Metode Ulama Salaf dalam Memahami Ayat-Ayat Mutasya BihaT
(Studi terhadap Metode Tafwid dan Ta'wil
Ayat-ayat tentang Sifat Allah)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta
untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh Gelar
SarjanaTheologi Islam
Oleh:
ABDUL KODIR
NIM. 01530435
JURUSAN TAFSIR
HADIS
FAKULTAS
USHULUDDIN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2005
ABSTRAK
Metode
Tafwi>d} merupakan metode ulama Salaf, yang pada aplikasinya tidak memberikan
makna yang lahir dari ayat-ayat sifat Tuhan, terutama mereka ketika mengahadapi
ayat-ayat yang ambigu (mutasya>biha>t). Sebab menurut mereka dengan metode ini sudah merupakan pemaknaan
yang layak untuk sifat Tuhan dan mendekatkannya kepada tanzi>h (penyucian), karena inti dari metode ini sebagai sikap
kehati-hatian mereka dari sikaf tasybi>h
(Antropomorfisme) dengan menyerahkan sepenuhnya kepada Tuhan tanpa deskripsi
makna (bila kaif), atau dengan kata lain ulama Salaf menamakannya dengan
ta'wi>l
ijma>li>. Sebab dengan sendirinya ketika ia
menggunakan metode tafwi>d}, berarti ia sudah memberikan ta'wi>l-nya. Karena ta'wi>l itu sendiri menurut mereka adalah memalingkan lafaz} dari makna z}ahir-nya tersebut baik dari dalil al-Qur'an maupun dalil al-Hadis. Hal
inilah yang secara mayoritas ulama Salaf meggunakannya sebagai salah satu
metode dalam menyikapi ayat-ayat mutasya>biha>t al-S{ifa>t.
Ketika
perkembangannya muncul juga yang dinamakan metode tasli>m, yang inti dari kedua metode ini adalah sama-sama menyerahkan
ayat-ayat mutasya>biha>t dari segi makna dengan mengimaninya sebagai Sifat dari keagungan
dan kekuasaan-Nya. Dari pemahaman ayat-ayat mutasya>biha>t, di kemudian hari mendapatkan porsi yang sangat signifikan,
terlebih ketika diangkat dalam perdebatan para teolog skolastik dengan
statemen-statemen mereka bahwa ulama Salaf tidak menggunakan ta'wi>l
tafs}i>li> dalam memahami ayat-ayat mutasya>biha>t, mereka hanya memberlakukan metode tafwi>d} dan tasli>m saja sebagai aplikasinya. Terlebih ketika mereka para teolog hanya
mendukung pendapatnya saja, tanpa melihat data-data konkrit sebagaimana
generasi awal telah mempraktekannya pada metode ta'wi>l tafs}i>li>.
Penulis
melihat di sini sebagai aplikasi konkrit ketika sahabat Ibn 'Abba>s memberikan ta'wi>l
tafs}i>li>, dan ulama-ulama Salaf sesudahnya
yang dianggap kapabil terhadap penerapannya seperti Muja>hid, Ah}mad ibn H{anbal, al-Bukha>ri, dan mufassir dikalangan Atba' al-Ta>bi'i>n
seperti al-Qurt}ubi> dan lain-lain. Hanya saja metode ta'wi>l tafs}i>li> ini tidak begitu dominan seperti metode tafwi>d} dan tasli>m yang pada aplikasinya tidak menyimpangkan makna. Oleh sebab itu
ulama Salaf disamping menggunakan metode tafwi>d} dan tasli>m, mereka sudah menggunakan metode ta'wi>l tafs}i>li>, tidak seperti yang dilontarkan dalam perdebatan para teolog
skolastik dengan pangakuan masing-masing sebagai aplikasi dari ulama Salaf.
Seperti al-Musyabbihah yang berbeda dengan para teolog lainnya yang
mengungkapkan maknanya secara literal. Dan ini tentunya sangatlah berpengaruh
pada perkembangan ilmu tafsir selanjutnya dengan melahirkan berbagai sekte
dalam kajian tafsir. Hal ini dibuktikan penulis ketika melihat sisi perbedaan
dan paradigma yang dibangun sebagai penetapan metode mereka dalam memahami
ayat-ayat sifat sebagai pemahaman yang proposional yang dimaksudkan akan
dalil-dalil tersebut.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Perjalanan Islam sebagai risalah yang dibawa oleh Muhammad telah
berlangsung lebih dari empat belas abad lamanya. Al-Qur'an sebagai rujukan
utama dalam khazanah keislaman selalu dikaji oleh semua lapisan masyarakat
untuk melahirkan pemahaman tentang Islam. Dari kajian-kajian tersebut
melahirkan berbagai pemahanan yang tidak sedikit menimbulkan pertentangan
sebagaimana yang terlihat dalam sejarah perjalanan umat Islam selama lebih dari
empat belas abad lamanya. Umumnya umat Islam mengakui akan perbedaan pendapat.
Bahkan mereka meyakini bahwa umat Islam akan terbagi dalam tujuh puluh tiga
golongan. Sebagaimana yang termuat dalam hadis Nabi bahwa umat Islam ini terbagi kepada tujuh puluh
tiga golongan.[1]
Dalam khazanah Islam muncul dikenal satu golongan yang cukup
mendapat tempat terhormat dalam umat Islam. Golongan tersebut adalah golongan salaf.
Sering sekali setiap perdebatan tentang pemahaman keislaman dikembalikan dan
dicarikan rujukan yang bermuara pada golongan tersebut. Sehingga tidak jarang
golongan-golongan yang muncul dalam Islam mengaku bahwa merekalah golongan yang
sesuai dengan ulama salaf, dari sanalah salah satunya muncul firqah-firqah dalam Islam.
Munculnya firqah-firqah dalam Islam salah
satunya terkait erat dengan pemahaman terhadap ayat-ayat mutasya>biha>t. Secara global ayat-ayat mutasya>biha>t adalah ayat-ayat yang terkait dengan sifat-sifat
Allah. Secara garis besar paling tidak terdapat tiga golongan yang memiliki
pemahaman berbeda yang cukup tajam. Dua kelompok, ekstrim kanan dan ekstrim kiri;
Mu’tazilah dan Musyabbihah, dan satu kelompok moderat di tengah-tengah
keduanya; ialah Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Dari
pemahaman terhadap ayat-ayat sifat ini, kaum Mu’tazilah melahirkan
konsep “nafi> al-s}ifa>t” (peniadaan
sifat-sifat Allah).[2]
Belakangan, karena konsep ini, kaum Musyabbihah mengklaim Mu’tazilah sebagai “al-Mu’at}t}ilah” (Kaum
yang menafikan sifat-sifat Allah). Sedangkan kaum Musyabbihah, menetapkan
adanya sifat-sifat tersebut, tetapi mereka menyerupakan sifat-sifat Allah
tersebut dengan sifat manusia.[3] Adapun
kelompok yang dipandang cukup moderat, Ahlussunnah, mengambil jalan tengah,
kelompok ini meyakini adanya sifat-sifat bagi Allah tanpa menyerupakannya
dengan sifat-sifat manusia.[4]
Pemahaman
ulama salaf terhadap ayat-ayat mutasya>biha>t, di kemudian hari memiliki keterkaitan urgen dalam pembentukan pemahaman firqah-firqah
tersebut di atas. Pertentangan hebat antara kaum Musyabbihah dengan
Ahlussunnah, misalkan, salah satu pangkal sebabnya adalah adanya perbedaan
pemahaman terhadap aqwa>l al-salaf (statemen ulama salaf) dalam
ayat-ayat mutasya>biha>t tentang sifat Allah. Kaum Musyabbihah dengan doktrin dasarnya; “mengambil
makna z{ahir ayat-ayat mutasya>biha>t”, menurut mereka adalah merupakan pengamalan
terhadap statemen ulama salaf “"امروها كما جاء ت بلا كيف (pahamilah ayat-ayat mutasya>biha>t tentang sifat-sifat Allah tanpa ungkapan
bagaimana).[5]
Sementara pada saat yang sama, Ahlussunnah mengatakan bahwa kaum Musyabbihah
tidak memahami statemen ulama salaf
“امروها كما جاء ت بلا كيف” dengan sebenarnya. Menurut Ahlussunnah, bahwa
yang dimaksud oleh ulama salaf dalam pernyataan mereka امروها كما جاء ت بلا كيف "” adalah penafian tasybi>h (keserupaan
Allah dengan makhluk-Nya), dengan alasan adanya ungkapan “bila>
kai>f (tanpa deskripsi bagaimana),[6] dan
karenanya itu tidak memahami dengan mengambil makna z}ahir ayat-ayat mutasya>biha>t.
Pada
perkembangan selanjutnya, ketika pertentangan antara dua kubu semakin hebat,
terbentuk sementara pemahaman bahwa ulama salaf dalam memahami ayat-ayat
mutasya>biha>t tentang
sifat Allah tidak memakai metode ta’wi>l. Pemahaman ini belakangan
semakin gencar disuarakan kaum Musyabbihah untuk menyerang Ahlussunnah. Kaum
Musyabbihah berpendapat bahwa ayat-ayat mutasya>biha>t tidak boleh dita'wi>l,
karena men-ta’wi>l ayat-ayat sifat berarti sama dengan mengingkari hakikat ayat itu sendiri,
di samping itu mereka meyakini bahwa ulama salaf tidak pernah memakai
metode ta’wi>l.
Dari sini kemudian muncul doktrin “al-Mua’wwil Mu’at}t}il”
(seorang yang menta’wil berarti mengingkari sifat-sifat Allah). Mereka
memunculkan metode tafwi>d} atau tasli>m
sebagai antitesa metode ta’wi>l.
Metode tafwi>d} atau tasli>m
menurut kaum Musyabbihah bukanlah bentuk dari pen-ta’wi>l-an, tetapi merupakan penyerahan apa adanya makna
literal dari ayat. Kedua metode tersebut menurut mereka dipakai ulama salaf
dalam memahami ayat-ayat sifat.
Di
pihak lain, Ahlussunnah memandang bahwa metode ta’wi>l merupakan salah satu metode untuk memahami
ayat-ayat mutasya>biha>t, sehingga metode ta’wi>l tidak dapat dipisahkan dari kitab-kitab
tafsir. Bahkan secara umum, semua kitab yang membahas 'Ulu>m al-Qur’a>n tidak
dapat melepaskan diri dari pembahasan metode ta’wi>l, seperti al-Itqa>n Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n karya
al-Suyu>t}i,[7] al-Burha>n
Fi 'Ulu>m al-Qur'a>n karya al-Zarkasyi>,[8]
atau karya lainnya dalam 'Ulu>m al-Qur’a>n dipastikan memuat metode ta’wi>l.
Sedangkan
di sisi lain, kaum Mu'tazilah juga memberlakukan ta'wi>l dalam memahami ayat-ayat sifat, sebagaimana yang
diutarakan Wa>s}il,
tetapi dengan penta'wilan itu mereka berkesimpulan pada peniadaan sifat-sifat
Tuhan sebagaimana yang tertera dalam makna literal, bukan berarti mereka
menolak ayat-ayat sifat seperti al-Rahma>n, al-Rahi>m, al-Bas}ar, al-Sama>' dan lain-lain, tetapi penafsiran mereka berbeda
dengan aliran teologi lainnya.[9]
Dari
pernyataan-pernyataan di atas, penulis merasa tergugah untuk mengkaji dan
menyelami kembali metode pemikiran ulama salaf dalam memahami ayat-ayat mutasya>biha>t khususnya ayat-ayat sifat Allah. Ada beberapa hal
yang membuat penelitian ini penting untuk dilakukan.
Pertama, dalam melakukan kajian mengenai ayat-ayat mutasya>biha>t tentang sifat Allah, ulama salaf lebih
mengutamakan metode tafwi>d} dan tasli>m..
Dengan kedua metode ini ulama salaf secara tidak langsung telah
menyimpangkan makna (melakukan ta'wi>l),
hal ini merupakan konsistensi ulama salaf dalam mensucikan Allah dari
sifat mahluk-Nya, dan makna literal dari ayat-ayat sifat tersebut mustahil bagi
Allah. Maka, dalam memahami ayat-ayat sifat, metode yang paling aman ini adalah
tafwi>d} dan tasli>m. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah
metode tafwi>d} dan tasli>m-nya ulama salaf sama
dengan yang dipahami kaum Musyabbihah? Hal ini, tentu saja menarik untuk
dieksplorasi lebih lanjut.
Kedua, ulama salaf dalam
memahami ayat-ayat mutasya>biha>t tentang sifat di samping menerapkan metode tafwi>d} dan tasli>m,
juga menerapkan metode ta'wi>l tafs}i>li>, yang dalam aplikasinya dengan merinci dan
menentukan makna maja>zi
(metaforis), sehingga tidak merubah esensi maknanya. Hal ini, dalam mengalihkan
makna (ta'wi>l)
merupakan keharusan bagi ulama salaf. Tetapi, asumsi dari berbagai
kalangan Mutaka>limi>n muncul bahwa ulama salaf tidak mempraktikkan ta'wi>l, mereka hanya menerapkan metode tafwi>d} dan tasli>m
saja dalam memahamkan ayat-ayat mutasya>biha>t. Dengan demikian, berangkat dari asumsi di atas, penelitian ini difokuskan
terutama pada metode tafwi>d}, tasli>m dan ta'wi>l tafs}i>li yang diaplikasikan ulama salaf dalam memahami ayat-ayat mutasya>biha>t tentang sifat Allah.
B.
Rumusan Masalah
Untuk menghindari kerancuan dan pembahasan
yang melebar, penulis memfokuskan pembahasan ini pada metode tafwi>d}
atau tasli>m sebagai
bentuk ta’wi>l
yang dikembangkan ulama salaf dalam memahami ayat-ayat mutasya>biha>t.. Pada
praktiknya, ta’wi>l terbagi kepada dua bagian; Pertama: Memalingkan suatu lafaz} dari makna z}ahir-nya
dengan tanpa menentukan makna lain. Metode pertama ini disebut dengan Ta’wi>l
Ijma>li>. Kedua:
Memalingkan suatu lafaz} dari
makna z}ahir-nya dengan menentukan
makna yang lain bagi lafaz}
tersebut yang masih dalam kandungan maknanya. Metode kedua ini disebut dengan Ta'wi>l
Tafs}ili, seperti secara
mayoritas ulama salaf men-ta'wi>l lafaz} “Yad” dengan
"Qudrah" (kekuasaan) atau dengan “’Ahd (perjanjian)”.
Di
samping mendeskripsikan, penulis hendak mengungkap apakah dalam menerapkan
metode tafwi>d}, taslim dan ta’wi>l,
para ulama salaf lebih menekankan pada ta'wi>l tafs}i>li> atau ta'wi>l ijma>li> atau bahkan menekankan keduanya. Oleh karena itu
penulis menyusun rumusan masalah sebagai berikut:
- Bagaimana
metode ulama salaf dalam memahami ayat-ayat mutasya>biha>t
tentang sifat Allah?
- Bagaimana
penerapan metode tafwi>d}, tasli>m dan ta'wi>l tafs}i>li dalam memahami ayat-ayat mutasya>biha>t
tentang sifat Allah oleh
ulama salaf ?
C.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini
bertujuan :
1. Mengetahui metode ulama salaf
dalam memahami ayat-ayat mutasya>biha>t tentang sifat Allah.
2. Mengetahuai penerapan metode tafwi>d}, tasli>m dan ta'wi>l tafs}i>li> ulama
salaf dalam memahami ayat-ayat mutasya>biha>t tentang sifat Allah.
Adapun kegunaan dari hasil penelitian ini adalah :
1. Penelitian ini dilakukan guna
memberikan gambaran pemahaman ulama salaf tentang ayat-ayat mutasya>biha>t
mengenai sifat yang sering diperdebatkan.
2. Penelitian ini diharapkan
dapat memunculkan minat para pembaca untuk mendalami kembali khazanah pemikiran
keislaman pada masa lampau serta dapat memberi gambaran posisi ulama salaf
dalam khazanah penafsiran.
D.
Kajian Pustaka
Berbagai
pustaka yang ditelusuri, penulis mengklasifikasikan karya tulis yang
berhubungan dengan ayat-ayat mutasya>biha>t dalam dua jenis yaitu skripsi yang disusun oleh para mahasiswa dan
buku-buku yang diterbitkan oleh berbagai penerbit.
Untuk
karya skripsi, pertama: Pandangan Muh}ammad 'Abduh terhadap ayat-ayat Mutasya>biha>t: Studi terhadap Tafsir al-Mana>r oleh
Nur Rohman.[10]Dalam
penelitiannya berusaha menitikberatkan pada pemikiran Muh}ammad
'Abduh dari kitab tafsirnya (al-Mana>r) tentang ayat-ayat mutasya>biha>t. 'Abduh mengungkapkan berbagai ayat-ayat
mutasya>biha>t yang ada
dalam al-Qur'an. Sedangkan pada kesimpulan tentang ayat-ayat mutasya>biha>t
ia tidak jauh berbeda dengan para
ulama sebelumnya yaitu dengan memberlakukan ta'wi>l guna memahami ayat-ayat mutasya>biha>t, dan dia cenderung lebih akomodatif dengan
mengangkat sepuluh definisi kemudian menganalisanya. Dari skripsi ini, penulis
tidak menemukan pengungkapan metode tafwi>d} dan ta'wi>l
ayat-ayat mutasya>biha>t mengenai sifat pandangan ulama salaf, karena memang dalam penelitian
Nur Rohman terfokus kepada pemikiran 'Abduh sendiri.
Kedua, skripsi yang ditulis oleh Noer Fadilah Wening
Dwihastuti[11]mengenai
Penafsiran Hamka terhadap Ayat-ayat Mutasya>biha>t (Kajian Tafsi>r al-Azhar).
Dia berkesimpulan bahwa Hamka menerapkan dua metode dalam menyikapi ayat-ayat Mutasya>biha>t.
Pertama, menggunakan penta'wilan
terhadap ayat-ayat yang dianggap dapat dicari ta'wilnya, dan kedua bersikap
tidak melakukan penta'wilan terhadap ayat-ayat yang dianggap hanya Allah saja
yang mengetahuinya. Karena jika dipaksakan untuk mencari-cari ta'wilnya
dikhawatirkan akan keluar dan menyimpang dari maksud ayat yang disampaikan.
Sedangkan pengertian ta'wi>l dalam arti pengalihan makna, banyak digunakan Hamka dalam melakukan
penafsiran ayat-ayat mutasya>biha>t yang kata-katanya mengandung dua arti, seperti mengalihkan makna aw la>mastumu
al-nisa> dengan bersetubuh,
demikian pula ma>
lam tamasuhunna dita'wilkan
dengan sebelum disetubuhi. Sedangkan penerapan tentang metode ta'wi>l pada ayat-ayat mutasya>biha>t mengenai sifat Allah oleh Noer Fadilah kurang terapresiasi, karena dalam
skripsi ini lebih terfokus pada gambaran umum pemikiran Hamka tentang ayat Mutasya>biha>t.
Ketiga, mengenai Penafsiran
ayat-ayat Mutasya>biha>t (Studi Komparatif antara Hasbi ash-Shidieqi dan
Hamka) oleh Kurningsih.[12] Dari
analisa kedua tokoh, Kurningsih menyatakan tidak ada perbedaan yang mendasar
dalam menafsirkan aya-ayat mutasya>biha>t tentang sifat. Dari berbagai contoh yang dipaparkan, baik oleh ash-Shidieqi
maupun Hamka memakai ta'wi>l pada empat ayat dan tawa>quf pada istawa>
dan ja>'a Rabukka, sementara
Hamka pada kata istawa> dan ai>n. Kedua tokoh
itu disebutkan menggunakan metode ulama salaf dalam memahami beberapa
hal tentang ayat-ayat sifat, tetapi skripsi tidak banyak mengupas tentang
metode ulama salaf, karena skripsi ini lebih terfokus pada pemikiran dua
tokoh yang dikaji.
Keempat, Mengenai Pandangan T{aba>t}aba>'i
terhadap Muh}kam Mutasya>bih oleh Muhammad Syarief.[13] Dalam
tulisannya menitikberatkan pada pemahaman T{aba>t}aba>'i tentang ta'wi>l,
ia berkesimpulan bahwa T{aba>t}aba>'i berpendapat bahwa ta'wi>l dapat dipergunakan pada semua ayat al-Qur'an,
baik yang memiliki dimensi muh}kam-mutasya>bih.
Sementara
karya skripsi yang mengkaji tentang konsep ta'wi>l penulis temukan di antaranya: pertama, Ta'wi>l dalam Pemikiran T{aba>t}aba>'i (Studi terhadap Tafsir al-Mizan) oleh Muhammad Ghuzi.[14]Dalam
penelitiannya ia lebih menitikberatkan pada metode ta'wil yang digunakan T{aba>t}aba>'i pada semua ayat al-Qur'an,
karena T{aba>t}aba>'i ingin
mengembalikan semua ayat al-Qur'an pada asalnya yang mengandung sisi batin dan
lahir serta mengandung simbol-simbol yang memungkinkan semuanya untuk dita'wil.
Kedua, mengenai Komparasi Hermeneutis Konsep Ta'wi>l Menurut Muh}ammad Syah}ru>r dan Nasr Hami>d Abu> Zai>d dalam Perspektif al-Ta'wi>l al-Ilmi oleh Fahrur Rozi.[15] Dalam
usaha menyingkap karakteristik perspektif al-ta'wi>l al-ilmi yang tercermin dalam konsep ta'wi>l,
Fahrur Rozi dalam penjelajahannya mengadakan "pengujian paradigmatis" (paradigmatic
examination), sehingga terungkap berbagai struktur paradigma keilmuan Syah}ru>r
dan Abu> Zaid. Di samping itu juga
ia mengadakan "pengujian hermeneutis"(hermeneuitical examination) atas
produk pemikiran yang dihasilkan, yaitu kerangka konseptual dari konsep ta'wi>l yang dirumuskan Syah}ru>r dan Abu> Zaid. Dari
kedua peneliti di atas dalam mengelaborasi pemahaman ulama salaf
terhadap ayat-ayat mutasya>biha>t tentang sifat Allah belum menyentuh secara metodologis, karena memang
dalam penelitiannya tidak mengacu kepada ulama salaf.
Sementara
dari survei untuk karya kitab, buku, artikel, penulis menemukan beberapa kitab
di antaranya: Sah}i>h al-Bukha>ri karya al-Bukha>ri,[16] dalam bab tafsirnya mengemukakan ta'wil> dengan contohnya. Sedangkan dalam buku Id}a>h}
al-Dali>l fi Qat'i Hujaj Ahl al-Ta't}i>l karya Badruddi>n ibn Jama>'ah banyak dimuat ayat-ayat mutasya>biha>t beserta ta'wi>l ulama salaf. Ulama salaf
menurutnya adalah mereka yang hidup dalam tiga ratus tahun setelah hijrahnya
Nabi Muhammad, mereka dari kalangan ulama yang kompeten dalam bidangnya seperti
ilmu hadis, ilmu fiqih, tauhid dan sebagainya.[17]Sebagai
penolakannya terhadap Antropomorfisme, al-Jama>'ah
mengemukakan bahwa Allah tidak seperti mahluknya yang membutuhkan kepada
tempat, seperti ketika menta'wil lafaz} istawa> menta'wilnya dengan al-qahr dan al-isti>la>, karena makna ini sesuai dengan sifat dan
keagungan Allah.[18]
Dalam
kitab al-Asma> wa al-S{ifa>t karya al-Bai>haqi> banyak
dimuat ta'wi>l-ta'wi>l ulama salaf, seperti Ibn 'Abba>s
menta'wil QS. al-Za>riya>t [51]: 47 tentang "al-yad" dimaknai dengan "al-quwwah"(kekuatan),
juga ketika menta'wil tentang cahaya,[19] di sini
Allah sebagai pemberi hidayat kepada penghuni langit dan bumi dan bukan
dimaknai sebagai cahaya yang terdiri dari unsur materi.[20]
Di
samping karya di atas, sebuah karya dari 'Abdulla>h al-Harari> dengan judul bukunya S{ari>h} al-Baya>n
fi al-Rad 'ala> man Kha>lafa al-Qur'a>n, yang memuat prinsip-prinsip akidah ulama salaf,
juga di dalamnya membahas penetapan ta'wi>l tafs}i>li> ulama salaf, penerapan metode ta'wi>l disertai beberapa contoh baik dari ayat al-Qur'an
ataupun hadis Nabi yang mutasya>biha>t mulai dari Ibn 'Abba>s, Muja>hid, Ah}mad ib H{anbal, dan al-Bukha>ri
sebagaimana penerapannya terhadap ta'wi>l
ayat-ayat mutasya>biha>t tentang sifat Allah.[21]Ia juga
mengemukakan pentingnya ta'wi>l ijma>li> (istilah lain dari tafwi>d{
dan tasli>m) sebagai penetapan dari ayat-ayat tentang sifat
Allah, karena tasli>m
dan tafwi>d} menurutnya lebih
dekat kepada metode tanzi>h (pensucian
terhadap sifat Allah dari sifat mahluk-Nya).[22]
Kemudian,
kitab Mutasya>bi>h al-Qur'a>n karya al-Qa>d}i> 'Abd al-Jabba>r al-Hamaz\a>ni> yang menghimpun ayat-ayat
mutasya>biha>t dengan
beberapa ta'wi>l-nya. Buku ini berusaha memberikan penjelasan tentang ayat-ayat yang
dianggap mengandung ambiguitas oleh kaum Mu'tazilah dan dipakai secara salah
oleh lawan-lawannya. Ambiguitas ini dimaksudkan sebagai kemungkinannya secara
lahiriyah atau secara ta'wi>l
untuk dipakai sebagai dalil pendukung pendapat-pendapat yang bertentangan atau
berbeda dengan kaum Mu'tazilah. Pengertian ini menurut mereka tidak dapat
dipegangi karena bertentangan dengan dalil-dalil akal.[23] Kitab
ini juga pernah diteliti oleh Machasin dalam sebuah disertasinya, tetapi tidak
semua masalah yang dibahas 'Abd al-Jabba>r dibicarakan, melainkan dipilih beberapa topik. Ada empat topik yang
dipilih, yakni: tanggung jawab manusia, keadilan Allah, Antropomorfisme dan
masalah pelaku dosa besar. Keempat persoalan ini adalah yang paling banyak
dibahas dalam teologi Islam klasik.[24]
Selanjutnya,
al-Misba>h} al-Muni>r karya Ah}mad ibn Muh}ammad
'Aly al-Fayu>mi> al-Muqarri> menampilkan dalam kitabnya tentang makna ayat-ayat al-Qur'an (ma'a>ni
al-Qur'a>n) khususnya tentang
ayat-ayat sifat Allah, seperti kata al-yad (tangan) yang disinyalir
sebagai sifat Allah yang bermakna al-qudrah (kekuasaan) atau dengan al-quwwah
(kekuatan).[25]
Kemudian
kitab yang membahas ilmu-ilmu al-Qur’an adalah al-Itqa>n karya Jala>luddi>n al-Sayu>ti>.[26] Dalam
bab Muh}kam dan Mutasya>bih-nya merekam
beberapa pendapat sekitar pengertian muh}kam dan
mutasya>bih yang terfokus
pada QS. Ali-'Imra>n [3]: 7. Di
antaranya ada yang memberi pengertian bahwa muh}kam adalah ayat-ayat al-Qur'an yang diketahui maksud,
penjelasan dan penta'wilannya. Sedangkan mutasya>bih adalah ayat-ayat yang hanya Allah yang mengetahui
maknanya, seperti kapan terjadinya hari Kiamat, keluarnya Dajjal dan huruf muqat}a'ah di awal surat. Ada juga yang memberi pengertian muh}kam dengan ayat-ayat al-Qur'an yang jelas maknanya,
sedangkan mutasya>bih adalah sebaliknya. Ada juga yang mendefinisikan muh}kam sebagai ayat-ayat yang mengandung penta'wilan
hanya dari satu segi. Sedangkan mutasya>bih adalah ayat yang mengandung kemungkinan dita'wilkan dari beberapa segi.
Kemudian yang lainnya memberikan pengertian bahwa muh}kam adalah ayat-ayat yang ma'qu>l
al-ma'na>. Sedangkan mutasya>bih adalah ayat-ayat yang ghairu ma'qu>l
al-ma'na>. Dan masih banyak
lagi yang memberikan pengertian lain terhadap kedua terma tersebut.[27]
Kemudian,
dalam kitab Ih}ya> 'Ulu>m al-Di>n karya Abu> H{a>mid Muh{ammad ibn Muh}ammad al-Ghazali> juga dimuat tentang beberapa kajian akidah ulama salaf.[28]
Sebagian dari ayat-ayat mutasya>biha>t yang mengandung sifat Allah seperti lafaz} istawa>, al-yad, alwajh dikemukakan dengan menggunakan metode ta'wi>l tafs}i>li>, tetapi dalam sebagian ayat mutasya>biha>t juga menggunakannya metode tafwi>d}
dan tasli>m sebagai kehati-hatian terhadap paham
Antropomorfisme.
Di
samping itu juga tafsir al-Ja>mi li al-Ah}ka>m al-Qur’a>n karya
al-Qurtubi> yang menetapkan
metode ta'wi>l tafs}i>li> dan berusaha untuk mengungkapkan makna dengan
merincinya, seperti QS. al-An'a>m [6]: 52 mengenai "al-wajh". Secara lahiriyah makna ayat ini
mengandung makna wajah yang dimiliki Tuhan, tetapi al-Qurt}ubi> di sini berusaha memberikan penjelasannya yang
berbeda dengan apa yang tersirat dalam ayat tersebut dengan mengungkapkan bahwa
wajah yang dimaksud adalah mengharapkan keta'atan manusia kepada Allah secara
ikhlas dalam hal beribadah dan tidak menghadap kepada selain-Nya.
Al-Zarkasyi> dengan kitabnya al-Burha>n fi 'Ulu>m al-Qur'a>n juga mengemukakan pentingnya akan metode ta'wi>l sebagai metodologi penafsiran al-Qur'an terutama
dalam penafsiran ayat-ayat mutasya>biha>t. Ta'wi>l menurutnya adalah
mengalihkan ayat pada makna yang sesuai dengan yang sebelum dan sesudahnya,
yaitu makna yang dimungkinkan oleh ayat tidak bertentangan dengan al-Kita>b dan al-Sunnah melalui istinba>t}. [29]
Beberapa karya ulama kontemporer yang
komprehensif dengan memberikan pandangannya terhadap metode ta’wi>l terhadap ayat-ayat sifat dengan mengacu kepada
beberapa kitab-kitab ulama salaf seperti Al-Sarah} al-Qawi>m
fi Halli Alfa>z} al-S{ira>t al-Mustaqi>m karya 'Abdula>h al-Harari>[30] yang menjelaskan Ta'wi>l secara terperinci QS. T{a>ha
[20]: 5, bahwa Allah tidak duduk di
atas Arsy juga tidak bersemayam, dan juga tidak bersentuhan dengannya. Sebagian
interpretasinya dengan mengimani"tasli>m" tanpa memberikan makna secara z}ahir-nya,
dari pemahaman ta'wi>l ini ia menamakannya dengan"ta'wi>l ijma>li>". Kemudian buku-buku lain mengenai ilmu-ilmu
al-Qur’an seperti Subh}i> al-S{a>lih} dalam Maba>h}is fi> 'Ulu>m al-Qur’a>n, sebagian pembahasannya mengenai sifat-sifat Allah
pada ayat-ayat yang Mutasya>bih (tidak jelas
hakikatnya) membagi kepada dua maz\hab di
kalangan para ulama: pertama, maz\hab salaf
(para ulama di kalangan generasi sahabat Nabi) yang menggunakan metode tafwi>d} terhadap ayat-ayat mutasya>biha>t
tentang sifat dan menyerahkan
makna serta pengertiannya kepada Allah SWT. Kedua, Maz\hab khalaf (para ulama di kalangan generasi-generasi berikutnya) yang menetapkan
makna bagi lafaz}-lafaz} yang menurut
lahirnya mustahil bagi Allah. Maz\hab ini
menurutnya berasal dari Ima>m H{aramai>n[31] dan jama>'ah
berikutnya.[32]
Muhammad Chirzin dalam bukunya al-Qur’an
dan Ulumul Qur’an menyebutkan muh}kam dan mutasya>bih yang terdapat pada QS. Ali-Imra>n
[3]: 7 menjadi titik sentral dari
berbagai perdebatan, kriteria, bentuk-bentuk tasybi>h-nya dan lain sebagainya.[33] Ia juga
menyebutkan tiga masalah mengenai ayat-ayat mutasya>biha>t. Pertama, mengenai boleh tidaknya
melakukan ta'wi>l
terhadap ayat-ayat mutasya>biha>t. Kedua, jika boleh siapakah yang
diperbolehkan melakukan interpretasi terhadap ayat-ayat mutasya>biha>t. Ketiga, tentang kriteria ayat yang
dimasukkan ke dalam kategori ayat-ayat muh}kama>t dan yang dimasukkan ke dalam katergori ayat-ayat mutasya>biha>t.[34] Sedangkan untuk melihat historisitas yang
dikemukakan oleh para teolog mengenai sifat-sifat Allah, penulis temukan dalam al-Milal wa
al-Nih}al karya
al-Syahrasta>ni yang banyak memberikan kontribusi lintas
interpretasi para teolog dalam menetapkan sifat-sifat Allah, juga dalam
kitabnya ia mengklasifikasikan perpecahan aliran-aliran dalam Islam.
Dari
beberapa pustaka tersebut di atas, penulis merasa ada sesuatu yang terlewatkan,
yaitu mengenai metode ta'wi>l
yang dilakukan oleh ulama salaf. Selama ini hanya disebutkan bahwa orang
merujuk pada ulama salaf, tetapi secara khusus belum pernah dibahas
bagaimana penafsiran ulama salaf itu sendiri, dan siapa saja yang termasuk
ulama salaf . Oleh karena itu penulis merasa tertarik untuk lebih
menfokuskan pada penelitian tentang
metode ta'wi>l yang dilakukan ulama salaf.
E.
Metode
Penelitian
Penelitian
pada skripsi ini berupa penelitian kepustakaan (library research)[35] yang
bersifat literer, artinya penelitian ini secara langsung akan didasarkan
pada data tertulis yang berbentuk kitab-kitab terutama karya klasik, juga
buku-buku yang terkait. Dalam proses pelaksanaannya, sumber data
diklasifikasikan dalam dua kategori, sumber data primer dan sumber data
sekunder. Sumber primer seharusnya adalah karya asli ulama salaf, tetapi
karena keterbatasan untuk menjangkau karya-karya mereka, maka penulis mengkaji
karya-karya representatif yang memberikan acuan dan mempunyai kontribusi dalam
mendeskripsikan pemikiran mereka. Data primer pertama, mengacu kepada karya
ulama salaf seperti Sah}i>h} al-Bukha>ri> karya al-Bukha>ri,
alasan dijadikan buku primer karena ia termasuk ulama salaf juga memuat
beberapa ta'wi>l
ayat-ayat al-Qur'an dalam bab tafsirnya. Kemudian kitab kedua Id}a>h
al-Dali>l fi Qat}'i H{ujaj Ahl al-Ta't}i>l karya Badr al-Di>n ibn Jama>'ah yang memuat ayat-ayat mutasya>biha>t tentang sifat Allah beserta ta'wi>l-nya
ulama salaf, kitab ketiganya karya al-Bai>haqi> yaitu al-Asma>
wa al-S{ifa>t yang banyak
memuat ta'wi>l-ta'wi>l ulama salaf juga, kitab keempat S{ari>h al-Baya>n Fi>
al-Rad Ala> Man Kha>lafa al-Qur'a>n karya 'Abdulla>h al-Harari>, yang memuat prinsip-prinsip akidah ulama salaf,
juga di dalam kajiannya membahas penetapan ta'wi>l tafs}i>li> ulama salaf. Buku lain tentang Mutasya>bih
al-Qur'a>n karya al-Qa>d}i>
'Abd al-Jabba>r al-Hamaz\a>ni> yang menghimpun ayat-ayat mutasya>biha>t dengan beberapa ta'wi>l-nya. Sedangkan data sekundernya adalah segala sumber tertulis baik kitab,
buku, ensiklopedi, jurnal atau tulisan berbentuk artikel yang berkaitan dengan
pembahasan, baik mengenai sejarah kajian al-Qur'an maupun metode penta'wilan
ulama salaf dalam memahami ayat-ayat mutasya>biha>t tentang sifat Allah.
