Skripsi Tata Negara 1

Friday, March 16, 2012

EKSISTENSI KEBIJAKAN DAERAH YANG DEMKORATIS DALAM SISTEM PEMERINTAHAN YANG BERSIH BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME

 

TESIS




Untuk Memenuhi sebagai Persyaratan mencapai derajat S-2
Program Magister Hukum
Konsentrasi Hukum Kenegaraan












Diajukan oleh :
Salamat Simanjuntak
6801/PS/MH/00









PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2003

BAB I

PENDAHULUAN

1.         Latar Belakang
Seiring dengan dilaksanakannya program otonomi daerah, pada umumnya masyarakat mengharapkan adanya peningkatan kesejahteraan dalam bentuk peningkatan mutu pelayanan masyarakat, partisipasi masyarakat yang lebih luas dalam pengambilan kebijakan publik, yang sejauh ini hal tersebut kurang mendapat perhatian dari pemerintahan pusat. Namun kenyataannya sejak diterapkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah sejak Januari 2001, belum menunjukkan perkembangan yang signifikan bagi pemenuhan harapan masyarakat tersebut.
Dalam era transisi desentralisasi kewenangan itu telah melahirkan berbagai penyimpangan kekuasaan atau korupsi, kolusi dan nepotisine (KKN) termasuk didalamnya bidang politik di daerah, KKN yang paling menonjol pasca otonomi daerah antara lain semakin merebaknya kasus-kasus politik uang dalam pemilihan kepala daerah, anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang tidak memihak pada kesejahteraan rakyat banyak, penggemukan instansi-instansi tertentu di daerah yang menimbulkan disalokasi anggaran, dan meningkatkan pungutan-pungutan melalui peraturan-peraturan daerah (perda) yang memberatkan masyarakat dan tidak kondusif bagi pengembangan dunia usaha di daerah.
Berbagai pihak menyoroti realitas otonomi daerah yang rawan terhadap terjadinya KKN tersebut, dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :


(1)        Program otonomi daerah hanya terbatas pada pelimpahan wewenang dalam pembuatan kebijakan, keuangan dan administrasi dari pemerintah pusat ke daerah, tanpa disertai pembagian kekuasaan kepada masyarakat atau tanpa partisipasi masyarakat secara luas. Dengan perkataan lain, program otonomi daerah tidak diikuti dengan prograrn demokratisasi yang membuka peluang keterlibatan masyarakat dalam pengambiian kebijakan uraum di daerah. Karenanya, program desentralisasi ini hanya memberi peluang kepada para elit lokal (daerah) baik elit eksekutif maupun elit legislatif untuk mengakses sumber-sumber ekonomi daerah dan politik daerah, yang rawan terhadap KKN, perbuatan sewenang-wenang, penyalahgunaan wewenang dan atau perbuatan yang rnelampui batas wewenang;
(2)        Tidak adanya  institusi negara yang mampu mengontrol secara efektif
penyimpangan wewenang di daerah. Program otonomi daerah telah memotong struktur hirarki pemerintahan, sehingga tidak efektif lagi kontrol pemerintah pusat ke daerah karena tidak ada lagi hubungan struktural secara langsung memaksakan kepatuhan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Kepala daerah, baik bupati maupun Walikota tidak lagi ditentukan oleh pemerintah pusat, melainkan oleh mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD dan
bertanggungjawab    kepada    DPRD.    Hubungan    pemerintahan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah tidak lagi struktural, melainkan fungsional yaitu hanya kekuasaan untuk memberi policy guidance kepada pemerintah daerah.
(3)        Terjadi indikasi KKN yang cukup krusial antara pemerintah daerah dan DPRD, sehingga kontrol terhadap jalannya penyelenggaraan pemerintah

daerah sulit terlaksana, sementara kontrol dari kalangan masyarakat masih sangat lemah.
Berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah, penyelenggaraan pemerintahan daerah yang demokratis dan akuntabel, merupakan isu yang sangat penting dan strategis. Hal tersebut sesungguhnya merupakan konsekuensi logis otonomi daerah yang semestinya memungkinkan:
(1)                          Semakin dekatnya pelayanan pemerintahan daerah kepada masyarakat;
(2)                          Penyelesaian masalah-masalah di daerah menjadi lebih terfokus dan mandiri;
(3)                          Partisipasi masyarakat menjadi lebih luas dalam pembangunan daerah;
(4)                          Masyarakat melakukan pengawasan lebih intensif terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Keempat faktor tersebut hanya dapat berlangsung dalam suatu pemerintahan yang demokratis dan akuntabel. Pelaksanaan otonomi daerah tanpa diimbangi dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang demokratis dan akuntabel, pada hakekatnya otonomi daerah tersebut telah kehilangan jati diri dan maknanya.
Pemerintahan daerah yang demokratis dapat dikaji dari dua aspek, yakni aspek tataran proses maupun aspek tataran substansinya. Penyelenggaraan pemerintahan daerah dikatakan demokratis secara proses, apabila pemerintahan daerah yang bersangkutan mampu membuka ruang bagi keterlibatan masyarakat dalam semua pembuatan maupun pengkritisan terhadap sesuatu kebijakan daerah yang dilaksanakan. Penyelenggaraan pemerintahan daerah dikatakan demokratis secara substansial apabila kebijakan-kebijakan daerah yang dibuat oleh para penguasa daerah mencerminkan aspirasi masyarakat.
Sesuatu pemerintahan daerah dikatakan akuntabel, apabila ia mampu menjalankan       prosedur-prosedur      yang      telah      ada      dan      dapat mepertanggungjawabkannya     kepada     publik     dalam     penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Kebijakan-kebijakan daerah yang bertentangan dengan aspirasi masyarakat maupun peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, demikian pula dengan tidak adanya keterpaduan dalam mekanisme pembuatan kebijakan daerah antara kepala daerah dengan DPRD, menimbulkan permasalahan di berbagai daerah.
Dengan demikian tidak ada kejelasan mengenai produk hukum daerah, yang dapat mendukung proses mengalirnya partisipasi masyarakat dalam setiap proses pembuatan kebijakan daerah dan atau pengkritisan atas suatu pelaksanaan setiap kebijakan daerah. Dengan perkataan lain tidak ada kejelasan mengenai pranata hukum daerah yang mengatur mekanisme penyaluran aspirasi masyarakat guna mewujudkan suatu pemerintahan daerah yang bersih bebas dari KKN.
Sebagai ilustrasi pemerintahan Kota Yogyakarta secara perposif dipilih sebagai lokasi penelitian hukum empiris, dengan pertimbangan bahwa (pemerintahan Kota Yogyakarta merupakan salah satu pemerintahan daerah yang mempunyai kedudukan, fungsi dan peranan yang sejajar dengan pemerintahan daerah lainnya, dalam jajaran dan sistem pemerintahan negara kesatuan Republik Indonesia. Demikian pula secara perposif ilustrasi obyek kajian dibatasi khusus eksistensi kebijakan daerah yang demokratis dalam sistem pemerintahan yang bersih bebas dari KKN.

2.         Rumusan Masalah
Bertolak dari paparan latar belakang masalah, dapat dirumuskan sebagai isu sentral dalam penelitian ini yaitu : "ketidak jelasan eksistensi kebijakan daerah yang demokratis dalam sistem pemerintahan yang bersih bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme", yang kemudian diungkapkan dalam judul penelitian yaitu : "EKSISTENSI KEBIJAKAN DAERAH YANG DEMOKRATIS DALAM SISTEM PEMERINTAHAN YANG BERSIH BEBAS DARI KORUPSI KOLUSI DAN NEPOTISME". Isu sentral tersebut mengandung berbagai permasalahan, baik permasalahan hukum empiris maupun permasalahan hukum normatif, baik permasalahan hukum normatif pada lapisan dogmatik hukum maupun pada lapisan teori hukum.
Dengan demikian dapatlah dirumuskan masalahnya sebagai berikut:
1.                  Permasalahan hukum empiris, bagaimanakah realisasi pembuatan kebijakan daerah yang demokratis dalam sistem pemerintahan yang bersih bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
2.                  Permasalahan hukum normatif pada lapisan dogmatik hukum, apakah dalam setiap pembuatan kebijakan daerah telah melibatkan partisipasi masyarakat, demikian pula apakah produk-produk kebijakan daerah pasca UU No. 22 Tahun 1999 telah mencerminkan aspirasi masyarakat.
3.                  Permasalahan hukum normatif pada lapisan teori hukum, mengapa masyarakat perlu dilibatkan dalam setiap pembuatan dan evaluasi kebijakan daerah.

3.         Keaslian Penelitian
Setelah melakukan penelusuran pada berbagai referensi dan hasil penelitian dalam berbagai media, baik cetak maupun elektronik, penelitian tentang eksistensi kebijakan daerah yang demokratis dalam sistem pemerintahan yang bersih bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, belum pernah dilakukan penelitian dan dalam kesempatan ini peneliti berniat untuk melakukan penelitian terhadap permasalahan tersebut. Dengan demikian penelitian ini adalah asli.

4.         Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini meliputi berbagai dimensi antara lain :
a.         Tujuan deskriptif, untuk mengetahui realisasi pembuatan dan atau evaluasi kebijakan daerah yang demokratis dalam sistem pemerintahan yang bersih bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
b.         Tujuan kreatif, untuk mengetahui ada tidaknya partisipasi masyarakat dalam setiap pembuatan kebijakan daerah dan untuk mengetahui aspiratif tidaknya produk-produk kebijakan daerah pasca UU No. 22 Tahun 1999.
c.         Tujuan inovatif, untuk mengetahui perlu tidaknya masyarakat dilibatkan dalam setiap pembuatan dan evaluasi kebijakan daerah.

5.         Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini  diharapkan  dapat  bermanfaat,  baik untuk kepentingan akademis maupun untuk kepentingan praktis,
a.         Manfaat akademis
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan pengembangan ilmu hukum pada khususnya.
b.         Manfaat praktis
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dan wacana bagi para elit eksekuttf dan legislatff dalam pembuatan dan evaluasi kebijakan daerah, serta bagi masyarakat luas agar menyadari akan hak dan kewajibannya untuk berperan serta aktif dalam setiap pembuatan dan evaluasi atas kebijakan-kebijakan daerah.




BAB II
TLNJAUAN PUSTAKA

l.          Partisipasi  Masyarakat Dalam  Pembuatan Dan  Evaluasi  Kcbijakan Daerah
Peluang dan partisipasi masyarakat dalam pembuatan dan evaluasi atas kebijakan daerah, termasuk didalamnya kebijakan daerah di kota Yogyakarta cukup besar dan strategis. Hal tersebut pada hakekatnya telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain dalam :
a.         UU NO. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
b.         PP No. 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan Kepmendagri No 41 Tahun 2001 tentang Pengawasan Represif Kebijakan Daerah
c.         UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Yang bersih dan Bebas dari KKN.
Secara garis besar, amanat bagi masyarakat untuk berpartisipasi terhadap sesuatu kebijakan daerah dapat disistematisir sebagai berikut:
a.         Setiap pembuatan kebijakan daerah yang baru, baik berupa keputusan kepala daerah maupuu peraturan daerah, senantiasa wajib melibatkan masyarakat daerah untuk berpartisipasi;
b.         Setiap kebijakan daerah yang baru, yang tidak melibatkan masyarakat daerah dapat menyebabkan kebijakan daerah tersebut dibatalkan oleh pemerintah atasan;
c.         Masyarakat berhak untuk mengkritisi dan mengevaluasi atas sesuatu kebijakan daerah yang telah ada, dan apabila dipandang perlu dapat mengajukan usul agar kebijakan daerah yang dinilai oleh masyarakat tidak
sesuai dengan kepentingan masyarakat dan tuntutan keadaan /zaman, ditinjau kembali dan apabila perlu dapat diusulkan untuk dicabut;
d.         DPRD   mempunyai   tugas   dan   wewenang   untuk   menampung   dan menindak lanjuti aspirasi daerah dan aspirasi masyarakat;
e.         Masyarakat mempunyai hak untuk mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang penyelenggaraan negara (termasuk penyelenggaraan pemerintahan daerah), serta menyampaikan saran dan pendapat terhadap
kebijakan     penyelenggaraan     negara     (termasuk     penyelenggaraan pemerintahan daerah). ( Prasetyo, 2002 : 3)
Tantangan yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam pembuatan dan evaluasi kebijakan daerah di kota Yogyakarta, antara lain karena (Prasetyo, 2002 : 3-4):
a.         Berbagai peraturan perundangan yang berkaitan erat dengan pembuatan dan evaluasi kebijakan daerah, tidak mengatur mekanisme partisipasi masyarakat secara rinci dan tegas. Peraturan perundang-undangan tersebut antara lain :
-           UU NO. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
-           PP No. 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan Kepmendagri No. 41 Tahun 2001 tentang Pengawasan Represif Kebijakan Daerah;
-           UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Yang bersih dan Bebas dari KKN; PP No. 1 Tahun 2001 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD;
-           Keppres No. 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU;
-           Keppres No. 44 Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan dan Bentuk RUU, R Keppres, Raperda dan Rancangan Keputusan Kepala Daerah;
-           Kepmendagri dan Otonomi Daerah NO. 23 Tahun 2001 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah;
-           Keputusan DPRD Kota Yogyakarta No. 3 / K/ DPRD / 1999 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Yogyakarta.
b.         Belum seluruh komponen masyarakat yang ada memahami akan hak dan kewajibannya, untuk berpartisipasi dalam pembuatan dan evaluasi atas sesuatu kebijakan daerah di kota Yogyakarta.
Suatu sikap dan langkah yang telah ditempuh oleh DPRD menyelenggarakan public hearing perlu diberikan penghargaan. Public Hearing ini dimaksudkan, untuk mendapatkan masukan dari masyarakat, guna membahas tentang sesuatu kebijakan daerah. Namun disayangkan langkah ini belum seluruhnya tepat, mengingat sifatnya sangat parsial, tidak menentu, dan sangat terbatas. Sebagai konsekuensinya banyak kebijakan daerah, baik oleh DPRD maupun eksekutif ternyata bermasalah, karena tidak dapat diikuti oleh masyarakat. Sehubungan dengan itu, maka hadirnya peraturan daerah di kota Yogyakarta, tentang mekanisme pembuatan dan evaluasi kebijakan daerah, yang dapat mengakomodir partisipasi masyarakat secara memadai dan komprehensif, sangat didambakan oleh banyak kalangan masyarakat. (Prasetyo, 2002 : 4-5)
Urgensi Perda tentang mekanisme partisipasi masyarakat, yakni berupaya untuk mensistematisasi secara komprehensif dan terpadu, mekanisme pembuatan dan evaluasi kebijakan daerah dalam satu ketentuan. Nantinya diharapkan bahwa semua proses pembuatan dan evaluasi suatu kebijakan daerah mengacu pada satu sumber saja, sebagai konsekuensinya DPRD maupun eksekutif daerah wajib mengikuti dan melaksanakan peraturan daerah tersebut. (Suhardi, 2002 : 4)
Perda tentang mekanisme partisipasi masyarakat tersebut, diharapkan dapat memuat substansi yang penting antara lain (Suhardi, 2002 :4-5):
a.         Hak partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan daerah yang baru maupun usulan pencabutan kebijakan daerah yang sudah tidak relevan lagi;
b.         Meletakkan kewajiban kepada DPRD maupun eksekutif daerah untuk menampung dan menindaklanjuti usulan masyarakat;
c.         Partisipasi masyarakat  dalam  pembahasan naskah  akademik  dan Raperda;
d.         Sosialisasi rencana penyusunan dan pembahasan kebijakan daerah kepada publik.
Dengan demikian partisipasi masyarakat tersebut pada dasarnya meliputi seluruh proses yang relevan dalam pembuatan sesuatu kebijakan daerah. Dalam hal ini masyarakat diposisikan sebagai subyek pembuatan kebijakan daerah, sejajar dengan eksekutif dan legislatif, dan bukan sekedar simbol legitimasi legislatif dan eksekutif saja.

2.         Asas Legalitas dan Perlindungan
Konsep negara hukum (rechtsstaat) diintrodusir melalui RR 1854 dan ternyata dilanjutkan dalam UUD 1945. (Wignjosoebroto, 1994 : 188, Hadjon, 1994 : 4) Dengan demikian ide dasar negara hukum Pancasila tidaklah lepas dari ide dasar tentang "rechtsstaat". (Hadjon, 1994 : 4)
Persyaratan dasar untuk dapat dikategorikan sebagai negara hukum yakni:
  1. Setiap  tindak  pemerintahan  harus  didasarkan  atas  dasar  peraturan
    perundang-undangan (wettelijke grondslag). Dengan landasan ini, undang-
    undang dalam arti formal dan UUD sendiri merupakan tumpuan dasar
    tindak pemerintahan. Dalam hubungan ini pembentukan undang-undang
    merupakan bagian penting negara hukum, (asas legalitas).
  2. Kekuasaan negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan. (asas
    pembagian kekuasaan).
  3. Hak-hak dasar merupakan sasaran perlindungan hukum bagi rakyat dan
    sekaligus membatasi kekuasaan pembentukan undang-undang, (prinsip
    grondrechten)
  4. Bagi rakyat tersedia saluran melalui pengadilan yang bebas untuk menguji keabsahan (rechtmatigheidstoetsing) tindak pemerintahan, (pengawasan pengadilan) (Burkens, 1990 : 29, Hadjon, 1994, ibid.,: 5, Sukismo, 2002,(a):2).

