KONSEP KELUARGA SAKINAH
MENURUT JAMA’AH TABLIG PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
SKRIPSI
DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN DARI SYARAT-SYARAT
GUNA MEMPEROLEH GELAR SARJANA
DALAM ILMU HUKUM ISLAM
OLEH:
KISWATUN NIDHA
NIM: 9935 3635
DI BAWAH BIMBINGAN:
1. Drs. MAHRUS MUNAJAT, M.Hum.
2. Drs.
M. SODIK, S.Sos, M.Si.
AL-AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
1424 H/2004 M.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Hidup berumah
tangga merupakan tuntutan fit}rah manusia
sebagai makhluk sosial. Keluarga atau rumah tangga muslim adalah lembaga
terpenting dalam kehidupan kaum muslimin umumnya dan manhaj amal Islami> khususnya. Ini
semua disebabkan karena peran besar yang dimainkan oleh keluarga, yaitu
mencetak dan menumbuhkan generasi masa depan, pilar penyangga bangunan umat dan
perisai penyelamat bagi negara.[1]
Maka tidak
berlebihan apabila dikatakan bahwa keluarga merupakan pondasi awal dari
bangunan masyarakat dan bangsa. Oleh karenanya, keselamatan dan kemurnian rumah
tangga adalah faktor penentu bagi keselamatan dan kemurnian masyarakat, serta
sebagai penentu kekuatan, kekokohan, dan keselamatan dari bangunan negara. Dari
sini bisa diambil kesimpulan bahwa apabila bangunan sebuah rumah tangga hancur
maka sebagai konsekuensi logisnya masyarakat serta negara bisa dipastikan juga
akan turut hancur.
Kemudian
setiap adanya sekumpulan atau sekelompok manusia yang terdiri atas dua individu
atau lebih, tidak bisa tidak, pasti dibutuhkan keberadaan seorang pemimpin atau
seseorang yang mempunyai wewenang mengatur dan sekaligus membawahi individu
lainnya (tetapi bukan berarti seperti keberadaan atasan dan bawahan).
Demikian juga
dengan sebuah keluarga, karena yang dinamakan keluarga adalah minimal terdiri
atas seorang suami dan seorang istri yang selanjutnya muncul adanya anak atau
anak-anak dan seterusnya.[2]
Maka, sudah semestinya di dalam sebuah keluarga juga dibutuhkan adanya seorang
pemimpin keluarga yang tugasnya membimbing dan mengarahkan sekaligus mencukupi
kebutuhan baik itu kebutuhan yang sifatnya dhohir maupun yang sifatnya bat}iniyah di dalam
rumah tangga tersebut supaya terbentuk keluarga yang sakinah, mawaddah wa
rahmah. Di dalam al-Qur’ān disebutkan
bahwa suami atau ayahlah yang mempuyai tugas memimipin keluarganya.
Sebagai pemimpin keluarga, seorang
suami atau ayah mempunyai tugas dan kewajiban yang tidak ringan yaitu memimpin
keluarganya. Dia adalah orang yang bertanggung jawab terhadap setiap individu
dan apa yang berhubungan dengannya dalam keluarga tersebut, baik yang
berhubungan dengan jasādiyah, rūhiyah, maupun aqliyahnya.[4] Yang
berhubungan dengan jasādiyah atau yang identik dengan kebutuhan
lahiriyah antara lain seperti kebutuhan sandang, pangan, tempat tinggal,
ataupun yang sifatnya sosial seperti kebutuhan berinteraksi dengan sesamanya
dan lain sebagainya. Sedangkan kebutuhan yang berhubungan dengan rūhiyah
seperti kebutuhan
beragama, kebutuhan aqidah atau kebutuhan tauhid, dsb.
Kemudian selanjutnya adalah kebutuhan yang bersifat aqliyah yaitu
kebutuhan akan pendidikan.
Namun dari semua kebutuhan yang
tersebut di atas, kebutuhan ru>hiyah
lah yang paling penting.[5]
Yaitu apa saja yang berhubungan dengan aqi>dah
islami>yah.
Karena masalah ini berlanjut sampai kehidupan kelak di akherat. Allah SWT
berfirman:
Selain
sebagai seorang suami dan atau ayah yang mempunyai tanggung jawab terhadap
keluarga yang dipimpinnya, laki-laki sebagai seorang muslim juga mempunyai
tugas yang tidak kalah pentingya dan merupakan tugas pokok setiap muslim atau
mu’min yaitu melakukan amar
ma’ru>f nahi> munkar.
Sesuai firman-Nya:
Perintah
untuk amar ma’ru>f
nahi> munkar
ini di dalam al-Qur’ān disebutkan di beberapa surat, antara lain: Ali Imrān (3): 3 dan 114; al-Nisā’
(4): 114; al-Māidah (5): 63, 78, 79; al-An’ām: 69; al-A’rāf (7): 157, 165, 199;
al-Taubah (33): 67, 71, 112; Hūd (11): 116; al-Nahl (16): 90; Maryam (19): 55;
al-Hajj (22): 41, 77; an-Nūr (24): 21; Luqmān (31): 17; al-Z|āriyāt (51): 55; al-A’lā
(87): 9.
Amar ma’ru>f nahi> munkar diperintahkan untuk
dikerjakan di manapun dan kapanpun seorang muslim berada dan kepada siapa saja
hal itu perlu dilakukan. Akan tetapi yang paling penting dan utama dilakukan amar ma’ru>f nahi> munkar
adalah dimulai dari diri sendiri, keluarga dekat maupun jauh, baru kemudian
kepada masyarakat secara umum. Juga dengan cara apapun sesuai dengan kondisi
yang ada di lapangan, misalnya dengan ucapan saja ataukah diperlukan dengan
perbuatan.
Karena
urgennya mengerjakan amar
ma’ru>f nahi> munkar ini, oleh beberapa orang yang merasa
perlu mengajak orang-orang yang se-ide dengan mereka untuk membuat wadah atau
perkumpulan (karena mereka tidak mau disebut sebagai organisasi, red) yang
khusus mewadahi kegiatan mereka tersebut yaitu berupa dakwah atau tablig. Untuk masa
sekarang ini telah banyak kelompok-kelompok atau jama’ah muslim yang
memfokuskan diri bekerja di sektor dakwah dan salah satunya yang cukup besar
menamakan dirinya dengan Jama>’ah
Tablig.[8]
Di dalam
tulisan ini penyusun hanya memfokuskan pembahasan pada Jama>’ah Tablig (yang selanjutnya disebut
dengan JT) dengan alasan bahwa JT yang mempunyai aliran sufiyah ini mempunyai
model dakwah yang cukup menarik yaitu di samping mempunyai koordinasi yang
bagus antar anggotanya juga yang terpenting adalah para anggotanya mempunyai
semangat kemandirian yang tinggi, yaitu dengan mengandalkan biaya sendiri dan
meluangkan waktunya untuk bertabligh ke berbagai penjuru desa, kota bahkan
manca negara dalam jangka waktu tertentu antara 3-40 hari, 4-7 bulan bahkan
setahun yang mereka biasa menyebutnya dengan khurūj fi sabilillah.[9] Itu semua dilakukan mereka dengan
meninggalkan keluarganya dan semua kesibukan yang sifatnya duniawi.
Alasan
selanjutnya kenapa penyusun memilih JT adalah karena JT yang didirikan oleh
Maulana Muhammad Ilya>s[10]
ini berupaya untuk mewujudkan ajaran Islam secara konsisten sesuai dengan
ajaran dan yang dilakukan oleh Nabi SAW pada masa itu. Sehingga kadang-kadang
apa yang dilakukan oleh mereka (anggota JT) tidak sesuai lagi dengan zamannya
terutama masalah yang berhubungan dengan keseimbangan hak dan kewajiban di
dalam rumah tangga.
Maulana
Muhammad Ilya>s
berpendapat setiap orang Islam baik laki-laki maupun perempuan harus mengikuti
jejak langkah Nabi SAW. Jadi mesti menyeru manusia ke jalan Allah, kapan saja
ada kesempatan untuk melakukan hal tersebut di hadapannya. Menyeru manusia ke
jalan yang benar mestilah dijadikan tugas dalam kehidupannya.[11]
Maka sudah sepantasnya kalau mengaku sebagai umat Muhammad saw harus meneruskan
tugas Beliau ber-amar ma’ru>f
nahi> munkar
yang komplit.
Untuk
melaksanakan dakwah, Maulana Muhammad Ilya>s
berpendapat diperlukan upaya khurūj, yaitu keluar rumah meninggalkan
segala kesibukan duniawi dengan jangka waktu tertentu untuk meningkatkan
keagamaannya dan ta’lim. Dengan demikian berdakwah dengan cara berkeliling (jaulah)
merupakan sebuah keharusan, karena itu berarti tugas dakwah merupakan tugas
setiap umat Islam secara individual, bukan diserahkan kepada institusi atau
lembaga yang bergerak di bidang dakwah saja.
Amalan jaulah
merupakan tulang punggung dalam menjalankan tugas-tugas jama’ah.[12]
Jika amalan ini benar dan sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh jama’ah
niscaya amalan ini diterima oleh Allah SWT. Demikian juga Allah juga akan
menerima amalan dakwah yang dilakukan oleh manusia. Jika Allah menerima dakwah
seseorang, niscaya Allah juga akan menerima doa manusia sehingga Dia akan
menurunkan hidayah-Nya.
Demikianlah
pentingnya tanggung jawab seorang muslim terhadap kehidupannya di dunia sebagai
hamba Allah yang dipercaya memikul predikat khali>fah
fî>
al-ard}.
Dalam beberapa hal yang berkaitan dengan tanggung jawabnya terhadap keluarganya
dan tanggung jawabnya sebagai muslim yang konsekuen terhadap perintah agamanya
(di jalan Allah). Bagaimanakah sebenarnya konsep bentuk keluarga sakinah
menurut mereka (JT) dalam menyikapi situasi dan kondisi yang mereka hadapi dan
yang mereka kerjakan, serta bagaimana konsep tersebut jika dilihat dari sudut
pandang hukum Islam. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang melatarbelakangi
penyusun untuk membahasnya dalam sebuah karya tulis.
B. Pokok Masalah
Berangkat dari latar belakang
yang telah dipaparkan di atas, maka dapat diidentifikasikan pokok permasalahan
yang perlu dibahas lebih lanjut, antara lain:
1.
Bagaimana konsep keluarga sakinah menurut Jama>’ah tablig.
2.
Bagaimana pandangan hukum Islam mengenai konsep
keluarga sakinah Jama>’ah
tablig tersebut.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Dengan
memperhatikan latar belakang masalah dan pokok masalah tersebut di atas, maka
tujuan dari pembahasan skripsi ini adalah:
1.
Mendeskripsikan
dan menganalisis konsep keluarga sakinah menurut Jama>’ah Tablig.
2.
Mendeskripsikan
dan menganalisis pandangan hukum hukum Islam mengenai konsep keluarga sakinah
menurut JT.
Adapun kegunaan dari pembahasan skripsi
ini adalah:
1.
Terjawabnya persoalan yang berkenaan dengan konsep
keluarga sakinah menurut jama’ah tabligh serta pandangan hukum Islam mengenai
konsep tersebut.
2.
Sebagai kontribusi pemikiran baru dalam ilmu
pengetahuan, khususnya yang berkenaan dengan konsep keluarga sakinah.
D.
Telaah Pustaka
Kesimpulan
awal yang dapat penyusun temukan dalam telaah pustaka adalah bahwasanya konsep
keluarga sakinah yang JT bangun secara substansial tidak begitu berbeda dengan
bentuk konsep keluarga sakinah yang ada pada hukum Islam yaitu membentuk rumah
tangga yang bernafaskan Islam, yang mawaddah wa rahmah. Hanya
pada poin-poin tertentu JT memberi penekanan yang lebih dalam pelaksanaannya,
seperti hal-hal yang menyangkut tentang hak dan kewajiban atau peran
suami-istri di dalam rumah tangga yang menurut pengamatan penyusun cenderung
bias gender. Selain itu seringkali ajarannya terasa kaku karena mereka tidak
mau menerima interpretasi dan penyesuaian terhadap kondisi dan zaman dalam
memahami teks-teks yang ada.[13]
Buku yang lainnya yang juga membicarakan
tentang bentuk keluarga ideal adalah buku yang berjudul Merawat Mahligai Rumah Tangga;[17] karangan Nad}i>rah Mujab,
Rumah Tangga Muslim;[18] karangan Maimunah
Hasan, dan Membimbing Istri Mendampingi Suami,[19]
karangan Fuad Kauma dan Drs. Nipan. Semua buku tersebut di atas berbicara
tentang tuntunan bagaimana membentuk rumah tangga yang Islami, bahagia,
sejahtera, mawaddah warahmah di bawah ridho Ilahi. Dan buku-buku lainnya yang
senada dengan buku-buku tersebut di atas yang mana dari semua buku-buku
tersebut hanya membahas konsep keluarga sakinah secara umum (tidak pada
kelompok tertentu).
Sejauh
pengetahuan penyusun, belum ada studi yang secara spesifik membahas masalah
konsep keluarga sakinah menurut Jama>’ah
Tablig ini. Sedangkan tulisan yang telah ada baik yang ditulis oleh orang-orang
JT sendiri maupun orang-orang selain anggota JT hanyalah pembahasan yang
sepotong-potong atau sifatnya parsial. Artinya buku-buku yang telah ada hanya
membahas satu bagian saja (dari apa yang ada pada JT) dari beberapa bagian yang
ada seperti buku-buku yang telah penyusun sebutkan di atas. Sebenarnya telah
dilakukan penelitian oleh mahasiswa pasca sarjana IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta tentang Metode Dakwah Jama>’ah
Tablig. Akan tetapi hanya membicarakan tentang metode dakwahnya saja dan tidak menyinggung
sama sekali tentang konsep keluarga sakinah menurut JT ini. Selain itu juga
telah ada beberapa karya tulis (skripsi) yang membahas tentang konsep keluarga
sakinah akan tetapi pembahasannya dikhususkan pada kitab Ihya’ Ulumuddin
karangan Imam al-Ghazali dan menurut prof. Dr. Hamka. Melihat dari judulnya
sudah jelas dua skripsi ini tidak menyinggung sama sekalie tentang konsep
keluarga sakinah menurut JT.
E.
Kerangka Teoretik
Sesungguhnya
Allah SWT telah menetapkan manusia sebagai khalifah di muka bumi ini.
Sebagaimana firman-Nya:
Dengan
demikian manusia mempunyai tugas yang tidak ringan di muka bumi ini, yaitu
mentaati perintah-Nya di dalam kehidupannya sebagaimana aturan yang telah
ditetapkan oleh-Nya di dalam kitābullah, serta menjauhi
semua semua yang larangan-Nya. Karena manusia diciptakan kewajibannya yang
utama adalah untuk mengabdi dan beribadah kepada-Nya.
وماخلقت الجنّ و ا لإنس إلاّليعبدون[21]
Di
dalam al-Qur’ān disebutkan bahwa salah satu perintah Allah adalah menikah,
sebagaimana firman-Nya di dalam al-Qur’a>n:
Selain
itu, al-Qur’ān juga menyebutkan tujuan dari menikah yaitu antara lain
adalah supaya memperoleh ketenangan dan membina keluarga yang penuh cinta dan
kasih sayang, disamping untuk memenuhi kebutuhan seksual dan memperoleh
keturunan.
Menurut
ajaran Islam membentuk keluarga Islami>
merupakan kebahagiaan dunia akherat. Kepuasan dan ketenangan jiwa akan
tercermin dalam kondisi keluarga yang damai, tenteram, tidak penuh gejolak.
Bentuk keluarga seperti enilah yang dinamakan keluarga sakinah. Keluarga
demikian ini akan dapat tercipta apabila dalam kehidupan sehari-harinya seluruh
kegiatan dan perilaku yang terjadi di dalamnya diwarnai dan didasarkan dengan
ajaran agama.
Lebih
lanjut diperjelas oleh Nabi SAW di dalam hadisnya bahwa di dalam keluarga
sakinah terjalin hubungan suami-istri yang serasi dan seimbang, tersalurkan
nafsu seksual dengan baik di jalan yang diridhoi Allah SWT, terdidiknya
anak-anak yang shaleh dan shalihah, terpenuhi kebutuhan lahir, bathin, terjalin
hubungan persaudaraan yang akrab antara keluarga besar dari pihak suami dan
dari pihak istri, dapat melaksanakan ajaran agama dengan baik, dapat menjalin
hubungan yang mesra dengan tetangga, dan dapat hidup bermasyarakat dan
bernegara secara baik pula.[24]
Seperti hadis yang disampaikan oleh Anas ra. Bahwasanya ketika Allah
menghendaki suatu keluarga menjadi individu yang mengerti dan memahami agama,
yang lebih tua menyayangi yang lebih kecil dan sebaliknya, memberi rezeki yang
berkecukupan di dalam hidup mereka, tercapai setiap keinginannya, dan
menghindarkan mereka dari segala cobaan, maka terciptalah sebuah keluarga yang
dinamakan sakinah, mawaddah, warahmah[25]
Itulah
antara lain komponen-komponen dari bangunan keluarga sakinah. Antara yang satu
dengan lainnya saling melengkapi dan menyempurnakan. Jadi apabila tidak
terpenuhi salah satunya yang terjadi adalah ketidakharmonisan dan ketimpangan
di dalam kehidupan rumah tangga. Contoh kasus, sebuah rumah tangga yang oleh
Allah diberikan kecukupan materinya akan tetapi hubungan antar anggota
keluarganya tidak terbina dengan baik, artinya tidak ada rasa saling
menghormati dan pengertian antara yang satu dengan yang lainnya, yang tua tidak
menyayangi yang lebih muda dan yang muda tidak mau menghormati yang lebih tua,
maka yang terjadi adalah diskomunikasi dan ketidakharmonisan rumah
tangga.keluarga yang seperti ini tidak bisa disebut keluarga sakinah.
Begitupun
sebaliknya, sebuah keluarga yang kekurangan materi atau finansialnya maka yang
terjadi adalah percekcokan dan perselisihan yang mengakibatkan tidak
tenteramnya kehidupan keluarga. Meskipun tidak semua keluarga yang kekurangan
materi akan mengalami hal tersebut, namun itu hanya sedikit sekali terjadi di
kehidupan sekarang ini. Sebab manusia tidak akan mampu bertahan hidup tanpa
adanya materi.
Namun
dari semua itu perlu diingat bahwa ada sesuatu yang sangat penting untuk
diperhatikan dan merupakan penentu baik tidaknya kehidupan keluarga, yaitu
tiada lain adalah suami dan istri itu sendiri. Karena merekalah pelaku utama di
dalam rumah tangga. Seperti disebutkan di atas bahwa salah satu komponen
keluarga sakinah adalah keseimbangan hubungan suami-istri.
Di
dalam rumah tangga memang suami lah yang mempunyai peran sebagai kepala dan
pemimpin keluarga. Akan tetapi perlu diingat bahwa istri lah yang menjadi tuan
rumah. Jadi sudah sewajarnya kalau seorang suami memberi penghargaan lebih
kepada istrinya dan tidak memposisikannya sebagai nomor dua, sehingga pola
hubungan yang tercipta antara keduanya seperti halnya seorang partner dan bukan
sebagaimana antara tuan dan majikan. Mengenai kewajiban suami untuk berbuat
baik kepada istri,Allah sendiri telah berfirman:
Memang
sebenarnya kewajiban berbuat baik tidak hanya antar suami dan istri saja. Di
dalam al-Qur’ān kewajiban itu untuk siapa saja. Oleh karenanya, sebagai
umat Islam yang baik kita dianjurkan untuk nasehat-menasehati dimulai dari
orang yang paling dekat hubungannya dengan kita sampai kepada siapa saja yang
perlu untuk itu.
وبالوالوالدين احسانا وبذىالقربى
واليتمى والمساكين والجارذىالقربى والجارالجنب والصّاحب بالجنب وابن السّبيل
وماملكت ايمانكم.[27]
Demikianlah
bentuk keluarga yang sempurna di dalam Islam, yang semua hal didasarkan pada
bimbingan al-Qur’ān dan as-Sunnah.
F.
Metode Penelitian
Mengenai
pembahasan dalam skripsi ini, penyusun menggunakan metode sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis
penelitian yang dilakukan oleh penyusun adalah penelitian kepustakaan (library
research). Yaitu penelitian yang kajiannya dilakukan dengan menelusuri dan
menelaah literatur atau sumber-sumber tertulis yang berkaitan dengan pokok
bahasan (penelitian yang difokuskan kepada bahan-bahan pustaka).[28]
Kalau melihat objek penelitian yaitu JT, dimana komunitas ini keberadaanya
masih ada dan mudah ditemukan, maka seharusnya dan lebih baik skripsi ini
menggunakan jenis penelitian yang sifatnya studi lapangan atau field
research. Akan tetapi karena kendala teknis, yaitu ketidakterbukaan
orang-orang JT terhadap lawan jenis, maka skripsi ini menggunakan jenis
penelitian kepustakaan.
2. Sifat Penelitian
Sifat
penelitian ini adalah deskriptif-analitik. Yaitu penyusun berusaha untuk
menjelaskan keadaan atau hipotesa-hipotesa yang telah ada dengan tujuan
menemukan fakta (fact finding) dengan diikuti oleh analisis yang memadai
sebagai usaha untuk mencari problem solving. Maka penelitian ini berusaha untuk
menjelaskan bagaimana konsep keluarga sakinah menurut Jama’ah tabligh,
selanjutnya dianalisa dengan konsep keluarga sakinah menurut hukum Islam untuk
dicari titik temunya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Sebagai sebuah
penelitian pustaka, maka teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan
menelusuri sumber-sumber data atau pustaka terutama hasil tulisan, cetakan, dan
atau terbitan dari anggota Jama’ah tabligh sendiri.[29].
Selain itu,
untuk mendukung keakuratan data, penyusun juga melakukan wawancara terhadap nara sumber yang dalam
hal ini adalah para anggota Jama’ah tabligh.
4. Sumber Data
Sedangkan
sumber-sumber lain yang bukan tulisan dan atau terbitan Jama’ah tabligh antara
lain bukunya Drs. Hasan Basri yang berjudul: Keluarga Sakinah; Tinjauan
Psikologi dan Agama, bukunya Fuad Kauma dan Drs. Nipan yang berjudul:
Membimbing Istri Mendampingi Suami, tulisannya Maimunah Hasan yang
berjudul: Rumah Tangga Muslim, dan bukunya Nadhirah Mujab: Merawat
Mahligai Rumah Tangga, serta beberapa kepustakaan pendukung lainnya.
Sedangkan
sumber skunder berasal dari berbagai sumber yang memuat informasi dan data
kajian.
5.
Analisis Data
Dalam menganalisa data yang telah
dihimpun, penyusun menggunakan dua metode, yaitu:
a.
Analisa Deduktif
Merupakan analisa data
dengan cara menerangkan beberapa data yang bersifat umum untuk kemudian diambil
kesimpulan khusus darinya.[30]
Dalam konteks ini, akan dideskripsikan tentang konsep keluarga sakinah secara
umum untuk kemudian diarahkan secara khusus kepada pembahasan.
b. Analisa Induktif
Yaitu analisa data dengan
cara mempelajari arah penalaran dari sejumlah hal yang khusus untuk dibawa pada
suatu kesimpulan yang umum. Dengan metode ini, penyusun berusaha mempelajari
dan menganalisis beberapa pemikiran anggota JT mengenai konsep keluarga sakinah
menurut mereka untuk kemudian dibangun satu sintesis yang berupa kesimpulan
konseptional yang bersifat umum.[31]
6. Pendekatan Masalah
Pendekatan
yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan normatif. Maksudnya adalah
melalui pendekatan ini penyusun ingin mengetahui bagaimana nas-nas (al-Qur’ān
dan al-Hadis) berbicara tentang hukum keluarga terutama mengenai bentuk
keluarga ideal atau keluarga sakinah.
G. Sistematika Pembahasan
Agar pembahasan
dalam skripsi ini bisa sistematis dan terarah dengan baik, maka disusun
sistematika pembahasan sebagai berikut:
Bab Pertama adalah pendahuluan yang
menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan
kegunaan, telaah pustaka, kerangka teoretik, metode penelitian, dan sistematika
pembahasan.
