INKULTURASI
MUSIK LITURGI DI INDONESIA
PASCA
KONSILI VATIKAN II
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana
Theologi Islam dalam
Ilmu
Ushuluddin
Oleh :
RIKALUFI
WAHYU WARDHANI
96522172
JURUSAN
PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SUNAN
KALIJAGA
2003
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Inkulturasi
Musik Liturgi di Indonesia Pasca Konsili Vatikan II”. Inkulturasi musik
liturgi di Indonesia
merupakan suatu kreasi baru dalam mengembangkan musik liturgi dengan
mengembangkan kebudayaan dan adat setempat sebagai pengaruh dari dokumen
Konsili Vatikan II.
Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengungkap pengaruh dokumen Konsili Vatikan II
terhadap perkembangan musik liturgi di Indonesia, memahami secara mendalam
proses terjadinya inkulturasi musik liturgi
di Indonesia
serta mengetahui wujud dari musik liturgi di Indonesia . Untuk mencapai tujuan
tersebut peneliti menggunakan metode dokumentasi dengan memanfaatkan secara
maksimal, menelusuri bahan-bahan pustaka yang relevan dengan permasalahan yang
diteliti. Data diolah dan dianalisis
dengan teknik deskriptif-analitik yaitu metode yang digunakan terhadap suatu
data yang terkumpul kemudian disusun, dijelaskan dan selanjutnya dianalisis.
Untuk menganalisis data digunakan cara berfikir induktif, pembahasan yang
berdasarkan pemikiran yang bersifat khusus kemudian disimpulkan dalam kegiatan
yang umum.
Melalui metode
penelitian tersebut dapat diuraikan hasil penelitian ini, yaitu: Pertama, adanya
perbedaan landasan; sebelum Konsili Vatikan II inkulturasi dilakukan
berdasarkan izin dari keuskupan Roma, dan setelah Konsili Vatikan II usaha
inkulturasi musik liturgi diusahakan dengan berpedoman pada dokumen konsili
Vatikan II. Kedua, yang menjadi kendala dalam proses inkulturasi musik
liturgi di Indonesia
adalah keanekaragaman suku budaya yang berbeda. Ketiga, jika sebelumnya
dalam musik liturgi hanya dikenal musik Gregorian dan Polifoni suci, namun
setelah konsili Vatikan II berkembang kreasi baru dalam musik liturgi.
Sebagaimana yang terdapat dalam buku nyanyian Madah Bakti.
Bagi
umat muslim, manfaat dari penelitian ini
adalah memperluas wacana dan pengetahuan tentang musik liturgi untuk dijadikan
bahan bagi usaha pengembangan khazanah musik Islami, seperti bagaimana
dibentuknya suatu badan khusus yang menangani
pengembangan musik tersebut.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Gereja
Kristen dimulai sebagai suatu sekte Yahudi.[1] Tarian
dan nyanyian pujian seperti Mazmur-mazmur merupakan salah satu bagian dari
ibadat Yahudi yang dikenal semua orang yang terbiasa mengunjungi Bait Allah di
Yerussalem pada abad pertama saat sekte Kristen mulai berkembang.[2]
Musik
gereja mengalami sejarah perkembangan yang panjang. Sampai dengan abad
kesepuluh musik gereja sama dengan musik Gregorian,[3]
yang diteruskan secara lisan dan improvisasi. Karena belum ada notasi musik,
maka lagu Gregorian berkembang tidak sama pada daerah yang berbeda.
Musik dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu dijaga keseragamannya, tetapi
sebagai unsur fungsional yang disesuaikan dengan keperluan umat yang hadir
dalam ibadat.
Dengan
berkembangnya musik polifon sejak abad ke-11, terciptalah aneka bentuk
musik baru yang khusus untuk paduan suara, sehingga disamping musik liturgi,
lahir lagu selingan yang dapat dipakai dalam liturgi. Musik profan yang bermutu dipisahkan dari musik keagamaan baru sejak abad ke-17.
Pius X[4] dalam Motu
Proprio-nya Tra Le Sollectudine tahun 1903 membedakan antara Musik
Gereja dan Musik Sacra. Yang terakhir disamakan dengan musik Gregorian
sebagai gaya ideal dan suci. Menurut pola inilah segala musik dalam gereja
hendaknya diperbaharui.
Tidak
ada musik yang dapat disebut musik ibadat Kristiani. Lagu Gregorian adalah warisan lagu kebudayaan Yunani, himne-himne
St. Ambrosius adalah pengolahan lagu profan abad ke-4 dari Eropa Tenggara.
Begitu pula lagu gereja Abad Pertengahan merupakan pengolahan kebudayaan (=
lagu bermutu) dari abad ke-14 sampai dengan abad ke-18. Jadi yang selama ini
dianggap sebagai khas gerejani seperti khidmad, tenang, suci sebenarnya adalah
soal sikap orang yang beribadat, bukan soal jenis/bentuk/sifat musik. Namun sikap
orang Kristen lain-lain menurut zaman dan tempat, maka musik liturgi juga
berbeda-beda menurut zaman dan tempat.[5]
Dalam
lingkup gereja Katolik, ibadat hampir sama dengan liturgi, yang sering disebut
ibadat resmi gereja. Istilah ibadat gereja menitikberatkan pada aspek kultus
lahiriah dari liturgi, yakni upacara dan ulah kebaktian lainnya, yang dilakukan
oleh umat Allah sebagai Tubuh Mistik Yesus Kristus yang disusun secara hirarkis
yakni secara resmi dan di hadapan umum umat yang meluhurkan Tuhan, bersyukur
serta menyatakan bakti kepada-Nya.[6]
Dalam
hidup sehari-hari orang Kristen tidak tampil sebagai anggota gereja namun, bila
mereka berkumpul atas nama Kristus artinya sebagai umat Kristen mereka
membentuk dan bertindak sebagai gereja, sebagai anggota Tubuh Kristus. Segala
kegiatan profan (duniawi) seluruh kehidupan sehari-hari dibawa ke
hadapan Tuhan, dimurnikan dan diperteguh dalam ibadat. Maka ibadat, khususnya
ekaristi merupakan ungkapan iman yang paling jelas menjadi dasar dan puncak
semua kegiatan Allah (bdk G 11 dan 26). Dalam arti luas, ibadat mencakup aneka
ragam bentuk kebaktian bersama, misalnya ibadat sabda, ibadat tujuh sabda Yesus
di Salib, pujian dan sebagainya. Sehingga dapat dikatakan bahwa ibadat
merupakan suatu kesatuan, semua unsur yang berupa musik maupun bukan musik
dikaitkan yang satu dengan yang lain. Maka musik ibadat Kristiani tidak dapat
dipisahkan dari tempat orang berkumpul, dari gereja pembangunan (arsitektur),
dari seni rupa, bahasa, gerak-gerik, musik dan tari.
Dalam
Konsili Vatikan II (1963-1965), arti Musik Gereja direlativasi dengan berkata
Musik Gereja kiranya makin suci makin erat hubungannya dengan upacara ibadat.
Berkat musik, ungkapan doa dijadikan lebih mendalam, rasa sehati umat semakin
dipupuk, dan upacara-upacara suci diperkaya dengan rasa khidmat yang lebih
besar.[7]
Musik
Gereja dapat dibedakan menjadi dua jenis:
1. Musik Liturgi atau Musik Ibadat
Liturgi
adalah puncak dan sumber hidup Kristiani.[8] Sedang
musik liturgi merupakan suatu bagian fungsional dalam liturgi (L 112), karena
bagian-bagian ibadat tertentu seyogyanya dilakukan dengan bernyanyi. Musik
liturgi terutama mencakup nyanyian umat supaya berperan aktif dalam ibadat.
Tujuan yang luhur menuntut suatu sikap yang khusus waktu bernyanyi dan
bermusik. Bukan naskah yang membuat musik menjadi sakral, tetapi hati manusia
yang diungkapkan dalam musik.
2. Nyanyian Rohani
Nyanyian
rohani berhubungan dengan agama Kristen, namun diciptakan untuk
keperluan-keperluan keagamaan selain ibadat, misalnya sebagai lagu hiburan rohani
atau lagu yang enak dinyanyikan dalam pertemuan atau bisa juga sebagai lagu
pelajaran dalam sekolah Minggu.
Meskipun
batasannya tidak begitu jelas, antara musik liturgi dan nyanyian rohani
memiliki tujuan yang berbeda. Maka sebaiknya dihindari pemakaian istilah Musik
Gereja dan dipakai Musik Liturgi dan Nyanyian Rohani. Bentuk musik vokal serta
instrumental yang merupakan bagian dalam liturgi Kristiani itulah yang disebut
musik liturgi Kristiani atau musik ibadat Kristiani.
Musik
suci di dalam segi-seginya yang menyangkut pembaharuan liturgi, telah
dipertimbangkan dengan seksama oleh Konsili Ekumenis Vatikan kedua. Konsili
telah menjelaskan peranan musik di dalam upacara-upacara Ilahi, telah
mengeluarkan prinsip-prinsip dan undang-undang mengenai hal ini di dalam
Konstitusi tentang liturgi dan bahkan telah menyediakan satu bab khusus dari
konstitusi itu untuk membahas persoalan musik.[9]
Di
dalam liturgi, umat beriman menduduki peranan utama. Oleh sebab itu musik
liturgi hendaknya mengabdi pada kepentingan umat dan senantiasa mendorong
partisipasi umat secara aktif dalam perayaan liturgi. Hal ini tidak berarti
bahwa musik liturgi semakin miskin sehubungan dengan sifat massal dari umat,
sebaliknya harus semakin bermutu dan berkesan. Oleh karena itu potensi di
kalangan umat perlu dilibatkan, dan inisiatif yang sudah ada perlu
diperhatikan.[10]
Musik
Liturgi Gereja pada setiap tempat yang berbeda mengalami inkulturasi dengan
kebudayaan setempat. Sejak Konsili Vatikan II, dengan lantang dalam gereja
Katolik bergema anjuran-anjuran agar gereja membuka diri dan menerima
unsur-unsur kebudayaan setempat sejauh unsur-unsur kebudayaan itu tidak secara
prinsipiil bertolak belakang dengan ajaran agama Katolik.[11]
Keyakinan bahwa ada hubungan dekat antara agama dan kebudayaan telah mewajibkan
gereja Katolik untuk setia mendengarkan bisikan kebudayaan. Kewajiban lainnya
yang lebih luas adalah untuk merefleksikan dan merenungkan proses terbentuknya
interaksi budaya manusia. Kewajiban tersebut merupakan tahap pertama dari
proses inkulturasi. Proses inkulturasi ini dapat dilihat sebagai perjalanan
dari kebudayaan yang satu menuju kebudayaan lainnya. Agama dan juga
Kristianitas akhirnya adalah bagian dari kebudayaan manusia.[12] Tujuan
inkulturasi liturgi adalah pengungkapan atau perayaan liturgi gereja dalam tata
cara dan suasana yang serba selaras dengan cita rasa budaya umat yang
beribadat. Dengan kata yang lebih sederhana, tujuan inkulturasi ialah agar umat
yang mengikuti ibadat terpesona oleh lagu, doa, lambang atau hiasan, dan upacara,
karena semua bagus menurut penilaian yang dipakai dalam hidup kebudayaan
sehari-hari.
Dasar
dari inkulturasi adalah adanya kepercayaan bahwa kebudayaan pun secara tidak
langsung (lewat manusia) diciptakan oleh Tuhan, maka ia baik adanya. Dan
kesadaran bahwa kebudayaan tidak sempurna karena ada juga kemungkinan manusia
tersesat, (misalnya: Allah dipandang sebagai dewa yang tinggal dalam pohon,
dalam rumah adat, yang menuntut sesaji, yang marah kalau suatu ketetapan-Nya
tidak dipenuhi). Maka inkulturasi hanya mungkin melalui proses tobat (ada unsur
kebudayaan yang harus ditinggalkan agar dapat berjumpa dengan Tuhan).[13]
Dirasakan
dengan kecenderungan musik masyarakat masa kini yang makin sekularistis
dianggap perlu petunjuk-petunjuk yang
telah digariskan dalam inkulturasi musik di dalam liturgi untuk membina musik
liturgi yang berbobot. Dengan menyadari bahwa musik liturgi merupakan bagian
fungsional dalam liturgi, maka gereja menganggap perlu diadakannya lembaga yang
menangani masalah musik liturgi baik yang berskala internasional, nasional,
maupun skala yang lebih kecil lagi.
Universa
Laus adalah sebuah lembaga internasional untuk musik gereja. Didirikan pada
tahun 1966 di Eropa atas inisiatif dari tokoh Gereja Katolik bersama Gereja
Kristen lainnya untuk mempelajari dan membahas masalah musik dalam liturgi.