Syarat-syarat dasar tersebut seyogyanya juga menjadi syarat dasar negara hukum Pancasila. Untuk hal tersebut kiranya dibutuhkan suatu usaha besar berupa suatu kajian yang sangat mendasar terutama tentang ide bernegara bangsa Indonesia. Ada beberapa tulisan awal tentang itu yang barangkali dapat dijadikan acuan awal, seperti : Negara Hukum Pancasila Dan Teori Bernegara Bangsa Indonesia. Disamping itu tentunya kita tidak menutup mata terhadap perkembangan konsep negara hukum yang telah terjadi di berbagai negara, seperti konsep negara hukum yang telah terjadi di berbagai negara seperti konsep rechlsstaat yang telah berkembang dari konsep "liberal-democratische rechtsstaat" ke "sociale rechtsstaat" yang pada dewasa inipun sudah dirasakan bahwa konsep terakhir itu sudah tidak memadai. (Hadjon, 1994 : 5, B. Sukismo, 2002 (a): 3)
Untuk mengkategorikan negara hukum, biasanya digunakan dua macam asas, yakni: asas legalitas dan asas perlindungan atas kebebasan setiap orang dan atas hak-hak asasi manusia. (Utrecht, 1963 : 310, Sukismo, 2002 (a): 3)
Unsur utama suatu negara hukum, yakni asas legalitas. Semua tindakan negara harus berdasarkan dan bersumber pada undang-undang. Penguasa tidak boleh keluar dari rel-rel dan batas-batas yang telah ditetapkan dalam undang-undang. Batas kekuasaan negara ditetapkan dalam undang-undang. Akan tetapi untuk dinamakan negara hukum tidak cukup bahwa suatu negara hanya semata-mata bertindak dalam garis-garis kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh undang-undang. ( Gouw Giok Siong, 1955 :12-13, Sukismo, 2002 (a): 4) Sudah barang tentu bahwa dalam negara hukum setiap orang yang merasa hak-hak pribadinya dilanggar, diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mencari keadilan dengan mengajukan perkaranya itu di hadapan pengadilan. Cara-cara mencari keadilan itu pun dalam negara hukum diatur dengan undang-undang. (Rochmat Soemitro, 1976 : 18, Sukismo, 2002 (a):4).
Dalam negara hukum asas perlindungan nampak antara lain dalam "Declaration of Independence", bahwa orang yang hidup di dunia ini sebenarnya telah diciptakan merdeka oleh Tuhan, dengan dikaruniai beberapa hak yang tidak dapat dirampas atau dimusnahkan. Hak-hak tersebut yang sudah ada sejak orang dilahirkan, perlu mendapat perlindungan secara tegas dalam negara hukum modern (Soemitro, 1976 : 18, Sukismo, 2002 (a): 4). Peradilan tidak semata-mata melindungi hak asasi perseorangan, melainkaa fungsi hukum adalah untuk mengayomi masyarakat sebagai totalitas, agar supaya cita-cita luhur bangsa tercapai dan terpelihara. Peradilan mempunyai maksud membina, tidak semata-mata menyelesaikan perkara. Hakim harus mengadili menurut hukum dan menjalankan dengan kesadaran akan kedudukan, fungsi dan sifat hukum. Dengan kesadaran bahwa tugas hakim ialah, dengan bertanggung jawab kepada diri sendiri dan kepada Nusa dan Bangsa, turut serta membangun dan menegakkan masyarakat adil dan makmur yang berkepribadian Pancasila. (Soemitro, 1976 : 20-21, Sukismo, 2002 (a): 5).
Suatu negara merupakan negara hukum, semata-mata didasarkan pada asas legalitas. (Yamin, 1952 : 9, Sukismo, 2002 (a) : 5) Disisi lainnya asas legalitas, hanyalah merupakan salah satu unsur atau salah satu corak dari negara hukum, karena disamping unsur asas legalitas tersebut, masih perlu juga diperhatikan unsur-unsur lainnya, antara lain kesadaran hukum, perasaan keadilan dan perikemanusiaan, baik bagi rakyat maupun pimpinannya. (Siong, 1955 : 23, Sukismo, 2002 (a) : 5, Yunanto, 2000 : 4)
Dalam UUD 1945 ada ketentuan yang menjamin hak-hak asasi manusia. Ketentuan tersebut antara lain:
-                      Kemerdekaan berserikat dan berkumpul (Ps. 28);
-                      Kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan (Ps. 28);
-                      Hak bekerja dan hidup (Ps. 27 ayat (2));
-                      Kemerdekaan agama (Ps. 29 ayat (2));
-                      Hak untuk ikut mempertahankan negara (Ps. 30), disini nampak adanya asas perlindungan.
Dengan adanya Majelis Pertimbangan Pajak, seseorang dapat mengajukan surat bandingnya untuk hal-hal dimana ia merasa telah diperlakukan tidak sebagaimana mestinya oleh pejabat perpajakan. Orang dapat menuntut/mengajukan gugatan kepada negara, bila oleh negara dilakukan suatu perbuatan yang melawan hukum (onrechtmatigedaad)., bahwa seseorang dapat melakukan gugatan terhadap Pemerintah Republik Indonesia, jika putusan pejabat yang berwenang dirasa tidak adil. (Soemitro, 1976. : 25, Sukismo, 2002 (a) : 5, Ashari, 1999 : 6) Sudah banyak peraturan-peraturan yang memberi jaminan kepada para warga negara, untuk menggunakan hak-haknya mengajukan tuntutan-tuntutan di muka pengadilan, bila hak-hak dasarnya atau kebebasannya dilanggar. ( Ashari, 1999 : 25 - 26, Sukismo, 2002 (a): 6)
Penghormatan, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, mendapat tempat utama dan dapat dikatakan sebagai tujuan dari pada negara hukum; sebaliknya dalam negara totaliliter tidak ada tempat bagi hak-hak asasi manusia. Istilah "rechisstaat" mulai populer sejak abad XIX, meskipun pemikiran tentang itu sudah lama adanya. Istilah "the rule of law" mulai populer tahun 1885. Dari latar belakang dan sistem hukum yang menopangnya, terdapat perbedaan antara konsep "rechtsstaat" dengan konsep "the rule of law", pada dasarnya kedua konsep itu mengarahkan dirinya pada satu sasaran yang utama yaitu pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Meskipun dengan sasaran yang sama, tetapi keduannya tetap berjalan dengan sistemnya sendiri yaitu sistem hukum sendiri. Konsep "rechtsstaat" lahir dari suatu perjuangan menentang absulutisme sehingga sifatnya revolusioner, sebaliknya konsep "the rule of law" berkembang secara evolusioner. Hal ini nampak dari isi atau kriteria "rechtssataat" dan kriteria "the rule of law". Konsep "rechtsstaat" bertumpu atas sistem hukum kontinental yang disebut "civil law" atau "Modern Roman Law", sedangkan konsep "the rule of law" bertumpu atas sistem hukum yang disebut "common law". Karakteristik "civil law" adalah "administratief', sedangkan karakteristik "common law" adalah "judicial". Perbedaan karakter yang demikian disebabkan karena latar belakang dari pada kekuasaan raja. Pada zaman Romawi, kekuasaan yang menonjol dari raja yakni membuat peraturan melalui dekrit. Kekuasaan itu kemudian didelegasikan kepada pejabat-pejabat administratif, sehingga pejabat-pejabat administratif yang membuat pengarahan tertulis bagi hakim tentang bagaimana menyelesaikan suatu sengketa. Begitu besar peran administrasi negara, sehingga tidaklah mengherankan, kalau dalam sistem kontinental-lah mula pertama muncul cabang hukum baru yang disebut "droit administratif”, dan intinya adalah hubungan antara administrasi negara dengan rakyat. Sebaliknya di Inggris, kekuasaan utama dari raja adalah memutus perkara. Peradilan oleh raja kemudian berkembang menjadi suatu peradilan, sehingga hakim-hakim peradilan adalah delegasi dari raja, tetapi bukan melaksanakan kehendak raja. Hakim harus memutus perkara berdasarkan kebiasaan umum Inggris (the common custom of England), sebagaimana dilakukan oleh raja sendiri sebelumnya. Dengan demikian nampak bahwa di Eropa peranan administrasi  negara bertambah besar, sedangkaa di Inggris peranan peradilan dan para hakim bertambah besar. Sehubungan dengan latar belakang tersebut, di Eropa dipikirkan langkah-langkah untuk membatasi kekuasaan administrasi negara, sedangkan di Inggris dipikirkan langkah-langkah untuk mewujudkan suatu peradilan yang adil Dalam perjalanan waktu, konsep "rechtsstaat" telah mengalami perkembangan dari konsep klasik ke konsep modern. Sesuai dengan sifat dasarnya, konsep klasik disebut "klasiek liberale en democratische rechtsstaat", yang sering disingkat dengan "democratische rechtsstaat". Sedangkan konsep modern lazimnya disebut "sociale rechtsstaat" atau "sociale democratische rechtsstaat". (Hadjon, 1987 : 71 -74, Sukismo, 2002 (a): 7
Karakternya yang liberal bertumpu atas pemikiran kenegaraan dari John Locke, Montesquieu dan Immanuel Kant. Karakternya yang demokratis bertumpu atas pemikiran kenegaraan dari J.J. Rousseau tentang kontrak sosial. ( Couwenberg. 1977 : 25, Daryadi, 2001 : 7)
Konsep liberal bertumpu atas "liberty" (vrijheid) dan konsep demokrasi bertumpu atas "equality" (gelijkheid). "Liberty" adalah "the free selfassertion of each-limited only by the like liberty of all". Atas dasar itu "liberty" merupakan suatu kondisi yang memungkinkan pelaksanaan kehendak secara bebas dan hanya dibatasi seperlunya, untuk menjamin koeksistensi yang harmonis antara kehendak bebas individu dengan kehendak bebas semua yang lain. Dari sinilah mengalir prinsip selanjutnya yaitu : "freedom from arbitrary and unreasonable exercise of the power and authority (Pound, 1957 : 1 - 2. Sukismo, 2002 (a) : 8) Konsep "equality" mengandung makna yang abstrak dan formal (abstract-farmal eguality) dan dari sini mengalir prinsip "one man-one vote) (Hadjon, 1987 : 75, Sukismo, 2002 (a): 8)
Konsep-konsep dasar yang sifatnya liberal dari "rechtssataat" meliputi:
-           adanya     jaminan     atas     hak-hak     kebebasan      sipil (burgelijke vrijheidsrechten);
-           pemisahan antara negara dengan gereja;
-           persamaan terhadap undang-undang (gelijkheid voor de wet);
-           adanya   konstitusi tertulis sebagai   dasar   kekuasaan negara dan dasar
sistem hukum;
-           pemisahan kekuasaan berdasarkan trias politica dan sistem "cheks and balances",
-           asas legalitas (heerschappij van de wet);
-           ide tentang aparat pemerintah dan kekuasaan kehakiman yang tidak
memihak dan netral;
-           prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap penguasa;
-           prinsip pembagian kekuasaan, baik teritorial sifatnya maupun vertikal
(sistem  desentralisasi maupun  federasi).  (Couwenberg,   1977  :  30,
Sukismo, 2002 (a): 8)
Konsep dasar demokratis, "rechtsstaat" dikatakan sebagai "negara kepercayaan timbal balik" (de staat van het wederzijds vertrowen) yaitu kepercayaan dari pendukungnya, bahwa kekuasaan yang diberikan tidak akan disalahgunakan, dia mengharapkan kepatuhan dari rakyat pendukungnya. (Port - Donner, 1983 :143, Sukismo, 2002 (a): 9)
Rechtsstaat mendasarkan atas asas-asas demokratis antara lain:
-           asas hak-hak politik (het beginsel van de politieke grondrechten);
-           asas mayoritas;
-           asas perwakilan;
-           asas pertanggung jawaban;
-           asas publik (openbaarheids beginsef). (Couwenberg, 1977 : 30, Sukismo,
2002 (a): 9)
Ciri-ciri "rechtsstaat" adalah:
(1).       Adanya Konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang   hubungan antara penguasa dan rakyat;
(2).       Adanya pembagian kekuasaan negara, yang meliputi : kekuasaan pembuatan undang-undang yang berada pada parlemen, kekuasaan kehakiman bebas yang tidak hanya menangani sengketa antara individu rakyat, tetapi juga antara rakyat dan penguasa, dan pemerintah mendasarkan tindakannya atas undang-undang (wetmatig bestuur);
(3)        Diakui dan dilingunginya hak-hak rakyat yang sering disebut "vrijheidsrechten van burger". (Port - Donner, 1983 : 143, Karman, 1992:9)

Ciri-ciri diatas menunjukkan dengan jelas bahwa ide sentral "rechtsstaat" adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, yang bertumpu atas prinsip kebebasan dan persamaan. Adanya konstitusi akan memberikan jaminan konstitusional terhadap asas kebebasan dan persamaan. Adanya pembagian kekuasaan untuk menghindarkan penumpukan kekuasaan dalam satu tangan, yang sangat cenderung kepada penyalah gunaan kekuasaan, berarti pemerkosaan terhadap kebebasan dan persamaan. Dengan adanya pembuatan undang-undang yang dikaitkan dengan parlemen, dimaksudkan untuk menjamin bahwa hukum yaug dibuat adalah atas kehendak rakyat; dengan demikian hukum tersebut tidak akan memperkosa hak-hak rakyat, tetapi dikaitkan dengan asas mayoritas, kehendak rakyat diartikan sebagai kehendak golongan mayoritas. Dengan prinsip "wetmatig bestuur" agar tindak pemerintahan tidak memperkosa kebebasan dan persamaan (heerschappij van de wet). Dalam konsep "rechtsstaat" yang liberal dan demokratis, inti perlindungan hukum bagi rakyat adalah perlindungan terhadap kebebasan individu. Setiap tindak pemerintahan yang melanggar kebebasan individu, melahirkan hak untuk menggugat di muka peradilan. (Hadjon, 1987 : 76 - 77) Sebutan "sociale rechtsstaat" lebih baik dari pada sebutan "welvaartsstaat". (Verdam, 1976 : 17) "Sociale rechtsstaat" merupakan variant dari "liberaal-democratische rechtsstaat"(Hadjon, 1987 : 77)
Variant dari "sociale rechtsstaat" terhadap "liberaal-democratische rechtsstaat", antara lain : interpretasi baru terhadap hak-hak klasik dan munculnya serta dominasi hak-hak sosial, konsepsi baru tentang kekuasaan politik dalam hubungannya dengan kekuasaan ekonomi, konsepsi baru tentang makna kepentingan umum, karakter baru dari "wet" dan “wetgeving”(Couwenberg, 1977 ; 33)
Semula kebebasan dan persamaan (vrijheid en gelijkheid) dalam konsep liberaal-democratische rechtsstaat sifatnya yuridis formal, dalam konsep sociale rechtsstaat ditafsirkan secara riil dalam kehidupan masyarakat (reele maatschappelijke gelijkheid), bahwa tidak terdapat persamaan mutlak di dalam masyarakat antara individu yang satu dengan yang lain. (Franken, 1983 : 273, Untung, 1991 : 6)
Dalam "sociale rechtsstaat" prinsip perlindungan hukum terutama diarahkan kepada perlindungan terhadap hak-hak sosial, hak ekonomi dan hak-hak kultural. Dikaitkan dengan sifat hak, dalam "rechtsstaat" yang liberal dan demokratis adalah "the right to do” dalam "sociale rechtsstaat" muncul "the right to receive". Dikaitkan dengan sarana perlindungan hukum, maka makin kompleks sistem perlindungan hukum bagi rakyat. (Meuwissen, 1975:140)
Tugas negara dalam konsep yuridis "sociale rechtsstaat", disamping melindungi kebebasan sipil juga melindungi gaya hidup rakyat. (Idenberg, 1983 :27)
Pengaruh negara terhadap individu menjelma dalam tiga cara yakni : pertama, pengaruh langsung sebagai akibat dari pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak sosial, kedua, pengaruh tidak langsung sebagai akibat dari pembentukan aparat pemerintah yang dilengkapi dengan kekuasaan jabatan dan keahlian, ketiga, harapan bahwa problema-problema masyarakat dapat dipecahkan melalui campur tangan penguasa. (Idenberg, 1983 :28 - 29)
Wacana murni dan sempit mengenai "the rule of law", inti dari tiga pengertian dasar yang diketengahkan adalah "common law", sebagai dasar perlindungan bagi kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan oleh penguasa. Penolakan kehadiran peradilan administrasi negara adalah sesuai dengan perkembangan hukum dan kenegaraan di Inggris. Inti kekuasaan raja di Inggris semula adalah kekuasaan memutus perkara, yang kemudian didelegasikan kepada hakim-hakim peradilan yang memutus perkara tidak atas nama raja, tetapi berdasarkan "the common custom of England", sehingga karakteristik dari "common law" adalah "judicial", sedangkan karakteristik dari "civil law" (kontinental) adalah "administratif ( Hadjon, 1987: 82)
Konsep "the rule of law" maupun konsep "rechtsstaat" keduanya menempatkan perlindungan dan pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai titik sentralnya, sedangkan bagi negara Republik Indonesia, yang menjadi titik sentralnya adalah "keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan". Untuk melindungi hak-hak asasi manusia, dalam konsep "the rule of law" mengedepankan prinsip "equality before the law", dan dalam konsep "rechtsstaat" mengedepankan prinsip "wetmatigheid" kemudian menjadi "rechtmatigheid", Untuk negara Republik Indonesia yang menghendaki keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat, yang mengedepankan adalah "asas kerukunan" dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat. Dari asas ini .akan berkembang elemen. lain dari konsep Negara Hukum Pancasila, yakni terjalinnya hubungan fungsional antara kekuasaan-kekuasaan negara, penyelesaian sengketa secara musyawarah, sedangkan peradilan merupakan sarana terakhir, dan tentang hak-hak asasi manusia tidaklah hanya menekankan hak dan kewajiban saja, tetapi juga terjalinnya suatu keseimbangan antara hak dan kewajiban. Elemen Negara Hukum Pancasila adalah:
a.         Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara;
b.         Prinsip   penyelesaian   sengketa   secara   musyawarah   dan   peradilan merupakan sarana terahkir;
c.         Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
d.         Keseimbangan hubungan antara pemerintahan dan rakyat berdasarkan
asas kerukunan (Hadjon, 1987 : 82 - 90)

3.         Asas Pengambilan Keputusan
Syarat minimum demokrasi adalah :
-                      pada prinsipnya setiap orang mempunyai hak untuk dipilih;
-                      setiap orang mempunyai hak-hak politik berupa hak atas kebebasan
berpendapat dan berkumpul;
-                      badan perwakilan rakyat mempengaruhi pengambilan keputusan melalui
sarana"(mede) beslissings recht" (hak untuk ikut memutuskan) dan atau
melalui wewenang pengawas;
-                      asas keterbukaan dalam pengambilan keputusan dan sifat keputusan yang
terbuka;
-                      pada prinsipnya setiap orang mempunyai hak yang sama dalam pemilihan
yang bebas dan rahasia
-                      pada dasarnya setiap orang mempunyai hak untuk dipilih. (Burkens, 1990
: 82, Hadjon, 1999 : 3)