Dalam
penelitian kali ini, penulis menggunakan metode deskripsi yang berupaya
mendeskripsikan metode pemahaman ulama salaf terhadap ayat-ayat mutasya>biha>t tentang sifat Allah dan menyusunnya secara
sistematis dan logis. Dalam al-Qur'an ayat-ayat mutasya>biha>t tentang sifat Allah lebih dari dua puluh ayat
disebutkan, tetapi penulis tidak membahas secara keseluruhannya. Dengan segala
keterbatasannya untuk menguatkan pendeskripsian ini, penulis menampilkan
berbagai contoh yang berkenaan dengan ragam penta'wilan ayat-ayat mutasya>biha>t tentang sifat Allah dalam al-Qur'an dengan tiga
makna sifat Allah saja, yaitu makna istawa>,
al-wajh dan al-yad. Adapun pendekatan sejarah, digunakan dalam
rangka menyingkap secara kronologis penafsiran ulama salaf, juga berguna
untuk memahami kondisi objektif perkembangan sejarah kajian al-Qur'an di era salaf.
F.
Sistematika Pembahasan
Seluruh
pembahasan dalam skripsi ini akan penulis paparkan ke dalam beberapa bab agar
pembahasan ini teratur, maka sistematika penulisannya adalah sebagai berikut:
bab pertama, berupa pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah untuk
memberi penjelasan mengapa penelitian ini perlu dilakukan, rumusan masalah,
tujuan dan kegunaan penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
Bab
kedua, membahas periodisasi ulama salaf dan kajiannya dalam ulu>m
al-Qur'a>n. Bab ini meliputi pengertian
salaf secara etimologi dan terminologi, dilanjutkan dengan pembahasan
periodisasi ulama salaf, di mana ulama salaf terbagi kepada tiga
masa. Pertama periode sahabat, kedua periode Ta>bi'i>n, dan ketiga periode Ta>bi'
al-Ta>bi'i>n, selanjutnya dalam
bab ini dijelaskan pula mengenai ulama salaf dalam kajiannya terhadap
studi al-Qur'an secara umum guna mengetahui problematika seputar kajian ulu>m
al-Qur'a>n generasi Islam
awal.
Bab ketiga, membahas tinjauan para ulama
terhadap kajian ayat-ayat Mutasya>biha>t. Bab ini meliputi:
pengertian Mutasya>biha>t secara etimologi dan terminologi, dilanjutkan dengan menjelaskan
pengertian ayat-ayat al-Qur'an yang mengandung ayat-ayat sifat Allah
dengan maksud agar pembahasan yang terkandung dapat terungkap secara
menyeluruh, juga dijelaskan pengertian ayat-ayat tentang sifat, dan pandangan
ulama salaf dalam merespon makna ayat-ayat mutasya>biha>t tentang sifat-sifat Allah. Selanjutnya dalam bab
ini dijelaskan pula implikasi pemahaman ayat-ayat mutasya>biha>t tentang sifat Allah terhadap perkembangan firqah-firqah
dalam Islam.
Bab
keempat, merupakan pembahasan inti yang akan mengkaji ayat-ayat mutasya>biha>t tentang sifat Allah dalam konstelasi pemahaman
ulama salaf. Pembahasan bagian pertama meliputi metode tafwi>d},
taslim dengan menjelaskan
beberapa pengertiannya, dijelaskan pula ungkapan dan penerapan ulama salaf
dengan metode tafwi>d} dan tasli>m dalam
memahami ayat-ayat mutasya>biha>t tentang sifat Allah, dijelaskan pula beberapa contoh dalam tafwi>d} dan tasli>m.
Bagian
kedua masih dalam konstelasi ulama salaf dalam memahami ayat-ayat mutasya>biha>t terkait
dengan ayat-ayat sifat Allah, dengan membahas metode ta'wi>l, definisinya dan beberapa contoh ta'wi>l ayat-ayat mutasya>biha>t ulama
salaf. Bagian ketiga sebagai penegasan kembali dalam penelitian ini,
penulis mengkaji relasi antara metode tafwi>d}, tasli>m dengan ta'wi>l, dilanjutkan dengan menjelaskan pembagian ta'wi>l yang
dalam hal ini terbagi kepada dua bagian; ta'wi>l ijma>li> dan ta'wi>l tafs}i>li>, dilanjutkan dengan analisa dan implikasinya
dalam konteks penafsiran sebagai catatan akhir penulis.
Bab
kelima adalah penutup terdiri dari kesimpulan hasil penelitian dan saran-saran.
BAB II
PERIODISASI
ULAMA SALAF
A.
Pengertian Salaf
secara Etimologi dan Terminologi
1.
Pengertian Salaf secara Etimologi
Salaf secara etimologi berasal dari lafaz} salafa yaslufu salfan, contoh salafu al-sai> (sesuatu yang telah lewat) dengan kata
lain Mad}a> artinya yang telah berlalu, seperti salafa
fula>n seseorang telah
berlalu atau juga taqaddama.[36]
Kata salaf
juga bermakna al-mutaqaddimu,[37] dengan
kata lain mu'tabaran mutaqadiman (orang-orang
yang terdahulu yang telah memberikan pelajaran) seperti dalam al-Qur'an:
فجعلنا هم سلفا
ومثلا للا خرين ( الزحرف 56)
Dan Kami jadikan mereka sebagai pelajaran dan contoh bagi
orang-orang yang kemudian".QS. Al-Zuhru>f
[43]: 56.
Hal senada juga dalam Kamus al-Munawwir,
kata "salaf" mengandung arti kullu ma> taqaddama
min a>ba>'ik (sesuatu yang terdahulu dari nenek moyang, leluhur) yang
berarti orang yang lebih dulu, lafaz ini mempunyai lawan kata "khalaf", sedangkan al-sa>lif merupakan isim fa>'il dari salaf yang artinya telah lewat atau yang dahulu atau juga al-mutaqadimu, yang
mendahului, juga bermakna lain al-z\ikru yang telah disebut/dikatakan dahulu.[38]
Jadi, segala sesuatu apabila dinisbatkan kepada kata"salaf",
maka ia mengandung makna lampau.
Dari pengertian di atas, muncul pula
istilah salafiyah yang diturunkan dari akar kata Arab salaf,
"mendahului". Al-Qur'an menggunakan kata salaf untuk merujuk
masa lalu (QS. Al-Ma>idah
[5]: 95, QS. Al-Anfa>l [8]: 38). Dalam leksikon Arab, salaf adalah leluhur
yang saleh (al-salaf
al-s{a>leh}), dan seorang salafi> adalah orang yang mengambil al-Qur'an dan Sunnah sebagai
satu-satunya sumber untuk peraturan agama.[39]
Istilah salafiyah sering dipertukarkan dengan isla>h} (reformasi) dan tajdi>d (pembaruan), yang merupakan konsep fundamental bagi
pandangan Islam. Namun, bagi sebagian orang, istilah ini berkonotasi reaksi dan
kekacauan, akibat dari ketaatan salafiyah yang ketat pada al-Qur'an dan
Sunnah serta pengagungannya terhadap masa lalu.[40]
2. Pengertian Salaf secara Terminologi
Sedangkan
salaf secara terminologi, mayoritas ulama berpendapat bahwa ulama salaf adalah mereka yang hidup
pada tiga abad pertama tahun Hijriyah. Abad pertama disebut periode Sahabat,
abad kedua disebut periode Ta>bi’i>n, dan periode ketiga disebut Ta>bi’ al-Ta>bi’i>n. Hal ini, didasarkan pada hadis Rasulullah riwayat
Muslim,[41] “ Sebaik-baiknya
masa (qarn) adalah masaku, kemudian masa sesudahnya, kemudian masa sesudahnya”.
Pendapat yang lebih kuat, satu (qarn) dimaknai dengan 100 tahun.[42]
Berdasarkan hadis di atas, yang dimaksud salaf, yaitu ulama yang hidup pada tiga ratus tahun
pertama Hijriyah, mereka adalah Ahli fiqih, Ahli hadis, Ahli ilmu ushul, dan Mufassirun.[43]
Kemudian ulama pasca tiga ratus tahun pertama Hijriyah dinamakan ”khalaf”.
Muh}ammad ibn Ibra>hi>m ibn Sa'dulla>h ibn Jama>'ah dalam kitabnya id}a>h} al-Dali>l senada dengan pendapat di atas. Ia mengatakan,
bahwa salaf adalah mereka para ulama yang berkompeten dan mewarisi
kebenaran mengenai ilmu-ilmu agama, pengetahuan dan akidah dari Nabi saw.
Mereka adalah komunitas ulama yang terpilih pada tiga abad pertama Hijriyah
atau sampai pada masa tadwin Hadis resmi.[44] Periode
ini, menurut Hasbi Ash-Shidieqi dalam sejarah hadis disebut ”As\r al-Wahyi> wa
al-Takwi>n” (masa turunnya wahyu dan pembentukan
masyarakat Islam). Pada saat inilah lahir berupa sabda (aqwa>l),
perbuatan
(afa>l), dan penetapan
(taqri>r) Nabi yang berfungsi menerangkan al-Qur'an
dalam rangka menegakkan dan membentuk syari'at Islam.[45]
Sedangkan Emad
Eldin Shahin berpendapat, bahwa yang disebut generasi salaf masih
kontroversial; namun, mayoritas ulama sepakat bahwa salaf terdiri atas
tiga generasi pertama Muslim. Hal ini membentang tiga abad dan mencakup para
sahabat Nabi. Sahabat yang berakhir Ma>lik ibn Anas (w. 91 H/710 M atau 93/712); pengikut mereka,
Ta>bi'i>n (180/796);
dan generasi setelahnya, Ta>bi' al-Ta>bi'i>n (241/855). Ah}mad ibn H{anbal (164-241/780-855) dianggap sebagai orang
yang terakhir dari generasi salaf. Ketiga generasi ini dipandang tinggi
oleh kaum Muslim selanjutnya, atas persahabatan dan kedekatan mereka dengan
masa Nabi, juga atas pemahaman serta praktik keislaman mereka yang murni, serta
kontribusinya bagi Islam.[46]
Definisi
kronologis salaf tidak cukup untuk menjelaskan istilah ini sepenuhnya. salaf
tidak terbatas pada kelompok atau era tertentu. Kaum Muslim mengakui para ulama
yang menonjol setelah masa itu dan tokoh-tokoh independen sebagai generasi salaf,
termasuk Abu> H{amid al-Ghaza>li> (w. 1111), Ibn Tai>miyah (w. 1328), Ibn Qayyim
al-Jauzi>yah (w. 1350), Muh}ammad
ibn 'Abd al-Wahha>b (w.
1792) dan lainnya. Lebih dari itu, pandangan anggota generasi Muslim berubah
seiring waktu dalam menanggapi tantangan yang dihadapi oleh komunitas Islam
karena dedikasinya bagi reformasi dan kebangkitan terus ada.[47] Tetapi
dalam penelitian kali ini, penulis membatasi pembahasan salaf pada ulama
generasi tiga abad pertama Hijriyah dengan masa Ah}mad ibn
H{anbal, al-Qurt}u>bi> dan lain-lain sebagai generasi terakhir, maka pada tulisan selanjutnya
penulis akan menfokuskan pada tiga abad pertama Hijriyah tersebut.
B. Periodisasi Salaf
1. Periode Sahabat
Periode ini
adalah periode seratus tahun pertama Hijriyah, masa ini boleh dikatakan sebagai
periode primordial, sebab para sahabat menerima langsung doktrin-doktrin dari
Nabi, serta masa pembentukan syariat. Nabi Muhammad merupakan figur sentral
yang mempunyai otoritas tunggal dalam masalah keagamaan, para sahabat menerima
semua ajaran langsung dari Nabi ”sistem talaqi”, yang mempunyai konsep
keagamaan yang sangat mulya dan terpilih sebagai umat yang terbaik.[48]
Pada
masa Nabi, nampaknya tidak ada sahabat yang berani menafsirkan al-Qur'an,
karena beliau masih berada di tengah-tengah mereka. Sejak al-Qur'an diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw telah melakukan penafsiran dalam pengertian yang
sederhana, yakni memahami dan menjelaskan al-Qur'an kepada para sahabat. Beliau
adalah the first interpreter (orang yang pertama menguraikan al-Qur'an
dan menjelaskan kepada umatnya).[49] Pada
masa ini Nabi juga melarang para sahabat untuk menulis selain al-Qur'an karena
takut tercampur dengan tulisan-tulisan yang lain.[50]
Sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan Muslim:
لا
تكتبوا عنى غير القرأن ومن كتب عنى غير ا لقرأن فليمحه (رواه مسلم)
Jangan kamu tulis sesuatu dariku selain
al-Qur'an, dan barang siapa yang telah menulis dariku selain al-Qur'an, maka hendaklah dihapuskan.(H.R. Muslim).[51]
Nabi menjelaskan
dan menafsirkan al-Qur'an dengan bentuk sunnah fi'liyah dan juga dalam
bentuk sunnah taqri>ri>yah.[52] Salah
satu kelebihan tafsir pada masa Nabi, selalu dibantu oleh wahyu, sehingga jika
ada kekeliruan terhadap ijtihad Nabi yang terkait dengan persoalan syari'at,
wahyu lain akan turun untuk memberikan teguran dan koreksi.
Namun hal ini tidak
berarti bahwa seluruh kandungan makna al-Qur'an secara detail sudah dijelaskan
oleh Nabi, sebab banyak ayat al-Qur'an yang belum sempat dijelaskan oleh Nabi
sebelum beliau kembali kehariba'an Allah Swt. Dan ini secara tidak langsung
merupakan tugas generasi berikutnya untuk memberikan penjelasan dari apa yang
mereka pahami mengenai al-Qur'an. Dari kalangan sahabat, orang yang pertama
kali berbicara mengenai tafsir adalah Maula>na Ami>r
al-Mu'mini>n 'Ali>
ibn Abi> T{a>lib (18
SH-40 H). Menurut al-Syarbasyi> ia termasuk sahabat yang kompeten dalam bidang ta'wi>l, sehingga Rasulullah menyebutnya dengan "Madi>natu
al-ilm". Ia memahami al-Qur'an yang diturunkan
dengan tujuh huruf, dan setiap huruf mempunyai makna yang tersurat dan
tersirat. Kemudian 'Abdulla>h ibn 'Abba>s (3 SH-68 H) menempati posisi kedua di bidang
tafsir setelah 'Ali> ibn Abi> T{a>lib dengan mengemukakan hampir separuh hadis-hadis
yang disandarkan kepada Nabi. Posisi ketiga adalah 'Abdulla>h
ibn Mas'u>d, ia mempunyai
kedudukan yang tinggi di kalangan mufassiri>n, sehingga ia menempati urutan kedua dalam
banyaknya meriwayatkan hadis Nabi. Posisi selanjutnya, Uba>i bin Ka'ab salah seorang dari empat sahabat Nabi yang
menghimpun ayat-ayat al-Qur'an pada masa Nabi SAW.
Ahli tafsir di
kalangan para sahabat yang terkenal luas ada sepuluh orang, empat orang Khulafa>
al-Rasyidu>n, yakni Abu> Bakar al-S{iddi>q,[53] Umar
bin Khat}t}a>b,[54] Us\ma>n bin Affa>n, dan 'Ali> ibn Abi> T{a>lib. Selain mereka terkenal juga nama-nama: 'Abdulla>h bin Masu>d, Ibnu 'Abba>s, Ubay bin Ka'ab, Zai>d bin S|a>bit, Abu> Mu>sa> Asy'ari> dan 'Abdulla>h bin Zubai>r. Di antara empat orang Khulafa> al-Rasyidu>n, yang paling banyak disebut-sebut para ahli
riwayat adalah 'Ali> bin Abi> T}a>lib. Adapun riwayat tiga orang khalifah lainnya--mengenai soal tafsir--sangat
jarang, mungkin karena mereka ia wafat lebih dulu.[55]
Sumber utama
penafsiran sahabat adalah al-Qur'an sendiri, al-Qur'an adalah ibarat jalinan
kalung di mana yang satu dengan yang lainnya saling terkait dan menjelaskan.
Maka di lingkungan sahabat muncul adagium bahwa al-Qur'an yufassiru ba'd}uhu
ba'd}an. Metode tersebut
merupakan satu cara yang ada dalam tafsi>r bil al-ma's\u>r. Cara yang dipakai dalam metode ini
adalah dengan membawa sesuatu ayat yang mutasya>bih kepada yang muh}kamat, ayat yang mujmal (global) kepada
sesuatu yang mubayyan (rinci), yang mut}laq kepada yang muqayyad, yang a>m
kepada yang kha>s untuk mendapatkan penjelasannya.
Penafsiran ini
cukup kompeten, terlebih mereka ketika menta'wil ayat-ayat mutasya>biha>t dengan membawanya kepada yang muh}kama>t. Di antara tokoh-tokoh mufassir masa sahabat,
adalah 'Abdulla>h ibn 'Abba>s[56] atau yang populer dengan Ibnu 'Abba>s ia dikenal sebagai salah seorang sahabat
yang ahli di bidang tafsir al-Qur'an. Tidak berlebihan jika kemudian ia diberi
gelar tarjuman al-Qur'a>n atau penafsir al-Qur'an.[57] Selain
kedalamannya dalam ilmu tafsir, ia juga dikenal sebagai peletak dasar-dasar
ilmu tafsir.
Kelebihan lain 'Abdulla>h
ibnu 'Abba>s, yaitu
keahliannya dalam mengetahui berbagai makna-makna kata dalam al-Qur'an, yang
oleh ibnu 'Abba>s berhasil dilacak pemakainnya hingga pada puisi-puisi pra Islam.[58] Ibnu
'Abba>s juga menguasai
ilmu-ilmu lainnya, seperti ilmu bahasa, fiqih, sya'ir, sejarah orang-orang Arab
dan ilmu Hadis. Di lingkungan para sahabat sendiri, ketika terjadi perbedaan
pendapat di antara mereka dalam memahami al-Qur'an, mereka selalu mencari dan
bertanya kepadanya.
Jadi, kemampuan
Ibnu 'Abba>s dalam penafsiran al-Qur'an tidak diragukan lagi. Kemampuan beliau dalam
menafsirkan al-Qur'an diyakini merupakan berkah atas do'a yang dipanjatkan oleh
Rasulullah untuknya:"semoga Ibnu 'Abbas menjadi ahli agama, pandai
dalam menta'wil al-Qur'an dan menjadi hamba yang shaleh".[59],
sehingga penafsiran Ibnu 'Abba>s menjadi sebuah tafsir yang cukup representatif dan menjadi rujukan bagi
para sahabat waktu itu, juga para ulama tafsir berikutnya.
Akan tetapi banyak
orang melebihkan periwayat mengenai Ibn 'Abba>s, sementara di sisi lain ada di antara
mereka yang merendahkan dan meremehkan ucapan-ucapannya, sehingga Ima>m
Syafi'i> sendiri
mengatakan: "Tafsir yang benar dari Ibn 'Abba>s hanya setara seratus hadis".[60]
Di luar sepuluh
orang tersebut di atas, terdapat nama-nama lain di kalangan para sahabat Nabi
yang turut ambil bagian dalam penafsiran al-Qur'an, mereka adalah Abu>
Hurai>rah,[61] Anas
ibn Ma>lik,[62] 'Abdulla>h bin Umar, Ja>bir bin 'Abdulla>h dan Ummul-Mu'mini>n
A<'isyah. Tetapi tafsir
yang diriwayatkan dari mereka relatif sedikit dibanding sepuluh mufassir di
atas.[63]
Menurut al-Z{ahabi>,
riwayat-riwayat tentang
penafsiran Ibn 'Abba>s sendiri telah disusun oleh Abu> T}a>hir ibn Ya'qu>b al-Fairu>z A<ba>di. Ia telah berhasil menghimpun atau mengumpulkan
dan melakukan sistematika terhadap tafsir yang dinisbatkan kepada Ibn Abba>s
dengan judul "Tanwi>r
al-Miqba>s min Tafsi>r Ibn 'Abba>s" [64] dengan metode tafsir periwayatan.[65]
2. Periode Ta>bi’i>n
Pasca
sahabat, penafsiran terus berlangsung pada generasi setelahnya, yaitu generasi Ta>bi’i>n yang notabene murid-murid sahabat Nabi
banyak dari mereka yang menjadi ahli tafsir. Kebanyakan mereka terkonsentrasi
di kota-kota, di mana sahabat-sahabat tersebut bertempat. Seperti Said ibn Jubai>r,[66] Muja>hid ibn Ja>bir dan Ikri>mah yang berada di Makkah karena berguru
kepada sahabat 'Abdulla>h ibn 'Abba>s yang berada di sana.
Di Madinah ada Muh}ammad ibn Ka’ab dan Zai>d ibn Aslam yang berguru kepada sahabat
Ubay ibn Ka’ab. Sementara di Irak ada al-H{asan al-Bas}ri dan Amir al-Salabi> yang berguru kepada sahabat 'Abdulla>h ibn Mas’u>d. Gabungan antara penafsiran al-Qur’an
dengan hadis-hadis Nabi, perkataan para sahabat dan Ta>bi’i>n inilah yang kemudian dikenal atau
dikelompokkan sebagai tafsi>r bi al-Ma’s\u>r.[67]
Mengenai mereka di
atas, Ibn Tai>miyah mengatakan: "yang paling banyak mengetahui soal tafsir ialah
orang-orang Makkah, karena mereka itu sahabat-sahabat Ibn
'Abba>s, seperti: Muja>hid, 'At}a> bin Abi> Rayyah, Ikri>mah
Maula> Ibnu 'Abba>s, Said ibn Jubai>r, T{a>wus dan lain-lain. Demikian juga mereka yang berada
di Kufah (Iraq), yaitu sahabat-sahabat 'Abdulla>h ibn Mas'u>d. Sedangkan di Madinah, seperti Zai>d ibn Aslam yang menurunkan ilmunya kepada
anaknya sendiri, 'Abdurrahma>n ibn Zai>d dan kepada muridnya, yaitu Ma>lik ibn Anas"[68].
Adapun di kalangan
generasi Ta>bi'i>n menurut Ah}mad al-Syirbasyi> muncul beberapa ulama ahli tafsir, lalu mereka
banyak meriwayatkan hadis-hadis Nabi SAW dalam penafsiran al-Qur'an. Di antara
mereka adalah: Al-D{ah}a>k ibn Muzalim (w. 120 H), At}iyah ibn Sa'ad al-Au>fi (w. 111 H), Ismai>l ibn Abd al-Rahma>n al-Sa>di (w. 146 H), Asbat} ibn Nasar, Muh}ammad ibn Sai>d al-Kalabi (w. 146 H), Muh}ammad ibn Marwa>n
al-Si>di al-S{a>ghir, Muqa>til ibn Sulaima>n al-Azdi al-Kurasani> (w. 150 H), 'Abu
Kha>lid 'Abd al-Ma>lik ibn 'Abd al-Azi>z ibn Juraizi, dan lain-lain.[69]
Pada masa Ta>bi'i>n
telah mulai dilaksanakan
kodifikasi kitab tafsir serta pengklasifikasian secara teratur sesuai dengan
masa penyusunan. Kitab tafsir pertama ialah tulisan Sa'id ibn
Jubai>r (w. 64 H), setelah
itu Abu> Muh}ammad ibn Ismail ibn 'Abd al-Rah}ma>n al-Kufi>>, yang terkenal dengan nama al-Sidi (w. 127 H).
Kemudian tafsirnya Muh}ammad ibn Sa'id al-Kalbi (w. 146) dengan tafsirnya "al-Kabi>r", dan masih banyak lagi karya tafsir yang lahir
pada masa Ta>bi'i>n.[70]
John Wansbrough
seorang pengkaji karya tafsir klasik berpendapat, bahwa sebenarnya berbagai
karya tafsir tertulis mulai bermunculan minimal sejak Abad ke-2 H, meskipun
sulit dideteksi mengenai jenis tafsir yang berkembang pada masa itu, serta sulit
menentukan kitab tafsir mana yang dipandang lebih tua. Dalam hal itu Wansbrough
mengkalisifikasikan berbagai kitab tafsir pra-T{abari> ke dalam lima jenis (tipe) yaitu: haggadic
(naratif) halakhic (legal), masoretic (tekstual), rhetoric
(retorika), dan alleggorical (simbolis). Dalam pengklasifikasian ini
Wansbrough menggunakan kriteria stylistic (gaya penafsiran) dan functional
(kegunaan, fungsi) dari tafsir tersebut yang kemudian dikolaborasikan antara
keduanya.[71]
Meskipun rentetan kesejarahan (Historical sequence) dari klasifikasi
Wansbrough ini masih diperdebatkan secara luas, akan tetapi kategorisasi
tersebut menunjukkan suatu bentuk keilmuan yang kuat, fungsional, mempersatukan
dan sangat bermanfa'at.[72]
Penelitian
Wansbrough hanya mencakup berbagai kitab tafsir sebelum munculnya karya al-T{abari> yang disusun abad ke-1 dan ke-2 hijriyah,
yang meliputi berbagai karya seperti Tafsir karya Muqa>til
ibn Sulai>ma>n (w. 767
M), Fad}a>'il al-Qur'a>n karya Abu> Ubaid (w. 838 M), Tafsi>r karya 'Abd al-Razza>q Musytabiha>t al-Qur'a>n karya al-Kisa'i> (w. 804), Tafsi>r karya Muja>hid
al-Jabba>r, Tafsi>r karya Sufya>n
al-S|auri>, Ma'a>ni
al-Qur'a>n karya al-Farra'(w. 822 M), dan Tafsi>r Khams
Mi'ah al-A<yah karya Muqa>til
ibn Sulaima>n dan
lain-lain. Dari berbagai kitab tafsir tersebut, kitab yang termasuk jenis
tafsir haggadic (naratif) adalah tafsir al-Qur'an karya Muqa>til
ibn Sulaima>n, di mana
tafsir tersebut berusaha memberikan uraian tentang qis}s}ah (narasi, cerita) yang secara khusus
menekankan aspek hikmah dan etika yang terkandung dalam berbagai cerita
tersebut. Sebagai bahan cerita dalam penafsiran diambil dari cerita-cerita
rakyat Timur Dekat seperti rakyat Bizantium, Persia, Paris, dan khususnya
cerita di lingkup Yahudi Kristen. Dan kitab yang termasuk jenis tafsir halakhic
(legal) yaitu tafsir Khams al-A<yah karya lain dari Muqa>til
ibn Sulaima>n di mana
tafsir ini berisi berbagai topik seperti keimanan, peribadatan, kasih sayang,
puasa, haji, hutang piutang dan lain-lain.[73] Jenis
tafsir ini mulai agak rumit dan teknis karena dikembangkan metode untuk
menentukan kronologi wahyu Islami serta analisa atas hukum legalnya. Jenis
Tafsir ini menjadi pelopor lahirnya al-Tafsi>r al-Ah}ka>m yang kemudian dikembangkan oleh al-Jas}s}a>s} (w. 981 M) dengan karyanya Ah}ka>m
al-Qur'a>n,
kemudian al-Qurt}ubi> (w. 1272 M) dengan karyanya al-Ja>mi Li Ah}ka>m
al-Qur'a>n.[74]
Kemudian dari
jenis tafsir Masoretic (tekstual) meliputi kitab Ma'a>ni
al-Qur'a>n karya al-Farra>', Fad}a>il
al-Qur'a>n karya Abu>
Ubaid, Musytabiha>t
al-Qur'a>n karya al-Kisa'i>, dan kitab al-Wuju>h
al-Naz\a>ir karya Muqa>til
ibn Sulaima>n yang lain.
Aktivitas dalam tafsir jenis ini berkutat pada berbagai penjelasan tentang
berbagai aspek leksikon dalam ragam bacaan berbagai ayat al-Qur'an. Pada era
modern tafsir jenis ini kemudian dikembangkan oleh 'Ali
al-Sabu>ni> dalam
karyanya Safwa>t al-Tafa>sir.[75]
Sedangkan jenis tafsir rhetoric (retorika) terlihat dalam kitab tafsir maja>z
al-Qur'a>n karya Abu>
Ubaidah (w. 824 M) dan ta'wi>l
al-Muski>l al-Qur'a>n karya ibn Qutai>bah (w. 889 M) di mana perhatian terpusat pada nilai sastra al-Qur'an yang
ditempatkan di luar batas-batas prosa dan puisi Arab. Dan jenis allegorical
(metaforis, simbolis) terlihat dalam karya tafsir sufistik karya Sahl
al-Tusturi (w. 896 M), di mana jenis tafsir ini mengungkapkan maksud simbolis
al-Qur'an yang mengangkat makna zahir dan batin sebuah ayat al-Qur'an.[76]
Dengan munculnya
para mufassir pada masa Ta>bi'i>n tidak dikhawatirkan lagi tercampurnya antara al-Qur'an dan Hadis, sehingga
tidak menimbulkan kesamaran tentang al-Qur'an dan Hadis. Hal ini, karena
al-Qur'an sebagai tasyri>' yang pertama telah dibukukan, maka hadispun yang berfungsi sebagai
interpretasi al-Qur'an, secara otomatis harus dibukukan pula.
Sehingga pada masa
ini pula selain mereka terkonsentrasi pada al-Qur'an dan tafsir, sebagian para Muhaddisu>n mereka sudah aktif dalam pemeliharaan,
penulisan dan pengumpulan Hadis. Kemudian ditingkatkan dengan adanya pen-tadwin-an
hadis diselenggarakan untuk tujuan pemeliharaan Syari'at. Hal ini
sebagaimana telah dinashkan dalam al-Qur'an:
انا نحن نزلنا
الذكر وانا له لحا فظون ( الحجر 9)
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan
al-Dzikr (al-Qur'an) dan sesungguhnya Kami ( pulalah) yang memeliharanya.(QS al-Hijr: 9)[77]
3. Periode Ta>bi'
al-Ta>bi’i>n
Periode Ta>bi'
al-Ta>bi'i>n (generasi
ketiga Kaum Muslimin) meneruskan ilmu yang mereka terima dari kaum Ta>bi'i>n. Mereka mengumpulkan semua pendapat dan
penafsiran al-Qur'an yang dikemukakan oleh para ulama terdahulunya (masa
sahabat dan Ta>bi'i>n) seperti yang dilakukan Sufya>n ibn Uyainah, Waki> ibn al-Jarrah, Syu'bah ibn al-H{ajja>j, Yazi>d ibn Ha>ru>n, 'Abd al- H{ami>d dan lain-lain.[78]
Kitab-kitab
tafsir yang mereka tulis pada umumnya memuat pendapat-pendapat apa yang
dikatakan oleh para sahabat Nabi dan kaum Ta>bi'i>n. Di samping itu juga ada yang menafsirkan
seluruh isi al-Qur'an, juga yang menafsirkan sebagian saja (satu juz), ada juga
yang menafsirkan satu surat bahkan satu atau beberapa ayat khusus, seperti
ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum. Semua pendapat dan penafsiran yang
dituangkan ke dalam kitab-kitab tafsir, merupakan pembuka jalan bagi Ibnu Jari>r
at-T{abari> dalam
penafsiran al-Qur'an.[79]
Al-T{abari>, dalam kitab tafsirnya menyebutkan beberapa segi
tafsir riwayat, ia menyajikan pula sanad-sanad hadis dan menyusunnya secara
serasi serta berurutan dan ia mengungkapkan pula tentang ketetapan nas}-nas} yang diperselisihkan tentang sanadnya.
Sedangkan metode yang dipergunakan dalam menafsirkan al-Qur'an: pertama,
Ia memberikan landasan al-Qur'an tentang periwayatan suatu nas} dari Nabi dengan mempergunakan bahasa
Arab upaya memahami makna suatu kalimat yang tidak ada keterangan tafsirnya
dari As\ar (hadis) yang sah}i>h. Syair-syair Arab, kisah israiliyat[80] juga
dijadikan pedoman untuk mengukur ketepatan pemahaman mengenai suatu lafaz dalam
al-Qur'an dan Hadis. Tetapi ia terikat dengan prinsip-prinsip dasar yang tidak
boleh bertentangan dengan hadis maus}u>q
dan sah}i>h. Kedua, ia tidak menggunakan metode makna maja>zi> (metaforis) dan lebih mengutamakan
pemahaman makna-makna dari segi pengertian kata-kata (lafaz{).[81]
Pasca T{abari>, penafsiran al-Qur'an mengalami
perkembangan yang cukup pesat yang ditandai dengan munculnya berbagai kitab
tafsir seperti Ta'wi>la>t Ahl al-Sunnah karya Abu> Mansu>r
al-Matu>ridi> (w. 944
M), Bahr al-Ulu>m karya Abu> Lais al-Samarqandi>
(w. 983 M), dan al-Kasyf
al-Baya>n an Tafsi>r al-Qur'a>n karya S|a'labi (w. 1035 M), di mana mereka merupakan para
mufasir abad ke-4 dan ke-5 Hijriyah yang menunjukan bahwa "tafsir
Tradisional" telah terbentuk. Pada masa ini juga mulai terbentuk sub
kajian khusus dalam al-Qur'an yang berkaitan dengan 'Ulu>m
al-Qur'a>n khususnya
yang berkaitan dengan sebab-sebab pewahyuan atau Asba>b
al-Nuzu>l dengan
karyanya al-Wa>hidi> (w.1075 M) dan disempurnakan oleh al-Suyu>t}i> (w. 1505 M) dalam karyanya Luba>b
al-Nuqu>l fi> Asba>b al-Nuzu>l.
Ketika kitab
tafsir pada masa Ta>bi' al-Ta>bi'i>n sudah terkodifikasi, muncul beragam corak
penafsiran al-Qur'an dengan berbagai permasalahannnya, hal ini telah mengundang
perhatian banyak pengkaji penafsiran untuk menelaah berbagai corak penafsiran
tersebut, sehingga muncul pengklasifikasian maz\hab-maz\hab (sekte-sekte) tafsir pada generasi awal (salaf).