Untuk memberikan gambaran awal tentang
konsep keluarga sakinah, maka dalam Bab kedua diuraikan tinjauan umum
tentang konsep keluarga sakinah menurut hukum Islam, yaitu terdiri atas
beberapa sub bab, antara lain: pengertian keluarga sakinah beserta dasar
hukumnya. Selanjutnya proses terbentuknya keluarga sakinah, yaitu mencakup
hal-hal yang harus diupayakan pada masa pra nikah dan pasca nikah, dan kemudian
tentang ciri-ciri keluarga sakinah. Hal ini sangat penting karena bab ini
merupakan pijakan awal untuk mengenal secara objektik objek yang dikaji serta
sebagai alat analisa atas bab selanjutnya.
Bab ketiga tentang konsep keluarga
sakinah menurut Jama>’ah
Tablig. Sebelum dijelaskan lebih jauh tentang konsep keluarga sakinah
tersebut, sekiranya perlu penyusun gambarkan terlebih dahulu bagaimana profil
dari Jama’ah tabligh itu sendiri dilihat dari sudut pandang dakwahnya. Maka
pada bab ini tersusun beberapa sub-bab antara lain: gambaran umum tentang JT
yang terdiri atas: biografi pendiri JT dan faktor yang mempengaruhi tumbuh dan
berkembangnya, kemudian prinsip dan tujuan dibentuknya, serta metode dakwahnya.
Setelah itu baru pada sub bab selanjutnya diurai tentang pengertian dan dasar
hukum keluarga sakinah, upaya membentuk keluarga sakinah, serta ciri-ciri dari
keluarga sakinah. Pembahasan ini sangat penting karena bagaimanapun juga untuk
memahami sebuah hasil pemikiran seseorang atau suatu kelompok yang dalam hal
ini adalah JT, maka paradigma dan karakteristik yang melingkupi mereka itu
sangat penting artinya untuk diketahui. Karena bagaimanapun yang namanya
manusia sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi sosial budaya yang
melingkupinya.
Kemudian Bab keempat merupakan bab
analisis terhadap konsep keluarga sakinah menurut JT ditinjau dari hukum
Islam.. Dalam bab ini, penyusun memfokuskan analisa pada proses terbentuknya
keluarga sakinah beserta ciri-cirinya. Karena masalah inilah, menurut hemat
penyusun, ada beberapa hal yang pantas untuk dicermati.
Bab kelima adalah bab penutup yang
merupakan bab terakhir, berisi tentang kesimpulan dan saran.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEP KELUARGA SAKINAH MENURUT HUKUM
ISLAM
A.
Pengertian dan Dasar Hukum Keluarga Sakinah
Kehidupan berkeluarga atau menempuh
kehidupan dalam perkawinan adalah harapan dan niat yang wajar dan sehat dari
setiap anak muda dan remaja dalam masa pertumbuhannya. Pengalaman dalam
kehidupan menunjukkan bahwa membangun keluarga itu mudah, namun memelihara dan
membina keluarga hingga mencapai taraf kebahagiaan dan kesejahteraan yang
selalu didambakan oleh setiap pasangan suami-istri sangatlah sulit. Nah,
keluarga yang bisa mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan inilah yang disebut
dengan keluarga sakinah.
Kata
sakinah itu sendiri menurut bahasa berarti tenang atau tenteram.[32])
Dengan demikian, keluarga sakinah berarti keluarga yang tenang atau keluarga
yang tenteram. Sebuah keluarga bahagia, sejahtera lahir dan batin, hidup
cinta-mencintai dan kasih-mengasihi, di mana suami bisa membahagiakan istri,
sebaliknya, istri bisa membahagiakan suami, dan keduanya mampu mendidik
anak-anaknya menjadi anak- anak yang shalih dan shalihah, yaitu anak-anak yang
berbakti kepada orang tua, kepada agama, masyarakat, dan bangsanya. Selain itu,
keluarga sakinah juga mampu menjalin persaudaraan yang harmonis dengan sanak
famili dan hidup rukun dalam bertetangga, bermasyarakat dan bernegara.
Itulah suatu wujud keluarga sakinah yang
diamanatkan oleh Allah swt kepada hamba-Nya, sebagaimana yang difirmankannya di
dalam kitabullah:
ومن
آيته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها
وجعل بينكم مودّة ورحمة إنّ فى ذالك لأية لقوم يتفكّرون.[33]
Yang dimaksud dengan rasa
kasih dan sayang adalah rasa tenteram dan nyaman bagi jiwa raga dan kemantapan
hati menjalani hidup serta rasa aman dan damai, cinta kasih bagi kedua
pasangan. Suatu rasa aman dan cinta kasih yang terpendam jauh dalam lubuk hati
manusia sebagai hikmah yang dalam dari nikmat Allah kepada makhluk-Nya yang
saling membutuhkan.
Disamping itu, ayat tersebut
juga dengan jelas mengamanatkan kepada seluruh manusia, khususnya umat Islam,
bahwa diciptakannya seorang istri bagi suami adalah agar suami bisa hidup
tenteram bersama membina sebuah keluarga. Ketenteraman seorang suami dalam
membina keluarga bersama istri dapat tercapai apabila di antara keduanya terdapat
kerjasama timbal-balik yang serasi, selaras, dan seimbang.[34])
Masing-masing tak bisa bertepuk sebelah tangan. Sebagai laki-laki sejati, suami
tentu tidak akan merasa tenteram jika istrinya telah berbuat sebaik-baiknya
demi kebahagiaan suami, tetapi suami sendiri tidak mampu memberikan kebahagiaan
terhadap istrinya.demikian pula sebaliknya. Kedua belah pihak bisa saling
mengasihi dan menyayangi sesuai dengan kedudukannya masing-masing.
Menurut ajaran Islam mencapai
ketenangan hati dan kehidupan yang aman damai adalah hakekat perkawinan muslim
yang disebut sakinah. Untuk hidup bahagia dan sejahtera manusia membutuhkan
ketenangan hati dan jiwa yang aman damai. Tanpa ketenangan dan keamanan hati,
banyak masalah tak terpecahkan. Apalagi kehidupan keluarga yang anggotanya
adalah manusia-manusia hidup dengan segala cita dan citranya.
1.
Kebutuhan vital biologis, seperti: makan, minum, dan
hubungan suami istri.
2.
Kebutuhan sosial kultural, seperti: pergaulan sosial,
kebudayaan, dan pendidikan.
3.
Kebutuhan metaphisis atau regilious, seperti: agama,
moral, dan filsafat hidup.
Dari sini jelas bahwa hubungan
suami-istri dalam kehidupan rumah tangga bukan hanya menyangkut jasmaniah saja,
tetapi meliputi segala macam keperluan hidup insāni>. Keakraban
yang sempurna, saling membutuhkan dan saling mencintai, serta rela mengabdikan
diri satu dengan lainnya merupakan bagian dan kesatuan yang tak terpisahkan.
Keduanya harus memikul bersama tanggung jawab, saling mengisi dan
tolong-menolong dalam melayarkan bahtera kehidupan rumah tangga. Oleh
karenanya, ketiga kebutuhan tersebut saling kait-mengait, masing-masing saling
mempengaruhi dan ketiganya harus terpenuhi untuk dapat disebut keluarga
bahagia, aman, dan damai.
Jadi, membentuk keluarga
sakinah merupakan sebuah keniscayaan, khususnya bagi keluarga muslim. Sebab
berumah tangga merupakan bagian dari nikmat Allah yang diberikan kepada umat
manusia.
B. Proses Terbentuknya Keluarga Sakinah
Untuk sampai pada terwujudnya
sebuah keluarga yang sakinah, seorang individu sebaiknya mengusahakannya sedini
mungkin, yaitu mulai dari sebelum memasuki pernikahan (masa pra pernikahan),
dan kemudian dilanjutkan sampai saat setelah memasuki kehidupan keluarga.
Adapun proses tersebut lebih jelasnya
sebagai berikut:
- Masa pra pernikahan
Pada masa pra nikah ini, yang
termasuk di dalamnya adalah: memilih pasangan, meminang atau melamar, dan
kemudian menikah. Dalam rangka mewujudkan keluarga sakinah, calon suami istri
perlu memilih pasangannya secara tepat. Di dalam hal memilih pasangan untuk
dijadikan pasangan hidup, Islam mempunyai aturan tersendiri tentang kriteria
dan tipe yang baik menurut agama, dan tentunya baik juga untuk individu yang
bersangkutan jika kriteria tersebut terpenuhi.
Memilih pasangan yang tepat
merupakan hal yang gampang-gampang susah. Hal ini berkaitan dengan masalah
takdir dan juga selera masing-masing orang. Pasangan hidup atau jodoh memang
merupakan hak prerogatif Allah. Tetapi sebagai hamba-Nya yang baik, kita
diwajibkan berusaha mencari dan memilih pasangan sesuai dengan aturan syari’at.
Disamping itu, dalam rangka mencari dan memilih pasangan yang tepat, hendaknya
memahami alasan yang tepat dalam memilih pasangan, mengetahui tipe-tipenya
calon suami atau istri yang baik disamping selalu mohon petunjuk dari Allah
dengan melakukan shalat istikharah, agar mendapat ridha-Nya.
Dalam hal memilih pasangan,
biasanya seorang laki-laki dalam memilih calon istri, atau perempuan memilih
calon suami, disamping rasa cinta biasanya tidak terlepas dari empat alasan
berikut: karena hartanya, karena nasabnya, karena parasnya, karena agamanya.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw dalam hadisnya:
عن أبي هريرة ر.ع. عن النّبيّ ص. م. قال: تنكح المرأة لأربع: لمالها
ولحسبها ولجمالها ولدينها. فظفر بذات الدّين تربت يداك.[35]
Jika keempat alasan tersebut semuanya ada
pada seorang laki-laki, tentulah merupakan calon suami yang ideal. Seorang
calon suami yang kaya raya, dari keturunan yang baik-baik atau keturunan
bangsawan misalnya, wajahnya tampan dan taat beribadah. Atau sebaliknya,
seorang gadis yang kaya, keturunan orang baik-baik atau ningrat, cantik rupawan
dan taat mengamalkan ajaran agama. Tentulah merupakan calon istri yang amat
ideal. Akan tetapi, dari hadis tersebut juga kita bisa mengambil pelajaran
dalam rangka memilih pasangan yang tepat, yaitu kita boleh memilih calon
pasangan karena alasan apapun, tetapi tidak boleh lepas dari alasan agama.[36]
Lebih jelasnya, karena perempuan dalam
keluarga sangat menentukan berhasil tidaknya dalam mewujudkan keluarga sakinah,
maka untuk memilih calon istri yang baik, seorang lelaki hendaknya memilih
wanita yang memiliki ciri-cri sebagai berikut:
1.
Shalihah.
Yaitu
wanita yang ciri-cirinya telah dijelaskan oleh Allah di dalam al-Qur’ān surat an-Nisā’
ayat 34, yaitu wanita yang memiliki kriteria sebagai berikut:
a.
Taat kepada Allah
Yaitu
wanita yang bertakwa kepada Allah
b.
Taat kepada suami
Taat
kepada suami bukan berarti mentaati segala perintah dan meningggalkan semua
larangan suami. Akan tetapi yang dimaksud adalah mentaati semua perintah dan
larangan suami selama itu tidak bertentangan dengan agama.
c.
Memelihara hak-hak suami ketika ada ataupun tidak
adanya suami, kapan pun dan di mana pun. Wanita yang shalihah selalu memelihara
harga diri dan memelihara anak serta harta suami.
d.
Perempuan yang menyenangkan hati jika dipandang,
memberikan kesejukan ketika suami sedang marah, rela atas segala pemberian
suami.
2.
Perempuan yang subur
Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW:
وروى أحمد عن أنس بن مالك بلفظ أنّ النّبيّ يقول تزوّجو الودود الولود
فإنّى مكاثربكم الأمم يوم القيامة.[37]
3.
Perempuan yang masih gadis
Alasannya: a. lebih manis tutur katanya, b.
lebih banyak keturunannya, c. lebih kecil kemungkinannya berbuat makar terhadap
suami, d. lebih bisa menerima pemberian yang sedikit, e. lebih mesra ketika
diajak bercanda
4.
Perempuan yang bernasab baik
Karena perilaku orang tua dan nenek moyangnya memiliki
pengaruh yang sangat kuat terhadap keturunannya.[38]
5.
Perempuan yang bukan keluarga dekat
Menurut Nabi saw, dengan menikahi perempuan yang masih
keluarga dekat akan sangat memungkinkan anak-anak yang bakal lahir nanti akan
mengalami lemah fisik dan mentalnya
6.
Perempuan yang sekufu’
Yaitu perempuan yang sepadan dalam hal agamanya,
tingkat ekonominya, derajat sosialnya, dan derajat intelektualnya.
Namun yang lebih penting dari itu
semua adalah saling ridha dari kedua belah pihak. Karena hal itu bisa mengatasi
perbedaan yang melatarbelakanginya.
Sebagaimana laki-laki,
perempuan juga berhak untuk memilih calon suami yang baik. Ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan
oleh perempuan dalam memilih calon suami, yaitu antara lain:
1.
Laki-laki yang shaleh
Laki-laki yang shaleh adalah laki-laki yang
taat beragama dan berakhlak mulia.[39]
2. Laki-laki yang bertanggung jawab
Sebagai pemimpin keluarga, laki-laki memiliki tanggung jawab
lebih besar daripada istri. Oleh karena itu, perempuan hendaknya memilih calon
suami yang penuh tanggung jawab.
3. Laki-laki yang sehat dan bernasab baik
sebagaimana laki-laki, untuk perempuan juga hendaknya memilih
calon suami yang sehat dan bernasab baik, karena untuk memperolah keturunan
yang baik pula.
4.
Laki-laki yang mapan
Karena laki-laki merupakan tulang punggung
ekonomi keluarga, maka hendaknya perempuan memilih laki-laki yang telah mampu
mencukupi nafkah keluarga.
5.
Laki-laki yang bijaksana
Laki-laki yang bijaksana akan memiliki sifat
penyayang terhadap sesama, terlebih-lebih kepada istri dan anaknya. Juga
memiliki sifat sabar, setia, tidak egois, tidak emosional, dan mampu mengatasi
problem keluarga dengan tenang.
6.
Laki-laki yang mampu mendidik calon istri
Suami berkewajiban mendidik istri dan
anak-anaknya. Karena itu, perempuan dan orang tua/walinya perlu mempertimbangkan
tingkat kedewasaan calon suami/menantunya.
Selanjutnya, setelah memilih
calon pasangan yang cocok, kemudian bagi pihak yang berkepentingan (baik itu
pihak laki-laki ataupun perempuan) melakukan peminangan atau lamaran[40]
sesuai dengan cara-cara yang berlaku di masyarakat setempat.
Adapun
sebuah pinangan dapat dilakukan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Perempuan yang akan dipinang belum dipinang secara sah
oleh laki-laki lain. Sabda Nabi SAW:
عن عقبة
بن عامر ر.ع. أنّ النّبيّ ص.م. قال: ألمؤمن أخوالمؤمن فلايحلّ للمؤمن أن يبتاع على
بيع أخيه ولايخطب على خطبة أخيه حتّىيذر.[41]
2.
Tidak terhalang secara syarā’ antara peminang dan yang
dipinang.
Yang dimaksud terhalang secara syar’i seperti
larangan melakukan peminangan karena si perempuan yang akan dipinang masih
bersuami, muhrimnya, dan perempuan yang masih menjalani masa ‘iddah (‘iddah
karena suaminya meninggal ataupun karena dicerai (di talāq).
Firman Allah SWT:
ولاجناح عليكم فيما عرّضتم به من خطبة
النّساء أوأكننتم فىأنفسكم. علم الله أنّكم ستذكرونهنّ ولكن لاّ توعدوهنّ سرّاإلاّ
أن تقولوا قولامعروفا. ولاتعزموا عقدة النّكاح حتّى يبلغ الكتاب اجله. واعلموا أنّ
الله يعلم ما فىأنفسكم فاحذروه.[42]
Dalam melakukan
peminangan, hendaknya melakukannya dengan penuh sopan dan sesuai dengan adat
setempat. Ada
beberapa ketentuan yang perlu diketahui oleh peminang ketika akan melakukan
peminangan. Yaitu[43]:
1.
Peminang boleh melihat perempuan yang dipinang sebatas
yang diperbolehkan oleh syara’, seperti wajah dan telapak tangan. Alasannya
karena dengan melihat perempuan yang dipinangnya akan memberikan jaminan
kelangsungan hubungan suami istri.
Hadis Nabi saw:
وعن جابر قال: سمعت النّبيّ ص.م. يقول:"إذا
خطب احدكم المرأة فقدر أن يرى منها بعض ما يدعوه الى نكاحها فاليفعل.[44]
2.
Mengenali sifat-sifat calon yang dipinangnya.
Sebagaimana mengetahui wajahnya, seorang
peminang juga berhak untuk mengetahui karakter dari calon yang dipinangnya.
Akan tetapi dalam hal ini peminang hanya boleh menanyakannya dengan orang-orang
dekat perempuan.
3.
Peminang dan perempuan yang dipinangnya tidak boleh
menyendiri berduaan.
عن جابر ر.ع. أنّ النّبيّ ص.م. قال: من
كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلايخلونّ بامرأة ليس معها ذومحرم منها، فإنّ ثالثهما
الشّيطان.[45]
Itulah beberapa hal
yang perlu dipahami laki-laki yang hendak meminang perempuan pilihannya. Dengan
mengikuti ketentuan yang telah diatur dalam agama, berarti langkah awal dalam
rangka mewujudkan keluarga sakinah telah tercapai.
Setelah memahami tentang
memilih pasangan dan hal-hal yang berkaitan dengan peminangan, langkah
selanjutnya adalah melakukan pernikahan.
Pernikahan atau nikah
adalah suatu upacara suci sesuai dengan rukun-rukun dan syarat-syarat tertentu
dengan niat untuk membangun keluarga sakinah dalam jangka waktu yang tidak
terbatas.[46]) Adapun rukun nikah menurut hukum Islam itu
ada 5, yaitu: 1. calon suami, 2. calon istri, 3. wali nikah, 4. dua orang
saksi, 5. ijab dan qabul. Sedangkan syarat-syarat nikah antara lain:
1.
Kematangan usia calon mempelai
Dalam KHI pasal 15 ayat 1 dan UUP pasal
7 ayat 1 dinyatakan bahwa batas usia perkawinan 19 tahun bagi pria dan dan 16
tahun bagi wanita. Hal ini dimaksudkan untuk terciptanya keluarga yang sakinah,
mawaddah, warahmah. Kalau usia perkawinan lebih rendah, tujuan perkawinan akan
sulit dicapai. Sebab baik fisik maupun mentalnya belum siap menghadapi berbagai
masalah dalam kehidupan rumah tangga.
2.
Kerelaan kedua pihak
Di dalam hukum Islam perkawinan harus di
dasarkan atas kerelaan kedua belah pihak. Karena itu tidak dibenarkan kalau
terjadi pemaksaan terhadap perkawinan. Pemaksaan ini, selain bertentangan
dengan sabda Nabi saw dan hak asasi kedua belah pihak dalam menentukan
kehendak, tetapi juga dapat berakibat tidak tercapainya tujuan perkawinan,
bahkan akan menimbulkan kemadaratan bagi keduanya.
3.
Keikutsertaan keluarga
Menurut hukum Islam
maupun adat istiadat bangsa Indonesia ,
perkawinan bukanlah semata-mata urusan pribadi yang bersangkutan. Sehingga
sangat tidak pantas apabila orang tua/wali tidak diikut sertakan dalam masalah
ini.
Setelah syarat dan rukunnya terpenuhi, selanjutnya adalah
mengadakan walimah al-‘arūs. Karena sebenarnya pernikahan itu
sendiri menurut adat kita identik dengan walimah.
Menurut
bahasa, walimah berarti perayaan atau pesta. Sedangkan walimah al-‘arūs
sendiri adalah perayaan pengantin sebagai ungkapan rasa syukur atas
pernikahannya, dengan mengajak sanak saudara beserta masyarakat untuk ikut
berbahagia dan menyaksikan resminya pernikahan tersebut. Mengadakan walimah
al-‘arūs hukumnya sunnat muakkadah. Sedangkan menghadirinya
adalah wajib hukumnya, kecuali orang yang sedang ada uz\ur.[47]
Sabda Rasulullah saw:
Untuk lebih meriahnya
acara walimahan, biasanya diadakan juga sebuah hiburan berupa musik dan
nyanyian. Dalam hal ini Islam membolehkan dengan catatan tidak berlebihan dan
tidak mengundang maksiat.[49]
Demikianlah hal-hal
yang perlu dipahami dan dipersiapkan oleh seorang muslim mengenai hal-hal yang
berkenaan dengan segala sesuatu yang terjadi pada masa pra pernikahan. Hal ini
dimaksudkan supaya pelaksanaannya berjalan dengan baik dan tidak menyimpang
dari aturan agama sehingga diharapkan akan tercipta keluarga sakinah yang
bahagia sejahtera lahir dan batin.
2. Masa dalam Pernikahan (Rumah Tangga)
Pada masa ini, seorang suami dan istri yang ingin menjadikan
rumah tangganya menjadi rumah tangga yang sakinah, bahagia lahir dan batin
hendaknya berupaya untuk mewujudkan hal-hal sebagai berikut:
a.
Terpenuhinya Kebutuhan Lahiriyah
Mu’min yang paling sempurna imannya
adalah orang yang paling baik akhlaknya. Dan yang paling baik diantara kalian
adalah orang yang paling baik terhadap istrinya. Demikianlah antara lain bunyi
salah satu hadis Nabi saw yang menunjukkan betapa pentingnya bersikap dan
berbuat yang terbaik bagi istri. Di dalam al-Qur’ān juga telah
dinyatakan bahwa suami wajib menggauli istrinya dengan baik, penuh kasih
sayang, memberi nafkah lahiriyah dan batiniyah secara baik dan layak, serta
selalu lemah lembut dalam berbicara.
Kebahagiaan keluarga
tidak akan tercapai tanpa tercukupinya nafkah.[51]
Nafkah merupakan kebutuhan pokok bagi kehidupan keluarga, dan kebahagiaan
keluarga sulit dicapai tanpa terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan.
Karena ketiga kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan yang sifatnya d}oruri> bagi manusia,
terlebih lagi bagi suami-istri. Suami, sebagai kepala keluarga mempunyai
tanggung jawab penuh untuk memenuhi ketiga kebutuhan tersebut dengan baik.
Karena kaum lelaki telah diberi beberapa derajat yang lebih oleh Allah
dibandingkan perempuan atau istrinya. Maka dari itu suami harus menyadari
kewajiban dan tanggung jawabnya.
Nafkah keluarga menyangkut
nafkah istri, anak-anaknya (termasuk juga biaya pendidikannya), pembantu rumah
tangga (kalau ada), dan semua orang yang menjadi tanggungannya seperti orang
tua dan saudara-saudaranya yang tidak mampu menanggung nafkah, secara hukum
juga menjadi tanggungan kepala keluarga yang bersangkutan.
Allah
tidak akan membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Meskipun kadar
nafkah yang wajib diberikan suami sesuai dengan kemampuannya, akan tetapi
hendaknya suami berusaha sekuat tenaga agar dapat memenuhi nafkah keluarga dan
mengusahakannya secara halal, dan diperoleh dengan jalan yang baik pula,
sehingga mendapatkan ridho Allah swt. Selain itu, suami juga tidak boleh
bersikap kikir dalam memberikannya kepada orang-orang yang menjadi
tanggungannya. Ia harus memberikannya dengan ikhlas dan hanya karena mengharap
ridho Allah dan demi kebahagiaan keluarganya.
b.
Terpenuhi kebutuhan bathin
Sebagaimana kewajiban berbuat
baik dalam hal lahir, suami juga berkewajiban berbuat baik dalam hal yang
berhubungan dengan kebutuhan bathin istrinya, dan dalam hal ini berhubungan
erat dengan kebutuhan biologis manusia. Hajat biologis merupakan kodrat
pembawaan hidup dan termasuk kebutuhan vital diantara kebutuhan manusia yang
lainnya. Kehendak ingin berhubungan seksual termasuk motif biogenesis bagi
manusia yaitu kebutuhan untuk melanjutkan keturunan dan berkembang biak.
Firman Allah:
Islam
merupakan agama yang telah mempunyai aturan yang komplek, termasuk juga dalam
masalah ini. Ada
beberapa etika yang berkenaan dengan hubungan seksual, dan salah satunya adalah
larangan atau tidak dibenarkan pergaulan yang dapat merangsang kehendak
seksual. Dikatakan bahwa rangsangan seksual yang tidak tersalurkan menyebabkan
kegelisahan jiwa raga dan dapat membahayakan kesehatan.
