PANDANGAN IBN QAYYIM AL-JAWZIYYAH
TENTANG PERSETUJUAN ANAK GADIS DALAM PERKAWINANNYA
SKRIPSI
DISUSUN DAN DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN DARI SYARAT-SYARAT
MEMPEROLEH GELAR SARJANA STRATA SATU
DALAM ILMU HUKUM ISLAM
OLEH:
MUSA ARIPIN
NIM : 01350726
PEMBIMBING
:
1. PROF. DR. KHOIRUDDIN
NASUTION, MA.
2.
DRS. OCKTOBERRINSYAH,
M. AG
AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI‘AH
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2005
ABSTRAK
PANDANGAN IBN QAYYIM AL-JAWZIYYAH
TENTANG PERSETUJUAN ANAK GADIS
DALAM PERKAWINANNYA
Perkawinan merupakan transaksi (akad) yang istimewa
dalam Islam melebihi transaksi lainnya semisal jual beli. Oleh karenanya ketika
akan melakukan perkawinan tersebut perlu pertimbangan yang matang dan pemenuhan
terhadap ketentuan-ketentuan yang mendukung tercapainya tujuan perkawinan.
Salah satu ketentuan yang diharapkan dapat membawa
kepada tercapainya tujuan perkawinan tersebut adalah adanya persetujuan atau
kebebasan anak gadis dalam menentukan calon suaminya.
Lebih lanjut tentang adanya persetujuan anak gadis
tersebut, ternyata di kalangan fuqaha’ terjadi perbedaan pendapat. Hal ini
diindikasikan dengan terpecah mereka kepada dua kubu. Kubu pertama menyatakan
bahwa persetujuan hukumnya hanya sekedar sunat, tanpa ada persetujuan pun,
perkawinan tetap sah. Sedangkan kubu lain berpendapat persetujuan adalah
sesuatu yang menentukan (wajib). Artinya apabila persetujuan tidak ada, maka
perkawinan batal alias tidak sah. Pada golongan pertama termasuk imam Sya>fi‘i< yang mana
pendapatnya diikuti mayoritas masyarakat Indonesia . Sedangkan di golongan
kedua diikuti oleh Ibn Qayyim al-Jawziyyah yang juga merupakan salah satu tokoh
besar dalam dunia Islam.
Perbedaan pendapat di antara Ibn Qayyim al-Jawziyyah
dengan mayoritas fuqaha’ merupakan sebuah fenomena yang menarik untuk dikaji.
Hal tersebut memberikan kesempatan kepada penyusun untuk membuka tabir apa
sesungguhnya yang menjadikan para ulama tersebut berbeda pendapat. Disamping
itu, untuk menyempurnakan penelitian ini penyusun mencoba menemukan relevansi
pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah tersebut dengan perundang-undang tentang
perkawinan yang berlaku di Indonesia.
Persoalan persetujuan anak gadis dalam perkawinan
termasuk dalam ranah fiqh, yang mana fiqh itu sendiri bersumber dari nash. Oleh
karena itu penyusun dalam mendekati persoalan ini menggunakan pendekatan
normatif induktif. Disamping itu, juga menghubungkannya teori al-Maqa>s}id asy-Syari<‘ah atau yang
lebih dikenal sebagai memelihara lima
unsur pokok dalam syari'at agama (h}ifz
ad-Di<n,
h}ifz al-Nafs,
h}ifz al-'Aql,
h}ifz an-Nasl,
dan h}ifz al-Ma>l). Dengan
harapan apa yang menjadi tujuan syari‘ah berupa maslahah bisa dimunculkan.
Berdasarkan
metode yang digunakan akhirnya bisa dilihat bahwa akar dari perbedaan
pendapat diantara Ibn Qayyim al-Jawziyyah dengan mayoritas fuqaha’ adalah
karena Ibn Qayyim al-Jawziyyah menggunakan mant}u>q
nas} (makna eksplisit) yang dikuatkan dengan ‘illat as}-s}uqr
dalam is|tinba>t
hukumnya. Sementara mayoritas fuqaha’ menggunakan mafhu>m mukha>lafah (makna
implisit) dalam is|tinba>t
hukumnya yang dikuatkan dengan memakai ‘illat al-bikr.
Penelitian yang
dilakukan penyusun juga memberikan jawaban bahwa pendapat Ibn Qayyim
al-Jawziyyah tersebut sejalan dengan perundangan yang berlaku di Indonesia .
Prof. Dr. Khoiruddin Nasution
Dosen Fakultas Syari'ah
UIN Sunan Kalijaga
Nota Dinas
Hal : Skripsi Saudara Musa Aripin Kepada
Yth. Bapak Dekan Fakultas Syari'ah
UIN Sunan Kalijaga
Di Yogyakarta
Assalamu'alikum Wr. Wb.
Setelah membaca, meneliti dan mengoreksi serta
menyarankan perbaikan seperlunya, maka kami berpendapat bahwa skripsi saudara:
Nama :
Musa Aripin
N.I.M :
01350726
Judul : “Pandangan
Ibn Qayyim Al-Jawziyyah Tentang Persetujuan Anak Gadis dalam Perkawinannya”
sudah dapat diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana strata satu dalam jurusan al-Ahwāl asy-Syakhsiyyah Fakultas Syari'ah
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta .
Dengan ini kami mengharap agar skripsi saudara tersebut
di atas dapat segera dimunaqasyahkan. Untuk itu kami ucapkan terima kasih.
Wassalamu'alikum, Wr. Wb.
22 Maret 2005 M
Pembimbing I
Prof. Dr. Khoiruddin Nasution, M.A
NIP: 150 246 195
Drs. Octoberrinsyah, M.Ag
Dosen Fakultas Syari'ah
UIN Sunan Kalijaga
Nota Dinas
Hal : Skripsi Saudara Musa Aripin Kepada
Yth. Bapak Dekan Fakultas Syari'ah
UIN Sunan Kalijaga
Di Yogyakarta
Assalamu'alikum Wr. Wb.
Setelah membaca, meneliti dan mengoreksi serta
menyarankan perbaikan seperlunya, maka kami berpendapat bahwa skripsi saudara:
Nama :
Musa Aripin
N.I.M :
01350726
Judul : “Pandangan
Ibn Qayyim Al-Jawziyyah Tentang Persetujuan Anak Gadis dalam Perkawinannya”
sudah dapat diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana strata satu dalam jurusan al-Ahwāl asy-Syakhsiyyah Fakultas Syari'ah
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta .
Dengan ini kami mengharap agar skripsi saudara tersebut
di atas dapat segera dimunaqasyahkan. Untuk itu kami ucapkan terima kasih.
Wassalamu'alikum, Wr. Wb.
Maret 2005 M
Pembimbing II
Drs. Ocktoberrinsyah, M.Ag
NIP: 150 289 435
PENGESAHAN
Sripsi berjudul
PANDANGAN IBN
QAYYIM AL-JAWZIYYAH
TENTANG
PERSETUJUAN ANAK GADIS DALAM PERKAWINANNYA
Yang disusun oleh:
MUSA ARIPIN
NIM:01350726
Telah dimunaqasyahkan di depan sidang munaqasyah pada tanggal 05 April 2005 M/ 26 Syafar
1426 H dan dinyatakan telah dapat diterima sebagai salah satu syarat guna
memperoleh gelar sarjana dalam Ilmu Hukum Islam.
DEKAN
FAKULTAS
SYARI‘AH
UIN SUNAN
KALIJAGA
Drs. H.
Malik Madaniy, MA
NIP: 150
182 698
Panitia Ujian Munaqasyah
Ketua Sidang
Sekretaris Sidang
Drs. Abdul Halim, M.Hum Drs.
Abdul Halim, M.Hum
NIP:150 242 804
NIP: 150 300 640
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. Khoiruddin Nasution, M.A Drs.
Ocktoberrinsyah, M.Ag
NIP: 150
246 195
NIP: 150 289 435
Penguji I Penguji
II
Prof. Dr. Khoiruddin Nasution, M.A Drs.
H. Muhyidin
NIP: 150 246 195
NIP. 150 221 269
KATA
PENGANTAR
بسم
الله الرحمن الرحيم
الحمد
لله رب العا لمين, أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده
ورسوله, اللهم صل وسلم على محمد وعلى أله
وأصحابه أجمعين, أما بعد.
Alhamdulillah penyusun panjatkan atas
kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan berkah, rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat dan
salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Baginda besar Nabi Muhammad SAW,
untuk keluarga, para sahabat, dan seluruh umat di segala penjuru dunia,
khususnya kita semua. 'A<mi>n.
Penyusun merasa bahwa skripsi dengan
judul "PANDANGAN IBN QAYYIM AL-JAWZIYYAH TENTANG PERSETUJUAN ANAK GADIS
DALAM PERKAWINANNYA” ini bukan merupakan karya penyusun semata, tetapi juga
merupakan hasil dari bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Penyusun juga
merasa bahwa dalam skripsi ini terdapat banyak kekurangan, untuk itu saran dan
keritikan yang membangun sangat penyusun harapkan. Selanjutnya tidak lupa
penyusun haturkan banyak terima kasih kepada semua pihak atas segala bimbingan
dan bantuan sehingga terselesainya skripsi ini, semoga amal baik tersebut
mendapat balasan dari Allah SWT. 'Amin Ya Rabbal 'Alamin.
Sebagai rasa hormat dan syukur,
ucapan aterima kasih kepada:
1. Bapak
Prof. Dr. Amin Abdullah, selaku Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
2. Bapak
Drs. H. Malik Madaniy, MA, selaku Dekan Fakultas Syari'ah UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
3. Bapak
Udiyo Basuki, SH, selaku Penasehat Akademik.
4. Bapak
Prof. Dr. Khoiruddin Nasution M.A, selaku Pembimbing I yang telah mencurahkan
segenap kemampuannya dalam upaya memberikan dorongan dan bimbingan kepada
penyusun.
5. Bapak
Drs. Ocktoberrinsyah, M.Ag, selaku Pembimbing II yang dengan senang hati
meluangkan waktunya untuk membimbing dalam penyusunan skripsi ini.
6. Bapak
Udiyo Basuki, SH, selaku pembimbing akademik yang telah banyak memberikan
pengarahan dan dukungan kepada penyusun selama kuliah
7. Bapak,
Ibu, Kakak, Adik tercinta yang telah memberikan dorongan moral demi kelancaran
penyusunan skripsi ini.
8. Teman
Syarif Muhammad,Oong (Fathurrahman), Sodri, Abdul Mujib, M. Chasanuddin, Abdul
Qadir Jailani, Muhammad, Mas Abun, Mas Qowim, Teman-teman etnis, Teman-teman
kos Ibu Sarimo dan teman-teman lainnya
yang tidak mungkin saya sebutkan
semuanya dan semua pihak yang telah memberi motivasi kepada penyusun dan
membantu dalam kelancaran terselaikannya skripsi ini
Akhinya penyusun hanya berharap, semoga
semua yang telah dilakukan menjadi amal saleh dan mendapatkan balasan dari
Allah SWT. Dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi penyusun sendiri khususnya,
dan para pembaca pada umumnya. 'Amin-'Amin-'Amin ya Rabbal 'Alamin.
10 Maret 2005
M
Penyusun
Musa Aripin
NIM. 01350726
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
ABSTRAK ..................................................................................................... ii
NOTA DINAS ................................................................................................ iii
PENGESAHAN ............................................................................................. v
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ......................................... vi
MOTTO .......................................................................................................... xi
KATA PENGANTAR .................................................................................. xii
PERSEMBAHAN ......................................................................................... xv
DAFTAR
ISI .................................................................................................. xvi
BAB I : PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B.
Pokok Masalah ...................................................................... 5
C.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian .......................................... 5
D.
Telaah Pustaka ...................................................................... 6
E.
Kerangka Teoritik ................................................................. 9
F.
Metode Penelitian ................................................................. 12
G.
Sistematika Pembahasan ....................................................... 14
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERSETUJUAN ANAK GADIS
DAN KEBEBASAN WANITA
A.Dasar Hukum .......................................................................... 17
B.
Pandangan Ulama-Ulama Fiqh ............................................. 22
BAB III
: IBN QAYYIM AL-JAWZIYYAH DAN
PERSETUJUAN ANAK GADIS
A.Riwayat hidup ........................................................................ 31
B. Paradigma
Pemikiran Hukum Ibn Qayyim al-Jawziyyah ....... 35
1. Dasar-Dasar
Hukum .................................................... 35
2. Metode
Istinba>t
Hukum ............................................ 43
3. Anak
Gadis dan Persetujuannya Dalam Perkawinan Perspektif Ibn Qayyim al-Jawziyyah .................................................................................. 44
BAB IV :
ANALISIS
A.Analisis pandangan Ibn Qayyim
al-Jawziyyah ....................... 53
B. Relevansinya
Dengan Konteks Sekarang ............................... 64
BAB V :
KESIMPULAN
A.
Kesimpulan ........................................................................... 68
B.
Saran ..................................................................................... 68
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 70
LAMPIRAN-LAMPIRAN:
I.
TERJEMAHAN ................................................................................... I
II.
BIOGRAFI TOKOH ............................................................................ IV
III.
CURRICULUM VITAE ..................................................................... VI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah
menjadikan perkawinan yang diatur menurut syari‘at Islam sebagai penghormatan
dan penghargaan yang tinggi terhadap harga diri yang diberikan oleh Islam
khusus untuk manusia di antara makhluk-makhluk lainnya.[1]
Mengenai
hakikat perkawinan itu sendiri, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Bab II pasal
2 menyebutkan sebagai berikut: “perkawinan hukum Islam adalah perkawinan, yaitu
akad yang sangat kuat (mis|a>qan gali<z}}a>) untuk mentaati perintah
Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”, kemudian disebutkan dalam pasal 3,
“perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang saki>nah,
mawaddah dan
rah}mah”.[2]
Hal ini sesuai dengan firman Allah[3]:
ومن اياته ان خلق لكم
من انفسكم ازواجا لتسكنوا اليها وجعل بينكم مودة ورحمة ان في ذلك لآيات لقوم
يتفكرون
Mewujudkan kehidupan rumah tangga
yang saki>nah, mawaddah dan rah}mah seperti di atas, sudah
barang tentu bukanlah hal yang sederhana. Untuk mencapai hal itu Islam
menawarkan aturan-aturan dan prosedur-prosedur yang harus dipenuhi.
Mahmud Syaltut dalam bukunya Akidah dan
Syari‘ah Islam menawarkan lima prinsip sebagai
prosedur yang harus dipenuhi dalam pembinaan keluarga pada fase pranikah. Pertama
saling mengenal dan memahami (at-Ta‘a>ruf) di antara kedua mempelai.
Dengan proses saling mengenal dan saling memahami ini diharapkan masing-masing
mempelai mengetahui keadaan calon pasangannya. Dalam hal ini Islam mewasiatkan
bahwa kriteria yang harus dipenuhi dan didahulukan dalam menentukan adalah
kebaikan akhlak dan agama serta tidak semata-mata memandang keadaan fisik,
harta dan keturunan. Kedua adalah al-Ikhtiba>r yaitu tahap penjajakan
yang dilaksanakan dengan melakukan khit}bah. Dalam khit}bah ini calon suami
diperbolehkan melihat wajah, tangan dan telapak kaki si wanita dan juga
diperbolehkan berdiskusi untuk mengetahui pemikiran masing-masing. Dari
pelaksanaan khit}bah ini diharapkan timbul
rasa suka pada masing-masing calon mempelai. Ketiga ar-Ri<d}a>
(kerelaan),
disini syari‘t Islam tidak mencukupkan pada dua prinsip di atas semata
namun juga mengaharuskan adanya kerelaan dalam arti yang sebenarnya dari kedua
mempelai. Keempat Kafa>’ah yaitu kesejajaran antara
kedua mempelai. Ini dimaksudkan agar tidak ada kesenjangan di antara keduanya
setelah mengarungi bahtera rumah tangga. Kelima mahar atau mas kawin,
dalam mahar ini syari‘at mengajarkan agar nilai mahar dalam batas yang wajar.[4]
Dari
keterangan di atas jelaslah bahwa kerelaan (ar-Ri<d}a>( merupakan prinsip pembinaan keluarga yang harus dipenuhi jika memang
ingin terwujudnya keluarga yang harmonis dan bahagia.
Konsep
kerelaan atau persetujuan itu sendiri lebih lanjut harus dipisahkan, karna
persetujuan itu sendiri memiliki dua subjek yang memiliki status hukum berbeda
di kalangan ulama fiqh dalam hal ini yang dimaksud adalah janda atau
gadis. Mazhab Sya>fi‘i< misalnya menyebutkan
bahwa kalau persetujuan dari janda maka status hukumnya adalah wajib. Lain
halnya kalau persetujuan datangnya dari anak gadis menurut ulama Sya>fi‘i<ah
tidak begitu
penting (hanya sekedar sunat), bahkan menurut ulama Sya>fi‘i<ah
ketika sudah
memenuhi syarat-syarat tertentu maka orang tua dalam hal ini tidak perlu lagi
meminta persetujuan anak gadis. Syarat-syarat yang dimaksud adalah sebagai
berikut:
1.
Antara ayah dan anak tidak ada permusuhan
2.
Calon suami sekufu
3.
Mahar yang sesuai
4.
Calon suami sanggup memberikan mahar
5.
Bukan dengan laki-laki yang membuatnya menderita dalam
pergaulan[5]
Berbeda dengan mazhab Sya>fi‘i<,
mazhab H}a>nafi< berpendapat
bahwa antara status hukum persetujuan
antara janda dengan anak gadis sama saja, keduanya wajib dimintai
persetujuan. Lebih lanjut menurut ulama H}a>nafi<ah
yang membedakan antara janda dengan anak gadis adalah pada tanda
persetujuannya; kalau janda harus tegas, sedangkan anak gadis cukup dengan
diamnya.[6]
Mazhab H}anbali< mensikapi
persoalan ini dengan diwakili dua kubu. Di satu pihak dengan diwakili oleh Ibn Quda>mah
dalam kitabnya al-Mugni< menyebutkan bahwa
persetujuan anak gadis bukanlah sesuatu yang menentukan artinya bahwa tanpa
adanya persetujuan anak gadis pun perkawinan tetap sah, walaupun si anak gadis
tidak menginginkan perkawinan itu, dan
beliau cendrung mengakui hak ijbar bagi wali. Sementara di pihak lain
Ibn Qayyim al-Jawziyyah bersikukuh bahwa anak gadis pun tetap harus dimintai
persetujuan ketika akan menikahkannya.[7]
Ibn Qayyim al-Jawziyyah lebih
lanjut dalam karyanya Za>d
al-Ma‘a>d berpendapat bahwa orang tua wajib meminta persetujuan
kepada anak gadis ketika akan menikahkannya.Hukum ini juga mewajibkan agar
gadis yang sudah dewasa tidak dipaksa untuk dinikahkan, dan ia tidak boleh
dinikahkan kecuali dengan persetujuannya. Inilah pendapat jumhur salaf
dan mazhab H}a>nafi<
serta satu riwayat dari Imam Ah}mad.[8]
Ibn Qayyim al-Jawziyyah Sebagaimana diketahui adalah sosok pemikir Islam yang banyak mewarnai khazanah
intelektual pemikiran hukum Islam. Satu hal yang menarik adalah walaupun mazhab
H}anbali<
mayoritas berpendapat persetejuan anak gadis sekedar sunat atau penyempurna,
tetapi beliau berani berbeda pendapat.
Melihat konteks pada masa sekarang seiring dengan perkembangan zaman,
yang mana dulunya kaum wanita biasanya dipingit dirumahnya sehingga mereka
cendrung berwawasan sempit dan kurang mengenal dunia luar, maka kondisi
sekarang bisa dilihat bahwa kaum wanita adalah golongan yang berwawasan dan tidak sedikit dari mereka yang menjadi
pakar dalam disiplin ilmu tertentu.