Tampilnya asas itu sebenarnya berkaitan dengan asas pengambilan keputusan dalam ketatenegaraan Belanda yaitu asas mayoritas. Dalam ketatanegaraan kita prinsip utama dalam pengambilan keputusan adalah asas musyawarah untuk mufakat (Hadjon, 1999 : 3)

4.         Asas Keterbukaan
Rumusan secara eksplisit tentang asas keterbukaan tidak ditemukan dalam UUD 1945. Namun demikian isu keterbukaan dalam pelaksanaan pemerintahan telah merebak di tanah air sejak tahun delapan puluhan dan sebagai realisasinya dalam bidang politik dan sosial pada tahun 1986 wakil Presiden membuka kotak pos 5000. (Soemardjan, 1995 : 56)
Tanpa keterbukaan tidak mungkin ada peran serta masyarakat. Meskipun segi-segi keterbukaan telah mulai mendapat perhatian namun belum nampak suatu pengaturan dasar tentang makna dan prosedur keterbukaan dalam pelaksanaan pembentukan peraturan perundang-undangan. Demikian juga halnya peran serta. Tidak heran kalau ada sementara kalangan lebih mengartikan peranserta sebagai bentuk partisipasi dalam arti gotong royong peran serta secara fisik. Oleh karena melalui studi perbandingan dengan hukum tata negara dan hukum administrasi Belanda ditelaah konsep keterbukaan. Studi perbandingan tidaklah dimaksudkan untuk mengalihkan hukum Belanda ke Indonesia namun lebih-lebih untuk memahami konsep itu dan mudah-mudahan akan dapat mempertajam, konsep kita sendiri. (Hadjon, 1999:4)
Makna utama dari keterbukaan, baik "openheid" maupun "apenbaar-heid" ("openheid" adalah suatu sikap mental berupa kesediaan untukmemberi informasi dan kesediaan untuk menerima pendapat pihak lain; "openbaar-heid" menunjukkan suatu keadaan) sangat penting artinya bagi pelaksanaan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan demokratis. Dengan demikian keterbukaan dipandang sebagai suatu asas ketatanegaraan mengenai pelaksanaan wewenang secara layak (staatsrehtelijk beginsel van behoorlijke bevoegdheidsuitoefening). (Haan, 1986 : 122, Hadjon, 1999 : 4) Begitu pentingnya arti keterbukaan sehingga dapat dikatakan bahwa : "Openbaarheid is licht, geheimbouding isduisternis". (Hadjon, 1999 : 4)
Dalam kenyataannya kepustakaan hukum dalam bahasa Indonesa masih langka membahas soal keterbubukaan, meskipun usaha keterbukaan (seperti telah dikemukakan di atas) telah dikumandangkan sejak beberapa tahun yang lalu. (Hadjon, 1999: 4)

5.         Asas Demokrasi Partisipasi
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, khususnya dalam hukum tata negara dan hukum administrasi "keterbukaan" merupakan asas penyelenggaraan pemerintahan yang bertumpu atas asas demokrasi (partisipasi). Demokrasi perwakilan sudah lama dirasakan tidak memadai. Pernyataan seperti yang pernah diucapkan Prof. Mr. R. Boedisoesetio pada pidato inagurasinya sebagai Guru Besar Luar Biasa Hukum Tata Negara dan Hukum Tata Pemerintahan pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga yang diucapkan pada hari Rabu, tanggal 10 Nopember 1958 kiranya sudah ketinggalan dalam kehidupan demokrasi modern. Dalam pidato tersebut dikatakan:
Sekali angguta-angguta itu terpilih dan terbentuk DPR, maka rakjat yang
berdaulat itu tidak mempunjai wewenang lagi untuk menjatakan kemaunnja........(Budisoesetyo, 1958 : 13, Hadjon, 1999 : 5)
Apabila wacana itu diikuti maka setelah rakyat memberikan suaranya pada (hari pemungutan suara), selanjutnya rakyat itu tidak tahu apa-apa lagi tentang pelaksanaan pemerintahan. Bagi suatu negara demokrasi pelaksanaan pemilihan umum bukan satu-satunya instrumen demokrasi. Konsep demokrasi dan instrumennya telah jauh berkembang. (Hadjon, 1999, ibid,: 5)
Pada dekade tahun enampuluhan-tujuhpuluhan lahirlah suatu konep demokrasi yang disebut demokrasi partisipasi, (Akkormans, 1985 : 161, Hadjon, 1999 : 6) Dalam konsep demokrasi partisipasi rakyat mempunyai hak untuk ikut memutuskan (medebeslissingsrecht, dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan (besluitvormingsproces) (Haan, 1986 : 140, Hadjon, 1999:6)

6.         Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik
Sebagai pelaksanaan asas keterbukaan dalam pemerintahaan di Belanda,mula-mula melalui asas "fair play" sebagai salah satu dari apa yang disebut "algemene beginselen van behoorlijk bestuur", yang dalam praktek Peradilan TUN di Indonesia dewasa ini dikenal dengan nama "Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik" (AAUPB). Dengan lahirnya wet openbaarheid van bestuur (WOB) yang efektif sejak tanggal 1 Mei 1980 asas "fair play" dimasukkan dalam wet tersebut. Dalam WOB dibedakan dua macam keterbukaan pemerintahan, yaitu keterbukaan aktif dilaksanakan atas prakarsa pemerintah sedangkau keterbukaan pasif atas permintaan warga masyarakat. (Wijk-Konijnenbelt, 1984 : 42, Hadjon. 1999 : 6)
Pada dasarnya keterbukaan pemerintahan tidak hanya menyangkut informasi. Keterbukaan meliputi keterbukaan sidang-sidang badan perwakilan rakyat, keterbukaan informasi; keterbukaan prosedur; keterbukaan register. Dalam WOB Belanda hanya diatur tentang keterbukaan informasi saja sebagai dasar hubungan antara pemerintahaan dan rakyat. (Haan, 1986 : 124, Hadjou, 1999:6)
Arti penting keterbukaan dalam sidang-sidang badan perwakilan rakyat berkaitan dengan fungsi pengawasan yang dimiliki badan perwakilan rakyat Keterbukaan dalam pengambilan keputusan-keputusan politik memungkinkan pengawasan dan bagi pembuat keputusan akan mendorong sikap berhati-hati dalam pengambilan keputusan (Burkens, 1990 : 94, Hadjon, 1999 : 6-7)
Sebagai ilustrasi adanya asas keterbukaan antara lain : "Rapat Paripurna, Rapat Paripurna Luar Biasa, Rapat Komisi, Rapat Gabungan Komisi dan Rapat Panitia husus pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali apabila rapat yang bersangkutan atau Badan Musyawarah memutuskan rapat tersebut bersifat tertutup". (Kep. DPR RI.No.10/DPR-RI/III/82-83, Ps 96 ayat(l))

7.         Konsep Partisipasi Masyarakat
Sesuatu hal yang dirasa atau dipandang sangat penting ialah adanya saluran bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasinya melalui DPR Ketentuan tentang dengar pendapat umum, merupakan sarana yang patut dioptimalkan sehingga pembentukan undang-undang dan perumusan kebijakan lainnya betul-betul mengikutkan masyarakat. (Hadjon, 1999 : 7) Pemerintahan demokratis mengenal adanya keterbukaan informasi yang dibedakan atas keterbukaan aktif dan pasif berkaitan dengan dokumen-dokumen pemerintahan. Keterbukaan informasi dimungkinkan dalam batas-batas tertentu bagi masyarakat untuk mengetahui dokumen-dokumen pemerintah. Fiksi hukum yang menyatakan bahwa "setiap orang dianggap mengetahui undang-undang" tidaklah ada artinya apabila undang-undang tidak dipublikasikan secara luas. (Duk-Loeb-nicolai, 1981 : 157, Hadjon, 1999 : 7)
Cukup banyak terjadi masyarakat tidak pernah diberi informasi tentang ketentuaa hukum, karena disatu sisi kita hanya berpegang pada fiksi hukum dan disisi lain mungkin karena niat untuk memanfaafkan ketidak tahuan masyarakat tentang suatu aturan hukum. (Hadjon, 1999 : 7-8)
Eksistensi keterbukaan prosedur berkaitan dengan "besluitvormingsprocedures" dan salah satu dari "besluit" yang sangat penting adalah "beschikking" yang dalam UU No. 5 Tahun 1986 disebut keputusan tata usaha negara. (Hadjon, 1999 : 9) Keterbukaan penting dalam pemerintahan. Keterbukaan dalam prosedur pemerintahan memungkinkan masyarakat melakukan : meeweten (ikut mengetahui); meedenken (ikut memikirkan); meespreken (bermusyawarah); dan meebeslissen (ikut memutuskan dalam rangka pelaksanaan); medebeslissingsrecht (hak ikut memutus) (Haan, 1986 : 138, Hadjon, 1999 : 8)
Dalam prosedur pengambilan keputusan pemerintahan baik menyangkut suatu rencana, kebijakan, pembentukan peraturan perundang-undangan maupuu suatu keputusan tata usaha negara, (misalnya izin) asas-asas keterbukaan harus dituangkan dalam prosedur tersebut.
Asas keterbukaan dalam suatu prosedur izin, pelaksaaaannya dapat berupa:
  1. tersedianya sarana "meedenken en meespreken" baik berupa keberatan,
    dengar pendapat atau bentuk lain;
  2. pengumuman keputusan izin.
  3. keterbukaan isi permohonan. (Hadjon, 1999: 8)
Keterbukaan prosedur izin di Indonesia sesungguhnya telah diatur dalam ketentuan izin ganguan yang lazimnya dikenal sebagai HO, namun sangat disesalkan. keterbukaan prosedur begitu saja diabaikan dalam PERMENDAGRI No. 7 tahun 1993 dalam Rangka Paket Kebijaksanaan Pemerintah 23 Oktober 1993 (PAKTO 1993). Dalam Pasal 7 PERMENDAGRI tersebut sebagai kelengkapan suatu permohonan izin undang-undang gangguan pada huruf g diisyaratkan : Persetujuan tetangga/atau masyarakat yang berdekatan.
Ketentuan dalam Pasal 7 huruf g diatas disatu sisi bertentangan dengan Ordonansi Gangguan dan disisi lain telah mengabaikan asas keterbukaan pemerintah, yaitu kewajiban pejabat yang berwenang untuk mengumumkan isi permohonan di lokasi dimana usaha itu bakal berdiri, telah diganti dengan persetujuan tetangga. Dengan demikian asas keterbukaan telah digeser oleh asas tetangga, padahal asas keterbukaan berupa pengumuman isi permohonan tidak hanya untuk tetangga tetapi untuk siapa saja pihak ketiga yang berkepentingan (bisa juga LSM) untuk mengajukan keberatan dalam rangka "meeweten-meedenken-meespreken-meebeslissen". (Hadjon, 1999 : 8-9)
Register mengenai kedudukan hukum seseorang (misalnya pendaftaran penduduk; peadaftaran pemilihan umum), pendaftaran benda-benda tidak bergerak serta pendaftaran bidang usaha disamping sebagai suatu bentuk informasi, pada sisi lain memiliki sifat sebagai "bestuurswaarborg". (Haan 1986: 137,Hadjon,1999:9)
Keterbukaan register di Indonesia dikenal antara lain dalam hukum kadaster yaitu keterbukaan buku tanah. Keterbukaan seperti itu di satu pihak memang memberikan informasi kepada masyarakat mengenai hak atas tanah yang sudah didaftarkan dan sekaligus memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap hak-hak yang sudah didaftarkan itu. (Hadjon, 1999 : 9)
Salah satu perwujudan asas demokrasi yakni keterbukaan, bahkan merupakan conditio sine qua non asas demokrasi. Keterbukaan memungkinkan partisipasi masyarakat secara aktif dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. (Hadjon, 1999 : 9)
Asas keterbukaan dalam rangka pembentukan peraturan perundangan-undangan yang demokratis, perlu mendapat perhatian, oleh karena demokrasi perwakilan saja dewasa ini sudah tidak memadai.
Dalam rangka hubungan antara pemerintah dan rakyat, kiranya keterbukaan merupakan prioritas pemikiran untuk mendapat perhatian khusus. Kodifikasi hukum administrasi, umum, khususnya mengenai prosedur pemerintahan seyogyanya perlu mendapat perhatian, yang membuka peluang kodifikasi administrasi secara bertahap. Kodifikasi yang demikian punya arti bagi pelaksanaan asas negara hukum untuk mewujudkan asas kekuasaan berdasarkan atas hukum secara nyata. Dalam mengantisipasi era globalisasi usaha tersebut perlu mendapat prioritas karena hukumlah yang mempunyai peran utama dalam lalu lintas ekonomi global. Pembangunan yang hanya menempatkan posisi hukum sebagai sarana, diragukan kemampuannya untuk mewujudkan negara Hukum Republik Indonesia yang intinya adalah mewujudkan cita hukum (rechts idee). (Hadjon, 1999 : 9-10)
















BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

1.         Tipe Penelitian
Penelitian ini merupakan kombinasi antara penelitian hukum empiris dan penelitian hukum normatif. Masing-masing tipe penelitian tersebut digunakan sesuai dengan kebutuhannya.
Penelitian hukum empiris dilakukan melalui observasi dan wawancara mendalam (in depth interviews) dengan para responden dan nara sumber yang berkompeten dan terkait dengan masalah yang diteliti (obyek yang diteliti), untuk mendapatkan data primer dan akan dilakukan pula dengan studi kasus.
Penelitian hukum normatif dilakukan dengan mengumpulkan bahan hukum baik primer, sekunder dan atau tersier. Dalam rangka mendapatkan jawaban atau penyelesaian atas masalah-masalah (isu hukum) yang telah dirumuskan, dapat dipergunakan empat model pendekatan penyelesaian masalah yaitu pendekatan peraturan perundang-undangan (statutory approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan historis (historical approach), yang penerapannya disesuaikan dengan kebutuhan. Semua pendekatan yang disebutkan di atas diterapkan pada lapisan ilmu hukum dogmatik dan atau lapisan hukum teoritik sebagai berikut:
(1)               Lapisan Dogmatik Hukum
Pada lapisan ini uraian mengarah dalam bentuk memaparkan, membandingkan, menginterpretasikan hukum yang berlaku atau hukum positif. Dalam penelitian ini analisis mengarah pada ada tidaknya partisipasi masyarakat dalam setiap pembuatan dan evaluasi kebijakan daerah Kota Yogyakarta dan aspiratif tidaknya produk-produk kebijakan daerah.Kota Yogyakarta pasca UU No. 22 Tahun 1999.
(2)        Lapisan Teori Hukum
Dalam lapisan ini dianalisis peraturan perundangan yang ada, apakah telah memberikan pemahaman sepenuhnya atau memberikan penjelasan bila ada perbedaan tentang semua obyek atau pengertian aturan yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian ini analisis mengarah pada perlu tidaknya masyarakat dilibatkan dalam setiap pembuatan dan evaluasi kebijakan daerah Kota Yogyakarta.
Dalam pendekatan dari sudut pandang teori bukum, dikenal tiga lapisan ilmu hukum, yang terdiri dari :
1.         Dogmatik hukum
D.H.M. Meuwissen, memberikan batasan pengertian dogmatik hukum sebagai ".... Memaparkan, menganalisis, mensistimatisasi dan menginterpretasikan hukum yang berlaku atau hukum positif” (Sukismo, 2002 (b): 15, Meuwissen, 1979 : 660).
M. Van Hoecke memberikan pengertian doghmatika hukura sebagai: "... cabang ilmu hukum (dalam arti luas) yang memaparkan, mensistematisasi hukum positif yang berlaku dalam masyarakat tertentu dan pada suatu waktu tertentu, dari sudut pandang normatif” (Gijessels, Hoeke, 1982.: 75).
J.J.H. Bruggink (Sukismo, 2002 (b): 15-16, Bruggink (alih bahasa Arief Sidharta), 1996 :169-170) mengemukakan pendapatnya bahwa :
"Dengan bertolak dari kenyataan yang ada dalam hukum pada suatu saat tertentu ia berkenaan dengan suatu masalah tertentu, hendak menawarkan alternatif penyelesaian yuridisk yang mungkin. Hal itu dengan sendirinya menyebabkan bahwa dogmatikus hukum bekerja dari sudut perspektif internal. Ia justru menghendaki sebagai parisipan yang ikut berbicara (peserta aktif secara langsung) dalam diskusi yuridik mengemukakan wawasannya tehadap hukum positif. Justru keakraban dengan sistem hukum yang dipelajarinya, menyebabkan (membuat) ia menjadi dogmatikus yang berarti.”
2.         Teori Hukum Dalam Arti Sempit.
Teori hukum dalam arti sempit, selanjutnya disebut teori hukum, terletak antara Dogmatika Hukum dan Filsafat Hukum.
M. Van Hoecke (Gijssels-   Hoecke,   1982:   75)  mencoba memperjelas dengan perbedaan dalam jenis-jenis teori hukum dengan menggunakan pengertian meta teori:
"Meta teori adalah teori yang didalamnya suatu teori lain direnungkan. Jadi, jenis teori hukum yang satu dapat ditipikasi sebagai meta teori dari dogmatika Hukum, dan yang lainnya sebagai teori hukum dari hukum positif. Karena dimungkinkan lagi adanya teori tentang meta teori (yang disebut meta teori), maka rangkaian ini dapat dilanjutkan tanpa batas.
M. Van Hoecke menjelaskan lagi bahwa :
"Ikhwalnya tidaklah demikian. Sampai pada filsafat hukum, yang seperti akan kita lihat merupakan teori yang fundamental, kita menemukan titik akhir. Filsafat hukum adalah juga teori yang merefleksikan teorinya sendiri dan tidak memiliki meta teori diatasnya, maka ia sendiri harus meneliti masalah-masalah berkenaan dengan sifat keilmuan dan metodologi Filsafat Hukum. Jadi disini filsafat Hukum harus merefleksi diri (Sukismo, 2002 (b): 17, Bruggink, 1996 : 171).
Hubungan antara dogmatika hukum, teori hukum, dan filsafat hukum dalam meta teori-meta teori seperti telah dijelaskan oleh M. Van Hoecke atau dalam perbedaan tataran analisis seperti yang dilakukan oleh Meuwissen dan selanjutnya dijelaskan oleh Bruggink (Sukismo, 2002 (b) : 17, Bruggink, 1996 : 175-176) bahwa Filsafat Hukum adalah meta teori untuk teori hukum. Mengingat bahwa teori hukum, adalah teori untuk dogmatika Hukum, maka filsafat Hukum adalah meta teori-meta teori untuk dogmatika hukum. Tetapi dalam penelitian tesis ini penulis hanya menganalisis pada lapisan Dogmatik Hukum dan Teori Hukum. Penjelasan yang senada diungkapkan oleh B. Arief Sidharta dalam disertasinya mensitir pendapat M. Van Hoecke tentang hubungan antara dogmatika hukum, teori hukum dan Filsafat Hukum dengan menggunakan konsep meta teori yakni ilmu (disiplin) yang obyek studinya adalah ilmu lain. Berdasarkan konsep ini, teori hukum terdiri dari dua jenis :
  1. Meta teori dogmatika hukum yang mempersoalkan ajaran ilmu (yang membahas landasan kefilsafatan) dan ajaran metode dari dogmatika hukum.
  2. Teori tentang hukum positif yang menelaah pengertian hukum, pengertian-pengertian   dalam   hukum,   metodologi   hukum   yang mencakup metodologi   pembentukan   hukum   dan   metodologi penerapan hukum. Filsafat hukum adalah meta teori dari teori hukum dan meta teori dari dogmatika hukum serta teori tentang hukum (refleksi tentang hakekat hukum dan keadilan). Filsafat hukum sendiri tidak mempunyai meta teori, karena sebagai filsafat ia merefleksi dirinya sendiri untuk mempertanggungjawabkan keberadaannya dan menjelaskan makna karaktemya (Sukismo, 2002 (b) : 13. Sidharta, 1996 : 141-142. Gijjssels - Hoecke, 1982 : 76,91-95).
Guna pengembangan hukum teoritis yang dimaksud oleh Meuwissen, Bruggink mengguaakan istilah "Teori Hukum dalam arti luas" yang didefinisikan sebagai "keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, sistem tersebut sebagian dipositifkan" (Sukismo, 2002(b): 13. Sidharta, 1996 :142. Bruggink, 1996: 4)
Teori hukum dalam arti luas ini terdiri atas sosiologi hukum, dogmatika hukum, teori hukum dalam arti sempit, dan filsafat hukum (Sukismo, 2002 (b): 18, Sidharta, 1996 :142). JJ.H. Bruggink menjelaskan bahwa :
"Teori hukum itu membedakan diri dari dogmatika hukum, karena ia memiliki penentuan tujuan yang berbeda sekali, yakni semata-mata teoritikal. Masalah-masalah yang berkenaan dengan hukum yang mungkin ada atau hukum adil atau berkenaan dengan keadilan dari hukum, yang dalam filsafat sering menempati posisi sentral. Obyek teori hukum ini mencakup kegiatan yurisdik seperti pengembangan (rechtbeofening). Dogmatig hukum, pembentukan hukum dan penemuan hukum. Dalam bidang ini berbagai jenis teori hukum diberi nama juga teori (dari) ilmu hukum, dan teori penemuan hukum. Objek yang penting pada bagian ini adalah studi tentang metode yang digunakan dalam kegiatan-kegiatan yuridisk tersebut".
"Dari uraian tadi sudah dikemukakan sesuatu tentang penetapan tentang tujuan teori hukum Penetapan tujuan teoritikalnya membedakan teori hukum dari dokmatika hukum, yang diarahkan pada praktek hukum. Teoritikus hukum terutama hendak memberikan pemahaman tentang objek yang dipelajari. Sebab pemahaman ini berdampak ke dalam praktek hukum. Walaupun teori hukum tidak mempunyai kepentingan praktikal secara langsung, tetapi teori hukum tetap penting bagi praktek hukum, karena turut memerankan peranan yang pasti mempertinggi kualitas praktek hukum (Sukismo, 2002 (b): 18-19, Bruggink, 1996 : 173-175).

