Skripsi Syariah 1

Friday, March 16, 2012

KONSEP KELUARGA SAKINAH
MENURUT JAMA’AH TABLIG PERSPEKTIF HUKUM ISLAM






SKRIPSI
DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARI’AH
   INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN DARI SYARAT-SYARAT
GUNA MEMPEROLEH GELAR SARJANA
DALAM ILMU HUKUM ISLAM



OLEH:


KISWATUN NIDHA

NIM: 9935 3635



DI BAWAH BIMBINGAN:

1. Drs. MAHRUS MUNAJAT, M.Hum.
                                      2. Drs. M. SODIK, S.Sos, M.Si.



AL-AHWAL AL-SYAKHSIYYAH

  FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

 SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

                   1424 H/2004 M.



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Hidup berumah tangga merupakan tuntutan fit}rah manusia sebagai makhluk sosial. Keluarga atau rumah tangga muslim adalah lembaga terpenting dalam kehidupan kaum muslimin umumnya dan manhaj amal Islami> khususnya. Ini semua disebabkan karena peran besar yang dimainkan oleh keluarga, yaitu mencetak dan menumbuhkan generasi masa depan, pilar penyangga bangunan umat dan perisai penyelamat bagi negara.[1]
Maka tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa keluarga merupakan pondasi awal dari bangunan masyarakat dan bangsa. Oleh karenanya, keselamatan dan kemurnian rumah tangga adalah faktor penentu bagi keselamatan dan kemurnian masyarakat, serta sebagai penentu kekuatan, kekokohan, dan keselamatan dari bangunan negara. Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa apabila bangunan sebuah rumah tangga hancur maka sebagai konsekuensi logisnya masyarakat serta negara bisa dipastikan juga akan turut hancur.
Kemudian setiap adanya sekumpulan atau sekelompok manusia yang terdiri atas dua individu atau lebih, tidak bisa tidak, pasti dibutuhkan keberadaan seorang pemimpin atau seseorang yang mempunyai wewenang mengatur dan sekaligus membawahi individu lainnya (tetapi bukan berarti seperti keberadaan atasan dan bawahan).
Demikian juga dengan sebuah keluarga, karena yang dinamakan keluarga adalah minimal terdiri atas seorang suami dan seorang istri yang selanjutnya muncul adanya anak atau anak-anak dan seterusnya.[2] Maka, sudah semestinya di dalam sebuah keluarga juga dibutuhkan adanya seorang pemimpin keluarga yang tugasnya membimbing dan mengarahkan sekaligus mencukupi kebutuhan baik itu kebutuhan yang sifatnya dhohir maupun yang sifatnya bat}iniyah di dalam rumah tangga tersebut supaya terbentuk keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Di dalam al-Qur’ān disebutkan bahwa suami atau ayahlah yang mempuyai tugas memimipin keluarganya.
ألرّجال قوّامون علىالنّسآء.[3]
Sebagai pemimpin keluarga, seorang suami atau ayah mempunyai tugas dan kewajiban yang tidak ringan yaitu memimpin keluarganya. Dia adalah orang yang bertanggung jawab terhadap setiap individu dan apa yang berhubungan dengannya dalam keluarga tersebut, baik yang berhubungan dengan jasādiyah, rūhiyah, maupun aqliyahnya.[4] Yang berhubungan dengan jasādiyah atau yang identik dengan kebutuhan lahiriyah antara lain seperti kebutuhan sandang, pangan, tempat tinggal, ataupun yang sifatnya sosial seperti kebutuhan berinteraksi dengan sesamanya dan lain sebagainya. Sedangkan kebutuhan yang berhubungan dengan rūhiyah seperti kebutuhan
beragama, kebutuhan aqidah atau kebutuhan tauhid, dsb. Kemudian selanjutnya adalah kebutuhan yang bersifat aqliyah yaitu kebutuhan akan pendidikan.
Namun dari semua kebutuhan yang tersebut di atas, kebutuhan ru>hiyah lah yang paling penting.[5] Yaitu apa saja yang berhubungan dengan aqi>dah islami>yah. Karena masalah ini berlanjut sampai kehidupan kelak di akherat. Allah SWT berfirman:
يآأيّها ألّذين آمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا.[6]
Selain sebagai seorang suami dan atau ayah yang mempunyai tanggung jawab terhadap keluarga yang dipimpinnya, laki-laki sebagai seorang muslim juga mempunyai tugas yang tidak kalah pentingya dan merupakan tugas pokok setiap muslim atau mu’min yaitu melakukan amar ma’ru>f nahi> munkar. Sesuai firman-Nya:
ولتكن منكم أمة يدعون الىالخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر.[7]
Perintah untuk amar ma’ru>f nahi> munkar ini di dalam al-Qur’ān disebutkan di beberapa surat, antara lain: Ali Imrān (3): 3 dan 114; al-Nisā’ (4): 114; al-Māidah (5): 63, 78, 79; al-An’ām: 69; al-A’rāf (7): 157, 165, 199; al-Taubah (33): 67, 71, 112; Hūd (11): 116; al-Nahl (16): 90; Maryam (19): 55; al-Hajj (22): 41, 77; an-Nūr (24): 21; Luqmān (31): 17; al-Z|āriyāt (51): 55; al-A’lā (87): 9.
Amar ma’ru>f nahi> munkar diperintahkan untuk dikerjakan di manapun dan kapanpun seorang muslim berada dan kepada siapa saja hal itu perlu dilakukan. Akan tetapi yang paling penting dan utama dilakukan amar ma’ru>f nahi> munkar adalah dimulai dari diri sendiri, keluarga dekat maupun jauh, baru kemudian kepada masyarakat secara umum. Juga dengan cara apapun sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan, misalnya dengan ucapan saja ataukah diperlukan dengan perbuatan.
Karena urgennya mengerjakan amar ma’ru>f nahi> munkar ini, oleh beberapa orang yang merasa perlu mengajak orang-orang yang se-ide dengan mereka untuk membuat wadah atau perkumpulan (karena mereka tidak mau disebut sebagai organisasi, red) yang khusus mewadahi kegiatan mereka tersebut yaitu berupa dakwah atau tablig. Untuk masa sekarang ini telah banyak kelompok-kelompok atau jama’ah muslim yang memfokuskan diri bekerja di sektor dakwah dan salah satunya yang cukup besar menamakan dirinya dengan Jama>’ah Tablig.[8]
Di dalam tulisan ini penyusun hanya memfokuskan pembahasan pada Jama>’ah Tablig (yang selanjutnya disebut dengan JT) dengan alasan bahwa JT yang mempunyai aliran sufiyah ini mempunyai model dakwah yang cukup menarik yaitu di samping mempunyai koordinasi yang bagus antar anggotanya juga yang terpenting adalah para anggotanya mempunyai semangat kemandirian yang tinggi, yaitu dengan mengandalkan biaya sendiri dan meluangkan waktunya untuk bertabligh ke berbagai penjuru desa, kota bahkan manca negara dalam jangka waktu tertentu antara 3-40 hari, 4-7 bulan bahkan setahun yang mereka biasa menyebutnya dengan khurūj fi sabilillah.[9]  Itu semua dilakukan mereka dengan meninggalkan keluarganya dan semua kesibukan yang sifatnya duniawi.
Alasan selanjutnya kenapa penyusun memilih JT adalah karena JT yang didirikan oleh Maulana Muhammad Ilya>s[10] ini berupaya untuk mewujudkan ajaran Islam secara konsisten sesuai dengan ajaran dan yang dilakukan oleh Nabi SAW pada masa itu. Sehingga kadang-kadang apa yang dilakukan oleh mereka (anggota JT) tidak sesuai lagi dengan zamannya terutama masalah yang berhubungan dengan keseimbangan hak dan kewajiban di dalam rumah tangga.
Maulana Muhammad Ilya>s berpendapat setiap orang Islam baik laki-laki maupun perempuan harus mengikuti jejak langkah Nabi SAW. Jadi mesti menyeru manusia ke jalan Allah, kapan saja ada kesempatan untuk melakukan hal tersebut di hadapannya. Menyeru manusia ke jalan yang benar mestilah dijadikan tugas dalam kehidupannya.[11] Maka sudah sepantasnya kalau mengaku sebagai umat Muhammad saw harus meneruskan tugas Beliau ber-amar ma’ru>f nahi> munkar yang komplit.
Untuk melaksanakan dakwah, Maulana Muhammad Ilya>s berpendapat diperlukan upaya khurūj, yaitu keluar rumah meninggalkan segala kesibukan duniawi dengan jangka waktu tertentu untuk meningkatkan keagamaannya dan ta’lim. Dengan demikian berdakwah dengan cara berkeliling (jaulah) merupakan sebuah keharusan, karena itu berarti tugas dakwah merupakan tugas setiap umat Islam secara individual, bukan diserahkan kepada institusi atau lembaga yang bergerak di bidang dakwah saja.
Amalan jaulah merupakan tulang punggung dalam menjalankan tugas-tugas jama’ah.[12] Jika amalan ini benar dan sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh jama’ah niscaya amalan ini diterima oleh Allah SWT. Demikian juga Allah juga akan menerima amalan dakwah yang dilakukan oleh manusia. Jika Allah menerima dakwah seseorang, niscaya Allah juga akan menerima doa manusia sehingga Dia akan menurunkan hidayah-Nya.
Demikianlah pentingnya tanggung jawab seorang muslim terhadap kehidupannya di dunia sebagai hamba Allah yang dipercaya memikul predikat khali>fah fî> al-ard}. Dalam beberapa hal yang berkaitan dengan tanggung jawabnya terhadap keluarganya dan tanggung jawabnya sebagai muslim yang konsekuen terhadap perintah agamanya (di jalan Allah). Bagaimanakah sebenarnya konsep bentuk keluarga sakinah menurut mereka (JT) dalam menyikapi situasi dan kondisi yang mereka hadapi dan yang mereka kerjakan, serta bagaimana konsep tersebut jika dilihat dari sudut pandang hukum Islam. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang melatarbelakangi penyusun untuk membahasnya dalam sebuah karya tulis.

B.  Pokok Masalah
            Berangkat dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat diidentifikasikan pokok permasalahan yang perlu dibahas lebih lanjut, antara lain:
1.      Bagaimana konsep keluarga sakinah menurut Jama>’ah tablig.
2.      Bagaimana pandangan hukum Islam mengenai konsep keluarga sakinah Jama>’ah tablig tersebut.

C.  Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Dengan memperhatikan latar belakang masalah dan pokok masalah tersebut di atas, maka tujuan dari pembahasan skripsi ini adalah:
1.       Mendeskripsikan dan menganalisis konsep keluarga sakinah menurut Jama>’ah Tablig.
2.       Mendeskripsikan dan menganalisis pandangan hukum hukum Islam mengenai konsep keluarga sakinah menurut JT.
      Adapun kegunaan dari pembahasan skripsi ini adalah:
1.      Terjawabnya persoalan yang berkenaan dengan konsep keluarga sakinah menurut jama’ah tabligh serta pandangan hukum Islam mengenai konsep tersebut.
2.      Sebagai kontribusi pemikiran baru dalam ilmu pengetahuan, khususnya yang berkenaan dengan konsep keluarga sakinah.

D.    Telaah Pustaka
Kesimpulan awal yang dapat penyusun temukan dalam telaah pustaka adalah bahwasanya konsep keluarga sakinah yang JT bangun secara substansial tidak begitu berbeda dengan bentuk konsep keluarga sakinah yang ada pada hukum Islam yaitu membentuk rumah tangga yang bernafaskan Islam, yang mawaddah wa rahmah. Hanya pada poin-poin tertentu JT memberi penekanan yang lebih dalam pelaksanaannya, seperti hal-hal yang menyangkut tentang hak dan kewajiban atau peran suami-istri di dalam rumah tangga yang menurut pengamatan penyusun cenderung bias gender. Selain itu seringkali ajarannya terasa kaku karena mereka tidak mau menerima interpretasi dan penyesuaian terhadap kondisi dan zaman dalam memahami teks-teks yang ada.[13]
Ada beberapa buku maupun karya tulis lainnya yang penyusun temukan yang juga membicarakan ruang lingkup keluarga sakinah seperti buku yang ditulis oleh Drs. Hasan Basri berjudul: Keluarga Sakinah; Tinjauan Psikologi dan Agama.[14] Buku ini mengupas tentang apa itu arti dari pernikahan yang mencakup persiapan yang harus dilakukan dari segi psikologi, juga bagaimana Islam memposisikan seks dalam keluarga, dan lain sebagainya. Buku yang lainnya adalah buku yang ditulis oleh Ahmad Azhar Basyir dan Fauzi Rahman yang berjudul Keluarga Sakinah Keluarga Surgawi.[15]  Sebagaimana judulnya, buku ini mengupas tentang apa itu keluarga sakinah menurut ajaran Islam dan problematikanya rumah tangga beserta solusinya, juga buku yang berjudul Hak dan Kewajiban Suami Istri; Pedoman Membina Keluarga Sakinah.[16] Buku ini adalah hasil terjemahan dari kitab ‘Uqudullujain karangan Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani yang isinya hanyalah hadis-hadis yang berbicara tentang kewajiban suami dan istri.
 Buku yang lainnya yang juga membicarakan tentang bentuk keluarga ideal adalah buku yang berjudul  Merawat Mahligai Rumah Tangga;[17] karangan Nad}i>rah Mujab, Rumah Tangga Muslim;[18] karangan Maimunah Hasan, dan Membimbing Istri Mendampingi Suami,[19] karangan Fuad Kauma dan Drs. Nipan. Semua buku tersebut di atas berbicara tentang tuntunan bagaimana membentuk rumah tangga yang Islami, bahagia, sejahtera, mawaddah warahmah di bawah ridho Ilahi. Dan buku-buku lainnya yang senada dengan buku-buku tersebut di atas yang mana dari semua buku-buku tersebut hanya membahas konsep keluarga sakinah secara umum (tidak pada kelompok tertentu).
Sejauh pengetahuan penyusun, belum ada studi yang secara spesifik membahas masalah konsep keluarga sakinah menurut Jama>’ah Tablig ini. Sedangkan tulisan yang telah ada baik yang ditulis oleh orang-orang JT sendiri maupun orang-orang selain anggota JT hanyalah pembahasan yang sepotong-potong atau sifatnya parsial. Artinya buku-buku yang telah ada hanya membahas satu bagian saja (dari apa yang ada pada JT) dari beberapa bagian yang ada seperti buku-buku yang telah penyusun sebutkan di atas. Sebenarnya telah dilakukan penelitian oleh mahasiswa pasca sarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tentang Metode Dakwah Jama>’ah Tablig. Akan tetapi hanya membicarakan tentang metode dakwahnya saja dan tidak menyinggung sama sekali tentang konsep keluarga sakinah menurut JT ini. Selain itu juga telah ada beberapa karya tulis (skripsi) yang membahas tentang konsep keluarga sakinah akan tetapi pembahasannya dikhususkan pada kitab Ihya’ Ulumuddin karangan Imam al-Ghazali dan menurut prof. Dr. Hamka. Melihat dari judulnya sudah jelas dua skripsi ini tidak menyinggung sama sekalie tentang konsep keluarga sakinah menurut JT.

E.     Kerangka Teoretik
Sesungguhnya Allah SWT telah menetapkan manusia sebagai khalifah di muka bumi ini. Sebagaimana firman-Nya:
هوالّذى جعلكم خلآئف فىالأرض[20]
Dengan demikian manusia mempunyai tugas yang tidak ringan di muka bumi ini, yaitu mentaati perintah-Nya di dalam kehidupannya sebagaimana aturan yang telah ditetapkan oleh-Nya di dalam kitābullah, serta menjauhi semua semua yang larangan-Nya. Karena manusia diciptakan kewajibannya yang utama adalah untuk mengabdi dan beribadah kepada-Nya.
وماخلقت الجنّ و ا لإنس إلاّليعبدون[21]
Di dalam al-Qur’ān disebutkan bahwa salah satu perintah Allah adalah menikah, sebagaimana firman-Nya di dalam al-Qur’a>n:
وأنكحواالأيمى منكم والصّالحين من عبادكم وإمائكم.[22]

Selain itu, al-Qur’ān juga menyebutkan tujuan dari menikah yaitu antara lain adalah supaya memperoleh ketenangan dan membina keluarga yang penuh cinta dan kasih sayang, disamping untuk memenuhi kebutuhan seksual dan memperoleh keturunan.
ومن آياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنواإليها وجعل بينكم مودّة ورحمة.[23]
Menurut ajaran Islam membentuk keluarga Islami> merupakan kebahagiaan dunia akherat. Kepuasan dan ketenangan jiwa akan tercermin dalam kondisi keluarga yang damai, tenteram, tidak penuh gejolak. Bentuk keluarga seperti enilah yang dinamakan keluarga sakinah. Keluarga demikian ini akan dapat tercipta apabila dalam kehidupan sehari-harinya seluruh kegiatan dan perilaku yang terjadi di dalamnya diwarnai dan didasarkan dengan ajaran agama.
Lebih lanjut diperjelas oleh Nabi SAW di dalam hadisnya bahwa di dalam keluarga sakinah terjalin hubungan suami-istri yang serasi dan seimbang, tersalurkan nafsu seksual dengan baik di jalan yang diridhoi Allah SWT, terdidiknya anak-anak yang shaleh dan shalihah, terpenuhi kebutuhan lahir, bathin, terjalin hubungan persaudaraan yang akrab antara keluarga besar dari pihak suami dan dari pihak istri, dapat melaksanakan ajaran agama dengan baik, dapat menjalin hubungan yang mesra dengan tetangga, dan dapat hidup bermasyarakat dan bernegara secara baik pula.[24] Seperti hadis yang disampaikan oleh Anas ra. Bahwasanya ketika Allah menghendaki suatu keluarga menjadi individu yang mengerti dan memahami agama, yang lebih tua menyayangi yang lebih kecil dan sebaliknya, memberi rezeki yang berkecukupan di dalam hidup mereka, tercapai setiap keinginannya, dan menghindarkan mereka dari segala cobaan, maka terciptalah sebuah keluarga yang dinamakan sakinah, mawaddah, warahmah[25]
Itulah antara lain komponen-komponen dari bangunan keluarga sakinah. Antara yang satu dengan lainnya saling melengkapi dan menyempurnakan. Jadi apabila tidak terpenuhi salah satunya yang terjadi adalah ketidakharmonisan dan ketimpangan di dalam kehidupan rumah tangga. Contoh kasus, sebuah rumah tangga yang oleh Allah diberikan kecukupan materinya akan tetapi hubungan antar anggota keluarganya tidak terbina dengan baik, artinya tidak ada rasa saling menghormati dan pengertian antara yang satu dengan yang lainnya, yang tua tidak menyayangi yang lebih muda dan yang muda tidak mau menghormati yang lebih tua, maka yang terjadi adalah diskomunikasi dan ketidakharmonisan rumah tangga.keluarga yang seperti ini tidak bisa disebut keluarga sakinah.
Begitupun sebaliknya, sebuah keluarga yang kekurangan materi atau finansialnya maka yang terjadi adalah percekcokan dan perselisihan yang mengakibatkan tidak tenteramnya kehidupan keluarga. Meskipun tidak semua keluarga yang kekurangan materi akan mengalami hal tersebut, namun itu hanya sedikit sekali terjadi di kehidupan sekarang ini. Sebab manusia tidak akan mampu bertahan hidup tanpa adanya materi.
Namun dari semua itu perlu diingat bahwa ada sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan dan merupakan penentu baik tidaknya kehidupan keluarga, yaitu tiada lain adalah suami dan istri itu sendiri. Karena merekalah pelaku utama di dalam rumah tangga. Seperti disebutkan di atas bahwa salah satu komponen keluarga sakinah adalah keseimbangan hubungan suami-istri.
Di dalam rumah tangga memang suami lah yang mempunyai peran sebagai kepala dan pemimpin keluarga. Akan tetapi perlu diingat bahwa istri lah yang menjadi tuan rumah. Jadi sudah sewajarnya kalau seorang suami memberi penghargaan lebih kepada istrinya dan tidak memposisikannya sebagai nomor dua, sehingga pola hubungan yang tercipta antara keduanya seperti halnya seorang partner dan bukan sebagaimana antara tuan dan majikan. Mengenai kewajiban suami untuk berbuat baik kepada istri,Allah sendiri telah berfirman:
وعاشروهنّ بالمعروف.[26]
Memang sebenarnya kewajiban berbuat baik tidak hanya antar suami dan istri saja. Di dalam al-Qur’ān kewajiban itu untuk siapa saja. Oleh karenanya, sebagai umat Islam yang baik kita dianjurkan untuk nasehat-menasehati dimulai dari orang yang paling dekat hubungannya dengan kita sampai kepada siapa saja yang perlu untuk itu.
وبالوالوالدين احسانا وبذىالقربى واليتمى والمساكين والجارذىالقربى والجارالجنب والصّاحب بالجنب وابن السّبيل وماملكت ايمانكم.[27]
Demikianlah bentuk keluarga yang sempurna di dalam Islam, yang semua hal didasarkan pada bimbingan al-Qur’ān dan as-Sunnah.

F.     Metode Penelitian
Mengenai pembahasan dalam skripsi ini, penyusun menggunakan metode sebagai berikut:
1.  Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan oleh penyusun adalah penelitian kepustakaan (library research). Yaitu penelitian yang kajiannya dilakukan dengan menelusuri dan menelaah literatur atau sumber-sumber tertulis yang berkaitan dengan pokok bahasan (penelitian yang difokuskan kepada bahan-bahan pustaka).[28] Kalau melihat objek penelitian yaitu JT, dimana komunitas ini keberadaanya masih ada dan mudah ditemukan, maka seharusnya dan lebih baik skripsi ini menggunakan jenis penelitian yang sifatnya studi lapangan atau field research. Akan tetapi karena kendala teknis, yaitu ketidakterbukaan orang-orang JT terhadap lawan jenis, maka skripsi ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan.
2.  Sifat Penelitian
Sifat penelitian ini adalah deskriptif-analitik. Yaitu penyusun berusaha untuk menjelaskan keadaan atau hipotesa-hipotesa yang telah ada dengan tujuan menemukan fakta (fact finding) dengan diikuti oleh analisis yang memadai sebagai usaha untuk mencari problem solving. Maka penelitian ini berusaha untuk menjelaskan bagaimana konsep keluarga sakinah menurut Jama’ah tabligh, selanjutnya dianalisa dengan konsep keluarga sakinah menurut hukum Islam untuk dicari titik temunya.
3.   Teknik Pengumpulan Data
Sebagai sebuah penelitian pustaka, maka teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan menelusuri sumber-sumber data atau pustaka terutama hasil tulisan, cetakan, dan atau terbitan dari anggota Jama’ah tabligh sendiri.[29].
Selain itu, untuk mendukung keakuratan data, penyusun juga melakukan wawancara terhadap nara sumber yang dalam hal ini adalah para anggota Jama’ah tabligh.
4.   Sumber Data
Ada dua sumber data yang penyusun gunakan, yaitu sumber primer dan sumber skunder. Sumber primer berasal dari tulisan-tulisan para anggota JT sendiri, juga hasil wawancara dengan anggota JT. Tulisan tersebut antara lain seperti buku Lelaki Shalih 2; Mu’āmalah, Mu’āsyarah, & Akhlak. Juga Fadhilah Wanita Shalihah, dan Petunjuk Sunnah dan Adab Kehidupan Sehari-hari Lengkap. Ketiga buku tersebut hasil tulisan dari A. Abdurrahman Ahmad. Selain itu juga ada buku hasil terjemahan dari Kitab Uqūd al-Lujain karangan Al-Nawawi Al-Bantani yang diberi judul Hak dan Kewajiban Suami-Istri; (pedoman Membina Keluarga Sakinah). Buku lainnya adalah hasil tulisan dari Maulana Musa Ahmad Olgar berjudul Mendidik Anak Secara Islami, serta buku tulisan Wan Muh}ammad bin Muh}ammad Ali yang diberi judul Al-Hijāb.
Sedangkan sumber-sumber lain yang bukan tulisan dan atau terbitan Jama’ah tabligh antara lain bukunya Drs. Hasan Basri yang berjudul: Keluarga Sakinah; Tinjauan Psikologi dan Agama, bukunya Fuad Kauma dan Drs. Nipan yang berjudul: Membimbing Istri Mendampingi Suami, tulisannya Maimunah Hasan yang berjudul: Rumah Tangga Muslim, dan bukunya Nadhirah Mujab: Merawat Mahligai Rumah Tangga, serta beberapa kepustakaan pendukung lainnya.
Sedangkan sumber skunder berasal dari berbagai sumber yang memuat informasi dan data kajian.
5.   Analisis Data
Dalam menganalisa data yang telah dihimpun, penyusun menggunakan dua metode, yaitu:
            a.   Analisa Deduktif
Merupakan analisa data dengan cara menerangkan beberapa data yang bersifat umum untuk kemudian diambil kesimpulan khusus darinya.[30] Dalam konteks ini, akan dideskripsikan tentang konsep keluarga sakinah secara umum untuk kemudian diarahkan secara khusus kepada pembahasan.
b.   Analisa Induktif
Yaitu analisa data dengan cara mempelajari arah penalaran dari sejumlah hal yang khusus untuk dibawa pada suatu kesimpulan yang umum. Dengan metode ini, penyusun berusaha mempelajari dan menganalisis beberapa pemikiran anggota JT mengenai konsep keluarga sakinah menurut mereka untuk kemudian dibangun satu sintesis yang berupa kesimpulan konseptional yang bersifat umum.[31]
6.  Pendekatan Masalah
Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan normatif. Maksudnya adalah melalui pendekatan ini penyusun ingin mengetahui bagaimana nas-nas (al-Qur’ān dan al-Hadis) berbicara tentang hukum keluarga terutama mengenai bentuk keluarga ideal atau keluarga sakinah.