Berangkat dari kenyataan inilah ditambah lagi bahwa mazhab yang
berkembang di Indonesia
adalah Sya>fi‘i<ah
yang nota bene yang menganggap persetujuan tidak begitu penting (sunnat), maka
penulis tertarik untuk mengangkat pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah ini sebagai
pembahasan dalam karya ilmiyah untuk alternatif.
B. Pokok Masalah
Dari
deskripsi latar belakang di atas, terdapat beberapa masalah pokok yaitu :
1.
Bagaimana pendapat dan apa yang menjadi landasan
pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah tentang persetujuan anak gadis dalam
perkawinan?
2.
bagaimana relevansi pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah
dengan konteks sekarang di Indonesia ?
C. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan
Untuk mendeskripsikan tentang
pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah tentang persetujuan anak gadis dalam
perkawinan.
Untuk memberikan
gambaran relevansi pemikiran Ibn Qayyim dengan konteks sekarang di Indonesia .
Kegunaan
a.
Mengenalkan konsep berfikir Ibn Qayyim al-Jawziyyah
yang diharapkan dapat berguna bagi pengembangan pemikiran keIslaman.
b.
Untuk menambah khazanah keilmuan hukum Islam terutama
tentang sejauhmana relevansi pemikiran ibn qayyim al-jawziyyah dalam kaitan ini
dikaitkan dengan konteks sekarang.
D. Telaah Pustaka
Dari hasil penelusuran yang dilakukan penyusun
terhadap literatur yang membahas tentang pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah
serta literatur yang membahas tentang persetujuan anak gadis, dapat penyusun
paparkan sebagai berikut:
Karya yang mengkaji pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah
di antaranya, adalah: “Telaah Atas Konsep Ibn Qayyim al-Jawziyah Tentang Sadd az|-Z|ari<‘ah dan
Aplikasinya dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia”[9] Oleh
Sholahuddin Siregar. Karya ilmiah berupa skripsi. Dalam skripsi ini, penyusun
berkesimpulan bahwa Ibn Qayyim al-Jawziyyah berpendapat sadd az|-z|ari<‘ah
merupakan upaya menutup semua jalan yang membawa kepada kemudharatan.
Pembahasan skiripsi ini hanya berbicara tentang konsep sadd az|-z|ari<’ah nya Ibn
Qayyim al-Jawziyyah.
“Hiyal Menurut Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah”[10] oleh Ikmal Munthador, penyusun dalam skripsi ini
menyimpulkan bahwa Ibn Qayyim Al-Jawziyyah berpendapat hiyal yang
menyebabkan sesuatu yang haram menjadi tampak halal, sesuatu yang yang wajib
menjadi tampak tidak wajib haruslah dicegah. Sementara Hiyal yang diakui
Ibn Qayyim al-Jawziyyah adalah hiyal yang dikonfirmasi oleh nash.
Skripsi ini hanya membahas konsep Hiyal menurut pandangan Ibn Qayyim al-Jawziyyah
Sedang pada kajian persetujuan anak gadis dalam
perkawinan, dari penelusuran yang dilakukan penulis terhadap literatur yang ada
belum ditemukan karya ilmiah yang mengangkat secara khusus tentang tentang
pembahasan ini. Akan tetapi, memang ada sejumlah skripsi yang sekilas
membicarakan tentang tema ini di antaranya, “Ijbar dan Kebebasan Wanita Dalam
Menentukan Pasangan Perspektif Mahmud Syaltut”[11] oleh
Mushtofa Kamal.skiripsi ini menggunakan maslahah yang berkonsentrasi pada hifz} an-nafs, yang
pada gilirannya skiripsi ini menyimpulkan bahwa memberikan hak kepada perempuan
untuk bebas memilih calon suamniya merupakan “harga mati” yang tidak bisa
ditawar lagi demi mewujudkan tujuan perkawinan itu sendiri.
“Pemikiran Ibnu Taimiyah Tentang Hak Ijbar Wali
Nikah”[12]oleh
Niswatul Imamah. Skiripsi ini berusaha menggunakan maslahah sebagai pisau
analisisnya untuk membedah pemikiran Ibn Taimiyyah dengan mengembalikan akar
persoalan kepada otentisitas hadis. Salah satu babnya berbicara tentang hak
perempuan dalam memilih pasangan, menekankan bahwa perempuan maupun laki-laki
mempunyai hak yang sama dalam menentukan pasangan.
Masalah persetujuan anak gadis dalam perkawinan
sendiri tidak pernah lepas dari pembahasan buku fiqh klasik maupun modren,
biasanya masalah itu dibahas sebagian bagian dari topik wali dan belum menjadi
topik yang mandiri, kitab al-Umm[13] karya asy-Sya>fi‘i< dengan
jelas menggambarkan hal ini, Ibn Rusyd dalam bukunya Bida>yah al-Mujtahid Wa Niha>yah Al-Muqtas}id mencoba
menganalisis pendapat para imam mazhab tentang pembahasan ini[14].
Fiqih Lima Mazhab[15] oleh Muhammad
Jawad Mughniyah. Karya ini memuat pandangan dari berbagai mazhab. Dari buku
modren diwakili oleh buku Islam: Tentang Relasi Suami dan Istri (Hukum
Perkawinan I)[16],
ketika berbicara tentang wali, dalam salah satu sub babnya menyinggung tentang
persetujuan anak gadis dalam perkawinan dengan mengutip pandangan dari mazhab
yang empat.
ketika akan membahas lebih lanjut tentang persetujuan anak gadis menurut
pandangan Ibn Qayyim al-Jawziyyah, penulis menggunakan kitab yang dikarangnya
sendiri yaitu Za>d al-Ma‘a>d.
Ibn Qayyim dalam kitabnya tidak membahas secara khusus tentang pembahasan ini,
akan tetapi Ibn Qayyim memberikan satu pasal tentang orang tua yang akan
menikahkan putrinya, dengan membahas yang masih gadis dan janda
sekaligus.Walaupun dengan sumber yang sangat terbatas untuk dijadikan rujukan
penulis, namun penulis tetap optimis bahwa pembahasan ini tetap layak dan
menarik untuk dijadikan sebagai sebuah kajian ilmiah.
E.
Kerangka Teoritik
Syari‘ah memiliki dua dimensi, yaitu
dimensi vertikal dan horizontal. Pada dimensi vertikal terkandung aturan yang
mengatur hubungan antara manusia dengan tuhan (ibadah), sementara pada dimensi
horizontal syari‘ah berisi aturan tentang hubungan antar manusia, yang kemudian
dikenal dengan isitilah muamalah.[17]
Muamalah menurut Ibn ‘Abidin terbagi
menjadi lima
bagian, yaitu: mu‘a>wad}ah
ma>liyah
(hukum kebendaan), muna>kah}at
(hukum perkawinan), muh}asanah
(hukum acara), amanah dan ‘aryah (pinjaman), dan tirkah
(harta warisan).[18]
Munakahat sebagai bagian dari muamalah
ketika diaplikasikan diawali dengan akad. Akad adalah segala yang dilakukan
oleh seseorang dengan iradahnya (kehendaknya), dan syara‘ menetapkan kepada
orang tersebut beberapa natijah hak.[19]
Defenisi di atas menjelaskan, suatu akad
dikatakan sah apabila dilakukan dengan
kerelaan (tanpa paksaan) para pihak.
Syari‘ah juga mempunyai tujuan ketika dihadirkan di
tengah-tengah manusia, yaitu sebagai rahmat bagi manusia, sebagaimana ditegaskan Allah dalam beberapa ayat
al-Qur’an, diantaranya:[20]
وماارسلناك الارحمة للعالمين[21]
1.
Ulama yang berpegang pada prinsip bahwa perbuatan Allah
itu tidak terikat kepada apa dan siapa pun (yang dianut oleh ulama kalam Asy‘a>riyah). Menurut
mereka, Allah berbuat sesuai dengan keinginan-Nya,[22]
sebagaimana firman Allah:[23]
ان ربك فعال لمايريد
2.
Ulama yang berpegang pada prinsip keadilan dan kasih
sayang Allah pada hambanya (yang dianut
oleh ulama kalam al-Mu‘tazilah) berpendapat bahwa memang untuk kemaslahatan
umat itulah Allah mendatangkan syari‘ah.[24]
Sejumlah defenisi maslahah dikemukakan oleh ulama
ushul fiqh, tetapi seluruh defenisi tersebut mengandung esensi yang sama. Imam
al-Ghaza>li<
mengemukakan bahwa pada prisipnya maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak
kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syari‘ah.[25]
Maslahah yang dimaksud bukanlah sekedar
maslahah yang didasarkan pada pertimbangan akal dalam menilai baik buruknya
sesuatu, akan tetapi lebih jauh bahwa sesungguhnya maslahah tersebut harus
sejalan dengan tujuan syari‘ah.[26]
dalam menentukan maslahah adalah kehendak dan tujuan syari’ah dan bukan
kehendak manusia.[27]
Tujuan syari‘ah yang harus dipelihara
itu, lanjut al-Ghaza>li<,
ada lima bentuk
yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Apabila seseorang
melakukan perbuatan yang intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan syari‘ah
di atas, maka dinamakan maslahah. Disamping itu, upaya untuk menolak segala
aspek bentuk mudharat yang berkaitan dengan kelima aspek tersebut juga
dinamakan maslahah.[28]
Wanita dalam kerangka memelihara jiwa
seharusnya diberikan kekuasaan atas dirinya sendiri, misalnya bebas untuk kapan
ia mau menikah, kapan mau memilih pasangan, dan kapan ia akan mempunyai anak.
Hal ini sesuai dengan perumusan bahwa syari‘ah adalah apa yang disyari‘atkan
Allah dalam al-Qur’an dan Sunnah yang berupa suruhan dan larangan serta
petunjuk bagi manusia untuk kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat.[29]
F.
Metode Penelitian
1.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library
recearh), yaitu penelitian dengan cara
mengkaji dan menelaah sumber-sumber tertulis dengan jalan mempelajari, menelaah
dan memeriksa bahan-bahan kepustakaan yang mempunyai relevansi dengan materi
pembahasan.
2.
Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis[30], yaitu memaparkan
konsep persetujuan anak gadis menurut pandangan Ibn Qayyim untuk kemudian
menilai sejauhmana relevansi pemikiran beliau dengan konteks sekarang.
3.
Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan
mengkaji dan menelaah berbagai buku dan sumber tertulis lainnya yang mempunyai
relevansi dengan kajian ini. Adapun sumber primer penelitian ini adalah hasil
karya Ibn Qayyim al-Jawziyyah yaitu Za>d al-Ma’a>d[31]. Sedangkan
literatur-literartur yang termasuk kategori sumber skunder adalah kitab-kitab
yang membahas tentang fikih munakahat
di
antaranya adalah kitab al-Umm karya ima>m asy-Sya>fi‘i<, Fiqih Lima Mazhab[32]
oleh Muhammad Jawa>d al-Mugniyyah, , Islam: Tentang
Relasi Suami Dan Istri (Hukum Perkawinan I), oleh Khoiruddin Nasution.[33]
sedangkan literatur lainnya yang berkaitan dengan
topik pembahasan ini dapat dijadikan sebagai penunjang dalam penelitian ini
baik yang berupa buku, majalah, jurnal, artikel, dan karya ilmiah lainnya.
4.
Pendekatan penelitian
Pendekatan yang
digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah pendekatan normatif[34]
artinya pendekatan yang berbasis pada teori-teori dan konsep-konsep hukum
Islam.
5.
analisis data.
Dalam
menganalisis data dan materi yang disajikan penyusun menggunakan analisa
kualitatif dengan menggunakan cara berfikir induktif[35]. penyusun
berusaha menganalisa pandangan Ibn Qayyim al-Jawziyyah tentang persetujuan anak
gadis untuk kemudian menghubungkannya dengan konteks sekarang.
G.
Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah pembahasan skripsi ini, dan agar
lebih sistematis dan konprehensif sesuai dengan yang diharapkan, maka dibuat
sistematika pembahasan sebagai berikut:
BAB
I merupakan pendahuluan sebagai pengantar yang mengarahkan pembahasan. Bab
I memuat Latar Belakang Masalah, Pokok Masalah, Tujuan Dan Kegunaan, Telaah
Pustaka, Kerangka Teoritik, Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan.
BAB
II setelah pada bab I diketahui arah pembahasan, maka tahapan selanjutnya
penulis mengenalkan lebih dekat tentang objek dari pembahasan ini. Pada bab ini memuat tentang keberadaan dan
kepribadiannya-Riwayat Hidup-. Penyusun juga menggambarkan Paradigma pemikiran
hukum yang lebih menekankan berpegang kepada al-Qur’an dan Sunnah ketika
mengambil dasar hukum.
BAB
III mengupas secara umum tentang persetujuan anak gadis dalam proses perkawinan. Hal ini diperlukan sebagai
perbandingan antara pendapat Ibn Qayyim al-Jawziyyah dengan ulama-ulama lain
sehingga bisa dinilai pendapat siapa sesungguhnya yang paling relevan untuk
saat ini. Untuk mencapai pemahaman yang utuh tentang pembahasan ini, maka pada
bab ini juga diangkat tentang kebebesan wanita dalam perkawinanan. Bab ini
berisi Dasar-Dasar Hukum Ulama yang menyangkut masalah pembahasan ini, dan juga
Pandangan mereka seputar hal ini.
BAB
IV setelah diuraikan pandangan beliau tentang persetujuan anak gadis dalam
perkawinan dan gambaran umum dari ulama-ulama lain tentang pembahasan ini, maka
dalam bab ini penyusun melakukan Analisis Terhadap Pendapat Ibn Qayyim
al-Jawziyyah dan Relevansinya Dengan Konteks Sekarang.
BAB
V sebagai penutup dari bab-bab sebelumnya yang juga tentunya berisi
kesimpulan pembahasan yang dilakukan terhadap penelitian ini, saran-saran dan usul
yang mungkin dapat berguna bagi pengembangan hukum Islam di masa depan.
BAB
II
TINJAUAN
UMUM TENTANG PERSETUJUAN ANAK GADIS
DAN
KEBEBASAN WANITA
A.
Dasar hukum
Secara umum bisa dikatakan bahwa ketika
para ulama membahas tentang persetujuan gadis dalam perkawinan, mereka biasanya
menggunakan hadis-hadis sebagai dasar hukum bagi kasus ini.
Ulama terpisah menjadi dua pendapat
ketika membahas kajian ini. satu pihak menyatakan bahwa persetujuan gadis dalam
perkawinan hanya sekedar sunat atau penyempurna, sedangkan di pihak lain
berpendapat bahwa persejuan gadis dalam pernikah adalah wajib, artinya tanpa
ada persetujuan darinya perkawinan tidak sah.
Berikut
ini sejumlah hadis yang dijadikan pegangan bagi pendapat yang menyatakan bahwa
persetujuan si gadis hanya sekedar sunnat antara lain:
الايم
احق بنفسهامن وليها البكرتستأذن فى نفسهاواذنهاصماتها
Hadis
Ibn ‘Abba>s
tersebut menjelaskan bahwa wanita ada dua golongan. Pertama janda dan kedua
gadis. Kekuasaan bapak gadis selaku wali terhadap kedua golongan ini tidak
sama. Permulaan hadis tersebut menegaskan bahwa janda lebih berhak terhadap
dirinya daripada walinya. Mafhu>m Mukha>lafah-nya adalah bahwa bapak
lebih berhak terhadap diri gadisnya.[37]
Riwayat
yang menerangkan bahwa gadis diminta persetujuannya, hendaklah diartikan bahwa
hukum meminta persetujuan itu adalah sunat bagi bapak sekedar membesarkan hati
anak gadisnya dan wajib hukumnya bagi selain bapak.[38]
عن خنساء بنت خدام
زوجها ابوهاوهى كارهة وكانت ثيبافاتت رسول الله صلى الله عليه وسلم فردنكاحها
Perkataan
perawi hadis yang berupa “sedangkan ia janda” jelas suatu isyarat yang
menunjukkan ‘illat atau sebab dari penolakan
(tidak diakui) rasul. Hal yang sebaliknya adalah jika ia gadis maka
perkawinannya akan diterima Rasul.[40]
ليس
للولي مع الثيب امر واليتيمة تستأمر فصمتها اقرارها
Dalam
hadis ini gadis yang tidak berbapak dan sudah dewasa dikatakan yati<mah dari segi باعتبرماكان menurut ilmu balaghah, karena
istilah yati<mah adalah sebenarnya adalah
term bagi anak yang tidak berbapak yang belum dewasa menurut arti yang hakiki.[42]
Perkataan تستأمر mernjadi
qarinah karena orang yang belum dewasa tidak dianggap sah perintahnya
dan haruslah kita menunggu sampai ia dewasa.[43]
Jadi, gadis yang tidak berbapak wajib
diminta persetujuanya. Ini
menunjukkan bahwa gadis yang berbapak tidak perlu bapak meminta persetujuannya.[44]
Adapun
hadis yang dijadikan pegangan bagi pendapat yang menyatakan bahwa seorang bapak
wajib meminta persetujuan anak gadisnya ketika akan menikahkannya adalah
sebagai berikut:
لاتنكح
الايم حتى تستأمرولاتنكح البكرحتى تستأذن
Dalam
hadis Abu> Hurairah ini, terdapat pengertian yang berupa larangan Rasul
untuk menikahkan gadis tanpa seizinnya, sebagaimana beliau menikahkan janda
tanpa seizinnya. Secara implisit hadis tersebut menjelaskan sahnya akad nikah
tergantung ada atau tidak persetujuan wanita yang akan dinikahkan. Persetujuan
tersebut bila dari janda berwujud ucapan sendangkan dari gadis cukup dengan
diamnya saja. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan antara gadis dengan janda
adalah terletak pada cara penyampaian persetujuan itu sendiri.[46]
ان
جارية) بكرا( اتت النبى صلى الله عليه وسلم فذكرت ان اباهازوجها وهى كارهة
فخيرها النبى صلى الله عليه وسلم
Hadis ini
menceritakan suatu kasus pada masa Nabi di mana ketika itu seorang gadis datang
menghadap beliau untuk mengadukan bapaknya yang telah menikahkannya tanpa
persetujuannya. Terhadap kasus ini Nabi memberikan kepada si gadis hak khiyar
(kesempatan untuk memilih) karena perkawinan dilangsungkan tanpa persetujuan si
gadis. Hadis ini menunjukkan bahwa seorang bapak tidak sah menikahkan anak
gadisnya tanpa persetujuannya.[48]
Wanita yang datang
kepada pada hadis ini bukanlah Khansa>’ binti Khida>m wanita yang disebutkan pada hadis sebelumnya
yang memang sudah janda. Jadi, ada dua wanita dengan status yang berbeda, yang
pertama janda dan yang kedua masih gadis. Akan tetapi Nabi memberikan perlakuan
yang sama terhadap kedua wanita itu.[49]
Hadis
dari Siti ‘A<isyah:[50]
عن
عائشة رضي عنها قالت قلت يا رسول الله يستأمر النساء في ابضاعهن قال نعم قلت فان
البكر تستأمر فتستحيي فتسكت قال سكاتها اذنها
Hadis
dari Siti ‘A<isyah:[51]
عن
عائشة ان فتاة دخلت عليها فقالت ان ابي زوجني ابن اخيه ليرفع بي خسيسته وانا كارهة
قالت اجلسي حتى ياتي النبي صلى اللهم عليه وسلم فجاء رسول الله صلى اللهم عليه
وسلم فاخبرته فارسل الى ابيها فدعاه فجعل الامر اليها فقالت يا رسول الله قد اجزت
ما صنع ابي ولكن اردت ان اعلم اللنساء من الامر شيء
Perkataan
fata>tun
dalam hadis Siti A<‘isyah ini, diasumsikan
sebagai wanita yang masih gadis. Demikian juga perkataan wanita tersebut di
depan Rasul yang berupa “tetapi aku hanya ingin memberitahukan kepada para
wanita bahwa bapak tidak mempunyai suatu urusan (hak) apa pun “ jelas
menunjukkan bahwa bapak tidak mempunyai hak ijbar terhadap anak
gadisnya, karena perkataan an-nisa>’
(para wanita) mencakup seorang wanita yang masih gadis.[52]
B.