Begitu juga dalam
kehidupan rumah tangga. Ketenteraman dan keserasian hidup perkawinan antara
lain ditentukan oleh faktor hajat biologis ini. Kekecewaan yang dialami dalam
masalah ini dapat menimbulkan keretakan dalam hidup rumah tangga. Jelasnya,
kepuasan bersetubuh adalah puncak kenikmatan biologis yang selalu diimpikan
oleh setiap orang, terutama istri, maka seorang istri diperbolehkan minta cerai
apabila kebutuhan yang satu ini tidak terpenuhi. Karena apabila diteruskan dan
tidak ada upaya perubahan, dikhawatirkan istri akan patah semangat, bahkan
melakukan tindakan selingkuh di luar rumah.[54]
c.
Terpenuhi Kebutuhan Spiritual
Selain memberi
nafkah lahir dan bathin yang baik, suami juga mempunya kewajiban memberi
bimbingan yang baik kepada istri dan anak-anaknya. Hendaknya suami selalu
berusaha untuk meningkatkan taraf keagamaan, akhlak, dan ilmu pengetahuan
mereka berdua. Mendidik dan membimbing istri dan anaknya untuk selalu beriman,
beribadah, dan bertakwa kepada Allah SWT.
Sedangkan pendidikan dan bimbingan yang paling
penting diberikan oleh suami kepada istrinya adalah pendidikan yang berhubungan
kehidupan sehari-hari istrinya, seperti masalah hukum thaharah, haidh, nifas,
dan pendidikan akhlak.
Jika suami mempunyai kemampuan untuk
mengajar sendiri, maka istrinya tidak boleh keluar rumah untuk menanyakan
kepada orang lain. Akan tetapi jika suaminya tidak mampu karena minimnya ilmu
yang dimiliki, atau karena tidak ada waktu karena kesibukannya, maka sang istri
wajib keluar rumah untuk untuk menuntut ilmu yang belum diketahuinya.
Seandainya suaminya melarangnya, maka dia akan berdosa. Karena Allah telah
berfirman bahwa diperintahkan bagi suami untuk menjaga dan memelihara
keluarganya dari api neraka.
Sebenarnya
banyak jalan yang dapat ditempuh untuk memenuhi hak istri, misalnya melalui
pengajian-pengajian, kursus, kegiatan kemasyarakatan, buku, majalah, dsb.
C. Ciri-ciri Keluarga Sakinah
Dalam rangka merintis
terwujudnya keluarga sakinah, calon suami istri perlu mempersiapkan diri secara
matang dari segi fisik maupun mentalnya. Hal itu dikarenakan bervariasinya problematika
kehidupan rumah tangga yang harus dihadapi oleh keduanya, yaitu suami dan
istri. Adapun secara garis besar keluarga sakinah akan dapat terwujud apabila
diantara suami dan istri mampu mewujudkan beberapa hal sebagai berikut:
- Keseimbangan Hak dan Kewajiban antara Suami dan Istri
Dalam rumah tangga Islam, seorang suami
mempunyai hak dan kewajiban terhadap istrinya.[56]
Demikian pula sebaliknya, seorang istri juga mempunyai hak dan kewajiban
terhadap suaminya. Masing-masing pasangan hendaknya selalu memperhatikan dan
memenuhi setiap kewajibannya terhadap pasangannya sebelum ia mengharapkan
haknya secara utuh dari pasangannya. Jika melaksanakan kewajiban dengan baik
dan penuh tanggung jawab maka akan terasalah manisnya kehidupan dalam keluarga
serta akan mendapatkan haknya sebagaimana mestinya.
ولهنّ مثل الّذى
عليهنّ بالمعروف[57]
Firman Allah tersebut
menunjukkan suatu pengertian bahwa suami istri mempunyai hak dan kewajiban yang
sama, meskipun kaum pria diberikan derajat yang lebih tinggi daripada wanita.
Kelebihan derajat tersebut dimaksudkan oleh-Nya sebagai karunia, karena mereka
–kaum pria- dibebani tanggung jawab sebagai pelindung kaum perempuan yaitu
berupa kelebihan kekuatan fisik dan mental. Akan tetapi, kekuasaan kaum pria
terhadap kaum wanita bukan berarti kaum pria boleh bertindak semena-mena
terhadap istrinya, namun semuanya itu mempunyai aturan dalam koridor yang sudah
ditentukan oleh agama.
Adapun tolok ukur
keseimbangan hak dan kewajiban antara seorang suami dan istri adalah apabila pasangan
suami-istri itu tergolong baik dalam pandangan masyarakat, juga baik dalam
pandangan syara’. Artinya antara suami dengan istri tersebut membina pergaulan
dengan baik dan tidak saling merugikan.[58]
Syari’at Islam telah memperinci
pergaulan suami-istri tentang hal-hal yang berkenaan dengan hak dan kewajiban
antara suami dan istri, yaitu seperti uraian di bawah ini:
a.
Hak-hak Istri dan Kewajiban Suami
Hak-hak istri adalah kata lain
dari kewajiban suami. Hal ini dikarenakan di dalam hak istri terkandung hal-hal
mana saja yang harus ditunaikan atau dilakukan oleh suami untuk istrinya.
Sedangkan hak-hak istri yang menjadi kewajiban suami tersebut secara garis
besar ada dua macam, yaitu hak-hak yang besifat kebendaan dan hak-hak yang
bukan kebendaan (berbentuk moril). Adapun hak-hak yang berhubungan dengan
kebendaan antara lain:
1. Membayar mahar
Sebagaimana firman Allah SWT:
وءآتوالنّساء صدقتهنّ نحله[59]
Dari ayat tersebut
diperoleh suatu pengertian bahwa mahar adalah pemberian wajib dari suami kepada
istri, dan merupakan hak penuh bagi istri yang tidak boleh diganggu suami.
Sedangkan dalam membayar mahar boleh
dilakukan dengan cara dibayar secara tunai atau bisa dengan cara dibayar
belakangan alias hutang. Mahar menjadi beban suami sejak akad nikah dan harus
dibayar penuh setelah terjadi persetubuhan.
2.
Memberi nafkah
Telah dinyatakan di sub bab sebelumnya bahwa suami
wajib memberikan nafkah kepada istri dan keluarganya. Kepada istri, nafkah yang
wajib diberikan terdiri atas dua macam, yaitu nafkah lahiriyah dan
nafkah bathiniyah.
Dalam hal nafkah lahiriyah ini, yang wajib
diberikan suami adalah nafkah berupa sandang, pangan, dan papan atau tempat
tinggal yang kadarnya disesuaikan dengan kemampuan sang suami. Artinya besarnya
nafkah yang wajib diberikan oleh suami kepada istrinya adalah dapat mencukupi
kebutuhan secara wajar, tidak kurang dan tidak berlebihan. Jadi, tingkat
kewajaran masing-masing individu berbeda-beda antara satu orang dengan yang
lainnya.
Satu
hal yang harus lebih diperhatikan oleh suami adalah bahwa suami yang baik akan
selalu melakukan yang terbaik bagi keluarganya. Ia akan selalu berusaha untuk
melakukan hal-hal yang membahagiakan bagi anak dan istrinya. Ia selalu
mengutamakan nafkah keluarga dalam membelanjakan hartanya di atas
kepentingan-kepentingan lainnya. Membelanjakan harta untuk shadaqah di jalan
Allah adalah hal yang utama, akan tetapi jika tidak mampu janganlah dipaksakan,
jangan sampai tindakannya justru melupakan nafkah keluarga.[61]
Islam
memerintahkan berbuat baik kepada istri bukan saja dengan harta benda, akan
tetapi juga dengan kelakuan dan etika (berhubungan dengan moril/bat}iniyah). Yaitu
antara lain seperti:
1.
Berbuat terbaik di tempat tidur
Yaitu memenuhi kebutuhan kodrat biologis (kebutuhan
bat}iniyah)
istri. Berbuat terbaik di tempat tidur adalah hal yang mutlak bagi suami-istri.
Karena suasana yang ada akan membawa pengaruh besar bagi kehidupan rumah
tangganya. Sekaligus kepuasan yang yang ada akan membawa semangat hidup
tersendiri bagi suami-istri, sebaliknya dengan kegagalannya juga akan
menimbulkan patah semangat bagi keduanya.
2.
Menggauli istri dengan ma’rūf
Banyak cara yang bisa dilakukan dalam menggauli
istri dengan baik. Hal ini merupakan seni tersendiri dalam membina manajemen
keluarga. Oleh karena itu harus dicari kiat-kiat tertentu supaya tercipta
suasana yang kondusif, suasana yang sakinah, mawaddah, warahmah.
Sikap menghargai dan menghormati serta perlakuan
yang baik merupakan pilihan yang harus diambil oleh suami untuk istrinya.
Disamping itu juga selau berusaha meningkatkan taraf hidup istri dalam bidang
agama, akhlak, dan ilmu pengetahuan yang diperlukan,sampai suami berhasil
membimbing istrinya selalu di jalan yang benar dengan tak kenal menyerah.
b.
Hak-hak Suami dan Kewajiban Istri
Keluarga merupakan satu ikatan yang utuh antara
suami dan istri, satu sama lain terjalin erat. Satu sama lain memiliki hak dan
kewajibannya masing-masing. Bila seorang suami telah melaksanakan kewajibannya
dengan baik, maka wajarlah apabila ia mendapatkan haknya dengan sebaik-baiknya
dari istri dan keluarganya, seperti sikap hormat dan taat serta patuh dari
istri dan anak-anaknya, mendapatkan pelayanan atas kebutuhan fisik dan
psikisnya, mendapatkan pemeliharaan istri atas harta dan nama baik serta
kehormatannya dari istrinya, mendapatkan sedekah dari sebagian harta istrinya
bila keadaan sulit dihadapinya atau bersabar dalam menghadapi tekanan hidup
jika tidak mempunyai sesuatu (harta).
Hak-hak suami yang wajib dipenuhi hanya merupakan
hak-hak yang bukan kebendaan. Sebab, menurut hukum Islam istri tidak dibebani
kewajiban kebendaan yang diperlukan untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga.
Bahkan istri diutamakan untuk tidak usah ikut bekerja mencari nafkah jika suami
memang mampu memenuhi kewajiban nafkah keluarga dengan baik. Adapun hak-hak
suami dan kewajiban istri tersebut antara lain hak untuk ditaati, dihormati,
dan diperlakukan dengan baik terutama di tempat tidur.
Untuk hak ditaati ini, disebabkan karena secara
kodrati kedudukan suami di dalam rumah tangga adalah sebagai kepala keluarga
yang mempunyai tugas selain memimpin keluarganya juga wajib mencukupi nafkah
mereka. Istri-istri yang shalehah adalah yang patuh kepada Allah dan kepada
suami-suaminya serta memelihara harta benda dan hak suaminya meskipun suaminya
tidak ada di dekatnya. Kewajiban taat kepada suami ini tidak termasuk perintah
yang melanggar larangan Allah, dan perintah tersebut termasuk hal-hal yang
berhubungan dengan kehidupan rumah tangga. Dengan demikian apabila suami
memerintahkan untuk membelanjakan harta milik pribadinya sesuai keinginan
suami, maka bagi istri tidak wajib taat atas perintah tersebut. Selain itu,
kewajiban tesebut berlaku apabila suami telah memenuhi kewajiban-kewajibannya
yang menjadi hak istri, baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat bukan
kebendaan.[62]
Bentuk ketaatan yang lain adalah istri tidak boleh
menerima masuknya seseorang yang bukan mahramnya tanpa seizin suaminya. Apabila
yang datang adalah mahramnya seperti ayah, saudara, paman, dsb maka dibenarkan
menerima kedatangan mereka tanpa izin suami.
- Pemeliharaan dan Pendidikan Anak
Sebuah keluarga sakinah tak akan terwujud
tanpa dilengkapi dengan anak-anak yang shalih dan shalihah. Namun untuk
menciptakan anak yang shalih dan shalihah tersebut bukanlah pekerjaan yang
mudah. Untuk mewujudkan anak-anak yang shalih dan shalihah, yakni anak yang
berbakti kepada kedua orang tuanya, agama, bangsa, dan negaranya, maka
diperlukan kiat-kiat tersendiri yang harus dipahami oleh setiap suami istri
atau tepatnya kedua orang tua.
Anak-anak hari ini adalah orang dewasa di
masa yang akan datang. Mereka akan mempunyai kewajiban dan tanggung jawab yang
cukup besar sebagaimana layaknya dalam kehidupan orang-orang dewasa pada
umumnya. Bagaimana keadaan orang dewasa di masa yang akan datang sangat
tergantung kepada sikap dan penerimaan serta perlakuan orang tua terhadap
anak-anaknya pada saat sekarang. Oleh karena itu merupakan bahan kesadaran yang
cukup baik pada sementara orang dewasa untuk memperhatikan apa yang mereka
berikan kepada anak-anaknya. Sesuatu yang diberikan kepada anak tentu akan
memberikan hasil yang cukup menggembirakan jika permasalahan hubungan dan cara
serta perasaan tanggung jawabnya tidak diabaikan dalam keadaan tersebut.
Anak adalah amanat Allah yang apabila tidak
dipelihara akan mendatangkan fitnah dan kesengsaraan yang berkepanjangan kelak
di akhirat. Maka setiap orang muslim (orang tua) hendaknya memahami apa
tanggung jawabnya terhadap anak-anak. Karena tanpa memahaminya niscaya tidak
akan melaksanakan kewajibannya dengan baik. Seorang anak harus dirawat dengan
baik, disayang, dan dididik dengan pendidikan yang bermanfaat supaya ia dapat
tumbuh dewasa menjadi anak yang shaleh dan shalihah.
Selain itu, setiap orang tua yang bertanggung
jawab juga memikirkan dan mengusahakan agar senantiasa terciptakan dan
terpeliharakan suatu hubungan antara orang tua dengan anak yang baik, efektif,
dan menmbah kebaikan dan keharmonisan keluarga. Hubungan orang tua yang efektif
penuh kemesraan dan tanggung jawab yang didasari oleh kasih sayang yang tulus
menyebabkan anak-anaknya kan
mampu mengembangkan aspek-aspek kegiatan manusia pada umumnya, yaitu kegiatan
yang bersifat individual, kegiatan sosial, dan kegiatan keagamaan.
Disamping
pemeliharaan yang baik dan penuh kasih sayang, sebagai amanat Allah, anak harus
dididik dengan baik., sesuai dengan tingkat perkembangannya. Dengan pendidikan
yang baik, anak akan berkembang dengan baik pula, sehingga menjadi manusia
seutuhnya yang mengetahui hak dan kewajiban hidupnya, baik hak dan kewajiban
dirinya terhadap orang tuanya, masyarakatnya, maupun terhadap Tuhannya.
Sebenarnya pelaksanaan pendidikan dan pengajaran terhadap anak yang
dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan kasih sayang adalah merupakan
kewajiban agama dalam kehidupan manusia.
Adapun pokok-pokok pendidikan secara Islami yang
harus diberikan orang tua kepada anaknya adalah pendidikan yang menyangkut
masalah akidah, akhlak dan syariat, dan juga pendidikan lainnya yang
berhubungan dengan kebutuhan hidup di masa depan, sehingga terjaga keseimbangan
nilai antara duniawi dan ukhrowinya. Juga tidak kalah pentingnya adalah
pendidikan dengan contoh dan keteladanan dari orang tuanya.
- Terciptanya Hubungan Sosial Yang Harmonis
Seperti dijelaskan di depan bahwa keluarga atau
rumah tangga merupakan suatu unit masyarakat terkecil. Sudah barang tentu
mempunyai tanggung jawab pula dengan masyarakat di sekitar di mana mereka
berada. Tidak hanya terbatas pada orang tua, anak-anak bahkan anggota keluarga
yang lain juga berperan terhadap masyarakat di sekelilingnya.
Hidup bermasyarakat sebuah keniscayaan bagi
manusia. Oleh karenanya, seorang individu selain berbuat terbaik dalam
pergaulan sehari-hari di rumah juga harus berbuat terbaik dalam pergaulan
sehari-hari di luar rumah. Pergaulan tersebut mencakup dengan tetangga,
kerabat, dan dengan masyarakat pada umumnya.
Berbuat baik kepada tetangga dapat diwujudkan
dalam ucapan dan tindakan, seperti tidak menyakiti tetangga, menghormati
mereka, tidak arogan dan egois, dan membiasakan tolong menolong antar sesama.
Seorang muslim yang baik juga akan selalu
berusaha melakukan yang terbaik kepada kaum kerabatnya (baik dari pihak suami
atau istri, jauh maupun dekat), dan selalu menjalin tali silaturrahim dengan
seluruh keluarga besarnya.
BAB III
KONSEP KELUARGA SAKINAH MENURUT JAMA’AH
TABLIG
A.
Gambaran Umum Mengenai Jama’ah Tablig
1. Biografi Pendiri Jama’ah
Tablig
Jama’ah Tablig atau JT pertama kali muncul pada periode ketiga abad ke-
13 H di sebelah selatan kota
Delhi di
kawasan yang biasa dikenal dengan sebutan Mewat, karena di kawasan ini sejak
dahulu kala didiami oleh orang–orang Meo.[63]
Kawasan ini termasuk dalam wilayah Gurgaon (Punjab ),
yakni negeri asal Alwar dan Bharatpur disamping juga termasuk daerah Mathura dari salah satu
wilayah persatuan.
Syaikh
Maulana Muhammad Ilyas bin Muhammad Ismail Al-Kandahlawy Rah. A. yang merupakan
pendiri JT lahir pada tahun 1303 H atau tahun 1886 M.[64]
Sebenarnya bukan penduduk asli daerah tersebut, akan tetapi beliau lahir di
Kandhla, sebuah desa di kawasan Muzafar Nagar di wilayah Utarpradesh, India.
Maulana
M. Ilyas lahir di dalam keluarga yang terkenal sebagai gudang ilmu agama dan
memiliki sifat wara’.[65]
Ayahnya bernama Syaikh Muhammad Ismail merupakan seorang ruhaniawan besar juga
berasal dari lingkungan keluarga yang memiliki kedudukan yang tinggi dalam ilmu
dan agama. Selain itu disinyalir masih keturunan dari khalifah Abū Bakar al-S}iddi>q.
Dia tinggal di Nizhamuddin, New Delhi
ibu kota India .[66]
Ayahnya suka menjalani hidupnya dengan uzlah, khalwat,
dan beribadah. Boleh dikatakan siang dan malam ayahnya hanya sibuk dengan
beribadah, membaca al-Qur’an, melayani para musafir yang datang dan pergi, serta mengajar al-Qur’an dan ilmu–ilmu agama.
Ayahnya juga terkenal sebagai seorang yang tawa>du’, rendah hati, dan suka menolong
orang yang mengalami kesusahan.[67]
Sebuah cara hidup yang biasa ditempuh oleh seorang sufi.[68]
Demikian
juga perempuan dalam keluarganya juga tidak kalah dengan para laki–lakinya di
dalam ketekunan beribadah, tilāwah, dan berzikir. Hal–hal yang demikian itu bukan merupakan hal yang asing
lagi bagi mereka. Mereka semua sangat rajin membaca wirid dan tasbih disamping
juga bangun malam. Kekuatannya dalam membaca al-Qur’an sungguh tidak tertandingi sekalipun
dibandingkan dengan kaum laki–laki pada masa sekarang ini.[69]
Dalam
keluarga demikianlah Maulana M. Ilyas lahir. Sehingga sangat wajar kalau
kemudian hal tersebut sangat berpengaruh terhadap agama dan keimanan dalam
kehidupannya. Alasan yang mendukung kesimpulan ini adalah bahwa keluarga
merupakan rujukan pertama dan pondasi utama bagi anak-anak dalam memilih dan
menentukan sikap serta perilakunya. Sebab dalam keluargalah interaksi sosial
pertama anak dimulai, dan inilah sebenarnya sudah dimulai proses pendidikan.
Demikian juga dalam lingkungan yang tidak berbeda, beliau tumbuh dan besar.
Ayahnya,
Syaikh M. Ismāil meninggal pada tanggal 4 Syawal tahun 1315 H atau bertepatan
dengan tanggal 26 Februari 1898 M
meninggalkan 3 orang anak laki–laki yaitu : Asy-Syaikh Muhammad (yang
merupakan saudara tertua dari istri pertama), Asy-Syaikh M. Yahya, dan Maulana
M. Ilyas yang keduanya dari istri kedua. Sedangkan ibu beliau bernama Shafiyah Al-Hafiz\ah juga hafal al-Qur’an.[70]
Adapun
mengenai pendidikan beliau dimulai dari sekolah ibtida’ atau sekolah
dasar dengan tidak mengesampingkan dari membaca dan menghafal al-Qur’an. Karena
demikianlah adat di dalam keluarganya yaitu semuanya menghafal al-Qur’an.
Kemudian setelah saudara tengahnya, Syaikh M. Yahya pergi ke Gangoh untuk
belajar, membersihkan ruhani, dan menyerap ilmu–ilmu agama kepada Syaikh Rasyi>d
Ahmad Al Gangohi di desa Gangoh,kawasan
Saharanpur, wilayah Utarpradesh, beliau pun tidak mau ketinggalan ikut juga.
Hal ini terjadi pada akhir tahun 1314 H saat usia beliau baru 10 tahun. Hingga
pada tahun 1323 H Syaikh Al-Gangohi wafat, beliau telah menjadi seorang pemuda
yang berusia 20 tahun. Jadi beliau mengabdi di Gangoh selama 10 tahun.[71]
Selanjutnya
untuk mendalami dan menyelesaikan pelajaran hadis syarifnya, pada tahun 1326 H
beliau pergi ke Deoband untuk belajar kepada Syaikhul-Hind Asy-Syaikh Mahmud Hasan.
Beliau ini merupakan ketua pengajaran dan guru hadis di Dārul Ulūm Deoband
dalam Jami’ at-Tirmiz\i dan s}ahih Al-Bukhori>. Selain itu
beliau juga menjalin hubungan dengan Syaikh Khalil Ahmad As-Saharanpuri,
penulis kitab Bazlul Majhud fi> Hilli Al-fazi
Abi> daud dan berbaiat[72]
kepadanya sehingga beliau mendapatkan bimbingan ruhāniyah serta mensucikan
hati.
Pada bulan Syawal 1328 H beliau dapat kepercayaan untuk mengajar di
madrasah Maz}āhirul-‘Ulum Saharanpur
sebagai guru sementara menggantikan para guru yang berangkat haji. Akan tetapi
kemudian beliau diangkat sebagai guru tetap di sekolahan tersebut.[73]
Dan 2 tahun kemudian yaitu tepatnya pada hari jum’at tanggal 6 Z|ulqa’dah
1330 atau tanggal 17 Oktober 1921 M beliau melangsungkan akad nikah dengan putri
Syaikh Ra’uful Hasan di Kandhla.[74]
Pada
tahun 1336 H setelah saudara tertuanya, Syaikh Muhammad meninggal,
beliau diminta oleh masyarakat setempat untuk menggantikan dan meneruskan memimpin dan mengelola peninggalan ayah dan
saudaranya untuk memberi bimbingan kepada masyarakat di sekitar wilayah
tersebut juga terutama meneruskan mengajar di madrasah ibtidaiyah yang
didirikan oleh ayahnya sendiri yang kemudian diteruskan oleh kakaknya yang berlokasi di masjid Al-Kukh Basti
Nizāmuddin, New Delhi. Setelah mendapatkan izin dari Syaikh Saharanpuri maka
berangkatlah M. M. Ilyas ke Nizamuddin mengajar dan mendidik muridnya serta
memperbanyak ibadah dan mujāhadah.
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tumbuh dan
Berkembangnya Jama’ah Tablig
Setiap kerja besar dan penting – baik yang
berpengaruh positif maupun negatif– terwujudnya dan kemunculannya pasti ada
faktor dan alasan yang yang melatarbelakanginya. Begitu juga dengan kemunculan
jama’ah tabligh.
Maulana M. Ilyas menyatakan ada beberapa
faktor yang mendorong tumbuhnya JT yaitu antara lain, secara umum karena umat
Islam di sebagian besar negara telah ditimpa kebodohan, kefasikan, kerusakan,
dan lain sebagainya.[75]
Artinya mutu keberagamaan umat Islam di beberapa wilayah telah melenceng jauh
dari ajaran murni Islam yang sumbernya tiada lain al- Qur’ān dan al-Sunnah.
Menurut beliau umat Islam benar-benar telah
meniru tingkah laku jahiliyah. Bahkan di banyak negara peniruan mereka telah
hampir menyeluruh. Kerusakan aqidah, kebodohan dalam ibadah, kesesatan
berpikir, dan penyakit jiwa yang telah menimpa umat Islam di negara- negara
Islam pada umumnya, dan di negeri India pada khususnya. Sehingga hampir tidak
ada bedanya antara yang menyembah berhala dengan yang menyembah Allah SWT
(antara yang beragama Islam dengan yang beragama Hindu atau yang lainnya).