G.  Sistematika Pembahasan
Agar pembahasan dalam skripsi ini bisa sistematis dan terarah dengan baik, maka disusun sistematika pembahasan sebagai berikut:
Bab Pertama adalah pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka teoretik, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Untuk memberikan gambaran awal tentang konsep keluarga sakinah, maka dalam Bab kedua diuraikan tinjauan umum tentang konsep keluarga sakinah menurut hukum Islam, yaitu terdiri atas beberapa sub bab, antara lain: pengertian keluarga sakinah beserta dasar hukumnya. Selanjutnya proses terbentuknya keluarga sakinah, yaitu mencakup hal-hal yang harus diupayakan pada masa pra nikah dan pasca nikah, dan kemudian tentang ciri-ciri keluarga sakinah. Hal ini sangat penting karena bab ini merupakan pijakan awal untuk mengenal secara objektik objek yang dikaji serta sebagai alat analisa atas bab selanjutnya.
Bab ketiga tentang konsep keluarga sakinah menurut Jama>’ah Tablig. Sebelum dijelaskan lebih jauh tentang konsep keluarga sakinah tersebut, sekiranya perlu penyusun gambarkan terlebih dahulu bagaimana profil dari Jama’ah tabligh itu sendiri dilihat dari sudut pandang dakwahnya. Maka pada bab ini tersusun beberapa sub-bab antara lain: gambaran umum tentang JT yang terdiri atas: biografi pendiri JT dan faktor yang mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya, kemudian prinsip dan tujuan dibentuknya, serta metode dakwahnya. Setelah itu baru pada sub bab selanjutnya diurai tentang pengertian dan dasar hukum keluarga sakinah, upaya membentuk keluarga sakinah, serta ciri-ciri dari keluarga sakinah. Pembahasan ini sangat penting karena bagaimanapun juga untuk memahami sebuah hasil pemikiran seseorang atau suatu kelompok yang dalam hal ini adalah JT, maka paradigma dan karakteristik yang melingkupi mereka itu sangat penting artinya untuk diketahui. Karena bagaimanapun yang namanya manusia sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi sosial budaya yang melingkupinya.
Kemudian Bab keempat merupakan bab analisis terhadap konsep keluarga sakinah menurut JT ditinjau dari hukum Islam.. Dalam bab ini, penyusun memfokuskan analisa pada proses terbentuknya keluarga sakinah beserta ciri-cirinya. Karena masalah inilah, menurut hemat penyusun, ada beberapa hal yang pantas untuk dicermati.
Bab kelima adalah bab penutup yang merupakan bab terakhir, berisi tentang kesimpulan dan saran.





                                                BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEP KELUARGA SAKINAH MENURUT HUKUM ISLAM
A.  Pengertian dan Dasar Hukum Keluarga Sakinah
Kehidupan berkeluarga atau menempuh kehidupan dalam perkawinan adalah harapan dan niat yang wajar dan sehat dari setiap anak muda dan remaja dalam masa pertumbuhannya. Pengalaman dalam kehidupan menunjukkan bahwa membangun keluarga itu mudah, namun memelihara dan membina keluarga hingga mencapai taraf kebahagiaan dan kesejahteraan yang selalu didambakan oleh setiap pasangan suami-istri sangatlah sulit. Nah, keluarga yang bisa mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan inilah yang disebut dengan keluarga sakinah.
         Kata sakinah itu sendiri menurut bahasa berarti tenang atau tenteram.[32]) Dengan demikian, keluarga sakinah berarti keluarga yang tenang atau keluarga yang tenteram. Sebuah keluarga bahagia, sejahtera lahir dan batin, hidup cinta-mencintai dan kasih-mengasihi, di mana suami bisa membahagiakan istri, sebaliknya, istri bisa membahagiakan suami, dan keduanya mampu mendidik anak-anaknya menjadi anak- anak yang shalih dan shalihah, yaitu anak-anak yang berbakti kepada orang tua, kepada agama, masyarakat, dan bangsanya. Selain itu, keluarga sakinah juga mampu menjalin persaudaraan yang harmonis dengan sanak famili dan hidup rukun dalam bertetangga, bermasyarakat dan bernegara.
Itulah suatu wujud keluarga sakinah yang diamanatkan oleh Allah swt kepada hamba-Nya, sebagaimana yang difirmankannya di dalam kitabullah:
ومن آيته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودّة ورحمة إنّ فى ذالك لأية لقوم يتفكّرون.[33]
Yang dimaksud dengan rasa kasih dan sayang adalah rasa tenteram dan nyaman bagi jiwa raga dan kemantapan hati menjalani hidup serta rasa aman dan damai, cinta kasih bagi kedua pasangan. Suatu rasa aman dan cinta kasih yang terpendam jauh dalam lubuk hati manusia sebagai hikmah yang dalam dari nikmat Allah kepada makhluk-Nya yang saling membutuhkan.
Disamping itu, ayat tersebut juga dengan jelas mengamanatkan kepada seluruh manusia, khususnya umat Islam, bahwa diciptakannya seorang istri bagi suami adalah agar suami bisa hidup tenteram bersama membina sebuah keluarga. Ketenteraman seorang suami dalam membina keluarga bersama istri dapat tercapai apabila di antara keduanya terdapat kerjasama timbal-balik yang serasi, selaras, dan seimbang.[34]) Masing-masing tak bisa bertepuk sebelah tangan. Sebagai laki-laki sejati, suami tentu tidak akan merasa tenteram jika istrinya telah berbuat sebaik-baiknya demi kebahagiaan suami, tetapi suami sendiri tidak mampu memberikan kebahagiaan terhadap istrinya.demikian pula sebaliknya. Kedua belah pihak bisa saling mengasihi dan menyayangi sesuai dengan kedudukannya masing-masing.
Menurut ajaran Islam mencapai ketenangan hati dan kehidupan yang aman damai adalah hakekat perkawinan muslim yang disebut sakinah. Untuk hidup bahagia dan sejahtera manusia membutuhkan ketenangan hati dan jiwa yang aman damai. Tanpa ketenangan dan keamanan hati, banyak masalah tak terpecahkan. Apalagi kehidupan keluarga yang anggotanya adalah manusia-manusia hidup dengan segala cita dan citranya.
Ada tiga macam kebutuhan manusia yang harus dipenuhi untuk dapat hidup bahagia dan tenang, yaitu:
1.      Kebutuhan vital biologis, seperti: makan, minum, dan hubungan suami istri.
2.      Kebutuhan sosial kultural, seperti: pergaulan sosial, kebudayaan, dan pendidikan.
3.      Kebutuhan metaphisis atau regilious, seperti: agama, moral, dan filsafat hidup.
Dari sini jelas bahwa hubungan suami-istri dalam kehidupan rumah tangga bukan hanya menyangkut jasmaniah saja, tetapi meliputi segala macam keperluan hidup insāni>. Keakraban yang sempurna, saling membutuhkan dan saling mencintai, serta rela mengabdikan diri satu dengan lainnya merupakan bagian dan kesatuan yang tak terpisahkan. Keduanya harus memikul bersama tanggung jawab, saling mengisi dan tolong-menolong dalam melayarkan bahtera kehidupan rumah tangga. Oleh karenanya, ketiga kebutuhan tersebut saling kait-mengait, masing-masing saling mempengaruhi dan ketiganya harus terpenuhi untuk dapat disebut keluarga bahagia, aman, dan damai.
Jadi, membentuk keluarga sakinah merupakan sebuah keniscayaan, khususnya bagi keluarga muslim. Sebab berumah tangga merupakan bagian dari nikmat Allah yang diberikan kepada umat manusia.

B.   Proses Terbentuknya Keluarga Sakinah
Untuk sampai pada terwujudnya sebuah keluarga yang sakinah, seorang individu sebaiknya mengusahakannya sedini mungkin, yaitu mulai dari sebelum memasuki pernikahan (masa pra pernikahan), dan kemudian dilanjutkan sampai saat setelah memasuki kehidupan keluarga. Adapun proses tersebut  lebih jelasnya sebagai berikut:
  1. Masa pra pernikahan
Pada masa pra nikah ini, yang termasuk di dalamnya adalah: memilih pasangan, meminang atau melamar, dan kemudian menikah. Dalam rangka mewujudkan keluarga sakinah, calon suami istri perlu memilih pasangannya secara tepat. Di dalam hal memilih pasangan untuk dijadikan pasangan hidup, Islam mempunyai aturan tersendiri tentang kriteria dan tipe yang baik menurut agama, dan tentunya baik juga untuk individu yang bersangkutan jika kriteria tersebut terpenuhi.
Memilih pasangan yang tepat merupakan hal yang gampang-gampang susah. Hal ini berkaitan dengan masalah takdir dan juga selera masing-masing orang. Pasangan hidup atau jodoh memang merupakan hak prerogatif Allah. Tetapi sebagai hamba-Nya yang baik, kita diwajibkan berusaha mencari dan memilih pasangan sesuai dengan aturan syari’at. Disamping itu, dalam rangka mencari dan memilih pasangan yang tepat, hendaknya memahami alasan yang tepat dalam memilih pasangan, mengetahui tipe-tipenya calon suami atau istri yang baik disamping selalu mohon petunjuk dari Allah dengan melakukan shalat istikharah, agar mendapat ridha-Nya.
Dalam hal memilih pasangan, biasanya seorang laki-laki dalam memilih calon istri, atau perempuan memilih calon suami, disamping rasa cinta biasanya tidak terlepas dari empat alasan berikut: karena hartanya, karena nasabnya, karena parasnya, karena agamanya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw dalam hadisnya:
عن أبي هريرة ر.ع. عن النّبيّ ص. م. قال: تنكح المرأة لأربع: لمالها ولحسبها ولجمالها ولدينها. فظفر بذات الدّين تربت يداك.[35]
Jika keempat alasan tersebut semuanya ada pada seorang laki-laki, tentulah merupakan calon suami yang ideal. Seorang calon suami yang kaya raya, dari keturunan yang baik-baik atau keturunan bangsawan misalnya, wajahnya tampan dan taat beribadah. Atau sebaliknya, seorang gadis yang kaya, keturunan orang baik-baik atau ningrat, cantik rupawan dan taat mengamalkan ajaran agama. Tentulah merupakan calon istri yang amat ideal. Akan tetapi, dari hadis tersebut juga kita bisa mengambil pelajaran dalam rangka memilih pasangan yang tepat, yaitu kita boleh memilih calon pasangan karena alasan apapun, tetapi tidak boleh lepas dari alasan agama.[36]
Lebih jelasnya, karena perempuan dalam keluarga sangat menentukan berhasil tidaknya dalam mewujudkan keluarga sakinah, maka untuk memilih calon istri yang baik, seorang lelaki hendaknya memilih wanita yang memiliki ciri-cri sebagai berikut:
1.      Shalihah.
      Yaitu wanita yang ciri-cirinya telah dijelaskan oleh Allah di dalam al-Qur’ān surat an-Nisā’ ayat 34, yaitu wanita yang memiliki kriteria sebagai berikut:
a.                   Taat kepada Allah
      Yaitu wanita yang bertakwa kepada Allah
b.      Taat kepada suami
      Taat kepada suami bukan berarti mentaati segala perintah dan meningggalkan semua larangan suami. Akan tetapi yang dimaksud adalah mentaati semua perintah dan larangan suami selama itu tidak bertentangan dengan agama.
c.       Memelihara hak-hak suami ketika ada ataupun tidak adanya suami, kapan pun dan di mana pun. Wanita yang shalihah selalu memelihara harga diri dan memelihara anak serta harta suami.
d.      Perempuan yang menyenangkan hati jika dipandang, memberikan kesejukan ketika suami sedang marah, rela atas segala pemberian suami.
2.      Perempuan yang subur
Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW:
وروى أحمد عن أنس بن مالك بلفظ أنّ النّبيّ يقول تزوّجو الودود الولود فإنّى مكاثربكم الأمم يوم القيامة.[37]
3.      Perempuan yang masih gadis
Alasannya: a. lebih manis tutur katanya, b. lebih banyak keturunannya, c. lebih kecil kemungkinannya berbuat makar terhadap suami, d. lebih bisa menerima pemberian yang sedikit, e. lebih mesra ketika diajak bercanda
4.      Perempuan yang bernasab baik
Karena perilaku orang tua dan nenek moyangnya memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap keturunannya.[38]
5.      Perempuan yang bukan keluarga dekat
Menurut Nabi saw, dengan menikahi perempuan yang masih keluarga dekat akan sangat memungkinkan anak-anak yang bakal lahir nanti akan mengalami lemah fisik dan mentalnya
6.      Perempuan yang sekufu’
Yaitu perempuan yang sepadan dalam hal agamanya, tingkat ekonominya, derajat sosialnya, dan derajat intelektualnya.
Namun yang lebih penting dari itu semua adalah saling ridha dari kedua belah pihak. Karena hal itu bisa mengatasi perbedaan yang melatarbelakanginya.
Sebagaimana laki-laki, perempuan juga berhak untuk memilih calon suami yang baik. Ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan oleh perempuan dalam memilih calon suami, yaitu antara lain:
1.      Laki-laki yang shaleh
Laki-laki yang shaleh adalah laki-laki yang taat beragama dan berakhlak mulia.[39]
2.   Laki-laki yang bertanggung jawab
      Sebagai pemimpin keluarga, laki-laki memiliki tanggung jawab lebih besar daripada istri. Oleh karena itu, perempuan hendaknya memilih calon suami yang penuh tanggung jawab.
3.   Laki-laki yang sehat dan bernasab baik
      sebagaimana laki-laki, untuk perempuan juga hendaknya memilih calon suami yang sehat dan bernasab baik, karena untuk memperolah keturunan yang baik pula.
4.                                                                                                                                                                                                                                          Laki-laki yang mapan
Karena laki-laki merupakan tulang punggung ekonomi keluarga, maka hendaknya perempuan memilih laki-laki yang telah mampu mencukupi nafkah keluarga.
5.                                                                                                                                                                                                                                          Laki-laki yang bijaksana
Laki-laki yang bijaksana akan memiliki sifat penyayang terhadap sesama, terlebih-lebih kepada istri dan anaknya. Juga memiliki sifat sabar, setia, tidak egois, tidak emosional, dan mampu mengatasi problem keluarga dengan tenang.
6.                                                                                                                                                                                                                                          Laki-laki yang mampu mendidik calon istri
Suami berkewajiban mendidik istri dan anak-anaknya. Karena itu, perempuan dan orang tua/walinya perlu mempertimbangkan tingkat kedewasaan calon suami/menantunya.
Selanjutnya, setelah memilih calon pasangan yang cocok, kemudian bagi pihak yang berkepentingan (baik itu pihak laki-laki ataupun perempuan) melakukan peminangan atau lamaran[40] sesuai dengan cara-cara yang berlaku di masyarakat setempat.
      Adapun sebuah pinangan dapat dilakukan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Perempuan yang akan dipinang belum dipinang secara sah oleh laki-laki lain. Sabda Nabi SAW:
 عن عقبة بن عامر ر.ع. أنّ النّبيّ ص.م. قال: ألمؤمن أخوالمؤمن فلايحلّ للمؤمن أن يبتاع على بيع أخيه ولايخطب على خطبة أخيه حتّىيذر.[41]
2.      Tidak terhalang secara syarā’ antara peminang dan yang dipinang.
                  Yang dimaksud terhalang secara syar’i seperti larangan melakukan peminangan karena si perempuan yang akan dipinang masih bersuami, muhrimnya, dan perempuan yang masih menjalani masa ‘iddah (‘iddah karena suaminya meninggal ataupun karena dicerai (di talāq).
      Firman Allah SWT:
ولاجناح عليكم فيما عرّضتم به من خطبة النّساء أوأكننتم فىأنفسكم. علم الله أنّكم ستذكرونهنّ ولكن لاّ توعدوهنّ سرّاإلاّ أن تقولوا قولامعروفا. ولاتعزموا عقدة النّكاح حتّى يبلغ الكتاب اجله. واعلموا أنّ الله يعلم ما فىأنفسكم فاحذروه.[42]
Dalam melakukan peminangan, hendaknya melakukannya dengan penuh sopan dan sesuai dengan adat setempat. Ada beberapa ketentuan yang perlu diketahui oleh peminang ketika akan melakukan peminangan. Yaitu[43]:
1.      Peminang boleh melihat perempuan yang dipinang sebatas yang diperbolehkan oleh syara’, seperti wajah dan telapak tangan. Alasannya karena dengan melihat perempuan yang dipinangnya akan memberikan jaminan kelangsungan hubungan suami istri.
Hadis Nabi saw:
وعن جابر قال: سمعت النّبيّ ص.م. يقول:"إذا خطب احدكم المرأة فقدر أن يرى منها بعض ما يدعوه الى نكاحها فاليفعل.[44]
2.      Mengenali sifat-sifat calon yang dipinangnya.
Sebagaimana mengetahui wajahnya, seorang peminang juga berhak untuk mengetahui karakter dari calon yang dipinangnya. Akan tetapi dalam hal ini peminang hanya boleh menanyakannya dengan orang-orang dekat perempuan.
3.      Peminang dan perempuan yang dipinangnya tidak boleh menyendiri berduaan.
عن جابر ر.ع. أنّ النّبيّ ص.م. قال: من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلايخلونّ بامرأة ليس معها ذومحرم منها، فإنّ ثالثهما الشّيطان.[45]
Itulah beberapa hal yang perlu dipahami laki-laki yang hendak meminang perempuan pilihannya. Dengan mengikuti ketentuan yang telah diatur dalam agama, berarti langkah awal dalam rangka mewujudkan keluarga sakinah telah tercapai.
Setelah memahami tentang memilih pasangan dan hal-hal yang berkaitan dengan peminangan, langkah selanjutnya adalah melakukan pernikahan.
Pernikahan atau nikah adalah suatu upacara suci sesuai dengan rukun-rukun dan syarat-syarat tertentu dengan niat untuk membangun keluarga sakinah dalam jangka waktu yang tidak terbatas.[46])  Adapun rukun nikah menurut hukum Islam itu ada 5, yaitu: 1. calon suami, 2. calon istri, 3. wali nikah, 4. dua orang saksi, 5. ijab dan qabul. Sedangkan syarat-syarat nikah antara lain:
1.      Kematangan usia calon mempelai
Dalam KHI pasal 15 ayat 1 dan UUP pasal 7 ayat 1 dinyatakan bahwa batas usia perkawinan 19 tahun bagi pria dan dan 16 tahun bagi wanita. Hal ini dimaksudkan untuk terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Kalau usia perkawinan lebih rendah, tujuan perkawinan akan sulit dicapai. Sebab baik fisik maupun mentalnya belum siap menghadapi berbagai masalah dalam kehidupan rumah tangga.
2.      Kerelaan kedua pihak
Di dalam hukum Islam perkawinan harus di dasarkan atas kerelaan kedua belah pihak. Karena itu tidak dibenarkan kalau terjadi pemaksaan terhadap perkawinan. Pemaksaan ini, selain bertentangan dengan sabda Nabi saw dan hak asasi kedua belah pihak dalam menentukan kehendak, tetapi juga dapat berakibat tidak tercapainya tujuan perkawinan, bahkan akan menimbulkan kemadaratan bagi keduanya.
3.      Keikutsertaan keluarga
Menurut hukum Islam maupun adat istiadat bangsa Indonesia, perkawinan bukanlah semata-mata urusan pribadi yang bersangkutan. Sehingga sangat tidak pantas apabila orang tua/wali tidak diikut sertakan dalam masalah ini.
   Setelah syarat dan rukunnya terpenuhi, selanjutnya adalah mengadakan walimah al-‘arūs. Karena sebenarnya pernikahan itu sendiri menurut adat kita identik dengan walimah.
      Menurut bahasa, walimah berarti perayaan atau pesta. Sedangkan walimah al-‘arūs sendiri adalah perayaan pengantin sebagai ungkapan rasa syukur atas pernikahannya, dengan mengajak sanak saudara beserta masyarakat untuk ikut berbahagia dan menyaksikan resminya pernikahan tersebut. Mengadakan walimah al-‘arūs hukumnya sunnat muakkadah. Sedangkan menghadirinya adalah wajib hukumnya, kecuali orang yang sedang ada uz\ur.[47] Sabda Rasulullah saw:
وفى رواية:,إذا دعي احدكم الى وليمة فاليأتها[48]
Untuk lebih meriahnya acara walimahan, biasanya diadakan juga sebuah hiburan berupa musik dan nyanyian. Dalam hal ini Islam membolehkan dengan catatan tidak berlebihan dan tidak mengundang maksiat.[49]
Demikianlah hal-hal yang perlu dipahami dan dipersiapkan oleh seorang muslim mengenai hal-hal yang berkenaan dengan segala sesuatu yang terjadi pada masa pra pernikahan. Hal ini dimaksudkan supaya pelaksanaannya berjalan dengan baik dan tidak menyimpang dari aturan agama sehingga diharapkan akan tercipta keluarga sakinah yang bahagia sejahtera lahir dan batin.
2.   Masa dalam Pernikahan (Rumah Tangga)
         Pada masa ini, seorang suami dan istri yang ingin menjadikan rumah tangganya menjadi rumah tangga yang sakinah, bahagia lahir dan batin hendaknya berupaya untuk mewujudkan hal-hal sebagai berikut:
a.   Terpenuhinya Kebutuhan Lahiriyah
                  Mu’min yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya. Dan yang paling baik diantara kalian adalah orang yang paling baik terhadap istrinya. Demikianlah antara lain bunyi salah satu hadis Nabi saw yang menunjukkan betapa pentingnya bersikap dan berbuat yang terbaik bagi istri. Di dalam al-Qur’ān juga telah dinyatakan bahwa suami wajib menggauli istrinya dengan baik, penuh kasih sayang, memberi nafkah lahiriyah dan batiniyah secara baik dan layak, serta selalu lemah lembut dalam berbicara.
وعاشروهنّ بالمعروف[50]
Kebahagiaan keluarga tidak akan tercapai tanpa tercukupinya nafkah.[51] Nafkah merupakan kebutuhan pokok bagi kehidupan keluarga, dan kebahagiaan keluarga sulit dicapai tanpa terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Karena ketiga kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan yang sifatnya d}oruri> bagi manusia, terlebih lagi bagi suami-istri. Suami, sebagai kepala keluarga mempunyai tanggung jawab penuh untuk memenuhi ketiga kebutuhan tersebut dengan baik. Karena kaum lelaki telah diberi beberapa derajat yang lebih oleh Allah dibandingkan perempuan atau istrinya. Maka dari itu suami harus menyadari kewajiban dan tanggung jawabnya.
ألرّجال قوّامون علىالنّسآء بما فضّل الله بعضهم على بعض وبمآ أنفقوا من أموالهم.[52]
                  Nafkah keluarga menyangkut nafkah istri, anak-anaknya (termasuk juga biaya pendidikannya), pembantu rumah tangga (kalau ada), dan semua orang yang menjadi tanggungannya seperti orang tua dan saudara-saudaranya yang tidak mampu menanggung nafkah, secara hukum juga menjadi tanggungan kepala keluarga yang bersangkutan.
                  Allah tidak akan membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Meskipun kadar nafkah yang wajib diberikan suami sesuai dengan kemampuannya, akan tetapi hendaknya suami berusaha sekuat tenaga agar dapat memenuhi nafkah keluarga dan mengusahakannya secara halal, dan diperoleh dengan jalan yang baik pula, sehingga mendapatkan ridho Allah swt. Selain itu, suami juga tidak boleh bersikap kikir dalam memberikannya kepada orang-orang yang menjadi tanggungannya. Ia harus memberikannya dengan ikhlas dan hanya karena mengharap ridho Allah dan demi kebahagiaan keluarganya.
b.      Terpenuhi kebutuhan bathin
                  Sebagaimana kewajiban berbuat baik dalam hal lahir, suami juga berkewajiban berbuat baik dalam hal yang berhubungan dengan kebutuhan bathin istrinya, dan dalam hal ini berhubungan erat dengan kebutuhan biologis manusia. Hajat biologis merupakan kodrat pembawaan hidup dan termasuk kebutuhan vital diantara kebutuhan manusia yang lainnya. Kehendak ingin berhubungan seksual termasuk motif biogenesis bagi manusia yaitu kebutuhan untuk melanjutkan keturunan dan berkembang biak.
      Firman Allah:
زيّن للنّاس حبّ الشهوات من النّسآء والبنين...[53]
                              Islam merupakan agama yang telah mempunyai aturan yang komplek, termasuk juga dalam masalah ini. Ada beberapa etika yang berkenaan dengan hubungan seksual, dan salah satunya adalah larangan atau tidak dibenarkan pergaulan yang dapat merangsang kehendak seksual. Dikatakan bahwa rangsangan seksual yang tidak tersalurkan menyebabkan kegelisahan jiwa raga dan dapat membahayakan kesehatan.
                              Begitu juga dalam kehidupan rumah tangga. Ketenteraman dan keserasian hidup perkawinan antara lain ditentukan oleh faktor hajat biologis ini. Kekecewaan yang dialami dalam masalah ini dapat menimbulkan keretakan dalam hidup rumah tangga. Jelasnya, kepuasan bersetubuh adalah puncak kenikmatan biologis yang selalu diimpikan oleh setiap orang, terutama istri, maka seorang istri diperbolehkan minta cerai apabila kebutuhan yang satu ini tidak terpenuhi. Karena apabila diteruskan dan tidak ada upaya perubahan, dikhawatirkan istri akan patah semangat, bahkan melakukan tindakan selingkuh di luar rumah.[54]
c.       Terpenuhi Kebutuhan Spiritual
                  Selain memberi  nafkah lahir dan bathin yang baik, suami juga mempunya kewajiban memberi bimbingan yang baik kepada istri dan anak-anaknya. Hendaknya suami selalu berusaha untuk meningkatkan taraf keagamaan, akhlak, dan ilmu pengetahuan mereka berdua. Mendidik dan membimbing istri dan anaknya untuk selalu beriman, beribadah, dan bertakwa kepada Allah SWT.
                  Sedangkan pendidikan dan bimbingan yang paling penting diberikan oleh suami kepada istrinya adalah pendidikan yang berhubungan kehidupan sehari-hari istrinya, seperti masalah hukum thaharah, haidh, nifas, dan pendidikan akhlak.
                              Jika suami mempunyai kemampuan untuk mengajar sendiri, maka istrinya tidak boleh keluar rumah untuk menanyakan kepada orang lain. Akan tetapi jika suaminya tidak mampu karena minimnya ilmu yang dimiliki, atau karena tidak ada waktu karena kesibukannya, maka sang istri wajib keluar rumah untuk untuk menuntut ilmu yang belum diketahuinya. Seandainya suaminya melarangnya, maka dia akan berdosa. Karena Allah telah berfirman bahwa diperintahkan bagi suami untuk menjaga dan memelihara keluarganya dari api neraka.
يآأيّها الّذين آمنوا قوآ أنفسكم وأهليكم نارا.[55]
                              Sebenarnya banyak jalan yang dapat ditempuh untuk memenuhi hak istri, misalnya melalui pengajian-pengajian, kursus, kegiatan kemasyarakatan, buku, majalah, dsb.