Teori kebenaran yang mengedepan dan relevan berkaitan dengan penelitian tesis ini adalah teori kebenaran koherensi. Hal ini didasarkan atas alasan bahwa pada prinsipnya orientasi penelitian (kajian) tesis ini mengenai keterkaitan antara Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999, Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 dengan Peraturan Pemerintah 66 Tahun 2001, atau lebih konkritnya mengenai keterkaitan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan Undang-undang 25 Tahun 1999, Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 .
Menurut  White,  teori kebenaran koherensi diberi makna/arti sebagai :
"...to say what is said (usually called a judment, belief, or proposition) is true   or false is to say that coheres orfails coheres with a system of other things which are said; that is a member of a system whose elements are related to each other by ties of logical implication as the elements in a system of pure mathematics are related" (Sukismo, 2002 (b): 19, Allan, White, 1970 : 15)
Menurut Kattsoff, teori kebenaran koherensi diberi makna sebagai :
"... suatu proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan proposisi lain yang benar, atau jika makna yang dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita"
(Sukismo, 2002 (b) : 19, Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2001 : 139. Katsoff, 1954, 1986:19).

Bertolak dari pendapat dari White dan Kattsoff tersebut yang bernada hampir sama, dapatlah diungkapkan dengan bahasa yang sederhana, bahwa teori kebenaran koherensi atau teori kebenaran saling berhubungan yaitu suatu proposisi itu atau makna dari pernyataan dari suatu pengetahuan bernilai benar bila proposisi itu mempunyai hubungan ide-ide dari proposisi yang terdahulu yang bernilai benar. Dengan demikian kebenaran dari pengetahuan itu dapat diuji melalui kejadian-kejadian sejarah, atau juga pembuktian proposisi itu melalui hubungan logis jika pernyataan yang hendak dibuktikan berkaitan dengan pernyataan-pernyataan logis atau matematis (Sukismo, 2002 (b): 20, Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2001:140).
3.         Filsafat Hukum
Filsafat hukum diidentifikasi (diartikan) sebagai induk dari semua disiplin yurisdik, karena filsafat hukum membahas masalah-masalah yang paling fundamental yang timbul dalam hukum. Orang mengatakan juga bahwa filsafat hukum berkenaan dengan masalah-masalah sedemikian fundamental, sehingga bagi manusia tidak terpecahkan, karena masalah-raasalah itu akan melampaui kemampuan berfikir manusia. Filsafat hukum akan merupakan kegiatan yang tdak pemah berakhir, karena mencoba memberikan jawaban pada pertanyaan-pertanyaan abadi. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah pertanyaan terhadapnya hanya dapat diberikan jawaban, yang menimbulkan lebih banyak pertanyaan baru. Filsafat hukum dapat diberikan definisi sebagai teori tentang dasar-dasar dan batas-batas kaidah hukum (Sukismo, 2002 (b): 20. Bruggink, 1996.: 175).
Penelitian ini diarahkan untuk dapat melakukan kajian ilmu hukum dalam dua lapisan ilmu hukum saja, yakni lapisan Dogmatik Hukum dan Teori Hukum. Sehubungan dengan itu maka objek penelitian yang telah ditetapkan, dipilah-pilahkan menjadi dua kelompok lapisan, yakni kelompok lapisan Dogmatik Hukum dan kelompok lapisan teori hukum, kemudian masing-masing kelompok lapisan keilmuan hukum tersebut dilakukan pengkajian, sesuai dengan karakternya masing-masing, yakni untuk lapisan Dogmatik hukum dan lapisan Teori Hukum menggunakan metode normatif. Dalam hal ini, J.J.H. Bruggink menjelaskan bahwa untuk lapisan Dogmatik hukum konsepnya berupa "technisch juridisch begripen. Eksplanasinya secara teknis yuridis, sifat keilmuan normatif, untuk lapisan teori Hukum konsepnya berupa "algemene begripen", eksplanasinya secara analitis, sifat keilmuannya normatif (dan dapat pula empiris) (Sukismo., 2002 (b): 21. Hadjon, 1994 : 10).

2.         Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang digunakan pada tipe penelitian hukum empiris berupa hasil wawancara mendalam (in depth interviews) dengan responden maupun narasumber dan hasil observasi tentang realisasi pembuatan kebijakan daerah Kota Yogyakarta yang demokratis dalam sistem pemerintahan yang bersih bebas dari korupsi kolusi dan nepotisme.
Bahan penelitian yang digunakaa pada tipe penelitian hukum normatif berupa bahan hukum, baik bahan hukum primer (primary sources or authorities), maupun bahan hukum sekunder (secondary sources or authorities) dan diiengkapi dengan bahan hukum tersier yang diperoleh dari penelitian kepustakaan yang merupakan data sekunder.
(1)        Bahan hukum primer
a).        Pancasila
b).        UUD45
c)         Ketetapan MPR
d)         UU No.22 Tahun 1999
e)         Peraturan perundang-undangan dan asas-asas yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam pembuatan dan evaluasi kebijakan daerah Kota Yogyakarta serta sistem pemerintahan yang bersih bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme..
(2)        Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang erat hubungannya
dengan bahan hukum primer berupa bahan pustaka seperti buku, majalah,
hasil penelitian, makalah dan lainnya yang terkait dengan kebijakan
daerah yang demokratis dan sistem pemerintahan yang bersih bebas dari
korupsi kolusi dan nepotisme..
(3)        Bahan hukum tersier, meliputi bahan yang memberikan kelengkapan
informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder

3.         Prosedur pengumpulan bahan penelitian
Bahan penelitian berupa data yang diperoleh melalui penelitian hukum empiris baik melalui wawancara mendalam dengan menggunakan pedoman wawancara maupun melalui observasi, hasil yang terkumpul di narasikan secara komprehensif dan sistematis.
Bahan-bahan hukum yang diperoleh melalui penelitian hukum normatif diinventarisasi, terhadap bahan hukum yang berkenaan dengan isu sentral dilakukan identifikasi.
Pengumpulan bahan hukum primer dilakukan dengan mengadakan penelusuran atau penemuan kembali melalui daftar petunjuk peraturan yang ada ataupun melalui informasi resmi lainnya ataupun bahan hukum tersier dilakukan dengan mengadakan penelusuran melalui katalog hukum yang terdapat di perpustakaan.
Langkah berikutnya adalah meringkas, mengutip dan mengulas bahan hukum yang telah dikumpulkan itu hasilnya ditulis dengan menggunakan sistem kartu (card system) yang terdiri dari : kartu ikhtisar, kartu kutipan dan kartu ulasan atau kartu analisis, kemudian dipilih dan dihimpun sesuai dengan ketentuan hukum dan atau asas-asas hukum positif yang mendasarinya untuk disusun secara sistematis guna mempermudah dalam analisis.

4.         Pengolahan dan Analisis Bahan Penelitian
Bahan penelitian pada penelitian hukum empiris dikumpulkan dengan observasi dan mewawancarai para responden serta nara sumber khususnya yang berkaitan dengan permasalahan (obyek penelitian) hasilnya dianalisis secara kualitatif, kemudian dituangkan dalam bentuk deskripsi yang menggambarkan tentang realisasi pembuatan kebijakan daerah Kota Yogyakarta yang demokratis dalam sistem pemerintahan yang bersih bebas dari korupsi kolusi dan nepotisme.
Bahan penelitian pada penelitian hukum normatif berupa bahan hukum yang berkaitan dengan kebijakan daerah yang demokratis, partisipasi masyarakat dan sistem pemerintahan yang bersih bebas dari KKN, disusun secara sistematis, kemudian di klasifikasi sesuai pokok bahasan. Selanjutnya bahan-bahan hukum tersebut dilakukan analisis secara normatif, sehingga diperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai jawaban atas permasalahan pada lapisan ilmu dogmatik hukum dan teori hukum, mengenai ada tidaknya partisipasi masyarakat dalam setiap pembuatan dan evaluasi kebijakan daerah Kota Yogyakarta dalam sistem pemerintahan yang bersih bebas dari KKN serta aspiratif tidaknya produk-produk kebijakan daerah Kota Yogyakarta pasca UU No. 22 Tahun 1999.
Berdasarkan hasil penelitian, baik penelitian hukum empiris maupun penelitian hukum normatif dapat ditarik kesimpulan dan diajukan saran seperlunya.


5.         Pertanggungjawaban Sistematika Penulisan
Penulisan hasil penelitian ini akan diuraikan dalam lima bab, yakni Bab I, Bab II, Bab III, Bab IV dan Bab V. Dari bab-bab tersebut kemudian diuraikan lagi menjadi sub-sub bab yang diperlukan. Sistematika ini disusun berdasarkan urutan langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka kegiatan penelitian ini.
Penulisan bab-bab tersebut selengkapnya adalah sebagai berikut :
Judul:              EKSISTENSI KEBIJAKAN DAERAH YANG DEMOKRATIS DALAM SISTEM PEMERINTAHAN YANG BERSIH BEBAS DARI KORUPSI KOLUSI DAN NEPOTISME
BAB I:            PENDAHULUAN, merupakan penjelasan awal yang berisi tentang : latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian dan sistematika penulisan hasil penelitian, dengan demikian diharapkan penelitian ini dapat selalu mengacu dan berjalan sesuai dengan hal-hal yang telah ditetapkan sebelumnya.
BABII:            TINJAUAN PUSTAKA, merupakan uraian sistematis bahan pustaka yang akan dijadikan kerangka teori pada tipe penelitian hukum empiris, dan atau akan dijadikan bahan hukum utama pada tipe penelitian hukum normatif.
BAB III:         METODE PENELITIAN, merupakan uraian tentang tata cara yang ditempuh     dalam     melakukan     penelitian     sebagai     bentuk pertanggungjawaban ilmiah, yang memuat tentang : tipe penelitian, bahan penelitian, prosedur pengumpulan bahan penelitian, serta pengolahan dan analisis bahan penelitian.
BAB IV:         HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN, merupakan analisis dan bahasan terhadap bahan penelitian yang dilakukan selama penelitian berlangsung, guna mendapatkan jawaban atas masalah-masalah yang telah dirumuskan, dipaparkan lebih lanjut dalam sub-sub bab yakni:
1.         Realisasi Pembuatan Dan Evaluasi Kebijakan Daerah
1.1.      Mekanisine Dan Prosedur Pembuataa Kebijakan Daerah
1.2.      Peranserta  Masyarakat  Dalam  Pembentukan  Kebijakan Daerah
1.3.      Eksistensi Pemerintahan Daerah Yang Bersih Bebas Dari Korupsi Kolusi Dan Nepotisme
2.         Aspirasi   Dan   Partisipasi   Masyarakat   Dalam   Pembuatan
Kebijakan Daerah Pasca Undang-Undang No. 22 Tahun 1999
2.1       Kebijakan Daerah Yang Aspiratif
2.2       Kebijakan Daerah Yang Demokratis
2.3       Keterbukaan Dalam Pembentukan Kebijakan Daerah
3.         Legalitas  Dan  Perlindungan  Hukum  Dalam  Pembentukan Kebijakan Daerah
3.1       Prinsip Negara Hukum Dalam Pembentukan Kebijakan
Daerah
3.2       Legalitas Dalam Pembentukan Kebijakan Daerah
3.3       Perlindungan   Hukum   Dalam   Pembentukan   Kebijakan Daerah
BAB V:           PENUTUP, memuat kesimpulan dan saran seperlunya




BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Analisis dan pembahasan terhadap bahan penelitian yang dilakukan selama penelitian berlangsung, baik data dari hasil penelitian hukum empiris maupun bahan hukum dari hasil penelitian hukum normatif, guna mendapatkan jawaban atas masalah-masalah yang telah dirumuskan, dipaparkan lebih lanjut dalam sub-sub bab sebagai berikut:
1.         Realisasi Pembuatan Kebijakan Daerah
1.1       Mekanisme Dan Prosedur Pembuatan Kebijakan Daerah
Kebijakan diberikan makna sebagai kumpulan keputusan mengenai:
a.         Pedoman pelaksanaan tindakan atau kegiatan tertentu;
b.         Pengaturan mekanisme tindakan untuk mencapai tujuan dan sasaran;
c.         Penciptaan situasi yang mengarah ke kondisi-kondisi untuk menciptakan
dukungan implementasi (Suwandi, 2001:10).

