Akidah Filsafat 1

Sunday, April 1, 2012


REALISME SOSIALIS PRAMOEDYA ANANTA TOER
(Telaah dalam Novel Tetralogi)



SKRIPSI
DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS USHULUDHIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN DARI  SYARAT-SYARAT
  MEMPEROLEH GELAR SARJANA STARA SATU
 DALAM AQIDAH FILSAFAT


Oleh
 Nur Laela Faristin
NIM  : 00510152

DI BAWAH BIMBINGAN:

Drs. Sudin, M. Hum.
Shofiyulloh, Mz. M. Ag.


AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2005
ABSTRAK




Realisme sosialis adalah salah satu aliran dalam sosialisme yang bergerak dalam kancah sastra atau kesenian. Semangat realisme sosialis ialah untuk memenangkan sosialisme di tengah masyarakat. Maka di dalam sastra aliran realisme sosialis, realitas masyarakat adalah inspirasi untuk membuat karya. Yang di maksud dengan realitas masyarakat ialah kaum proletar, dan di atas pundak kaum sastrawan realisme sosialis tertanam tanggung jawab yang tidak ringan yaitu memberi penyadaran kepada masyarakat yang tertindas sehingga masyarakat tersebut berjuang untuk melawan sistem yang menindas tersebut. Demikian pula di dalam novel tetralogi, yang terdiri dari empat jilid. Yaitu Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak langkah dan yang terakhir adalah Rumah Kaca. Ke empat novel tersebut berisikan perjuangan orang Indonesia yang terjajah untuk merebut kembali haknya yang terampas. Yang menjadi tokoh sentral dalam novel tetralogi adalah Minke, yang sebenarnya bernama Tirto Adhi Suryo. Tirto Adhi Suryo adalah seorang jurnalis pertama di Indonesia, maka tidaklah mengherankan jika penglihatannya adalah lewat kaca mata seorang jurnalis.
Hal tersebut untuk menjaga ke objektifan sebuah tulisan yang di dalamnya berisikan lahirnya organisasi-organisasi yang ada di Indonesia. Novel tetralogi juga menggambarkan tentang penindasan yang dilakukan oleh kaum feodal yaitu penjajah Belanda, yang membuat kemiskinan di masyarakat Indonesia. Belanda juga melakukan berbagai macam cara untuk melanggengkan sistem feodal, salah satu caranya adalah dengan membuat tahayul seperti Nyai roro kidul dan lain sebagainya. Agar daya kritisisme masyarakat tidak ada. Sehingga Belanda dengan, sudah dapat melakukan penghisapan atas kekayaan yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia dengan aman. Oleh sebab iu Minke sadar bahwa untuk membuat masyarakat berani melawan kepada penjajah belanda salah satu caranya adalah dengan didirikan organisasi-organisasi, dan untuk memudahkan penyebar luasan ideologi organisasi tersebut dibutuhkan media jurnalistik. Sebab dengan media tersebut maka akan memudahkan tersebarnya sebuah berita yanga ada.    








DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………………………i
HALAMAN NOTA DINAS……………………………………………………………ii
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………………….iii
HALAMAN PERSEMBAHAN……………………………………………………….IV
HALAMAN MOTTO…………………………………………………………………..V
KATA PENGANTAR …………………………………………………………………VI
ABSTRAKSI.…………………………………………………………………………VIII
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………IX

BAB I: PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang Masalah……………………………………………………1
2.      Rumusan Masalah………………………………………………………….10
3.      Tujuan dan kegunaan Penelitian….………………………………………..10
4.      Telaah Pustaka……………………………………………………………..11
5.      Kerangka Teori…………………………………………………………….13
6.      Metode Penelitian………………………………………………………….15
7.      Sistematika Pembahasan…………………………………………………..18

BAB II  : BIOGRAFI PRAM DAN KARYA-KARYANYA
1.      Selayang Pandang Perjalanan Hidup Pramoedya…………………………20
2.      Setapak Sejarah Menuju Realisme Sosialis……………………………….22
3.      Sepenggal Cerita Lahirnya Novel Tetralogi……………………………….42

BAB III : REALISME SOSIALIS SEBAGAI PANDANGAN PRAM DALAM NOVEL TRETALOGI
1.      Realisme Sosialis Pramoedya dan Paradigma Realisme Sosialis dalam Sastra ………………………………………………………………………51
2.      Pandangan Pramoedya tentang Realisme Sosialis dalam Novel Tetralogi………………………………………………………………..…..59
3.      Faham Realisme Sosialis dalam Realitas Empirik…………………………76
BAB IV : PANDANGAN SUBTANSIAL REALISME SOSIALIS DALAM NOVEL TETRALOGI
1.      Realisme Sosialis Sebagai Upaya Membentuk Paradigma dan
Orientasi Kehidupan………………………...……………………………..86
2.      Pandangan Pramoedya Ananta Toer tentang Organisasi sebagai
Sikap Melawan Imprealisme……………………………………………….92
3.      Pandangan Pramoedya Ananta Toer tentang Jurnalistik sebagai
Jalan Efektif Membangun Kesadaran…..………………………………...101
BAB  V : PENUTUP
1.      Simpulan………………………………………...……………….……….107
2.      Saran-saran………………………………………...………………..…….108
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia pada saat ini, masih dalam masa perkembangannya. Terutama dalam hal ekonomi, setelah kemarin sempat dihantam oleh krisis moneter, yang melahirkan krisis multidemensi. Meski bangsa Indonesia telah berjuang untuk bangkit dan ketika bangsa lain yang mengalami krisis yang sama sudah mulai dapat bangkit, namun sungguh sayang sampai detik ini bangsa Indonesia masih harus berjuang untuk mencapai hal tersebut.
Tetapi  krisis tersebut tidak menimpa setiap warga Indonesia. Karena banyak juga orang yang secara ekonomi masih sangat mapan, dalam artian dia masih bisa menikmati ekonomi yang berkecukupan. Mereka masih hidup  bergelimang harta, tetapi di lain pihak lebih banyak rakyat yang merasa sangat kesulitan secara ekonomi.
Kesenjangan ekonomi jelas terlihat di negeri ini, yang kaya bisa hidup laksana di surga, namun yang miskin hidup dengan penuh kesengsaraan. Karena perbedaan hidup antara orang kaya dengan orang miskin dapat melahirkan ketidak adilan dari segi ekonomi antara orang kaya dan orang miskin. Orang kaya bisa mengupah buruh dengan rendah, sehingga buruh tersebut tidak mampu membeli barang yang dibuatnya dan bila buruh meminta kenaikan gaji meski hanya 500 rupiah ancamannya adalah PHK. Dari kesenjangan tersebut banyak masyarakat yang melakukan segala macam cara untuk mencari kekayaan. Moral sudah tidak lagi dipakai untuk mendapatkan harta, selagi masih ada kesempatan maka dengan segera meraihnya. Entah itu melanggar hak asasi manusia ataupun tidak.
Kesenjangan ekonomi tersebut tercipta karena sistem yang lebih memihak pada pemilik modal, sedang kaum lemah atau miskin kurang mendapat akses untuk merubah ekonominya. Dalam hal ini kajian realisme sosialis banyak memotret tentang perbedaan tersebut. Novel Tetralogi sebagai sebuah aliran realisme sosialis sangat menarik untuk dikaji lebih mendalam.
Terutama ketika aliran tersebut telah menjadi sebuah novel, pertentangan antara masyarakat miskin dengan pemilik modal sangat terlihat. Sehingga pembaca tidak pernah bosan untuk terus mengikuti alur yang ada dalam cerita, sebab permasalahan yang diangkat dalam novel aliran realisme sosialis tidak jauh berbeda dengan kenyataan yang dihadapi sehari-hari. Tidak sebagaimana sinetron-sinetron di layar kaca, yang lebih sering menampilkan kekayaan padahal masih banyak masyarakat kita yang hidup di bawah garis kemiskinan, aliran realisme sosialis dalam novelnya sama sekali tidak menceritakan hal-hal yang menjual mimpi. Aliran realisme sosialis dalam novelnya lebih sering menampilkan keadaan yang sebenarnya.
Keadaan masyarakat yang tertindas oleh pemilik modal, atau para petani  yang terampas tanahnya sehingga petani tersebut harus menjadi buruh. Tugas aliran tersebut tidak saja berhenti sampai di sana, aliran realisme sosialis juga punya tugas yang tidak ringan, yaitu membangun kesadaran terhadap penindasan yang menimpa masyarakat. Realisme sosialis juga berupaya untuk mengajak masyarakat yang tertindas untuk melawan terhadap sistem borjuis tersebut.
Sebagai mana pendapat salah satu tokoh yaitu Maxim Gorki, sebagai mana yang di catat oleh Lukacs, karya sastra yang sejati adalah karya sastra yang populer, karena sastra yang sejati akan mampu membuka jalan bagi manusia untuk berkembang menjadi manusia yang benar. Dengan demikian misi utama karya sastra adalah mengugah kesadaran manusia.[1]
Hal tersebut juga dilakukan oleh Pramoedya Ananta Toer, sebagai pengarang yang menganut faham aliran realisme sosialis, Pramoedya Ananta Toer juga menuliskan pertentangan antara orang miskin dengan orang kaya. Daya tarik novel Pramoedya Ananta Toer karena pertentangan tersebut juga dirangkai dengan pergolakan masa pergantian zaman, yaitu masa revolusi kemerdekaan. Sehingga semangat perlawanan terhadap segala hal yang menjajah dapat dibaca secara jelas.
Dari segi penokohan, nampaknya Pramoedya Ananta Toer juga cukup selektif. Pramoedya Ananta Toer tidak terlalu banyak meramaikan karyanya dengan nama-nama yang tidak perlu. Pramoedya Ananta Toer hanya membatasi nama Minke, keluarga dan orang di sekelilingnya. Yang lebih menarik novel karya Pramoedya Ananta Toer (selanjutnya akan di tulis Pram) ini juga menulis sejarah lahirnya organisasi-organisasi di Indonesia .
Karakteristik Pram dalam mendiskripsikan situasi psikologis dan sosiologis tokoh-tokohnya sedemikian memikat. Dengan sudut pandang orang pertama (aku), misalnya saja, Pram memperkenalkan sang tokoh utama, seperti ini:
“Orang memanggil aku: Minke”jelas nama yang sangat aneh, tidak lazim. Kalau ini nama ningrat Jawa, lalu artinya apa? Sebab, nama-nama ningrat Jawa sendiri selalu mempunyai arti[2].
Ternyata, nama Minke diberikan ketika dia sekolah di ELS. Saat itu, ada seorang gadis bernama Vera yang mencubit pahanya sebagai tanda perkenalan. Karena tidak mampu menahan sakit, Minke pun menjerit kesakitan, gurunya Meneer Ben Rooseboom membentak melotot: “Diam kau, monk…!”. Saat itu, Minke merupakan satu-satunya murid pribumi, sedangkan guru dan teman-temanya jelas adalah bangsa Eropa (Belanda Totok). Karena itu, Minke sebenarnya merupakan sebutan yang merendahkan terhadap golongan pribumi, untuk menunjukkan sebagai monyet (monkey)[3].
Pelajaran sejarah yang ada sudah sering menuliskan nama-nama pahlawan nasional yang sudah terkenal, seperti Pangeran Diponegoro, Cut Nya Dien, dan masih banyak lagi. Tetapi di dalam novel tetralogi tersebut sama sekali tidak di sebutkan nama para pahlawan nasional, justru dalam novel yang terdiri dari empat jilid yaitu, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan yang terakhir Rumah kaca, menggambarkan tentang perjuangan orang-orang kelas bawah dan tokoh yang diberi nama Minke sebenarnya adalah tokoh jurnalis pertama di Indonesia yaitu Tirto Adhi Suryo.
Makna yang lebih penting  dari novel tetralogi ini adalah, bentuk roman sejarah mengarahkan pembaca tidak hanya untuk interprestasi karya sastra, monel teralogi juga mengantarkan kepada makna sejarah yang terjadi pada saat  itu. Pengarang berusaha melakukan apa yang diharapkan dari sejarawan yang baik, yang juga harus berusaha memperlihatkan kaitan dan hubungan antara segala macam kejadian dan data yang dikumpulkannya serta memunculkan gambaran total. Pembaca dibuat tergoda untuk menganalisis setiap kejadian, agar tidak hanya memihak partai secara literer, melainkan juga politik Indonesia lewat tokoh Raden Mas Tirtho Adhi Suryo.
Para tokoh yang dihadirkan Pram dalam novel empat jilid tersebut yang di beri nama tetralogi, sama sekali tokoh yang ada tidak ada dalam pelajaran yang ada di sekolah. Sebab Pram merasa bahwa pengajaran sekolah tidak mencukupi untuk membudayakan kecintaan bangsa pada sejarah pergerakan nasional untuk mencapai kemerdekaan nasional, dan tanpa adanya kecintaan ini Pram beranggapan bahwa semua ucapan tentang patriotisme, kecintaan pada tanah air dan bangsa, baik melalui pembicaraan, pidato, nyanyian atau pun deklamasi ini tinggal slogan tanpa isi, tidak edukatif dan tidak jujur[4].
 Faham realisme sosialis telah mengilhami Pram yang sering kali melahirkan pemikiran yang kritis terhadap apa yang sedang terjadi saat itu. Semangat terhadap perlawanan sistem kolonialisme dapat dirasakan dalam karya-karya Pram. Karena dalam novel Pram, bukan hanya sekedar tulisan fiksi semata. Namun karya-karya Pram juga lahir berdasarkan realitas yang ada. Sebab menurut Pram penulis hidup di tengah-tengah “ masyarakatnya”, yang di maksud dengan masyarakatnya adalah orang yang secara ekonomi terindas dan mereka memerlukan dorongan semangat untuk melakukan perubahan ekonomi. Masyarakat memberi materi-materi kepada penulis. Penulis yang berhasil, diharap memberikan pengaruhnya pada kondisi dan kehidupan sosial. Itu hubungan timbal-balik. Jadi kalau ada pengarang yang hanya berdasarkan fantasi, itu namanya ‘setengah gila’.[5]
Hal yang menarik novel tetralogi tersebut dibuat saat Pram berada di balik terali besi, Pram di penjara di Pulau Buru. Pulau Buru terletak sekitar 1.500 kilo meter ke arah timur dari Nusa Kambangan[6]. Karya  novel tetralogi justru karya yang paling monumental atau menjadi karya puncak dari sebuah penulisan yang dilakukan oleh Pram.
Tetralogi juga menjadi karangan Pram, yang menjadi polemik dan bahan pembicaraan, karena secara politis, novel ini menjadi begitu istimewa dan fenomenal. Novel Tetralogi menurut Pram ditulis secara lisan pada tahun 1973, karena ditulis dalam penjara di Pulau Buru dan kemudian ditulis secara sistematis sebagai cerita utuh pada 1975. Keempat buku tersebut; Bumi Manusia, kemudian Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, serta Rumah Kaca dilarang penerbitannya oleh oleh rezim Orde Baru semenjak 1981 yang ironisnya, larangan yang dikeluarkan pihak Kejaksaan Agung  itu sampai sekarang belum pernah dicabut seperti saat ini[7].
Novel tetralogi banyak sekali mendapatkan piagam penghargaan terutama dari luar negeri, sebab di dalam negeri Pram sendiri masih di cap sebagai agen pemberontak atas keterlibatannya dalam Lekra. Lembaga Kesenian Rakyat sebagai wadah kesenian PKI Maka secara otomatis ketika PKI dinyatakan sebagai partai terlarang dan semua anggotanya di penjara ataupun dibunuh, maka Lekrapun secara otomatis juga dibubarkan dan dinyatakan sebagai organisasi kesenian yang terlarang, dan semua anggotanya juga dipenjara atau dibunuh.
Pram sendiri menggambarkan, bahwa masuknya Pram sebagai anggota Lekra tidaklah sebagaimana yang digambarkan orang, Pram masuk Lekra secara sukarela. Menurut Pram ia tidak pernah bergabung dengan Lekra mulai dari bawah, melainkan diundang dan kemudian menjadi anggota. Inilah yang dianggap Pram sebagai kesulitannya, ia menganggap dirinya diambil begitu saja oleh Lekra. Padahal banyak orang lama Lekra yang tidak suka akan diri Pram[8].
Jika dihubungkan dengan realitas yang ada, novel Pram sangat menampilkan kenyataan yang dialami oleh masyarakat terutama kelas bawah, penderitaan-penderitaan mereka tanpa malu-malu ditampilkan secara jelas. Hal tersebut tidak lepas dari aliran yang dianutnya yaitu realisme sosialis sebab paham realisme sosialis berasal dari sosialisme Marx  konsep tentang manusia. Oleh karenanya, jelaslah bahwa, menurut konsep tentang manusia ini, sosialisme bukan sebuah masyarakat yang tersusun atas individu-individu yang diatur dan secara otomatis mengabaikan apakah mereka memiliki pendapatan yang cukup atau tidak. Sosialisme bukanlah masyarakat dimana individu tersubordinasikan oleh negara[9]. Pemerataan ekonomi masyarakat di bawah tanggung jawab negara, sehingga tidak terjadi ketimpangan ekonomi.
Marx menjelaskan seluruh elemen pokok sosialisme. Manusia berproduksi dengan cara bekerja sama, bukan berkompetisi, yang berarti bahwa dia berproduksi secara rasional tanpa teralienasi, dan dia berproduksi di bawah kendalinya sendiri[10].
Teori di atas saat ini sedang di terapkan di Cina, sebagai negara penganut faham komunis teori tersebut ternyata sungguh mampu mengatasi persaingan global yang sekarang sedang terjadi. Seperti di Cina teknologi elektronik, itu menjadi home industri, semisal dalam hal industri kendaraan, satu desa membuat rangka kendaraan saja, desa lainnya membuat ban dan desa yang lainnya membuat bahan yang diperlukan untuk membuat alat transportasi. Setelah itu masyarakat menyetorkan hasil buatannya kepada pabrik yang di kelola oleh pemerintah, bagian pemasaranpun dilakukan oleh pemerintah. Sebagai mana yang terjadi sekarang, Indonesia kebanjiran produk motor dari Cina yang harganya jauh lebih murah.
Pada awal tahun 1840, istilah “sosialis” dan “komunis” tidak punya arti yang jelas. Kini “sosialisme” berarti, bertentangan dengan “kapitalisme”. Konsep tentang kapitalisme sebagai suatu bentuk masyarakat yang  mapan, tidak ada, sampai Marx menemukannya. Dalam bukunya Das kapital, Marx mengurai tema-tema buku tersebut yaitu hubungan antara kapitalis dengan upah kerja atau kerja upahan, hubungan antara kapitalis dengan pekerja[11].
Dalam realitas  masih banyak buruh yang tidak mendapat gaji yang memadai, para buruh tersebut hidup di bawah garis kemiskinan. Meski pemerintah sudah mengaturnya dalam peraturan daerah, tetapi kenyataannya masih banyak gaji buruh yang tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup. Apalagi untuk menjaga kesehatan yang sangat mahal, tentu saja kaum buruh kesulitan. Banyak juga kasus para buruh yang tidak dibayar gajinya dengan alasan perusahaannya gulung tikar.
Adapun hubungan skripsi yang akan diangkat oleh penulis dengan jurusan  Aqidah Filsafat adalah, skripsi tersebut akan membahas masalah novel tetralogi dengan memakai pisau analisis realisme sosialis. Realisme sosialis tersebut adalah salah satu aliran dalam filsafat, sesuai dengan jurusan yang ditempuh oleh penulis. Sebab induk dari realisme sosialis adalah sosialisme, yang di cetuskan oleh seorang filosof bernama Karl Marx.



B. Rumusan Masalah.

Dengan uraian panjang lebar pada latar belakang diatas, penulis sesungguhnya ingin merumuskan permasalahan sebagai berikut,
“ Bagaimana pandangan realisme sosialis Pramoedya Ananta Toer dalam novel tetralogi? “

C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian

Dari awal melakukan penelitian ini penulis merasa tertarik meneliti  realisme sosialis yang terkandung dalam novel Tetralogi, diharapkan nantinya mampu mengetahui apa yang dimaksud realisme sosialis dan mengetahui bagaimana pandangan Pram tentang realisme sosialis dalam novel tetralogi.
Diharapkan dengan penelitian ini dapat memiliki kegunaan baik yang bersifat teoritis maupun praksis. Secara teoritis, penelitian ini akan merupakan sumbangan yang cukup berharga bagi pengembangan ilmu pengetahuan, terutama studi ilmu-ilmu sosial, khususnya filsafat sosial. Secara praksis, sebagai sebuah landasan teoritis, penelitian ini tentunya diharapkan mampu memberi sumbangan yang berharga, yang kaitannya dalam upaya mewujudkan tatanan masyarakat yang demokratis, terciptanya civil society, yang dapat menghargai perbedaan serta terbuka terhadap kritik. Di samping itu juga untuk menambah wacana kepustakaan, khususnya tentang pemikiran Pram dan umumnya terhadap studi ilmu-ilmu sosial.
Terakhir, yang tidak kalah pentingnya, bahwa penelitian ini juga memiliki kegunaan formal, yakni untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk meraih gelar kesarjanaan Strata satu (S-I) di bidang Filsafat Islam pada Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

D. Telaah Pustaka

Sepengetahuan penulis ada dua skripsi yang mengangkat tokoh Pramoedya Ananta Toer. Pertama yaitu skripsi yang ditulis Ahmad Hambali yang berjudul “Pandangan Pramoedya Ananta Toer tentang Humanisme”[12]. Yang kedua Arif Sarwani “Teori pembebasan dalam novel gadis pantai”[13]. Skripsi pertama mencoba menggambarakan tentang sisi humanisme dalam sudut pandang Pramoedya Ananta Toer, sedang skripsi yang kedua menggambarkan teori pembebasan dalam novel “Gadis pantai” karya Pramoedya Ananta Toer.
Sedangkan A.Teeuw, kritikus sastra dan pengamat sastra Indonesia modern berkembangsaan Belanda, dalam bukunya yang berjudul Citra Manusia Indonesia dalam Karya Pramoedya Ananta Toer telah mengulas secara umum karya Pram, kajian atau penelitian yang dilakukan oleh A. Teeuw lewat buku Citra Manusia Indonesia dalam Karya Pramoedya Ananta Toer sebagai pengantar untuk karya-karya Pram atau lebih khusus lagi sebagai kritik sastra yang bertujuan memberikan tanggung jawab pembacaan terhadap karya sastra Pramoedya[14].
Lewat buku tersebut, Teeuw melakukan pengkajian terhadap karya-karya sastra Pram dalam usahanya untuk mencitrakan masing-masing tema yang terkandung dalam karya sastra Pramoedya. Dalam kajian itu, Teeuw lebih menyoroti tema utama yang menjadi alur cerita dalam karya sastra Pram. Telaah yang dilakukan Teeuw lebih berdasarkan pada kajian sastra dari pada telaah yang bersifat filosofi.
Karya lain yang bisa dikatakan sebagai kajian dari sudut sastra yang berupaya menelusuri kreativitas Pram  dan karya seninya adalah karya dari Bahrum Rangkuti, yang berjudul Pramoedya Ananta Toer dan Karya Seninya. Karya ini secara umum mencoba mengkaji beberapa karya Pramoedya yang dilihat dari segi gaya bahasa, struktur kalimat dan teknik yang digunakan Pram dalam mengarang[15].
Karya lain lagi yang secara khusus mengupas dan menganalisis karya sastra Pramoedya adalah Analisa Ringan Kemelut Roman Pulau Buru Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer. Buku ini secara khusus membicarakan seputar kemelut pelarangan terbitnya roman Bumi Manusia di tahun 1980-an dan analisa ringan dari sejumlah satrawan akan isi novel tersebut. Sebuah roman yang cukup bagus dan berbobot, bahkan dinominasikan untuk mendapatkan hadiah nobel di bidang sastra[16].
Adapun karya ilmiah yang lain, adalah Eka Kurniawan yang diterbitkan dalam sebuah buku dengan judul Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis, ini mencoba meneliti ideologi estetis (sastra) yang dianut oleh Pramoedya[17].  Eka Kurniawan lebih menitik beratkan pada sejarah realisme sosialis  yang mempengaruhi pemikiran Pramoedya Ananta Toer, sedangkan dalam skripsi ini realisme sosialis dijadikan pisau analisis untuk membedah novel tetralogi.

E.  Kerangka Teori

Dalam kajian realisme sosialis menggambarkan pertentangan antara klas proletar dan juga klas borjuasi menjadi sebuah masalah yang senantiasa diakui, dan masalah realisme sosialis itu lahir dari sebuah realitas yang ada pada masyarakat. Meski dalam novel Tetralogi berlatar belakang awal abad 20 dan akhir abad 19, pertentangan antara kelas borjuasi dengan proletar itu sampai sekarang masih terjadi.
Istilah ini digunakan pertama kali pada tahun 1905 di Uni Soviet. Realisme sosialis muncul dalam sebuah artikel anonim, yang berjudul Notes on Philistinisme. Dalam tulisan tersebut yamg disebarluaskan untuk menentang pemerintah berhubungan dengan peristiwa “Minggu Berdarah” pada tanggal 22 Januari 1905, Gorki kemudian ditangkap tetapi tidak lama kemudian dilepas karena membanjirnya protes-protes internasinoal atas penangkapannya.[18]
Realisme sosialis, seperti nampak pada namanya, adalah istilah yang terdiri atas dua kata yang di majemukkan. Realisme sebagai istilah kesenian dan sastra pada umumnya bukanlah realisme sebagaimana dikenal oleh dunia Barat selama ini, tetapi realisme sesuai dengan istilahnya menurut tafsiran sosialis. Realisme sosialis sesuai dengan istilahnya dengan sendirinya bukan realisme Barat. Pembedaan ini perlu karena antara kedua realisme ini bukan hanya terdapat perbedaan tafsiran, tetapi yang lebih penting untuk diketahui adalah adanya perbedaan dalam perkembangannya[19].
Istilah ini baru diumumkan pada tahun 1934 di hadapan Kongres I satrawan Soviet di Moskwa, melalui ucapan Andrei Zidanov:
“Dalam pada itu kenyatan dan watak historik yang konkret dari lukisan artistik mesti dihubungkan dengan tugas pembentukan ideologis dan pendidikan pekerja-pekerja dalam semangat sosialisme. Metode kerja sastra dan kritik sastra ini kita namakan metode realisme sosialis”[20]

Sesui dengan teori materialisme dialektika  Karl Marx, tindakan adalah yang pertama dan fikiran adalah yang kedua. Aliran ini berpendapat bahwa tidak terdapat pengetahuan yang hanya merupakan pemikiran tentang alam, pengetahuan selalu dikaitkan dengan tindakan. Pada zaman dahulu, menurut Karl Marx, para filosof telah menjelaskan alam dengan cara yang berbeda-beda. Kewajiban manusia sekarang adalah untuk mengubah dunia, dan ini adalah tugas misi yang bersejarah dari kaum komunis[21].
Secara historis sosialisme mempunyai gagasan yang menuntut adanya pemerintahan yang lebih baik dan berusaha membuktikan kepada kelompok kaya dan pemilik modal bahwa eksploitasi itu tidak bermoral. Sosialisme pada awalnya adalah sebuah reaksi minoritas terhadap pelaksanaan etika kapitalis dan pengembangan masyarakat industri[22].
Sosialisme merupakan produk dari perubahan-perubahan sosial yang mengubah masyarakat-masyarakat Eropa di akhir abad kedelapan belas dan kesembilan belas. Inti dari sosialisme bukanlah semata-mata bahwa produksi itu harus dipusatkan di tangan negara itu harus seluruhnya merupakan peran ekonomi, di dalam masyarakat sosialis, pengelolaan atau tata pelaksanaan ekonomi harus menjadi tugas dasar negara[23].