C.  Ciri-ciri Keluarga Sakinah
Dalam rangka merintis terwujudnya keluarga sakinah, calon suami istri perlu mempersiapkan diri secara matang dari segi fisik maupun mentalnya. Hal itu dikarenakan bervariasinya problematika kehidupan rumah tangga yang harus dihadapi oleh keduanya, yaitu suami dan istri. Adapun secara garis besar keluarga sakinah akan dapat terwujud apabila diantara suami dan istri mampu mewujudkan beberapa hal sebagai berikut:
  1. Keseimbangan Hak dan Kewajiban antara Suami dan Istri
                     Dalam rumah tangga Islam, seorang suami mempunyai hak dan kewajiban terhadap istrinya.[56] Demikian pula sebaliknya, seorang istri juga mempunyai hak dan kewajiban terhadap suaminya. Masing-masing pasangan hendaknya selalu memperhatikan dan memenuhi setiap kewajibannya terhadap pasangannya sebelum ia mengharapkan haknya secara utuh dari pasangannya. Jika melaksanakan kewajiban dengan baik dan penuh tanggung jawab maka akan terasalah manisnya kehidupan dalam keluarga serta akan mendapatkan haknya sebagaimana mestinya.
ولهنّ مثل الّذى عليهنّ بالمعروف[57]
                     Firman Allah tersebut menunjukkan suatu pengertian bahwa suami istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama, meskipun kaum pria diberikan derajat yang lebih tinggi daripada wanita. Kelebihan derajat tersebut dimaksudkan oleh-Nya sebagai karunia, karena mereka –kaum pria- dibebani tanggung jawab sebagai pelindung kaum perempuan yaitu berupa kelebihan kekuatan fisik dan mental. Akan tetapi, kekuasaan kaum pria terhadap kaum wanita bukan berarti kaum pria boleh bertindak semena-mena terhadap istrinya, namun semuanya itu mempunyai aturan dalam koridor yang sudah ditentukan oleh agama.
                     Adapun tolok ukur keseimbangan hak dan kewajiban antara seorang suami dan istri adalah apabila pasangan suami-istri itu tergolong baik dalam pandangan masyarakat, juga baik dalam pandangan syara’. Artinya antara suami dengan istri tersebut membina pergaulan dengan baik dan tidak saling merugikan.[58]
                     Syariat Islam telah memperinci pergaulan suami-istri tentang hal-hal yang berkenaan dengan hak dan kewajiban antara suami dan istri, yaitu seperti uraian di bawah ini:
a.       Hak-hak Istri dan Kewajiban Suami
                  Hak-hak istri adalah kata lain dari kewajiban suami. Hal ini dikarenakan di dalam hak istri terkandung hal-hal mana saja yang harus ditunaikan atau dilakukan oleh suami untuk istrinya. Sedangkan hak-hak istri yang menjadi kewajiban suami tersebut secara garis besar ada dua macam, yaitu hak-hak yang besifat kebendaan dan hak-hak yang bukan kebendaan (berbentuk moril). Adapun hak-hak yang berhubungan dengan kebendaan antara lain:
      1.   Membayar mahar
            Sebagaimana firman Allah SWT:
وءآتوالنّساء صدقتهنّ نحله[59]
                        Dari ayat tersebut diperoleh suatu pengertian bahwa mahar adalah pemberian wajib dari suami kepada istri, dan merupakan hak penuh bagi istri yang tidak boleh diganggu suami.
                        Sedangkan dalam membayar mahar boleh dilakukan dengan cara dibayar secara tunai atau bisa dengan cara dibayar belakangan alias hutang. Mahar menjadi beban suami sejak akad nikah dan harus dibayar penuh setelah terjadi persetubuhan.
2.   Memberi nafkah
                  Telah dinyatakan di sub bab sebelumnya bahwa suami wajib memberikan nafkah kepada istri dan keluarganya. Kepada istri, nafkah yang wajib diberikan terdiri atas dua macam, yaitu nafkah lahiriyah dan nafkah bathiniyah.
                  Dalam hal nafkah lahiriyah ini, yang wajib diberikan suami adalah nafkah berupa sandang, pangan, dan papan atau tempat tinggal yang kadarnya disesuaikan dengan kemampuan sang suami. Artinya besarnya nafkah yang wajib diberikan oleh suami kepada istrinya adalah dapat mencukupi kebutuhan secara wajar, tidak kurang dan tidak berlebihan. Jadi, tingkat kewajaran masing-masing individu berbeda-beda antara satu orang dengan yang lainnya.
وقال ص. م . حقّ المرأة على الزّوج أن يطعمها إذا طعم ويكسوها إذا اكتسى.[60]
Satu hal yang harus lebih diperhatikan oleh suami adalah bahwa suami yang baik akan selalu melakukan yang terbaik bagi keluarganya. Ia akan selalu berusaha untuk melakukan hal-hal yang membahagiakan bagi anak dan istrinya. Ia selalu mengutamakan nafkah keluarga dalam membelanjakan hartanya di atas kepentingan-kepentingan lainnya. Membelanjakan harta untuk shadaqah di jalan Allah adalah hal yang utama, akan tetapi jika tidak mampu janganlah dipaksakan, jangan sampai tindakannya justru melupakan nafkah keluarga.[61]
      Islam memerintahkan berbuat baik kepada istri bukan saja dengan harta benda, akan tetapi juga dengan kelakuan dan etika (berhubungan dengan moril/bat}iniyah). Yaitu antara lain  seperti:
1.   Berbuat terbaik di tempat tidur
                  Yaitu memenuhi kebutuhan kodrat biologis (kebutuhan bat}iniyah) istri. Berbuat terbaik di tempat tidur adalah hal yang mutlak bagi suami-istri. Karena suasana yang ada akan membawa pengaruh besar bagi kehidupan rumah tangganya. Sekaligus kepuasan yang yang ada akan membawa semangat hidup tersendiri bagi suami-istri, sebaliknya dengan kegagalannya juga akan menimbulkan patah semangat bagi keduanya.
2.   Menggauli istri dengan ma’rūf
                  Banyak cara yang bisa dilakukan dalam menggauli istri dengan baik. Hal ini merupakan seni tersendiri dalam membina manajemen keluarga. Oleh karena itu harus dicari kiat-kiat tertentu supaya tercipta suasana yang kondusif, suasana yang sakinah, mawaddah, warahmah.
                  Sikap menghargai dan menghormati serta perlakuan yang baik merupakan pilihan yang harus diambil oleh suami untuk istrinya. Disamping itu juga selau berusaha meningkatkan taraf hidup istri dalam bidang agama, akhlak, dan ilmu pengetahuan yang diperlukan,sampai suami berhasil membimbing istrinya selalu di jalan yang benar dengan tak kenal menyerah.
b.  Hak-hak Suami dan Kewajiban Istri
                  Keluarga merupakan satu ikatan yang utuh antara suami dan istri, satu sama lain terjalin erat. Satu sama lain memiliki hak dan kewajibannya masing-masing. Bila seorang suami telah melaksanakan kewajibannya dengan baik, maka wajarlah apabila ia mendapatkan haknya dengan sebaik-baiknya dari istri dan keluarganya, seperti sikap hormat dan taat serta patuh dari istri dan anak-anaknya, mendapatkan pelayanan atas kebutuhan fisik dan psikisnya, mendapatkan pemeliharaan istri atas harta dan nama baik serta kehormatannya dari istrinya, mendapatkan sedekah dari sebagian harta istrinya bila keadaan sulit dihadapinya atau bersabar dalam menghadapi tekanan hidup jika tidak mempunyai sesuatu (harta).
                  Hak-hak suami yang wajib dipenuhi hanya merupakan hak-hak yang bukan kebendaan. Sebab, menurut hukum Islam istri tidak dibebani kewajiban kebendaan yang diperlukan untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Bahkan istri diutamakan untuk tidak usah ikut bekerja mencari nafkah jika suami memang mampu memenuhi kewajiban nafkah keluarga dengan baik. Adapun hak-hak suami dan kewajiban istri tersebut antara lain hak untuk ditaati, dihormati, dan diperlakukan dengan baik terutama di tempat tidur. 
                  Untuk hak ditaati ini, disebabkan karena secara kodrati kedudukan suami di dalam rumah tangga adalah sebagai kepala keluarga yang mempunyai tugas selain memimpin keluarganya juga wajib mencukupi nafkah mereka. Istri-istri yang shalehah adalah yang patuh kepada Allah dan kepada suami-suaminya serta memelihara harta benda dan hak suaminya meskipun suaminya tidak ada di dekatnya. Kewajiban taat kepada suami ini tidak termasuk perintah yang melanggar larangan Allah, dan perintah tersebut termasuk hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan rumah tangga. Dengan demikian apabila suami memerintahkan untuk membelanjakan harta milik pribadinya sesuai keinginan suami, maka bagi istri tidak wajib taat atas perintah tersebut. Selain itu, kewajiban tesebut berlaku apabila suami telah memenuhi kewajiban-kewajibannya yang menjadi hak istri, baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat bukan kebendaan.[62]
                  Bentuk ketaatan yang lain adalah istri tidak boleh menerima masuknya seseorang yang bukan mahramnya tanpa seizin suaminya. Apabila yang datang adalah mahramnya seperti ayah, saudara, paman, dsb maka dibenarkan menerima kedatangan mereka tanpa izin suami.
  1. Pemeliharaan dan Pendidikan Anak
                        Sebuah keluarga sakinah tak akan terwujud tanpa dilengkapi dengan anak-anak yang shalih dan shalihah. Namun untuk menciptakan anak yang shalih dan shalihah tersebut bukanlah pekerjaan yang mudah. Untuk mewujudkan anak-anak yang shalih dan shalihah, yakni anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya, agama, bangsa, dan negaranya, maka diperlukan kiat-kiat tersendiri yang harus dipahami oleh setiap suami istri atau tepatnya kedua orang tua.
                        Anak-anak hari ini adalah orang dewasa di masa yang akan datang. Mereka akan mempunyai kewajiban dan tanggung jawab yang cukup besar sebagaimana layaknya dalam kehidupan orang-orang dewasa pada umumnya. Bagaimana keadaan orang dewasa di masa yang akan datang sangat tergantung kepada sikap dan penerimaan serta perlakuan orang tua terhadap anak-anaknya pada saat sekarang. Oleh karena itu merupakan bahan kesadaran yang cukup baik pada sementara orang dewasa untuk memperhatikan apa yang mereka berikan kepada anak-anaknya. Sesuatu yang diberikan kepada anak tentu akan memberikan hasil yang cukup menggembirakan jika permasalahan hubungan dan cara serta perasaan tanggung jawabnya tidak diabaikan dalam keadaan tersebut.
                     Anak adalah amanat Allah yang apabila tidak dipelihara akan mendatangkan fitnah dan kesengsaraan yang berkepanjangan kelak di akhirat. Maka setiap orang muslim (orang tua) hendaknya memahami apa tanggung jawabnya terhadap anak-anak. Karena tanpa memahaminya niscaya tidak akan melaksanakan kewajibannya dengan baik. Seorang anak harus dirawat dengan baik, disayang, dan dididik dengan pendidikan yang bermanfaat supaya ia dapat tumbuh dewasa menjadi anak yang shaleh dan shalihah.
                     Selain itu, setiap orang tua yang bertanggung jawab juga memikirkan dan mengusahakan agar senantiasa terciptakan dan terpeliharakan suatu hubungan antara orang tua dengan anak yang baik, efektif, dan menmbah kebaikan dan keharmonisan keluarga. Hubungan orang tua yang efektif penuh kemesraan dan tanggung jawab yang didasari oleh kasih sayang yang tulus menyebabkan anak-anaknya kan mampu mengembangkan aspek-aspek kegiatan manusia pada umumnya, yaitu kegiatan yang bersifat individual, kegiatan sosial, dan kegiatan keagamaan.
                     Disamping pemeliharaan yang baik dan penuh kasih sayang, sebagai amanat Allah, anak harus dididik dengan baik., sesuai dengan tingkat perkembangannya. Dengan pendidikan yang baik, anak akan berkembang dengan baik pula, sehingga menjadi manusia seutuhnya yang mengetahui hak dan kewajiban hidupnya, baik hak dan kewajiban dirinya terhadap orang tuanya, masyarakatnya, maupun terhadap Tuhannya. Sebenarnya pelaksanaan pendidikan dan pengajaran terhadap anak yang dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan kasih sayang adalah merupakan kewajiban agama dalam kehidupan manusia.
                     Adapun pokok-pokok pendidikan secara Islami yang harus diberikan orang tua kepada anaknya adalah pendidikan yang menyangkut masalah akidah, akhlak dan syariat, dan juga pendidikan lainnya yang berhubungan dengan kebutuhan hidup di masa depan, sehingga terjaga keseimbangan nilai antara duniawi dan ukhrowinya. Juga tidak kalah pentingnya adalah pendidikan dengan contoh dan keteladanan dari orang tuanya.
  1. Terciptanya Hubungan Sosial Yang Harmonis
                     Seperti dijelaskan di depan bahwa keluarga atau rumah tangga merupakan suatu unit masyarakat terkecil. Sudah barang tentu mempunyai tanggung jawab pula dengan masyarakat di sekitar di mana mereka berada. Tidak hanya terbatas pada orang tua, anak-anak bahkan anggota keluarga yang lain juga berperan terhadap masyarakat di sekelilingnya.
                     Hidup bermasyarakat sebuah keniscayaan bagi manusia. Oleh karenanya, seorang individu selain berbuat terbaik dalam pergaulan sehari-hari di rumah juga harus berbuat terbaik dalam pergaulan sehari-hari di luar rumah. Pergaulan tersebut mencakup dengan tetangga, kerabat, dan dengan masyarakat pada umumnya.
                     Berbuat baik kepada tetangga dapat diwujudkan dalam ucapan dan tindakan, seperti tidak menyakiti tetangga, menghormati mereka, tidak arogan dan egois, dan membiasakan tolong menolong antar sesama.
                     Seorang muslim yang baik juga akan selalu berusaha melakukan yang terbaik kepada kaum kerabatnya (baik dari pihak suami atau istri, jauh maupun dekat), dan selalu menjalin tali silaturrahim dengan seluruh keluarga besarnya.
                             
                                                 BAB III
         KONSEP KELUARGA SAKINAH MENURUT JAMA’AH TABLIG                                                           
A.    Gambaran Umum Mengenai Jama’ah Tablig
1.  Biografi Pendiri Jama’ah Tablig
Jama’ah Tablig atau JT pertama kali muncul pada periode ketiga abad ke- 13 H di sebelah selatan kota Delhi di kawasan yang biasa dikenal dengan sebutan Mewat, karena di kawasan ini sejak dahulu kala didiami oleh orang–orang Meo.[63] Kawasan ini termasuk dalam wilayah Gurgaon (Punjab), yakni negeri asal Alwar dan Bharatpur disamping juga termasuk daerah Mathura dari salah satu wilayah persatuan.
Syaikh Maulana Muhammad Ilyas bin Muhammad Ismail Al-Kandahlawy Rah. A. yang merupakan pendiri JT lahir pada tahun 1303 H atau tahun 1886 M.[64] Sebenarnya bukan penduduk asli daerah tersebut, akan tetapi beliau lahir di Kandhla, sebuah desa di kawasan Muzafar Nagar di wilayah Utarpradesh, India.
Maulana M. Ilyas lahir di dalam keluarga yang terkenal sebagai gudang ilmu agama dan memiliki sifat wara’.[65] Ayahnya bernama Syaikh Muhammad Ismail merupakan seorang ruhaniawan besar juga berasal dari lingkungan keluarga yang memiliki kedudukan yang tinggi dalam ilmu dan agama. Selain itu disinyalir masih keturunan dari khalifah Abū Bakar al-S}iddi>q. Dia tinggal di Nizhamuddin, New Delhi ibu kota India.[66] Ayahnya suka menjalani hidupnya dengan uzlah, khalwat, dan beribadah. Boleh dikatakan siang dan malam ayahnya hanya sibuk dengan beribadah, membaca al-Qur’an, melayani para musafir yang datang dan pergi, serta mengajar al-Qur’an dan ilmu–ilmu agama. Ayahnya juga terkenal sebagai seorang yang tawa>du’, rendah hati, dan suka menolong orang yang mengalami kesusahan.[67] Sebuah cara hidup yang biasa ditempuh oleh seorang sufi.[68]
Demikian juga perempuan dalam keluarganya juga tidak kalah dengan para laki–lakinya di dalam ketekunan beribadah, tilāwah, dan berzikir. Hal–hal yang demikian itu bukan merupakan hal yang asing lagi bagi mereka. Mereka semua sangat rajin membaca wirid dan tasbih disamping juga bangun malam. Kekuatannya dalam membaca al-Qur’an sungguh tidak tertandingi sekalipun dibandingkan dengan kaum laki–laki pada masa sekarang ini.[69]
Dalam keluarga demikianlah Maulana M. Ilyas lahir. Sehingga sangat wajar kalau kemudian hal tersebut sangat berpengaruh terhadap agama dan keimanan dalam kehidupannya. Alasan yang mendukung kesimpulan ini adalah bahwa keluarga merupakan rujukan pertama dan pondasi utama bagi anak-anak dalam memilih dan menentukan sikap serta perilakunya. Sebab dalam keluargalah interaksi sosial pertama anak dimulai, dan inilah sebenarnya sudah dimulai proses pendidikan. Demikian juga dalam lingkungan yang tidak berbeda, beliau tumbuh dan besar.
Ayahnya, Syaikh M. Ismāil meninggal pada tanggal 4 Syawal tahun 1315 H atau bertepatan dengan tanggal 26 Februari 1898 M  meninggalkan 3 orang anak laki–laki yaitu : Asy-Syaikh Muhammad (yang merupakan saudara tertua dari istri pertama), Asy-Syaikh M. Yahya, dan Maulana M. Ilyas yang keduanya dari istri kedua. Sedangkan ibu beliau bernama Shafiyah Al-Hafiz\ah juga hafal al-Qur’an.[70]
Adapun mengenai pendidikan beliau dimulai dari sekolah ibtida’ atau sekolah dasar dengan tidak mengesampingkan dari membaca dan menghafal al-Qur’an. Karena demikianlah adat di dalam keluarganya yaitu semuanya menghafal al-Qur’an. Kemudian setelah saudara tengahnya, Syaikh M. Yahya pergi ke Gangoh untuk belajar, membersihkan ruhani, dan menyerap ilmu–ilmu agama kepada Syaikh Rasyi>d Ahmad Al Gangohi  di desa Gangoh,kawasan Saharanpur, wilayah Utarpradesh, beliau pun tidak mau ketinggalan ikut juga. Hal ini terjadi pada akhir tahun 1314 H saat usia beliau baru 10 tahun. Hingga pada tahun 1323 H Syaikh Al-Gangohi wafat, beliau telah menjadi seorang pemuda yang berusia 20 tahun. Jadi beliau mengabdi di Gangoh selama 10 tahun.[71]
Selanjutnya untuk mendalami dan menyelesaikan pelajaran hadis syarifnya, pada tahun 1326 H beliau pergi ke Deoband untuk belajar kepada Syaikhul-Hind Asy-Syaikh Mahmud Hasan. Beliau ini merupakan ketua pengajaran dan guru hadis di Dārul Ulūm Deoband dalam Jami’ at-Tirmiz\i dan s}ahih Al-Bukhori>. Selain itu beliau juga menjalin hubungan dengan Syaikh Khalil Ahmad As-Saharanpuri, penulis kitab Bazlul Majhud fi> Hilli Al-fazi Abi> daud dan berbaiat[72] kepadanya sehingga beliau mendapatkan bimbingan ruhāniyah serta mensucikan hati.
Pada bulan Syawal 1328 H beliau dapat kepercayaan untuk mengajar di madrasah Maz}āhirul-‘Ulum Saharanpur sebagai guru sementara menggantikan para guru yang berangkat haji. Akan tetapi kemudian beliau diangkat sebagai guru tetap di sekolahan tersebut.[73] Dan 2 tahun kemudian yaitu tepatnya pada hari jum’at tanggal 6 Z|ulqa’dah 1330 atau tanggal 17 Oktober 1921 M beliau melangsungkan akad nikah dengan putri Syaikh Ra’uful Hasan di Kandhla.[74]
Pada tahun 1336 H setelah saudara tertuanya, Syaikh Muhammad meninggal, beliau diminta oleh masyarakat setempat untuk menggantikan dan meneruskan  memimpin dan mengelola peninggalan ayah dan saudaranya untuk memberi bimbingan kepada masyarakat di sekitar wilayah tersebut juga terutama meneruskan mengajar di madrasah ibtidaiyah yang didirikan oleh ayahnya sendiri yang kemudian diteruskan oleh kakaknya  yang berlokasi di masjid Al-Kukh Basti Nizāmuddin, New Delhi. Setelah mendapatkan izin dari Syaikh Saharanpuri maka berangkatlah M. M. Ilyas ke Nizamuddin mengajar dan mendidik muridnya serta memperbanyak ibadah dan mujāhadah.