Daerah diberikan makna sebagai propinsi dan atau kabupaten/kota yang otonom, sebagai pengejawantahan dan atau perwujudan dari amanat UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah. Sebagai ilustrasi dalam penelitian ini secara perposif yang dimaksud daerah adalah pemerintahan kota Yogyakarta pada khususnya dan pemerintahan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada umumnya. Ilustrasi ini didasarkan atas pertimbangan bahwa UU No. 22 Tahun 1999 adalah bersifat nasional, dengan demikian maka pemilihan pemerintahan kota Yogyakarta pada khususnya dan pemerintahan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada umumnya sebagai ilustrasi yang diharapkan, dasar hukum pembuatannya, langkah-langkah yang harus dilaksanakan, sanksi-sanksi tertentu akibat pelanggaran terhadap materi yang diatur didalamnya, sasaran utamanya (Suhardi; 2002 : 6).
Secara umum kebijakan daerah yang berupa Kepda dibuat dengan mendasarkan pada amanat suatu Perda dan atau amanat peraturan perundang-undangan tertentu, bahkan dapat juga mendasarkan pada ketentuan hukum administrasi tidak tertulis yakni asas kebebasan bertindak (freies ermessen), yang selama ini banyak dilaksanakan dalam praktek pemerintahan termasuk didalamnya pemerintahan daerah (Wawancara dengan staf DPRD).
Pembuatan kebijakan daerah yang berupa Perda melibatkan Pemerintah Kota dalam ilustrasi ini Pemerintah Kota Yogyakarta (selanjutnya disebut Pemkot) dan dewan Perwakilaa Rakyat Daerah Kota ilustrasi ini DPRD Kota Yogyakarta (selanjutnya disebut DPRD Kota atau DPRD). Dari hasil observasi dapat dideskripsikan tentang mekanisme dan prosedur pembuatan kebijakan daerah yang dikemas dalam bentak Perda.
Walikota menetapkan Perda atas persetujuan DPRD, sebagai tindak lanjut atas suatu Rancangan Peraturan Daerah (selanjutnya disebut Raperda). Raperda dapat berasal dari Walikota atau berupa usul dari DPRD. Raperda yang berasal dari Walikota disampaikan pada Pimpinan DPRD dengan Nota Pengantar Walikota. Raperda yang berasal dari usul DPRD beserta penjelasannya, disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPRD, selanjutnya Raperda yang diterima oleh Pimpinan DPRD tersebut, baik yang berasal dari usulan Walikota maupun yang berasal dari usulan DPRD oleh Pimpinan DPRD disampaikan kepada seluruh Anggota DPRD. Apabila ada dua atau lebih Raperda yang diajukan mengenai hal yang sama, maka yang dibicarakan lebih dahulu adalah Raperda yang diterima lebih dahulu, dan Raperda yang diterima kemudian dipergunakan sebagai pembanding (Tatip DPRD, 1999, Pasal 199, 120, 121).
Pembahasan Raperda dilakukan melalui empat tahapan pembicaraan, kecuali apabila Panitia Musyawarah menentukan lain. Empat tahapan pembicaraan tersebut meliputi : tahap pertama, tahap kedua, tahap ketiga, tahap keempat, kesemuanya dalam Rapat Paripurna DPRD. Sebelum dilakukan pembicaraan tahap kedua, tahap ketiga, dan tahap keempat diadakan rapat fraksi terlebih dahulu, Tahapan-tahapan pembicaraan dalam forum Rapat DPRD berkaitan dengan Raperda, dalam prakteknya berisi muatan-muatan sebagai berikut:
(1)   Dalam hal Raperda berasal atas usulan Walikota, tahapan-tahapan pembicaraan selengkapnya yakni tahap pertama berupa penjelasan Walikota dalam Rapat Paripuma DPRD terhadap Raperda yang diusulkan Walikota, tahap kedua berupa pemandangan umum dalam Rapat Paripuma DPRD oleh para Anggota yang membawakan suara fraksinya terhadap Raperda yang diusulkan oleh Walikota, tahap ketiga berupa jawaban Walikota dalam Rapat Paripurna DPRD terhadap pemandangan umum para anggota terhadap Raperda yang berasal dari usulan Walikota, tahap keempat berupa : laporan hasil pembicaraan Panitia khusus (Pansus), pendapat akhir fraksi-fraksi yang disampaikan oleh Anggotanya, penetapan keputusan, pemberian kesempatan kepada Walikota   untuk   menyampaikan   sambutan   terhadap   pengambilan keputusan tersebut;
(2)        Dalam hal Raperda berasal dari usulan DPRD, tahapan-tahapan pembicaraan selengkapnya yakni tahap pertama berupa penjelasan Pimpinan Komisi/Pimpinan Rapat Gabungan dalam Rapat Paripurna DPRD terhadap Raperda yang diusulkan oleh DPRD, tahap kedua berupa pendapat Walikota dalam Rapat Paripurna DPRD terhadap Raperda yang diusulkan oleh DPRD, tahap ketiga berupa jawaban Pimpinan Komisi atau Pimpinan Rapat Gabungan Komisi atas nama DPRD dalam Rapat Paripurna DPRD terhadap pendapat Walikota berkenaan dengan Reperda yang diusulkan DPRD, tahap keempat berupa : laporan hasil pembicaraan dalam rapat komisi atau gabungan komisi, pendapat akhir yang disampaikan oleh Walikota, penetapan keputusan, pemberian kesempatan kepada Walikota untuk menyampaikan sambutan terhadap pengambilan keputusan tersebut. Pembicaraan- Pembicaraan yeng bertahap tersebut, baik Raperda atas usulan Walikota maupun atas usulan DPRD, sebelum pembicaraan tahap keempat, maka didahului dengan Rapat Panitia Khusus yang dilakukan bersama-sama dengan pejabat yang ditunjuk Walikota (wawancara dengan staf Setwan DPRD Kota Yogyakarta, Tatip DPRD, 1999, Pasal 122,123, l24, 125,126).

Pembicaraan- pembicaraan secara bertahap dalam forum rapat DPRD tersebut, baik mengenai Raperda atas usulan Walikota maupun atas usulan DPRD, sebelum memasuki pembicaraan tahap keempat, didahului dengan rapat Panitia Khusus (Pansus) yang dilakukan bersama-sama dengan pejabat yang ditunjuk Walikota (Wawancara dengan staf Setwan DPRD Kota-Yogyakarta, Tatip DPRD, 1999, Pasal 127).
Prosedur pembuatan Raperda dapat dibedakan antara Raperda yang dibuat Pemerintah Kota maupun Raperda yang dibuat oleh DPRD, yakni sebagai berikut:
(1)        Raperda yang dibuat oleh Pemerintah Kota dilakukan dengan tiga model,
yakni pertama sistem top down artinya Raperda tersebut disusun atas dasar
ide-ide dan atau niatan-niatan politik jajaran pemerintahan kota dari
jajaran paling atas sampai jajaran yang paling bawah, kedua dengan sistem
bottom up artinya Raperda tersebut disusun atas ide-ide dan atau niatan-
niatan   politik jajaran  pemerintah   daerah  dari  yang  bawah  secara
hierarkhies sampai yang paling atas, ketiga dengan sistem kombinasi
antara top down dan bottom up, artinya memadukan dan mensinergikan
antara sistem top down dan bottom up dengan memanfaatkan secara
optimal segi-segi positif dan mengeliminir sedemikian rupa segi-segi negatif dari masing-masing sistem tersebut, untuk kemudian dijadikan dasar dalam penyusunan Raperda oleh Pemerintah Kota;
(2)        Raperda yang dibuat oleh DPRD, prosedumya sebagai berikut:
a          sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang Anggota DPRD yang tidak hanya
terdiri dari satu fraksi dapat mengajukan sesuatu usul prakarsa
pengaturan sesuatu urusan Daerah;
b.         Usul prakarsa pengaturan sesuatu urusan Daerah tersebut, disampaikan kepada Pimpinan DPRD dalam bentuk Raperda disertai dengan
penjelasan secara tertulis;
c.         Usul prakarsa pengaturan sesuatu urusan Daerah tersebut diberi nomor
pokok oleh Sekretariat DPRD;
d.         Usul  prakarsa  pengaturan  sesuatu urusan  Daerah  tersebut  oleh
Pimpinan DPRD disampaikan dalam Rapat Paripurna DPRD setelah
mendapat pertimbangan dari Panitia Musyawarah;
e.         Dalam Rapat Paripurna DPRD, Anggota DPRD yang mengusulkan
diberi   kesempatan   memberikan   penjelasan   atas   usul   prakarsa
pengaturan sesuatu urusan Daerah tersebut;
f.          Pembicaraan mengenai sesuatu usul prakarsa pengaturan sesuatu
urusan Daerah dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada:
f.a.       Anggota DPRD lainnya untuk memberikan pandangan;
f.b.       Walikota untuk memberikan pendapat;
f.c.       Anggota DPRD yang mengusulkan, memberikan jawaban atas pandangan Anggota DPRD lainnya dan pendapat Walikota.
g.         Pembicaraan diakhiri dengan Keputusan DPRD yang menerima atau menolak usul  prakarsa pengaturan sesuatu urusan  Daerah dari Anggota-Anggota DPRD tersebut menjadi prakarsa DPRD;
h.         Tatacara  pembahasan  Raperda  atas  prakarsa  DPRD   mengikuti ketentuan yang berlaku dalam pembahasan Raperda;
i.          Selama  usul prakarsa pengaturan sesuatu urusan Daerah belum diputuskan menjadi prakarsa DPRD, para pengusul berhak mengajukan perubahan atau mencabutnya kembali (Wawancara dengan staf Setwan DPRD; Tatp DPRD, 1999, Pasal 14).

Dari paparan tersebut dapatlah diketahui antara lain :
a.       Setiap kebijakan daerah harus dibuat dalam bentuk kemasan hukum baik berupa Kepda maupun Perda
b.      Setiap Kebijakan daerah yang dibuat oleh pemerintah daerah melalui Kepala Daerah dalam bentuk Kepda harus dapat dipertanggungjawabkan setiap saat
c.       Setiap kebijakan daerah yang dibuat dalam bentuk Perda, Raperdanya datang (berasal) dari Pemerintah Daerah maupun dari DPRD
1.2.            Peran serta Masyarakat Dalam Pembentukan Kebijakan Daerah
Suatu kebijakan daerah yang merupakan kumpulan keputusan mengenai : pedoman pelaksanaan tindakan atau kegiatan tertentu: Pengaturan mekanisme tindakan untuk mencapai tujuan dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara merupakan hak dan tanggung jawab masyarakat untuk ikut mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih. Hubungan antara Penyelenggara Negara dan Masyarakat dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas umum penyelenggaraan negara yang meliputi : asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, dan asas akuntabilitas (wawancara dengan Staf Setwan DPRD, UU No. 28/1999, pasal 8).
Makna asas-asas umum penyelenggaraan negara tersebut, masing-masing adalah:
a.         Asas   kepastian   hukum yakni   asas   dalam   negara   hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelengara Negara;
b.         Asas tertib penyelenggaraan negara yakni asas yang menjadi landasan
keteraturan,    keserasian,    dan    keseimbangan    dalam    pengendalian
Penyelenggara Negara;
c.         Asas kepentingan umum yakni asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif;
d.         Asas keterbukaan yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, serta tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara;
e.         Asas proporsionalitas yakni asas yang mengutamakan keseimbangan antar hak dan kewajiban Penyelengaraan Negara;
f.          Asas  profesionalitas  yakni  asas yang  mengutamakan  keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
g.         Asas akuntabilitas yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan
hasil akhir dari Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan
kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi
negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku (wawancara dengan Staf Setwan DPRD, UU No. 28/1999,
Penjelasan Pasal 3).

Peluang dan partisipasi masyarakat dalam pembuatan, dan evaluasi atas kebijakan daerah, termasuk didalamnya kebijakan daerah di kota Yogyakarta cukup besar dan. strategis. Hal tersebut pada hakekatnya telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain dalam:
a.         UU NO. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
b.         PP No.  20 Tahun 2001 teatang Pembinaan dan Pengawasan atas
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan Kepmendagri No. 41 Tahun
2001 tentang Pengawasan Represif Kebijakan Daerah
c.         UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Yang
bersih dan Bebas dari KKN.

Secara garis besar, amanat bagi masyarakat untuk berpartisipasi terhadap sesuatu kebijakan daerah dapat disistematisir sebagai berikut :
a.         Setiap pembuatan kebijakan daerah yang baru, baik berupa keputusan
kepala daerah maupun peraturan daerah, senantiasa wajib melibatkan
masyarakat daerah untuk berpartisipasi;
b.         Setiap kebijakan daerah yang baru, yang tidak melibatkan masyarakat
daerah dapat menyebabkan kebijakan daerah tersebut dibatalkan oleh
pemerintah atasan;
c.         Masyarakat berhak untuk mengkritisi dan mengevaluasi atas sesuatu
kebijakan daerah yang telah ada, dan apabila dipandang perlu dapat
mengajukan usul agar kebijakan daerah yang dinilai oleh masyarakat tidak
sesuai dengan kepentingan masyarakat dan tuntutan keadaan / zaman,
ditinjau kembali dan apabila perlu dapat diusulkan untuk dicabut;
d.         DPRD   mempunyai   tugas   dan  wewenang  untuk  menampung  dan
menindaklanjuti aspirasi daerah dan aspirasi masyarakat;
e.         Masyarakat   mempunyai   hak   untuk   mencari,   memperoleh,   dan
memberikan   informasi   tentang   penyelenggaraan   negara   (termasuk
penyelenggaraan pemerintahan daerah), serta menyampaikan saran dan
pendapat   terhadap   kebijakan   penyelenggaraan   negara   (termasuk
penyelenggaraan pemerintahan daerah). (Prasetyo, 2002 :3)

Tantangan yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam pembuatan dan evaluasi kebijakan daerah di kota Yogyakarta, antara lain karena (Pasetyo, 2002 : 3-4):
a.         Berbagai peraturan perundangan yang berkaitan erat dengan pembuatan dan evaluasi kebijakan daerah, tidak mengatur mekanisme partisipasi masyarakat secara rinci dan tegas. Peraturan perundang-undangan tersebut antara lain:
-           UU NO. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
-           PP No. 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan atas
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan Kepmendagri No. 41
Tahun 2001 tentang Pengawasan Represif  Kebijakan Daerah;
-           UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Yang bersih dan Bebas dari KKN;
-           PP No. 1 Tahun 2001 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib
DPRD;
-           Keppres No. 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan
RUU;
-           Keppres No. 44 Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan dan Bentuk RUU, R Keppres, Raperda dan Rancangan Keputusan Kepala Daerah;
-           Kepmendagri dan Otonomi Daerah No. 23 Tahun 2001 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah;
-           Keputusan DPRD Kota Yogyakarta No. 3 / K/ DPRD / 1999
tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Yogyakarta.
b.         Belum seluruh komponen masyarakat yang ada memahami akan hak dan kewajibannya, untuk berpartisipasi dalam pembuatan dan evaluasi atas sesuatu kebijakan daerah di kota Yogyakarta
Suatu sikap dan langkah yang telah ditempuh oleh DPRD menyelenggarakan public hearing perlu diberikan penghargaan. Public Hearing ini dimaksudkan, untuk mendapatkan masukan dari masyarakat, guna membahas tentang sesuatu kebijakan daerah. Namun disayangkan langkah ini belum seluruhnya tepat, mengingat sifatnya sangat parsial, tidak menentu, dan sangat terbatas. Sebagai konsekuensinya banyak kebijakan daerah, baik oleh DPRD maupun eksekutif ternyata bermasalah, karena tidak dapat diikuti oleh masyarakat. Sehubungan dengan itu, maka hadirnya peraturan daerah di kota Yogyakarta, tentang mekanisme pembuatan dan evaluasi kebijakan daerah, yang dapat mengakomodir partisipasi masyarakat secara memadai dari komprehensif sangat didambakan oleh banyak kalangan masyarakat. (Prasetyo, 2002 :4-5)
Urgensi Perda tentang mekanisme partisipasi masyarakat, yakni berupaya untuk mensistematisasi secara komprehensif dan terpadu, mekanisme pembuatan dan evaluasi kebijakan daerah dalam satu ketentuan. Nantinya diharapkan bahwa semua proses pembuatan dan evaluasi suatu kebijakan daerah mengacu pada satu sumber saja, sebagai konsekuensinya DPRD maupun eksekutif daerah wajib mengikuti dan melaksanakan peraturan daerah tersebut. (Suhardi, 2002 : 4)
Perda tentang mekanisme partisipasi masyarakat tersebut, diharapkan dapat memuat substansi yang penting antara lain (Suhardi, 2002 : 4-5):
a.         Hak partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan daerah yang
baru maupun usulan pencabutan kebijakan daerah yang sudah tidak
relevan lagi;
b.         Meletakkan kewajiban kepada DPRD maupun eksekutif daerah untuk
menampung dan menindaklanjuti usulan masyarakat;
c.         Partisipasi  masyarakat dalam pembahasan naskah akademik dan
Raperda;
d.         Sosialisasi rencana penyusunan dan pembahasan kebijakan daerah
kepada publik.

Dengan demikian partisipasi masyarakat tersebut pada dasamya meliputi seluruh proses yang relevan dalain pembuatan sesuatu kebijakan daerah. Dalam hal ini masyarakat diposisikan sebagai subyek pembuatan kebijakan daerah, sejajar dengan eksekutif dan legislatif dan bukan sekedar simbol legitimasi legislatif dan eksekutif saja.
Sampai saat ini Perda tentang Mekanisine Partisipasi Masyarakat yang ditunggu-tunggu dan sangat didambakan oleh masyarakat Kota Yogyakarta belum muncul. Namun perkembangan terakhir cukup menggembirakan, karena jajaran pemerintahan Kota Yogyakarta sudah mulai menaruh perhatian yang serius mengenai arti pentingnya peran serta masyarakat terhadap kuantitas dah kualitas produk-produk hukum jajaran pemerintahan daerah Kota Yogyakarta, yang memuat kebijakan-kebijakan daerah Kota Yogyakarta, yakni memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berpartisipasi dengan cara mengajukan usul, saran, pendapat, tanggapan atas sesuatu kebijakan Pemda Kota Yogyakarta secara kritis dan konstruktif melalui email, hotline yang khusus diadakan untuk kepentingan partisipasi masyarakat tersebut (Observasi). Dengan demikian dapat diketahui bahwa :
a.         Perda tentang Mekanisme Partisipasi Masyarakat untuk mengkritisi
kebijakan-kebijakan jajaran Pemda Kota Yogyakarta sampai saat ini
belum eksis;
b.         Telah ada kesadaran jajaran Pemda Kota Yogyakarta yang layak
mendapatkan penghargaan, karena telah merintis dan membuka jalan
dapat dilakukannya partisipasi masyarakat untuk berpartisipasi secara
kritis dan konstruktif melalui email dan hot line;
c.         Eksistensi peran serta masyarakat cukup strategis untuk mengukur dan
mengevaluasi   kuantitas   dan   kualitas   kebijakan-kebijakan   yang
ditempuh jajaran Pemda Kota Yogyakarta (legislatif dan eksekutif)


1.3       Eksistensi Pemerintahan Daerah Yang Bcrsih Bebas Dari Korupsi Kolusi Dan Nepotisme
Dalam sistem negara kesatuan, eksistensi pemerintahan daerah merupakan sub sistem dalam sistem pemerintahan nasional. Dengan demikian pemerintahan daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dengaa pemerintahan pusat, oleh karenanya prinsip dan paradigma pemerintahan yang bersih bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme yang berlaku terhadap pemerintahan nasional, juga berlaku terhadap pemerintahan daerah pada hakekatnya juga merupakan penyelenggaraan negara, penyelenggara daerah (DPRD dan Eksekutif Daerah) juga merupakan penyelenggara negara (Suprapto, 2002:7)
Penyelenggara daerah dan atau penyelenggara negara mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam penyelenggaraan daerah atau penyelenggaraan negara untuk mencapai cita-cita bangsa mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 (Sukismo, 2002 : 11).
Untuk mewujudkan penyelenggara daerah dan atau penyelenggara negara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab, perlu diletakkan asas-asas penyelenggaraan daerah (Subardi, 2001 : 12). Praktek korupsi, kolusi dan nepotisme tidak hanya dilakukan antar penyelenggara negara dan atau antar penyelenggara daerah melainkan juga antar penyelenggara negara dan atau antar penyelenggara daerah dengan pihak lain yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, sehingga untuk itu diperlukan landasan hukum untuk pencegahannya (Santoso, 2001:17).
Dari berbagai paparan tersebut dapatlah diketahui bahwa:
a.         Eksistensi pemerintahan daerah merupakan sub sistem pemerintahan
nasional;
b.         Tuntutan dan tantangan untuk terselenggaranya pemerintahan nasional
yang bersih bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme berlaku dan relevan
pula bagi pemerintahan daerah;
c.         Indikasi terjadinya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme tidak hanya
dalam  jajaran   pemerintahan  pusat,   melainkan  juga   dalam jajaran pemerintahan daerah.