F. Metode Penelitian

Setiap penelitian pasti menggunakan metode[24], agar memudahkan sebuah penelitian yang akan dilakukan oleh penulis, untuk memfokuskan kajian dalam penelitian tersebut.
1.      Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) oleh karena itu, pengumpulan datanya dilakukan dengan menggunakan teknik dokumentasi.
Ada dua sumber data yang digunakan dalam tulisan ini Primer dan Sekunder. Yang di jadikan data Primer dari penelitian ini adalah novel Tretalogi yang ditulis oleh Pram, sedangkan data Sekundernya adalah berbagai sumber yang berhubungan dengan persoalan yang akan diteliti.dan juga tulisan-tulisan yang relevan dengan pokok permasalahan [25].
2.      Sifat penelitian.
Penelitian ini bersifat deskriptif: yaitu Peneliti menguraikan secara teratur seluruh konsep buku[26]. Di sini peneliti menulis dengan berurutan tentang realisme sosialis yang terkandung di dalam buku tersebut.
3.      Pengumpulan Data-data.
Teknik yang digunakan untuk penelitian ini adalah dokumentatif, yaitu dengan mengumpulkan data primer yang diambil dari buku-buku yang secara langsung berbicara tentang permasalahan yang akan diteliti dan juga dari data sekunder yang secara tidak langsung membicarakan masalah yang akan diteliti, namun masih relevan untuk dikutip sebagai pembanding.
Adapun prosesnya adalah melalui penelaahan kepustakaan yang telah diseleksi agar sesuai dengan kategorisasinya dan berdasarkan content analisys (analisis isi). Kemudian data tersebut di sajikan secara deskripsiptif.
4.      Analisis Data.
Metode yang dipakai dalam menganalisa data agar diperoleh data yang memadai adalah dengan menggunakan analisa data kwalitatif, dalam operasionalnya data yang diperoleh digeneralisir, diklasifikasikan kemudian dianalisis dengan menggunakan penalaran induktif dan deduktif[27]. Deduktif merupakan penalaran yang berangkat dari data yang umum ke data yang khusus. Aplikasi dari metode tersebut dalam penelitian ini adalah bertitik tolak dari gagasan tentang realisme sosialis dalam novel tretalogi Pram. Sementara induktif adalah penalaran dari data yang khusus dan memiliki kesamaan sehingga dapat di generalisirkan menjadi kesimpulan umum.
Untuk memperoleh suatu hasil penelitian yang valid secara ilmiah dalam sebuah penulisan karya ilmiah, tentu saja di perlukan metode sebagai sarana untuk memperoleh akurasi data yang dapat di pertanggung jawabkan secara akademis serta menghasilkan karya ilmiah yang sistematis. Demikian pula dengan penelitian ini. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain ;
  1. Deskriptif
Yaitu metode dengan memaparkan isi naskah. Pemaparan ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi detail-detail dari suatu peristiwa atau pemikiran tokoh (deduktif)[28]. Juga dipakai corak induktif yakni dengan menganalisis keterkaitan semua bagian dan semua konsep pokok satu persatu. Disini akan diuraikan secara teratur aspek realisme sosialis dalam karya Pram. 
  1. Interpretasi.
Metode interprestasi yaitu metode untuk menyelami data yang terkumpul untuk kemudian menangkap arti dan nuansa yang dimaksud tokoh secara khusus. Di sini akan diselami arti, makna dan konsep realisme sosialis yang terkandung dalam karya Pram.
  1. Kesinambungan Historis.
Metode ini dipakai untuk melihat beberapa faktor yang mengkonstruksi pemikiran sang tokoh (Pramoedya). Faktor tersebut bisa bersifat internal yang menyangkut latar belakang tokoh dan eksternal yang menyangkut pengalaman dan konteks zaman sang tokoh ketika membuat karya novel tetralogi. Termasuk di sini adalah konteks jaman dan tokoh dalam novel tersebut.



G. Sistematika Pembahasan.

Bagian ini menguraikan garis besar (out line) dari skripsi ini dalam bentuk bab-bab yang secara sistematis saling berhubungan. Sehingga ditemukan jawaban atas persoalan yang diajukan dalam penelitian ini. Penulisan skripsi ini disusun dalam lima bab yang terdiri dalam beberapa sub bab keempat bab ini disusun dengan sistematika sebagai berikut.
Bab pertama, adalah Pendahuluan yang akan memberi gambaran skripsi ini secara keseluruhan. Dalam bab ini berisikan uraian singkat mengenai Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Telaah Pustaka, Metode Penelitian, Kerangka Teori dan Sistematika Pembahasan.
Bab kedua, adalah sebuah upaya mengenal kehidupan dan kreatifitas Pram. Hal ini dilakukan sebagai satu upaya penelusuran atas latar belakang keluarga, pendidikan dan hubungannya dengan proses kreatifitas Pram dalam penulisan karyanya. Disamping itu juga di selidiki peran-perannya dalam masyarakat yang dianggap sangat mempengaruhi karya-karyanya.
Bab ketiga yang berisikan pembahasan menjelaskan tentang realisme Sosialis dalam pandangan Pram, dan sekelumit cerita yang mengandumg unsur Realisme sosialis dalam novel Tetralogi. Tidak kalah penting, kesinambungan novel tersebut dengan keadaan masyarakat yang  terjadi pada saat ini.
Bab keempat merupakan inti dari skripsi yaitu analisis realisme sosialis yang terkandung dalam novel Tetralogi.
Bab lima ini akan di  berikan sebuah kesimpulan akhir sebagai jawaban dari rumusan masalah yang diajukan dalam skripsi ini dan disertakan pula saran-saran sebagai masukan lebih lanjut setelah dilakukan penelitian.






















BAB II
BIOGRAFI PRAMOEDYA ANANTA TOER.

A. Selayang Pandang Perjalanan Hidup Pramoedya.

Pramoedya Ananta toer, anak sulung bapak Mastoer dan Ibu Oemi Saidah. Ayahnya yang lahir pada 5 Januari 1896[29] berasal dari kalangan yang dekat dengan agama Islam, seperti misalnya jelas dari nama orang tuanya, Imam Badjoeri dan Sabariyah. Ayah Mastoer menjadi naib di sebuah desa di Kediri: mula-mula di Plosoklaten, Pare, kemudian di Ngadiluwih.[30]
Sedangkan ibunya adalah anak penghulu Rembang yang lahir pada tahun 1907 [31] dari selirnya, setelah melahirkan anak, selirnya itu diceraikan dan diusir dari kediaman penghulu. Anak selir itu bernama, Oemi Saidah, diasuh dalam keluarga Haji Ibrahim dan Hazizah. Saidah lulus HIS pada 1922, namun tidak mendapat izin melanjutkan studi ke Van Deventersscholl (sekolah kerajinan untuk gadis) di Semarang seperti yang diharapkannya, sebab sudah bertunangan dengan guru Toer yang tidak bersedia menunda perkawinan pak Toer yang umurnya baru 15 tahun.[32]
Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, jawa tengah 6 Februari 1925[33]. Pram begitu mencintai ibunya, menurut Pram ibunya dianggap sebagai “wanita satu-satunya di dunia ini yang kucintai dengan tulus, dikemudian hari menjadi ukuran Pram dalam menilai setiap wanita’ dan yang tidak kalah penting Pram juga mencintai neneknya, ibu kandung ibunya. Maka tidak heran jika banyak sekali dalam novel-novel Pram menampilkan tokoh perempuan.
Walaupun ayahnya menolak untuk menyekolahkan Pram, tetapi Pram masih sempat belajar kejuruan radio di Surabaya, berkat usaha ibunya yang mulai berdagang padi dan lain-lain. Namun pada hari ujian akhir terdengar kabar yang mengejutkan, pesawat terbang jepang menyerang pelabuhan Pearl Harbour, dengan demikian Perang Dunia II juga mulai berkobar di daerah Asia Timur dan Lautan Pasifik[34].
Pada 2 Maret 1942 tentara Jepang yang mendarat di pantai utara Jawa telah mencapai Blora. Tentara Belanda melarikan diri tanpa perlawanan. Pada awalnya tentara Jepang disambut dengan meriah oleh penduduk setempat. Karena pemerintahan Belanda tiba-tiba menghilang, terjadi semacam anarki, took-toko Cina dirampas dan serdadu  Jepang ikut mencuri barang-barang penduduk, dan melampiaskan hawa nafsunya. Namun dalam waktu beberapa hari tentara Jepang mengembalikan ketertiban umum dengan keras[35].
Pada awal penjajahan Jepang, Pak Toer dan keluarganya ditimpa musibah Ibu Oemi Saidah yang lama mengidap penyakit TBC sejak beberapa bulan semakin parah dan meninggal pada 3 Juni 1942.Satu hari kemudian disusul oleh anak bungsunya, Soesanti, yang baru berumur tujuh bulan. Pada saat peristiwa tersebut Pram tidak berada di Blora. Kematian ibunya bagi Pram merupakan kehilangan yang paling menyedihkan[36].
Pengalaman dengan orang disekitarnya pada waktu ibunya meninggal dan hal-hal yang terjadi sesudahnya menjadikan Pram kehilangan kepercayaan pada sesama manusia, dan Pram merasa tidak betah lagi di Blora. Pada saat ziarah ke kuburan ibunya, Pram pamit kepada almarhumah ibunya dan Pram berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi manusia yang lebih baik.

B. Setapak Sejarah Menuju Realisme Sosialis

Atas nasehat ayahnya, bersama adiknya, Pram berangkat ke Jakarta. Pram tinggal bersama pamannya. Pamannya juga yang mendaftarkan Pram ke sekolah taman Siswa, khusus Taman Dewasa (SLP) yang diakui oleh pemerintah Jepang. Pram cepat menyesuaikan bahasa Indonesianya, yang pada awalnya kejawa-jawaan, dengan logat Melayu[37].
Berkat ijazah mengetiknya, Pram diterima di kantor berita Jepang Domei sebagai juru ketik. Di tempat kerja pandangan Pram semakin luas. Pram sempat membaca berbagai macam informasi yang masuk redaksi. Keuntungan terbesar Pram adalah kesempatan memanfaat buku rujukan yang ada di ruang redaksi. Ensiklopedia belanda yang terkenal dengan nama Winkler Prins membuka matanya terhadap dunia ilmu pengetahuan[38].
Namun, hasil yang Pram Ananta Toer peroleh tidak memuaskannya. Karena tidak mempunyai ijazah sekolah menengah, Pram tidak dapat kenaikan pangkat. Pekerjaan di kantor semakin membosankan dan Pram mulai sadar bahwa pekerjaan baru sebagai stenograf sebab  Pram merasa menempuh karier sebagai hamba, bukan sebagai manusia bebas. Apalagi saat Pram diminta untuk mengerjakan sebagai stenograf buku baru Mohammad Yamin, mengenai Gajah Mada, Pram semakin memberontak karena merasa diperlakukan sebagai kuli. Sehingga Pram beberapa kali minta berhenti, namun tidak pernah dikabulkan. Pram lalu meninggalkan tugas tanpa seizin Jepang, dan hal tersebut dianggap sebagai dosa yang hanya bisa ditebus dengan jiwa, Pram kemudian melarikan diri lewat Blora , kemudian di Kediri tepatnya di desa Ngadiluwih.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Tetapi hal tesebut tidak serta merta diketahui oleh seluruh rakyat Indonesia. Pram kemudian pergi ke Ngadiluwih, di sana Pram mendengar kabar tentang kemerdekaan Indonesia. Lewat Kediri dan Surabaya Pram pulang ke Blora; di sana Pram menyaksikan pertunjukan drama tentang penjajahan Jepang yang berakhir dengan proklamasi 17 Agustus. Namun, Pram tidak lama tinggal di Blora, tergesa-tergesa Pram berangkat ke Jakarta, di mana Pram menyaksikan Jakarta dalam keadaan kacau; tentara Jepang praktis masih berkuasa; tentara Sekutu mulai tiba di Indonesia untuk mempertahankan ketertiban umum dan melucuti senjata tentara Jepang. Tetapi pemuda Indonesia yang curiga dan tidak sabar lagi mulai ‘bersiap’ untuk mempertahankan tata tertib dalam kampung masing-masing[39].
Pram juga ikut menggambungkan diri dengan pertahanan kampung. Ikut menyerbu tangsi marine Jepang, sampai akhirnya terkepung oleh tentara Australia. Pada Oktober 1945, Pram menggambungkan diri dengan BKR (Badan keamanan Rakjat) dan ditempatkan di Cikampek pada kesatuan Banteng Taruna yang kemudian menjadi inti divisi Siliwangi, sebagai prajurit II. Dalam waktu cepat meningkat jadi sersan mayor[40].
Pada 1 januari 1947 Pram berhenti dengan resmi dari tentara. Pram pada masih tinggal di Cikampek, menuggu gaji yang sudah 7 bulan tidak dibayar. Tetapi gaji tersebut tidak pernah dibayarkan. Dengan tanpa uang Pram menuju ke Jakarta dalam keadaan kelaparan, dan naik kereta api tanpa membeli karcis. Pada bulan yang sama[41].
Pada waktu upacara di Lapangan Merdeka, Pram hadiri bersama tunangannya seorang gadis yang Pram lihat pada tahun 1946 di Cikampek.  Pram melamar gadis tersebut ketika masih berada di dalam penjara, meskipun dengan ‘bersyarat’, namun lamaran itu diterima. Setelah pembebasannya, Pram mengunjungi rumah gadis tersebut kemudian tinggal di sana. Pernikahan  dilangsungkan karena Pram merasa sanggup membina masa depan, sebab namanya mulai terkenal, cerita pendeknya makin laris, lagi pula Pram juga memenangkan hadiah pertama pada novel Perburuan, yang besarnya seribu rupiah, dalam sayembara Balai Pustaka. Perkawinannya dilangsungkan pada 13 Januari 1950. Namun akhirnya mereka bercerai, setelah sekian lama membina rumah tangga[42].
Pada pekan buku Gunung Agung, September 1954, Pram berkenalan dengan Maimunah, anak H.A. Thamrin, saudara kandung nasionalis terkenal Mohammad Husni Thamrin. Dengan cepat Pram berhubungan akrab. Kemudian Pram menikah dengan Maimunah, wanita yang membawa kebahagiaan dan harapan baru dalam hidup Pram. Maimunah ternyata berani menempuh hidup yang sangat bergejolak dengan Pram, Maimunah tabah membela dan memperjuangkan suami dan keluarganya, juga dalam kemalangan dan kesusahan yang paling berat yang menimpa Pram, dan sampai sekarang ibu Maimunah setia mendampingi Pram[43].
Pengalaman pertama dari segi perkembangan kepengarannya dihayati oleh Pram sebagai sesuatu yang penting dan juga positif. Pada masa suram tersebut ada undangan dari Senat Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia, untuk memberi ceramah pada Simposium untu HUT ke-5, yang diadakan pada 5 Desember 1954. Undangan itu disampaikan kepada Pram oleh ketua senat Bagi Pram sebagai orang tidak mengenyam pendidikan, tugas itu merupakan ujian berat, namun Pram mendapat bantuan moril karena ibu Maimunah pada kesempatan itu mendampinginya. Tampilnya cukup berhasil dan memperkuat rasa percaya diri Pram[44].
Kehidupan Pram dengan pernikahan yang kedua ini membaik. Setelah bulan mereka mendapat rumah yang lumayan, anak pertama hasil pernikahan keduapun lahir, disusul dengan anak yang kedua, dan yang penting juga kontak social, terutama dengan dunia kepengarangan makin berkembang. Orang yang paling sering mengunjunginya ialah A.S. Dharta, penulis marxis, yang aktif dalam Lekra sejak didirikan (1950). Pram mulai membuka mata bagi pentingnya politik, juga dalam dunia seni.
Peristiwa yang amat menentukan bagi Pram berlangsung pada Juli 1956. Pram mendapat kunjungan wakil kedutaan Cina yang membawa undangan menghadiri peringatan hari wafat kedua puluh Lu Hsun, pengarang revolusi Cina yang terkenal. Dengan persetujuan dr. Prijono, menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada masa itu, Pram menerima baik undangan itu. Perjalanan di Cina pada Oktober 1956 menimbulkan kesadaran baru bagi jiwanya[45].
Karena perjalanan tersebut orang mulai menuduhnya memihak komunis, bahkan telah menjadi komunis. Semangat baru yang diperoleh berkat pengalaman di Cina mendorongnya menjadi aktif di Indonesia, ketika berita mengenai konsepsi Presiden Soekarno tentang demokrasi terpimpin mulai tersiar, Pram menulis karangan yang mendukung politik presiden, dalam Bintang Merah 24 Febuari 1957, yaitu organ resmi PKI. Kemudian bersama Henk Ngantung dan Kotot Sukardi, Pram mengorganisasikan kelompok seniman, lalu pada Maret 1957, mereka bertiga memimpin delegasi besar menghadap presiden, menyatakan dukungan bagi konsepsi tersebut[46].
Sejak itu, Pram mulai terkenal aktif di bidang politik. Pram diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Golongan Fungsional Kementrian Petera (Pengarahan Tenaga Rakyat). Dalam kapasitas itu Pram melakukan peninjauan kerja bakti di Banten; kerja bakti itu bertujuan ‘memperbaiki jalan yang melintang dari utara sampai selatan Karesidenan Banten, sepanjang 65 km’.
Sebelumnya, Pram sudah aktif di bidang lain; Pram ikut mendirikan Panitia Nasional untuk konfrensi pengarang asia afrika, dengan sokongan sebagai instansi pemerintah. Pada 7 September 1958, delegasi yang dipimpin oleh Pram berangkat ke Tasjkent, tempat konfrensi diadakan; nampaknya Pram memainkan peran yang cukup penting dalam penyusunan resolusi dan rencana kerjanya. Seusai konfrensi itu, Pram mengunjungi berbagai tempat di Uni Sovyet dan Cina, kemudian pulang lewat ibu kota Myanmar, Rangoon, di mana Pram bentrok dengan staf Kedutaan R.I. yang menurut Pram tidak bersedia membantu dan melayaninya dengan baik.
Sekembalinya di Indonesia Pram untuk pertama kalinya dilibatkan secara resmi dalam Lekra: dalam kongres nasional Lekra yang di adakan di Solo antara 22 dan 28 Januari 1959, Pram terpilih sebagai anggota pimpinan pleno. Sejak itu namanya tidak lepas lagi dari organisasi kebudayaan yang berada di bawah naungan PKI.  Hal itu terutama tampak dalam pembentukan Fron Nasional di mana PKI dengan resmi diikutsertakan dan dalam tekanan makin kuat pada konsep Nasakom. Kongres Solo membawa juga pergeseran fundamental dalam garis policy Lekra. Pada kongres itu pimpinan PKI, Nyoto, dalam cermahnya dengan judul ‘Revolusi adalah Kembang Api’ mengemukakan bahwa politik harus menjadi pedoman di segala bidang kehidupan, termasuk kebudayaan. Pada tahun berikutnya, Lekra mengambil alih semboyan ‘Politik adalah Panglima’. Nyoto sebagai dasar keyakinan budayanya, dan Pram menjadi penyambung lidah ideologi kebudayaan, antara lain lewat kegiatannya sebagai redaktur Lentera, lampiran kebudayaan harian Bintang Timur[47].
Tetapi sebelum sempat memainkan peran terkemuka di bidang kebudayaan, khususnya lesusastraan revolusioner, Pram masih harus mengalami penderitaan yang pernah Pram sebut sebagai siksaan terberat dalam hidupnya, yaitu penahanan dalam penjara selama sembilan bulan disebabkan oleh terbitnya bukunya Hoa Kiau di Indonesia. Buku yang keluar pada Maret 1960 itu merupakan suntingan kembali sembilan surat terbuka yang di terbitkan Pram dalam Berita Minggu pada masa November 1959-an Februari 1960. surat-surat itu ditulis’ sejak terjadinya gegeran Hoakiau di Indonesia[48].
Sejak 1956, makin banyak terdengar suara anti Cina di Indonesia; latar belakang sikap itu bermacam-macam: ada anasir rasialis yang secara laten selalu hadir, ada aspek ekonomi, sebab orang Cina makin mengasai kehidupan ekonomi. Khususnya setelah orang Belanda diusir dari Indonesia, berkaitan dengan itu ada juga perasaan agama, khususnya di kalangan pedagang muslim yang merasa terancam oleh persaingan Cina. Menteri Perdagangan Indonesia pada 14 Mei 1959 mengumumkan keputusan bahwa izin berdagang bagi pedagang kecil asing yang bekerja di luar kota-kota besar mulai 31 Desember 1959 tidak akan diperpanjang lagi. Keputusan tersebut menimbulkan situasi yang cukup tegang; di Indonesia sendiri terjadi bentrokan antara kaum kiri, khususnya PKI yang membela Cina dengan partai Islam dan golongan lain yang disokong tentara. Pimpinan angkatan darat dalam situasi ini ini melihat kemungkinan memecahkan kekuasaan ekonomi orang Cina, PKI dapat dihantam. Presiden Soekarno menghadapi situasi bagai buah simalakama: memusuhi RRC dan mengecewakan komunis dalam negeri yang begitu loyal mendukung politik Manipol-nya, atau menghapuskan keputusan Menteri perdagangan yang berarti konflik dengan tentara dan masyarakat Islam. Soekarno tidak dapat tidak memilih alternative pertama, pada tanggal 16 November dikeluarkan peraturan presiden no. 10 yang mewajibkan semua pedagang dan usahawan kecil Cina di daerah pedesaan menutup usahanya per 1 Januari 1960. Lagi pula di Pulau Jawa Barat tentara cukup keras memaksa implementasi peraturan itu: orang Cina tidak hanya dipaksa menutup tokonya, melainkan juga dilarang tinggal di daerah itu dan bahkan dengan terpaksa mulai di boyong ke kota-kota[49].
Pram dalam Hoa Kiau di Indonesia memihak orang Cina tanpa syarat. Namun, bukunya bukan pertama-tama polemik politik. Pram menganggap cukup mengambil pendirian demi tujuan atau ideology politik; Pram mendalami sejarah masalah orang Cina di Indonesia dengan memanfaatkan banyak sumber ilmiah dan lain-lain. Dengan panjang lebar Pram menguraikan aspek-aspek positif kehadiran mereka di Indonesia sejak berabad-abad dan sumbangan sangat berarti diberikannya pada ekonomi dan kehidupan social dan budaya. Pram tidak lupa menekankan peran banyak orang Cina sebagai kawan rakyat Indonesia dalam perlawanan menentang penjajah asing. Pram mengakui bahwa ada juga aspek negatif; di antara orang Cina dulu dan sekarang di Indonesia. Memang ada orang Cina dengan mentalitas kolonial dan imprealis, tetapi ‘kejahatan ada pada setiap bangsa, menurut pertimbangan kesejarahan Pram, aspek positif kehadiran Cina di Indonesia jauh melebihi aspek negatifnya. Yang paling penting: peraturan dan tindakan pemerintah membahayakan persahabatan rakyat Indonesia dengan rakyat Cina.
Dalam uraiannya Pram menyatakan aspek kepartaian atau politik praktis tidak menonjol. Alasan terpenting Pram dapat disimpulkan sebagai berikut: pertama, demi perikemanusiaan, kedua, demi keadilan orang Cina yang sudah lama berada di Indonesia berhak tetap tinggal dan bekerja di daerah pedesaan. Ketiga, sumbangan ekonomi sangat positif yang diberikan orang Cina sebagai perantara dengan menyediakan modal dan kemahiran yang esensial di tingkat pedesaan.  Terutama, kesolideran yang mutlak perlu antara rakyat Indonesia dan Cina dalam perjuangan melawan imprealisme dan kolonialisme.[50]
Yang pasti ikut menentukan pendirian pro-Cina Pram dan mendorongnya membela orang Cina ialah simpati dan kekaguman Pram terhadap rakyat cina yang dirasakan Pram sejak kunjungannya di Peking pada 1956 dan yang diperkuat lagi pada kunjungan kedua, pada Oktober 1958.  Pram kemudian bersama kawannya dari Cina, menerjemahkan buku Salah Asuhan, dan penerbitan buku tersebut mengakibatkan karya Pram dilarang, pada April 1960. Pram sendiri ketika itu masih sempat ke luar negeri, namun sekembalinya Pram dari luar negeri, Pram segera dipanggil oleh Peperti (Penguasa perang tertinggi), diinterogasi oleh Kolonel Sudharmono (yang kemudian menjadi wakil presiden). Pram kemudian disekap selama dua bulan di rumah tahanan militer di Jakarta, pemeriksaan berikutnya Pram dituduh menjual Negara pada RRT. Setelah pemeriksaan oleh Sudharmono, Pram dipindahkan ke penjara Cipinang. Pram ditempatkan dalam sel yang tidak manusiawi, di tengah-tengah orang yang melakukan tindakan kejahatan dan orang gila, sehingga Pram praktis hidup terisolasi dari sesama manusia. Sewaktu di Cipinang baru datang surat panahanan dari jenderal Nasution; keluarga Pram tidak pernah diberitahu. Namun, isterinya yang mengandung tua akhirnya berhasil menemukannya, dan setelah isterinya melahirkan,  isterinya memberitahu penahanan Pram pada masyarakat. Tetapi selama di penjara Pram tidak menerima tanda simpati dari siapapun juga[51].
Setelah dibebaskan dari penjara Cipinang Pram cepat mengambil alih kedudukan terkemuka di panggung sastra Indonesia. Mulai 16 Maret 1962 pramoedya bersama S. Rukiah menjadi redaktur rubrik kebudayaan Bintang timur[52] yang berjudul Lentera. Rubrik yang pada awalnya hanya setengah halaman itu kemudian diperluas menjadi satu halaman, bagian terbesar pada edisi hari Minggu terbit disunting oleh Pram. Lentera menjadi media utama tulisan Pram yang pada periode 1962-1965 menjadi media Pram untuk mengemukakan ide-idenya tentang pengajaran sastra Indonesia yang menurut pendapat Pram harus dirubah total.[53]
Minatnya untuk pengajaran sastra juga dibangkitkan sejak 1962 Pram memberi kuliah sastra Indonesia pada fakultas sastra Universitas Res Publica. Tentang masalah bahasa Indonesia, Pram menulis esai panjang yang berjudul ‘Bahasa Indonesia sebagai bahasa revolusi Indonesia’ yang terdiri atas atas II bagian dalam Lentera antara Sepetember 1963 dan April 1964. Rangkaian karangan panjang lain berjudul ‘Bagaimana kisah dikibarkannya humanisme universal’, yang terutama meneliti asal usul sastra angkatan 45[54].
Pram juga menulis tentang sejarah awal gerakan nasional Indonesia. Salah satu tokoh sejarah gerakan nasional yang diambil oleh Pram adalah Raden Mas Tirto Adhisoerjo  sebagai pelopor jurnalistik Indonesia. Tulisan Pram selama kurang dari empat tahun sangat menakjubkan atas daya kerja dan cipta, demikian pula motivasinya dan energi autodidaknya. Terutama bahwa kebanyakan tulisannya berdasarkan pada penelitian data yang sukar didapat. Hal ini disebabkan karena Pram pernah menjadi dosen Universitas res Publica, dan aktivitasnya pada Akademi Bahasa & Sastra Multatuli yang ikut didirikan Pram pada 1963[55].
Selama periode itu, tulisan Pram makin polemis dan provokatif dari segi gaya dan isinya. Perjalanan pertama ke Peking membawa perubahan mendalam dalam gaya dan pikiran Pram. Manifestasi pertama Pram di tulisannya yang berjudul ‘Ke arah sastra revolusioner’ yang terbit sesudah Pram kembali dari Peking. Di dalam tulisannya dikatakan bahwa perlu ada perintisan jalan baru ke arah sastra ‘revolusioner’. Konsekuensinya revolusi ‘adalah pembasmian tanpa batas.’ Sekarang harus ada front antara tenaga-tenaga revolusioner dan yang anti pada tenaga revolusioner, sehingga perjuangan makin sengit[56].
Ide bahwa waktunya telah datang untuk konfrontasi total menjadi makin jelas dalam karya kritis Pram yang kemudian; ide itu pasti diperkuat lagi oleh pengalaman Pram selama dalam penjara pada 1960. Kompromi sudah tidak mugkin lagi, sekarang sudak waktunya memukul dan menyerang terus menerus. Ide-ide dan tulisan Pram semakin dipengaruhi dengan ideology Lekra dan garis besar PKI. Walaupun disangsikan sejauh mana Pram dilihami oleh ajaran komunisme yang resmi. Karya Marx tidak pernah dibaca Pram, dengan pimpinan PKI Pram jarang bertemu, kalaupun bertemu Pram bentrok dengan mereka tentang masalah politik. Soekarno pun tidak begitu simpati dengan Pram.[57]
Sebenarnya hanya ada satu risalah panjang yang membicarkan masalah ideology dalam satra secara eksplisit dan teori, yaitu prasaran yang disajikan di depan Seminar Sastra, Universitas Indonesia, 26 Januari 1963. Tetapi dalam karya yang sangat panjang ini pun ideology dan teori terbatas pada ringkasan beberapa ide Maxim Gorki, yang sejak lama menjadi idola dan pelopor besar bagi Pram. Tulisan utama Pram adalah: realisme sosialis berdasarkan humanisme sosialis atau humanisme proletaar, yang bertentangan dengan yang di Indonesia disebut humanisme universal, yang sebenarnya humanisme borjuis. Yang terakhir dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk mentralkan aspirasi patriotic dan melancungkan cita-cita revolusi. Realisme borjuasi itu akhirnya memanfaatkan realitas untuk memenekan idealisme, yang menjauhkan seniman muda dari realitas social, dan membawa mereka ke pesimisme dan negativisme. Sebaliknya realisme sosialis adalah optimis dan menentang dengan militan kapitalisme dan imprealisme serta memperjuangkan rakyat. Dan memberantas penderitaan dan penindasaan.
Berdasarkan teori tersebut kemudian Pramoedya memberi survai sejarah sastra Indonesia, yang sangat bertentangan dengan sejarah yang ‘mapan’ pada masa ini. Kriteria utama sejarah sastra baginya ialah sejauh mana karya-karya sastra membayangkan penderitaan rakyat dan perjuangan menentang penindasan.
Manikebu diumumkan pada September 1963 dalam majalah Sastra sebagai manifesto sekelompok budayawan, yang bertentangan dengan pemahaman Lekra. Konfrontasi itu di perhebat lagi sekitar Konfrensi Karyawan Pengarang se-Indonesia (KKPI), yang diselenggarakan di Jakarta pada awal maret 1964 dan yang didukung oleh berbagai badan dan organisasi non-komunis dengan bantuan angkatan darat. Setiap minggu Lentera melancarkan serangan seru tidak hanya pada ideology kontrarevolusioner para ‘manikebuis’, melainkan sering juga pada aspek kehidupan pribadi mereka. Karena PKI dan Lekra juga makin berkuasa dalam politik, usaha penentang Manikebu ternyata efektif. Presiden Soekarno secara resmi melarang Manikebu pada 8 Mei 1964, izin terbit majalah Sastra sebagai corong Manikebu dicabut.[58]
Dalam pertentangan ideologi yang semakin tajam itu Pram memainkan peran dominan. Dengan penanya sebagai senjata yang ampuh dengan suaranya yang lantang, Pram terus menerus giat ‘membabat’ dan ‘menghantam’ musuh yang tidak kunjung menyerah.[59]
Pada 9 Mei 1965, Pram menulis karangan dalam Lentera dengan judul ‘Tahun 1965 Tahun Pembabatan Total’. Sejarah memang ada ironinya. Judul tersebut ternyata dalam arti yang terbalik dengan yang dimaksudkan oleh Pram. Pada 30 September 1965, Gestapu sesungguhnya membawa pembabatan total terhadap PKI, Lekra dan penganut-penganutnya, bukan hanya pembabatan vocal, melainkan juga pembabatan fisik. Peristiwa itu juga dengan sendirinya membawa kehancuran bagi Pram.
Pram mulai bekerja pada ‘The Voice Of Free Indonesia sebagai redaktur bagi penerbitan Indonesia; beberapa bulan kemudian Pram mendapat tugas memimpin bagian tersebut, sebab pemimpin umum redaksi  koran The Voice Of Free Indonesia tersebut ditangkap oleh NICA karena terlibat dalam gerakan bawah tanah.
Pada saat itu Pram juga berkenalan dengan H.B. Jasin, redaktur majalah Pantja Raja, yang menerbitkan dua cerpen Pram, masing-masing berjudul Kemana?dan Si Pandir. Tetapi kebebasan tidak berlangsung lama. Pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda mulai melakukan agresi militer pertama. Pram mendapat order dari atasannya untuk mencetak dan menyebarkan pamphlet-pamflet dan majalah perlawanan. Tetapi dua hari kemudian Pram tertangkap oleh marinir Belanda.[60]
Ini pertama kali Pram berkenalan dengan kehidupan penjara, pengalamannya bermacam-macam. Karena Pram menolak kerja paksa, Pram dijatuhi siksaan yang sangat kejam, dan adakalanya rejim penjara amat bengis. Tetapi ada juga segi positifnya, antara lain Pram bisa berkenalan dengan Profesor Mr. G.J. Resink, guru besar hukum tata negara pada fakultas hukum yang menjadi bagian Universitas Indonesia. Di samping ahli hukum, Resink juga sejarawan yang terkemuka serta penyair dan esais dalam bahasa Belanda. Perkenalan yang membuahkan persahabatan seumur hidup: jilid pertama Tetralogi, Bumi Manusia, dipersembahkan kepada ‘Han’, yaitu Resink.
Selama dalam penjara, Pram tidak hanya sempat menulis dan belajar bahasa Inggris, Pram belajar juga ekonomi, sosiologi, sejarah filsafat, dan kursus kepustakaan dan perhitungan dagang. Namun, meski kreativitas Pram berkembang terus selama dalam penjara, sudah tentu dua setengah tahun sebagai tahanan itu bukan merupakan masa berbahagia dalam riwayat hidupnya.[61]
Akhirnya Desember 1949, Pram dibebaskan bersama kelompok tahanan yang terakhir. Namun, pengalaman awal yang sangat menggembirakan. Peristiwa yang amat emosional dan membanggakan, yang dihadirinya sendiri, adalah penurunan triwarna Belanda dan penaikan dwiwarna Indonesia di depan Istana merdeka.
Nampaknya dengan demikian secara tragis berakhir masa jaya Pram sebagai tokoh terkemuka di dunia kesastraan Indonesia. Pada awalnya Pram diringkus di penjara Salemba, lalu disekap dalam penjara di Tangerang, selama empat bulan Pram dikembalikan lagi ke Salemba, sampai Juli 1969. Pada bulan itu Pram dipindahkan ke penjara Karangtengah di Nusa Kambangan, tempat penjahat berat dipenjarakan sejak zaman colonial. Di Nusa Kambangan Pram hanya sebentar, atau bisa dikatakan hanya transit. Pada tanggal 16 Agustus Pram bersama ribuan sesama tapol (tahanan politik) diboyong ke Pulau Buru.[62]
Di Buru Pram terpaksa tinggal lebih dari sepuluh tahun. Kehidupan yang pahit dan pengalaman sebagai tapol, terpisah dari keluarga dan terasing dari dunia sastra Indonesia, Pram ceritakan dalam Nyanyian Sunyi Seorang Bisu. Saat terpenting selama sepuluh tahun ketika Pram pada akhirnya bisa menerima mesin tulis dan mendapat izin untuk menulis (1973)[63], tulisannya saat itu tidak  mempunyai arti besar bagi pengarang sendiri, melainkan juga sastra Indonesia dan dunia, sebab selama tahun-tahun berikutnya Pram sempat menyelesaikan naskah empat jilid Karya Buru, Arus Balik, dan beberapa karya lain. Hal itu dimungkinkan oleh solidaritas rekan-rekan Pram yang membebaskan Pram dari tugas kerja lain, sehingga Pram dapat membaktikan diri sepenuhnya pada tulisannya.
Baru pada akhir 1979[64] Pram dilepaskan, Pram berangkat dengan rombongan terakhir. Sejarah terulang lagi, sebab tiga puluh tahun sebelumnya Pram juga termasuk kelompok tahanan terakhir yang dibebaskan dari penjara Belanda. Akhirnya Pram dibebaskan di Semarang dan Pram diizinkan pulang keluarganya di Jakarta yang sejak 14 tahun.
Sejak itu Pram ‘bebas’ dari penjara, tetapi kebebasan yang Pram dapatkan, hanya kebebasan semu. Ruang geraknya sebagai warga Indonesia sangat terbatas. Seperti kebebasan berbicara, menulis juga terus menerus di brendel. Jadi selama 16 tahun terakhir ini Pram praktis tahanan kota. Hidup sosialnya sebagai anggota masyarakat Indonesia tidak dapat dilangsungkan lagi, apalagi dikembangkan, Pram tidak dapat aktif ikut di dunia sastra.
Namun, tidak berarti riwayat hidup Pram telah berakhir. Secara paradoksal dapat dikatakan bahwa kehadiran Pram di Indonesia masih tetap terasa, bahkan ada kalanya menonjol. Dalam tahun berikutnya dunia sastra kaget denga terbitnya dua buku, Bumi Manusia dan Anak semua Bangsa, buah tangan dari pulau Buru. Roman sejarah tersebut langsung meraih sukses besar, dalam waktu singkat sejumlah cetakan ulang diperlukan, kritik menanggapi buku itu cukup antusias, walaupun ada juga yang keras menolaknya. Di luar negeri Pram yang sebagai tapol menjadi lambang demi hak asasi manusia sekarang menjadi terkenal juga sebagai satrawan berkaliber internasional. Bukunya  juga terbit dalam bahasa Malaysia, demikian pula dalam bahasa asing, pertama-pertama Nederland, kemudian bahasa Inggris, dan entah berapa bahasa dunia lain. Namun, di Indonesia pada Mei 1981 kedua buku itu di larang peredarannya oleh Jaksa Agung, dan nasib yang sama menimpa dua jilid berikut dari tetralogi Karya Buru, masing-masing berjudul Jejak langkah (1985) dan Rumah Kaca (1988).[65]
Peran publik dalam kehidupan sastra ternyata tidak mungkin bagi Pram, ketika pada 1981 Pram memberikan ceramah di fakultas sastra UI atas undangan Senat Mahasiswa, tentang ‘Sikap dan peranan kaum intelektual di Dunia Ketiga, khususnya di Indonesia’. Pram diusir dengan tertulis oleh Dekan. Diinterogasi oleh Satgas Intel selama seminggu, anggota Senat yang dianggap bertanggung jawab dipecat dan dipenjarakan. Namun, Pram makin mendapat pengakuan dan penghargaan internasional. Karya Buru diterjemahkan ke dalam bahasa asing, Barat maupun Timur. Pram diangkat sebagai anggota kehormatan Pusat PEN di berbagai negeri, Australia, Swedia, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan pada 1988 Pram menerima ‘Freedom to Write Award’ dari organisasi PEN di Amerika Serikat. Pram juga di calonkan untuk Hadiah Nobel Sastra.[66]
Masih ada beberapa buah tangan Pram lain yang terbit, kebanyakan riset histories yang dilakukan sebelum 1965: antologi ‘sastra pra-Indonesia’, dengan judul Tempo Doeloe (1982): biografi Tirtho Adhi Soerjo Sang Pemula dengan antologi tulisan pelopor jurnalistik Indonesia (1985), yang juga sejarawan internasional diakui sebagai sumbangan penting pada penulisan sejarah  masa awal gerakan Indonesia.[67]
Dalam dasawarsa ini pun masih terbit dua buku yang meriwayatkan pengalaman dan observasi Pram selama di Buru pertama-tama diterbitkan dalam terjemahan Belanda,  jilid pertama kemudian terbit dalam bahasa Indonesia Nyanyian Sunyi Seorang Bisu pada kesempatan hari ulang tahun Pramoedya yang ke-70 pada 6 Februari 1995, tetapi segera dilarang. Buku ini merupakan semacam kolase, sebagian bersifat factual mengenai nasib Pram sendiri dan sesama tahanan di Buru, sebagian lagi perenungan dan observasi yang bermacam-macam. Bagian kedua, yang versi aslinya belum diterbitkan, mengenai sejumlah surat Pram ditujukan buat anak-anaknya, tetapi tidak pernah dikirimkan.
Sekali lagi Pram menjadi pusat hebohnya sastra besar di Indonesia yang terjadi pada tahun 1995, ketika Pram dianugerahi ‘ Roman Magsaysay Award for Jurnalism, Literature, and Creative Communication Arts’ di Manila. Pengurus yang bersangkutan memberikan kehormatan yang disertai hadiah UU$ 50.000, kepada Pram berdasarkan jasanya sebagai pengarang.
Penganugerahan hadiah Magsaysay menimbulkan prahara protes di Indonesia di antara sejumlah sastrawan dan budayawan, di antaranya Rendra, H.B. Jasin dan lain-lain. Menunjukkan pernyataan bersama kepada yayasan Hadiah Ramon Magsaysay sebagai protes terhadap keputusan yayasan dan mendesak membatalkan putusan itu.[68]
Di anggap sangat ironis bahwa hadiah yang memakai nama, Magsaysay, yang seumur hidup memperjuangkan demokrasi dan hak asai manusia, sekarang diberikan kepada penulis yang selama periode ikut memimpin Lekra terbukti anti demokratis dan ikut menindas hak. Ketika ternyata pengurus yayasan tidak menerima protes tersebut.
Di Indonesia terjadi dua front, satu pro dan satu kontra Pram. Tiga budayawan terkemuka yang tidak mau menandatangi pernyataan itu, misalnya Ajip Rosidi, Goenawan Mohamad, dan Arief Budiman, kedua yang terakhir dulu juga penandatangan Manikebu, yang menjadi terror dan penindasan oleh Lekra.[69]
Bagi Goenawan alasan penting untuk tidak menandatangi pernyataan protes adalah Pram masih belum bebas, belum dipulihkan hak-hak sipilnya, masih ada pelarangan terhadap bukunya, pelarangan bepergian ke luar negeri dan lain-lain.[70]
Heboh sastra terbaru ini membuktikan, kontroversi lama tetap ada, Pram tetap keras kepala menolak bertobat dan minta maaf atas kelakuannya sebagai pemuka Lekra. Pram tetap penuh amarah terhadap kelakuan yang telah Pram derita selama 20 tahun lebih. Lawannya tidak kurang mendalam rasa dendamnya atas teror pihak Lekra yang mereka derita, dengan Pram sebagai pemukanya yang paling vocal. Dan di tengah-tengah ada pihak ketiga, dengan Goenawan Mohammad sebagai wakil terkemuka, yang berseru kepada kedua kubu agar mereka menepikan rasa curiga.
Demikianlah Pram tetap berada dalam situasi paradoksal. Pada  satu pihak Pram terpaksa hidup sebagai paria yang sudah tiga puluh tahun lebih kehilangan hak asasinya sebagai manusia dan warga Negara Indonesia, tanpa pernah diadili dalam proses hukum yang pantas, dan dipaksa bungkam, tanpa diberi kesempatan membela diri di muka umum. Pada pihak lain Pram tetap hadir, di Indonesia maupun dunia Internasional, sebagai tokoh raksasa, yang tingkah lakunya di masa lampau kontroversial, tetapi yang keunggulannya sebagai sastrawan diakui oleh seluruh dunia.