Titik pangkal usaha ini terletak pada pembaharuan liturgi dari Konsili Vatikan
II. Maka masalah historis, teologis, pastoral, serta teknis tentang musik dalam
ibadat merupakan pokok dalam rapat kerja serta kongres yang diadakan oleh
Universa Laus hampir setiap tahun. Tahun 1980 hasil kerja dari tahun-tahun yang
lalu dirumuskan bersama dalam karya tulis sebagai pegangan untuk langkah
berikutnya. Meskipun terdapat perbedaan di antara negara-negara dalam tradisi
musik gereja dan kebudayaan musik, namun dirasa hakekat musik gereja itu sama.[14]
Indonesia
mempunyai tradisi musik sendiri yang besar artinya dalam kehidupan beragama dan
bermasyarakat. Maka sewajarnya musik liturgi Indonesia ditumbuhkembangkan
melalui proses inkulturasi sehingga umat dibantu menemukan identitasnya sebagai
umat yang beriman Indonesia dengan latar belakang budayanya yang khas. (bdk KL
119).[15] Agar
kebudayaan dapat menjadi sumber inkulturasi musik liturgi maka musik
tradisional harus hidup. Bagi musik tradisional yang hampir mati harus
dihidupkan kembali sebagai musik adat profan sebagai tradisi yang khas yang
merupakan lantai untuk perkembangan selanjutnya (inkulturasi).
Meskipun
gereja bersifat universal, namun de facto uskup setempat bersama
umatnyalah yang menghadirkan gereja secara nyata. Oleh karena itu bapak uskup
bersama komisi liturginya bertanggung jawab atas kehidupan dan perkembangan
musik liturgi di dalam wilayah keuskupan yang bersangkutan. Dalam hal ini
kerjasama dengan keuskupan lain secara langsung maupun di bawah koordinasi
Seksi Musik Komisi Liturgi KWI sangat dianjurkan. Begitu pula kerjasama dengan
sanggar atau Pusat Musik Liturgi dalam keuskupan sendiri atau keuskupan
lainnya.
B. Rumusan Masalah
Dengan
melihat latar belakang masalah yang penulis uraikan di atas, maka di dalam
penulisan skripsi ini dapat dirumuskan beberapa masalah yaitu:
1.
Bagaimana
pengaruh Konsili Vatikan II (Konstitusi Sacrosanctum Concilium) terhadap
perkembangan Musik Liturgi di Indonesia ?
2.
Bagaimana
proses terjadinya inkulturasi Musik Liturgi di Indonesia ?
3.
Bagaimana wujud inkulturasi Musik Liturgi di
Indonesia ?
C. Tujuan Penelitian
Di
dalam penulisan skripsi ini ada beberapa tujuan yang ingin penulis capai,
disesuaikan dengan latar belakang serta rumusan masalah yang sudah ada. Adapun
tujuan tersebut diantaranya adalah:
1.
Untuk
mengungkap pengaruh Konsili Vatikan II terhadap perkembangan Musik Liturgi di
Indonesia.
2.
Untuk
lebih memahami secara mendalam proses terjadinya inkulturasi musik liturgi di
Indonesia.
3.
Untuk
mengetahui wujud dari inkulturasi Musik Liturgi
di Indonesia.
4.
Secara
khusus tujuan penelitian ini bagi umat Islam adalah memperluas wacana dan
pengetahuan tentang musik liturgi untuk
dijadikan bahan bagi usaha pengembangan khazanah musik Islami, seperti
dibentuknya suatu badan khusus yang menangani pengembangan musik tersebut.
D. Tinjauan Pustaka
Sebelum
mengkaji pustaka-pustaka yang penulis pergunakan dalam penelitian, perlu
penulis ungkapkan bahwa penelitian ini merupakan pengembangan dari berbagai
penelitian dan penulisan tentang musik liturgi gereja sebagai bagian yang
fungsional. Penulis berusaha mengungkapkan keadaan musik liturgi di Indonesia
setelah Konsili Vatikan II yang mengalami inkulturasi kebudayaan dengan
keanekaragamannya. Secara tidak langsung penulis juga mengungkapkan perbedaan
musik liturgi sebelum dan sesudah Konsili Vatikan II khususnya di Indonesia.
Sebagai
kajian pustaka bisa diungkapkan di sini, diantaranya: buku berjudul Kedudukan
Nyanyian dalam Liturgi oleh Karl-Edmund Prier SJ terbitan PML Yogyakarta,
tahun 1987. Dalam buku ini Prier membahas struktur dari suatu ibadat, setiap
bagian dari acara dalam suatu upacara ibadat mempunyai maksud tersendiri
sehingga diperlukan nyanyian yang cocok. Misalnya, nyanyian yang cocok untuk
pembukaan adalah nyanyian berbait.
Kemudian
Directorium Tentang Pengembangan Musik Liturgi di Indonesia, buku
terbitan Seksi Musik Komisi Liturgi KWI, Yogyakarta, 1989 ini membahas usaha
pengembangan musik liturgi yang melibatkan Komisi-komisi Musik Liturgi. Instruksi
Tentang Musik di dalam Liturgi terbitan Arnoldus, Ende, 1967 membicarakan
keputusan konsili yang menyangkut pembaharuan dalam musik suci serta
norma-norma pokok bagi pelaksanaan konstitusi tentang musik liturgi. Instruksi
ini disusun oleh Gabriel Manek SVD. Karl-Edmund Prier SJ dalam buku yang
diterbitkan PML Yogyakarta tahun 1986, Inkulturasi Nyanyian Liturgi
berbicara masalah inkulturasi dan Indonesianisasi musik liturgi. Kemudian dalam
Pedoman Untuk Nyanyian dan Musik dalam Ibadat Dokumen Universa Laus
(Komentar dan Terjemahan) Terbitan PML Yogyakarta, tahun 1987, Prier
mencoba untuk mengomentari dan menterjemahkan. Buku ini berisi pedoman untuk
langkah berikutnya, bahwa pada hakekatnya musik gereja adalah sama meskipun
terdapat perbedaan dalam tradisi musik gereja dan kebudayaan musik.
Kemudian
buku Laporan/Rumusan Hasil Musyawarah Liturgi dan Musik Liturgi Keuskupan
Agung Jakarta, buku ini khusus membahas inkulturasi musik liturgi di
Keuskupan Agung Jakarta, diterbitkan di Jakarta, oleh Panitia Liturgi KAJ tahun
1983. Yang terakhir buku Inkulturasi Agama Katolik Dalam Kebudayaan Jawa
oleh JB. Hari Kustanto SJ. Buku ini membahas mengenai kebudayaan Jawa yang
mampu mempertahankan kepribadiannya serta usaha masuknya agama besar yakni
Katolik melalui pintu masuk kebudayaan.
Selain dari pustaka-pustaka di atas berikut
judul skripsi yang perlu penulis sebutkan berkenaan dengan masalah tersebut,
diantaranya: M. Khanan Muchtar dalam skripsinya Konsepsi Katolik dan
Protestan Tentang Liturgi. Ia berusaha membandingkan antara konsep liturgi
dalam Katolik dan Protestan. Kemudian Inkulturasi Gereja Katolik Terhadap
Aspek Mistik Jawa oleh Siti Romlah. Liturgi dalam Gereja Pantekosta oleh
Siti Muslihah. Evayani Fadhillah dalam skripsinya Liturgi dalam Konsili
Vatikan II. Dan yang terakhir Royani Wibowo dalam skripsi yang berjudul Iringan
Karawitan dalam Gereja (Studi Terhadap Inkulturasi dalam Liturgi), skripsi
ini membahas mengenai pengertian karawitan, komponen-komponennya serta
karawitan di lingkungan gereja.
E. Metode Penelitian
Dalam setiap penelitian pasti tidak lepas dari metode. Metode mutlak adanya
karena merupakan upaya agar penelitian dapat terlaksana dengan baik sehingga
mendapat hasil yang memuaskan. Di dalam skripsi ini, metode yang digunakan
adalah:
1.
Metode
Pengumpulan Data. Di dalam mengumpulkan data ini penulis menggunakan metode dokumentasi.
Metode dokumentasi merupakan metode pengumpulan data dengan menggunakan
sumber-sumber data yang berupa dokumen, dalam hal ini adalah penelusuran atas pustaka-pustaka yang relevan
dengan tema merupakan jalan yang wajib ditempuh guna tercakupnya data-data yang
komprehensif. Hal ini disesuaikan dengan sifat penelitian skripsi ini yang bisa
digolongkan ke dalam jenis penelitian historis.
2.
Pendekatan.
Di dalam skripsi ini, pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan historis.
Pendekatan historis merupakan usaha untuk menelusuri asal-usul dan pertumbuhan
ide-ide agama melalui periode-periode tertentu dari perkembangan sejarah dan
juga merupakan usaha untuk memperkirakan peranan kekuatan-kekuatan yang sangat
mempengaruhi agama.[16] Dalam
hal ini usaha menelusuri sejarah dan perkembangan musik liturgi di Indonesia
dengan berbagai pengaruh dari keanekaragaman budaya setempat sehingga tercipta
inkulturasi.
3.
Metode
Analisis Data. Data diolah dan dianalisis dengan teknik deskriptif-analitik
yaitu metode yang digunakan terhadap sesuatu data yang terkumpul kemudian
disusun, dijelaskan dan selanjutnya dianalisis.[17] Sesuai
dengan penelitian ini untuk menganalisis data yang diperoleh dari hasil
penelitian penulis menggunakan cara berfikir induktif, yaitu pembahasan yang
berdasarkan pada pemikiran yang bersifat khusus untuk kemudian disimpulkan
dalam kegiatan yang umum.[18]
F. Sistematika Pembahasan
Di dalam skripsi ini penulis merencanakan membuat
sistematika pembahasan sebagai berikut:
Bab pertama berupa Pendahuluan yang meliputi: Latar
Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metode
Penelitian, dan Sistematika Pembahasan.
Bab kedua membahas Seputar Perjalanan Musik Gereja yang
meliputi: Sejarah dan Perkembangan Musik Liturgi Gereja Sebelum Masa
Pembaharuan, Tugas Musik dan Nyanyian Liturgi Sebelum Konsili Vatikan II, serta
Periodisasi Pembaharuan Musik Liturgi dalam Gereja Katolik.
Bab ketiga adalah mengenai Inkulturasi Musik Liturgi yang
meliputi: Pengertian Inkulturasi, Inkulturasi Bagi Gereja Katolik, dan
Kebutuhan Atas Kontekstualisasi Musik Liturgi, serta Musik Liturgi Sebagai
Bahasa dan Wahana Bagi Injil dan Budaya Bertemu.
Bab keempat mengenai Musik Liturgi di Indonesia terdiri
dari: Sejarah dan Perkembangan Musik Liturgi di Indonesia Sebelum Konsili
Vatikan II, Musik Liturgi di Indonesia Setelah Konsili Vatikan II dan Wujud
Inkulturasi Musik Liturgi di Indonesia.
Bab kelima adalah Penutup berisi Kesimpulan dan
Saran-saran.
BAB II
SEPUTAR PERJALANAN MUSIK LITURGI
A.
Sejarah dan Perkembangan Musik Liturgi Gereja Sebelum Masa Pembaharuan
Sebagaimana
telah penulis gambarkan sebelumnya, musik liturgi mengalami sejarah
perkembangan yang panjang. Berikut ini merupakan uraian singkat mengenai
sejarah musik liturgi sejak zaman kekristenan purba hingga menjelang masa
pembaharuan.
1. Musik Gereja Perdana
Musik merupakan bagian terpenting dalam kehidupan sosial
sekuler orang Ibrani. Mereka tidak membedakan antara kehidupan yang rohani dan
sekuler. Kehidupan musik mereka tumbuh
dari jiwa orang-orang yang kehidupan sehari-harinya diatur oleh agama mereka.
Menurut koleksi tulisan Yahudi yang ditulis setelah penulisan kitab Injil, Raja
Salomo menikah dengan wanita Mesir dengan mas kawin berupa 1000 peralatan
musik.[19] Latar
belakang agama Kristen dalam hubungannya dengan sumber utama yaitu agama Yahudi
menjadi awal untuk membicarakan sumber-sumber liturgi (tata ibadat) Kristen dan
musik gerejawi.
“Sesudah menyanyikan nyanyian pujian, pergilah Yesus dan
para murid-murid-Nya ke bukit Zaitun.” Begitulah berita Injil Matius 26:30 dan
Markus 14:26 tentang perjamuan terakhir yang diadakan Yesus dan
murid-murid-Nya. Perjamuan ini pada dasarnya berbentuk perjamuan Paskah Yahudi
sehingga berakhir dengan nyanyian Hallel yakni Mazmur-Mazmur 114 sampai 118.