Pandangan Ulama-Ulama Fiqh
1. Para ulama sepakat bahwa untuk wanita janda diwajibkan
ada persetujuannya.
2. Janda
yang belum balig, menurut imam Ma>lik
dan imam Ha>nafi<,
wali boleh memaksanya untuk menikah, sedangkan menurut imam Sya>fi‘i< wali
tidak boleh menikahkannya tanpa persetujuannya.
3. Mengenai
gadis kecil para imam mazhab sepakat bahwa ia boleh dinikahkan tanpa
persetujuannya, akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang siapa yang boleh
menikahkannya tanpa persetujuannya. Menurut Sya>fi‘i
yang boleh menikahkannya tanpa persetujuannya adalah bapak dan kakeknya,
sedangkan imam Ma>lik
mengatakan yang boleh hanya bapaknya saja atau orang yang mendapat penyerahan
dari bapak untuk melakukan akad itu jika calon suami telah ditentukan bapak,
dan pendapat imam Ha>nafi<
adalah setiap orang yang mempunyai hak wali terhadap si gadis boleh
menikahkanya walaupun tanpa persetujuannya, akan tetapi setelah dewasa si anak
gadis mempunyai hak khiya>r
(memilih).
4. Ulama
berbeda pendapat tentang persetujuan sendiri itu jika wanitanya gadis dewasa.
Imam Ma>lik dan
imam asy-Sya>fi‘i< berpendapat
persetujuan hanya sekedar sunat, bahkan bapak sebagai wali bisa memaksa anak
gadis untuk menikah dengan laki-laki pilihannya, sedangkan menurut imam Ha>nafi< harus ada
persetujuan dari si gadis.
Berikut diuraikan
lebih lanjut pendapat empat mazhab tentang pembahasan ini.
a. Mazhab
Ma>liki<
Dalam kaitan
persetujuan dan kebebasan wanita dalam memilih pasangan (calon suami), imam Ma>lik membedakan
antara janda dengan gadis. Untuk janda harus ada persetujuan dengan tegas
sebelum akad nikah. Adapun gadis dan janda yaang belum dewasa yang belum digauli
oleh suaminya ada perbedaan antara bapak sebagai wali dengan wali di luar
bapak. Bapak sebagai wali menurut beliau berhak memaksa anak gadisnya dan janda
yang belum dewasa (hak ijbar) untuk nikah, sedangkan wali selain bapak
tidak mempunyai hak ijbar. Dengan kata lain, seorang bapak boleh
menikahkan anak gadis dan janda yang belum dewasa walaupun tanpa persetujuan
keduanya.[54] Otoritas yang dimiliki
bapak itu lanjut imam Ma>lik
karena memang syara‘ mengkhususkan demikian, atau karena kasih sayang
seperti yang dimiliki seorang bapak tidak akan dimiliki oleh wali yang lain.[55]
Kemudian az-Zarqa>ni<
menuliskan dua pandangan ‘Iya>d
tentang pembahasan ini, pertama bahwa wanita yang masih gadis,
walinyalah yang lebih berhak dalam menentukan persetujuan dalam perkawinannya,
kedua, sedangkan wanita janda lebih berhak dalam menentukan persetujuan dalam
perkawinannya.[56] Kedua pendapat ini
didasarkan pada hadis Nabi[57]
الايم احق بنفسهامن وليها
Pendapat
pertama, dengan mengambil
mafhu>m mukha>lafah
dari hadis ini, sedangkan pendapat kedua
dengan menghubungkan hadis ini dengan hadis
Nabi:[58]
لانكاح الابوالي
Dalam perkembangan
selanjutnya, ketika membahas tentang persetujuan janda dalam perkawinannya,
ulama mutaakhiri<n dalam mazhab Ma>lik
terpecah kepada
tiga kelompok, pertama. bapak boleh menikahkanya tanpa persetujuannya
apabila perceraiannya terjadi sebelum ia dewasa, ini adalah pendapat Asyha>b. Kedua, bapak tetap
boleh menikahkannya walaupun perceraiannya terjadi setelah ia dewasa, ini
pendapat Sahnu>n. dan ketiga, bapak tidak boleh
menikahkannya tanpa persetujuannya baik perceraiannya terjadi sebelum atau
sesudah ia dewasa, ini pendapat Abu>Tamma>m.[59]
b.
Mazhab
H}ana>fi
Menurut Abu H}ani<fah, persetujuan
wanita (calon istri) gadis atau janda harus ada dalam perkawinan. Sebaliknya,
kalau mereka tidak setuju, maka akad nikah tidak boleh dilanjutkan. Walaupun yang
menjadi wali adalah bapak kandung mereka sendiri.[60]
Adapun dasar
penetapan harus adanya persetujuan gadis dalam perkawinan, menurut abu H}ani<fah adalah kasus
di masa Nabi yang menyatakan bahwa Nabi menolak perkawinan seorang gadis yang
dinikahkan bapaknya, karena gadis tersebut tidak tidak menyetujui, yakni kasus
yang terjadi pada al-Khansa>’. dalam kasus ini,
al-Khansa>’ menemui dan
melaporkan kasus yang menimpa dirinya, yakni dia dinikahkan bapaknya kepada
saudara bapaknya yang tidak ia senangi, pada saat itu Nabi balik bertanya
“apakah kamu diminta izin (persetujuan)?” al-Khansa>’ menjawab “ saya tidak senang dengan pilihan
bapak”. Nabi lalu menetapkan perkawinannya sebagai perkawinan yang tidak sah,
seraya bersabda/berpesan “nikahlah dengan orang yang kamu senangi”.[61] al-Khansa>’ berkomentar, “bisa saja aku
menerima pilihan bapak, tetapi aku ingin agar para wanita mengetahui bahwa
bapak tidak berhak untuk memaksakan kehendaknya untuk menikahkan anak wanitanya
dan nabi menyetujuinya. Ditambah lagi oleh al-Khansa>’, “nabi tidak minta keterangan apakah saya gadis atau
janda”, seperti dicatat sebelumnya.[62]
Kasus al-Khansa>’ ini menjadi salah
satu dalil tidak adanya perbedaan antara janda dengan gadis tentang harus
adanya persetujuan dari yang bersangkutan dalam perkawinan. Perbedaannya hanya
terletak pada tanda persetujuan itu sendiri; kalau gadis cukup dengan diamnya
saja, sementara janda harus tegas.[63]
Imam H}ana>fi dalam hal
kebebasan wanita dalam memilih pasangan kelihatan lebih toleran
Terbukti bahwa menurut beliau seorang wanita
yang sudah balig dan berakal sehat boleh menikahkan dirinya baik ia masih
perawan atau sudah janda. Tidak ada seorang pun yang mempunyai wewenang atas
dirinya atau menentang pilihannya, dengan syarat, calon suami yang dipilihnya
itu sekufu dengannya dan maharnya tidak kurang dari mahal mis|il. Akan tetapi kedua
syarat ini mempunyai konsekwensi hukum apabila tidak terpenuhi yaitu wali
boleh menentang perkawinan itu bahkan wali bisa meminta q}}a>d}i< untuk membatalkan perkawinan itu.[64]
c. Mazhab asy-Sya>fi‘i<
Imam Sya>fi‘i< membuat klasifikasi terkait
dengan kebebasan wanita dan persetujuannya kepada tiga kelompok, yakni: pertama,
gadis yang belum dewasa, kedua, gadis dewasa, dan ketiga, janda.
Untuk gadis yang belum dewasa, batasan umurnya adalah belum lima belas tahun (15) atau belum haid, maka
seorang bapak dalam hal ini menurut beliau boleh menikahkan si gadis walaupun
tanpa seizinnya, dengan syarat perkawinan itu menguntungkan bagi si anak
gadis. Pandangan beliau
ini didasarkan pada tindakan Abu> Bakar yang menikahkan ‘A<isyah kepada Nabi, dan umur ‘‘A<isyah ketika itu baru sekitar
tujuh tahun.
Adapun perkawinan gadis
dewasa, ada hak berimbang antara bapak (wali) dengan anak gadisnya. Hak bapak
didasarkan pada mafhu>m mukha>lafah hadis yang menyatakan “janda
lebih berhak terhadap dirinya”. Menurut imam asy- Sya>fi‘i mafhu>m mukha>lafah hadis ini bapak lebih berhak
menentukan urusan perkawinan anak gadisnya[65],
meskipun dianjurkan musyawarah antara bapak dengan si anak gadis, berdasarkan
firman Allah:[66]
وشاورهم في الامر
Dari penjelasan asy-Sya>fi‘i, akhirnya bisa dilihat bahwa
dalam kasus gadis dewasa pun hak bapak sebagai wali masih melebihi hak gadis.
Kesimpulan ini didukung oleh ungkapan asy-Sya>fi‘i sendiri yang menyatakan
bahwa persetujuan gadis bukanlah suatu keharusan ((فرض tetapi hanya sekedar pilihan ((اختيار.[67]
Adapun perkawinan seorang
janda menurut beliau harus ada persetujuan yang jelas dari yang bersangkutan.
Keharusan ini didasarkan pada kasus perkawinan yang ditolak Nabi karena ia
nikahkan oeh walinya dengan seorang laki-laki yang tidak disenangi ditambah
lagi tanpa diminta persetujuannya terlebih dahulu.[68]
Dengan demikian, hadis ini menurut beliau menyatakan seorang janda lebih
berhak terhadap dirinya dari walinya.ketetapan ini diperkuat hadis lain.[69]
Dengan menyebut lebih berhak pada dirinya ((احق
بنفسها berarti untuk sempurnanya perkawinan harus dengan
persetujuannya dan tidak ada orang lain yang berhak untuk mencegahnya untuk
nikah.[70]
d. Mazhab H}anbali<
Dalam al-Mugni<, Ibn
Quda>mah seorang
ulama besar dari mazhab ini mengklaim, ulama sepakat adanya hak ijbar wali
untuk menikahkan gadis yang belum dewasa, baik wanita itu senang atau tidak,
dengan syarat sekufu. Ibn Quda>mah sendiri cendrung berpendapat,
bapak berhak memaksa anak gadisnya baik
dewasa atau belum, menikah dengan pria sekufu walaupun wanita tersebut tidak
setuju.[71]
Menurut beliau, dasar bolehnya menikahkan gadis yang belum dewasa adalah firman
Allah:[72]
واللائي
يئسن من المحيض من نسائكم ان ارتبتم فعدتهن ثلاثة اشهر واللائي لم يحضن
Pada prinsipnya ayat ini
berbicara tentang masa ‘iddah seorang wanita yang belum
haid atau wanita yang sudah putus haid. Logika sederhana adalah ‘iddah muncul karena talak, dan
talak muncul karena nikah.[73]
Dasar pendapat ini sesuai dengan hadis fi‘li< Nabi:[74]
عن عائشة قالت تزوجني النبي صلى اللهم
عليه وسلم وانا بنت ست سنين وبنى بي وانا بنت تسع سنين
Menurut ibn Quda>mah,
disamping sebagai dalil bolehnya menikahkan gadis yang belum dewasa, hadis ini
juga menunjukkan tidak adanya permintaan izin dari Abu> Bakr
(bapak/wali) kepada ‘A<isyah.
Ibn
Rusyd dalam bukunya Bida>yah al-Mujtahid, menyimpulkan bahwa
perbedaan pendapat para ulama tentang perlu tidaknya persetujuan wanita dalam
perkawinannya bermuara pada ‘illat
yang dipakai oleh para ulama itu sendiri. Dalam kaitan ini ada dua ‘illat yang dipakai ulama sebagai
dasar argumennya yang masing-masing ‘illat
mempunyai konsekwensi hukum yang berbeda. ‘Illat yang dimaksud adalah
kegadisan seorang wanita dan kedewasaannya.[75]
Ulama
yang menggunakan ‘illat kedewasaan wanita sebagai
dasar argumentasi, maka konsekwensi hukumnya adalah wanita dewasa tidak boleh
dipaksa untuk menikah oleh siapa pun dan persetujuannyalah yang menentukan sah
tidaknya suatu akad nikah.‘illat
inilah yang digunakan oleh imam H}ana>fi.[76]
Ulama
yang menggunakan ‘illat kegadisan wanita, maka
konsekwensinya adalah gadis dewasa boleh dipaksa walinya (bapak) untuk menikah.
Jadi persetujuannya bukanlah sesuatu yang menentukan. Imam Sya>fi‘i menggunakan ‘illat ini.[77]
BAB
III
IBN QAYYIM
AL-JAWZIYYAH DAN PERSETUJUAN ANAK GADIS
A. Riwayat
Hidup
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, nama populer untuk Syams ad-Di<n abu> ‘Abdillah Muhammad
bin Abi> Bakr
bin Ayyub bin Sa‘ad bin Haris|
az-Zar‘i ad-Dimasyqi[79]. Ibn
Qayyim al-Jawziyyah dilahirkan di Damaskus pada tanggal 7 Syafar 691 H.
bertepatan dengan 29 Januari 1292 M. dan wafat[80] pada
tanggal 13 Rajab 751 H. bertepatan dengan 1350 M.[81]
Ibn
Qayyim al- Jawziyyah hidup dilingkungan ilmiah
yang sempurna. Beliau mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk pengembangan ilmu,
sehingga banyak karya intelektualnya dapat dijadikan sumber ilmu.[82]
Nama al-Jawziyyah [83]
sendiri diambil dari satu sekolah yang
dibangun oleh Muh}yy ad-Din bin H}a>fiz
bin Abu>
Farj Abdul
ar-Rah}i<m al-Jawzi, yang mana ayah Ibn Qayyim
al- Jawziyyah
adalah salah satu pengurus (qayyim) di dalamnya.[84]
Ibn Qayyim al- Jawziyyah
sangat mencintai ilmu, maka tidak heran kemudian kalau beliau mempunyai
sejumlah guru[85], diantaranya Ibn
Taimiyyah. Beliau berguru pada Ibn Taimiyyah sejak 712 H. setelah sang guru
datang dari Mesir. Pikiran dan ide-ide Ibn Taimiyyah sangat mempengaruhi Ibn
Qayyim al- Jawziyyah.
Beliau bahkan menempuh jalan yang dilakukan oleh gurunya itu dalam memerangi
orang-orang yang menyimpang dari agama. Meskipun beliau sangat mencintai dan
menghormatinya gurunya, tetapi tidak jarang beliau berbeda pendepat dengannya,
jika menurutnya sesuatu itu benar dan jelas dalilnya.[86]
Berkat kedalaman dan keluasan ilmunya Ibn Qayyim al- Jawziyyah[87] yang
sebagian besar diperoleh dari gurunya Ibn Taimiyyah beliau kemudian dijuluki Syaikh
al-Isla>m
yang kedua setelah gurunya tersebut.[88]
Ibn Qayyim al-Jawziyyah berusaha mengajak orang kembali berpegang kepada
al-Qur’an dan as-sunnah sebagaimana ulama Salaf dan mengajak meninggalkan
perbedaan pertikaian mazhab. Juga Ibn Qayyim al-Jawziyyah mengajak bebas berfikir dan memerangi taklid buta. Usaha dan
ajakan itu tidak hanya dibidang Ilmu Kalam, tapi juga di bidang Fiqh dan
Tasyawuf.
Dalam masalah Fiqh Ibn Qayyim al-Jawziyyah sekalipun mengikuti
aliran Ahmad bin H}anbal, namun juga mengeluarkan pendapat
yang berbeda dengan paham Ahmad bin H}anbal.
Beliau termasuk priode keenam, priode ini ditandai dengan meluasnya faham
fanatik dan taklid kepada ulama-ulama mujtahid yang empat,[89]
tetapi Ibn Qayyim al-Jawziyyah menolak taklid dan membuka pintu ijtihad serta
kebebasan berfikir.[90]
Pada dasarnya pemikiran-pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah bersifat
pembaharuan. Tak terkecuali dalam bidang Tasawuf. Ibn Qayyim al-Jawziyyah
menghendaki agar Tasawuf dikembalikan ke sumber aslinya yaitu al-Qur’an dan
as-sunnah dan tanpa penyimpangan-penyimpangan. Ajaran-ajaran Tasawuf seharusnya
memperkuat Syari‘at dengan itu beroleh kesegaran dan penghayatan hakiki yang
tumbuh dari kedalaman batin manusia.[91]
Karir Ibn Qayyim al-Jawziyyah sangat sederhana dan selalu
dihalang-halangi oleh golongan oposisi, sebagaimana Neo-Hanbalisme yang
dikembangkan oleh Ibn Taimiyyah juga ditentang oleh kalangan pemerintah.[92]
Banyak ulama yang mempunyai keutamaan pada masa hidup Ibn Qayyim al-Jawziyyah
yang belajar kepadanya[93] dan
memanfaatkan karya-karyanya.[94]
Gelora pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah yang tegas dengan berpegang
kepada al-Qur’an dan Sunnah Rasul, menolak taklid, menyerang bid‘ah dan
khurafat, dapat dipahami apabila kita melihat situasi dan kondisi masyarakat
dimana Ibn Qayyim al-Jawziyyah hidup.[95] Di
timur Hulaghu Khan datang mengobrak–abrik umat Islam dan dari barat
kekuatan-kekuatan yang membentuk perang salib, sementara Aqidah dan pemikiran
umat Islam dalam keadaan beku (jumud)
dibalut oleh lumpur taklid, khurafat dan bid‘ah.[96]
Pendapat yang ditimbulkan di zaman disintegrasi bahwa pintu Ijtihad telah
ditutup dan diterima secara umum di zaman tersebut. Disamping itu, pengaruh
tarekat-tarekat bertambah mendalam dan meluas di dunia Islam. Demikianlah
kehidupan yang melanda orang Islam pada masa itu, penuh dengan bentrokan fisik
dan perpecahan sesama mereka, disebabkan mereka menyimpang dari ajaran agama.
Keadaan seperti ini membutuhkan terjadinya perubahan dan pembaharuan kesempatan seperti inilah
yang paling tepat untuk mengajak dan mengarahkan bangsa kembali kepada ajaran
Islam. Kondisi tersebut mendorong Ibn Qayyim al-
Jawziyyah untuk menegakkan dakwah perdamaian, mempersatukan paham Aqidah
dan Fiqh, membuang pertikaian sesama orang Islam serta membuka kembali pintu
ijtihad dengan tetap berpegang kepada al-Qur’an dan as-sunnah.
B. Paradigma
Pemikiran Ibn
Qayyim al- Jawziyyah
1. Dasar-dasar
hukum
Dalam karyanya yang berjudul
I‘lam al-Muwaqqi‘i<n dijelaskan,
ada tujuh sumber hukum yang dipakai
Ibn Qayyim al-Jawziyyah ketika mengistinba>tkan
hukum dari suatu kasus yang ditemuinya. Sumber-sumber hukum tersebut adalah: pertama,
nash al-Qur’an dan as-sunnah; kedua, ijma‘; ketiga, fatwa
shahabat; keempat qiyas; kelima, istis}h}a>b; keenam ‘urf ; dan ketujuh
sadd az|-z|ari<‘ah.
a.