C.   Sepenggal Cerita Lahirnya Novel Tetralogi

Pada akhir tahun 1980[71], Pram melahirkan karya awal dari rangkaian novel Tetralogi. Yaitu novel Bumi Manusia, yang pada saat itu Pram baru satu tahun keluar dari penjara di pulau buru. Sebenarnya ide menulis novel Tetralogi, sudah ada pada awal tahun 1960[72], tetapi baru diedarkan di masyarakat pada tahun 1980.
Kenapa novel tersebut perlu dibuat, karena Pram melihat pengajaran sekolah semata tidak cukup untuk membudayakan kecintaan bangsa pada sejarah pergerakan nasional untuk mencapai kemerdekaan. Dan Pram juga beranggapan semua ucapan tentang patriotisme, kecintaan pada tanah air dan bangsa, baik itu melalui pembicaraan, pidato, nyanyian atau pun deklamasi ini tinggal slogan tanpa isi, tidak edukatif, dan juga tidak jujur.[73]
  Untuk menyelamatkan novel Tetralogi, karena Pram menulis novel tersebut ketika masih di dalam penjara. Pram dibantu oleh sahabatnya yang bernama Prof. Mr. G.J. Resink, biasa di panggil Pram dengan “ Han”.[74] Karena Resink, yang juga menyelamatkan naskah Perburuan dan Keluarga gerilja. Resink, menyelundupkan naskah novel itu keluar penjara, demikian pula yang terjadi pada novel Tetralogi.[75]
Dalam pembukaan buku Bumi Manusia, Pram melegendakan nama sahabatnya tersebut. “Han, memang bukan sesuatu yang baru. Jalan setapak ini memang sudah sering ditempuh, hanya yang sekarang perjalanan pematokan.” Terasa sekali bahwa Pram merasa sangat berhutang budi, pada sahabatnya tersebut.
Novel Tetralogi tersebut terdiri dari empat jilid, jilid yang pertama berjudul Bumi Manusia, Anak semua bangsa, Jejak langkah, kemudian Rumah Kaca. Setiap jilid tersebut saling berkait satu sama lain. Empat novel tersebut, kira-kira berkisar sejumlah 1600 halaman. Makanya diperlukan pemisahan-pemisahan, sehingga pembaca tidak akan jenuh.
Tokoh protagonis dalam novel tersebut bernama Minke, namun sebenarnya tokoh Minke tersebut adalah perwujudan dari Tirto Adhi Suryo, nasionalis angkatan pertama, yang sampai waktu itu kurang mendapat perhatian dalam penulisan sejarah nasional[76], Tirtoadhisoerjo telah jadi wartawan pada usia 21 tahun, dan dia adalah wartawan pertama kali di Indonesia.
Minke, adalah anak priyayi tinggi. Pada masa riwayat ini berlangsung menjadi aggota keluarga semacam itu memberi hak istimewa kepada orang di tanah jajahan, asal ia bersedia menyesuaikan diri dengan tuntutan rangkap system: pertama, bersikap sesuai dengan hukum-hukum kebudyaan priyayi dan kedua, tunduk pada kemauan penguasa kolonial yang memanfaatkan golongan priyayi Jawa untuk mempertahankan kekuasaan dan kewibawaannya dengan kekuatan fisik yang  minimal. Atas dasar tersebut anak priyayi di perbolehkan masuk sekolak terbaik yang dimiliki kolonial.
Proses belajar Minke berlangsung cukup lama, berliku dan berbelit-belit. Minke sekolah ditengah-tengah orang Belanda, yang selalu bersikap rasialis. Namun dari sekolah tersebut Minke mempelajari ilmu pengetahuan Eropa, dan Minke terkagum-kagum. Tapi pada akhirnya Minke kecewa terhadap ilmu pengetahuan tersebut, terutama pada sistem hukum kolonial yang secara tragis merenggut istrinya. Pada waktu tersebut, Minke juga bertemu dengan guru bahasa Belanda yang termasuk aliran etis[77]. Dari sana minke sadar bahwa ada jurang tersebut bersifat rasial.
Semenjak awal Minke sendiri sudah mempertanyakan nasibnya sebagai golongan pribumi yang selalu dilecehkan. Sebagai contoh, antara kelahiran Minke dengan Sri ratu Wilhelmina mempunyai tanggal, bulan, serta tahun kelahiran yang sama, 31 Agustus 1880. perbedaannya hanyalah pada jam dan kelamin saja. Kalau berdasarkan perhitungan astrologi (perbintangan), jelas keduanya mempunyai nasib yang sama.[78]
Tetapi apa yang terjadi yang satu menjadi ratu sementara yang lain menjadi kawulanya. Dengan realitas social semacam ini, Minke pun sependapat dengan apa yang di katakan gurunya, Juffrouw Magda Peters yang merujuk pendapat Thomas Aquinas, bahwa astrologi tidak lebih sebagai lelucon belaka.
Kesadaran  sistem yang timpang bukan saja menimpa pada dirinya, tapi juga pada semua rakyat Indonesia. Apalagi bagi mereka yang secara status sosial tidak memiliki kedudukan, seperti petani. Hal tersebut sangat jelas diceritakan pada novel Anak Semua Bangsa, ketika suatu saat Minke bertemu dengan seorang petani bernama Trunodongso. Yang dipaksa menanam tebu pada tanah milkinya sendiri, dan ketika petani tersebut menolak maka keluarganya diusir dari tanahnya sendiri.
Sementara itu dalam jilid kedua novel terakhir, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Novel tersebut, bercerita tentang lahirnya SDI (Sarikat Dagang Islam), SDI adalah cikal bakal lahirnya SI (Sarekat Islam) di Indonesia. Kelahiran SDI disebabkan pedagang batik yang ada di Sala dan Yogya, untuk menangani perkelahian jalanan yang sering meledak antara kaum Tionghoa dan Jawa.
 SI adalah alat untuk melihat kabangkitan Bumiputera awal abad XX. Gerakan SI bertujuan untuk melawan sisten perdagangan kolonial Belanda. serpihan-serpihan keterasingan budaya perlawanan yang bebas masuk ke Hindia Belanda. SI inilah yang pertama kali melancarkan pemboikotan melalui metode kekerasan. Kiat gerakan ini telah membuatnya popular dan mendapat dukungan meluas bahkan hingga di luar kota Surakarta. Kekuatan pengaruh SI ini makin mengagumkan ketika terbit surat kabar yang bernama Oetoesan Hindia, sebagaimana Indische Party punya De Express. ISDV itu, berawal dari klub debat sosialis belanda yang didirikan oleh Henk Sneevlit tahun 1915, berorientasi pada peningkatan kualitas bumiputera dan pengoorganisiran kekuatan rakyat untuk melawan pres yang ada di Hindia Belanda.
Meski pada akhir cerita tokoh Minke tersebut akhirnya kalah, dan harus dipenjara oleh pemerintah yang berkuasa.
Gambaran pada novel Bumi Manusia, novel pertama dari tetralogi.  Di dalam novel tersebut Pram mencoba memotret kekaguman orang-orang jawa yang sangat terpesona pada kemajuan ilmu pengetahuan yang baru dilihatnya. Meski tidak semua orang Jawa kagum akan kemajuan ilmu pengetahuan tersebut, karena kemajuan tersebut tidak bisa dinikmati oleh semua orang Jawa. Karena yang bisa menikmati fasilitas tersebut adalah para priyayi, sebab untuk menikmati hal tersebut harus mengeluarkan kocek yang tidak sedikit. Dalam novel ini Minke juga bertemu dengan seorang Nyai yang bernama Ontosoroh, Nyai tersebut sangat kaya dan cerdas. Sehingga Nyai tersebut mampu mengasai tuannya, Nyai itu juga yang memberikan pengajran tentang revolusi Perancis yang membuka mata Minke melihat system feodal.
Namun dalam novel tersebut bukan hanya sebentuk kekaguman saja, tapi juga perjuangan untuk menentang ketidakadilan yang diciptakan sistem kolonialisme. Tetapi, ia pun tidak muncul sama sekali sebagai pemenang yang berhasil menumbangkan ketidak adilan dalam system ini, melainkan justru harus menghadapi kenyataan pahit: kalah dengan ditandai direbutnya Annelis dari sisinya. Novel ini ditutup dengan nada yang sangat pahit: “Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.” Justru dari akhir cerita yang seperti ini, pembaca dibuat menyadari adanya ketidak adilan dalam system kolonialisme[79].
Dalam novel jilid kedua dengan judul Anak Semua Bangsa, Minke bertemu dengan seorang Cina. Mereka sepasang kekasih, yang ternyata mereka berdua adalah pelarian dari negaranya karena berusaha melawan kaisar. Kedua orang Cina tersebut beraliran sosialis, untuk pertama kali Minke belajar tentang sosialisme. Hal tersebut juga didukung oleh Nyai Ontosoroh, justru Nyai Ontosoroh juga menyuruh Minke untuk menulis kepada media Belanda. Hingga pada akhir cerita jilid kedua ini, Minke diminta untuk mendirikan media sendiri yang berbahasa melayu. Sebab bahasa tersebut dapat di baca oleh setiap orang pribumi, sehingga lebih merakyat. Maka lahirlah media yang bernama Medan.[80]
Dalam jilid ketiga yang berjudul  Jejak Langkah, Minke mulai aktif menulis. Novel ini juga menggambarkan lahirnya organisasi-organisasi besar, yang mempengaruhi perjalanan perjuangan Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Seperti Boedi Oetomo, Serikat Dagang Indonesia, Serikat Islam dan masih banyak lagi. Hingga perjuangan-perjuangan organisasi-organisasi tersebut dan latar belakang lahirnya organisasi.
Hingga pada jilid keempat yang berjudul Rumah Kaca, di sini Minke mulai sadar bahwa alat perjuangan yang paling ampuh adalah jurnalistik, tetapi pada saat bersamaan gerak Minke mulai diawasi oleh Belanda begitu juga dengan organisasi-organisasi yang ada. Jadi Pram menggambarkan orang Indonesia pada saat itu seperti dalam kotak kaca, yang tiap gerak-geriknya diawasi oleh Belanda.

D.   Penghargaan Yang Diterima Pramoedya

1988: Freedom to Write Award dari PEN American Center, Amerika Serikat.
1989: Anugerah dari The Fund for Freee Expression, New York, Amerika Serikat.
1995: Wertheim Award, “for his meritorious services to the struggle for emancipation of the Indonesian people”, dari The Wertheim Foundation, Leiden, Belanda.
1995: Ramon Magsaysay Award, “for Journalism, Literature, and Creative Arts, in recognition of his illuminating with brilliant stories the hystorical awakening, and modern experience of the Indonesian people”, dari Ramon Magsaysay Award Foundation, Manila, Filipina.
1996: Partai Rakyat Demokratik Award, “hormat bagi Pejuang dan Demokrat Sejati” dari Partai Rakyat Demokratik.
1996: UNESCO Madanjeet Singh Prize, “in recognition of his outstanding contribution to the promotion of tolerance and non-violence”, dari UNESCE, Paris, Prancis.
1999: Doctor of Humane Letters, “in recognition of his remarkable imagination and distinguished literary contribution, his example to all who oppose tyranny, and his highly principled struggle for intellectual freedom”, dari University of Michigan, Madison, Amerika Serikat.
1999: Chanceller’s Distinguished Honor Award, “for his out standing literary archievements and for his contributions to etnic tolerance and global understanding”, dari University of California, Berkeley, Amerika Serikat.
1999: Chevalier de I’Ordre des Arts et des Letters, dari Le Ministre de la Culture et de la Communication Republique Francaise, Paris, Prancis.
2000: New York Foundation for the Art Award, New York, Amerika Serikat.
2000: Fukuoka Cultural Grand Prize, Jepang.
      





 
 





BAB III

REALISME SOSIALIS SEBAGAI 
PANDANGAN PRAMOEDYA ANANTA TOER DALAM NOVEL TRETALOGI


Bab ini akan menjelaskan tentang realisme sosialis siapa yang dipotret oleh Pram, dan dipengaruhi oleh siapa realisme sosialis yang dianut dalam aliran sastra Pram, hal tersebut sangat diperlukan untuk membelah gagasan-gagasan realisme sosialis menurut Pram yang terkandung dalam novel Tetralogi.
Sebenarnya hal tersebut tidak semudah disangka oleh penulis, karena dalam novel tersebut tidak secara terang-terangan menunjukkan makna sisi realisme sosialis, seperti yang dilakukan oleh Marxim Gorki seorang tokoh realisme sosialis yang menjadi panutan Pram. Novel tersebut berlatar belakang sebuah penjajahan, di mana penindasan yang dilakukan oleh feodalis sangat terasa di dalamnya.
Penulis mencoba menguak makna dari realisme sosialis dalam novel Tetralogi tersebut, dengan mengacu pada pemikiran Pram tentang realisme sosialis. Sehingga diharapkan tidak akan mengaburkan makna realisme sosialis, dan dapat pula memotret pemikiran realisme sosialisnya Pram dalam novel Tetralogi.
Dalam bab ini akan dibahas tiga persoalan yang terdiri dari  tiga sub, yaitu sub A, tentang Pramoedya Ananta toer dan Paradigma Realisme Sosialis dalam Sastra. Sub B, tentang Pandangan Pramoedya tentang Realisme Sosialis dalam Novel Tetralogi dan sub bab C, tentang  Faham Realisme Sosialis dalam Realitas Empirik.

A.    Pramoedya Ananta Toer dan Paradigma Realisme Sosialis dalam Sastra.

Pemikiran Pram tentang realisme sosialis, sebenarnya punya tujuan satu, yaitu untuk membangun masyarakat yang ideal. Masyarakat tanpa penindasan, masyarakat yang merdeka. Dalam arti terpenuhinya hak-hak sebagai manusia, seperti yang diharapkan oleh sosialisme. Yaitu manusia yang sama rasa sama rata dan karsa (keinginan).
Namun untuk memperjelas pola pikir Pram tentang realisme sosialis, perlu dipertegas lebih dahulu tentang sejarah lahirnya realisme sosialis, dan makna yang terkandung di dalamnya.
Istilah tersebut lahir pertama kali di Uni Soviet[81], sebagai penerapan sosialisme di bidang kreasi-sastra. Sastra yang mempergunakan metode ini karena realisme sosialis adalah metode di bidang kreasi (seni) untuk memenangkan sosialisme dan lebih penting lagi adalah dengan sikap politik yang tegas, militan, kentara, tidak perlu malu-malu kucing atau sembunyi-sembunyi, sesuai dengan nama yang dipergunakannya. Realisme sosialis merupakan bagian intergral dari kesatuan mesin perjuangan umat manusia dalam menghancurkan penindasan dan penghisapan atas rakyat pekerja, yakni buruh dan tani, dalam menghalau imperialisme (penjajahan) kolonialisme (golongan), dan penghisapan atas rakyat pekerja, yakni buruh dan tani, imprealisme kolonialisme, untuk meningkatkan kondisi dan situasi rakyat pekerja diseluruh dunia.[82]
Lain halnya dengan realisme Barat, atau lebih tepatnya dinamai realisme borjuis, merupakan pembatasan terhadap pandangan seseorang pada realitas-realitas saja[83].