Penyelenggara negara, termasuk didalamnya penyelenggara daerah adalah penyelenggara negara dan atau penyelenggara daerah yang mentaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan atau daerah dan terbebas dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme serta perbuatan tercela lainnya (Bardo, 2001 : 5).
Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan pidana (Suyudi, 2001 : 9).
Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar penyelenggara negara termasuk didalamnya penyelenggara daerah atau antara penyelenggara negara termasuk didalamnya penyelenggara daerah dengan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, negara dan atau daerah (Suryanto, 2002 : 11):
Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara termasuk didalamnya penyelenggara daerah secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, negara dan atau daerah (Badri, 2001:6).
Asas umum pemerintahan negara yang baik adalah asas yang
menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan dan norma hukum, untuk
mewujudkan penyelenggara negara termasuk didalamnya penyelenggara
daerah yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (Badrun,
2002:5).
Dari berbagai uraian tersebut dapatlah diketahui bahwa :
a.         Penyelenggara daerah merupakan sub sistem penyelenggara negara;
b.         Asas-asas   umum   penyelenggaraan   negara   berlaku   juga   terhadap
penyelenggaraan daerah;
c.         Indikasi praktek korupsi, kolusi dan nepotisme tidak hanya terjadi dalam jajaran pemerintahan nasional semata, melainkan dapat pula terjadi dalam
jajaran pemerintahan daerah;
d.         Harapan untuk terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan negara yang
bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme berlaku pula terhadap
penyelenggaraan pemerintahan daerah;
e.         Penyelenggara daerah meliputi eksekutif daerah dan legislatif daerah.

2.         Aspirasi Dan Partisipasi Masyarakat Dalam Pembuatan Kebijakan Daerah Pasca Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
2.1       Kebijakan Daerah Yang Aspiratif
Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara termasuk didalamnya penyelenggaraan daerah, merupakan hak dan tanggung jawab masyarakat untuk ikut mewujudkan penyelenggara negara termasuk didalamnya penyelenggara daerah yang bersih. Hubungan antar penyelenggara negara termasuk didalamnya penyelenggara daerah dengan masyarakat, dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas umum penyelenggaraan negara yang meliputi asas : kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas dan akuntabilitas (Supriyadi, 2002 : 8).
Peran serta masyarakat diwujudkan dalam bentuk:
a.         Hak   mencari,   memperoleh,   dan  memberikan   informasi   tentang
penyelenggaraan   negara,   termasuk   didalamnya   penyelenggaraan
daerah;
b.         Hak   untuk   memperoleh   pelayanan   yang   sama   dan   adil   dari
penyelenggara negara dan atau dari penyelenggara daerah;
c.         Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab
terhadap kebijakan penyelenggara negara dari atau terhadap kebijakan
penyelenggara daerah;
d.         Hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal melaksanakan
laiknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c tersebut;
demikian pula dalam hal diminta hadir dalara proses penyelidikan,
penyidikan, dan sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, dan
saksi ahli, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hak-hak   masyarakat   untuk   berperan   serta   terhadap   kebijakan-
kebijakan  negara  dan  atau kebijakan-kebijakan  daerah tersebut,
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan dengan mentaati norma agama dan norma sosial
lainnya (Sugiri, 2002 : 6).

Maksud dan tujuan digalakkannya peran serta masyarakat dalam pembentukan dan evaluasi kebijakan daerah, adalah untuk memberdayakan masyarakat dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan daerah yang bersih. bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Dengan hak dan kewajiban yang dimiliki, masyarakat diharapkan dapat lebih bergairah melaksanakan penyelenggaraan daerah dengan tetap mentaati rambu-rambu yang berlaku (Badrun, 2002 : 9).
Peran serta masyarakat adalah peran aktif masyarakat untuk ikut serta mewujudkan penyelenggara negara atau penyelenggara daerah yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, yang dilaksanakan dengan mentaati norma hukum, moral dan sosial yang berlaku dalam masyarakat. Pada dasarnya masyarakat mempunyai hak untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan negara atau penyelenggaraan daerah, namun hak tersebut tetap harus memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang memberikan batasan-batasan untuk masalah-masalah tertentu dijamin kerahasiaannya (Sunarto, 2002 : 11).
Dari berbagai uraian tersebut dapatlah diketahui bahwa :
a.         Setiap kebijakan daerah senantiasa harus aspiratif;
b.         Setiap pembuatan kebijakan daerah harus memberikan ruang yang cukup kepada masyarakat untuk berpartisipasi;
c.         Partisipasi masyarakat mempunyai andil atau kontribusi yang cukup
signifikan untuk mencegah dan mengeliminir terjadinya praktek
korupsi,   kolusi  dan neopotisme  dalam  pembentukan  kebijakan-
kebijakan daerah.

Suatu hal yang dirasa atau dipandang sangat penting ialah adanya saluran bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasinya melalui DPR atau DPRD. Ketentuan tentang dengar pendapat umum, merupakan sarana yang patut dioptimalkan, sehingga pembentukan peraturan perundang-undangan dan atau kebijakan-kebijakan daerahnya betul-betul mengikut sertakan masyarakat (Hadjon, 1999 : 7).
Dengan demikian dapat diketahui bahwa untuk pembentukan kebijakan daerah yang baik rakyat perlu diberikan akses untuk menyalurkan aspirasinya secara baik, lancar dan transparan melalui wakil-wakil rakyat di DPR maupun DPRD setempat.
2.2       Kebijakan Daerah Yang Demokratis
Legitimasi rakyat terhadap kebijakan-kebijakan daerah merupakan prasyarat terealisirnya demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kebijakan daerah dapat dikategorikan demokratis apabila penyusunan dan penetapannya telah mendapatkan dukungan rakyat daerah secara proporsional dan komprehensif. Keterlibatan rakyat daerah dalam berpartisipasi terhadap rencana pembentukan dan pelaksanaan kebijakan daerah, akan memberikan nilai tambah tersendiri terhadap kuantitas dan kualitas kebijakan daerah yang bersangkutan (Badri, 2001 : 8).
Syarat minimum demokrasi adalah :
-           pada prinsipnya setiap orang mempunyai hak untuk dipilih;
-           setiap orang mempunyai hak-hak politik berupa hak atas kebebasan
berpendapat dan berkumpul
-           badan perwakilan rakyat mempengaruhi pengambilan keputusan
melalui sarana" (mede)    beslissings    recht"    (hak    untuk    ikut
memutuskan) dan atau melalui wewenang pengawas;
-           asas keterbukaan dalam pengambilan keputusan dan sifat keputusan
yang terbuka;
-           pada prinsipnya setiap orang mempunyai hak yang sama dalam
pemilihan yang bebas dan rahasia
-           pada dasarnya setiap orang mempunyai hak untuk dipilih. (Burkens,
1990 : 82, Hadjon, 1999 : 3)

Tampilnya asas itu sebenamya berkaitan dengan asas pengambilan keputusan datam ketatanegaraan Belanda yaitu asas mayoritas. Dalam ketatanegaraan kita prinsip utama dalam pengambilan keputusan adalah asas musyawarah untuk mufakat. (Hadjon, 1999 : 3)
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, khususnya dalam hukum tata negara dan hukum administrasi "keterbukaan" merupakan asas penyelenggaraan pemerintahan yang bertumpu atas asas demokrasi (partisipasi). Demokrasi perwakilan sudah lama dirasakan tidak memadai. Pernyataan seperti yang pernah diucapkan Prof. Mr. R. Boedisoesetio pada pidato inagurasinya sebagai Guru Besar Luar Biasa Hukum Tata Negara dan Hukum Tata Pemerintahan pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga yang diucapkan pada hari Rabu, tanggal 10 Nopember 1958 kiranya sudah ketinggalan dalam kehidupan demokrasi modern. Dalam pidato tersebut dikatakan:
Sekali angguta-angguta itu terpilih dan terbentuk DPR, maka
rakjat yang berdaulat itu tidak mempunjai wewenang lagi untuk
menjatakan kemaunnja.......     (Budisoesetyo, 1958 :13, Hadjon, 1999 : 5)
Apabila wacana itu diikuti maka setelah rakyat memberikan suaranya pada (hari pemungutan suara), selanjutnya rakyat itu tidak tahu apa-apa lagi tentang pelaksanaan pemerintahan. Bagi suatu negara demokrasi pelaksanaan pemilihan umum bukan satu-satunya instrumen demokrasi. Konsep demokrasi dan instrumennya telah jauh berkembang. (Hadjon, 1999, ibid,: 5)
Pada dekade tahun enampuluhan-tujuhpuluhan lahirlah suatu konsep demokrasi yang disebut demokrasi partisipasi. (Akkormans, 1985 : 161, Hadjon, 1999 : 6) Dalam konsep demokrasi partisipasi rakyat mempunyai hak untuk ikut memutuskan (medebeslissingsrecht, dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan (besluitvormingsproces) (Haan, 1986 : 140, Hadjon, 1999 : 6)
Dari berbagai uraian tersebut dapatlah diketahui bahwa :
a.         Setiap kebijakan daerah memerlukan dukungan dan legitimasi rakyat
daerah setempat;
b.         Legitimasi dan dukungan rakyat daerah terhadap kuantitas dan kualitas
kebijakan daerah dapat terealisir apabila rakyat daerah diberikan ruang
dan     kesempatan     yang     cukup     untuk     ikut     memutuskan
(medebeslissingsrecht),    dalam    proses    pengambilan    keputusan
pemerintahan (besluitvormingsproces) dalam rangka pembentukan
kebijakan daerah;
c.         Ciri demokrasi modern tidak cukup diwakili oleh DPR atau DPRD saja
melainkan harus melibatkan rakyat daerah secara proporsional dan komprehensif  dalam   persiapan,   perencanaan,   dan   implementasi kebijakan daerah yang bersangkutan.

2.3       Keterbukaan Dalam Pembentukan Kebijakan Daerah
Kebijakan daerah dapat berdampak positif maupun negatif terhadap rakyat daerah maupun terhadap daerah otonom yang bersangkutan. Dampak positif dari suatu kebijakan daerah tidak relevan untuk diperdebatkan, karena hal tersebut merupakan suatu kewajiban bagi penyelenggara daerah (eksekutif dan DPRD) untuk mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan bagi daerah dan rakyat daerah yang bersangkutan. Yang relevan untuk dikaji dan diantisipasi adalah kemungkinan timbulnya dampak negatif atas sesuatu kebijakan daerah terhadap daerah dan rakyat daerahnya. Dalam rangka mengantisipasi dan mengeliminir timbulnya dampak negatif atas sesuatu kebijakan daerah, dipandang perlu, untuk mengadopsi dan mengimplimentasikan asas keterbukaan dalam setiap perencanaan, pembentukan dan pelaksanaan sesuatu kebijakan daerah (Sarosa, 2001: 12).
Rumusan secara eksplisit tentang asas keterbukaan tidak ditemukan dalam UUD 1945. Namun demikian isu keterbukaan dalam pelaksanaan pemerintahan telah merebak di tanah air sejak tahun delapan puluhan dan sebagai realisasinya dalam bidang politik dan sosial pada tahun 1986 wakil Presiden membuka kotak pos 5000. (Soemardjan, 1995 : 56)
Tanpa keterbukaan tidak mungkin ada peran serta masyarakat. Meskipun segi-segi keterbukaan telah mulai mendapat perhatian namun belum nampak suatu pengaturan dasar tentang makna dan prosedur keterbukaan dalam pelaksanaan pembentukan peraturan perundang-undangan. Demikian juga halnya peran serta. Tidak heran kalau ada sementara kalangan lebih mengartikan peranserta sebagai bentuk partisipasi dalam arti gotong royong peran serta secara fisik. Oleh karena melalui studi perbandingan dengan hukum tata negara dan hukum administrasi Belanda ditelaah konsep keterbukaan. Studi perbandingan tidaklah dimaksudkan untuk mengalihkan hukum Belanda ke Indonesia namun lebih-lebih untuk memahami konsep itu dan mudah-mudahan akan dapat mempertajam, konsep kita sendiri. (Hadjon, 1999 : 4)
Makna utama dari keterbukaan, baik "openheid" maupun “apenbaar-heid” ("openheid" adalah suatu sikap mental berupa kesediaan untuk memberi informasi dan kesediaan untuk menerima pendapat pihak lain; "openbaar-heid" menunjukkan suatu keadaan) sangat penting artinya bagi pelaksanaan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan demokratis. Dengan demikian keterbukaan dipandang sebagai suatu asas ketatanegaraan mengenai pelaksanaan wewenang secara layak (staatsrehielijk beginsel van behoorlijke bevosgdheidsuitoefening). (Haan, 1986 : 122, Hadjon, 1999 : 4) Begitu pentingnya arti keterbukaan sehingga dapat dikatakan bahwa : "Openbaarheid is licht, geheimbouding is duisternis". (Hadjon, 1999 : 4)

Dalam kenyataannya kepustakaan hukum dalam bahasa Indonesa masih langka membahas soal keterbukaan, meskipun usaha keterbukaan (seperti telah dikemukakan di atas) telah dikumandangkan sejak beberapa tahun yang lalu. (Hadjon, 1999 : 4)
Sebagai pelaksanaan asas keterbukaan dalam pemerintahaan di Belanda,mula-mula melalui asas "fair play" sebagai salah satu dari apa yang disebut "algemene beginselen van behoorlijk bestuur", yang dalam praktek Peradilan TUN di Indonesia dewasa ini dikenal dengan nama "Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik" (AAUPB). Dengan lahirnya wet openbaarheid van bestuur (WOB) yang efektif sejak tanggal 1 Mei 1980 asas "fair play" dimasukkan dalam wet tersebut. Dalam WOB dibedakan dua macam keterbukaan pemerintahan, yaitu keterbukaan aktif
dilaksanakan atas prakarsa pemerintah sedangkan keterbukaan pasif atas
permintaan warga masyarakat. (Wijk-Konijnenbelt, 1984 : 42. Hadjon,
1999:6)
Pada dasarnya keterbukaan pemerintahan tidak hanya menyangkut informasi. Keterbukaan meliputi keterbukaan sidang-sidang badan perwakilan rakyat; keterbukaan informasi; keterbukaan prosedur; keterbukaan register. Dalam WOB Belanda hanya diatur tentang keterbukaan informasi saja sebagai dasar hubungan antara pemerintahaan danrakyat. (Haan, 1986 :124, Hadjon, 1999 : 6)
Arti penting keterbukaan dalam sidang-sidang badan perwakilan rakyat berkaitan dengan fungsi pengawasan yang dimiliki badan perwakilan rakyat. Keterbukaan dalam pengambilan, keputusan-keputusan politik memungkinkan pengawasan dan bagi pembuat keputusan akan mendorong sikap berhati-hati dalam pengambilan keputusan (Burkens, 1990 : 94, Hadjon, 1999 : 6-7)
Sebagai ilustrasi adanya asas keterbukaan antara lain : "Rapat Paripurna, Rapat Paripurna Luar Biasa, Rapat Komisi, Rapat Gabungan Komisi dan Rapat Panitia khusus pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali apabila rapat yang bersangkutan atau Badan Musyawarah memutuskan rapat tersebut bersifat tertutup". (Kep. DPR RI No. 10/DPR-RI/III/82-83, Ps96 ayat(l))
Dari uraian-uraian tersebut dapatlah diketahui bahwa :
a.         Kebijakan daerah dapat berdampak positif dan dapat pula berdampak
negatif terhadap daerah maupun rakyat daerahnya;
b.         Keterbukaan dalam perencanaan, pembentukan dan implementasi
sesuatu kebijakan daerah berimplikasi secara langsung maupun tidak
langsung terhadap kuantitas dan kualitas kebijakan daerah yang
bersangkutan;
c.         Keterbukaan   memberikan   akses   yang   cukup   signifikan   untuk pendidikan politik rakyat daerah guna menghasilkan kebijakan daerah yang aspiratif, partisipatif dan demokratis.