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tumbuh dan Berkembangnya Jama’ah Tablig
Setiap kerja besar dan penting – baik yang berpengaruh positif maupun negatif– terwujudnya dan kemunculannya pasti ada faktor dan alasan yang yang melatarbelakanginya. Begitu juga dengan kemunculan jama’ah tabligh.
Maulana M. Ilyas menyatakan ada beberapa faktor yang mendorong tumbuhnya JT yaitu antara lain, secara umum karena umat Islam di sebagian besar negara telah ditimpa kebodohan, kefasikan, kerusakan, dan lain sebagainya.[75] Artinya mutu keberagamaan umat Islam di beberapa wilayah telah melenceng jauh dari ajaran murni Islam yang sumbernya tiada lain al- Qur’ān dan al-Sunnah.
Menurut beliau umat Islam benar-benar telah meniru tingkah laku jahiliyah. Bahkan di banyak negara peniruan mereka telah hampir menyeluruh. Kerusakan aqidah, kebodohan dalam ibadah, kesesatan berpikir, dan penyakit jiwa yang telah menimpa umat Islam di negara- negara Islam pada umumnya, dan di negeri India pada khususnya. Sehingga hampir tidak ada bedanya antara yang menyembah berhala dengan yang menyembah Allah SWT (antara yang beragama Islam dengan yang beragama Hindu atau yang lainnya).
Kondisi tersebut juga lah yang dilihat dan dialami secara langsung oleh beliau ketika berada di tengah orang-orang suku Meo yang berlokasi di daerah Mewat, sebelah selatan kota Delhi. Di mana di daerah tersebut kebanyakan masyarakatnya terjerumus ke dalam kemurtadan dan tradisi kaumiyyāh, seperti masih dilakukannya tradisi-tradisi ritual yang mencampurkan antara tradisi yang bersumber dari Islam dan tradisi yang bersumber dari Hindu, terutama dalam hal khitan, nikah, hari-hari besar, juga hal-hal yang berhubungan dengan penyelenggaraan orang yang  telah meninggal. Menurut beliau semua itu disebabkan oleh ketidakacuhan guru-guru agama Islam serta karena kebodohan orang-orang Meo.[76] 
Selanjutnya beliau melihat bahwa satu-satunya jalan untuk membangun Mewat adalah dengan membangkitkan pendidikan agama di kalangan masyarakat Mewat supaya mereka mengetahui hukum-hukum Islam serta kandungan al-Qur’ān, sehingga kebodohan akan sirna.
Sebenarnya Maulana M. Ilya>s bukan orang yang pertama kali membangun madrasah di daerah tersebut. Sebelumnya, seperti yang disebutkan di muka, ayahnya, Muhammad Ismāil pernah mendirikan madrasah di daerah itu. Namun demikian beliau bertekad untuk melangkah lebih maju lagi dari apa yang telah ada. Usaha pertama yang akan beliau lakukan adalah dengan membangun madrasah-madrasah di lingkungan Mewat itu sendiri, sehingga diharapkan semangat agama akan meluas dan gerak pembaharuan dapat lebih dipercepat.[77] Akhirnya berkat dorongan dan kegigihan beliau serta masyarakat Mewat akhirnya cita-cita itu terwujud juga. Sebuah madrasah telah dibuka yang kemudian disusul dengan beberapa madrasah lainnya bahkan akhirnya mencapai ratusan jumlahnya.[78]
Namun yang terjadi kemudian adalah Maulana M. Ilya>s yang pada mulanya ingin memulai perjuangannya menyebarkan dan mendidik agama kepada masyarakat Mewat khususnya dan umat manusia secara umum merasa tidak puas dengan hasil maksimal yang diberikan oleh madrasah-madrasah yang telah ada. Menurutnya madrasah hanya memberikan pendidikan yang sifatnya parsial (pembaharuan yang parsial). Dimana yang ada malah kebodohan, kegelapan, dan sekularisme yang melanda negerinya sangat berpengaruh terhadap madrasah–madrasah.[79] Bahkan para murid tidak mampu menjunjung tinggi nilai–nilai agama, sehingga kebodohan semakin melanda di mana–mana bagaikan gelombang lautan yang melaju deras membawa mereka hanyut semakin jauh.
Adalah suatu kenyataan, meskipun jumlah madrasah telah banyak akan tetapi tidak akan mampu menjangkau seluruh masyarakat  secara keseluruhan. Sangat tidak mungkin seluruh lapisan masyarakat akan mendapatkan pendidikan agama Islam lewat madrasah, sebagaimana tidak mungkinnya menjadikan mereka semua murid madrasah yang harus mengikuti pelajaran setiap harinya dan meninggalkan pekerjaan sehari–hari mereka.
Dari semua kejadian serta pengalaman yang telah didapatnya tersebut, Maulana M. Ilyas mengambil kesimpulan yang pasti bahwa madrasah–madrasah tidak mampu mengubah warna dan gaya kehidupan mereka, juga bahwa pembaharuan pada satu aspek serta kemajuan perseorangan dalam agama dan kewara’an bukan merupakan penyelesaian yang sebenarnya. Artinya, jika telah tercapai perbaikan di satu aspek ternyata masih banyak aspek lain yang tidak terjangkau oleh perbaikan , yakni berbagai aspek kehidupan yang sangat luas tetap jauh dari nilai–nilai iman dan semangat agama.[80]
Kemudian pada tahun 1344 H pergilah M.M. Ilya>s ke tanah suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji yang ke dua kalinya, dan pada kesempatan inilah Allah SWT membuka hatinya untuk memulai usaha dakwah dan pergerakan agama yang menyeluruh.[81] Asumsinya sebagaimana yang disampaikannya dalam pertemuan alim ulama dan pemimpin islam se-dunia di New Delhi, bahwa  kita sebagai umat Muhammad sudah seharusnya mengikuti jejak langkah beliau.[82] Sebagaimana telah kita ketahui kalau nabi Muhammad saw tiada lain adalah seorang muballig.
Maka setelah kepulangannya dari Makkah, beliau memulai usaha tablignya dan mengajak orang lain untuk bergabung bersamanya menyebarkan ajaran agama Islam  yang tentu saja dimulai dari daerah Mewat dan sekitarnya baru kemudian setelah banyak orang yang bergabung bersamanya, barulah dibentuk jama>’ah–jama>’ah untuk dikirimkan ke kampung–kampung untuk berjaulah guna menyampaikan pentingnya agama. Jama>’ah pertama dikirim ke Kandla yang kemudian di susul jama>’ah kedua yang dikirim ke Raipur,[83] dan seterusnya.
         
3.  Tujuan Berdirinya dan Prinsip-Prinsip Dalam Jama>’ah Tabli>g
Sebagaimana adanya faktor pendorong atau sebab kemunculan JT ini merupakan sesuatu yang sangat penting keberadaannya dalam sebuah kerja besar (kalau tidak boleh disebut organisasi), begitu pun adanya sebuah tujuan atas terbentuknya jama>’ah ini juga tidak kalah penting keberadaannya untuk diketahui. Maulana Muhammad Ilya>s menyatakan beberapa tujuan yang mendorongnya ketika mendirikan Jama>’ah Tabli>g ini sebagaimana yang tercantum dalam suratnya yang dikirimkan kepada yang mulia raja Abdul Azi>z I, Ali> Saud rah. Pada tahun 1357 H[84] yaitu antara lain:
1)      Meninggikan kalimat tauhid dan memikirkan rahasia–rahasia yang termuat dalam kalimat yang suci ini sehingga pengaruhnya tampak di seluruh perbuatan dan keadaan. Kalimah لآ إ له إلإّ الله  adalah kalimat haq yang menenterankan jiwa.
2)      Menggalakkan manusia untuk shalat dan mendorong mereka untuk melaksanakan dengan khudlū’ dan khusyū’, serta menjaga adab–adab dan syarat–syaratnya. Sebab, shalat adalah tiang agama, barangsiapa menegakkannya, berarti menegakkan agama, dan barangsiapa yang meninggalkannya berarti menghancurkan agama.
3)      Memperbanyak tilāwah al-Qur’ān dengan pemikiran dan pemahaman semampu mungkin, kapan saja ada kesempatan. Sebab, al-Qur’ān adalah sumber hidayah yang diturunkan Allah untuk menyebarkan kebaikan dan membimbing manusia di seluruh dunia pada setiap zaman dan di seluruh pelosok. Tilāwah al-Qur’ān disertai artinya dan mengambil pelajaran darinya merupakan kebahagiaan dan kejayaan besar bagi seseorang.
4)      Masing–masing pribadi hendaklah berpegang teguh dengan prinsip–prinsip para salaf dan meluangkan sebagian waktu untuk memberikan bimbingan dan petunjuk kepada orang–orang awam berupa ucapan dan perbuatan yang merupakan tuntutannya. Mengajak mereka untuk menyebarkan prinsip–prinsip agama yang hani>f ini, mengingatkan mereka agar tidak mengikuti hawa nafsu yang dapat menjerumuskan mereka kepada bid’ah yang menghancurkan, berusaha keras untuk membersihkan jiwa dari kotoran–kotoran kufur dan syirik, dan menyampaikan perintah–perintah Allah serta larangan–laranganNya.
Demikianlah antara lain tujuan dari terbentuknya JT yang pada intinya adalah amar ma’ru>f nahi> munkar. 
               Kemudian melalui contoh–contoh yang ditunjukkan oleh nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya,Allah SWT telah memberikan hamba-hamba-Nya sistem kehidupan yang tiada bandingannya.[85]) Sistem ini mengandung beberapa prinsip yang sangat diperlukan untuk meraih kejayaan secara bersama ataupun perorangan. Dan prinsip ini pula yang dipegang oleh JT dalam melakukan dakwahnya yang terdiri atas enam prinsip. Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a.    Tidak ada sesuatu yang patut disembah kecuali Allah Yang Maha Esa dan Yang Maha Besar. Kita semua adalah hamba-Nya. Hakekat ini mestinya diikrarkan dengan lisan, didengar dengan telinga, dan diakui di dalam hati. Hal ini hendaknya dilakukan setiap saat sehingga kita dapat merasakan bahwa diri kita benar-benar sebagai hamba Allah. Kita harus mengabdikan diri kepada Allah dan mengikuti sunnah yang dibawa oleh Rasul-Nya. Pengabdian seperti inilah yang dimaksud dalam kalimah syahadat: Lā ilāha illa Allah Muhammad al-Rasūlullāh.
b.   Apa yang telah diikrarkan dengan lisan hendaklah dibuktikan dengan perbuatan. Cara membuktikannya adalah dengan melakukan shalat pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Tetapi, shalat yang dilakukan hendaknya jangan hanya berupa gerakan badan saja. Shalat hendaknya dilakukan dengan penuh kekhusyukan, tawādhū’, dan keikhlasan hati sehingga dapat membersihkan diri kita dan menjauhkan kita dari perbuatan mungkar.
      Puasa pada bulan Ramadhan merupakan amalan untuk melatih diri kita agar dapat mengabdi kepada Allah; yaitu, selama sebulan kita menahan diri dari segala hal yang diinginkan tubuh kita.
      Kalau sudah mencapai nishābnya, sebagian uang yang kita kumpulkan dari hasil jerih payah kita hendaknya dikeluarkan zakatnya. Uang itu hendaknya diberikan kepada orang yang layak menerimanya. Perbuatan ini juga merupakan salah satu cara lainnya agar kita dapat membersihkan diri dan mengabdikan kepada Allah. Dua cara lainnya agar kita dapat berkhidmat kepada Allah yaitu dengan menunaikan fard}u haji dan berjihad di jalan Allah.
c.    Dalam al-Qur’ān, kitab suci yang terakhir kali diturunkan kepada umat manusia tercantumsatu sistem kehidupan yang dapat membimbing manusia menuju keselamatan hidup didunia dan akhirat. Oleh sebab itu, hendaknya kita membiasakan diri membaca al-Qur’ān sehingga dalam hati sanubari kita timbul hasrat untuk mencontoh seluruh ajaran yang terdapat didalamnya.
d.         Z|āt Allah tidak dapat dibayangkan oleh fikiran manusia. Kita hanya dapat membayangkan keagungan-Nya melalui sifat-sifat-Nya.
e.    Hendaknya kita menunjukkan perasaan kasih sayang dan menghormati hamba-hamba Allah yang telah memeluk Islam. Berikanlah kepada mereka apa yang telah menjadi hak mereka, dan janganlah sekali-kali menyinggung perasaan mereka.
f.   Untuk menyambut seruan Allah SWT untuk berjihād, kalau melihat kondisi yang ada di masa sekarang ini, sepertinya kejayaan tidak mungkin tercapai dengan usaha perorangan. Hanya dengan usha bersama saja kita dapat meraih kejayaan. Karena dengan cara ini sajalah kita dapat mengatasi semua kesulitan dan rintangan. konkritnya kita harus meluangkan sebagian waktu untuk berjalan bersama–sama dari rumah ke rumah, jalan ke jalan, kampung ke kampung, dan dari kota ke kota untuk menyeru manusia agar menjalankan kehidupan mereka menurut prinsip–prinsip yang telah disebutkan di atas.
g.   Jamā’ah yang akan keluar bertablig sebaiknya terdiri dari sepuluh orang. Mereka hendaknya berkumpul di masjid di tempat mereka akan mengangkat amir. Kemudian hendaknya mereka melakukan shalat nafil sebanyak dua rakaat. Setelah itu hendaknya berdo’a bersama agar Allah SWT memberikan kekuatan hati, ketabahan, dan keberhasilan dalam menjalankan tugas mereka. Kemudian hendaknya keluar dari masjid dengan sepenuh kesungguhan dan keikhlasan. Ketika berjalan hendaknya sambil berz\ikir, menjauhkan diri dari berbicara sia–sia. Apabila telah tiba di tempat yang dituju hendaknya segera berdoa kepada Allah. Juga hendaknya berkunjung ke rumah–rumah agar orang–orang berkumpul di masjid untuk menyampaikan ajaran tabligh kepada mereka. Ketika mengunjungi rumah orang, kaum wanita –dengan persetujuan suami atau saudara laki–laki mereka– boleh dinasehati mengenai shalat.
            Setiap anggota rombongan tabligh hendaknya mematuhi amir. Sedapat mungkin amir hendaknya melakukan apa yang terbaik demi kebaikan anggota rombongan. Setiap langkah yang akan diambil mestilah dibicarakan dalam majlis musyawarah terlebih dulu.
i.    Hendaknya menyadari bahwa tablig merupakan pekerjaan yang telah dijalankan oleh nabi. Oleh karena itu, pekerjaan ini harus dijunjung tinggi. Orang yang menjalankannya dianggap sebagai wakil nabi. Pendek kata, tabligh bukanlah semata menyeru manusia ke jalan yang lurus, tetapi merupakan suatu proses untuk memperbaiki diri sendiri dan pengabdian kepada Allah. Tujuan yang terpenting adalah untuk mencari kerid}oan Allah.



4.   Metode Dakwah Jama>’ah Tabli>g
Metode dakwah yang diterapkan jama>’ah ini termuat dalam enam materi yang disebut enam sifat[86], yaitu:
a.    Mewujudkan hakikat syahādat.
      Yaitu dengan beribadah kepada Allah Yang Esa sesuai dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW yang berupa amalan–amalan ibadah, berbagai macam ketaatan, dan taqarrub.
b.   Shalat khusyū’ dan khudlū’
      Yaitu menegakkan shalat dengan cara menyempurnakan rukun–rukunnya dan hal–hal yang wajibnya. Kekhusyuan sangat ditekankan agar dapat menjadi pencegah perbuatan keji dan mungkar karena tiadanya khusyū’ dan khudlū’ di dalamnya.
c.   Ilmu yang disertai dengan z\ikir
      Yakni mempelajari ilmu yang diperlukan dan mengamalkan ilmu yang telah dipelajarinya. Itulah yang diamksud dengan z\ikir. Beramal dengan ilmu adalah z\ikir, sedangkan beramal tanpa ilmu adalah penyimpangan dan kelengahan.
d.   Memuliakan Saudara Muslim
      Maksudnya adalah mengembalikan harga diri saudara muslim yang telah hilang semenjak lama, yang mana seorang muslim menjadi musuh saudara muslim lainnya. Memuliakan berarti menghormatinya dan mengangkat harga dirinya, dengan cara menolak dan menjauhkan gangguan dari dirinya serta memberikan kebaikan kepadanya sesuai dengan kemampuannya sebagai manusia.
e.   Mengoreksi Niat.
      Maksudnya adalah seorang muslim hendaknya meniatkan       seluruh amal yang dikerjakannya untuk memperoleh rid}o Allah swt. Itulah keikhlasan yang disebutkan di dalam al-Qur’ān dan Sunah Rasulullah saw.
            f.   Dakwah Ilā Allah dan Keluar di Jalan Allah
      Maksudnya adalah mendakwahi manusia agar beriman kepada Allah dan beramal dengan mentaati Allah dan rasul-Nya yang perintah–perintah-Nya tertera dengan jelas dalam al-Qur’ān dan al-Sunnah agar seorang hamba menjadi sempurna dan bahagia di dunia dan akherat.
                                 
B.     Pengertian dan Dasar Hukum Keluarga Sakinah

Rumah tangga atau keluarga, seperti yang telah diungkapkan di depan, merupakan satu unit masyarakat terkecil dari suatu masyarakat, yang terdiri dari ayah , ibu, dan anak, ataupun anggota keluarga yang lain. Membina rumah tangga merupakan sunnatullah yang diawali dengan mengikat kedua bani adam yaitu berupa dilaksanakannya ijāb dan qabūl. Dan membentuk keluarga sakinah merupakan idaman setiap rumah tangga yang ada di muka bumi ini. Keluarga sakinah juga sebagai suatu wujud keluarga yang diamanatkan oleh Allah swt dan menjadi dambaan setiap pasangan suami istri.
ومن آيته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنو اإليها وجعل بينكم مودّة ورحمة إنّ فى ذالك لأية لقوم يتفكّرون.[87]
Yang tidak kalah pentingnya adalah menciptakan suasana rumah tangga yang bernafaskan agama (keluarga yang Islami>), sehingga semua aktifitas yang dilakukan didasarkan pada ajaran agama (Islam). Itulah suatu wujud keluarga sakinah yang diamanatkan oleh Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya.
Dari literatur yang telah ada dan yang penyusun dapatkan, JT (sebagai makhluk sosial dan sebagai sebuah Jama>’ah yang memfokuskan kegiatannya pada bidang dakwah), secara teoretis tidak atau belum memberikan definisi yang konkret tentang pengertian keluarga sakinah. Akan tetapi dari mencermati literatur yang ada dan juga dari hasil wawancara yang telah kami lakukan kepada beberapa anggota JT, secara substansial mereka memberikan definisi keluarga sakinah seperti halnya yang lainnya (orang-orang di luar anggota jama>’ah), yaitu membentuk keluarga yang Islami> yang didasarkan pada ajaran al-Qur’a>n dan al-hadis}.[88] Atau secara khusus bisa dikatakan keluarga sakinah adalah keluarga yang telah tercipta dan yang dijalani oleh rasulullah saw, karena beliau merupakan uswah hasanah bagi setiap muslim di dunia dalam hal apapun, tidak terkecuali hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan rumah tangga.[89]
Yang dimaksud Islami> di sini cakupannya sangat luas, yaitu meliputi hal-hal yang dilakukan pada pra pernikahan sampai hal-hal yang dilakukan setelah pasca pernikahan yaitu saat sudah menjalani kehidupan rumah tangga (kehidupan sehari-hari dari rumah tangga). Seperti hal–hal yang ada hubungan dengan adabnya melamar, menikah, wali>mah. Juga hal-hal yang berkenaan dengan suami-istri yang itu berkaitan dengan hak dan kewajiban antar mereka. Termasuk juga saat kehamilan sampai melahirkan, menyusui, dan mendidik anak yang intinya adalah apa-apa yang menjadi kewajiban orang tua terhadap anak dan sebaliknya, serta tentang bagaimana menjaga hubungan baik dengan sesama yang tercakup di dalamnya bagaimana berbungan baik dengan keluarga dari masing- masing pasangan juga dengan tetangga.

C.  Upaya–upaya Untuk Membentuk Keluarga Sakinah
Untuk mencapai keluarga yang sakinah, seorang individu hendaknya mengupayakannya sedini mungkin, yaitu semenjak akan memasuki gerbang pernikahan (masa pra pernikahan), kemudian dilanjutkan pada saat menjalani kehidupan rumah tangga.


1.   Masa Pra Pernikahan
               Landasan pernikahan yang Islami merupakan upaya yang perlu dilakukan seseorang ketika berniat untuk menuju gerbang pernikahan. Karena Perkawinan atau pernikahan -seperti dinyatakan di dalam al-Qur’ān- merupakan sebuah ikatan yang suci dan kuat (mis\āqan galiz}a) antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Melalui pernikahan, Islam menghendaki agar hubungan antara lelaki dan wanita menjadi kuat, mantap, dan kekal, serta dapat menjadi pasangan yang bersatu dalam kerja, maksud, tujuan, serta cita-cita.[90] Menurut Syekh Abdul Hali>m Hami>d melalui pernikahan Allah menghendaki agar seorang istri yang shalihah menjadi penenteram bagi suami dengan segala makna yang terkandung dalam kata “tenteram”, yang meliputi: kepuasan, ketenangan, kebahagiaan, kedamaian, dan seterusnya.[91]
Menikah merupakan perintah Allah SWT dan sunnah Rasul SAW. Firman Allah dalam al- Qur’ān:
وأنكحوا الأيمى منكم والصّالحين من عبادكم وإمائكم.[92]
        


          Dan hadis} nabi SAW:
يآمعشرالشّباب، من استطاع منكم الباءة فاليتزوّج، فإنّه له وجاء وأغضّ للبصر واحسن للفرج، ومن لم يستطع فعليه بالصّوم.[93]
Oleh karena itu, sudah seyogyanya bagi seseorang yang akan melaksanakan pernikahan diniatkan untuk beribadah kepada Allah dan melaksanakan sunnah rasul, selain sebagai sarana penyaluran kebutuhan biologis yng baik dan benar menurut agama.
Islam merupakan agama yang ajarannya telah kompleks. Demikian juga dengan masalah pernikahan beserta hal-hal yang ada hubungannya dengan pernikahan, juga telah diatur dengan sempurna di dalam Islam. Yang dimaksud dengan hal-hal yang yang berhubungan dengan perkawinan adalah hal-hal yang sebaiknya dilakukan menjelang pernikahan seperti melamar, sampai kemudian menikah beserta walimahnya.
Untuk melamar itu sendiri, Islam juga mempunyai adab-adabnya sendiri yang mana diperbolehkan bagi peminang untuk melihat wanita