Kondisi tersebut juga lah yang dilihat dan
dialami secara langsung oleh beliau ketika berada di tengah orang-orang suku
Meo yang berlokasi di daerah Mewat, sebelah selatan kota Delhi .
Di mana di daerah tersebut kebanyakan masyarakatnya terjerumus ke dalam
kemurtadan dan tradisi kaumiyyāh,
seperti masih dilakukannya tradisi-tradisi ritual yang mencampurkan antara
tradisi yang bersumber dari Islam dan tradisi yang bersumber dari Hindu,
terutama dalam hal khitan, nikah, hari-hari besar, juga hal-hal yang
berhubungan dengan penyelenggaraan orang yang
telah meninggal. Menurut beliau semua itu disebabkan oleh ketidakacuhan
guru-guru agama Islam serta karena kebodohan orang-orang Meo.[76]
Selanjutnya beliau melihat bahwa satu-satunya
jalan untuk membangun Mewat adalah dengan membangkitkan pendidikan agama di
kalangan masyarakat Mewat supaya mereka mengetahui hukum-hukum Islam serta
kandungan al-Qur’ān, sehingga kebodohan akan sirna.
Sebenarnya Maulana M. Ilya>s
bukan orang yang pertama kali membangun madrasah di daerah tersebut.
Sebelumnya, seperti yang disebutkan di muka, ayahnya, Muhammad Ismāil pernah mendirikan madrasah di
daerah itu. Namun demikian beliau bertekad untuk melangkah lebih maju lagi dari
apa yang telah ada. Usaha pertama yang akan beliau lakukan adalah dengan
membangun madrasah-madrasah di lingkungan Mewat itu sendiri, sehingga
diharapkan semangat agama akan meluas dan gerak pembaharuan dapat lebih
dipercepat.[77]
Akhirnya berkat dorongan dan kegigihan beliau serta masyarakat Mewat akhirnya
cita-cita itu terwujud juga. Sebuah madrasah telah dibuka yang kemudian disusul
dengan beberapa madrasah lainnya bahkan akhirnya mencapai ratusan jumlahnya.[78]
Namun yang terjadi kemudian adalah Maulana M. Ilya>s yang
pada mulanya ingin memulai perjuangannya menyebarkan dan mendidik agama kepada
masyarakat Mewat khususnya dan umat manusia secara umum merasa tidak puas
dengan hasil maksimal yang diberikan oleh madrasah-madrasah yang telah ada.
Menurutnya madrasah hanya memberikan pendidikan yang sifatnya parsial
(pembaharuan yang parsial). Dimana yang ada malah kebodohan, kegelapan, dan
sekularisme yang melanda negerinya sangat berpengaruh terhadap
madrasah–madrasah.[79]
Bahkan para murid tidak mampu menjunjung tinggi nilai–nilai agama, sehingga
kebodohan semakin melanda di mana–mana bagaikan gelombang lautan yang melaju
deras membawa mereka hanyut semakin jauh.
Adalah suatu kenyataan, meskipun jumlah madrasah
telah banyak akan tetapi tidak akan mampu menjangkau seluruh masyarakat secara keseluruhan. Sangat tidak mungkin
seluruh lapisan masyarakat akan mendapatkan pendidikan agama Islam lewat
madrasah, sebagaimana tidak mungkinnya menjadikan mereka semua murid madrasah
yang harus mengikuti pelajaran setiap harinya dan meninggalkan pekerjaan
sehari–hari mereka.
Dari semua kejadian serta
pengalaman yang telah didapatnya tersebut, Maulana M. Ilyas mengambil
kesimpulan yang pasti bahwa madrasah–madrasah tidak mampu mengubah warna dan
gaya kehidupan mereka, juga bahwa pembaharuan pada satu aspek serta kemajuan
perseorangan dalam agama dan kewara’an bukan merupakan penyelesaian yang
sebenarnya. Artinya, jika telah tercapai perbaikan di satu aspek ternyata masih
banyak aspek lain yang tidak terjangkau oleh perbaikan , yakni berbagai aspek
kehidupan yang sangat luas tetap jauh dari nilai–nilai iman dan semangat agama.[80]
Kemudian pada tahun 1344 H pergilah M.M. Ilya>s ke
tanah suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji yang ke dua kalinya, dan pada
kesempatan inilah Allah SWT membuka hatinya untuk memulai usaha dakwah dan
pergerakan agama yang menyeluruh.[81]
Asumsinya sebagaimana yang disampaikannya dalam pertemuan alim ulama dan
pemimpin islam se-dunia di New Delhi ,
bahwa kita sebagai umat Muhammad sudah
seharusnya mengikuti jejak langkah beliau.[82]
Sebagaimana telah kita ketahui kalau nabi Muhammad saw tiada lain adalah
seorang muballig.
Maka setelah kepulangannya dari
Makkah, beliau memulai usaha tablignya dan mengajak orang lain untuk bergabung
bersamanya menyebarkan ajaran agama Islam
yang tentu saja dimulai dari daerah Mewat dan sekitarnya baru kemudian
setelah banyak orang yang bergabung bersamanya, barulah dibentuk jama>’ah–jama>’ah untuk dikirimkan ke kampung–kampung untuk berjaulah guna menyampaikan
pentingnya agama. Jama>’ah pertama dikirim ke Kandla yang kemudian di susul
jama>’ah kedua yang dikirim ke Raipur ,[83]
dan seterusnya.
3.
Tujuan Berdirinya dan Prinsip-Prinsip Dalam Jama>’ah Tabli>g
Sebagaimana adanya faktor pendorong atau sebab
kemunculan JT ini merupakan sesuatu yang sangat penting keberadaannya dalam
sebuah kerja besar (kalau tidak boleh disebut organisasi), begitu pun adanya
sebuah tujuan atas terbentuknya jama>’ah ini juga tidak kalah penting
keberadaannya untuk diketahui. Maulana Muhammad Ilya>s
menyatakan beberapa tujuan yang mendorongnya ketika mendirikan Jama>’ah Tabli>g ini sebagaimana yang tercantum dalam suratnya yang dikirimkan kepada
yang mulia raja Abdul Azi>z I, Ali> Saud rah. Pada tahun 1357 H[84]
yaitu antara lain:
1) Meninggikan kalimat tauhid dan
memikirkan rahasia–rahasia yang termuat dalam kalimat yang suci ini sehingga
pengaruhnya tampak di seluruh perbuatan dan keadaan. Kalimah لآ إ له إلإّ الله
adalah kalimat haq yang menenterankan jiwa.
2) Menggalakkan manusia untuk shalat
dan mendorong mereka untuk melaksanakan dengan khudlū’ dan khusyū’, serta menjaga adab–adab dan
syarat–syaratnya. Sebab, shalat adalah tiang agama, barangsiapa menegakkannya,
berarti menegakkan agama, dan barangsiapa yang meninggalkannya berarti
menghancurkan agama.
3) Memperbanyak tilāwah al-Qur’ān
dengan pemikiran dan pemahaman semampu mungkin, kapan saja ada kesempatan.
Sebab, al-Qur’ān adalah sumber hidayah yang diturunkan Allah untuk menyebarkan
kebaikan dan membimbing manusia di seluruh dunia pada setiap zaman dan di
seluruh pelosok. Tilāwah al-Qur’ān disertai artinya dan mengambil pelajaran
darinya merupakan kebahagiaan dan kejayaan besar bagi seseorang.
4) Masing–masing pribadi hendaklah
berpegang teguh dengan prinsip–prinsip para salaf dan meluangkan sebagian waktu
untuk memberikan bimbingan dan petunjuk kepada orang–orang awam berupa ucapan
dan perbuatan yang merupakan tuntutannya. Mengajak mereka untuk menyebarkan
prinsip–prinsip agama yang hani>f ini, mengingatkan mereka agar
tidak mengikuti hawa nafsu yang dapat menjerumuskan mereka kepada bid’ah yang
menghancurkan, berusaha keras untuk membersihkan jiwa dari kotoran–kotoran
kufur dan syirik, dan menyampaikan perintah–perintah Allah serta
larangan–laranganNya.
Demikianlah antara lain tujuan dari terbentuknya JT
yang pada intinya adalah amar ma’ru>f nahi>
munkar.
Kemudian melalui
contoh–contoh yang ditunjukkan oleh nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya,Allah
SWT telah memberikan hamba-hamba-Nya sistem kehidupan yang tiada bandingannya.[85])
Sistem ini mengandung beberapa prinsip yang sangat diperlukan untuk meraih
kejayaan secara bersama ataupun perorangan. Dan prinsip ini pula yang dipegang
oleh JT dalam melakukan dakwahnya yang terdiri atas enam prinsip.
Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Tidak
ada sesuatu yang patut disembah kecuali Allah Yang Maha Esa dan Yang Maha
Besar. Kita semua adalah hamba-Nya. Hakekat ini mestinya diikrarkan dengan
lisan, didengar dengan telinga, dan diakui di dalam hati. Hal ini hendaknya
dilakukan setiap saat sehingga kita dapat merasakan bahwa diri kita benar-benar
sebagai hamba Allah. Kita harus mengabdikan diri kepada Allah dan mengikuti
sunnah yang dibawa oleh Rasul-Nya. Pengabdian seperti inilah yang dimaksud
dalam kalimah syahadat: Lā ilāha illa Allah Muhammad al-Rasūlullāh.
b.
Apa yang telah diikrarkan dengan lisan hendaklah dibuktikan dengan
perbuatan. Cara membuktikannya adalah dengan melakukan shalat pada waktu-waktu
yang telah ditentukan. Tetapi, shalat yang dilakukan hendaknya jangan hanya
berupa gerakan badan saja. Shalat hendaknya dilakukan dengan penuh kekhusyukan,
tawādhū’, dan keikhlasan hati sehingga dapat membersihkan diri kita dan
menjauhkan kita dari perbuatan mungkar.
Puasa pada bulan Ramadhan merupakan
amalan untuk melatih diri kita agar dapat mengabdi kepada Allah; yaitu, selama
sebulan kita menahan diri dari segala hal yang diinginkan tubuh kita.
Kalau sudah mencapai
nishābnya, sebagian uang yang kita kumpulkan dari hasil jerih payah kita
hendaknya dikeluarkan zakatnya. Uang itu hendaknya diberikan kepada orang yang
layak menerimanya. Perbuatan ini juga merupakan salah satu cara lainnya agar
kita dapat membersihkan diri dan mengabdikan kepada Allah. Dua cara lainnya
agar kita dapat berkhidmat kepada Allah yaitu dengan menunaikan fard}u haji
dan berjihad di jalan Allah.
c. Dalam al-Qur’ān, kitab suci yang terakhir
kali diturunkan kepada umat manusia tercantumsatu sistem kehidupan yang dapat
membimbing manusia menuju keselamatan hidup didunia dan akhirat. Oleh sebab
itu, hendaknya kita membiasakan diri membaca al-Qur’ān sehingga dalam hati
sanubari kita timbul hasrat untuk mencontoh seluruh ajaran yang terdapat
didalamnya.
d. Z|āt Allah tidak dapat dibayangkan oleh fikiran manusia.
Kita hanya dapat membayangkan keagungan-Nya melalui sifat-sifat-Nya.
e. Hendaknya kita menunjukkan perasaan kasih
sayang dan menghormati hamba-hamba Allah yang telah memeluk Islam. Berikanlah
kepada mereka apa yang telah menjadi hak mereka, dan janganlah sekali-kali
menyinggung perasaan mereka.
f. Untuk menyambut seruan Allah SWT untuk
berjihād, kalau melihat kondisi yang ada di masa sekarang ini, sepertinya
kejayaan tidak mungkin tercapai dengan usaha perorangan. Hanya dengan usha
bersama saja kita dapat meraih kejayaan. Karena dengan cara ini sajalah kita
dapat mengatasi semua kesulitan dan rintangan. konkritnya kita harus meluangkan
sebagian waktu untuk berjalan bersama–sama dari rumah ke rumah, jalan ke jalan,
kampung ke kampung, dan dari kota
ke kota untuk
menyeru manusia agar menjalankan kehidupan mereka menurut prinsip–prinsip yang
telah disebutkan di atas.
g.
Jamā’ah yang akan keluar bertablig sebaiknya terdiri dari sepuluh orang.
Mereka hendaknya berkumpul di masjid di tempat mereka akan mengangkat amir.
Kemudian hendaknya mereka melakukan shalat nafil sebanyak dua rakaat. Setelah
itu hendaknya berdo’a bersama agar Allah SWT memberikan kekuatan hati,
ketabahan, dan keberhasilan dalam menjalankan tugas mereka. Kemudian hendaknya
keluar dari masjid dengan sepenuh kesungguhan dan keikhlasan. Ketika berjalan
hendaknya sambil berz\ikir, menjauhkan diri dari berbicara sia–sia. Apabila
telah tiba di tempat yang dituju hendaknya segera berdoa kepada Allah. Juga
hendaknya berkunjung ke rumah–rumah agar orang–orang berkumpul di masjid untuk
menyampaikan ajaran tabligh kepada mereka. Ketika mengunjungi rumah orang, kaum
wanita –dengan persetujuan suami atau saudara laki–laki mereka– boleh dinasehati
mengenai shalat.
Setiap
anggota rombongan tabligh hendaknya mematuhi amir. Sedapat mungkin amir
hendaknya melakukan apa yang terbaik demi kebaikan anggota rombongan. Setiap
langkah yang akan diambil mestilah dibicarakan dalam majlis musyawarah terlebih
dulu.
i. Hendaknya menyadari bahwa tablig merupakan
pekerjaan yang telah dijalankan oleh nabi. Oleh karena itu, pekerjaan ini harus
dijunjung tinggi. Orang yang menjalankannya dianggap sebagai wakil nabi. Pendek
kata, tabligh bukanlah semata menyeru manusia ke jalan yang lurus, tetapi
merupakan suatu proses untuk memperbaiki diri sendiri dan pengabdian kepada
Allah. Tujuan yang terpenting adalah untuk mencari kerid}oan Allah.
4. Metode Dakwah Jama>’ah Tabli>g
Metode dakwah yang diterapkan jama>’ah
ini termuat dalam enam materi yang disebut enam sifat[86],
yaitu:
a. Mewujudkan hakikat syahādat.
Yaitu
dengan beribadah kepada Allah Yang Esa sesuai dengan apa yang dibawa oleh
Rasulullah SAW yang berupa amalan–amalan ibadah, berbagai macam ketaatan, dan taqarrub.
b. Shalat khusyū’ dan khudlū’
Yaitu
menegakkan shalat dengan cara menyempurnakan rukun–rukunnya dan hal–hal yang
wajibnya. Kekhusyuan sangat ditekankan agar dapat menjadi pencegah perbuatan
keji dan mungkar karena tiadanya khusyū’ dan khudlū’ di
dalamnya.
c. Ilmu yang
disertai dengan z\ikir
Yakni
mempelajari ilmu yang diperlukan dan mengamalkan ilmu yang telah dipelajarinya.
Itulah yang diamksud dengan z\ikir. Beramal dengan ilmu adalah z\ikir,
sedangkan beramal tanpa ilmu adalah penyimpangan dan kelengahan.
d. Memuliakan Saudara Muslim
Maksudnya
adalah mengembalikan harga diri saudara muslim yang telah hilang semenjak lama,
yang mana seorang muslim menjadi musuh saudara muslim lainnya. Memuliakan
berarti menghormatinya dan mengangkat harga dirinya, dengan cara menolak dan
menjauhkan gangguan dari dirinya serta memberikan kebaikan kepadanya sesuai
dengan kemampuannya sebagai manusia.
e. Mengoreksi Niat.
Maksudnya
adalah seorang muslim hendaknya meniatkan
seluruh amal yang dikerjakannya untuk memperoleh rid}o Allah
swt. Itulah keikhlasan yang disebutkan di dalam al-Qur’ān dan Sunah Rasulullah
saw.
f. Dakwah Ilā Allah dan Keluar di Jalan Allah
Maksudnya
adalah mendakwahi manusia agar beriman kepada Allah dan beramal dengan mentaati
Allah dan rasul-Nya yang perintah–perintah-Nya tertera dengan jelas dalam
al-Qur’ān dan al-Sunnah agar seorang hamba menjadi sempurna dan bahagia di
dunia dan akherat.
B.
Pengertian dan
Dasar Hukum Keluarga Sakinah
Rumah
tangga atau keluarga, seperti yang telah diungkapkan di depan, merupakan satu
unit masyarakat terkecil dari suatu masyarakat, yang terdiri dari ayah , ibu,
dan anak, ataupun anggota keluarga yang lain. Membina rumah tangga merupakan
sunnatullah yang diawali dengan mengikat kedua bani adam yaitu berupa
dilaksanakannya ijāb dan qabūl. Dan membentuk keluarga sakinah
merupakan idaman setiap rumah tangga yang ada di muka bumi ini. Keluarga
sakinah juga sebagai suatu wujud keluarga yang diamanatkan oleh Allah swt dan
menjadi dambaan setiap pasangan suami istri.
ومن آيته
أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنو اإليها وجعل بينكم مودّة ورحمة إنّ فى ذالك لأية لقوم يتفكّرون.[87]
Yang tidak
kalah pentingnya adalah menciptakan suasana rumah tangga yang bernafaskan agama
(keluarga yang Islami>), sehingga semua
aktifitas yang dilakukan didasarkan pada ajaran agama (Islam). Itulah suatu
wujud keluarga sakinah yang diamanatkan oleh Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya.
Dari
literatur yang telah ada dan yang penyusun dapatkan, JT (sebagai makhluk sosial
dan sebagai sebuah Jama>’ah yang memfokuskan
kegiatannya pada bidang dakwah), secara teoretis tidak atau belum memberikan
definisi yang konkret tentang pengertian keluarga sakinah. Akan tetapi dari
mencermati literatur yang ada dan juga dari hasil wawancara yang telah kami
lakukan kepada beberapa anggota JT, secara substansial mereka memberikan definisi
keluarga sakinah seperti halnya yang lainnya (orang-orang di luar anggota jama>’ah), yaitu membentuk keluarga yang Islami> yang didasarkan pada ajaran al-Qur’a>n dan al-hadis}.[88]
Atau secara khusus bisa dikatakan keluarga sakinah adalah keluarga yang telah
tercipta dan yang dijalani oleh rasulullah saw, karena beliau merupakan uswah
hasanah bagi setiap muslim di dunia dalam hal apapun, tidak terkecuali
hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan rumah tangga.[89]
Yang
dimaksud Islami> di sini cakupannya sangat luas, yaitu meliputi hal-hal
yang dilakukan pada pra pernikahan sampai hal-hal yang dilakukan setelah pasca
pernikahan yaitu saat sudah menjalani kehidupan rumah tangga (kehidupan
sehari-hari dari rumah tangga). Seperti hal–hal yang ada hubungan dengan adabnya
melamar, menikah, wali>mah. Juga hal-hal yang
berkenaan dengan suami-istri yang itu berkaitan dengan hak dan kewajiban antar
mereka. Termasuk juga saat kehamilan sampai melahirkan, menyusui, dan mendidik
anak yang intinya adalah apa-apa yang menjadi kewajiban orang tua terhadap anak
dan sebaliknya, serta tentang bagaimana menjaga hubungan baik dengan sesama
yang tercakup di dalamnya bagaimana berbungan baik dengan keluarga dari masing-
masing pasangan juga dengan tetangga.
C. Upaya–upaya Untuk Membentuk Keluarga Sakinah
Untuk
mencapai keluarga yang sakinah, seorang individu hendaknya mengupayakannya
sedini mungkin, yaitu semenjak akan memasuki gerbang pernikahan (masa pra
pernikahan), kemudian dilanjutkan pada saat menjalani kehidupan rumah tangga.
1. Masa Pra Pernikahan
Landasan pernikahan yang Islami
merupakan upaya yang perlu dilakukan seseorang ketika berniat untuk menuju
gerbang pernikahan. Karena Perkawinan atau pernikahan -seperti dinyatakan di
dalam al-Qur’ān- merupakan sebuah ikatan yang suci dan kuat (mis\āqan galiz}a) antara seorang
laki-laki dan seorang wanita. Melalui pernikahan, Islam menghendaki agar
hubungan antara lelaki dan wanita menjadi kuat, mantap, dan kekal, serta dapat
menjadi pasangan yang bersatu dalam kerja, maksud, tujuan, serta cita-cita.[90]
Menurut Syekh Abdul Hali>m Hami>d melalui
pernikahan Allah menghendaki agar seorang istri yang shalihah menjadi
penenteram bagi suami dengan segala makna yang terkandung dalam kata “tenteram”,
yang meliputi: kepuasan, ketenangan, kebahagiaan, kedamaian, dan seterusnya.[91]
Menikah merupakan perintah Allah SWT dan sunnah
Rasul SAW. Firman Allah dalam al- Qur’ān:
Dan hadis} nabi SAW:
يآمعشرالشّباب، من استطاع
منكم الباءة فاليتزوّج، فإنّه له وجاء وأغضّ للبصر واحسن للفرج، ومن لم يستطع
فعليه بالصّوم.[93]
Oleh karena itu, sudah seyogyanya bagi seseorang yang akan
melaksanakan pernikahan diniatkan untuk beribadah kepada Allah dan melaksanakan
sunnah rasul, selain sebagai sarana penyaluran kebutuhan biologis yng baik dan
benar menurut agama.
Islam merupakan agama yang ajarannya telah kompleks.
Demikian juga dengan masalah pernikahan beserta hal-hal yang ada hubungannya
dengan pernikahan, juga telah diatur dengan sempurna di dalam Islam. Yang dimaksud
dengan hal-hal yang yang berhubungan dengan perkawinan adalah hal-hal yang
sebaiknya dilakukan menjelang pernikahan seperti melamar, sampai kemudian
menikah beserta walimahnya.
Untuk melamar itu sendiri, Islam juga mempunyai
adab-adabnya sendiri yang mana diperbolehkan bagi peminang untuk melihat wanita
yang akan
dipinangnya sebatas yang diperbolehkan oleh agama.[94]
Tujuan dari melihat tersebut adalah supaya bagi laki-laki yang akan meminangnya
dapat melihat rupa wanita yang akan dipinangnya sehingga diharapkan ditemui
kecocokan daripadanya. Sedangkan dalam hal memilih calon yang dilamar (yang
akan dinikahinya), kepada laki-laki dianjurkan supaya hati-hati terhadap wanita
jahat dengan alasan wanita seperti itu hanya akan membawa kepada keburukan (tidak
akan membawa kepada kebaikan). Juga dianjurkan supaya menerima pinangan orang
yang baik dalam agama dan berakhlak mulia, karena jika menolak akan menimbulkan
fitnah.
Selain itu, menurut as-Sayyid Sa>biq, Islam juga men-sunah-kan untuk memilih wanita yang
mempunyai kriteria sebagai berikut: a. shalihah (taat dalam menjalankan agama),
b. perawan/gadis, c. keturunan orang shaleh, d. sayang kepada anak-anak, e.
cantik, dan ringan maharnya, f. tidak mandul.[95]
Sedangkan adabnya dalam melamar antara lain:
§
Seorang mukmin tidak
boleh meminang atau melamar wanita yang masih dalam lamaran lelaki lain,
sebelum ia benar-benar melepaskannya.
§
Apabila dua orang
laki-laki hendak meminang seorang wanita, maka laki-laki pertamalah yang lebih
berhak.
§
Boleh menerima
pinangan seseorang seandainya peminang pertama adalah orang yang kurang baik
(tidak shaleh), sedangkan peminang kedua adalah orang yang shaleh.
§
Wajib menjauhi
cara-cara melamar yang non Islami> seperti tukar cincin,
dll. Jika meniru cara mereka berarti digolongkan dengan mereka.
§
Dilarang meminang
wanita yang masih dalam ‘iddah dengan terang-terangan, kecuali dengan sindiran.
Kemudian
untuk masalah menikah, Islam menganjurkan kepada lelaki muslim untuk menikahi
wanita yang s}alihah, yang mana wanita
tersebut patuh menjalankan perintah suami, menyenangkan jika dilihat,
mendengarkan perkataan suami dan menaatinya, serta menjaga diri dan harta jika
ditinggalkan oleh suami.[96]
Juga hendaknya memperhatikan keturunan calon istri, karena dilarang menikahi
wanita yang cantik tapi berasal dari keturunan yang buruk, sebagaimana juga
wajibnya menikahi wanita atas pertimbangan agamanya dan bukan karena hartanya,
martabatnya, atau kecantikannya. Selain itu di dalam sunnah nabi dikatakan
supaya menikahi wanita yang banyak anaknya (tidak mandul), dan dianjurkan
menikah dan menggauli istri pada bulan Syawal[97],
dan lain sebagainya.