Nash
Nash
yang dimaksud oleh Ibn Qayyim al-Jawziyyah adalah teks-teks al-Qur’an dan
as-sunnah. Menurutnya seorang ahli hukum jika menemukan suatu persoalan yang
menghendaki pemecahan hukum, maka pertama-tama ia harus mencari jawaban
persoalan tersebut kepada nash. Apabila ia mendapatkan nash, maka wajib
menetapkan hukum berdasarkan nash tersebut.[97] Untuk memperkuat
pandangan tersebut Ibn Qayyim al-Jawziyyah mengemukakan bukti dalam
al-Qur’an sebagai berikut:[98]
وما
كان لمؤمن ولا مؤمنة اذا قضى الله ورسوله امرا ان يكون لهم الخيرة من امرهم ومن
يعص الله ورسوله فقد ضل ضلالا مبينا
Menurut
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, ayat tersebut menjelaskan
bahwa seorang mukmin tidak dibenarkan
mengambil alternatif hukum yang lain sesudah Allah dan Rasulnya untuk
menetapkan hukum, dan barang siapa mengambil alternarif lain, maka ia berada
dalam kesesatan yang nyata.[99]
Ibn
Qayyim al-Jawziyyah mendahulukan teks-teks Hadis
sebagai dasar/sumber hukum daripada Ijma‘,
ra’yu, maupun qiyas ( analogi).[100]
Selanjutnya
Ibn Qayyim al-Jawziyyah menjelaskan posisi
as-sunnah terhadap al-Qur’an yang menurutnya ada tiga fungsi, yakni: pertama,
as-sunnah menguatkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam al-Qur’an; kedua,
as-sunnah menjelaskan al-Qur’an dan sekaligus tafsir baginya; dan ketiga
as-sunnah berdiri sendiri dalam menetapkan hukum[101].
b.
Ijma‘
Ibn Qayyim al-Jawziyyah
dalam menerapkan hukum selain di atas jarang menggunakan kata ijma‘
sesuai ungkapan-ungkapannya atau tidak mengetahui sesuatu yang menolaknya. Ia
bekata:[102]
لااعلم شيئايدفعه
c.
Fatwa
Shahabat
Mayoritas ulama
mengakui fatwa Shahabat sebagai dasar dalam menetapkan hukum. Demikian pula
menurutnya, dibolehkan mengambil fatwa yang bersumber dari golongan Salaf, dan fatwa-fatwa para
Shahabat.[103]
Fatwa mereka lebih utama daripada fatwa ulama kontempoter.[104]
Karena fatwa para Shahabat lebih dekat pada kebenaran. Masa hidup mereka lebih
dekat dengan masa hidup Rasul. Imam asy-Sya>fi‘i< dalam qawl
qadi<m seperti dikutip al-Baihaqi<, mengatakan bahwa semua
Shahabat berada di atas kita dalam hal kualitas keilmuan, ijtihad, wara’, dan intelektualnya.
Menurutnya pendapat mereka lebih mulia dan lebih utama daripada pendapat kita
secara keseluruhan.[105]
Menurut Ibn
Qayyim al-Jawziyyah pandangan tersebut didasarkan pada firman Allah:[106]
والسابقون
الاولون من المهاجرين والانصار والذين اتبعوهم باحسان رضي الله عنهم ورضوا عنه واعد
لهم جنات تجري تحتها الانهار خالدين فيها ابدا ذلك الفوز العظيم
d.
Qiyas
Pada firman Allah dijelaskan bahwa Allah mengqiyaskan hidup setelah mati
kepada terjaga (bangun) setelah tidur, dan membuat beberapa perumpamaan, serta
menerapkannya beraneka ragam. Semua itu adalah qiya>s aqli<, dimana Allah ingin
mewujudkan bahwa hukum sesuatu dapat diterapkan kepada kasus lain yang serupa.
Perlu diketahui bahwa qiyas yang dipakai oleh Ibn Qayyim al- Jawziyyah dalam proses
pengambilan kesimpulan (dalil) terbagi dalam tiga bagian, yaitu: Qiya>s ‘Illat, Qiya>s Dala>lah,
dan Qiya>s Syabah.[107]
1) Qiyas ‘Illat
Qiyas ini terdapat dalam al-Qur’an, diantaranya sebagai berikut:[108]
قد خلت من قبلكم سنن فسيروا في الارض
فانظروا كيف كان عاقبة المكذبين
Ayat ini menjelaskan – sebelum kamu terdapat umat-umat seperti kamu, maka
perhatikanlah keburukan yang menimpa mereka, akibat mereka mendustakan ayat
Allah dan para Rasul-Nya – umat sebelum kamu adalah as}al (pokok), sedangkan kamu adalah far‘un (cabang),
sedangkan ‘illat (alasan ) yang mengumpulkan adalah kedustaan, hukumnya
adalah kehancuran (kebinasaan).
2) Qiya>s Dala>lah
Yang dimaksud dengan qiya>s
dala>lah adalah mengumpulkan antara sumber pokok dengan cabang
berdasarkan petunjuk ‘illat
(alasan). Firman Allah yang menjelaskan tentang adanya qiya>s dala>lah:[109]
ومن
اياته انك ترى الارض خاشعة فاذا انزلنا عليها الماء اهتزت وربت ان الذي احياها
لمحيي الموتى انه على كل شيء قدير
Allah menunjukkan kepada hamba-hambanya dengan sesuatu yang dapat dilihat
oleh mereka dalam kehidupan nyata untuk melihat kehidupan yang lebih jelas. Hal
ini merupakan qiyas (analogi) kehidupan kepada kehidupan, dan
mengungkapkan sesuatu dengan yang menyetarainya.sedangkan ‘illat(alasan)nya
adalah kesempurnaan kekuasaan dan hukum Allah, sedangkan menghidupkan bumi
merupakan petunjuk (dali>l) yang
menunjukkan ‘illat.
3) Qiya>s Syabah
Qiyas jenis ini tidak digunakan oleh Ibn Qayyim al-Jawziyyah karena Allah
hanya menggunakannya dalam menceritakan orang-orang yang berbuat kebatilan dan
juga al-Qur’an mamakainya dalam rangka penolakan atau untuk mencela seperti halnya
analogi yang diambil oleh orang Musyrik.
e. Istis}h}a>b
Ibn Qayyim al-Jawziyyah
menggunakan dasar
hukum ini, walaupun ulama berbeda pendapat dalam masalah Istis}h}a>b.
Beliau membaginya dalam tiga bagian, yakni:[110] Istis}h}a>b Bara>‘ah al-As}liyyah,
Istis}h}a>b as}-si}fah, dan Istis}h}a>b
Hukm al-Ijma>‘
1) Istish}a>b Bara>’ah al-As}liyyah
Arti lughawi al-bara>‘ah
adalah “bersih”. Dalam hal ini pengertiannya adalah bersih atau bebas dari
beban hukum. Dihubungkan dengan kata al-as}liyah
yang secara lughawi artinya: “menurut asalnya”, dalam hal ini maksudnya adalah
pada prinsip atau pada dasarnya, sebelum ada hal-hal yang menetapkan hukumnya.
Hal ini berarti pada dasarnya seseorang bebas dari beban hukum, kecuali ada
dalil atau petunjuk yang menetapkan berlakunya beban hukum atas orang tersebut.[111]
2) Istis}h}a>b as}-si}fah
Istis}h}a>b bentuk
kedua mengandung arti mengukuhkan berlakunya satu sifat yang pada sifat itu
berlaku suatu ketentuan hukum, baik dalam bentuk menyuruh atau melarang, sampai
sifat tersebut mengalami perubahan yang menyebabkan berubah hukum, atau sampai
ditetapkan hukum pada masa berikutnya yang menyatakan hukum yang lama tidak
berlaku lagi.
3) Istis}h}a>b Hukm al-Ijma>‘
Istis}h}a>b bentuk
ketiga mengandung arti mengukuhkan pemberlakuan hukum yang telah ditetapkan
melalui ijma‘
ulama, tetapi pada masa berikutnya ulama berbeda pendapat mengenai hukum
tersebut karena sifat dari hukum semula telah mengalami perubahan.
f.
Sadd
az|-Z|ari<‘ah
Beliau membagi az|-z|ari<‘ah
dalam empat bagian dengan memandang akibat yang ditimbulkan : pertama,
az|-z|ari<‘ah yang
pada dasarnya membawa kepada kerusakan seperti meminum minuman yang memabukkan
yang mengakibatkan kerusakan akal, kedua, az|-z|ari<‘ah yang ditentukan untuk
sesuatu yang mubah, namun ditujukan untuk perbuatan yang merusak, seperti nikah
muhallil, ketiga az|-z|ari<’ah
yang semula ditentukan untuk mubah, namun biasanya sampai juga
kepada kerusakan yang mana kerusakan itu lebih besar dari kebaikannnya, seperti
berhiasnya seorang peremupuan dalam masa ‘iddah., dan keempat, az|-z|ari<‘ah yang
semula ditentukan untuk mubah, namun terkadang membawa kepada kerusakan,
sedangkan kerusakannya jauh lebih kecil dibanding kebaikannya, seperti melihat
wajah perempuan saat dipinang.[112]
g. ‘Urf
Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam
berbicara ‘urf jarang mengungkapkan
metodologi ‘urf
itu sendiri, beliau hanya menyebutkan adanya dalil :
العرف كالشرط اللفظ
Yakni
syarat yang berdasarkan ‘urf (tradisi) adalah seperti syarat yang
berdasarkan pada lafaz
2. Metode
Istinba>t Hukum
Metode yang beliau pakai semuanya diwarnai dalam tulisan-tulisan, baik
yang tertuang dalam kitabnya I‘lam
al-Muwaqqi‘i<n secara khusus, maupun yang lainnya yang bercorak
hukum. Bahkan secara umum juga terlihat dalam tulisan yang becorak Aqidah
bahkan, Filsafat dan Tasawuf.
Secara keseluruhan langkah dan metode yang dipakai beliau dalam
pembahasan fiqh yaitu:
a.
Mengemukakan Nash kemudian megeluarkan hukumnya
tanpa memandang pendapat Fuqaha’
Ibn
Qayyim al-Jawziyyah dalam metode
pembahasannya berbeda dengan Fuqaha’
sebelumnya dimana Fuqaha’
biasanya mengemukakan masalah-masalah kemudian mengaitkan dengan
dalil. Ibn Qayyim al-Jawziyyah mempergunakan nash sebagi dasar pembahasannya
kemudian beliau mengeluarkan hukumnya.
b.
Mengemukakan pendapat ulama tanpa fanatik
kemudian menukilnya.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah tidak cukup dengan nash juga mengikuti pendapat Fuqaha’ dalam
menetapkan pilihan seperti dicontohkan dalam pemeliharan anak (h}ad}anah)[113]
c.
Mengemukakan dalil yang sesuai dan tidak sesuai
menurutnya.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam masalah khilafiyah tidak cukup hanya mengemukakan
pendapatnya disertai dalil-dalil tetapi juga mengemukakan dalil-dalil orang
yang membantah pendapatnya kemudian beliau
mengomentari pendapat orang tersebut.[114]
d.
Tidak menyamakan atau mengambil dalil al-Qur’an
saja tetapi dilengkapi dengan Hadis
Hal ini dilakukan supaya jangan terjadi pengada-adaan terhadap yang bukan
ditujukan nash.
3. Anak
Gadis dan Persetujuannya Dalam Perkawinan Persperktif Ibn Qayyim al-Jawziyyah
Wanita
dalam istilah arab terbagi menjadi dua status yakni anak gadis (al-bikr)
dan janda (as|-s|ayyib).
Kedua status tersebut mempunyai konsekwensi hukum yang berbeda dikalangan
fuqaha’.
Pada dasarnya anak gadis dalam pandangan dari penelurusan penulis, Ibn
Qayyim al-Jawziyyah tidak berbeda dengan pendapat umum yang berlaku. Yaitu
wanita yang belum menikah. Ibn Qayyim al-Jawziyyah lebih lanjut membagi anak
gadis menjadi dua macam status yaitu anak gadis yang sudah balig dan anak gadis
yang belum balig.[115]
Dalam kajian ini penyusun membatasi pembahasan pada bagian anak gadis yang
sudah balig.
Seperti biasanya bahwa ketika Ibn
Qayyim al-Jawziyyah berpendapat tentang sesuatu hal, maka langkah pertama yang
beliau lakukan adalah mengemukan sejumlah dalil, kemudian mengambil hukum dari
dalil tersebut.
Di dalam kitabnya yang berjudul Za>d
al-Ma‘a>d
sebelum berbicara tentang persetujuan anak gadis dalam perkawinan ada sejumlah
hadis yang beliau angkat, seperti tertulis dalam bukunya Za>d
al-Ma‘a>d
yaitu:
ثبت عنه فى الصحيحين
: " عن خنساء بنت خدام زوجها ابوهاوهى كارهة وكانت ثيبافاتت رسول الله صلى
الله عليه وسلم فردنكاحها"[116]
وفى السنن من حديث ابن عباس :"ان
جارية) بكرا( اتت النبى صلى الله عليه وسلم فذكرت ان اباهازوجها وهى كارهة
فخيرها النبى صلى الله عليه وسلم[117] وهذه غيرخنساء
فهماقضيتان قضى فى احداهمابتخيير الثيب وقضى فى اللاخرى بتخييرالبكر"
وثبت عنه فى الصحيح
انه قال : "لاتنكح البكرحتى تستأذن قالوا : يارسول الله وكيف اذنها قال: ان
تسكت"[118]و صحيح مسلم:
البكرتستأذن فى نفسهاواذنهاصماتها"[119]
Dari
rangkaian nash di atas Ibn Qayyim al-Jawziyyah berpendapat bahwa hukum
yang diambil dari sana
adalah seorang gadis yang sudah dewasa tidak boleh dipaksa untuk menikah, dan
ia tidak boleh dinikahkan kecuali dengan persetujuannya. Inilah pendapat jumhur
Salaf dan mazhab Abu H}anafi<
serta satu riwayat dari imam Ah}mad.
Juga pendapat yang sesuai dengan hukum Rasulullah SAW., baik dalam bentuk
perintahnya maupun larangannya, atau dalam kaidah-kaidah syari‘ah maupun kemaslahatan
umatnya.[120]
Beliau menuliskan dalam kitabnya bahwa pendapat yang
sesuai dengan hukum Rasulullah adalah diberikannya hak memilih bagi anak gadis
yang tidak ingin untuk menikah. Hadis ini diriwayatkan secara mursal bukan
karena adanya ‘illat, melainkan memang memilik status musnad dan mursal.
Bila mengikuti pendapat Fuqaha’ : bahwa menjadikan status hadis ini
merupakan ziyadah (tambahan), maka orang yang menjadikan hadis tersebut muttas}il jelas lebih
didahulukan daripada yang menjadikannya berstatus mursal. ini merupakan
hal yang wajar terjadi dalam tradisi Hadis. Bila menilai Hadis tersebut mursal
seperti sebagaian besar ahli Hadis, memang hadis tersebut benar-benar berstatus mursal. Akan tetapi
didukung Hadis shahih lain, qiyas dan
kaidah-kaidah syara‘ sebagaimana akan dijelaskan selanjutnya. Dengan
demikian, pendapat di atas dapat dirumuskan dalam kategori berikut ini:[121]
Pendapat yang menjelaskan bahwa persetujuan anak gadis
wajib sesuai dengan perintah Nabi adalah sabda beliau:[122]
البكرتستأذن
Pernyataan
ini adalah perintah yang jelas, karena berbentuk khabar (berita) yang
berfungsi memperkuat apa yang diberitakan dan menegaskannya. Hukum asalnya
bahwa perintah menunjukkan lil wuju>b (keharusan), selama tidak
ada ijma‘ yang
bertentangan dengannya.[123]
Pernyataan yang menjelaskan bahwa pendapat di atas
sesuai dengan larangan Nabi adalah sabda beliau:[124]
لاتنكح البكرحتى
تستأذن
Di dalam hadis ini terkandung perintah, larangan,
sekaligus hukum kebolehan untuk memilih. Penetapan hukum ini merupakan cara
yang paling tepat.
Kewajiban persetujuan anak gadis sesuai dengan kaidah-kaidah syara‘
adalah seorang gadis yang sudah dewasa dan mampu berpikir matang, sang ayah
tidak diperkenankan menggunakan harta miliknya meski sedikit kecuali atas
persetujuannya. Seorang ayah tidak diperkenankan memaksa anak gadisnya tersebut
supaya ia mengeluarkan hartanya meski sedikit tanpa mendapat persetujuannya.
Bagaimana mungkin sang ayah diperbolehkan mengeluarkan harta yang paling
berharga bagi anak gadisnya tanpa melalui persetujuannya kemudian memberikannya
kepada seorang laki-laki pilihannya, sementara si gadis tidak menginginkan
laki-laki tersebut.
Sudah pasti bahwa menggunakan seluruh
harta sang gadis tanpa persetujuannya itu lebih ringan baginya daripada harus
dipaksa nikah dengan seorang laki-laki yang bukan pilihannya sendiri. Pernyataan
ini sekaligus menegaskan sebuah pendapat yang menyatakan bahwa bila sang gadis
mensyaratkan harus sekufu' kemudian sang ayah memenuhinya, maka yang dijadikan
sandaran hukum adalah persyaratan yang diajukannya, meski laki-laki tersebut
tidak disukainya atau bahkan buruk budi pekertinya.[125]
Kewajiban persetujuan anak gadis sesuai
dengan kemaslahatan ummat adalah jelas sekali bahwa menikahkan janda merupakan
kemaslahatan tersendiri baginya karena sesuai dengan keinginannya dan ia rela.
Dengan perkawinan itu si janda dapat mencapai tujuan nikah sekaligus terhindar
dari kemafsadatan karena telah ditinggal oleh mantan suaminya.[126]
Satu hal lagi yang menjadi ciri khas,
Ibn Qayyim al-Jawziyyah tidak hanya menyodorkan pendapatnya an sich akan
tetapi beliau juga mengemukakan pendapat yang berseberangan. Lebih lanjut dapat
dilihat dalam kitabnya Za>d
al-Ma‘a>d tentang hal ini, golongan yang berbeda pendapat dengan
beliau berkata bahwa Rasulullah SAW memberikan keputusan hukum secara berbeda
antara wanita janda dan gadis, sebagaimana sabda beliau:[127]
ولاتنكح
الايم حتى تستأمرولاتنكح البكرحتى تستأذن
Sabda Nabi yang lain:[128]
الايم احق بنفسهامن
وليهاوالبكريستأذنها ابوها
Bila dalam kasus seorang janda, ia lebih berhak atas
dirinya ketimbang walinya sendiri, sementara dalam kasus seorang gadis, sang
ayah lebih berhak atas dirinya. Jika tidak demikian, tentu tidak ada makna yang
khusus bagi seorang janda. Begitu pula dalam bentuk persetujuan, Nabi
membedakan antara keduanya. Bila ia seorang janda, maka bentuk persetujuannya
adalah dengan jalan mengungkapkannya, sedangkan bentuk persetujuan bagi seorang
gadis adalah dengan diam. Semua ini menunjukkan atas ketiadaan dipandang
persetujuan dari seorang gadis, sehingga tak ada wewenang baginya bila bersama
sang ayah.[129]
Maka jawaban yang diajukan adalah bahwa
tidak ada satu dalil pun yang menunjukkan kebolehan sang gadis dinikahkan tanpa
melalui persetujuannya, sementara ia sendiri sudah memasuki usia dewasa dan
mampu berpikir matang. Dan pendapat lain yang menyatakan bahwa seorang ayah boleh
menikahkan anak gadisnya dengan seorang laki-laki yang tidak disenanginya
sekalipun, bila laki-laki itu sekufu', ditolak dengan jelas oleh hadis-hadis
yang dijadikan sandaran hukum bagi pendapat ini. Tidak ada dalil yang lebih
kuat dari pada hadis Nabi SAW berikut ini.[130]
الايم احق بنفسهامن وليها
Hadis ini dapat dipahami dengan jalan mafhu>m
mukha>lafah.
Pendapat yang menyatakan bahwa boleh menikahkan gadis tanpa persetujuannya
biasanya menggunakan Hadis ini sebagai hujjah. Seandainya mereka
mengajukan Hadis ini sebagai hujjah, maka tidak boleh mendahulukannya
atas mant}u>q
as}-s}ari<h} (bunyi
nash yang sudah jelas). Bila dikatakan bahwa Hadis ini dipahami dengan mafhu>m mukha>lafah seperti
disinggung di atas, dan dalam mafhu>m
mukha>lafah
terkandung makna yang umum. Maka yang benar, dalam mafhu>m mukha>lafah tidak
terkandung makna umum, apabila ada dalil yang terkandung di dalamnya mengarah
pada pengertian bahwa takhs}is}
(mengkhususkan), yakni menegaskan hukum selain takhs}i<s} itu sendiri. Sudah jelas
bahwa pembagian hukum selain takhs}i<s}
ke dalam dua kategori; penetapan hukum dan penegasannya, juga terkandung
faedah. Penetapan hukum lain terhadap perkara yang didiamkan juga terkandung
faedah, meski di sana
tidak terdapat kebalikan dari hukum mant}u>q
(bunyi nash). Upaya untuk memerinci hukum tersebut juga terkandung faedah.
