pandangan ini, tujuan dari birokrasi ditetapkan oleh kekuasaan di luar
kewenangan birokrasi itu sendiri. Atas dasar ini, maka kebertanggungjawaban
(accountability) dari birokrasi dalam menjalankan tugasnya sangat esensial
sifatnya. Oleh karena itu, pembaharuan administrasi akan berkaitan erat dengan
peningkatan kebertanggungjawaban dalam proses pengambilan keputusan atau dalam
hal bagaimana sumber daya instrumental dimobilisasi untuk mencapai tujuan.
Riggs melihat pembaharuan
administrasi dari dua sisi, yaitu perubahan struktural dan kinerja
(performance). Secara struktural Riggs menggunakan diferensiasi struktural
sebagai salah satu ukuran. Pandangan ini didasarkan atas kecenderungan
peran-peran yang makin terspesialisasi (role spesealization) dan pembagian
pekerjaan yang makin tajam dalam masyarakat modern. Sedangkan mengenai kinerja,
Riggs menekankan sebagai ukuran bukan hanya kinerja seseorang atau suatu unit,
tetapi bagaimana peran dan pengaruhnya kepada kinerja organisasi secara
keseluruhan. Ia menekankan pentingnya kerjasama dan teamwork dalam mencapai
tujuan.
Sementara Wallis dalam
Ginanjar (1997) mengartikan pembaharuan admnistratif sebagai dalam dimensi; (a)
perubahan harus merupakan perbaikan dari keadaan sebelumnya, (b) perbaikan
diperoleh dengan upaya yang sengaja dan bukan terjadi secara kebetulan atau
tanpa usaha, dan (c) perbaikan yang terjadi bersifat jangka panjang dan tidak
sementara, untuk kemudian kembali lagi ke keadaan semula.
Sementara Esman (1995),
menunjukkan bahwa memperbaiki kinerja birokrasi harus meliputi ketanggapan
(responsiveness) terhadap pengawasan politik, efisiensi dalam penggunaan sumber
daya dan efektivitas dalam pemberian pelayanan. Untuk itu upaya perbaikan
administrasi meliputi peningkatan keterampilan, penguasaan teknologi informasi
dan manajemen finansial, pengaturan atau pengelompokkan kembali realignment
fungsi-fungsi, sistem insentif, memanusiakan manajemen (humanising management)
dan mendorong partisipasi yang seluas-luasnya dalam pengambilan keputusan serta
cara rekruitmen yang harus lebih bersifat representatif.
B.
Arah Perkembangan Administrasi Publik
Perubahan paradigma manajemen
pemerintahan telah mendorong perkembangannya administrasi publik yang sangat
dinamis mengikuti dinamika lingkungannya. Perubahan paradigma itu antara lain
oleh Savas (1983), Osborne (1992), Effendi (1995), Mustopadidjaja (1997), Mifta
Thoha (1997) mengatakan sebagai berikut :
a. Perubahan paradigma dari orientasi
manajemen pemerintahan yang serba negara menjadi berorientasi pasar. Selama ini
manajemen pemerintahan mengikuti paradigma yang lebih mengutamakan kepentingan
negara. Kepentingan negara menjadi pertimbangan pertama dan utama untuk
mengatasi segala macam persoalan yang timbul dimasyarakat. Pasar (dapat berupa
rakyat atau masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Sekarang ini,
paradigmanya berubah, orientasi manajemen pemerintahan diarahkan kepada pasar.
Segala aspirasi masyarakat menjadi lebih penting artinya untuk menjadi bahan
pertimbangan pemerintah.
b. Perubahan paradigma dari orientasi
manajemen pemerintahan yang otoritarian menjadi berorientasi kepada egelitarian
dan demokrasi.
c. Perubahan paradigama dari sentralisasi
kekuasaan menjadi desentralisasi kewenangan.
d. Perubahan manajemen pemerintahan yang
hanya menekankan pada batas-batas dan aturan yang berlaku untuk satu negara
tertentu, mengalami perubahan kerah boundryless organization.
e. Perubahan dari paradigma yang mengikuti
tatanan birokrasi Weberian menjadi tatanan birokrasi yang post bureacracy government, atau perubahan dari manajemen
pemerintahan yang mengikuti struktur fisik (phsical
structure) ke tatanan manajemen pemerintahan berdasarkan pada logical structure. Dengan kata lain,
suatu tatanan administrasi negara yang berorientasi pada paperwork menjadi tatanan administrasi negara yang paperles.
Sebagai dampak dari perubahan
global, administrasi publik akan mengalami perubahan mendasar terutama peran
dan orientasi yang ingin dicapai. Dalam era global kita melihat berkembang dan
tumbuhnya sistem administrasi publik dan pemerintahan yang semakin efisien,
efektif. Pergeseran peran telah mulai terjadi dimana fungsi pemerintah dalam
berbagai segi kehidupan ekonomi, sosial telah bergeser dari peran pemerintah
yang begitu besar ke arah mendorong lembaga-lembaga masyarakat/swasta untuk
mengambil bagian yang besar dalam menjalankan sebagai fungsi-fungsi pelayanan
kepada masyarakat (Osborne 1993, Kartasasmita 1996, Kristiadi 1997). Pemeritnah
cukup hanya berfungsi sebagai pengarah tidak lagi berfungsi sebagai pengatur
yang dominan. Hal ini berimplikasi pada adanya keinginan pemerintah untuk
memberdayakan masyarakat dan meningkatkan partisipasi dalam pembangunan.
Perubahan peran administrasi
publik akan selalu seiring dengan dinamika masyarakat dimana sistem
administrasi negara itu berada. Frederickson (1983), efektifitas, rasionalitas
dan produktivitas, tetapi yang lebih penting adalah administrasi negara harus
menciptakan keadilan sosial, berdasarkan kebutuhan pada semua lapisan
masyarakat. Hal ini berarti administrasi negara berusaha untuk merubah
kebijakan-kebijakan maupun struktur-struktur yang secara sistematis merintangi
terciptanya keadilan sosial.
Administrasi publik memiliki
fungsi untuk menjalankan kebijaksanaan dan program-program kegiatan
pemerintahan untuk mecapai tujuan yang telah ditetapkan dalam keerangka hirarki
kebijaksanaan (Bromley: 1984). Sehubungan dengan hal ini perkembangan
administrasi publik akan sangat dipengaruhi oleh kondisi perkembangan tuntutan
dan aspirasi dan pelayanan kebutuhan masyarakat yang cenderung selalu dinamis.
Nicholas Henry (1995) telah
mengidentifikasi alur perkembangan administrasi publik sebagai kajian akademik
ke dalam lima paradigma. Paradigma pertama adalah dikhotomi politik
administrasi publik, yang antara lain dipelopori oleh Woodrow Wilson (1887
dengan tulisannya yang berjudul The Study of Administration). Paradigma kedua
adalah prinsip-prinsip administrasi yang berkembang antara tahun 1927-1937.
paradigma ketiga disebut paradigma administrasi publik sebagai ilmu politik.
Paradigma keempat, yang berkembang antara tahun 1956 hingga 1970 memandang
administrasi publik sebagai ilmu administrasi. Dalam konteks ini terdapat perkembangan
untuk menempatkan locus disiplin administrasi publik secara proposial pada akar
keilmuan administrasi dan manajemen yang berkembang sejak Henry Fayol menulis
bukunya yang berjudul Industrial and General Administration (1949). Paradigma
kelima yang berkembang sejak tahun 1970, menempatkan administrasi publik
sebagai disiplin akademik administrasi publik. Dalam hal ini bahwa administrasi
publik telah berkembang sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Administrasi publik yang
berkembang setelah paradigma kelima yang diidentifikasikan oleh Henry menurut
Kristiadi (1997) adalah paradigma administrasi pembangunan. Hal ini didasarkan
pada temuan-temuan hasil kajian kelompok studi komparatid administrasi (CAG)
yang menyebutkan bahwa ”adminsitrasi publik lebih berorientasi untuk mendukung
usaha-usaha pembangunan negara-negara yang belum maju”. Pada umumnya proses
kegiatan ini disebut sebagai administrasi pembangunan. Sedangkan di
negara-negara maju dewasa ini, administrasi publik lebih diarahkan kepada upaya
pencarian bentuk kelembagaan yang tepat, ketatalaksanaan dan aspek kualitas
sumebr daya manusia aparatus yang pada intinya adalah reformasi administrasi.
Setelah perkembangan paradigma administrasi publik sebagai administrasi
pembangunan, menurut Bintoro (1999), paradigma berikutnya adalah mewirausahakan
birokrasi yang dipelopori oleh Osborne, Gaebler (1992) dan perkembangan yang
terakhir adalah penyeleggaraan kepemerintahan/administrasi publik yang baik
(good governance) yang bercirikan kepastian hukum, keterbukaan, akuntability
dan konsistensi.
Sementara beberapa teoritir
administrasi berpendapat bahwa peranan administrasi publik harus makin
terfokuskan pada upaya menghasilkan barang dan inilah menurut Kristiadi (1997)
efisiensi dalam pelayanan publik melalui pengadaan barang-barang publik (public
goog) dan pelayanan jasa publik sama pentingnya dengan mekanisme pasar yang
dilaksanakan oleh pemerintah yang bercirikan good governance. Untuk mewujudkan
hal tersebut, menurut Osborne dan Gaebler (1992), administrasi publik perlu
didukung oleh birokrasi yang memiliki semangant wirausaha.
Perubahan orientasi dan peran
administrasi publik diperlukan untuk merespon dinamika masyarakat yang tinggi
terutama dalam menciptakan pelayanan yang efisien dan efektif serta menciptakan
keadilan sosial bagi warga masyarakat. Hal ini perlukan karena administrasi
publik berfungsi sebagai instrumen publik untuk menciptakan kesejahteraan
masyarakat. Dengan demikian fungsi aparatur sebagai pelayanan masyarakat harus
dominan dan diutamakan ketimbang fungsi sebagai abdi negara. Kartasasmita
(1996) melakukan analisis reposisi terhadap paradigma administrasi pembangunan
(birokrasi) yang selama 32 tahun memiliki peran yang besar dalam pembangunan
bangsa, yaitu : perubahan dalam polarisasi: (1) orientasi birokrasi bergeser
dari yang kuat kepada yang lemah dan kurang berdaya, (2) birokrasi harus
membangun partisipasi rakyat, (3) peranan birokrasi bergeser dari mengendalikan
ke mengarahkan, dan (4) birokrasi harus mengembangakan keterbukaan dan
kebertanggungjawaban.
Senada dengan itu,
Moestopadijaja (1998) mengatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan ke depan
harus didasarkan pada prinsip-prinsip: pemberdayaan, pelayanan, partisipasi,
kemitraan, dan desentralisasi.
Fungsi pemberdayaan, aparatur
pemerintah tidak harus berupaya melakukan sendiri, tetapi mengarahkan (steering
rather then rowing). Sesuatu yang sudah bisa dilakukan oleh masyarakat, jangan
dilakukan oleh pemerintah. Apabila masyarakat atau sebagian dari mereka belum
mampu atau tidak berdaya, maka harus diberdayakan (empowering). Pemberdayaan
berarti pula memberi peran kepada masyarakat lapisan bawah di dalam
keikutsertaannya dalam proses pembangunan.
Dalam rangka pemberdayaan
masyarakat dalam pambangunan, peran pemerintah dapat ditingkatkan antara lain
melalui (a) pengurangan hambatan dan kendala-kendala bagi kreativitas dan
partisipasi masyarakat, (b) perluasan akses pelayanan untuk menunjang beerbagai
kegiatan sosial ekonomi masyrakat, dan (c) pengembangan proses untuk lebih
memberikan kesempatan kepada masyarakat belajar dan berperan aktif (social
learning process) dalam memamfaatkan dan mendayagunakan sumber daya produktif
yang tersedia sehingga memiliki nilai tamabah guna meningkatkan kesejahteraan
mereka.
Upaya pemberdayaan memerlukan
semangat untuk melayani (a spirit of
public services), dan menjadi mitra masyarakat (partner of society); yaitu melakukan kerjasama dengan masyarakat
Esman dalam Moestopadidjaja (1997). Hal ini memerlukan perubahan perilaku yang
antara lain dapat dilakukan melalui pembudayaan kode etik (code of ethical conducts) yang didasarkan pada dukungan lingkungan
(enabling strategy) yang diterjamahkan dalam standar tingkah laku yang dapat
diterima umum dan dijadikan acuan perilaku aparatur pemerintah.
Di samping itu, dalam
pelaksanaan kode etik tersebut, aparatur dan sistem manajemen publik harus
bersikap terbuka, transparan dan accountable, untuk mendorong para pemimpin dan
seluruh sumber daya manusia aparatur menjadi berwibawa, bersih dan menjadi
panutan bagi masyarakat.
Pelayanan berarti pula
semangat pengabdian yang mengutamakan efisiensi dan keberhasilan dalam
membangun yang dimanifestasikan antara lain dalam perilaku melayani, bukan
dilayani, mendorong bukan menghambat, mempermudah bukan mempersulit, sederhana
bukan berbelit-belit, terbuka untuk setiap orang bukan hanya untuk segelintir
orang. Dengan demikian makna administrasi publik sebagai wahana penyelenggaraan
pemerintahan negara yang harus melayani publik harus benar-benar dihayati para
penyelenggara pemerintahan negara.
Partisipasi masyarakat harus
diikutsertakan dalam proses menghasilkan public good atau services dengan
mengembangkan pola kemitraan dan kebersamaan dan bukan semata-mata dilayani.
Untuk itulah kemampuan masyarakat harus diperkuat (empowering rather than
serving), kepercayaan masyarakat harus meningkat dan kesempatan masyarakat
untuk berpartisipasi harus ditingkatkan.
Upaya pemberdayaan masyarakat
dan dunia usaha, peningkatan partisipasi dan kemitraan sangat memerlukan
keterbukan birokrasi pemerintah, juga disamping itu memerlukan langkah-langkah
yang tegas dalam mengurangi peraturan dan prosedur yang menghambat kreativitas
dan aktivtas mereka dan memebri kesempatan kepada masyarakat untuk dapat
berperan serta dalam proses penyusunan peraturan kebijaksanaan, pelaksanaan,
pengawasan pembangunan.
Inti dari perubahan peran dan
orientasi administrasi publik adalah bahwa bentuk organisasi birokrasi yang ada
sekarang harus berubah sesuai dengan tuntutan perubahan itu sendiri, yaitu
bentuk organisasi yang terbuka, fleksibel, ramping atau pipih (flat), efisiensi
dan rasional, terdesentralisasi, kaya fungsi miskin struktur sehingga memungkin
organisasi birokrasi lebih cepat menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan.