yang akan dipinangnya sebatas yang diperbolehkan oleh agama.[94] Tujuan dari melihat tersebut adalah supaya bagi laki-laki yang akan meminangnya dapat melihat rupa wanita yang akan dipinangnya sehingga diharapkan ditemui kecocokan daripadanya. Sedangkan dalam hal memilih calon yang dilamar (yang akan dinikahinya), kepada laki-laki dianjurkan supaya hati-hati terhadap wanita jahat dengan alasan wanita seperti itu hanya akan membawa kepada keburukan (tidak akan membawa kepada kebaikan). Juga dianjurkan supaya menerima pinangan orang yang baik dalam agama dan berakhlak mulia, karena jika menolak akan menimbulkan fitnah.
Selain itu, menurut as-Sayyid Sa>biq, Islam juga men-sunah-kan untuk memilih wanita yang mempunyai kriteria sebagai berikut: a. shalihah (taat dalam menjalankan agama), b. perawan/gadis, c. keturunan orang shaleh, d. sayang kepada anak-anak, e. cantik, dan ringan maharnya, f. tidak mandul.[95]
Sedangkan adabnya dalam melamar antara lain:
§  Seorang mukmin tidak boleh meminang atau melamar wanita yang masih dalam lamaran lelaki lain, sebelum ia benar-benar melepaskannya.
§  Apabila dua orang laki-laki hendak meminang seorang wanita, maka laki-laki pertamalah yang lebih berhak.
§  Boleh menerima pinangan seseorang seandainya peminang pertama adalah orang yang kurang baik (tidak shaleh), sedangkan peminang kedua adalah orang yang shaleh.
§  Wajib menjauhi cara-cara melamar yang non Islami> seperti tukar cincin, dll. Jika meniru cara mereka berarti digolongkan dengan mereka.
§  Dilarang meminang wanita yang masih dalam ‘iddah dengan terang-terangan, kecuali dengan sindiran.
Kemudian untuk masalah menikah, Islam menganjurkan kepada lelaki muslim untuk menikahi wanita yang s}alihah, yang mana wanita tersebut patuh menjalankan perintah suami, menyenangkan jika dilihat, mendengarkan perkataan suami dan menaatinya, serta menjaga diri dan harta jika ditinggalkan oleh suami.[96] Juga hendaknya memperhatikan keturunan calon istri, karena dilarang menikahi wanita yang cantik tapi berasal dari keturunan yang buruk, sebagaimana juga wajibnya menikahi wanita atas pertimbangan agamanya dan bukan karena hartanya, martabatnya, atau kecantikannya. Selain itu di dalam sunnah nabi dikatakan supaya menikahi wanita yang banyak anaknya (tidak mandul), dan dianjurkan menikah dan menggauli istri pada bulan Syawal[97], dan lain sebagainya.
Menikah merupakan sunnah Rasulullah, dan dengan menikah berarti telah menolong agamanya.[98] Untuk melaksanakan pernikahan yang sah menurut agama maka harus terpenuhi rukun-rukunnya, yaitu adanya: 1. wali, 2. dua orang saksi, 3. s}igāt akad, 4. mahar.
Tidak semua perempuan boleh dinikahi oleh laki-laki menurut Jama>’ah tabli>g. Ada beberapa perempuan yang haram dinikahi untuk selamanya karena sebab-sebab tertentu sebagai berikut[99]:
1.      karena keturunan atau masih ada hubungan muhrim, seperti ibu ke bawah dan ke atas.
2.      karena hubungan mus}āharah atau perkawinan, seperti ibu mertua, istri ayah.
3.      karena hubungan susuan, seperti ibu susuan dan anaknya.
4.      karena perempuan tersebut dilaknat oleh suaminya.
5.      karena wanita penzina/pelacur
Selanjutnya adalah mengenai wali>mah. Wali>mah pernikahan menurut Islam hukumnya sunnah, walaupun sederhana.[100] Juga sebaiknya wali>mah diselenggarakan di masjid, meski tidak ada larangan ketika diselenggarakan di rumah.[101] Hendaknya wali>mah diadakan tidak lebih dari dua hari. Karena wali>mah pada hari pertama adalah hak, hari kedua ma’ruf, dan hari ketiga adalah riya’ dan sum’ah.[102] Bagi yang mendapatkan undangan wali>mah, wajib hukumnya untuk memenuhi undangan tersebut kecuali sedang udzur. Jika tidak datang padahal tidak ada udzur, maka ia telah durhaka kepada Allah dan rasulnya saw.[103]
2.   Masa dalam Pernikahan (Rumah Tangga)
Keluarga sakinah merupakan keluarga ideal dan idaman. Oleh karenanya, untuk membentuk keluarga yang bisa dikatakan sebagai keluarga yang sakinah, sebuah rumah tangga harus mengupayakan terpenuhinya beberapa kebutuhan yang antara lain :
a.       Kebutuhan Lahi>riyah
Kebutuhan lahi>riyah adalah kebutuhan yang berkenaan dengan kebutuhan lahir atau yang biasa disebut dengan kebutuhan dhohir manusia. Biasanya kebutuhan lahi>riyah manusia identik dengan nafkah yang sifatnya materi. Memang tidak salah anggapan tersebut. Karena pada dasarnya nafkah itu sendiri sudah mencakup beberapa hal yang sifatnya sangat penting dan masuk dalam kebutuhan primer manusia, seperti kebutuhan sandang, pangan, dan papan.
Sebuah rumah  tangga yang kekurangan dalam kebutuhan primer atau bahkan tanpa adanya nafkah tersebut tidak mungkin bisa bertahan lama. Oleh karena itu, di dalam sebuah keluarga harus ada yang berperan sebagai tulang punggung keluarga yang dalam hal ini dibebankan kepada suami dan atau ayah. Suami atau ayahlah yang bertugas sebagai pencari nafkah bagi keluarganya.[104]
ألرّجال قوّامون علىالنّسآء بما فضّل الله بعضهم علىبعض وبما أنفقوا من أموالهم[105]
وعلى المولود له رزقهنّ وكسوتهنّ بالمعروف.[106]
Dari ayat tersebut dijelaskan alasannya kenapa hanya kepada suami atau ayah saja yang dibebani mencari nafkah, yaitu karena secara biologis laki-laki mempunyai kekuatan yang lebih. Selain kepada istri, kewajiban nafkah tersebut juga kepada anak, pembantu rumah tangga (kalau ada), dan semua orang yang menjadi tanggungannya. Orang tua dan saudara-saudaranya yang tidak mampu menanggung nafkah, secara hukum menjadi tanggung jawab kepala keluarga yang bersangkutan.
Suami hendaknya berusaha sekuat tenaga agar dapat mencukupi nafkah keluarga dengan nafkah yang halal dan diperoleh dengan jalan yang diridloi Allah SWT. Suami tidak pantas berpangku tangan dan juga tidak selayaknya berlaku kikir terhadap orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Ia harus memberikan nafkah keluarga secara ikhlas karena mengharap ridho Allah dan demi kebahagiaan keluarganya.  
Sedangkan besarnya nafkah yang wajib diberikan oleh suami kepada keluarganya itu tergantung pada kemampuan suami.[107] Kalaulah misalnya suami termasuk orang yang mampu, maka hendaknya memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan jika sang suami termasuk orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang Allah berikan kepadanya. Hal tersebut sejalan dengan anjuran nabi Muhammad saw dan firman Allah bahwa dalam mencari nafkah memang dianjurkan berusaha semaksimal mungkin, akan tetapi hendaknya bagi suami istri jangan terlalu memaksakan kehendak dan menyiksa diri karenanya.
لينفق ذوسعة من سعته, ومن قدرعليه رزقه فلينفق ممّاآتاه الله, لايكلّف الله نفساإلاّماآتاها.[108]
 Meskipun demikian, janganlah suami menyia-nyiakan nafkah yang ditanggungnya. Karena memberikan nafkah selain wajib hukumnya, juga akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah.[109] Sabda Rasulullah saw bahwasanya seutama-utamanya dinar yang dibelanjakan oleh seseorang adalah dinar yang dibelanjakan untuk keluarganya.
دينار أنفقته فىسبيل الله ودينار أنفقته فىرقبة ودينار تصدّقت به علىمسكين ودينار أنفقته علىأهلك أعظمها أجرا ألّذىأنفقته علىأهلك. [110]
b.       kebutuhan bat}i>niyah
Yaitu hal-hal yang berhubungan dengan sisi bathin manusia atau yang biasa dikatakan sebagai nafkah bathin, seperti kebutuhan biologis atau pemuasan seksual. Dari sekian banyak kebutuhan manusia dalam hidup dan kehidupannya, maka kebutuhan pada pemuasan seksual lebih menonjol dan menentukan, malahan instink seksual merupakan dasar dan barometer bagi kebahagiaan seseorang. Mengenai kebutuhan biologis ini, masing-masing dari suami dan istri hendaknya diupayakan saling memuaskan. Kepada suami, Allah swt berfirman:
....فإذا تطهّرن قأتوهنّ من حيث أمركم الله.[111]
Suami tidak boleh meremehkan masalah bersetubuh ini. Karena bersetubuh merupakan kewajiban suami. Ia merupakan kebutuhan biologis yang harus dipenuhi, bahkan seorang istri diperbolehkan minta cerai apabila kebutuhan yang satu ini tidak dipenuhi.
وعاشروهنّ بالمعروف.[112]
Sedangkan kepada istri, Rasulullah saw berpesan supaya jangan menunda-nunda jika suaminya berkehendak untuk melakukannya. Bahkan kata beliau, seorang istri wajib menuruti ajakan suaminya meskipun dalam kondisi yang sangat sibuk.
c.       Kebutuhan Spiritual
Kebutuhan spiritual ini yang dimaksud adalah bagaimana ahl al bai>t mengkondisikan rumah tangganya selalu diwarnai dengan nuansa agama (menghidupkan nuansa di>n di rumah). Artinya semua apa yang berlaku dan terjadi di dalamnya didasari dengan petunjuk agama, baik itu yang berhubungan dengan tingkah laku penghuninya maupun yang berhubungan dengan kondisi rumah itu sendiri. Dalam sebuah hadis Nabi saw dinyatakan bahwa di dalam rumah yang biasa dipenuhi dengan bacaan ayat–ayat Allah dan kegiatan belajar–mengajar ilmu, akan diturunkan perasaan tenang di batin (sakinah ) dan dikucurkan rahmat kepada penghuninya.[113])
Oleh karena itu, untuk mewujudkan rumah yang penuh sakinah, mawaddah, dan rahmah adalah dengan menghidupkan majlis ta’lim dalam keluarga.[114] Jika ketenangan batin masuk dalam jiwa-jiwa anggota keluarga dan rahmat Allah bercucuran atas mereka, maka Allah akan melindungi mereka dari kesusahan dan musibah. Sehingga rumah itu akan selalu dalam keadaan tenteram dan damai, penuh dengan rahmat Ilāhi.
Demikian juga dengan kebutuhan pendidikan juga sangat penting artinya bagi siapa saja, terutama pendidikan agama. Wanita pun diperintahkan agar membekali diri dengan ilmu yang bermanfaat, yang dapat mendorongnya sehingga mengenal Allah dan di>n-Nya. Dalam hal ini agama tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan, semuanya wajib untuk menuntutnya. Dalam hadis Rasul saw dinyatakan:
طلب العلم فريضة على كل مسلم.[115]
Di dalam sebuah keluarga, suamilah yang mempunyai tanggungjawab untuk memberi pengajaran pengetahuan agama kepada istrinya,[116] dan dalam pendidikan anak, istri lah yang mempunyai tanggung jawab penuh untuk mendidik anaknya.[117]

D.  Ciri-Ciri Keluarga Sakinah
1.  Terpenuhinya Hak dan Kewajiban Antara Suami-Istri
Salah satu unsur dari terciptanya keluarga sakinah adalah terpenuhinya hak dan kewajiban antara suami dan istri. Adapun hak-hak dan kewajiban dari masing-masing keduanya adalah sebagai berikut:
a.   Hak-hak Suami dan Kewajiban Istri
Hak manusia yang paling penting untuk ditunaikan oleh seorang istri tiada lain adalah hak-hak suaminya. Selama hak-hak suami belum terpenuhi, maka hak Allah swt belum sempurna ditunaikan.
ألمرأة لاتؤدّى حقّ الله حتّىتؤدّى حقّ زوجهاكلّه، ولوسألها وهى على ظهرقتب لم تمنعه حقّها. [118]
Sebenarnya hak-hak yang dimiliki suami adalah kata lain dari kewajiban istri terhadap suaminya. Imam Nawawi rah.a menulis[119]) bahwa sebaiknya para istri mengetahui bahwa dirinya adalah milik suami. Seperti tawanan lemah yang tak berdaya di hadapan suami, selalu tunduk dan taat kepada suami. Dalam segala perbuatan hendaknya bagi istri ada izin dari suaminya. Tidak boleh berani menentangnya, menundukkan pandangan di hadapan suami, merendahkan suaranya, taat kepadanya dalam setiap perintah yang diberikan olehnya selain untuk kemaksiatan, diam ketika suami bicara, mengantarkannya ketika keluar rumah, menjemputnya dengan bermuka kanis ketika datang, menunjukkan cinta kasih kepadanya, mencumbunya ketika tidur, memakai harum-haruman ketika menemaninya, membiasakan berhias di hadapannya dan tidak berhias ketika ditinggalkannya.
 Jadi, ada beberapa hak suami yang harus dipenuhi oleh istrinya (kewajiban istri terhadap suami) antara lain sebagai berikut:
 1.  Taat kepada suami.
Istri yang shalihah meyakini dan menerima dengan penuh kerelaan bahwa suaminya adalah pemimpin dalam keluarganya, dan ia berkedudukan di bawah suaminya, sehingga ia mempunyai tanggung jawab untuk mentaatinya secara mutlak.[120]
Demikian penting dan tinggi nilai ketaatan istri kepada suaminya sehingga Rasulullah bersabda:
لوكنت آمرا أحدا أن يسجد لغيرالله لأمرت المرأة أن تسجد لزوجها.[121]
2.  Menjaga kehormatan suami
Istri wajib menjaga kehormatan suaminya baik di hadapannya atau di belakangnya (saat suami tidak di rumah).
3.  Tidak memasukkan lelaki lain tanpa seizin suami.
فالصّالحات قانتات حافظات للغيب.[122]
Tidak memasukkan lelaki lain tanpa seizin suami merupakan salah satu bentuk kesetiaan istri terhadap suaminya, baik disaat suami ada maupun tidak ada (di rumah). Syekh Abdul Halim Hamid menuliskan[123]) bahwa setia menjaga diri saat kepergian suami adalah kewajiban syar’i dan bukan sekedar anjuran dan perangai utama belaka. Maka kami perlu menjelaskan bagaimana semestinya bentuk penjagaan seorang istri dikala suami tiada. Hal ini bisa diringkas sebagai berikut: menjaga rahasia-rahasianya, menjaga anak-anaknya, hartanya, harga diri dan kehormatannya, dan menjaga hubungan baik dengan kerabat dan familinya.
4.   Bersikap menyenangkan di hadapan suami
Seorang istri hendaknya senantiasa membuat dirinya selalu menarik di hadapan suami.[124]) Yang termasuk bersikap menyenangkan di depan suami seperti selalu berdandan di saat suami ada di dekatnya. Hendaklah sang istri menjadi ratu kecantikan dan keindahan di rumahnya, membuat keridhaan Rabbnya dan menciptakan kebahagiaan bagi suaminya. Islam mengajarkan wanita muslimah agar berhias dan berdandan, memakai minyak wangi, bersolek, dsb, tetapi dengan catatan bahwa itu semua cocok dengan selera suaminya dan hanya ditujukan kepada suaminya saja.
Akan tetapi jangan berhias dengan berlebihan, seperti menggunakan uang terlalu banyak untuk biaya berhias, memakan waktu berjam-jam untuk berhias, dan sebagainya. Karena hal tersebut termasuk ke dalam perbuatan yang mubazir.
Hal lain yang termasuk dalam sikap menyenangkan adalah masalah pembicaraan dengan suami. Istri yang shalihah hendaknya mampu menjaga pembicaraan dengan suaminya. Jangan sampai hanya karena pembicaraannya ia mendapatkan kemurkaan dari Allah dan menyakiti hati suaminya.[125]) Untuk itu hendaknya diingat bahwa seorang istri hendaknya dapat menjadikan pembicaraannya penghibur bagi suaminya. Bila istri mempunyai keluhan hendaknya memperhatikan waktu dan situasi serta kondisi suami.
5.      Berhemat dalam pengeluaran hartanya
Istri yang s}alihah adalah istri yang pandai dalam menjalankan perekonomian keluarga, yaitu dengan berhemat dan menggunakannya sesuai dengan keperluan.[126] Wanita seperti itulah yang membahagiakan suami dengan menjaga harta dan mengatur segenap urusan keluarga, tidak boros, dan tidak memboroskan uang tanpa guna dalam belanja.
ولاتبذّر تبذيرا. إنّ المبذّرين كانوا إخوان الشّياطين.[127]
6.  Tidak menolak ajakan suami untuk berjima’
Di depan telah dikatakan bahwa istri hendaknya selalu memenuhi hajat biologis suaminya walaupun dalam kesibukan. Istri yang baik adalah istri yang pandai menggoda, menghibur, merayu, bersolek, dan berdandan di hadapan suaminya. Seorang istri yang baik tidak boleh menunda-nunda jika suami mengajak berhubungan badan, apalagi menolaknya ketika ia dalam keadaan sehat. Karena menyegerakan keinginan suami dalam urusan tempat tidur (jima’) adalah sangat besar pengaruhnya dalam hubungan cinta kasih antar suami istri.[128])
 Demi terhindarnya perzinahan, maka istri hendaknya berusaha menunaikan pelayanan biologis kapan saja (kecuali saat-saat yang dilarang agama, seperti waktu haid, dsb) dengan pelayanan yang sebaik-baiknya.
7.   Menjaga rahasia suami
Menurut Syaikh Abdul Halim Hamid apabila seorang istri membuka rahasia suami, maka ia tidak akan merasa aman dari perceraian.
                  8.   Tidak keluar rumah tanpa seizin suami
وقرن فى بيوتكنّ...[129]

Menurut Al- Ghazza>li seorang istri boleh keluar dari rumahnya dengan seizin suaminya, tetapi berdiam diri di rumah itu lebih selamat, karena wanita yang sering keluar rumah dapat membawa keburukan dan fitnah.[130]
9.      Menjaga harta suaminya
Seorang istri tidak boleh memberikan sesuatu dari rumahnya tanpa seizin suaminya meskipun untuk sedekah di jalan Allah. Dan seorang istri juga tidak boleh mengambil sesuatu milik suami tanpa seizinnya.[131]
                  10.  Menerima Gilirnya jika ia memiliki saudara madu.

b.   Hak-hak Istri dan Kewajiban Suami
Istri menurut agama mempunyai kedudukan yang sangat penting bagi suami karena memiliki beberapa keutamaan, yaitu antara lain sebagai: 1. sebagai amanah, 2. sebagai anugrah, 3. penenang hati, 4. dan sebagai fitnah. Oleh karena pentingnya arti keberadaan istri tersebut, ada beberapa hak istri yang harus ditunaikan oleh suami dalam menggauli istri dengan baik, diantaranya[132]:
1.      Mendidiknya dengan agama
Menurut Al-Gazzāli[133] suami wajib mengajarkan ilmu agama terutama ilmu-ilmu yang berkaitan dengan wanita (seperti hukum-hukum haid}, istihad}ah, dsb). Di dalam al-Qur’ān sendiri telah dinyatakan kewajiban suami untuk selalu memberikan pengertian, bimbingan agama kepada keluarganya umumnya dan kepada istri khususnya, dan menyuruh mereka selalu taat kepada Allah dan rasulnya.
واذكرن ما يتلى فىبيوتكنّ من أيات الله والحكمة.[134]
2.      Memberinya Nafkah
Suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya. Jika menyia-nyiakan nafkah yang harus ditanggungnya maka akan berdosa. Menurut Rasulullah orang yang mampu hendaknya memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rezekinya hendaknya memberi nafkah dari harta yang diberikan oleh Allah.[135]
وعن معاوية القشيريّ أنّالنّبيّ ص.م.سأله رجل: "ماحقّ المرأة علىالزّوج؟ قال: أن تطعمها إذاطعمت، وتكسوها إذااكتسيت،...[136]
3.      Dididik dengan hikmah
Suami-istri hendaknya saling menasehati dalam kebaikan. Dan bagi suami hendaknya menasehati istrinya dengan lemah-lembut dan tidak kasar. Dalam sebuah hadis riwayat Turmuzi> dinyatakan bahwa orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan paling halus terhadap istrinya. Dan kata-kata yang baik adalah sedekah.
4.      Tidak menghina kekurangannya
5.      Memanggil dengan nama kesukaan
Umar ra. Berkata: Tiga hal dapat menjernihkan cintamu dan cinta saudaramu, yaitu hendaklah memberi salam ketika berjumpa, melapangkan tempat duduk ketika di majlis, dan memanggilnya dengan panggilan kesukaannya.
6.      Memberi salam dan berjabat tangan jika bertemu
7.      Menunjukkan wajah berseri
8.      Bercanda bersama istri
9.      Saling berma’afan
10.  Makan bersama
11.  Membantu pekerjaan istri
12.  Selalu bermusyawarah
13.  Berdandan untuk istri
ولهنّ مثل الذى عليهنّ بالمعروف[137]
14.  Memenuhi kebutuhan biologisnya
Sebagaimana seorang istri, suami pun wajib memenuhi kebutuhan biologis istrinya.
فإذاتطهّرن فأتوهنّ من حيث أمركم الله.[138]
Jadi ringkasnya, kewajiban suami terhadap istri antara lain: 1. membayar mahar, 2. memberi nafkah, 3. Menggaulinya dengan baik, 4. Berlaku adil jika beristri lebih dari satu.
c.       Pemeliharaan dan Pendidikan Anak
Anak merupakan amanat dan karunia terbesar dari Allah swt yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya, yang harus dirawat, dijaga, dan dididik oleh orang tua yang telah diberi kepercayaan untuk memegang dan memelihara amanat-Nya tersebut. Memiliki anak berarti memiliki berkah dan rahmat dari Allah swt karena banyaknya keuntungan yang dapat diperolah bagi orang tua terutama dalam hal pahala. Setiap apa yang dilakukan oleh orang tua untuk anaknya mulai dari hamil, melahirkan, memelihara, dan merawatnya, Allah akan melipatgandakan pahalanya di akhirat kelak.[139]
Menurut Imam Nawawi rah.a, ada empat kebaikan yang didapat dari anak. Diantaranya adalah:[140]
1.      Dengan memiliki anak berarti mangekalkan jenis manusia
2.      Memperolah cinta Rasulullah saw, dengan memperbanyak umatnya untuk dibanggakan oleh beliau pada hari kiamat.
3.      Mendapat keberkahan do’a anak shaleh.
4.      Mendapatkan syafaat dengan sebab matinya anak kecil, jika ia meninggal sebelum orang tua.
Selain hal tersebut di atas, anak juga mempunyai keutamaan yang lain, yaitu:[141] 1. Dinaikkan derajatnya, 2. Termasuk angin surga, 3. Sebagai buah hati
Keberadaan seorang anak di dunia sebenarnya tidak lepas dari tiga tahapan yang harus dihadapi oleh orang tua terutama bagi seorang ibu, yaitu: mengandung, melahirkan, memelihara dan mendidik anak. Dr. Anwar Jundi menekankan bahwa pemeliharaan ibu terhadap anaknya merupakan pekerjaan berat yang tidak bisa disamakan dengan pekerjaan lain yang dikerjakan oleh wanita. Pekerjaan ini harus dilakukan oleh ibu dan tidak bisa digantikan oleh panti asuhan, baby sitter, atau pembantu.
Demikian juga dengan pendidikan pada anak. Pendidikan dimulai semenjak anak dilahirkan, bahkan pada tahun-tahun pertama, arti pendidikan sangat menentukan bagi kehidupannya kelak. Jadi, keluarga adalah tempat pendidikan pertama kali bagi seorang anak yang mengajarkan dasar-dasar pendidikan kemasyarakatan, aqidah, ibadah, akhlak, dan nilai budaya. Karunia dan nikmat berupa anak hanyalah dapat dirasakan apabila anak dididik dengan cara yang benar sehingga ia menjadi penyejuk mata bagi orang tua semenjak lahir hingga meninggal. Mendidik dengan cara yang benar adalah mendidiknya dengan pendidikan yang Islami>, dan hak anak-anak adalah menerima pengetahuan dan pendidikan Islam yang benar.[142]
Ada beberapa pendidikan penting pada anak, yaitu antara lain:
1.      Pendidikan Iman
2.      Pendidikan Akhlak yang baik
3.      Pendidikan keilmuan berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah
4.      Pendidikan fisik dan ketrampilan
               Adapun metode pendidikan yang baik bagi anak ada empat yang harus diterapkan, yaitu:[143]
1.      Dengan Tauladan
         Orang tua adalah tauladan dan panutan bagi anaknya. Orang tua hendaknya memberikan contoh yang baik di depan anak-anaknya. Dengan demikian, mengamalkan kehidupan yang Islami> bagi orang tua sangatlah penting dalam mendidik anak secara Islami>.
2.      Dengan nasehat
         Suami-istri adalah da’i Allah SWT. Keduanya bertanggung jawab atas kehidupan agama di dalam rumahnya khususnya, dan umumnya di seluruh alam ini. Maka hendaklah senantiasa memberi nasehat amar ma’ru>f nahi> munkar kepada anak-anaknya.
3.      Dengan Hukuman
         Orang tua yang baik hendaknya tidak usah segan-segan untuk menghukum anaknya jika memang anak tersebut melakukan suatu pelanggaran akhlak dan agama, seperti lalai melaksanakan shalat fardhu, puasa, dsb.
4.      Dengan Tugas Khidmat
         Yaitu mendidik anak agar tidak bergantung kepada orang lain, tetapi belajar mandiri dan mau bekerja dengan tangannya sendiri.
d.   Terpeliharanya Hubungan Sosial Yang harmonis
Yang dimaksud adalah menciptakan hubungan yang harmonis kepada semua pihak atau orang–orang yang ada disekitarnya, baik itu kepada keluarga sendiri,[144] keluarga dari pihak suami atau istri[145] ataupun kepada para tetangga dan handai-taulan.[146] Kepada  keluarga sendiri yang paling utama dalam menjaga hubungan baik adalah dengan kedua orang tua.
ووصّين الانسان بوالديه حسنا[147]
... وبالوالدين إحسانا..[148]                                 
 Alasannya sudah jelas yaitu karena kedua orang tua lah yang menyebabkan seorang anak manusia lahir ke dunia. Seorang anak manusia tidak hanya harus menjaga hubungan baik dengan kedua orang tuanya, bahkan wajib menghormatinya dan selalu menuruti perintahnya yang baik (berbakti) supaya mendapat rid}a dari mereka, sehingga mendapatkan juga rid}a dari Allah swt.
وبرّابوالديه ولم يكن جبّارا عصيّا.[149]
Berbakti kepada kedua orang tua adalah dengan menunaikan hak-haknya.[150] Adapun hak-hak orang tua antara lain:
a.       Taat dan mengabdi kepadanya
b.      Berbuat baik terhadapnya
c.       Berbicara dengan lembut
                                                                           
Firman Allah SWT:
إمّا يبلغنّ عندك الكبرأحدهما أوكلاهما فلاتقل لهماأفّ ولاتنهرهما وقل لهما قولاكريما.[151]
d.      Mengusahakan kerelaannya
e.       Berdoa untuknya
f.       Meminta izin bila masuk kamarnya
g.      Memandangnya dengan kasih sayang
Kemudian selain kepada keluarga sendiri, suami atau istri juga harus membina hubungan baik dengan keluarga dari pasangannya, terutama kepada kedua mertuanya.[152] Karena bagaimanapun juga mertua adalah orang tua dari pasangan hidupnya. Bagi seorang suami, kata-kata orang tuanya itu sangat berpengaruh dalam kelangsungan hidup rumah tangganya. Jika orang tuanya tidak ridha terhadap menantu wanitanya, maka inipun adalah dilema yang besar baginya, karena suami mempunyai kewajiban mentaati kata-kata orang tuanya.[153]
Nabi saw memberitahukan kepada kita tentang fitrah manusia, bahwa seorang wanita jika telah menikah maka orang yang paling dekat dengannya adalah suaminya. Dan lelaki jika menikah, maka orang yang paling dekat dengan dirinya adalah ibunya. Hal ini hendaknya dipahami dengan bijaksana oleh istri yang shalihah. Ridha orang tua adalah kebahagiaan anak. Sedang bagi istri, keridhaan suamilah yang menentukan, di dunia dan akhirat.[154]
Setelah kepada kedua keluarga (keluarga sendiri dan keluarga suami atau istri), sebuah keluarga juga harus menjalin hubungan yang baik dengan tetangga dan sahabat.[155]