Sedangkan sastra sosialis Indonesia timbul dari orang-orang Indonesia yang berjiwa sosialisme yang dilahirkan oleh perkembangan masyarakat itu sediri yang menderita keadilan sosial, mula-mula naluri bertahan terhadap kematian yang disebabkan karena kezaliman social, dan kemudian pada ia atau mereka yang mempunyai kegiatan atau rutin kreasi menyalurkannya ke dalam cerita-cerita, yang pada pokoknya memperingatkan orang, bahwa kezaliman sosial yang tengah berlaku tidak bisa dipertahankan lebih lama lagi, kalau masyarakat tidak hendak jadi binasa karenanya[84].

Realisme sosialis adalah sebuah istilah dengan maknanya yang telah pasti di negara manapun dia ada, hanya perkembangannya ditentukan oleh kondisi setempat, yakni realisme ilmiah (MDH = Matrealisme, Dealiktika, Historisme). Realisme dengan hukum perkembangannya dan sosialisme yang lahir sebagai kemestian disebabkan adanya perjuangan antara dua macam klas yang bertentangan dan berkembang secara tetap, yakni klas proletaar dan klas borjuis[85].
Realisme sosialis sangat bertentangan dengan realisme barat, atau lebih tepatnya dinamai realisme borjuis, karena merupakan pembatasan terhadap pandangan seseorang pada realitas-realitas saja tanpa membutuhkan kritik. Sebaliknya, realisme sosialis sebagai metode sosialis menempatkan realitas sebagai bahan-bahan global semata untuk menyempurnakan pemikiran dialektik. Bagi realisme sosialis, setiap realitas, setiap fakta, cuma sebagian dari kebenaran, bukan kebenaran itu sendiri. Realitas tidak lain hanya satu fakta dalam perkembangan dialektik.
Realisme borjuis mempunyai kecenderungan yang  melawan realitas itu sendiri untuk memenangkan idealisme. Atau bila dipergunakan kata-kata Nikolai Iribudzjakov:
“ Satu ciri stadium baru kapitalisme dunia adalah keretakan sama sekali dari filsafat borjuis dengan materialisme dan dengan segala steling-steling-nya yang mengkibatkan orang menarik kesimpulan yang materialistik.
“ Tapi ini bukan berarti, bahwa materialisme hilang sama sekali dari pandangan sarjana-sarjana borjuis. Materialisme itu dapat saja dibuang dari filsafat borjuis, namun ia masih menyatakan  diri jelas-jelas di dalam fisika. Dan ini bukanlah suatu kebetulan. Karena sebagai mana ditunjukkan oleh Lenin dengan jelasnya, maka pada parasarjana borjuis dalam ilmu-ilmu alam, para ahli biologi, dan matematika, yang melakukan studi dilapangan alam materi maka muncul dan berkuasalah tendensi-tendensi materialistik yang tak dapat dihindarkan  lagi. Dalam paham-paham falsafinya para sarjana ini mencoba melepaskan diri dari materialisme, menentangnya, yang mana sebagian di antaranya menyatakan pengikut dari idealisme subjektif. Tapi penyelidikan-penyelidikan di lapangan ilmu pengetahuan alam kembali membawa mereka pada kesimpulan, yang bertentangan dengan wawasan falsafi mereka sendiri serta membenarkan berbagai stelling materialisme. Ucapan-ucapan materialisme yang spontan di antara para sarjana ilmu alam borjuis tentu saja tidaklah menjelaskan dan memang tak dapat menjelaskan watak dari borjuis modern yang pada umunya adalah filsafat idealis”[86]


Demikianlah realisme borjuis menurut pandangan orang sosialis. Sedangkan realisme sosialis adalah istilah sastra yang melingkupi adanya front perjuangan, harus mempunyai watak yang jelas. Yang pertama, militansi sebagai ciri tidak kenal kompromi dengan lawan. Serta yang kedua, karena segaris dengan perjuangan politik sosialis, maka dia terus menerus melakukan affensi atas musuh-musuhnya dan pembangunan yang cepat di kalangan barisan sendiri. Dalam dua artikelnya ini Gorki membela humanisme proletaar, humanisme rakyat dengan menudingkan telunjuk pada urgensinya pengusahaan penghapusan pembagian manusia atas klas-klas (dalam agama Hindu adalah kasta-kasta, dalam sistem-sistem sosial tertentu dalam pemisahan antara budak dan orang merdeka serta pelapisan-pelapisannya), melenyapkan setiap kemungkinan munculnya minoritas yang mengeksploitasi tenaga mayoritas yang produktif dan kreatif. Serta yang paling  penting adalah menciptakan dunia baru, dunia yang dibangunkan di atas landasan keadilan yang merata[87].
Jadi watak sastra realisme sosialis bukan saja nampak dari militansinya terhadap kapitalisme yang dihadapinya sehari-sehari, tetapi lebih jauh lagi juga militansinya dalam mempertahankan dan mengembangkan semangat anti kapitalime internasional.
Sastra realisme sosialis tidak pernah memberikan konsesi atau kompromi dengan musuh-musuhnya, karena yang demikian sudah menyalahi sosialisme itu sendiri, sedangkan sastra memang bukanlah politik yang berusaha mendapatkan kemenangan semutlak mungkin atas lawan[88].
Pada segi lain watak ini nampak pada semangat yang diberikannya pada rakyat, pengungkapan paedagogik dan sugestif, ajakan dan dorongan untuk lebih tegap dan perwira memenangkan keadilan merata, guna maju untuk melawan dan menentang penindasan dan penghisapan serta penjajahan nasional maupun internasional, bukan saja berdasarkan emosi atau sentimen, tetapi juga berdasarkan ilmu dan pengetahuan. Terutama memberanikan rakyat untuk melakukan orientasi terhadap sejarahnya sendiri. Karena di dalam penghisapan dan penindasan kapitalisme, rakyat kurang cukup mendapatkan makanan baik bagi perut maupun bagi otaknya, apalagi melakukan orientasi terhadap sejarahnya sendiri[89].
Dalam militansi seorang pengarang menurut pandangan Pram yaitu faham realisme sosialis yang telah menguasai realitas, yang tidak memenuhi harapan dan keadilan, telah menentang realitas , dan dengan jalan kreatif mengubahnya menurut tuntutan keadilan. Watak pengubahan selamanya revolusioner, karena realisme sosialis tidak mengajarkan orang menerima realitas dan menyerah kepadanya, tetapi secara berani dan revolusioner meninggalkan tingkat “manusia alam”, dan dengan paksa atau tidak menyusun dunia pikirannya sesuai dengan tantangan yang dihadapinya. Kondisi yang dituntut ini membikin orang terus-menerus jadi revolusioner yang bersumberkan revolusi yang terus-menerus di dalam jiwa, pengoreksian terus-menerus atas realitas, dan dengan sendirinya tidak boleh terlena akan segala perubahan spontan maupun  perubahan semu daripada realitas itu sendiri bagaimanapun kecilnya dan dia kentara[90].
Pandangan sastra Pram tentang realisme sosialis telah menjadi ketentuan bahwa pengarang harus belajar dari rakyat. Banyak cara yang harus dan bisa ditempuh, terutama membaurkan diri ke dalam gerakan massa, mengenal perasaan mereka, mengenal spontanitas dalam menyatakan perasaan mereka, dan bersama mereka ikut mewujudkan apa yang harus diharapkan oleh mereka[91].
Para pengarang realisme sosialis harus menyediakan diri untuk digembleng dan diperbanyak oleh realitas yang kasar, pahit, dan bengis. Hasil langsung dari didikan spontan ini ialah meningkatkan daya kreatif terhadap segala gerak-gerik musuh rakyat. Gemblengan itu menghasilkan ketajaman daya urai dan daya pembeda antara gerakan pokok musuh rakyat, gerakkan semu, penyokong musuh, dan gerakan tidak sadar menyokong musuh. Seterusnya gemblengan itu juga meningkatkan naluri mempertahankan dan memperkuat gerakan rakyat, mengkonsolidasi dan mempertahankan kemenangan-kemenangan yang telah dicapai, memahami kekalahan-kekalahan dan menstabilkan sukses-sukses dan dengan cepat mengenal provokasi musuh, anti propaganda[92].
Pola tersebut juga berlaku dalam Lekra, sebagai salah satu tombak perjuangan PKI dalam bidang seni. Lekra juga menganut aliran realisme sosialis. Dalam karya sastra para pengarang Lekra yang dapat digolongkan pada, pertama sastra manifest, dengan tema melawan, menolak, menentang kapitalisme, feodalisme, dan menempatkan diri sebagai penentang, penolak, dan pelawan. Kedua, perkembangan   “ Ke Arah yang Normal “ berjalan bersama dengan perkembangan seluruh kekuatan progresif di dalam masyarakat, kemenangan-kemenangan Lekra baik di bidang organisasi, karya, dan kekuatan politik, telah menciptakan kondisi-kondisi social baru. Ketiga, kritik sastra realisme sosialis mempunyai garapan yang berbeda daripada kritik sastra borjuis. Kondisi-kondisi politik si pengarang menjadi syarat terutama karena kondisi politik yang tidak baik sudah pasti akan melahirkan karya satra yang tidak baik pula. Keempat, sesuai dengan logika, dan sesuai pula dengan kenyataan hidup, estetika mengambil tempat terakhir dalam kehidupan sosial[93].
Lekra berdiri pada tanggal 17 agustus 1950. pengambil inisiatif adalah D.N. Aidit, M.S. Ashar, A.S. Dharta, dan Njoto. Sebagaimana pernyataan Lekra sendiri, tentang pendirian organisasi ini kita dapatkan kalimat-kalimat yang berbunyi demikian:
Apa yang berlangsung ketika revolusi bersenjata dari revolusi Agustus, yaitu periode antara 1945 dan 1950, bergejolak? Periode itu, dibidang kebudayaan, ditandai oleh banyak seniman, sarjana dan pekerja-pekerja kebudayaan lainnya yang memihak pada, ambil bagian dalam dan memberikan sumbangannya kepada revolusi. Pekerja-pekerja kebudayaan satu dengan revolusi, dan revolusi 1945 adalah suatu revolusi kerakyatan maka hal ini berarti, bahwa pekerja-pekerja kebudayaan satu dengan rakyat. Tetapi, partisipasi atau kesertaan mereka itu di dalam revolusi masih bersifat spontan. Kespontanan itu tentu tidak hanya di lahirkan oleh intuisi, tetapi juga oleh kesadaran tertentu. Dalam hal ini kespontanan itu baik. Tetapi juga ia membawa dalam dirinya seginya yang lain, yaitu: belum teratur, belum terorganisir, singkatnya, belum terpimpin, dan sebagai akibatnya belum bersasaran yang tepat, sehingga efek dan hasilnya belum cukup besar jadinya.
Demikianlah lekra didirikan tepat 5 tahun sesudah revolusi Agustus pecah, disaat revolusi tertahan oleh rintangan hebat yang berujud persetujuan KMB, jadi disaat garis revolusi sedang menurun. Ketika itu orang-orang kebudayaan yang tadinya seolah-seolah satu kepalan tangan yang tegak dipihak revolusi, menjadi tergolong-golong. Mereka yang tidak setia, menyeberang. Yang lemah dan ragu-ragu seakan-akan putus asa karena tidak tahu jalan. Yang taat dan teguh meneruskan pekerjaannya dengan keyakinan bahwa kekalahan revolusi hanyalah kekalahan sementara. Lekra didirikan untuk turut mencegah kemerosotan lebih lanjut dari garis revolusi, karena kita sadar, bahwa tugas ini bukan hanya tugas kaum politis tetapi juga tugas pekerja-pekerja kebudayaan. Lekra didirikan untuk menghimpun kekuatan yang taat dan teguh mendukung revolusi[94].


Jadi estetika dalam realisme sosialis bukanlah suatu yang mewah, tetapi sesuatu “social opgave” yang harus dijawab dan dipecahkan dan dirumuskan kemudian dibuat berdasarkan rumus tersebut. Setidak-tidaknya estetika bukanlah satu pemutlakan selama yang dapat menikmati hanya klas yang mendapatkan keberuntungan pendidikan dan pengajaran[95].
Sebagai mana telah diketahui bahwa Lekra menganut aliran realisme sosialis, maka orang yang ikut terlibat didalamnya yaitu Pram juga menganut aliran tersebut. Tokoh yang sangat mempengaruhi pemikiran Pram adalah Maxim Gorki. Pram, mengambil semua metode realisme sosialis Maxim Gorki. Tanpa ragu Pram mengatakan bahwa istilah realisme sosialis timbul pertama kali di bumi yang untuk pertama kali memenangkan sosialisme, di bumi yang telah menegakkan sosialisme, yakni Uni Soviet. Tokoh utama yang biasanya mendapat kehormatan sebagai pelopornya adalah pujangga besar Soviet Maxim Gorki terutama dengan karya utamnya Ibunda[96].
Dalam pandangan Pram, Maxim Gorki bukan suatu kebetulan yang oleh sejarah di tunjuk sebagai pelopornya. Baik triloginya Childhood, My Apprenticeship dan My Universities maupun cerpen-cerpennya, terutama sekali Di Musim Gugur, secara otobiografik melukiskan pukulan-pukulan dan tindasan-tindasan yang diterimanya dari klas kapitalis borjuis. Tidak mengherankan pula bahwa Maxim Gorki berpihak pada neneknya, seorang wanita pengemis dan di samping neneknya menentang kakeknya, seorang pengusaha di bidang pencelupan[97].



B.     Pandangan Pramoedya tentang Realisme Sosialis dalam Novel Tetralogi

Ada banyak pandangan yang mengandung unsur realisme sosialis yang merepresentasikan gagasan Pram dalam novel tetralogi. Sebagai mana telah di uraikan pada bab pertama dan kedua, Pram dikenal sebagai sosok yang berani dalam menyuarakan suatu yang di anggap Pram sebagai sebuah keadilan. Pram sangat memahami bagaimana menyampaikan realisme sosialis dalam setiap tulisannya. Ini tidak lepas dari pengalaman hidupnya, dan organisasi yang telah di pilihnya.
Realisme sosialis sebagai bagian dari kepentingan umum kaum proletariat  yang menjadi roda kesatuan besar mekanisme sosial demokratik, yang di gerakkan oleh kesadaran politik seperti yang dikatakan oleh Lenin, menjadi alat yang ampuh di tangan prajurit-prajurit kebudayaan, karena sastra realisme sosialis selalu revolusioner. Watak pejuang dan perjuangan ini akan selalu mewarnai kerja sastranya[98].
Dalam novel di bawah ini, menggambarkan Minke sang tokoh protagonis sedang diberi nasihat oleh sahabatnya seorang Perancis. Bagaimana kondisi bangsanya yang sangat membutuhkan tenaga dan juga pikirannya untuk melawan penjajah yang hidup bergelimang harta, sedangkan rakyat yang lain menderita.
“Ya, memang belum banyak yang bisa ku dapatakan dalam diriku. Jean marais bercita-cita mengisi hidup dengan lukisan-lukisan, bukan hanya menyambung hidup. Untuk apa aku menulis, sampai mendapatkan kemasyhuran sebanyak itu? Kau tidak adil Minke, kalau memburu kepuasan saja bisa mendapatakan kemashuran. Tidak adil! Orang-orang lain  bekerja sampai berkeringat darah, mati-matian, jangankan mendapatkan kemasyhuran ,hanya untuk dapat makan dua kali sehari belum tentu bisa”[99].

Kejadian ini ketika Minke seorang yang jauh lebih terpelajar harus tetap berjongkok dulu ketika menghadap seorang Bupati, padahal Bupati tersebut jauh lebih bodoh dibanding dirinya. Terasa sekali semangat feodalisme pada cerita di bawah ini.
“Jadi aku akan dihadapkan pada Bupati B. god! Urusan apa pula? Dan aku ini, siswa H.B.S., haruskah merangkak dihadapannya dan mengangkat sembah pada setiap titik kalimatku sendiri untukku sendiri untuk orang yang sama sekali tidak kukenal! Dalam berjalan ke pendopo yang sudah diterangi dengan empat buah lampu itu aku merasa seperti hendak menangis. Apa guna belajar ilmu dan pengetahuan Eropa, bergaul dengan orang-orang Eropa, kalau akhirnya toh harus merangkak, beringsut seperti keong dan menyembah seorang raja kecil yang barangkali butahuruf pula? God, God! Menghadap seorang bupati sama dengan bersiap menampung penghinaan tanpa boleh membela diri. Tak pernah aku memaksa orang lain berbuat semacam itu terhadapku. Mengapa harus aku lakukan untuk orang lain? Sambar geledek![100]

Tulisan di bawah ini, Pram menggambarkan bagai mana seorang petani yang berjuang mempertahankan tanahnya dari rampasan Belanda. Petani tersebut harus berjuang sendiri, karena orang-orang di sekitarnya takut pada Belanda. Yang lebih ironis lagi banyak juga yang justru membela Belanda, karena mereka mendapat uang ketika membela kepentingan Belanda.

“Berteriak apa orang-orang itu?”
“yang tinggal di situ, Ndoro.”
“Di rumah genteng itu?’
“Betul, Ndoro.”
“Mengapa diteriaki?”
“Dia tak juga mau pindah dari tempatnya.”
“Mengapa harus pindah?”
“Mereka “ katanya bengis dan benci, “anjing-anjing  pabrik. Ini tanahku sendiri. Peduli apa hendak kuapakan,” ia seka keringat dari pundak[101].

Cerita di bawah ini ketika Minke berbincang-bincang dengan seorang petani, petani tersebut menggunakan bahasa jawa kasar pada Minke. Sebagai seorang anak Bupati Minke merasa tersinggung, di sini Pram memperlihatkan antara kelas proletar dan kelas borjuis. Meski pada akhirnya Minke ditegur oleh seorang Nyai yang bernama Ontosoroh, ibu mertuanya sendiri. Nyai Ontosoroh tersebut sangat membenci dengan sIstem feodal, serta menjunjung tinggi cita-cita revolusi Perancis.

“Perasaan tidak enak masih juga menongkrong dalam hatiku, karena petani yang seorang ini kembali bicara ngoko. Benar-benar dia petani yang sudah keluar dari golongannya. Dan apa pula gunanya aku hadapi baik-baik? Tapi kau sudah bertekad hendak mengenal bangsamu! Kau harus dapat mengenal kesulitannya. Dia salah seorang bangsamu yang tidak kau kenal, bangsamu yang hendak kau tulis kalau kau sudah mulai belajar mengenalnya!.[102]

“Dan kau tidak beda dengan orang-orang lain. Kau tidak lebih tinggi, tidak lebih mulia dari Trunodongso . itu kalau kau benar-benar mengerti Revolusi Prancis. Bagaimana kau sekarang Minke?”[103]

Semangat Minke sebagai seorang jurnalis dikritik oleh sahabatnya sendiri,  Jean Maramis, dia adalah seorang perancis yang menetap di Indonesia dan menjadi pelukis. Karena Minke tidak pernah menulis dengan menggunakan bahasa Melayu tapi lebih sering menggunakan bahasa Belanda.
Juga kau hendak membelanya terhadap penindasan dengan bahasa oleh kau sendiri? Ha, kau tak mau menjawab. Kalau begitu memang tepat kau harus menulis Melayu, Minke, bahasa itu tidak mengandung watak penindasan, tepat dengan kehendak revolusi Prancis.[104]

Minke ketika berdialog dengan orang Belanda yang bernama Tollenaar yang sangat menyanjung Eropa dan juga Amerika Serikat. Hal tersebut dibantah oleh Minke.
“Aku lebih percaya pada Revolusi Perancis, Tuan Tollenaar. Kebebasan, persaudaraan dan persamaan, bukan hanya untuk diri sendiri seperti sekarang terjadi diseluruh daratan Eropa dan Amerika Serikat, tapi untuk setiap orang, setiap dan semua bangsa manusia di atas bumi ini. Sikap begini dinamai sikap liberal sejati, Tuan.”[105]

Di sini Minke diberi penjelasan tentang semboyan revolusi Perancis yang sering kali disalah artikan oleh orang-orang, sehingga mereka bersikap semaunya sendiri. ketika itu Minke berdialektika dengan seorang pelarian dari Cina yang bernama Yi Me. Yi Me adalah pemberontak pada akhir abad XIX melawan monarki Tiongkok yang dikuasai oleh Kaisar Ye Si.
 “jangan salah artikan kebebasan dalam semboyan Revolusi Prancis” “orang Prancis sendiri juga banyak menyalah artikan, jadi bebas merampok dan bebas tak berkewajiban pada siapa pun, walhasil jadi sewenang-mewang tanpa batas. Kebesaran hanya untuk diri sendiri di negeri sendiri! Semua terpelajar pribumi Asia dalam kebebasannya mempunyai kewajiban-kewajiban tak terbatas buat kebangkitan bangsanya masing-masing. Kalau tidak, Eropa akan merajalela”.[106]
Minke ketika berbincang-bincang dengan Trunodongso seorang petani yang dirampas tanahnya oleh feodal yaitu Belanda dan juga para suruhannya. Termasuk di sini adalah aparat pemerintah, tanah tersebut adalah warisan dari orang tuanya. Trunodongso berusaha mempertahankan miliknya dari  Belanda yang mewajibkan tanahnya di tanami tebu.
 “Tentu saja ini tanahmu sendiri,” kataku memberanikan dia dan diriku sendiri.
“Lima bahu, warisan orang tua.”
“Kau benar,” kataku, “ada kubaca di kantor tanah.”
“Nah, ada tertulis dikantor tanah,” ia bicara pada dirinya sendiri. Ketegangannya mulai surut. Lambat-laun aku lihat ia mulai kembali jadi petani jawa yang rendah hati.
“ Ya, Ndoro, sebenarnya sahaya sudah cukup bersabar. Warisan sayaha lima bahu (7096,5 m2), tiga sawah dan dua ladang dan pekarangan rumah ini. Tiga bahu, sudah dipakai pabrik. Tidak sahaya sewakan secara baik-baik, tapi dipaksa secara kasar; priyayi pabrik, lurah, sinder, entah siapa lagi. Dikontrak delapan belas bulan. Delapan belas bulan! Nyatanya dua tahun. Mesti menunggu sampai bonggol-bonggol tebu habis didongkeli. Kecuali kalau mau cap jempol mengontrakkan lagi untuk musim tebu mendatang, Apa arti uang kontrak? Hitung punya hitung sewanya selalu tak pernah penuh. Anjing-anjing itu, Ndoro….sekarang ladang mau dikontrak. Pepohonan akan dirobohkan untuk tebu!”
“Berapa sewa untuk satu bahu?” tanyaku sambil mengeluarkan alat tulis-menulis dari dalam tas, mengetahui, semua petani Jawa menaruh hormat pada barangsiapa melakukan pekerjaan tulis menulis. Akupun siap-siap mencatat.
“Sebelas picis, Ndoro” jawabnya lancar. Mengherankan.
“Sebelas picis, buat setiap bahu selama delapan belas bulan?” aku terpekik.
“Betul, Ndoro.”
“Tiga talen”
“Kemana yang tiga puluh lima sen?”
“Mana sahaya tahu, Ndoro. Cap jempol saja, kata mereka tidak lebih dari tiga talen sebahu. Delapan belas bulan, katanya. Nyatanya dua tahun sampai tunggul-tunggul tebu habis di dongkeli”.[107]

Dialog di bawah ini dilakukan Minke ketika berbincang-bincang dengan salah seorang mandor pabrik tebu. Tentang fenomena masyarakat yang lebih senang menjadi buruh, dari pada menjadi petani.

“Tahu Tuan upah kuli tebu yang baik dalam sehari? Tiga talen sehari. Kalau orang kerja jadi kuli, dua hari saja, yang diperolehnya sudah melebihi sewa tanahnya sendiri sebanyak satu bahu. Siapa bilang orang lebih suka menggarap sawah sendiri daripada jadi kuli tebu? Berapa harga kerja cangkul dalam sehari? Tiga benggol, tidak lebih.”[108]

Ekspansi Belanda pada Indonesia yang mengakibatkan jutaan rakyat Indonesia menjadi meninggal karena melawan Belanda, miskin dan perampasan terjadi dimana-mana. Pram memotretnya sebagai awal penindasan yang melahirkan kelas proletar dan borjuis.

Pribumi bertombak dan berpanah akan mati bergelimangan lagi atas perintahnya, entah dimana akan terjadi. Demi keutuhan wilayah, kata-kata lain dari: demi keamanan modal besar Hindia. Darah, jiwa, perbudakan, penganiayaan perampasan, penghinaan akan terjadi lagi di bawah tudingan tangannya.[109]

Kekejaman Belanda tidak pernah berhenti mesti rakyat sudah sangat menderita, manusia sudah tidak ada lagi harganya. Perampasan bukan hanya pada ekonomi semata tetapi juga istri dan anak gadisnya.
Perlakuan sewenang-wenang dalam perusahaan-perusahaan kereta api, perkebunan, kantor-kantor Gubermen, perampasan anak gadis dan istri oleh pembesar-pembesar setempat dengan menggunakan kekuasaan yang ada pada mereka, mengisi permohonan-permohonan pertolongan.[110]

Cerita yang di bawah ini adalah awal berdirinya organisasi pribumi pertama yaitu Boedi Oetomo, yang akan menjadi cikal bakal organisasi lain di Indonesia.
Utusan Raden Tomo telah datang kebandung untuk menagih janji. Ia dan teman-temannya sesekolah telah berhasil membentuk sebuah organisasi sebagaimana pernah di anjurkan oleh dokter Jawa pensiunan dulu. Juga olehku sendiri. Nama organisasi: Boedi Oetomo[111].

Boedi Oetomo sebuah organisasi pribumi pertama, yang bergerak pada bidang pendidikan untuk semua masyarakat. Karena pada penjajahan Belanda pendidikan hanya boleh dinikmati oleh orang Belanda, Indo, dan juga dari kaum priyayi. Rakyat jelata tidak bisa sekolah, B. O melihat hal tersebut sebagai penindasan yang harus dihapuskan. Pendidikan penting untuk menciptakan masyarakat yang kritis hingga mampu merubah nasibnya.
“Dan bahwa ada gerak dari minus ke plus pada umat manusia, dan itu dinamai gerak juang? Lupa kau, Koen? Atau B.O yang lupa? Kan B.O. tidak bermaksud mempertahankan yang ada, agar yang miskin tetap miskin, yang bodoh tetap bebal, dan yang sakit tinggallah menggeletak menungggu sakratulmaut?”[112]

Tidak ada tingkatan dalam bahasa Melayu, dan bahasa tersebut sesuai untuk digunakan dalam sebuah organisasi, karena dalam sebuah organisasi tidak ada yang lebih senior atau yunior  semua punya kedudukan yang sama. Minke tengah berdialog dengan adiknya yang juga seorang organisatoris.
Dalam rapat-rapat cabang yang tahu bahasa Jawa tentu tak diharuskan berbahasa melayu. Tetapi kalau tingkatnya sudah Kongres atau tingkat Pusat, atau berhubungan denga pusat, tak bisa tidak harus dipergunakan Melayu.” “Mengapa Jawa harus dikalahkan oleh Melayu?” “Diambil praktisnya, Mas. Sekarang, yang tidak praktis akan tersingkir. Bahasa Jawa tidak praktis. Tingkat-tingkat di dalamnya adalah bahasa presentasi untuk menyatakan kedudukan diri, melayu lebih sederhana. Organisasi tidak membutuhkan pernyataan kedudukan diri. Semua anggota sama, tak ada yang lebih tinggi atau lebih renadah.”[113]

S.D.I adalah Serikat Dagang Indonesia. organisasi tersebut bergerak pada bidang ekonomi, yang didirikan oleh para pembatik dari Solo dan Yogya. S.D. I tersebut kelak yang akan melahirkan organisai-organisasi lainnya seperti PKI, Serikat Islam (SI).
Di kota-kota sepanjang pesisir utara Jawa Barat telah berdiri cabang-cabang dengan anggota rat-rata empat puluh sampai seratus orang. Di kota-kota pegunungan memang lebih sendat. Di Tasikmalaya, Garut dan Sukabumi nampak adanya kegiatan mengagumkan. Garut mencactat sejarah: disini pernah di adakan rapat umu propaganda S.D.I. rapat umum pertama.[114]

S.D.I membuat komitmen dengan para anggotanya tentang garis kebijakan organisasi. Sebagai organisasi pribumi pertama yang berkonsentrasi masalah ekonomi, dan harus melawan kebijakan ekonomi Belanda maupun Cina dan juga Arab yang sudah lebih dulu menguasai ekonomi masyarakat Indonesia. Sehingga dibutuhkan kebijakan yang sangat tegas dalam S.D .I. agar tidak keluar dari garis organisasi.
“Organisasi ini lahir di tanah Hindia sebagai organisasi Pribumi, bukan organisasi segala bangsa yang bermaksud untuk mrerugikan Pribumi. Tidak ada hak pada siapa pun, bangsa apa pun anggota atau bukan anggota S.D.I. untuk merugikan Pribumi, baik pedagangnya atau petaninya, ataupun tukang-tukangnya. Kalau ada cabang yang punya cara dan jalan sendiri yang sengaja dan diketahui melakukan tindakan merugikan terhadap pribumi, itu bukan cabang S.D.I. seluruh Hindia dapat melakukan tindakan serentak terhadap cabang durjana demikian. Aku yakin, saudara-saudara, dewan pimpinan pusat tidak akan ragu-ragu mengeluarkan titahnya.”[115]

Minke menyadari pentingnya sebuah pendidikan untuk rakyat Indonesia, karena dengan menguasai ilmu pengetahuan, rakyat Indonesia bisa maju. Ilmu pengetahuan yang tidak terlalu menyanjung Eropa, karena ternyata bukan Eropa saja yang menjadi pusat ilmu pengetahuan, Negara Arab yang selama ini tidak ada dalam benak Minke ternyata juga mengusai banyak ilmu pengetahuan. Minke sebelumnya sangat mengagumi ilmu pengetahuan Eropa.