Abdul Mustaqim merinci sebab-sebab munculnya maz}hab-maz}hab tafsir, yang secara umum dibagi menjadi
dua faktor: pertama, faktor internal (al-awa>mil
al-da>khili>), faktor Internal dipicu oleh beberapa
sebab: (i) Kondisi objektif teks al-Qur'an yang memungkinkan untuk dibaca
secara beragam, karena al-Qur'an mempunyai berbagai versi bacaan yang dikenal sab'atu
ah}ru>f. (ii) Kondisi
objektif dari kata-kata (kalimah) yang memungkinkan untuk ditafsirkan
secara beragam. Seperti ayat-ayat mutasya>biha>t yang dita'wil dari berbagai segi sehingga
mempunyai banyak arti. (iii) Adanya ambiguitas makna dalam al-Qur'an, yang
disebabkan adanya kata-kata musytarak, seperti kata al-Quru
(dapat bermakna suci, dan dapat pula haid). Sedangkan faktor eksternal (al-awa>mil
al-kha>rijiyyah) adalah
faktor-faktor yang berada di luar teks al-Qur'an, yaitu kondisi subyektif mufassir,
seperti kondisi sosio-kultural, politik, prejudice-prejudice (pra-anggapan)
yang melingkupi mufassir (reader).[82]
C. Beberapa Kontribusi Lain Ulama Salaf dalam Studi Al-Qur'an
Karena penelitian
ini terkonsentrasi pemahaman ulama salaf pada ayat-ayat mutasya>biha>t, penulis terlebih dahulu membahas
pemahaman ulama salaf terhadap ayat-ayat al-Qur'an secara global sebagai
kontribusinya dalam penafsiran. Pembahasan pemahaman secara umum ini berkaitan
erat dengan pembahasan selanjutnya dan juga sebagai pengantar pada pembahasan
ayat-ayat mutasya>biha>t tentang sifat Allah yang menjadi fokus penelitian
ini. Juga disusun guna mengetahui peran ulama salaf dalam memberikan
pondasi dan meletakkan dasar-dasar ilmu al-Qur'an selain seperti ilmu Tafsir,
ilmu asba>b al-nuzu>l, ilmu tentang ayat-ayat yang turun di Mekkah dan
yang turun di Madinah (Makkiyah dan Madaniyah), ilmu na>sikh
mansu>h, ilmu ghari>b al-Qur'a>n (soal-soal yang memerlukan penta'wilan dan
penggalian makna) dan ilmu muh}kam dan mutasya>bih.
Dalam
sejarahnya, sekalipun bahasa Arab yang digunakan dapat dipahami, namun terdapat
pula bagian-bagian al-Qur'an yang sulit untuk dipahami. Seperti terdapat
ayat-ayat mutasya>biha>t dan ayat-ayat yang masih samar pengertiannya (al-ghumu>d) yang disebabkan oleh ke-mujmal-an
al-Qur'an, seperti lafaz} musytarak (lafaz{ yang memiliki makna ganda), ghari>b
al-lafz}i (lafaz{ yang masih asing), al-had\f (pembangunan lafaz{), ikhtila>f marji
al-d}ami>r (adanya
perbedaan tempat kembalinya yang diakhirkan), dan lain sebagainya. Hal inilah
yang menjadi pemicu kajian di kalangan ulama salaf, dan tidak
mengherankan jika sejumlah pengamat Barat, seperti Welch dan juga Watt
memandang al-Qur'an sebagai suatu kitab yang tidak mudah untuk dipahami dan
diapresiasi. Sehingga menurut mereka, kitab ini dari segi bahasa, gaya, dan
aransemen telah menimbulkan masalah khusus bagi mereka.[83]
Al-Qur'an
di samping mengandung pemahaman muh}kama>t dan mutasya>biha>t, juga melahirkan berbagai konsep kajian ilmu
al-Qur'an yang sangat luas. Ulama salaf banyak melahirkan kajian al-Qur'an, seperti
sahabat Us\ma>n ibn 'Affa>n pertama kali memerintahkan reproduksi naskah
al-Qur'an meletakkan dasar yang kemudian terkenal dengan nama 'ilmu
rasm al-Qura>n atau juga
ilmu rasm al-Us}ma>ni>. Kemudian 'Ali> ibn T{a>lib memerintahkan Abu> al-Aswa>d al-Duali> (wafat tahun 69 H ) untuk meletakkan kaidah pramasastra bahasa Arab guna
menjaga corak keasliannya. Dengan perintah ini 'Ali> ibn T{a>lib adalah sahabat yang meletakkan dasar ilmu
i'ra>b al-Qur'a>n.
Pada
perkembangan selanjutnya, pada abad ke-3 H: 'Ali>
al-Madani>, guru Ima>m
al-Bukha>ri menulis kitab
tentang asba>b al-nuzu>l. Abu> Ubai>d al-Qa>sim ibn Sala>m menulis tentang na>sikh mansu>kh qira>'at dan fad}a>il
al-Qur'a>n. Muh}ammad ibn Ayyu>b
al-Darwi>s (w. 294 H)
menulis kandungan ayat yang turun di Mekkah dan di Madinah, juga Muh}ammad ibn Khalaf ibn Murzaban (w. 309 H) menulis kitab al-Ha>wi
fi Ulu>m al-Qur'a>n.
Sedangkan
secara sekilas, pada Abad ke-4 H: Abu> Bakar ibn Qa>sim al-Anbari> (w. 328 H) menulis kitab Aja>'ib ulu>m
al-Qur'a>n. Dalam
kitabnya ia berbicara tentang keutamaan dan keistimewaan al-Qur'an, tentang
turunnya al-Qur'an dalam tujuh huruf, penulis mushaf, jumlah surat, ayat dan
lafaznya. Kemudian Abu> H{asan al-Asy'ari> menulis kitab al-Mukhtazan
fi> 'Ulu>m al-Qur'a>n (yang tersimpan dalam al-Qur'an). Abu> Bakar al-Sajista>ni> menulis tentang keanehan-keanehan
al-Qur'an. Abu> Muh}ammad 'Ali> al-Kurkhi> (w. 360 H) menulis kitab Naqa>t} al-Qur'a>n al-Da>lah
ala> al-Baya>n fi> Anwa> al-'Ulu>m wa al-Ah}ka>m al-Munabi'ah
al-Ikhtila>f al-Ana>m (Titik-titik al-Qur'an Menunjukan Kejelasan tentang Berbagai Ilmu dan
Hukum yang Memberitahukan Perbedaan Pikiran Insan). Kemudian Muh}ammad
Ibn 'Ali>
al-Afda>wi (w. 388 H)
menulis kitab terdiri dari 20 jilid berjudul al-Istigna>
Fi> Ulu>m al-Qur'a>n (Kebutuhan akan al-Qur'an).[84]
Pada periode ini
juga bermunculan berbagai tafsir dari berbagai kalangan seperti kalangan
Syi'ah, Sunni dan Mu'tazilah. Dari kalangan Syi'ah muncul berbagai kitab tafsir
seperti Tafsi>r al-Qur'a>n karya 'Ali Ibn Ibra>him
al-Qummi> (w. 939 M), al-Tibya>n
Fi Tafsi>r al-Qur'an
karya Muh}ammad ibn H{asan al-Tu>si>(w. 1067 M), dan sebuah kitab tafsir yang dapat
disejajarkan dengan karya al-T{abari karena banyaknya informasi yang ditunjukkan, yaitu Majma>'
al-Baya>n Li'ulu>m al-Qur'a>n karya Abu> 'Ali al-T{abarsi (w. 1153 M).[85] Semua
kitab tafsir di atas berasal dari kalangan Syi'ah Dua Belas (asna 'asyriyah),
sedangkan dari kalangan Syi'ah Isma'iliyah muncul kitab tafsir seperti Miza>n
al-Tasni>m karya
Ismail Ibn Hibat Allah (w. 1768 M). Berbagai kitab tafsir dari kalangan Syi'ah
ini menggunakan pendekatan alegoris yang selaras dengan tafsir sufistik.
Dari kalangan
Sunni muncul berbagai kitab tafsir seperti Mafa>tih}
al-Ghai>b atau disebut
pula al-Tafsi>r al-Kabi>r karya Fakhr al-Di>n al-Ra>zi (w. 1209 M) yang sarat dengan pembahasan teologis
dan filosofis, dan Anwa>r al-Tanzi>l wa Asra>r al-Ta'wi>l karya Nasr
al-Di>n al-Baid}a>wi> (w. 1291 M) yang merupakan penafsiran teologis dan karya tafsir terbaik
dari masa sebelumnya di kalangan Sunni. Sedangkan dari kalangan Mu'tazilah
muncul kitab tafsir al-Kasysya>f al-Haqa>'iq Gawa>mid} al-Tanzi>l
karya Abu>
al-Qa>sim al-Zamakhsari> (w. 1143 M) yang merupakan puncak tafsir rasionalistik teologi Mu'tazilah.
Dalam kitabnya, al-Zamakhsyari> berusaha menafsirkan al-Qur'an dengan menafsirkan ilmu ketatabahasaan,
leksikografi, penilaian yang logis dan pendekatan filologi bahasa Arab.[86]
Bersamaan dengan
itu muncul pula berbagai kitab tafsir ensiklopedis sebagaimana yang
dirintis al-T{abari> seperti Tafsi>r al-Qur'a>n al-Az}i>m karya ibn Kas\i>r (w. 1373 M), Fath}
al-Qadi>r karya al-Syau>ka>ni (w. 1839 M), Ru>h
al-Ma'a>ni> karya al-Alu>si> (w. 1854 M), dan Tafsi>r
Jala>lain karya Jala>l
al-Di>n al-Mah}ali> (w.
1459 M) dan Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i> (w. 1505 M).[87] Dalam
periode ini juga muncul tafsir Sufi yang terkait dengan tafsir di kalangan
Syi'ah tetapi berbeda, seperti Haqa>'iq al-Tafsi>r karya Abu 'Ubai>d al-Rahma>n
al-Sulai>mi (w. 1012 M).
Dan tafsir Ibn 'Arabi yang pada awalnya ditulis oleh 'Abd al-Razza>q
al-Kasyani> (w. 1330 M)
tapi kemudian secara keliru dinisbatkan pada gurunya Ibn 'Arabi>.[88] Dalam
hal ini masih banyak ulama lain yang tidak penulis sebutkan dari abad ke-5
hingga seterusnya yang melahirkan berbagai ilmu sebagai pengantar dalam
memahami al-Qur'an.
Melihat
dari berbagai karya ulama salaf yang begitu dominan terhadap kajian al-Qur'an,
menunjukkan bahwa pemahaman mereka terhadap al-Qur'an tidak terfokus kepada
satu kajian saja, tetapi kepada seluruh cakupan makna yang terkandung dalam
al-Qur'an yang sangat luas dan memiliki kemungkinan multi interpretasi. Hal
ini merupakan keniscayaan sejarah, sebab umat Islam pada umumnya ingin
senantiasa menjadikan al-Qur'an sebagai "mitra dialog" dalam
menjalani kehidupan dan mengembangkan peradabannya. Proses dialektika antara
teks yang terbatas dan konteks yang tak terbatas itulah sesungguhnya pemicu dan
pemacu bagi perkembangan penafsiran, seperti halnya dalam sejarah penafsiran
dan pemahaman al-Qur'an masa salaf.
Menurut Komaruddin
Hidayat, teks al-Qur'an dengan kehadirannya di tengah umat Islam khususnya
melahirkan pusat pusaran wacana keislaman yang tak pernah berhenti, bahkan
gelombang geraknya semakin membesar, yaitu sebuah gerak sentripetal dan sentrifugal.
Gerak sentrifugal dimaksud adalah karena teks-teks al-Qur'an itu
ternyata mempunyai dorongan yang sangat kuat bagi umat Islam untuk melakukan
penafsiran dan pengembangan makna atas ayat-ayatnya yang untuk selanjutnya
terjadilah pengembaraan intelektual karena dorongan al-Qur'an tersebut.
Sedangkan maksud gerak sentripetal adalah seluruh wacana Islam yang
telah berlangsung belasan abad melahirkan sekian banyak tafsir dan komentar
mengenai berbagai bidang persoalan hidup yang sekular.[89]
Dari perkembangan
kajian al-Qur'an sejak periode salaf hingga kontemporer sekarang ini,
dapat disimpulkan bahwa kajian al-Qur'an mengalami perkembangan yang pesat dan
dinamis serta telah melewati berbagai zaman, tempat dan generasi pemikiran.
Meskipun pemaparan perkembangan sejarah al-Qur'an di atas sangat terbatas dan
dikhususkan dalam lingkup para intelektual generasi awal--dan itupun belum
cukup semua perkembangan yang ada--namun hal ini menurut penulis sudah cukup
membuktikan bahwa kajian al-Qur'an tidak pernah "mati" dan usang
dalam perkembangan zaman. Dari berbagai perkembangan kajian al-Qur'an dalam
lintas sejarah tersebut, bukan berarti lepas dari berbagai problem yang cukup
menarik dan menantang untuk diteliti dan dikaji lebih lanjut.
BAB III
PANDANGAN ULAMA TERHADAP
AYAT-AYAT MUTASYA<BIHA<T
A.
Pengertian Mutasya>biha>t secara Etimologi dan Terminologi
1. Pengertian Mutasya>biha>t secara Etimologi
Mutasya>biha>t adalah bentuk isim fi'il, berasal dari
kata tasya>baha, akar katanya syabiha ditambah dengan huruf ta sebelum fa
fi'il, alif setelah fa
al-fi'il dan tad'if pada ain al-fi'il, yang berarti
samar atau tidak jelas.[90]
Para ahli bahasa
menggunakan kata tersebut untuk menunjukkan persekutuan dalam persamaan yang
menyebabkan keruwetan dan kekacauan. Dikatakan tasya>bah dan isti'a>bah atau menyerupai sesuatu dengan yang lain
sehingga menjadi samar.[91]
Kata mutasya>bih bisa berarti tasya>buh, yakni bila salah satu dari dua hal
serupa dengan yang lain. Dan syibhah keadaan di mana salah satu dari dua
hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain. Karena adanya kemiripan di antara
keduanya secara konkrit maupun abstrak.[92]
2. Pengertian
Mutasya>biha>t secara Terminologi
Istilah mutasya>biha>t sebagai lawan kata muh}kama>t dalam khazanah ilmu tafsir dan 'Ulu>m
al-Qur'a>n, muncul
sebagai interpretasi atas Firman Allah pada QS. Al-Imra>n [3]: 7:
هو
الذي أنزل عليك الكتاب منه أيات محكمات هن أم الكتاب وأخرمتشابهات .
Dia-lah
yang menurunkan al-Kitab (al-Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada
ayat-ayat yang muh}kama>t, itulah pokok-pokok
isi al-Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasya>biha>t. QS. Ali-Imran [3]: 7.
Secara terminologi para ulama berbeda
pendapat dalam merumuskan mutasya>biha>t. Al-Suyu>t}i misalnya telah mengemukakan 18 definisi atas makna muh}kam dan mutasya>bih yang diberikan para ulama. Al-Zarqa>ni> mengemukakan sebelas definisi pula yang
sebagian dikutip dari al-Suyu>t}i. Di antara pendapat yang dikemukakan al-Zarqa>ni
ialah sebagai berikut:
- Mutasya>biha>t
ialah ayat yang tersembunyi (maknanya), tidak diketahui maknanya baik
secara aqli maupun naqli, dan inilah ayat-ayat yang hanya Allah mengetahuinya.
- Mutasya>biha>t
ialah ayat yang mengandung banyak kemungkinan makna ta'wi>l.
- Mutasya>biha>t
ialah ayat yang hanya Allah mengetahui maksudnya.
- Mutasya>biha>t
ialah ayat yang berdiri sendiri, tetapi memerlukan keterangan,
kadang-kadang diterangkan dengan ayat-ayat atau keterangan yang lain
karena terjadinya perbedaan dalam menta'wilnya.
- Mutasya>biha>t
ialah ayat yang seharusnya tidak dijangkau dari segi bahasa, kecuali bila
ada bersamanya indikasi atau melalui konteksnya, sepeti lafaz} mustarak yang masuk dalam pengertian ini.
- Mutasya>biha>t
ialah ayat yang terdiri dari isim (kata-kata benda), musytarak
dan lafaz}-lafaz} mubhama>t (samar-samar).
- Mutasya>biha>t
ialah ayat yang maknanya tidak kuat, yaitu lafaz} mujmal muawwal yang muskil. Pendapat ini dikemukakan
oleh al-Ra>zi>.[93]
'Abdulla>h
al-Harari>[94] (selanjutnya disebut
al-Harari>) mengemukakan
bahwa mutasya>biha>t secara terminologi ialah dalil-dalil yang
pengertiannya belum jelas, serta membutuhkan pemahaman bahasa arab secara
mendalam dan juga membutuhkan pengertian makna yang dimaksud dalam pandangan
yang khusus serta penalaran makna yang
mendalam, dan tidak semua manusia bisa memberikan pembacaan dan penafsiran
terhadap ayat-ayat tersebut. Seperti dalam QS. T{a>ha [20]: 5, lafaz} “istawa
>”dimaknai dengan “al-qahr”
dan “al-Isti>la”(menguasai dan menundukan).
Masih
menurut al-Harari> sebagaimana pemahaman ulama salaf, penafsiran terhadap ayat-ayat mutasya>biha>t
tidak dapat ditafsirkan
sesuai dengan makna “z}a>hir”ayat tersebut,
sehingga metode penafsiran dan pemahaman yang diterapkan ulama salaf
terhadap ayat-ayat sifat dengan menggunakan metode ta’wi>l
tafs}i>li> dengan
mengalihkan makna tekstual, yaitu memaknainya sesuai dengan sifat-sifat
keagungan yang dimiliki Allah dan tidak menyerupai sifat-sifat mahluk-Nya.[95]
Dengan kata lain
pengertian mutasya>biha>t adalah
nash-nash al-Qur’an dan Hadis yang dalam bahasa Arab mempunyai lebih dari satu
makna dan tidak dimaknai secara “z}a>hir” (makna tekstual), karena hal tersebut
mengantarkan kepada tasybi>h (menyerupakan Allah dengan mahluknya). Akan tetapi
wajib dikembalikan maknanya kepada Allah, berbeda dengan ayat-ayat muh}kama>t yang maknanya sesuai dengan makna z}a>hir, sehingga ayat-ayat mutasya>biha>t
harus dikembalikan maknanya kepada Allah untuk
menghindari penyerupaan Allah terhadap makhluk-Nya (tasybi>h)”ليس كمثله شيئ
“.[96]
Menurut
pemahaman ulama salaf (baca: Ibn 'Abba>s), ayat mengenai"istawa>" [97]tidak
ditafsirkan "duduk" (jalasa) atau bersemayam dan berada di
atas Arsy dengan jarak atau bersentuhan dengannya, tidak pula diartikan
Allah duduk dengan makna lain, karena ulama salaf berpendapat, bahwa
segala sesuatu yang duduk dan bersemayam termasuk khusus sifat benda.[98] Lafaz} istawa>, dita'wil ibn 'Abba>s dengan s}aida
amruhu (naik akan
perintah-Nya).[99]
Menurut
al-Fayyu>mi, kata istawa> dalam bahasa Arab mempunyai lima belas makna,[100] dengan
demikian kata istawa> dalam al-Qur’an
di-ta’wi>l dengan makna yang layak bagi Allah dan selaras dengan ayat-ayat yang muh}kama>t. Dari lima belas makna ini yang selaras dengan
sifat Allah adalah qahara (menundukkan atau menguasai). Sebagaimana
interpretasi Ima>m 'Ali> RA dalam memaknai lafaz} istawa> dengan mengatakan: ”Sesungguhnya Allah
menciptakan Arsy untuk menampakan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikan tempat
bagi Dzat-Nya"[101].
Penafsiran
Qahara (menundukan dan menguasai) dari lafaz} istawa> adalah pendapat ulama salaf dan khalaf.[102]
Penetapan makna ini (qahara) oleh ulama salaf dinilai sesuai
dengan sifat Allah yang azali (tidak mempunyai permulaan) dan tidak
menginterpretasikan makna secara tekstual, serta dengan makna ini dinilai tidak
terjebak pada paham Antropomorfisme.
Pengertian lain
tentang ayat-ayat mutasya>biha>t ialah ayat yang mengandung beberapa pengertian
yang tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki
secara mendalam; atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang dapat
mengetahui, seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan hal-hal yang ghaib,
misalnya ayat-ayat mengenai hari kiamat, keluarnya dajjal, tentang surga,
neraka dan lain-lain.[103]
Terkait dengan
ayat-ayat mutasya>biha>t mengenai sifat-sifat Allah, para mufassir Salaf
meletakkan pentingnya metode ta’wi>l ijma>li yaitu dengan memberi ungkapanيليق
به تعالى (dengan
pemberian makna yang sesuai dengan keagungan-Nya) sebagai bentuk penyerahan
makna pada Tuhan. Namun, di sisi lain ulama salaf juga menggunakan metode ta’wi>l
tafs}ili; yaitu dengan
menentukan makna yang sesuai keagungan Allah. Adapun makna ayat-ayat mutasya>biha>t “yang tidak dapat dipahami” ialah dalam
perkara-perkara yang dirahasiakan Allah, seperti kejadian hari kiamat, huruf
muqat}a'ah dan lainnya.
Adapun
ayat-ayat tentang sifat-sifat Allah, bukanlah termasuk ayat-ayat mutasya>biha>t yang maknanya dirahasiakan Allah. Menurut
ulama salaf, tidak logis jika sifat-sifat Allah hanya diketahui Allah
semata, padahal fungsi Nabi diutus untuk memberikan keterangan dan pemahaman
tentang hal yang tidak diketahui umatnya mengenai al-Qur’an tersebut, hal ini
sesuai dengan pernyataan dalam al-Qur'an, bahwa kitab ini diturunkan dalam
bahasa Arab yang jelas.[104]
Dari beberapa penjelasan mengenai pengertian mutasya>biha>t dan penerapan ulama terhadap ta'wi>l, diketahui bahwa ta'wi>l sudah berkembang sejak masa sahabat,
seperti yang dipraktikkan oleh 'Abdulla>h ibn 'Abba>s, hal ini sesuai dengan do'a Nabi atas 'Abdulla>h
ibn 'Abba>s
") "اللهم فقهه في الدين وعلمه التاويلYa Allah pandaikanlah dia dalam urusan
agama dan ajarilah dia tentang ta'wi>l). Karena inilah ibn 'Abba>s dikenal sebagai sahabat pertama dalam hal
ta'wi>l dan dia sendiri mengomentari dirinya dengan:”انا
من الرا سخين في العلم”.[105]
Karakteristik dan aplikasinya dalam penafsiran diikuti oleh generasi-generasi
setelahnya.
B. Ruang Lingkup Pembahasan Ayat-ayat
Mutasya>biha>t Tentang Sifat Allah.
Dalam
al-Qur'an atau Hadis banyak nas}-nas} yang mengandung pengertian sifat-sifat Tuhan,[106]
seperti lafaz} "al-wajh" disebutkan dalam al-Qur'an sebanyak dua belas
kali.[107]
Penyebutan kenyataan bahwa "Dia berbicara/ mengatakan...."muncul
lebih dari lima kali,[108]
penyebutan bahwa seseorang atau sesuatu "berada dalam pengawasan-Nya"
terjadi sebanyak lima kali. Allah sebagai Sami (Maha Mendengar)
disebutkan lebih dari empat puluh kali[109] dan Bas}i>r (Maha Melihat) juga lebih dari empat puluh
kali.[110]
Wajah orang-orang yang takwa akan memperoleh kebahagian karena dapat
memandang-Nya di akhirat kelak. Seringnya penyebutan ini mengangkat makna
penting subyek, dan ungkapan-ungkapan seperti ini memperteguh keberadaan
sifat-sifat itu pada Dzat Allah.
Kajian mengenai
ayat-ayat sifat Allah, baik yang lahir dari ayat-ayat muh}kama>t maupun mutasya>biha>t, selalu menjadi perdebatan oleh para
teolog (Mu'tazilah, Musyabbihah, Ahlussunnah) dalam memahami sifat Allah pada
ayat-ayat tentang sifat tersebut. Mayoritas ulama mempertahankan keabsolutan
sifat-sifat qadim Allah, seperti Mengetahui, Berkuasa, Berkehendak,
Mendengar, Melihat, Berkata-kata, Maha Menerima pujian, Maha Pemberi, Maha
Pemurah, dan Maha gagah. Sedangkan pada bagian lain tidak menetapkan pemahaman
tentang sifat sebagaimana makna literal dalam ayat-ayat sifat Tuhan, seperti
"dua tangan dan "wajah".[111] Dari
sinilah lahir pembahasan terhadap ayat-ayat Mutasya>biha>t
tentang sifat, seperti ketika mengatakan bahwa tangan
Allah ada di atas tangan orang-orang yang membaiat Nabi Muhammad SAW,[112] secara
literal ayat ini bermakna bahwa Tuhan mempunyai tangan, padahal mustahil Tuhan
mempunyai tangan. Interpretasi yang diberikan ulama Salaf bukanlah dengan
tangan seperti makna literal lafaz} "al-yad", tetapi lafaz} "al-yad"di-ta'wi>l dengan perjanjian atau kekuasaan yang
harus disikapi sebagai kepatuhan kepada Tuhan, dan akan sangat logis bila lafaz} "al-yad" mempunyai makna
yang sifatnya transendental. Seperti juga lafaz} "istawa>",[113]secara lahiriyah ia bermakna
"bersemayam", ulama Salaf melakukan ta'wi>l guna memahami kandungan ayat tersebut. Di
sini, lafaz} "istawa>" dita'wi>l sebagai
sifat kekuasaan-Nya.
Selanjutnya,
Abi> al-Fath} Muh}ammad 'Abd al-Kari>m al-Syahrasta>ni> memberikan pengertian terhadap makna "al-S}ifa>t", adalah sifat yang wajib adanya bagi Tuhan, seperti
kalangan ulama salaf mereka menetapkan adanya sifat Allah yang azali dari
sifat: "al-Ilm, al-qudrah, al-Haya>t, al-Ira>dah,
al-Sama>, al-Basar,
al-Kala>m, al-Jala>l, al-Ikra>m, al-Ja>d,
al-In'a>m, al-Izzah, al-Uz}mah". Mereka juga
tidak membedakan antara sifat-sifat zat (esensi) dan sifat-sifat al-fi'il
(operatif), tetapi mereka menempuhnya dengan cara yang sama, begitu juga
menetapkan "al-s}ifat al-Khabariyah" seperti lafaz}"al-Yadai>n" dan "al-Wajh". Dengan
hal ini mereka sebagian tidak merincinya, tetapi menetapkan sesuatu yang
tersirat dalam al-Qur'an, dan mereka menyebutnya sebagai sifat-sifat yang
diwahyukan atau dinamakan sebagai "al-s}ifat al-khabariyyah".[114]
Penyerupaan Allah
dengan mahluk sebenarnya sudah tertolak dengan penolakan pengertian adanya
anggota badan bagi Allah dari ayat-ayat mutasya>biha>t yang mengandung pengertian sifat Allah,
sedangkan yang menjadi dasar pendapat para teolog tersebut biasanya dikutip
saat menolak pendapat kaum Antropomorfis.
ليس كمثله شئ وهو السميع البصير ( الشورى 11)
Tidak ada sesuatu yang serupa dengan Dia,
dan Dia-lah yang maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS al-Syura:11).
Ayat di atas
merangkum semua isu sentral yang banyak dibahas dalam karya-karya teologi
Islam."Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia" menetapkan Allah
sebagai yang Unik dan berada dari semua mahluk." Dia bukanlah sebuah
substansi (jawhar), kesatuan unsur (jism), atau aksiden (arad{), tidak bertempat, atau berada dalam waktu. Dia-lah
yang Awal dan tak ada sesuatu sebelum Dia yang Akhir dan tak ada sesuatu yang
bisa dikatakan muncul setelah Dia". Ungkapan ini seperti dikatakan say>f
al-Din al-Ami>di>
(w.631 H) dalam bab tentang penolakan atas Antropomorfisme, ibt}a>l
al-tasybi>h dalam
bukunya Gha>yat al-Mara>m fi 'Ilm al-Kala>m. Jisim, jawhar dan ard} adalah tiga bagian wujud yang diciptakan
oleh Allah, ketiganya bersifat baru (muhdas\a>t), sehingga mustahil Allah menyerupai
ketiganya.[115]
Pemahaman para
ulama terhadap ayat-ayat sifat cukup beragam. Secara garis besar interpretasi
menyikapi sifat-sifat Allah terbagi dalam tiga pemahaman dengan tiga golongan
yang mewakilinya. Yaitu:
- Komunitas
yang menolak sifat-sifat Allah, nafi al-s}ifa>t, atas dasar bahwa sifat-sifat itu akan mengurangi keesaan-Nya. Inilah
pendapat kaum Mu'tazilah yang oleh para penentangnya dijuluki sebagai ta't}i>l.
- Pendapat
kaum Antropomorfis yang terkenal sebagai tasbi>h/tajsi>m.
- Pendapat
orang-orang yang mengambil jalan tengah yang diwakili oleh ahl al-Hadis
(yakni mereka yang menjadikan Hadis Nabi sebagai dasar argumen) dan kaum
Asy'ariyah.[116]
Kaum Antropomorfis
memaknai ayat-ayat sifat secara literal sebagaimana adanya, seperti sifat Maha
Mendengar dan Maha Melihat merupakan dua sifat yang bisa membawa kepada paham
Antropomorfisme. Kaum Mu'tazilah menolak sifat-sifat (nafi
al-S{ifa>t), dan
mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu yang selain esensinya, dan
bahwa al-Sami' dan al-Bas}i>r merupakan nama-nama Allah seperti halnya al-Rah}ma>n dan al-Rah}i>m.. Kaum Asy'ariyah menegaskan adanya
keberadaan sifat-sifat, dan berbeda dengan pendapat kaum Antropomorfisme,
mereka tetap berada dalam prinsip"tidak ada sesuatu pun yang serupa
dengan-Nya"dan mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan hanya layak untuknya
saja, dan bukanlah seperti sifat mahluk-mahluk-Nya: Pendengaran-Nya tidak
seperti pendengaran mereka dan Penglihatan-Nya tidak seperti penglihatan
mereka.[117]
Sedangkan
mengenai ungkapan-ungkapan yang melibatkan Wajah Allah, kaum Mu'tazilah
berpendapat bahwa Wajah Allah mengandung arti Allah sendiri (berbeda dengan
Antropomorfis yang menyatakan sebagai wajah fisik Tuhan), mengingat sudah lazim
dalam bahasa Arab penggunaan kata "wajah" dengan maksud orang yang bersangkutan.
Sebaliknya, kaum Asy'ariyah berpendapat bahwa Dia sungguh-sungguh memiliki
wajah, bahwa wajah-Nya, merupakan sebuah sifat yang bertalian dengan
esensi-Nya, sifat Dzat. Berdasarkan prinsip tanzi>h/mukha>lafat
li al-Hawa>dis\ bahwa
"tidak ada sesuatu yang berlaku bagi mahluk yang boleh dinisbatkan kepada
Allah dalam pengertian yang sama. Kaum Asy'ariyah, berbeda dengan kaum
Mu'tazilah menganggap bahwa mereka tidak menyimpangkan makna dalam ungkapan
al-Qur'an, sehingga juga tidak seperti kaum Musyabbihah, mereka tidak
terjerumus ke dalam bahaya antropomorfisme.
Asy'ariyah
dalam memberikan interpretasi menyimpulkan pendapat ahl al-Hadis
yang menyatakan: "Kami tidak mempunyai pendapat apapun mengenai hal ini
kecuali apa yang telah difirmankan Allah yang Maha kuasa dan apa yang
disabdakan oleh Nabi,[118] karena
itu kami katakan: Dia betul-betul memiliki wajah, tanpa memberikan
perinciannya".
Dari beberapa
pernyataan tentang sifat Tuhan dan interpretasinya terhadap ayat-ayat mutasya>biha>t, peneliti merangkum, bahwa ayat-ayat
al-Qur'an yang mutasya>biha>t mempunyai paham terhadap adanya sifat Tuhan,
seperti Ahlusunnah secara umum percaya kepada adanya sifat-sifat Tuhan tanpa
merinci bagaimana, dan pendapat kaum Mu'tazilah, Jahmiyah, Khawarij yang
menolak sifat-sifat Tuhan. Pemahaman ketiga golongan tersebut berbeda antar
satu golongan dengan golongan yang lain, tergantung pembacaan mereka terhadap
al-Qur'an dan Hadis.
C. Pengaruh Mutasya>bih A<ya>t
al-S}ifa>t
terhadap Perkembangan Firqah-firqah dalam Islam
Pemahaman yang beragam pada
ayat-ayat sifat merupakan salah satu pemicu munculnya perpecahan dalam Islam,
di samping pertikaian yang terjadi pada masa pemerintahan khalifah 'Us\ma>n
ibn 'Affa>n yang berujung
pada pada pertikaian antara Muawiyah dan 'Ali> ibn Abi>
T{a>lib. Perpecahan itu
memunculkan firqah-firqah dalam sejarah Islam. Muncul pertentangan dan
perdebatan di antaranya: Mu'tazilah dengan konsepnya peniadaaan sifat-sifat
Tuhan. Dengan mempertahankan satu atribut tentang kemahaesaan Tuhan. Bagi mereka,
Tuhan adalah Maha Esa dan Maha adil. Dalam usaha memurnikan paham keesaan
Tuhan, mereka menolak segala pemikiran yang dapat membawa kepada paham syirik
atau politeisme. Apabila Tuhan dikatakan mempunyai sifat, maka dalam diri Tuhan
terdapat banyak unsur, yaitu unsur zat yang disifati dan unsur-unsur yang
melekat kepada zat. Dan bila Tuhan dikatakan mempunyai 20 sifat, maka Tuhan
akan tersusun dari 21 unsur, bila 40 sifat, maka unsur-Nya akan berjumlah 41
dan bila dikatakan Ia mempunyai 99 sifat, maka Tuhan akan terdiri dari 100
unsur. Pemberian sifat kepada Tuhan membawa kepada banyaknya jumlah yang Qadi>m, sedang menurut Mu'tazilah dalam paham
teologi, Qadi>m itu esa. Apabila Iman dalam ajaran biasa ialah: Tiada Tuhan selain Allah,
maka iman dalam bahasa teologi mengambil bentuk: Tiada yang Qadi>m
selain dari Allah. Jika
sifat-sifat itu Qadi>m, maka secara tidak langsung sifat-sifat itu adalah sekutu Allah. Paham ini
akan membawa kepada syirik, dan menurutnya syirik dalam Islam adalah dosa
terbesar yang tidak diampuni Tuhan.
Untuk mengatasi paham syirik inilah,
maka Wa>s}il[119] mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai
sifat. Ini tidak berarti bahwa Wa>s}il dan pengikutnya menolak ayat-ayat yang menggambarkan sifat-sifat Tuhan
seperti al-Rahma>n, al-Rahi>m, al-Qa>dir dan sebagainya seperti halnya Ahlussunnah dan
Musyabbihah, mereka menerima kebenaran ayat-ayat itu sebagaimana kebenaran
seluruh ayat lainnya. Bagi Mu'tazilah, al-Rahma>n,
al-Rahi>m, al-Qa>dir, al-A<lim dan sebagainya, bukanlah sifat Tuhan tetapi aspek
dari zat atau esensi Tuhan. Bagi mereka pula, Tuhan mengetahui dari sifat
pengetahuan, tetapi melalui zat-Nya. Seperti yang dikemukakan al-Huzai>l pemuka kedua Mu'tazilah: Tuhan Maha Tahu
dengan pengetahuan dan pengetahuan Tuhan adalah zat-Nya.[120]
Mengenai teks al-Qur'an, menurut
Mu'tazilah tidak selamanya mesti dimaknai secara literal. Ayat-ayat al-Qur'an
di samping mengandung arti harfiah, juga mengandung arti metaforis. Selanjutnya
mereka berkeyakinan bahwa antara pendapat akal yang benar dan wahyu tidak ada
pertentangan. Karena, apabila arti secara lafaz} ditinggalkan dan diambil arti majazi
atau metaforis, maka pertentangan yang ada akan hilang dengan sendirinya.