Pemerintahan demokratis mengenal adanya keterbukaan informasi yang dibedakan atas keterbukaan aktif dan pasif berkaitan dengan dokumen-dokumen pemerintahan. Keterbukaan informasi dimungkinkan dalam batas-batas tertentu bagi masyarakat untuk mengetahui dokumen-dokumen pemerintah.  Fiksi hukum yang menyatakan bahwa "setiap orang dianggap mengetahui undang-undang" tidaklah ada artinya apabila undang-undang tidak dipublikasikan secara luas. (Duk-Loeb-nicolai, 1981 : 157, Hadjon, 1999 : 7)
Cukup banyak terjadi masyarakat tidak pernah diberi informasi tentang ketentuan hukum, karena disatu sisi kita hanya berpegang pada fiksi hukum dan disisi lain mungkin karena niat untuk memanfaatkan ketidak tahuan masyarakat tentang suatu aturan hukum. (Hadjon, 1999 : 7-8)
Eksistensi      keterbukaan      prosedur      berkaitan      dengan "besluitvormingsprocedures" dan salah satu dari "besluit" yang sangat penting adalah "beschikking" yang dalam UU No. 5 Tahun 1986 disebut keputusan tata usaha negara. (Hadjon, 1999 : 9) Keterbukaan penting dalam pemerintahan. Keterbukaan dalam prosedur pemerintahan memungkinkan masyarakat melakukan : meeweten (ikut mengetahui); meedenken (ikut memikirkan); meespreken (bermusyawarah); dan meebeslissen (ikut memutuskan dalam rangka pelaksanaan); medebeslissmgsrecht (hak ikut memutus) (Haan, 1986 :138, Hadjon, 1999 :8)
Dalam prosedur pengambilan keputusan pemerintahan baik menyangkut suatu rencana, kebijakan, pembentukan peraturan penmdang-undangan maupun suatu keputusan tata usaha negara, (misalnya izin) asas-asas keterbukaan harus dituangkan dalam prosedur tersebut.
Asas keterbukaan dalam suatu prosedur izin, pelaksanaannya dapat berupa:
1.         tersedianya sarana "meedenken en meespreken" baik berupa keberatan, dengar pendapat atau bentuk lain;
2.         pengumuman keputusan izin.
3.         keterbukaan isi permohonan. (Hadjon, 1999: 8)

Keterbukaan prosedur izin di Indonesia sesungguhnya telah diatur dalam ketentuan izin ganguan yang lazimnya dikenal sebagai HO, namun sangat disesalkan, keterbukaan prosedur begitu saja diabaikan dalam PERMENDAGRI No. 7 tahun 1993 dalam Rangka Paket Kebijaksanaan Pemerintah 23 Oktober 1993 (PAKTO 1993). Dalam Pasal 7 PERMENDAGRI tersebut sebagai kelengkapan suatu permohonan izin undang-undang gangguan pada huruf g diisyaratkan : Persetujuan tetangga/atau masyarakat yang berdekatan.
Ketentuan dalam Pasal 7 huruf g diatas disatu sisi bertentangan dengan Ordonansi Gangguan dan disisi lain telah mengabaikan asas keterbukaan pemerintah, yaitu kewajiban pejabat yang berwenang untuk mengumumkan isi permohonan di lokasi dimana usaha itu bakal berdiri, telah diganti dengan persetujuan tetangga. Dengan demikian asas keterbukaan telah digeser oleh asas tetangga, padahal asas keterbukaan berupa pengumuman isi permohonan tidak hanya untuk tetangga tetapi untuk siapa saja pihak ketiga yang berkepentingan (bisa juga LSM) untuk mengajukan keberatan dalam rangka "meeweten-meedenken-meespreken-meebeslissen". (Hadjon, 1999 : 8-9)
Register mengenai kedudukan hukum seseorang (misalnya pendaftaran penduduk; pendaftaran pemilihan umum), pendaftaran benda-benda tidak bergerak serta pendaftaran bidang usaha disamping sebagai suatu bentuk informasi, pada sisi lain memiliki sifat sebagai "bestuurswaarborg". (Haan 1986 : 137, Hadjon, 1999:9)
Keterbukaan register di Indonesia dikenal antara lain dalam hukum kadaster yaitu keterbukaan buku tanah. Keterbukaan seperti itu di satu piliak memang memberikan informasi kepada masyarakat mengenai hak atas tanah yang sudah didaftarkan dan sekaligus memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap hak-hak yang sudah didaftarkan itu. (Hadjon, 1999: 9)
Salah satu perwujudan asas demokrasi yakni keterbukaan, bahkan merupakan conditio sine qua non asas demokrasi. Keterbukaan memungkinkan partisipasi masyarakat secara aktif dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. (Hadjon, 1999 : 9)
Asas keterbukaan dalam rangka pembentukan peraturan perundangan-undangan yang demokratis, perlu mendapat perhatian, oleh karena demokrasi perwakilan saja dewasa ini sudah tidak memadai.
Dalam rangka hubungan antara pemerintah dan rakyat, kiranya keterbukaan merupakan prioritas pemikiran untuk mendapat perhatian khusus. Kodifikasi hukum administrasi umum, khususnya mengenai prosedur pemerintahan seyogyanya perlu mendapat perhatian, yang membuka peluang kodifikasi administrasi secara bertahap. Kodifikasi yang demikian punya arti bagi pelaksanaan asas negara hukum untuk mewujudkan asas kekuasaan berdasarkan atas hukum secara nyata, Dalam mengantisipasi era globalisasi usaha tersebut perlu mendapat prioritas.

3.         Legalitas Dan Perlindungan Hukum Dalam Pembentukan Kebijakan Daerah
3.1       Prinsip Negara Hukum Dalam Pembentukan Kebijakan Daerah
Dalam setiap kegiatan perencanaan dan pembentukan kebijakan daerah yang kemasannya dalam bentuk pranata hukum daerah, maka senantiasa harus didasarkan atas pranata hukum. Kebijakan daerah apapun nama dan bentuknya, selalu didasarkan atas wewenang pemerintahan yang sah. Wewenang pemerintahan dalam khasanah hukum publik sering diidentikan dengan kekuasaan, dan perolehannya dapat secara atribusi, delegasi, mandat dan atau dekonsentrasi (Suripto, 2001 : 9).
Penggunaan wewenang pemerintahan dalam perencanaan dan pembentukan kebijakan daerah senantiasa harus dilakukan secara cermat, akurat dan akuntabel Hal ini mengingat bahwa penggunaan wewenang pemerintahan secara tidak tepat, bisa berakibat fatal antara lain dapat digolongkan sebagai:
a.         Abus de droit;
b.         Willekeur;
c.         Detoumement de povoir;
d.         Ultra Vires (Sukismo, 2003 : 5).
Konsep negara hukum (rechtsstaat) diintrodusir melalui RR 1854 dan terayata dilanjutkan dalam UUD 1945. (Wignjosoebroto, 1994 : 188, Hadjon, 1994 : 4) Dengan demikian ide dasar negara hukum Pancasila tidaklah lepas dari ide dasar tentang "rechtsstaat". (Hadjon, 1994 : 4)
Persyaratan dasar untuk dapat dikategorikan sebagai negara hukum yakni:
1.         Setiap tindak pemerintahan harus didasarkan atas dasar peraturan
perundang-undangan (wettelijke grondslag). Dengan landasan ini,
undang-undang dalam arti formal dan UUD sendiri merupakan
tumpuan   dasar   tindak   pemerintahan.   Dalam   hubungan   ini
pembentukan undang-undang merupakan bagian penting negara
hukum, (asas legalitas).
2.         Kekuasaan negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan.
(asas pembagian kekuasaan).
3.         Hak-hak dasar merupakan sasaran perlindungan hukum bagi rakyat
dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentukan undang-undang, (prinsip grondrechten).
4.         Bagi rakyat tersedia saluran melalui pengadilan yang bebas untuk
menguji keabsahan (rechtmatigheidstoetsing) tindak pemerintahan,
(pengawasan pengadilan ) (Burkens, 1990 : 29, Hadjon, 1994,
ibid.,: 5, Sukismo, 2002, (a): 2).

Syarat-syarat dasar tersebut seyogyanya juga menjadi syarat dasar negara hukum Pancasila. Untuk hal tersebut kiranya dibutuhkan suatu usaha besar berupa suatu kajian yang sangat mendasar terutama tentang ide bernegara bangsa Indonesia. Ada beberapa tulisan awal tentang itu yang barangkali dapat dijadikan acuan awal, seperti :
Negara Hukum Pancasila Dan Teori Bernegara Bangsa Indonesia. Disamping itu tentunya kita tidak menutup mata terhadap perkembangan konsep negara hukum yang telah terjadi di berbagai negara, seperti konsep negara hukum yang telah terjadi di berbagai negara seperti konsep rechtsstaat yang telah berkembang dari konsep "liberal-democratische rechtsstaat" ke "sociale rechtsstaat" yang pada dewasa inipun sudah dirasakan bahwa konsep terakhir itu sudah tidak memadai. (Hadjon, 1994 : 5, Sukismo, 2002 (a): 3)
Dari uraian-uraian tersebut dapatlah diketahui bahwa :
a.         Penggunaan wewenang pemerintahan dalam perencanaan dan
pembentukan kebijakan daerah senantiasa harus tepat, cermat dan
selektif;
b.         Penggunaan  wewenang  pemerintahan dalam  perencanaan dan, pembantukan kebijakan daerah secara tidak tepat dapat berakibat fatal dan kontra produktif;
c.         Dalam   negara   hukum   setiap   tindakan   dan   atau   kegiatan
penyelenggara   daerah,   senantiasa   harus   bersendikan  pranata
hukum,

3.2       Legalitas Dalam Pembentukan Kebijakan Daerah
Untuk mengkategorikan negara hukum, biasanya digunakan dua macam asas, yakni : asas legalitas dan asas perlindungan atas kebebasan setiap orang dan atas hak-hak asasi manusia. (Utrecht, 1963 :310,Sukismo,2002(a):3)
Unsur utama suatu negara hukum, yakni asas legalitas. Semua tindakan negara harus berdasarkan dan bersumber pada undang-undang. Penguasa tidak boleh keluar dari rel-rel dan batas-batas yang telah ditetapkan dalam undang-undang. Batas kekuasaan negara ditetapkan dalam undang-undang. Akan tetapi untuk dinamakan negara hukum tidak cukup bahwa suatu negara hanya semata-mata bertindak dalam garis-garis kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh undang-undang. ( Gouw Giok Siong, 1955 :12-13, Sukismo, 2002 (a): 4) Sudah barang tentu bahwa dalam negara hukum setiap orang yang merasa hak-hak pribadinya dilanggar, diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mencari keadilan dengan mengajukau perkaranya itu di hadapan pengadilan. Cara-cara mencari keadilan itu pun dalam negara hukum diatur dengan undang-undang. (Rochmat Soemitro, 1976 .18, Sukismo, 2002 (a): 4).
Pembentukan kebijakaa daerah yang sewenang-wenang (willekeur) maksudnya ialah penggunaan wewenang pemerintahan dalam pembentukan kebijakan daerah yang tidak rasional dalam arti tidak dapat diterima oleh akal sehat. Pembentukan kebijakan daerah dengan cara menyalah gunakan wewenang (detournement de pouvoir} maksudnya adalah penggunaan kekuasaan dengan cara membiarkan tujuan dari wewenangnya sendiri. Sedangkan yang di maksud dengan ultra vires (melampaui batas wewenang) dalam pembentukan kebijakan daerah adalah pembentukan kebijakan daerah dimana wewenang yang digunakan sebagai dasar pembentukannya pada hakekatnya bukan untuk pembentukan kebijakan daerah yang bersangkutan. Yang paling fatal yakni abus de droit, dalam hal ini wewenang pemerintahan digunakan untuk menabrak atau melawan pranata hukum yang ada (Sukismo, 2002: 14).
Dari uraian-uraian tersebut dapatlah dikatahui bahwa :
a.         Legalitas erat kaitannya dengan negara hukum;
b.         Setiap kegiatan pembentukan kebijakan daerah, senantiasa harus
dicarikan dasar hukumnya.
3.3       Perlindungan Hukum Dalam Pembentukan Kebijakan Daerah.
Terhadap Kebijakan daerah yang pembentukannya tidak sah   , atau tidak didasarkan atas wewenang pemerintah secara tepat, akurat dan adil maka kepada pihak-pihak yang merasa dirugikan perlu dan relevan memperoleh perlindungan hukum (Sunaryo, 2002 : 12).
Dalam negara hukum asas perlindungan nampak antara lain dalam "Declaration of Independence", bahwa orang yang hidup di dunia ini sebenarnya telah diciptakan merdeka oleh Tuhan, dengan dikaruniai beberapa hak yang tidak dapat dirampas atau dimusnahkan. Hak-hak tersebut yang sudah ada sejak orang dilahirkan, perlu mendapat perlindungan secara tegas dalam negara hukum modern (Soemitro, 1976 : 18, Sukismo, 2002 (a): 4). Peradilan tidak semata-mata melindungi hak asasi perseorangan, melainkan fungsi hukum adalah untuk mengayomi masyarakat sebagai totalitas, agar supaya cita-cita luhur bangsa tercapai dan terpelihara. Peradilan mempunyai maksud membina, tidak semata-mata menyelesaikan perkara. Hakim harus mengadili menurut hukum dan menjalankan dengan kesadaran akan kedudukan, fungsi dan sifat hukum. Dengan kesadaran bahwa tugas hakim ialah, dengan bertanggung jawab kepada diri sendiri dan kepada Nusa dan Bangsa, turut serta membangun dan menegakkan masyarakat adil dan makmur yang berkepribadian Pancasila. (Soemitro, 1976 : 20-21, Sukismo, 2002 (a): 5).
Suatu negara merupakan negara hukum, semata-mata didasarkan pada asas legalitas. (Yamin, 1952 : 9, Sukismo, 2002 (a): 5) Disisi lainnya asas legalitas, hanyalah merupakan salah satu unsur atau salah satu corak dari negara hukum, karena disamping unsur asas , legalitas tersebut, masih perlu juga diperhatikan unsur-unsur lainnya, antara lain kesadaran hukum, perasaan keadilan dan perikemanusiaan, baik bagi rakyat maupun pimpinannya. (Siong, 1955 : 23, Sakismo, 2002 (a): 5, Yunanto, 2000 :4)
Dalam UUD 1945 ada ketentuan yang meajamin hak-hak asasi manusia. Ketentuan tersebut antara lain:
-           Kemerdekaan berserikat dan berkumpul (Ps. 28);
-           Kemerdekaan   mengeluarkan   pikiran dengan   lisan   dan tulisan
(Ps- 28);
-           Hak bekerja dan hidup (Ps. 27 ayat (2));
-           Kemerdekaan agama (Ps. 29 ayat (2));
-           Hak untuk ikut mempertahankan negara (Ps. 30), disini nampak adanya asas perlindungan

Dengan adanya Majelis Pertimbangan Pajak, seseorang dapat mengajukan surat bandingnya untuk hal-hal dimana ia merasa telah diperlakukan tidak sebagaimana mestinya oleh pejabat perpajakan. Orang dapat menuntut/mengajukan gugatan kepada negara, bila oleh negara dilakukan suatu perbuatan yang melawan hukum (onrechtmatigedaad), bahwa seseorang dapat melakukan gugatan terhadap Pemerintah Republik Indonesia, jika putusan pejabat yang berwenang dirasa tidak adil. (Soemitro, 1976.: 25, Sukismo, 2002 (a) : 5, Ashari, 1999 : 6) Sudah banyak peraturan-peraturan yang memberi jaminan kepada para warga negara, untuk menggunakan hak-haknya mengajukan tuntutan-tuntutan di muka pengadilan, bila hak-hak dasarnya atau kebebasannya dilanggar. ( Ashari, 1999 : 25 - 26, Sukismo, 2002 (a): 6)
Penghormatan, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, mendapat tempat utama dan dapat dikatakan sebagai tujuan dari pada negara hukum; sebaliknya dalam negara totaliliter tidak ada tempat bagi hak-hak asasi manusia. Istilah "rechtsstaat" mulai populer sejak abad XIX, meskipun pemikiran tentang itu sudah lama adanya. Istilah "the rule of law" mulai populer tahun 1885. Dari latar belakang dan sistem hukum yang menopangnya, terdapat perbedaan antara konsep "rechtsstaat" dengan konsep "the rule of law", pada dasarnya kedua konsep itu mengarahkan dirinya pada satu sasaran yang utama yaitu pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asai manusia. Meskipun dengan sasaran yang sama, tetapi keduannya tetap berjalan dengan sistemnya sendiri yaitu sisterti hukum sendiri. Konsep "rechtsstaat" lahir dari suatu perjuangan menentang absulutisme sehingga sifatnya revolusioner, sebaliknya konsep "the rule of law" berkembang secara evolusioner. Hal ini nampak dari isi atau kriteria "rechtssataat" dan kriteria "the rule of law". Konsep "rechtsstaat" bertumpu atas sistem hukum kontinental yang disebut "civil law" atau "modern Roman Law", sedangkan konsep "the rule of law" bertumpu atas sistem hukum yang disehul "common law". Karakteristik "civil law" adalah "administratief', sedangkan karakteristik "common law" adalah "judicial". Perbedaan karakter yang demikian disebabkan karena latar belakang dari pada kekuasaan raja. Pada zaman Romawi, kekuasaan yang menonjol dari raja yakni membuat peraturan melalui dekrit. Kekuasaan itu kemudian didelegasikan kepada pejabat-pejabat administratif sehingga pejabat-pejabat administratif yang membuat pengarahan tertulis bagi hakim tentang bagaimana menyelesaikan suatu sengketa. Begitu besar peran administrasi negara, sehingga tidaklah mengherankan, kalau dalam sistem kontinental-lah mula pertama muncul cabang hukum baru yang disebut "droit administratif', dan intinya adalah hubungan antara administrasi negara dengan rakyat Sebaliknya di Inggris, kekuasaan utama dari raja adalah memutus perkara. Peradilan oleh raja kemudian berkembang menjadi suatu peradilan, sehingga hakim-hakim peradilan adalah delegasi dari raja, tetapi bukan melaksanakan kehendak raja. Hakim harus memutus perkara berdasarkan kebiasaan umum Inggris (the common custom of England), sebagaimana dilakukan oleh raja sendiri sebelumnya. Dengan demikian nampak bahwa di Eropa peranan administrasi negara bertambah besar, sedangkan di Inggris peranan peradilan dan para hakim bertambah besar. Sehubungan dengan latar belakang tersebut, di Eropa dipikirkan langkah-langkah untuk membatasi kekuasaan administrasi negara, sedangkan di Inggris dipikirkan langkah-langkah untuk mewujudkan suatu peradilan yang adil. Dalam perjalanan waktu, konsep "rechtsstaat" telah mengalami perkembangan dari konsep klasik ke konsep modern. Sesuai dengan sifat dasarnya, konsep klasik disebut "klasiek liberale en democratische rechtssataat", yang sering disingkat dengan "democratische rechtsstaat". Sedangkan konsep modern lazimnya disebut "sociale rechtsstaat" atau "sociale democratische rechtsstaat". (Hadjon, 1987 : 71 - 74, Sukismo, 2002 (a): 7
Karakternya yang liberal bertumpu atas pemikiraa kenegaraan dari John Locke, Montesquieu dan Immanuel Kant. Karakternya yang demokratis bertumpu atas pemikiran kenegaraan dari J.J. Rousseau tentang kontrak sosial. ( Couwenberg. 1977 : 25, Daiyadi,2001:7)
Konsep liberal bertumpu atas "liberty" (vrijheid) dan konsep demokrasi bertumpu atas "eguality" (gelijkheid). "Liberty" adalah "the free selfassertion of each-limited only by the like liberty of all". Atas dasar itu "liberty" merupakan suatu kondisi yang memungkinkan pelaksanaan kehendak secara bebas dan hanya dibatasi seperlunya, untuk menjamin koeksistensi yang harmonis antara kehendak bebas individu dengan kehendak bebas semua yang lain. Dari sinilah mengalir prinsip selanjutnya yaitu : "freedom from arbitrary and unreasonable exercise of the power and authority (Pound, 1957 : 1 - 2, Sukismo, 2002 (a) : 8) Konsep "eguality" mengandung makna yang abstrak dan formal (abstract-formal equality) dan dari sini mengalir prinsip "one man-one vote) (Hadjon, 1987 : 75, Sukismo, 2002 (a): 8)
Konsep-konsep dasar yang sifatnya liberal dari "rechtssataat" meliputi:
-           adanya  jaminan   atas   hak-hak   kebebasan   sipil (burgelijke vrijheidsrechten);
-           pamisahan antara negara dengan gereja;
-           persamaan terhadap undang-undang (gelijkheid voor de wei);
adanya  konstitusi tertulis sebagai  dasar kekuasaan negara dan
dasar sistem hukum;
-           pemisahan   kekuasaan berdasarkan trias   politica   dan sistem "cheks and balances";
-           asas legalitas (heerschappij van de wet);
-           ide tentang aparat pemerintah dan kekuasaan kehakiman yang
tidak memihak dan netral;
-           prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap penguasa;
-           prinsip pembagian kekuasaan, baik teritorial sifatnya maupun vertikal (sistem desentralisasi maupun federasi). (Couwenberg,1977: 30, Sukismo, 2002 (a): 8)