Inilah awal dari musik ibadat Kristen yang dilanjutkan dalam ibadat gereja
Perdana.[20]
Dalam mitos Yunani Kuno musik dianggap sebagai ciptaan
dewa-dewi atau setengah dewa. Ada anggapan bahwa musik memiliki kekuasaan ajaib
yang dapat menyempurnakan tubuh dan jiwa manusia, serta membuat mu’jizat dalam
dunia alamiah. Seperti halnya dalam tradisi Ibrani, dalam tradisi Yunani Kuno
musik pun tidak dapat dipisahkan dari upacara-upacara keagamaan, misalnya alat
musik Iyra terkait dengan aliran Apollo, Aulos berkaitan dengan
alat musik Dionysus.[21]
Dalam musik Ibrani, syair dan lagu dikatakan lebih penting dari musiknya
dan lagunya lebih ditekankan untuk mengikuti alunan yang wajar dari syair dan
aksen diantara kata-kata itu. Generasi Kristen mula-mula menggunakan lagu-lagu
Yahudi lama untuk penyembahan mereka.
Artinya, musik gereja Perdana berasal dari bentuk
nyanyian ibadat sebagaimana dilakukan dalam sinagoge Yahudi. Karena belum ada
notasi musik pada zaman itu, nyanyian ini berkembang lewat improvisasi seorang
solis. Pada waktu menjelang akhir Perjanjian Lama, memasuki zaman Kristus,
bangsa Yahudi membiarkan penyembahan berkembang secara leluasa. Dalam masa
Perjanjian Baru, para rasul Yesus meneruskan kebiasaan sebagai orang Yahudi
dengan mengikuti ibadat di Bait Suci di Yerussalem/Sinagoge. Kitab Mazmur
Perjanjian Lama yang selalu dinyanyikan dalam ibadat Yahudi dan lagu-lagu baru
yang memuji Yesus dalam bentuk seperti mazmur menjadi dasar liturgi yang
dinyanyikan dalam ibadat Kristen awal. Musik gereja Perdana melanjutkan tradisi
nyanyian ibadat Yahudi maupun tradisi musik dari Palestina dan sekitarnya.
2. Masa Musik Gereja Mencari Identitasnya
Sampai Periode Perkembangan Pada Abad X
Mulai abad I gereja tersebar sampai kawasan Eropa
selatan. Di Roma berkembang warisan gereja Perdana. Sejak abad IV selain solis
terdapat pula schola.[22]
Sehingga terbuka jalan bagi lagu yang lebih kaya akan seni. Di Milano, Italia
Utara berkembang bentuk nyanyian baru yang dipelopori oleh St. Ambrosius
(333-397). Dalam perang melawan bangsa Arian (386), ia sering terkurung dalam
gereja bersama umatnya. Kemudian ia melatih mereka nyanyian yang mudah
dinyanyikan bersama-sama. Yang pertama, himne atau madah yakni
nyanyian berbait dengan syair baru bukan dari kitab suci. Yang kedua adalah
nyanyian antiphon, refren yang diulang diantara ayat-ayat Mazmur.[23]
Gaya musik himne berasal dari Syria yang dibawa ke Eropa
Barat pada abad IV, kemudian dikembangkan oleh St. Ambrosius sesuai kebudayaan
dan kebutuhan setempat. Suatu bentuk penyesuaian yang saat ini dikenal dengan
istilah inkulturasi. Perkembangan pokok terjadi di Roma. Sejak abad IV perayaan
ibadat dirayakan secara resmi dalam gereja basilika, tidak lagi tersembunyi
dalam katakombe. Sampai abad VI nyanyian ibadat berkembang subur, Paus
Gregorius Agung (590-604) merasa perlu mengaturnya, kemudian lahirlah nyanyian Gregorian.
Nyanyian ini terus berkembang, sebagai tradisi dan tulang punggung musik gereja
abad pertengahan. Di Eropa Utara nada-nada melisma yang panjang diisi
dengan syair baru, tropus dan sekuensi.[24]
Sampai abad X musik berkembang sebagai tradisi lisan
berupa musik jemaat, dinyanyikan dalam bahasa Latin dan dimengerti oleh semua
umat.
3. Musik Gereja Dalam Masa Abad
Pertengahan (1000-1400)
Sekitar tahun 1000 terjadi perubahan dalam musik gereja.
Di Eropa dikembangkan notasi musik, untuk keperluan didaktis. Nyanyian Gregorian
dipandang sebagai warisan yang mengikat, sehingga menjadi tantangan para
komponis untuk menciptakan musik Polifon yang bermutu tinggi. Maka
lahirlah musik gereja gaya baru, Organum. Pada abad XXII di Paris,
Prancis berkembang sekolah Notre Dame dengan seni ritmik yang tinggi,
kemudian dengan motetus dan conductus yang termasuk Ars
Antiqua. Pada abad ke-14 digunakan ars Nova sebagai notasi baru.[25]
Saat
itu, musik gereja menjadi musik klerikal,[26] jemaat
menjadi pasif karena penyanyi dan paduan suara hanya terdapat di seminari dan
biara. Hal ini membuat gereja berulangkali mengeluarkan peraturan tentang musik
ibadat, namun kenyataan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Maka sejak abad
XIII Imam harus mengucapkan semua teks liturgi, meskipun nyanyian tersebut
dibawakan oleh paduan suara.
Musik
gereja dipandang sebagai tambahan, hiasan, bukan bagian integral dari ibadat.
Sehingga terbuka jurang pemisah antara liturgi resmi dan musik gereja. Pada
tahun 1300 muncul istilah Musica Ecclesiastica bagi nyanyian Gregorian,
dan Musica Mensurata bagi nyanyian Polifon. Disimpulkan
perkembangan musik gereja menjadi seni Polifon adalah hasil perkembangan
gereja di Eropa Utara dan akibat konfrontasi kebudayaan musik Eropa Selatan (Gregorian)
yang monodis (satu suara, organum).
Gereja melalui proses inkulturasi memajukan kesenian,
namun di lain pihak pendewasaan musik gereja mendatangkan konflik dengan
pimpinan gereja: gereja semakin yuridis, menegaskan ritus dari pada iman dalam
perbuatan ibadat.
4. Musik Gereja Renesans (1400-1600)
Dibandingkan dengan musik Abad Pertengahan, musik
Renesans lebih manusiawi. Hal ini tampak dalam bunyi bulat vokal Renesans,
suara yang linear berkembang dalam Polifon menjadi harmonis. Para
komponis tidak lagi mengarang suara satu persatu namun konsep komposisi
keseluruhan. Melodinya disederhanakan dan diperindah dengan potongan-potongan
yang ditentukan nafas manusia. Ritmik Gotik yang rumit diganti dengan
irama hidup yang mengalir dan sederhana. Musik vokal diharuskan mengungkapkan
isi dan perasaan yang termuat dalam syair.
Selama
abad XV di Belgia mulai terbentuk pusat-pusat musik, tempat komponis ternama
berkarya atas permintaan pangeran maupun Uskup, di istana-istana dan gereja
Katedral tertentu terbentuk paduan suara, orkes, dan kegiatan kreatif yang
cukup subur. Umumnya para komponis tersebut tidak tinggal menetap, tetapi
berkeliling, sehingga di Eropa berkembang gaya musik baru, musik Renesans.
Musik ini dikuasai bentuk motet, suatu bentuk musik yang berpangkal dari
syair dan merenungkannya dalam ulangan-ulangan potongan secara Polifon.
Disamping musik gereja, berkembang seni musik Profan[27]
di Italia (Madrigal) dengan mutu yang tinggi.
Menjelang
Konsili Trente (1545-1563) terdapat dua aliran musik gereja: yang pertama,
ingin membendung dan melindungi tradisi musik gereja (yakni nyanyian Gregorian
dan musik Polifon klasik lama), dan yang kedua, ingin belajar
perkembangan musik baru seni Madrigal dengan mencari faedah untuk musik gereja.[28]
Dalam
Konsili Trente, pengolahan syair dalam komposisi motet dianggap terlalu
bebas termasuk kebiasaan solis memakai hiasan, tambahan dalam membawakan
lagu, sikap sembrono para organis yang memakai musik hiburan sebagai selingan.
Mengenai perbedaan kedua aliran, Konsili hanya menuntut agar syair dalam musik gereja dapat ditangkap
dan lagu Profan dihindari dalam ibadat. Nyanyian Gregorian agar
dipelihara secara intensif terutama di Seminari-Seminari. Namun pelaksanaan
keputusan diserahkan pada Uskup lokal.
Atas
dasar ini berkembang pusat-pusat musik gereja lokal, yang diwarnai oleh tradisi
lokal dan dicap oleh pakar musik tertentu. G. P. da Palestrina (Penyelamat
musik gereja Polifon) berhasil menciptakan gaya musik Polifon
yang sangat seimbang dengan mengembangkan teknik Polifon dari sekolah
Belanda dan mengembangkannya dengan bunyi indah khas Italia. Selain itu
terdapat pakar musik lain seperti: G. Allegri dengan Miserere, W. A.
Mozart, dan Orlando de Lasso yang menyumbangkan 60 misa dan 1200 motet
untuk musik gereja.
Sekitar
tahun 1600 terjadi perubahan yang cukup besar, musik monodi dengan basso
continuo dan dengan akor-akor menggantikan musik modal dan polifon.
Ini dikembangkan di Italia, Jerman dalam gereja Katolik maupun Protestan. Gaya
musik monodi dengan iringan basso continuo hanya bertahan
sementara sampai pertengahan abad XVII kemudian diganti dengan bentuk baru
seperti Orgelmesse, Versetti (lagu-lagu pendek untuk orgel untuk
menggantikan solis dalam membawakan ayat-ayat Magnificat dan Mazmur).
Selain itu muncul juga musik gereja yang murni instrumental seperti Sonata gereja,
Epistelsonate, elevation dan lain-lain.[29]
Musik gereja
Katolik pada hakikatnya bersifat tradisional, untuk ibadat masa Adven dan
Prapaskah, gereja melarang bunyi instrumen meriah sehingga digunakan musik khas
gerejawi seperti Gregorian dan Polifoni a capella gaya
Palestrina.
5. Gaya Barok (1600-1750)
Terutama pada abad XVII, dalam sistem absolutisme, gereja
mengalami perkembangan lahiriah dengan arsitektur yang mewah. Begitu pula
dengan perayaan liturgi dan musik
gereja. Hal ini dilatar belakangi, yang pertama karena gengsi untuk berprestasi
atau saingan antar istana, yang kedua karena situasi perang selama 40 tahun dan
rasa tidak aman dalam hidup sehari-hari mendorong masyarakat mencari pegangan
pada Tuhan. Maka tidak mengherankan perkembangan musik gereja menjadi meriah,
bahkan tidak jarang melampaui batas yang wajar.
Pimpinan gereja Katolik berusaha mengendalikan
perkembangan musik gereja dengan menegaskan bahwa syair liturgi tidak boleh
dikurangi atau dirubah, larangan dipergunakannya alat musik terutama flute dan
piano karena dicap sebagai musik teater, larangan jenis alat musik selama
prapaskah. Namun semua aturan ini bersifat regional. Amanat Sri Paus tentang
musik gereja selalu diarahkan kepada keuskupan Roma. Para pangeran Barok
memandang musik gereja dalam istana mereka sebagai urusan swasta, dan karena
hukum gereja dan hukum sipil dipisahkan, maka musik gereja diurus oleh instansi
duniawi.
6. Zaman Klasik Wina
Karya besar musik gereja pada abad XVIII dan musik klasik
Wina sebagian besar merupakan karya dari
Joseph Haydn, W. A. Mozart, dan L. Van Beethoven. Disamping melanjutkan tradisi
Barok dengan iringan orkes yang megah, dalam musik ini nampak cita-cita klasik
Wina untuk menciptakan musik yang bermutu setinggi mungkin, sehingga pegangan
teknis, formal, dan estetis dari musik profan klasik diambil alih dalam
musik gereja.
Musik gereja zaman klasik mencerminkan suatu optimisme
dan pandangan yang luas. Musik gereja Mozart tidak berbeda dengan musik profan
seperti opera ciptaan Mozart. Seperti halnya seniman klasik lainnya, Haydn dan
Mozart mengabdi pada Allah dengan hati gembira. Haydn berkata: “Karena Allah
memberikan kepadaku sesuatu hati yang gembira, maka kiranya Ia akan memaafkan
daku, bila aku mengabdi kepada-Nya dengan hati gembira”.[30]
Manusia abad XVIII merasa satu dengan dunia sekitarnya
berdasarkan humanisme sebagaimana diajarkan oleh para filosof pada abad XVIII
(Kant, Hegel, Schopenhauer, dan sebagainya). Pada zaman ini iman begitu terbuka
untuk dunia, sehingga mengangkat semua unsur yang dapat memperlihatkan sikap
terbuka ini ke dalam musik gereja.