Bahkan menurut Mc Kinsey (Kristiadi:1997) desain
organisasi kedepan dicirikan oleh 7 S, yaitu: (1) system, (2) structure, (3)
strategy, (4) staff, (5) skill, (6) leadership style, dan (7) share value. Aspek sistem meliputi pemahaman terhadap
visi dan misi organisasi berdasarkan tuntutan perubahan lingkungan, nilai dan
budaya yang dimiliki organisasi yang menjadi ciri khas organisasi dan sekaligus
menjadi perekat dan motivasi anggota organisasi untuk mengembangkan berbagai
aktivitas keorganisasian baik dalam melakukan hubungan secara internal maupun
dalam melakukan hubungan eksternal. Sedangkan aspek strategi mencangkup
kemampuan organisasi menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan, pemahaman
kemampuan memanfaatkan peluang, tantangan, ancaman dan kelemahan serta kekuatan
yang dimiliki organisasi dapat menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut dan
pada akhirnya dapat survie dan meraih kemampuan kompetitif. Aspek soft struktur
organisasi meliputi staff, skill, style, dan share value menyarakatkan proses
pembelajaran yang secara terus menerus untuk mencapainya. Administrasi publik
(Birokrasi) ke depan harus menata kembali visi, misi tujuan, sasaran dan
strategi pencapaiannya dalam rangka memberikan pelayanan publik yang cepat,
efisien, terbuka, dan akuntabel.
C.
Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih
dan Berwibawa
Peran pemerintah sangat besar
dan mencangkup seluruh dimensi kehidupan masyarakat. Meskipun pemerintah
memiliki berbagai sumber daya untuk menunaikan kewajibannya, tetap saja
tuntutan masyarakat selalu lebih tinggi tuntutannya dibanding dengan kemampuan
pemerintah untuk memenuhinya.
Adanya kesenjangan antara
tuntutan dengan kemampuan pemerintah inilah yang pada gilirannya menyebabkan
munculnya berbagai gagasan untuk memberi energi baru kepada pemerintah.
Barzelay (1992), misalnya memandang bahwa ditengah-tengah fenomena perubahan
dunia, birokrasi membutuhkan inovasi baru yang bersifat strategis. Demikian pula Osborne (1996) mengemukakan lima strategis sebagai
instrumen implementasi lebih lanjut dari prinsip Reinventing Government yang
diajukan Osborne dan Gaebler, yaitu (1) creating clarity of purpose, (2)
creating consequences form performance, (3) putting the custumer in the
driver’s seat, (4) shifting control away from the top and the center, (5)
creating entrepreneural culture.
Pada intinya pandangan baru yang berkembang tentang
peran pemerintah adalah bahwa pemerintah harus mampu menciptakan nilai-nilai
baru (value creating) dalam rangka meningkat pelayanan kepada masyarakat.
Istilah governance secara harfiah dapat diartikan sebagai
suatu kegiatan pengarahan, pembinaan atau dalam bahasa inggrisnya adalah
Guiding. Gevernance adalah
suatu proses dimana suatu sistem sosial ekonomi atau sistem organisasi yang
kompleks lainnya dikendalikan. Pinto dalam (Karhi: 1997) mendefinisikan Governance
sebagai ’’ praktek penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan oleh pemerintah
dalam pengelolaan urusan pemerintahan secara umum, dan pembangunan ekonomi pada
khususnya’’. Pengertian governance dalam hal ini adalah proses pengaturan,
pembinaan dan pengendalian kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Secara bebas
good governance dapat diterjemahkan menjadi pemerintahan yang bersih dan
berwibawa atau pemerintahan yang amanah.
Secara umum governance
mengandung unsur-unsur utama yang terdiri dari: (1) akuntability, (2)
transparansi, (3) openness, (4) rule of law (Bhatta: 1996) dalam (Karhi: 1997).
Akuntabilitas adalah kewajiban
bagi aparatur pemerintahan untuk bertindak selaku penanggung gugat atas segala
tindakan dan kebijaksanaan yang ditetapkannya. Unsur ini merupakan inti dari
pemerintahan yang baik (good governance) Akuntabilitas aparatur pemerintah
terdiri dari tiga jenis yaitu akuntabilitas politik, akuntabilitas keuangan dan
akuntabilitas hukum (Brautigam, 1991). Sedangkan menurut LAN (1998) akuntabilitas
pemerintah di bagi atas Akuntabilitas manajerial, akuntabilitas keuangan, dan
akuntabilitas operasional.
Akuntabilitas politik
berkaitan dengan pertanggungjawaban pemerintah terhadap rakyat berkaitan dengan
mekanisme sistem pemilu dan mekanisme ceck and blances kekuasaan yang ada pada
masyarakat. Akuntabilitas keuangan yaitu kewajiban aparat
mempertanggungjawabkan penggunaan keuangan negara kepada rakyat. Sedangkan
akuntabilitas hukum berkaitan dengan semua unit-unit pemerintahan dapat
bertanggung jawab secara hukum atas segala tindakannya, termasuk organisasi
pemerintahan yang pada prakteknya telah merugikan kepentingan rakyat harus
mampu mempertanggungjawabkan dan menerima tuntutan hukum atas tindakannya.
Transparansi merupakan
instrumen penting untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Rakyat harus mengetahui secara terbuka atas segala proses perumusan
kebijaksanaan publik dan implementasinya. Dengan demikian segala tindakan dan
kebijaksanaan pemerintah harus dilaksanakan secara terbuka dan diketahui umum.
Seiring dengan hal tersebut, pemerintah pula harus terbuka dan memberikan
kesempatan bagi rakyat untuk mengajukan kritikan dan tanggapan terhadap
pemerintah yang dinilai tidak transparan. Pemerintah yang baik dan terbuka akan
memberikan informasi dan data yang memadai bagi masyarakat sebagai bahan untuk
melakukan penilaian atas jalannya pemerintahan.
Sementara itu menurut Toha
(1997) pemerintahan yang bersih dan berwibawa sangat tergantung pada : (1)
pelaku-pelaku pemerintah (kualitas sumber daya manusia aparaturnya), (2)
kelembagaan yang dipergunakan untuk pelaku-pelaku pemerintahan untuk
mengaktualisasikan kinerjanya, (3) perimbangan kekuasaan yang mencerminkan
seberapa jauh sistem pemerintah itu harus diberlakukan, dan (4) kepemimpinan dalam
birokrasi publik.
Senada dengan hal tersebut
Rasyid (1997) bahwa pembangunan pemerintahan diarahkan pada dimensi
administrasi, yaitu administrasi yang baik, organisasi yang efisien, serta
aparatur yang berkompeten dan jujur. Kultur administrasi yang melayani,
memberdayakan dan membangun berlandaskan semangat entrepreneurship perlu dibina
secara berkesinambungan. Berkaitan dengan itu peranan motivasi dan efisien
mekanisme dan prosedur kerja birokrasi terutama dalam proses pelayanan dan
pengambilan keputusan harus lebih disederhanakan.
Determinan utama untuk
menciptakan pemerintahan yang berwibawa adalah kualitas sumber daya manusia
aparatur yang berkualitas. Hal ini penting karena SDM aparatus dapat berfungsi
sebagai perencana, implementasi, pengendali dan evaluasi seluruh
program-program pembangunan. Oleh karena itu, hal penting yang harus
diperhatikan adalah aparatur harus (1) bermoral dan berakhlak yang tinggi yang
ditandai oleh kebersihan akidah, kebersihan akhlak, kebersihan tujuan hidup,
bersih harta dan bersih pergaulan sosial; (2) berpengetahuan dan berkemampuan
untuk melaksanakan tugas yang diembannya secara profesional.
Aspek kelembagaan pemerintah
ke depan akan berubah sesuai dengan perubahan peran pemerintah yaitu dari
”rowing” kearah steering. Oleh karena itu desain kelembagaan pemerintah harus
disesuaikan dengan platform more steering
the rowing, yaitu organisasi yang bersifat flat, efisien, fleksibel,
matrikial, kaya fungsi, miskin struktur dan yang lebih penting lagi adalah
organisasi yang dapat menumbuhkan semangat pemberdayaan masyarakat.
Perimbangan kekuasaan
menandaskan adanya mekanisme check and balances antara beberapa pemegang
kekuasaan, baik kekuasaan yang ada di birokrasi maupun kekuasaan yang ada di
masyarakat. Faktor kepemimpinan birokrasi terutama mensyaratkan akhlak mulya,
bersih dan tidak cacat moral. Hal ini penting dipenuhi karena faktor
kepemimpinan sangat menentukan dalam memberikan pelayanan yang adil,
transparan, terbuka dan tidak berpihak kepada kepentingan individu atau golongan.
Syarat intelektualitas dan wawasan kepemimpinan mengharuskan pemimpin birokrasi
memiliki visi yang jauh kedepan, demokratis, responsif, mendahulukan
kepentingan umum dan kemampuan menggunakan sumber daya organisasi untuk mecapai
tujuan yang diinginkan.
D.
Konsep Kinerja
Kata kerja populer digunakan
untuk menjelaskan hasil kerja yang dicapai oleh seseorang, kelompok ataupun
organisasi sesuai dengan tugas, kewenangan yang dimiliki untuk mencapai tujuan
organisasi. Padanan istilah kinerja diidentikkan dengan
istilah perfomance. Menurut The Cribner-Bantanm English Dictionary (1997)
terdapat keterangan sebagai berikut. Berasal dari akar kata ”to perform” yang
mempunyai beberapa padanan, berikut: (1) to door carry out; execute; (2) to
diacharge or fulfill; as a vow; (3) to portray, as a character in a play; (4)
to render by the voice or a musical instrument; (5) to execute or complete an
undertaking; (6) to act a part in a play; (7) to perform music; (8) to do what
is expectred of person or machine.
Arti padanan tersebut adalah (1) melakukan, menjalankan,
melaksanakan; (2) memenuhi atau menjalankan kewajiban suatu nazar; (3)
menggambarkan suatu karakter dalam suatu permainan; (4) menggambarkan dengan
suara atau alat musik; (5) melaksanakan atau menyempurnakan tanggung jawab; (6)
melakukan suatu kegiatan dalam suatu permainan; (7) memainkan suatu pertunjukan
musik; dan (8) melakukan sesuatu yang diharapkan oleh seseorang atau mesin.
Dalam hubungan dengan penelitian ini, maka padanan kata
yang cocok digunakan adalah: (1) melakukan, menjalankan, melaksanakan; (2)
memenuhi atau menjalankan nazar; (5) melaksanakan atau menyempurnakan tanggung
jawab; (8) melakukan sesuatu yang diharapkan oleh orang atau mesin.
Arti kata performance
merupakan kata benda (noun) dimana salah satu padanan katanya adalah “thing
done” (sesuatu hasil yang dikerjakan). Menurut Prawirosentono (1999)
performance atau kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang
atau sekelompok orang dalam organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung
jawab masing-masing, dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan
secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia
senidri, sampai edisi sekarang kata kinerja belum tercantum. Istilah-istilah
yang sering dipakai yang berkaitan dengan kinerja adalah efisien, efektivitas
dan bahkan Frederickson (1984) menambahkan keadilan sosial untuk menilai apakah
administrasi negara telah berhasil mengemban misinya sebagai isntrumen publik
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Gaspersz (1997) mengatakan bahwa
kinerja dibangun dari kualitas, dan kualitas adalah terdiri dari segala sesuatu
yang bebas dari kekurangan atau kerusakan yang dihasilkan oleh organisasi untuk
memuaskan semua unsur yang berkaitan dengan organisasi baik internal maupun
eksternal.
Mengacu pada pengertian
diatas, bahwa unsur pembentuk kinerja organisasi adalah terdiri atas:
efisiensi, efektivitas, kualitas dan keadilan, maka dapat didefinisikan bahwa
kinerja organisasi adalah:
”hasil
kerja yang secara akumulatif dicapai oleh organisasi berdasarkan sasaran yang
ditetapkan untuk mencapai tujuan yang ditentukan sebelumnya”.
Sasaran organisasi, menurut
Martani, terdiri dari: (a) sasaran lingkungan, yaitu kondisi dimana organisasi
telah mendapat pengakuan dari lingkungannya, termasuk bagaimana sikap, perasaan
dan persepsi dari berbagai pihak yang mempunyai kepentingan dengan organisasi
tersebut; (b) sasaran output, yaitu bentuk dan banyaknya output yang dihasilkan
organisasi; (c) sasaran sistem adalah kesehatan dan perawatan organisasi itu
sendiri yang menggambarkan ukuran, iklim organisasi, bentuk organisasi, tingkat
kepuasan pegawai; (d) sasaran produk yaitu karakteristik produk atau jasa yang
akan diberikan kepada konsumen. Sasaran ini menetapkan jumlah, mutu jenis,
corak dan karakteristik lainnya yang menggambarkan karakteristik produk ataupun
jasa yang ditawarkan; dan (e) sasaran bagian, yaitu menggambarkan sasaran dari
suatu bagian, ataupun suatu satuan kerja yang merupakan bagian dari suatu
organisasi. Sasaran bagian ini merupakan alat untuk mencapai sasaran output
ataupun sasaran sistem dari suatu organisasi.
Gambar 1
Jenis Sasaran dan Kinerja Organisasi Yang Ingin Dicapai
JENIS SASARAN ORGANISASI
|
KINERJA ORGANISASI
|
Sasaran Lingkungan
|
Kinerja
Organisasi mencapai sasaran lingkungan
|
Sasaran Ouput
|
Kinerja
Organisasi mencapai sasaran output
|
Sasaran Sistem
|
Kinerja
Organisasi mencapai sasaran sistem
|
Sasaran Produk
|
Kinerja
Organisasi mencapai sasaran produk
|
Sasaran Bagian
|
Kinerja
Organisasi mencapai sasaran bagian
|
Sumber : Peter (1997: 112)
Untuk mengukur tingkat
keberhasilan mencapai sasaran tersebut, maka insikator yang biasa dipakai
adalah efisiensi, efektivitas dan kualitas. Jadi dengan demikian, kinerja
organisasi dapat diukur berdasarkan tingkat pencapaian hasil kerja berdasarkan
sasaran yang ditetapkan sebelumnya. Demikian pula mengukur tentang hasil kerja
organisasi bukan hanya hasil kerja yang secara output diberikan kepada
lingkungan eksternalnya yaitu masyarakat atau pelanggannya, tetapi hasil kerja
dapat pula diberikan kepada pelanggan internalnya, yaitu pegawai yang berfungsi
mengelola organisasi guna mencapai tujuannya. Dengan demikian konsep tentang
kinerja organisasi sangat luas ruang lingkupnya; bukan hanya kinerja yang
dihasilkan untuk lingkungannya eksternalnya, tetapi kinerja dapat pula
diperuntukkan bagi sasaran internal organisasi. Oleh karena itu pendekatan
untuk mengukur kinerja suatu organisasi sangat tergantung susut pandang yang
digunakan; dapat berupa kinerja pada sisi Input kinerja pada sisi proses atau
kinerja pada sisi output. Masing-masing pendekatan ini memiliki indikator yang
berbeda. Pada penelitian ini pengukuran kinerja organisasi menggunakan
pendekatan proses (internal proces
approach), yaitu kinerja organisasi birokrasi diukur dari efisiensi
organisasi dan kesehatan organisasi; kesehatan organisasi diukur dari tingkat
kepuasan pegawai yang diberikan oleh organisasi, yaitu dengan menggunakan
mengukur kinerja pencapaian sasaran sistem organisasi tersebut.