Perumpamaan mereka ditujukan kepada teks al-Qur'an yang mengatakan bahwa Allah
mempunyai tangan dan kursi, sedangkan akal berpendapat bahwa Tuhan tidak
mempunyai tangan dan kursi, karena Tuhan tidak berbentuk jasmani dan
sebagainya. Dengan demikian mereka mengambil arti metaforis, yaitu kekuatan dan
kekuasaan.[121]
Dari uraian di atas diketahui sebenarnya Mu'tazilah mempraktekan ta'wi>l, hanya saja cara menjelaskan tentang sifat
dan zat berbeda. Praktik penta'wi>lan mereka adalah dengan pemakaian makna
metaforis terhadap ayat-ayat yang ambigu (mutasya>biha>t).
Ketika pemahaman Mu'tazilah tentang sifat Tuhan
sudah terbentuk, muncul kelompok ekstrem dari kalangan Syi'ah, yaitu golongan Muh}addis, golongan Haswiyyah, mengakui paham
Antropomorfisme yang merupakan paham yang sangat kontra dengan paham
Mu'tazilah. Menurut mereka Tuhan memiliki bentuk dan mempunyai anggota tubuh
dan bagian-bagian yang bisa bersifat spritual maupun fisik, sehingga
memungkinkan bagi Tuhan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain,
turun-naik, tetap atau benar-benar duduk. Hal ini diriwayatkan olah Asy'ari
berdasarkan otoritas (informasi berita dari) Muhammad ibn Isa bahwa Mud}ar,
Kuhmus, dan Ah}mad al-Hujai>mi> memperkenalkan kemungkinan manusia menyentuh Tuhan dan menjabat tangan-Nya
di dunia maupun di akhirat, asal saja dalam ikhtiar spritual, mereka mencapai
sebuah tingkatan kesucian hati yang memadai serta penyatuan yang murni dengan
Tuhan. Ka'bi> meriwayatkan bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat,
bahkan dalam kehidupan ini, dan bahwa Tuhan dengan manusia bisa saling
menziarahi.[122]
Pemahaman-pemahaman yang muncul ini merupakan
implikasi dari pemahaman ayat-ayat sifat Tuhan. Lebih ekstrem lagi
ketika Da>wud al-Jawa>ribi> diberitakan telah mengatakan:
"Jangan engkau tanyakan kepadaku tentang
kelamin wanita atau janggut, tetapi engkau boleh menanyaiku tentang sesuatu
yang lain. Ia juga mengatakan Tuhan adalah jisim, daging, dan darah. Dia
mempunyai anggota tubuh, seperti dua tangan dan dua kaki, kepala dan lidah, dua
mata dan dua telinga, meskipun demikian, Dia adalah sebuah jisim yang berbeda
dengan jisim-jisim yang lainnya, daging yang berbeda dengan daging lainnya, dan
darah yang berbeda dengan darah lainnya. Demikian pada sifat-sifatnya yang
lain. Dia tidak menyerupai mahluk apa pun, demikian pula mahluk tersebut tidak
menyerupainya. Ia juga mengatakan Tuhan adalah lembah dari atas hingga
dada-Nya, sedangkan sisa dari-Nya adalah tanah juga. Dia memiliki rambut yang
panjang, hitam dan ikal".[123]
Sedangkan mengenai lafaz}-lafaz} dalam al-Qur'an (mutasya>bih
a>ya>t al-s{ifa>t) seperti istawa (bersemayam), wajh (wajah), yadain
(dua tangan), janb (sisi), maji (datang), ityan (datang), fauqiyah
(berada di atas) dan sejenisnya dipahami oleh golongan Musyabbihah secara
literal, yaitu sebagaimana kata-kata tersebut dipahami ketika digunakan dalam
konteks jisim. Demikian pula kata-kata yang ditemukan dalam hadis,
seperti s}urah (bentuk) dalam sabda Nabi "Adam diciptakan dalam bentuk Tuhan yang
Maha pengasih", Tuhan membentuk tanah liat Adam dengan tangan-Nya
selama empat puluh hari", "Tuhan meletakkan tangan-Nya atau
telapak tangan-Nya di bahuku", "Sampai aku merasakan dinginnya
jemari tangan-Nya di bahuku. "Kalimat-kalimat di atas mereka pahami
secara literal sebagaimana pemahama mereka tentang jisim.[124]
Al-Syahrastani berpendapat, bahwa interpretasi
Musyabbihah telah menciptakan kebohongan dan menghadirkan hadis-hadis yang
dinisbatkan kepada Nabi; umumnya hadis-hadis itu diambil dari orang-orang
Yahudi, di mana Antropomorfisme dianggap sebagai sesuatu yang lazim. Mereka
lebih jauh mengatakan bahwa kedua mata Tuhan sakit dan para Malaikat datang
menghibur-Nya; bahwa Dia menangisi banjir Nuh hingga matanya menjadi merah;
bahwa Arsy di bawah-Nya berbunyi seperti sadel baru di atas unta. Golongan
Musyabbihah juga meriwayatkan bahwa Nabi bersabda," Tuhan menemuiku,
berjabat tangan denganku, bergumul denganku, dan meletakkan tangan-Nya di
antara pundaku hingga aku merasakan dingin jemari tangan-Nya".[125]
Doktrin lain dari interpretasi Musyabbihah, mereka
berkeyakinan bahwa suku kata, suara dan karakter yang tertulis dari al-Qur'an
semua sudah ada sebelumnya (pre-eksis) dan bersifat Qadi>m-azali>. Menurut mereka sebuah ucapan yang tidak
tersusun melalui huruf-huruf atau kata-kata tidak bisa dipahami. Untuk
mendukung pendapat ini, mereka menggunakan hadis-hadis, misalkan mereka
mengutip sebuah sabda bahwa Musa biasa mendengar perkataan-perkataan Allah yang
mirip dengan suara rantai yang diseret. Mereka juga mempertahankan bahwa umat
Islam terdahulu percaya bahwa al-Qur'an adalah firman Allah yang tidak diciptakan
dan bahwa barang siapa yang mengatakan bahwa kitab tersebut diciptakan, berarti
ia tidak beriman kepada Allah.[126] Dari
beberapa interpretasi ayat-ayat sifat, kaum Musyabbihah memberikan pengaruh
sangat signifikan, sehingga interpretasi terhadap ayat-ayat sifat
(mutasya>bih a>ya>t al-s{ifa>t) secara literal lebih dominan dengan dalil dari
Hadis yang dijadikan sebagai alat nalar dalam nuansa eksegesisnya.
Hal ini berbeda ini dengan Ahlussunnah
(selanjutnya disebut Asy'ariyah) yang menggambarkan manusia mempunyai tingkatan
dalam menginterpretasi tentang diri dan penciptanya. Ketika manusia belum
mengenal siapa diri dan Tuhannya, tentu dia akan mencoba menginterpretasi
secara bertahap. Pertama ia akan mengenal dirinya setelah itu ia akan mencoba
mencari siapa pencipta mereka. Setelah melalui perenungan mereka berpendapat
bahwa penciptaan dilakukan oleh suatu zat yang di luar dirinya, yang Maha
Pengasih, Maha Memberi, Maha kuasa, serta sifat-sifat Maha lainya. Dan zat itu
mereka sebut dengan Tuhan. Oleh karena Tuhan (Allah) dapat dikenali dari
tindakan-tindakan yang merupakan penjelmaan dari sifatnya; sifat-sifat ini
tidak dapat ditolak. Sama halnya dengan tindakan-tindakan-Nya yang menunjukkan
bahwa Dia Maha Pengasih, Mahakuasa dan Maha Berkehendak.[127]
Oleh karena itu, Asy'ariyah mengatakan bahwa Allah mempunyai
sifat-sifat yang bisa dikenal dari tindakan-tindakan-Nya: sifat-sifat ini tidak
bisa ditolak. Sama halnya dengan tindakan-tindakan-Nya yang menunjukan bahwa
Dia memiliki pengetahuan, kekuasaan, dan Maha Berkehendak, demikian pula
tindakan-tindakan itu menunjukan bahwa Dia memiliki pengetahuan, kekuasaan, dan
berkehendak. Menurutnya pula, tidak ada perbedaan dalam hal keabsahan mengenai
apa yang disimpulkan, apakah ia manifes atau tersembunyi. Lagi pula, "Yang
Maha Mengetahui" sebagaimana yang dilekatkan pada Tuhan, pada kenyataanya,
tidak memiliki arti selain bahwa Dia memiliki pengetahuan; "Yang
Mahakuasa" tidak memiliki arti lain, selain bahwa Dia memiliki kekuasaan;
"Yang Maha Berkehendak" tidak memiliki arti lain, selain bahwa Dia
memiliki berkehendak. Dengan demikian, melalui pengetahuan lahirlah
keteratuaran dan kesempurnaan; melalui kekuasaan, segala sesuatu muncul dan
berwujud; melalui kehendak, lahirlah ketentuan masa, ukuran dan bentuk.
Manakala sifat-sifat ini dianggap berasal dari zat, maka sifat-sifat itu tidak
dapat dipertimbangkan, kecuali apabila dikatakan bahwa zat tersebut "
hidup" dengan "kehidupan".[128]
Golongan Asy'ariyah merupakan para pengikut Abu>
H{asan 'Ali> ibn Isma>'i>l al-Asy'ari>, seorang keturunan Abu>
Mu>sa> al-Asy'ari>. Abu> H{asan mengatakan, bahwa Allah mengetahui dengan
pengetahuan-Nya, berkuasa dengan kekuasaan-Nya, dan melihat dengan
penglihatan-Nya.[129]
Asy'ariyah berpegangan pada pandangan bahwa setiap maujud dapat dilihat, sebab
kemaujudanlah yang membuat sesuatu bisa terlihat. Allah itu maujud. Oleh karena
itu, Dia dapat dilihat. Mereka juga mengetahui dari wahyu, bahwa orang-orang
yang beriman akan melihat-Nya di hari kemudian; sebagaimana firman Allah:
"wajah-wajah orang mu'min pada hari itu berseri-seri. Kepada
Tuhan-nyalah mereka melihat"[130]
Demikian pula, ayat-ayat dan hadis-hadis yang serupa mengenai melihatnya Allah
diinterpretasikan dengan tidak memerlukan arah, tempat, bentuk, atau
berhadap-hadapan; apakah dengan tabrakan sinar atau kesan, semuanya tidak
mungkin.[131]
Ada dua pandangan yang diriwayatkan Asy'ariyah perihal sifat dasar dari penglihatan
terhadap Allah. Pertama, pandangan ini merupakan sebuah jenis
pengetahuan yang istimewa dalam pengertian bahwa ia lebih berkaitan dengan yang
eksis daripada yang non eksis; kedua, merupakan sebuah persepsi di luar
pengetahuan, yang tidak menuntut sebuah efek terhadap benda yang dipersepsikan,
tidak pula sebuah efek yang berasal darinya. Asy'ariyah juga mempertahankan
bahwa mendengar, melihat adalah dua sifat Allah yang qadi>m.
Tetapi ada juga persepsi yang berada diluar pengetahuan, yang
berhubungan dengan objek-objek mereka yang sebenarnya, asal saja objek-objek
tersebut eksis.
As'ariyah berpegang bahwa dua tangan dan wajah
adalah sifat-sifat yang diberitahukan dari Allah; karena, sebagaimana ia
jelaskan, wahyu bertutur mengenai sifat-sifat tersebut. Oleh karena itu,
sifat-sifat tersebut harus diterima sebagaimana adanya. Asy'ariyah mengikuti
umat Islam generasi awal (salaf) yang tidak berusaha menafsirkan
sifat-sifat tersebut (tafwi>d{, tasli>m), meskipun, menurut satu pendapat yang
diriwayatkan, mereka memperkenalkan penafsiran. Sebagaimana Ah}mad
ibn H{anbal, Da>wud ibn 'Ali>
al-As}faha>ni> yang
mengikuti para Muh}addis awal, seperti Ma>lik ibn Anas dan Muqa>til ibn Sulai>ma>n. Penerimaan terhadap sifat-sifat Tuhan pada ayat yang ambigu mereka
katakan:
"Kami beriman dengan segala apa yang
diberitakan di dalam Kitab dan sunnah, dan kami tidak mencoba untuk
menafsirkannya, mengetahui dengan yakin bahwa Allah tidak menyerupai mahluk apa
pun, dan bahwa semua pencitraan yang kami bentuk mengenai Dia diciptakan
oleh-Nya dan dibentuk oleh-Nya. Dan sebaiknya kita katakan sebagaimana
orang-orang yang sungguh-sungguh memiliki dasar pengetahuan, "semuanya
berasal dari Tuhan kami" kami beriman dengan apa yang difirmankan secara
literal dan kami juga beriman dengan maknanya yang tersembunyi, tetapi kami
meninggalkan pengetahuan mengenainya kepada Allah; kami tidak wajib mengetahui
sebab ia bukan salah satu dari syarat iman, juga bukan merupakan salah satu
dari unsur-unur dasarnya". [132]
Hal ini merupakan keniscayaan sejarah, bahwa
perbedaan yang terjadi sebagaimana pemaparan di atas merupakan aplikasi
pemahaman yang berbeda terhadap ayat-ayat sifat, sehingga melahirkan firqah-firqah
dalam Islam. Sebagaimana penulis gambarkan, terdapat tiga aliran yang sangat
berpengaruh dalam membentuk pemahaman terhadap ayat-ayat sifat, yaitu
Mu'tazilah yang berbeda dengan Ahlussunnah dan keduanya berbeda pula dengan
Musyabbihah. Pemahaman-pemahaman yang diuraikan di atas, merupakan wacana yang
berkembang dalam khazanah keislaman yang sangat mungkin dikritisi lebih lanjut,
karena percaturan dalam teologi Islam--terutama dalam kajian ayat-ayat tentang
sifat Tuhan--mempunyai banyak masalah yang harus dilihat secara objektif.
Uraian yang
dipaparkan penulis di atas merupakan gambaran umum tentang berbagai pemahaman
umat Islam dalam menyikapi ayat-ayat sifat Allah yang secara garis besar dapat
disimpulkan bahwa dalam memahami ayat-ayat tersebut ada perbedaan pendapat
apakah akan melakukan ta'wi>l atau tidak. Dan juga dalam praktik penta'wilan ada beberapa perbedaan antar
golongan dengan golongan yang lain. Hal ini berimbas pada produk pemahaman yang
dihasilkan. Tetapi walaupun dengan jelas terdapat perbedaan pemahaman, semua
golongan mengklaim mewarisi metode ulama salaf dalam memahami ayat-ayat
tersebut.
Oleh karena itu
pada bab selanjutnya penulis akan mengkaji secara khusus seluk-beluk
(konstelasi) ulama salaf dalam mempraktikkan metode tafwi>d}, tasli>m dan ta'wi>l yang diaplikasikan dalam memahami ayat-ayat mutasya>biha>t tentang sifat Allah.
BAB IV
AYAT-AYAT MUTASYA<BIHA<T
DALAM KONSTELASI PEMAHAMAN
ULAMA SALAF
A.
Metode Tafwi>d} dan Tasli>m
1. Definisi
Tafwi>d} dan Tasli>m
Kata
"metode" berasal dari bahasa Yunani, yaitu methodos, yang
berarti cara atau jalan.[133] Dalam
Bahasa Inggris, kata ini ditulis method.[134]
Sedangkan dalam bahasa Arab dikenal dengan al-t}ari>qah,[135]
al-niz}a>m,[136]
al-manhaj atau al-Minha>j.
Al-manhaj jamanya dari Mana>hij yang mempunyai akar kata nahaja, seperti dikatakan nahaja
al-t}ari>q (menjelaskan).[137] Dalam
bahasa Indonesia, kata metode mengandung arti: "cara yang teratur dan
terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan
sebagainya); cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan dan
kegiatan guna mencapai suatu yang ditentukan.[138]
Pengertian serupa ini juga dijumpai dalam kamus Webster.[139]
Pengertian metode pada umumnya dapat digunakan
dalam berbagai objek, baik yang berhubungan dengan pemikiran maupun penalaran
akal, atau menyangkut penalaran fisik. Jadi dapat dikatakan, metode adalah
salah satu sarana yang amat penting untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Dalam studi tafsir juga tidak dapat dilepaskan dari metode guna
mencapai tujuan dari studi tersebut. Metode dalam studi tafsir dapat
didefinisikan dengan suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk
mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah dalam
ayat-ayat al-Qur'an yang diturunkan kepada Rasulullah.[140]
Adapun istilah
metode "tafwi>d}" sering
ditemukan dalam istilah bahasa Arab, terutama dalam kajian tafsir dan beberapa
disiplin ilmu lain, seperti teologi atau juga ilmu tauhid, tasawuf dan
sebagainya. Metode ini, diterapkan ulama salaf dalam mengkaji ayat-ayat
mutasya>biha>t
tentang sifat Tuhan.[141] Sebab,
inti dari penerapan metode ini sebagai kehati-hatiannya dalam pengaplikasian
makna, sehingga metode ini yang paling aman dan bersifat menyerahkan maknanya
kepada Tuhan.
Kata tafwi>d},} merupakan bentuk masdar dari kata fawwad}a yang berarti memberikan kuasa penuh,
seperti fawwad}a ilai>h sama dengan at}a>hu
tafwi>d}an (memberi
kuasa penuh). Lafaz} fawwad}a ilai>h juga sama dengan wakkala ilai>h (mempercayakan). Lafaz}
tafwi>d} masdar dari
fawwad}a yaitu fi'il ma>d}i yang muta'ad}i, sedangkan fi'il ma>d}i>
la>zim-nya fa>wad}a, seperti fa>wad}a
fi al-amr yang berarti merundingkan. Dengan
demikian, makna tafwi>d} ialah pemberian makna kuasa terhadap kekuasaan Tuhan dan mempercayakannya.[142]
Selain tafwi>d}, dalam kajian salaf muncul juga istilah"tasli>m",[143] asal
kata dari sallama yang merupakan masdar dari fi'il ma>d}i yang muta'adi, sedangkan fi'l ma>di
la>zim-nya dari
sa>lama. seperti sa>lama
amruhu ilai>h (menyerahkan).[144] Kata "tasli>m" mempunyai ragam makna, "tasli>m" bermakna"al-qabu>l" penerimaan, "tasli>m" bermakna"al-Iz}'a>n"(sikap) tunduk, patuh, "tasli>m" bermakan"al-i'tira>f", pengakuan, "tasli>m" bermakna "al-muna>walah" penyerahan atau penyampaian,"tasli>m"
bermakna "al-tah}iyat" penghormatan, atau pemberian hormat.
Jadi, kata" tasli>m" secara etimologi dalam bahasa Arab bermakna
penyerahan atau juga penerimaan.[145]
Ulama salaf
(seperti 'Abdulla>h ibn 'Abba>s, Ma>lik ibn Anas, Ah{mad
ibn H{anbal dan lain-lain),
ketika mengkaji ayat-ayat mutasya>biha>t tentang sifat-sifat Allah merinci maknanya.
Tetapi, dalam beberapa hal mereka menyerahkan makna (melakukan tafwi>d{) sebagai sikap kehati-hatian, tanpa berusaha
memberi makna pada ayat tersebut guna menghindari reduksi keagungan Tuhan.
Karena ayat-ayat mutasya>biha>t secara nalar sulit dipahami (ghai>r
ma'qu>l al-ma'na>,) juga kemungkinan
makna ayat tersebut berbeda dengan makna yang tersirat, sehingga mengharuskan
untuk dita'wil. Penta'wilan tersebut sudah lazim diterapkan oleh ulama salaf,
dalam hal ini dikenal istilah tafwi>d}, tasli>m dan
ta'wi>l tafs}i>li>". [146]
Istilah Tafwi>d{ dan tasli>m
dalam khazanah penafsiran ulama salaf merupakan dua kata yang bersinonim
serta didefinisikan dengan definisi yang sama, yaitu mempercayakan sepenuhnya
makna ayat-ayat sifat tersebut kepada Tuhan tanpa memberi penjelasan. Jika
menghadapi ayat-ayat tersebut, mereka sering memberi ungkapan bila>
kayf (tanpa deskripsi bagaimana..)[147]
sebagai bentuk penyerahan makna pada Tuhan. Metode tafwi>d} dan tasli>m juga sebagai penolakan terhadap paham tasybi>h, yang memaknai dan memahami ayat-ayat
sifat secara tekstual yang memungkinkan penyikapan sifat Tuhan secara materi.[148]
Metode tafwi>d} dan tasli>m merupakan aplikasi dari "metode ta'wi>l ijma>li>", yaitu metode yang diterapkan tanpa
menentukan makna terhadap ayat-ayat. Ulama salaf menginterpretasikan dengan
metode ini secara global terhadap keagungan dan kekuasaan yang dimiliki Allah
tanpa memberikan rincian (deskripsi tentang makna). Menurut Ahl
h}adi>s (Asy'ariyah),
penerimaan seperti ini lebih meyakinkan dalam menyikapi ayat-ayat mutasya>biha>t seperti: "wajah Allah"
sebagaimana adanya, yaitu dengan meyakini bahwa wajah merupakan salah satu dari
sifat Allah, dan juga menerima ungkapan seperti "tangan-Nya",
"Dia memegang" dan sebagainya. Bagaimanapun menurutnya, apa yang
dikatakan mengenai Wajah Allah dalam al-Qur'an adalah sunguh-sungguh layak bagi
keagungan-Nya.[149]
- Ungkapan-ungkapan
Tafwi>d} dan Tasli>m Ulama Salaf
Sebagaimana telah
dibicarakan sebelumnya bahwa metode tafwi>d} dan tasli>m adalah sikap dari penetapan ulama Salaf
dalam mengkaji ayat-ayat mutasya>biha>t tentang sifat Allah, yang dalam interpretasinya
tidak mengartikan secara metaforis (majazi>). Interpretasi yang lahir dari metode ini
dengan tidak mengasumsikan bahwa Allah terdiri dari jisim dalam konteks
manusia, seperti ungkapan ketika menanyakan bagaimana "istawa-nya"
Allah, apakah Ia mempunyai tangan atau terdiri dari benda dan lain-lain. Dalam
kajian ulama salaf, pernyataan-pernyataan seperti ini akan membawa kepada paham
tasybi>h, maka metode yang paling aman ketika mengkajinya dengan tafwi>d} dan tasli>m, dan hal ini, Allah harus disucikan dari
sifat-sifat benda.[150]
'Abdulla>h
ibn 'Abba>s merupakan
ulama salaf yang terkemuka. Sebagian besar ayat-ayat mutasya>biha>t tentang sifat Allah disikapi dengan
penyerahan makna pada Allah, dalam menghadapi ayat-ayat mutasya>biha>t ia selalu memberi pernyataan " امروها
كما جاءت بلا كيف
" (pahamilah ayat-ayat
tersebut sebagaimana adanya dan tanpa bagaimana). Karena sudah pasti, bila
mengkaji eksistensi Allah, akan menimbulkan prasangka bahwa Allah beranggota
badan ”jismiyyah”, berpindah-pindah, bertempat (istawa).
Asumsi-asumsi seperti itu, oleh ulama Salaf harus disucikan dengan metode “ta’wi>l
ijma>li>”, karena dengan sendirinya ketika mereka
tidak memberikan makna tentang Allah (eksistensi-Nya), mereka sudah men-ta'wi>l sesuai dengan atribut yang layak bagi-Nya
(tanpa berbicara bagaimana Allah, dimana Allah, juga tanpa memberikan
penafsiran tentang Allah yang serupa dengan mahluk-Nya).
Sebagaimana
ulama-ulama salaf lainnya dalam menyikapi ayat-ayat mutasya>biha>t, Ah}mad ibn H{anbal juga memberi ungkapan jika dihadapkan
pada ayat-ayat tersebut, seperti ketika ditanya tentang makna “yanzilu"> dalam suatu hadis " ينزل ربنا تبارك وتعالى كل ليلة الى السماء الد نيا" ,[151] ia
mengatakan dengan ugkapan tafwidnya “نؤ من بلا كيف ولا معنى
“kita mengimaninya tanpa bagaimana Ia (Allah) dan memberikan makna. Ibn
Jama'ah menegaskan dalam sebuah penafsirannya, bahwa yang dimaksud "yanzilu
rabbuna>" adalah
dalam konteks rahmat dan ampunan yang dibawa oleh malaikat dengan turun ke bumi
dalam sepertiga malam yang diberikan kepada orang-orang yang mengharapkan-Nya.[152]
Ulama salaf
(seperti dilakukan 'Ali> ibn T{a>lib, Ibn 'Abba>s,
al-Sya>fi'i>,
Ah}mad ibn H{anbal, Muja>hid dan para mufassir yang lainnya), lebih menekankan pada metode tafwi>d}
dan tasli>m dalam “membaca”(ta'wi>l) teks al-Qur’an dan Hadis yang mengandung
makna sifat Tuhan seperti lafaz}: ”al-wajh, al-yad, al-ai>n, al-rid{a>, al-ghad}ab”. Metode tafwi>d} dan tasli>m merupakan metode yang paling aman dalam
menghindari paham Antropomorfisme (tasybi>h). Tetapi dalam sebagian ayat, metode ta'wi>l
tafs}i>li>
diterapkan pula oleh ulama salaf dengan mengalihkan makna tekstual kepada makna
metaforis yang maknanya tidak menyerupakan Allah dengan mahluk-Nya. Ayat-ayat
sifat Allah, tidak diinterpretasikan dalam konteks anggota badan “al-jawa>rih” dan perbuatan “al-infi'a>la>t”. Begitu juga dalam hal interpretasi
sifat, ayat-ayat yang muh}kamat menjadi sandaran, seperti ”ليس كمثله شيئ
“[153].
Sehingga, konsistensi ulama salaf dalam mensucikan (ta'wi>l) sifat Allah tidak menganalogikan
sifat-sifat yang dimiliki mahluk-Nya seperti beranggota badan,
berpindah-pindah, berubah, bergerak, diam, turun, duduk, bersemayam, mempunyai
jarak, menempel, berpisah, berada pada satu tempat dan arah, berbicara dengan huruf,
suara dan bahasa dan sebagainya.
- Beberapa
Contoh Penerapan dalam Tafwi>d} dan Tasli>m
Sebagaimana telah
dibahas sebelumnya, mayoritas ulama salaf
tidak menerapkan metode "ta'wi>l tafs}i>li>" dalam menentukan makna yang
tersembunyi (esoteris) pada ayat-ayat mutasya>biha>t tentang sifat Allah. Mereka harus berhenti
tanpa memberikan makna dengan ungkapan "" امروها كما جاءت بلا كيف (pahamilah dengan
tanpa mengungkapkan bagaimana).[154]
Dalam sebuah riwayat al-Baihaqi dari 'Abdulla>h, ketika Ma>lik ibn Anas ditanya seseorang mengenai,
bagaimana Istiwa-Nya Allah? Maka Anas ibn Ma>lik berdiam sambil tunduk dan mengangkatkan
kepalanya dengan mengeluarkan keringat dan berkata:
الرحمن
على العر ش استوى كما وصف نفسه ولا يقول كيف وكيف عنه مرفوع وانت رجل سوء صا حب
بدعة اخرجوه, قال فاخرج الرجل
Istiwa-Nya
Allah "al-Rahman" sebagaimana ia mensifati dirinya dan tidak
mengatakan bagaimana dan al-Kaifa / bagaimana (sifat-sifat benda) mustahil bagi
Allah. dan kamu mempunyai niat buruk, keluarkanlah karena telah menanyakan yang
bid'ah, maka keluarlah orang tersebut.[155]
Adapun hadis
Rasulullah yang mengandung sifat Allah adalah hadis "nuzu>l
" yang diriwayatkan al-Bukha>ri dari Abu>
Hurai>rah RA :
قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم " ينزل ربنا تبارك وتعالى كل ليلة الى السماء الد نيا حين
يبقى ثلث الليل الاخر يقول : من يدعوني فأستجيب له ومن يسألني فاعطيته ومن
يستغفرنى فأغفر له.
Rasulullah SAW telah bersabda " Tuhan (penuh keberkahan
dan maha suci) kita telah turun dalam setiap malam ke (sama al-dunya) langit
dunia pada sepertiga malam. Ia berfirman : Barang siapa berdo'a kepadaku maka
aku akan kabulkan, dan barang siapa yang meminta kepadaku, maka akan aku
berikan, dan barang siapa yang meminta ampun kepadaku, maka akan aku ampuni
dosanya.[156]
Ungkapan "tafwi>d}" Abu>
Hani>fah dan Ah}mad ibn H{anbal ketika ditanya tentang hadis di atas, ia menjawab dengan
ucapan "ينزل
بلا كيف " (turun-Nya Allah tanpa ungkapan bagaimana) dengan alasan apabila hal
ini dimaknai secara literal dengan maksud "al-intiqa>l" (berpindah-pindah), maka mengindikasikan Allah dengan tempat,
dengan serba keterbatasan-Nya dan juga bisa tersentuh antara jarak ketika Ia
turun, maka hal ini mustahil menurutnya.[157]
Tafwi>d}
dalam kajian tafsir tidak terlepas dari
pembahasan teologi yang dideskripsikan ulama salaf merupakan sikaf pensucian (tanji>h) terhadap Allah, juga menghindari dari penyerupaan Allah
terhadap mahluknya (antropomorfisme) yang lahir dari ayat-ayat Mutasya>biha>t, karena memberikan
makna harfiyahnya adalah hal yang mustahil bagi Allah. Dengan ini mereka
mengimani sepenuhnya rahasia kandungan makna yang esoteris dari firman-firman
Allah tersebut, dan menyerahkan hakikat maknanya kepada Allah.[158]
Hal ini, tidak berarti ulama salaf sudah final dalam mengkaji ayat-ayat sifat
dengan metode tafwi>d} dan tasli>m-nya yang hanya menyerahkan maknanya, tetapi di beberapa ayat ulama Salaf
telah menerapkan metode ta'wi>l tafs}i>li dalam memahaminya.
B. Metode
Ta’wi>l
1.
Pandangan Ulama terhadap Ta'wi>l
a.
PengertianTa'wi>l secara Etimologi
Secara etimologi,
kata ta'wi>l merupakan masdar dari awwala yu'awwilu ta'wi>lan yaitu fi'il ma>d{i yang mutaadi. Fiil al-Ma>d}i la>zim-nya adalah a>la yau>lu awlan yang berarti raja'a kembali atau mengatur,
seperti awwala ila>hi al-Sya>i berarti mengembalikan kepadanya. Ketika fi'il
tersebut menjadi muta'adi mengalami pergeseran makna sesuai dengan
konteksnya seperti ketika dikatakan awwala al-kala>m, ta'wila>n, wa ta'awwalah berarti
merenungkan, memastikan. Sedangkan dalam kondisi la>zim yaitu berupa a>la,
yau>lu, aulan yang berarti kembali.[159]
Hal senada
dikatakan oleh Achmad Warson Munawwir yang mengatakan bahwa awwalahu
alai>h artinya
mengembalikan, tetapi jika dikatakan awwala al-kala>m berarti menafsirkan dan menjelaskan dan jika
dikatakan awwal al-ru'ya> berarti menjelaskan arti mimpi. Di sini berarti makna ta'wi>l sama dengan makna tafsi>r yang fi'il
ma>d}inya berupa fassara
yaitu penjelasan, komentar atau keterangan.[160]
Sedangkan al-Suyu>t}i ketika menjelaskan makna ta'wi>l, ia mengatakan bahwa ta'wi>l berasal dari al-aul yang artinya
kembali, maka seakan-akan seseorang memalingkan ayat kepada beberapa makna yang
memungkinkan. Dikatakan juga dari al-iya>lah yang berarti sama dengan al-siya>sah (aturan), maka kalimat ka>na al-mu'awwil
al-kala>m sama dengan sa>sa
kala>m (mengatur
pembicaraan dan meletakan arti pada tempatnya).[161]
Melihat beberapa
pendapat yang dijelaskan baik al-Fairu>z A<ba>di, al-Suyu>t}i> maupun Ahmad warson Munawwir, maka ta'wi>l secara bahasa mempunyai makna penjelasan
atau keterangan.
b. Pengertian Ta'wi>l
secara Terminologi
Secara
terminologi, ada bermacam-macam pengertian ta'wi>l.
Al-Zarqa>ni> menyatakan
bahwa sebagian ulama memahami makna ta'wi>l sama dengan tafsi>r, yaitu mengungkapkan makna al-Qur'an dari
segi dala>lah yang dikehendaki Allah sesuai dengan kemampuan manusia. Kemudian mereka
menunjukkan kesamaan antara makna ta'wi>l dan makna tafsi>r, hal ini mereka merujuk ucapan Muja>hid
"Inna al-Ulama>
ya'lamu ta'wi>lah", yang dimaksud dengan ta'wil di sini adalah tafsirnya. Sedangkan
menurut Ibn Jari>r al-T{abari>" yang dimaksud dengan ahl
al-ta'wi>l adalah ahl
al-tafsi>r".[162]
Pada perkembangan
selanjutnya, Ta'wi>l yang dikemukakan ulama Mutakhi>ri>n yang terdiri Filosuf, Mutakalimi>n, Ahl
Us}u>l dan golongan
Sufi, bahwa ta'wi>l pada dasarnya merupakan memindahkan makna kala>m (al-Qur'an) dari tempat semula kepada
makna yang lain dengan penetapannya membutuhkan kepada dalil, dan seandainya
tidak ada dalil, berarti tidak bisa meninggalkan z}ahi>r
al-lafaz}. Hal ini bisa
dilihat dari pengertian yang dikemukakan oleh Ahl
Us}u>l di mana mereka
memahami makna ta'wi>l sebagai pengalihan lafaz} dari makna yang ra>jih kepada yang marju>h karena adanya dalil.[163]
Sebagaimana Ibn Rusyd dari kalangan filosuf memberi pengertian ta'wi>l sebagai mengeluarkan lafaz} dari dala>lah
haki>ki> [164]kepada dala>lah
maja>zi>. Dari
kelompok kaum Sufi memberi pendapat yang serupa mengenai ta'wi>l sebagai penjelasan makna lafaz}
dengan jalan isya>rah bukan dari ungkapan kalimat.[165]
Sedangkan dari komunitas mutakali>mi>n seperti Jahmiyah mengatakan bahwa setiap ayat
al-Qur'an mempunyai ta'wi>l yang menyalahi dalalahnya tetapi tidak ada yang mengetahui ta'wi>l tersebut kecuali Allah.[166]
Mengenai Taw'i>l, Ibn Tai>miyyah berpendapat, bahwa ta'wi>l
adalah masdar dari
awwala yuawwilu ta'wi>lan seperti kata ta'wil yang berasal dari hawwala yuhawwilu tahwi>lan, mempunyai bentuk la>zim-nya a>la
yau>lu, berarti ada>
ila> kaz\a> wa raja'a ilai>h artinya kembali. Maka, dari etimologi ini ia memberi pengertian tawi>l
sebagai ma awwala alai>h
al-Kala>m (sesuatu
yang seorang mengembalikan pembicaraan kepadanya) yaitu pembicaraan tersebut
kembali kepada hakikatnya yang merupakan esensi dari maksud pembicaran. Jika
suatu khabar pembicaraan berupa khabari> (kalimat berita), maka kepada esensi yang
diberitakan pembicaraan tadi kembali dan seandainya pembicaraan itu tidak
kembali, berarti tidak mempunyai esensi dari tempat kembali bahkan merupakan
kebohongan. Apabila suatu pembicaran berupa talabi (tuntutan), maka
kepada hakikat yang dituntut pembicaraan tadi kembali.[167]
Adapun ta'wi>l dalam arti nafs
al-Mura>d al-Kala>m (esensi dari maksud pembicaraan), menurut Ibn Tai>miyyah adalah salah satu pengertian ta'wi>l yang dikemukakan ulama Salaf. Jika al-kala>m (pembicaran)itu berupa talabi>
(tuntutan seperti
perintah dan larangan), maka ta'wi>l-nya adalah esensi perbuatan yang dituntut, dan seandainya kalam itu berupa khabari (kalimat berita), maka ta'wi>l-nya berupa esensi sesuatu yang diberikan.