7. Abad Romantik
Pada abad romantik sikap musik gereja mendapat kritikan
karena dinilai terlalu gembira dan terbuka. Pada awal abad XIX, E. TH. A.
Hoffman, seorang sastrawan Jerman menuntun musik liturgi gereja menjadi seni
musik suci gereja (musica sacra) yang bertujuan mengangkat hati manusia
langsung kepada Allah melalui akar-akar sederhana, murni, dengan bunyi yang
indah. Dalam musik gereja Katolik abad XIX terdapat tiga aliran:[31]
a. Aliran yang melanjutkan tradisi zaman
klasik Wina. Cita-cita klasik Wina dilanjutkan oleh sejumlah komponis seperti
C.M. Von Weber, Franz Schubert, Kaspar Ett, dan terutama A. Bruckner. Para
komponis bekerja secara mandiri, maka komposisi yang mereka ciptakan merupakan
cetusan iman pribadi atau berdasarkan pesanan. Bukan ibadat yang menentukan
komposisi mereka, tetapi komposisi menentukan karakter ibadat melalui gaya
komposisi, sehingga musik gereja dapat juga dipentaskan dalam gedung konser
sebagaimana missa Solemnes karya Beethoven.
b. Gerakan Cecilianisme. Cecilianisme
adalah suatu organisasi di dalam gereja Katolik Jerman, yang didirikan pada
tahun 1868 oleh seorang imam, F.X. Witt untuk mempersatukan kor-kor gereja
katolik. Witt mengambil alih cita-cita musica sacra dari E.T. Hoffmann.
Tujuan ini dimulai dengan penyegaran nyanyian Gregorian dan
memperbaharui musik Polifon gaya Palestrina. Namun para pakar
Cecilianisme dalam pembaharuan nyanyian Gregorian berpangkal pada Editio
Medicaea dari tahun 1614/1615, sedangkan para rahib dari Solemnes, Perancis
dengan menyelidiki naskah-naskah dari Abad Pertengahan. Maka terjadilah
persaingan yang kurang sehat di antara mereka, perselisihan ini diselesaikan
oleh Paus Leo XIII pada tahun 1901 dengan membenarkan versi Solemnes. K.G.
Fellerer menilai restaurasi, pengembalian ke bentuk historis menjadi ideal
untuk musik dalam ibadat, dan musik Gregorian dan Polifoni klasik
kuno dipandang sebagai musik gereja yang ideal.
c. Aliran Musik Devosional.[32] Dalam
masa Romantik timbul suatu devosi baru (subyektif dan sentimental). Namun
devosi ini tidak bermuara dalam liturgi sejati melainkan sering tersesat dalam
moral dan mistisme. Selain Cecilianisme dengan keterikatannya pada musik
Polifon a capella, individualisme telah mengakibatkan musik gereja
mengalami suatu stagnasi (kemacetan, tidak mendapat kemajuan) yang baru
teratasi pada abad XX, dimulai saat pembaharuan oleh Pius X. Sementara musik
trivial (murahan) dan sentimental berkembang biak dengan pesat, sedang musik
religius sejati diciptakan di luar gereja.
B.
Tugas
Musik dan Nyanyian Liturgi Sebelum Konsili Vatikan II
Tugas musik
dan nyanyian dalam liturgi sebelum dan sesudah Konsili Vatikan II, mengalami
perbedaan. Hal ini terjadi karena Konsili Vatikan II lebih memberikan posisi
yang istimewa bagi musik dan nyanyian liturgi dalam sebuah perayaan liturgi.
Dahulu,
sebelum Konsili Vatikan II, tugas musik dan nyanyian dalam liturgi adalah
sebagai latar belakang untuk perbuatan liturgi, sebagai iringan, selingan
misalnya pada waktu imam sibuk di panti imam, maka koor atau umat mengisi waktu
tersebut dengan nyanyian.[33] Setelah
Konsili Vatikan II, musik dan nyanyian dalam liturgi merupakan liturgi itu
sendiri, yakni bagian mutlak dan integral liturgi mulia. Sehingga dapat
dikatakan musik suci tidak lagi sebagai hiasan, dengan dipegangnya peranan atau
tugasnya dalam suatu perbuatan dan perayaan liturgis antara lain:[34]
1. Dalam pewartaan kitab suci
2. Dalam ungkapan iman
3. Dalam doa Syukur
4. Dalam doa permohonan
5. Serta untuk memperjelas perbuatan
sakramen
C.
Periodisasi
Pembaharuan Musik Liturgi dalam Gereja Katolik
Masa
pembaharuan musik liturgi gereja terjadi dalam tiga tahap. Pembaharuan ini
terjadi pada abad XX setelah pembaharuan pada masa Cecilianisme tidak tercapai.
1. Pembaharuan oleh Pius X
Pada tahun 1903 Paus Pius X
mengeluarkan suatu dokumen tentang musik gereja agar suci, bermutu, dan
bersifat universal. Menurut Sri Paus ideal ini dilaksanakan secara istimewa
dalam nyanyian Gregorian, serta dalam musik gereja yang bergaya Polifon
klasik. Namun boleh juga diciptakan musik gereja modern asal bunyinya berbeda
dengan musik Profan. Karena musik gereja melaksanakan tugas klerikal,
maka para wanita tidak boleh ikut bernyanyi di dalamnya. Alat musik, kecuali
organ hanya boleh dipakai dengan izin khusus. Meskipun agak bersifat restriktif
(membatasi) namun dokumen ini menjadi suatu pegangan untuk perkembangan
selanjutnya.
2. Gerakan Liturgi Sampai Menjelang
Konsili Vatikan II
Sejak tahun
1920-an di Jerman terdapat usaha untuk menghidupkan liturgi sebagai liturgi
jemaat, yang dapat dimengerti dan diikuti seluruh umat. Maka diperjuangkan
bahasa pribumi untuk ibadat. Suatu usaha menghidupkan liturgi dengan jalan
inkulturasi ini antara lain dicari jalan untuk mengkaitkan melodi Gregorian
dengan syair dalam bahasa Jerman. Selain itu diambil alih sejumlah lagu gereja
(Koral, nyanyian berbait) dari Gereja Protestan. Gerakan liturgi ini
langsung bermuara dalam Konsili Vatikan II.
3. Pembaharuan Musik Liturgi Gereja oleh Konsili Vatikan II
3.1. Pengertian Mengenai Konsili
Vatikan II
Konsili
berasal dari kata latin Concilium yang berarti persatuan, pertemuan,
sidang. Di lingkungan Gereja Katolik Roma berarti sidang para pejabat gereja
terutama para uskup, dengan tujuan membahas berbagai masalah kegerejaan untuk
pembangunan masyarakat gereja dan mencari keputusan bersama. Dibedakan antara
Konsili ekumenis atau konsili umum yang mewakili gereja keseluruhan dan Konsili
khusus yang meliputi suatu wilayah gereja tertentu.[35]
Konsili
Vatikan II merupakan Konsili ekumenis yang ke-21 atau yang terakhir dalam
sejarah gereja sampai saat ini. Konsili ini diadakan antara tanggal 11 Oktober
1962 sampai dengan tanggal 8 Desember 1965, dalam empat kali periode sidang
yaitu: 11 Oktober sampai 8 Desember 1962, 29 September sampai 4 Desember 1963,
14 September sampai 21 November 1964, dan 14 September sampai 8 Desember 1965.
Konsili ini dihadiri oleh lebih banyak uskup dibandingkan dengan konsili
sebelumnya. Jumlah dokumen yang dihasilkan lebih banyak dan dampak atas
pengaruh kehidupan gereja Katolik lebih besar dari peristiwa manapun sesudah zaman
reformasi pada abad XVI.[36]
3.2. Pandangan Gereja Katolik Tentang
Musik liturgi
Konsili Vatikan II yang dimulai pada
tanggal 11 Oktober 1962 dan ditutup pada tanggal 7 dan 8 Desember 1965
menghasilkan 16 dokumen resmi. Dokumen resmi tersebut terdiri dari 4
konstitusi, 9 dekrit, dan 3 deklarasi.[37] Salah
satu dari keempat konstitusi tersebut merupakan landasan idiil bagi konstitusi
liturgi yang didalamnya terdapat satu bab khusus yang membahas tentang musik
liturgi.
Konsili
Vatikan II telah merubah pandangan gereja Katolik tentang musik liturgi. Musik
liturgi gereja pada periode Konsili Vatikan II tidak lagi dipandang sebagai
hiasan liturgi, musik dan nyanyian itu
sendiri merupakan liturgi, berarti dalam perayaan liturgi tidak dapat dipakai
lagi sembarangan nyanyian rohani, namun, harus nyanyian yang dapat memainkan
peranan ibadat. Pembawaan nyanyian liturgi bukan lagi tugas Klerikal
tetapi tugas seluruh jemaat, meskipun sebagian ditangani oleh kor gereja. Dalam
keputusan Konsili no.112, disebutkan mengenai martabat musik liturgi, yang
kurang lebih isinya menyebutkan bahwa: Tradisi musik gereja semesta merupakan
kekayaan yang tidak terperikan nilainya, lebih gemilang dari ungkapan-ungkapan
seni lainnya, terutama karena nyanyian suci yang terikat pada kata-kata
merupakan bagian liturgi meriah yang penting atau integral.[38]
Disebutkan pula bahwa kegiatan liturgi mendapat bentuk yang lebih anggun,
apabila ofisi Ilahi dinyanyikan dengan dihadiri pelayan-pelayan suci dan
diikuti oleh umat secara aktif.[39] Maka
musik liturgi semakin suci, bila semakin erat hubungannya dengan upacara
ibadat, entah dengan mengungkapkan doa-doa secara lebih bergema, entah dengan
memupuk kesatuan hati, entah dengan memperkaya upacara suci dengan kemeriahan
yang lebih semarak. Gereja juga menyetujui segala bentuk kesenian yang sejati,
yang memiliki sifat-sifat menurut persyaratan liturgi, dan mengizinkan
penggunaannya dalam ibadat kepada Allah.[40]
3.3. Pengaruh Konsili Vatikan II Bagi
Kehidupan Musik Liturgi Gereja
Sebagai
peristiwa, Konsili mempunyai pengaruh yang besar sekali. Dalam kenangan gereja,
Konsili merupakan pengalaman pertama pelaksanaan Kolegial kewibawaan
tertinggi gerejawi. Gereja yang sebelumnya sering membanggakan sifatnya tetap
tidak berubah, harus menjalani evaluasi diri yang mendalam dan bersikap kritis
terhadap dirinya. Sikap dan strategi gereja ditinjau kembali dan ditantang
dalam terang Injil dan dalam konfrontasi dengan kebutuhan-kebutuhan zaman
sekarang. Gejala ini berkelanjutan pada masa pasca Konsili. Perubahan yang menonjol
terjadi pada liturgi dan musik liturgi sebagai bagian dari liturgi juga
mengalami perubahan tersebut.
Bahasa Latin
tidak lagi mutlak untuk liturgi, maka terbukalah pintu untuk diciptakannya
khazanah musik gereja dalam bahasa pribumi. Inkulturasi dalam musik liturgi
semakin mantap dilaksanakan dengan dicantumkannya kaidah-kaidah tentang
pengembangan dan pembaharuan musik liturgi. Sehingga dapat dikatakan bahwa
Konsili Vatikan II bukan hanya sebagai tonggak sejarah, melainkan juga telah
menjadi pedoman arah, dasar bagi pengembangan pemikiran, gerakan serta tindakan
pembaharuan, peremajaan, dan pemantapan yang sangat bermanfaat.
3.4. Inkulturasi Sebagai Upaya
Pembaharuan Musik Liturgi
Inkulturasi dalam musik liturgi gereja
Katolik sebetulnya sudah ada jauh sebelum Konsili Vatikan II. Hal ini dapat
dilihat dalam perkembangan musik liturgi gereja. Pada setiap penyebaran agama
Katolik ini, musik liturgi berinkulturasi dengan kebudayaan tempat agama ini
mulai menancapkan akarnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa inkulturasi musik
liturgi telah ada sejak gereja lahir, dari awal kekristenan purba yang
mengadaptasi dengan ibadat Yahudi, namun memang gereja pernah mengalami
kemacetan inkulturasi, gereja menutup dirinya. Sampai kemudian terjadi Konsili
Vatikan II, melalui inilah bergema kembali inkulturasi.