Orang Arab, yang sama sekali tidak pernah mendapat pendidikan Eropa ini, ternyata mempunyai pengetahuan praktis yang sangat patut untuk kuindahkan dan kupelajari. Putra-putranya ia kirim ke Universitas Turki, menguasai banyak bahasa modern.[116]

Minke ketika memikirkan ucapan guru agamanya yang bernama Syeh Ahmad Badjened, dan Minke membenarkannya. Bahwa dalam berdagang membuat orang jadi lebih demokratis dan berpengetahuan luas, karena pedagang lebih banyak bertemu orang dan singgah di berbagai tempat yang berlainan adat istiadatnya.
“Pedagang orang paling giat di antara umat manusia ini, Tuan. Dia orang paling pintar. Orang menamainya juga saudagar, orang dengan seribu akal. Hanya orang bodoh bercita-cita jadi pegawai, kerjanya hanya disuruh-suruh seperti budak. Bukan kebetulan Nabi s.a.w pada mulanya juga pedagang. Pedagang mempunyai pengetahuan luas tentang ikhwal dan kebutuhan hidup, usaha dan hubungannya. Perdagangan membikin orang terbebas dari pangkat-pangkat, tak membeda-bedakan sesama manusia, apakah dia pembesar atau bawahan, bahkan budak pun. Pedagang berpikir cepat. Mereka menghidupkan yang beku dan menggiatkan yang lumpuh.”[117]

Minke menolak ketika S.D.I akan diganti  Indisch bukannya Islam, sebab menurut Minke Islam lebih mudah diterima oleh masyarakat luas dari pada Indisch. Karena istilah Indisch sendiri adalah untuk indo eropa.
“Islam dan dagang mempunyai landasan lebih luas dan lebih mengikat dari pada indisch. Pikiran-pikiran Tuan bukan tidak kupertimbangkan. Landasannya tidak ada, kurang jelas. Setidaknya-tidaknya belum aku lihat, hanya berupa cita-cita, bukan kenyataan. Memang cita-cita bisa menjadi kenyataan di kemudian hari, tetapi landasannya tetap kenyataan sosial masakini”.[118]

Minke memandang bahwa hanya Islam yang mampu membangkitkan rasa perlawanan terhadap sistem penjajahan yang terjadi pada masyarakat Indonesia, Islam bukan hanya semata mempermasalahkan hubungan manusia dan Tuhan semata. Tapi di dalamnya juga terdapat konsep ekonomi, politik dan banyak hal.
Islam, kataku selanjutnya, yang secara tradisional melawan penjajah sejak semula Eropa datang ke Hindia, dan akan terus melawan selama penjajah berkuasa. Bentuknya yang paling lunak: menolak kerjasama, jadi pedagang. Tradisi itu patut di hidupkan dipimpin, tidak boleh mengamuk tanpa tujuan. Tradisi sehebat dan seperkasa itu adalah modal yang bisa menciptakan segala kebajikan untuk segala bangsa Hindia[119].

Rapat S.D.I pertama pada saat itu Minke, sang tokoh protagonis menjadi ketua. Minke berpendapat bahwa Islam harus membela yang lemah. Seperti petani, karena dalam banyak kasus petanilah yang paling menderita dalam kebijakan ekonomi Belanda, dan kebanyakan di antara mereka bodoh serta buta huruf.
“Tetapi para petani itu adalah saudara-saudara kita sendiri, sebangsa kita sendiri, yang hendak diperas tanah dan duitnya secara gegabah oleh perusahaan-perushaan raksas Eropa, Arab dan Cina. Kalau Tuan-tuan membiarkan ini terjadi, Tuan-tuan membenarkan pemerasan itu, Tuan-tuan membenarkan kejahatan, apa itu di benarkan dalam Islam? Kan kita akan malu sebagai Muslim membiarkan yang demikian terjadi?”
akhirnya Islam harus menentang keputusan sindikat dan berpihak pada petani.[120]

Douwager adalah salah satu gubermen Belanda, dia merasa sudah benar dengan kedatangan Belanda  dan sistem ekonomi yang ada. Minke membatah hal tersebut, karena kebijakan Belanda sangat merugikan masyarakat, meski ketika Belanda datang mengatas namakan berdagang.
“Eropa datang berdagang kemari, Tuan, tapi menjauhkan dirinya dari Pribumi. Malah memperdagangkannya.”
“Eropa datang bukan untuk berdagang dengan kita. Mereka datang dengan meriam dan bedil.”
“Apa pun alat yang dibawanya, mereka berdagang.”
“Kalau sekarang ini aku todong Tuan dengan senapan, aku rampas semua pakaian Tuan, sehingga tinggal selembar setangan untuk menutup kemaluan, kemudian aku tinggalkan pada Tuan satu setengah sen, pastilah itu bukan berdagang. Dan itulah wajah Eropa colonial, sesungguhnya.”
“Tuan lupa, meriam dan Bedil juga alat berdagang pada jamannya,” bantah Douwager. “Masih berlaku di banyak tempat sampai sekarang, kalau bangsa sudah ditaklukkan seperti di Hindia ini, bangsa taklukan dibikin jadi penghasil barang dagangan. Malah diperdagangkan.”
“Sama saja, Tuan. Perdagangan terjadi hanya karena suka antara kedua belah pihak yang berkepentingan. Selama tak ada syarat itu, dan pertukaran terjadi, itu bukan perdagangan, itu kejahatan”[121] .

S.D.I mulai berganti nama menjadi S.I ( Sarikat Islam), kalau S.D.I hanya membahas masalah ekonomi semata, S.I tidak demikian, SI juga membahas politik, budaya, dan juga ekonomi.
Dokumen keempat adalah sebuah laporan panjang dari Sala, memakan tidak kurang dari empat puluh halaman, di tulis oleh tangan yang mahir, kecil-kecil dan rampak, tapi dalam bahasa Melayu yang sangat buruk. Laporan itu mencatat tentang terjadinya kegiatan S.D.I. di Sala, yang menarik perhatian pemerintah putih dan Pribumi: haji Samadi dengan pimpinan S.D.I. cabang Sala telah mengeluarkan pernyataan, bahwa telah didirikan perkumpulan bernama Syarikat Islam dengan dia sendiri sebagai pimpinannya. Tetapi, semua pimpin di dalamnya adalah juga pimpinan  S.D.I.[122]

S.D.I diseluruh daerah juag mengganti nama menjadi S.I, sesuai dengan keputusan organisasi.
Cabang-cabang S.D.I. segera menyesuaikan diri dengan menamakan diri Syarikat Islam dalam suatu koperensi darurat di Sala. Arus anggota baru tak dapat kubendung. Aku mengerti, bahwa saat untuk berorganisasi telah tiba dalam daftar kebutuhan pribumi di Jawa. Tugasku menghadang ini. Tidak hanya aku saja. Aku kira semua ahli dan penguasa colonial terheran-heran mengikuti perkembangan Syarikat setelah terjadinya penyerahan pimpinan dari Minke ke tangan Hadji Samadi.[123]

Belanda untuk mempertahankan kekuasaanya salah satu strateginya adalah memberi kesadaran mistis kepada rakyat Indonesia. Kesadaran kritis sama sekali tidak diperbolehkan oleh Belanda, karena hal tersebut bisa membahayakan keberadaanya di Indonesia.
Sudah tepatkah pandangan Eropa colonial ini? Bukan saja tidak tepat, juga tidak benar. Tetapi Eropa colonial tidak berhenti sampai di situ. Setelah Pribumi jatuh dalam kehinaan dan tak mampu lagi membela dirinya sendiri, dilemparkannya hinaan yang sebodoh-bodohnya. Mereka mengetawakan penguasa-penguasa Pribumi di Jawa yang menggunakan tahyul untuk menguasai rakyatnya sendiri, dan dengan demikian tak mengeluarkan biaya untuk menyewa tenaga-tenaga kepolisian untuk mempertahankan kepentingannya. Nyai Roro Kidul adalah kreasi Jawa yang gemilang untuk mempertahankan kepentingan raja-raja Pribumi Jawa. Tapi juga Eropa mempertahankan tahyul: tahyul tentang hebatnya ilmu pengetahuan agar orang-orang jajahan tak melihat wajah Eropa, wujud Eropa, yang menggunakannya. Baik penguasa Eropa colonial maupun Pribumi sama korupnya[124].

S.I mulai terpecah karena terlalu banyaknya anggota, sehingga kontrol terhadap para anggotanya sangat sulit. Indische Partij, adalah aliran sosialisme yang dibawa masuk oleh orang Belanda yang di usir dari negaranya, kemudian mereka tinggal di Indonesia.
Syarikat aku anggap sebagai gelembung akibat samudra kehidupan yang telah teraduk unsur-unsur modern, dan pada suatu kali gelembungan ini akan meletus berpecahan tanpa meninggalkan bekas. Indische Partij lain lagi. Ia justru mempersatukan unsur-unsur manusia modern di Hindia, peranakan Eropa dan terpelajar Pribumi sekaligus. Dalam jumlah anggota ia tidak berarti dibandingkan dengan Syarikat. Dalam kesadaran berpolitik dia lebih unggul.dalam kesadaran berpolitik dia lebih unggul. Dalam kesadaran berpolitik Mas Tjokro masih harus banyak belajar dari mereka. Tapi bagaimana pun dua organisasi itu menyala di angkasa hitam seperti dua bintang, terpisah jutaan mil satu dari yang lain, tak pernah ada usaha pendekatan, jangankan persinggungan. Yang satu gemuk dengan kebanyakan anggota dan tak bisa berbuat apa-apa. Yang lain dengan hanya anggota ratusan orang dan bakal kurus-kering dirongrong oleh keinginan-keinginan tanpa batas[125].

Tulisan ini tidak untuk mengucilkan kaum Nasrani, penggambaran Nasrani di sini bukan agamanya. Hanya simbol  Nasrani lahir di Eropa, maka Eropa yang dimaksud oleh Pram. Eropa di sini adalah Belanda, dan juga sekutunya.
Aku tahu, bahwa aku harus mengelakkan percakapan yang menyudutkan ini. Benar sekali, bahwa pada jamannya agama juga politik. Bangsa-bangsa Hindia yang Nasarani memang tidak mencari pertengkaran dengang gubermen yang Nasrani pula, tetapi tulisan-tulisan Raden Mas Minke menunjukkan contoh-contoh, bahwa juga orang-orang tertentu bisa mencari pertengkaran dengan bangsanya sendiri, seperti Khouw Ah Soe dan Ang San Mei. Benar mereka Protestan dan Katholik, tapi mereka bukan karena agama ikut berusaha menggulingkan dinasti Ching. Mereka digerakkan oleh sesuatu yang lain, yang bernama Nasionalisme.

Mas Marco Kartodikromo, dia adalah pencipta Sama Rata Sama Rasa. Dengan slogan tersebut banyak masyarakat yang berani melawan Belanda, di dukung juga oleh tulisan-tulisannya yang selalu membakar semangat nasionalisme.
Marco, Ia mencoba mengerti dan mengikuti arus jaman yang semakin santar mendatangi. Ia selau bercelana pantolan putih dan berbaju putih. Sisirannya selalu rapi sibak tengah, matanya dibukanya lebar-lebar selalu, seakan-akan tak hendak kehilangan sesuatu atas segala yang terjadi di sekelilingnya dan di dunia besar di luar negerinya[126].

Tulisan di bawah ini memotret saat terjadinya perpecahan di dalam S.I, perpecahan tersebut melahirkan banyak organisasi di antaranya PKI.
Mempertentangan dua golongan dari pandangan dan sikap yang berlain-lainan memang terlalu gampang. Tetapi akibatnya akan berlarut. Syarikat akan menghadapi mereka sebagai orang Eropa pada umunya, dan kebencian pukul rata pada Belanda akan menjadi hasilnya. Sedang sayap Marco, yang selama ini tidak mendapat medan untuk berpiawai akan menggunakan kesempatan ini. Bila ia memisahkan diri dari pimpinan Mas Tjokro, dengan sayapnya ia akan menjadi sangat berbahaya. Perkembangan secepat itu belum lagi diharapakan.[127]

Pram tidak lupa juga menulis tentang pemberontakan para karyawan pegadaian, mereka adalah para anggota PKI. mereka menuntut kenaikan upah dengan cara memboikot tidak masuk kerja, dan cara-cara tersebut juga diikuti oleh anggota PKI yang lain.

Di Jawa Timur dan Tengah orang memekik-mekik menuntut kenaikan upah sambil membelot-kerja alias staking. Pegawai-pegawai pegadaian di beberapa tempat menolak memasuki tempat kerjanya dan kumpul-kumpul di pelataran, berbaur dengan orang-orang yang hendak menggadaikan. Buruh beberapa perkebunan kemudian mengikuti.


Bahasa melayu juga menjadi alat untuk melawan system feodal Belanda, sebab bahasa tersebut lebih demokratis dari pada bahasa Belanda maupun Jawa.
 “ Perhitungan tidak meleset. Hanya dengan bahasa Melayu bukan Gubermen, dan di antara orang-orang bebas, tidak dengan orang-orang dengan jabatan negeri, organisasi umum di hindia akan bisa menjadi besar dan subur. Beberapa kali aku harus bekerja keras meyakinkan Samadi, yang lebih menghendaki bahasa Jawa. Bahasa melayu, semakin jauh dari pengajaran Gubermen, semakin jauh dari orang-orang feodal, semakin demokratis dan menjadi alat perhubungan yang nyaman, memang bahasa bebas untuk orang bebas. Dan hanya golongan bebas yang akan menentukan nasib bangsa-bangsa Hindia, karena salah satu syarat untuk persatuan bagi bangsa-bangsa ganda ini adalah dekat mendekati atas dasar demokrasi[128].”

Perkembangan kesadaran mulai terlihat di sini, bahwa media jurnalistik adalah alat yang paling ampuh untuk melawan system yang menindas. Karena jurnalistik mampu membangun opini masyarakat, tanpa harus pergi ke daerah-daerah tersebut.
Dari semua kegiatan Pribumi itu, ternyata yang dianggap mahkota kegiatan adalah jurnalistik. Dan barang tentu bukan jurnalistik sebagaimana dikenal oleh Eropa, tapi menulis di Koran atau majalah dengan nama terpampang, baik nama benar, nama pena atau inisial. Gejala baru ini langsung berasal dari Raden Mas Minke, ia pernah mengatakan pada salah seorang temannya: orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Ucapan lain dari si Gadis Jepara: menulis adalah bekerja untuk keabadian. Dan jurnalistik gaya Hindia merupakan perpaduan alamiah dari gerakan Pribumi untuk kepemimpinan dan keabadian.[129]

Berikut adalah tulisam Mas Marco Kartodikromo, dengan slogan “ Sama Rata Sama Rasa” yang begitu kuat tuntutan keadilan :
Dari tulisannya (Mas Marco Kartodikromo) dapat diketahuai apa sesungguhnya yang selama ini hidup dalam sanubarinya.

Pada suatu hari dia tak mampu bekerja. Bininyapun tidak, karena telah jatuh sakit terlebih dahulu. Tinggal anaknya yang berumur sembilan tahun yang masih sehat. Tak urung punggawa desa memaksa anak umur sembilan tahun itu berangkat juga mewakili bapak dan emaknya.
Anak ini menangis sepanjang jalan setapak yang empat kilo meter jauhnya itu. Bukan hanya karena lapar, kakinya disarangi bubul, dan patek meruyak sepenuh badan. Dalam iring-iringan yang berjalan lambat-lambat itu terdapat perempuan kurus yang sedang bunting tua, kakek-kakek yang bertongkat dan terbatuk-batuk, seorang lelaki yang menggendong anak susuan karena emaknya baru saja mati kelaparan.
Iring-iringang calon mayat pada beberapa bulan mendatang semua menuju keselatan. Kekebun nila Gubermen. Kerja paksa. Tanam paksa! Tanpa upah. Cultuurstelsel
Nama desa itu adalah Cepu. Bukan Cepu yang sekarang. Desa itu miskin. Tetapi bekas desa ini sekarang telah jadi distrik yang terkaya di Hindia. Disini aku dilahirkan. Disini pula aku dengarkan cerita orang-orang tua yang dahulu setiap hari dalam sekian bulan berangkat kekebun nila Gubermen, tanpa upah, tanpa jaminan, tidak sempat menggarap sawah dan ladang sendiri. Dan setiap hari ada saja diantara mereka berjatuhan mati karena sakit dan lapar.
Desaku seperti desa-desa lain. Semestinya orang hidup bertani, mencari kayu dihutan, berternak kambing, sapi, ayam dan dirinya sendiri, dan hidup dalam keluarga besar. Tetapi  cultuurstelsel telah mencerai beraikan keluarga besar itu dan merampas nasi dan jiwa mereka.
Pendeknya jangan bayangkan Cepu desaku sebagai Cepu distrik yang sekarang ini. Cepu desaku dilindungi oleh begitu banyak pohon buah, Cepu distrik dilindungi oleh tiang-tiang listrik dan telfon.
Sianak berumur sembilan tahu itu sudah bekerja selama sepuluh hari ketika Ia ditemui dirumahnya yang kosong dimalam hari. Daun-daunan yang ia kumpulkan dari perjalanan pulang Ia letakkan diatas lantai tanah . tungku dingin. Tak ada makanan, tak ada orang. Ia berseru-berseru memanggil-manggil bapak dan emaknya yang sakit tanpa jawaban. Ia pergi kerumah tetangga-tetangga. Melulu orang-orang sakit saja yang ada. Yang seperempat dan setengah sakitpun pada pergi.
Menjelang subuh bapaknya pulang bergandengan tangan dengan orang-orang lain yang sama kehabisan tenaga, tunjang menunjang agar tak roboh dan tak tersasar dalam  kegelapan. Mereka baru pulang dari menguburkan emaknya.
Sebulan kemudian lebih banyak lagi orang dikuburkan semacam itu, termasuk bapaknya sendiri.
Sibocah itu terus juga melakukan kerja paksa makannya rumput muda, karena itulah yang termudah didaptnya sewaktu kerja. Lagi pula daun dan buah muda petai cina itu, biarpun agak berasa, membikin semua rambutnya rontok, dan dalam keadaan kurus kering tanpa rambut, orang akan kelihatan seperti setan.
Pada suatu kali orang mendengar kabar, Gubermen telah menghapuskan kebun nila, menghapuskan kerja tanam paksa. Tetapi desa itu terus juga melakukan tanam paksa sampai dua tahun lagi. Dikemudian hari dapat aku ketahui, tanam paksa setelah Gubermen menghapuskannya adalah untuk kepentingan pembesar-pembesar setempat, Eropa dan pribumi.
Aku tak tahu bagaimana jalannya maka tanam paksa akal-akalan setempat itu akhirnya dihentikan. Mungkin juga karena pembagian hasil yang tidak seimbang. Pendeknya aku tahu. Itu urusan dewa-dewa yang berkuasa. Maka orang kembali mengerjakan sawah dan ladang yang telah kembali jadi hutan dan semak-semak. Penduduk telah berkurang lima puluh persen. Maka pembukaan hutan kembali dan semak itu tidak begitu sempurna. Dan pemerintah desa tidak menjadi lebih baik dengan penghapusan pertanian Negara alias Cultuurstelsel tu.
Kemudian menyusul berita-berita, kebun-kebun Gubermen akan dijadikan kebun swasta. Dan kebun-kebun itu akan jadi milik orang-orang Eropa. Orang-orang desa boleh bekerja di sana kalau mau, dengan mendapat upah cukup-cukup untuk makan sekeluarga.
Sementara itu si bocah itu telah berumur sebelas tahun, sudah lebih kuat dari tiga tahun sebelumnya. Berita-berita itu tak pernah menjadi kenyataan. Yang benar: tanha-tanah perorangan dan desa malah dirampas oleh Gubermen, termasuk lima-perenam  dari milik desa. Juga katanya untuk perkebunan sawsta. Melihat perampasan itu, petani-petani yang baru saja bangun dari kematian dan kelaparan, bangkit marah. Di pimpin oleh pak Samin, seorang desa lain, sebuah pemberontakan tani terjadi.
Si bocah berumur tiga belas tahun itu menggambungkan diri dengan para pemberontak. Tapi petani-petani itu dikalahkan dan dikalahkan dengan mudah, oleh polisi lapangan, yang didatangkan dari kota. Mereka tak pernah berhadapan dengan kompeni, karena kabarnya semua mereka ditarik ke Aceh.
Penduduk lelaki yang terlepas dari penangkapan kembali kedesa semula. Jumlahnya lebih sedikit lagi, mati dalam banyak pertempuran.
Si bocah berumur lima belas.
Rasa-rasa ketenangan dan kedamaian akan berlangsung terus dan tanah-tanah akan dikembalikan. Ternyata tidak. Tanah-tanah yang dirampas mulai dihutankan dengan jati. Katanya, tak ada perusahaan Eropa mau mengerjakan tanah rampasan, yang dianggap terlalu banyak mengandung kapur dan tidak subur itu.
Ternyata bintang kecelakaan tetap bersinar. Kemudian penduduk diusir dari desa, karena perusahaan minyak akan mendirikan kantor-kantor dan kilang-kilang di situ. Penduduk pindah dengan ternaknya, kembali membabat hutan untuk ladang, sawah dan perumahan. Orang bilang, tanah yang dirampas itu akan diganti dengan uang, tapi tak seorang pun pernah melihat uang yang dijanjikan tanpa jumlah disebutkan itu. Bahkan setiap pohon di atas tanah rampasan, katanya, telah dibayar penuh. Hanya berita belaka.
Desaku yang sejuk di bawah rerimbunan pohon-pohon buah seperti disulap berubah jadi tanah lapang. Podok-pondok hilang. Jalan-jalan yang indah dibangun, demikian juga gedung-gedung. Semua serba indah, hanya bukan milik penduduk desa.
Si bocah tinggal di desanya yang baru. Disana ia kawin dengan sisa dari perawan-perawan yang tidak direnggut oleh maut. Dan di antara anak-anak adalah aku.
Dikemudian hari, jauh di kemudian hari, dapat kuketahui, bahwa dalam hanya lima tahun, perusahaan minyak yang bermodal lima ribu gulden itu telah menjadi perusahaan raksasa dengan kekayaan setengah juta gulden. Penduduk yang terusir dari desanya tak pernah mendengar, apalagi melihat, keuntungan-keuntungan besar itu. Juga di kemudian hari kuketahui, bahwa jati yang dihasilkan oleh bumi nenek moyangku adalah jati terbaik di seluruh dunia, terkenal dengan nama dagang Java-teak. Bahkan kwalitas satu tak boleh dipergunakan di Hindia, hanya khusus untuk ekspor. Dan kami, tak pernah mendapat bagian dari keuntungan itu. Hanya seluruh kerugian dan kehilangan ditimpakan pada kami.
Betapa anehnya pembagian rezeki dan pembagian nasib bikinan manusia ini. Aku tahu dan berani membuktikan, bahwa tuan-tuan minyak ini pada mulanya adalah insiyur Geologi Gubermen di Bandung. Dengan tugas Gubermen mereka melakukan eksplorasi-eksplorasi di daerah hidup aku, orang tuaku, tetangga dan sanak-keluarga, di atas tanah nenek-moyangku dilahirkan, dan dikuburkan. Penduduk desa selalu menyambut pendatang-pendatang itu dengan baik dan ramah, tak perduli warna kulit dan apa agamanya. Kayu-bakar, kelapa tua dan muda, buah-buahan kami antarkan ketempat mereka. Setelah sumber ditemukan, mereka balik kembali ke Bandung, dan : minta keluar dari jabatan Gubermen.  Mereka kembali lagi ke Cepu sebagai nyamuk-nyamuk raksasa yang menyedot darah, daging, tanah kami, dan minyak kami dalam kandungan bumi nenek-moyangku. Dalam sepuluh tahun perusahaan minyak ini telah jadi perusahaan berjuta, sedang bekas tuan rumahnya telah kehilangan tanah dan tetap hidup dalam keadaan yang semakin miskin. Bukan itu saja, dari petani bebas berbahagia mereka mulai berubah jadi kuli-kuli bekas tamunya.
Ketika pengeboran-pengeboran baru sedang giat-giatnya dilakukan di sekitar daerah hidup kami, aku dilahirkan. Bapakku, si bocah berpatek dan berbubul dulu, kini bukan lagi kuli minyak. Ia jadi lurah. Dan perusahaan minyak menjadi rakus akan tanah. Mereka takut saingan perusahaan-perusahaan minyak lainnya yang tumbuh seperti cendawan di sekitar daerah hidup kami. Tanah-tanah yang dirampas mulai dibayar. Pesaing-pesaing itu takut saling membongkar kejahatannya terhadap penduduk.
Desa kami rasa-rasanya telah kehabisan tanah untuk melepas ternak besar kami. Bila ada salah seekor ternak kami lepas dan memasuki daerah perusahaan minyak, polisi minyak akan menangkapnya, menyitanya, dan pemiliknya dicari untuk didenda, seratus kali penghasilan umum dalam sehari, alias ringgit.
Aku hanya hendak menceritakan, dalam pemerintahan Gubermen masih ada pemerintahan minyak, dua-duanya harus dipatahkan oleh penduduk desa kami.
Sekarang ribuan orang dari daerah-daerah lain, segala bangsa, datang mencari penghidupan di Cepu. Dalam waktu pendek Cepu, yang tadinya terdiri hanya atas tiga desa berbiak menjadi dua puluh tiga desa, menjadi kota yang sibuk. Kejahatan dan kemesuman merajalela. Sipilis mulai merambat desa kami, dan meninggalkan orang-orang cacat dan invalid sebagai beban desa.
Hampir-hampir terjadi pemberontakan lagi di kalangan petani. Mendadak beberapa orang di antara penduduk desa di tangkapi dan tak kembali lagi untuk selama-lamanya. Mereka ditangkapi oleh polisi-polisi minyak.
Setelah itu rasa-rasanya keadaan takkan gelisah lagi. Seakan-akan kembalilah keamanan yang lama dalam segala kekerdilannya. Baik Gubermen maupun perusahaan minyak tetap tak berbagi keuntungan dengan penduduk. Dan pada kami tak ada ternak besar lagi. Peternakan desa pun telah tumpas semasa tanam-paksa.
Kalau aku seorang Ameri Srikat, Tuan-tuan pembaca yang terhormat, tahulah Tuan-tuan apa yang akan aku perbuat: tarik pistol dan membela apa yang masih dapat dibela. Tapi aku hanya seorang bocah pribumi tanpa sarana, tanpa pengetahuan tentang dunia. Bahkan di mana sesungguhnya desa tempat kelahiranku di tengah-tengah dunia ini, aku tak tahu. Di mana tempat orang-orang yang memiskinkan kami aku tak tahu. Aku hanya lulusan sekolah desa tiga tahun, dididik untuk jadi kuli minyak, bekerja untuk mereka yang telah merampas tanah leluhurku. Dididik untuk tetap tidak berpengetahuan, dan mematuhi segala apa saja yang diperintahkan pada kami oleh tuan-tuan kulit putih.
Ketika bapakku hendak meninggal, ia berpesan dengan sangat:
“ Mereka telah merampas semua dari kita. Jangan, Nak, jangan kau lebih lama jadi kulinya. Pergi kau ke Bandung. Mengabdilah pada seorang yang mulia hati. Orang itu bernama Raden Mas Minke. Carilah orang itu. Lakukan segala yang diperintahkan kepadamu, dan contohlah perbuatannya yang baik[130]. “

C.    Faham Realisme Sosialis dalam Realitas Empirik

Realisme sosialis, meskipun berkecimpung dalam bidang sastra, ataupun kesenian semisal lukis, teater, ketoprak, dan masih banyak lagi. Tapi realisme sosialis selalu berangkat dari esensi masalah yang dihadapi masyarakat sekitarnya. Seniman yang mampu merefleksikan ensensi realitas, sehingga seni tidak akan pernah tercerabut dari permasalahan yang ada pada masyarakatnya.
Seni yang indah menurut  Georg Lukacs, seorang tokoh  realisme sosialis berasal dari Uni Soviet, mengungkapkan kebenaran realitas. Kebenaran dalam konsepsi Lukacs adalah jika realitas dipahami dalam totalitasnya. Pemahaman akan realitas total hanya terjadi jika seniman mampu memahami gerak dialektik dari realitas. Memahami adalah mengerti dengan melibatkan seluruh kesadaran diri.[131]
Hal ini yang dilakukan oleh Lekra, mereka mengirim para anggotnya ke tempat-tempat penting di desa-desa kaum tani dan ke kampung-kampung kaum buruh. Salah seorang tokoh PKI Njoto SOBSI  atau lengkapnya atas nama kaum buruh dengan semua serikat buruh anggotanya, setelah melukiskan perjuangan kaum buruh juga dalam melawan kesulitan hidup agar tiada punah
Alangkah baiknya, jika keteguhan tekad kaum buruh ini dibacakan melalui karya-karya seni sastra, sehingga kaum buruh dapat lebih satu hati dan satu pikiran dalam perjuangan menghapuskan kepincangan sosial[132].