....والجارذىالقربى والجارالجنب والصّاحب بالجنب...[156]
Tetangga adalah orang-orang yang berhampiran dengan rumah kita. Menurut Hasan Basri Rah. A, tetangga adalah empat puluh rumah ke depan, empat puluh rumah ke belakang, empat puluh rumah ke samping kiri dan kanan.
BAB IV
KONSEP KELUARGA SAKINAH MENURUT JAMA>’AH TABLIG DITINJAU DARI HUKUM ISLAM
1. Proses Terbentuknya Keluarga Sakinah
Keluarga sakinah merupakan bentuk keluarga ideal yang menjadi idaman setiap keluarga di muka bumi ini. Oleh karena itu, untuk membentuk dan menjadikan sebuah keluarga menjadi keluarga sakinah diperlukan upaya-upaya yang harus diusahakan oleh seseorang yang akan atau ingin membina rumah tangga, seperti pada saat memilih jodoh yang baik untuk dijadikan pasangan hidup, bagaimana pada saat melakukan peminangan, sampai kemudian saat menikah beserta saat berlangsungnya wali>mah al-‘aru>s (resepsi pernikahan) itu sendiri yang kesemuanya harus didasarkan pada ajaran agama (Islam). Upaya tersebut tidak terhenti sampai di situ saja. Supaya rumah tangga selalu terkondisikan dengan baik dan sempurna, maka terpenuhinya kebutuhan lahir, bathin, dan spiritual  merupakan komponen yang harus selalu dijaga keberadaannya.
Kemudian apabila dicoba menelusuri kembali bagaimana bentuk ideal dari individu yang baik untuk dijadikan pasangan hidup, di dalam konsepnya Jama>’ah Tabli>g ternyata selaras dengan anjuran dan ajaran agama (Islam) yang ternyatakan di dalam al-Qur’an dan sunnah rasul saw. Seperti dalam hal memilih jodoh, Jama>’ah Tabli>g  menggunakan dasar dari beberapa hadis} Nabi saw seperti hadis} riwayat Bukhari>-Muslim yang berisi kewajiban menikahi wanita atas pertimbangan utamanya adalah agamanya dan bukan karena hartanya, martabatnya, atau kecantikannya.[157] Selain itu juga hadis} yang disampaikan oleh Anas bin Malik juga Ali bin Abi> T}alib r.a yang berisi tentang anjuran menikahi wanita yang banyak anaknya, dan lain sebagainya.[158] Disamping itu, JT juga menggunakan pendapatnya As-Sayyid Sabi>q yang menyatakan sunnah bagi seorang pria yang ingin menikah untuk  memilih wanita yang mempunyai kriteria sebagai berikut: 1. shalihah (taat dalam menjalankan agamanya), 2. perawan, 3. keturunan orang shaleh, 4. sayang kepada anak-anak, 5. cantik serta ringan maharnya, 6. tidak mandul.[159]
Alasan dari adanya kriteria tersebut di atas adalah apabila terpenuhi semua atau minimal tiga atau empat dari kelima kriteria tersebut di atas diprediksikan rumah tangga tentunya akan tercipta keharmonisan dan kebahagiaan dunia dan akherat. Sebagai perumpamaan dengan adanya ibu rumah tangga yang shalihah lagi cantik yang juga keturunan orang shaleh diharapkan akan lahir anak-anak yang shaleh-shalihah karena nenek moyangnya juga orang-orang shaleh. Sedangkan anjuran memilih wanita yang perawan adalah karena wanita yang masih perawan atau wanita yang belum pernah menikah sebelumnya. Wanita yang seperti ini diasumsikan belum berpengalaman hidup dengan lelaki lain (yang non muhrim atau suaminya) sehingga kehidupan rumah tangga akan lebih indah dengan sifat pemalunya wanita.[160] Selain itu wanita yang sudah pernah menikah juga dianggap lebih galak dibandingkan dengan wanita yang belum pernah menikah. Hal ini diasumsikan karena adanya trauma di dalam pernikahan yang dialami oleh wanita (yang sudah pernah menikah) tersebut, dan seterusnya. 
Meskipun hal ini dinyatakan oleh hadis yang diriwayatkan oleh orang yang tidak sama, akan tetapi maksudnya adalah sama, yaitu anjuran memilih pasangan dengan motivasi utama karena faktor agamanya. Sedangkan faktor-faktor yang lainnya itu hanyalah sebagai tambahan dan kelengkapan.
               Selanjutnya adalah masalah peminangan. Di dalam konsepnya JT dinyatakankan bahwa syarat-syarat  bolehnya melakukan peminangan, adalah: perempuan yang akan dipinang tidak dalam pinangan lelaki lain, dan  perempuan yang akan dipinang tidak terhalang secara syara’, seperti dalam masa ‘iddah atau perempuan tersebut merupakan muhrim dari laki-laki yang akan meminangnya. Sedangkan mengenai pembolehan melihat calon yang akan dipinang itu sebatas yang diperbolehkan oleh agama dan tidak diperkenankan menyendiri berduaan saja. Karena apabila hanya berduaan saja tanpa adanya  muhrimnya perempuan yang menemaninya dikhawatirkan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang perbuatan itu bertentangan dengan ajaran agama.
               Dari kaidah ini diperoleh sebuah pengertian bahwa kemungkinan adanya madorot atau apabila terdapat suatu perbuatan jika perbuatan tersebut dilakukan kemungkinan akan menimbulkan madorot maka seyogyanya perbuatan tersebut tidak dilakukan atau dihindarkan terjadinya.
               Hukum Islam juga menyatakan hal yang senada dengan pernyataan yang ada dalam JT tersebut di atas.[161] Sejalan dengan perkembangan pemikiran dan zaman, khit}bah yang dulunya berupa acara peminangan dengan tanpa digambarkan dengan adanya simbol apapun, di dalam hukum Islam kontemporer (khususnya di Indonesia) sering disamakan dengan pertunangan yang di dalamnya diadakan acara tukar cincin.[162] Menanggapi realita seperti ini Jama>’ah tabli>g secara umum di dalam konsepnya menyatakan wajib hukumnya menjauhi cara-cara khitbah yang non Islami seperti tukar cincin itu sendiri. Karena menurut mereka (JT) dengan melakukan atau meniru cara-cara yang non Islami berarti digolongkan dengan mereka (orang-orang non Islam).[163]
               Hanya saja kalau kita mau mencermati lebih seksama sebenarnya di dalam hukum Islam tidak dijelaskan  bagaimana tata cara peminangan secara tegas dan terinci. Hal itu dimaksudkan sebagai peluang bagi kita untuk melakukan pinangan sesuai dengan adat istiadat yang ada pada masing-masing daerah.
               Di dalam kaidah usuliyah dikenal satu kaidah yang menyatakan bahwa suatu adat atau kebiasaan yang diakui dan disepakati bersama serta adat tersebut tidak bertentangan dengan ajaran agama dan baik untuk dilaksanakan (apalagi jika adat tersebut mendatangkan manfaat) maka adat tersebut hukumnya boleh dilaksanakan.
العادة محكّمة[164]
   Selain itu, terdapat ketentuan yang tidak atau kurang selaras dengan ajaran agama (Islam), yaitu yang berhubungan dengan kewajiban menghormati dan menghargai hak orang lain meskipun orang lain tersebut bukan muslim (non Islam) selama non muslim tersebut tidak menggangu dan memerangi kita (umat Islam). Masalah tersebut ada kaitannya dengan pembolehan menerima pinangan bagi pihak perempuan. Di dalam konsepnya JT, pihak perempuan yang telah menerima pinangan seseorang boleh menerima pinangan orang lain seandainya peminang pertama adalah orang yang kurang baik (tidak shaleh), sedangkan peminang kedua adalah orang yang lebih shaleh.[165]



Sabda Rasulullah SAW:
 لايخطب أحدكم علىخطبة أخيه حتّىيترك الخاطب قبله أويأذن له.[166]
Kalau kita mengamati hadis tersebut di atas, meskipun z\ahirnya hadis menyatakan larangan melakukan peminangan jika kedua peminang merupakan saudara yang berarti sesama muslim, akan tetapi pada kenyataannya Islam juga menekankan wajibnya menghargai hak orang lain, siapapun orangnya baik itu sesama muslim atau non muslim, apalagi sesama muslim meskipun yang satu lebih baik akhlaknya dibanding dengan lainnya, termasuk juga dalam masalah peminangan ini. Hikmah lainnya yang bisa diambil berkenaan dengan larangan menerima pinangan orang lain tersebut adalah untuk menghindarkan terjadinya permusuhan antara orang-orang yang meminang itu. Bahkan apabila meminang pinangan orang lain kemudian menikah, berarti orang yang telah melakukan pinangan tersebut telah berbuat maksiat meskipun perkawinannya hukumnya sah.[167]
Dari sini penyusun dapat mengambil kesimpulan bahwa di dalam ketentuan hukum Islam penerimaan terhadap pinangan seseorang diperbolehkan apabila perempuan yang akan dipinang itu tidak dalam pinangan orang lain dan tidak ada ketentuan mengenai bagaimana jika peminangnya itu orang shaleh atau bukan. Karena sebenarnya ketika perempuan yang akan dipinang dan atau keluarganya telah mengetahui bahwa si peminang tersebut misalnya bukan orang yang shaleh, maka apabila ada lagi peminang kedua, tidak serta merta si perempuan dan keluarganya mengabaikan peminang pertama, akan tetapi bisa dengan melakukan pembatalan pinangan terhadap orang yang pertama dulu, baru kemudian dapat menerima peminang kedua. Jadi kesannya tidak melakukan penolakan sepihak atau berupaya menghindari tindakan yang kesannya meremehkan orang lain meskipun orang tersebut mungkin di bawah kita tingkat ketakwaannya.
Setelah peminangan, langkah selanjutnya adalah pernikahan itu sendiri. Dalam pernikahan ini, JT dan hukum Islam sama-sama menetapkan bahwa pernikahan adalah suatu ikatan yang kuat (mişāqan galīz\a), mantap, dan kekal antara seorang laki-laki dan perempuan.[168] Adapun mengenai syarat-syarat dan rukunnya nikah, ada sedikit perbedaan antara keduanya yang kemungkinan disebabkan oleh perbedaan penafsiran dan atau pemahaman terhadap nas-nas al-Qur’ān dan al-Hadis}.
 Konsepnya JT menyatakan kalau keberadaan calon mempelai hukumnya tidak wajib ada.[169] Alasannya tidak lain karena keberadaan kedua mempelai dapat diwakili oleh orang lain yang tentunya dengan seizin mempelai. Demikian juga mengenai mahar. Menurut JT mahar merupakan rukunnya pernikahan.[170] Kemudian, di dalam hukum Islam dinyatakan bahwa sah atau tidaknya suatu perkawinan ditentukan oleh terpenuhinya rukun dan syarat-syaratnya.[171] Rukun-rukun tersebut antara lain adalah: keberadaan calon suami dan calon istri, wali, dua orang saksi, dan adanya ijāb-qabūl.[172] Menurut literatur yang ada di tangan penyusun, mahar atau mas kawin bukan merupakan rukun dalam perkawinan, akan tetapi menyebutnya sebagai suatu kewajiban yang harus dibayarkan oleh seorang laki-laki kepada calon istrinya.[173]
Sejauh penyusun amati di dalam buku-bukunya JT, di sana tidak dijelaskan secara terinci tentang syarat-syarat sahnya pernikahan. Hanya saja secara terpisah (dinyatakan sendiri-sendiri), ada beberapa poin yang bisa dikategorikan sebagai syarat-syaratnya pernikahan yang tak terklasifikasikan.
Di dalam buku-bukunya Jama’ah tabligh dinyatakan juga bahwa boleh menikahi perempuan kecil berumur 6 tahun dan menggaulinya ketika berumur 9 tahun.[174] Alasannya adalah ittiba’ sunnah Rasulullah ketika menikahi Aisyah r.a. Mengenai hal ini hukum Islam (Indonesia saat ini) mempunyai beberapa ketentuan syarat yang berbeda yang antara lain, bagi kedua mempelai harus sudah cukup umur, yaitu bagi laki-laki telah berumur 19 tahun dan bagi perempuan telah mancapai 16 tahun.[175]
Kita tahu bahwa dasar hukum Islam yang utama adalah al-Qur’an dan as-sunnah. Mentaati dan mengikuti perintah keduanya merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Demikian juga mencontoh perbuatan beliau juga menjadi kesunnatan. Akan tetapi jika dengan mengikuti perbuatan nabi saw (menikahi Aisyah pada usia belia) rumah tangga seseorang dikhawatirkan tidak harmonis disebabkan masih labilnya jiwa si gadis maka lebih baik dihindari.    
Ada dua syarat lainnya yaitu keharusan adanya kerelaan antara kedua belah pihak dan juga keikutsertaan orang tua dalam perkawinan. Terpenuhi dan tidaknya dua syarat ini bisa dikatakan sangat berpengaruh pada kehidupan rumah tangga selanjutnya. Karena apa? Kerelaan dari kedua belah pihak akan menjadi pondasi awal dari bangunan rumah tangga yang bersangkutan. Seringkali karena tidak ada kerelaan dari keduanya atau salah satunya, maka hal itu menjadi semacam bom waktu yang selalu menghantui dan yang setiap saat bisa meledak dan menghancurkan bangunan yang telah ada. 
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa pernikahan adalah hubungan yang kuat (mis\a>qan goli>z}o) antara dua orang, laki-laki dan perempuan. Untuk mengemban dan menjaga hubungan yang kuat tersebut sangat dibutuhkan kesiapan ataupun kerelaan dari keduanya. Jika tidak didasari dengan kerelaan maka dikhawatirkan hubungan yang ada rentan oleh masa dan waktu. Sedangkan disyaratkannya keikutsertaan orang tua adalah karena sakralnya arti pernikahan itu sendiri bahkan bisa dikatakan kalau pernikahan merupakan moment yang sangat penting dalam perjalanan hidup anak Adam. Jadi sudah sewajarnya kalau untuk acara penting tersebut orang tua diikutsertakan.
    Selanjutnya adalah tentang hukumnya wanita yang haram dinikahi untuk selamanya. JT menetapkan beberapa wanita yang haram dinikahi untuk selamanya ini ada 5 sebab: 1. karena keturunan, 2. karena perkawinan, 3. karena susuan, 4. karena perempuan tersebut dilaknat oleh suaminya, 5. dan karena perempuan tersebut merupakan perempuan penzina/pelacur.[176] Sedangkan di dalam hukum Islam dinyatakan yang termasuk haram untuk selamanya adalah sebab nomer 1 sampai nomer 4. Dalam menyikapi pendapat ini, antara sebab 1 sampai 4 menurut penyusun masuk akal kalau keharamannya selamanya. Akan tetapi untuk sebab yang ke lima sepertinya lebih pantas kalau dikategorikan ke dalam keharaman yang sifatnya sementara, yaitu keharamannya bisa hilang setelah yang bersangkutan menghentikan perbuatannya dan bertobat. Pendapat ini terasa lebih rasional dan manusiawi dengan alasan bahwa tiap-tiap manusia selama hidupnya pasti tidak lepas dari melakukan kesalahan. Selama pintu taubat belum tertutup, maka seseorang pantas untuk dipandang sama haknya dengan yang lainnya.
Proses selanjutnya adalah saat memasuki kehidupan rumah tangga. Pada masa ini, upaya-upaya yang harus diusahakan adalah terpenuhinya kebutuhan lahiriyah, bathiniyah, dan spiritual. Secara substansial antara satu konsep dengan konsep yang lainnya tidak begitu berbeda. Misalnya dalam hal terpenuhinya kebutuhan lahiriyah seperti nafkah keluarga, maka suamilah yang berkewajiban untuk memenuhinya bagi keluarganya. Hal ini dimaksudkan agar istri dapat mencurahkan perhatiannya untuk melaksanakan kewajibannya dengan baik yaitu membina keluarga yang sehat dan mempersiapkan generasi yang shaleh.[177]  Meskipun yang berkewajiban memenuhi nafkah keluarga hanya suami, akan tetapi itu tidak menjadikan suami boleh berlaku semaunya dan menempatkan istri pada posisi inferior (sementara laki-laki berada posisi superior).[178] Karena Allah swt telah menciptakan tiap-tiap manusia sesuai dengan porsi penciptaannya. Jika laki-laki dibebani dengan kewajiban memberi nafkah kepada keluarganya, itu disebabkan karena kelebihan derajat yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya.
Selain itu juga, secara kodrati kebanyakan laki-laki diberi kekuatan fisik lebih besar daripada wanita (wanita mengalami yang namanya haid, mengandung, melahirkan, menyusui dimana rutinitas seperti ini menjadikan wanita selain secara fisik lemah juga secara emosional  menjadi labil). Sebaliknya laki-laki, sebenarnya kaum wanita juga dianugerahi kelebihan oleh Allah yang kelebihan tersebut tidak dimiliki oleh laki-laki kebanyakan, yaitu secara naluriah kebanyakan wanita mempunyai sifat sabar, lembut, teliti dan telaten. Kelebihan-kelebihan itulah yang menjadikan wanita lebih sesuai melakukan pekerjaan yang tidak terlalu banyak mengandalkan kekuatan fisik seperti pekerjaan menjadi tuan rumah. Meskipun demikian bukan berarti wanita tidak bisa dan tidak boleh bekerja di luar rumah. Selama ada kemampuan dan tidak bertentangan dengan syareat agama maka agama tidak melarangnya.[179] Perlu diketahui bahwa sesungguhnya pekerjaan mengurus rumah tangga bukanlah pekerjaan yang mudah dan sepele. Karena keberhasilan pada kehidupan keluarga merupakan keberhasilan agama dan negara dimana di dalam rumah tangga lah tempat digemblengnya generasi penerus dunia.
Jama’ah Tabligh menyatakan dalam konsepnya bahwa seorang istri tidak boleh keluar rumah tanpa seizin suami atau jika keluar rumah harus ditemani oleh seorang laki-laki yang mempunyai hubungan mahram dengannya.[180] Pembolehan ini pun hanya pada suatu keperluan yang diperbolehkan oleh syara’ seperti menuntut ilmu yang fard}u a’i>n sedangkan orang tuanya, suaminya, atau penjaganya tidak sempat atau tidak mampu mengajarnya, untuk mengunjungi kaum kerabatnya, dsb. Alasan utamanya adalah supaya tidak terjerumus ke dalam fitnah.
Konsepnya Jama>’ah tabli>g tidak memberikan kesempatan sedikit pun bagi perempuan untuk keluar rumah dengan keperluan untuk bekerja selagi suami dan atau penjaganya masih mampu mencukupi kebutuhannya. Mereka beranggapan perempuan yang ikut bekerja karena takut rezekinya akan terputus menunjukkan kurangnya iman, tiadanya tawakkal kepada Allah, dan tidak adanya keyakinan bahwa rezekinya seseorang itu sudah dijamin Allah sejak zaman azali.[181]
Kalau kita amati, memang benar bahwa Allah telah menetapkan rezeki tiap-tiap makhluknya sebelum manusia terlahirkan di muka bumi. Akan tetapi Allah juga menyatakan dalam hadis qudsi-Nya bahwa Dia tidak akan merubah nasib seseorang sehingga manusia itu sendiri yang berusaha merubahnya. Hadis ini mengindikasikan bahwa Allah juga menganjurkan kepada hambanya untuk selalu berusaha terus dan selalu untuk kebaikan hidupnya. Dalam perkembangannya, mengenai masalah boleh tidaknya perempuan bekerja di luar rumah, hukum Islam lebih bijaksana dalam menyikapinya.
Dengan memperhatikan kondisi sosial budaya yang ada sekarang ini, menuntut wanita untuk lebih respek menyikapinya. Sehingga hukum Islam pun menawarkan solusi yang solutif bahwa perempuan diperbolehkan bekerja di luar rumah dengan izin suaminya dan dengan batasan-batasan yang wajar dan tidak memberatkan, yang disesuaikan dengan kodratnya sebagai wanita[182], serta dengan syarat tidak boleh mengesampingkan tugas utamanya yaitu menjadi tuan rumah/ pemimpin rumah suaminya.[183] Apalagi bila keadaan memang mendesak karena usaha suami tidak dapat menghasilkan kecukupan nafkah keluarga, maka pada saat seperti ini suami boleh mengajak istrinya untuk ikut berusaha mencari nafkah yang diperlukan juga dengan syarat masih dalam batas-batas yang tidak memberatkan istri.[184]
Apalagi kalau melihat anggota Jama’ah tabligh mempunyai kegiatan yang mengharuskan seorang suami keluar rumah dalam waktu tertentu yaitu kegiatan khuru>j fi> sabi>lilla>h untuk berjaulah, penyusun beranggapan apabila istri diperbolehkan bekerja maka upaya istri tersebut akan sangat membantu bagi perekonomian keluarga mereka. Meskipun sebenarnya sebelum pergi berjaulah suami sudah mempersiapkan biaya hidup keluarganya selama suami pergi[185], akan tetapi yang namanya manusia hidup di lingkungan masyarakat, seringkali kebutuhan lainnya selain kebutuhan tetap yang tidak terduga itu muncul dan tidak dapat ditolelir lagi.  
Sedangkan dalam hal pemenuhan kebutuhan bat}iniyah, antara suami istri mempunyai kewajiban yang sama, yaitu antara keduanya wajib memberi kepuasan satu sama lain. Suami yang baik tidak akan meninggalkan istrinya dalam kondisi yang belum terpuaskan. Demikian juga sebaliknya, seorang istri yang shalihah tidak akan menyepelekan keinginan suaminya untuk melakukan hubungan seksual dan sebisa mungkin akan melayaninya dengan baik. Hanya saja, selain menyatakan kewajiban tersebut di atas dalam hal pemenuhan kebutuhan batiniyah, di dalam konsepnya JT juga seringkali menggunakan hadis-hadis misoginis untuk menjustifikasi  pendapatnya bahwa perempuan wajib menaati perintah suaminya terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan batiniyah ini tanpa melihat situasi kondisi istri. Sehingga apabila sampai istri menolak ajakan suami maka istri akan dilaknat.[186] Oleh karenanya seringkali hadis-hadis seperti ini disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk memojokkan posisi istri dan tidak sebaliknya.
Sebagaimana dalam hal nafkah, suami juga wajib mendidik istri dan anaknya dalam hal ilmu agama dan pengetahuan lainnya. Ini adalah sebagai pemenuhan kebutuhan spiritual bagi keluarganya. Secara naluriyah, setiap manusia mempunyai hasrat akan agama. Oleh karenanya, beragama merupakan hak asasi manusia yang paling asasi karena hal ini berhubungan langsung dengan Tuhan. Begitupun ketika Tuhan (Allah) menciptakan manusia juga tugan utamanya adalah untuk mengabdi kepada-Nya.
وما خلقت الجنّ والإنس إلاّ ليعبدون[187]
 Demikian juga untuk mengenal Tuhan, setiap manusia diberi kebebasan untuk mengenalnya dengan cara apapun, bisa juga dengan belajar. Di dalam keluarga, suami lah yang paling berkewajiban untuk lebih mengenalkan Allah pada keluarganya lewat pendidikan agama. Bahkan tidak hanya pendidikan agama saja yang wajib diajarkan, ilmu pengetahuan yang lain pun harus diajarkan kepada keluarganya, lebih-lebih kepada anaknya yang nanti dikemudian hari diharapkan mampu menjadi penerus keluarga dan dapat berbakti kepada kedua orang tuanya. Alasan pertama karena memang itulah salah satu kewajibannya kepada keluarganya. Sedangkan alasan keduanya adalah karena memang itulah tugas manusia di muka bumi ini yaitu amar ma’ru>f nahi> munkar. Untuk amar ma’ru>f nahi> munkar ini oleh agama diajarkan untuk dimulai dari orang-orang terdekatnya, baru kemudian kepada orang lain di sekitaranya dari mulai yang paling dekat sampai yang cukup jauh (jarak maupun hubungan kekeluargaannya).
Hal ini didasarkan atas firman Allah:
يآأيّهاالّذين آمنوآ قوآ أنفسكم واهليكم نارا[188]
وبالوالدين إحسانا وبذىالقربى واليتمى والمساكين والجارذىالقربى والجارالجنب والصّحب بالجنب وابن السّبيل وما ملكت أيمانكم [189]
Berbuat baik yang dimaksud di sini tidak hanya berbuat dalamā arti sikap saja, akan tetapi termasuk juga berbuat baik dengan mau mengingatkan apabila orang-orang yang disebutkan di dalam ayat tersebut berbuat salah, apalagi sampai melanggar ajaran agama. Kembali kepada sistem dakwahnya Jama’ah tabligh, biasanya objek tujuannya adalah daerah-daerah yang jauh dari tempat tinggalnya. Hal inilah yang menjadi ganjalan di hati penyusun tentang bagaimana mereka menyikapinya. Menurut keterangan beberapa nara sumber, mereka keluar rumah untuk khuruj tidak setiap hari. Artinya menurut mereka masih mempunyai waktu untuk mengajarkan ilmu kepada keluarganya selama tidak ikut khuru>j.
Kemudian bagaimana dengan orang-orang di sekitarnya yang masih banyak membutuhkan bimbingan sama halnya dengan orang-orang yang dijadikan objek khuruj yang domisilinya lebih jauh? Jawaban mereka ketika ditanya seperti itu adalah orang-orang yang disekitarnya adalah tugas orang lain yang berkegiatan sama dengannya atau menjadi tugas anggota JT lainnya yang memang sedang memfokuskan dakwahnya di daerah tersebut. Dan masih menurut mereka juga, biasanya tempat-tempat yang ada di sekitar rumahnya sudah banyak da’i yang melakukan dakwah di tempat tersebut.[190] Apakah ini mereka maksudkan bahwa setiap orang yang bergabung di JT pasti atau kebanyakan berasal dari daerah yang cukup agamis?
Demikian pentingnya menuntut ilmu ini, sehingga ayat pertama yang turun kepada Rasulullah pun adalah anjuran untuk belajar.[191] Baik JT maupun hukum Islam sangat menekankan arti pentingnya belajar ini. Akan tetapi JT sangat tidak setuju dengan sistem pendidikan yang ada pada masa sekarang ini yang mencampurkan  laki-laki dan perempuan (antara sesama murid maupun antar guru) di pusat-pusat pendidikan. Menurut mereka yang demikian ini melanggar aturan syar’i sehingga hukumnya haram. Menurut mereka lagi, tidak ada yang menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan sama dalam semua hal, juga tidak ada kebaikannya memberi persamaan kepada wanita supaya “setaraf” dengan laki-laki. Mereka mengatakan bahwa sistem pendidikan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya defeminitation of women yaitu menghilangkan secara pelan-pelan sifat-sifat asli kaum wanita dan menimbulkan penyakit motherhood rejection atau benci menjadi ibu/memikul tanggung jawab sebagai ibu.[192]
Padahal kalau penyusun amati, istri dari seorang anggota JT seharusnya adalah seorang wanita yang mempunyai ilmu yang cukup. Alasannya, di dalam rumah tangga JT kemampuan seorang istri niscaya lebih dibutuhkan untuk mendidik anaknya ataupun untuk keperluan yang lainnya. Karena pembelajaran yang seharusnya tugas utama seorang suami dan ayah, ketika suami sedang melakukan khuruj maka istri lah yang harus mengambil alih perannya, meskipun secara umum istri pun mempunyai kewajiban mendidik anaknya.
Dengan demikian, secara substansial JT sepakat bahwa pendidikan merupakan kebutuhan dan kewajiban mencarinya bagi setiap manusia. Akan tetapi JT sangat menentang keras metode pendidikan yang ada di masa sekarang ini yang mencampurkan di satu tempat antara laki-laki dan perempuan karena mereka beranggapan bahwa untuk memenuhi hak yang sama dalam pendidikan bukan berarti harus memberikan yang sama. Menyikapi masalah ini hukum Islam sekarang ini selain tidak membedakan porsi pendidikan yang boleh diterima oleh perempuan dengan laki-laki, dengan alasan efisiensi dan persamaan, juga tidak terlalu berlebihan di dalam menanggapi teknisnya sistem pendidikan yang ada sekarang ini. Dengan berpegang pada hadis yang menyatakan wajib bagi setiap laki-laki dan perempuan untuk menuntut ilmu dan tidak ada penjelasan yang membedakannya sama sekali, berarti tidak ada salahnya apabila perempuan diberikan pendidikan yang sama dengan laki-laki.[193]