E.
Kinerja Organisasi Birokrasi
Birokrasi dalam literatur ilmu
administrasi dipergunakan dalam beberapa pengertian yang berbeda dan bahkan
bertentangan. Matrin Albrow mengemukakan tujuh konsep moder tentang birokrasi
yaitu : (1) birokrasi sebagai organisasi rasional; (2) birokrasi sebagai
inefisiensi organisasi; (3) birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh
pejabat; (4) birokrasi sebagai administrasi negara (publik); (5) birokrasi
sebagai admnistrasi yang dijalankan oleh pejabat; (6) birokrasi sebagai sebuah
organisasi; dan (7) birokrasi sebagai masyarakat modern.
Dalam penelitian ini birokrasi
dipakai dalam pengertian yang terbatas yaitu sebagai organisasi pemerintahan
atau administrasi negara (publik) yang berfungsi menyelenggarakan fungsi
pemerintahan dan fungsi pembangunan.
Seperti yang diakui oleh
Abdullah (1984) pembahasan birokrasi dalam kalangan ilmu sosial sering
menimbulkan berbagai perbedaan pendapat karena berbagai pengertian yang berbeda
dengan sudut pandang yang berbeda pula. Sorotan tajam penggunaan istilah
birokrasi pada pengertian yang kurang baik, yaitu birokrasi sebagai inefisiensi
organisasi (administrative inefficiency). Biasanya pengertian yang kurang baik
ini mencerminkan cara kerja aparatur pelayanan pemerintah yang memiliki kinerja
rendah.
Rumusan birokrasi berdasarkan
hasil seminar Persadi (1984) adalah birokrasi atau disebut pula sebagai
organisasi dari aparatur negara adalah susunan yang terorganisir secara
hirarkis dengan struktur hubungan kewenangan yang jelas untuk mencapai tujuan
tertentu dengan cara mengkoordinasi secara sistematis pekerjaan dari banyak
orang.
Pengertian ini menandaskan
bahwa birokrasi itu terdapat pada semua organisasi kerjasama manusia, termasuk
organisasi birokrasi pemerintah yang berfungsi sebagai instrumen pemerintah
untuk mencapai tujuan-tujuan; peningkatan kesejahteraan masyarakat, kualitas
pendidikan, menciptakan ketertiban keamanan dan pelayanan serta pengayoman
masyarakat atau dengan kata lain mencakup seluruh tugas dan fungsi pemerintah
umum.
Sementara itu, Max Weber
(Martani) sendiri tidak memberikan defenisi yang jelas tentang birokrasi. Weber
hanya mengajukan ciri-ciri ideal birokrasi, yaitu (1) adanya pengaturan ataupun
pengorganisasian fungsi-fungsi resmi untuk suatu kesatuan yang utuh; (2) adanya
pembagian kerja yang jelas di dalam organisasi; (3) adanya pengorganisasian
yang mengikuti prinsip-prinsip hirarki, yaitu tingkatan yang lebih rendah
diawasi dan diatur oleh tingkatan yang lebih tinggi; (4) adanya sistem
penerimaan dan penempatan karyawan yang didasarkan atas kemampuan teknis, tanpa
memperhatikan koneksi, hubungan keluarga maupun favoritisme; (5) adanya
pemisahan antara pemilikan alat produksi maupun administrasi dari kepemimpinan
organisasi; (6) adanya obyektivitas dalam melaksanakan tugas yang berkaitan
dengan suatu jabatan dalam organisasi; dan (7) kegiatan administratif,
keputusan-keputusan dan peraturan-peraturan dalam organisasi selalu dituangkan
dalam bentuk tertulis.
Berdasarkan pengertian di
atas, maka dapat ditegaskan bahwa yang dimaksud birokrasi disini adalah
keseluruhan organisasi pemerintah yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan,
pembangunan dan pelayanan masyarakat dalam berbagai unit organisasi pemerintah
untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Ruang lingkup birokrasi dapat
diketahui berdasarkan perbedaan tugas pokok dan misi yang mendasari organisasi
birokrasi adalah :
1. Birokrasi pemerintahan umum, yaitu
rangkaian organisasi pemerintahan yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan
umum dari tingkat pusat sampai daerah (Propinsi, Kabupaten, Kecamatan dan
Desa/Kelurahan).
2. Birokrasi fungsional, yaitu organisasi
pemerintahan yang menjalankan salah satu bidang atau sektor yang khusus guna
mencapai tujuan umum pemerintahann
3. Birokrasi pelayanan (Service-Bureaucracy),
yaitu unit organisasi yang pada hakekatnya melaksanakan pelayanan langsung
dengan masyarakat. Termasuk dalam konsep ini apa yang disebut oleh Michael
Lipsky sebagai ”Street-level Bureaucracy”, yaitu mereka yang menjalankan tugas
dan berhubungan langsung dengan warga masyarakat.
Perkembangan pengukuran
kinerja organisasi sangat berhubungan erat dengan pendekatan dalam mempelajari
organisasi. Pendekatan klasik misalnya memandang kinerja organisasi sama dengan
efisiensi organisasi. Menurut teori ini kinerja organisasi. Jadi, kinerja
organisasi sama dengan efisiensi.
Demikian pula pendekatan
neo-klasik kinerja organisasi diukur dari terciptanya suasana yang harmonis
antara pegawai sebagai anggota organisasi. Menurut teori ini suatu organisasi
dikatakan memiliki kinerja tinggi apabila anggotanya merasa puas terhadap apa
yang diberikan oleh organisasi. Pandangan ini merupakan kelanjutan dari
pandangan penganut paham hubungan antar manusia, yang menempatkan kepuasaan
anggota sebagai inti persoalan organisasi dan manajemen. Sementara pendekatan
modern sebagai suatu pendekatan sistem memandang bahwa kinerja organisasi tidak
saja ukur dari variabel input, variabel proses dan variabel output, tetapi juga
ketiga variabel tersebut padu dalam interaksi dengan variabel lingkungan yang
mempengaruhi organisasi.
Menurut Indrawijaya (1986),
teori yang komprehensif mengukur kinerja organisasi berdasarkan banyak macam
ukuran. Pandangan ini berpendapat bahwa susunan organisasi memang merupakan
suatu hal yang penting. Tetapi dalam kebebasan bertindak sangat penting untuk
memungkinkan adanya kebebasan bertindak para anggota organisasi secara
keseluruhan dapat lebih menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan. Jadi
ukuran kinerja organisasi selain berhubungan dengan aspek internal organisasi
juga berhubungan dengan aspek eksternal organisasi, yaitu berkaitan dengan
kemampuan beradaptasi dan fleksibelitas terhadap pengaruh lingkungan luar.
Emitasi Etzioni (dalam
Indrawijaya: 1986) megemukakan pengukuran kinerja organisasi menggunakan
System Model, mencakup empat kriteria
yaitu adaptasi, integrasi, motivasi dan produksi. Kriteria adaptasi
dipersoalkan adalah kemampuan organisasi untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan. Indikator ini antara lain adalah tolok ukur proses pengadaan dan
pengisian tenaga kerja, ruang lingkup kegiatan organisasi. Hal terakhir
mempertanyakan seberapa jauh kemanfaatan organisasi tersebut bagi lingkungan.
Kriteria integrasi, yaitu pengukuran terhadap tingkat kemampuan organisasi
untuk mengadakan sosialisasi, pengembangan konsensus dan komunikasi dengan
berbagai macam organisasi lain. Kriteria motivasi anggota diukur keterikatan
dan hubungan antara pelaku organisasi dengan organisasinya dan kelengakapan
sarana bagi pelaksanaan tugas pokok dan fungsi organisasi. Sementara kriteria
produksi, yaitu usaha untuk pengukuran efektivitas organisasi dihubungkan
dengan jumlah dan mutu keluaran organisasi serta intensitas kegiatan suatu
organisasi.
Menurut Ducan (1981) kinerja
organisasi dapat diukur dengan indikator: (1) efisiensi, yaitu jumlah dan mutu
dari hasil organisasi dibanding dengan masukan sumber; (2) keseimbangan antara
subsistem sosial dan antar personil; (3) antisipasi dan persiapan untuk
menghadapi perubahan.
Kajian yang dilakukan oleh
Osborne dan Patrick (1998) yang mengatakan bahwa kinerja organisasi publik
dapat dilihat dari aspek tujuan (purpose), insentif, akuntabilitas, kekuasaan
(power), budaya (culture) organisasi. Aspek tujuan berkaitan dengan rendahnya
pemahaman birokrat terhadap visi dan misi organisasi sehingga antara perilaku,
orientasi kerja tidak sejalan dengan visi dan misi organisasi. Sedangkan aspek
yang berkaitan dengan insentif adalah kurangnya perhatian khusus terhadap
birokrat yang memiliki prestasi yang baik sehingga berdampak rendahnya
kemampuan birokrat dalam mengemban tugasnya. Sedangkan aspek akuntabilitas
adalah kemampuan organisasi itu mempertanggung jawabkan atas semua kewenangan,
sumber daya organisasi, kebijakan yang dihasilkan atas penilaian yang obyektif
dari orang/badan dan masyarakat yang memberi tugas.
Martani Husein, menggunakan
tiga pendekatan untuk mengukur tingkat pengukuran efektivitas organisasi yaitu;
(1) pendekatan sasaran (goal approach ), (2) pendekatan sumber (system resource
approach), (3) pendekatan proses (internal process approach).
Efektivitas menurut Martini
(tanpa tahun: 55) adalah merupakan gambaran tingkat keberhasilan dalam mencapai
sasarannya. Dengan demikian, efektivitas disini sama dengan hasil kerja yang
dicapai oleh organisasi guna mencapai sasaran atau tujuannya. Hal ini berarti
afaktivitas mengandung makna kinerja yang dicapai oleh organisasi guna mencapai
tujuannya.
Pendekatan sasaran dan dalam
pengukurannya dimulai dengan mengindentifikasi sasaran mengukur tingkat
keberhasilan organisasi. Ukuran keberhasilan organisasi dapat dilihat dari
fakktor efisiensi, produktivitas, tingkat keuangan, pertumbuhan organisasi,
kepemimpinan organisasi pada lingkungannya, dan stabilitas organisasi.
Sedangkan pendekatan sumber adalah mengukur tingkat keberhasilan organisasi
mendapatkan berbagai sumber yang dibutuhkan terutama untuk memelihara sistem
organisasi. Ukuran pada pendekatan ini meliputi; kemampuan organisasi untuk
memanfaatkan lingkungan untuk memperoleh berbagai jenis sumber yang bersifat
langka dan nilainya tinggi, kemampuan para pengambil keputusan dalam organisasi
untuk menginterpretasikan sifat-sifat lingkungan secara cepat, kemampuan
organisasi untuk menghasilkan output tertentu dengan menggunakan sumber-sumber
yang berhasil diperoleh, kemampuan organisasi dalam memelihara kegiatan
opersionalnya sehari-hari, dan kemampuan organisasi untuk bereaksi dan
menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan.
Pendekatan Proses menganggap
efektivitas sebagai efisiensi dan kondisi (kesehatan) dari organisasi internal.
Indikator untuk mengukur pendekatan ini diantaranya, adalah; efisiensi,
perhatian atasan terhadap karyawan, semangat, kerjasama dan loyalitas kelompok
kerja, saling percaya dan komunikasi antara karyawan dengan pimpinan,
desentralisasi dalam pengambilan keputusan, adanya komunikasi vertikal dan
horisontal yang lancar dalam organisasi, adanya usaha dari setiap individu
maupun keseluruhan organisasi untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan,
adanya sistem imbalan yang merangsang pimpinan untuk mengusahakan terciptanya
kelompok-kelompok kerja yang efektif dalam organisasi dan bagian-bagian
bekerjasama secara baik, dan konflik yang terjadi selalu diselesaikan dengan
mengacu pada kepentingan bersama.
Sementara Gibson (1996),
menggunakan pendekatan untuk mengukur kinerja organisasi melalui pendekatan
dimensi periode waktu, yaitu tahap jangka pendek, tahap jangka menengah, dan
tahap jangka panjang. Keseluruhan proses tahap tersebut adalah suatu sistem
yang tak berpisah, bahkan periode waktu jangka pendek merupakan prasyarat untuk
dapat memasuki periode waktu jangka menengah, demikian selanjutnya periode
waktu jangka menengah merupakan prasyarat untuk memasuki tahap jangka panjang.
Pada akhirnya organisasi yang tidak memiliki kinerja bagus pada periode waktu
jangka pendek tak dapat survive untuk masa depan. Indikator untuk mengukur
periode jangka pendek adalah produksi, mutu, efisiensi, fleksibelitas dan
kepuasan masyarakat yang dilayani. Sedangkan Indikator untuk mengukur periode
jangka menengah adalah persaingan, yaitu menggambarkan posisi organisasi dalam
lingkungan termasuk nilai bargaining position, dan pengembangan, yaitu
kemampuan organisasi menginventarisasi sumber daya untuk memenuhi permintaan
lingkungan. Indikator periode jangka panjang adalah kelangsungan hidup
organisasi, yaitu kemampuan organisasi untuk tetap bertahan dan hidup seiring
dengan perubahan lingkungan yang berubah.
Analisis kinerja organisasi
tak dapat dilepaskan dari kinerja individu. Terhadap hubungan yang sangat kuat
antara kinerja individu dengan kinerja organisasi. Organisasi yang memiliki
kinerja individunya tinggi akan memberi konstribusi besar terhadap kinerja
organisasi. Studi ini lakukan oleh Thoha (1991) yang mengatakan bahwa kinerja
individu sangat ditentukan oleh karakteristik-karakteristik individu seperti
kemampuan, kebutuhan, kepercayaan, pengalaman, dan pengharapan. Sedangkan
karakteristik organisasi birokrasi adalah hirarki, tugas-tugas, wewenang,
tanggung jawab, sistem reward dan sistem kontrol. Interaksi antara karakteristik
individu dan karakteristik organisasi akan melahirkan perilaku organisasi
sekaligus kinerja organisasi.
F.