Inkulturasi musik liturgi sangat berkaitan
erat dengan daerah-daerah misi penyebaran agama Katolik. Inkulturasi musik
liturgi dengan kebudayaan setempat sangat membantu proses misi. Gereja juga
menyadari bahwa bangsa-bangsa terutama di daerah misi mempunyai tradisi musik
sendiri yang memainkan peranan penting dalam kehidupan beragama dan
bermasyarakat. Maka, secara khusus Konsili Vatikan II telah membuka pintu untuk
menerima pula kekayaan musik tradisional bangsa-bangsa sebagaimana diungkapkan
dalam konstitusi liturgi no. 119, musik itu hendaknya mendapat penghargaan
selayaknya dan tempat yang sewajarnya, baik dalam membentuk sikap religius
mereka, maupun dalam menyesuaikan ibadat dengan sifat perangai mereka.[41] Dalam
batas-batas yang telah ditetapkan pimpinan gereja setempat yang berwenang dan
berhak merinci penyesuaian-penyesuaian ini, termasuk musik gereja dan kesenian,
asal sesuai dengan kaidah-kaidah dasar konstitusi liturgi.[42]
Inkulturasi
musik liturgi selain bertujuan mengembangkan khazanah musik gereja, juga
bertujuan agar gereja tidak ditinggalkan, sehingga dapat dikatakan inkulturasi
adalah suatu momen dalam proses gereja untuk mewujudkan dirinya secara nyata.
BAB III
INKULTURASI MUSIK LITURGI
A.
Pengertian Inkulturasi
Istilah
inkulturasi saat ini sudah sangat lazim dipergunakan. Namun begitu, menurut
Jean-Yves Calves istilah inkulturasi ini pertama kali dipergunakan orang pada
tahun 1974. Sebuah kata dengan arti baru yang belum banyak dikenal maknanya. Meskipun
begitu arti yang terkandung di balik kata inkulturasi itu tidaklah demikian.[43]
Dalam
arti yang luas dan umum, inkulturasi adalah sejenis penyesuaian dan adaptasi
kepada masyarakat, kelompok umat, kebiasaan, bahasa, dan perilaku yang biasa
terdapat pada suatu tempat. Ada pengarang yang lebih suka menggunakan istilah enkulturasi
daripada inkulturasi, prefik in dalam bahasa Inggris bisa berarti
negatif, seperti misalnya dalam kata incult. Dalam bahasa Indonesia,
konotasi negatif itu tidak terasa dan istilah inkulturasi sudah lazim
dipergunakan.[44]
Inkulturasi
biasanya mengarah pada kontektualisasi atau pempribumian. Kontekstualisasi
adalah usaha menempatkan sesuatu dalam konteksnya, sehingga tidak asing lagi,
tetapi terjalin dan menyatu dengan keseluruhan seperti benang dalam tekstil.
Dalam hal ini tidak hanya tradisi kebudayaan yang menentukan tetapi situasi dan
kondisi sosial pun turut berbicara. Kontekstualisasi sudah ada sejak gereja
mula-mula bertemu dengan dunia lain. Sebagai usaha oikumenis terdapat dua macam
pola dalam kontekstualisasi, yaitu:[45]
1.
Sikap bagi gereja penerima, yang dimaksudkan adalah
merelevankan pergumulan teologis bagi gereja-gereja di daerah misi. Gereja
penerima memikirkan terlebih dahulu hal-hal yang relevan pada tempatnya,
sebelum gilirannya menyesuaikan dengan pola liturgi ekumenis.
2.
Sikap gereja pengirim, yang dimaksudkan ada kesadaran bahwa
kontekstualisasi bukan seperti mengganti baju luar tanpa mengganti jiwa. Gereja
penerima memulai proses kontekstualisasi dengan mempertimbangkan pola liturgi
secara ekumenis, lalu dari hasil pertimbangan tersebut dicoba menerapkan pada tempatnya.
B.
Inkulturasi Bagi Gereja Katolik
1.
Inkulturasi Sebagai Persoalan Abadi dalam Tubuh Gereja
Istilah
inkulturasi digunakan untuk pertama kali dalam dokumen gereja pada tahun 1977,
yaitu oleh para uskup di Roma mengenai katakese.[46]
Inkulturasi
menjadi persoalan abadi dalam gereja yang berkembang
terus karena hidup.[47] Saat
Yesus Kristus lahir, Ia telah mengadakan inkulturasi yang paling mendasar.
Sabda telah menjadi daging dan tinggal di antara umat Kristen. Ia telah
mengambil wujud sebagai manusia, menerima bahasa setempat, tata adat setempat,
dan liturgi setempat.[48] Ia
mengosongkan diri untuk mengambil rupa manusia dalam kebudayaan dan liturgi
setempat. Inkulturasi juga terjadi saat gereja lahir pada hari Pantekosta
pertama dalam lingkungan kebudayaan Yahudi Palestina. Penerimaan orang Yahudi
Helenis (yang berbahasa Yunani) dan lebih-lebih orang yang bukan dari kalangan
Yahudi ke dalam gereja oleh Petrus dan Paulus langsung menimbulkan
masalah-masalah yang sebagian berhubungan dengan latar belakang kebudayaan.
Oleh
sebagian orang beriman, perbedaan kultural dianggap menyangkut unsur-unsur
hakiki keagamaan, bahkan Petrus dan Paulus berselisih paham karena inkulturasi.
Masalah-masalah serupa muncul lagi setiap kali gereja melampaui batas suatu
lingkungan kebudayaan.
Gereja
pernah mengalami perpecahan. Kurang adanya saling pengertian merupakan salah
satu faktor pokok perpecahan antara gereja Latin (Roma) dan gereja Yunani
(Konstantinopel) pada abad ke-12. Perbedaan kebudayaan antara Roma dan Eropa
Utara pada abad ke-16 tidak kecil perannya bahwa reformasi menjadi perpecahan
gereja, antara lain karena warna Latin terlalu kuat pada gereja Katolik Romawi.
Maka para pejabat gereja ikut bertanggung jawab atas terpecahnya gereja pada
abad ke-11 dan ke-16 seperti diakui oleh Paulus ke VI. Oleh karena itu
inkulturasi yang gegabah dan chauvinistic (sesuatu yang berlebihan)
mengandung banyak resiko.
2.
Inkulturasi sebagai celah penyebaran ajaran gereja
Baru
saja gereja berumur 200 tahun, sudah terdapat tiga bentuk kekristenan yang
berbeda, yaitu gereja Yahudi-Kristen, gereja Helenis, dan gereja Latin di
Afrika Utara. Tatkala agama Kristen menyebar di dunia Greko-Romawi, terjadilah
inkulturasi besar, meninggalkan bahasa
Ibrani, lalu sebagian besar penulisan Injil menggunakan bahasa Yunani.
Bukan hanya bahasa, penalaran teologipun digali dari kekayaan agama setempat.
Liturgi Katolik banyak diwarnai oleh tradisi Romawi yang dulunya adalah kafir.
Tatkala
gereja berkembang ke dunia Barat, terjadi pula inkulturasi yang fundamental.
Beberapa upacara agama kafir disucikan menjadi upacara Kristen dengan isi
Kristen pula. Misalnya, pesta Natal dikristenkan dari upacara pemujaan terhadap
matahari, sebab Kristus adalah matahari keadilan. Bahkan pemakaian pohon Natal,
dahulu adalah pemujaan terhadap pohon kehidupan, sebab Kristus adalah pohon
kehidupan sejati. Pengaruh sosio budaya setempat ditampung pula dalam tata cara
hukum perkawinan. Kesetiaan kepada Kristus dan communio[49]
erat di antara gereja-gereja itu, sehingga masih menjamin kesatuannya.
Penyebaran agama Kristen di Eropa Utara, apalagi di India dan Tiongkok sangat
terhambat oleh lambannya inkulturasi.
3.
Inkulturasi dalam Konsili Vatikan II
Inkulturasi
sudah dimulai bila seseorang dari lingkungan kebudayaan manapun menerima sapaan
Ilahi sesuai dengan kebudayaan setempat yang dihayatinya. Proses inkulturasi
ini sepantasnya berlangsung sejalan dengan pendewasaan iman sebagai jawaban atas
wahyu Ilahi yang berintikan inkarnasi Yesus Kristus dalam diri manusia Yahudi
dari Nazaret.
Pada
zaman ini gereja tersebar, berakar, dan mulai berkembang hampir di semua
lingkungan kebudayaan dunia ini. Maka, di mana-mana timbul masalah bagaimana
mengungkapkan dan menghayati iman yang satu dan sama dengan cara-cara yang
sesuai dengan kebudayaan bangsa, zaman, atau tempat tertentu. Hal inilah yang
membuat Konsili Vatikan II memiliki konsep baru tentang arti pluralisme gereja
dan rasa hormat terhadap kebudayaan umat manusia, penyesuaian menjadi pusat
perhatian dalam dunia modern ini. Tentunya hal ini bukan sekedar basa-basi
saja, namun bertujuan supaya iman sungguh berakar dan meresapi sebuah kehidupan
orang perorangan dan masyarakat, maka iman itu sedapatnya harus menyatu dengan
kebudayaan supaya dapat diekspresikan selaras dengannya.
Sejarah
juga memberikan alasan yang meyakinkan yang mendukung adanya penyesuaian
liturgi, dan ternyata tidak dapat disangkal bahwa penyesuaian merupakan bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari tradisi gereja.[50]
Pembudayaan ungkapan iman tidak boleh begitu radikal, sampai-sampai tidak dapat
dikenali lagi sebagai ungkapan iman yang sama oleh orang beriman dari
lingkungan-lingkungan kebudayaan yang lain. Sebab, keadaan seperti itu
mengasingkan umat Kristen satu sama lain.
4.
Kebudayaan yang diinkulturasi
Konsili
Vatikan II menegaskan, gereja Katolik tidak menolak apa yang baik dan berguna
pada agama. Hendaklah umat Katolik familiar dan dekat kepada tradisi religius
serta kebudayaan setempat, inilah salah satu usaha ke arah inkulturasi.
Dalam
setiap inkulturasi sejati terdapat dua segi: yang pertama, adalah segi inkarnatif
atau berakarnya dalam kebudayaan tertentu, yang kedua, adalah segi redemptif
atau penebusan kebudayaan yang bersangkutan dari segi-segi negatif. Setiap
kebudayaan mempunyai unsur-unsur positif yang mempermudah penerimaan sabda
Allah serta ekspresinya. Akan tetapi, dalam setiap kebudayaan juga terdapat
unsur-unsur yang menghalangi, sebagai akibat dosa yang meresapi seluruh dunia
ini. Maka kebudayaan apa pun perlu dijernihkan, supaya semakin tepat dapat
mengungkapkan iman Kristiani.
Iman
Kristiani tidak pernah boleh diidentifikasikan dengan satu kebudayaan secara
total, meskipun kebudayaan itu adalah Ibrani, Yunani, atau Romawi. Iman itu
tetap Katolik dan terbuka pada setiap
kebudayaan manusiawi. Tidak sembarang kebudayaan dapat diadaptasi sebagai bahan
inkulturasi untuk dijadikan bagian dalam tradisi gereja, hanya kebudayaan yang
bermutu dan bernilai tinggi serta yang sesuai dengan ajaran gereja saja yang
boleh diambil.
Inkulturasi
dan sifat Katolik gereja tidak terpisahkan satu sama lain. Dengan demikan, iman
sebagai jawaban salah satu kekompakan umat manusia menjadi lebih layak, lebih
universal, lebih Katolik. Jadi, sesuai dengan misteri wafat serta kebangkitan
Kristus, unsur-unsur kebudayaan juga harus melalui proses mati dan bangkit
kembali. Dengan demikian unsur-unsur itu menjadi lebih sempurna dan membawa
hati orang beriman kepada Kristus. Sebab, sebagai Allah-manusia, Dialah wahyu
yang sempurna, dan sebagai manusia, Dialah sekaligus jawaban yang sempurna atas
wahyu itu.
5.
Harapan gereja Katolik dari inkulturasi
Kebudayaan
merupakan cara memandang, mengartikan, dan membentuk realitas dalam lingkungan
historis tertentu. Untuk sementara waktu iman dapat meminjam sarana-sarana
budaya tertentu untuk mewujudkan diri, tetapi dimulai juga untuk membentuk
sarana-sarana baru. Maka iman bercorak reseptif dan kreatif-kritis terhadap
kebudayaan apa pun. Namun inkulturasi bukan hanya sekedar asimilasi atau
adaptasi kebudayaan saja.
Inkulturasi
mencakup seluruh kehidupan orang dan umat beriman. Proses ini terus berlangsung
secara bertahap, bisa berhasil bisa juga gagal. Keberhasilan suatu inkulturasi
sangat penting bagi perkembangan gereja baik dari segi rohani kualitatif maupun
dari segi perkembangan kuantitatif.