B.  Ciri-ciri Keluarga Sakinah
Seseorang yang telah melewati beberapa proses dan upaya yang sungguh-sungguh seperti yang tersebut di atas dengan maksud dan niat untuk membentuk keluarga yang sakinah, insyaallah Allah swt akan merahmati keluarganya dan menjadikannya rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah.
Satu hal yang harus selalu diingat bahwa untuk membentuk keluarga yang sakinah itu tidak mudah, bahkan bisa dikatakan sangat sulit. Hal itu disebabkan karena di dalam rumah tangga yang sakinah segala sesuatunya berjalan sesuai dengan ajaran agama dan tidak ada yang dilandasi dengan yang namanya egoisme, arogansi, atau nafsu semata. Padahal kalau kita amati lebih seksama hal-hal tersebut (egoisma, arogansi, dan napsu semata) tersebut seringkali terjadi di dalam rumah tangga, tidak terkecuali di dalam rumah tangga seorang muslim. Tindak sewenang-wenang seorang suami kepada istrinya terjadi karena biasanya suami merasa lebih super dibanding istrinya atau karena minimnya pengetahuan agamanya suami .[194] padahal al-Qur’an menempatkan posisi wanita atau istri sejajar dengan laki-laki atau suami.[195]
Kemungkinan faktor lainnya adalah suami merasa telah memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya, sehingga merasa istri dan anak-anaknya harus tunduk dan patuh atas segala perintahnya dan tidak mengingat apakah ia telah bersikap sama seperti apa yang telah dituntutnya dari istri dan anak-anaknya. Padahal kita tahu, pemenuhan materi saja tidak cukup sebagai landasan seorang suami untuk menuntut dipenuhi haknya secara keseluruhan, karena memang itulah tugasnya kepada keluarganya dengan imbalan diberikannya derajat yang lebih dibandingkan perempuan atau istrinya.
Oleh karena itu, supaya tercipta rumah tangga yang harmonis, sebuah keluarga harus selalu menjaga keseimbangan di berbagai segi kehidupannya. Keseimbangan tersebut bisa diawali dari suami istri sendiri yaitu selalu menjaga keseimbangan hak dan kewajiban diantara mereka. Sebagai suami yang shalih, menghormati hak dan memenuhi kewajibannya kepada istri merupakan suatu kebahagiaan tersendiri karena dengan demikian dia akan memperolah perlakuan yang sama dari istrinya.
Di dalam konsepnya Jama’ah tabligh, secara umum memang demikianlah yang mereka akui. Mereka menyatakan suami istri harus saling menghargai dan menghormati. Jika suami menuntut untuk diperlakukan dengan baik oleh istrinya, maka ia harus memulainya dari dirinya sendiri. Selain itu, seringkali di konsepnya JT juga dinyatakan bahwa kedudukannya istri bagaikan seorang tawanan bagi suaminya. Seorang istri harus lebih mendahulukan hak suaminya dibandingkan haknya sendiri, harus mematuhi suaminya di atas segala-galanya, karena ridhonya suami merupakan ridhonya Allah SWT.
Masih berbicara tentang konsepnya JT, sepertinya semua apa yang dilakukan istri selalu dibayang-bayangi oleh laknat, entah itu laknatnya alam, malaikat, maupun Allah. Tidak dapat dipungkiri kalau mereka masih sering menggunakan hadis}-hadis} yang berbau misoginis. Kemungkinan karena mereka berusaha untuk selalu konsisten menerapkan cara hidup yang hanya didasarkan dengan al-Qur’a>n dan al-hadis} dan tidak begitu memperhitungkan kondisi sosial masyarakat yang ada sekarang ini. Kebanyakan hadis-hadis misoginis tersebut menyangkut masalah kewajiban-kewajiban istri kepada suaminya, seperti jika istri tidak mau melayani ajakan suami untuk bersetubuh, ketika istri keluar rumah tanpa izin suami, ataupun misalnya sikap istri yang tidak menyenangkan di muka suaminya.
Hal ini mungkin akan terasa sebagai sebuah keadilan jika diperhatikan juga bagaimana kondisi istri saat-saat tersebut. Jika memang istrinya lagi dalam kondisi yang sedang tidak nyaman, tidak sehat, capek mengurus rumah tangga, atau sedang tidak siap secara psikisnya, maka suami seharusnya tidak memaksakan kehendaknya. Karena secara psikologi, suami-istri tidak akan mencapai kepuasan seksual di saat salah satu pihak tidak dalam kondisi yang baik. Padahal seperti dinyatakan di depan bahwa suami dan istri harus berusaha saling memuaskan pasangannya. Dalam hal ini seharusnya tidak hanya pihak istri saja yang selalu disalahkan, suami pun seharusnya dimintai tanggung jawabnya. Kalau memang suami sangat menginginkan kepuasan seksual secara sehat dan bersama-sama, maka sewajarnya ia berusaha bagaimana supaya gairah seksual istrinya terbangkitkan. Sehingga terhindar dari adanya yang memaksa dan yang dipaksa. 
Masih menurut konsepnya JT, mengenai harta pribadi istri dinyatakan bahwa memang istri mempunyai hak penuh terhadap hartanya tersebut, akan tetapi untuk memakainya ia harus mendapat izin dari suaminya karena apapun yang dilakukan oleh istri harus seizin suaminya.[196] Pendapat mereka memang rasional bahwa seorang istri bebas membelanjakan harta pribadinya meskipun lebih baik istri memberitahu suaminya terlebih dahulu. Karena sesungguhnya mengenai harta tersebut adalah hak penuh atau hak mutlak istri yang tidak boleh dicampuri oleh suami. Bahkan menurut hukum Islam istri diperbolehkan untuk tidak mematuhi suaminya apabila ia diperintahkan oleh suaminya untuk membelanjakan hartanya dengan keinginan suaminya.[197]
Kembali ke masalah nafkah, memang suami lah yang mempunyai tanggung jawab penuh untuk mencukupinya. Meskipun istri bersedia untuk ikut membantu, akan tetapi itu tidak mengurangi kewajiban suami terhadap nafkah keluarganya tersebut. Menyinggung mengenai JT, untuk berdakwah mereka harus mengeluarkan biaya sendiri-sendiri. Itu berarti, selain harus mencukupi nafkah keluarganya, anggota JT juga harus mengeluarkan biaya sendiri untuk kegiatannya tersebut. Menurut mereka memang sebelum pergi khuru>j suami biasanya sudah mempersiapkan biaya hidup keluarganya untuk jangka waktu selama suami pergi. Ini mungkin untuk keluarga yang termasuk dalam kelas ekonomi menengah ke atas karena biasanya selain mereka telah mempunyai tabungan juga penghasilan setiap bulannya cukup memadai untuk biaya hidup keluarganya dan untuk berdakwah. Maka, bagaimana dengan yang tingkat ekonominya menengah ke bawah?.
Memang menurut para nara sumber yang bersedia kami wawancarai, untuk khuru>j tidak ada kewajiban bagi orang yang tidak mampu, baik dari segi fisik ataupun finansialnya. Tetapi mereka juga tidak menyangkal kalau kegiatan tersebut seringkali membuat orang yang pernah ikut khuruj dan merasakan nikmatnya dzikir dan ta’lim sehingga menjadikan kecanduan. Maka, biasanya yang terjadi pada orang yang kecanduan adalah tidak begitu memikirkan hal lain selain bagaimana caranya ia dapat memuaskan keinginannya. Memang penyusun tidak dapat membuktikan faktanya secara konkrit, akan tetapi fakta dari kejadian tersebut telah ada, terjadi di daerah-daerah terutama di pedesaan.[198]
Di dalam literatur yang ada di tangan penyusun dinyatakan bahwa sebagai suami yang shalih seharusnya senantiasa melakukan yang terbaik bagi keluarganya, termasuk mengutamakan nafkah keluarga dalam membelanjakan hartanya di atas kepentingan-kepentingan yang lainnya.[199]  Suami juga hendaknya pandai-pandai membelanjakan hartanya, mana yang lebih penting itulah yang didahulukan. Membelanjakan harta untuk s}adaqah di jalan Allah (termasuk untuk dakwah) adalah hal yang utama. Akan tetapi jika tidak mampu tidak ada kewajiban untuk memaksakan kehendak sehingga melupakan nafkan nafkah keluarga.[200]
Sabda Rasulullah saw:
دينار أنفقته في سبيل الله ودينار أنفقته في رقبة ودينار تصدّقت به على مسكين ودينار أنفقته على اهلك أعظمها اجرا الّذى أنفقته على أهلك.[201]
Telah penyusun katakan di depan bahwa Allah SWT menciptakan setiap manusia itu berpasang-pasangan dengan tujuan supaya mereka (manusia) berumah tangga dan menjadikan keluarganya keluarga yang sakinah mawaddah warahmah.

ومن آياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودّة ورحمة.[202]
 Keluarga yang sakinah adalah keluarga yang tercukupi secara material maupun spiritualnya (d}o>hir maupun ba>t}innya). Kedua kebutuhan tersebut harus diseimbangkan satu sama lainnya. Karena tidak akan tercipta ketenteraman rumah tangga jika salah satu unsurnya tidak terpenuhi. Seperti hadis yang disampaikan oleh Anas ra. Bahwasanya ketika Allah menghendaki suatu keluarga menjadi individu yang mengerti dan memahami agama, yang lebih tua menyayangi yang lebih kecil dan sebaliknya, memberi rezeki yang berkecukupan di dalam hidup mereka, tercapai setiap keinginannya, dan menghindarkan mereka dari segala cobaan, maka terciptalah sebuah keluarga yang dinamakan sakinah, mawaddah, warahmah. [203]
Selain kedua unsur itu, ada satu lagi unsur lain yang sangat mendukung akan terciptanya keluarga sakinah. Unsur tersebut adalah terciptanya keharmonisan hubungan sosial, karena manusia tidak bisa hidup tanpa uluran tangan dari orang lain, sepintar dan sekaya apapun dia. Manusia diciptakan di dunia sebagai mahluk sosial yang secara naluriah membutuhkan orang lain. Ia butuh saling mengenal satu sama lainnya sehingga terciptalah suasana tolong menolong diantara mereka. Baik itu tolong menolong dalam urusan dunia maupun tolong menolong dalam urusan akherat. Tolong menolong dalam urusan dunia contoh konkritnya seperti adat gotong royong dalam menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak bisa diselesaikan sendiri seperti membuat rumah atau yang lainnya. Sedangkan contoh tolong menolong dalam urusan akherat seperti amar ma’ru>f dan nahi> munkar.
Pada akhirnya harus diakui bahwa JT mempunyai konsep keluarga sakinah tersendiri, yang pada dasarnya konsep tersebut bersumber dari hukum Islam meskipun dalam beberapa hal ada sedikit perbedaan dalam penafsirannya. Selain itu konsep tersebut juga tidak atau belum tertuang dalam sebuah konsensus sehingga pelaksanaannya pun belum seragam diantara anggotanya.
 
   
  

BAB V
PENUTUP
A.  Kesimpulan
               Berdasarkan pembahasan yang telah penyusun kemukakan di atas yang terdiri atas 4 bab tentang konsep keluarga sakinah menurut Jama’ah tabligh perspektif hukum Islam, maka penyusun dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1.            Secara teoretis, konsep keluarga sakinah menurut Jama>’ah Tabli>g lebih menerapkan isi dari dhohirnya ayat al-Qur’a>n dan sunnah saja (cenderung bersifat tekstual). Contoh kecil seperti masalah berpakaian. Untuk jenis dan warna pakaian, menurut mereka wajib mengikuti dan harus sama persis seperti apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Sedangkan pada masalah kehidupan rumah tangganya, di dalam konsepnya JT ada beberapa pendapat yang terkesan diskriminatif dan  bias jender, terutama yang menyangkut masalah keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri. Misalnya pada masalah pengklasifikasian hak dan kewajiban dalam rumah tangga di mana istri selalu ditempatkan pada posisi kedua (inferior) setelah suami (superior).  
2.            Secara substansial antara konsep keluarga sakinah menurut Jama>’ah Tabli>g dan konsep keluarga sakinah menurut hukum Islam bisa dikatakan tidak begitu berbeda. Hanya saja pada masalah-masalah tertentu yang berhubungan dengan metode penafsiran atau metode studi terhadap nas-nas  (al-Qur’a>n dan al-sunnah), antara keduanya sedikit berbeda. Dapat dikatakan di sini bahwa umumnya ulama-ulama JT kemungkinan menggunakan pendekatan parsial dalam mengkaji al-Qur’an dan as-sunnah. Sehingga (konsepnya JT) terkesan tidak begitu berupaya untuk membumikan ajaran al-Qur’an dan sunnah Nabi saw.
                     Padahal kita tahu bahwa persoalan pembumian al-Qur’an dan sunnah Rasul saw dalam segala aspek kehidupan adalah termasuk perjuangan yang tidak pernah ada habisnya seiring berubahnya zaman, tuntutan, dan konteks. Seperti masalah peluang untuk bekerja, di mana pada zaman dahulu kebanyakan muslimah tidak diperkenankan untuk bekerja kecuali pekerjaan rumah tangga.
                     Oleh karena itu dengan lebih dibumikannya al-Qur’an sekarang ini, berdasarkan pada surat an-Nahl (16):97 yang menjelaskan tentang prinsip yang sama khususnya keadilan, kebebasan bekerja diberikan seluas-luasnya kepada semua manusia tanpa membedakan jenis kelamin selama hal itu memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dan halal.      
                          
                           Sebagai catatan bahwa pada dataran aplikatif, tiap-tiap anggota JT antara satu dengan lainnya tidak harus sama cara atau metode yang dipakai di dalam mengamalkan dan menjalankan ajaran agama. Artinya tidak ada ketetapan khusus yang harus diikuti oleh tiap-tiap anggotanya.
  
Demikianlah kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan di atas. Kesimpulan ini pada dasarnya bukanlah kesimpulan final, tetapi sebuah kesimplan yang masih mungkin untuk ditinjau kembali dan dilakukan penelitian ulang. Tidak menutup kemungkinan apa yang penyusun kemukakan pada karya tulis ini suatu saat tidak lagi sesuai lagi dengan realita yang ada pada masa yang akan datang.

B.  Saran-saran
1.      Nafas-nafas Islam yang sarat dengan nilai-nilai demokrasi dan solidaritasnya hendaknya dapat diterapkan dalam membina rumah tangga oleh setiap umat Islam khususnya dan umat menusia pada umumnya. Sehingga rumah tangga muslim selalu  dapat dijadikan suri tauladan oleh umat manusia kapanpun dan dimanapun berada.
2.   Perbedaan yang ada pada umat Islam dalam memahami pesan-pesan khusus Islam sehingga muncul berbagai macam kelompok hendaknya disikapi secara arif oleh masing-masing kelompok umat (Islam), sehingga perbedaan tersebut hanya akan mendatangkan nikmat dan manfaat yang tidak akan menyulut perpecahan.
3.   Jama>’ah Tabli>g secara umum (bisa dikatakan) merupakan salah satu kelompok dari umat Islam yang kuat dalam memegang ajaran agama atau seringkali hanya melaksanakan ajaran murni dari al-Qur’a>n dan al-sunnah saja, sehingga apa yang mereka lakukan di masa sekarang ini, terasa kaku dan kolot. Akan tetapi hal ini seharusnya menjadi pemikiran kita untuk lebih bisa menerima dan menghargai juga sebagai koreksi diri kita sendiri akan kualitas diri pribadi sendiri.
4.      Hendaknya ada penelitian dan pembahasan ulang tetang kajian konsep keluarga sakinah menurut Jama>’ah Tabli>g ini, akan tetapi dengan menggunakan pendekatan dan metode penelitian yang lain seperti penelitian lapangan dan sebagainya.

BIOGRAFI ULAMA

  1. IMAM BUKHA<RI<
Nama lengkapnya adalah Imam Abu> Abdullah Muhammad bin Isma>i>l al-Bukha>ri>. Beliau lahir di kota Bukhara pada tanggal 13 Syawa>l 194 H atau bertepatan dengan tahun 810 M/ 809 M. Bukhori kecil mulai mempelajari dan mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menekuni pelajaran hadis mulai umur 11 tahun, dan pada usia 18 atau 20 tahun beliau sudah menghasilkan dua buah buku yang diberi judul Kazayai Saha>ba wa Tabai>n (al-Saha>bah wal Tabi>u>n) dan al-Tari>kh. Maka tidak berlebihan jika beliau dinyatakan sebagai salah satu ahli hadis terbesar yang dihasilkan oleh dunia Islam. Karya terbesarnya adalah al-Jami>’ al-Sahi>h atau yang lebih terkenal dengan Sahi>h Bukhari> yang berisi hadis-hadis yang paling sahih mengenai sunnah. Beliau wafat pada 30 Ramadhan tahun 256 H (31 Agustus 870) di kota dekat Samarkand.
  1. IMAM MUSLIM
Lahir di Nishapur pada tahun 202/ 206 H atau 817/ 821 M. Nama aslinya adalah Al-Hajja>j Abul Husai>n al-Khushairi> al-Nisha>puri>, akan tetapi lebih terkenal dengan nama Imam Muslim. Selain Imam Bukha>ri>, beliau juga merupakan salah satu ulama penghimpun hadis yang diakui keshahihannya. Bukunya yang termasyhur adalah Sahi>h Muslim yang terdiri atas 52 bab. Beliau wafat pada tahun 261 H/ 875 M dan dimakamkan di Nisarabad (daerah pinggiran kota Nishapur).
  1. AL-GHAZZA<LI
Lahir pada tahun 1058 M di Thus, Khurasan. Nama aslinya adalah Abu> Ha>mid bin Muhammad al-Nisha>fu>ri>.  Beliau adalah seorang pemikir jenius Islam dan ahli tasawuf. Salah satu karya besarnya yang terkenakl adalah Ihya> ‘Ulu>m al-Di>n. Masyarakat Islam menggelarinya Hujjat al-Islam atau saksi Islam. Beliau wafat pada tanggal 10 Desember 1111 M pada usia 50 tahun.
  1. AHMAD AZHAR BASYIR
Almarhum adalah ketua pimpinan pusat Muhammadiyah periode 1989-1994. Meraih gelar master dalam ‘Ulum Islamiyah jurusan Syari’ah Islamiyah dari fakultas Darul ‘Ulum, Universitas Kairo, Mesir.
  1. HASAN BASRI
Lahir di Sasah, Aceh Selatan pada tanggal 28 November 1938. Beliau mengajar di fakultas psikologi, filsafat, geografi, pertanian, ISIP di UGM Yogyakarta. Beberapa karya tulisannya antara lain: Keluarga Sakinah Tinjauan Psikologi dan Agama (Pustaka Pelajar,2002), Merawat Cinta Kasih (Pustaka Pelajar, 1999), Keluarga Sakinah Keluarga Surgawi (Titian Ilahi Press, 1999), dsb.  




[1] Must}afa Masyhur, Qudwah di jalan Dakwah, terjemah oleh Ali Hasan, (Jakarta: Citra Islami Press, 1999), hlm. 71.
[2] Maimunah Hasan, Rumah Tangga Muslim (Yogyakarta: Bintang Cemerlang, 2001), hlm. 7.  

[3] An-Nisā’ (4): 34.

[4] Must}afa Masyhur, Qudwah di Jalan,  hlm. 73.
[5] Ibid., hlm. 50.

[6] Al-Tahrim (66): 6.

[7] Ali Imrān (3): 104.
[8] Husein bin Muhsin bin Ali Jabir, Membentuk Jama’atul Muslimin, alih bahasa oleh Supriyanto  (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hlm. 223.
[9] Muhammad Qowim dkk, Model Dakwah Jama>’ah Tablig, Laporan Penelitian Kelompok Mahasiswa Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Yogyakarta: Perpustakaan Pasca Sarjana, 2002), hlm. 10.

[10] Musthafa Hasan, Menyingkap Tabir Kesalahfahaman Terhadap Jama>’ah Tablig (Yogyakarta: Ash-Shaff,1997), hlm. 6.

[11]  Muhammad Qowim dkk, Model Dakwah, hlm. 10.
                [12] Furqon Ahmad Anshari, Pedoman Bertablig Bagi Umat Islam, ed. Supriyanto Abdullah, (Yogyakarta: Ash-Shaff, 2000), hlm. 37. 
[13] Muhammad Qawim dkk, Metode Dakwah Jama’ah Tabligh, hlm. 7.

[14]  Hasan Basri, Keluarga Sakinah; Tinjauan Psikologi dan Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995).
[15] A. Azhar Basyir dan Fauzi Rahman, Keluarga Sakinah Keluarga Surgawi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1999).

[16] Nawawi al-Bantani, Hak dan Kewajiban Suami Istri(Pedoman Membina Keluarga Sakinah), terj. Masrokhan Ahmad, cet II (Yogyakarta: Ash-Shaff, 2000).

[17] Nadhirah Mujab, Merawat Mahligai Rumah Tangga (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000).