Coba renungkan sabda Nabi SAW:[131]
والبكريستأذنها ابوها
Setelah
sabdanya:
الايم احق بنفسهامن وليها
Pasti
untuk menentang pendapat yang menyatakan bahwa Seorang gadis boleh
dinikahkan tanpa persetujuan dan izinnya, seolah ia tidak punya wewenang sama
sekali terhadap dirinya sendiri. Sehingga kedua Hadis di atas dapat
dipertemukan demi menghindari terjadinya kekeliruan pemahaman. Jadi jelas bahwa
meski seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya sendiri, bukan
berarti bahwa seorang gadis tidak memiliki wewenang atas dirinya.[132]
Lebih lanjut Ibn Qayyim al-Jawziyyah
menyatakan bahwa Rasulullah SAW memberikan keputusan hukum tanda persetujuan
seorang gadis adalah dengan diam, sedangkan tanda persetujuan seorang janda
adalah dengan mengungkapkan persetujuannya secara langsung. Bila seorang gadis
memberikan persetujuannya dengan mengungkapkan melalui kata-kata, itu lebih
kuat status hukumnya. Untuk mendukung pendapat ini Ibn Qayyim al-Jawziyyah juga
mengutip pendapat Ibn H}azm,
beliau berkata: “Tidak sah menikahkan seorang gadis kecuali ia diam”. Pendapat
inilah yang sesuai dengan kenyataan zahiriyahnya.[133]
BAB IV
ANALISIS
C.
Analisis pandangan Ibn Qayyim al-Jawziyyah
Secara ideal-normatif, Islam
sesungguhnya tidak membedakan antara pria dengan wanita, atau dengan kata lain
Islam menolak segala bentuk diskriminasi yang berbau gender. Islam sebagai
pembawa keselamatan dan kerahmatan bagi seluruh alam (rah}matan lil‘a<lami<n)
menempatkan drajat dan posisi wanita pada kedudukan yang mulia.[134]
Wanita sebagai kenyataan sosial
masyarakat Arab pada masa Nabi, menjadi salah concren yang ingin dibela
al-Qur’an, disamping kelompok budak, kaum fakir miskin, anak-anak miskin,
dan sederet kaum lemah lainnya. Bahkan
al-Qur‘an secara khusus mendokumentasikannya dalam satu surat khusus yang bernama an-Nisa>‘.[135]
Sejumlah indikasi bisa diketengahkan
untuk melihat pembelaan al-Qur’an terhadap wanita diantaranya:[136] pertama,
ayat al-Qur’an yang secara tegas menyebutkan bahwa wanita dan laki-laki
adalah sejajar seperti:[137]
هن
لباس لكم وانتم لباس لهن
Kedua, sejumlah ayat yang secara
tegas merombak kebiasaan Arab pra-Islam. Di antara indikasi tersebut adalah
larangan mengubur hidup-hidup anak perempuan yang baru lahir, karena menurut
masyarakat Arab pra-Islam anak perempuan itu akan mencemarkan nama baik
keluarga. Prilaku ini jelas diprotes al-Qur’an.[138]
ولا
تقتلوا اولادكم من املاق
Ketiga, larangan al-Qur’an
mewariskan wanita, bahkan lebih dari itu Islam juga memberikan hak waris kepada wanita.[139]
ياايها
الذين امنوا لا يحل لكم ان ترثوا النساء كرها.
للرجال
نصيب مما ترك الوالدان والاقربون وللنساء نصيب مما ترك الوالدان
والاقربون
مما قل منه او كثر نصيبا مفروضا
Hal ini merupakan bukti nyata bahwa
al-Qur’an berusaha membebaskan wanita dari budaya yang mendiskriminasikannya.
Karena harus diakui ketika al-Qur’an diturunkan rezim patriarki Arab masih
sangat kental.[140]
Pembelaan al-Qur’an terhadap wanita
tersebut menjadi salah satu misi pokok yang diperjuangkan oleh Nabi Muhammad
dengan agama Islam yang dibawanya. Akan tetapi bukti sejarah berkata lain,
hampir sepanjang sejarah muslim, kaum wanita ditempatkan pada posisi inferior
sementara laki-laki berada pada posisi superior. Padahal al-Qur‘an
menempatkan posisi wanita sejajar dengan laki-laki.[141]
Munculnya praktek yang inferior
terhadap wanita dalam sejarah muslim, bukan tanpa alasan. Hal ini disebabkan
antara lain adanya sejumlah nash terkesan mengisyatkan adanya kemungkinan itu[142]. Di antaranya adalah:[143]
للذكرمثل
حظ الانثيين
Faktor lain yang menyebabkan munculnya
praktek yang inferior terhadap wanita
adalah pengaruh metode studi nash yang dipakai para ulama. Bisa
dikatakan bahwa umumnya ulama tradisional, menggunakan pendekatan parsial
dalam mengkaji al-Qur‘an dan sunnah Nabi, Yaitu menyelesaikan satu masalah
dengan cara memahami salah satu atau beberapa nash secara berdiri sendiri,
tanpa menghubungkan dengannya dengan nash lain yang relevan.[144]
Salah satu fakta yang berbicara tentang
praktek yang inferior terhadap wanita
adalah hak kebebasannya dalam menentukan calon suami. Wanita dewasa yang
masih gadis menurut mayoritas imam mazhab tidak mempunyai kebebasan untuk
memilih pasangan dan hak itu sepenuhnya menjadi otoritas bapak sebagai wali.
Padahal dengan kedewasaan seorang wanita memungkin ia untuk menyampaikan apa
yang ada dalam hati dan pikirannya. Dan dengan kedewasaan itu pula seorang
wanita memiliki kapasitas untuk melaksanakan apa yang ada dalam pikirannya.[145]
Pendapat mayoritas imam mazhab tersebut
bila diteliti lebih jauh masih merupakan peninggalan tradisi arab pra Islam.
Sejarah menuliskan bahwa sebelum kedatangan Islam, seorang bapak memiliki hak
utnuk memilihkan suami bagi putrinya dan putrinya tidak berhak untuk menentang.
Bahkan tradisi Arab pra Islam yang tidak menghargai hak wanita adalah tidak
jarang para bapak saling menukar putri mereka untuk menikah satu sama lain. Ini
dikenal dengan nikah syi<ga>r
dalam Islam, akan tetapi kemudian nikah dengan jenis seperti ini dibatalkan
sekaligus diharamkan oleh Islam.[146]
Sebelum memberikan penilaian lebih jauh
dalam persoalan ini, ada baiknya penulis menguraikan bagian-bagian yang menjadi
ruang perdebatan para ulama dalam membahas kajian ini, agar memperoleh
pemahaman yang konprehensif tentang persoalan ini.
Salah satu Bagian yang menjadi
perdebatan berkaitan dengan hak wanita dalam memilih pasangan adalah ‘illat
yang dijadikan sebagai dasar argumen untuk menentukan ada tidaknya hak kebebasan itu sendiri.
Sebagian ulama dalam kaitan ini menjadikan kegadisan (al-bikr) sebagai ‘illat
dalam penentuan hukumnya, sementara ulama yang lain dengan menggunakan ‘illat
masa kecil (as}-s}ug}r),
bahkan ada ulama yang menjadikan ‘illat bagi kasus ini dengan
menggabungkan kedua ‘illat tersebut.[147]
Dalam kasus ini, ada kritikan yang
disampaikan oleh Ibn Taimiyah, yang menyatakan bahwa sesungguhnya menjadikan
kegadisan sebagai alasan yang mewajibkan untuk membatasi hak wnita adalah
bertentangan dengan prinsip Islam, dan menjadikan hal itu sebagai ‘illat
untuk membatasi atau mengahalangi kaum wanita merupakan pembuatan ‘illat
dengan sesuatu sifat yang tidak ada pengaruhnya dalam syara‘.[148]
Beliau menambahkan bahwa ‘illat yan benar untuk kasus ini adalah masih
kecil
Ibn Qayyim al-Jawziyyah sependapat
dengan gurunya Ibn Taimiyyah bahwa‘illat yang dijadikan sebagai pijakan
hukum ada tidaknya hak tersebut adalah ‘illat usia kecil, sehingga
menurut beliau gadis yang sudah dewasa mempunyai hak untuk memilih calon
suaminya. Dengan kata lain tidak seorang pun yang bisa memaksanya untuk
menikah.
Bagian lain yang menjadi dasar
perbedaan pendapat para ulama dalam kaitan ini adalah metode para ulama dalam
mengis|tinba>tkan
hukum pada kasus ini. Dengan metode is|tinba>t
hukum yang berbeda tersebut berimplikasi kepada penetapan hukum yang berbeda
pula walaupun pada dasarnya nash yang digunakan sama. Metode is|tinba>t hukum
yang digunakan para ulama ada dua macam dalam hal ini yaitu mafhu>m mukha>lafah dan
mantu>q nas}.
Mafhu>m
mukha>lafah sebagai pisau analisis digunakan oleh imam Sya>fi‘i<, Ma>liki< dan H}anbali< terhadap
kasus ini, membawa mereka pada pendapat bahwa persetujuan anak gadis hanya
sekedar sunat dengan berdasarkan hadis[149]
الايم
احق بنفسهامن وليها
Jika janda lebih berhak terhadap dirinya dari pada
walinya, maka mafhu>m
mukha>lafahnya adalah wali lebih berhak terhadap diri anak
gadisnya, sehingga kemudian mereka berpendapat meminta persetujuan seorang
gadis tidak diperlukan lagi.
Dengan hadis yang sama pula ulama yang
berpegang pada mantu>q
nas} diwakili oleh imam H}a>nafi<
dan Ibn Qayyim al-Jawziyyah, yang menyatakan bahwa persetujuan anak
gadis adalah wajib.
Ibn Qayyim lebih lanjut mengkritik
golongan yang menggunakan mafhu>m
mukha>lafah terhadap kasus ini dengan mengatakan bahwa pemahaman
yang muncul dari mantu>q
nas} semestinya didahulukan daripada pemahaman yang menggunakan mafhu>m mukha>lafah.
Sebab penetapan hukum suatu kasus tertentu belum tentu menetapkan hukum
sebaliknya untuk kasus lainnya. Adalah sesuatu yang mungkin kasus lain
mempunyai dasar hukum sendiri.[150]
Perbedaan pendapat berkenaan dengan
persoalan persetujuan gadis dalam perkawinan, Ibn Qayyim al-Jawziyyah lebih
lanjut memberikan analogi bahwa seorang bapak tidak memiliki hak tas}arruf terhadap
harta milik anak gadisnya yang rasyi<dah
tanpa persetujuannya, apalagi terhadap bud}u‘nya
(kehormatannya) yang merupakan hartanya yang paling berharga. Lalu, bagaimana
mungkin seorang bapak dibolehkan mentas}arrufkan
harta yang paling berharga tersebut sementara si gadis tidak setuju.
Pada akhirnya persolan pada
kebebasan dan persetujuan wanita dalam
memilih calon suami, bermuara pada apakah perlu (wajib) atau tidak (sunnah).
Ibn Qayyim al-Jawziyyah sebagai salah
satu ulama besar dalam lingkungan mazhab H}anbali<,
dalam menyikapi persoalan ini lebih sepakat dengan pandangan Abu>
H}ani<fah.[151]
Beliau berpendapat dalam hal ini sebagai sesuatu yang diperlukan (wajib).
Dengan pertimbangan kemaslahatan gadis yang bersangkutan, maka hal ini
diserahkan sepenuhnya kepada si gadis dan bukan kepada wali.[152]
Pendapat yang mendukung persetujuan dan
kebebasan wanita dalam konteks ke Indonesiaan, Khoruddin Nasution, dalam
tulisannya yang dimuat dalam jurnal asy-Syir‘ah menjelaskan bahwa tidak ada
paksaan dalam memilih pasangan bagi wanita, berdasarkan sejumlah hadis yang
digunakan para fuqaha’ untuk memecahkan persoalan ada tidak persetujuan dan
kebebasan wanita dalam menentukan pasangan, pada prinsipnya hadis-hadis
tersebut menekankan pentingnya persetujuan wanita yang bersangkutan.
Sebaliknya, dasar yang digunakan fuqaha’ yang berpendapat bahwa persetujuan
gadis tidak diperlukan dan tidak adanya kebebasan wanita dalam menentukan
pasangan adalah lemah, sebab hanya menggunakan mafhum mukhalafah dari
nash yang menyebut bahwa janda lebih berhak terhadap dirinya. Padahal secara
tekstual (eksplisit) ada nash yang menyebutkan harus ada persetujuan
dari wanita yang akan nikah. Beliau menambahkan bahwa penekanan hadis-hadis
yang mengharuskan adanya persetujuan wanita yang akan nikah terdistorsi
(sengaja atau tidak), untuk mendukung praktek dan pemahaman yang sangat
patriarkal yang sudah mapan oleh para fuqaha’. Sebab para fuqaha’ itu tinggal
dan hidup dalam masyarakat yang patriarkal tersebut.[153]
Khoiruddin nasution dalam mendukung
pernyataan di atas, menawarkan satu teori yang bisa dijadikan parameter untuk
mengukur ada tidaknya hak kebebasan seorang wanita dalam menentukan pasangan
yaitu menghubungkan nash yang berbicara tentang kebebasan dan pemaksaan wanita
dalam perkawinan dengan nash yang berbicara dengan perkawinan itu sendiri
(paling tidak dengan status akad nikah
dan tujuan perkawinan)[154]
Dalam kaitan ini lebih lanjut, beliau
menguraikan bahwa tujuan perkawinan ada tiga macam yang diisyaratkan oleh
al-Qur‘an, yakni pertama, untuk mengembang biakkan umat manusia
(reproduksi) di bumi, sesuai dengan firman Allah:[155]
فاطرالسموات
والارض جعل لكم من انفسكم ازواجا ومن الانعام ازواجا يذرؤكم فيه ليس كمثله شيء وهو
السميع البصير
Kedua, pemenuhan kebutuhan seksual, firman Allah:[156]
والذين
هم لفروجهم حافظون .الا
على ازواجهم او ما ملكت ايمانهم فانهم غير ملومين .فمن ابتغى وراء ذلك فاولئك هم العادون
Ketiga untuk memperoleh ketenangan (saki<nah), cinta (mawaddah
dan kasih sayang (rah}mah).
Dalam firman Allah:[157]
ومن
اياته ان خلق لكم من انفسكم ازواجا لتسكنوا اليها وجعل بينكم مودة ورحمة ان في ذلك
لآيات لقوم يتفكرون
Berdasarkan status dan tujuan
perkawinan tersebut lanjut beliau, dapat ditulis minimal dua catatan sebagai
berikut. Pertama, perkawinan dalam Islam adalah transaksi yang mulia,
melebihi transaksi pada umumnya. Padahal untuk absahnya suatu transaksi (akad) biasa
ada keharusan bahwa orang-orang yang mengadakan taransaksi adalah orang-orang
yang mukallaf, dengan syarat (1) si mukallaf mempunyai akal fikiran yang
berfungsi dengan baik (‘aqil), (2) transaksi dilakukan atas kehendak
sendiri (tidak dipaksa), sesuai dengan an-Nisa>’
(4) : 29.[158] , (3) transaksi
dilakukan oleh orang yang dewasa. Bisa dianalogikan bahwa untuk sahnya
transaksi biasa saja harus dilakukan oleh pihak-pihak yang memenuhi
syarat-syarat tersebut, bagaimana mungkin akad nikah, satu transaksi yang
melebihi transaksi yang biasa dapat dilakukan dengan paksa (tanpa persetujuan
si gadis) dapat dilakukan. Kedua, perkawinan dalam Islam mempunyai
tujuan yang sangat mulia dan melahirkan akibat-akibat hukum yang cukup luas.
Sebab akad nikah merupakan langkah awal untuk menentukan nasib para pasangan
(hidup sebagai suami istiri) selama hidup di dunia. Oleh karena itu, semakin
jelas bahwa mestinya akad nikah dillakukan pihak-pihak dengan penuh kesadaran
dan pertimbangan matang. Tuntunan ini semakin
menunjukkan,bahwa keputusan mempelai sebagai pihak-pihak yang
merasakannya akibat kelak harus benar-benar mendapatkan perhatian.[159]
Perkawinan berkaitan langsung dengan
perasaan wanita, dialah nanti yang akan merasakan manis indah maupun pahit
getirnya perkawinan. Oleh karena itu persetujuan dan kebebasannya dalam
menentukan calon pendampingnya adalah sesuatu yang menentukan dalam perkawinan.[160]
Islam mengariskan salah satu misi
utamanya adalah memperjuangkan hak-hak wanita, maka pandangan yang relevan
dalam persoalan ini adalah memberikan hak kepada wanita untuk memilih pasangan
mereka. Ini akan menunjukkan kemerdekaan pribadi mereka yang “direnggut” secara
sadar atau tidak oleh tradisi yang mengelilinginya.[161]
Berdasarkan hak-hak keIslamannya,
seorang gadis dewasa dapat menolak siapa saja yang ia anggap tidak memenuhi
syarat sebagai suaminya. Tidak yang dapat memaksakan perkawinan kepadanya. Maka
jika dikatakan bahwa apabila ia tidak setuju dengan pernikan yang disodorkan
kepadanya, maka perkawinan itu tidak
sah.[162]
Bila diteliti lebih jauh akan kelihatan
bahwa Ibn Qayyim al-Jawziyyah masih mengakui praktek ijbar terhadap
gadis yang belum dewasa. Hal ini diindikasikan dengan ketika ‘illat
dewasa (balig) sebagai ‘illat yang menentukan ada tidaknya
kebebasan wanita dalam menentukan pasangan.
Balig seperti dituliskan dalam Esiklopedia
Islam di Indonesia bagi wanita adalah ketika wanita mendapat haid, atau
dalam fiqh disebutkan 7 sampai 9 tahun. Dan mayoritas ulama menetapkan batas
usia paling akhir adalah 15 tahun, baik untuk pria maupun wanita.[163]
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, dengan kata
lain masih membolehka adanya praktek perkawinan dibawah umur. Padahal
kematangan umur dari pasangan sangat diperlukan untuk menjaga keutuhan sebuah
rumah tangga.
Berkaitan dengan perkawinan gadis
dibawah umur ada pendapat menarik dari Ibn Syibrimah yang dikutip oleh Wahbah
az-Zuhaili<,
beliau mengatakan bahwa mengawinkan gadis di bawah umur tidak sah, demi
kemaslahatan anak gadis yang bersangkutan, juga keluarga. Pendapat ini
memberikan tuntutan rasional karena rumah tangga itu yang akan menjalani adalah
anak perempuannya maka seorang bapak harus memberikan kesempatan anak gadisnya
untuk tumbuh dan berkembang menjadi orang dewasa, yang dapat memilih jalan
hidupnya serta menentukan jodohnya. Perkawinan hendaknya dilangsungkan setelah
masing-masing mencapai taraf kematangan, baik secara fisik-biologis maupun
mental-psikogis.[164]
D.
Relevansinya Dengan Konteks Sekarang
Ibn Qayyim meyakini bahwa maksud
ditaklifkannya hukum adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindarkan
kemafsadatan bagi manusia. Oleh karena itu, implemenatasi hukum berdasarkan
pada maslahat. Hukum berubah karena pertimbangan maslahat.[165]
perubahan dan perkembangan pemikiran
hukum Islam yang berpijak pada kemaslahatan akan berubah sesuai dengan waktu
dan ruang bukan saja dibenarkan, tetapi merupakan suatu kebutuhan, khususnya
bagi umat Islam yang mempunyai kondisi dan budaya yang berbeda dengan Timur
Tengah, seperti Indonsia. Hal ini didasarkan pada pertimbangan: pertama,
banyak ketentuan-ketentuan hukum Islam yang berlaku di Indonesia
merupakan produk ijtihad yang didasarkan pada kondisi dan kultur Timur Tengah.