Kualitas Individu dan Pembelajaran
Organisasi
Seperti diketahui bahwa
kualitas individu sangat menentukan kinerja organisasi, bahkan berkembangnya
organisasi sangat terkait dengan kemampuan individu-individu yang mengelola
organisasi. Ducan dalam Indrawijaya (1989) mengatakan bahwa prestasi (P) adalah
fungsi perkalian dari motivasi dari (M) dengan kemampuan (K). Dengan demikian
ada dua faktor pembentuk kualitas seseorang yaitu; kemampuannya yang menunjukkan potensi seseorang untuk
melakukan tugasnya, dan kedua adalah faktor motivasi, yaitu merupakan proses
psikologis yang mencerminkan interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi dan
keputusan yang terjadi pada diri seseorang.
Gibson mengatakan ada tiga
variabel yang mempengaruhi perilaku individu, yaitu variabel individu, variabel
organisasi dan variabel psikologis. Variabel individu berkaitan dengan
kemampuan dan keterampilan, latar belakang dan demografi. Sedangkan variabel
organisasi berhubungan dengan sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur, dan
desain pekerjaan. Sementara variabel psikologis berkaitan dengan persepsi,
sikap, kepribadian, belajar, dan motivasi.
Peter M. Senge (1997), mengajukan teori yang
terbaru mengenai kualitas individu dan hubungannya dengan organisasi dalam
menghadapi perubahan lingkungan. Sange mengemukakan Disiplin Kelima (Fifth
Disiplin) dalam pembelajaran organisasi (Learning organization), yaitu system
tingking, personal mastery, mental models, building shared vision dan team
learning. Kedepan organisasi pembelajaran merupakan salah satu ciri organisasi
abad 21, karena organisasi yang demikian itu mampu menjawab tantangan yang
dihadapi dan sekaligus menjamin keberlangsungannya ditengah-tengah perubahan.
Systems thinking atau berfikir
secara sistem merupakan tonggak konseptual (conceptual
corner stone) yang mendasari semua pilar disiplin pembelajaran. Berfikir
sistem sangat berkepentingan terhadap pergeseran pola fikir (shift of mind)
dari cara pandang parsial menuju cara pandang yang holistik. Oleh karena itu berfikir sistem merupakan paradigma yang melihat
pada superioritas kesatuan yang menyeluruh (a paradigma
premised upon the primary of the whole). Berfikir sistem merupakan disiplin yang melihat fenomena secara keseluruhan
sehingga lebih menekankan kepada kerangka pikir yang saling berkaitan
(interconnectedness). Berfikir sistem juga merupakan cara pandang yang berfokus
pada perubahan (pattern of change) sehingga tidak melihat suatu fenomena yang
hanya didasarkan pada cara yang statis.
Personal mastery atau personal
vision pada hakekatnya merupakan disiplin pribadi yang secara terus-menerus
berusaha mencapai visi pribadi melalui focusing dan refocusing dengan melihat
realitas secara obyektif agar pilihan-pilihan yang diambil mengakomodasikan
visi pribadi dan realitas yang dihadapi dengan jalan menfokuskan energi dan
mengembangkan kesabarannya. Meningkatkan penguasaan diri pribadi merupakan
suatu hal penting dalam organisasi karena komitmen membangun pembelajaran
diawali oleh komitmen individu. Organisasi akan lebih cepat mencapai tujuannya
apabila setiap individu dalam organisasi memiliki tingkat kemampuan diri yang
tinggi. Karakteristik Personal Mastery pada tingkat yang tinggi adalah;
mempunyai komitmen yang tinggi, berinisiatif, kreatif, mempunyai visi pribadi
yang jelas, memiliki kepercayaan diri yang dalam, mempunyai rasa tanggung jawab
yang mendalam, selalu berusaha mengembangkan diri, mempunyai kemampuan untuk
mencapai hasil yang diinginkan, dan mampu melihat realitas secara obyektif.
Mental model suatu kerangka
untuk memandang sesuatu yang dianggap benar tetapi belum dibuktikan
kebenarannya. Dengan demikian mental model merupakan jendela kaca dari mana
seseorang melihat dan bagaimana mengadaptasikan diri dengan lingkungan yang
berubah. Nilai seseorang sangat ditentukan oleh konstribusi mental model yang
dimilikinya. Mental model yang baik memungkinkan pemiliknya menyesuaikan diri
dengan perubahan lingkungannya.
Building Shared Vision
(membangun visi bersama) salah satu disiplin pembelajaran yang berfungsi
menyatupadukan potensi organisasi untuk meraih sukses bersama-sama. Visi
bersama adalah visi yang dibentuk dari visi indvidu-individu, dengan tujuan
agar visi organisasi dapat merupakan kepemilikan bersama karena seluruh anggota
mempunyai andil dalam pembentukannya. Visi adalah gambaran atau imajinasi yang
ingin diwujudkan. Visi menyatakan masa depan yang menjanjikan (attractive
future), nyata (realistic) dan dapat dipercaya (credible).
Misi memberi jawaban atas
pertanyaan apa yang individu / organisasi kerjakan. Misi bersifat menantang dan
memberikan kekuatan (energizibng) kepada seseorang maupun organisasi. Menurut
Osborne (1995) pemerintahan yang digerakkan oleh misi lebih efisien, lebih
efektif, lebih inovatif, lebih fleksibel, dan mempunyai semangat yang tinggi
ketimbang organisasi yang digerakkan oleh peraturan.
Nilai adalah sikap atau
perilaku dalam mengejar visi; sikap terhadap orang dalam organisasi, sikap
menghargai pelanggan, masyarakat sikap pelayanan dan batas-batas simbol
tuntutan perilaku yang akan menolong orang bergerak menuju visi.
Team learning suatu proses
pengembangan kapasitas suatu tim untuk menciptakan atau mencapai hasil yang
sesungguhnya diinginkan oleh anggota-anggota tim. Bangunan dari team learning
adalah saling percaya, saling menjunjung tinggi, anggota saling mengisi. Pembelajaran sebenarnya adalah kegiatan untuk meningkatkan kapasitas
(knowledge skill) dan menerapkan dengan efektif (increasing one’s capacity to
take efective action). Team learning memiliki tiga dimensi, yaitu: keharusan
untuk berfikir jernih dan mendalam menghadapi issue yang pelik, kebutuhan untuk
bertindak inovatif dan terkoordinasi, dan kesediaan anggota tim untuk berperan
dalam tim-tim lain sehingga saling melengkapi
dan saling menunjang.
G.
Efisiensi, Efektivitas dan Kesehatan
Organisasi Birokrasi
Menurut Riggs (1966) ukuran
kinerja birokrasi, bukan hanya kinerja perorangan (personal perfomance) atau
suatu unit, tetapi juga yang diukur adalah kinerja organisasi (social perfomance). Ada dua aspek penting dalam pengukuran kinerja menurut
Riggs, yaitu aspek efektivitas dan efisiensi. Efektivitas berkaitan
seberapa jauh sasaran telah dapat dicapai, dan efisiensi menunjukkan bagaimana
mencapainya, yakni dibanding dengan usaha, biaya atau pengorbanan yang harus
dikeluarkan.
Efektivitas dapat dinyatakan
sebagai tingkat keberhasilan organisasi dalam usaha untuk mencapai tujuan atau
sasaran. Dengan perkataan lain efektivitas adalah hasil guna yang dicapai oleh
organisasi untuk mencapai sasaran atau tujuannya. Jadi, makna efektivitas
memiliki konsep yang lebih luas dari pada konsep efisiensi. Efektivitas dapat
berkaitan dengan variabel internal dan juga berkaitan dengan variabel eksternal
organisasi. Sedangkan efisiensi hanya berkaitan dengan proses internal
organisasi, yaitu perbandingan yang rasional atau terbaik antara Input dengan
Output.
Efisiensi berkaitan dengan
pencapaian Output. Sedangkan Output diakibatkan dari Input. Dengan demikian
efisiensi adalah perbandingan terbaik antara hasil Output yang diperoleh dan
kegiatan yang dilakukan serta sumber-sumber atau input yang dipergunakan dalam
sumber-sumber tersebut tercakup tenaga kerja, biaya, material, alat-alat kerja,
waktu dan sebagainya.
William M. Evan (dalam
Martani), mengukur kinerja organisasi dengan menggunakan pendekatan proses,
yaitu menghitung efisiensi, yaitu menghitung besarnya ongkos untuk pengadaan
input (I), menghitung ongkos transformasi (T) serta menghitung nilai output (O)
ketiga variabel ini dapat dikombinasikan untuk mengukur berbagai aspek tentang
kinerja organisasi. Cara yang paling sering yang digunakan untuk mengukur
efisiensi adalah dengan menggunakan rasio O/ I. Bagi Dinas Keberhasilan Rasio
ini dapat diartikan Tingkat biaya yang dikeluarkan untuk mengangkut sampah M3/
hari perbulan. Dari perbandingan rasio tersebut dapat diketahui tingkat
efisiensi Dinas Pendidikan dalam melaksanakan tugasnya.
Kondisi kesehatan organisasi,
dilihat dari sudut pandang sasaran output merupakan proses, bukan hasil atau
kinerja yang dihasilkan oleh organisasi. Akan tetapi dari sasaran sistem,
adalah merupakan output dari proses itu sendiri. Dengan kata lain organisasi
yang sehat merupakan output dari sasaran sistem, dimana organisasi mampu
menciptakan suasana yang harmonis antara semua unsur yang terlibat dalam proses
organisasi.
Kinerja organisasi yang sehat
menurut Martani dicirikan oleh tingginya perhatian atasan terhadap bawahan,
semangat, loyalitas dan kerjasama yang sangat dinamis, saling percaya dan
komunikasi antara pegawai dengan pimpinan, tingginya otonomi dan desentralisasi
dalam pengambilan keputusan, tumbuhnya komunikasi vertikal dan horisontal yang
lancar dalam organisasi dan organisasi memiliki sistem imbalan yang merangsang
setiap individu / kelompok berprestasi.
H.
Kerangka Pikir
Berdasarkan pendekatan
analisis kinerja organisasi menurut Huseini seperti yang diuraikan di atas
bahwa ada tiga pendekatan yang dapat digunakan dalam menganalisis yaitu; (1)
pendekatan sumber, pendekatan proses dan pendekatan sasaran. Sebagai acuan
dalam penelitian ini menggunakan pendekatan prosas (internal process approach) dalam menganalisis kinerja
organisasi. Pendekatan ini menganggap kinerja organisasi sebagai efisiensi dan
kondisi (kesehatn) dari organisasi internal. Pada organisasi yang kinerjanya
baik; proses internal berjalan dengan lancar, pegawai bekerja dengan
kegembiraan dan kepuasan yang tinggi, kegiatan masing-masing bagian
terkoordinasi dengan baik dengan produktivitas yang tinggi, tingginya perhatian
atasan terhadap bawahan, semangat, kerjasama dan loyalitas kelompok kerja,
saling percaya dan komunikasi antara pegawai dengan pimpinan, desentralisasi
dalam pengambilan keputusan, komunikasi vertikal dan horizontal yang lancar,
adanya usaha dari setiap individu maupun keseluruhan organisasi untuk mencapai
tujuan yang telah direncanakan, sistem imbalan yang merangsang pimpinan untuk
mengusahakan terciptanya kelompok-kelompok kerja yang efektif, organisasi dan
bagian-bagian bekerjasama secara baik dan tumbuhnya yang tinggi serta konflik selalu diselesaikan
dengan acuan kepentingan organisasi.
Sementara menurut Etzioni
seperti yang diuraikan terdahulu kinerja organisasi dapat diukur melalui system model yang mencakup empat
kriteria, yaitu adaptasi, integrasi, motivasi dan produktivitas. Dalam hubungan
dengan pengukuran penelitian ini indikator motivasi menurut Etzioni adalah
keterikatan dan hubungan antara perilaku organisasi dengan organisasinya dan
kelengkapan sarana bagi pelaksanaan tugas pokok dan fungsi organisasi. Motivasi
merupakan faktor penting untuk meningkatkan kinerja. Pegawai yang memiliki
motivasi tinggi, akan memiliki kinerja tinggi.
Demikian pula Menurut Ducan
dalam Indrawijaya, kinerja organisasi dapat diukur dengan indikator efisiensi,
yaitu jumlah dan mutu dari hasil organisasi dibanding dengan masukan sumber dan
keseimbangan antara susbsistem sosial dan antara personal. Hal senada pula
dikemukakan Gibson sebelumnya bahwa indikator untuk mengukur kinerja organisasi
dilihat dari pendekatan jangka pendek adalah efisiensi, mutu, fleksibilitas.
Efisiensi adalah kunci utama agar organisasi itu dapat survive dan memasuki era
persaingan. Demikian pula mutu hanya dapat dicapai melalui proses internal
dengan menggunakan teknologi, sumber daya manusia yang trampil, berkemampuan
tinggi, memiliki motivasi tinggi.
Berdasarkan teori motivasi
dari Hezberg (Gibson, 1996) dapat dideteksi bahwa berasal dari faktor instrinsik, yaitu
faktor-faktor atau situasi yang merupakan sumber yang antara lain terdiri dari keberhasilan,
pengakuan, tanggung jawab dan pengembangan; dan faktor ekstrinsik, adalah
faktor yang menjadi sumber ketidakpuasan antara lain terdiri dari supervisi, keamanan
kerja, kondisi kerja kebijaksanaan organisasi dan gaji. Perbaikan dari
faktor-faktor ini akan mengurangi atau menghilangkan ketidakpuasan, namun tidak
menimbulkan kepuasan.
Kerjasama dalam tim merupakan
potensi organisasi yang sangat besar dalam mencapai sasaran organisasi. Oleh
karena itu kerjasama tim harus dikembangkan melalui proses pengembangan
kapasitas tim (team learning). Menurut Senge seperti yang diuraikan di atas
bahwa bangunan tim learning adalah saling percaya, saling menjunjung tinggi,
dan anggota saling mengisi antara sesama tim, dengan begitu proses kerjasama
tim akan tercipta.
Terciptanya hubungan pimpinan
dan bawahan dalam organisasi yang harmonis, transparan, persuasif dapat
mendorong meningkat kinerja organisasi secara keseluruhan. Pimpinan tak dapat
bekerja dengan baik apabila tidak mendapat dukungan dari bawahan, demikian pula
bawahan tak dapat mengekspresikan diri, mengaktulisasi segala potensi dan
motivasinya tanpa dukungan pimpinan. Oleh karena itu antara keduanya harus saling
percaya, terbuka, memberdayakan dan partisipastif.
Iklim organisasi merupakan
suasana secara internal organisasi melakukan aktivitas. Menurut Gibson, iklim
organisasi sangat potensial menciptakan organisasi yang sehat, terutama bagi
kelangsungan interaksi anggota dan kelompok organisasi itu sendiri. Iklim
organisasi yang baik dicirikan oleh otonomi dan fleksibilitas, menaruh
kepercayaan dan keterbukaan, simpatik dan memberi dukungan dan pertumbuhan
pribadi dalam organisasi tersebut.