Selanjutnya:
Kami menyatakan terimakasih atas ungkapan-ungkapan yang telah dilakukan oleh sastrawan dalam bentuk sajak-sajak, cerita-cerita pendek, karikatur-karikatur dan sebagainya terhadap semua keunggulan perjuangan rakyat Indonesia yang heroik dan demokratis. Semua ini menambah keyakinan massa rakyat kearah kemenangan rakyat, pekerja. Alangkah baiknya, jika melalui karya-karya seni dan sastra dapat dibeberkan kenyataan-kenyataan sejarah yang objektif tentang kaum buruh yang lahirnya tampak kasar dan kotor, tapi isi batinnya, gelora hatinya, dan irama hidupnya adalah suci dan mulia, karena dalam otak kaum buruh tidak pernah terselip cita-cita untuk menggendutkan perutnya sendiri dengan memeras keringat orang lain. Yang dicita-citakan oleh kaum buruh adalah masyarakat baru yang menjamin semaksimal-maksimalnya kebutuhan-kebutuhan materiil dan kulturil, bagi semua orang yang bekerja[133].

Dari kutipan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa antara seni dan realitas itu sangat berhubungan erat. Sehingga jika seorang seniman ataupun sastrawan ingin memotret tentang keadaan para buruh dan juga petani maka mereka diharapkan turun langsung ke lapangan. Agar mereka para seniman tersebut dapat merasakan apa yang dialami oleh para petani dan juga para buruh. Sehingga para seniman dapat menggambarkan dengan pasti, dan juga detail setiap peristiwa yang dialami oleh buruh dan petani tersebut. Sebagai mana pidato Njoto:
“Kami mengundang para seniman dan sastrawan yang cinta rakyat, baik yang tergabung ataupun yang tidak tergabung dalam Lekra untuk menyempatkan diri turun kebawah, bicara dan berunding langsung dengan kaum buruh dan para aktivisnya[134]”.

Seniman dalam realis sosialis harus juga turut merasakan, pahit dan getirnya, kalah dan menangnya. Karena dalam kehendak masyarakat itulah terletak yang adil dan  benar, karena masyarakat buruh dan juga petani adalah masyarakat yang paling merasakan dampak kesenjangan ekonomi. Dalam artian penindasan yang dilakukan oleh para borjuis, entah itu berupa pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak, ataupun minimnya gaji yang diterima. Sedangkan bagi petani, harga gabah yang terus turun ataupun pengambilan atas tanah garapan mereka.
Tugas realisme sosialis juga memberikan dorongan pada rakyat yang masih pasif, sugestif untuk lebih berani memenangkan keadilan merata, untuk maju, untuk melawan dan menentang penindasan dan penghisapan serta penjajahan nasional maupun internasional, bukan saja berdasarkan ilmu dan pengetahuan, terutama memberanikan rakyat untuk melakukan orientasi terhadap sejarahnya sendiri.
Karena dalam penghisapan kapitalisme, rakyat kurang cukup medapatkan dukungan apalagi melakukan orientasi bagi sejarahnya sendiri. Pemberanian-pemberanian semacam ini sama halnya dengan penggalangan moral atau spiritual, karena tanpa kekuatan spiritual tidak ada perjuangan itu bisa kuat.
Salah satu contoh dari militansi realisme sosialis dapat diketengahkan disini sepenggal tulisan Mas Marco Kartodikromo seorang jurnalis dan yang menciptakan slogan Sama Rata Sama Rasa dalam membela klas buruh:
“ Penghisapan yang begini macam kasta buruh haruslah dibantah dengan sekeras-kerasnya”
“Tidak usah kita ambil contoh busuk, tetapi sekarang saja cukup. Siapakah yang menjalankan mesin-mesin? Siapakah yang pergi kesana-kemari untuk mengatur perdagangan dan lain-lain? Siapakah yang menggalang rumah besar-besar dan gedung-gedung yang indah-indah itu?
“Sudah tentu buruh! Si modal tinggal menghisap cerutu saja”.
“Siapakah yang menjadi soldadu?
“Sudah tentu buruh!
“Padahal militerisme bukan kecil artinya dalam dunia kemodalan. Jadi dalam ini perkara artinya buruhlah yang menjalankan praktik untuk mengatur negeri. Majikan tinggal perintah-perintah saja sambil menunggu datangnya laba”.
“Umumlah memang bahwa buruh tak dapat mencapai pengetahuan yang tinggi-tinggi, sebab dalam jamannya kemodalan, pengetahuan itu dijual dengan harga yang setinggi-tingginya. Karena buruh itu miskin, tidak heran kalau mereka pada masa ini tinggal bodoh.”
“Padahal pengetahuan-pengetahuan yang bisa membikin kemajuan manusia itu tidak harus dijual sebagai barang dagangan, tetapi harus diberikan bagi kesejahteraan negeri. Lagi pula semua pelajaran itu sekarang terisi dengan racun kemodalan yang bisa menyempitkan angan-angan buruh”.
“Dan jikalau buruh yang mulai dulu sampai sekarang itu yang menjalankan sekalian yang perlu buat pergaulan hidup, apakah buruh tak bisa mengatur ketentraman dengan peraturan yang dirembug dengan teman sejawatnya sendiri?”[135]

Sebagai salah satu aliran seni yang berlandaskan pada sosialis, maka tidak heran jika yang menjadi landasan utama atau tinjauan utama adalah masalah ekonomi. Di dalam  “ Kata Pengantar ”  buku Zur Kritik der Politischen Okonomie (1859), Karl Marx jelas-jelas mengungkapkan bagaimana Karl Marx melihat hubungan antara basis ekonomi dan superstruktur atau struktur atas (termasuk sastra):
Cara memproduksi kehidupan yang bersifat materi menentukan proses kehidupan sosial, politik, dan intelektual. Bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaannya, melainkan sebaliknya, keadaan sosiallah yang menentukan kesadarannya. Pada tahap perkembangan tertentu, kekuatan produksi material dalam masyarakat berbenturan dengan hubungan produksi yang ada, atau secara resmi, hubungan milik tempat mereka bekerja. Karena situasi perkembangan kekuatan produksi material dalam masyarakat berbenturan dengan hubungan produksi yang ada, atau secara resmi, hubungan milik tempat mereka bekerja. Karena situasi perkembangan kekuatan produksi. Hubungan kepemilikan ini menjadi belenggu bagi mereka. Kemudian, mulailah periode revolusi social. Dengan perubahan yang terjadi pada basis ekonomi, semua struktur atas tersebut cepat atau lambat dirombak.[136]

Memang akan sulit untuk menemukan teori estetika Karl Marx (misalnya dalam bidang sastra), mengingat Karl Marx tidak pernah mengeluarkan rumusan-rumusan baku mengenai hal tersebut. Estetika Karl Marx sebagian besar merupakan tafsiran-tafsiran atas terori matrealisme histories yang menempatkan prinsip-prinsip dealiktika materialis menjadi studi kehidupan dan studi perkembangan social.
Karena hal tersebut, maka aliran realisme sosialis lebih banyak berkecimpung dalam seni yang melawan sistem kapitalis. Dalam artian di sini bagai mana seorang realisme sosialis mampu membawa penyadaran terhadap penindasan yang terjadi, dan membakar semangat kaum tertindas, seperti buruh dan petani untuk melawan.
Realisme sosialis memandang, bahwa tugas seorang seniman bukan hanya memberikan penghiburan semata. Karena itu realisme sosialis sangat tidak setuju dengan istilah “seni untuk seni”. Sebab menurut mereka, istilah tersebut adalah ulah para reaksioner yang lari dari tanggung jawab[137]. Seni justru hadir untuk perjuangan masyarakat yang tertindas di dalam masyarakat kapitalis, bukan malah melarikan diri. Dalam pandangan seperti itulah realisme sosialis lahir.
Realisme sosialis sebagai mana sosialis juga memandang para borjuis dan kapitalis sebagai musuh utama. Kapitalisme tidak saja membuat pertentangan kelas yang makin melebar antara pemilik modal dan buruh, namun juga memalsukan kesadaran manusia, hingga menilai kehidupan melulu dalam ukuran materi. Tak bisa disangkal bahwa dalam masyarakat kapitalis, seni pun telah direduksi sedemikian rupa, hingga hanya menjadi komoditas. Seni diperjual belikan, dan keindahan diukur dengan uang. Kritik-kritik seni dibangun sebatas kepentingan modal[138].
Menurut Lukacs, kapitalisme telah mengubah kesadaran manusia menjadi kesadaran palsu yang menjauhkan manusia dari eksistensinya yang bebas, dan sebaliknya mendekatkan manusia pada karakter materi yang hanya mempunyai nilai fungsional. Realisme sosialis datang sebagai upaya manusia untuk bebas dari keterasingan yang lahir dari kesadaran palsu, dan kemudian menghantarnya menuju suatu pemenuhan diri sebagai manusia utuh.[139]
Sebagaimana yang telah tercantum di atas, bahwa misi dari realisme sosialis adalah untuk membangun kesadaran bagi masyarakat yang tertindas, tapi mereka memakai media kesenian. Hal tersebut diperlukan untuk memudahkan media penyampaian ajaran Marxis, bagi masyarakat petani, buruh dan kelas proletar lainnya. Inilah tugas berat yang harus selalu diemban oleh para realisme sosialis.
Seperti yang telah dilakukan oleh Mas Marco Kartodikromo, seorang wartawan yang kelak juga pelopor komitmen sosial dalam sastra sebagai mana di catat oleh Pram. Mas marco Kartodikromo jugalah yang antara lain mempopulerkan semboyan “Sama Rata Sama Rasa”  dalam sebuah artikel yang dirasakan Belanda sangat tajam, yang membuatnya dijebloskan kedalam penjara. Yang akhirnya dapat membuat radikalisasi gerakan semakin memuncak, berhubungan dengan tindakan pemerintah Hindia Belanda yang semakin represif. Dengan melakukan pengusiran terhadap sejumlah tokoh yang dianggapnya radikal seperti Mas Marco Kartodikromo, Semoen dan lain sebagainya.
Tujuan realisme sosialis dalam realitas yang ada adalah 1) Untuk apa dan mengapa ia menulis? (2) Benar tidakkah materi penulisan, dan bagai mana perkembangan dengan materi-materi tersebut sesuai dengan arah yang dikehendaki untuk menguntungkan sosialisme, untuk memenangkan keadilan sosial bagi semua dan setiap orang? Karena semua dan setiap orang membutuhkanya.[140]
Realiatas harus mampu dihadirkan oleh karya seni realisme sosialis. Realitas sekarang dialami rakyat, dan realitas masalah yang pernah terjadi, tidak hanya dibiarkan berlalu begitu saja. Masyarakat harus sadar bahwa masa sekarang merupakan pusat gerak sejarah di masa depan. Strategi perjuangan pembebasan rakyat tidak akan berhasil tanpa memahami realitas-realitas tersebut. Di sini ada kesatuan antara kesadaran seniman realisme sosialis yang membeberkan realitas dalam karya-karyanya, dengan kesadaran masyarakat yang tengah menggerakkan perjuangan pembebasan.
Dalam hal ini, posisi sastra realisme sosialis selamanya sebagai sastra perlawanan. Jika suatu realitas sudah tidak lagi memenuhi tuntutan zaman, maka bukan saja harus dirombak dan diubah, tetapi juga harus diberi realitas-realitas baru sebagai jawaban atas tantangan zaman tersebut. Memang dalam parkteknya, mengubah dan merombak realitas yang telah ada, kemudian menciptakan realitas baru, tidak selamanya sesuai dengan direncanakan. Bahkan adakalanya keliru. Akan tetapi, satu hal harus tetap dipegang, yakni prinsip untuk memenangkan proletar[141].
Realisme sosialis adalah salah satu alat perjuangan sosialis, mereka harus melihat segala permasalah yang ada dengan sifat kritis dan juga revolusioner. Maka ketika melihat petani yang tertindas ataupun buruh, ada tanggung jawab yang di pikul para sastrawan atauapun seniman realisme sosialis untuk mengajak mereka mereka merubah hal tersebut. Karena dalam pandangan realisme sosialis, tidak ada penindasan yang lahir begitu saja. Semua hal pasti ada sebabnya, untuk itu bagaimana membangun kesadaran bersama melawan penindasan tersebut. Sehingga terciptalah keadilan yang merata diatas bumi.
Karena dalam pandangan para realisme sosialis termasuk Pram, realitas adalah sebuah objek kajian yang harus diperjuangkan, seperti ketika ada seorang petani yang terampas tanahnya. Dalam pandangan Pram, hal tersebut bukanlah suatu kebetulan atau takdir semata, ada  yang membuat hal tersebut terjadi. Sebagai mana pemahaman orang sosialis, bahwa petani yang terampas haknya tersebut karena pemilik modal yang ingin mengambil tanah petani tersebut. Maka petani tersebut harus memperjuangkan tanah yang digarapnya, sebab seorang petani jika tidak memiliki tanah maka dia bukanlah lagi seorang petani.
Pemahaman tersebut juga berlaku, untuk buruh atau manusia yang tertindas lainnya. Buruh adalah orang yang berada paling bawah dalam struktur ekonomi, yang paling atas adalah pemilik modal. Dan pemilik modal akan berusaha mengambil untung yang sebanyak-banyaknya salah satunya dengan memberi upah yang rendah pada buruh, maka agar buruh tidak lagi mendapat upah yang rendah dan terjadi kesenjangan yang begitu jauh. Buruh haruslah berjuang untuk menuntut haknya, sebagai mana yang terjadi saat ini. Banyak sekali buruh yang demo untuk kenaikan upah.
Sebagaimana yang di lakukan Soekarno dalam Manifesto politiknya, bahwa ekonomi harus diatur sebagai usaha bersama atas dasar kekeluargaan. Dalam penjelasan lebih jauh tentang hal tersebut, Soekarno mengingatkan bahwa kapitalisme–kapitalisme serakah baik itu orang Indonesia maupun orang asing yang mendominasi cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan hajat hidup orang banyak harus diatur oleh negara dan tidak dijalankan oleh pengusaha-pengusaha swasta. Agar menguntungkan investor-investor asing yang potensial, Soekarno menekankan bahwa modal asing maupun selain Belanda, yang memainkan peran negative akan mengalami nasib yang sama seperti halnya perusahaan-perusahaan Belanda yang diambil alih oleh pemerintah[142].

BAB  IV
Pandangan Subtansial Pramoedya tentang Realisme Sosialis dalam Novel Tetralogi

Bab keempat ini akan menganalisis lebih jauh mengenai tentang unsur realisme sosialis yang terkandung dalam novel Tetralogi, setelah dalam bab-bab sebelumnya diterangkan tentang realisme sosialis dalam pandangan Pram, yang tercantum dalam tulisannya “ Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia”.
Di dalamnya Pram mengatakan secara singkat bahwa yang dimaksud dengan realisme sosialis adalah pempraktikan sosialisme di bidang karya sastra.
Ada banyak pandangan yang mengandung unsur-unsur realisme sosialis yang mempresentasikan gagasan Pram dalam berbagai novel dan tulisannya. Pram sangat memahami bagaimana menyampaikan gagasan realisme sosialis.
Realisme sosialis dalam tafsiran kesenian Uni Soviet berarti seni yang menggambarkan kemenangan, para pahlawan dan optimisme membangun ekonomi dan masyarakat sosialis. Seni dituntut untuk mengutamakan kolektivitas, mangacu pada gambaran masyarakat sedang bekerja atau berjuang, kecuali saat menggambarkan para pahlawan seperti Lenin dan Stalin. Fungsi seni ditetapkan sebagai alat mendidik buruh dengan nilai-nilai sosialis yang sejalan dengan garis politik partai komunis. Karya-karya dari periode ini yang kemudian dikenal dan dikecam dalam wacana kritik Barat sebagai kultus individu Lenin dan Stalin[143].
A.    Realisme Sosialis sebagai Upaya Membentuk Paradigma dan Orientasi Kehidupan


Ya, memang belum banyak yang bisa ku dapatkan dalam diriku. Jean marais bercita-cita mengisi hidup dengan lukisan-lukisan, bukan hanya menyambung hidup. Untuk apa aku menulis, sampai mendapatkan kemashuran sebanyak itu? Kau tidak adil Minke, kalau memburu kepuasan saja bisa mendapatkan kemashuran. Tidak adil! Orang-orang lain  bekerja sampai berkeringat darah, mati-matian, jangankan mendapatkan kemasyhuran ,hanya untuk dapat makan dua kali sehari belum tentu bisa[144].

Kutipan di atas memberi gambaran tentang realisme sosialis, mengenai mental priyayi, yang melahirkan kelas-kelas dalam masyarakat. Percakapan ini terjadi ketika Minke harus menghadap seorang Bupati, yang Bupati tersebut jauh lebih bodoh dibanding dia. Namun karena kelas-kelas yang telah terbangun maka ketika Minke menghadap tetap harus berjalan sambil berjongkok dan menyembah dahulu. Namun di sini Minke terlihat sombong atas pengetahuannya atas ilmu pengetahuan yang dimilikinya, sehingga tidak terlihat pribadinya sebagai seorang sosialis yang mencita-citakan persamaan hak. Mengenai hal tersebut digambarkan sangat jelas oleh Pram dalam tulisan ini:
Jadi aku akan dihadapkan pada Bupati B. god! Urusan apa pula? Dan aku ini, siswa H.B.S., haruskah merangkak dihadapannya dan mengangkat sembah pada setiap titik kalimatku sendiri untukku sendiri untuk orang yang sama sekali tidak kukenal! Dalam berjalan ke pendopo yang sudah diterangi dengan empat buah lampu itu aku merasa seperti hendak menangis. Apa guna belajar ilmu dan pengetahuan Eropa, bergaul dengan orang-orang Eropa, kalau akhirnya toh harus merangkak, beringsut seperti keong dan menyembah seorang raja kecil yang barangkali butahuruf pula? God, God! Menghadap seorang bupati sama dengan bersiap menampung penghinaan tanpa boleh membela diri. Tak pernah aku memaksa orang lain berbuat semacam itu terhadapku. Mengapa harus aku lakukan untuk orang lain? Sambar geledek![145]

Perbedaan  kelas dalam masyarakat feodal dilakukan oleh pemerintahan kolonial belanda. Sebagaimana kita tahu bahwa bangsa kolonial dan Eropa menduduki kelas pertama, kedua kaum cina dan priyayi, ketiga adalah rakyat jelata.
Perbedaan ini berdampak pada kehidupan sehari-hari masyarakat misalnya dalam hal kepemilikan tanah. Dimana dalam tetralogi, Pram juga tidak hanya mempersoalkan kelas atau kasta masyarakat, tetapi menggambarkan mengenai kepemilikan tanah sebagai basis produksi rakyat saat itu yang cenderung dikuasai secara semena-mena oleh penguasa.
Dalam tetralogi banyak cerita-cerita Pram tentang nasib seorang petani yang mempertahankan tanahnya dari pengambilan paksa pemilik modal, karena pemilik modal tersebut dilindungi oleh hukum yang berlaku, sementara petani tersebut harus berjuang sendiri tanpa ada yang membelanya.
Dalam beberapa karyanya Pram juga terinspirasi dari Revolusi Perancis, tentang perlawanan baru dari buruh yang hampir saja menggusur kekuatan De Gaulle. Kejadian tersebut bermula dari kaum tani yang dirampas tanah garapannya dan diusir begitu saja. Mereka tidak hanya harus lepas dari tanah garapannya, tetapi juga terpaksa meninggalkan desanya untuk mencari penghidupan di kota. Di kota, mereka juga sangat sukar menemukan apa yang diharapkan dan menyebabkan banyak orang menjadi gelandangan.  Tidak semua petani di rampas tanahnya ada juga petani yang justru menjual tanahnya untuk kesenangan semata dalam artian untuk memenuhi budaya konsumtif mereka. Peristiwa tersebut sangat mempengaruhi perjalanan pemikiran sang tokoh, yaitu Minke.
“Berteriak apa orang-orang itu?”
“yang tinggal di situ, Ndoro.”
“Di rumah genteng itu?’
“Betul, Ndoro.”
“Mengapa diteriaki?”
“Dia tak juga mau pindah dari tempatnya.”
“Mengapa harus pindah?”
“Mereka “ katanya bengis dan benci, “anjing-anjing  prabik. Ini tanahku sendiri. Peduli apa hendak kuapakan,” ia seka keringat dari pundak[146].

Perasaan tidak enak masih juga menongkrong dalam hatiku, karena petani yang seorang ini kembali bicara ngoko. Benar-benar dia petani yang sudah keluar dari golongannya. Dan apa pula gunanya aku hadapi baik-baik? Tapi kau sudah bertekad hendak mengenal bangsamu! Kau harus dapat mengenal kesulitannya. Dia salah seorang bangsamu yang tidak kau kenal, bangsamu yang hendak kau tulis kalau kau sudah mulai belajar mengenalnya!.[147]
Dan kau tidak beda dengan orang-orang lain. Kau tidak lebih tinggi, tidak lebih mulia dari Trunodongso . itu kalau kau benar-benar mengerti Revolusi Prancis. Bagaimana kau sekarang Minke?”[148]

Kesadaran lain juga lahir dari sang tokoh Minke, misalnya, tentang bahasa yang merupakan sekat komunikatif antar golongan dan kelas waktu itu. Yang kemudian muncul anjuran emansipatif dari obrolan Minke dengan seorang perempuan bernama Nyai Ontosoroh.  Minke menganggap menulis dalam bahasa melayu sangat penting untuk mewujudkan persamaan kelas dan pencerahan kaum pribumi karena bahasa malayu itu tidak mencerminkan watak feodalisme. Tetapi saat ini bahasa daerah justru mesti dilestarikan terlepas dari perwatakan feodalis ataupun tidak, seba bahasa daerah adalah warisan dari nenek moyang, siapa lagi yang akan melestarikan kalau bukan generasi mendatang.
Juga kau hendak membelanya terhadap penindasan dengan bahasa oleh kau sendiri? Ha, kau tak mau menjawab. Kalau begitu memang tepat kau harus menulis Melayu, Minke, bahasa itu tidak mengandung watak penindasan, tepat dengan kehendak revolusi Prancis.[149]
“Aku lebih percaya pada Revolusi Perancis, Tuan Tollenaar. Kebebasan, persaudaraan dan persamaan, bukan hanya untuk diri sendiri seperti sekarang terjadi diseluruh daratan Eropa dan Ameriak Serikat, tapi untuk setiap orang, setiap dan semua bangsa manusia di atas bumi ini. Sikap begini dinamai sikap liberal sejati, Tuan.”[150]

 “jangan salah artikan kebebasan dalam semboyan Revolusi Prancis” “orang Prancis sendiri juga banyak menyalah-artikan jadi bebas merampok dan bebas tak berkewajiban pada siapa pun, walhasil jadi sewenang-wenang tanpa batas. Kebesaran hanya untuk diri sendiri di negeri-sendiri! Semua terpelajar pribumi Asia dalam kebebasannya mempunyai kewajiban-kewajiban tak terbatas buat kebangkitan bangsanya masing-masing. Kalau tidak, eropa akana merajalela”.[151]


Gelombang emansipasi dari ciri realisme sosialis dari kutipan di atas, ternyata, tidak hanya mengalir dan menjalari diri-diri pribadi kaum bumiputra nusantara saja tetapi melampaui batas teritori geografis itu sampai mencakup Asia  malah bukan ke arah Jawa dimana tempat munculnya pribadi Minke. Ada unsur geopilitik disitu dalam membaca segala gugus kebudayaan timur vis a vis barat yang tengah menghegemonik dalam kenyataan sosial yang dimiskinkan dan disengsarakan. Dalam pandangan geopolitik itu gugus itu merupakan satuan-satuan ekonomis dan politis yang membentuk organisma masyarakat baru yang sedang diangankan  oleh Minke. Wawasan yang memandang keseluruhan satuan gugus itu untuk ukuran sezaman itu cukuplah menyita dan menyedot perhatian para kolonialis. Itulah sebabnya Minke adalah pribadi pribumi terdidik yang menyulitkan jalannya penjajahan, dan berbahaya bagi pribadi-pribadi kolonialis. Namun lain bagi kaum bumiputra, dia lentera bercahaya yang akan menerangi kesadaran dan mambangkitkan bangsanya. 
Salah satunya yang lain ialah ; jika dalam hukum ekonomi feodal, dalam system maro atau bagi hasil, biaya penggarapan tanah sampai pembelian bibit dan pemeliharaan tanaman dibebankan atau dipikul oleh petani yang menggarap tanah. Sedang tuan pemilik tanah tidak kehilangan sesenpun untuk biaya produksi. Mereka tinggal menerima saja hasil pembagian dari hasil produksi tanah miliknya yang di bagi hasilkan atau yang digarap oleh petani penggarap. Sistem bagi hasil sebenarnya tidak sepenuhnya merugikan petani, karena untuk saat ini sistem bagi hasil bagi hasil justru lebih aman karena jika terjadi sesuatu hal atas tanah garapan maka bisa di tanggung bersama.
“Tentu saja ini tanahmu sendiri,” kataku memberanikan dia dan diriku sendiri.
“Lima bahu, warisan orang tua.”
“Kau benar,” kataku, “ada kubaca di kantor tanah.”
“Nah, ada tertulis dikantor tanah,” ia bicara pada dirinya sendiri. Ketegangannya mulai surut. Lambat-laun aku lihat ia mulai kembali jadi petani jawa yang rendah hati.
“ Ya, Ndoro, sebenarnya sahaya sudah cukup bersabar. Warisan sahaya lima bahu (7096,5 m2), tiga sawah dan dua lading dan pekarangan rumah ini. Tiga bahu, sudah dipakai pabrik. Tidak sahaya sewakan secara baik-baik, tapi dipaksa secara kasar; priyayi pabrik, lurah, sinder, entah siapa lagi. Dikontrak delapan belas bulan. Delapan belas bulan! Nyatanya dua tahun. Mesti menunggu sampai bonggol-bonggol tebu habis didongkeli. Kecuali kalau mau cap jempol mengontrakkan lagi untuk musim tebu mendatang, Apa arti uang kontrak? Hitung punya hitung sewanya selalu tak pernah penuh. Anjing-anjing itu, Ndoro….sekarang ladang mau dikontrak. Pepohonan akan dirobohkan untuk tebu!”
“Berapa sewa untuk satu bahu?” tanyaku sambil mengeluarkan alat tulis-menulis dari dalam tas, mengetahui, semua petani Jawa menaruh hormat pada barangsiapa melakukan pekerjaan tulis menulis. Akupun siap-siap mencatat.
“Sebelas picis, Ndoro” jawabnya lancar. Mengherankan.
“Sebelas picis, buat setiap bahu selama delapan belas bulan?” aku terpekik.
“Betul, Ndoro.”
“Tiga talen”
“Kemana yang tiga puluh lima sen?”
“Mana sahaya tahu, Ndoro. Cap jempol saja, kata mereka tidak lebih dari tiga talen sebahu. Delapan belas bulan, katanya. Nyatanya dua tahun sampai tunggul-tunggul tebu habis di dongkeli”.[152]
Ini menandaskan ciri realis-sosialis pada karya atau malah pada diri pribadi Pram itu. Seperti Pram sendiri katakan ; “Bagi saya, keindahan itu terletak pada kemanusiaan, yaitu perjuangan untuk kemanusiaan, pembebasan terhadap penindasan. Jadi keindahan itu terletak pada kemurnian kemanusiaan, bukan dalam mengutak-atik bahasa”. [153]