Sebagai contohnya kalimat t}ala'at al-syams (matahari telah terbit) maka ta'wi>l-nya adalah nafs
t}ulu>'iha> (esensi
terbitnya).[168]
Dalam hal ini,
Nurcholis Madjid menggaris bawahi pendapat-pendapat di atas dengan menyebut ta'wi>l sebagai interpretasi metaforis, yaitu
pemahaman atau pemberian atas fakta-fakta tekstual dari sumber-sumber kitab
suci (al-Qur'an dan al-sunnah) sedemikian rupa, sehingga yang diperlukan
bukanlah makna lahiriyah kata-kata pada teks sumber suci itu, tetapi pada makna
dalam (batin) yang dikandungnya.[169]
Sedangkan menurut
Komaruddin Hidayat, kata ta'wi>l mengalami perkembangan makna, lebih tepat disejajarkan dengan Hermeneutika,
karena mempunyai arti mengembalikan makna teks pada bentuk awal, yang hidup dan
dinamis, namun makna itu sekarang telah terwadahi atau bisa terkurung dalam
tubuh teks. Dalam memahaminya memerlukan data dan imajinasi konteks sosial
serta psikologis baik dari sisi pembicara maupun pendengar.[170]
Sedangkan Nasr H{ami>d Abu> zai>d menegaskan pengertian ta'wi>l, adalah kembali pada asal usul sesuatu,
apakah itu berbentuk perbuatan ataukah cerita. Kembali ke asal usul dimaksudkan
untuk mengungkapkan makna dan signifikansinya.[171]
Mengalihkan makna
dari makna tekstual, dikenal sebagai salah satu kajian yang istimewa dalam bahasa Arab yang
dikenal dengan “Maja>z”(metaforis). Jumhur
Ulama berpandangan bahwa Maja>z termasuk dalam kajian al-Qur’an karena memberikan
makna penguat (ta'ki>d), sedangkan dalam kajian bahasa Arab satu lafaz} mempunyai arti yang banyak dan luas,
seperti kata“ al-yad ”mempunyai tujuh belas arti; di antaranya dengan
makna yang lebih spesifik anggota badan dari telapak tangan hingga ke pinggir
jari, kemudian arti lain adalah suatu kenikmatan dan kebaikan, kekuasaan,
kekuatan, pemerintah, juga makna lain merubah perkara dengan tangan seseorang
seperti kerajaan, perjanjian dan lain-lain yang diterapkan sesuai dengan
konteksnya.[172]
Semua ini adalah sifat ta'wi>l, yang tugasnya memelihara ruh dari sebuah teks, jangan sampai teks itu
berubah menjadi "tubuh mati"sementara ruh yang memberi hidup dan
dinamika dari "tubuh teks" telah hilang.
Dari beberapa
pengertian ta'wi>l di atas, secara
garis besar ta'wi>l dapat dikelompokkan dalam tiga macam pengertian. Pertama,
ta'wi>l dalam arti tafsi>r, yaitu mengungkap makna al-Qur'an secara
mufrada>t dan susunan
kalimat baik secara riwayah maupun dirayah. Kedua,
ta'wi>l dalam arti
mengalihkan makna haki>ki> kepada makna maja>zi>. Dan ketiga, ta'wi>l berarti esensi yang dikehendaki dari suatu
pembicaraan. Sedangkan ulama Salaf lebih cenderung kepada term yang kedua dan
ketiga, yaitu ta'wi>l yang berarti esensi dari suatu pembicaraan yang dikehendaki dan ta'wi>l dalam arti mengalihkan makna haki>ki kepada makna maja>zi.
2.
Beberapa Contoh Penerapan Metode Ta’wi>l Ulama Salaf
a.
Makna “ Istawa>”.
Dalam al-Qur'an lafaz}"Istawa>" yang mengandung sifat Allah muncul
sebanyak 12 kali, di antaranya: QS. Al-Baqarah [2]: 29, QS. Al-'Ara>f
[7]: 54, QS. Yu>nus [10]: 3, QS. Al-Ra'd [13]: 2, QS. T}a>ha
[20]: 5, QS. Al-Furqa>n
[25]: 59, QS. Al-Qas}as
[28]}: 14, QS.Al-Sajdah [32]:
4, QS. Fussilat [41]: 11, QS. Al-Fath} [48]: 29, QS. Al-Najm [53]: 6, QS. Al-Hadi>d [57]: 4 dan lain-lain.[173]
الرحمن
على العرش ا ستوى ( طه, 5 )
(Yaitu) Tuhan yang maha Pemurah, yang
bersemayam di atas Arsy. QS. Taha [20]: 5.
Makna istawa>, diinterpretasikan seperti apa yang
disiratkan menurut teks tanpa membayangkan unsur-unsur fisik seperti pada
mahluk“. Dengan pengertian lain, Ta’wi>l
“ istawa> ”dalam
hal ini al-Rahma>n (Allah) tidak disifati dengan bersemayam (yajlis ala> al-Arsy), bersentuhan, menempati, berada di atas, berupa
fisik, memenuhi Arsy dan duduk bersamanya.[175] Al-Izi
ibn Abd al-Sala>m menggunakan metode tafwi>d} dalam menginterpretasikan
makna “istawa> ”dengan mengatakan "apa yang difirmankan-Nya
tentang istawa> tidak ditafsirkan dengan duduk (Ia harus disucikan dari bersentuhan,
bersemayam, mempunyai arah, menetap, bertempat, menyatu dengan mahluk,
berpindah-pindah), tetapi Ia menguasai ”istawa” dengan kekuasaan-Nya.[176]
Lafaz} istawa>, apabila diinterpretasikan secara
lahiriyah dengan makna bersemayam atau mengambil tempat, maka, eksistensi Allah
terdiri dari unsur-unsur material, seperti anggota tubuh yang mempunyai bentuk
seperti besar, kecil (al-mahdu>d). Sedangkan Allah tidak bertempat, sebab yang bertempat itu memiliki bentuk
(hal ini mustahil bagi-Nya).[177] Salah
satu penerapan metode yang dipakainya
untuk menentukan makna ”istawa>”adalah dengan metode Ijma>li>. Ma>lik ibn Anas ketika ditanya seseorang mengenai ayat “istawa>”[178], ia mengatakan ” istawa-Nya
seperti sifatnya, tidak dengan mengatakan bagaimana, juga di mana [179]. Di
tempat lain Ibn H{ajar al-Asqala>ni> men-ta’wi>l “istawa> “dengan menerapkan metode ta'wi>l tafs}i>li> yaitu dengan makna “al-Isti>la” dan “al-qahr”(menguasai dan
menundukkan).[180]
Selanjutnya, al-Qa>d}i
'Abd al-Jabba>r[181] memberikan keterangan (ta'wi>l) tentang istawa> pada ayat:
هو
الذ ي خلق لكم ما في الا رض جميعا ثم استوى الى السماء فسواهن .
Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk
kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit.
Dan Dia maha mengetahui segala sesuatu. QS.
Al-Baqarah [2]: 29.
Ta'wi>l (istawa>) berlaku untuk jisim (materi), seperti
berdiri, duduk dan juga wajib atas makna yang jisim (materi) akan
berpindah (al-intiqa>l). kata Istawa> dalam istilah bahasa Arab beragam dalam
makna, tetapi konteks ayat yang dimaksudkan di atas adalah dengan
al-isti>la> dan
al-Iqtida>r (menguasai).
Istawa> di sini juga di-ta'wil dengan "al-Qasd".[182]
Menurut al-Baihaqi,"al-Qasd"ialah bermaksud kepada penciptaan
langit, dan menurutnya ketika membolehkan ta'wi>l dengan "al-Qasd", maka
boleh juga men-tawilnya dengan makna "al-qudrah". Sedangkan
yang dimaksud dengan ثم استوى الى السماء
yaitu naik akan perintahnya ke langit, dan makna فسواهن dengan
menciptakan tujuh langit, sebagian yang lain memaknainya dengan ارتفعatau dengan kata lainارتفع أمره (bermaksud kepada perintah-Nya),"al-qasd"
juga bermakna "al-iradah", Ibn Abbas membolehkan ta'wil
ini karena sesuai dengan sifat Allah.[183]
Untuk lebih jelas, di antara ulama salaf
yang menta'wil lafaz" Istawa" dapat dilihat dalam tabel
berikut ini:
No.
|
Nama ulama
|
Letak Surat dan Ayat
|
Ta'wilnya
|
1.
|
'Ali ibn Abi T{a>lib
|
Hadis
|
"Allah menciptakan Arsy untuk menampakkan kekuasaan-Nya,
bukan untuk menjadikan tempat bagi Dzat-Nya".
|
2.
|
Ibn 'Abba>s
|
QS. al-Baqarah [2]: 29.
|
Qasada amruhu (bermaksud kepada
perintah-Nya).
|
3.
|
Ah}mad ibn H{anbal
|
QS. Taha [20]: 5
|
(tafwi>d{), tidak memaknai secara literal dengan bersemayam, bersentuhan,
menempel, berada di atas, berupa fisik, memenuhi Arsy.
|
4.
|
Ma>lik ibn Anas
|
QS. Taha [20]: 5
|
"Istawa>" seperi mensifati diri-Nya(tidak mendeskripsikan bagaimana, tidak
menyerupakan dengan mahluk-Nya).
|
5.
|
'Abd al-Jabba>r
|
QS. al-Baqarah [2]: 29
|
Al-isti>la wa al-iqtidar
(menguasai).
|
6.
|
Abu> Mansu>r al-ma>tu>ridi
|
QS. Taha [20]: 5.
|
Al-isti>la wa al-qahr
(menguasai dan menundukan).
|
7.
|
Al-Baihaqi
|
QS. al-Baqarah [2]: 29
|
Al-qasd ila al-sama> (bermaksud kepada penciptaan langit).
|
8.
|
Al-Izi ibn abd al-Sala>m
|
QS. Taha [20]: 5.
|
Membawa Arsy dengan sifat kuasa dan lemah lembut.
|
9.
|
Ibn H{ajar al-Asqala>ni
|
QS. Taha [20]: 5.
|
Al-Isti>la dan al-qahr
(menguasai dan menundukan)
|
10.
|
Al-auza>'i, al-Lai>s, ibn Muba>rak
|
QS. Taha [20]: 5.
|
Istawa> (tidak menentukan makna menyerahkan apa yang dikehendaki Tuhan).
|
b. Makna “al-Wajh”.
Dalam al-Qur'an,
Lebih dari empat puluh Lafaz}
"al-wajh" yang di-id}a>fat-kan kepada Allah dan manusia, di antara
ayat yang mengandung sifat Allah: QS. Al-Baqarah [2]: 115, QS. Al-Baqarah [2]:
272, QS. Al-An'a>m [6]: 52, QS. Al-Ra'd [13]: 22, QS. Al-Ru>m [30]: 37, QS.
Al-Ru>m [30]: 39, QS. Al-Rahma>n [55]: 27, QS Al-Insa>n
[76]: 9, QS. Al-Baqarah [2]:
112, QS. Al-Nisa> [4]: 124, QS. Al-Qas}as [28]}: 88, QS. Ali-Imra>n [3]: 20, QS. Al-Qiyamah [75]: 22, QS. Al-Ahza>b [33]: 69 dan lain-lain.[184]
Dalam bahasa Arab,
pengertian “al-Wajh” mempunyai makna yang cukup luas dan beragam. Di
antaranya; al- Wajh bermakna rida (al-Rida>), al-Wajh bermakna kerajaan atau kekuasaan (al-Mulk),
al-Wajh bermakna Qiblat (al-Qiblah), al-Wajh dalam makna
ta’at (at-T{a>’ah), juga termasuk al-Wajh dalam pengertian bagian anggota tubuh, muka (al-Jarihah).
ولا تدع مع الله الها اخر
لااله الا هو كل شيئ هالك الا وجهه له الحكم واليه ترجعون .
Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, Tuhan
apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia.
Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. BagiNyalah segala penentuan dan
hanya kepada-Nyalah kamu kembali. QS.
Al-Qasas[28]: 88.
Lafaz
al-wajh dita'wilnya dengan "al-mulk"(kekuasaan atau kerajaan).
Adapun ayat dalam konteks ta'at dan do'a dengan
segala kepatuhan, ketundukan dan penyerahan diri terhadap-Nya :
ولا تطر د الذين يدعون ربهم
بالغداة والعشي يريدون وجهه
Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru
Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedangkan mereka menghendaki
keridaannya. QS. Al-An'am [6]: 52.
Al-Qurt}ubi> (w. 276) menta'wil lafaz “al-Wajh” dengan keta’atan dan keikhlasan.
Artinya, dalam konteks ini orang mu'min dituntut dalam beribadah hanya untuk
tujuan ta'at dan ikhlas karena Allah, dan tidak kepada selain-Nya[186].
ويبقي وجه ربك
ذو الجلا ل والاكرام.
Dan tetap kekal Zat
Tuhanmu yang mempunyai
kebesaran dan kemulian.
QS. Al-Rahman [55]: 27.
Menta'wil dengan Zat Tuhanmu.[188]Sedangkan
al-wajh dalam QS. Al-An’a>m [6]: 52, “يريدون وجهه.”menta'wilnya dengan
maksud bertujuan karena-Nya atau mengharap keridaan-Nya (ير
يدونه)”[189].
Sedangkan al-Bukha>ri> men-ta’wi>l
lafaz“al-Wajh” dalam QS. Al-Qas}as} [28]: 88 dengan kerajaan atau
kekuasan-Nya (al-Mulk)[190].
Kemudian al-Bai>haqi> dengan sanad yang bersambung kepada Muja>hid, men-ta'wi>l ayat:
ولله
المشرق والمغرب فاينما تولوا فثم وجه الله ,ان الله وا سع عليم .
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu
mengahadap disitulah wajah Allah sesungguhnya Allah maha luas (rahmatnya) lagi
maha mengetahui. QS. al-Baqarah [2]:115.
Muja>hid menginterpretasikan dengan ta'wi>l-nya ayat di atas: “Wajhulla>h" artinya Qiblatulla>h, maksudnya ke manapun manusia mengarah (dalam
shalat sunnah), baik ke arah barat atau arah timur, maka telah menghadap Qiblat
[191].
Sebagian lagi, pada konteks ini (wajah Allah) dita'wil dengan kekuasaan Allah
yang meliputi seluruh alam, sebab itu di mana saja manusia berada, Allah
mengetahui perbuatannya, karena Ia selalu berhadapan dengannya.[192]
Pemberian makna al-wajh
dengan berpegang kepada z}a>hir ayat, akan menimbulkan pemaknaan bahwa Allah ada di setiap tempat. Dalam
konteks al-wajh Al-Qa>d}i 'Abd al-Jabba>r mengatakan "tidak sah hal ini dimaknai
dengan jism, karena semua yang ber-jisim mempunyai muka dan
anggota tubuh, hal ini akan menimbulkan pemahaman bahwa Allah bertempat tetapi
tidak di tempat. Maka, ta'wi>l yang serasi dengan lafaz}
"wajah"(QS. Al-An'a>m [6]: 52) di sini, menurutnya dengan Zat-Nya, dan pada lafaz} tersebut adalah Allah itu sendiri. Al-Jabba>r memberikan alasan bahwa dalam konteks
ini, Allah memerintahkan kepada orang yang mukallaf[193]
untuk selalu beribadah dengan segala kepatuhan (konsistensi), ketundukan, dan
selalu mendekatkan diri. Ayat ini tidak memberikan analogi Allah dengan
bertempat, konteks ini tentang qiblat yang tidak menjadi syarat dalam hal
shalat, seseorang ketika berijtihad tentang arah qiblat, maka ke arah manapun
ia shalat disitulah qiblat Allah.[194]
Pemakaian lafaz}
“al-Wajh” dalam pengertian “z}at” sering dipakai dalam bahasa Arab. Seperti biasa
dipakai dalam pembicaraan: “فعلت كذالوجهك ”, yang berarti; “Saya melakukan ini karenamu
(artinya karena Zatmu)”.
Alasan pengungkapan “Z|a>t” dalam bahasa arab sering kali diganti dengan lafaz “al-Wajh”, karena wajah adalah bagian yang paling
terlihat pada pandangan mata, juga karena wajah adalah anggota badan yang dapat
membedakan antara satu manusia dengan lainnya. Di samping itu, karena kepala
seorang manusia dan wajahnya adalah otoritas akalnya dan keindahannya
sekaligus. Karena inilah, dalam bahasa arab, “zat” secara metaforis sering diganti dengan
ungkapan “al-Wajh”[195].
Dengan begitu,
bahwa indera penglihatan, pendengaran, penciuman dan pengecapan rasa terletak
pada wajah, bersama dengan fungsi biologi berupa pernafasan dan pemasukan
makanan, serta fungsi-fungsi sosial dalam komunikasi verbal. Selanjutnya, wajah
memainkan peran paling menonjol dalam penggunaan bahasa isyarat non verbal. Ekspresi wajah
melengkapi dan memperkuat pembicaraan: emosi seperti bahagia, khawatir, marah,
terkejut dan sikap interpersonal misalnya suka/tidak suka atau rasa minder
diperlihatkan pada wajah.[196]
Lafaz “al-Wajh”
secara metaforis terkadang pula sebagai ungkapan dari keridaan. Hal ini
karena ketika seseorang ridha dengan sesuatu, maka ia menerimanya dengan wajah
yang penuh keridaan, namun apabila menolak atau membenci maka wajahpun akan
menolak dan berpaling. Karena inilah “al-Wajh” terkadang di-ta'wi>l dengan makna keridaan.
Dari pembahasan di
atas, ibn Jama>'ah memberikan interpretasi mengenai makna “al-Wajh” pada QS. Al-Rahma>n [55]: 27, QS. Al-Baqarah [2]: 115 dan QS.
Al-Qas}as} [28]: 88 tidak
dalam pengertian “Muka” (Bagian anggota tubuh). Hal ini dapat dilihat dari
beberapa alasan:
1. Yang dimaksud ayat dari QS. Al-Rahma>n [55]: 27, adalah kekelalan “Zat” Allah, bukan kekelalan “al-Wajh”
dalam pengertian “Muka”. Sebab bila yang dimaksud kekekalan “al-Wajh”
dalam pengertian “Muka”, maka selain “al-Wajh” akan hancur. Dan
pemahaman seperti ini mustahil bagi Allah, sebab Allah bukan benda yang dapat
terpisah-pisah.
2. Kemudian firman Allah dalam QS.
al-Baqarah [2]: 115, jika diambil makna z}ahir lafaz} “al-Wajh”, maka akan berimplikasi kepada
makna bahwa Allah berada di setiap tempat dari bagian bumi ini. Pemahaman
inipun sesuatu yang mustahil bagi Allah, sebagai mana telah disepakati oleh
para ulama.
3. Lanjutan ayat 27 dari QS al-Rahma>n di atas adalah penyebutan sifat Allah. Yaitu “ذو
الجلال و الاكرام”. Penyebutan sifat ini tentunya bagi Zat Allah, tidak ditujukan hanya untuk “al-Wajh”. Sebab
bila ditujukan “hanya” untuk “al-Wajh” maka berimplikasi kepada
pemahaman bahwa Allah terpisah-pisah, dan ini sesuatu yang mustahil bagi-Nya
dengan kesepakatan ulama.[197]
Dari sini, dapat
ditarik kesimpulan pula dengan jelas bahwa “al-Wajh” dalam beberapa ayat
mutasya>biha>t mengenai sifat tidak dapat diambil dengan makna z}ahirnya, tetapi dengan ta'wi>l yang masih dalam kandungan maknanya, dan
ketika tidak mengambil makna z}ahir suatu lafaz} maka berarti secara tidak langsung telah menetapkan ta'wi>l. Sebab secara definitif, ta'wi>l adalah “mengalihkan suatu lafaz} dari makna zahirnya”.
Di antara ulama salaf yang menta'wil
lafaz "al-wajh"dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
No
|
Nama Ulama
|
Letak surat dan ayat
|
Ta'wilnya
|
1.
|
Ibn 'Abba>s
|
QS. al-Rahma>n [55]: 27
|
Diibaratkan kekekalan wajah Allah (Dzat) seperti halnya
disiratkan dalam ayat tersebut.
|
2.
|
Muja>hid
|
QS. al-Qas}as} [28]: 88
|
Illa Hua (kecuali Dia).
|
3.
|
Abu> al-Ma'a>li
|
QS. al-Rahma>n [55]: 27
|
Disifati dengan sifat kekekalan-Nya (ketika memperlihatkan
kehancuran semua yang diciptakan-Nya dan kekalnya wujud yang maha suci).
|
4.
|
Al-Qurt}u>bi
|
QS. al-An'a>m [6[: 52
|
Ta'at kepada-Nya dan ikhlas (keikhlasan beribadah kepada Allah SWT
dan menghadap kepada-Nya, dan tidak menghadap kepada selain-Nya).
|
5.
|
Al-Qurt}u>bi
|
QS. al-Rahma>n [55]: 27
|
Kekekalan Allah (wajah dianalogikan dengan wujud-Nya).
|
6.
|
Ibn Jau>zi
|
QS. al-Rahma>n [55]: 27
QS. al-An'a>m [6]: 52
|
Kekalnya Tuhanmu.
Mengharapkan-Nya.
|
7.
|
Al-Dahha>k, Abu> Ubaidah, Ibn Hazm
|
QS. al-Qas}as} [28]: 88
QS. al-Qas}as} [29]: 88
|
Kecuali Dia (Allah).
Allah itu sendiri.
|
8.
|
Ibn Kasir
|
QS. al-Qas}as} [28]: 88
QS. al-Ru>m [30]:
38
|
Memberitahukan bahwa Allah yang tetap adanya, yang menghidupkan
dan mematikan semua mahluk dan Ia (Allah) tidak mati.
Melihat-Nya pada hari Kiamat (disucikan dari penyerupaan).
|
9.
|
Al-Qurt}u>bi
|
QS. al-Ru>m [ 30]: 38
|
Memberikan yang haq (benar) lebih utama dari pada
menahannya (yang dimaksud dengan mengharapkan Allah dan mendekatkan-Nya).
|
c. Makna “al-Yad ”
lafaz} "al-yad" yang mengandung
sifat Allah terdapat dalam: QS. Ali-Imra>n [3]: 73, QS. Al-Maida>h [5]: 64, QS. Al-Fath [48]: 10, QS. Al-Hadi>d [57]: 29, QS. Ya>sin
[36]: 83, QS. Al-Hujura>t [49]: 1, QS. Sad [38]: 37, QS. Ma>idah
[5]: 64, Al-Fath} [48]: 10 dan lain-lain.[198]
Dalam bahasa
Arab, lafaz} "al-yad" mempunyai makna yang beragam, al-Fayu>mi> memberikan makna "al-yad"
dengan tujuh belas makna yang diterapkan sesuai dengan konteksnya, di
antaranya; "al-yad" bermakna lengan sampai pinggir jari, "al-yad"
bermakna kenikmatan dan kebaikan,"al-yad" juga bermakna
kekuatan dan kekuasaan, "al-yad" bermakna merubah perkara
dengan perantara orang lain, kemudian juga "al-yad" bermakna
kerajaan dan perjanjian dan sebagainya.[199]
Ibn 'Abba>s dan al-Qurt}u>bi menta'wil lafaz al-yad dengan kekuatan dan
kekuasaan Allah.
والسماء بنينها بأيد
وانا لموسعون (الذاريات47)
Dan langit
itu kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya kami benar-benar
meluaskannya.(QS al-Z{a>riya>t: 47)
Menurut Al-Qurt}u>bi[200]dari sahabat ibn 'Abba>s dengan merinci makna"al-yad" [201]
tersebut dengan "kekuatan dan kekuasaan Tuhan", dengan alasan bahwa
terciptanya langit mempunyai tanda-tanda kekuasaan, dan ini memberikan nalar
pemikiran, bahwa Tuhan mempunyai kekuatan yang sangat sempurna dengan sifat
kuasa-Nya yaitu al-qadr. Dari indikasi inilah makna "al-yad"di-ta'wi>l dengan kekuatan dan kekuasaan.[202]
ان
الذ ين يبايعونك انما يبا يعون الله يد الله فوق ايد يهم , فمن نكث فانما
ينكث على نفسه ومن اوفى بما عاهد عليه الله فسيؤتيه اجرا عظينا ( الفتح 10)
Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu
sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan
mereka, maka barang siapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar
janjinya itu akan menimpa dirinya sendiri dan barang siapa menepati janjinya
kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar.(QS al-Fath: 10).
Ayat di atas oleh al-Jabba>r di-ta'wi>l
dengan perjanjian, konteks historis ayat ini pada bulan Zulqa'dah di mana kaum
muslimin berjanji memerangi kaum musyrikin yang telah menahan Us}ma>n. Caranya berjanji setia dengan Rasul ialah meletakan tangan
Rasul di atas tangan orang yang berjanji itu. Jadi yang dimaksud dengan Tangan
Allah di atas tangan mereka ialah menyatakan bahwa berjanji dengan Rasulullah
sama dengan berjanji kepada Allah. Jadi
seakan-akan tangan Allah di atas tangan-tangan orang-orang yang berjanji itu.[203]
Interpretasi Al-Jabba>r mengenai ayat di atas tidak mengartikan dengan tangan dalam
konteks sebenarnya. Jika diartikan dengan tangan yang sebenarnya, semestinya
dapat menjabat dan berada di atasnya. Penyebutan bahwa tangan Allah ada di atas
tangan-tangan mereka dalam pengertian tempat, tidak ada gunanya, karena tangan
orang yang lemah bisa saja berada di atas tangan orang yang kuat. Ayat ini
menurutnya, untuk memperingatkan bahwa mereka harus menepati janji setia karena
Allah yang Maha Kuasa akan dapat menurunkan hukuman-Nya kalau mereka
melanggarnya.[204]
Sifat Allah selanjutnya pada lafaz "al-yad"
yang secara lahiriyah "tangan Allah terbelenggu":
وقا لت اليهود يد
الله مغلولة غلت أيديهم ولعنوا بما قالوا بل يداه مبسو طتان ينفق كيف يشاء.(الما
ئدة 64)
Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu
" sebenarnya tangan merekalah yang terbelenggu dan merekalah yang dila'nat
disebabkan apa yang telah mereka katakan itu (tidak demikian)tetapi kedua
tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana ia kehendaki.(QS al-Maidah: 64).
Konteks pembicaraan dalam ayat ini
tidak memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan tangan yang sebenarnya.
Menurut kebiasaan orang Arab, kalau penyebutan tangan disertai dengan pembukaan
jari-jari (bast) dan pemberian (infa>q), maka selalu yang
dimaksudkan bukanlah anggota badan yang biasa dipakai untuk memegang, melainkan pemberian atau
nikmat. Terbuka dan tergenggamnya tangan sering dipakai oleh mereka untuk
melambangkan kemurahan dan kebakhilan. Jadi dalam ayat ini, tuduhan orang-orang
Yahudi adalah bahwa Allah bakhil dalam pemberian nikmat kepada hamba-Nya, bukan
bahwa tangan-Nya terbelenggu; sehingga dijawab oleh Allah dengan menyatakan
bahwa ia maha pemurah.[205]
Maka, dalam hal ini menurutnya, bahwa pengertian secara lahiriyah tidak
diterima dengan penisbatan tangan yang sebenarnya.
Selain ayat di atas, sifat Allah
yang dianalogikan dengan lafaz} "al-yad"
yang menerangkan karunia-Nya yang diberikan kepada yang dikehendaki-Nya:
قل
ا ن الفضل بيد الله يؤ تيه من يشاء , والله واسع عليم (ال عمران 73)
Katakanlah: "Sesungguhnya karunia itu ditangan Allah,
Allah memberikan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha
Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.
(QS. Ali-Imran: 73).
Pemberian makna "al-yad"
di atas terkadang dengan makna ni'mat, sebagaimana dalam perkataan orang Arab كم يد لى عند فلان (berapa
tangan untukku menurut fulan), maksudnya adalah berapa banyak ni'mat yang telah
Allah anugrahkan kepadanya. Atau juga terkadang dengan makna "al-s}ilah" (berusaha)
seperti dalam al-Qur'an"مما عملت أ يد ينا (dari apa yang diusahakan) atau dengan kata
lain apa yang dikerjakan dari kita.[206]
Untuk lebih jelas, di antara ulama salaf
yang menta'wil lafaz "al-yad" bisa dilihat dalam tabel
berikut ini:
No
|
Nama Ulama
|
Letak surat dan ayat
|
Ta'wilnya
|
1.
|
Ibn 'Abbas
|
QS. al-Za>riyat [51]: 47
|
Kekuatan dan kekua-saan
|
2.
|
Al-Qurt}u>bi
|
QS. al-Za>riyat [51]: 47
|
Kekuatan dan kekua-saan
|
3.
|
'Abd al-Jabba>r
|
QS. al-Fath} [48]:10
|
Janji setia karena
Allah
(perjanjian antara Rasulullah dengan kaum muslimin yang harus
dipatuhi yang secara tidak langsung berhada-pan dengan perintah Allah).
|
4.
|
'Abd al-Jabbar
|
QS. al-Ma>idah [5]: 64
|
Pemberian (al-Infaq)
(pemberian ni'mat kepa-da hamba-Nya yang di-anggap bakhil oleh
kaum Yahudi).
|
5.
|
Abu> Hurai>rah dari
Rasulullah.
|
QS. al-Zumar [39]: 67
|
(selain lafaz al-yad juga al-qabdah) dalam hadis
yang di riwayatkan Bu-khari dan Muslim, hadis yang mengibarakan Allah dengan
meng-genggam bumi, dengan maksud adalah sebagai analogi dari kekuasaan-Nya
yang meliputi semua mahluk-Nya
|
6.
|
Al-Qurt}u>bi
|
QS. al-Fath} [46]: 10
|
Tangan Allah di atas ta-ngan mereka dalam hal penepatan janji, dan
ta-ngan Allah dalam hal kebaikan dengan hidayah di atas tangan mereka dalam
keta'atan (artinya dituntut untuk berjanji setia, dan ta'at kepada perintah
Allah).
|
7.
|
Ibn Kisan
|
QS. al-fath} [48]: 10
|
Kekuatan dan pertolo-ngan Allah.
|
8.
|
Ibn Kas\ir
|
QS. al-fath} [48]: 10
|
Allah ada bersama me-reka, Mendengar, semua perkataan dan melihat
serta mengetahui per-buatan, dan perjanjian Allah ini dengan perantara
Rasulullah.
|
9.
|
Al-Qurt}u>bi
|
QS. Ya>sin [36]: 83
|
Allah mensucikan diri-Nya dari sifat lemah dan syirik (bersekutu).
|
10.
|
Al-Qurt}u>bi
|
QS. al-Ha>qah [69]: 45
|
Al-quwwah wa al-qudrah (kekuatan dan
kekuasaan)
|
C. Relasi Tafwi>d},
Tasli>m dan Ta’wi>l
tafs}i>li
1. Ta’wi>l Terbagi Kepada Dua Bagian
a. Ta’wi>l
Ijma>li> (tafwi>d{, tasli>m)
Metode tafwi>d} dan tasli>m sebagaimana dikaji sebelumnya, diterapkan kalangan sahabat dan Ta>bi'i>n dalam memahami ayat-ayat mutasya>biha>t tentang sifat dengan tanpa menentukan
makna, tetapi dengan mengalihkan dari apa yang tercipta dalam benak pikiran
dari gambaran-gambaran (tasawar) dan khayalan-khayalan mengenai eksisnya
Allah, karena kemampuan manusia tidak bisa menggambarkan dan memberikan
pengertian akan pencipta-Nya. Metode ini merupakan sebuah relasi dari prinsip
pensucian (tanzi>h) yang dalam nuansa eksegesisnya harus mensucikan
Allah secara mutlak dari sifat yang dimiliki mahluk-Nya, dan sebagai landasan
interpretasinya adalah ayat-ayat yang muh}kama>t. ليس كمثله شيئ [207] (Tidak ada sesuatupun yang serupa
dengan Dia).
Sebagaimana
sebelumnya dijelaskan pula, tafwid, tasli>m merupakan nama lain dari metode ijma>li>, yang dalam aplikasinya terhadap
ayat-ayat sifat tidak dengan mengajukan ungkapan dan tidak pula dengan
mendeskripsikannya (dimana, kapan, bagaimana Allah) pun tidak
menginterpretasikan tentang Allah sesuatu yang tercipta dari unsur-unsur
materil. Al-Sya>fi’i>, mengenai ayat-ayat mutasya>bih dari segi makna mempercayainya dengan segala konsistensi apa yang wahyukan
Allah dan yang disabdakan Nabi merupakan yang tersirat dari sifat-sifat Allah
yang Agung (al-s{ifa>t al-khabariyah), dan untuk tidak mengurangi sifat
keagungan tersebut, maka tidak memaknainya dengan sifat-sifat yang melekat pada
mahluk-Nya. dan semua pikiran, bayangan, atribut mengenai Allah, Allah
tidak seperti yang terlintas dalam pikiran tersebut.
Hal ini, ketika Ah}mad
ibn H{anbal menafsirkan (ta'wi>l) tentang Hadis “nuzu>l dan “ru’yah”:
ينزل
ربنا تبارك وتعالى كل ليلة الى السماء الد نيا.