Berdasarkan kerangka pemikiran
diatas, maka model penelitian ini dapat disimplikasi menjadi (1) pendekatan
analisis yang digunakan untuk mengukur kinerja organisasi adalah pendekatan
proses (internal process approach)
yang menekankan pada efisiensi dan kesehatan organisasi sebagai ukuran kinerja
organisasi. Berdasarkan pendekatan tersebut, maka konsep kinerja organisasi
dapat diukur melalui variabel-variabel: (1) efisiensi organisasi; (2) kerjasama
tim; dan (3) hubungan pimpinan dengan bawahan.
KERANGKA PIKIR
|
|
|
|
|
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Lokasi dan Jenis Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada Dinas
Pendidikan Kabupaten Bone sebagai salah satu unit Birokrasi Pemerintah
Kabupaten secara fungsional bertanggungjawab terhadap terwujudnya pembangunan
pendidikan. Alasan pemilihan lokasi ini didasarkan pada : (1) Dinas Pendidikan
merupakan unit organisasi birokrasi yang berhadapan langsung dengan masyarakat
yang membutuhkan pelayanan bidang pendidikan,; (2) untuk memberi pelayanan bidang
pendidikan, maka kinerja organisasi Dinas Pendidikan harus mendapat perhatian
utama untuk ditingkatkan kapasitasnya terutama menyangkut sumber daya dan
kelembagaan yang memungkinkan anggota organisasi mengaktualisasi kinerjanya;
(3) fungsi Dinas Pendidikan sebagai institusi yang bergerak dalam pembangunan
pendidikan, mencerdaskan bangsa, dilakukan bermitra dengan pemerintah, swasta
dan kelembagaan masyarakat.
Berkaitan dengan tujuan
penelitian adalah untuk menjelaskan tentang fenomena dan fakta sosial yang
terjadi secara obyektif di lapangan, maka jenis penelitian yang cocok dengan tujuan penelitian
itu adalah deskriptif, yaitu suatu penelitian yang mendeskripsikan tentang
kinerja birokrasi pemerintah dilihat dari sudut pendekatan proses.
B.
Variabel, Definisi Operasional, Indikator
dan Pengukuran Variabel
Konsep kinerja birokrasi
pemerintah dapat dijabarkan ke dalam beberapa variabel, yaitu:
1. Variabel
Efisiensi Pelayanan Dinas adalah pebandingan antara input untuk menghasilkan output dalam pengelolaan
dan pengembangan pendidikan.
Indikator yang diukur adalah:
1. Jumlah waktu yang digunakan
2. Jumlah biaya yang digunakan
3. Jumlah pegawai yang dipakai
4. Intentitas waktu dan kuantitas pelayanan
2. Kerjasama
Tim adalah kemampuan
bekerjasama dalam satu kelompok kerja melalui proses pembelajaran bersama untuk
mencapai hasil yang diinginkan.
Indikator yang diukur adalah:
1. Saling percaya
2. Saling menjunjung tinggi
3. Anggota saling mengisi
3. Hubungan
Pimpinan dengan Bawahan adalah
jalinan komunikasi yang harmonis untuk bekerjasama berdasarkan fungsi tugas dan
tanggung jawab masing-masing untuk mencapai tujuan organisasi.
Indikator yang diukur adalah:
1. Dukungan
2. Pemberdayaan
3. Partisipasi
4. Tanggung jawab
Ketiga variabel tersebut
(Efisiensi organisasi, Kerjasama tim, dan Hubungan pimpinan dengan bawahan),
pengukurannya menggunakan Skala Ordinal didasarkan
dari jumlah skor yang dihasilkan dari penggabungan beberapa indikator variabel.
Untuk mendapatkan kategori penilaian adalah dengan memberikan skor atau
diindeks, yaitu yang tertinggi 5,4,3,2 dan yang terendah 1.
C.
Populasi dan sampel
Keseluruhan obyek yang menjadi
sumber data dalam penelitian ini adalah pegawai Dinas Pendidikan Kabupaten Bone
dan mendapat tugas pada saat dilaksanakannya peneltian ini. Berdasarkan
ciri-ciri atau karakteristik di atas, ternyata jumlah populasi yang tersedia di
lingkungan Kantor Dinas Pendidikan adalah 109 orang pegawai.
Karena jumlah populasi yang
cukup banyak, maka dalam penelitian ini ditarik sampel dengan sistem acak,
yakni sebanyak 49 orang diambil dari masing-masing 7 dari 7 sub bidang yang ada.
D.
Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah:
- Data
primer, yaitu data yang diperoleh dari responden dengan menggunakan
kuesioner, wawancara dan observasi. Data ini berkaitan dengan Kinerja
Birokrasi Pemerintah yang meliputi; efisiensi pelayanan birokrasi, Dinas
Pendidikan , kerjasama tim, dan hubungan pimpinan-bawahan berdasarkan
persepsi responden (individu) yang dituangkan dalam daftar pernyataan
(statement) yang disusun secara sistematis berdasarkan variabel dan
indikator.
- Data
sekunder, yaitu data yang dikumpulkan dari instansi/unit kerja Pemda Kabupaten
Bone; Dinas Pendidikan, Bagian Keuangan, Bagian Kepegawaian. Jenis data
sekunder yang dibutuhkan adalah:
a. Data pegawai; jenis pendidikan,
pangkat/golongan, jenis diklat.
b. Data tentang peraturan dan kebijaksanaan
yang dikeluarkan oleh pemerintah.
c. Jumlah dana untuk Dinas Pendidikan baik
rutin maupun pembangunan.
d. Jumlah sarana dan prasarana yang ada.
E.
Analisis Data
Tahapan pengolahan data
setelah terkumpul dari responden adalah :
- Editing,
yaitu peneliti memeriksa seluruh kuesioner yang terkumpul dari responden
untuk memastikan kecocokan pengisian sesuai dengan petunjuk pengisian,
termasuk disini mengecek kembali ke responden bila ada jawaban yang belum
jelas.
- Pengkodean
nomor responden untuk memudahkan tabulasi data pada tahap berikutnya.
- tabulasi
data, yaitu mencatat semua jawaban responden mulai dari responden pertama
sampai responden terakhir. Dari hasil tabulasi data ini diperoleh skor
berdasarkan Skala Likert berdasarkan variabel-variabel penelitian.
- langkah
selanjutnya adalah mencari Rata-rata, Variance dan Standar Deviasi dari
pengukuran Skala Likert dengan rumus yang digunakan adalah:
a. Rata-rata X =
b. Variance S2
=
c. Standard Deviasi S =
- Dari
perhitungan tersebut di atas dapat disimpulkan sesuai dengan persepsi
responden untuk masing-masing skala Likert, yaitu dengan memberi sebutan
dari hasil indeks jawaban skala Likert dengan sebutan: Tinggi, Sedang, Rendah dan Rendah
Sekali. Setiap kategori yang disimpulkan memiliki implikasi, antara
lain berupa saran kongkrit untuk peningkatan kinerja birokrasi pemerintah Kabupaten
Bone. Semua hasil pengolahan data tersebut selanjutnya dianalisis dengan
analisis deskriptif kualitatif.
Pengkategorian nilai dalam
bentuk skala likert sebagai berikut :
Variabel efesiensi pelayanan dinas
Interval
|
Kategori
|
12 – 23
|
Sangat rendah
|
24 – 25
|
Rendah
|
36 – 47
|
Sedang
|
48 – 60
|
Tinggi
|
Variabel kerjasama tim
Interval
|
Kategori
|
9 – 17
|
Sangat rendah
|
18 – 25
|
Rendah
|
26 – 34
|
Sedang
|
35 – 45
|
Tinggi
|
Variabel hubungan kerja
Interval
|
Kategori
|
12 – 23
|
Sangat rendah
|
24 – 25
|
Rendah
|
36 – 47
|
Sedang
|
48 – 60
|
Tinggi
|
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Sesuai dengan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
kinerja birokrasi pemerintah, khususnya dalam kasus Dinas Pendidikan Kabupaten
Bone, maka pembahasan berikut ini akan dijelaskan variabel-variabel penelitian
kinerja birokrasi; efisiensi organisasi,
kerjasama tim, dan hubungan kerja pimpinan dengan bawahan. Uraian awal akan dideskripsikan terlebih
dahulu tentang karakteristik responden dalam penelitian ini.
A.
Karakteristik Responden
Subyek penelitian ini memiliki
karateristik secara umum yakni pegawai di lingkungan Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Bone, pada saat penelitian ini
dilakukan berstatus sebagai pegawai aktif. Namun dari karateristik khusus yang
secara terinci berbeda dari setiap responden. Karateristik yang dimaksud pada
bagian ini meliputi, Jenis kelamin, Usia, dan Pendidikan terakhir responden.
1.
Jenis kelamin
Responden dalam penelitian ini adalah pegawai di
lingkungan Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Bone. Untuk melihat karateristik responden berdasarkan
jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1
Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Pegawai
Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Bone
Jenis Kelamin
|
Frekuensi
|
Persentase (%)
|
Laki-laki
Perempuan
|
20
29
|
40,81
59,18
|
Total
|
49
|
100,00
|
Sumber data : Penelitian lapangan tahun 2007
Berdasarkan pada Tabel 1 di atas maka dapat disimpulkan
bahwa jenis kelamin pegawai pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone lebih banyak perempuan daripada
laki-laki. Kondisi ini memungkinkan dapat berpengaruh terhadap kinerja pegawai,
karena tingkat ketelitian perempuan dalam bekerja lebih tinggi dibanding
laki-laki.
2.
Tingkat usia responden
Untuk melihat secara
keseluruhan, tingkat usia rata-rata responden dapat dilihat pada tabel 2. Data
tabel menggambarkan bahwa dari 49 responden, 1 orang berusia 20 sampai 29
tahun, 31 orang berusia antara 30 sampai 39 tahun, 12 orang berusia antara 40
sampai 49 tahun dan 5 orang berusia antara 50 sampai 59 tahun.
Tabel 2
Distribusi Frekuensi Responden Menurut Tingkat
Umur
Pegawai Pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone
Tingkat Umur
|
Frekuensi
|
Persentase
|
20 – 29
30 – 39
40 – 49
50 – 59
|
1
31
12
5
|
2.04
63,26
24,48
10,20
|
Total
|
49
|
100.00
|
Sumber data : Penelitian lapangan tahun 2007
Hal ini menunjukkan bahwa
komposisi usia responden terkonsentrasi pada usia 30 sampai 49 tahun atau masih
dalam kategori usia produktif. Usia merupakan salah satu indentitas yang dapat
memberikan petunjuk untuk mengetahui kemampuan fisik dan kemampuan daya pikir
seseorang. Semakin tua usia seseorang semakin tinggi tingkat kematangan
berpikirnya dalam proses pencapaian tujuan yang hendak dicapai. Pada usia
produktif sangat memungkinkan seseorang untuk mencapai Kinerja dan meningkatkan
Kinerja kerja karena masih didukung oleh kekuatan fisik dan energi yang
menunjang untuk menjalankan aktivitas pengajaran, dan pelatihan serta bimbingan
terhadap warga belajar.
3.
Tingkat pendidikan
Dalam jenjang pendidikan
terakhir responden, penelitia dapat menguraikan pada tabel 3
Tabel 3
Distribusi Responden Menurut Jenjang Pendidikan
Tingkat Umur
|
Frekuensi
|
Persentase
|
Sarjana Muda/ D III
Sarjana (S1)
Magister (S2)
|
3
43
3
|
6,12
87,75
6,12
|
Total
|
35
|
100.00
|
Sumber data : Penelitian lapangan tahun 2007
Data tabel 3 di atas, menunjukkan bahwa dari 49
respondedn 3 orang adalah lulusan Sarjana Muda / D III, 43 orang lulusan
Sarjana (S1) dan 3 orang lulusan Magister (S2).
Komposisi pendidikan terakhir responden yang
terkonsentrasi pada jenjang pendidikan Sarjana (S1). Hal ini sangat
menguntungkan karena tingkat pendidikan dapat mempengaruhi profesionalisme dan
kualitas kerja pegawai.
B.
Kinerja Dinas Pendidikan
Seperti yang telah diuraikan
sebelumnya bahwa kinerja Birokrasi Pemerintah, khususnya Dinas Pendidikan
diukur melalui pendekatan proses. Variabel untuk mengukur kinerja organisasi
melalui pendekatan ini adalah (1) efisiensi pelayanan dinas; (2) kerjasama tim;
dan (3) hubungan kerja pimpinan dengan bawahan.
Tabel 4
Persepsi Responden tentang Tingkat Kinerja Dinas
Pendidikan Kabupaten Bone
Variabel Kinerja
|
n
|
Total
|
|||
Skor Total
|
Rata-rata
|
SD
|
Variance
|
||
·
Efisiensi
Pelayanan Dinas
|
49
|
1764
|
36,00
|
3,01
|
9,05
|
·
Kerjasama
Tim
|
49
|
1680
|
34,29
|
2,14
|
4,58
|
·
Hubungan
kerja Pimpinan dengan bawahan
|
49
|
2007
|
40,96
|
2,10
|
4,41
|
Sumber : Hasil Penelitian, 2007
Variabel efisiensi organisasi,
seperti yang diperagakan pada tabel 1 menunjukkan rata-rata skor Skala Likert
sebesar 36,00 skor ini berada pada kategori ’setuju’ Skala Likert, SD 3,01. Hal
ini menunjukkan bahwa variance nilai untuk efisiensi sangat kecil, lebih kecil
dari nilai rata-rata. Indikasi ini menunjukkan bahwa pola efisiensi organisasi Dinas
Pendidikan Kabupaten Bone cenderung sama, yaitu berada pada kategori ’setuju’.
Kesimpulan yang diambil untuk variabel efisiensi organisasi Dinas Pendidikan
Kabupaten Bone adalah bahwa tingkat efisiensi organisasi Dinas Pendidikan
Kabupaten Bone dalam taraf ’sedang’, yaitu dalam skala, 12 - 23 = rendah sekali,
24 - 35 = rendah, 36 - 47 = sedang, dan 48 – 60 = tinggi.
Kerjasama Tim, berdasarkan
hasil penelitian ini, rata-rata skor skala Likert mencapai 34,29 atau termasuk ’setuju’
dalam skala Likert dengan SD 2,14. Ini
berarti bahwa tidak ada variance nilai yang berarti untuk variabel kerjasama
tim. Artinya responden mempunyai persepsi yang sama tentang kerjasama tim,
yaitu berada pada kategori ’setuju’. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tingkat
kerjasama tim di Dinas Pendidikan Kabupaten Bone berada dalam taraf ’sedang’,
dalam skala nilai 9 - 17 = sangat
rendah, 18 - 25 = rendah, 26 - 34 = sedang, dan 35 – 45 = tinggi. Artinya
kerjasama tim yang dibangun atau diciptakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten
Bone dalam melaksanakan misi organisasi kategori sedang, kerjasama tim yang ada
belum dapat menjadi sumber daya organisasi yang efektif dalam pencapaian tujuan
organisasi.