Menikah
merupakan sunnah Rasulullah, dan dengan menikah berarti telah menolong
agamanya.[98] Untuk
melaksanakan pernikahan yang sah menurut agama maka harus terpenuhi
rukun-rukunnya, yaitu adanya: 1. wali, 2. dua orang saksi, 3. s}igāt akad, 4. mahar.
Tidak
semua perempuan boleh dinikahi oleh laki-laki menurut Jama>’ah
tabli>g. Ada beberapa perempuan yang haram dinikahi
untuk selamanya karena sebab-sebab tertentu sebagai berikut[99]:
1.
karena keturunan atau
masih ada hubungan muhrim, seperti ibu ke bawah dan ke atas.
2.
karena hubungan mus}āharah atau perkawinan, seperti
ibu mertua, istri ayah.
3.
karena hubungan
susuan, seperti ibu susuan dan anaknya.
4.
karena perempuan
tersebut dilaknat oleh suaminya.
5.
karena wanita
penzina/pelacur
Selanjutnya
adalah mengenai wali>mah. Wali>mah
pernikahan menurut Islam hukumnya sunnah, walaupun sederhana.[100]
Juga sebaiknya wali>mah diselenggarakan di
masjid, meski tidak ada larangan ketika diselenggarakan di rumah.[101]
Hendaknya wali>mah diadakan tidak lebih
dari dua hari. Karena wali>mah pada hari pertama
adalah hak, hari kedua ma’ruf, dan hari ketiga adalah riya’ dan sum’ah.[102]
Bagi yang mendapatkan undangan wali>mah, wajib hukumnya
untuk memenuhi undangan tersebut kecuali sedang udzur. Jika tidak datang
padahal tidak ada udzur, maka ia telah durhaka kepada Allah dan rasulnya saw.[103]
2. Masa dalam Pernikahan (Rumah Tangga)
Keluarga
sakinah merupakan keluarga ideal dan idaman. Oleh karenanya, untuk membentuk
keluarga yang bisa dikatakan sebagai keluarga yang sakinah, sebuah rumah tangga
harus mengupayakan terpenuhinya beberapa kebutuhan yang antara lain :
a.
Kebutuhan
Lahi>riyah
Kebutuhan
lahi>riyah adalah kebutuhan yang berkenaan dengan kebutuhan lahir
atau yang biasa disebut dengan kebutuhan dhohir manusia. Biasanya kebutuhan lahi>riyah manusia identik dengan nafkah yang sifatnya materi. Memang
tidak salah anggapan tersebut. Karena pada dasarnya nafkah itu sendiri sudah
mencakup beberapa hal yang sifatnya sangat penting dan masuk dalam kebutuhan
primer manusia, seperti kebutuhan sandang, pangan, dan papan.
Sebuah
rumah tangga yang kekurangan dalam
kebutuhan primer atau bahkan tanpa adanya nafkah tersebut tidak mungkin bisa
bertahan lama. Oleh karena itu, di dalam sebuah keluarga harus ada yang
berperan sebagai tulang punggung keluarga yang dalam hal ini dibebankan kepada
suami dan atau ayah. Suami atau ayahlah yang bertugas sebagai pencari nafkah
bagi keluarganya.[104]
Dari
ayat tersebut dijelaskan alasannya kenapa hanya kepada suami atau ayah saja
yang dibebani mencari nafkah, yaitu karena secara biologis laki-laki mempunyai
kekuatan yang lebih. Selain kepada istri, kewajiban nafkah tersebut juga kepada
anak, pembantu rumah tangga (kalau ada), dan semua orang yang menjadi
tanggungannya. Orang tua dan saudara-saudaranya yang tidak mampu menanggung
nafkah, secara hukum menjadi tanggung jawab kepala keluarga yang bersangkutan.
Suami
hendaknya berusaha sekuat tenaga agar dapat mencukupi nafkah keluarga dengan
nafkah yang halal dan diperoleh dengan jalan yang diridloi Allah SWT. Suami
tidak pantas berpangku tangan dan juga tidak selayaknya berlaku kikir terhadap
orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Ia harus memberikan nafkah keluarga
secara ikhlas karena mengharap ridho Allah dan demi kebahagiaan keluarganya.
Sedangkan
besarnya nafkah yang wajib diberikan oleh suami kepada keluarganya itu
tergantung pada kemampuan suami.[107]
Kalaulah misalnya suami termasuk orang yang mampu, maka hendaknya memberi
nafkah menurut kemampuannya. Dan jika sang suami termasuk orang yang
disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang Allah berikan
kepadanya. Hal tersebut sejalan dengan anjuran nabi Muhammad saw dan firman
Allah bahwa dalam mencari nafkah memang dianjurkan berusaha semaksimal mungkin,
akan tetapi hendaknya bagi suami istri jangan terlalu memaksakan kehendak dan
menyiksa diri karenanya.
Meskipun
demikian, janganlah suami menyia-nyiakan nafkah yang ditanggungnya. Karena
memberikan nafkah selain
wajib hukumnya, juga akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari
Allah.[109] Sabda
Rasulullah saw bahwasanya seutama-utamanya dinar yang dibelanjakan oleh
seseorang adalah dinar yang dibelanjakan untuk keluarganya.
دينار أنفقته
فىسبيل الله ودينار أنفقته فىرقبة ودينار تصدّقت به علىمسكين ودينار أنفقته
علىأهلك أعظمها أجرا ألّذىأنفقته علىأهلك. [110]
b.
kebutuhan bat}i>niyah
Yaitu
hal-hal yang berhubungan dengan sisi bathin manusia atau yang biasa dikatakan
sebagai nafkah bathin, seperti kebutuhan biologis atau pemuasan seksual. Dari
sekian banyak kebutuhan manusia dalam hidup dan kehidupannya, maka kebutuhan
pada pemuasan seksual lebih menonjol dan menentukan, malahan instink seksual
merupakan dasar dan barometer bagi kebahagiaan seseorang. Mengenai kebutuhan
biologis ini, masing-masing dari suami dan istri hendaknya diupayakan saling
memuaskan. Kepada suami, Allah swt berfirman:
Suami tidak
boleh meremehkan masalah bersetubuh ini. Karena bersetubuh merupakan kewajiban
suami. Ia merupakan kebutuhan biologis yang harus dipenuhi, bahkan seorang
istri diperbolehkan minta cerai apabila kebutuhan yang satu ini tidak dipenuhi.
وعاشروهنّ بالمعروف.[112]
Sedangkan
kepada istri, Rasulullah saw berpesan supaya jangan menunda-nunda jika suaminya
berkehendak untuk melakukannya. Bahkan kata beliau, seorang istri wajib
menuruti ajakan suaminya meskipun dalam kondisi yang sangat sibuk.
c.
Kebutuhan Spiritual
Kebutuhan
spiritual ini yang dimaksud adalah bagaimana ahl al bai>t mengkondisikan rumah tangganya selalu diwarnai dengan
nuansa agama (menghidupkan nuansa di>n di rumah). Artinya
semua apa yang berlaku dan terjadi di dalamnya didasari dengan petunjuk agama,
baik itu yang berhubungan dengan tingkah laku penghuninya maupun yang
berhubungan dengan kondisi rumah itu sendiri. Dalam sebuah hadis Nabi saw
dinyatakan bahwa di dalam rumah yang biasa dipenuhi dengan bacaan ayat–ayat
Allah dan kegiatan belajar–mengajar ilmu, akan diturunkan perasaan tenang di
batin (sakinah ) dan dikucurkan rahmat kepada penghuninya.[113])
Oleh
karena itu, untuk mewujudkan rumah yang penuh sakinah, mawaddah, dan rahmah
adalah dengan menghidupkan majlis ta’lim dalam keluarga.[114]
Jika ketenangan batin masuk dalam jiwa-jiwa anggota keluarga dan rahmat Allah
bercucuran atas mereka, maka Allah akan melindungi mereka dari kesusahan dan
musibah. Sehingga rumah itu akan selalu dalam keadaan tenteram dan damai, penuh
dengan rahmat Ilāhi.
Demikian
juga dengan kebutuhan pendidikan juga sangat penting artinya bagi siapa saja,
terutama pendidikan agama. Wanita pun diperintahkan agar membekali diri dengan
ilmu yang bermanfaat, yang dapat mendorongnya sehingga mengenal Allah dan di>n-Nya. Dalam hal ini agama tidak membedakan antara laki-laki
dan perempuan, semuanya wajib untuk menuntutnya. Dalam hadis Rasul saw
dinyatakan:
Di dalam sebuah
keluarga, suamilah yang mempunyai tanggungjawab untuk memberi pengajaran
pengetahuan agama kepada istrinya,[116]
dan dalam pendidikan anak, istri lah yang mempunyai tanggung jawab penuh untuk
mendidik anaknya.[117]
D. Ciri-Ciri Keluarga Sakinah
1. Terpenuhinya Hak dan Kewajiban Antara Suami-Istri
1. Terpenuhinya Hak dan Kewajiban Antara Suami-Istri
Salah satu
unsur dari terciptanya keluarga sakinah adalah terpenuhinya hak dan kewajiban
antara suami dan istri. Adapun hak-hak dan kewajiban dari masing-masing
keduanya adalah sebagai berikut:
a. Hak-hak Suami dan Kewajiban Istri
Hak manusia yang
paling penting untuk ditunaikan oleh seorang istri tiada lain adalah hak-hak
suaminya. Selama hak-hak suami belum terpenuhi, maka hak Allah swt belum
sempurna ditunaikan.
Sebenarnya
hak-hak yang dimiliki suami adalah kata lain dari kewajiban istri terhadap
suaminya. Imam Nawawi rah.a menulis[119])
bahwa sebaiknya para istri mengetahui bahwa dirinya adalah milik suami. Seperti
tawanan lemah yang tak berdaya di hadapan suami, selalu tunduk dan taat kepada
suami. Dalam segala perbuatan hendaknya bagi istri ada izin dari suaminya.
Tidak boleh berani menentangnya, menundukkan pandangan di hadapan suami,
merendahkan suaranya, taat kepadanya dalam setiap perintah yang diberikan
olehnya selain untuk kemaksiatan, diam ketika suami bicara, mengantarkannya
ketika keluar rumah, menjemputnya dengan bermuka kanis ketika datang,
menunjukkan cinta kasih kepadanya, mencumbunya ketika tidur, memakai
harum-haruman ketika menemaninya, membiasakan berhias di hadapannya dan tidak
berhias ketika ditinggalkannya.
Jadi, ada beberapa hak suami yang harus
dipenuhi oleh istrinya (kewajiban istri terhadap suami) antara lain sebagai
berikut:
1. Taat kepada suami.
Istri
yang shalihah meyakini dan menerima dengan penuh kerelaan bahwa suaminya adalah
pemimpin dalam keluarganya, dan ia berkedudukan di bawah suaminya, sehingga ia
mempunyai tanggung jawab untuk mentaatinya secara mutlak.[120]
Demikian
penting dan tinggi nilai ketaatan istri kepada suaminya sehingga Rasulullah
bersabda:
2.
Menjaga kehormatan suami
Istri wajib menjaga kehormatan suaminya baik di
hadapannya atau di belakangnya (saat suami tidak di rumah).
3. Tidak memasukkan
lelaki lain tanpa seizin suami.
Tidak memasukkan lelaki lain tanpa seizin suami merupakan
salah satu bentuk kesetiaan istri terhadap suaminya, baik disaat suami ada
maupun tidak ada (di rumah). Syekh Abdul Halim Hamid menuliskan[123])
bahwa setia menjaga diri saat kepergian suami adalah kewajiban syar’i dan bukan
sekedar anjuran dan perangai utama belaka. Maka kami perlu menjelaskan
bagaimana semestinya bentuk penjagaan seorang istri dikala suami tiada. Hal ini
bisa diringkas sebagai berikut: menjaga rahasia-rahasianya, menjaga
anak-anaknya, hartanya, harga diri dan kehormatannya, dan menjaga hubungan baik
dengan kerabat dan familinya.
4. Bersikap
menyenangkan di hadapan suami
Seorang istri
hendaknya senantiasa membuat dirinya selalu menarik di hadapan suami.[124])
Yang termasuk bersikap menyenangkan di depan suami seperti selalu berdandan di
saat suami ada di dekatnya. Hendaklah sang istri menjadi ratu kecantikan dan
keindahan di rumahnya, membuat keridhaan Rabbnya dan menciptakan kebahagiaan
bagi suaminya. Islam mengajarkan wanita muslimah agar berhias dan berdandan,
memakai minyak wangi, bersolek, dsb, tetapi dengan catatan bahwa itu semua
cocok dengan selera suaminya dan hanya ditujukan kepada suaminya saja.
Akan
tetapi jangan berhias dengan berlebihan, seperti menggunakan uang terlalu
banyak untuk biaya berhias, memakan waktu berjam-jam untuk berhias, dan
sebagainya. Karena hal tersebut termasuk ke dalam perbuatan yang mubazir.
Hal
lain yang termasuk dalam sikap menyenangkan adalah masalah pembicaraan dengan
suami. Istri yang shalihah hendaknya mampu menjaga pembicaraan dengan suaminya.
Jangan sampai hanya karena pembicaraannya ia mendapatkan kemurkaan dari Allah
dan menyakiti hati suaminya.[125])
Untuk itu hendaknya diingat bahwa seorang istri hendaknya dapat menjadikan
pembicaraannya penghibur bagi suaminya. Bila istri mempunyai keluhan hendaknya
memperhatikan waktu dan situasi serta kondisi suami.
5.
Berhemat dalam
pengeluaran hartanya
Istri
yang s}alihah adalah istri yang pandai dalam menjalankan perekonomian
keluarga, yaitu dengan berhemat dan menggunakannya sesuai dengan keperluan.[126]
Wanita seperti itulah yang membahagiakan suami dengan menjaga harta dan
mengatur segenap urusan keluarga, tidak boros, dan tidak memboroskan uang tanpa
guna dalam belanja.
ولاتبذّر
تبذيرا. إنّ المبذّرين كانوا إخوان الشّياطين.[127]
6. Tidak menolak ajakan suami untuk berjima’
Di depan telah dikatakan bahwa istri hendaknya selalu
memenuhi hajat biologis suaminya walaupun dalam kesibukan. Istri yang baik
adalah istri yang pandai menggoda, menghibur, merayu, bersolek, dan berdandan
di hadapan suaminya. Seorang istri yang baik tidak boleh menunda-nunda jika
suami mengajak berhubungan badan, apalagi menolaknya ketika ia dalam keadaan
sehat. Karena menyegerakan keinginan suami dalam urusan tempat tidur (jima’)
adalah sangat besar pengaruhnya dalam hubungan cinta kasih antar suami istri.[128])
Demi terhindarnya perzinahan, maka istri
hendaknya berusaha menunaikan pelayanan biologis kapan saja (kecuali saat-saat
yang dilarang agama, seperti waktu haid, dsb) dengan pelayanan yang
sebaik-baiknya.
7. Menjaga rahasia
suami
Menurut
Syaikh Abdul Halim Hamid apabila seorang istri membuka rahasia suami, maka ia
tidak akan merasa aman dari perceraian.
8. Tidak keluar rumah tanpa seizin suami
وقرن فى
بيوتكنّ...[129]
Menurut
Al- Ghazza>li seorang istri boleh keluar dari rumahnya dengan seizin
suaminya, tetapi berdiam diri di rumah itu lebih selamat, karena wanita yang
sering keluar rumah dapat membawa keburukan dan fitnah.[130]
9.
Menjaga harta suaminya
Seorang
istri tidak boleh memberikan sesuatu dari rumahnya tanpa seizin suaminya
meskipun untuk sedekah di jalan Allah. Dan seorang istri juga tidak boleh
mengambil sesuatu milik suami tanpa seizinnya.[131]
10. Menerima Gilirnya jika ia memiliki saudara
madu.
b. Hak-hak Istri dan Kewajiban Suami
Istri
menurut agama mempunyai kedudukan yang sangat penting bagi suami karena
memiliki beberapa keutamaan, yaitu antara lain sebagai: 1. sebagai amanah, 2.
sebagai anugrah, 3. penenang hati, 4. dan sebagai fitnah. Oleh karena
pentingnya arti keberadaan istri tersebut, ada beberapa hak istri yang harus
ditunaikan oleh suami dalam menggauli istri dengan baik, diantaranya[132]:
1.
Mendidiknya dengan
agama
Menurut
Al-Gazzāli[133] suami
wajib mengajarkan ilmu agama terutama ilmu-ilmu yang berkaitan dengan wanita
(seperti hukum-hukum haid}, istihad}ah, dsb). Di dalam
al-Qur’ān sendiri telah dinyatakan kewajiban suami untuk selalu
memberikan pengertian, bimbingan agama kepada keluarganya umumnya dan kepada
istri khususnya, dan menyuruh mereka selalu taat kepada Allah dan rasulnya.
واذكرن
ما يتلى فىبيوتكنّ من أيات الله والحكمة.[134]
2.
Memberinya Nafkah
Suami
wajib memberikan nafkah kepada istrinya. Jika menyia-nyiakan nafkah yang harus
ditanggungnya maka akan berdosa. Menurut Rasulullah orang yang mampu hendaknya
memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rezekinya
hendaknya memberi nafkah dari harta yang diberikan oleh Allah.[135]
وعن
معاوية القشيريّ أنّالنّبيّ ص.م.سأله رجل: "ماحقّ المرأة علىالزّوج؟ قال: أن
تطعمها إذاطعمت، وتكسوها إذااكتسيت،...[136]
3.
Dididik dengan hikmah
Suami-istri
hendaknya saling menasehati dalam kebaikan. Dan bagi suami hendaknya menasehati
istrinya dengan lemah-lembut dan tidak kasar. Dalam sebuah hadis riwayat Turmuzi> dinyatakan bahwa orang mukmin yang paling sempurna imannya
adalah yang paling baik akhlaknya dan paling halus terhadap istrinya. Dan
kata-kata yang baik adalah sedekah.
4.
Tidak menghina
kekurangannya
5.
Memanggil dengan nama
kesukaan
Umar
ra. Berkata: Tiga hal dapat menjernihkan cintamu dan cinta saudaramu, yaitu
hendaklah memberi salam ketika berjumpa, melapangkan tempat duduk ketika di
majlis, dan memanggilnya dengan panggilan kesukaannya.
6.
Memberi salam dan
berjabat tangan jika bertemu
7.
Menunjukkan wajah berseri
8.
Bercanda bersama istri
9.
Saling berma’afan
10.
Makan bersama
11.
Membantu pekerjaan
istri
12.
Selalu bermusyawarah
13.
Berdandan untuk istri
ولهنّ
مثل الذى عليهنّ بالمعروف[137]
14.
Memenuhi kebutuhan
biologisnya
Sebagaimana
seorang istri, suami pun wajib memenuhi kebutuhan biologis istrinya.
فإذاتطهّرن
فأتوهنّ من حيث أمركم الله.[138]
Jadi
ringkasnya, kewajiban suami terhadap istri antara lain: 1. membayar mahar, 2.
memberi nafkah, 3. Menggaulinya dengan baik, 4. Berlaku adil jika beristri
lebih dari satu.
c.
Pemeliharaan dan Pendidikan
Anak
Anak
merupakan amanat dan karunia terbesar dari Allah swt yang diberikan kepada
hamba-hamba-Nya, yang harus dirawat, dijaga, dan dididik oleh orang tua yang
telah diberi kepercayaan untuk memegang dan memelihara amanat-Nya tersebut.
Memiliki anak berarti memiliki berkah dan rahmat dari Allah swt karena
banyaknya keuntungan yang dapat diperolah bagi orang tua terutama dalam hal
pahala. Setiap apa yang dilakukan oleh orang tua untuk anaknya mulai dari
hamil, melahirkan, memelihara, dan merawatnya, Allah akan melipatgandakan
pahalanya di akhirat kelak.[139]
Menurut
Imam Nawawi rah.a, ada empat kebaikan yang didapat dari anak. Diantaranya
adalah:[140]
1.
Dengan memiliki anak
berarti mangekalkan jenis manusia
2.
Memperolah cinta
Rasulullah saw, dengan memperbanyak umatnya untuk dibanggakan oleh beliau pada
hari kiamat.
3.
Mendapat keberkahan
do’a anak shaleh.
4.
Mendapatkan syafaat
dengan sebab matinya anak kecil, jika ia meninggal sebelum orang tua.
Selain
hal tersebut di atas, anak juga mempunyai keutamaan yang lain, yaitu:[141]
1. Dinaikkan derajatnya, 2. Termasuk angin surga, 3. Sebagai buah hati
Keberadaan
seorang anak di dunia sebenarnya tidak lepas dari tiga tahapan yang harus
dihadapi oleh orang tua terutama bagi seorang ibu, yaitu: mengandung,
melahirkan, memelihara dan mendidik anak. Dr. Anwar Jundi menekankan bahwa
pemeliharaan ibu terhadap anaknya merupakan pekerjaan berat yang tidak bisa
disamakan dengan pekerjaan lain yang dikerjakan oleh wanita. Pekerjaan ini
harus dilakukan oleh ibu dan tidak bisa digantikan oleh panti asuhan, baby
sitter, atau pembantu.
Demikian
juga dengan pendidikan pada anak. Pendidikan dimulai semenjak anak dilahirkan,
bahkan pada tahun-tahun pertama, arti pendidikan sangat menentukan bagi
kehidupannya kelak. Jadi, keluarga adalah tempat pendidikan pertama kali bagi
seorang anak yang mengajarkan dasar-dasar pendidikan kemasyarakatan, aqidah,
ibadah, akhlak, dan nilai budaya. Karunia dan nikmat berupa anak hanyalah dapat
dirasakan apabila anak dididik dengan cara yang benar sehingga ia menjadi
penyejuk mata bagi orang tua semenjak lahir hingga meninggal. Mendidik dengan
cara yang benar adalah mendidiknya dengan pendidikan yang Islami>, dan hak anak-anak adalah menerima pengetahuan dan
pendidikan Islam yang benar.[142]
1.
Pendidikan Iman
2.
Pendidikan Akhlak yang
baik
3.
Pendidikan keilmuan
berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah
4.
Pendidikan fisik dan
ketrampilan
Adapun metode pendidikan yang
baik bagi anak ada empat yang harus diterapkan, yaitu:[143]
1.
Dengan Tauladan
Orang tua adalah tauladan dan panutan
bagi anaknya. Orang tua hendaknya memberikan contoh yang baik di depan
anak-anaknya. Dengan demikian, mengamalkan kehidupan yang Islami> bagi orang tua
sangatlah penting dalam mendidik anak secara Islami>.
2.
Dengan nasehat
Suami-istri adalah da’i Allah SWT.
Keduanya bertanggung jawab atas kehidupan agama di dalam rumahnya khususnya,
dan umumnya di seluruh alam ini. Maka hendaklah senantiasa memberi nasehat amar ma’ru>f
nahi> munkar kepada anak-anaknya.
3.
Dengan Hukuman
Orang tua yang baik hendaknya tidak
usah segan-segan untuk menghukum anaknya jika memang anak tersebut melakukan
suatu pelanggaran akhlak dan agama, seperti lalai melaksanakan shalat fardhu,
puasa, dsb.
4.
Dengan Tugas Khidmat
Yaitu mendidik anak agar tidak bergantung
kepada orang lain, tetapi belajar mandiri dan mau bekerja dengan tangannya
sendiri.
d. Terpeliharanya
Hubungan Sosial Yang harmonis
Yang dimaksud adalah
menciptakan hubungan yang harmonis kepada semua pihak atau orang–orang yang ada
disekitarnya, baik itu kepada keluarga sendiri,[144]
keluarga dari pihak suami atau istri[145]
ataupun kepada para tetangga dan handai-taulan.[146]
Kepada keluarga sendiri yang paling
utama dalam menjaga hubungan baik adalah dengan kedua orang tua.
ووصّين
الانسان بوالديه حسنا[147]
...
وبالوالدين إحسانا..[148]
Alasannya sudah
jelas yaitu karena kedua orang tua lah yang menyebabkan seorang anak manusia
lahir ke dunia. Seorang anak manusia tidak hanya harus menjaga hubungan baik
dengan kedua orang tuanya, bahkan wajib menghormatinya dan selalu menuruti
perintahnya yang baik (berbakti) supaya mendapat rid}a dari mereka, sehingga mendapatkan juga rid}a dari Allah swt.
وبرّابوالديه
ولم يكن جبّارا عصيّا.[149]
Berbakti kepada kedua orang tua adalah dengan menunaikan
hak-haknya.[150] Adapun
hak-hak orang tua antara lain:
a.