Tuhan kita
yang memberkahi dan suci telah turun setiap malam ke sama al-dunya.[208]
رأيت
ر بي في أحسن صورة . رواه الترمذي
Saya melihat
Tuhanku dalam bentuk yang paling bagus (HR. al-Tirmizi)
Ia dengan
mengatakan "kami mempercayainya dalil tersebut dengan tanpa interpretasi
bagaimana bentuk dan rupa Allah, dan dari segi makna kami menyerahkannya"[209]. Dalam
hal penyerahan (tafwi>d{) makna, Ah}mad ibn H{anbal mengikuti golongan Muhaddis masa awal, seperti Ma>lik ibn Anas dan Muqa>til ibn Sulaima>n yang mengatakan:
Kami menahan diri dari memberikan sebuah
penjelasan dan penafsiran ayat-ayat seperti itu karena dua alasan. Pertama,
adalah larangan yang diungkapkan dalam al-Qur'an dalam ayat berikut: "Adapun
orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti
sebagian ayat-ayat yang mutasya>biha>t untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta'wi>l-nya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wi>l-nya, melainkan Allah. Dan orang-orang
yang yang mendalam ilmunya berkata, 'Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasya>biha>t. Semua itu dari sisi Tuhan,' dan tidak
dapat mengambil pelajaran (daripadanya), melainkan orang-orang yang berakal. Oleh karena itu, kami menolak sikap orang
yang suka menentang. Alasan kedua adalah bahwa sebuah penafsiran,
sebagaimana yang kami sepakati, merupakan sebuah pendapat mengenai sifat-sifat
Allah sebab kita kadang-kadang menafsirkan ayat-ayat itu dengan cara yang tidak
dikehendaki oleh Allah sehingga kita akan jatuh pada pertentangan. Sebaiknya,
kita katakan, sebagaimana orang-orang yang sungguh-sungguh memiliki dasar
pengetahuan ,"Semua berasal dari Tuhan kami," Kami beriman dengan apa
yang difirmankan secara literal dan kami juga beriman dengan maknanya yang
tersembunyi, tetapi kami meninggalkan pengetahuan mengenainya kepada Allah;
kami tidak wajib mengetahuinya sebab ia bukan salah satu dari syarat iman, juga
bukan merupakan salah satu dari unsur-unsur dasarnya.[210]
Dari beberapa
dalil di atas, memunculkan reaksi dari sebagian golongan dengan membawa atribut
baru, seperti kaum Mu'tazilah dengan konsepnya pada perdebatan (ru'yah
Allah) melihat Allah, kaum Mu'tazilah menolak akan adanya (ru'yah Allah)
dengan alasan melihat sesuatu mengisyaratkan bahwa yang dilihat itu tentu
berjisim, ada pada suatu tempat dan arah tertentu. Dihadapkan kepada rujukan
ayat-ayat al-Qur'an tentang konsep ini,[211]mereka
berusaha menafsirkan ayat-ayat itu sedemikian rupa sehingga menghindar dari
konsep "melihat Allah". Mereka berargumen bahwa yang dimaksudkan ayat
tersebut mengenai orang-orang beriman yang akan melihat ganjaran dari Tuhan
mereka (bukan melihat Tuhan mereka).
Penetapan mengenai
konsep melihatnya Allah pada perkembangan selanjutnya ditentang Asy'ariyah dan
para pengikutnya dengan mengatakan: "Sebenarnya, persoalan yang dihadapi
kaum Mu'tazilah tidaklah seringan yang mereka kira; karena bukan hanya
semata-mata menyangkut soal satu atau dua ayat tentang "Wajah" dan
"melihat Allah", melainkan banyak ayat lain yang berbicara tentang
Allah, tangan Allah, Singgasana-Nya dan perbuatan-perbuatan Allah seperti dalam
al-Qur'an".[212]
Metode tafwi>d} dan tasli>m mempunyai relasi dengan metode ta'wi>l
tafs}i>li, karena
dalam praktik pengalihan makna mengalihkannya dari makna literal. Sehingga,
unsur-unsur interpretasi yang dihasilkaan tetap pada wilayah tidak
menghilangkan esensi makna yang dikehendaki.
b. Ta’wi>l
Tafs}i>li>
Sebagai
penegasan kembali, secara definitif ta’wi>l tafs}i>li> ialah memahami ayat-ayat mutasya>biha>t dengan tidak mengambil makna literalnya,
tetapi dengan menentukan makna, yang esensinya tidak keluar dari ayat yang
dikehendaki, seperti " الر حمن على العر ش اشتوى.
[213] Ayat
ini, mengandung arti terhadap sifat Allah, maka makna yang terletak pada lafad istawa
harus dita'wil dengan makna sifat yang dimiliki Allah, seperti menguasai dan
menundukan.[214]
Metode ta’wi>l
tafs}i>li> lebih
dominan diterapkan ulama khalaf. Tetapi,
genealogi pemakaiannya sudah diterapkan di era salaf, seperti Ibn
'Abba>s dari ulama
kalangan sahabat, Muja>hid salah satu dari murid Ibn
'Abba>s dari kalangan
ulama Ta>bi’i>n dan juga Ah}mad ibn
H{anbal yang pro aktif dalam
hal penta'wilan, kemudian diikuti al-Bukha>ri sebagai generasi dari ulama sebelumnya.
Adapun ta’wi>l lain Ibn
'Abba>s seperti dikatakan
Ibn Hajar dalam sarahnya S}ah}i>h} al-Bukha>ri ayat tentang al-Sa>q (betis) dalam QS. Al-Qalam [68]: 42:
يوم يكشف عن ساق ويدعون الى السجود فلا يستطيعون .
"Pada hari
betis diungkapkan dan mereka di panggil untuk bersujud, maka mereka tidak
kuasa".QS. Al-Qalam [68]: 42.
Mengenai ayat di atas, oleh Ibn
'Abba>s tidak diartikan
secara literal dengan betis. Tetapi, makna yang dimaksudkan dengan ayat
tersebut (...hari dibukakan) dari kesulitan suatu perkara (hari kiamat),
seperti dalam bahasa Arab bila dikatakan قا مت الحرب على
ساق (peperangan terjadi di atas betis), artinya peperangan terjadi dengan
sangat (berkecamuk).[215]Jadi,
makna al-sa>q bukan arti betis yang sebenarnya, tetapi dita'wil dengan hari yang sangat
berkecamuk (hari kiamat). Abu> Musa> al-As'yari> memberikan ta'wilnya berupa cahaya yang sangat
Agung, karena hari ini adalah hari yang berkecamuk, juga makna al-saq
yang dikemukakan oleh Ibn Fu>rak adalah apa yang ditemukan oleh orang mu'min dengan kemanfa'atan dan
perlindungan.[216]
Selanjutnya, taw’i>l
dari Muja>hid yang dinyatakan
al-Bai>haqi> mengenai
QS. Al-Baqarah [2]: 115 فاينما تولوا فثم وجه الله”, (maka ke manapun kamu menghadap di
situlah wajah Allah) menta’wil-nya dengan qiblatnya Allah.[217]Konteks
historis ayat di atas, ketika seorang musa>fir yang sedang melakukan shalat sunnah di
atas hewan tunggangan, dan sulit untuk menentukan arah qiblatnya, maka ke arah
manapun tunggangannya itu mengadap selama arah tersebut adalah arah tujuannya,
di sanalah qiblat Allah.[218]
Ta'wil selanjutnya QS. Al-Nu>r [24]: 35:
الله نور السموا ت والارض, مثل نوره كمشكاة فيها مصباح....الح
Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan
cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus. QS. al-Nur [24]: 35.
Cahaya,
diinterpretasikan Muja>hid sebagai Mudabbir al-umu>r (Pengurus semua perkara). Maksud ayat di atas, Allah menunjukan sebagai
penerang langit dan bumi dengan cahaya matahari, bulan, dan bintang-bintang. Abi>
ibn Ka'ab H{asan dan Abu al-Aliyah menta'wil cahaya dengan langit
yang dihiasi Matahari, Bulan dan Bintang. Sedangkan Ibn
'Abba>s menta'wil cahaya
Allah sebagai pemberi petunjuk bagi penduduk langit dan bumi, yakni para
malaikat dan orang-orang Mu’min dari golongan manusia dan jin yang berada di
bumi dengan petunjuk-Nya berupa keimanan.[219] Jadi,
maksud cahaya di sini bukan cahaya sebenarnya, tetapi Allah menganalogikan
sebagai cahaya keimanan berupa al-Qur'an yang diberikan kepada orang Mu'min.
Dalam sebuah
riwayat dari al-Bai>h}aqi, bahwa Ah}mad ibn H{anbal memberikan ta’wi>l terhadap ayat” وجاء ربك” dengan maksud bahwa Allah memberikan
pahala pada hari kiamat ( ...dan datang pahala dari Tuhan kalian).[220]
Adapun penerapan ta’wil
yang dilakukan Ma>lik ibn Anas, kemudian dielaborasi oleh al-Zarqa>ni> dari Abu> Bakar ibn al-Arabi> dalam sebuah hadis:
ينزل ربنا تبارك وتعالى كل ليلة الى السماء الد نيا
حين يبقى ثلث الليل الاخر يقول : من يدعوني فأ ستجيب له ومن يسألني فاعطيته ومن
يستغفرنى فأغفر له
Tuhan (penuh keberkahan dan maha suci) kita telah turun
dalam setiap malam ke (sama al-dunya) langit dunia pada sepertiga malam. Ia
berfirman"Barang siapa berdo'a kepadaku maka aku akan kabulkan, dan barang
siapa yang meminta kepadaku, maka akan aku berikan, dan barang siapa yang
meminta ampun kepadaku, maka akan aku ampuni dosanya.[221]
Terdapat dua maz\hab dalam menanggapi hadis di atas: Pertama, maz\hab Jumhu>r al-Salaf dan sebagian
dari kalangan Mutakkalimi>n" dengan menyerahkan terhadap Allah apa yang berhak
baginya, dan apa yang dimaksud adalah bukan makna secara harfiyahnya. Juga
mereka tidak memberikan ta'wil-nya
dengan tetap pada prinsip tanzi>h
(tanpa menyerupakan dari sifat-sifat mahluk, seperti pada konteks tempat,
berpindah-pindah). Kedua, maz\hab mayoritas Mutakalimi>n dan jama>'ah dari
kalangan salaf, seperti Ma>lik ibn Anas
dan al-Awza'i> memberikan ta'wi>l sesuai konteksnya dengan dua ta'wi>l: Pertama, yaitu turunnya rahmat dan perintah Allah
yang dibawa oleh para malaikat-Nya. Kedua, ta'wi>l yang mengandung makna maja>z
al-isti'a>rah, yang berarti sebuah
karunia Allah terhadap hamba-hamba yang mengharapkan-Nya kemudian diqabulkan
dengan segala kemurahan-Nya.[222]
2.
Metode Ta'wi>l Bukan Merupakan Ta't}i>l (peniadaan) Bagi Sifat-sifat Allah.
Sebagaimana dikaji
sebelumnya, makna ta'wil adalah mengalihkan makna dari dala>lah
lafaz}, yaitu makna yang
ditunjukkan z}ahi>r lafaz} dan makna tersebut dalam balagah
(ilmu cara menyusun kalimat yang baik atau mengucapkannya) dikenal dengan makna
haki>ki>. Kemudian makna tersebut dikeluarkan dari pemakaiannya dan digantikan oleh
makna yang dalam balagah disebut
makna maja>zi>, contoh seperti kata "al-wajh", kata ini mempunyai makna
sesuatu yang menjadi bagian dari kepala, tetapi orang-orang Arab juga biasa
menggunakan kata tersebut untuk menyebut arah. Hal
inilah yang dimaksud dengan tidak merusak pemakaian linguistik orang Arab.[223]
Penetapan makna
dari esensi yang dikehendaki dalam mengkaji ayat-ayat sifat bukan merupakan ta't}i>l
(peniadaan terhadap
sifat-sifat Allah). Istilah ini (ta't}i>l) dalam penafsiran di era salaf
belum pernah muncul. Hal ini muncul dalam kajiannya tentang sifat yang
diapresiasikan oleh kaum Mu'tazilah dengan peniadaannya terhadap sifat Tuhan,
sehingga dalam hal ini diklaim oleh penentangnya sebagai Mua'ttilah, dan
untuk memperkuat pandangannya melegitimasi dari ayat-ayat mutasya>biha>t yang mengandung pemahaman adanya sifat
Allah. Sehingga ta'wi>l pada perkembangan selanjutnya bukanlah hanya untuk memaknai sebuah teks,
tetapi sebagai kepentingan ideologi, sehingga kecenderungan pribadi dan
subjektifitas penafsiran muncul dalam beberapa hal. Dan pada akhirnya teks
berubah sebagai alat ideologi bagi mua'wwil, karena mengabaikan
data-data bahasa dan literal.
Seperti ta'wi>l yang dilakukan kelompok Rafidah terhadap
firman Allah: Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian
bertemu, keduanya adalah Ali dan Fatimah. Keluar dari keduanya mutiara
dan marjan. Maksudnya, Hasan dan Husain r.a. Demikian pula pendapat mereka
terhadap firman Allah: Dan, apabila ia berpaling maka ia berjalan di muka
bumi untuk membuat kerusakan dan merusak tanaman dan ternak, maksudnya
adalah Muawiyah, dan ta'wi>l-tawi>l lainnya.[224]
Penulis melihat
adanya kesamaan antara Mu'tazilah dan Asy'ariyah dalam beberapa hal ta'wi>l, seperti diungkapkan Al-Qa>d}i
'Abd al-Jabba>r (pemuka
Mu'tazilah) mengenai ayat وجاء ربك والملك صفا صفا
, secara lahir ayat ini menampilkan Tuhan datang dalam wujud fisik seperti
manusia, tetapi yang dimaksud menurut keduanya (Mu'tazilah-As'ariyah) adalah
datangnya perintah dari Allah yang dibawa para malaikat untuk menghisab dan
memisahkannya semua perkara manusia dari sanak keluarga.[225]
Sedangkan Ahmad ibn Hanbal, menta'wil ayat di atas dengan maksud datangnya
pahala dari Allah.[226]
Dalam menentukan
ta'wilnya, Mu'tazilah menggunakan istilah kebahasaan dan kelogisan pada
ayat-ayat sifat, seperti ayat yang menunjukkan bahwa orang dapat bertemu dengan
Allah dan akan kembali kepadanya:
الذ ين يظنون أنهم ملا قو ربهم وأنهم اليه راجعون.
(Yaitu)
Orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka
akan kembali kepada-Nya. QS. Al-Baqarah
[2]: 46.
Pertemuan dengan
Allah dan akan kembali kepada Allah menunjukkan bahwa Ia berada dalam tempat
dan karenanya merupakan wujud materi. Alasan penolakan yang diajukannya di sini
pun terdiri dari dua lapis. Pertama, alasan kebahasaan, adalah bahwa
kata يظن (menyangka) yang dipakai di
situ tidak mengharuskan bahwa yang terjadi adalah seperti itu. Nyatanya para
penafsir al-Qur'an menta'wilnya dengan "mengetahui". Maka, yang
dimaksudkan ayat di atas adalah bertemunya dengan pahala yang dijanjikan kepada
mereka dan bahwa mereka akan kembali kepada suatu waktu yang di dalamnya tiada
yang memiliki segala perkara selain Allah. Kedua, alasan kelogisan,
pertemuan bukanlah berdekatan sehingga dapat melihat (التجاور
على جهة المشاهد ). Orang buta sering kali"
bertemu" dengan orang lain, manakala ia mendengar pembicaraanya, meskipun
tidak melihatnya dan terkadang ia pun berada dalam tempat yang jauh. Jadi, bila dikatakan Allah berada dalam tempat tertentu
untuk dapat terjadi pertemuan dengannya, tentunya Ia hanya dapat mengetahui
hal-hal yang berkaitan dengan tempat itu dan hanya berbuat di situ. Ia pun
mesti membutuhkan tempat yang azali.[227]
Konsep berbeda yang dimunculkan
Mu'tazilah adalah penafian terhadap sifat-sifat Tuhan. Tetapi, terhadap
ayat-ayat yang dianggap ambigu (mutasyabihat) menggunakannya dengan
pengertian yang logis dari bentuk lahiriyah ayat, dan bila tidak menghasilkan
penyelesaian yang menurutnya masuk akal, maka memakai penta'wilan yang logis.
Kelogisan dalam kedua hal itu diukur dengan hukum kebahasaan dan logika. Kalau
dikaitkan dengan realita bahwa hanya ada dua jenis dalil dalam ilmu
kalam--dalil naql dan dalil akal--, maka kedua hukum itu--kebahasaan dan
logika--dapat disebut dengan dalil akal, walaupun orang dapat mengatakan bahwa
hanya yang kedualah yang disebut dengan itu.[228]
Ta'wi>l yang dilakukan ulama salaf adalah sebagai penetapan makna yang
tidak keluar dari makna yang dikehendaki. Karena ayat-ayat mutasya>biha>t adalah ayat-ayat yang oleh Allah
dijadikan mempunyai sifat-sifat tertentu sehinga pengertiannya kacau dan tidak
mudah untuk memahaminya. Sifat itu ialah
bahwa pengertian lahiriyahnya tidak menunjukkan maksud yang sebenarnya karena
sesuatu yang kembali kepada pengertian asal bahasa (leksikal) atau kebiasan
pemakai bahasa.
Pada lafaz "istawa>", ulama salaf sepakat dengan
penetapan makna pada lafaz tersebut dengan "al-qahr", karena
maknanya sesuai dengan keagungan Tuhan dan merupakan sifat pujian bagi Allah,
yaitu menundukan. Dan hal ini, ketika penamaan (pemberian makna) diterapkan
pada manusia, dengan mengatakan 'Abd al-Qahr, (hamba yang menundukan atau
menguasai), tidak ada manusia yang memberikan namanya 'Abd
al-Ja>lis (hamba yang
duduk). Maka, ketika menta'wil lafaz "istawa>" dengan "Yajlis-ja>lis-atau jalasa" ini tidak sesuai dengan sifat dan
keagungan Tuhan, dan ketika menta'wil dengan ja>lis (duduk), maka menjadi batallah
keagungan-Nya.[229]
Sebagian ulama berpendapat, ta'wi>l adalah sebagai ungkapan metaforis, seperti menetapkan “al-qudrah”
sebagai ta’wi>l dari lafaz}
“al-yad”. Dengan demikian
penetapan lafaz} “al-qudrah”
bukan merupakan ta’t}i>l (peniadaan)
bagi-sifat-sifat Allah dari lafaz} “al-yad”.
Ibn 'Abba>s memberikan
ta’wi>l “al-yad “ dengan
kekuasaan ketika menafsirkan QS al-Z|a>riyat: 47 (berarti ibn 'Abbas bukanlah termasuk
“mu'att{i{l” meniadakan terhadap sifat-sifat Allah).
Menetapkan lafaz} “al-Istawa>” dengan makna “al-Isti>la>”dan “al-qahr” bukan merupakan peniadaan terhadap
sifat-sifat Allah, tetapi hal ini memberikan makna yang serasi dengan sifat
Allah ”menguasai”. Al-Amidi> dalam kitabnya Abka>r al-Afka>r berkata. ”penafsiran “istawa> “ dengan “isti>la”(menguasai) dan “al-qahr”
(menundukan) adalah termasuk ta’wi>l paling baik dan paling dekat (kepada kebenaran). Juga penetapan ini
merupakan pujian terhadap Allah, dan lafaz} “al-Qahha>r” salah satu nama Allah yang baik”Asma> al-H{usna>”. Dengan demikan metode“ta’wi>l “bukanlah salah satu dari metode“ta’t}i>l” (peniadaan bagi sifat-sifat Allah).
D. Catatan Akhir Penulis (Sebuah Analisa)
Ulama salaf adalah
golongan yang mendapat tempat terhormat di kalangan umat Islam. Metode dan
hasil pemikirannya selalu mejadi rujukan penting bagi umat Islam setelah
mereka, sehingga tidak heran bila hampir semua umat Islam selalu mencari
legitimasi pemikiran mereka dari karya-karya yang dihasilkan oleh golongan
tersebut. Bahkan tidak sedikit umat Islam yang mengklaim diri dan
golongannya sebagai penerus dan pewaris
golongan salaf.
Dalam memahami
ayat-ayat mutasya>biha>t tentang sifat Allah, ulama salaf telah
melakukan ta'wi>l terhadap ayat-ayat tersebut sebagaimana tercermin dari penyerahan (tawfi>d{)
dan penerimaan (tasli>m) makna sebagai bentuk dari ta'wi>l
ijma>li> yang
mereka lakukan. Dari metode ini mereka berkesimpulan bahwa pemaknaan tentang
sifat Allah harus dikembalikan kepada Allah sendiri sebagai yang terwujud dalam
al-Qur'an. Sedangkan di satu sisi mereka menerapkan ta'wi>l
tafs}i>li> yaitu
dengan mengalihkan makna yang tersurat pada makna lain guna menjaga keagungan
Tuhan. Seperti kata al-yad mereka maknai dengan kekuasaan dan kekuatan
yang mempunyai makna sinonim.
Dalam perkembangan selanjutnya
banyak golongan yang mengklaim mewarisi metode penafsiran ulama salaf tersebut,
walaupun hasil penafsiran mereka berbeda antara satu dengan yang lain. Seperti
golongan ekstrim Musyabbihah yang menafsirkan ayat-ayat sifat sebagaimana makna
literal, makna al-yad dengan tangan sebagaimana adanya. Menurut mereka,
ini merupakan bentuk dari tasli>m (penerimaan) makna sebagaimana adanya dan tasli>m (penyerahan) makna pada Tuhan, dua bentuk
metode ta'wi>l ijma>li> inilah yang diyakini merupakan warisan golongan
salaf. Tetapi dalam praktiknya ulama salaf tidak menafsirkan sebagaimana
golongan Musyabbihah, bagi golongan salaf Tuhan tidak bisa disamakan dengan
makhluk yang berbentuk jism.
Begitu juga dengan golongan
Asy'ariyah, mereka mengaku bahwa penafsiran mereka yang mengatakan bahwa
sifat-sifat Tuhan harus diartikan sebagaimana makna aslinya, tanpa memberi penjelasan
tentang bagaimana wujud dari sifat tersebut, berasal dari warisan ulama salaf.
Seperti tentang al-yad dan al-wajh, mereka artikan sebagai tangan
dan wajah Tuhan tanpa memberi penjelasan tentang bagaimana wajah dan tangan
Tuhan tersebut. Hal ini untuk menghindari tasybi>h juga dengan keyakinan bahwa tangan dan
wajah Tuhan tidak akan pernah terbayang oleh manusia, tetapi tetap meyakini
bahwa Tuhan mempunyai tangan dan wajah yang bisa dilihat pada hari kiamat
kelak. Ulama salaf sebagaimana disebutkan di atas, pada umumnya menafsirkan al-yad
dengan kekuasaan tidak dengan tangan, begitu juga dengan al-wajh tidak
diartikan dengan muka.
Sedangkan golongan Mu'tazilah
mengatakan makna-makna tersebut tidak sebagimana makna literalnya, tetapi harus
dikembalikan sesuai dengan keagungan Tuhan. Makna al-yad tidak diartikan
tangan begitu juga dengan al-wajh tidak diartikan dengan muka, sehingga
pada hari kiamat menurut mereka Tuhan tidak bisa dilihat karena tidak berbentuk
materi dan tidak menempati ruang, karena ruang akan membatasi kekuasaan Tuhan,
sehingga mereka mengartikan tangan dengan kekuasaan, tetapi kuasa dan kekuasaan
tersebut bukanlah sifat Tuhan, tetapi merupakan dzat Tuhan itu sendiri. Tuhan
bagi mereka tidak mempunyai sifat, karena bila Tuhan disifati berarti Tuhan
disekutukan dengan sifat-sifat itu sendiri. Bagi mereka penafsiran tersebut
merupakan warisan ulama salaf. Metode penafsiran ini memang mirip dengan metode
ta'wi>l tafsi>li> yang dilakukan oleh ulama salaf. Terdapat
perbedaan yang mencolok antara Mu'tazilah dengan ulama salaf. Bila ulama salaf
menganggap bahwa kekuasaan, penguasaan serta sifat yang lain merupakan sifat
Tuhan yang azali sedangkan mu'tazilan menafikan sifat-sifat tersebut.[230]
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa penta'wilan yang dilakukan ulama salaf untuk menghindari
paham tasybi>h. Dan pada masa tersebut tidak terjadi pertentangan yang menguras tenaga
mengenai ayat-ayat mutasya>biha>t tentang sifat-sifat Allah. Hal ini bisa dipahami,
karena pada masa tersebut tidak berkembang aliran-aliran kalam yang pada masa
setelah salaf cukup menjadi pertentangan serius antar mutakallimin.
Dan jika dilihat perkembangan setelah masa salaf, pertentangan mengenai
pemahaman ayat-ayat sifat Allah tersebut banyak didominasi oleh aliran-aliran
kalam semacam Mu'tazilah dan Asy'ariyah.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan eksplorasi dari beberapa literatur, banyak hal
yang telah penulis temukan dan dapat diambil manfa'atnya, berbagai hal yang
sebelumnya tidak jelas (ambiguous), tidak tersentuh (untouchable),
atau tidak terpikirkan (unthinkable) khususnya dalam penafsiran ulama salaf.
Dari uraian singkat ini peneliti memberikan kesimpulan, tetapi kesimpulan ini
bukanlah merupakan hal yang berakhir (final step) pada tataran wacana
melainkan suatu langkah awal dan sebagai pemanasan (warming up) bagi
berbagai kajian yang lebih mendalam (radic) dan komprehensif lainnya.
Namun demikian, kajian ini mesti diakhiri sebagai bentuk tindakan terencana (planned
act) dalam suatu penelitian.
Sebagai bentuk penelitian sistematis, penulis akan mengemukakan
beberapa kesimpulan yang senantiasa berpijak pada rumusan masalah yang telah
dirumuskan yaitu:
- Metode ulama salaf dalam memahami ayat-ayat mutasya>biha>t mengenai sifat Allah dengan menggunakan metode tafwi>d},
tasli>m (menyerahkan) maknanya. Dalam
menyerahkan makna, bukanlah makna literal yang dimaksudkan, tetapi dengan
mengalihkan makna tekstualnya. Metode ini disebut juga dengan metode ta'wi>l
ijma>li> (mengalihkan makna secara global).
Makna tekstual dari ayat mutasya>biha>t tentang sifat Allah bagi ulama salaf adalah hal yang
mustahil diterapkan pada Tuhan, sehingga untuk mensucikan sifat Allah,
harus dita'wil dari makna-makna sifat yang dimiliki mahluk-Nya. Hal ini juga supaya tidak mengurangi sifat
kekuasaan Tuhan, dan biasanya mereka memberi statemen dengan
ungkapan-ungkapan tafwidnya, seperti امروها كما
جاء ت بلا كيف atau ungkapan tafwi>d}, tasli>m lainnya seperti نؤ من بها بلا كيف ولامعنى .
2. Terhadap pemahaman
ayat-ayat yang dikategorikan Mutasy>abiha>t tentang sifat Allah, ulama salaf juga
menerapkan metode ta'wi>l tafs}i>li> (ta'wi>l dengan menentukan
maknanya). yaitu dengan mengalihkan makna z}a>hir lafaz} kepada makna majazi
(metaforis). Hal ini juga sebagai penetapannya dalam mensucikan makna sifat
Allah dari sifat-sifat yang dimiliki mahluk-Nya. Karena memahami secara
tekstual terhadap ayat-ayat mutasya>biha>t tentang sifat oleh ulama salaf dinilai sebagai tasyb>ih (penyerupaan sifat Tuhan dengan mahluk).
3. Ulama salaf dalam menerapakan metode ta'wi>l
tafsi>li> (ta'wi>l dengan menentukan maknanya) dengan menetapkan
makna yang sesuai dengan sifat-sifat yang dimiliki Tuhan, sehingga dari ta'wi>l yang diterapkan tidak menghilangkan makna yang
bertalian dengan esensinya. Seperti lafaz al-yad dita'wil dengan al-qudrah
(kekuasaan) atau al-ahd (perjanjian), lafaz istawa> dita'wil dengan al-qahr (menundukan) atau istaula
(menguasai) dan sebagainya.
4. Ulama salaf dalam menerapkan metode ta'wi>l
tafsi>li> dengan
mempertimbangkan konteks ayat dengan melihat setting historis dan juga
menggunakan metode muna>sabah (relasi) dengan ayat-ayat yang lain, sehingga dalam menggali makna
ayat-ayat mutasya>biha>t mengenai sifat Allah tidak membawa pemahaman yang parsial dan orsinalitas
makna teks tidak diabaikan. Seperti ketika menta'wil lafaz " جاء" (QS. Al-Fajr) [89]: 22
menghubungkan dengan ayat yang makna secara literal sama, yaitu lafaz "أتى " (QS. Al-Nahl [16]: 33). Ulama salaf
menetapkan ta'wilnya dengan mengalihkan pengertian Allah di sini kepada
"para pembawa perintah-Nya", dan penggunaan lafaz tersebut
sebagai bentuk penyebutan malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu.
B. Saran-saran
Sekali lagi, bahwa karya skripsi ini sebuah usaha
kecil untuk menelusuri jejak-jejak pemikiran ulama salaf yang maha luas.
Metode tafwi>d}, tasli>m dan ta'wi>l tafs}i>li> yang diterapkan ulama salaf terhadap
ayat-ayat mutasya>biha>t tentang sifat Tuhan mempunyai prinsip tauhid yang mendasar dalam menggali
makna (ta'wil). Penulis mencoba mencairkan endapan dengan segala kapasitas dan
kapabilitas yang dimiliki sebagai langkah obyektif dalam penelitiannya.
Berbicara mengenai saran-saran, penulis teringat seorang penyair dari Timur,
Mohammad Iqbal menukil untuk seorang khalifah:
"Jie se jigar-i-lala me
thandak ho who shabnam
Daryaan ke
dil jis se dahel jaen who toofan"
"seperti embun yang mendinginkan hati bunga luly, dan
bagaikan topan yang menggelegakan
dalamnya sungai"
Serangkai kata di atas menganalogikan, bahwa sebuah pekerjaan harus
senantiasa diimbangi dengan profesionalitas yang memadai, begitu juga penulis
mengharapkan kepada pengkaji selanjutnya agar lebih dinamis, produktif dan
mempunyai nilai intelektual dengan segala nalar dan interpretasinya sebagai
wujud dari pengembangan dan ziarah intelektualitas dalam kajian tafsir
(exegesis), terutama dengan mengeksplorasi secara langsung karya-karya tafsir
ulama salaf yang mempunyai posisi intelektual di tengah-tengah umat
Islam.
C. Penutup
Demikianlah penelitian ini, kiranya dapat
menjadikan sebagai gairah intelektual penulis dalam membedah berbagai ragam
makna yang esoteris pada ayat-ayat yang dianggap ambigu (mutasya>biha>t), hal ini menjadi suatu kenikmatan tersendiri
serta banyak memberi kontribusi bagi penulis dalam hal petualangan intelektual
kajian ulama salaf yang dalam hal ini dianggap sebagai pewaris Nabi,
yang mempunyai kompetensi keilmuan yang cukup memadai, juga sebagai peletak
pondasi khazanah keilmuan dalam Islam. Sehingga gairah
umat Islam kontemporer dalam mengkaji tafsirnya sangatlah ambisius, banyak
melahirkan pemikir-pemikir yang briliant sebagai pengembangan wacana yang tiada
henti. Penelitian ini jauh dari kesempurnaan dan sangat membutuhkan berbagai kritik
konstruktif sehingga hal itu dapat menjadi kontribusi berharga bagi penulis
untuk melakukan evaluasi dan refleksi diri. Semoga Allah SWT selalu memberikan
jalan bagi hambanya untuk menyingkap berbagai rahasia samudra ilmu-Nya sehingga
dapat lebih mensyukuri akan segala karunia-Nya.walla>hu a'lam bimuh}kamih wa
mutasya>bih
DAFTAR PUSTAKA
Al-Andalusi>,
al-Gharnat}i>, Muh}ammad ibn Yu>suf, Ibn Hibba>n. Tafsi>r
al-Bahr al-Muh}i>t}. Bairu>t: Da>r al-Fikr, 1983
Al-As}faha>ni>.
Mu'jam Mufrada>t Alfaz} al-Qur'a>n. Bairu>t: Da>r al-Fikr, tt
A<ba>di>,
al-Fairu>z, Muh}ammad ibn Ya'qu>b. Al-Qa>mu>s al-Muh}i>t. Bairu>t: Mua'asasah al-Risa>lah
Da>r al-Dayya>n, 1987
Al-Albani,
Ghawazi Sulaiman Wahbi. Ta'li>qan ala> Id}a>h al-Dali>l fi>
Qat'i Ahl Ta't}i>l lilIma>m Badruddi>n ibn Jama>'ah. tkp: Da>r
al-Sala>m, tt
Al-Asfara>yini>,
Abu> al-Muz}affar. al-Tabsi>r fi al-Di>n.
Bai>ru>t: tp, tt
'Abd al-Ba>qi>, Muh}ammad Fu'a>d. al-Mu'jam al-Mufahra>s
lialfaz} al-Qur'a>n al-Kari>m . Bai>ru>t: Da>r al-Fikr, 1992
Abi>
al-Fath}, Muh}ammad 'Abd al-Kari>m, al-Syahrasta>ni>. al-Milal wa
al-Nih}al. Bairu>t: Da>r al-Fikr, 2002
Abd al-Halim, Muhammad. Memahami al-Qur'an: Pendekatan Gaya Dan Tema.
Terj. Rofik Suhud. Bandung: Marja, 1999
Abu Zaid, Nasr Hamid. Tekstualitas al-Qur'an: Kritik terhadap Ulum
al-Qur'an. Terj. Khoiron Nahdliyyin. Yogyakarta: LKiS, 2002
Al-Bai>haqi>. al-Asma> wa al-S{ifa>t.
Bairu>t: Da>r al-Kutub
al-Ilmiyah, 1984.
Al-Baghda>di>,
al-Isfira>yini>, al-Tami>mi>, 'Abd al-Qa>hir ibn T{a>hir ibn
Muh}ammad. al-Faraq Baina al-Firaq. Bairu>t: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, tt
Al-Bukha>ri,
Abi> 'Abdilla>h Muh}ammad ibn Isma>'i>l. S{ah}i>h}
al-Bukha>ri. Bairu>t: Da>r al-Fikr, 1994
Badruddin
ibn Jama'ah, Muhammad ibn Ibrahim ibn Sa'dullah. Id}a>h al-Dali>l
fi> Qat'i Hujaj Ahl al-Ta't}i>l. Mesir: Da>r al-Sala>m, 1990
Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur'an.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
Bakker, Anton dan Ahmad Charis Zubair. Metodologi
Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1990
Ba'albaki, Munir. Modern English-Arabic Dictionary.
Beiru>t: Da>r al-Ilm
Lilmala>yi>n, 1974
Chirzin, Muhammad. al-Qur'an dan Ulum al-Qur'an. Yogyakarta:
Dana Bhakti Prima Yasa, 1998
DEPAG. Al-Qur'an
dan Terjemah. Semarang: Toha Putra, 1989
Al-Fayu>mi>,
Ah}mad ibn Muh}ammad ibn Ali>. al-Misba>h} al-Muni>r.
Bairu>t: Da>r al-Fikr,
1978
Faizah, Izzah. "Qur'an dan Tafsir dalam Sejarah Sejak
Klasik Hingga Modern dan Kontemporer", Jurnal Teks. No.1. 2002
Fauza>n,
S{a>lih}. al-Risa>lah al-A<mma>h li al-Afta>: Tanbiha>t
Fi> al-Rad man Ta'wala al-S}ifa>t. Riyad: Da>r al-Wat}an, tt
Fauzi, Ali Ihsan. "Kaum Muslimin dan Tafsir
al-Qur'an Survei Bibliografis atas Karya-karya dalam Bahasa Arab", Ulumul
Qur'an, Vol II, 1990
Al-Ghaza>li>.
al-Ih}ya> al-Ulu>m al-Di>n. Mesir: Maktabah Alam al-Ma'rifah, 2000
Ghuzi, Muhammad. "Ta'wi>l dalam Pemikiran T{aba>t}aba>'i: Studi terhadap Tafsir al-Mana>r", Skripsi, Jur Tafsir Hadis
Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 1999
Al-Harari>, 'Abdulla>h. Al-Sarah al-Qawi>m
Fi> Halli Alfa>z} al-S}ira>t al-Mustaqi>m. Bairu>t: Da>r al-Masya>ri, 2000
______. Iz}ha>r al-Aqi>dah
al-Sunniyah bi al-Sarah al-Aqi>dah al-T}aha>wiyyah. Bairu>t: Da>r al-Masya>ri, 1997
______. Sari>h al-Baya>n fi>
al-Rad ala> Man Kha>lafa al-Qur'a>n.