Hasil penelitian mengenai hubungan
kerja antara pimpinan dengan bawahan berdasarkan rata-rata skor skala Likert
mencapai rata-rata skor 40,96. Skor ini menurut hasil penelitian berada pada
kategori ’sangat setuju’ dan SD 2,10. Ini berarti bahwa variance nilai untuk
variabel ini sangat rendah, masih lebih kecil di bawah angka rata-rata skor
skala Likert. Indikasi ini memberi pengertian bahwa terdapat kecenderungan yang
sama menurut persepsi responden tentang hubungan kerja antara pimpinan dengan
bawahan pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone, yaitu cenderung sangat setuju.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa tingkat kinerja Dinas Pendidikan
Kabupaten Bone dalam menciptakan hubungan kerja antara pimpinan dengan bawahan
bertaraf ’tinggi’ dengan skala, 12 - 23 = rendah sekali, 24 - 35 = rendah, 36 -
47 = sedang, dan 48 – 60 = tinggi.
Salah satu teori yang dapat
menjelaskan tentang rendahnya kinerja birokrasi pemerintah seperti hasil temuan
penelitian ini adalah teori Osborne & Gaebler (1992) tentang transformasi
birokrasi kearah mewirausahakan birokrasi. Teori ini menjelaskan bahwa
organisasi yang digerakkan oleh misi lebih efisien ketimbang organisasi yang
digerakkan oleh prosedur, organisasi yang digerakkan oleh misi lebih efektif
ketimbang organisasi hanya dapat ditingkatkan melalui perubahan visi, misi dan
tujuan organisasi. Organisasi Dinas Pendidikan Kabupaten Bone adalah organisasi
birokrasi yang digerakkan oleh kekuasaan/prosedur dengan pendekatan hubungan
hirarki berdasarkan kewenangan yang dimiliki oleh pimpinan.
- Efisiensi Organisasi
Keberhasilan organisasi
mengelola sumber daya yang dimiliki untuk mencapai misinya sangat ditentukan
oleh tingkat efisiensi yang dicapainya. Bahkan efisiensi sangat menentukan
tingkat kemampuan organisasi memenuhi harapan dan kepuasan pelanggannya.
Tingkat efisiensi organisasi
adalah perbandingan antara faktor-faktor input; berupa sumber daya organisasi
untuk menghasilkan satu-satuan output berupa barang atau jasa. Dalam hal ini
yang dihasilkan oleh Dinas Pendidikan dapat berupa pelayanan dalam pembangunan
pendidikan. Sedangkan sumber daya dapat berupa dana, tenaga manusia, peralatan,
waktu yang digunakan untuk menghasilkan output.
Sesuai dengan indikator
efisiensi dalam penelitian ini adalah jumlah waktu yang dipakai untuk dapat menjalankan
program-program dalam bidang pendidikan, jumlah biaya yang dipakai dalam
pelaksanaan pembangunan pendidikan.
Tabel 5
Persepsi Responden tentang Tingkat Efisiensi
Organisasi
Pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone
Indikator Efisiensi
|
n
|
Total
|
|||
Skor Total
|
Rata-rata
|
SD
|
Variance
|
||
·
Waktu
yang digunakan
|
49
|
495
|
10,10
|
1,50
|
2,26
|
·
Biaya
yang Dipakai
|
49
|
357
|
7,29
|
0,97
|
0,95
|
·
Pegawai
yang digunakan
|
49
|
491
|
10,02
|
1,31
|
1,72
|
·
Intensitas
kuantitas dengan kualitas pelayanan
|
49
|
421
|
8,59
|
0,76
|
0,58
|
Sumber : Hasil Penelitian, 2007
Seperti yang diuraikan
sebelumnya bahwa tingkat efisiensi organisasi yang diciptakan oleh Dinas
Pendidikan Kabupaten Bone berada dalam taraf ’baik’ dalam skala, 12 - 23 =
rendah sekali, 24 - 35 = rendah, 36 - 47 = sedang, dan 48 – 60 = tinggi. Oleh
karena itu, untuk menjelaskan tentang fenomena tingkat efisiensi organisasi
dapat dilihat pada masing-masing indikator yang dipakai seperti pada peraga
tabel 2 di atas.
- Indikator
waktu yang digunakan dalam pelaksanaan program pembangunan pendidikan
Indikator waktu yang digunakan
dianalisis dengan 3 item pertanyaan. Hasil penelitian berdasarkan rata-rata
skor Likert berada pada skor 10,10 atau masuk kategori ’setuju’ dan SD 1,50.
Dengan demikian bahwa indikator waktu yang digunakan dalam pembangunan
pendidikan berdasarkan persepsi responden tidak memiliki variasi berarti. Hal
ini menunjukkan bahwa terdapat kesamaan persepsi responden tentang waktu yang
dipakai, yaitu’setuju’. Kesimpulan yang diambil untuk indikator ini adalah
waktu yang ditetapkan untuk pelaksanaan program-program pembangunan pendidikan tingkat
pencapaiannya berada pada taraf ’sedang’ dalam skala nilai 3 - 6 = sangat
rendah, 7 - 9 = rendah, 10 - 12 = sedang dan 13 – 15 = tinggi.
- Indikator
biaya yang dipakai
Untuk mengukur indikator biaya
yang dipakai untuk pelaksanaan program pendidikan dideteksi melalui 3 item
pernyataan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa skor rata-rata skala Likert
sebesar 7,29 dan SD 0,97. Skor 7,29 berada pada kategori ragu-ragu’. Hasil ini
memberi pengertian bahwa SD sangat kecil dan tidak memiliki variasi. Ini
berarti bahwa responden memiliki pola jawaban yang sama bahwa biaya yang
digunakan dinas pendidikan kabupaten Bone adalah rendah atau ’ragu-ragu’. Hasil
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa biaya yang digunakan untuk pelaksanaan
program-program pendidikan kurang baik dalam skala nilai 3 - 6 = sangat rendah,
7 - 9 = rendah, 10 - 12 = sedang dan 13 – 15 = tinggi.
- Indikator
pegawai yang dipakai
Untuk
mengukur indikator pegawai yang dipakai untuk melayani pendidikan dapat
dipantau melalui 3 item pernyataan. Hasil penelitian
indikator peralatan, skor skala Likert 10,02 atau
termasuk kategori ’setuju’ dan SD 1,31. Hal ini menunjukkan bahwa variasi
jawaban responden sangat kecil, lebih rendah dari angka rata-rata skor skala
Likert. Ini berarti bahwa responden mempunyai pola jawaban yang sama bahwa pegawai
yang tersedia saat ini sudah memadai atau dengan pernyataan ’setuju’.
Kesimpulan adalah tingkat ketersediaan pegawai yang dipakai dalam taraf ’sedang’
yaitu skala antara : skala nilai 3 - 6 = sangat rendah, 7 - 9 = rendah, 10 - 12
= sedang dan 13 – 15 = tinggi. Dengan pengertian lain bahwa pegawai yang
dimiliki oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Bone saat ini sudah memadai
dibandingkan dengan kebutuhan dalam pembangunan pendidikan.
- Indikator
Intensitas kuantitas dengan kualitas pelayanan
Indikator
intensitas kuantitas dengan kualitas pelayanan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten
Bone dijaring melalui 3 item pernyataan. Temuan dalam penelitian ini
menunjukkan bahwa intensitas kuantitas dengan kualitas pelayanan yang dapat
dicapai oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Bone berdasarkan skala Likert berada
pada skor 8,59 atau termasuk kategori ’kurang setuju’ dan SD 0,76. Data ini
berarti responden memiliki pola jawaban yang sama bahwa intensitas kuantitas
dengan kualitas pelayanan yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Bone
tidak bervariasi. Artinya, dapat disimpulkan bahwa tingkat intensitas kuantitas
dengan kualitas pelayanan yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Bone
berada dalam taraf berkinerja ’rendah’, yaitu dalam skala nilai 3 - 6 = sangat
rendah, 7 - 9 = rendah, 10 - 12 = sedang dan 13 – 15 = tinggi.
- Kerjasama Tim
Salah
satu sumber daya organisasi yang handal adalah adanya kerjasama Tim (team work)
yang tangguh dan prima. Kerjasama tim harus dibangun dan dikembangkan secara
terus menerus sesuai dengan tuntutan dan tantangan tugas-tugas yang dihadapi
oleh organisasi. Oleh karena itu, dalah satu kinerja organisasi yang penting
yang harus dicapai oleh organisasi adalah membangun kerjasama tim yang tangguh.
Organisasi
dapat mencapai kinerja outputnya yang tinggi sangat ditentukan solidnya
kerjasama tim untuk mengerjakan pekerjaan yang menjadi tanggungjawab
organisasi. Untuk membangun kerjasama tim yang tangguh tidak hanya adanya
pembagian tugas yang jelas antara masing-masing individu dan besarnya
kewenangan yang dimiliki untuk mengerjakan pekerjaan. Tetapi yang lebih penting
adalah sebuah tim yang tangguh harus saling percaya antara satu orang dengan
orang lain terhadap integritas, motivasai, nilai dan segala atribut yang
dimiliki oleh anggota tim.
Di
samping anggota Tim saling percaya, juga harus saling menjunjung tinggi atas
segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh anggota tim yang lainnya.
Saling menjunjung tinggi memberi dorongan kepada semua anggota tim untuk loyal
dan memiliki motivasi yang tinggi untuk terlibat dalam proses kerjasama tim.
Indikator
yang ketiga yang sangat penting tumbuhnya kapasitas kerjasama tim yang tangguh
adalah saling mengisi antar anggota tim. Saling mengisi, menandaskan tim
tersebut melakukan proses pembelajaran (learning process) yang secara
terus-menerus, terutama dalam melakukan adaptasi terhadap perubahan lingkungan.
Disinilah tim melakukan proses pemberdayaan anggota timnya dan proses
pembangunan tim (team building) tumbuh dan berkembang. Pada akhirnya tak ada
lagi yang dapat memisahkan diantara mereka, mereka diikat oleh visi dan misi
tim yang sama, yaitu untuk mencapai tujuan yang ditetapkan secara bersama-sama.
Tabel 6
Persepsi Responden tentang Tingkat Kerjasama Tim
Pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone
Indikator Kerjasama Tim
|
n
|
Total
|
|||
Skor Total
|
Rata-rata
|
SD
|
Variance
|
||
·
Saling
Percaya
|
49
|
532
|
10,86
|
1,39
|
1,95
|
·
Saling
menjunjung tinggi
|
49
|
565
|
11,35
|
0,89
|
0,79
|
·
Saling
mengisi
|
49
|
231
|
11,90
|
1,77
|
1,38
|
Sumber : Hasil Penelitian, 2007
Seperti yang diuraikan
sebelumnya bahwa kinerja Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dalam membangun
kerjasama tim berada dalam rata-rata skor skala Likert mencapai 34,29 atau
termasuk setuju dalam skala Likert
dengan SD 2,14. Ini berarti bahwa tidak ada variance nilai yang berarti untuk
variabel kerjasama tim. Artinya responden mempunyai persepsi yang sama tentang
kerjasama tim, yaitu berada pada kategori setuju. Hal ini dapat disimpulkan
bahwa tingkat kerjasama tim di Dinas Pendidikan Kabupaten Bone berada dalam
taraf ’sedang’, dalam skala nilai 9 - 17 = sangat rendah, 18 - 25 = rendah,
26-34 = sedang, dan 35 – 45 = tinggi. Artinya kerjasama tim yang dibangun atau
diciptakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dalam melaksanakan misi
organisasi baik, kerjasama tim yang ada belum dapat menjadi menjadi sumber daya
organisasi yang efektif dalam pencapaian tujuan organisasi.
Kerjasama
tim yang ada hanya sebatas kerjasama yang secara jelas diatur selalui uraian tugas.
Jadi, sebenarnya belum ada terbentuk kerjasama tim yang kompak yang bukan
didasarkan hubungan atasan dan bawahan.
- Indikator
saling percaya
Indikator
saling percaya semua unsur organisasi seperti yang diperagakan pada tabel 4
dijaring melalui 3 item pernyataan. Berdasarkan hasil penelitian untuk
indikator saling percaya antara anggota tim dalam organisasi berada dalam skor 10,86
skala Likert atau termasuk kategori setuju’ dan SD relatif kecil, yaitu hanya 1,39.
Simpulan dalam penelitian ini adalah tingkat saling percaya antara semua unsur
dalam Dinas Pendidikan Kabupaten Bone berada dalam taraf ’sedang’ dalam skala
nilai 3 - 6 = sangat rendah, 7 - 9 = rendah, 10 - 12 = sedang dan 13 – 15 =
tinggi. Saling percaya antara sesama anggota organisasi/tim dalam hal tugas
yang diberikan dan tanggungjawab yang diemban oleh masing-masing anggota tim.
- Indikator
saling menjunjung
Demikian
pula untuk indikator saling menjunjung tinggi, dideteksi melalui 3 item
pernyataan. Berdasarkan kriteria tersebut maka dapat diketahui menurut hasil
penelitian untuk indikator saling menjunjung tinggi antara semua unsur dan
lapisan dalam Dinas Pendidikan Kabupaten Bone berada dalam skor 11,35 atau
termasuk kategori ’setuju’ dan SD 0,89 lebih rendah nilai variance daripada
skor rata-rata. Kesimpulan untuk indikator adalah saling menjunjung tinggi
antara semua unsur dan lapisan dalam Dinas Pendidikan Kabupaten Bone ini berada
dalam taraf yang masih ’sedang’ yaitu Skala Nilai 3 - 6 = sangat rendah, 7 - 9
= rendah, 10 - 12 = sedang dan 13 – 15 = tinggi.
- Indikator
saling mengisi
Hal
serupa pengukuran indikator saling mengisi dilakukan melalui 3 item pernyataan,
seperti pula pada indikator saling percaya, maka berdasarkan hasil penelitian
seperti yang diperagakan pada tabel 4 di atas menunjukkan skor 11,90 atau
termasuk kategori ’setuju’ dan SD 1,38 dengan kesimpulan bahwa tingkat saling
mengisi dan menerima antara semua unsur dalam dinas ini berada dalam taraf ’sedang’ dalam Skala Nilai 3 - 6 = sangat
rendah, 7 - 9 = rendah, 10 - 12 = sedang dan 13 – 15 = tinggi. Kinerja tim
dalam hal saling mengisi antar sesama anggota tim ini terutama dalam hal saling
mengajarkan atas hal-hal baru yang belum pernah diperoleh oleh anggota tim
lainnya, memberi saran dan dukungan atas kekurangan anggota tim lainnya.