Padahal, apa yang cocok dan baik bagi umat Islam di Timur Tengah, belum tentu
baik dan cocok bagi umat Islam di Indonesia. Kedua, kompleksitas masalah
yang dihadapi umat Islam dewasa ini terus berkembang dan semakin beragam.[166]
Pendapat Ibn Qayyim al-Jawziyyah yang
mewajibkan adanya persetujuan anak gadis sesungguhnya sesuai dengan
perundang-undangan yang berlaku di indonesia . Dalam undang-undang
perkawinan no. 1/1974 (ps. 6 ayat (1)[167] jo.
ps. 16 ayat (1)[168] )
KHI menetapkan bahwa salah satu syarat perkawinan adalah persetujuan calon
mempelai.
Manfaat adanya persetujuan adalah agar
masing-masing calon suami istri, memasuki gerbang perkawinan dan berumah
tangga, benar-benar dapat dengan senang hati membagi tugas dan hak kewajibannya
secara proporsional. Dengan demikian tujtuan dari perkawinan itu dapat tercapai
[169]
Bisa dilihat bahwa apa yang menjadi
pendapat dari Ibn Qayyim sejalan dengan perundang-undang di Indonesia, bahkan
boleh dikatakan bahwa maslahat yang dicita-citakan oleh beliau lebih
disempurnakan lagi oleh
perundang-undangan di Indonesia .
Hal ini dibuktikan dengan adanya
perundang-undangan yang mengatur tentang batasan usia pria maupun wanita yang
boleh untuk menikah[170],
dalam perundang-undangan itu tersebut secara jelas disebutkan bahwa batas usia
untuk pria 19 tahun sedangkan untuk wanita 16 tahun.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka
calon suami istri yang telah matang jiwanya agar keduanya dapat mewujudkan
tujuan perkawinan secara baik dan harmonis, dan diharapkan tidak berakhir
dengan perceraian. Kematangan usia diperlukan, karena berdasarkan pengamatan
dan analisis berbagai pihak terhadap kasus-kasus tidak harmonis dan bubarnya
sebuah rumah tangga, seringkali disebabkan oleh ketidak matangan usia dan
ketidakstabilan integritas pribadi, sehingga sangat berpengaruh di dalam
menyelesaikan problem yang muncul dalam bahtera rumah tangga.[171]
Maka jelaslah bahwa dari perspektif maqa>sid asy-syari<‘ah,
konsep maslahah sangat relevan dengan dimensi pluralitas dan dinamika kehidupan
manusia. Sebab dengan konsep maslahah, bukan hanya konsep sisi perubahan
dan perubahan perkembangan zaman saja
yang bisa dianulir, melainkan aspek lokalitas dan dan pluralitas juga tidak
terabaikan, sehingga hukum Islam tidak akan kaku, sesuai dengan arahan
syari‘ah.
Maslahah secara praktis berbeda pada
setiap zaman, maka fiqh sebagai produk dari fuqaha’ harus disesuaikan dengan
konteks sosial dimana fiqh itu diterapkan, namun tentunya tidak bertentangan
dengan tujuan syari‘ah itu sendiri.[172]
Dengan konsep maslahah sebagai faktor
perubahan hukum menjadikan hukum bersifat fleksibel dan dapat beradaptasi
dengan perubahan sosial.[173]
Maslahah sebagai faktor perubahan hukum
bukanlah sesuatu yang baru di dunia Islam. Teori ini dimunculkan oleh Ibn
Qayyim al-Jawziyyah sekitar tujuh abad yang lalu.
BAB
V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian yang telah dipaparkan di atas tentang persetujuan anak gadis dalam
pernikahan menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah berpsendapat harus ada
persetujuan gadis bila ingin menikahkannya. Sementara mayoritas fuqaha’
berpendapat persetujuan gadis hanya sekedar sunat, bahkan bapak sebagai wali
bisa memaksa anak gadis untuk menikah.
2.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam kasus ini berpegang
kepada mantu>q nas}
yang dikuatkan dengan menggunakan ‘illat masa kecil (as}-s}ugr), sedangkan
mayoritas fuqaha’ berpegang kepada mafhu>m
mukha>lafah yang dikuatkan dengan menggunakan ‘illat al-bikr.
3. Dalam
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yakni dalam undang-undang tentang
perkawinan No. 1/1974 (ps. 6 ayat (1) jo. ps. 16 ayat (1) ) KHI menetapkan
bahwa salah satu syarat perkawinan adalah persetujuan calon mempelai. Hal ini
menandakan bahwa perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sesuai dengan pendapat
Ibn Qayyim al-Jawziyyah.
B. Saran-Saran
1.
Dalam memahami persoalan persetujun anak gadis dalam
pernikahannya hendaknya tidak dipahami secara parsial sehingga pemahaman
yang muncul sesuai dengan cita-cita syari‘ah untuk mewujudkan maslahah di
tengah-tengah manusia dapat dirasakan.
2.
Ada satu tambahan
menarik dari Ibn Qayyim al-Jawziyyah, yaitu ketika memberikan kebebasan kepada
anak gadis untuk menentukan calon suaminya,
disamping dengan syarat dewasa beliau juga menambahkan syarat yang
dipenuhi si gadis yaitu si gadis mesti rasyi<dah. Parameter yang
bisa digunakan untuk mengukur sejauh mana rasyi<dah yang dimiliki seorang gadis tersebut adalah dengan
melihat sejauh mana pendidikan yang diperolehnya. Dengan pendidikan yang
diperolehnya diharapkan si gadis lebih siap menghadapi problem-problem yang
muncul dalam rumah tangganya. Alangkah baiknya dalam hal ini, pemerintah
membuat semacam peraturan batas jenjasng pendidikan yang telah diikuti si gadis
maupun calon suaminya ketika akan menikah.
3.
Penelitian berkaitan dengan persetujuan anak gadis dalam
pernikahannya sebagaimanan dilakukan penyusun dalam kesempatan ini masih
terbuka bagi peneliti-peneliti selanjutnya. Selain karena dalam penelitian ini
mengkaji pemikiran tokoh yakni Ibn Qayyim al-Jawziyyah, studi ini belum cukup
untuk ukuran penelitian yang sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Al-qur’an/Tafsir
Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya : CV. Jaya Sakti,1997.
Ismail, Nurjanah,
Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-Laki dalam Penafsiran, cet I ,Yogyakarta : LKiS, 2003
Hadis/
Ilmu Hadis
Bukha>ri<,
S}ah}i<h}
Bukha>ri<,
cet. III, 5 jilid, Beirut :
Da>r al-Fikr,
1401/1981
Da>ud, Abu>,Sunan
Abi<< Da>ud, cet.
I, 4 jilid, Beirut :
Da>r al-Fikr, t.t
Hasby,
ash-Shiddiqi, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis, Jakarta : Bulan Bintang, 1981
Nawawi<, Ima>m an-, S}ah}i<h} Muslim bi Syarh}i an-Nawawi<, cet. V, 18 jilid Beirut : Dar al-Fikr, t.t.
Suyu>ti<, Jala>l ad-Di<n as-, Sunan an-Nasa>’i bi Syarhi
al-H}a>fiz Jala>l ad-Di<n
as- Suyu>ti<, cet. I, 6 jilid, Beirut : Da>r al-Fikr, 1248/1930
Tirmi<zi,<
Abi ‘I<sa>
Muh}ammad bin
Sawrah at- Sunan at-Tirmi<zi,
5 jilid, Beirut : Da>r al-Fikr,
1408/1988
Fiqh/Ushul Fiqh}
Adhim, Mohammad
Fauzil, Kupinang Engkau Dengan Hamdallah, cet. VII, Yogyakarta :
Mitra Pustaka, 1999
Arief, Abd.
Salam, Pembaharuan Pemikiran Islam Antara Fakta dan Realita, cet. I, Yogyakarta : Lesfi, 2003
Asyhar Thobieb
al-, Fiqh Progresif: Menjawab Tantangan Modernitas, cet. I, Jakarta , Fkku Press, 2003
Halim, Abdul,“Ijtihad
Kontemporer: Kajian Terhadap Beberapa Aspek Hukum Keluarga Islam Indonesia ,”
dalam Ainurrofiq (ed.), Mazhab Jogja: Menggagas Paradigam Ushul Fiqh
Kontemporer, cet. I, Yogyakarta : Fakults
Syari‘ah IAIN Sunan Kalijaga + ar-Ruzz Press, 2002
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh I, cet. I, Jakarta : Logos Publishing House, 1996
Hosen, Ibrahim, Fiqh
Perbandingan Masalah Pernikahan, cet. I, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2003
Ibn Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid Wa Niha>yah Al-Muqtas}id (Analisa Fiqh Para Mujtahid), alih
bahasa Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, cet. II, 3 jilid, Jakarta :
Pustaka Amani, 2002
Ikhsanuddin
K.M., dkk. (ed.), Panduan Pengajaran Fiqh Perempuan di Pesantren
,Yogykarta: Yayasan Kesejahteraan Fatayat, t.t.
Jawziyyah, Ibn Qayyim al-, Za>d
Al-Ma‘a>d, 4 jilid, Mesir: Mus{t}a>fa> al-Ba>bi< al-H}alibi< wa Awla>dih,1390/ 1970
, I‘lam
al-muwaqqi‘i<n, 4 jilid, Beirut : Da>r
al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1991
Jazi>ri>, ‘Abdul ar-Rah}ma>n al-, al-Fiqh ‘ala> al-Maza>hib al-Arba‘ah, 4 jilid, Beirut :
Da>r
al-Afka>r, t.t.
Mas‘udi, Husein,
Fiqh Perempuan Refleksi Kiyai Atas Wacana Agama dan Gender, Yogykarta:
LKiS, 2001
Mas‘udi, Masdar
F.,“Meletakkan Maslahat Sebagai Kerangka Acuan Syari‘ah”, Ulumul Qur’an,
Vol. 4: 3, 1995
Mughniyyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, alih bahasa
Masykur A.B dkk., cet. V, Jakarta :
PT.Lentera Basritama, 2000
Nasution, Khoiruddin, Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum
Perkawinan I), cet. I, Yogyakarta :
Academia + Tazzafa, 2004
Nasution,
Khoruddin,”Mensikapi Kitab-Kitab Fikih Konvensional dalam Menjamin Hak Wanita
dalam Menentukan Pasangan”, asy-Syir‘ah, No. 8, 2001
Qaradhawi, Yusuf
al-, Bagaimana Berinteraksi Dengan Peninggalan Ulama Salaf, alih bahasa
Ahrul Tsani Fathurrahman dan Muhtadi Abdul Mun‘im, cet. I, Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2003
, Fatwa-Fatwa Kontemporer, alih bahasa As’ad Yasin Jakarta: Gema
Insani Press
Rahman, Asymuni A., Reaktualisasi Hukum Islam Kearah Fiqh Indonesia , Yogyakarta : Forum Studi Hukum Islam Fakultas Syari’ah
IAIN Sunan Kali Jaga, 1994
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, cet IV, Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2000
Shiddieqi, M.
Hasby ash-, Filsafat Hukum Islam, cet. V, Jakarta : Bulan Bintang, 1993
, Pengantar
Fiqh Muamalah, cet. IVX, Semarang :
PT. Pustaka Rizi Putra, 2001
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, cet. I, Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2002
Syaltut, Mahmud, Akidah dan Syari’at Islam,alih bahasa Fahruddin
Hs. cet. III, Jakarta :
Bumi Aksara, 1994
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh II, cet. II, 2 jilid, Jakarta : Logos Wacana
Ilmu, 2001
, Pembaharuan
Pemikiran Dalam Hukum Islam
(Padang: Angkasa Raya, 1990), hlm 294
Syubbag, Mahmud asy-, Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islam, alih
bahasa Bahruddin Fanani, cet. III, Bandung :
Remaja Rosda Karya, 1994
Lain-lain
Bek, M. Khud}a>ri< ,Ta>rikh
at-Tasyri’ al-Isla>mi<
, Mesir: Asy-Sya’dah, 1454
Departemen Agama.
RI, Ensklopedi Islam di Indonesia, 3 jilid, Jakarta : CV. Anda Utama, 1993
Gunadi, RA. dan
M. Shoelhi (peny.), Khazanah Orang Besar Islam, Dari Penakluk Jerusalem
Hingga Angka Nol, cet. II, Jakarta :
Republika, 2003
J., Moleong, Lexi, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. XVI
Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002
Jawziyyah, Ibn
Qayyim al-, Hijrah Paripurna Menuju Allah Dan Rasulnya, alih bahasa
Fadhli Bahri, cet. I Jakarta :
Pustaka Azzam, 1999
, Kalimah Tayyibah, Alih Bahasa Kathur
Suhardi, cet. III, Jakarta :
Pustaka al-Kautsar, 1999
, Pesona
Keindahan, alih bahasa Hadi Mulyono, cet. I, Jakarta : Pustaka Azzam, 1999
Khamenei, S. M.,
Risalah Hak Asasi Wanita: Studi Komparatif antara Pandangan Islam Dan
Deklarasi Universal HAM, alih bahasa Quito R. Motinggo, cet. I, Jakarta : al-Huda, 2004
Lewis, Bernard (ed.) dkk., Encyclopedia Of Islam,
Leiden : E.J
Brill, 1973, III
Mansur, M. Laily, Ajaran dan Teladan Para Sufi,
cet. I, Jakarta :
PT. Raja Grapindo Persada, 1996
Nasution,
Khoiruddin, Pengantar Studi Islam, cet. I, Yogyakarta :
Academia + Tazzafa, 2004
Surakhmad, Winarno, Pengantar
Penelitian-Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, Teknik, cet. V, Bandung : Tarsito, 1994
Undang-Undang Perkawinan di
Indonesia, Surabaya :
Arkola, t.t.
LAMPIRAN I
TERJEMAHAN
BAB
|
HLM
|
FN
|
TERJEMAHAN
|
I
|
1
|
3
|
"Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir".
|
I
|
10
|
18
|
"Dan tiadalah Kami mengutus
kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam".
|
I
|
10
|
20
|
"Sesungguhnya Tuhanmu Maha
Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki".
|
II
|
21
|
20
|
"Dan tidaklah patut bagi
laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila
Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah
dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata".
|
II
|
22
|
24
|
"Aku tidak mengetahui sesuatu
yang menolaknya".
|
II
|
23
|
28
|
"Orang-orang yang terdahulu lagi
yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar
dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka
dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar".
|
II
|
24
|
30
|
"Sesungguhnya telah berlalu
sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; karena itu berjalanlah kamu di muka bumi
dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)".
|
II
|
25
|
31
|
"Dan sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)
-Nya bahwa kamu melihat bumi itu kering tandus, maka apabila Kami turunkan
air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan Yang
menghidupkannya tentu dapat menghidupkan yang mati; sesungguhnya Dia Maha
Kuasa atas segala sesuatu".
|
II
|
29
|
36
|
"Dari Khansa' binti Khidam bahwa
bapaknya menikahkannya, sedang ia janda. Ia tidak menyetujui; karena itu, ia
datang mengadu kepada Rasul, lalu Rasul menolak pernikahannya ".
|
II
|
30
|
37
|
"Bahwa seorang gadis datang
kepada Rasulullah menerangkan bahwa bapaknya telah menikahkannya sedang ia
tidak setuju; maka rasulullah memberikan hak khiyar (memilih) kepadanya
".
|
II
|
30
|
38
|
"Tidak dinikahkan seorang gadis
sehingga diminta izinnya.
|
II
|
30
|
39
|
"Seorang gadis diminta izin
tentang dirinya dan izinnya adalah diamnya ".
|
II
|
31
|
42
|
"Seorang gadis dimintai
izin".
|
II
|
32
|
44
|
"Tidak dinikahkan seorang gadis
sehingga dimintai izin"
|
II
|
33
|
47
|
"Tidak dinikahkan seorang janda
sehingga dimintai perintahnya, tidak dinikahkan seorang gadis sehingga
dimintai izin ".
|
II
|
34
|
48
|
"Seorang janda lebih berhak
terhadap dirinya dari pada walinya, sementara seorang gadis bapaknya meminta
izinnya ".
|
II
|
35
|
50
|
"Seorang janda lebih berhak
terhadap dirinya dari pada walinya".
|
II
|
36
|
51
|
"Dan gadis bapaknya meminta
izinya".
|
II
|
36
|
52
|
"Seorang janda lebih berhak
terhadap dirinya dari pada walinya".
|
III
|
39
|
6
|
"Tidak ada perintah wali
terhadap janda; dan anak gadis yang tidak mempunyai bapak (yatim) dimana
perintahnya dan diamnya adalah pengakuannya ".
|
III
|
42
|
15
|
"Dari A<isyah ia berkata:
aku bertanya kepada Rasulullah, apakah wanita itu diminta perintahnya
mengenai pernikahannya? Rasulullah mengiyakannya. Aku bertanya lagi: gadis
diminta izinya (perintahnya), maka ia malu-malu lalu diam. Kemudian Rasul
bersabda: diamnya adalah izinmya ".
|
III
|
42
|
16
|
"Dari A<isyah bahwa
seorang wanita muda mendatanginya kemdian si wanita bercerita: bapakku telah
menikahkanku dengan anak saudaranya untuk mengangkat drajatnya dengan
perantaraanku dan aku benci. Kemudian aisyah berkata tunggulah sampai rasul
datang. Maka ketika rasul datang si wanita itu kemudian menceritakan perihal
dirinya kepada beliau. Rasul kemudian mengutus seseorang untuk memberikan
pengarahan kepada bapak si wanita. Lalu urusan itu diserahkan sepenuhnya
kepada si wanita. Kemudian wanita itu berkata: sesungguhnya aku telah
mengizinkan (membenarkan) perbuatan bapakku itu, tetapi aku hanya ingin
memberitahukan kepada para wanita bahwa bapaknya tidak mempunyai urusan (hak)
apa pun ".
|
III
|
45
|
23
|
"Tidak ada pernikahan tanpa
wali".
|
III
|
48
|
31
|
"Dan bermusyawaratlah dengan
mereka dalam urusan itu".
|
III
|
49
|
37
|
"Dan perempuan-perempuan yang
tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu
ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan
begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan
yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya. Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah
menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya".
|
III
|
50
|
39
|
"Dari A<isyah ia berkata:
Rasul menikahihu ketika aku berumur enam tahun dan serumah denganku ketika
aku berumur sembilan tahun".
|
IV
|
52
|
4
|
"Mereka itu adala pakaian bagi
kamu, dan kamu pun pakaian bagi mereka".
|
IV
|
53
|
5
|
"Dan janganlah kamu membunuh
anak-anak kamu karena takut kemiskinan".
|
IV
|
53
|
6
|
"Hai orang-orang yang beriman,
tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa"- "Bagi
laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan
bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan."
|
IV
|
54
|
10
|
"Bahagian seorang anak lelaki
sama dengan bahagian dua orang anak perempuan".
|
IV
|
60
|
22
|
(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia
menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis
binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak
dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah
Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
|
IV
|
60
|
23
|
Dan orang-orang yang memelihara
kemaluannya kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang
mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa
mencari yang dibalik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui
batas..
|
LAMPIRAN II
BIOGRAFI TOKOH
Asy-Syātibī
Nama lengkapnya adalah Abū Ishāq Ibrāhīm bin Musā Muh}ammad al-Lakhmī asy-Syātibī al-Garnādi. Ia belajar di
Branada, yakni kota
kerajaan Bani Nasr. Beliau sangat selektif terhadap kitab-kitab yang dikajinya
dan fanatik dengan kitab-kitab sehingga mengesampingkan buku-buku karya ulama'
sesamanya. Di samping itu, beliau juga banyak mengkaji karya-karya al-Juwaini,
al-Gazali, ar-Rāzī, al-Qarāfi, dan lain-lain. Ia meninggal dunia pada hari
senin 8 Sya‘ban 790 H, yang bertepatan pada ranggal 30 Agustus 1388 M. di
antara karya-karyanya yanga terkenal ialah al-Muwa>faqah dan al-I'tis}a>m
Hamka
Nama lengkapnya ialah Haji abdul Karim
Amrullah , ia
merupakan ulama' yang produktif dalam menulis dan mubalig besara yang
berpengaruh di Asia Tenggara. Beliau lahir pada tanggal 16 Pebruari 1908 di
Maninjau Sumatera Barat. HAMKA merupakan ketua MUI yang pertama, di samping itu
beliau juga seorang pujangga yang banyak mengarang buku-buku roman, di
antaranya ialah: Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil,
dan Di Tepi Sungai Dajlah. Sebelumnya ia menulis: Di Bawah Lindungan
Ka'bah (1938), Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1939), Merantau
di Deli, serta biografi orang tuanya dengan judul: Ayahku (1949). HAMKA adalah salah satu seorang yang
banyak meninggalkan karya-karya bagi bangsa Indonesia , terhitung di antara
judul buku yang dituliskannya lebih kurang 118 buah. Pada tanggal 24 Juli 1981
di Jakarta ia
menghembuskan nafas terakhir. Buku-buku atau kitab-kitabnya yang paling
terkenal dan dikutip oleh sarjana-sarjana (kaum intlektual), yaitu kitab Tafsir
al-Azhar yang telah ditulisnya sebanyak 30 jilid
bn Rusyd
Nama lengkapnya adalah Abu< al-Wali<d Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Rusyd, lahir
di Cordova, Andalusia pada tahun 520 H/1126 M
dalam sebuah keluarga yang terkenal
sebagai pakar hukum Islam. Ayahnya, kakeknya, malah ibn Rusyd sendiri terkenal
sebagai pakai hukum Islam pada masanya. Diantara karya-karyanya yang terkenal
antara lain adalah Bida>yah
al-Mujtahid wa Niha>yah al-Muqtas}id, buku ini mengangkat
persoalan hukum Islam, kemudian buku al-Kulliyah fi< At}-T}ib, yang
membicarakan seputar medis. Beliau termasuk di antara para pendukung kebebasan kehendak.