Bairu>t: Da>r al-Masya>ri, 1997
______. Al-Maqa>la>t al-Sunniyah
Fi> Kasyfi al-D{ala>la>t Ah}mad Ibn Tai>miyyah.
Bairu>t: Da>r al-Masya>ri, 1996
Al-Hamaz\a>ni>,
al-Qa>d}i> 'Abd al-Jabba>r. Mutasya>bih al-Qur'a>n. Kairo: Da>r
al-Tura>s\, tt
Al-H{anafi>,
al-Samarqandi>, al-Ma>tu>ridi>, Abu> Mans}u>r Muh}ammad Ibn
Muh}ammad ibn Muh}ammad. Ta'wi>la>t Ahl al-Sunnah. Baghda>d:
al-Irsya>d, 1983
Hidayat, Komaruddin. Memahami
Bahasa Agama. Jakarta: Paramadina, 1996
Hastuti, Noer Fadilah Wening. "Penafsiran Hamka
terhadap Ayat-ayat Mutasya>biha>t: Kajian Tafsir al-Azhar", Skripsi,
Jur. Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan kalijaga, Yogyakarta, 2000
Ibn Rusyd. Fas}l
al-Maqa>l fi> ma> Bai>n al-Hikmah wa al-Syari>'ah min
al-Fis}a>l. Mesir: Da>r
al-Ma'a>rif, tt
Ibn
Tai>miyah. al-Tafsi>r al-Kabi>r, al-muhaqqiq 'Abd al-Rahma>n Amirah, jilid II Bai>ru>t:
Da>r al-Kutub al-Ilmiyah,
tt
______. al-Ikli>f
fi al-Muh{kama>t wa Ta'wi>l. Mesir:
Maktabah Ami>rah
as-Syarafah, tt
Ichwan, Nor. Memahami Bahasa al-Qur'an: Refleksi atas Persoalan
Linguistik. Semarang: Pustaka Pelajar, 2002
Jama>luddi>n.
Tabaqa>t al-Sya>fi’iyyah. jilid VII. Bai>ru>t: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 1987
Al-Jauzi,
'Abd al-Rahma>n Abi> al-H{asan. Dafu' Tasybi>h Biakfi al-Tanzi>h. Mesir: Maktabah al-Kuliyah al-Azhar,
1991.
Koentjaraningrat (ed.). Metode-metode
Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia, 1977
Kurningsih. "Penafsiran Ayat-ayat Mutasya>biha>t: Studi Komparatif antara Hasbi
Ash-Shiddieqi dan Hamka", Skripsi, Jur. Tafsir Hadis Fakultas
Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2000
Machasin. Al-Qadi Abd al-Jabbar Mutasyabih al-Qur'an: Dalih Rasional
al-Qur'an. Yogyakarta: LkiS, 2000
Munawwir, Warson, Ahmad. Al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia.
Yogyakarta: PP al-Munawwir, 1984
Mustaqim, Abdul. Madzhibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran
al-Qur'an Priode Klasik Hingga Kontemporer.Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003
Majma' al-Lughah al-Arabiyah. Al-Mu'jam al-Waji>z. Tkp: tp, 1994
Al-Nasafi>,
'Abdulla>h, Ah}mad ibn Mah}mu>d. Mada>rik al-Tanzi>l wa
al-Haqa>iq al-Ta'wi>l al-Ma'ru>f bi al-Tafsi>r al-Nasafi>.
Bairu>t: Da>r al-Fikr,
tt
Nasution, Harun. Islam
Rasional: Gagasan dan Pemikiran. Jakarta: LSAF, 1989
Al-Qusai>ri>,
al-Nai>saburi>, Abu> al-H{usain, Muslim ibn al-Hajja>j. Al-Ja>mi'
al-S{ah}i>h}. Baerut: Da>r al-Fikr. Tt
Al-Qurt}ubi>,
al-Ans}a>ri>, al-Andalusi>, Muh}ammad ibn Muh}ammad ibn Ah}mad ibn
Abi> Bakar. al-J>a>mi LiAh}ka>m al-Qur'a>n. Tkp: tp, tt
Rida, Muh}ammad
Rasyid. Tafsi>r al-Mana>r. Jilid III. cet ke 4. Mesir: Maktabah al-Qa>hirah, 1960
Rahman, Budhy Munawwar (ed.). Kontekstualisasi
Doktrin Islam dalam Sejarah. cet 2. Jakarta: Paramadina, 1995
Rippin, Andrew."The Present Status of Tafsir", The
Muslim Word, Vol. 72, 1982
Rozi, Fahrur. "Komparasi Hermeneutis Konsep Ta'wi>l Menurut Muh}ammad
Syah}ru>r dan Nasr H{ami>d Abu> Zaid dalam Perspektif al-Ta'wi>l
al-Ilmi", Skripsi,
Jur. Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2003
Rohman, Nur. "Pandangan Muh}ammad
'Abduh terhadap Ayat-ayat Mutasya>biha>t: Studi terhadap Tafsir al-Mana>r", Skripsi, Jur. Tafsir Hadis
Fakultas Ushuluddin, IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 1999
Ash-Shiddieqi, Hasbi. Sejarah Perkembangan
Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1973
Al-S{a>lih},
S{ubh}i>. Maba>h}is\ fi> Ulu>m al-Qur'a>n. Bairu>t:
Da>r al-Kutub lilmala>yi>n, 1977
Al-Sayut}i>,
Jala>luddi>n. al-It}qa>n fi> al-Ulu>m al-Qur'a>n.
Bairu>t: Da>r al-Fikr,
tt
Al-Syurbasyi>,
Ah}mad. Studi tentang
Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur'an al-Karim. Terj. Zufran Rahman, Jakarta:
Kalam Mulia, 1999
Salim, Peter. Salim's Ninth Collegiate:
English-Indonesian Dictionary. Jakarta: Modern English Press, 2000
Shahin, Emad Eldin.."Salafiyah", dalam Ensiklopedi
Oxford: Dunia Islam Modern. Terj. Eva YN (dkk.), Bandung: Mizan, 2001
Surakhmad,
Winarno. pengantar
Penelitian Ilmiah. Bandung: Tariso,1998
Soetari, Endang. Ilmu Hadis: Kajian Riwayah dan Dirayah.
Bandung: Amal Bakti Press, 2000
Syarief, Muhammad. "Pandangan T{aba>t}aba>'i terhadap Muh}kam Mutasya>bih", Skripsi, Jur. Tafsir Hadis Fakultas
Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2000
Al-Tirmiz\i,
Abu> 'I<sa Muh}ammad ibn 'I<sa>. Sunan al-Tirmiz\i>.
Bairut: Da>r al-Fikr, tt
Al-T{abari>,
Abi> Ja'far Muh}ammad ibn Jari>r. Tafsi>r al-T{abari>. jilid VIII. juz 8 Bairu>t:
Da>r al-Fikr, 1978
Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, 1988
Poerwadaminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, 1986
Webster, Noah. Webster's New Twentieth centurt
Dictionary. Amerika Serikat: William Collins, 1980
Wansbroug, John. Qur'anic Studies Sources and Methode Scriptual
Interpretation. Oxpord: Oxpord University Press, 1977
Al-Zarqani,
'Abd al-'Az}i>m. Mana>hil al-Irfa>n fi> Ulu>m al-Qur'a>n. jilid II. Bai>ru>t:
Da>r al-Fikr, tt
Al-Zarkasyi>,
Badr al-Di>n Muh}ammad ibn 'Abdulla>h. Al-Burha>n fi> Ulu>m
al-Qur'a>n. Mesir: al-H{alabi>, 1957
Al-Z|ahabi>,
Muh}ammad H{usain. Al-Tafsi>r wa al-Mufassirun. Kairo: Da>r
al-Kutub al-Hadi>s, 1976
[1]
'Abd
al-Qa>hir ibn T{a>hir ibn Muh}ammad al-Baghda>di>
al-Isfira>yini> al-Tami>mi>, al-Farq Bai>na al-Firaq (Beiru>t: Da>r
al-Ma’a>rif, tt), hlm. 318
[2] Abi> al-Fath}
Muh}ammad 'Abd al-Kari>m ibn Abi> Bakr Ah}mad Al-Syahrasta>ni>, al-Milal wa al-Nih}al (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 2002), hlm. 34
[4] Ibid., hlm. 75. Hal ini ketika
perkembangannya yang diwakili oleh Kaum Asy'ariyah menegaskan keberadaan
sifat-sifat Allah, dan berbeda dengan kaum Musyabbihah (Antropomorfisme).
Asy'ariyah tetap berada dalam prinsip "tidak ada sesuatu pun yang serupa
dengan-Nya", dan mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan hanya layak untuk-Nya
saja, dan bukanlah seperti sifat-sifat mahluk-mahluk-Nya: seperti
Pendengaran-Nya tidak seperti pendengaran mereka dan Penglihatan-Nya tidak
seperti penglihatan mereka. Dengan adanya penetapan sifat ini disinyalir dalam
ayat-ayat mutasya>biha>t yang mengandung sifat Allah di dalamnya (teks al-Qur'an). Dalam hal
ini merupakan penjelasan komprehenshif akidah Ahlusunnah Waljama'ah, lihat
misalnya 'Abdulla>h
al-Harari>, Sari>h} al-Baya>n Fi al-Rad 'Ala> Man Kha>lafa
al-Qur'a>n (Beiru>t: Da>r al-Masya>ri,
1997), hlm. 37-77.
[5] S}a>lih}
Fauza>n, al-Risa>lah al-'A<mmah li
al-Ifta>: Tanbi>ha>t fi> Alfa>z} 'ala> man Ta'awwala
al-S{ifa>t (Riyad: Da>r al-Wat{an, tt), hlm. 19
[7] Jala>l
al-Di>n al-Suyu>ti, al-Itqa>n fi 'Ulu>m al-Qur'a>n, Jilid
II (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1951), hlm. 318.
[8] Badr
al-Di>n Muh{ammad ibn 'Abdulla>h al-Zarkasyi>, al-Burha>n
fi> 'Ulu>m al-Qur'a>n (Beiru>t: Da>r
al-Fikr, 1988), hlm. 79-99.
[9] Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1995), hlm.
131.
[10] Nur Rohman, "Pandangan Muh}ammad 'Abduh terhadap Ayat-ayat Mutasya>biha>t: Studi terhadap Tafsi>r al-Mana>r", Skripsi, Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, 1999.
[11] Noer Fadilah Wening Hastuti, " Penafsiran Hamka terhadap
Ayat-ayat Mutasya>biha>t: Kajian Tafsir al-Azhar", Skiripsi,
Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2000.
[12] Kurningsih, " Penafsiran Ayat-ayat Mutasya>biha>t: Studi Komparatif antara Hasbi Ash-Shidieqi dan Hamka", Skripsi, Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, 2000.
[13] Muhammad Syarief,"Pandangan T}aba>t}aba>'i Terhadap Muh}kam
Mutasya>bih", Skripsi, Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2000.
[14] Muhammad Ghuzi,"Ta'wi>l dalam Pemikiran T}aba>t}aba>'i: Studi
Terhadap Tafsir al-Mana>r", Skripsi, Fakultas Ushuluddin
IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 1999.
[15] Fahrur Rozi, "Komparasi Hermeneutis Konsep Ta'wi>l Menurut Muh}ammad
Syah}ru>r dan Nasr H{ami>d Abu> Zai>d dalam Perspektif al-Ta'wi>l al-'Ilmi", Skripsi, Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, 2003.
[16] Lihat misalnya ketika men-ta'wil QS. al-Qas}as} [28]: 88, Abi>
'Abdilla>h Muh}ammad ibn Isma>'i>l Ibn Ibra>hi>m, S{ah}i>h}
al-Bukha>ri, jilid VI (Beiru>t: Da>r
al-Fikr, 1994), hlm. 21.
[17] Badr
al-Di>n Ibn Jama>'ah, Id}a>h} al-Dali>l fi>
Qat'i H{ujaj Ahl al-Ta't}i>l (tkp: Da>r al-Sala>m, 1990), hlm. 40 dan hlm. 101.
[23] Al-Qa>di>
'Abd al-Jabba>r al-Hamaz\a>ni>, Mutasya>bih al-Qur'a>n, I-II (Kairo: Da>r al-Tura>s\,
tt), hlm. 41.
[24] Lihat Machasin, al-Qa>d}i> 'Abd
al-Jabba>r Mutasya>bih al-Qur'a>n: Dalih
Rasionalitas al-Qur'an (Yogyakarta: LKiS, 2000),
hlm. 8.
[25] Ah}mad
ibn Muh}ammad ibn 'Ali> al-Fayu>mi al-Muqarri>, al-Misba>h}
al-Muni>r (Beiru>t: Maktabah Libna>n,
1978), hlm. 260.
[26] Ia mempunyai nama lengkap 'Abd al-Rahma>n ibn al-Kama>l Abu> Bakar
ibn Muh{ammad ibn Sa>biq al-Di>n ibn Fakhr Us\\\ma>n ibn Naz}ir
al-Di>n Muh}ammad ibn Sai>f al-Di>n al-Hud}ari> al-Sayu>t}i. Ia lahir pada awal Rajab tahun 849 H/3 Oktober 1445. Namanya al-Suyuti atau terkadang dengan al-Asyu>t}i>
penisbatan kepada al-Asyu>t}, kota Mesir. Sementara Jalal al-Di>n adalah
gelar beliau sebagai dedikasinya terhadap ilmu-ilmu agama, seperti halnya
gelar-gelar lainnya seperti:
Muhy al-Di>n, D{iya> al-Di>n, Fakhr al-Di>n, syaraf al-Di>n dan lainnya. Lihat al-Sakha>wi>,
Syams al-Di>n Muh}ammad ibn 'Abd al-Rahma>n, Ad-D{lau' al-La>mi li
Ahl al-Qarn al-Ta>si', jilid IV (Beiru>t: Maktabah
al-Haya>t, tt), hlm. 65. Sedangkan Karya lain dalam
bidang ilmu-ilmu al-Qur'an, tafsir dan qira'at adalah: Tafsi>r
al-Jala>lai>n, al-Dur al-Mas\u>r Fi al-Tafsi>r al-Ma's\u>r, Asra>r
al-Tanzi>l, al-Iklil fi Istinba>t} al-Tanzi>l, Syarah}
al-Sya>tibiyah. Ibid., hlm. 66.
[28] Abu>
H{a>mid Muh}ammad ibn Muh{ammad al-Ghaza>li>, Ih}ya> 'Ulu>m
al-Di>n, jilid I (Beiru>t: Da>r al-Taqwa>
li al-Tura>s{, 2000), hlm. 157
[30]
'Abdulla>h al-Harari>,
al-Sarah} al-Qawi>m fi H{alli Alfa>z} al-S}ira>t al-Mustaqi>m
(Beiru>t: Da>r al-Masya>ri, 2004), hlm. 161.
[31] Nama lengkapnya 'Abd
al-Ma>lik ibn Abu> 'Abdulla>h ibn Yu>suf ibn Muh}ammad al-Juwaini>
al-Sya>fi'i> al-Ira>qi> Abu> al-Ma'a>li>. Ia termasuk gurunya al-Ima>m al-Ghaza>li> dan juga termasuk sahabat Ima>m Sya>fi'i> yang paling mendalam ilmunya, ia wafat tahun 478 H.
[32] Subh}i>
al-S{a>lih}, Maba>h}is fi 'Ulu>m al-Qur'a>n (Beiru>t:
Da>r al-Ilm Lilma>layi>n, 1977), hlm. 284.
[33] Muhammad Chirzin, al-Qur'an dan Ulumul Qur'an (Yogyakarta:
Dana Bhakti Prima Yasa, 1998), hlm. 69-75.
[34] Ibid, hlm. 72.
[35] Penelitian kepustakaan (library research) adalah penelitian
yang cara kerja penelitiannya menggunakan data dan informasi dari berbagai
macam materi dan literatur, baik berupa buku, majalah, surat kabar, naskah,
catatan dan dokumen. Lihat Kartini, Pengantar Metodologi Riset Sosial,
Cet, 7 (Bandung: Mandar Maju, 1996), hlm. 33.
[36]
Majd al-Di>n
Muh}ammad ibn Ya’qu>b al-Fairu>z A<<ba>di, al-Qa>mu>s
al-Muh}i>t (Beiru>t: Muasasah
al-Risa>lah Da>r al-Dayya>n, 1987 ), hlm. 9.
[37] al-Ra>gib
al-Asfaha>ni>, Mu'jam Mufrada>t Alfa>z}
al-Qur'a>n (Beiru>t: Da>r al-Fikr, tt), hlm. 244.
[38] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia
(Yogyakarta: PP al-Munawwir, 1984), hlm. 696.
[39] Emad Eldin Shahin," Salafiyah", Ensiklopedi Oxford:
Dunia Islam Modern, terj. Eva YN dkk , jilid V(Bandung: Mizan, 2001), hlm.
104.
[40] Istilah salafiyah juga merupakan gerakan reformasi
berdimensi agama, budaya, sosial, dan politik yang didirikan oleh Jama>l al-Di>n
al-Afgha>ni dan Muh}ammad 'Abduh pada awal abad kedua puluh. Gerakan ini bertujuan memperbaharui kehidupan
Muslim dan berdampak formatif pada banyak pemikir dan gerakan Muslim di seluruh
Dunia Muslim. Ibid..
[41]
Abi>
al-H{asan Muslim ibn H{aja>j al-Qusyai>ri
al-Naisabu>ri, S{ah}i>h} Muslim, jilid II (Beiru>t: Da>r
al-Fikr, 1993), hlm. 520. lihat ba>b fad}l
al-s}aha>bat, untuk melihat redaksi lain, Hadis
dari A<'isyah"قا لت سأ ل رجل عن النبى صلى
الله عليه وسلم "اي النا س خير قال القر ن الذي انا فيه ثم الثا ني ثم الثا
لث "Rasululullah telah ditanya oleh
seseorang, siapakah sebaik-baiknya manusia (qarn) ? abad sekarang (masa
Rasulullah), kemudian abad ke dua, kemudian abad ke tiga". Perbedaan
ini walaupun tidak begitu debatable, para Ahli tafsir menjelaskan tiga qarn
adalah dengan 300 tahun setelah hijrahnya Nabi, dan yang dimaksud al-qarn
adalah satu abad, atau juga satu generasi. Pada redaksi lain Rasulullah
mengucapakan lafaz ""ثم الذي يلو نهمsampai empat kali,
penafsiran tiga qarn di atas yang terkenal adalah dengan 300 tahun
hijriyyah. Sebagian ulama lagi berpendapat dengan hadis tersebut 220 tahun
setelah diutusnya Rasulullah menjadi Nabi, tetapi pendapat yang terkenal adalah
pendapat yang pertama, dengan begitu ulama yang hidup pada abad 300 tahun
kemudian ia wafat pada abad ke empat, ia tetap masuk pada kategori ulama salaf.
lihat Badr
al-Di>n ibn Jama>'ah, Id}a>h al-Dali>l fi>
Qat}'i H{ujaj Ahl al-Ta't}i>l (Mesir: Da>r al-Sala>m, 1990), hlm. 40.
[42]
Pendapat ini juga dicounter oleh Abu> al-Qa>sim ibn
al-Sya>kir dan yang lainnya, lihat Abdulla>h al-Harari>
al-Habasyi>, Iz}ha>r al-Aqi>dah
al-Sunniyah Bisarah} al-Aqi>dah al-T}ah}a>wiyah, cet III (Beiru>t:
Da>r al-Masya>ri, 1997), hlm. 23.
[43] Ibid..
[46] Emad Eldin Shahin," Salafiyah", Ensiklopedi…..op.
cit., hlm. 104.
[47] Ibid.
[48]
Abu>
I<sa> Muh}ammad Ibn I<sa> al-Tirmiz\i>, Sunan al-Tirmiz\i>, jilid V (Beiru>t:
Da>r al-Fikr, tt), hlm. 356.
[49] Subh}i>
al-S}a>lih}, Maba>h}is fi 'Ulu>m al-Qur'a>n (Beiru>t:
Da>r al-Ilm Lilmala>yi>n, 1977), hlm. 120.
[50] Ibid..
[51] Lihat al-Ima>m
Abi> al-H{usai>n Muslim ibn al-H{ajja>j al-Qusai>ri>
al-Nai>sa>buri>, al-Ja>mi' al-S}ah}i>h}, dalam bab zuhd, Jilid IV, juz 8
(Beiru>t:
Da>r al-Fikr, tt), hlm. 229.
[52] Endang Soetari, Ilmu Hadis: Kajian Riwayah dan Dirayah, cet
III (Bandung: Amal Bakti Press, 2000), hlm. 5.
[53] Nama lengkapnya adalah 'Abdulla>h ibn Abi> Khuh}afah al-Tami>mi> ibn Amar ibn Ka'ab ibn Sa'ad ibn Tai>m
ibn Murah ibn Ka'ab. Ibunya adalah Umm al-Khai>r, Salma> binti Sakhr ibn Amar ibn Ka'ab ibn Sa'ad ibn Tai>m ibn Murah ibn Ka'ab. Dari silsilah ini Abu>
Bakar al-S}iddi>q baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayahnya, mempunyai pertalian
keluarga dengan Nabi Muhammad SAW yang bertemu silsilahnya pada nenek mereka
Murah ibn Ka'ab. Ia dilahirkan di Makkah dua setengan tahun setelah tahun Gajah
atau 51 sebelum Hijrah, pada masa kecilnya ia bernama Abd al-Ka'ab. Ibid., hlm,
170.
[54] Ia mempunyai nama lengkap Umar ibn Khat}t}ab ibn Nufai>l ibn Abd al-Uzza ibn Riba>h ibn 'Abdilla>h ibn Qart ibn Razail ibn Adij ibn Ka'ab ibn Lu'ay. Ia dilahirkan di
Makkah pada tahun 40 SH/586 M. Ibid.,
hlm. 174.
[55] Jala>l
al-Di>n al-Suyu>t}i> al-Sya>fi'i>, al-Itqa>n fi
'Ulu>m al-Qur'a>n, jilid II (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1951), hlm. 318.
[56] Nama lengkapnya adalah 'Abdulla>h ibn 'Abba>s ibn 'Abdul Mut}a>lib ibn Ha>syim ibn ''Abd al-Mana>f
al-Qurai>sy> al-Ha>syi>mi>. Ia adalah
sepupu Rasulullah yang dilahirkan tiga tahun sebelum Masehi, di kampung
Syab'ali Makkah. Ibunya Umm al-Fadi>l
Luba>bah al-Kubra> binti al-Ha>ris ibn Haliliyah, saudari Maimu>nah, istri
Rasulullah. Beliau wafat di T{a>if pada tahun 68 H. lihat Izzuddi>n ibn al-Atsi, Usd
al-Gha>bah fi>
al-Ma'rifat al-S}aha>bah, jilid III (tkp: Da>r al-Sa'b, tt), hlm. 290-293.
[57] Selain tarjuma>n al-Qur'a>n, Ibn 'Abba>s juga mempunyai gelar Bahr al-Ulu>m (lautan ilmu), Habr al-Ummah (ulama umat), sehingga di
antara sahabat lain berkomentar tentangnya seperti Ubai>dilla>h ibn Ut}bah" Saya belum pernah menemui seseorang yang ilmunya melebihi
dari Ibn
'Abba>s yang begitu menguasai Ilmu fiqh, Ilmu
Tafsir, Bahasa Arab, Syair, Ilmu hitung, Ilmu Faraid". Ahmad al-Syurbasyi,
Sejarah Perkembangan Tafsir, Terj. Zufran Rahman (Jakarta: Kalam Mulia,
1999), hlm. 87.
[59] Badruddi>n
Muh}ammad ibn 'Abdulla>h al-Zarkasyi>,
al-Burha>n fi> 'Ulu>m al-Qur'a>n, jilid
II (Mesir: al-H{alabi>, 1957), hlm. 161.
[61] Nama lengkapnya 'Abd
al-Rahma>n ibn Sahr. Ia seorang sahabat Nabi SAW
yang paling banyak meriwayatkan hadis. Sebelum Muslim nama aslinya
diperselisihkan,di antara namanya; Umai>r ibn A<mir, Buraiyr ibn Israqah, Sikki>n ibn Dawmah, 'Abdulla>h ibn 'Abd al-Syam, 'Abd al-Nahm, atau 'Abd al-Ghanam. Ia juga di
panggil Abu> al-Aswad, sedangkan ibunya bernama Mai>munah. Endang Soetari, Ilmu Hadis…..op. cit., hlm. 183.
[62] Ia adalah Anas ibn Ma>lik ibn al-Nadar ibn Damdan ibn Zai>d ibn Haram ibn
Jundub ibn A<mir ibn Khanam ibn Adi ibn Najar al-Khajraji> Abu Hamzah al-Madani>. Ibid., hlm. 186.
[63] Ibid., hlm. 322.
[64] Muh}ammad H{usai>n
al-Z{ahabi>, al-Tafsi>r wa
al-Mufassiru>n, jilid I (Kairo: Da>r al-Kutub al-
Hadi>s, 1976), hlm. 81.
[65] Menurut para ulama ada sembilan jalur periwayatan yang paling
mashur yang dinisbatkan kepada Ibn 'Abba>s dalam tafsir
tersebut, yang paling banyak adalah melalui jalur Muh}ammad ibn Marwa>n
al-Sa>di al-S}agi>r dari Muh}ammad ibn Sa'ab al-Kalbi>, dari Abu>
S{a>lih} dari ibn 'Abba>s. Al-Suyu>t}i>,
al-Itqa>n,…..op. cit., jilid II. hlm. 189.
[66] Nama lengkapnya Sa'id ibn Jubai>r ibn Hisya>m
al-Asadi> al-Walibi> maula>hum Abu> Muh}ammad dan menurut suatu pendapat Abu> 'Abdulla>h al-Ku>fi, beliau seorang Ta>bi'i>n besar yang tidak ada tandingannya, berasal dari Habsyah, dari Mawa>li Bani Wali>bah ibn al-Ha>ris dari Bani Asad.
[67] Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian
Hermeneutika (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 191.
[71] John Wansbrough, Qur'anic Studies: Sources and Methods
Scriptural Interpretation (Oxford: Oxford University Press, 1977), hlm.
119.
[72] Andrew Rippin, "The Present Status of Tafsir Studies",
The Muslim World, Vol. 72 th. 1982, hlm. 229.
[73] Ibid., hlm. 238.
[74] Izzah Faizah, "Qur'an dan Tafsir dalam Sejarah Sejak Klasik
Hingga Modern dan Kontemporer", Jurnal Teks, No. 1, Maret 2002,
hlm. 170.
[75] Ibid., hlm. 175.
[76] Ibid..
[77] DEPAG, al-Qur'an dan Terjemah (Semarang: Toha Putra,1989),
hlm. 391.
[79] Subh}i>
S{a>lih}, Maba>h}is……op. cit., hlm. 290. Tafsi>r bi
al-Ma's\u>r ini namakan " Ja>mi al-Baya>n
fi Tafsi>r al-Qur'a>n" yang
mengetengahkan penafsiran para sahabat Nabi dan kaum Tabi'in selalu disertai
dengan isnad (sumber-sumber riwayatnya)dan diperbandingkan untuk
memperoleh penafsiran yang paling kuat dan tepat. Kecuali itu juga terdapat kesimpulan-kesimpulan
tentang hukum, dan diterangkan juga bentuk-bentuk i'ra>b (kedudukan kata-kata di dalam rangkaian kalimat) yang menambah
kejelasan makna. Tapi, karena bersandar pada pengetahuan orang lain dalam hal isna>d, maka kadang-kadang tanpa disengaja ia melupakan sebagiannya dan
mengemukakan sebagian lain yang tidak benar tanpa memberi keterangan. Ibid.,
hlm 291. Istilah Tafsi>r
bi al-Ma'su>r sering dibedakan dengan Tafsi>r bi al-Ra'yi, tetapi pengklasifikasian
ini cenderung ambigu karena al-T{abari> pun banyak memakai nalar sendiri yang kadangkala bertentangan
dengan penafsiran awal. Izzah Faizah……op. cit., hlm. 170-171.
[80] Isra>iliya>t
adalah riwayat yang bersumber dari orang-orang Yahudi dan Nasrani serta
selain dari keduanya yang masuk dalam tafsir dan hadis. Ada pula ulama tafsir
dan hadis yang memberi makna Israiliyat sebagai cerita yang bersumber dari
musuh-musuh Islam, baik Yahudi, Nasrani dan lainnya. Muhammad Chirzin, al-Qur'an
dan Ulumul Qur'an (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998), hlm. 78.
[82] Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran
al-Qur'an Periode Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta: Nun Pustaka,
2003), hlm. 10-15.
[83] Nor Ichwan, Memahami Bahasa al-Qur'an: Refleksi atas Persoalan
Linguistik (Semarang: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. x.
[85] Izzah Faizah, al-Qur'an dan Tafsir…."op. cit., hlm.
171.
[86] Ihsan Ali-Fauzi, "Kaum Muslimin dan Tafsir al-Qur'an Survei
Bibliografis atas Karya-Karya dalam Bahasa Arab", Ulumul Qur'an,
Vol II, Th. 1990, hlm. 19.
[87] Ibid., hlm. 17.
[88] Ibid., hlm. 18.
[89] Komaruddin Hidayat, Memahami….op. cit., hlm. 15.
[91] Muh}ammad 'Abd
al-Kari>m al-Zarqa>ni>, Mana>hil
al-Irfa>n fi 'Ulu>m al-Qur'a>n, jilid
II (Baeru>t:
Da>r al-Fikr, tt), hlm. 27.
[92] Manna Khali>l
al-Qat}t}a>n, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur'an. Terj.
Mudzakkir AS ( Bogor: liter Nusa, 1992), hlm. 303.
[94] Nama lengkapnya 'Abd
al-Rahma>n 'Abdulla>h ibn Muh}ammad ibn Yu>suf ibn 'Abdulla>h
ibn Ja>mi al-Harari>
al-Saibi>, al-'Abdari> (pembuka pintu Ka'bah). Ia seorang ulama, Mufti di negara Harar,
kota yang terletak di negara Afrika dengan perbatasan sebelah timur kota
Somalia, sebelah barat kota Habasah dan sebelah selatan dengan kota Kina,
sedangkan sebelah timurnya negara Jibuti. Sedangkan negara Somalia sendiri
pecah terbagi lima bagian. Ia lahir di kota Harar pada tahun 1920-1339 H. Ia seorang al-Za>hid,
al-A>lim, al-Muhaddis, al-Fa>dil, al-A<bid
juga orang yang cerdas, ia hafal al-Qur'an pada usia tujuh tahun dengan tarti>l dengan bimbingan seorang ayahnya, dan juga ratusan gurunya.
Sehingga pada usia delapan belas tahun ia hafal kutub sittah dengan
sanad-sanadnya, ia belajar kepada guru-gurunya dengan sistem talaqi> dan pada usia relatif muda sudah memberikan fatwanya di negara Harar.
Dengan pengajaran yang sistematis yang diberikan kepada murid-muridnya ini
melahirkan ulama-ulama yang menyebar di daratan Syam sampai Australia, sehingga
ia dikenal dengan sebutan Sya>fi'i
al-As}r (Imam Syafi'i kontemporer). Ia juga telah
banyak menulis kitab-kitab yang sebagian dari karyanya penulis jadikan sebagai
refrensi. Lihat. Abdullah al-Harari, Sari>h} al-Baya>n fi>
al-Rad ala> man Kha>lafa al-Qur'a>n (Beiru>t: Da>r
al-Masya>ri, 1997), hlm. 5-9.
[95]
'Abdulla>h
al-Harari>, al-S}ira>t al-Mustaqi>m (Beiru>t: Da>r
al-Masya>ri, 2004), hlm. 174. lihat juga dalam
bukunya Kaifa
Tufassiru al-A<ya>t al-Mutasya>biha>t. (Beiru>t: Da>r
al-Masya>ri, 2003), hlm. 5.
[97] QS. Al-Baqarah [2]: 29.
[98] 'Abdulla>h al-Harari>,
S}ari>h al-Baya>n….. op. cit., hlm,
47. Interpretasi dari sifat-sifat benda adalah bergerak, diam, berubah,
bersemayam, berada di tempat dan arah, duduk, turun, naik, dan sebagainya. Ayat
di atas menjelaskan bahwa Allah tidak menyerupai mahluknya, bukan merupakan al-Jawha>r
al-Fard} juga bukan benda lat}if atau benda kas}if. Dan hal ini mustahil bagi Allah. Ibid., hlm. 53.
[100]
Di
antaranya: istaula (menguasai),
al-isti>la (menguasai), al-qahr (menundukkan),
al-istiqra>r (menetap), al-qu'u>d (duduk),
al-tamakkun (bertempat), al-muha>z\ah (menempel), al-julu>s
(duduk) dan lain lain yang harus
diterapkan pada konteksnya.
Ah}mad ibn Muh}ammad ibn 'Ali al-Fayyu>mi>
al-Muqarri>, al-Mis}ba>h} al-Muni>r (Beiru>t: Maktabah Libanon, 1978), hlm. 113.
[101] 'Abd al-Qa>hir ibn T{a>hir ibn Muh}ammad al-Baghda>di>
al-Isfira>yini> al-Tami>mi>, al-Farq Bai>na al-Firaq (Beiru>t:
Da>r al-Ma'a>rif, tt), hlm. 333.
[102] Di antara ulama salaf dan khalaf yang secara
mayoritas memberikan ta’wi>l Istawa> dengan Qahara adalah: Ima>m Abdulla>h ibn Yahya> ibn al-Muba>rak (W. 237 H) dalam kitabnya Ghari>b al-Qur’a>n wa
al-Tafsi>ruhu, al-Ima>m Abu>
Mansu>r al-Maturidi> al-H{anafi> (W. 333
H)dalam kitabnya Ta’wi>l
al-Sunah wal jama>’ah, al-Zajjaj seorang ahli
bahasa Arab (W.340 H) dalam kitabnya Istiqa>q al-Asma> Allah, al-Ghaza>li
al-sa>fi’i (W 505 H) dalam kitabnya Daf’u
Syubahi
al-Tasbi>h, juga dari kalangan ulama Indonesia
Syekh
Mahfu>z} al-Termasi> al-Indonisi> al-Sa>fi’i> (1285-1338 H) dalam kitab Mawhibah Z|i al-Fadl, Syekh Nawawi> al-Ja>wi al-Banta>ni> (W. 1314 H-1897) dalam kitabnya Tafsi>r al-Muni>r dan lain-lain. Lihat Khoirul Ansari dkk, Aqidah AhlusSunnah
walJama'ah (Jakarta: Syahamah Press, 2003), hlm. 20.
[103]
QS. Ali-Imra>n [3]: 7. Lihat juga al-Qur’an dan Terjemah (Kerajaan Saudi
Arabia: Majma al-Ma>lik Fahd li Tiba>’at
al-Mush{a>f, 1971), hlm.76.