Kondisi
ini cukup memenuhi syarat untuk menciptakan kerjasama tim yang prima karena
antara pegawai/pekerja, pimpinan dan bawahan masih cukup transparan, saling
percaya dan saling menghargai atas segala kelebihan dan kekurangan yang
dimiliki. Pendapat responden tentang tingkat kepercayaan dan rasa saling
menjunjung tinggi ini disebabkan : (1) ada sebagian pegawai mendapat tempat
yang ’basah’, padahal pekerjaan yang dilakukan bukan pekerjaan pokok hanya
pekerjaan penunjang; (2) belum seimbang pengabdian dengan imbalan yang diterima
pegawai/pekerja sehingga keterlibatan secara total pegawai atas pekerjaannya
masih rendah; (3) perlakukan/kebijakan Dinas Pendidikan Kabupaten Bone atas
pekerja yang rajin, pintar dan yang mempunyai kemampuan sama saja; dan (4)
tidak adanya penilaian kinerja yang jelas tingkat keberhasilan seorang pegawai
dalam melakukan pekerjaannya, baik dalam tim/seksi/bagian maupun secara
pribadi.
Fenomena
yang dapat dijelaskan tentang rendahnya kinerja Dinas Pendidikan Kabupaten Bone
dalam membangun kerjasama tim adalah pola kerjasama yang terjalin cenderung
berdasarkan pendekatan kewenangan dan kekuasaan, dimana hubungan kerjasama
antara pegawai didasarkan atas pembagian tugas yang secara hirarkial sangat
kaku dengan batasan tugas pokok dan fungsi yang telah ada. Prinsip ini dikenal
dalam Tipe Ideal Birokrasi Weber, dimana salah satu Prinsip ideal birokrasi
adalah adanya hubungan hirarkial-struktural dalam jaringan kerjasama. Pola dan
pendekatan Birokrasi Weberian seperti ini tak mampu memciptakan kerjasama tim
yang prima, kerjasama tim yang tangguh dan prima hanya dapat dilakukan atas
dasar asas kesamaan dan kesederajatan, saling percaya, saling menjunjung tinggi
dan saling mengisi antara satu dengan lainnya sehingga semua anggota organisasi
’tidak merasa’ diperintah dan ’tidak merasa’ ada yang memerintah.
- Hubungan Kerja antara Pimpinan dengan
Bawahan
Dalam
organisasi birokrasi modern pola hubungan kerja pimpinan dengan bawahan sangat
menentukan efektivitas dan efisiensi organisasi. Hubungan kerja yang terjalin
dengan baik dan harmonis dapat memungkin pimpinan dan bersama bawahan untuk
mendayagunakan sumber daya secara optimal, dapat menciptakan koordinasi,
singkronisasi, simplikasi proses kegiatan organisasi secara efisien dan efektif.
Tabel 7
Persepsi Responden tentang Tingkat Hubungan Kerja
Antara Pimpinan dan Bawahan Pada Dinas Pendidikan
Kabupaten Bone
Indikator Hubungan Kerja
|
n
|
Total
|
|||
Skor Total
|
Rata-rata
|
SD
|
Variance
|
||
·
Dukungan
|
49
|
561
|
11,45
|
0,89
|
0,79
|
·
Pemberdayaan
|
49
|
480
|
9,80
|
0,91
|
0,83
|
·
Partisipasi
|
49
|
486
|
9,92
|
1,03
|
1,07
|
·
Tanggung
Jawab
|
49
|
480
|
9,80
|
1,08
|
1,66
|
Sumber : Hasil Penelitian, 2007
Hasil
penelitian tentang tingkat kinerja Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dalam
menciptakan hubugan kerja antara Pimpinan dan Bawahan seperti yang telah
diuraikan sebelumnya berada dalam rata-rata skor skala Likert mencapai
rata-rata skor 40,96. Skor ini menurut hasil penelitian berada pada kategori
’sangat setuju’ dan SD 2,10. Ini berarti bahwa variance nilai untuk variabel
ini sangat rendah, masih lebih kecil di bawah angka rata-rata skor skala
Likert. Indikasi ini memberi pengertian bahwa terdapat kecenderungan yang sama
menurut persepsi responden tentang hubungan kerja antara pimpinan dengan
bawahan pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone, yaitu cenderung setuju.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa tingkat kinerja Dinas Pendidikan
Kabupaten Bone dalam menciptakan hubungan kerja antara pimpinan dengan bawahan
bertaraf ’sedang’ dengan skala, 12 - 23 = rendah sekali, 24 - 35 = rendah, 36 -
47 = sedang, dan 48 – 60 = tinggi.
Untuk
menjelaskan fenomena hubungan kerja antara pimpinan dengan bawahan diuraikan
melalui indikator penelitian berikut ini.
- Indikator
dukungan
Guna
menjelaskan tentang indikator dukungan bawahan terhadap atasan dijaring melalui
3 item pernyataan. Berdasarkan peraga tabel 4 di atas dapat diketahui skor
rata-rata skala Likert untuk indikator dukungan bawahan terhadap pimpinan
adalah 11,45, atau termasuk kategori ’setuju’, dengan SD lebih kecil dari angka
rata-rata yaitu 0,89. Ini berarti responden memiliki persepsi yang sama tentang
dukungan terhadap pimpinan yaitu cenderung ’sedang’. Skala dalam menarik
kesimpulan berdasarkan indikator ini adalah : Skala Nilai 3 - 6 = sangat rendah, 7 - 9 = rendah, 10 - 12
= sedang dan 13 – 15 = tinggi. Dengan demikian kesimpulan yang dapat diambil
adalah tingkat dukungan terhadap pimpinan berada dalam taraf ’sedang’.
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden bawahan, memberikan keterangan
bahwa dukungan terhadap pimpinan terutama dalam menyelesaikan tugas diberikan,
patuh dan taat terhadap perintah dan selalu mengikuti garis kebijakan yang
ditetapkan oleh pimpinan karena pimpinan memiliki kewenangan untuk memerintah
dan menjatuhkan sanksi atas bawahannya.
- Pemberdayaan
Indikator
pemberdayaan, dimana skor rata-rata skal Likert berada pada skor 9,80 yang
dijaring melalui 3 item pernyataan. Skor 9,80 ini berada pada kategori ’setuju’
dengan kesimpulan adalah pemberdayaan bawahan oleh pimpinan berada dalam taraf
’baik’ kala Nilai 3 - 6 = sangat rendah, 7 - 9 = rendah, 10 - 12 = sedang dan
13 – 15 = tinggi. Hasil wawancara dengan responden pimpinan adalah, wujud dari
pemberdayaan bawahan adalah (1) memberi telaahan atas tugas pokok dan fungsinya
dalam batas-batas kewenangan yang dimilikinya; (2) mendorong untuk bekerja
keras; (3) mendorong untuk mengembangkan diri dalam rangka meningkatkan
kemampuan dan kinerjanya.
- Indikator
partisipasi
Untuk
menjelaskan indikator partisipasi bawahan dijaring melalui 3 pernyataan.
Seperti hasil penelitian yang diperagakan pada tabel 5 menunjukkan bahwa
rata-rata skor skala Likert untuk indikator partisipasi menunjukkan skor 9,92
atau termasuk kategori ’setuju’ dan SD 1,03 atau variance lebih rendah daripada
angka rata-rata skor skala Likert. Kesimpulannya adalah bahwa tingkat
pertisipasi bawahan dalam melaksanakan perintah pimpinan berada dalam taraf ’sedang’
yaitu dalam kala Nilai 3 - 6 = sangat rendah, 7 - 9 = rendah, 10 - 12 = sedang
dan 13 – 15 = tinggi. Bentuk partisipasi bawahan ini adalah melaksanakan tugas pokok
dan fungsi sesuai dengan garis perintah, mendukung atas setiap kebijakan
pimpinan dan menjalankan taat terhadap peraturan dan ketentuan yang berlaku
yang diperintahkan oleh pimpinan.
- Indikator
tanggung jawab
Untuk
menjelaskan tentang indikator tanggung jawab bawahan atas tugas yang
dilimpahkan oleh pimpinan dilakukan melalui 3 item pernyataan. Berdasarkan
hasil penelitian rata-rata total skor untuk indikator tanggung jawab adalah 9,80
termasuk kategori ’setuju’, SD 1,08 atau lebih rendah variance terhadap skor
rata-rata skala Likert. Untuk menarik kesimpulan mengenai tingkat tanggung
jawab bawahan menggunakan kala Nilai 3 - 6 = sangat rendah, 7 - 9 = rendah, 10
- 12 = sedang dan 13 – 15 = tinggi. Dengan demikian tanggung jawab bawahan
dalam melaksanakan tugas yang diberikan oleh pimpinan berada dalam taraf ’sedang’.
Artinya pegawai memilih tanggung jawab yang tinggi atas tugas yang diberikan
oleh pimpinannya.
Walaupun
hubungan kerja antara pimpinan dan bawahan berada dalam taraf yang ’baik’ atau
dengan perkataan lain tingkat kinerja hubungan pimpinan dengan bawahan berada
dalam kategori baik, akan tetapi dalam penelitian ini tidak mempunyai hubungan
erat dengan tingkat keterlibatan, partisipasi, rasa kebertanggung jawaban
jajaran dinas ini terhadap pencapaian tugas pokok dan fungsi dinas, khususnya
pada pelaksanaan kegiatan operasional.
Hubungan
kerja antara pimpinan dengan bawahan dapat dijelaskan pula oleh informasi
menurut informan, bahwa semua pegawai/staf Dinas Pendidikan Kabupaten Bone
harus tunduk dan taat segala perintah pimpinan karena pimpinan memiliki wewenan
untuk memerintah, mengelola sumber daya dinas, mengawasi atas semua tingkah
laku bawahan. Keberhasilan Dinas ini melaksanakan fungsi dan tugas pokoknya
sangat tergantung dari pimpinan. Oleh karena itu pula apabila tugas pokok dan
fungsi dinas tercapai dengan efisien, efektif, dapat memuaskan pegawai maupun
masyarakat maka orang yang pertama merasa sukses adalah pimpinan.
Dengan
demikian kesimpulan penting yang dapat dikemukakan dari hasil penelitian
berdasarkan wawancara respondendan informan tentang variabel hubungan kerja
antara pimpinan dan bawahan dalam organisasi birokrasi adalah (1) hubungan yang
terjalin didasarkan atas hubungan hirarkial, bukan atas dasar kerjasama tim;
(2) pemberdayaan bawahan oleh pimpinan dalam konteks hirarkis, yaitu
berdasarkan kekuasaan yang dimiliki oleh atasan; (3) dukungan yang diberikan
oleh bawahan kepada pimpinan atas dasar bahwa pimpinan memliki kewenangan untuk
memerintah dan bawahan wajib memberi dukungan dan harus loyal atas setiap
perintah atasan; (4) partisipasi bawahan didasarkan atas perintah dan ketentuan
yang ditetapkan oleh pimpinan.
C.
Faktor Pendukung dan Penghambat Kinerja
Birokrasi Pemerintah Kasus pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone
Seperti yang telah dijelaskan
pada bab sebelumnya bahwa kinerja birokrasi Dinas Pendidikan Kabupaten Bone
merupakan aktivitas dari seorang pegawai Dinas Pendidikan Kabupaten Bone
setelah menerapkan semua persyaratan atau tugas sesuai dengan kompetensinya.
Adapun hal-hal yang dinilai dalam penelitian ini untuk mengukur kinerja
birokrasi pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone adalah meliputi, efesiensi
organisasi, kepuasan kerja, kerjasama tim, dan hubungan antara pimpinan dengan
bawahan.
1. Faktor Pendukung Kinerja Birokrasi
Pemerintah pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone
Berdasarkan hasil observasi
dan wawancara terhadap responden, ditemukan berbagai faktor pendukung dan
penghambat dalam upaya peningkatkan kinerja birokrasi di Dinas Pendidikan
Kabupaten Bone. Faktor-faktor ini dapat terjadi baik secara internal maupun
eksternal organisasi. Faktor internal meliputi unsur-unsur yang terdapat dalam
tubuh organisasi, yakni Dinas Pendidikan Kabupaten Bone. Kemudian faktor
eksternal aspek yang bersumber dari luar Dinas Pendidikan Kabupaten Bone,
seperti pemerintah, instansi yang relevan dan masyarakat.
Dalam hal
efesiensi organisasi, terdapat faktor pendukung dan penghambat. Berdasarkan
hasil wawancara ditemukan faktor-faktor tersebut. Faktor pendukung efesiensi
organisasai meliputi ; (1) adanya kesadaran dari pegawai dalam menjalankan
peran dan fungsinya dengan waktu yang sebaik-baiknya, (2) penggunaan anggaran
yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan pendidikan cukup tepat sasaran, (3)
penggunaan pegawai dalam job description
yang tepat dan profesional dikembangkan dalam dinas, (4) keterpaduan antara
jumlah program dengan kualitas yang diinginkan. Selain faktor tersebut,
indikator lain yang dapat diukur dari faktor pendukung adalah; (1) dukungan dan
kerjasama dari pegawai yang cukup solid, (2) hubungan baik vertikal maupun
horizontal berjalan baik dalam tubuh organisasi sehingga tercipta suasana
harmonis, (3) pembagian kerja yang cukup profesional, (4) dukungan pemerintah
Kabupaten Bone yang baik, (5) partisipasi masyarakat yang cukup baik.
2.
Faktor Penghambat Kinerja Birokrasi Pemerintah pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone
Apabila
dikonfirmasi dengan data hasil wawancara dengan informan dapat diketahui bahwa
tingkat kinerja birokrasi mendapat hambatan utamanya: (1) alokasi anggaran
untuk pengembangan pegawai relatif rendah; (2) kurangnya inisiatif dari dinas
untuk menyusun program pengembangan pegawai; (3) pola pengembangan pegawai saat
ini masih sangat sentralistik; (4) inisiatif pegawai untuk mengembangkan diri
masih rendah; (5) jangkauan wilayah kerja dinas yang luas dibandingkan dengan
jumlah pegawai yang dimiliki, sehingga mempersulit pengontrolan di
wilayah-wilayah terpencil.
Kemudian faktor
penghambat ditemukan berdasarkan hasil wawancara adalah (1) sangat padatnya
program pendidikan yang kadang kala tumpang tindih sehingga sangat menyita
waktu dan perhatian pegawai. Intensitas pekerjaan yang tinggi tentunya
berpengaruh pada kualitas kinerjanya, (2) anggaran yang diberikan dari
pemerintah daerah masih minim dibanding dengan kebutuhan pendidikan yang
sebenarnya, (3) jumlah pegawai yang relatif sedikit dibanding kebutuhan kerja,
sehingga mempengaruhi efesiensi kerja, utamanya dalam mengejar kualitas kerja.