Inkulturasi bukan hanya penting dari
segi gereja partikular tempat proses ini berlangsung. Proses ini penting
demi kekatolikan seluruh gereja supaya semakin Katolik, dalam arti menyeluruh,
mengekspresikan iman yang sama secara otentik dengan cara yang berbeda-beda.
Dengan demikian, gereja memuji Tuhan secara lebih indah dengan seluruh
kemampuan manusiawi yang dikaruniakan Tuhan kepada lingkungan-lingkungan
kebudayaan yang berbeda-beda itu. Sebagaimana Kristus sebagai manusia untuk
mengkuduskan dan memajukan apa saja yang baik dalam kebudayaan manusiawi
manapun lewat proses-proses inkulturasi.
Inkulturasi
yang paling mendesak sekarang ini adalah menanamkan iman Kristiani secara
sungguh-sungguh ke dalam kebudayaan mundial (sedunia), yang sangat
diwarnai oleh ilmu dan teknologi mutakhir yang tumbuh dengan pesat pada akhir
abad ke-20 ini. Walaupun iman akan kemajuan teknologi tanpa batas tidak dapat
dipertahankan lagi, ketegangan antara pandangan dunia dan cara berfikir positivistis
disatu pihak dan keyakinan keagamaan yang berdasarkan iman akan wahyu di lain
pihak belum hilang.
Namun
begitu, diharapkan dengan ciri khas dan nilai-nilai suatu lingkungan kebudayaan
dapat membantu manusia untuk menemukan dan mengungkapkan diri sebagai makhluk
yang kemampuan terluhurnya adalah memuji sang penciptanya. Tetapi perlu diingat
bahwa inkulturasi bukanlah pengabdian terhadap tradisi lama dengan bantuan
agama, melainkan pengungkapan iman dalam
dan melalui kebudayaan yang sekarang ini hidup dalam masyarakat.
C.
Kebutuhan Atas Kontekstualisasi Musik Liturgi
Musik
adalah bunyi atau suara yang diorganisir, karena musik pada dasarnya terdiri
dari suara, maka musik merupakan bagian yang integral dari manusia dan
kehidupan manusia itu sendiri.[51]
Keeratan hubungan ini terlihat misalnya dalam bentuk manusia berkomunikasi.
Sementara kelebihan suatu lagu adalah dalam hal kemudahan untuk mengingatnya,
karena menyanyi adalah kegiatan yang menyenangkan dan memiliki penghayatan
batiniah atau emosional.[52]
Iman
yang utuh dan sehat selalu mengandaikan adanya dua dimensi terpadu batiniah dan
lahiriah. Dari sisi batiniah adalah menerima ajakan Allah untuk hidup dalam
persekutuan dengan Dia dan dalam paguyuban dengan sesama. Sedangkan sisi
lahiriah adalah pengungkapan iman dalam bentuk lahiriah atau yang kelihatan,
misalnya ajaran, doa, liturgi, upacara, tingkah laku, dan lain-lain. Semua
ungkapan lahiriah itu hanya ada artinya jika benar-benar mengungkapkan iman batiniah.
Dua dimensi iman merupakan keterpaduan yang utuh.
Dalam
perspektif Katolik, musik liturgi merupakan istilah yang dipakai untuk menunjuk
pada musik yang terkait dengan tata ibadat, baik itu lagu, iringan, dan
instrumen yang dipakai. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalam kegiatan
beribadat, menyanyi senantiasa menjadi bagian yang integral bagi gereja.
Menurut Antonius K. Budi seorang organis di Paroki Santo Thomas, Kelapa Dua,
Depok, keindahan suatu lagu dalam perayaan Ekaristi harus didukung oleh
kebersamaan umat untuk ikut bernyanyi. Bagi umat Katolik selalu ada kata-kata
bernyanyi bagi Tuhan dengan baik merupakan dua kali dari berdoa. Tidak ada yang
melarang untuk bernyanyi memuji Tuhan di dalam Misa selama itu sesuai dengan
liturgi, dan kalau dilakukan dengan penuh rasa percaya, maka akan mendapat
karunia.[53]
Dalam ibadat musik merupakan salah satu bentuk komunikasi umat Katolik terhadap
penciptanya, tempat iman diekspresikan. Disisi lain tidak boleh dilupakan,
karena musik adalah bagian integral dari manusia, maka ia terkait erat dengan
budaya. Kita dapat mulai melihat bahwa musik itu kontekstual ia terikat pada
konteksnya, terikat pada tempat, waktu, dan budaya. Konteks itu beraneka ragam,
yang terjadi saat ini perkembangan pesat
dalam dunia elektronika, kebudayaan yang globalistis yang tersebar dengan cepat
melalui percetakan, film, dan tradisi, kebudayaan tetap mengalir sementara
gereja mempunyai tradisi sendiri.
Inkulturasi
musik liturgi adalah salah satu cara mengkontekstualisasikan musik liturgi
karena nyanyian dan musik gereja perlu dilibatkan dalam suatu proses interaksi
yang menyangkut sejarah, kebudayaan, serta perkembangan zaman. Dalam dunia
inkulturasi, gereja dituntut agar bersikap lunak, kalau perlu malah bersikap
mengalah lebih dahulu. Gereja perlu mempelajari lingkungan kebudayaan di
sekitar gereja itu tumbuh. Dalam proses interaksi yang baik diperlukan
keterbukaan untuk mengapresiasi dan menerima sesuatu, kerelaan ini perlu
diiringi dengan pertimbangan dan penilaian kritis. Hakikat apa yang disodorkan
untuk diterima atau diubah harus dijelaskan sedalam-dalamnya sehingga
meyakinkan jemaat.
Gereja harus memiliki pengajaran tentang
kebenaran di dalam Tuhan. Jika ada puji-pujian yang kurang dimengerti oleh
jemaat, maka jemaat diberi penjelasan tentang syair lagu tersebut. Musik bukan
hanya merupakan suatu keindahan tetapi juga merupakan suatu sarana latihan yang
kekal. Karena, musik adalah suatu seni yang melampaui waktu. Musik gereja dapat
membantu kita untuk mengerti arti sebenarnya dari musik itu sendiri, dan
memberikan keindahan sendiri bagi umat Katolik12Penjelasan
kepada jemaat juga disadari karena ibadat jemaat adalah tempat pengabdian diri,
tempat komunikasi, tempat menghayati, dan semakin belajar komunikasi dengan
Tuhan dan dengan sesama secara ekstensial. Demi komunikasi itu ada yang perlu
dikorbankan, ada pula yang perlu diterima, ini khusus berlaku untuk liturgi dan
nyanyiannya.
Musik
tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang universal, namun juga disadari
sebagai musik yang kontekstual dan lokal. Gereja-gereja di Asia maupun Afrika
menyadari akan hal itu, misalnya Abineno pada tahun 1959 telah mengusulkan
supaya diadakan revisi atas Mazmur-Mazmur dan pujian gereja, karena ia
merupakan terjemahan dari buku nyanyian gereja-gereja Belanda dan tidak memuat
satu pun puji-pujian Asia. Jadi sejalan dengan kesadaran akan perlunya iman
yang kontestual dan Injil yang kontekstual, maka, diperlukan pula puji-pujian
yang kontekstual. Hal ini ditekankan oleh gereja-gereja Asia. Dalam pertemuannya
di parohan terakhir tahun 50-an, mereka memutuskan perlunya menyajikan Injil
dalam terminologi Asia. Gagasan ini secara konsekuen diterapkan pula pada
kebutuhan puji-pujian oleh gereja-gereja Asia dengan dipublikasikannya EACC
Hymnbook yang berisi puji-pujian dari gereja-gereja Asia pada tahun 1960-an.13
Masa
depan musik gereja adalah musik gereja yang kontekstual, ini juga berlaku untuk
liturgi, tempat musik gereja itu berperan. Musik gereja yang kontekstual dalam
ibadat yang kontekstual kemudian ditunjang dan dihayati dengan ekspresi seni
kontekstual.
Usaha
kontekstualisasi musik gerejawi memang bukan hal yang gampang, seperti halnya
yang dikatakan I-to Loh, gereja-gereja di Asia sudah merasa nyaman dengan
puji-pujian yang diwarisi dari gereja-gereja Barat. I-to Loh mengusulkan agar
diadakan usaha mendidik ulang gereja-gereja Asia supaya mengenal kembali
budayanya sendiri. Memang kontekstualisasi musik gerejawi bukan sekedar usaha
untuk menghidupkan kembali budaya yang hilang di gereja. Namun perlu diperhatikan
pula bahwa kontekstualisasi musik gerejawi itu dilakukan dalam upaya
mengkontekstualkan gereja itu sendiri dan juga mengkontekstualkan Injil, supaya
baik Injil maupun gereja tidak menjadi bagian yang asing bagi masyarakat tempat
gereja dan Injil itu tumbuh.14
D.
Musik Liturgi Sebagai Bahasa dan Wahana Bagi Injil dan
Budaya Bertemu
Sudah
disebutkan di atas bahwa musik itu kontekstual. Ia terikat erat dengan budaya
lingkungannya. Bukan hanya erat tetapi juga wahana rasa sedih dan duka cita,
benci dan kasih diungkapkan. Dengan berbagai macam bentuk melalui gamelan
maupun musik jazz, ungkapan-ungkapan ini dapat ditangkap. Jadi musik yang
sering hanya dipandang sebagai hal yang menghibur, sesungguhnya merupakan
bahasa dari suatu masyarakat yang dipakai untuk mengungkapkan perasaannya.15
Dalam
kehidupan sehari-hari, secara sadar atau tidak manusia telah melaluinya dengan
berbagai ritus, dari bangun pagi sampai mau tidur malam. Sehingga dapat
dikatakan bahwa kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari ritus-ritus. Hal
ini nampak sekali dalam kehidupan beragama, karena ritus mendapat perhatian
utama dan dikembangkan secara khusus. Bentuk-bentuk ritual merupakan kerangka
rumah tempat manusia hidup bersosial dan beragama sedangkan musik merupakan
bahasa yang dapat menimbulkan rasa keterikatan seseorang baik dengan sesama
maupun dengan rumah (gereja) itu sendiri. Oleh sebab itu ikatan antara musik
dengan ibadat sangat kuat sekali.
Ikatan
yang kuat itu dapat dilihat bahwa ibadat dan musik tidak pernah absen dalam
kehidupan gereja. Musik yang menjadi bagian kehidupan sosial masyarakat Israel
kuno kemudian menjadi bagian kehidupan ritual di Bait Allah. Musik-musik dalam
ibadat Israel kuno mengalami perubahan, saat gereja berpindah pusat
orientasinya dari dunia Palestina ke dunia Yunani-Romawi. Tahlil (chanting),
musik ibadah Israel kuno dalam bentuk yang tetap sering dicampur dengan
nyanyian spontanitas. Gaya-gaya nyanyian dan puisi Helenis mulai muncul, tidak
lagi memakai pola puji-pujian Yahudi yang ada. Jadi sebagaimana liturgi
senantiasa mengalami perubahan karena konteksnya, demikian pula musik
liturgipun mengalami pengkontekstualisasian dari masa ke masa.
Pengkontekstualisasian baik liturgi maupun musik liturgi bukan merupakan
paksaan dari konteks yang ada. Ini disadari karena yang pertama Allah
senantiasa mengkontekstualisasikan diri-Nya, dan yang kedua adalah baik liturgi
maupun musik liturgi merupakan bahasa dan wahana Allah dan manusia
berkomunikasi.
Kontekstualisasi
sesungguhnya merupakan terintegrasinya Injil dengan konteks. Ia mengacu pada
Allah yang menjadi daging dan Allah yang diam di antara mereka. Liturgi maupun
musik liturgi dipandang sebagai bahasa tempat manusia dapat mengekspresikan
rasa dan imannya. Maka kontekstualisasi musik gerejawi sebenarnya bukan
menjadikan bagaimana musik Barat dapat diterima oleh gereja-gereja non Barat,
melainkan bagaimana musik sebagai bahasa lokal itu dapat ditumbuhkembangkan
menyatu dalam diri manusia sekaligus menjadi wahana tempat Allah hadir dan
menyatu dengan konteks, manusia, dan budaya.