Taat dan mengabdi
kepadanya
b.
Berbuat baik
terhadapnya
c.
Berbicara dengan
lembut
Firman Allah SWT:
إمّا
يبلغنّ عندك الكبرأحدهما أوكلاهما فلاتقل لهماأفّ ولاتنهرهما وقل لهما قولاكريما.[151]
d.
Mengusahakan
kerelaannya
e.
Berdoa untuknya
f.
Meminta izin bila
masuk kamarnya
g.
Memandangnya dengan
kasih sayang
Kemudian selain
kepada keluarga sendiri, suami atau istri juga harus membina hubungan baik
dengan keluarga dari pasangannya, terutama kepada kedua mertuanya.[152]
Karena bagaimanapun juga mertua adalah orang tua dari pasangan hidupnya. Bagi
seorang suami, kata-kata orang tuanya itu sangat berpengaruh dalam kelangsungan
hidup rumah tangganya. Jika orang tuanya tidak ridha terhadap menantu
wanitanya, maka inipun adalah dilema yang besar baginya, karena suami mempunyai
kewajiban mentaati kata-kata orang tuanya.[153]
Nabi saw memberitahukan kepada kita tentang fitrah manusia,
bahwa seorang wanita jika telah menikah maka orang yang paling dekat dengannya
adalah suaminya. Dan lelaki jika menikah, maka orang yang paling dekat dengan
dirinya adalah ibunya. Hal ini hendaknya dipahami dengan bijaksana oleh istri
yang shalihah. Ridha orang tua adalah kebahagiaan anak. Sedang bagi istri,
keridhaan suamilah yang menentukan, di dunia dan akhirat.[154]
Setelah kepada kedua keluarga (keluarga sendiri dan
keluarga suami atau istri), sebuah keluarga juga harus menjalin hubungan yang
baik dengan tetangga dan sahabat.[155]
....والجارذىالقربى والجارالجنب والصّاحب
بالجنب...[156]
Tetangga adalah orang-orang yang berhampiran dengan rumah
kita. Menurut Hasan Basri Rah. A, tetangga adalah empat puluh rumah ke depan,
empat puluh rumah ke belakang, empat puluh rumah ke samping kiri dan kanan.
BAB
IV
KONSEP
KELUARGA SAKINAH MENURUT JAMA>’AH
TABLIG DITINJAU DARI HUKUM ISLAM
1. Proses Terbentuknya Keluarga
Sakinah
Keluarga sakinah merupakan bentuk keluarga ideal yang
menjadi idaman setiap keluarga di muka bumi ini. Oleh karena itu, untuk
membentuk dan menjadikan sebuah keluarga menjadi keluarga sakinah diperlukan
upaya-upaya yang harus diusahakan oleh seseorang yang akan atau ingin membina
rumah tangga, seperti pada saat memilih jodoh yang baik untuk dijadikan
pasangan hidup, bagaimana pada saat melakukan peminangan, sampai kemudian saat
menikah beserta saat berlangsungnya wali>mah
al-‘aru>s (resepsi pernikahan) itu sendiri yang kesemuanya harus
didasarkan pada ajaran agama (Islam). Upaya tersebut tidak terhenti sampai di
situ saja. Supaya rumah tangga selalu terkondisikan dengan baik dan sempurna,
maka terpenuhinya kebutuhan lahir, bathin, dan spiritual merupakan komponen yang harus selalu dijaga
keberadaannya.
Kemudian apabila dicoba menelusuri kembali bagaimana
bentuk ideal dari individu yang baik untuk dijadikan pasangan hidup, di dalam
konsepnya Jama>’ah
Tabli>g ternyata selaras dengan anjuran dan ajaran agama (Islam) yang
ternyatakan di dalam al-Qur’an dan sunnah rasul saw. Seperti dalam hal memilih
jodoh, Jama>’ah Tabli>g menggunakan
dasar dari beberapa hadis} Nabi saw seperti hadis}
riwayat Bukhari>-Muslim yang berisi kewajiban menikahi wanita
atas pertimbangan utamanya adalah agamanya dan bukan karena hartanya,
martabatnya, atau kecantikannya.[157]
Selain itu juga hadis}
yang disampaikan oleh Anas bin Malik juga Ali bin
Abi> T}alib r.a yang berisi tentang anjuran menikahi wanita yang banyak
anaknya, dan lain sebagainya.[158]
Disamping itu, JT juga menggunakan pendapatnya As-Sayyid Sabi>q yang menyatakan
sunnah bagi seorang pria yang ingin menikah untuk memilih wanita yang mempunyai kriteria
sebagai berikut: 1. shalihah (taat dalam menjalankan agamanya), 2. perawan, 3.
keturunan orang shaleh, 4. sayang kepada anak-anak, 5. cantik serta ringan
maharnya, 6. tidak mandul.[159]
Alasan dari adanya kriteria tersebut di atas adalah
apabila terpenuhi semua atau minimal tiga atau empat dari kelima kriteria
tersebut di atas diprediksikan rumah tangga tentunya akan tercipta keharmonisan
dan kebahagiaan dunia dan akherat. Sebagai perumpamaan dengan adanya ibu rumah
tangga yang shalihah lagi cantik yang juga keturunan orang shaleh diharapkan
akan lahir anak-anak yang shaleh-shalihah karena nenek moyangnya juga
orang-orang shaleh. Sedangkan anjuran memilih wanita yang perawan adalah karena
wanita yang masih perawan atau wanita yang belum pernah menikah sebelumnya.
Wanita yang seperti ini diasumsikan belum berpengalaman hidup dengan lelaki
lain (yang non muhrim atau suaminya) sehingga kehidupan rumah tangga akan lebih
indah dengan sifat pemalunya wanita.[160]
Selain itu wanita yang sudah pernah menikah juga dianggap lebih galak
dibandingkan dengan wanita yang belum pernah menikah. Hal ini diasumsikan
karena adanya trauma di dalam pernikahan yang dialami oleh wanita (yang sudah
pernah menikah) tersebut, dan seterusnya.
Meskipun hal ini dinyatakan oleh hadis yang
diriwayatkan oleh orang yang tidak sama, akan tetapi maksudnya adalah sama,
yaitu anjuran memilih pasangan dengan motivasi utama karena faktor agamanya.
Sedangkan faktor-faktor yang lainnya itu hanyalah sebagai tambahan dan
kelengkapan.
Selanjutnya
adalah masalah peminangan. Di dalam konsepnya JT dinyatakankan bahwa
syarat-syarat bolehnya melakukan
peminangan, adalah: perempuan yang akan dipinang tidak dalam pinangan lelaki
lain, dan perempuan yang akan dipinang
tidak terhalang secara syara’, seperti dalam masa ‘iddah atau perempuan
tersebut merupakan muhrim dari laki-laki yang akan meminangnya. Sedangkan
mengenai pembolehan melihat calon yang akan dipinang itu sebatas yang
diperbolehkan oleh agama dan tidak diperkenankan menyendiri berduaan saja.
Karena apabila hanya berduaan saja tanpa adanya
muhrimnya perempuan yang menemaninya dikhawatirkan akan terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan yang perbuatan itu bertentangan dengan ajaran agama.
Dari
kaidah ini diperoleh sebuah pengertian bahwa kemungkinan adanya madorot atau
apabila terdapat suatu perbuatan jika perbuatan tersebut dilakukan kemungkinan
akan menimbulkan madorot maka seyogyanya perbuatan tersebut tidak dilakukan
atau dihindarkan terjadinya.
Hukum
Islam juga menyatakan hal yang senada dengan pernyataan yang ada dalam JT
tersebut di atas.[161]
Sejalan dengan perkembangan pemikiran dan zaman, khit}bah yang dulunya berupa acara peminangan
dengan tanpa digambarkan dengan adanya simbol apapun, di dalam hukum Islam
kontemporer (khususnya di Indonesia )
sering disamakan dengan pertunangan yang di dalamnya diadakan acara tukar
cincin.[162] Menanggapi realita
seperti ini Jama>’ah
tabli>g secara umum di dalam konsepnya menyatakan wajib hukumnya
menjauhi cara-cara khitbah yang non Islami seperti tukar cincin itu sendiri.
Karena menurut mereka (JT) dengan melakukan atau meniru cara-cara yang non
Islami berarti digolongkan dengan mereka (orang-orang non Islam).[163]
Hanya
saja kalau kita mau mencermati lebih seksama sebenarnya di dalam hukum Islam
tidak dijelaskan bagaimana tata cara
peminangan secara tegas dan terinci. Hal itu dimaksudkan sebagai peluang bagi
kita untuk melakukan pinangan sesuai dengan adat istiadat yang ada pada
masing-masing daerah.
Di
dalam kaidah usuliyah dikenal satu kaidah yang menyatakan bahwa suatu adat atau
kebiasaan yang diakui dan disepakati bersama serta adat tersebut tidak
bertentangan dengan ajaran agama dan baik untuk dilaksanakan (apalagi jika adat
tersebut mendatangkan manfaat) maka adat tersebut hukumnya boleh dilaksanakan.
العادة محكّمة[164]
Selain
itu, terdapat ketentuan yang tidak atau kurang selaras dengan ajaran agama
(Islam), yaitu yang berhubungan dengan kewajiban menghormati dan menghargai hak
orang lain meskipun orang lain tersebut bukan muslim (non Islam) selama non
muslim tersebut tidak menggangu dan memerangi kita (umat Islam). Masalah
tersebut ada kaitannya dengan pembolehan menerima pinangan bagi pihak
perempuan. Di dalam konsepnya JT, pihak perempuan yang telah menerima pinangan
seseorang boleh menerima pinangan orang lain seandainya peminang pertama adalah
orang yang kurang baik (tidak shaleh), sedangkan peminang kedua adalah orang
yang lebih shaleh.[165]
Sabda Rasulullah SAW:
Kalau kita mengamati hadis
tersebut di atas, meskipun z\ahirnya
hadis menyatakan larangan melakukan peminangan jika kedua peminang merupakan
saudara yang berarti sesama muslim, akan tetapi pada kenyataannya Islam juga
menekankan wajibnya menghargai hak orang lain, siapapun orangnya baik itu
sesama muslim atau non muslim, apalagi sesama muslim meskipun yang satu lebih
baik akhlaknya dibanding dengan lainnya, termasuk juga dalam masalah peminangan
ini. Hikmah lainnya yang bisa diambil berkenaan dengan larangan menerima
pinangan orang lain tersebut adalah untuk menghindarkan terjadinya permusuhan
antara orang-orang yang meminang itu. Bahkan apabila meminang pinangan orang
lain kemudian menikah, berarti orang yang telah melakukan pinangan tersebut
telah berbuat maksiat meskipun perkawinannya hukumnya sah.[167]
Dari sini penyusun dapat
mengambil kesimpulan bahwa di dalam ketentuan hukum Islam penerimaan terhadap
pinangan seseorang diperbolehkan apabila perempuan yang akan dipinang itu tidak
dalam pinangan orang lain dan tidak ada ketentuan mengenai bagaimana jika
peminangnya itu orang shaleh atau bukan. Karena sebenarnya ketika perempuan
yang akan dipinang dan atau keluarganya telah mengetahui bahwa si peminang
tersebut misalnya bukan orang yang shaleh, maka apabila ada lagi peminang
kedua, tidak serta merta si perempuan dan keluarganya mengabaikan peminang
pertama, akan tetapi bisa dengan melakukan pembatalan pinangan terhadap orang
yang pertama dulu, baru kemudian dapat menerima peminang kedua. Jadi kesannya
tidak melakukan penolakan sepihak atau berupaya menghindari tindakan yang
kesannya meremehkan orang lain meskipun orang tersebut mungkin di bawah kita
tingkat ketakwaannya.
Setelah peminangan, langkah
selanjutnya adalah pernikahan itu sendiri. Dalam pernikahan ini, JT dan hukum
Islam sama-sama menetapkan bahwa pernikahan adalah suatu ikatan yang kuat (mişāqan galīz\a), mantap, dan
kekal antara seorang laki-laki dan perempuan.[168]
Adapun mengenai syarat-syarat dan rukunnya nikah, ada sedikit perbedaan antara
keduanya yang kemungkinan disebabkan oleh perbedaan penafsiran dan atau
pemahaman terhadap nas-nas al-Qur’ān dan al-Hadis}.
Konsepnya JT menyatakan kalau keberadaan calon
mempelai hukumnya tidak wajib ada.[169]
Alasannya tidak lain karena keberadaan kedua mempelai dapat diwakili oleh orang
lain yang tentunya dengan seizin mempelai. Demikian juga mengenai mahar.
Menurut JT mahar merupakan rukunnya pernikahan.[170] Kemudian,
di dalam hukum Islam dinyatakan bahwa sah atau tidaknya suatu perkawinan
ditentukan oleh terpenuhinya rukun dan syarat-syaratnya.[171]
Rukun-rukun tersebut antara lain adalah: keberadaan calon suami dan calon
istri, wali, dua orang saksi, dan adanya ijāb-qabūl.[172]
Menurut literatur yang ada di tangan penyusun, mahar atau mas kawin bukan
merupakan rukun dalam perkawinan, akan tetapi menyebutnya sebagai suatu
kewajiban yang harus dibayarkan oleh seorang laki-laki kepada calon istrinya.[173]
Sejauh penyusun amati di
dalam buku-bukunya JT, di sana
tidak dijelaskan secara terinci tentang syarat-syarat sahnya pernikahan. Hanya
saja secara terpisah (dinyatakan sendiri-sendiri), ada beberapa poin yang bisa
dikategorikan sebagai syarat-syaratnya pernikahan yang tak terklasifikasikan.
Di dalam buku-bukunya Jama’ah
tabligh dinyatakan juga bahwa boleh menikahi perempuan kecil berumur 6 tahun
dan menggaulinya ketika berumur 9 tahun.[174]
Alasannya adalah ittiba’ sunnah Rasulullah ketika menikahi Aisyah r.a. Mengenai
hal ini hukum Islam (Indonesia saat ini) mempunyai beberapa ketentuan syarat
yang berbeda yang antara lain, bagi kedua mempelai harus sudah cukup umur,
yaitu bagi laki-laki telah berumur 19 tahun dan bagi perempuan telah mancapai
16 tahun.[175]
Kita tahu bahwa dasar hukum
Islam yang utama adalah al-Qur’an dan as-sunnah. Mentaati dan mengikuti
perintah keduanya merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Demikian juga
mencontoh perbuatan beliau juga menjadi kesunnatan. Akan tetapi jika dengan
mengikuti perbuatan nabi saw (menikahi Aisyah pada usia belia) rumah tangga
seseorang dikhawatirkan tidak harmonis disebabkan masih labilnya jiwa si gadis
maka lebih baik dihindari.
Sebagaimana disebutkan di
atas bahwa pernikahan adalah hubungan yang kuat (mis\a>qan goli>z}o)
antara dua orang, laki-laki dan perempuan. Untuk mengemban dan menjaga hubungan
yang kuat tersebut sangat dibutuhkan kesiapan ataupun kerelaan dari keduanya.
Jika tidak didasari dengan kerelaan maka dikhawatirkan hubungan yang ada rentan
oleh masa dan waktu. Sedangkan disyaratkannya keikutsertaan orang tua adalah
karena sakralnya arti pernikahan itu sendiri bahkan bisa dikatakan kalau
pernikahan merupakan moment yang sangat penting dalam perjalanan hidup anak
Adam. Jadi sudah sewajarnya kalau untuk acara penting tersebut orang tua
diikutsertakan.
Selanjutnya adalah tentang hukumnya wanita
yang haram dinikahi untuk selamanya. JT menetapkan beberapa wanita yang haram
dinikahi untuk selamanya ini ada 5 sebab: 1. karena keturunan, 2. karena
perkawinan, 3. karena susuan, 4. karena perempuan tersebut dilaknat oleh
suaminya, 5. dan karena perempuan tersebut merupakan perempuan penzina/pelacur.[176]
Sedangkan di dalam hukum Islam dinyatakan yang termasuk haram untuk selamanya
adalah sebab nomer 1 sampai nomer 4. Dalam menyikapi pendapat ini, antara sebab
1 sampai 4 menurut penyusun masuk akal kalau keharamannya selamanya. Akan
tetapi untuk sebab yang ke lima
sepertinya lebih pantas kalau dikategorikan ke dalam keharaman yang sifatnya
sementara, yaitu keharamannya bisa hilang setelah yang bersangkutan
menghentikan perbuatannya dan bertobat. Pendapat ini terasa lebih rasional dan
manusiawi dengan alasan bahwa tiap-tiap manusia selama hidupnya pasti tidak
lepas dari melakukan kesalahan. Selama pintu taubat belum tertutup, maka
seseorang pantas untuk dipandang sama haknya dengan yang lainnya.
Proses selanjutnya adalah
saat memasuki kehidupan rumah tangga. Pada masa ini, upaya-upaya yang harus
diusahakan adalah terpenuhinya kebutuhan lahiriyah, bathiniyah, dan spiritual.
Secara substansial antara satu konsep dengan konsep yang lainnya tidak begitu
berbeda. Misalnya dalam hal terpenuhinya kebutuhan lahiriyah seperti nafkah
keluarga, maka suamilah yang berkewajiban untuk memenuhinya bagi keluarganya.
Hal ini dimaksudkan agar istri dapat mencurahkan perhatiannya untuk
melaksanakan kewajibannya dengan baik yaitu membina keluarga yang sehat dan
mempersiapkan generasi yang shaleh.[177] Meskipun yang berkewajiban memenuhi nafkah
keluarga hanya suami, akan tetapi itu tidak menjadikan suami boleh berlaku
semaunya dan menempatkan istri pada posisi inferior (sementara laki-laki berada
posisi superior).[178]
Karena Allah swt telah menciptakan tiap-tiap manusia sesuai dengan porsi
penciptaannya. Jika laki-laki dibebani dengan kewajiban memberi nafkah kepada
keluarganya, itu disebabkan karena kelebihan derajat yang dianugerahkan oleh
Allah kepadanya.
Selain itu juga, secara
kodrati kebanyakan laki-laki diberi kekuatan fisik lebih besar daripada wanita
(wanita mengalami yang namanya haid, mengandung, melahirkan, menyusui dimana
rutinitas seperti ini menjadikan wanita selain secara fisik lemah juga secara emosional menjadi labil). Sebaliknya laki-laki,
sebenarnya kaum wanita juga dianugerahi kelebihan oleh Allah yang kelebihan
tersebut tidak dimiliki oleh laki-laki kebanyakan, yaitu secara naluriah
kebanyakan wanita mempunyai sifat sabar, lembut, teliti dan telaten.
Kelebihan-kelebihan itulah yang menjadikan wanita lebih sesuai melakukan
pekerjaan yang tidak terlalu banyak mengandalkan kekuatan fisik seperti
pekerjaan menjadi tuan rumah. Meskipun demikian bukan berarti wanita tidak bisa
dan tidak boleh bekerja di luar rumah. Selama ada kemampuan dan tidak
bertentangan dengan syareat agama maka agama tidak melarangnya.[179]
Perlu diketahui bahwa sesungguhnya pekerjaan mengurus rumah tangga bukanlah
pekerjaan yang mudah dan sepele. Karena keberhasilan pada kehidupan keluarga
merupakan keberhasilan agama dan negara dimana di dalam rumah tangga lah tempat
digemblengnya generasi penerus dunia.
Jama’ah Tabligh menyatakan
dalam konsepnya bahwa seorang istri tidak boleh keluar rumah tanpa seizin suami
atau jika keluar rumah harus ditemani oleh seorang laki-laki yang mempunyai
hubungan mahram dengannya.[180]
Pembolehan ini pun hanya pada suatu keperluan yang diperbolehkan oleh syara’
seperti menuntut ilmu yang fard}u
a’i>n sedangkan orang tuanya, suaminya, atau penjaganya tidak sempat
atau tidak mampu mengajarnya, untuk mengunjungi kaum kerabatnya, dsb. Alasan
utamanya adalah supaya tidak terjerumus ke dalam fitnah.
Konsepnya Jama>’ah tabli>g
tidak memberikan kesempatan sedikit pun bagi perempuan untuk keluar rumah
dengan keperluan untuk bekerja selagi suami dan atau penjaganya masih mampu
mencukupi kebutuhannya. Mereka beranggapan perempuan yang ikut bekerja karena
takut rezekinya akan terputus menunjukkan kurangnya iman, tiadanya tawakkal
kepada Allah, dan tidak adanya keyakinan bahwa rezekinya seseorang itu sudah
dijamin Allah sejak zaman azali.[181]
Kalau kita amati, memang
benar bahwa Allah telah menetapkan rezeki tiap-tiap makhluknya sebelum manusia
terlahirkan di muka bumi. Akan tetapi Allah juga menyatakan dalam hadis
qudsi-Nya bahwa Dia tidak akan merubah nasib seseorang sehingga manusia itu
sendiri yang berusaha merubahnya. Hadis ini mengindikasikan bahwa Allah juga
menganjurkan kepada hambanya untuk selalu berusaha terus dan selalu untuk
kebaikan hidupnya. Dalam perkembangannya, mengenai masalah boleh tidaknya
perempuan bekerja di luar rumah, hukum Islam lebih bijaksana dalam
menyikapinya.
Dengan memperhatikan kondisi
sosial budaya yang ada sekarang ini, menuntut wanita untuk lebih respek
menyikapinya. Sehingga hukum Islam pun menawarkan solusi yang solutif bahwa
perempuan diperbolehkan bekerja di luar rumah dengan izin suaminya dan dengan
batasan-batasan yang wajar dan tidak memberatkan, yang disesuaikan dengan
kodratnya sebagai wanita[182],
serta dengan syarat tidak boleh mengesampingkan tugas utamanya yaitu menjadi
tuan rumah/ pemimpin rumah suaminya.[183]
Apalagi bila keadaan memang mendesak karena usaha suami tidak dapat
menghasilkan kecukupan nafkah keluarga, maka pada saat seperti ini suami boleh
mengajak istrinya untuk ikut berusaha mencari nafkah yang diperlukan juga
dengan syarat masih dalam batas-batas yang tidak memberatkan istri.[184]
Apalagi kalau melihat anggota
Jama’ah tabligh mempunyai kegiatan yang mengharuskan seorang suami keluar rumah
dalam waktu tertentu yaitu kegiatan khuru>j
fi> sabi>lilla>h untuk berjaulah, penyusun beranggapan
apabila istri diperbolehkan bekerja maka upaya istri tersebut akan sangat
membantu bagi perekonomian keluarga mereka. Meskipun sebenarnya sebelum pergi
berjaulah suami sudah mempersiapkan biaya hidup keluarganya selama suami pergi[185],
akan tetapi yang namanya manusia hidup di lingkungan masyarakat, seringkali
kebutuhan lainnya selain kebutuhan tetap yang tidak terduga itu muncul dan
tidak dapat ditolelir lagi.
Sedangkan dalam hal pemenuhan
kebutuhan bat}iniyah,
antara suami istri mempunyai kewajiban yang sama, yaitu antara keduanya wajib
memberi kepuasan satu sama lain. Suami yang baik tidak akan meninggalkan
istrinya dalam kondisi yang belum terpuaskan. Demikian juga sebaliknya, seorang
istri yang shalihah tidak akan menyepelekan keinginan suaminya untuk melakukan
hubungan seksual dan sebisa mungkin akan melayaninya dengan baik. Hanya saja,
selain menyatakan kewajiban tersebut di atas dalam hal pemenuhan kebutuhan
batiniyah, di dalam konsepnya JT juga seringkali menggunakan hadis-hadis
misoginis untuk menjustifikasi pendapatnya
bahwa perempuan wajib menaati perintah suaminya terutama dalam hal pemenuhan
kebutuhan batiniyah ini tanpa melihat situasi kondisi istri. Sehingga apabila
sampai istri menolak ajakan suami maka istri akan dilaknat.[186]
Oleh karenanya seringkali hadis-hadis seperti ini disalahgunakan oleh
pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk memojokkan posisi istri dan
tidak sebaliknya.
Sebagaimana dalam hal nafkah,
suami juga wajib mendidik istri dan anaknya dalam hal ilmu agama dan
pengetahuan lainnya. Ini adalah sebagai pemenuhan kebutuhan spiritual bagi
keluarganya. Secara naluriyah, setiap manusia mempunyai hasrat akan agama. Oleh
karenanya, beragama merupakan hak asasi manusia yang paling asasi karena hal
ini berhubungan langsung dengan Tuhan. Begitupun ketika Tuhan (Allah)
menciptakan manusia juga tugan utamanya adalah untuk mengabdi kepada-Nya.