Dinas Pendidikan
Kabupaten Bone melalui kebijakan pimpinan mengeluarkan serangkankain kebijakan
dalam rangka meningkatkan faktor pendukung efesiensi dan berusaha mengeliminir
faktor penghambat tersebut. Usaha yang dilakukan meliputi; (1) melakukan
koordinasi setiap elemen dalam birokrasi, (2) mengusahakan membangian anggaran
dalam setiap program secara profesional, (3) mengadakan studi mendalam tentang
program-program apa saja yang dapat dilakukan dalam upaya meningkatkan
pembangunan pendidikan, dan (4) mengusahakan kerjasama dari instansi lain yang
relevan dengan program pendidikan.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat
disimpulkan beberapa hal mengenai Kinerja Dinas Pendidikan Kabupaten Bone
berdasarkan pendekatan proses.
1.
Tingkat
Kinerja Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dalam melaksanakan fungsi berada dalam
taraf berkinerja sedang.
2.
Efisiensi
organisasi Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dalam mencapai fungsi pengelolaan pendidikan
berada dalam taraf baik. Dilihat dari
indikator waktu yang digunakan dalam pelaksanaan pelayanan dalam bidang pendidikan.
Dilihat dari indikator biaya yang dipakai yang tergolong masih rendah dibanding
dengan kebutuhan yang ada. Demikian pula pegawai yang dipakai untuk pelaksanaan
pelayanan pembangunan pendidikan kurang memadai dibandingkan dengan kebutuhan
yang diperlukan.
3.
Kinerja
Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dalam membangun kerjasama tim yang prima untuk
melaksanakan tugas pokok dan fungsi dinas terbentuk berdasarkan atas dasar
saling percaya, saling menjunjung tinggi dan saling mengisi diantara semua
unsur dan lapisan dinas. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang
menunjukkan kerjasama tim yang diciptakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Bone berada
dalam taraf sedang. Proses kerjasama yang terjadi dalam menciptakan kerjasama
tim bersifat berdasarkan pendekatan kewenangan yang tertulis dan secara
psikologis pegawai terikat dalam satu kerjasama tim (teamwork) yang utuh.
4.
Kinerja
Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dalam menciptakan hubungan kerja antara
pimpinan dengan bawahan berada dalam taraf tinggi, yaitu melalui dukungan,
pemberdayaan, partisipasi dan tanggung jawab dalam batasan kewenangan yang
dimiliki. Hubungan yang terjalin diidasarkan atas kekuasaan sehingga bawahan
harus tunduk kepada kewenangan yang dimiliki oleh pimpinan untuk melakukan
perintah dan mengambil keputusan serta memberi sanksi.
5.
Faktor
pendukung kinerja organisasi adalah antara lain; (1) dukungan dan kerjasama
dari pegawai yang cukup solid, (2) hubungan baik vertikal maupun horizontal
berjalan baik dalam tubuh organisasi sehingga tercipta suasana harmonis, (3)
pembagian kerja yang cukup profesional, (4) dukungan pemerintah Kabupaten Bone
yang baik, (5) partisipasi masyarakat yang cukup baik. Kinerja birokrasi
mendapat hambatan utamanya : (1) alokasi anggaran untuk pengembangan pegawai
relatif rendah; (2) kurangnya inisiatif dari dinas untuk menyusun program
pengembangan pegawai; (3) pola pengembangan pegawai saat ini masih sangat
sentralistik; (4) inisiatif pegawai untuk mengembangkan diri masih rendah; (5)
jangkauan wilayah kerja dinas yang luas dibandingkan dengan jumlah pegawai yang
dimiliki, sehingga mempersulit pengontrolan di wilayah-wilayah terpencil.
B.
Saran
Berdasarkan kesimpulan penelitian, maka penulis
merekomendasikan berupa saran-saran sebagai berikut :
1.
Untuk
meningkatkan efisiensi Dinas dalam pelayanan pendidikan perlu rasionalisasi
pegawai dan penataan kembali struktur organisasi dinas yang ada sekarang yang
disesuaikan berdasarkan tuntutan kebutuhan tugas dinas.
2.
Pengelolaan
organisasi birokrasi yang hanya menekankan pada pendekatan prosedur harus
disempurnakan melalui perubahan visi, misi, pendekatan, strategi dan kegiatan
operasional agar dapat tercipta kepuasa kerja, kerjasama tim yang prima,
hubungan kerja berdasarkan pendekatan partisipasi dan kelompok kerja (teamwork)
guna dapat mencapai misi organisasi yang efisiensi, efektif dan berkeadilan
kearah yang lebih baik
3.
Penelitian
ini belum komprehensif, karena hanya melihat kinerja organisasi dari segi
pendekatan proses, maka untuk kebutuhan penelitian berikutnya bagi yang
berminat meneliti kinerja organisasi birokrasi dapat menggunakan pendekatan
output, yaitu mengukur produk barang atau jasa yang dihasilkan oleh birokrasi
pemerintah berdasarkan tingkat kepuasaan dan ekspektasi masyarakat yang
dilayani.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Syukur, M., Aspek Kepemimpinan Dalam Birokrasi
(Pengembangan Kemampuan Administrasi Dalam Menunjang Pembangunan Nasional, Persadi,
Ujung Pandang, 1984.
Ahmad, Baddu, Suatu Analisis tentang Prestasi Kerja dan
Hubungannya dengan Kepuasaan dan Semangat Kerja pada Kantor Setwilda Tk. I Sulsel, Tesis S2 Unhas, Ujung Pandang ,
1994.
Albrow, Martin, Birokrasi,
PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta , 1989.
Armstrong Michael and Angela Baron, Performance Management the New Realities,
Isntitute of Personnel and Development, London , 1998.
Creech, Bill, Lima Pilar Manajeme Mutu Terpadu (Cara
membuat Total Qualitty Manajemen Bekerja Bagi Anda), Binarupa Aksara,
Jakarta, 1996.
Dajan, Anton, Pengantar Metode Statistik, LP3ES, Jilid
I, Jakarta, 1993.
Drucker, Peter, F., Managing In a Time of Great Change (Manajemen di Tengah Perubahan
Besar), Efek Media Komputelindo, Jakarta ,
1997.
Frederickson, H., George, Administrasi Negara Baru, LP3ES,
Jakarta, 1984.
Fisipol UGM, Peranan Bappeda Dalam Perencanaan
Pembangunan Daerah di Indonesia, 1991
Gaspersz, Vincent, Manajemen Kualitas (Penerapan Konsep-konsep
Kualitas Dalam Manajemen Bisnis Total), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
1997.
Gibson, dkk., Organisasi: Perilaku, Struktu dan Proses,Binarupa
Aksara, Jilid I & II, Jakarta, 1996.
Henry, Nicholas, Administrasi
Negara dan Masalah-masalah Publik, Rajawali Press, Jakarta 1995.
Kartaningsih, Elis, Gagasan Penilaian Kinerja Pelayanan Umum:Institusi Mekanisme dan
Instrumen Penilaian, Jurnal Wacana Kinerja, No. 4 Thn 1, LAN Jawa Barat,
1999.
Kartasasmita, Ginanjar, Administrasi Pembangunan, LP3ES,
Jakarta, 1997.
__________, Pembangunan untuk Rakyat (Memadukan
Pertumbuhan dan Pemerataan), CIDES, Jakarta, 1996.
Kerlinger, Fred, N, Asas-asas Penelitian Behavioral, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta , 1995.
Kristiadi, J.B, Persfektif Administrassi Publik Menghadapi
Tantangan Abad 21, Jurnal Administrasi dan Pembangunan, Edisi, Khusus,
Volume I No. 2, 1997.
___________, Administrasi/Manajemen Pembangunan, LAN,
Jakarta, 1994.
LAN Perwakilan Jawa Barat,
1998, Pelayanan Kebersihan Kota (Hasil
Penelitian).
LAN, Pengetahuan Tentang Visi dan Misi, Jakarta, 1998.
___________, Strategi Pelayanan Prima, Jakarta, 1999.
___________, Konsep Pengembangan Tentang Pelayanan Prima,
Jakarta, 1998.
Lubis, Hari, S.B, Martini
Huseini, Teori Organisasi )suatu
Pendekatan Makro), PusatAntar Universitas Ilmu-ilmu Sosial – UI.
M., M, Tahir, Suatu Analisis tentang Faktor-faktor yang
Berpengaruh terhadap Kepuasan Kerja Pegawai pada Kantor Kopertis Wilayah
IX,Tesis S2 Unhas, Ujung Pandang, 1997.
Makmur H, M.Si, Filsafat Administrasi, Bumi Aksara, Jakarta,
Februari 2006
Mallo, Manase, Sri
Trisnoningtias, Metode Penelitian
Masyarakat, Pusat Antar Universitas Ilmu-ilmu Sosial – Universitas
Indonesia.
Muhammad Arif Tiro, Instrumen Penelitian Sosial-Keagamaan,
Andira Publisher, Makassar, Januari 2005
Muhammad Arif Tiro, Metode Penelitia Sosial-Keagamaan,
Andira Publisher, Makassar, Januari 2005
Muhammad Arif Tiro, Masalah dan Hipotesis Penelitian
Sosial-Keagamaan, Andira Publisher, Makassar, Mei 2005
Murtir Jeddawi, Hukum Pemerintahan Daerah, UII Pres
Yogyakarta, Watampone, 2006
Mustopadidjaja, AR &
Bintoro, Tjokroamodjojo, Administrasi
Negara, Demokrasi dan Masyarakat Madani, LAN, Jakarta, 1999.
__________, Format Pemerintahan Menghadapi Abad 21, Jurnal,
Administrasi & Pembangunan, Edisi Khusus, Vol. I No. 2, LP3ES, Jakarta,
1997.
Nazir, Moh., Metode Penelitian, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1985.
Nisjar, Karhi, S., Beberapa Catatan Tentang Good Governance, Jurnal
Administrasi & Pembangunan, Edisi Khusus, Vol. I, No. 2, LP3ES, Jakarta
1997.
PERSADI, Pembangunan Administrasi di Indonesia, Jakarta,
1985.
Prawirosentono, Suyadi, Kebijaksanaan Kinerja Karyawan (Kiat
Membangun Organisasi Kompetitif Menjalang Perdagangan Bebas Dunia), BPFE,
Yogyakarta, 1999.
Quigley, V., Joseph, Vision (How Leaders Develop It, Share It, and Sustain It, Quigley and
Associates, Inc, New York ,
1993.
Rasyid, Ryaas, Pembangunan
Pemerintahan Indonesia Memasuki Abad 21, Jurnal Adminsitrasi &
Pembangunan, Edisi Khusus, Vol. I, No. 2, LP3ES, Jakarta, 1997.
Robbins, Stephen, Perilaku Organisasi (Konsep, Kontroversi,
Aplikasi), Prenhalinde, Jakarta, 1996.
Savas, E. S., Privatization
: The Key to Better Government, Chatham
House Publisher, Inn. , New Jersey , 1987.
Senge, Peter, M., The Fifth Dicipline (The Art and Practice of the Learning
Organization), Doubleday Dell Publishing Group, 1997.
STIA Prima Sengkang, Pedoman Penyusunan Tesis
Program Pascasarjana, Sengkang, September 2004
Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta,
Bandung, 1987.
Syamsiah Badaruddin,
Pembangunan Nasional & Pembangunan Regional, Lukman al-Hakim, Watampone,
2006
Tjokroamidjojo, Bintoro, Pengantar Adminsitrasi Pembangunan,
LP3ES, Jakarta, 1985.
Thoha, Miftah, Perspektif Perilaku Birokrasi
(Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara), jilid II, Rajawali Press,
Jakarta, 1987.
___________, Pokok-pokok pikiran Tentang Pemerintahan
yang Bersih dan Berwibawa, Jurnal Administrasi dan PembangunanVol. I No. 2,
LP3ES, Jakarta, 1997.
Osborne, David, Ted,
Gaebler, Mewirausahakan Birokrasi:
Mentransformasikan Semangat Wirausaha ke Dalam Sektor Publik, PT. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta ,
1992.
Osborne, David and Plastrik, Peter, Banishing Bureaucracy (The Five Strategic
For Reinventing Government) Eddision Wesley Publishing Company, Inc., 1998.
Williams, S., Richard, Performance Management: Perspectives on Employee Performance,
International Thomson Business Press, London ,
1998.
DAFTAR ISI
PRAKATA......................................................................................................... iii
ABSTRAK......................................................................................................... iv
DAFTAR ISI...................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL............................................................................................. viii
DAFTAR GAMBAR........................................................................................ ix
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah.............................................................................. 9
C. Tujuan Penelitian............................................................................... 9
D. Manfaat Penelitian............................................................................. 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA
PIKIR.......................... 11
A. Administrasi Pembangunan dan Reformasi
Administrasi................. 11
B.
Arah Perkembangan Administrasi Publik......................................... 16
C. Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih
dan Berwibawa........... 24
D. Konsep Kinerja.................................................................................. 28
E. Kinerja Organisasi Birokrasi.............................................................. 32
F. Kualitas Individu dan Pembelajaran
Organisasi................................ 40
G. Efesiensi, Efektivitas dan Kesehatan
Organisasi Birokrasi............... 44
H.
Kerangka Pikir................................................................................... 46
BAB III METODOLOGI PENELITIAN....................................................... 51
A. Jenis Dan Lokasi Penelitian............................................................... 51
B. Variabel, Definisi Operasional, Indikator
dan Pengukuran Variabel ........... 52
C. Populasi dan Sampel ......................................................................... 54
D. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data........................................ 55
E. Analisis Data...................................................................................... 55
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN.............................. 57
A. Kinerja Dinas Pendidikan.................................................................. 57
B. Efesiensi Organisasi........................................................................... 60
C. Kepuasan Kerja Organisasi................................................................ 64
D. Kerjasama Tim................................................................................... 67
E. Hubungan Kerjasama Pimpinan
dengan Bawahan............................ 72
F. Faktor Pendukung dan Penghambat.................................................. 77
vi
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................... 80
A. Kesimpulan........................................................................................ 80
B. Saran-saran......................................................................................... 82
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 83
LAMPIRAN....................................................................................................... 87
DAFTAR TABEL
No.
Halaman
1. Persepsi Responden tentang Tingkat Kinerja
Dinas Pendidikan Kabupaten Bone 57
2. Persepsi Responden tentang Tingkat
Efisiensi Organisasi Pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone 61
3. Persepsi Responden tentang Tingkat
Kerjasama Tim Pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone 68
4. Persepsi Responden tentang Tingkat
Hubungan Kerja Antara Pimpinan dan Bawahan Pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone......................................................................... 72
DAFTAR GAMBAR
Gambar Uraian
Halaman
1. Jenis Sasaran dan Kinerja Organisasi Yang
Ingin Dicapai............................ 31
2. Metode Analisis Kinerja Birokrasi
Pemerintah: (Kasus pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone) 50
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Halaman
1. Angket Penelitian.......................................................................................... 86
2. Pedoman Wawancara.................................................................................... 92
3. Skor Angket Penelitian.................................................................................. 94
4.
Univariate Procedure..................................................................................... 102
0 komentar:
Post a Comment