Konsep dasar demokratts, "rechtsstaat" dikatakan sebagai "negara kepercayaan timbal balik" (de staat van het wederzijds vertrowen) yaitu kepercayaan dari pendukungnya, bahwa kekuasaan yang diberikan tidak akan disalahgunakan, dia mengharapkan kepatuhan dari rakyat pendukungnya. (Port - Donner, 1983 : 143, Sukismo, 2002 (a): 9)
Rechtsstaat mendasarkan atas asas-asas demokratis antara lain:
-           asas hak-hak politik (het beginsel van de politieke grondrechten);
-           asas mayoritas;
-           asas perwakilan;
-           asas pertanggungjawaban;
-           asas publik (openbaarheids beginsel). (Couwenberg, 1977 : 30,
Sukismo, 2002 (a): 9)
Cin-ciri "rechtsstaat" adalah:
(1)        Adanya Konstitusi yang memuat ketentuan    tertulis    tentang
hubungan antara penguasa dan rakyat;
(2)        Adanya pembagian kekuasaan negara, yang meliputi : kekuasaan
pembuatan undang-undang yang berada pada parlemen. Kekuasaan kehakiman bebas yang tidak hanya menangani sengketa antara individu rakyat, tetapi juga antara rakyat dan penguasa, dan pemerintah mendasarkan tindakannya atas undang-undang (wetmatig bestuur);
(3)        Diakui dan dilingunginya hak-hak rakyat yang sering disebut "vrijheidsrechten van burger". (Port - Donner, 1983 : 143, Karman, 1992 :9)

Ciri-ciri diatas menunjukkan dengan jelas bahwa ide sentral "rechtsstaat" adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, yang bertumpu atas prinsip kebebasan dan persamaan. Adanya konstitusi akan memberikan jaminan konstitusional terhadap asas kebebasan dari persamaan. Adanya pembagian kekuasaan untuk menghindarkan penumpukan kekuasaan dalam satu tangan, yang sangat cenderung kepada penyalah gunaan kekuasaaa, berarti pemerkosaan terhadap kebebasan dan persamaan. Dengan adanya pembuatan undang-undang yang dikaitkan dengan parlemen, dimaksudkan untuk menjamin bahwa hukum yang dibuat adalah atas kehendak rakyat; dengan demikian hukum tersebut tidak akan memperkosa hak-hak rakyat, tetapi dikaitkan dengan asas mayoritas, kehendak rakyat diartikan sebagai kehendak golongan mayoritas. Dengan prinsip "welmatig bestuur" agar tindak pemerintahan tidak memperkosa kebebasan dan persamaan (heerschappij van de wet). Dalam konsep "rechtsstaat" yang liberal dan demokratis, inti perlindungan hukum bagi rakyat adalah perlindungan terhadap kebebasan individu. Setiap tindak pemerintahan yang melanggar kebebasan individu, melahirkan hak untuk menggugat di muka peradilan. (Hadjon, 1987 : 76 - 77)
Sebutan "sociale rechtsstaat" lebih baik dari pada sebutan "welvaartsstaat". (Verdam, 1976 : 17) "Sociale rechtsstaat" merupakan variant dari "liberaal-democratische rechtsstaat" (Hadjon, 1987 :77)
Variant dari "sociale rechtsstaat" terhadap "liberaal-democratische rechtsstaat", antara lain : interpretasi baru terhadap hak-hak klasik dan munculnya serta dominasi hak-hak sosial, konsepsi baru tentang kekuasaan politik dalam hubungannya dengan kekuasaan ekonomi, konsepsi baru tentang makna kepentingan umum, karakter baru dari "wet"dan wetgeving" (Couwenberg, 1977 :33)
Semula kebebasan dan persamaan (vrijheid en gelijkheid) dalam konsep liberaal-democratische rechtsstaat sifatnya yuridis formal, dalam konsep sociale rechtsstaat ditafsirkan secara riil dalam kehidupan masyarakat (reele maatschappelijke gelijkheid), bahwa tidak terdapat persamaan mutlak di dalam masyarakat antara individu yang satu dengan yang lain. (Franken, 1983 : 273, Untung, 1991 :6)
Dalam "sociale rechtsstaat" prinsip perlindungan hukum terutama diarahkan kepada perlindungan terhadap hak-hak sosial, hak ekonomi dan hak-hak kultural. Dikaitkan dengan sifat hak, dalam "rechtsstaat" yang liberal dan demokratis adalah "the right to do", dalam "sociale rechtsstaat" muncul "the right to receive". Dikaitkan dengan sarana perlindungan hukum, maka makin kompleks sistem perlindungan hukum bagi rakyat. (Meuwissen, 1975:140)
Tugas negara dalam konsep yuridis "sociale rechtsstaat", disamping melindungi kebebasan sipil juga melindungi gaya hidup rakyat. (Idenberg, 1983 : 27)
Pengaruh negara terhadap individu menjelma dalam tiga cara yakni : pertama, pengaruh langsung sebagai akibat dari pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak sosial, kedua, pengaruh tidak langsung sebagai akibat dari perabentukan aparat pemerintah yang dilengkapi dengan kekuasaan jabatan dan keahlian, ketiga. harapan bahwa problema-problema masyarakat dapat dipecahkan melalui campur tangan penguasa. (Idenberg, 1983 : 28 - 29)
Wacana murni dan sempit mengenai "the rule of law", inti dari tiga pengertian dasar yang diketengahkan adalah "common law", sebagai dasar perlindungan bagi kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan oleh penguasa. Penolakan kehadiran peradilan administrasi negara adalah sesuai dengan perkembangan hukum dan kenegaraan di Inggris. Inti kekuasaan raja di Inggris semula adalah kekuasaan memutus perkara, yang kemudian didelegasikan kepada hakim-hakim peradilan yang memutus perkara tidak atas nama raja, tetapi berdasarkan "the common custom of England", sehingga karakterisrik dari "ccmmon law'"adalah "judicial", sedangkan   karakteristik   dari    "civil   law"   (kontinental)   adalah "administratif ( Hadjon, 1987: 82)
Konsep "the rule of law" maupun konsep "rechtsstaat" keduanya menempatkan perlindungan dan pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai titik sentralnya, sedangkan bagi negara Republik Indonesia, yang menjadi titik sentralnya adalah "keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan". Untuk melindungi hak-hak asasi manusia, dalam konsep "the rule of law" mengedepankan prinsip "eguality before the law", dan dalam konsep "rechtsstaat" mengedepankan prinsip "wetmatigheid" kemudian menjadi "rechtmatigheid". Untuk negara Republik Indonesia yang menghendaki keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat, yang mengedepankan adalah "asas kerukunan" dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat. Dari asas ini akan berkembang elemen lain dari konsep Negara Hukum Pancasila, yakni terjalinnya hubungan fungsional antara kekuasaan-kekuasaan negara, penyelesaian sengketa secara musyawarah, sedangkan peradilan merupakan sarana terakhir, dan tentang hak-hak asasi manusia tidaklah hanya menekankan hak dan kewajiban saja, tetapi juga terjalinnya suatu   keseimbangan antara hak dan kewajiban. Elemen Negara Hukum Pancasila adalah :
a.         Hubungan   fungsional   yang   proporsional   antara   kekuasaan-kekuasaan negara;
b          Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terahkir;
c          Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Keseimbangan  hubungan  antara pemerintahan  dan rakyat berdasarkan asas kerukunan (Hadjon, 1987 : 82 - 90)
Dari berbagai uraian tersebut dapatlah diketahui bahwa :
a.         Setiap   warga   masyarakat   suatu   daerah   berhak   memperoleh
perlindungan hukum atas dibentuknya suatu kebijakan daerah yang
merugikaa dirinya;
b.         Kewenangan pemerintahan yang dijadikan dasar pembentukan
kebijakan daerah harus jelas asal-usulnya serta ruang lingkup
kewenangannya.
c.         Hal asasi warga suatu daerah merupakan hak dasar yang layak
dapat   dipertahankan   dalam   keadaan  apapun   juga    untuk mengantisipasi akibat-akibat   yang  timbul   dari   dibentuk  dan diberlakukannya suatu kebijakan daerah.























BAB V
PENUTUP

1.         Kesimpulan
Berdasarkan   analisis   hasil   penelitian   dan   pembahasan   dapatlah disimpulkan antara lain :
1)         a.         Perda   tentang   mekanisme partisipasi   masyarakat   untuk
Mengkritisi kebijakan-kebijakan jajaran Pemda Kota Yogyakarta sampai saat ini belum eksis, namun telah ada usaha-usaha untuk merintis dan membuka jalan kearah dapat dilakukannya partisipasi masyarakat secara kritis dan konstruktif melalui email dan hot line;
b.         Harapan untuk terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih terbebas dari KKN terayata masih dihantui dan dibayang-bayangi adanya indikasi praktek KKN tidak hanya dapat terjadi dalam jajaran pemerintahan pusat. melainkan dapat pula terjadi dalam jajaran Pemda.
2)         a.         Partisipasi masyarakat mempunyai kontribusi yang cukup signifikan
Untuk mencegah dan mengeliminir terjadinya praktek KKN dalam pembentukan kebijakan-kebijakan daerah, namun patut disesalkan sampai saat ini partisipasi masyarakat tersebut belum sepenuhnya dapat terealisir;
b.         Keterbukaan memberikan akses yang cukup signifikan untuk pendidikan politik rakyat daerah guna menghasilkan kebijakan daerah yang aspiratif, partisipatif dan demokratis.
3)         a.         Penggunaan     wewenang    pemerintahan     dalam    perencanaan   
Dan pembentukan kebijakan daerah secara tidak tepat dapat berakibat fatal dan kontra  produkif,   dan oleh   karenanya  partisipasi  masyarakat mutlak diperlukan eksistensinya.
b.         Hak asasi warga masyarakat suatu daerah merupakan hak dasar, yang layak memperoleh perlindungan hukum dan dapat dipertahankan dalam keadaan apapun juga, untuk mengantisipasi akibat-akibat yang timbul dari dibentuk dan diberlakukannya suatu kebijakan daerah.
2.         Saran
Saran yang dapat diajukan dari penelitian ini antara lain :
a.         Agar Perda tentang mekanisme partisipasi masyarakat untuk mengkritisi perencanaan dan pembentukan kebijakan daerah dalam jajaran Pemda Kota Yogyakarta segera dapat direalisir;
b.         Agar segera ditempuh upaya-upaya kreatif dan dinamis untuk memberdayakan masyarakat  guna  berpartisipasi mengeleminir dan  memberantas praktek-praktek KKN dalam setiap kebijakan daerah, baik langsung maupun tidak langsung dalam jajaran Pemda Kota Yogyakarta
c.         Agar jajaran  Pemda  Kota  Yogyakarta  dapat memanfaatkan wewenang pemerintahan untuk merencanakan dan membentuk kebijakan daerah secara optimal, tepat, efektif dan efisien.





Daftar Pustaka :

Ashari 1999, Perbuatan Melawan Hukum Oleh Penguasa makalah disampaikan pada seminar sehari diselenggarakan oleh Forum Nusantara Bersatu, pada tanggal 10 April 1999 di Klaten
Attamimi, A. Hamid S., 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia, disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta
Akkormans, P.W.C., 1985, Algemene Begrippen Van Staatsrecht, deel I, W.EJ. Tjeenk, Zwole
Burkens, M.C., 1990, Beginselen van de Democratische Rechtsstaat, Tjeenk Willink, Zwole
Burkens, M.C., 1990, Beginselen van de democratische rechtsstaat, W.EJ. Tjeenk Willing, Zwolle in samenwerking met het Nederlans Institut voor Sociaal en Economisch Recht, NISER
Budisoesetyo, R., 1958, Kedaulatan Rakyat Dalam Hukum Positip indonesia, Pidato, diucapkan pada peresmian jabatan guru besar luar biasa dalan mata pelajaran hukum tata negara dan hukum tata pemerintahan pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga, di Surabaya, pada hari Rabu tanggal 10 November 1958
Bruggink, J.J.H., (alih bahasa Arief Sidharta), 1996, Refleksi Tentang hukum, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung
Couwenberg, S.W., 1977, Westers Staatsrecht als Emancipatie Proces, Samson, Alphen aan de Rijn
Daryadi 2001, Perjanjian Masyarakat, makalah disampaikan pada seminar nasional diselenggarakan oleh Forum Cinta Bangsa, pada tanggal 10 Januari 2001 di Surabaya
Duk-Loeb-nicolai, 1981,Bestuursrecht, Bowar-boek : 157
Meuwissen, D.H.M., 1979, Viff Stellingen Over Recht Filosofie, in : Een beeld van Recht, Ars Aequi
Meuwissen, D.H.M., l975,Elementen van Staatsrecht, Tjeenk Willink, Zwolle
Pound, Roscoe, 1957, The Development of Constitutional Guanrantiees of Liberty, Yale University Press, New Haven London
Port, C.W. van der, - bewerkt door AM. Donner, 1983, Handboek van het Nederlandse Staatsrecht, ll e druk, Tjeenk Willink, Zwolle
Prasetyo, 2002, Otonomi Daerah Dan Permasalahannya, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Forum Peneliti Daerah pada tanggal 10 Agustus 2002 di Yogyakarta
Siong, Gouw Giok, 1955, Pengertian Tentang Negara Hukum, Keng Po, Jakarta
Soemitro, Rochmat 1976, Peradilan Administrasi Dalam Hukum Pajak Di Indonesia, cet. ke - IV, PT. ERESCO, Jakarta-Bandung
Sukismo. B., 2002 (a), Aspek Politik Hukum Dalam Pembentukan Peraturan Perundangan Yang Demokratis, makalah disampaikan pada seminar sehari yang diselenggarakan oleh Forum Peduli Keadilan Masyarakat Banyumas, pada tanggal 9 Mei 2002 di Purwokerio.
Sukismo, B., 2002 (b), Ilustrasi Model Penulisan Hukum Normatif, makalah, disampaikan pada seminar sehari yang diselenggarakan oleh Forum Peduli Keadilan Masyarakat Banyumas, pada tanggal 9 Mei 2002, di Purwokerto.
Sidharta; B., Arief, 1996, Refleksi Tentang Fondasi Dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Hukum Nasional Indonesia, Disertasi, Universitas Padjadjaran, Bandung.
Suhardi, 2002, Kebijakan Daerah Yang Partisipasif, Makalah, disampaikan pada Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Forum Peduli Daerah pada tanggal l2 Agustus2002 di Surakarta
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, 2001, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Edisi Kedua, Cet. Pertama, Liberty,Yogyakarta.
Utrecht, 1963, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia , PT. Ichtiar, Jakarta
Untung 1991, Demokrasi Liberal, makalah disampaikan pada seminar nasional
diselenggarakan oleh Pusat Kajian Politik Indonesia, pada tanggal 17 Juli
1991 diSurabaya
Verdam, P.J., 1976, Nederlandse Rechtsgeshiedenis 1795 - 1975, Samson, Alphen aan den Rijn.
Vlies, I.C. Van der., 1984, Het Wetsbegrip en Beginselen van Behoorlijk Regelgeving, Vuga, S-Gravenhage
Wijk-Konijnenbelt, Van., 1984, Hoofdstukken van adminisiratief recht, vijfde druk,
Vuga, S-Gravenhage
Wignjosoebroto, Soetandijo, 1994, Sejarah Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
White, R. Allan, 1970, Truth : Problem in philosophy, Doubleday E. Company, New York
Wintoko,   2000,  Keadilan  Sejati,   makalah  disampaikan  pada  seminar sehari diselenggarakan oleh Forum Peduli Rakyat pada tanggal 9 Juni 2000 di Klaten
Yamin, Muh., 1952, Proklamasi dan Konstituante Republik Indonesia, Cet ke-2, PT. Djambatan, Jakarta
Yunanto, 2000, Asas Legalitas, makalah disampaikan pada seminar sehari diselenggarakan oleh Forum Nusantara pada tanggal 5 Mei 2000 di Surakarta
Badrun. 2005, Mendambakan Pemerintahan Yang Bersih, Pelita Press Jakarta
Suwandi, 2001, Manajemen Pemerintahan, Presto Press, Bandung
Suprapto, 2002, Sistem Pemerintahan Nasional, PT. Index, Jakarta
Sukismo, 2002 Menyimak Otonomi Daerah, Sari Press, Surabaya
Sukismo, 2003, Manajemen Wewenang Pemerintahan, Sari Press, Surabaya
Subardi, 2001, Sistem Otonomi, Cakra, Surakarta
Santoso, 2001, Hubungan Ideal Pemerintah Pusat dan Daerah,  Langgeng Press, Bandung
Suyudi, 2001, Melacak Liku-Liku Koruptor, Cindra Press, Semarang
Suyanto, 2002, Sepak Terjang Koruptor, Cemerlang Press,
Surakarta Supriyadi 2002, Sistem Partisipasi Moderen, PT. Duta Aksara, Surabaya
Sugiri, 2002, Perlindungan Perburuhan, Pelita Press, Jakarta
Sunarto, 2002, Hak Patisipasi Rakyat, Pelita Press, Jakarta
Sarosa,2001, Strategi Daerah, Pelita Press, Jakarta
Soemardjan, 1995, Pilar-Pilar Demokrasi, Candra Press, Pati
Suripto,2001, Strategi Kebijakan Daerah, Candra Press, Pati
Sunaryo,2002,Sistem Kontrol Kebijakan Pemerintahan, Sari Press, Surabaya
Yunanto, 2000,Negara Hukum Dan Negara Kekuasaan, Candra Press, Pati

0 komentar:

Post a Comment

 

Pengikut

Copyright © ZONA SKRIPSI All Rights Reserved • Design by Dzignine
best suvaudi suvinfiniti suv