Demikian juga untuk
mengenal Tuhan, setiap manusia diberi kebebasan untuk mengenalnya dengan cara
apapun, bisa juga dengan belajar. Di dalam keluarga, suami lah yang paling
berkewajiban untuk lebih mengenalkan Allah pada keluarganya lewat pendidikan
agama. Bahkan tidak hanya pendidikan agama saja yang wajib diajarkan, ilmu
pengetahuan yang lain pun harus diajarkan kepada keluarganya, lebih-lebih
kepada anaknya yang nanti dikemudian hari diharapkan mampu menjadi penerus
keluarga dan dapat berbakti kepada kedua orang tuanya. Alasan pertama karena
memang itulah salah satu kewajibannya kepada keluarganya. Sedangkan alasan
keduanya adalah karena memang itulah tugas manusia di muka bumi ini yaitu amar ma’ru>f nahi> munkar.
Untuk amar ma’ru>f nahi> munkar ini oleh agama diajarkan untuk
dimulai dari orang-orang terdekatnya, baru kemudian kepada orang lain di
sekitaranya dari mulai yang paling dekat sampai yang cukup jauh (jarak maupun
hubungan kekeluargaannya).
Hal ini didasarkan atas
firman Allah:
يآأيّهاالّذين
آمنوآ قوآ أنفسكم واهليكم نارا[188]
وبالوالدين
إحسانا وبذىالقربى واليتمى والمساكين والجارذىالقربى والجارالجنب والصّحب بالجنب
وابن السّبيل وما ملكت أيمانكم [189]
Berbuat baik yang dimaksud di sini
tidak hanya berbuat dalamā arti sikap saja, akan tetapi termasuk juga berbuat
baik dengan mau mengingatkan apabila orang-orang yang disebutkan di dalam ayat
tersebut berbuat salah, apalagi sampai melanggar ajaran agama. Kembali kepada
sistem dakwahnya Jama’ah tabligh, biasanya objek tujuannya adalah daerah-daerah
yang jauh dari tempat tinggalnya. Hal inilah yang menjadi ganjalan di hati
penyusun tentang bagaimana mereka menyikapinya. Menurut keterangan beberapa nara sumber, mereka
keluar rumah untuk khuruj tidak setiap hari. Artinya menurut mereka masih
mempunyai waktu untuk mengajarkan ilmu kepada keluarganya selama tidak ikut khuru>j.
Kemudian bagaimana dengan orang-orang
di sekitarnya yang masih banyak membutuhkan bimbingan sama halnya dengan
orang-orang yang dijadikan objek khuruj yang domisilinya lebih jauh? Jawaban mereka
ketika ditanya seperti itu adalah orang-orang yang disekitarnya adalah tugas
orang lain yang berkegiatan sama dengannya atau menjadi tugas anggota JT
lainnya yang memang sedang memfokuskan dakwahnya di daerah tersebut. Dan masih
menurut mereka juga, biasanya tempat-tempat yang ada di sekitar rumahnya sudah
banyak da’i yang melakukan dakwah di tempat tersebut.[190]
Apakah ini mereka maksudkan bahwa setiap orang yang bergabung di JT pasti atau
kebanyakan berasal dari daerah yang cukup agamis?
Demikian pentingnya menuntut
ilmu ini, sehingga ayat pertama yang turun kepada Rasulullah pun adalah anjuran
untuk belajar.[191]
Baik JT maupun hukum Islam sangat menekankan arti pentingnya belajar ini. Akan
tetapi JT sangat tidak setuju dengan sistem pendidikan yang ada pada masa
sekarang ini yang mencampurkan laki-laki
dan perempuan (antara sesama murid maupun antar guru) di pusat-pusat
pendidikan. Menurut mereka yang demikian ini melanggar aturan syar’i sehingga
hukumnya haram. Menurut mereka lagi, tidak ada yang menunjukkan bahwa laki-laki
dan perempuan sama dalam semua hal, juga tidak ada kebaikannya memberi
persamaan kepada wanita supaya “setaraf” dengan laki-laki. Mereka mengatakan
bahwa sistem pendidikan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya defeminitation
of women yaitu menghilangkan secara pelan-pelan sifat-sifat asli kaum
wanita dan menimbulkan penyakit motherhood rejection atau benci menjadi
ibu/memikul tanggung jawab sebagai ibu.[192]
Padahal kalau penyusun amati,
istri dari seorang anggota JT seharusnya adalah seorang wanita yang mempunyai
ilmu yang cukup. Alasannya, di dalam rumah tangga JT kemampuan seorang istri
niscaya lebih dibutuhkan untuk mendidik anaknya ataupun untuk keperluan yang
lainnya. Karena pembelajaran yang seharusnya tugas utama seorang suami dan ayah,
ketika suami sedang melakukan khuruj maka istri lah yang harus mengambil alih
perannya, meskipun secara umum istri pun mempunyai kewajiban mendidik anaknya.
Dengan demikian, secara
substansial JT sepakat bahwa pendidikan merupakan kebutuhan dan kewajiban
mencarinya bagi setiap manusia. Akan tetapi JT sangat menentang keras metode
pendidikan yang ada di masa sekarang ini yang mencampurkan di satu tempat
antara laki-laki dan perempuan karena mereka beranggapan bahwa untuk memenuhi
hak yang sama dalam pendidikan bukan berarti harus memberikan yang sama.
Menyikapi masalah ini hukum Islam sekarang ini selain tidak membedakan porsi
pendidikan yang boleh diterima oleh perempuan dengan laki-laki, dengan alasan
efisiensi dan persamaan, juga tidak terlalu berlebihan di dalam menanggapi
teknisnya sistem pendidikan yang ada sekarang ini. Dengan berpegang pada hadis
yang menyatakan wajib bagi setiap laki-laki dan perempuan untuk menuntut ilmu
dan tidak ada penjelasan yang membedakannya sama sekali, berarti tidak ada
salahnya apabila perempuan diberikan pendidikan yang sama dengan laki-laki.[193]
B.
Ciri-ciri Keluarga Sakinah
Seseorang yang telah melewati
beberapa proses dan upaya yang sungguh-sungguh seperti yang tersebut di atas
dengan maksud dan niat untuk membentuk keluarga yang sakinah, insyaallah Allah
swt akan merahmati keluarganya dan menjadikannya rumah tangga yang sakinah
mawaddah warahmah.
Satu hal yang harus selalu
diingat bahwa untuk membentuk keluarga yang sakinah itu tidak mudah, bahkan
bisa dikatakan sangat sulit. Hal itu disebabkan karena di dalam rumah tangga
yang sakinah segala sesuatunya berjalan sesuai dengan ajaran agama dan tidak
ada yang dilandasi dengan yang namanya egoisme, arogansi, atau nafsu semata.
Padahal kalau kita amati lebih seksama hal-hal tersebut (egoisma, arogansi, dan
napsu semata) tersebut seringkali terjadi di dalam rumah tangga, tidak terkecuali
di dalam rumah tangga seorang muslim. Tindak sewenang-wenang seorang suami
kepada istrinya terjadi karena biasanya suami merasa lebih super dibanding
istrinya atau karena minimnya pengetahuan agamanya suami .[194]
padahal al-Qur’an menempatkan posisi wanita atau istri sejajar dengan laki-laki
atau suami.[195]
Kemungkinan faktor lainnya
adalah suami merasa telah memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya,
sehingga merasa istri dan anak-anaknya harus tunduk dan patuh atas segala
perintahnya dan tidak mengingat apakah ia telah bersikap sama seperti apa yang
telah dituntutnya dari istri dan anak-anaknya. Padahal kita tahu, pemenuhan
materi saja tidak cukup sebagai landasan seorang suami untuk menuntut dipenuhi
haknya secara keseluruhan, karena memang itulah tugasnya kepada keluarganya
dengan imbalan diberikannya derajat yang lebih dibandingkan perempuan atau
istrinya.
Oleh karena itu, supaya
tercipta rumah tangga yang harmonis, sebuah keluarga harus selalu menjaga
keseimbangan di berbagai segi kehidupannya. Keseimbangan tersebut bisa diawali
dari suami istri sendiri yaitu selalu menjaga keseimbangan hak dan kewajiban
diantara mereka. Sebagai suami yang shalih, menghormati hak dan memenuhi
kewajibannya kepada istri merupakan suatu kebahagiaan tersendiri karena dengan
demikian dia akan memperolah perlakuan yang sama dari istrinya.
Di dalam konsepnya Jama’ah
tabligh, secara umum memang demikianlah yang mereka akui. Mereka menyatakan
suami istri harus saling menghargai dan menghormati. Jika suami menuntut untuk
diperlakukan dengan baik oleh istrinya, maka ia harus memulainya dari dirinya
sendiri. Selain itu, seringkali di konsepnya JT juga dinyatakan bahwa
kedudukannya istri bagaikan seorang tawanan bagi suaminya. Seorang istri harus
lebih mendahulukan hak suaminya dibandingkan haknya sendiri, harus mematuhi
suaminya di atas segala-galanya, karena ridhonya suami merupakan ridhonya Allah
SWT.
Masih berbicara tentang
konsepnya JT, sepertinya semua apa yang dilakukan istri selalu dibayang-bayangi
oleh laknat, entah itu laknatnya alam, malaikat, maupun Allah. Tidak dapat
dipungkiri kalau mereka masih sering menggunakan hadis}-hadis}
yang berbau misoginis. Kemungkinan karena mereka berusaha untuk selalu
konsisten menerapkan cara hidup yang hanya didasarkan dengan al-Qur’a>n dan al-hadis}
dan tidak begitu memperhitungkan kondisi sosial masyarakat yang ada sekarang
ini. Kebanyakan hadis-hadis misoginis tersebut menyangkut masalah
kewajiban-kewajiban istri kepada suaminya, seperti jika istri tidak mau
melayani ajakan suami untuk bersetubuh, ketika istri keluar rumah tanpa izin
suami, ataupun misalnya sikap istri yang tidak menyenangkan di muka suaminya.
Hal ini mungkin akan terasa
sebagai sebuah keadilan jika diperhatikan juga bagaimana kondisi istri
saat-saat tersebut. Jika memang istrinya lagi dalam kondisi yang sedang tidak
nyaman, tidak sehat, capek mengurus rumah tangga, atau sedang tidak siap secara
psikisnya, maka suami seharusnya tidak memaksakan kehendaknya. Karena secara
psikologi, suami-istri tidak akan mencapai kepuasan seksual di saat salah satu
pihak tidak dalam kondisi yang baik. Padahal seperti dinyatakan di depan bahwa
suami dan istri harus berusaha saling memuaskan pasangannya. Dalam hal ini
seharusnya tidak hanya pihak istri saja yang selalu disalahkan, suami pun
seharusnya dimintai tanggung jawabnya. Kalau memang suami sangat menginginkan
kepuasan seksual secara sehat dan bersama-sama, maka sewajarnya ia berusaha
bagaimana supaya gairah seksual istrinya terbangkitkan. Sehingga terhindar dari
adanya yang memaksa dan yang dipaksa.
Masih menurut konsepnya JT,
mengenai harta pribadi istri dinyatakan bahwa memang istri mempunyai hak penuh
terhadap hartanya tersebut, akan tetapi untuk memakainya ia harus mendapat izin
dari suaminya karena apapun yang dilakukan oleh istri harus seizin suaminya.[196]
Pendapat mereka memang rasional bahwa seorang istri bebas membelanjakan harta
pribadinya meskipun lebih baik istri memberitahu suaminya terlebih dahulu.
Karena sesungguhnya mengenai harta tersebut adalah hak penuh atau hak mutlak
istri yang tidak boleh dicampuri oleh suami. Bahkan menurut hukum Islam istri
diperbolehkan untuk tidak mematuhi suaminya apabila ia diperintahkan oleh
suaminya untuk membelanjakan hartanya dengan keinginan suaminya.[197]
Kembali ke masalah nafkah,
memang suami lah yang mempunyai tanggung jawab penuh untuk mencukupinya.
Meskipun istri bersedia untuk ikut membantu, akan tetapi itu tidak mengurangi
kewajiban suami terhadap nafkah keluarganya tersebut. Menyinggung mengenai JT,
untuk berdakwah mereka harus mengeluarkan biaya sendiri-sendiri. Itu berarti,
selain harus mencukupi nafkah keluarganya, anggota JT juga harus mengeluarkan
biaya sendiri untuk kegiatannya tersebut. Menurut mereka memang sebelum pergi khuru>j suami
biasanya sudah mempersiapkan biaya hidup keluarganya untuk jangka waktu selama
suami pergi. Ini mungkin untuk keluarga yang termasuk dalam kelas ekonomi
menengah ke atas karena biasanya selain mereka telah mempunyai tabungan juga
penghasilan setiap bulannya cukup memadai untuk biaya hidup keluarganya dan
untuk berdakwah. Maka, bagaimana dengan yang tingkat ekonominya menengah ke
bawah?.
Memang menurut para nara sumber yang bersedia
kami wawancarai, untuk khuru>j tidak ada kewajiban bagi
orang yang tidak mampu, baik dari segi fisik ataupun finansialnya. Tetapi
mereka juga tidak menyangkal kalau kegiatan tersebut seringkali membuat orang
yang pernah ikut khuruj dan merasakan nikmatnya dzikir dan ta’lim sehingga
menjadikan kecanduan. Maka, biasanya yang terjadi pada orang yang kecanduan adalah
tidak begitu memikirkan hal lain selain bagaimana caranya ia dapat memuaskan
keinginannya. Memang penyusun tidak dapat membuktikan faktanya secara konkrit,
akan tetapi fakta dari kejadian tersebut telah ada, terjadi di daerah-daerah
terutama di pedesaan.[198]
Di dalam literatur yang ada
di tangan penyusun dinyatakan bahwa sebagai suami yang shalih seharusnya
senantiasa melakukan yang terbaik bagi keluarganya, termasuk mengutamakan
nafkah keluarga dalam membelanjakan hartanya di atas kepentingan-kepentingan
yang lainnya.[199] Suami juga hendaknya pandai-pandai
membelanjakan hartanya, mana yang lebih penting itulah yang didahulukan.
Membelanjakan harta untuk s}adaqah
di jalan Allah (termasuk untuk dakwah) adalah hal yang utama. Akan tetapi jika
tidak mampu tidak ada kewajiban untuk memaksakan kehendak sehingga melupakan
nafkan nafkah keluarga.[200]
Sabda Rasulullah saw:
دينار
أنفقته في سبيل الله ودينار أنفقته في رقبة ودينار تصدّقت به على مسكين ودينار
أنفقته على اهلك أعظمها اجرا الّذى أنفقته على أهلك.[201]
Telah penyusun katakan di
depan bahwa Allah SWT menciptakan setiap manusia itu berpasang-pasangan dengan
tujuan supaya mereka (manusia) berumah tangga dan menjadikan keluarganya
keluarga yang sakinah mawaddah warahmah.
Keluarga yang sakinah adalah keluarga yang
tercukupi secara material maupun spiritualnya (d}o>hir
maupun ba>t}innya). Kedua kebutuhan tersebut harus diseimbangkan satu
sama lainnya. Karena tidak akan tercipta ketenteraman rumah tangga jika salah
satu unsurnya tidak terpenuhi. Seperti hadis yang disampaikan oleh Anas ra.
Bahwasanya ketika Allah menghendaki suatu keluarga menjadi individu yang
mengerti dan memahami agama, yang lebih tua menyayangi yang lebih kecil dan
sebaliknya, memberi rezeki yang berkecukupan di dalam hidup mereka, tercapai
setiap keinginannya, dan menghindarkan mereka dari segala cobaan, maka terciptalah
sebuah keluarga yang dinamakan sakinah, mawaddah, warahmah. [203]
Selain kedua unsur itu, ada
satu lagi unsur lain yang sangat mendukung akan terciptanya keluarga sakinah.
Unsur tersebut adalah terciptanya keharmonisan hubungan sosial, karena manusia
tidak bisa hidup tanpa uluran tangan dari orang lain, sepintar dan sekaya
apapun dia. Manusia diciptakan di dunia sebagai mahluk sosial yang secara
naluriah membutuhkan orang lain. Ia butuh saling mengenal satu sama lainnya
sehingga terciptalah suasana tolong menolong diantara mereka. Baik itu tolong
menolong dalam urusan dunia maupun tolong menolong dalam urusan akherat. Tolong
menolong dalam urusan dunia contoh konkritnya seperti adat gotong royong dalam
menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak bisa diselesaikan sendiri seperti
membuat rumah atau yang lainnya. Sedangkan contoh tolong menolong dalam urusan
akherat seperti amar
ma’ru>f dan nahi> munkar.
Pada akhirnya harus diakui
bahwa JT mempunyai konsep keluarga sakinah tersendiri, yang pada dasarnya
konsep tersebut bersumber dari hukum Islam meskipun dalam beberapa hal ada sedikit
perbedaan dalam penafsirannya. Selain itu konsep tersebut juga tidak atau belum
tertuang dalam sebuah konsensus sehingga pelaksanaannya pun belum seragam
diantara anggotanya.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah
penyusun kemukakan di atas yang terdiri atas 4 bab tentang konsep keluarga
sakinah menurut Jama’ah tabligh perspektif hukum Islam, maka penyusun dapat
menarik kesimpulan sebagai berikut:
1.
Secara teoretis, konsep keluarga sakinah menurut Jama>’ah Tabli>g lebih
menerapkan isi dari dhohirnya ayat al-Qur’a>n
dan sunnah saja (cenderung bersifat tekstual). Contoh kecil seperti masalah
berpakaian. Untuk jenis dan warna pakaian, menurut mereka wajib mengikuti dan
harus sama persis seperti apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Sedangkan
pada masalah kehidupan rumah tangganya, di dalam konsepnya JT ada beberapa
pendapat yang terkesan diskriminatif dan
bias jender, terutama yang menyangkut masalah keseimbangan hak dan
kewajiban antara suami dan istri. Misalnya pada masalah pengklasifikasian hak
dan kewajiban dalam rumah tangga di mana istri selalu ditempatkan pada posisi
kedua (inferior) setelah suami (superior).
2.
Secara substansial antara konsep keluarga sakinah
menurut Jama>’ah Tabli>g
dan konsep keluarga sakinah menurut hukum Islam bisa dikatakan tidak begitu
berbeda. Hanya saja pada masalah-masalah tertentu yang berhubungan dengan
metode penafsiran atau metode studi terhadap nas-nas (al-Qur’a>n
dan al-sunnah), antara keduanya sedikit berbeda. Dapat dikatakan di sini bahwa
umumnya ulama-ulama JT kemungkinan menggunakan pendekatan parsial dalam
mengkaji al-Qur’an dan as-sunnah. Sehingga (konsepnya JT) terkesan tidak begitu
berupaya untuk membumikan ajaran al-Qur’an dan sunnah Nabi saw.
Padahal kita tahu bahwa persoalan pembumian
al-Qur’an dan sunnah Rasul saw dalam segala aspek kehidupan adalah termasuk
perjuangan yang tidak pernah ada habisnya seiring berubahnya zaman, tuntutan,
dan konteks. Seperti masalah peluang untuk bekerja, di mana pada zaman dahulu
kebanyakan muslimah tidak diperkenankan untuk bekerja kecuali pekerjaan rumah
tangga.
Oleh karena itu dengan lebih dibumikannya
al-Qur’an sekarang ini, berdasarkan pada surat
an-Nahl (16):97 yang menjelaskan tentang prinsip yang sama khususnya keadilan,
kebebasan bekerja diberikan seluas-luasnya kepada semua manusia tanpa
membedakan jenis kelamin selama hal itu memenuhi syarat-syarat yang ditentukan
dan halal.
Sebagai catatan bahwa pada dataran
aplikatif, tiap-tiap anggota JT antara satu dengan lainnya tidak harus sama
cara atau metode yang dipakai di dalam mengamalkan dan menjalankan ajaran
agama. Artinya tidak ada ketetapan khusus yang harus diikuti oleh tiap-tiap
anggotanya.
Demikianlah
kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan di atas. Kesimpulan ini pada
dasarnya bukanlah kesimpulan final, tetapi sebuah kesimplan yang masih mungkin
untuk ditinjau kembali dan dilakukan penelitian ulang. Tidak menutup
kemungkinan apa yang penyusun kemukakan pada karya tulis ini suatu saat tidak
lagi sesuai lagi dengan realita yang ada pada masa yang akan datang.
B. Saran-saran
1. Nafas-nafas
Islam yang sarat dengan nilai-nilai demokrasi dan solidaritasnya hendaknya
dapat diterapkan dalam membina rumah tangga oleh setiap umat Islam khususnya
dan umat menusia pada umumnya. Sehingga rumah tangga muslim selalu dapat dijadikan suri tauladan oleh umat
manusia kapanpun dan dimanapun berada.
2. Perbedaan yang ada pada umat Islam dalam
memahami pesan-pesan khusus Islam sehingga muncul berbagai macam kelompok
hendaknya disikapi secara arif oleh masing-masing kelompok umat (Islam),
sehingga perbedaan tersebut hanya akan mendatangkan nikmat dan manfaat yang
tidak akan menyulut perpecahan.
3. Jama>’ah
Tabli>g secara umum (bisa dikatakan) merupakan salah satu kelompok
dari umat Islam yang kuat dalam memegang ajaran agama atau seringkali hanya
melaksanakan ajaran murni dari
al-Qur’a>n dan al-sunnah saja, sehingga apa yang mereka lakukan di
masa sekarang ini, terasa kaku dan kolot. Akan tetapi hal ini seharusnya
menjadi pemikiran kita untuk lebih bisa menerima dan menghargai juga sebagai
koreksi diri kita sendiri akan kualitas diri pribadi sendiri.
4. Hendaknya ada penelitian dan pembahasan ulang tetang kajian
konsep keluarga sakinah menurut Jama>’ah
Tabli>g ini, akan tetapi dengan menggunakan pendekatan dan metode
penelitian yang lain seperti penelitian lapangan dan sebagainya.
BIOGRAFI
ULAMA
- IMAM BUKHA<RI<
Nama lengkapnya adalah Imam Abu> Abdullah Muhammad bin Isma>i>l al-Bukha>ri>. Beliau
lahir di kota Bukhara pada tanggal 13 Syawa>l
194 H atau bertepatan dengan tahun 810 M/ 809 M. Bukhori kecil mulai
mempelajari dan mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menekuni pelajaran hadis
mulai umur 11 tahun, dan pada usia 18 atau 20 tahun beliau sudah menghasilkan
dua buah buku yang diberi judul Kazayai Saha>ba wa Tabai>n (al-Saha>bah wal Tabi>u>n)
dan al-Tari>kh.
Maka tidak berlebihan jika beliau dinyatakan sebagai salah satu ahli hadis
terbesar yang dihasilkan oleh dunia Islam. Karya terbesarnya adalah al-Jami>’ al-Sahi>h atau
yang lebih terkenal dengan Sahi>h
Bukhari> yang berisi hadis-hadis yang paling sahih mengenai
sunnah. Beliau wafat pada 30 Ramadhan tahun 256 H (31 Agustus 870) di kota dekat Samarkand .
- IMAM MUSLIM
Lahir di Nishapur pada tahun 202/ 206 H atau 817/ 821
M. Nama aslinya adalah Al-Hajja>j
Abul Husai>n al-Khushairi> al-Nisha>puri>, akan tetapi lebih
terkenal dengan nama Imam Muslim. Selain Imam Bukha>ri>,
beliau juga merupakan salah satu ulama penghimpun hadis yang diakui
keshahihannya. Bukunya yang termasyhur adalah Sahi>h
Muslim yang terdiri atas 52 bab. Beliau wafat pada tahun 261 H/ 875
M dan dimakamkan di Nisarabad (daerah pinggiran kota Nishapur).
- AL-GHAZZA<LI
Lahir pada tahun 1058 M di Thus, Khurasan. Nama
aslinya adalah Abu>
Ha>mid bin Muhammad al-Nisha>fu>ri>. Beliau adalah seorang pemikir jenius Islam
dan ahli tasawuf. Salah satu karya besarnya yang terkenakl adalah Ihya> ‘Ulu>m al-Di>n.
Masyarakat Islam menggelarinya Hujjat al-Islam atau saksi Islam.
Beliau wafat pada tanggal 10 Desember 1111 M pada usia 50 tahun.
- AHMAD AZHAR BASYIR
Almarhum adalah ketua pimpinan pusat Muhammadiyah
periode 1989-1994. Meraih gelar master dalam ‘Ulum Islamiyah jurusan
Syari’ah Islamiyah dari fakultas Darul ‘Ulum, Universitas Kairo, Mesir.