[18] Maimunah Hasan, Rumah Tangga Muslim (Yogyakarta: Bintang Cemerlang, 2001).

[19] Fuad Kauma dan Drs. Nipan, Membimbing Istri Mendampingi Suami (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003).
[20] Al-Fāt}ir (35): 39.

[21] Al-Z}ariyat (51) : 56.

[22]  An-Nur (24): 33.
                [23] Ar-Rūm (30): 21.
               
                [24] Fuad Kauma dan Nipan, Membimbing Istri, hlm. 8.

[25]       عن أنس ر.ع. إذا أرادالله بأهل بيت فقّههم فىالدّين ووقّر صغيرهم كبيرهم ورزقهم الرّزق فى معيشتهم والقصد فى نفقاتهم وبصّرهم عيوبهم فيتوامنها وإذا أرادبهم غير ذالك تركهم هملا.                                           
[26] An-Nisā’ (4): 19.

[27] An-Nisā’ (4): 36.
[28] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2000), hlm. 212.
[29] Jama’ah tabligh sebagai sebuah perkumpulan besar telah memiliki beberapa penerbitan yang hanya menerbitkan buku-buku yang ditulis oleh anggotanya sendiri, baik itu yang ditulis oleh anggotanya yang di Indonesia maupun yang berada di luar negeri, atau tulisan-tulisan ulama lainnya yang dianggap cocok dengan keyakinan mereka, seperti penerbit Ash-Shaff  yang ada di Yogyakarta dan Pustaka Nabawi Cirebon. 
[30] Cholid N dan H. Abu A, Metodologi Penelitian (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), hlm. 19.
[31] Anton Bakhtiar dan Ahmad Zubaker, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1997). hlm. 62.
    [32] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, cet. I ( Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 334.
[33] Ar-Rūm (30): 21.

[34] Fuad Kauma & Nipan, Membimbing Istri, hlm.viii.
[35] Muslim, Sahih Muslim (ttp, al-Qanāah, tt), I: 623, “ kitab an-Nikah,” “Bāb Istihbāb an- Nikāhi zāti ad-Dini.” 
[36] A. Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, cet IX (Yogyakarta: UII press, 1999), hlm. 18.
[37] Al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, edisi, ‘Ala’u ad-Din (Dār al-Fikr: Jauhar an-Naqi, ttp, tt), VII: 81 – 82, “Kitab an-Nikah,” “Bab Istihbāb at-Tazawwuji bi al-Wadūda al-Walūda. Hadis dari Anas bin Mālik dan diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dinilai sahih oleh Ibn Hibbān.

[38] Azhar Basyir, Hukum Perkawinan, hlm. 18.
[39] Fuad Kauma & Nipan, Membimbing Istri, hlm. 31.
[40] Peminangan adalah permintaan seorang laki-laki kepada perempuan pilihannya agar menjadi istrinya, baik dilakukan sendiri secara langsung maupun melalui orang kepercayaannya. Akan tetapi, di beberapa tempat peminangan kadang kala juga dilakukan oleh pihak perempuan.
[41] Muslim, Sahih Muslim (ttp, al-Qana’ah, tt), I: 592, “Kitab an-Nikah,” “Bab Tahrimi al Khitbati ‘Alā Khitbati Akhihi au Ya’zana au Yatruka.”
[42] Al-Baqarah (2): 235.

[43] A. Azhar Basyir, Hukum Perkawinan, hlm. 21-23. 

[44] Abū Dāwūd, Sunan Abi> Dāwūd (Beirut: Dār al-Fikr, tt), II: 228, hadis nomor 2082, “Kitb an-Nikāh,” “Bab Fi ar-Rajuli Yanzuru Ilā al-Mar’ati Yuridu Tazwijihā.”  
[45] Ahmad, Bustānu al-Ahbār Muhtasar Nailul Autār, edisi Ali Mubarak (Kairo: Mu’allaqāt as-Salafiyyah, 1374 H), Terjemahan Nailul Autar Himpunan Hadis-hadis Hukum, diterjemahkan oleh Mu’ammal Hamidi dkk, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993), V: 2145, hadis nomor 3435, “ Kitab an-Nikah,” “ Bab Larangan Menyendiri Dengan Perempuan Yang Bukan Mahramnya dan Perintah Menundukkan Pandangan.”
[46] Fuad Kauma & Nipan, Membimbing Istri, hlm. 48.
[47] Ibid., hlm. 57-58.

[48] Muslim, Sahih Muslim, (ttp, al-Qanā’ah, tt), I: 603, hadis nomor 3580, “Kitāb an-Nikāh,” “Bab al-Amru bi Ijābati ad-Dā’i ilā Da’wati>.” 

[49] Fuad Kauma & Nipan, Membimbing Istri, hlm. 59.
[50] Al-Nisā(4): 19.
[51] Fuad Kauma & Nipan, Membimbing Istri, hlm. 80.

[52] Al-Nisā’ (4): 34.
[53] Ali Imrān (3): 14.
[54] A. Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, h. 60-61. juga Fuad Kauma & Nipan, Membimbing Istri, hlm. 63.
[55] Al-Tahrim (66): 6.
[56] Hasan Basri, Keluarga Sakinah, hlm. 28.

[57] Al-Baqarah (2): 228.
[58] Nad}i>rah Mujab, Merawat Mahligai Rumah Tangga, hlm. 31.
[59] An-Nisā’ (4): 4.
[60] Abū Dāwūd, Sunan Abi Dāwūd, (Beirut: Dār al-Fikr, tt), II: 251, hadis nomor 2143, “Kitāb an-Nikāh,” “ Bāb Fi H}aqqi al-Mar’ati ‘Ala Zaujiha.”

[61] Fuad Kauma & Nipan, Membimbing Istri., hlm. 85 - 86
[62] Ahmad Azar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 62.
[63]  Ghulam Musthafa Hasan, Menyingkap Tabir, hlm. 5.

[64]  Ali Nadwi, Riwayat Hidup dan Usaha Dakwah Maulana M. Ilyas, terj: Masrokhan A, (Yogyakarta: Ash-Shaff, 1999), hlm. 5.

[65] Ibid., hlm. 5.
[66] Ibid., hlm. 6.

[67] Ali Nadwi, Riwayat Hidup, hlm. 7 – 8.

[68] M. Qowim dkk, Metode Dakwah JT, Laporan Kelompok Mahasiswa Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, hlm. 18.

[69] Ali Nadwi, Riwayat Hidup, hlm. 5.
[70] Ibid., hlm. 8.
[71] Ali Nadwi, Riwayat Hidup, hlm. 11.

[72] Baiat yang dimaksud di sini adalah baiat yang selalu dilakukan oleh guru dan murabbi di bidang akidah yang benar serta ilmu tentang al-kitab dan as-sunnah yang merupakan taubat dari kekufuran, syirik, kemaksiatan, dan bid’ah, kemudian membulatkan tekat untuk mengamalkan al-Qur’an, as-Sunnah, kewajiban-kewajiban agama, dan zikir-zikir yang ma’sur.

[73]  Ibid., hlm. 16.

[74]  Ibid., hlm. 17.
[75] Ghulam Musthafa H, Menyingkap Tabir Kesalahpahaman, hlm. 6.
[76] Ali Nadwi, Riwayat Hidup, hlm. 29.
[77]  Ibid., hlm. 35.

[78]  Ibid., hlm. 36.

[79] . Ali Nadwi, Riwayat Hidup, hlm. 39.
       [80]  Ibid., hlm. 41.
       [81]  Ibid., hlm,. 42.

       [82]  H. Furqon, Pedoman Bertabli>g  bagi Umat Islam, hlm. 7.

       [83] . Ali Nadwi, Riwayat Hidup Maulana Muhammad Ilyas, hlm. 47.
       [84] Ghulam M. H, Menyingkap Tabir, hlm. 77.
       [85] H. Furqon A, Pedoman Bertablig Bagi Umat Islam, hlm.16.
       [86] Ghulam. M. H, Menyingkap Tabir, hlm. 8–9. lihat juga Maulana Asyiq Ilahi, Enam Prinsip Tablig,  dalam bahasa Malaysia, disunting oleh Supriyanto A, cet. II (Yogyakarta: Ash- Shaff, 2000),  hlm. 1 – 21.
[87].Ar-Rūm (30): 21.

[88] Wawancara dengan saudara Ali Hasan di Yogyakarta pada bulan Juni 2003.
[89] Wawancara dengan bapak Fauzi dan bapak Abdullah di Masjid al- Ittihād Jl. Kaliurang. Jogjakarta pada bulan September 2003.
[90].A. Abdurrahman, Fadhilah Wanita S}alihah, hlm. 37.

[91] Ibid.

[92]  An- Nūr (24): 33.
[93] Ali Mubarak, Muhtasar Nailul Autar, (Kairo: al-Mu’allaqāt al-Salafiyyah, 1374 H), edisi Muammal Hamidi dkk, Terjemahan Nailul Autar, (Surabaya: PT bina Ilmu, 1993), V: 2129, hadis nomor 3411, “Kitab Nikah,” ”Bab Anjuran Kawin dan Makruhnya Membujang Bagi Yang Berkuasa,”.  Hadis} dari Ibn Mas’ūd dan diriwayatkan secara berjamā’ah (bersama-sama).
[94] A. Abdurrahman, petunjuk sunnah dan Adab Sehari-hari Lengkap (Cirebon: Pustaka Nabawi, 2000), hlm, 114.

[95].Ibid.
[96] Ibid., hlm. 115.

[97].Ibid., hlm. 116.
[98] Ibid., hlm. 115.

[99] Ibid., hlm. 118-119.

[100] Ibid., hlm. 119.

[101] Ibid., hlm. 120.
[102] Ibid.

[103] Ibid.
[104] Abdurrahman A, Lelaki Salih 2, hlm. 70 & 86. lihat juga Fad}ilah wanita S}alihah, hlm. 101. juga Petunjuk Sunnah, hlm. 12.

[105].An-Nisā’ (4): 34.

[106] Al-Baqarah (2): 233.
[107] A. Abdurrahman A, lelaki S}alih 2, hlm. 86.

[108]  Al-T}alāq (65): 7.
[109] A. Abdurrahman, Petunjuk Sunnah, hlm. 129. lihat juga Lelaki S}alih 2, hlm. 86.

[110] Ali Mubarak, Muhtasar Nailul Autar, (Kairo: al-Mu’allaqāt al-Salafiyyah, 1374 H), edisi Muammal Hamidi dkk, Terjemahan Nailul Autar, (Surabaya: PT bina Ilmu, 1993), V: 2462, hadis nomor 3867, “Kitab Nafaqah,” ”Bab Nafkah Istri Wajib Didahulukan Daripada Kerabat-kerabat Yang Lain”.
[111] Al- Baqarah (2): 222.

[112] An- Nisā’ (4): 19.
[113] A. Abdurrahman A, Lelaki S}alih 2, hlm. 86.

[114] Ibid., hlm. 87.

[115] Ibnu Majah, Musnad Ibn Majah, I, hadis nomor 244. Hadis dari Anas bin Malik dan diriwayatkan oleh T}abbra>ni.
[116] A. Abdurrahman A. Fadhilah wanita Shalihah (Cirebon: Pustaka Nabawi, 1999), hlm. 15.

[117] Ibid, hlm, 71.

[118] Ali Mubarak, Muhtasar Nailul Autar, (Kairo: al-Mu’allaqāt as-Salafiyyah, 1374 H), edisi Muammal Hamidi dkk, Terjemahan Nailul Autar, (Surabaya: PT bina Ilmu, 1993), V: 2290 -2291, hadis nomor 3670, “Kitab Walimah, Mengurus dan Bergaul Dengan Wanita,” “Bab Mempergauli Istri Dengan Baik dan Hak-hak Suami Istri”. Hadis} dari Abdillah ibn Aufa dan diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibn Majah.

[119] A. Abdurrahman, Fadhilah Wanita S}alihah, hlm. 41.
[120] A. Abdurrahman, Fadhilah Wanita S}alihah, hlm. 41. juga dalam Petujuk sunnah, hlm. 122
Secara mutlak menurut Ibnul Jauzi adalah secara keseluruhan dari perintah suaminya, kecuali hal-hal yang diharamkan oleh Allah SWT, seperti mengajak bersetubuh pada waktu haid, pada siang bulan ramadhan, mengajak tidak shalat, dan lain-lainnya yang intinya adalah melakukan hal-hal yang bertentangan dengan perintah-Nya. Ditambahkan oleh Syaikh Abdul Halim Hamid bahwa perkecualian tersebut termasuk berdandan seperti dandanan jahiliyah, serta ikut kumpul dalam majlis yang campur antara pria dan wanita. Dan juga kewajiban untuk taat tersebut tidak berkurang hanya karena suaminya kekurangan harta, ilmu, ataupun pangkat, atau bahkan istrinya memiliki atribut tersebut dan lebih tinggi daripada suaminya.

[121] Ali Mubarak, Muhtasar Nailul Autar, (Kairo: al-Mu’allaqāt as-Salafiyyah, 1374 H), edisi Muammal Hamidi dkk, Terjemahan Nailul Autar, (Surabaya: PT bina Ilmu, 1993), V: 2289, hadis nomor 3667, “Kitab Walimah, Mengurus dan Bergaul Dengan wanita,” “Bab Mempergauli Istri Dengan Baik dan Hak-hak Suami Istri. Hadis} dari Abi> Hurairah dan diriwayatkan oleh Al-Tirmiz\i, menurut Tirmiz\i hadis ini hadis} hasan gorib.

[122] An-Nisā’ (4): 34.
[123] A. Abdurrahman, Fadhilah Wanita S}alihah, hlm. 57.

[124] A. Abdurrahman, Petunjuk Sunnah, hlm. 122.
[125] Ibid., hlm. 46. lihat juga dalam buku An-Nawawi, Hak dan Kewajiban, hlm. 17.

[126] A. Abdurrahman A, Fadhilah Wanita S}alihah, hlm. 102.
[127] Al- Isrā’ (17): 26 – 27.

[128] A. Abdurrahman A, Petunjuk Sunnah, hlm. 122. juga dalam Fadhilah Wanita, hlm. 55.
[129] Al- Ahzāb (33): 33.

[130] A Abdurrahman A, Petunjuk Sunnah, hlm. 122. juga dalam  An-Nawawi, Hak dan Kewajiban, hlm.16.

[131] Ibid., hlm.122.
[132] A. Abdurrahman, Lelaki S}alih 2, h. 70 - 72. juga An- Nawawi, Hak dan Kewajiban.., hlm. 3-10.  juga Petunjuk Sunnah, hlm. 120–121.

[133] A. Abdurrahman A, Petunjuk Sunnah, hlm. 131.

[134] Al-Ahzāb (33): 34.

[135] A. Abdurrahman, Lelaki S}alih 2, hlm. 70.
[136]Ali Mubarak, Muhtasar Nailul Autar, (Kairo: al-Mu’allaqāt al-Salafiyyah, 1374 H), edisi Muammal Hamidi dkk, Terjemahan Nailul Autar, (Surabaya: PT bina Ilmu, 1993), V: 3672, hadis nomor 3667, “Kitab Walimah, Mengurus dan Bergaul Dengan wanita,” “Bab Mempergauli Istri Dengan Baik dan Hak-hak Suami Istri. Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah.
[137] Al-Baqarah (2): 228.

[138] Al-Baqarah (2): 222.
[139] A. Abdurrahman A, Fadhilah Wanita., hlm. 64. 

[140] Ibid.

[141] A. Abdurrahman A, Lelaki S}alih , hlm. 77.
[142] Musa A. Olgar, Mendidik Anak Secara Islami(Yogyakarta: Ash-Shaff, 2002), hlm. 3 – 4. Juga Abdurrahman A, Fadhilah Wanita, hlm. 72–73 dan Petunjuk Sunnah, hlm. 80.
[143] A. Abdurrahman A, Lelaki Shalih 2, hlm. 80 – 81.
[144] A. Abdurrahman, Petunjuk Sunnah, hlm. 78. juga dalam Lelaki Salih 2, hlm. 57 – 69.

[145] A. Abdurrahman, Fadhilah Wanita, hlm. 62 – 63.

[146] A. Abdurrahman, Petunjuk Sunnah, hlm. 107 – 109. juga pada Lelaki S}alih 2, hlm. 57 – 63.

[147] Al- Ankabūt (29): 8.

[148] An-Nisā’ (4): 36.  Ayat lain yang menjelaskan tentang perintah berbuat baik kepada kedua orang tua selain pada kedua ayat tersebut juga disebutkan pada surat Luqman (31): 14, dan pada surat Al- Ahqāf (46): 15, juga pada surat Al- Isrā’ (17): 23.
[149] Maryam (19): 14.

[150] A. Abdurrahman, Lelaki S}alih 2, hlm. 64. 

[151] Al- Isrā’ (17): 23.
[152] A. Abdurrahman, Fadhilah Wanita S}alihah, hlm. 62.

[153] Ibid.

[154] Ibid.

[155] A. Abdurrahman, Lelaki S}alih 2, hlm. 89. juga Petunjuk Sunnah, hlm. 108.
[156] An- Nisā’ (4): 36.
[157] Bunyi hadisnya: عن ابن هريرة ر.ع. عن النّبي ص.م. قال تنكح المرأة لأربع لمالها ولحسبها ولجمالها ولدينها فظفر بذات الدّين تربت يداك.

[158] Bunyi hadisnya وروى أحمد عن أنس بن مالك بلفظ أنّ النّبيّ كان يأمر بالباءة وينهى عن التّبتّل نهيا شديدا. ويقول: تزوّجوالودود الولود فإنّى مكاثر بكم الأمم يوم القيامة.

[159] A. Abdurrahman A, Petunjuk Sunnah, hlm. 114.
[160] Wanita yang sudah pernah menikah biasanya sifat pemalunya sudah agak berkurang ketika berhadapan dengan lelaki lain. Hal ini dianggap wajar karena wanita yang sudah pernah menikah lebih berpengalaman di dalam hidupnya (dalam hal ini berkenaan dengan kebiasaan berinteraksi).
[161] Lihat A. Abdurrahman A, Petunjuk Sunnah, hlm. 114. bandingkan dengan A. Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 22. JT dan Hukum Islam berpendapat bahwa laki-laki yang akan meminang seorang perempuan hanya dibolehkan melihat wajah dan telapak tangannya. Alasannya, dengan melihat muka orang sudah dapat mengetahui cantik atau tidaknya, dan dari telapak tangannya dapat diketahui subur atau tidak badannya. Berarti pendapatnya JT dan hukum Islam sejalan dengan pendapatnya jumhur fukaha. Selain pendapat tersebut, Imam Dawud dan para ulama mazhab zahiri berpendapat bahwa laki-laki yang akan meminang perempuan dibolehkan melihat seluruh badannya. Pendapat ini didasarkan pada zahirnya hadis Jabir diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud yang berbunyi: وعن جابر قال: سمعت النّبيّ ص.م. يقول "إذاخطب احدكم المرأة فقدر أن يرى منها بعض ما يدعوه الى نكاحها فاليفعل.

[162] Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 49.

[163] A. Abdurrahman A, Petunjuk Sunnah, hlm. 113.
[164] Jalal ad-Di>n as-Suyu>ti>, al-Asybah Wa an-Naz}oir Fi>\ al-Furu>’I (Jakarta: Da>r-al Fikr, tt), hlm. 63.

[165]  A. Abdurrahman A, Petunjuk Sunnah, hlm. 113.
[166] As-San’āni, Subul al-Salām, “Kitab al-Nikāh” (Beirut: Dar al-Fikr, tt), III: 113. Hadiş riwayat Bukhāri dari Ibnu Umar.

[167] Drs. H. Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan, hlm. 50.
[168] Lihat A. Abdurrahman A, Fadhilah Wanita, hlm. 37. Bandingkan dengan Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan, hlm. 13.  

[169] A. Abdurrahman A, Petunjuk Sunnah, hlm. 117.

[170] Ibid.
[171] Rukun dan syarat perkawinan seringkali tersamarkan artinya. Antara keduanya jelas berbeda makna dan maksud. Kalau rukun berarti sesuatu yang harus ada dan menjadi bagian dari perbuatan tersebut, sedangkan syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam sebuah perbuatan namun berada di luar perbuatan itu. 

[172] Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan, hlm. 82. lihat juga A. Azhar Basyir, Hukum Perkawinan, hlm. 25.

[173] Rahmad Hakim, Hukum Perkawinan, hlm. 71.

[174] A. Abdurrahman A, Petunjuk Sunnah, hlm. 116.

[175] Ibid., hlm. 83 – 87.
[176] Ibid.., hlm. 118 – 119.
[177] A. Azhar Basyir, Hukum Perkawinan, hlm. 61.

[178] Khoiruddin Nasution, Fazlurrahman Tentang Wanita (Yogyakarta: Tazzafa dan Academia, 2002), hlm. 2.
[179] Khoiruddin Nasution, Fazlur Rahman Tentang, hlm. 31

[180] Wan Muhammad, Al-Hijab, hlm. 61.

[181] Ibid., hlm. 63.
[182] Perempuan dan laki diciptakan oleh Allah SWT secara kodrati memang sudah berbeda. Kalau laki-laki menurut kodratnya secara lahir mempunyai fisik yang perkasa, kuat, keras, daya tahan yang hebat, agresif, dan dari segi morilnya kelebihan laki-laki adalah keras pendirian, tabah, ulet, dan tidak putus asa, maka kebanyakan perempuan menjadi kebalikannya. Meskipun tidak secara keseluruhannya wanita mempunya sifat lembut, lemah fisiknya, sensitif, teliti, dan sabar.

[183] Azar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 61.

[184] Ibid.
[185] Wawancara dengan bapak Muhammad di masjid al-Ittiha>d jalan Kaliurang. Yogyakarta pada bulan Agustus 2003. 

[186] Khoiruddin Nasution, Fazlur Rahman Tentang, hlm. 50.
[187] Az\-Z|āriyāt (51): 56.
[188] Al-Tahrim (66): 6.

[189] Al-Nisā’ (4 ): 36.
[190] Wawancara dengan saudara Fauzi di Yogyakarta pada bulan Mei 3003.

[191] Seperti yang telah kita ketahui bahwa ayat yang pertama kali turun adalah ayat al-‘Alaq yang berisi tentang perintah untuk membaca yang itu berarti perintah untuk belajar.
[192] Wan Muhammad Ali, Al-Hija>b, hlm. 74.
[193] Hadis} yang dimaksud adalah  hadis} yang diriwayatkan oleh T}abbra>ni>, yaituطلب العلم .فريضة على كلّ مسلم و مسلمة

[194] Terutama pada masyarakat dengan budaya patriarkhi di mana dominasi laki-laki teramat kental dalam semua lini kehidupan bermasyarakat. Akibatnya seorang perempuan seringkali mengalami perlakuan yang diskriminatif dari kaum laki-laki. Dalam lapangan rumah tangga, bentuk yang paling lazim dari diskriminasi terhadap perempuan adalah berupa  tindak kekerasan suami terhadap istri baik dalam bentuk kekerasan fisik, mental dan seksual. Dalam rangka menciptakan keluarga sakinah, maka yang perlu dilakukan adalah mencoba untuk merekontruksi budaya patriarkhi menuju masyarakat egaliter yang menghargai kesetaraan gender (gender equality).

[195] Khoiruddin Nasution, Fazlur Rahman Tentang, hlm. 2.
[196] A. Abdurrahman Ahmad, Fadhilah Wanita, hlm. 107.

[197] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 62.
[198] Beberapa fakta terjadi di daerah penyusun sendiri dan sekitarnya. Biasanya keluarga “korban” saling mengeluhkan kejadian yang dialami keluarganya kepada orang-orang yang dipercayainya. Menurut mereka, tidak hanya menghabiskan penghasilannya, bahkan sampai menjual barang-barang berharga lainnya yang dimilikinya seperti sawah, kebun, bahkan rumah.
[199] Fuad Kauma & Nipan, Membimbing Istri Mendampingi Suami, hlm. 85-86.

[200] Ibid., hlm. 86.

[201] Ali Mubarak, Muhtasar Nailul Autar (Kairo: al-Mu’allaqāt as-Salafiyyah, 1374 H), edisi Muammal Hamidi dkk, Terjemahan Nailul Autar (Surabaya: PT bina Ilmu, 1993), V: 2462, hadis nomor 3867, “Kitab Nafaqah,” ”Bab Nafkah Istri Wajib Didahulukan Daripada Kerabat-kerabat Yang Lain”.
[202] Al-Rūm (30): 21.

[203]عن أنس ر.ع. إذا أرادالله بأهل بيت فقّههم فىالدّين ووقّر صغيرهم كبيرهم ورزقهم الرّزق فى معيشتهم والقصد فى نفقاتهم وبصّرهم عيوبهم فيتوامنها وإذا أرادبهم غير ذالك تركهم هملا.                                              

0 komentar:

Post a Comment

 

Pengikut

Copyright © ZONA SKRIPSI All Rights Reserved • Design by Dzignine
best suvaudi suvinfiniti suv