BAB IV
MUSIK LITURGI DI INDONESIA
A. Sejarah dan Perkembangan
Musik Liturgi di Indonesia Sebelum Konsili Vatikan II
Musik liturgi di Indonesia
merupakan bagian dari musik liturgi pada umumnya. Oleh karena itu sejarah dan
perkembangan musik liturgi di Indonesia tidak dapat terelakkan juga mendapat
pengaruh dari kehidupan musik liturgi dunia. Sebenarnya musik liturgi di
Indonesia sudah merasa cocok dengan
liturgi dan musik liturgi dari Barat. Namun demikian perlu diketahui bahwa
pertemuan tradisi gereja yang masuk ke Indonesia ternyata mengalami apa yang
disebut sebagai inkulturasi. Hal ini dapat disadari karena Indonesia merupakan
salah satu daerah misi tempat gereja Katolik melebarkan sayapnya, dan Indonesia
dapat dikatakan sebagai bangsa yang kukuh mempertahankan pribadi budayanya.
Sehingga metode inkulturasi, indegenisasi, pempribumian atau pula
kontekstualisasi menjadi celah yang dipilih bagi gereja untuk mewujudkan
dirinya secara nyata.
Sebetulnya,
jauh sebelum Konsili Vatikan II, di Indonesia sudah mengalami inkulturasi yakni
saat pertama kali agama Katolik ini masuk. Inkulturasi juga sudah giat
dilaksanakan dalam liturgi, demikian juga dengan musik liturgi. Sebelum Konsili
Vatikan II, yang menjadi landasan baru mengenai inkulturasi musik liturgi, izin
yang diperoleh dari keuskupan gereja Roma-lah yang menjadi dasar inkulturasi
dalam musik liturgi. Sehingga di daerah-daerah Indonesia sudah banyak dijumpai
upaya inkulturasi.
1. Keadaan Musik
Liturgi Pada Beberapa Daerah di Indonesia
Sebelum
Konsili Vatikan II di daerah telah terjadi inkulturasi musik liturgi. Di
Manggarai, Flores Barat, proses inkulturasi musik liturgi sudah dimulai sebelum
perang dunia. Mgr. W. Van Beckum SVD seorang uskup di Ruteng adalah perintis
inkulturasi. Ia giat mengumpulkan lagu-lagu Manggarai dan berusaha agar
lagu-lagu tersebut dapat ditulis dengan not, sehingga dapat dipelajari. Ia juga
mengajak sejumlah ketua adat untuk menciptakan lagu baru untuk keperluan ibadat
di luar misa. Maka pada tahun 1947 di Ende terbit satu buku nyanyian yang
berjudul Dere Serani. Sampai sekarang buku tersebut masih diperbaharui.
Di
daerah Dawan, Timor, inkulturasi nyanyian liturgi diusahakan oleh Vincent
Lecovic SVD. Usahanya adalah mencatat lagu-lagu tradisional. Beberapa lagu
ratapan diolah untuk dipergunakan dalam ibadat, ia juga mengarang sendiri
beberapa nyanyian baru dalam gaya musik Dawan. Akhirnya pada tahun 1960 terbit
satu buku nyanyian dengan judul Tsi Tanaeb Uis Neno dengan beberapa
nyanyian dalam gaya musik Dawan, namun banyak pula lagu yang diambil alih dari
buku Jubilate yang diterjemahkan ke dalam bahasa Dawan. Buku Tsi
Tanaeb Uis Neno ini beberapa kali dicetak kembali dan diperluas isinya.
Menurut umat di Timor, lagu-lagu dari Tsi Tanaeb Uis Neno sampai
sekarang masih dipakai dan disenangi. Namun umumnya di Flores dan Timor proses
inkulturasi cukup lama terhambat oleh karena adanya buku nyanyian Jubilate.
Di
Jawa Tengah, inkulturasi gendhing di dalam ibadat sudah di mulai pada tahun
1925. Di sekolah pendidikan guru Muntilan, C. Hardjasoebrata atas dorongan Br.
Clementius memberanikan diri untuk mengarang beberapa gendhing gereja dalam
bahasa Jawa dengan tangga nada pelog yang dinyanyikan tanpa iringan,
antara lain Atur Roncen. Dengan koor dari Muntilan lagu-lagu ini
dipentaskan pertama kali di Gereja Kidul Loji Yogyakarta di hadapan para
pembesar gereja dan umat. Meskipun ada suara yang keberatan karena dianggap profan,
namun para pembesar gereja tidak keberatan. Maka usaha C. Hardjasoebrata
diperbolehkan jalan terus asal lagu tersebut tidak dipakai dalam misa. Pada
saat pentas kedua berlangsung 31 Januari 1926 di tempat yang sama, suara-suara
yang keberatan tadi menyadari bahwa lagu gereja baru tersebut mirip dengan lagu
kraton bukan mirip dengan lagu dolanan atau hiburan. Usaha C. Hardjasoebrata
ini diteruskan di Solo, eksperimen diperluas juga di lain tempat seperti
Ganjuran, Wedi, serta Kalasan.
Setelah
perang dunia II, Mgr. Suryopranoto yang menjadi pendorong untuk memajukan
gamelan dalam gereja. Pada tahun 1955 didirikan suatu panitia khusus untuk
gendhing gereja. Pada tahun 1956 untuk pertama kali diadakan demonstrasi
gendhing gereja karangan Atmodarsono dan C. Hardjasoebrata dengan iringan
gamelan. Demonstrasi ini disaksikan oleh bapak uskup. Karena hasilnya dirasa
amat positif, maka bapak uskup meminta izin ke Roma agar gendhing gereja boleh
dipakai dalam misa namun dengan bahasa Latin.[54]
Mulai
tahun 1956 paroki Pugeran Yogyakarta menjadi pusat kegiatan musik gamelan
gerejani. R. Hajowardoyo menerbitkan kumpulan gendhing gereja dengan judul Kyriale
dan Natalia. Perkembangan berjalan terus dan mendapat banyak animo oleh
Konsili Vatikan II yang secara terang-terangan mendukung ide inkulturasi.[55] Dalam
bahasa Jawa juga terdapat buku semacam Jubilate dengan judul Pepudyan
Suci yang terbit untuk pertama kali pada tahun 1937. Namun peranan dan
pengaruh dari buku nyanyian ini tidak begitu kuat, dan beberapa kali pula buku
ini mengalami perubahan bahasa.
Dalam
sejarah dan perkembangan musik liturgi
di Indonesia sebelum Konsili Vatikan II, inkulturasi bukan hanya terjadi di
Flores, Timor atau Jawa Tengah saja. Pada daerah lainpun mengalami inkulturasi,
hanya saja karena daerah tersebut jauh seperti Sumatra, Sulawesi, Kalimantan
bahkan Irian Jaya, maka tidak terangkat beritanya sebagaimana kurang banyak
diketahui bahwa inkulturasi liturgi ataupun musik liturgi sudah terjadi sebelum
Konsili Vatikan II.
2. Inkulturasi
Nyanyian Liturgi pada Buku Nyanyian Jubilate
Jubilate adalah sebuah buku
nyanyian liturgi. Buku ini pertama kali diterbitkan di Ende pada tahun 1930
oleh Pastor Does SVD (Pustardos). Isi dari buku ini terutama bukan lagu
untuk misa melainkan lagu untuk ibadat pujian (salve) pada sore hari.
Pada
waktu perang dunia II para pastor dan bruder memakai waktu luang mereka di kamp
tahanan untuk memperbaiki dan melengkapi isi Jubilate. Pada saat buku Jubilate
terbit untuk kedua kalinya, tahun 1947 isinya agak berlainan. Isi dari Jubilate
dilengkapi dengan nyanyian misa Latin dan Indonesia, karena Indonesia pada saat
itu, sudah memperoleh izin dari Roma untuk memakai lagu misa dalam bahasa
pribumi.
Sebagai
buku hasil terjemahan, buku Jubilate merupakan suatu prestasi yang
tinggi bagi gereja. Buku Jubilate ini juga dikerjakan oleh tim orang
yang benar-benar tahu akan musik dan liturgi. Buku ini tersebar di seluruh
Indonesia, dalam waktu empat puluh tahun 700.000 eksemplar buku Jubilate
dicetak di Ende. Namun buku Jubilate dipertahankan terlampau lama bahkan
sesudah Konsili Vatikan II buku nyanyian ini masih dipakai meskipun terasa
adanya perubahan teologis dan liturgis.
B. Musik Liturgi di Indonesia Setelah Konsili Vatikan II
1. Pengaruh Konsili Vatikan II
Terhadap Perkembangan Musik Liturgi di Indonesia
Kemajuan
inkulturasi di Indonesia
tiada bisa lepas dari Konsili Vatikan II yang merupakan tonggak sejarah yang
menandakan awal suatu era baru. Konsili dengan sekitar 2500 peserta dari
seluruh penjuru dunia telah membuka pintu dan jendela gereja selebar-lebarnya.
Umat di dalam gereja dapat melihat ke luar dan udara serta angin dari luar
berhembus masuk dengan segala dampaknya.
Banyak
pikiran dilontarkan, banyak niat dan tekad disepakati, semua dilakukan dengan
semangat iman, demi mencari apa yang paling baik bagi pemekaran iman umat dan
bagi kepentingan umum umat manusia. Dan Konsili menjadi pedoman arah dengan
meletakkan dasar bagi pengembangan pemikiran, gerakan serta tindakan pembaharuan, peremajaan dan pemantapan yang
sangat bermanfaat.
Saat
Konsili Vatikan II berakhir, inkulturasi dalam bidang musik liturgi terus
berlanjut. Pembaharuan liturgi sekaligus pambaharuan musik liturgi kian marak,
hal ini dapat dilihat dari beraneka kegiatan usaha untuk menginkulturasikan
kian mencolok. Tidak hanya lewat kongres-kongres nasional berbagai artikel
ataupun tulisan, seminar, penataran bahkan sampai ada pekan inkulturasi sudah
banyak dilewati dan ditemui.
Setiap
zaman atau generasi memiliki kekhususannya sendiri dan ini tidak dapat dianggap
sebagai ketidaksetiaan atau bidaah.[56] Hal
inilah yang membuat Konsili menetapkan kebijaksanaan bahwa hal-hal yang tidak
menyangkut iman atau kepentingan seluruh persekutuan gereja tidak ingin
memaksakan suatu keseragaman bentuk yang kaku. Dan liturgi sendiri terdiri atas
bagian yang tidak dapat diubah dan atas bagian yang dapat berubah, yang selama
peredaran zaman dapat atau malah bervariasi.[57]
1.1. Kondisi Indonesia Sebagai Suatu
Keunikan Tersendiri
Indonesia
merupakan negara kepulauan dengan dikelilingi lautan yang luas. Kekayaan
Indonesia bukan saja karena Indonesia terdiri atas berjajar pulau-pulau dengan
kandungan alam di dalamnya. Suatu keunikan tersendiri beraneka ragam suku dan
bahasa dengan budaya yang berbeda-beda terdapat di tanah air ini. Namun juga
karena kemajemukan ini Indonesia mengalami kendala tersendiri dalam hal
inkulturasi terutama kontekstualisasi dalam liturgi dan musik liturgi. Tradisi
gereja yang sudah ada bergelut dengan konteks budaya yang kompleks. Bila
terjadi suatu titik temu akan menjadikan Indonesia benar-benar unik, karena
budaya-budaya yang ada.
1.2.Kaidah Pengembangan Musik Liturgi di
Indonesia
Tradisi
musik di dalam gereja merupakan khazanah gereja universal yang tak ternilai.
Itu adalah kelebihan diantara ungkapan-ungkapan seni lainnya.[58]
Indonesia memiliki tradisi musik sendiri dan tradisi musik ini diakui dan
diterima dalam gereja. Sebagaimana konsili Vatikan II mengharapkan agar
nyanyian-nyanyian keagamaan rakyat harus dipupuk dengan cermat, sehingga dalam
ibadat-ibadat saleh dan kudus serta dalam kegiatan liturgi sendiri, suara umat
beriman dapat bergema, sesuai kaidah dan ketetapan rubrik.[59]
Dalam
ketetapan yang lain, gereja mengakui nyanyian Gregorian sebagai nyanyian
khas liturgi Roma. Karena itu musik Gregorian mendapat tempat utama dalam
kegiatan-kegiatan liturgi bila tidak ada
pertimbangan-pertimbangan yang lebih penting. Namun jenis-jenis musik suci
lainnya, terutama musik Polifon sama sekali tidak dilarang dari perayaan
ibadat Ilahi, asal saja sesuai dengan semangat liturgi.[60] Hal ini
bertujuan untuk meningkatkan keikutsertaan aktif, maka hendaknya aklamasi oleh
umat, jawaban-jawaban, pendarasan mazmur, antifon-antifon, dan
lagu-lagu, demikian pula gerak-gerik peragaan serta sikap badan dikembangkan.
Inilah kaidah yang menjadi pegangan bagi pengembangan musik liturgi di
Indonesia.