Tapi menurutnya, kebebasan ini ada batasnya. Sebab, manusia dan mahkluk tunduk
di bawah hukum alam yang diciptakan Allah. Beliau wafat dalam usia 71 tahun,
pada tahun 595 H/1198 M.
Imām asy-Sya>fi‘i<
Imam Syafi'i nama lengkapnya ialah Muh}ammad
bin Idrīs asy-Sya>fi'ī
al-Quraisyi, ia dilahirkan di Gazza pada tahun 150 H. bertepatan dengan
wafatnya imam Abu>
Hani>fah. Beliau
dikenal sebagai pendiri mazhab Sya>fi'i<.
Imam Syafi'ī berasal dari keluarga yang tidak mampu dan dibesarkan dalam
keadaan yatim. Sejak kecil beliau giat mempelajari hadis dari ulama' hadis yang
ada di Makkah, dan disaat usianya yang belum balig ia telah hafal Al-Qur'an.
Ketika berumur 20 tahun ia meninggalkan kota
Makkah, guna mempelajari ilmu fiqh dari imam Mālik kemudian setelah itu ia
pergi ke Iraq
untuk mempelajari ilmu fiqh dari murid imam Hanafī. Setelah imam Mālik
meninggal dunia beliau pergi ke Yaman, di sana
ia menetap dan mengajarkan ilmunya. Tak lama setelah itu ia kembali ke Makkah
dan mengajar rombongan jama'ah haji yang datang dari berbagai penjuru dunia.
Karya-karya beliau yang termasyhur ialah kitab al-Umm dan ar-Risa>lah yang
merupkan karyanya yang monumental dalam bidang usul fiqh.
LAMPIRAN III
CURRICULUM VITAE
Nama : Musa Aripin
Tempat/ Tgl Lahir : Simangambat/ 15 Desember 1980
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Nama Orang Tua/ Wali
Ayah : H. Ali Imran Hutajulu
Ibu : Hj. Mas Bulan Harahap
Pekerjaan Orang Tua/ Wali
Ayah : Pegawai Negri Sipil (PNS)
Ibu : Pegawai Negri Sipil (PNS)
Alamat
Orang Tua/ Wali :
Simangambat Kec. Siabu Kab. Mandailing Natal Propinsi Sumatra Utara
Riwayat Pendidikan:
- SDN. No. 1 Simangambat, lulus tahun 1994
- MTs Musthafawiyah Purba Baru, lulus tahun 1998
- MA Musthafawiyah Purba Baru, lulus tahun 2001
- Masuk UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2001
[1] Mahmud asy-Syubbag, Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islam,
alih bahasa Bahruddin Fanani, cet. III (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994),
hlm. 23
[4] Mahmud Syaltut, Akidah dan Syari‘at Islam,alih bahasa
Fahruddin HS., cet.III (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm. 157-163.
[5] Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, alih
bahasa As’ad Yasin, cet. II (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), II: 467.
[6] Dikutip oleh Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami
Dan Istri (Hukum Perkawinan I), cet. I (Yogyakarta :
Academia + Tazzafa, 2004), hlm. 79
[7] Ibid., hlm. 85-92
[8] Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Za>d al-Ma‘a>d (Mesir: Mus{t}a>fa> al-Ba>bi< al-H}alabi< wa Awla>dih,1390/ 1970), IV: 3
[9] Sholahuddin Siregar ,“Telaah
Atas Konsep Ibn Qayyim al-Jawziyah Tentang Sadd az|-Z|ari<’ah dan Aplikasinya dalam
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia”. Skripsi tidak diterbitkan, Fakultas
Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2001)
[10] Ikmal Munthador, “Hiyal Menurut Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah”,
skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syari‘ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
(2003)
[11] Musthofa Kamal, “Ijbar dan Kebebasan Wanita dalam Menentukan
Pasangan Perspektif Mahmud Syaltut”, skripsi tidak diterbitkan, Fakultas
Syari‘ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2003)
[12] Niswatul Imamah, “Pemikiran Ibnu Taimiyah Tentang Hak Ijbar Wali
Nikah,” skripsi tidak diterbitkan, Fakultas Syari‘ah UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta (2003)
[14] Ibn Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid Wa Niha>yah Al-Muqtas}id (Analisa Fiqh Para Mujtahid), alih bahasa Imam Ghazali Said
dan Achmad Zaidun, cet. II (Jakarta :
Pustaka Amani, 2002)
[15] Muhammad Jawad Mughniyah.,Fiqih Lima Mazhab, alih bahasa
Masykur A.B dkk., cet. V (Jakarta :
PT.Lentera Basritama, 2000)
[16] Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri
(Hukum Perkawinan I), cet. I (Yogyakarta :
Academia + Tazzafa, 2004)
[17] Abd. Salam Arief. Pembaharuan Pemikiran Islam Antara Fakta dan
Realita, cet. I (Yogyakarta : Lesfi, 2003),
hlm. 83
[18] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, cet. I (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002),
hlm. 3
[19] Muhammad Hasby ash- Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, cet.
IVX (Semarang :
PT. Pustaka Rizi Putra, 2001), hlm. 24
[22] Mereka berpendapat bahwa bukan untuk memaslahatkan umat itu Allah
menetapkan hukum. Jadi, tujuan syari‘ah itu bukan untuk memaslahatkan umat,
meskipun semua hukum Allah itu tidak luput dari kemaslahatan. Lihat Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh II, cet. II (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2001), hlm.
206
[24] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II, hlm. 206
[25] Dikutip oleh Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, cet. I (Jakarta:
Logos Publishing House, 1996), hlm. 114
[26] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II, hlm. 326
[27] Dikutip oleh Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, hlm. 114
[28] Ibid.
[29] Asymuni A. Rahman, Reaktualisasi Hukum Islam Kearah Fiqh
Indonesia, (Yogyakarta: Forum Studi Hukum Islam Fakultas Syari’ah IAIN
Sunan Kalijaga, 1994), hlm. 135
[30] deskriptif analisis, yaitu
suatu penelitian yang meliputi proses pengumpulan data, penyusunan, dan
penjelasan atas data. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dan
diinterpretasi sehingga metode ini sering disebut metode penelitian analitik.
Ciri yang mendasar dari metode ini adalah bahwa ia lebih memusatkan diri pada
pemecahan msalah-masalah aktual. Lihat Winarno Surakhmad, Pengantar
Penelitian-Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, Teknik, cet. V (Bandung: Tarsito,
1994), hlm. 139-140
[31] Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Za>d al-Ma’a>d (Mesir: Mus{t}a>fa> al-Ba>bi< al-H}alabi< wa Awla>dih,1390/ 1970)
[32] Muhammad Jawa>d al-Mugniyyah, Fiqih Lima Mazhab, alih bahasa Masykur A.B,
cet. V (Jakarta :
PT.Lentera Basritama, 2000)
[33] Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami dan Istri
(Hukum Perkawinan I), cet. I (Yogyakarta :
Academia + Tazzafa, 2004)
[34] Maksud pendekatan normatif adalah studi Islam yang memandang
masalah dari sudut legal/formal dan atau normatifnya. Maksud legal-formal
adalah hubungannya dengan halal dan haram, boleh atau tidak. Dan sejenisnya.
Sementara normatif adalah seluruh ajaran yang terkandung dalam nash. Dengan
demikian, pendekatan normatif mempunyai cakupan yang sangat luas. Lihat
Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, cet. I (Yogyakarta :
Academia + Tazzafa, 2004), hlm. 141
[35] Analisis induktif dalam penelitian kualitatif digunakan karena
beberapa alasan. Diantaranya adalah dengan proses induktif lebih dapat menggali
kenyataan-kenyataan ganda yang terdapat dalam data; analisis induktif lebih
dapat membuat hubungan peneliti dengan objek menjadi lebih eksplisit; analisis
lebih dapat meguraikan latar secara penuh dan dapat membuat keputusan-keputusan
tentang dapat tidaknya pengalihan kepada suatu latar lainnya. Lihat Lexi J.
Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. XVI (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 2002), hlm.
5
[36] Ima>m an-Nawawi<, S}ah}i<h}
Muslim bi Syarh}i
an-Nawawi<, cet V (beirut :
dar al-fikr, t.t.), IX: 202, “Kita>b
an-Nika>h}”, “Ba>b
Isti’z|an fi< an-nika>h} bi an-Nut}q wa al-Bikr bi as-Su>kut,Sanad hadis ini marfu>‘ muttas}il, hadis dari Sa‘i<d bin Mansu>r
dan Qutaibah bin Sa‘i<d
diceritakan Sufya>n diceritakan Jiya>d
bin Sa‘Ad
[37] Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Perkawinan, cet I (Jakarta : Pustaka Firdaus,
2003), I: 207
[38] Ibid.
[39] Bukha>ri<, S}ah}i<h}
Bukha>ri<,
cet. III (Beirut: Da>r
al-Fikr, 1401/1981), V: 135, “Kita>b
an-Nika>h}”, “Ba>b
Iz}a> Zawwajahu Ibnatahu wa Hiya Ka>rihah fa Nika>huhu Mardu>d”. Sanad hadis ini marfu>‘ muttas}il, hadis diceritakan oleh Isma>il diceritakan Ma>lik dari Abdul ar-Rah}ma>n.
[40] Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan, hlm. 209
[41] Jala>l ad-Di<n
as-Suyu>ti<,Sunan an-Nasa>’i bi Syarhi al-H}a>fiz
Jala>l ad-Di<n as-Suyu>ti<, , cet I (Beirut: Da>r al-Fikr, 1248/1930), VI: 85, “Kita>b an-Nika>h}”, “Ba>b
Isti’z}a>n al-Bikr Fi< Nafsiha>, sanad hadis
ini marfu>‘ muttas}il,
hadis diceritakan oleh Muh}ammad bin Ra>fi‘ diceritakan oleh ‘Abdul
ar-Razza>q diceritakan oleh Mu‘ammar bin ar-Ra>syid dari
S}a>lih} bin Kaisa>n
[42] Ibid., hlm. 209
[43] Ibid.
[44] Ibid.
[45] Ima>m an-Nawawi<, S}ah}i<h}
Muslim bi Syarh}i
an-Nawawi<, cet V (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.), IX: 202, “Kita>b an-Nika>h}”, “Ba>b
Isti’z|an fi< an-nika>h} bi an-Nut}q wa al-Bikr bi as-Suku>t,Sanad hadis ini marfu>‘ muttas}il, hadis diceritakan ‘Ubaidillah bin ‘Umar bin Maisarah al-Qawa>ri<ri< diceritakan Kha>lid
bin al-H}a>ris
diceritakan Hisya>m bin Yah}ya>.
[46] Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Perkawinan, cet I (Jakarta : Pustaka Firdaus,
2003), hlm. 211
[47] Abu> Da>ud, Sunan
Abi<< Da>ud, cet. I (Beirut : Da>r
al-Fikr,t.t.), II: 232, hadis nomor 2096,”Kita>b an-Ni<kah”, “Ba>b al-Bikr Yuzawwijuha> Abu>ha> wa la> Yasta’miruha>.” sanad hadis ini marfu>‘ muttas}il, hadis diceritakan oleh Us|ma>n bin Abi< Syaibah diceritakan oleh H}usain bin Muhammad
diceritakan oleh Jari<r bin H}azi<m.
[48] Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan., hlm. 212
[49] Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Zaadul Ma‘ad (Bekal Menuju Akhirat),
alih bahasa Kathur Suhardi, cet V (Jakarta :
Pustaka Azzam, 2004), V: 386
[50] Bukha>ri<, S}ah}i<h}
Bukha>ri<,
cet. III (Beirut: Da>r
al-Fikr, 1401/1981), V: 135, “Kita>b
an-Nika>h}”, “Ba>b
la> Yaju>zu Nika>h} al-Mukrah”. Sanad hadis
ini marfu>‘ muttas}il, hadis diceritakan oleh Muh}ammad bin Yu>suf dari Sufya>n bin
Sa‘i<d dari ‘Abdul al-Ma>lik bin
Juraij
[51] Jala>l ad-Di<n
as-Suyu>ti<,Sunan an-Nasa>’i bi Syarhi al-H}a>fiz
Jala>l ad-Di<n as-Suyu>ti<, , cet I (Beirut: dar al-fikr, 1248/1930), VI: 86-87, “Kita>b an-Nika>h}”, “Ba>b
al-Bikr Yuzawwijuha> Abu>ha> wa Hiya Ka>rihah, sanad hadis ini marfu>‘ muttas}il, hadis diceritakan oleh Ziya>d bin Ayyu>b diceritakan ‘Ali< bin Gura>b diceritakan oleh Kahmas bin al-H}asan
[52] Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan., hlm. 213
[53] Ibn Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid Wa Niha>yah Al-Muqtas}id (Analisa Fiqh Para Mujtahid), alih bahasa Imam Ghazali Said
dan Achmad Zaidun, cet II (Jakarta :
Pustaka Amani, 2002), II: 398-404
[54] Dikutip oleh Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami
Dan Istri (Hukum Perkawinan I), cet I (Yogyakarta :
Academia + Tazzafa, 2004), hlm. 70
[56] Ibid., hlm. 71
[57] lihat catatan kaki no. 1
[58]
Abi ‘I<sa> Muh}ammad bin
Sawrah, Sunan at-Tirmi<zi< (Beirut: Da>r al-Fikr, 1408/1988), III: 407, hadis nomor 1101, “Kita>b an-Nika>h}”,
“Ba>b Ma> Ja>'a illa bi Waliyyi", Sanad hadis ini marfu>‘ muttas}il,
hadis dari ‘Ali bin H}ujr
diceritakan Syari<k bin ‘Abdullah dari Abi< Ish}aq
[60] Dikutip oleh Khoiruddin
Nasution, Islam: Tentang Relasi, hlm. 75
[61] عن خنساء بنت خدام
زوجها ابوهاوهى كارهة وكانت ثيبافاتت رسول الله صلى الله عليه وسلم فردنكاحها Lihat
catatan kaki no. 4
[62] Dikutip oleh Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi, hlm.
77
[63] Ibid.
[64] Muhammad Jawa>d al-Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab, alih bahasa Masykur A.B. dkk.cet V
(Jakarta : PT.
Lentera Basritama, 2000), hlm. 345
[65] Hal ini didukung pernyataan ulama Sya>fi‘iyyah bahwa apabila bapak sebagai wali tidak perlu lagi meminta izin
kepada anak gadisnya apabila telah memenuhi ketujuh syarat berikut: pertama,
antara bapak dengan anak tidak ada permusuhan. Kedua, anatara si anak gadis
dengan calon suaminya tidak ada permusuhan. Ketiga, calon suaminya sekufu’.
Keempat, calon suami sanggup memberikan mahar. Kelima, mahar yang sesuai.
Keenam, mahar merupakan mata uang setempat, ketujuh mahar dibayar kontan, lihat
‘Abdul ar-Rah}ma>n al-Jazi>ri>, al-Fiqh ‘ala al-Maza>hib al-Arba‘ah (Beirut :
Da>r al-Afka>r, t.t.), IV: 35
[67] Dikutip oleh Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi, hlm.
84
[68] عن خنساء بنت خدام
زوجها ابوهاوهى كارهة وكانت ثيبافأتت رسول الله صلى الله عليه وسلم فردنكاحها Lihat
catatan kaki no. 4
[70] Dikutip oleh Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi, hlm.
85
[71] Ibid., hlm. 88
[73] Dikutip oleh Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi, hlm.
89
[74] Ima>m an-Nawawi<, S}ah}i<h}
Muslim bi Syarh}i
an-Nawawi<, cet V (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.), IX: 202, “Kita>b an-Nika>h}”, “Ba>b
Tazwi<j al-A<b al-Bikr as}-S}agi<rah,Sanad
hadis ini marfu>‘ muttas}il, hadis diceritakan Yah}ya> bin Yah}ya> Abu Mu'a>wiyah dari Hisya>m bin Urwah.
[76] Ibid.
[77] Ibid.
[78] Ibid.
[79] Depag. RI, Ensiklopedia Islam di Indonsia , (Jakarta: CV.
Anda Utama, 1993), II: 403
[80] mengenai tahun masehi dari
tahun wafatnya terdapat perbedaan. Dalam Dairah al-Ma‘a>rif
al-Isla>miyyah disebutkan tahun 1356 M. Tetapi di dalam Encyclopedia Of Islam dan
dalam karya Ibn Qayyim al- Jawziyyah sendiri seperti di dalam I’lam
al-Muwa>qi’in dan Z|a>d al-Ma‘a>d disebutkan 1350 M.. Menurut
Mukhtar Basya, tahun kelahiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah 691 H tersebut
bertepatan dengan 1292 M. Sedangkan tahun wafatnya 751 H bertepatan dengan
tahun 1350 M. lihat Muhammad Mukhtar Basya, at-Taufiq al-Ilhamiyyah (Mesir: at-Atmiriyyah, 134 H), hlm. 346. Dari
beberapa sumber tersebut hanya dalam Dairat al-Ma‘a>rif
al-Isla>miyyah, yang menyebutkan tahun wafat Ibn Qayyim al-
Jawziyyah yaitu
tahun 1356 M. sedangkan dalam beberapa sumber lainnya termasuk karya beliau sendiri
menyebutkan 1350 M., jadi tahun 1350 M. sebagai tahun wafat beliau lebih dapat diterima
karena terdapat dalam karyanya.