- HASAN BASRI
Lahir di Sasah, Aceh Selatan pada tanggal 28 November 1938 . Beliau
mengajar di fakultas psikologi, filsafat, geografi, pertanian, ISIP di UGM Yogyakarta . Beberapa karya tulisannya antara lain: Keluarga
Sakinah Tinjauan Psikologi dan Agama (Pustaka Pelajar,2002), Merawat
Cinta Kasih (Pustaka Pelajar, 1999), Keluarga Sakinah Keluarga Surgawi
(Titian Ilahi Press, 1999), dsb.
[1] Must}afa Masyhur, Qudwah di jalan Dakwah, terjemah oleh Ali Hasan,
(Jakarta: Citra Islami Press, 1999), hlm. 71.
[2] Maimunah Hasan, Rumah Tangga Muslim (Yogyakarta :
Bintang Cemerlang, 2001), hlm. 7.
[3] An-Nisā’ (4): 34.
[5] Ibid., hlm. 50.
[6] Al-Tahrim
(66): 6.
[8] Husein bin Muhsin bin Ali Jabir, Membentuk Jama’atul Muslimin, alih
bahasa oleh Supriyanto (Jakarta: Gema
Insani Press, 1998), hlm. 223.
[9] Muhammad Qowim dkk, Model Dakwah Jama>’ah Tablig, Laporan Penelitian Kelompok
Mahasiswa Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Yogyakarta :
Perpustakaan Pasca Sarjana, 2002), hlm. 10.
[10] Musthafa Hasan, Menyingkap Tabir Kesalahfahaman Terhadap Jama>’ah Tablig (Yogyakarta: Ash-Shaff,1997),
hlm. 6.
[11] Muhammad Qowim dkk, Model
Dakwah, hlm. 10.
[13] Muhammad Qawim dkk, Metode Dakwah Jama’ah Tabligh, hlm. 7.
[14] Hasan Basri, Keluarga
Sakinah; Tinjauan Psikologi dan Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1995).
[15] A. Azhar Basyir dan Fauzi Rahman, Keluarga Sakinah Keluarga
Surgawi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1999).
[16] Nawawi al-Bantani, Hak dan Kewajiban Suami Istri(Pedoman Membina
Keluarga Sakinah), terj. Masrokhan Ahmad, cet II (Yogyakarta :
Ash-Shaff, 2000).
[17] Nadhirah Mujab, Merawat Mahligai Rumah Tangga (Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2000).
[18] Maimunah Hasan, Rumah Tangga Muslim (Yogyakarta :
Bintang Cemerlang, 2001).
[19] Fuad Kauma dan Drs. Nipan, Membimbing Istri Mendampingi Suami
(Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2003).
[21] Al-Z}ariyat
(51) : 56.
[22] An-Nur (24): 33.
[25] عن
أنس ر.ع. إذا أرادالله بأهل بيت فقّههم فىالدّين ووقّر صغيرهم كبيرهم ورزقهم
الرّزق فى معيشتهم والقصد فى نفقاتهم وبصّرهم عيوبهم فيتوامنها وإذا أرادبهم غير
ذالك تركهم هملا.
[27] An-Nisā’ (4): 36.
[28] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta : Rajawali Press, 2000), hlm. 212.
[29] Jama’ah tabligh sebagai sebuah perkumpulan besar telah memiliki
beberapa penerbitan yang hanya menerbitkan buku-buku yang ditulis oleh
anggotanya sendiri, baik itu yang ditulis oleh anggotanya yang di Indonesia
maupun yang berada di luar negeri, atau tulisan-tulisan ulama lainnya yang
dianggap cocok dengan keyakinan mereka, seperti penerbit Ash-Shaff yang ada di Yogyakarta dan Pustaka Nabawi
Cirebon.
[30] Cholid N dan H. Abu A, Metodologi Penelitian (Jakarta: Bumi
Aksara, 1999), hlm. 19.
[31] Anton Bakhtiar dan Ahmad Zubaker, Metodologi Penelitian Filsafat
(Yogyakarta: Kanisius, 1997). hlm. 62.
[33] Ar-Rūm (30): 21.
[34] Fuad Kauma & Nipan, Membimbing Istri, hlm.viii.
[35] Muslim, Sahih Muslim (ttp, al-Qanāah, tt), I: 623, “
kitab an-Nikah,” “Bāb Istihbāb an- Nikāhi zāti ad-Dini.”
[36] A. Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, cet IX (Yogyakarta:
UII press, 1999), hlm. 18.
[37] Al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, edisi, ‘Ala’u ad-Din (Dār
al-Fikr: Jauhar an-Naqi, ttp, tt), VII: 81 – 82, “Kitab an-Nikah,” “Bab
Istihbāb at-Tazawwuji bi al-Wadūda al-Walūda. Hadis dari Anas bin Mālik dan
diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dinilai sahih oleh Ibn Hibbān.
[38] Azhar Basyir, Hukum Perkawinan, hlm. 18.
[39] Fuad Kauma & Nipan, Membimbing Istri, hlm. 31.
[40] Peminangan adalah permintaan seorang laki-laki kepada perempuan
pilihannya agar menjadi istrinya, baik dilakukan sendiri secara langsung maupun
melalui orang kepercayaannya. Akan tetapi, di beberapa tempat peminangan kadang
kala juga dilakukan oleh pihak perempuan.
[41] Muslim, Sahih Muslim (ttp, al-Qana’ah, tt), I: 592, “Kitab
an-Nikah,” “Bab Tahrimi al Khitbati ‘Alā Khitbati Akhihi au Ya’zana au
Yatruka.”
[43] A. Azhar Basyir, Hukum Perkawinan, hlm. 21-23.
[44] Abū Dāwūd, Sunan Abi>
Dāwūd (Beirut :
Dār al-Fikr, tt), II: 228, hadis nomor 2082, “Kitb an-Nikāh,” “Bab Fi ar-Rajuli
Yanzuru Ilā al-Mar’ati Yuridu Tazwijihā.”
[45] Ahmad, Bustānu al-Ahbār Muhtasar Nailul Autār, edisi
Ali Mubarak (Kairo: Mu’allaqāt as-Salafiyyah, 1374 H), Terjemahan Nailul
Autar Himpunan Hadis-hadis Hukum, diterjemahkan oleh Mu’ammal Hamidi
dkk, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993), V: 2145, hadis nomor 3435, “ Kitab
an-Nikah,” “ Bab Larangan Menyendiri Dengan Perempuan Yang Bukan Mahramnya dan
Perintah Menundukkan Pandangan.”
[46] Fuad Kauma & Nipan, Membimbing Istri, hlm. 48.
[48] Muslim, Sahih Muslim, (ttp, al-Qanā’ah, tt), I: 603,
hadis nomor 3580, “Kitāb an-Nikāh,” “Bab al-Amru bi
Ijābati ad-Dā’i ilā Da’wati>.”
[49] Fuad Kauma & Nipan, Membimbing Istri, hlm. 59.
[51] Fuad Kauma & Nipan, Membimbing Istri, hlm. 80.
[52] Al-Nisā’ (4): 34.
[53] Ali Imrān (3): 14.
[54] A. Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, h. 60-61. juga Fuad
Kauma & Nipan, Membimbing Istri, hlm. 63.
[56] Hasan Basri, Keluarga Sakinah, hlm. 28.
[57] Al-Baqarah (2): 228.
[59] An-Nisā’
(4): 4.
[60] Abū Dāwūd, Sunan Abi Dāwūd, (Beirut : Dār al-Fikr, tt), II: 251, hadis
nomor 2143, “Kitāb an-Nikāh,” “ Bāb Fi H}aqqi al-Mar’ati ‘Ala
Zaujiha.”
[61] Fuad Kauma & Nipan, Membimbing Istri., hlm. 85 - 86
[62] Ahmad Azar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 62.
[63] Ghulam Musthafa Hasan, Menyingkap
Tabir, hlm. 5.
[64] Ali Nadwi, Riwayat Hidup
dan Usaha Dakwah Maulana M. Ilyas, terj: Masrokhan A, (Yogyakarta:
Ash-Shaff, 1999), hlm. 5.
[65] Ibid., hlm. 5.
[66] Ibid., hlm. 6.
[67] Ali Nadwi, Riwayat Hidup, hlm. 7 – 8.
[68] M. Qowim dkk, Metode Dakwah JT, Laporan Kelompok Mahasiswa
Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, hlm. 18.
[69] Ali Nadwi, Riwayat Hidup, hlm. 5.
[70] Ibid., hlm. 8.
[71] Ali Nadwi, Riwayat Hidup, hlm. 11.
[72] Baiat yang dimaksud di sini adalah
baiat yang selalu dilakukan oleh guru dan murabbi di bidang akidah yang benar
serta ilmu tentang al-kitab dan as-sunnah yang merupakan taubat dari kekufuran,
syirik, kemaksiatan, dan bid’ah, kemudian membulatkan tekat untuk mengamalkan
al-Qur’an, as-Sunnah, kewajiban-kewajiban agama, dan zikir-zikir yang
ma’sur.
[73] Ibid., hlm. 16.
[75] Ghulam Musthafa H, Menyingkap Tabir Kesalahpahaman, hlm. 6.
[76] Ali Nadwi, Riwayat Hidup, hlm. 29.
[77] Ibid., hlm. 35.
[78] Ibid., hlm. 36.
[79] . Ali Nadwi, Riwayat Hidup, hlm. 39.
[87].Ar-Rūm (30): 21.
[88] Wawancara dengan saudara Ali Hasan di Yogyakarta pada bulan Juni
2003.
[89] Wawancara dengan bapak Fauzi dan bapak Abdullah di Masjid al-
Ittihād Jl. Kaliurang. Jogjakarta
pada bulan September 2003.
[91] Ibid.
[93] Ali Mubarak, Muhtasar Nailul Autar, (Kairo: al-Mu’allaqāt
al-Salafiyyah, 1374 H), edisi Muammal Hamidi dkk, Terjemahan Nailul
Autar, (Surabaya: PT bina Ilmu, 1993), V: 2129, hadis nomor 3411, “Kitab
Nikah,” ”Bab Anjuran Kawin dan Makruhnya Membujang Bagi Yang Berkuasa,”. Hadis} dari Ibn
Mas’ūd dan diriwayatkan secara berjamā’ah (bersama-sama).
[94] A. Abdurrahman, petunjuk sunnah dan Adab Sehari-hari Lengkap (Cirebon : Pustaka Nabawi,
2000), hlm, 114.
[95].Ibid.
[96] Ibid., hlm. 115.
[97].Ibid., hlm. 116.
[99] Ibid., hlm. 118-119.
[100] Ibid., hlm. 119.
[101] Ibid., hlm. 120.
[102] Ibid.
[104] Abdurrahman A, Lelaki Salih 2, hlm. 70 & 86.
lihat juga Fad}ilah wanita S}alihah, hlm. 101.
juga Petunjuk Sunnah, hlm. 12.
[105].An-Nisā’ (4): 34.
[106] Al-Baqarah (2): 233.
[108] Al-T}alāq
(65): 7.
[110] Ali Mubarak, Muhtasar Nailul Autar, (Kairo: al-Mu’allaqāt
al-Salafiyyah, 1374 H), edisi Muammal Hamidi dkk, Terjemahan Nailul
Autar, (Surabaya: PT bina Ilmu, 1993), V: 2462, hadis nomor 3867, “Kitab
Nafaqah,” ”Bab Nafkah Istri Wajib Didahulukan Daripada Kerabat-kerabat Yang
Lain”.
[111] Al- Baqarah (2): 222.
[112] An- Nisā’ (4): 19.
[114] Ibid., hlm. 87.
[115] Ibnu Majah, Musnad Ibn Majah, I, hadis nomor 244. Hadis dari
Anas bin Malik dan diriwayatkan oleh T}abbra>ni.
[116] A. Abdurrahman A. Fadhilah wanita Shalihah (Cirebon: Pustaka
Nabawi, 1999), hlm. 15.
[117] Ibid, hlm, 71.
[118] Ali Mubarak, Muhtasar Nailul Autar, (Kairo: al-Mu’allaqāt
as-Salafiyyah, 1374 H), edisi Muammal Hamidi dkk, Terjemahan Nailul
Autar, (Surabaya: PT bina Ilmu, 1993), V: 2290 -2291, hadis nomor 3670,
“Kitab Walimah, Mengurus dan Bergaul Dengan Wanita,” “Bab Mempergauli Istri
Dengan Baik dan Hak-hak Suami Istri”. Hadis} dari
Abdillah ibn Aufa dan diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibn Majah.
[119] A. Abdurrahman, Fadhilah Wanita S}alihah, hlm. 41.
Secara mutlak menurut Ibnul Jauzi adalah secara keseluruhan dari perintah
suaminya, kecuali hal-hal yang diharamkan oleh Allah SWT, seperti mengajak
bersetubuh pada waktu haid, pada siang bulan ramadhan, mengajak tidak shalat,
dan lain-lainnya yang intinya adalah melakukan hal-hal yang bertentangan dengan
perintah-Nya. Ditambahkan oleh Syaikh Abdul Halim Hamid bahwa perkecualian
tersebut termasuk berdandan seperti dandanan jahiliyah, serta ikut kumpul dalam
majlis yang campur antara pria dan wanita. Dan juga kewajiban untuk taat
tersebut tidak berkurang hanya karena suaminya kekurangan harta, ilmu, ataupun
pangkat, atau bahkan istrinya memiliki atribut tersebut dan lebih tinggi
daripada suaminya.
[121] Ali Mubarak, Muhtasar Nailul Autar, (Kairo: al-Mu’allaqāt
as-Salafiyyah, 1374 H), edisi Muammal Hamidi dkk, Terjemahan Nailul
Autar, (Surabaya: PT bina Ilmu, 1993), V: 2289, hadis nomor 3667, “Kitab
Walimah, Mengurus dan Bergaul Dengan wanita,” “Bab Mempergauli Istri Dengan
Baik dan Hak-hak Suami Istri.
Hadis} dari Abi> Hurairah dan diriwayatkan oleh Al-Tirmiz\i, menurut Tirmiz\i
hadis ini hadis} hasan gorib.
[122] An-Nisā’ (4): 34.
[124] A. Abdurrahman, Petunjuk Sunnah, hlm. 122.
[125] Ibid., hlm. 46. lihat juga dalam buku An-Nawawi, Hak dan
Kewajiban, hlm. 17.
[126] A. Abdurrahman A, Fadhilah Wanita S}alihah, hlm. 102.
[127] Al- Isrā’ (17): 26 – 27.
[128] A. Abdurrahman A, Petunjuk Sunnah, hlm. 122. juga dalam Fadhilah
Wanita, hlm. 55.
[130] A Abdurrahman A, Petunjuk Sunnah, hlm. 122. juga dalam An-Nawawi, Hak dan Kewajiban, hlm.16.
[131] Ibid., hlm.122.
[132] A. Abdurrahman, Lelaki S}alih
2, h. 70 - 72. juga An- Nawawi, Hak dan
Kewajiban.., hlm. 3-10. juga Petunjuk
Sunnah, hlm. 120–121.
[133] A. Abdurrahman A, Petunjuk Sunnah, hlm. 131.
[134] Al-Ahzāb (33): 34.
[136]Ali Mubarak, Muhtasar Nailul Autar, (Kairo: al-Mu’allaqāt al-Salafiyyah,
1374 H), edisi Muammal Hamidi dkk, Terjemahan Nailul Autar, (Surabaya:
PT bina Ilmu, 1993), V: 3672, hadis nomor 3667, “Kitab Walimah, Mengurus dan
Bergaul Dengan wanita,” “Bab Mempergauli Istri Dengan Baik dan Hak-hak Suami
Istri. Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah.
[139] A. Abdurrahman A, Fadhilah Wanita., hlm. 64.
[140] Ibid.
[141] A. Abdurrahman A, Lelaki S}alih , hlm. 77.
[142] Musa A. Olgar, Mendidik Anak Secara Islami(Yogyakarta :
Ash-Shaff, 2002), hlm. 3 – 4. Juga Abdurrahman A, Fadhilah Wanita,
hlm. 72–73 dan Petunjuk Sunnah, hlm. 80.
[143] A. Abdurrahman A, Lelaki Shalih 2, hlm. 80 – 81.
[144] A. Abdurrahman, Petunjuk Sunnah, hlm. 78. juga dalam Lelaki
Salih 2, hlm. 57 – 69.
[145] A. Abdurrahman, Fadhilah Wanita, hlm. 62 – 63.
[147] Al- Ankabūt (29): 8.
[148] An-Nisā’ (4): 36. Ayat lain
yang menjelaskan tentang perintah berbuat baik kepada kedua orang tua selain
pada kedua ayat tersebut juga disebutkan pada surat Luqman (31): 14, dan pada surat Al- Ahqāf (46): 15,
juga pada surat
Al- Isrā’ (17): 23.
[150] A. Abdurrahman, Lelaki S}alih
2, hlm. 64.
[151] Al- Isrā’ (17): 23.
[153] Ibid.
[154] Ibid.
[157] Bunyi hadisnya: عن ابن هريرة ر.ع. عن النّبي ص.م. قال تنكح المرأة
لأربع لمالها ولحسبها ولجمالها ولدينها فظفر بذات الدّين تربت يداك.
[158] Bunyi hadisnya
وروى أحمد عن أنس بن مالك بلفظ أنّ
النّبيّ كان يأمر بالباءة وينهى عن التّبتّل نهيا شديدا. ويقول: تزوّجوالودود
الولود فإنّى مكاثر بكم الأمم يوم القيامة.
[159] A. Abdurrahman A, Petunjuk Sunnah, hlm. 114.
[160] Wanita yang sudah pernah menikah biasanya sifat pemalunya sudah
agak berkurang ketika berhadapan dengan lelaki lain. Hal ini dianggap wajar
karena wanita yang sudah pernah menikah lebih berpengalaman di dalam hidupnya
(dalam hal ini berkenaan dengan kebiasaan berinteraksi).
[161] Lihat A. Abdurrahman A, Petunjuk Sunnah, hlm. 114.
bandingkan dengan A. Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 22. JT
dan Hukum Islam berpendapat bahwa laki-laki yang akan meminang seorang
perempuan hanya dibolehkan melihat wajah dan telapak tangannya. Alasannya,
dengan melihat muka orang sudah dapat mengetahui cantik atau tidaknya, dan dari
telapak tangannya dapat diketahui subur atau tidak badannya. Berarti
pendapatnya JT dan hukum Islam sejalan dengan pendapatnya jumhur fukaha. Selain
pendapat tersebut, Imam Dawud dan para ulama mazhab zahiri berpendapat bahwa
laki-laki yang akan meminang perempuan dibolehkan melihat seluruh badannya.
Pendapat ini didasarkan pada zahirnya hadis Jabir diriwayatkan oleh Ahmad dan
Abu Dawud yang berbunyi: وعن جابر قال: سمعت النّبيّ ص.م. يقول
"إذاخطب احدكم المرأة فقدر أن يرى منها بعض ما يدعوه الى نكاحها فاليفعل.
[162] Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 49.
[163] A. Abdurrahman A, Petunjuk Sunnah, hlm. 113.
[164] Jalal ad-Di>n
as-Suyu>ti>, al-Asybah Wa an-Naz}oir Fi>\ al-Furu>’I (Jakarta : Da>r-al
Fikr, tt), hlm. 63.
[165] A. Abdurrahman A, Petunjuk Sunnah, hlm.
113.
[166] As-San’āni, Subul al-Salām, “Kitab al-Nikāh” (Beirut : Dar al-Fikr, tt),
III: 113. Hadiş riwayat Bukhāri dari Ibnu Umar.
[167] Drs. H. Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan, hlm. 50.
[168] Lihat A. Abdurrahman A, Fadhilah Wanita, hlm. 37. Bandingkan
dengan Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan, hlm. 13.
[169] A. Abdurrahman A, Petunjuk Sunnah, hlm. 117.
[170] Ibid.
[171] Rukun dan syarat perkawinan seringkali tersamarkan artinya. Antara
keduanya jelas berbeda makna dan maksud. Kalau rukun berarti sesuatu yang harus
ada dan menjadi bagian dari perbuatan tersebut, sedangkan syarat adalah sesuatu
yang harus ada dalam sebuah perbuatan namun berada di luar perbuatan itu.
[172] Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan, hlm. 82. lihat juga A. Azhar
Basyir, Hukum Perkawinan, hlm. 25.
[173] Rahmad Hakim, Hukum Perkawinan, hlm. 71.
[174] A. Abdurrahman A, Petunjuk Sunnah, hlm. 116.
[175] Ibid., hlm. 83 – 87.
[177] A. Azhar Basyir, Hukum Perkawinan, hlm. 61.
[178] Khoiruddin Nasution, Fazlurrahman Tentang Wanita (Yogyakarta : Tazzafa dan Academia, 2002), hlm. 2.
[179] Khoiruddin Nasution, Fazlur Rahman Tentang, hlm. 31
[180] Wan Muhammad, Al-Hijab, hlm. 61.
[181] Ibid., hlm. 63.
[182] Perempuan dan laki diciptakan oleh Allah SWT secara kodrati memang
sudah berbeda. Kalau laki-laki menurut kodratnya secara lahir mempunyai fisik
yang perkasa, kuat, keras, daya tahan yang hebat, agresif, dan dari segi
morilnya kelebihan laki-laki adalah keras pendirian, tabah, ulet, dan tidak
putus asa, maka kebanyakan perempuan menjadi kebalikannya. Meskipun tidak
secara keseluruhannya wanita mempunya sifat lembut, lemah fisiknya, sensitif,
teliti, dan sabar.
[183] Azar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 61.
[184] Ibid.
[185] Wawancara dengan bapak Muhammad di masjid al-Ittiha>d jalan Kaliurang. Yogyakarta pada
bulan Agustus 2003.
[186] Khoiruddin Nasution, Fazlur Rahman Tentang, hlm. 50.
[189] Al-Nisā’ (4 ): 36.
[190] Wawancara dengan saudara Fauzi di Yogyakarta
pada bulan Mei 3003.
[191] Seperti yang telah kita ketahui bahwa ayat yang pertama kali turun
adalah ayat al-‘Alaq yang berisi tentang perintah untuk membaca yang itu
berarti perintah untuk belajar.
[193] Hadis} yang dimaksud
adalah hadis} yang
diriwayatkan oleh T}abbra>ni>,
yaituطلب العلم .فريضة على كلّ
مسلم و مسلمة
[194] Terutama pada masyarakat dengan budaya patriarkhi di mana dominasi
laki-laki teramat kental dalam semua lini kehidupan bermasyarakat. Akibatnya
seorang perempuan seringkali mengalami perlakuan yang diskriminatif dari kaum
laki-laki. Dalam lapangan rumah tangga, bentuk yang paling lazim dari
diskriminasi terhadap perempuan adalah berupa
tindak kekerasan suami terhadap istri baik dalam bentuk kekerasan fisik,
mental dan seksual. Dalam rangka menciptakan keluarga sakinah, maka yang perlu
dilakukan adalah mencoba untuk merekontruksi budaya patriarkhi menuju
masyarakat egaliter yang menghargai kesetaraan gender (gender equality).
[195] Khoiruddin Nasution, Fazlur Rahman Tentang, hlm. 2.
[196] A. Abdurrahman Ahmad, Fadhilah Wanita, hlm. 107.
[197] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 62.
[198] Beberapa fakta terjadi di daerah penyusun sendiri dan sekitarnya.
Biasanya keluarga “korban” saling mengeluhkan kejadian yang dialami keluarganya
kepada orang-orang yang dipercayainya. Menurut mereka, tidak hanya menghabiskan
penghasilannya, bahkan sampai menjual barang-barang berharga lainnya yang
dimilikinya seperti sawah, kebun, bahkan rumah.
[199] Fuad Kauma & Nipan, Membimbing Istri Mendampingi Suami,
hlm. 85-86.
[200] Ibid., hlm. 86.
[201] Ali Mubarak, Muhtasar Nailul Autar (Kairo: al-Mu’allaqāt as-Salafiyyah,
1374 H), edisi Muammal Hamidi dkk, Terjemahan Nailul Autar (Surabaya: PT
bina Ilmu, 1993), V: 2462, hadis nomor 3867, “Kitab Nafaqah,” ”Bab Nafkah Istri
Wajib Didahulukan Daripada Kerabat-kerabat Yang Lain”.
[203]عن
أنس ر.ع. إذا أرادالله بأهل بيت فقّههم فىالدّين ووقّر صغيرهم كبيرهم ورزقهم
الرّزق فى معيشتهم والقصد فى نفقاتهم وبصّرهم عيوبهم فيتوامنها وإذا أرادبهم غير
ذالك تركهم هملا.
0 komentar:
Post a Comment