“Tahu Tuan upah kuli tebu yang baik dalam sehari? Tiga talen sehari. Kalau orang kerja jadi kuli, dua hari saja, yang diperolehnya sudah melebihi sewa tanahnya sendiri sebanyak satu bahu. Siapa bilang orang lebih suka menggarap sawah sendiri daripada jadi kuli tebu? Berapa harga kerja cangkul dalam sehari? Tiga benggol, tidak lebih.”[154]

Penindasan bagi Pram bukan keindahan itu sendiri. Ini juga bukan berarti jika ada derita sengsara disana itulah keindahan bersemayam. Keindahan,  dalam karya-karya pram ini adalah bukan tempat orang mencari jati diri tidak seperti dalam novel-novel atau karya-karya sastra yang cendrung romantis-melankolis atau yang bombastis. Penemuan jati diri malah mewujud ketika terlibat dalam gairah semangat perjuangan kaum yang terlemahkan dan pembebasan dari penindasan sama pemahamannya dalam semboyan Marxian yang berbunyi; “Di dalam kerja engkau merdeka”. Inilah keindahan itu  terletak dalam perjuangan dan gairah semangat sasatrawi realis-sosialis Pram, mengangkat jati diri pribumi!
Bacalah petikan berikut ini; bukan indah yang menggoda genit, tapi kenyataan (narasi) pedih dan derita kemanusiaan yang mengiris dari sekian tragedi sosial akibat kolonialisme. Indah ! –bukan untuk dielem yang lantas menimbulkan gairah-gairah yang sentimentil. Akan tetapi kepedihan yang menuntut untuk dihinggapi kepedulian dan emansipasi. Novel tetralogi banyak sekali menampilkan kepedihan seolah-seolah itu adalah pengalaman pram yang masuk dalam novel tersebut., sehingga sering kali hal tersebut melahirkan kebingungan cerita tersebut pengalaman Tirto Adhi Suryo atau Pram.
Pribumi bertombak dan berpanah akan mati bergelimangan lagi atas perintahnya, entah dimana akan terjadi. Demi keutuhan wilayah, kata-kata lain dari: demi keamanan modal besar Hindia. Darah, jiwa, perbudakan, penganiayaan perampasan, penghinaan akan terjadi lagi di bawah tudingan tangannya.[155]
Perlakuan sewenang-wenang dalam perusahaan-perusahaan kereta api, perkebunan, kantor-kantor Gubermen, perampasan anak gadis dan istri oleh pembesar-pembesar setempat dengan menggunakan kekuasaan yang ada pada mereka, mengisi permohonan-permohonan pertolongan.[156]

B.     Pandangan Pramoedya Ananta Toer tentang Organisasi sebagai Sikap Melawan Imprealisme

Buah dari pembacaan atas pemahaman atas pikiran Pram dan proses analisisnya menghasilkan apa yang menjadi sub-judul B ini. Melalui organisasi proses perjalanan sebuah kesadaran kelas, status hukum dan politik, begitu kentara dialami oleh bangsa ini dalam karya Pram, terutama pada sosok Minke. Dari embrio-embrio tersebut  lahirlah organisasi awal di Indonesia yang bernama Budi Oetomo. Yang digawangi oleh para terpelajar Hindia. Organisasi tersebut, bertujuan untuk memberi pengajaran pada semua orang tanpa ada kasta, karena yang boleh sekolah di sekolah yang didirikan Belanda adalah orang Belanda sendiri, Indo, dan juga para priyayi. B. O meski sebagai pelopor organisasi pertama tidak cukup mampu untuk mengakomodir semua permasalahan yang terjadi di masyarakat saat itu.
Utusan Raden Tomo telah datang ke Bandung untuk menagih janji. Ia dan teman-temannya sesekolah telah berhasil membentuk sebuah organisasi sebagaimana pernah dianjurkan oleh dokter jawa pensiunan dulu. Juga olehku sendiri. Nama organisasi: Boedi Oetomo[157].
“Dan bahwa ada gerak dari minus ke plus pada umat manusia, dan itu dinamai gerak juang? Lupa kau, Koen? Atau B.O yang lupa? Kan B.O. tidak bermaksud mempertahankan yang ada, agar yang miskin tetap miskin, yang bodoh tetap bebal, dan yang sakit tinggallah menggeletak menungggu sakratulmaut?”[158]

Bentuk perlawanan emansipatoris terhadap segala hal  di dalam karyanya yang ada unsur pertentangan kelas, salah satunya, bukan hanya terjadi pada bentuk sosial-ekonomi saja, tetapi juga dalam bentuk bahasa. Inilah awal kesadaran tentang persamaan dan etos organisasi (kolektifisme) dalam mewujudkan persatuan melawan hegemoni penjajah. Bahasa-lah wadah organisme kesadaran-kesadaran itu.
Dalam rapat-rapat cabang yang tahu bahasa Jawa tentu tak diharuskan berbahasa melayu. Tetapi kalu tingkatnya sudah Kongres atau tingkat Pusat, atau berhubungan dengan pusat, tak bisa tidak harus dipergunakan Melayu.” “Mengapa Jawa harus dikalahkan oleh Melayu?” “Diambil praktisnya, Mas. Sekarang, yang tidak praktis akan tersingkir. Bahasa Jawa tidak praktis. Tingkat-tingkat di dalamnya adalah bahasa presentasi untuk menyatakan kedudukan diri, melayu lebih sederhana. Organisasi tidak membutuhkan pernyataan kedudukan diri. Semua anggota sama, tak ada yang lebih tinggi atau lebih renadah.”[159]

Pemakaian bahasa melayu benar-benar diperjuangkan dalam berorganisasi wadah pendidikan dan penyadaran kaum pribumi. Pram dalam narasi ini menggambarkan kekuatan baru pada kaum bumiputra, terkhusus pada diri Minke, dalam mencapai persamaan derajat dalam tingkat yang paling sublime dan dini; yakni pada aras bahasa. Bahasa daerah pun sebenarnya anti penindasan, tapi yang menjadi masalah adalah bahasa daerah itu berbeda-beda. Bahasa melayu adalah bahasa persatuan di mana semua orang mengerti, bukan bahasa yang anti penindasan. Pram di sini terlalu melebih-lebihkan.

Di kota-kota sepanjang pesisir utara Jawa Barat telah berdiri cabang-cabang dengan anggota rat-rata empat puluh sampai seratus orang. Di kota-kota pegunungan memang lebih sendat. Di Tasikmalaya, Garut dan Sukabumi nampak adanya kegiatan mengagumkan. Garut mencactat sejarah: disini pernah di adakan rapat umum propaganda S.D.I. rapat umum pertama.[160]

“Organisasi ini lahir di tanah Hindia sebagai organisasi Pribumi, bukan organisasi segala bangsa yang bermaksud untuk mrerugikan Pribumi. Tidak ada hak pada siapa pun, bangsa apa pun anggota atau bukan anggota S.D.I. untuk merugikan Pribumi, baik pedagangnya atau petaninya, ataupun tukang-tukangnya. Kalau ada cabang yang punya cara dan jalan sendiri yang sengaja dan diketahui melakukan tindakan merugikan terhadap pribumi, itu bukan cabang S.D.I. seluruh Hindia dapat melakukan tindakan serentak terhadap cabang durjana demikian. Aku yakin, saudara-saudara, dewan pimpinan pusat tidak akan ragu-ragu mengeluarkan titahnya.”[161]

Minke melihat bahwa bangsa Arab yang selama ini di pandang sebagai bangsa yang terbelakang oleh orang Eropa ternyata sebenarnya lebih luas pengetahuan keilmuannya. Di samping itu ekonomi yang di bangun di Negara Indonesia tidak menindas, mereka berdagang dengan damai. Sebab dalam transaksi berdagang tidak ada majikan dan buruh semua mempunyai kedudukan yang sama. Hal tersebut sesuai dengan faham sosialisme yang menolak adanya klas dalam sistem masyarakat.

Orang Arab, yang sama sekali tidak pernah mendapat pendidikan Eropa ini, ternyata mempunyai pengetahuan praktis yang sangat patut untuk kuindahkan dan kupelajari. Putra-putranya ia kirim ke Universitas Turki, menguasai banyak bahasa modern.[162]
“Pedagang orang paling giat di antara umat manusia ini, Tuan. Dia orang paling pintar. Orang menamainya juga saudagar, orang dengan seribu akal. Hanya orang bodoh bercita-cita jadi pegawai, kerjanya hanya disuruh-suruh seperti budak. Bukan kebetulan Nabi s.a.w pada mulanya juga pedagang. Pedagang mempunyai pengetahuan luas tentang ikhwal dan kebutuhan hidup, usaha dan hubungannya. Perdagangan membikin orang terbebas dari pangkat-pangkat, tak membeda-bedakan sesama manusia, apakah dia pembesar atau bawahan, bahkan budak pun. Pedagang berpikir cepat. Mereka menghidupkan yang beku dan menggiatkan yang lumpuh.”[163]

Perjuangan dalam merebut kesamaan klas, tidak hanya di dukung oleh organisasi semata, tapi juga oleh landasan organisasi yang kuat. Sehingga progam organisasi untuk memperjuangan kesamaan hak itu tercapai, dan landasan yang paling kuat adalah agama islam. Minke memandang bahwa agama Islam agama yang anti penjajahan, ini bisa terbukti dengan kedatangan para pedagang dari Arab yang berdagang dengan baik-baik. Tidak seperti Belanda, mereka mengaku ingin berdagang di Indonesia tapi setelah melihat kekayaan Indonesia mereka justru berbalik arah menjadi menjajah. Sebagai mana yang sering di lakukan oleh orang-orang kapitalis, Belanda datang ke Indonesia ingin meraih keuntungan sebesar-besarnya dan mengeluarkan modal sekecil-kecilnya.
“Islam dan dagang mempunyai landasan lebih luas dan lebih mengikat dari pada indisch. Pikiran-pikiran Tuan bukan tidak kupertimbangkan. Landasannya tidak ada, kurang jelas. Setidaknya-tidaknya belum aku lihat, hanya berupa cita-cita, bukan kenyataan. Memang cita-cita bisa menjadi kenyataan di kemudian hari, tetapi landasannya tetap kenyataan sosial masakini”.[164]
Islam, kataku selanjutnya, yang secara tradisional melawan penjajah sejak semula Eropa datang ke Hindia, dan akan terus melawan selama penjajah berkuasa. Bentuknya yang paling lunak: menolak kerjasama, jadi pedagang. Tradisi itu patut di hidupkan dipimpin, tidak boleh mengamuk tanpa tujuan. Tradisi sehebat dan seperkasa itu adalh modal yang bisa menciptakan segala kebajikan untuk segala bangsa Hindia[165].
“Teapi para petani itu adalah saudara-saudara kita sendiri, sebangsa kita sendiri, yang hendak diperas tanah dan duitnya secara gegabah oleh perusahaan-perushaan raksas Eropa, Arab dan Cina. Kalau Tuan-tuan membiarkan ini terjadi, Tuan-tuan membenarkan pemerasan itu, Tuan-tuan membenarkan kejahatan, apa itu di benarkan dalam Islam? Kan kita akan malu sebagai Muslim membiarkan yang demikian terjadi?”
akhirnya Islam harus menentang keputusan sindikat dan berpihak pada petan.[166]i

Minke, sebagai tokoh protagonis. Membeberkan maksud kedatangan Belanda ke Indonesia, meski mereka menggunakan dalih untuk berdagang. Tapi tujuan utamanya adalah untuk menjajah, seperti yang telah diuraikan di atas. Ini sangat berlainan dengan orang Arab yang hendak berdagang di Indonesia, mereka memang benar-benar berniat untuk berdagang. Bukan untuk menjajah, sebagaimana dialog dibawah ini:
 “Eropa datang berdagang kemari, Tuan, tapi menjauhkan dirinya dari Pribumi. Malah memperdagangkannya.”
“Eropa datang bukan untuk berdagang dengan kita. Mereka datang dengan meriam dan bedil.”
“Apa pun alat yang dibawanya, mereka berdagang.”
“Kalau sekarang ini aku todong Tuan dengan senapan, aku rampas semua pakaian Tuan, sehingga tinggal selembar setangan untuk menutup kemaluan, kemudian aku tinggalkan pada Tuan satu setengah sen, pastilah itu bukan berdagang. Dan itulah wajah Eropa colonial, sesungguhnya.”
“Tuan lupa, meriam dan Bedil juga alat berdagang pada jamannya,” bantah Douwager. “Masih berlaku di banyak tempat sampai sekarang, kalau bangsa sudah ditaklukkan seperti di Hindia ini, bangsa taklukan dibikin jadi penghasil barang dagangan. Malah diperdagangkan.”
“Sama saja, Tuan. Perdagangan terjadi hanya karena suka antara kedua belah pihak yang berkepentingan. Selama tak ada syarat itu, dan pertukaran terjadi, itu bukan perdagangan, itu kejahatan”[167] .

Ini adalah awal lahirnya S.I. Menjelang akhir tahun 1919, pimpinan pusat S.I berhasil menyatukan 22 Serikat Dagang Indonesia dengan jumlah anggota 77.000 di bawah satu komando[168]. Serikat Dagang Indonesia bertujuan untuk menahan laju gerak ekonomi orang Cina dan juga Eropa yang sudah sangat menghegemoni masyarakat pribumi, Serikat Dagang Indonesia bermula dari para pedagang batik di Sala dan Yogya. Sebab kain yang mereka butuhkan untuk membatik dijual dengan harga tinggi oleh orang Cina yang sudah bersekutu dengan Eropa (Belanda). Sehingga dibutuhkan organisasi untuk melawan sistem penindasan yang mereka lakukan.
Sedangkan Sarikat Islam adalah kepanjangan dari organisasi SDI, yang membedakan SDI dengan SI adalah perjuangan yang dilakukannya. Jika SDI lebih berkecimpung hanya dalam wilayah basis ekonomi semata, SI lebih luas cakupan perjuangannya semisal politik. Perjuangan SI untuk persamaan dalam hal politik bagi masyarakat pribumi,  Minke sadar perjuangan persamaan hak tidak hanya di lakukan dengan mengangkat sejata. Tapi juga harus lewat organisasi yang kuat, sehingga penekanan terhadap sistem feodal juga di lakukan  lewat negosiasi, yang diharapkan terwujudnya persamaan hak.  Hal tersebut dapat dibaca di dalam cerita di bawah ini:

Dokumen keempat adalah sebuah laporan panjang dari Sala, memakan tidak kurang dari empat puluh halaman, di tulis oleh tangan yang mahir, kecil-kecil dan rampak, tapi dalam bahasa Melayu yang sangat buruk. Laporan itu mencatat tentang terjadinya kegiatan S.D.I. di Sala, yang menarik perhatian pemerintah putih dan Pribumi: haji Samadi dengan pimpinan S.D.I. cabang Sala telah mengeluarkan pernyataan, bahwa telah didirikan perkumpulan bernama Syarikat Islam dengan dia sendiri sebagai pimpinannya. Tetapi, semua pimpin di dalamnya adalah juga pimpinan  S.D.I.[169]

Cabang-cabang S.D.I. segera menyesuaikan diri dengan menamakan diri Syarikat Islam dalam suatu koperensi darurat di Sala. Arus anggota baru taka dapat kubendung. Aku mengerti, bahwa saat untuk berorganisasi telah tiba dalam daftar kebuthan pribumi di Jawa. Tugasku menghadang ini. Tidak hanya aku saja. Aku kira semua ahli dan penguasa colonial terheran-heran mengikuti perkembangan Syarikat setelah terjadinya penyerahan pimpinan dari Minke ke tangan Hadji Samadi.[170]
 Para kapitalis juga membangun kesadaran mistik pada masyarakat untuk melanggengkan kekuasaan. Sehingga mereka tidak bisa berbifikir secara kritis dan diharapkan agar dengan hal tersebut masyarakat yang tertindas tidak berontak. Ini cara yang paling ampuh untuk mengamankan modal yang telah di tanam oleh para kapitalis, ketika masyarakat tidak bisa lagi berfikir kritis maka akan tetap tercipta klas antara kapital dan juga proletar. Tulisan Minke di bawah ini, untuk mengugah kesadaran masyarakat yang ada tentang pentingnya ilmu pengetahuan. Sehingga mereka tidak takut lagi melakukan perlawanan terhadap sistem kapitalis yang ada. Mistik sampai sekarang masih di percaya oleh sebagian masayarakat, dan hal tersebut sebenarnya bukan di lahirkan oleh belanda tetapi sudah keyakinan dari nenek moyang yang sebelum datangnya agama-agama beraliran mistisisme.

Sudah tepatkah pandangan Eropa colonial ini? Bukan saja tidak tepat, juga tidak benar. Tetapi Eropa colonial tidak berhenti sampai di situ. Setelah Pribumi jatuh dalam kehinaan dan tak mampu lagi membela dirinya sendiri, dilemparkannya hinaan yang sebodoh-bodohnya. Mereka mengetawakan penguasa-penguasa Pribumi di Jawa yang menggunakan tahyul untuk menguasai rakyatnya sendiri, dan dengan demikian tak mengeluarkan biaya untuk menyewa tenaga-tenaga kepolisian untuk mempertahankan kepentingannya. Nyai Roro Kidul adalah kreasi Jawa yang gemilang untuk mempertahankan kepentingan raja-raja Pribumi Jawa. Tapi juga Eropa mempertahankan tahyul: tahyul tentang hebatnya ilmu pengetahuan agar orang-orang jajahan tak melihat wajah Eropa, wujud Eropa, yang menggunakannya. Baik penguasa Eropa colonial mau pun Pribumi sama korupnya[171].

Indische Partij adalah organisasi orang belanda yang di pimpin oleh H. J. F.M. Sneevliet. Mereka adalah orang-sosialis. Kelompok ini yang kemudian berkembang menjadi Partai Komunis Indonesia.[172] PKI, sebagai penganut faham sosialis melakukan berbagai upaya penyadaran terdapat sistem klas yang tercipta di masyarakat, salah satunya adalah Lekra. Dengan semangat sosialis tersebut Indische Partij melakukan penyadaran terhadap sistem kapitalis yang menindas terhadap masayarakat Indonesia, yang membuat masyarakat Indonesia jatuh ke dalam jurang kemiskinan tiada ujungnya. Sedangkan kapitalis (Belanda) hidup dengan penuh kemewahan, bahkan penghisapan kekayaan yang dilakukan oleh Belanda bisa menutupi semua hutang kerajaan Belanda. Orang Belanda yang berfaham sosialisme tetap eksklusif, mereka tidak mau bergabung dengan organisasi yang ada. Mereka mendirikan organisasi baru, karena mereka merasa superior.
Syarikat aku anggap sebagai gelembung akibat samudra kehidupan yang telah teraduk unsure-unsur modern, dan pada suatu kali gelembungan ini akan meletus berpecahan tanpa meninggalkan bekas. Indische Partij lain lagi. Ia justru mempersatukan unsure-unsur manusia modern di Hindia, peranakan Eropa dan terpelajar Pribumi sekaligus. Dalam jumlah anggota ia tidak berarti dibandingkan dengan Syarikat. Dalam kesadaran berpolitik dia lebih unggul.dalam kesadaran berpolitik dia lebih unggul. Dalam kesadaran berpolitik Mas Tjokro masih harus banyak belajar dari mereka. Tapi bagaimana pun dua organisasi itu menyala di angkasa hitam seperti dua bintang, terpisah jutaan mil satu dari yang lain, tak pernah ada usaha pendekatan, jangankan persinggungan. Yang satu gemuk dengan kebanyakan anggota dan tak bisa berbuat apa-apa. Yang lain dengan hanya anggota ratusan orang dan bakal kurus-kering dirongrong oleh keinginan-keinginan tanpa batas[173].



Di sini Pram bukan membenci agama Nasrani, tetapi dari mana agama tersebut lahir. Yang dimaksud disini adalah Belanda, yang menjadi penghisap atas sekian ekonomi bagi bangsanya. Salah satu tujuan Belanda datang ke Indonesia juga untuk menyebarkan agama Nasrani, di samping menjajah.


Aku tahu, bahwa aku harus mengelakkan percakapan yang menyudutkan ini. Benar sekali, bahwa pada jamannya agama juga politik. Bangsa-bangsa Hindia yang Nasarani memang tidak mencari pertengkaran dengang gubermen yang Nasrani pula, tetapi tulisan-tulisan Raden Mas Minke menunjukkan contoh-contoh, bahwa juga orang-orang tertentu bisa mencari pertengkaran dengan bangsanya sendiri, seperti Khouw Ah Soe dan Ang San Mei. Benar mereka Protestan dan Katholik, tapi mereka bukan karena agama ikut berusaha menggulingkan dinasti Ching. Mereka digerakkan oleh sesuatu yang lain, yang bernama Nasionalisme.

Mas Marco Kartodokromo adalah pencipta semboyan “Sama Rata Sama Rasa”. Semboyan ini di kalangan rakyat jelata mempunyai kekuatan yang menghidupi, dan semboyan inilah yang memberikan sumbangan yang tidak sedikit artinya bagi perjuangan untuk memenangkan kemerdekaan nasional yang ditingkatkan dengan revolusi nasional  sekaligus mengandung di dalamnya keadilan sosial[174]. Hal tersebut adalah perjuangan orang-orang sosialis.

Marco, Ia mencoba mengerti dan mengikuti arus jaman yang semakin santar mendatangi. Ia selau bercelana pantolan putih dan berbaju putih. Sisirannya selalu rapi sibak tengah, matanya dibukanya lebar-lebar selalu, seakan-akan tak hendak kehilangan sesuatu atas segala yang terjadi di sekelilingnya dan di dunia besar di luar negerinya[175].


Organisasi SI mulai pecah, menjadi dua bagian yaitu SI dan PKI. pada tahun 1926, akhirnya Semaun keluar dari SI meski dihalang-halangi oleh orang-orang SI yang masih memegang posisi-posisi puncak. Semaun tetap keluar untuk membuat federasi serikat dagang tandingan dengan anggota 14 serikat termasuk VSTP atau serikat pekerja kereta api[176]. Ini awal mula organisasi sosialis pertama di Indonesia yang didirikan oleh orang Indonesia yang berfajam sosialisme.
Mempertentangan dua golongan dari pandangan dan sikap yang berlain-lainan memang terlalu gampang. Tetapi akibatnya akan berlarut. Syarikat akan menghadapi mereka sebagai orang Eropa pada umunya, dan kebencian pukul rata pada Belanda akan menjadi hasilnya. Sedang sayap Marco, yang selam ini tidak mendapat medan untuk berpiawai akan menggunakan kesempatan ini. Bila ia memisahkan diri dari pimpinan Mas Tjokro, dengan sayapnya ia akan menjadi sangat berbahaya. Perkembangan secepat itu belum lagi diharapakan.[177]

Ini adalah penggambaran pemogokan para pekerja, yang didukung oleh PKI, PKI yang melakukan advokasi kepada para buruh untuk menuntut persamaan hak kepda para pemilik modal. Hal tersebut sesuai dengan slogan Karl Marx yaitu “ Bersatulah Buruh Sedunia “.

Di Jawa Timur dan Tengah orang memekik-mekik menuntut kenaikan upah sambil membelot-kerja alias staking. Pegawai-pegawai pegadaian di beberapa tempat menolak memasuki tempat kerjanya dan kumpul-kumpul di pelataran, berbaur dengan orang-orang yang hendak menggadaikan. Buruh beberapa perkebunan kemudian mengikuti[178].


C.    Pandangan Pramoedya Ananta Toer tentang Jurnalistik sebagai Jalan Efektif Membangun Kesadaran


Di sinilah sastra realisme sosialis mengabdikan dirinya, di bidang tulisan. Hal tersebut sebagai mana yang diungkapkan oleh Pram sendiri bahwa satsra sosialis lahir dari orang-orang Indonesia yang berjiwa sosialisme yang di lahirkan oleh perkembangan masyarakat itu sendiri yang menderita keadilan.[179] Sering kali penderitaan yang ditampilkan sastra realisme sosialis sangat berlebihan, yang akhirnya dapat melahirkan kebencian kepada orang kaya. Padahal tidak semua orang kaya tersebut adalah pemeras.
“ Perhitungan tidak meleset. Hanya dengan bahasa Melayu bukan Gubermen, dan di antara orang-orang bebas, tidak dengan orang-orang dengan jabatan negeri, organisasi umum di hindia akan bisa menjadi besar dan subur. Beberapa kali aku harus bekerja keras meyakinkan Samadi, yang lebih menghendaki bahasa Jawa. Bahasa melayu, semakin jauh dari pengajaran Gubermen, semakin jauh dari orang-orang feodal, semakin demokratis dan menjadi alat perhubungan yang nyaman, memang bahasa bebas untuk orang bebas. Dan hanya golongan bebas yang akan menentukan nasib bangsa-bangsa Hindia, karena salah satu syarat untuk persatuan bagi bangsa-bangsa ganda ini adalah dekat mendekati atas dasar demokrasi[180].”

Tulisan di bawah ini sangat mencerminkan tentang realisme sosialis, metode dasar kesusastraan, dan kritik sastra Soviet, yang menuntut pengarang untuk memberikan penggambaran kenyataan yang penuh kebenaran dan konkret secara historis dalam perkembangan revolusinya. Sementara itu, kebenaran dan konkret historis suatu pelukisan kenyataan aritistik harus dikombinasikan dengan tugas pendidikan dan pemulihan ideologi pekerja dengan semangat sosialisme.[181] Karena mengemban tugas berat untuk memenangkan sosialisme, sering kali sastra realisme sosialis sangat kering dengan bahasa yang mendayu-dayu terkesan keras, sehingga membuat tidak nyaman bagi yang membacanya.

Dari semua kegiatan Pribumi itu, ternyata yang dianggap mahkota kegiatan adalah jurnalistik. Dan barang tentu bukan jurnalistik sebagaimana dikenal oleh Eropa, tapi menulis di Koran atau majalah dengan nama terpampang, baik nama benar, nama pena atau inisial. Gejala baru ini langsung berasal dari Raden Mas Minke, ia pernah mengatakan pada salah seorang temannya: orang boleh pandai etinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Ucapan lain dari si Gadis Jepara: menulis adalah bekerja untuk keabadian. Dan jurnalistik gaya Hindia merupakan perpaduan alamiah dari gerakan Pribumi untuk kepemimpinan dan keabadian.[182]


Ini adalah tulisan Mas Marco Kartodikromo, seorang yang  pernah keluar masuk penjara. Mas Marco Kartodikromo adalah seorang penganut faham realisme sosialis, dia juga termasuk anggota PKI. Maka tidak mengherankan jika tulisannya sarat dengan muatan terhadap penderitaan yang terjadi di masyarakat, serta kritik terhadap sistem kapitalis yang sering membuat orang menjadi sengsara. Advokasi yang paling ampuh adalah dengan media jurnalistik, karena lewat jurnalistik faham sosialisme mudah menyebar kemana-mana. Sebab salah satu tujuan jurnalistik adalah “ Membangun Opini Publik “. Sehingga keberadaannya sangat di signifikan untuk menyebarkan faham sosilaisme, dan membangun kritisisme masyarakat.

Dari tulisannya (Mas Marco Kartodikromo) dapat diketahui apa sesungguhnya yang selama ini hidup dalam sanubarinya.