[81] Bernard Lewis (ed.) Dkk., Encyclopedia Of Islam (Leiden: E.J
Brill, 1973), III: 821
[82] RA. Gunadi dan M. Shoelhi (peny.), Khazanah Orang Besar Islam, Dari
Penakluk Jerusalem Hingga Angka Nol, cet. II (Jakarta : Republika, 2003), hlm. 107
[83]Disamping fungsinya sebagai tempat menuntut ilmu, madrasah
al-Juwziyyah ini juga dipakai sebagai Mah}kamah Syari<’iyyah bagi mazhab H}anbali< di Damaskus. Bernard Lewis (ed.) dkk., Encyclopedia Of Islam,
hlm. 821
[84] Ibn Qayyim al-
Jawziyyah, Hijrah Paripurna Menuju Allah dan
Rasulnya, alih bahasa Fadhli Bahri, cet. I (Jakarta: Pustaka Azzam, 1999),
hlm. 9
[85] Diantara guru-gurunya adalah asy-Syi<hab an-Nablisi<
al-‘a<bid, al-Q}a>d}i< Taqi< ad-Di<n Sulaima>n (Ibn Taimiyyah), Fat}i<mah binti Jawhar, I<sa> al-Mut}a>‘im,
Abu> Bakr bin ‘Abdul ad-Da>im. Tetapi yang paling banyak mempengaruhi pemikirannnya
adalah Ibn Taimiyyah. Bahkan kelak bersama sang guru, beliau menjadi salah satu
tokoh penganjur kebebasan berfikir. Menentang ajaran-ajaran yang dikembangkan
kelompok al-Mu‘ti<}lah, al-Jahmiyyah, dan al-Mukha>lifah. Ibid., hlm. 107
[86] Depag. RI, Ensiklopedia, II: 403
[87] Beliau pernah dipenjara
bersama gurunya itu pada akhir kehidupannya di sebuah benteng karena menentang
acara ziarah kekuburan al-Khalil (Nabi Ibrahim A.S ). Selama dipenjara, beliau
selalu membaca al-Qur’an dan melakukan perenungan-perenungan, justru kehidupan
penjara banyak membuka cakrawala pemikirannya mengenai berbagai persoalan
kehidupan. Beliau baru dikeluarkan di penjara setelah Ibn Taimiyyah meninggal
dunia. Lihat Ibn Qayyim al- Jawziyyah, Kalimah Tayyibah, Alih
Bahasa Kathur Suhardi, cet. III (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1999), hlm. 107
[88] Ibid.,hlm. 14
[89] Amir Syarifudin, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam
(Padang: Angkasa Raya, 1990), hlm 294
[91]M. Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, cet. I
(Jakarta: PT. Raja grapindo Persada, 1996), hlm. 222
[92] Hal ini disebabkan mazhab
resmi yang berlaku dan diakui oleh pemerintah di Damaskus ketika itu adalah
mazhab Sya>fi‘i<. ini bisa dilihat dari
satu-satunya gedung pengadilan (Mah}kamah Syari<‘ah) yang ada pada saat itu
hanyalah pengadilan agama mazhab Sya>fi‘i< yang diketuai oleh Ta>qi<< ad-Di<n as-Subki. Sedangkan
pengadilan mazhab H}anbali< sendiri tidak pernah memiliki
gedung pengadilan, sehingga untuk kepentingan itu madarasah al-Jawziyyah sering dialih fungsikan menjadi
tempat pengadilan agama mazhab H}anbali<. Lihat Bernard Lewis (ed.)
dkk., Encyclopedia Of Islam , hlm. 821
[93] Diantara murid-muridnya atau yang dipengaruhi oleh ide-ide dan
ajaran-ajarannya adalah Ibn Kas|ir, seorang tradisionalis bermazhab Syafi‘i< ,
Zain ad-Di<n bin Rajab, seorang ahli sejarah, Ibn Hajar al-‘Asqalani<,juga Ibn Quda>mah al-Maqdi<si<, seorang pemuka ahli Hadis dan Fiqh, Syams ad-Di<n Abu> ‘Abdillah Muh}ammad bin ‘Abdul Qadi<r bin Muhyy ad-Di<n Usamah bin ‘Abdul Ar-Rah}ma>n al-H}anbali<, serta kedua putranya sendiri, yakni Ibra>hi<m, pakar ilmu Fiqh, Nahw dan S}araf
dan Syari<f ad-Di<n
‘Abdullah yang menggantikan mengajar ayahnya di madarash S}adriyyah. Lihat Ibn Qayyim al-
Jawziyyah, Pesona Keindahan, alih bahasa Hadi
Mulyono, cet. I (Jakarta: Pustaka Azzam, 1999), hlm 174-175
[94] Warisan Ibn Qayyim al-
Jawziyyah
berupa kitab-kitab yang ditulisnya banyak sekali. Diantaranya I‘lam
al-Muwa>qqi’i<n Rabb al-‘A<lami<n, kitab T}uruq al-H}ukmiyyah Fi< as-Siya>sah asy-Syari<‘ah, kitab Igasta al-Lah}fan, kitab Ahka>m Ahlu az|-Z|immah. Kitab di atas dalam bidang
Fiqh. Dalam bidang ilmu Kalam antara lain al-Kahfiyyah Al-S}afiah Fi al-Intis}a>r Li al-Farq an-Najiyyah, asy-Syifa’ al-‘A<qil Fi Masa>il al-Qa>d}a
wal Qadr
wal H}ikmah, kitab ar-Ru>h,dan lain-lain. Dalam bidang
Tasawuf antara lain Mada>rij as-Sa>liki<n Baina Al-Manzil Iyyaka
Na’budu Wa Iyyaka Nasti‘i<n, Rawd}ah al-Muh}ibbin Wa Nuzhah al-Mustaqi<m, al-J<awab al-Ka>fi< liman sa’ala ‘an ad-Dawa>’ asy-Sya>fi<.[94] Lihat Ibid., hlm. 223
[95] Ibn Qayyim al-
Jawziyyah hidup pada akhir abad ketujuh Hijriah dan
awal ke delapan atau akhir abad ketiga belas dan pertengahan abad keempat belas
Masehi, yang dalam sejarah disebut sebagai abad pertengahan keadaan politik
dunia Islam saat itu sangat memprihatinkan sekali, saat itu negri Islam
bagaikan sebuah kekuasaan kecil yang dikuasai orang asing dengan sesuka hati
untuk memecat dan mengangkat penguasa lihat Ibnu Kasir, al-Bida>yah wa an-Niha>yah (Beirut :
Da>r al-Fikr, t.t.), IV: 176
[97] Ibn Qayyim al- Jawziyyah, I‘lam al-Muwaqqi‘i<<<<>n (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991), I: 24
[100] Sikap Ibn Qayyim al- Jawziyyah tersebut sesuai
dengan para imam mazhab yang empat, yang juga mendahulukan teks-teks Hadis
daripada pendapat mereka sendiri. Imam asy-Sya>fi‘i< misalnya, ia berkata:
اذا وجدتم فى كتابى خلاف سنة رسول الله
صلى الله عليه وسلم فقولو بسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم
Dalam
riwayat lain disebutkan :
واذاصح الحديث عن رسول الله
صل الله عليه وسلم فاضربوابقولى الخائط
Lihat M.
Hasby ash-Shiddiqi, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis (Jakarta: Bulan
Bintang, 1981), hlm. 355-356
[103] Beliau mengambil pendapat
Shahabat yang paling mendekati al-Qur’an dan Hadis. Bila terjadi fatwa
Shahabat, maka menurut Ibn Qayyim al- Jawziyyah ada tiga
tingkatan, yaitu:
1) Mendahulukan pendapat
khalifah yang empat (Khulafa ar-Rasyidin) daripada pendapat Shahabat yang lain.
2) Jika mayoritas diantara
Khulafa ar-Rasyidin berpendapat, maka pendapat mayoritas yan lebih benar dan
jika pendapat mereka jadi mendua maka pendapat Abu Bakar dan Umar menjadi
benar.
3) Menurut imam asy-Sya>fi‘i<, jika dua orang Shahabat (
yang sama tingkatan kwalitasnya) berfatwa, maka perhatikanlah kedua pendapat
tersebut dan pendapat yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan al-Sunnah yang
dipilih.
[105] Ibid., IV: 93
[106] At-Tawbah (9) : 100
[110] Dikutip Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh , Cet. III (Jakarta : PT. LOGOS Wacana
Ilmu, 2001), II: 348
[111] Umpamanya seseorang bebas
dari kewajiban puasa Syawal, karena memang tidak ada dalil yang mewajibkannya.
Demikian pula pada dasarnya seseorang itu dinyatakan tidak bersalah sampai ada
bukti secara meyakinkan bahwa ia bersalah. Prinsip inilah yang dewasa ini
populer dengan apa disebut “praduga tak bersalah”. Istis}h}a>b
bara>‘ah al-as}liyyah ini,mengandung prinsip tersebut sampai ada dalil yang menetapkannya.
Lihat ibid.
[112] Dikutip Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh , Cet. III (Jakarta : PT. LOGOS Wacana
Ilmu, 2001), II: 402
[115] bn Qayyim al-Jawziyyah, Za>d al-Ma’a>d (Mesir: Mus}t}a>fa> al-Ba>bi< al-H}alabi<
wa Awla>dih, 1390/1970), IV: 3
[116] Bukha>ri<, S}ah}i<h}
Bukha>ri<,
cet. III (Beirut: Da>r
al-Fikr, 1401/1981), V: 135, “Kita>b
an-Nika>h}”, “Ba>b
Iz}a> Zawwajahu Ibnatahu wa Hiya Ka>rihah fa Nika>huhu Mardu>d”. Sanad hadis ini marfu>‘ muttas}il, hadis diceritakan oleh Isma>il diceritakan Ma>lik dari Abdul ar-Rah}ma>n.
[117] Abu> Da>ud, Sunan
Abi<< Da>ud, cet. I (Beirut : Da>r
al-Fikr,t.t.), II: 232, hadis nomor 2096,”Kita>b an-Ni<kah”, “Ba>b al-Bikr Yuzawwijuha> Abu>ha> wa la> Yasta’miruha>.” sanad hadis ini marfu>‘ muttas}il, hadis diceritakan oleh Us|ma>n bin Abi< Syaibah diceritakan oleh H}usain bin Muhammad
diceritakan oleh Jari<r bin H}azi<m.
[118] Bukha>ri<, S}ah}i<h}
Bukha>ri<,
cet. III (Beirut: Da>r
al-Fikr, 1401/1981), V: 135, “Kita>b
an-Nika>h}”, “Ba>b
la Yunkih}u al-Abu> wa Gairahu al-Bikr wa la as|-S|ayyiba illa bi
Rid}a>ha>.” Sanad hadis ini marfu>‘, hadis dari Mu‘a>z
bin Fad}a>lah
diceritakan oleh Hisya>m bin Yahya dari Abi<
Salamah.
[119] Ima>m an-Nawawi<, S}ah}i<h}
Muslim bi Syarh}i
an-Nawawi<, cet V (beirut :
dar al-fikr, t.t.), IX: 202, “Kita>b
an-Nika>h}”, “Ba>b
Isti’z|an fi< an-nika>h} bi an-Nut}q wa al-Bikr bi as-Su>kut,Sanad hadis ini marfu>‘ muttas}il, hadis dari Sa‘i<d bin Mansu>r
dan Qutaibah bin Sa‘i<d
diceritakan Ma>lik diceritakan Yah}yabin Yah}ya.
[120] Ibn Qayyim al-Jawziyyah, IV: 3
[121] Ibid., hlm. 3
[126] Ibid.
[127] Ima>m an-Nawawi<, S}ah}i<h}
Muslim bi Syarh}i
an-Nawawi<, cet. V (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.), IX: 202, “Kita>b an-Nika>h}”, “Ba>b
Isti’z|an fi< an-nika>h} bi an-Nut}q wa al-Bikr bi as-Su>kut,Sanad hadis ini marfu>‘ muttas}il, hadis diceritakan ‘Ubaidillah bin ‘Umar bin Maisarah al-Qawa>ri<ri< diceritakan Kha>lid
bin al-H}a>ris
diceritakan Hisya>m bin Yah}ya.
[128] Penulis tidak menemukan lafaz hadis yang “pas” dengan teks hadis
ini, sementara yang ditemukan penulis adalah احق بنفسهامن وليهاوالبكريستأذنها ابوها الثيب lihat Ima>m an-Nawawi<, S}ah}i<h}
Muslim bi Syarh}i
an-Nawawi<, cet. V (beirut :
dar al-fikr, t.t.), IX: 202, “Kita>b
an-Nika>h}”, “Ba>b
Isti’z|an fi< an-nika>h} bi an-Nut}q wa al-Bikr bi as-Su>kut, sedangkan yang menggunakanوليها بنفسهامن احق الايم
lanjutannya
menggunakan والبكرتستأذن فى نفساواذنهاصماتها lihat Jala>l ad-Di<n
as-Suyu>ti<,Sunan an-Nasa>’i< bi Syarhi al-H}a>fiz
Jala>l ad-Di<n as-Suyu>ti<, cet. I (Beirut: Da>r al-Fikr, 1248/1930), VI: 84, “Kita>b an-Nika>h}”, “Ba>b
Isti’z}a>n al-Bikr Fi< Nafsiha>.
[130] Ima>m an-Nawawi<, S}ah}i<h}
Muslim bi Syarh}i
an-Nawawi<, cet. V (Beirut: Da>r
al-Fikr, t.t.), IX: 202, “Kita>b an-Nika>h}”, “Ba>b
Isti’z|an Fi< an-Nika>h} bi an-Nut}q wa al-Bikr bi as-Suku>t. Sanad hadis ini marfu>‘ muttas}il, hadis dari Sa‘i<d bin Mansu>r
dan Qutaibah bin Sa‘i<d
diceritakan Sufya>n diceritakan Jiya>d
bin Sa‘Ad.
[131] Ima>m an-Nawawi<, S}ah}i<h}
Muslim bi Syarh}i
an-Nawawi<, cet V (beirut :
dar al-fikr, t.t.), IX: 202, “Kita>b
an-Nika>h}”, “Ba>b
Isti’z|an Fi< an-Nika>h} bi
an-Nut}q wa al-Bikr bi as-Suku>t. Sanad hadis
ini marfu>‘ muttas}il, hadis dari Qutaibah bin Sa‘i<d
diceritakan Sufya>n diceritakan Jiya>d
bin Sa‘Ad.
[133] Ibid., hlm. 5
[134] Masdar F. Mas‘udi, “Meletakkan Maslahat Sebagai Kerangka Acuan
Syari‘ah,”Ulumul Qur‘an, Vol. 4: 3, (1995), hlm, 94
[135] Nurjanah Ismail, Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-Laki dalam
Penafsiran, cet. I (Yogyakarta : LKiS,
2003), hlm. v
[136] Khoiruddin Nasution, Fazlurrahman Tentang Wanita, cet. I (Yogyakarta : TAZZAFA+Academia, 2002), hlm. 3-4
[137] Al-Baqarah (2) : 187
[140] ibid.
[141] Khoiruddin Nasution, Fazlurrahman, hlm. 2
[142] Ibid., hlm. 5
[144] Khoiruddin Nasution, Fazlurrahman Tentang, hlm. 9
[145] Husein Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kiyai Atas Wacana Agama
Dan Gender, (Yogykarta: LKiS, 2001), hlm. 83-84
[146] S. M. Khamenei, Risalah Hak Asasi Wanita: Studi Komparatif
antara Pandangan Islam Dan Deklarasi Universal HAM, alih bahasa Quito R.
Motinggo, cet. I (Jakarta :
al-Huda, 2004), hlm. 81
[147] Ibn Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid Wa Niha>yah Al-Muqtas}id (Analisa Fiqh Para Mujtahid), alih bahasa Imam Ghazali Said
dan Achmad Zaidun, cet. II (Jakarta :
Pustaka Amani, 2002), II: 403-404
[148] Dikutip oleh Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa
Kontemporer, alih bahasa As‘ad Yasin, cet. II (Jakarta: Gema Insani
Press, 1996), II: 471
[149] Ima>m an-Nawawi<, S}ah}i<h}
Muslim bi Syarh}i
an-Nawawi<, cet V (beirut :
dar al-fikr, t.t.), IX: 202, “Kita>b
an-Nika>h}”, “Ba>b
Isti’z|an fi< an-nika>h} bi an-Nut}q wa al-Bikr bi as-Suku>t”. Sanad hadis ini marfu>‘ muttas}il, hadis dari Sa‘i<d bin Mansu>r
dan Qutaibah bin Sa‘i<d
diceritakan Sufya>n diceritakan Jiya>d
bin sa‘Ad.
[150] Dikutip oleh Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami
Dan Istri (Hukum Perkawinan I), cet I (Yogyakarta :
Academia + Tazzafa, 2004), hlm. 92
[151] Barangkali inilah bukti konkrit sekaligus implikasi dari perkataan
beliau. Ibn Qayyim pernah berkata bahwa sepantasnyalah seorang mufti tidak
memberikan fatwa kepada orang yang meminta fatwa kepadanya, sesuai dengan
pendapat mazhab yang diikutinya. Sementara dalam permasalahan tersebut, ia
mengetahui bahwa pendapat dari mazhab lain lebih unggul dibandingkan pendapat
mazhabnya atau ia mengetahui sandaran dalil yang dimilikinya lebih shahih.
Dikutip oleh Yusuf al-Qaradhawi, Bagaimana Berinteraksi Dengan Peninggalan
Ulama Salaf, alih bahasa Ahrul Tsani Fathurrahman dan Muhtadi Abdul Mun‘im,
cet I (Jakarta :
Pustaka al-Kautsar, 2003), hlm. 148
[152] Ibn Qoyyim al-Jawziyyah, Za>d al-Ma’a>d (Mesir: Mus}t}a>fa> al-Ba>bi< al-H}alabi<
wa Awla>dih, 1390/1970), IV: 3
[153] Khoruddin Nasution, ”Mensikapi Kitab-Kitab Fikih Konvensional dalam
Menjamin Hak Wanita dalam Menentukan Pasangan”, asy-Syir‘ah, No. 8,
(2001), hlm. 140-141
[154] Ibid. 146
[159] Khoruddin Nasution, ”Mensikapi Kitab-Kitab Fikih, hlm. 146
[160] Mohammmad Fauzil Adhim, Kupinang Engkau Dengan Hamdallah,
cet. VII (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1999), hlm. 93
[161] S. M. Khamenei, Risalah Hak Asasi, hlm. 80
[162] Ibid.
[163] Departemen Agama R.I, Ensiklopedia Islam di Indonesia (Jakarta:
CV. Anda Utama,1993), I: 183
[164] K. M. Ikhsanuddin dkk. (ed.), Panduan Pengajaran Fiqh Perempuan
di Pesantren (Yogykarta: Yaysan Kesejahteraan Fatayat, t.t.), hlm. 119
[165] Ibid., hlm. 111
[166] Abdul Halim, “Ijtihad Kontemporer: Kajian Terhadap Beberapa Aspek
Hukum Keluarga Islam Indonesia ,”
dalam Ainurrofiq (ed.), Mazhab Jogja: Menggagas Paradigam Ushul Fiqh
Kontemporer, cet. I (Yogyakarta : Fakults
Syari‘ah UIN Sunan Kalijaga + ar-Ruzz Press, 2002), hlm. 231
[167] “perkawinan harus didasarkan
atas persetujuan kedua calon mempelai”
[168] “perkawinan harus didasarkan
atas persetujuan kedua calon mempelai”
[169] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. IV (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2000), hlm. 73-74
[170] Undang-undang no.1/1974
tentang perkawinan, pasal 7 ayat (1) disebutkan “perkawinan hanya diizinkan
jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita
sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.jo. KHI buku I tentang perkawinan
pasal 15 ayat (1) disebutkan “untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga
perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang
telah ditetapkan dalam pasal 7 undang-undang no. 1 tahun 1974 yakni calon suami
sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur
16 tahun.
[171] Abdul Halim, “Ijtihad Kontemporer”, hlm. 238
[172] M. Hasby asy-Syiddiqi, Filsafat Hukum Islam, cet. V
(Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 337
[173] Thobieb al-Asyhar, Fiqh Progresif: Menjawab Tantangan Modernitas,
cet. I (Jakarta ,
Fkku Press, 2003), hlm. 104
0 komentar:
Post a Comment