[106] Muh}ammad ibn Ibra>hi>m
ibn Sa'dulla>h ibn Jama>'ah,
Id}a>h al-Dali>l fi Qat'i H{ujaj Ahl Ta't}i>l (tkp: Da>r
al-Sala>m, 1990), hlm. 101.
[107] Muh}ammad
Fu'a>d 'Abd al-Ba>qi>, al-Mu'jam al-Mufahras
Li Alfa>z} al-Qur'a>n al-Kari>m (Beiru>t: Da>r al-fikr, 1992), hlm. 473.
[108] Ibid., hlm. 787-788.
[109] Ibid., hlm. 454.
[110] Ibid., hlm. 154-155.
[111] Abi>
al-Fath} Muh}ammad 'Abd al-Kari>m ibn Abi> Bakar Ah}mad
al-Syahrasta>ni>, al-Milal wa al-Nih}al, cet ke 2 (Beiru>t:
Da>r al-Fikr, 2002), hlm.74.
[112] Lihat misalnya QS. al-Fath} [48]: 10. Sebab-sebab
turunnya ayat ini, pada bulan Zulqa'dah tahun keenam Hijriyah. Nabi Muhammad
SAW beserta pengikut-pengikutnya hendak mengunjungi Mekkah untuk melakukan
Umrah dan melihat keluarga-keluarga mereka yang telah lama ditinggalkan.
Sesampai di Hudaibiyah beliau berhenti dan mengutus Usman Ibn Affan lebih
dahulu ke Mekkah menyampaikan maksud kedatangan beliau dan kaum muslimin.
Mereka menanti-nanti kembalinya Usman, tetapi tidak juga datang karena Usman
ditahan oleh kaum musyrikin, kemudian tersiar lagi berita bahwa Usman telah
dibunuh. Karena itu Nabi menganjurkan agar kaum muslimin melakukan bai'at
(janji setia) kepada beliau. Mereka pun mengadakan janji setia kepada Nabi dan
mereka akan memerangi kaum Quraisy bersama Nabi sampai kemenangan tercapai.
Perjanjian setia itu telah diridhai Allah sebagaimana tersebut dalam ayat 18
surat ini. Karena itu disebut" Bai'at al-Rid}wa>n". Baiat
al-Rid}wa>n ini menggetarkan kaum musyrikin,
sehingga mereka melepaskan Usman dan mengirim utusan untuk mengadakan
perjanjian damai dengan kaum muslimin. Perjanjian ini terkenal dengan "S{ulhul Hudaibiyah". Orang yang berjanji biasanya berjabat tangan. Caranya berjanji
dengan Rasul ialah meletakan tangan di atas tangan orang yang berjanji itu.
Jadi maksud tangan Allah di atas mereka ialah untuk menyatakan bahwa berjanji
dengan Rasulullah sama dengan berjanji dengan Allah. Jadi seakan-akan tangan
Allah di atas tangan orang-orang yang berjanji itu.
[115] Muh}ammad
'Abd al-H{alim, Memahami al-Qur'an: Pendekatan Gaya
dan Tema, terj. Rofik Suhud (Bandung: Marja, 2002), hlm. 150.
[117] Ibid..
[119] Ia adalah pendiri dan pemuka pertama dari aliran Mu'tazilah, sebagai reaksi terhadap paham-paham teologi yang dikemukakan oleh
golongan Khawa>rij dan golongan Murji'ah. Nama Mu'tazilah sendiri yang diberikan
kepada mereka berasal dari kata I'tazala, yang berarti mengasingkan
diri. Menurut suatu teori, nama itu diberikan atas dasar ucapan H{asan al-Basri>, setelah melihat Wasil memisahkan diri. H{asan al-Basri> diriwayatkan memberi komentar sebagai berikut "I'tazala
anna" (ia mengasingkan diri dari kami). Orang-orang yang mengasingkan
diri disebut Mu'tazilah, atau mengasingkan dari majlis H{asan al-Basri>, atau mengasingkan dari pendapat Murji'ah dan Khawa>rij. Menurut teori lain nama Mu'tazilah bukan berasal dari ucapan H{asan al-Basri>, tetapi dari kata I'tazala yang dipakai terhadap orang-orang
yang mengasingkan diri dari pertikaian politik yang terjadi pada zaman Us\ma>n ibn Affa>n dan 'Ali>
ibn abi> T{a>lib. Harun Nasution, Islam
Rasional (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 128.
[121] Ibid., hlm. 24.
[122] Ibid., hlm. 84.
[123] Ibid., hlm. 84-85.
[124] Ibid., hlm. 85.
[125] Ibid., hlm. 85.
[126] Ibid..
[127] Ibid., hlm. 75-76.
[128] Ibid., hlm. 76.
[129] Sifat-sifat ini menurut Asy'ariyah adalah qadi>m dan terlekat dalam zat Allah. Tidak bisa dikatakan bahwa
sifat-sifat tersebut adalah Dia atau selain Dia, pun tidak dikatakan bahwa
sifat-sifat tersebut bukan selain Dia. Ibid..
[133] Fuad
Hassan dan Koentjaraningrat, "Beberapa Asal
Metodologi Ilmiah" , dalam Koentjaraningrat (ed.), Metode-metode
Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1977), hlm. 16.
[134] Peter Salim, Salim's Ninth Collegiate: English-Indonesian
Dictionary (Jakarta: Modern English Press, 2000), hlm. 900.
[136] Mu>nir Ba'albaki, Modern English-Arabic Dictionary (Beiru>t: Da>r
al-Ilm Lilmala>yi>n, 1974), hlm. 575.
[137] Majma al-Lughah al-Arabiyah, al-Mu'jam……op. cit., hlm. 636.
[138] Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-1
(Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hlm. 580-581. lihat juga. Poerwadaminta, Kamus
Umum Bahasa Indonesia, cet ke-9 (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), hlm. 649.
[139] Methode: 1. A way of doing anything; mode; procedure,
process; especially, a regular, orderly definite procedure or way of teaching,
investigating, ect; 2. Regularity and orderliness in action, though, or
expression; system ini doing things or handling ideas; and 3. Regular, orderly
arrangement. Noah Webster, Webster's New Twentieth Century Dictionary
(Amerika Serikat: William Collins, 1980), hlm. 1134.
[140] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur'an
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 2.
[142] Ah}mad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia
(Yogyakarta: PP al-Munawwir, 1984), hlm. 1158-1159.
[143] Muh}ammad
'Abd al-Kari>m ibn Abi> Bakar Ah}mad al-Syahrasta>ni>, al-Milal
wa al-Nih}al (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 2002), hlm. 83.
[146] Antitesa dari metode-metode ini sebagai penolakan terhadap
Antropomorfisme seperti ditengarai ulama Salaf kalangan Mutaqaddimi>n dari Ahl
al-H{adi>s seperti: Ah}mad ibn H{anbal dan Da>wud
ibn 'Ali> al-As}fahani> al-Faqi>h al-z}a>hiri> (w. 270), yang mengikuti dari gurunya Ma>lik ibn Anas, Muqa>til
ibn Sulai>ma>n dengan ungkapannya "kita
mengimani semua dari apa yang tersirat baik dari al-Qur'an maupun Hadis tanpa
merincinya dengan ta'wi>l
sebelum mengetahui akan hakikat makna tersebut
secara pasti, dan bahwa Tuhan tidak serupa dengan sesuatu apapun dari
mahluk-mahluk-Nya. Maka untuk menghadapi hal seperti ini, mereka menggunakannya
dengan metode tafwi>d},tasli>m. al-Syahrasta>ni>,
al-Milal….op. cit., hlm. 83.
[147] Sikap "tafwi>d}" sebagaimana diterapkan oleh al-Sya>fi'i> dalam mengkaji sebagian ayat-ayat mutasya>bih
A<ya>t al-s}ifa>t dengan
ungkapannya"Saya beriman dengan segala apa yang diturunkan Allah dengan
maksud-Nya, juga dengan apa yang dibawa (disabdakan melalui hadis qau>li>,
fi'li>, taqri>ri) oleh Rasulullah dengan
segala yang dimaksudkannya pula dengan tidak memberikan prasangka terhadap
Tuhan dari "wujud materi"yang dalam hal ini mustahil baginya. Begitu
juga ketika Ah}mad ibn H{{anbal (w. 241 H) ditanya tentang hadis yang mutasya>biha>t mengenai "hadis nuzu>l dan hadis ru'yah"hadis
ini secara lahiriyah memberikan makna akan turunnya Tuhan pada setiap malam
dalam sepetiganya malam, sedangkan hadis tentang "ru'yah" secara
lahiriyah mengenai Allah yang akan dilihat oleh orang-orang yang mu'min di hari
akhir. Ah}mad
ibn H{anbal menginterpretasikan hadis tersebut dengan
"tafwi>d"(nu'minu
biha> bila> kayf wala> ma'na>) kami mengimaninya tanpa deskripsi makna dan bagaimana. Lihat 'Abdulla>h al-Harari>, Al-S}ira>t
al-Mustaqi>m (Beiru>t: Da>r
al-Masya>ri, 1993), hlm. 44. Sedangkan kaum Musyabihah
tidak menerapkan metode
Tafwi>d, tetapi mereka memberikan makna dengan
arti literal, seperti lafaz istawa> mereka maknai dengan Allah menetap, duduk, bergerak dan sebagainya
dari sifat jisim. Lihat al-Bai>haqi>,
al-Asma>……op. cit., hlm. 513.
[148] Wahbi>
Sulai>ma>n Gha>wazi> al-Alba>ni>, Ta'li>qan ala>
Id}a>h al-Dali>l fi> Qati Ahl Ta't}i>l lil ima>m Badruddi>n
ibn Jama>'ah (tkp: Da>r al-Sala>m, tt), hlm. 40.
[149] Muh}ammad
Abd al-H{ali>m, Memahami al-Qur'an: Pendekatan
Gaya dan Tema, terj. Rofik Suhud (Bandung: Marja, 2002), hlm. 151.
[150] Karena Allah bukan merupakan al-jawha>r al-fard} (subtansi-aksiden), dan tidak disifat dengan apapun dari
sifat-sifat benda. Dalam hal ini, Ulama salaf menyatakan bahwa alam (mahluk
Allah) terbagi atas dua bagian, yaitu benda dan sifat benda. Kemudian benda
terbagi menjadi dua, yaitu benda yang tidak dapat terbagi lagi karena telah
mencapai batas terkecil (para ulama dalam hal ini menyebutnya dengan (al-jawha>r
al-fard{) dan benda yang dapat terbagi menjadi
bagian-bagian (jism). Benda yang terakhir ini juga terbagi menjadi dua
macam: 1. benda lati>f : sesuatu yang tidak dapat dipegang oleh tangan seperti cahaya,
kegelapan, roh, angin dan sebagainya. 2. benda kas}i>f : sesuatu yang yang dapat dipegang oleh tangan seperti manusia,
tanah, benda-benda padat dan sebagainya. Adapun sifat benda adalah seperti
bergerak, diam, berubah, bersemayam, berada di tempat dan arah, duduk, turun,
naik, dan sebagainya. Ulama salaf dalam hal ini berpegang teguh kepada
ayat" ليش كمثله
سيئ "untuk menjelaskan bahwa Allah tidak menyerupai mahluk-Nya.
Lihat 'Abdulla>h al-Harari>, Id{ha>r
al-Aki>dah al-Sunniyyah bi> Sarah} al-Aki>dah al-T{{aha>wiyyah (Beiru>t:
Da>r al-Masa>ri, 1997), hlm. 168-169. Mereka juga
bersandar pada hadis yang diriwayatkan Muslim"انت الظا هرفليس فو قك شيء و انت البا طن فليس
دونك شيء " Engkau al-Da>hir (yang segala sesuatu menunjukan akan adanya) tidak ada sesuatu di atas-Mu dan Engkaulah al-Ba>t}in (yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada sesuatu di
bawah-Mu.
Al-Baihaqi>, al-Asma> ……op.cit., hlm. 506.
[151] Abi>
'Abdilla>h Muh}ammad ibn Isma>'i>l ibn Ibra>hi>m al-Bukha>ri,
S}ah}i>h} al-Bukha>ri, jilid I, juz II (Beiru>t: Da>r
al-Fikr, 1994), hlm. 59.
[152] Muh}ammad
ibn Ibra>hi>m
ibn Sa'dulla>h ibn Jama>'ah, Id{a>h al-Dali>l Fi Qat}'i H{ujaj
Ahl al-Ta't}i>l (Mesir: Da>r al-Sala>m, 1990), hlm. 40.
[153]
Bersandar pada ayat ini merupakan penyucian bagi Allah dari “ tasybi>h”, karena banyak nash al-Qur’an dan Hadis yang zahirnya memberi
prasangka bahwa Allah ada di langit, salah satunya Abu Hanifah; ia menafikan
tempat, arah bagi Allah. Juga Imam Malik dengan ta’wilnya tanpa mengatakan,
mengkaji bagaimana Allah, mendeskripsikan (menyerupakan dengan sifat-sifat
mahluk). Lihat al-Bai>haqi>, al-Asma>….op.
cit., hlm. 516. Mengenai hadis “ja>rihah”dita’wil dengan makna kuasa yang sesuai dengan sifat-sifat Allah.
lihat Abi 'Abdilla>h Muhammad ibn Isma>'i>l ibn Ibra>him al-Bukha>ri , S}ah}i>h}
al-Bukha>ri, jilid I (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1994-1414 H), hlm. 221.
[154] Sikap tafwi>d} diungkapkan pula
'Ali> ibn T{a>lib dalam sebuah interpretasinya
"Sesungguhnya yang menciptakan tempat (Allah) tidak dikatakan
bagi-Nya"dimana" dan sesungguhnya yang menciptakan"al-Kai>f"(merupakan tafsir dari sifat-sifat benda), tidak dikatakan
bagi-Nya"bagaimana". Ungkapan seperti ini di kutip oleh Abu> al-Muz}affar al-Asfara>yini>,
al-Tabsi>r fi al-Di>n (Beiru>t, tp, tt), hlm. 98. Metode ini diterapkan oleh Ibn 'Abba>s ketika menta'wil lafaz "istawa"dengan metode
tafwidnya dengan ungkapan bila kaif (tanpa bagaimana). Al-Bai>haqi>, al-Asma>……..op. cit., hlm. 517.
[157]Al-Bai>haqi>,
al-Asma>>…..op. cit., hlm. 456.
lihat juga Muh}ammad ibn Ibra>hi>m ibn Sa'dulla>h
ibn Jama>'ah, Id}a>h…op. cit., hlm. 40-41.
[158] S{ubh}i>
al-S{a>lih}, Maba>h}is fi 'Ulu>m al-Qur'a>n (Beiru>t:
Da>r al-Ilm Lilmala>yi>n,1977), hlm. 285.
[159] Majd
al-Di>n Muh}ammad ibn Ya'qu>b al-Fairu>z A<ba>di,
al-Qa>mu>s al-Muh}i>t, jilid III (Beiru>t: Da>r
al-Fikr, 1997), hlm. 331.
[160] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir…..op. cit., hlm. 53.
[161] Jala>l
al-Di>n al-Suyu>t}i>, al-Itqa>n fi> 'Ulu>m al-Qur'a>n, jilid II (Beiru>t:
Da>r al-Fikr, 1951), hlm. 173.
[162] 'Abd
al-'Az}i>m al-Zarqa>ni>, Mana>hil
al-Irfa>n fi 'Ulu>m al-Qur'a>n, jilid II (Beiru>t: Da>r
al-Fikr, tt), hlm. 5.
[163] al-Sayyi>d
Muh}ammad Rasyi>d Rid{a>, Tafsi>r al-Mana>r, Jilid III, cet ke 4 (Mesir: Maktabah al-Qa>hirah, 1960), hlm. 89 Menurutnya,
yang dimaksud ra>jih yaitu makna yang sesuai dengan z{ahir lafaz}, sedangkan marju>h yaitu makna lain yang tidak sesuai atau menyalahi dengan z}ahir lafaz{ dan digunakan untuk menggambarkan makna yang ra>jih.
[164] Dala>lah
lafaz} adalah makna yang ditunjukan z}ahi>r lafaz} dan makna tersebut dalam balaghah dikenal dengan makna haki>ki>. Kemudian makna tersebut dikeluarkan dari pemakaiannya dan
digantikan oleh makna yang dalam balaghah disebut makna maja>zi>, contoh seperti kata "al-wajh", kata ini mempunyai
makna sesuatu yang menjadi bagian dari kepala, tetapi orang-orang Arab juga
biasa menggunakan kata tersebut untuk menyebut arah. Hal inilah yang dimaksud
dengan tidak merusak pemakaian linguistik orang Arab. Lihat Ibn Rusyd, Fas}l al-Maqa>l
fi> ma> bai>n al-Hikmah wa al-Syari>'ah min al-Fisa>l (Mesir: Da>r
al-Ma'a>rif, tt), hlm. 32.
[165] Ta'wi>l seperti ini banyak dipakai oleh ulama kalangan sufi di mana mereka
berpendapat bahwa makna yang dipelihara oleh z}ahi>r lafaz} tidak mencukupi, karena hasil penafsirannya banyak dipengaruhi oleh
faktor subyektiftas manusia, maka ayat-ayat al-Qur'an perlu dipahami dengan
jalan isya>rah (sinyal-sinyal) yaitu melalui kasyaf (mata hati yang terbuka
sehingga bisa menangkap sesuatu yang bagi orang lain ghaib). Menurut mereka
makna yang dihasilkan dengan seperti ini adalah makna yang langsung dari Allah.
'Abd
al-Az}i>m al-Zarqa>ni>, Mana>hil…..op.
cit., hlm. 5.
[166] Ta'wi>l Yang dimaksud Jahmiyyah adalah makna haki>ki> ayat al-Qur'an. Menurut mereka makna haki>ki> tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah. Ibn Tai>miyah, al-Tafsi>r
al-Kabi>r, al-muhaqqiq 'Abd al-Rahma>n Amirah, jilid II (Beiru>t:
Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, tt), hlm. 39.
[167] Ibn
Tai>miyyah, al-Ikli>f fi al-Muh{kama>t wa Ta'wi>l (Mesir: Maktabah Ami>rah al-Syarafah, tt), hlm. 19.
[168] Ibid., hlm. 16.
[169] Budhy Munawar Rahman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam
Sejarah, cet 2 (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 11.
[170] Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian
Hermeneutika (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 215.
[171] Nasr H{a>mid
Abu> Zai>d, Tekstualitas al-Qur'an: Kritik
terhadap Ulumul Qur'an, terj. Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: LKiS, 2002),
hlm. 289.
[172]Ah}mad ibn Muh}ammad
ibn 'Ali> al-Fayu>mi> al-Muqarri>, Misba>h} al-Muni>r (Beiru>t: Maktabah
Libna>n, tt), hlm. 260.
[173] Muh}ammad
Fu'a>d 'Abd al-Ba>qi>, al-Mu'jam al-Mufahras Li Alfa>z}
al-Qur'a>n al-Kari>m (Beiru>t: Da>r
al-Fikr, 1992), hlm.473.
[174] Ia mempunyai nama lengkap 'Abdulla>h Ah}mad
Ibn Muh}ammad ibn H{anbal bin H{ila>l ibn Asad
al-Syaiba>ni> al-Marwazi>. Endang Soetari, Ilmu
Hadis: Kajian Riwayah dan Dirayah (Bandung: Amal Bakti Press, 2000), hlm.
233.
[175] Pendapat ini diperkuat 'Ali> ibn Abi> T{a>lib dengan memberikan penjelasan tentang Arsy sebagai mahluk Allah yang
paling besar, "sesungguhnya Allah menciptakan Arsy untuk menampakkan
kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikan tempat bagi Dzat-Nya. Hal ini diriwayatkan
oleh Abu>
Mansu>r al-Baghda>di>. Lihat 'Abd al-Qa>hir ibn
T{a>hir ibn Muh}ammad al-Baghda>di> al-Isfira>yini>
al-Tami>mi>, al-Farq Bai>na al-Firaq (Beiru>t: Da>r al-Kutub
al-Ilmiyah, tt), hlm. 333. Arsy merupakan sesuatu yang
berukuran (al-mah{du>d) dan segala yang mah}du>d memiliki bentuk, baik kecil maupun besar. Sedangkan, pengertian
batasan (al-hadd) menurut ulama salaf adalah yang berbentuk, baik kecil
maupun besar. Seperti al-Z|arrah (sesuatu yang terlihat dalam cahaya
matahari yang masuk ruangan melalui jendela) hal ini mempunyai ukuran, demikian
juga Arsy, cahaya, kegelapan dan angin masing-masing mempunyai ukuran.
[176] Lihat 'Abd
al-Rahma>n yang dikenal juga dengan Jama>l al-Di>n, Tabaqa>t
al-Sya>fi’iyyah, jilid VII (Beiru>t: Da>r
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1987-1407 H), hlm. 23-25.
[177]
Lihat al-Ghaza>li>,
Ih}ya> 'Ulu>m al-Di>n (Mesir: Maktabah
Alam al-Ma'rifah, 2000), hlm 30. lihat juga hlm, 182 dengan menentukan makna "istawa>" yang sesuai dengan maknanya
(sifat Allah) "al-qahr" menguasai.
[180]
Peneliti dalam hal ini melacak di antara Mufassir yang memberikan ta’wi>l
“istawa> ”dengan makna ”al-Isti>la>” dan “al-Qahr ”(menguasai dan
menundukan )di antaranya: Ibn Hajar al-Asqala>ni> dalam
kitab Irsya>d
al-Sya>ri sarah} s}ah}i>h} al-Bukha>ri, Murtad{a
al-Zabidi> dalam kitab Itiha>f Sa>datu
al-Mutaqi>n sarah} Ihya> Ulu>m al-Di>n,
jilid II (tkp: tnp, tt), hlm. 106. Kemudian juga 'Ali 'Abd al-Ka>fi Abu>
al-H{asan Taqyuddi>n al-Subki>, Juga al-Nasafi> dengan men-taw’i>l lafaz}“al-Isti>la>” lihat Mada>rik
al-Tanzi>l wa haqa>iq al-Ta’wi>l al-ma’ru>f bi Tafsi>r
al-Nasafi>, jilid 2, hlm. 94 Lihat juga Abu> Mansu>r
Muh}ammad ibn Muh}ammad al-Ma>turi>di> al-Samarqandi>
al-H{anafi>, Ta'wi>la>t Ahl al-Sunnah (Baghda>d:
al-Irsya>d, 1983), hlm. 84.
[181] Dalam sumber-sumber Mu'tazilah, namanya adalah 'Ima>d al-Di>n
Abu> al-H}asan Qa>d}i> al-Qud}a>h 'Abd al-Jabba>r ibn Ah}mad ibn
'Abd Al-Jabba>r al-Hamaz\a>ni>. Tidak
ada keterangan yang pasti tentang tahun kelahirannya. Sebagian orang memperkirakan
bahwa ia lahir sekitar 320H/932M, dan meninggal tahun 415/1025M. Dalam usia 90
tahun mengingat, ia mengaku belajar hadis dari Muh}ammad ibn Ah}mad ibn 'Umar al-Zi'baqi>
ulama hadis di Basrah yang meninggal tahun 333 H,
sebelum ke Basrah ia bermaz\hab Sya>fi'i>
dalam fiqih dan maz\hab Asy'ari> dalam
Tauhid. Basrah ketika itu merupakan pusat pengkajian
Islam yang besar dan Mu'tazilah merupakan aliran yang cukup dominan. Di situlah
ia berpindah dari maz\hab Asy'ari> ke maz\hab I'tizali>. Machasin, al-Qa>d{i> 'Abd
al-Jabba>r Mutasya>bih al-Qur'an: Dalih Rasionalitas al-Qur'an
(Yogyakarta: LKiS, 2000), hlm. 9-11.
[182] Lihat al-Qa>d}i
'Abd al-Jabba>r ibn Ah}mad al-Hamaz}a>ni>, Mutasya>bih
al-Qur'a>n (Kairo: Da>r al-Tura>s, tt), hlm. 73. Ayat ini juga menunjukan bahwa ia berpindah dari
bumi ke langit. Ini pun menunjukkan bahwa ia jisim (materi), karena
pindah hanya dapat terjadi pada wujud materil. Abd al-Jabbar menolak ini dengan
dua alasan: alasan kebahasaan dan alasan kelogisan. Kata istiwa> menurut bahasa mengandung beberapa pengertian "duduk"
yang ditentukan oleh kontesknya dalam kalimat, yakni: penguasaan atas wilayah
tertentu (al-isti>la
wa al-iqtisa>di>), kesamaan bagian-bagian yang tersusun (tusa>wi
al-ajza> al-mu'allafah), kehendak (qasd), hilangnya cacat dan sakit dan keadaan tegak
dalam duduk, naik kendaraan atau berdiri. Lagi pula, kata ini kalau dipakai
dengan pengertian duduk, hampir tiada pernah diikuti kata depanا لي . Selain ini menyebut penciptaan (apa-apa yang ada di bumi dan
langit untuk menunjukan betapa besarnya anugerah Allah kepada manusia. Maksud
ini tidak akan tercapai manakala hanya disebutkan bahwa Allah berpindah dari
bumi untuk tinggal di langit. Kepindahan seperti ini bukanlah nikmat, karena
keadaan khusus itu dengan adanya nikmat tidak berubah dengan kepindahan-Nya
dari satu tempat ke tempat lain, kalaupun itu biasa jadi pada-Nya. Atas dasar
ini, menurut Abd al-Jabbar, mestilah ayat tersebut dipahami dengan: Allah
menciptakan untuk kita apa-apa yang ada di bumi, lalu ia menciptakan untuk kita
juga di langit-langit dan menjadikannya sama; sehingga dengan penciptaannya,
menjadi sempurnalah nikmat-nikmat-Nya atas dari segi-segi yang tak terhitung
banyaknya. al-Qa>d{i
'Abd al-Jabba>r, Mutasya>bih..….ibid., hlm. 74.
[183] Hal ini berdasarkan jalur riwayat yang sampai kepada sahabat ibn 'Abba>s melalui Abu>
'Abd al-Rah}ma>n Muh}ammad ibn 'Abd al-Rah}ma>n ibn Muh}ammad ibn
Mah}bu>r, telah menceritakan kepada saya al-H{usain ibn
Muh}ammad ibn Harun, kepada saya telah menceritakan Ah}mad ibn Muh}ammad ibn Nasr dan telah menceritakan kepada kami Yusuf ibn Bila>l R. A dari Muh}ammad
ibn Marwa>n dari al-Kalabi> dari Abi> al-S{a>leh dari Ibn
'Abba>s yaitu yang dimaksud dengan ثم استوى yaitu bermaksud kepada perintah-Nya. Lihat al-Baihaqi al-Asma> …..op. cit., hlm. 520.
[185] Ia mempunyai nama lengkap Abu> 'Abdilla>h Muh}ammad ibn Isma>i>l
ibn Ibra>hi>m al-Ja'fi ibn Bardizbah al-Buhka>ri (ia termasuk ulama
Salaf dan ahl al-Hadi>s yang terkenal w. 256 H). Lihat dalam kitabnya, Abi> 'Abdilla>h Muh}ammad ibn Isma>i>l
ibn Ibra>hi>m, S}ah}i>h} al-Bukha>ri, jilid 6 (Beiru>t: Da>r
al-Fikr, 1994), hlm. 21.
[186] Abi> 'Abdilla>h
Muh}ammad ibn Ah{mad al-Ans}a>ri al-Qurt}ubi>,
al-Ja>mi’ Li Ah}ka>m al-Qur’a>n, Jilid VI (Kairo: Da>r al-Sa'b, tth), hlm. 432.
[187] 'Abd
ar-Rah}ma>n Ibn Abi> al-H{asan al-Jauzi> (w
597 H), Daf’u
Syubah al-Tasybi>h Bi akfi al-Tanzi>h, di-tahqi>q oleh Muh}ammad Za>hid
al-Kaus\ari (Mesir: Maktabah al-Kuliyyah al-Azhariyah,
1991), hlm. 35.
[192] DEPAG, al-Qur'an dan Terjemah (Semarang: Toha Putra, 1989),
hlm. 29.
[193]Mukallaf adalah orang Islam yang
dikategorikan sebagai orang yang telah balig, berakal dan telah sampai
kepadanya ajaran Islam dan menerimanya dengan baik. 'Abdulla>h al-Harari>, Mukhtas}ar:
al-Ka>fil bi'ilm al-D{aru>ri> (Beiru>t: Da>r al-Masya>ri, 1999), hlm. 5.
[194] Ibn Qutai>bah menambahkan mengenai
ta'wi>l seputar lafaz}
"al-wajh" dengan menta'wil ayat lain QS. al-An'a>m{ [6]: 52, ولا
تطر د الذين يدعون ربهم با لغداة والعشي يريدون وجهه dan
janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan dipetang
hari, sedang mereka menghendaki keridaan-Nya.
Kemudian ia menta'wil makna" يريدون وجهه"dengan mengharapkan
ampunan-Nya, dan ia juga menta'wil ayat lain QS. al-Qas}as[28]}: 88 كل شيئ
هالك الا وجهه
ia memberikan ta'wi>l
dengan illa Hua (kecuali Dia), juga QS.
al-Baqarah [2]: 115 lafaz "al-wajh" dita'wil dengan qiblat Allah.
Lihat al-Qa>d}i
'Abd al-Jabba>r, Mutasya>bih…. op.
cit., hlm. 105-106. Sedangkan al-T{abari> men-ta'wi>l QS.
Al-Qas}as} [28]}: 88 كل شيئ هالك الا وجهه dengan illa>
Hua (kecuali Dia). Lihat Abi> Ja'far
Muh}ammad ibn Jari>r al-T{abari>, Tafsi>r al-T{abari> , jilid VIII, juz 8 (Beiru>t: Da>r al-Fikr,
1978), hlm. 81
[196] Karena pentingnya fungsi wajah sebagai "pintu gerbang"
indera, dan karena kedudukannya sebagai identitas atau keberadaan seseorang,
maka dalam bahasa Arab kata itu menjadi lambang kehormatan seseorang: seperti
ketika menghormati wajah seseorang, dan bekerja liwajhilla>h (artinya karena Allah, karena memulyakan Wajah Allah). Dengan
demikian, untuk menyelamatkan harga diri seseorang biasanya menempuh dengan
menyelamatkan muka, sebaliknya seseorang bisa kehilangan wajah yang dalam
istilah bahasa Arab dikenal dengan--ara>q ma>' wajhih--secara harfiah berarti "menumpahkan air ke wajahnya",
yakni menjual harga diri. Mengingat keutamaan dan kehormatan wajah, kata wajah/waji>h dalam bahasa Arab mengandung arti kepala atau pimpinan suatu
komunitas. Ketika para Malaikat memberitahukan Maryam bahwa Allah memberi kabar
gembira bahwa dia akan mempunyai seorang anak laki-laki, Isa. Mereka mengatakan
anak itu akan menjadi waji>h, yakni orang termashur di dunia ini dan di akhirat kelak; salah satu
orang yang didekatkan kepada Allah. QS. Al-Imran [3]: 45. lihat juga 'Abd al-H{ali>m, Memahami…..op. cit., hlm. 148.
[203] QS. Al-Fath} [48]: 10. Karena agungnya akan perintah perjanjian antara
Rasulullah dan kaum Muslimin, maka kepatuhan dan ketaatan secara tidak langsung
berhadapan dengan perintah Allah. Lihat al-Bai>haqi>, al-Asma>…..op. cit., hlm. 407
[205] Ibid., I, hlm. 230-1.
[215]
Hal yang serupa juga dalam hadis Nabi yang ditakhrij dari 'Abu> Ya'la dari Abi>
Mu>sa> mengenai ayat (يو يكشف عن ساق ) tentang cahaya yang
Agung, kemudian dari 'Abd al-Raza>q dari Ma'mar dari Qata>dah mengenai ayat (يو يكشف عن ساق ) maksudnya dari perkara yang sangat
berkecamuk karena hebatnya huru-hara hari kiamat. Sedangkan dari 'Ikri>mah, menurut Haki>m dari jalur 'Ikri>mah
dari Ibn Abba>s ia menta'wilnya
dengan hari berkecamuk yang amat sangat. Jadi, dari makna tersebut menurut al-Khit}a>bi adalah terbuka kekuasaan-Nya Allah yang tersingkap pada hari sangat
berkecamuk. Menurut al-Isma>'ili> makna yang serasi untuk lafaz} al-Qur'an yang
terdapat dalam ayat tersebut tidak menginterpretasikan bahwa Allah mempunyai
anggota badan (betis). lihat Ibn
H{ajar al-Asqala>ni>, Fath}
al-Ba>ri, jilid 8 (tkp: al-Maktabah
al-Salafiyyah,tt), hlm. 663-664.
[217] Ibid..
[220]
'Abdulla>h
al-Harari>, Sari>h….op. cit., hlm. 42. Hal yang sama terhadap pengertian ini, terdapat pada lafaz} أتي dalam
QS. al-Baqarah [2]: 210 هل
ينظرو الا ان يأتيهم الله في ظلل من الغمام والملئكه وقضي الامر والى الله ترجع
الامور .
Pengertian secara lahiriyah mengharuskan keberadaan Allah di dalam bayangan
awan ketika mendatangi mereka, dalam
pengertian bahwa bayangan awan itu menjadi tempat dan wadah bagi-Nya.
Konsekuensinya, Allah lebih kecil dari bayangan itu. Pengertian lahiriyah juga
mengharuskan keberadaan para malaikat di dalam bayangan itu bersama Allah, hal
ini mustahil bagi Allah. 'Abd
al-Jabba>r menetapkan ta'wilnya dengan mengalihkan
pengertian Allah di sini kepada "para pembawa perintah-Nya" sebagaimana
disebutkan dalam ayat lain yang serupa yang menyatakan bahwa mereka nantikan
adalah kedatangan para malaikat atau kedatangan perintah Allah QS. al-Nah}l [16]: 33هل ينظرون الا أن يأ تيهم الملائكة أو
يأ تي أمر ربك.
Penggunaan bentuk "pembawa" disini menggunakan bentuk تفعل ((تحمل. Di tempat lain juga
menggunakan bentuk ini untuk menyebutkan bahwa malaikat Jibril sebagai pembawa
wahyuالذي يحتمل الوحي اليه صلى الله عليه هو جبريل . 'Abd al-Jabba>r, Mutasya>bih..…op. cit., II, hlm. 632.
[223] Lihat Ibn Rusyd, Fas}l al-Maqa>l fi> ma> Bai>na
al-Hikmah wa al-Syari>'ah min al-Fisa>l (Mesir:
Da>r
al-Ma'a>rif, tt), hlm. 32.
[224] Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur'an: Kritik terhadap
Ulumul Qur'an, terj. Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: LKiS, 2002), hlm. 296.
[228] Machasin, al-Qa>d}i
'Abd al-Jabba>r Mutasya>bih: Dalih Rasionalitas
al-Qur'an (Yogyakarta: LKiS, 2000), hlm. 165.
[229] Sebagaimana Abu>
Ja'far al-T{aha>wi> menegaskan, bahwa Allah tidak
disifati dari unsur jisim (unsur kesatuan), atau aksiden (arad),
tidak bertempat atau berada dalam waktu. Lihat 'Abdulla>h al-Harari>, Iz}ha>r
al-Aki>dah……..op. cit.,
hlm. 124, lihat juga hlm. 126-127.
0 komentar:
Post a Comment