Pada suatu hari dia tak mampu bekerja. Bininyapun tidak, karena telah jatuh sakit terlebih dahulu. Tinggal anaknya yang berumur sembilan tahun yang masih sehat. Tak urung punggawa desa memaksa anak umur sembilan tahun itu berangkat juga mewakili bapak dan emaknya.
Anak ini menangis sepanjang jalan setapak yang empat kilo meter jauhnya itu. Bukan hanya karena lapar, kakinya disarangi bubul, dan patek meruyak sepenuh badan. Dalam iring-iringan yang berjalan lambat-lambat itu terdapat perempuan kurus yang sedang bunting tua, kakek-kakek yang bertongkat dan terbatuk-batuk, seorang lelaki yang menggendong anak susuan karena emaknya baru saja mati kelaparan.
Iring-iringan calon mayat pada beberapa bulan mendatang semua menuju keselatan. Kekebun nila Gubermen. Kerja paksa. Tanam paksa! Tanpa upah. Cultuurstelsel
Nama desa itu adalah Cepu. Bukan Cepu yang sekarang. Desa itu miskin. Tetapi bekas desa ini sekarang telah jadi distrik yang terkaya di Hindia. Disini aku dilahirkan. Disini pula aku dengarkan cerita orang-orang tua yang dahulu setiap hari dalam sekian bulan berangkat kekebun nila Gubermen, tanpa upah, tanpa jaminan, tak sempat menggarap sawah dan ladang sendiri. Dan setiap hari ada saja diantara mereka berjatuhan mati karena sakit dan lapar.
Desaku seperti desa-desa lain. Semestinya orang hidup bertani, mencari kayu dihutan, berternak kambing, sapi, ayam dan dirinya sendiri, dan hidup dalam keluarga besar. Tetapi  cultuurstelsel telah mencerai beraikan keluarga besar itu dan merampas nasi dan jiwa mereka.
Pendeknya jangan bayangkan Cepu desaku sebagai Cepu distrik yang sekarang ini. Cepu desaku dilindungi oleh begitu banyak pohon buah, Cepu distrik dilindungi oleh tiang-tiang listrik dan telfon.
Sianak berumur sembilan tahu itu sudah bekerja selama sepuluh hari ketika Ia ditemui dirumahnya yang kosong dimalam hari. Daun-daunan yang ia kumpulkan dari perjalanan pulang Ia letakkan diatas lantai tanah . tungku dingin. Tak ada makanan, tak ada orang. Ia berseru-berseru memanggil-manggil bapak dan emaknya yang sakit tanpa jawaban. Ia pergi kerumah tetangga-tetangga. Melulu orang-orang sakit saja yang ada. Yang seperempat dan setengah sakitpun pada pergi.
Menjelang subuh bapaknya pulang bergandengan tangan dengan orang-orang lain yang sama kehabisan tenaga, tunjang menunjang agar tak roboh dan tak tersasar dalam  kegelapan. Mereka baru pulang dari menguburkan emaknya.
Sebulan kemudian lebih banyak lagi orang dikuburkan semacam itu, termasuk bapaknya sendiri.
Sibocah itu terus juga melakukan kerja paksa makannya rumput muda, karena itulah yang termudah didapatnya sewaktu kerja. Lagi pula daun dan buah muda petai cina itu, biarpun agak berasa, membikin semua rambutnya rontok, dan dalam keadaan kurus kering tanpa rambut, orang akan kelihatan seperti setan.
Pada suatu kali orang mendengar kabar, Gubermen telah menghapuskan kebun nila, menghapuskan kerja tanam paksa. Tetapi desa itu terus juga melakukan tanam paksa sampai dua tahun lagi. Dikemudian hari dapat aku ketahui, tanam paksa setelah Gubermen menghapuskannya adalah untuk kepentingan pembesar-pembesar setempat, Eropa dan pribumi.
Aku tak tahu bagaimana jalannya maka tanam paksa akal-akalan setempat itu akhirnya dihentikan. Mungkin juga karena pembagian hasil yang tidak seimbang. Pendeknya aku tahu. Itu urusan dewa-dewa yang berkuasa. Maka orang kembali mengerjakan sawah dan ladang yang telah kembali jadi hutan dan semak-semak. Penduduk telah berkurang lima puluh persen. Maka pembukaan hutan kembali dan semak itu tidak begitu sempurna. Dan pemerintah desa tidak menjadi lebih baik dengan penghapusan pertanian Negara alias Cultuurstelsel tu.
Kemudian menyusul berita-berita, kebun-kebun Gubermen akan dijadikan kebun swasta. Dan kebun-kebun itu akan jadi milik orang-orang Eropa. Orang-orang desa boleh bekerja di sana kalau mau, dengan mendapat upah cukup-cukup untuk makan sekeluarga.
Sementara itu si bocah itu telah berumur sebelas tahun, sudah lebih kuat dari tiga tahun sebelumnya. Berita-berita itu tak pernah menjadi kenyataan. Yang benar: tanha-tanah perorangan dan desa malah dirampas oleh Gubermen, termasuk lima-perenam  dari milik desa. Juga katanya untuk perkebunan swasta. Melihat perampasan itu, petani-petani yang baru saja bangun dari kematian dan kelaparan, bangkit marah. Di pimpin oleh pak Samin, seorang desa lain, sebuah pemberontakan tani terjadi.
Si bocah berumur tiga belas tahun itu menggambungkan diri dengan para pemberontak. Tapi petani-petani itu dikalahkan dan dikalahkan dengan mudah, oleh polisi lapangan, yang didatangkan dari kota. Mereka tak pernah berhadapan dengan kompeni, karena kabarnya semua mereka ditarik ke Aceh.
Penduduk lelaki yang terlepas dari penangkapan kembali kedesa semula. Jumlahnya lebih sedikit lagi, mati dalam banyak pertempuran.
Si bocah berumur lima belas.
Rasa-rasa ketenangan dan kedamaian akan berlangsung terus dan tanah-tanah akan dikembalikan. Ternyata tidak. Tanah-tanah yang dirampas mulai dihutankan dengan jati. Katanya, tak ada perusahaan Eropa mau mengerjakan tanah rampasan, yang dianggap terlalu banyak mengandung kapur dan tidak subur itu.
Ternyata bintang kecelakaan tetap bersinar. Kemudian penduduk diusir dari desa, karena perusahaan minyak akan mendirikan kantor-kantor dan kilang-kilang di situ. Penduduk pindah dengan ternaknya, kembali membabat hutan untuk ladang, sawah dan perumahan. Orang bilang, tanah yang dirampas itu akan diganti dengan uang, tapi tak seorang pun pernah melihat uang yang dijanjikan tanpa jumlah disebutkan itu. Bahkan setiap pohon di atas tanah rampasan, katanya, telah dibayar penuh. Hanya berita belaka.
Desaku yang sejuk di bawah rerimbunan pohon-pohon buah seperti disulap berubah jadi tanah lapang. Podok-pondok hilang. Jalan-jalan yang indah dibangun, demikian juga gedung-gedung. Semua serba indah, hanya bukan milik penduduk desa.
Si bocah tinggal di desanya yang baru. Disana ia kawin dengan sisa dari perawan-perawan yang tidak direnggut oleh maut. Dan di antara anak-anak adalah aku.
Dikemudian hari, jauh di kemudian hari, dapat kuketahui, bahwa dalam hanya lima tahun, perusahaan minyak yang bermodal lima ribu gulden itu telah menjadi perusahaan raksasa dengan kekayaan setengah juta gulden. Penduduk yang terusir dari desanya tak pernah mendengar, apalagi melihat, keuntungan-keuntungan besar itu. Juga di kemudian hari kuketahui, bahwa jati yang dihasilkan oleh bumi nenek moyangku adalah jati terbaik di seluruh dunia, terkenal dengan nama dagang Java-teak. Bahkan kwalitas satu tak boleh dipergunakan di Hindia, hanya khusus untuk ekspor. Dan kami, tak pernah mendapat bagian dari keuntungan itu. Hanya seluruh kerugian dan kehilangan ditimpakan pada kami.
Betapa anehnya pembagian rezeki dan pembagian nasib bikinan manusia ini. Aku tahu dan berani membuktikan, bahwa tuan-tuan minyak ini pada mulanya adalah insiyur Geologi Gubermen di Bandung. Dengan tugas Gubermen mereka melakukan eksplorasi-eksplorasi di daerah hidup aku, orang tuaku, tetangga dan sanak-keluarga, di atas tanah nenek-moyangku dilahirkan, dan dikuburkan. Penduduk desa selalu menyambut pendatang-pendatang itu dengan baik dan ramah, tak perduli warna kulit dan apa agamanya. Kayu-bakar, kelapa tua dan muda, buah-buahan kami antarkan ketempat mereka. Setelah sumber ditemukan, mereka balik kembali ke Bandung, dan : minta keluar dari jabatan Gubermen.  Mereka kembali lagi ke Cepu sebagai nyamuk-nyamuk raksasa yang menyedot darah, daging, tanah kami, dan minyak kami dalam kandungan bumi nenek-moyangku. Dalam sepuluh tahun perusahaan minyak ini telah jadi perusahaan berjuta, sedang bekas tuan rumahnya telah kehilangan tanah dan tetap hidup dalam keadaan yang semakin miskin. Bukan itu saja, dari petani bebas berbahagia mereka mulai berubah jadi kuli-kuli bekas tamunya.
Ketika pengeboran-pengeboran baru sedang giat-giatnya dilakukan di sekitar daerah hidup kami, aku dilahirkan. Bapakku, si bocah berpatek dan berbubul dulu, kini bukan lagi kuli minyak. Ia jadi lurah. Dan perusahaan minyak menjadi rakus akan tanah. Mereka takut saingan perusahaan-perusahaan minyak lainnya yang tumbuh seperti cendawan di sekitar daerah hidup kami. Tanah-tanah yang dirampas mulai dibayar. Pesaing-pesaing itu takut saling membongkar kejahatannya terhadap penduduk.
Desa kami rasa-rasanya telah kehabisan tanah untuk melepas ternak besar kami. Bila ada salah seekor ternak kami lepas dan memasuki daerah perusahaan minyak, polisi minyak akan menangkapnya, menyitanya, dan pemiliknya dicari untuk didenda, seratus kali penghasilan umum dalam sehari, alias ringgit.
Aku hanya hendak menceritakan, dalam pemerintahan Gubermen masih ada pemerintahan minyak, dua-duanya harus dipatahkan oleh penduduk desa kami.
Sekarang ribuan orang dari daerah-daerah lain, segala bangsa, datang mencari penghidupan di Cepu. Dalam waktu pendek Cepu, yang tadinya terdiri hanya atas tiga desa berbiak menjadi dua puluh tiga desa, menjadi kota yang sibuk. Kejahatan dan kemesuman merajalela. Sipilis mulai merambat desa kami, dan meninggalkan orang-orang cacat dan invalid sebagai beban desa.
Hampir-hampir terjadi pemberontakan lagi di kalangan petani. Mendadak beberapa orang di antara penduduk desa di tangkapi dan tak kembali lagi untuk selama-lamanya. Mereka ditangkapi oleh polisi-polisi minyak.
Setelah itu rasa-rasanya keadaan takkan gelisah lagi. Seakan-akan kembalilah keamanan yang lama dalam segala kekerdilannya. Baik Gubermen maupun perusahaan minyak tetap tak berbagi keuntungan dengan penduduk. Dan pada kami tak ada ternak besar lagi. Peternakan desa pun telah tumpas semasa tanam-paksa.
Kalau aku seorang Ameri Srikat, Tuan-tuan pembaca yang terhormat, tahulah Tuan-tuan apa yang akan aku perbuat: tarik pistol dan membela apa yang masih dapat dibela. Tapi aku hanya seorang bocah pribumi tanpa sarana, tanpa pengetahuan tentang dunia. Bahkan di mana sesungguhnya desa tempat kelahiranku di tengah-tengah dunia ini, aku tak tahu. Di mana tempat orang-orang yang memiskinkan kami aku tak tahu. Aku hanya lulusan sekolah desa tiga tahun, dididik untuk jadi kuli minyak, bekerja untuk mereka yang telah merampas tanah leluhurku. Dididik untuk tetap tidak berpengetahuan, dan mematuhi segala apa saja yang diperintahkan pada kami oleh tuan-tuan kulit putih.
Ketika bapakku hendak meninggal, ia berpesan dengan sangat:
“ Mereka telah merampas semua dari kita. Jangan, Nak, jangan kau lebih lama jadi kulinya. Pergi kau ke Bandung. Mengabdilah pada seorang yang mulia hati. Orang itu bernama Raden Mas Minke. Carilah orang itu. Lakukan segala yang diperintahkan kepadamu, dan contohlah perbuatannya yang baik[183]. “

BAB  V
PENUTUP

Setelah penulis mengemukakan argumentasi, motodologi, dan teori-teori seputar  realisme sosialis Pramoedya Ananta Toer yang tertuang dalam novel Tetralogi, maka Bab V ini penulis akan mengemukakan  beberapa kesimpulan yang menjadi intisari dari skripsi ini. Di samping itu penulis juga akan memberi kritik dan saran.

A.    Simpulan
Sebagai mana telah di uangkapkan dalam Bab I bahwa penulis merumuskan dua persoalan yang menjadi titik sentral pembahasan, maka berikut ini adalah jawaban yang penulis gambarkan dalam paragraph-paragraf berikut ini:
a)  Aliran realisme sosialis adalah salah satu bentuk perjuangan untuk memenangkan sosialisme, sebab aliran realisme sosialis berkecimpung di bidang seni. Seni lebih mudah diterima oleh masyarakat pada umumnya, sehingga faham sosialisme lebih mudah diterima oleh masyarakat. Karena hal tersebut seni aliran realisme sosialis tidak bisa lepas dari permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, dan membuat masyarakat berpikir kritis dan juga melakukan gerakan untuk menentang kapitalis.
b) Realisme sosialis dalam pandangan Pram pada novel tetralogi, penggambaran terhadap karakter masyarakat yang tertindas karena system kapitalis yang menjajah mereka (Belanda), serta bangkitnya kesadaran masyarakat Indonesia untuk melawan system kapitalis tersebut dengan jalan mendirikan organisasi-organisasi. Penyadaran terhadap sistem kapitalis yang menindas bukan hanya dilakukan oleh organisasi terhadap anggotanya tetapi juga dilakukan lewat media jurnalistik yang ternyata hal tersebut lebih dapat menjangkau oleh semua elemen masayarakat yang ada.
 
B.   Saran-saran

a) Dalam novel teralogi dapat di lihat dari dua sisi, yang pertama dari segi positifnya. Segi positif dari novel teralogi 1) Novel tersebut berisikan tentang sejarah Indonesia. 2) Tokoh-tokoh yang ada dalam novel tetralogi  masyarakat biasa yang juga ikut memperjuangkan kemerdekaanya. 3) Yang menjadi tokoh sentral novel tetralogi adalah seorang jurnalis pertama di Indonesia sehingga tulisan yang ada di dalam novel tersebut di lihat dari kaca mata seorang jurnalis.
Segi negatif  1) Novel tetralogi masih rancau antara tokoh Tirtho Adhi Suryo dengan Pram, pengalaman pribadi Pram sering kali masuk kedalam cerita novel tersebut. 2) novel tersebut lebih banyak menceritakan kesedihan dan kekalahan, seakan novel tersebut pencerminan diri Pram.
b)  Masih banyak hal yang terdapat dalam novel tetralogi belum diangkat    penulis dalam skripsi ini. Oleh sebab itu sehingga masih banyak kekurangan yang terjadi di sana-sini.
c)  Bahwa penelitian ini masih belum sempurna, di perlukan kritik dan saran dari para pembaca.




DAFTAR PUSTAKA

Ananta Toer, Pramoedya, Bumi Manausia, Cet 9 Yogyakarta: Hasta Mitra, 2002.
Ananta Toer, Pramoedya, Anak Semua Bangsa, Cet 6 Yogyakarta: Hasta Mitra, 2002.
Ananta Toer, Pramoedya, Jejak Langkah, Cet 4 Yogyakarta: Hasta Mitra, 2002.
Ananta Toer, Pramoedya, Rumah Kaca, Cet 4 Yogyakarta: Hasta Mitar, 2002.
Arikuntoa, Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Cet 11, Jakarta Rineka: Cipta, 1998.
Asmara, Adhy, Analisa Ringan Kemelut Bumi Manusia, Cet I Yogyakarta: Nur Cahaya, 1981.
“ Akademisi Ilmu Sosial, Bacalah Bumi Manusia”, Triyono Lukmantoro, Suara merdeka.18 Juli 2004.

Malaka, Tan, Madilog, Cet 1 Jakarta: Pusat Data Indikator, 1999.
Mills, C Wright, Kuam Marxis Ide-ide Dasar Dan Sejarah Perkembangan, terj, Imam Muttaqien, Cet 01, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Mintz, Jeanne S, Muhammad, Marx, Marhaen akar sosialisme Indonesia, terj, Zulhilmiyasri, Cet 01, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Rangkuti, Bahrum. Pramoedya dan Karya Seninya, Jakarta: Gunung Agung, 1963.
Russell, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat, terj. Sigit Jatmiko dkk, Cet. 01, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Supriyadi, Eko, Sosialisme Islam Pemikiran Ali Syari’ati, Cet 01, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Teeuw, A, Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer, Cet, 01, Jakarta: Pustaka jaya, 1997.






[1] Georg Lukacs, Realisme Sosialis Terj. Ibe Karyanto ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. 52.
[2] Suara Merdeka, 18 Juli 2004, hlm. 18.

[3]  Ibid…..

[4] Adhi Asmara, Analisa Ringan Kemelut Bumi Manusia ( Yogyakarta: CV Nur Cahya, 1981), hlm. 15.
[5] Pramoedya Ananta Toer, “Bincang-bincang dengan Pram”, ON/OFF Media Orang Biasa, 01November 2003, hlm. 27.

[6] Rudolf  Mrazek Pramoedya Ananta Toer dan Kenangan Buru Cet ke 02, terj. Endi Haryono ( Yogyakarta: Cermin, 2000). hlm. 1

[7] Suara Merdeka, 18 Juli 2004, hlm. 18.

[8] Eka Kurniawan, Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis  Cet. Ke-2 (Yogyakarta: Jendela, 2001), hlm 10.

[9] Erich Fromm, Konsep Manusia Menurut Marx, terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm 77

[10] Ibid., hlm. 79.
[11] Anthony Brewer, Das Kapital Karl Marx, terj. Joebaar Ajoeb (Jakarta: Teplok Press, 1999), hlm, 07
[12] Ahmad Hambali Pandangan Pramoedya Pramoedya Ananta Toer tentang Humanisme Jurusan Aqidah Filsafat IAIN Sunan Kalijaga  1998

[13] Arif Sarwani Teori Pembebasan dalam Novel Gadis Pantai Jurusan Aqidah Filsafat IAIN Sunan Kalijaga 2002

[14] A. Teeuw Op. Cit

[15] Bahrum Rangkuti, Pramoedya dan Karya Seninya ( Jakarta : Gunung Agung, 1963)

[16] Adhy Asmara, Analisa Ringan Kemelut Bumi Manusia, Cet I (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1981)

[17] Eka Kurniawan, Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis, Cet 02 (Yogyakarta: Jendela, 2001)
[18] Pramoedya Ananta Toer, Relisme Sosialis dan Sastra Indonesia Cet ke-01 ( Jakarta: Lentera, 2003) hlm 16

[19] Ibid…hlm. 18.

[20] Ibid….hlm. 28.
[21] Harold H. Titus dkk, Persoalan-persoalan Filsafat terj. M. Rasjidi
( Jakarta: Bulan Bintang, 1984) hlm. 304

[22] Eko Supriyadi, Sosialisme Islam Pemikiran Ali Syari’ati Cet 01 ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 07.

[23] Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, terj. Soeheba Kramadibrata Cet 01 ( Jakarta: UI-RESS, 1986), hlm. 119.

[24] Metode berasal dari bahasa Yunani methodos sambungan dari kata depan meta (ialah: menuju, melalui, mengikuti, sesudah), dan kata benda hodos (ialah: jalan, perjalanan, cara, arah). Jadi
metode berarti: cara berfikir menurut sistem aturan tertentu. Anton Bekker, Metode-metode Filsafat, Cet. Ke-2 (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986),hlm 10.

[25] Tentang sumber data, Suharsimi Arikunto, mengklasifikasikan menjadi tiga dengan huruf depan P singkatan dari: (1) Person, sumber data berupa orang (2) Place, sumber data berupa tempat (3) Paper, sumber data berupa simbol. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Edisi Revisi), Cet. Ke-II, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hlm. 114.

[26] Anton Bakker dan achmad charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Cet ke-5 (Yogyakarta: Kanisius, 1996).,hlm. 71.
[27] Anton Bakker dan Achmad Charis Zubair, Metodologi…Op.cit.,hlm. 69.
[28] Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat, Op.cit.,hlm. 136.
[29] A. Teeuw, Citra Manusia Indonesia Dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer, Cet-1 (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya)., hlm. 4.

[30] Ibid..

[31] Ibid. hlm. 5.

[32] Ibid

[33] Wawasan,19 September 2004, hlm.16.

[34] Rudolf Mrazek, Pramoedya Ananta Toer dan Kenangan Buru ( Yogyakarta: Cermin, 2000), hlm. 4.

[35] A. Teeuw, Op. Cit. hlm. 15 .
[36] Suara Merdeka, 18 Juli 2004. hlm 23.

[37] A. Teeuw, Op. Cit. hlm 17.
[38] Ibid, hlm 18.
[39] Rudolf Mrazek, Op. Cit, hlm. 25.

[40] Adhy Asmara, Analisa Ringan Kemelut Bumi Manusia  (Yogyakarta: Nur Cahya, 1981). hlm. 57.

[41] A Teeuw, Op. Cit. hlm. 22.
[42] Wawasan, 19 Maret 2004. hlm. 16.

[43] Ibid…..
[44]  Adhy Asmara, Op. Cit. hlm. 73.

[45] Ibid…, hlm 81.
[46] A Teeuw, Op. Cit. hlm. 40.
[47] Rudolf Mrazek, Op. Cit. hlm. 25.

[48] Ibid…hlm. 27.
[49] Linda Christanty, “ Arus Balik dalam Hidup Pramoedya Ananta Toer”, ON/OOF, XI, September 2003, hlm. 23.
[50] A Teeuw, Op. Cit. hlm. 39.
[51] Astrid Reza Widjaja, “Mengapung dalam Kebisuan”, Op. Cit, hlm. 12.

[52] Bintang timur adalah koran yang terbit pada tahun 1960, rubriknya bernama Lentera yang dipimpin oleh Pram.
[53] Rudolf Mrazak, Op. Cit, hlm. 69.

[54] Adhy Asmara, Op. Cit, hlm 93.

[55] Ibid., hlm. 97.

[56] A.Teeuw, Op Cit,hlm. 79.

[57] Adhy Asmara, Op Cit, hlm. 55.
[58] Ibid. hlm.133.

[59]Rudolf Mrazek, Op Cit, hlm. 63.
[60]Sulastin  Sutrisno, Surat-Surat Kartini, Renungan Untuk Bangsanya, (Jakarta: Jambatan 1979), hlm. 130.

[61]Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, (Yogyakarta: Hastra Mitra 2002), hlm. 5.
[62] Rudolf Mrazek, Op Cit,  hlm. 83.

[63]Ibid, hlm. 95
[64] Ibid,. hlm. 119.
[65] Adhy Asmara, Op Cit, hlm. 91.

[66] A Teeuw, Op Cit, hlm. 51.
[67] Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, (Yogyakarta: Hastra Mitra 2002), hlm.1.
[68] A Teeuw, Op Cit, hlm. 86. 

[69]Adhy Asmara, Op Cit, hlm. 54.

[70]Ibid, hlm. 55.
[71] Adhy Asmara, Op Cit, hlm. 13.

[72] Ibid, hlm. 15.
[73] Ibid…

[74] Eka Kurniawan, op. cit. hlm. 37.

[75] Adhy Asmara, Op Cit, hlm. 146.
[76] A. Teeuw, Op. Cit. hlm. 230.

[77] Ibid,. hlm. 232.
[78] Suara Merdeka, Op. Cit. hlm. 18.
[79] Pramoedya Ananta Toer, Op Cit, hlm. 405.

[80] Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa, (Yogyakarta: Hasta Mitra 2002), hlm. 290.
[81]Pramoedya Ananta Toer, Realisme Sosialis dan sastra Indonesia (Jakarta: Lentera Dipantara, 2003), hlm., 15.
[82] Ibid…, hlm 17.

[83] Ibid…., hlm. 18.
               
[84] Ibid…..hlm 57-58.               
[85] Ibid…..hlm 59.
 [86] Ibid……hlm. 18-19.
[87] Ibid…..hlm. 29.
               
[88] Ibid….hlm 31.
[89] Ibid……hlm. 31.

[90] Ibid…..hlm 73 .
[91] Ibid….hlm 108-109.

[92] Ibid……hlm. 111.
[93] Ibid…..hlm. 152- 156
[94] Ibid……hlm. 93.

[95] Ibid…..hlm 157.
[96] Ibid….hlm. 15.
[97] Ibid….hlm. 27.

[98] Pramoedya Ananta Toer, Realisme sosialis dan sastra Indonesia (Jakarta: Lentera Dipantara, 2003)., hlm. 39.

[99] Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa ( Yogyakarta : Hasta Mitra, 2002), hlm. 209.

[100] Ibid…hlm.130-131.

[101] Pramoedya Ananta Toer, op. cit.,hlm. 174.
[102] Ibid., hlm. 177.

[103] Pramoedya Ananta Toer,. Op. cit., hlm 209.

[104] Ibid, hlm. 208.

[105] Ibid., hlm. 302-303.
[106] Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah (Yogyakarta: hasta Mitra, 2002), Cet ke-4., hlm.79.
[107] Ibid., hlm. 178-179.

[108] Ibid., hlm. 215.

[109] Ibid., hlm. 38 .

[110] Ibid., hlm. 231.

[111] Ibid., hlm. 294.

[112] Ibid., hlm. 315.
[113] Ibid., hlm. 448.
[114] Ibd., hlm. 416.i

[115] Ibid., hlm. 423.

[116] Ibid., hlm. 400.
[117] Ibid., hlm. 400-401.

[118] Ibid., hlm. 404.
[119] Ibid., hlm. 407.

[120] Ibid., hlm. 483.
[121] Ibid., hlm. 405.

[122] Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca (Yogayakarta: Hasta Mitra, 2002),. hlm. 134.

[123] Ibid., hlm 146.
[124] Pramoedya Ananta Toer, op. cit. hlm. 77.

[125] Ibid., hlm. 175.
[126] Ibid., hlm. 245.

[127] Ibid., hlm. 291.
[128] Ibid., hlm. 226.

[129] Ibid,. hlm. 352-353.
[130] Ibid….hlm. 246-250.
[131] Georg Lukacs, Op. Cit. hlm. 12.

[132] Pramoedya Ananta Toer, Op. Cit. hlm. 103-104.
[133] Ibid…hlm. 104.

[134] Ibid…hlm. 105.
[135] Ibid…hlm. 31-31.

[136] D.W. Fokkema dan Elrud Kunne-ibsch Teori sastra abad kedua puluh (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998) hlm. 106.
[137] Eka kurniawan, Op. Cit. hlm. 55.

[138] Ibid….
[139] Ibe karyanto, Op. Cit. hlm. 59.
[140] Pramoedya Ananta toer, Op. Cit. hlm. 69.

[141] Ibid…, hlm 40.
[142] Jeanne S. Mintz, Muhammad Marx, Marhaen Akar Sosialisme Indonesia, terj. Zulhilmiyasri (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002) hlm. 251-252.
[143] Georg Lukacs, Realisme sosialis (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997)., hlm. XX.
[144] Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa ( Yogyakarta : Hasta Mitra, 2002), hlm. 209.

[145] Ibid…hlm.130-131.
[146] Pramoedya Ananta Toer, op. cit.,hlm. 174.

[147] Ibid., hlm. 177.

[148] Pramoedya Ananta Toer,. Op. cit., hlm 209.
[149] Ibid, hlm. 208.

[150] Ibid., hlm. 302-303.

[151] Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah (Yogyakarta: hasta Mitra, 2002), Cet ke-4., hlm.79.
[152] Ibid., hlm. 178-179.
[153] Pramoedya Ananta Toer, Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia, ( Jakarta : Lentara Dipantara;2003),

[154] Ibid., hlm. 215.
[155] Ibid., hlm. 38 .

[156] Ibid., hlm. 231.
[157] Ibid., hlm. 294.

[158] Ibid., hlm. 315.

[159] Ibid., hlm. 448.
[160] Ibd., hlm. 416.i

[161] Ibid., hlm. 423.

[162] Ibid., hlm. 400.
[163] Ibid., hlm. 400-401.

[164] Ibid., hlm. 404.

[165] Ibid., hlm. 407.
[166] Ibid., hlm. 483.

[167] Ibid., hlm. 405.

[168] Jeanne S. Mintz, Op, Cit. hlm. 56.
[169] Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca (Yogayakarta: Hasta Mitra, 2002),. hlm. 134.

[170] Ibid., hlm 146.
[171] Pramoedya Ananta Toer, op. cit. hlm. 77.

[172] Jeanne S. Mintz, Op. Cit. hlm. 30.
[173] Ibid., hlm. 175.
[174] Pramoedya Ananta Toer, Op. Cit. hlm. 96.

[175] Ibid., hlm. 245.

[176] Jeanne S. Mintz, Op. Cit,. hlm. 56.
[177] Ibid., hlm. 291.

[178] Ibid,hlm. 184.

[179] Pramoedya Ananta Toer, Op, Cit. hlm 57.
[180] Ibid., hlm. 226.

[181] D.W. Fokkema dan Elrud Kunne-Ibsch, Op. Cit. hlm. 123.

[182] Ibid,. hlm. 352-353.
[183] Ibid….hlm. 246-250.

0 komentar:

Post a Comment

 

Pengikut

Copyright © ZONA SKRIPSI All Rights Reserved • Design by Dzignine
best suvaudi suvinfiniti suv