2. Proses Inkulturasi
Musik Liturgi di Indonesia
Kendala Inkulturasi Musik Liturgi di Indonesia
Dengan
kondisi Indonesia yang kompleks maka kendala yang terjadi antara lain:[61]
1.
Umat paroki sangat berbeda-beda baik suku maupun adat
budayanya sehingga pemilihan salah satu adat untuk dijadikan titik pangkal
inkulturasi sangat sulit, dan tidak mengena pada semua umat. Apalagi di paroki
yang semua umatnya sebagian besar pendatang.
2.
Adanya unsur magis, mistis, animistis, takhayul, feodal,
dan sebagainya dalam unsur budaya setempat.
3.
Unsur budaya sangat bersifat kedaerahan, sehingga hal ini
dapat mengurangi kesatuan dan keumuman (universalita) gereja Katolik.
4.
Ada beberapa adat yang bersifat pertunjukan, profan,
sehingga mengganggu kekhidmatan dan konsentrasi umat atau upacara.
5.
Dari situasi sosial: pihak adat merasa keberatan, orang
Katolik lama menolak yang serba baru, yang muda menolak yang terlalu adat,
sementara pemimpin gereja kurang memperhatikan. Dalam upacara ada pula unsur
pemborosan, baik bagi keluarga yang berkepentingan maupun bagi gereja atau
paroki.
6.
Kurangnya pengetahuan, baik terhadap arti agama atau iman
Katolik maupun terhadap adat itu sendiri.
Sementara,
di lain pihak di luar kendala sebagai akibat kemajemukan Indonesia, inkulturasi
itu sendiri mempunyai masalah pokok sebagai akibat dari kehidupan modern,
yakni:
1.
Kurang pengertian dan penghargaan terhadap adat istiadat.
Kebanyakan umat, terutama kaum muda, kurang mengenal dan acuh tak acuh terhadap
kebudayaan dan adat istiadat sendiri.
2.
Ada heterogenitas dalam adat istiadat sehingga sulit
menentukan memilih unsur-unsur pokok dari adat kebudayaan Indonesia yang dapat
dimasukkan dalam liturgi.
3.
Sistem pendidikan sekarang kurang merangsang penghargaan
terhadap kebudayaan setempat. Sebaliknya semakin banyak orang khususnya kaum
muda, melepaskan diri dari kebudayaan sendiri, dan lebih gampang menerima nilai
kebudayaan baru dari luar.
Antara
pihak gereja dan umat Katolik sendiri terdapat hubungan yang kurang maksimal.
Masing-masing keduanya mempunyai masalah sendiri, diantaranya:
1. Umat merasa
memerlukan sesuatu yang dapat diperoleh dari liturgi.
2. Kurang pengertian
dan partisipasi umat dalam liturgi, karena kurang adanya bimbingan dan
penyadaran liturgi terhadap umat.
3. Gereja menghadapi
masalah umat yang heterogen, perbedaan usia tua-muda, perbedaan tinggi
rendahnya tingkat pendidikan, perbedaan suku dan lain-lain.
4. Pandangan hidup
umat terpecah atas dua pola hidup, kurang ada harmoni, integrasi antara
kebutuhan, sikap matearialistis dan kebutuhan kerohanian.
5. Banyak umat
mengalami krisis identitas sukunya sendiri.
Metode Inkulturasi Bagi Musik Liturgi di
Indonesia
Dengan
melihat kondisi dan keadaan semacam ini, tujuan liturgi mulia menjadi kurang
maksimal. Agar inkulturasi dapat berhasil, dengan keinginan mencapai liturgi
yang sesungguhnya maka gereja merasa perlu adanya metode dalam inkulturasi
yakni:[62]
1.Mencari bentuk
aslinya.
2.Menerapkan
pedoman-pedoman inkulturasi.
3. Mencari arti,
pesan, amanat baru yang akan disampaikan tidak lain adalah pangkal dari iman.
4. membuat penilaian,
berpangkal dari bentuk asli (metode nomor 1), mencari unsur-unsur yang cocok
(metode nomor 2 dan 3) serta mana yang tidak cocok dibuang.
5. Menyusun lagu baru,
mengujinya apakah makna kristiani cukup jelas dan lengkap.
6. Memberi penjelasan,
pengenalan kepada umat tentang arti lagu baru sehingga umat dapat memahami dan
menghayati sebagai unsur integral dalam hidup kebudayaan dan keagamaannya.
3. Badan Yang
Menangani Musik Liturgi di Indonesia
Salah
satu upaya menanggulangi hambatan adalah harus ada penelitian terhadap unsur
budaya setempat atau adat yang akan dimasukkan ke dalam upacara gereja,
sehingga pemilihan dapat selektif dan tepat mengena.
Tahta
Apostolik memberi wewenang kepada pimpinan gereja setempat supaya
penyesuaian dijalankan dengan kewaspadaan seperlunya.[63]
Ketetapan-ketetapan tentang liturgi biasanya menimbulkan kesulitan-kesulitan
khas mengenai penyesuaian, terutama di daerah-daerah misi seperti Indonesia. Maka dalam menyusun ketetapan-ketetapan
itu hendaknya tersedia ahli-ahli untuk bidang yang bersangkutan.[64]
Dipenuhi
dengan semangat Kristiani, hendaknya para seniman musik menyadari bahwa mereka
dipanggil untuk mengembangkan musik liturgi dan memperkaya khazanahnya. Jadi
diharapkan seniman-seniman musik mengarang lagu-lagu yang mempunyai sifat
liturgi yang sesungguhnya, dan tidak hanya dapat dinyanyikan oleh paduan-paduan
suara yang kecil dan mengembangkan keikutsertaan aktif jemaat beriman.
Syair-syair bagi nyanyian liturgi harus selaras dengan ajaran Katolik, bahkan
yang utama hendaknya ditimba dari kitab suci dan bersumber liturgi.[65] Itulah
panggilan dari gereja bagi pengarang musik.
Selain
itu seperti halnya Universa Laus, sebuah lembaga internasional yang
menangani musik liturgi, Indonesia mempunyai badan juga yang menangani khusus
pengembangan musik liturgi di tanah air.
Badan
yang menangani musik liturgi di Indonesia terbagi dalam tiga skala, yang
pertama adalah Seksi Musik Liturgi KWI (Konperensi Waligereja Indonesia), yang
kedua, Seksi Musik Liturgi keuskupan, dan yang terakhir adalah sanggar-sanggar
Musik Liturgi. Secara garis besar tugas pokok ketiganya meliputi tiga bidang
yakni: penyediaan sarana, pendidikan serta koordinasi dan komunikasi. Namun
berdasarkan skala wilayah yang mereka bawahi terdapat perbedaan:
3.1.
Seksi Musik Komisi Liturgi KWI
Seksi
Musik Komisi Liturgi KWI adalah bagian dari Komisi Liturgi KWI yang secara
khusus menangani bidang musik liturgi di Indonesia.[66] Seksi
Musik Komisi Liturgi KWI mempunyai wewenang menilai lagu-lagu yang sedang dan
akan beredar serta memberikan nihil obstat atas lagu-lagu liturgi.[67] Dalam
bidang koordinasi dan komunikasi Seksi Musik Komisi Liturgi KWI bertugas antara
lain:[68]
a. Mencari atau menyampaikan informasi tentang
hal-hal yang berhubungan dengan musik liturgi dari atau kepada pihak-pihak yang
berkepentingan.
b. Menyelenggarakan
atau menghadiri rapat-rapat.
c. Mengadakan Kongres Musik Liturgi.
d. Membina komunikasi
antar atau dengan Seksi Musik Liturgi.
e. Membina komunikasi antar atau dengan
Sanggar-sanggar Musik Liturgi.
f. Membina komunikasi antar para ahli musik
liturgi.
g. Mendelegasikan
tugas kepada Seksi Musik Liturgi Keuskupan, Sanggar dan ahli musik liturgi.
h. Mengusahakan adanya
buletin sebagai sarana komunikasi dan informasi tentang hal-hal yang berkaitan
dengan penyediaan sarana, pendidikan, koordinasi dan informasi serta wewenang
di bidang musik liturgi.
i.
Membina komunikasi
dengan gereja lain.
j.
Membina komunikasi
dengan instansi pemerintah.
k. Membina komunikasi
dengan seksi musik liturgi negara lain.
3.2. Seksi Musik Liturgi Keuskupan
Dalam
mengamalkan fungsi dan tugasnya, Komisi Liturgi KWI bekerjasama dengan mitranya
di tingkat keuskupan. Setiap keuskupan di Indonesia memiliki Komisi Liturgi
Keuskupan, entah sebagai komisi sendiri entah dipadukan dengan komisi lain.
Indonesia memiliki 34 Komisi Liturgi di keuskupan-keuskupan wilayah.[69]
Seksi
Musik Liturgi Keuskupan adalah bagian dari Komisi Liturgi Keuskupan yang
memikirkan pelaksanaan pengembangan musik liturgi di keuskupan yang
bersangkutan.[70]
Seksi Musik Komisi Liturgi Keuskupan mempunyai wewenang memberikan nihil
obstat kepada lagu-lagu atau buku-buku nyanyian ibadat untuk diterbitkan
dan digunakan oleh umat sekeuskupan, selain itu juga berwenang mengadakan
sensor atas lagu-lagu yang sedang dan akan beredar.[71] Dalam
bidang koordinasi dan komunikasi Seksi Musik Liturgi Keuskupan mempunyai tugas:[72]
a. Mengkoordinasi adanya dan lancarnya hubungan
antara kelompok, paroki, lembaga, sanggar dan ahli-ahli musik liturgi yang ada
di keuskupan yang bersangkutan.
b. Mencari atau
menyampaikan informasi tentang hal-hal yang berhubungan dengan musik liturgi
baik dari maupun kepada pihak-pihak yang berkepentingan di seluruh keuskupan.
c. Menugaskan seseorang, sanggar atau
sekelompok ahli musik liturgi untuk menggarap satu tugas dalam bidang musik
liturgi.
d. Membina komunikasi
dengan Seksi Musik Komisi Liturgi KWI, Seksi Musik Liturgi, dan sanggar
keuskupan lain untuk bertukar pengalaman atau menambah pengetahuan dalam bidang
musik liturgi.
e. Mengusahakan adanya buletin sebagai sarana
komunikasi dan informasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan penyediaan
sarana, pendidikan, koordinasi dan informasi serta wewenang dalam bidang musik liturgi.
f. Membina komunikasi dengan instansi pemerintah
atau lembaga-lembaga lain terkait.
3.3. Sanggar Musik
Liturgi
Yang dimaksud dengan Sanggar
Musik Liturgi adalah kelompok atau badan atau lembaga di luar Seksi Musik
Komisi Liturgi KWI dan Seksi Musik Liturgi Keuskupan, yang lewat inisiatif dan
kreatifitasnya ikut serta menggarap dan mengembangkan musik liturgi di
Indonesia.[73]
Seksi Musik Liturgi mempunyai wewenang mengusulkan dan memberikan saran-saran kepada pihak yang
berwenang mengenai hal-hal yang berkaitan dengan nihil obstat lagu-lagu
liturgi.[74]
Dalam bidang koordinasi dan komunikasi Sanggar Musik Liturgi bertugas:[75]
a.
Mencari dan menyampaikan informasi tentang hal-hal yang
berhubungan dengan musik liturgi baik dari maupun kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
b.
Menyelenggarakan atau menghadiri rapat-rapat.
c.
Membina komunikasi antar atau dengan Seksi Musik Liturgi
Keuskupan atau Seksi Musik Liturgi KWI.
d.
Membina komunikasi antar atau dengan Sanggar-sanggar Musik
Liturgi.
e.
Membina komunikasi dengan para ahli musik liturgi.
f.
Mendelegasikan tugas dengan paroki-paroki.
g.
Mendelegasikan tugas kepada para ahli musik liturgi.
h.
Mengusahakan adanya buletin sebagai sarana komunikasi dan
informasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan penyediaan sarana, pendidikan,
koordinasi dan informasi serta wewenang di bidang musik liturgi.
i.
Membina komunikasi dengan gereja lain.
j.
Membina komunikasi dengan instansi pemerintah.
k.
Membina komunikasi dengan Seksi Musik Liturgi negara lain.
Salah
satu sanggar musik liturgi adalah Pusat Musik Liturgi Yogyakarta didirikan oleh
Serikat Jesus pada tahun 1971. Pada tahun 1987 PML dijadikan salah satu bagian
dari Pusat Kataketik. Tujuan PML adalah untuk mengabdi pada perkembangan musik
di Indonesia pada umumnya dan musik liturgi pada khususnya, terutama dalam
rangka inkulturasi. Tujuan ini diusahakan melalui studi terhadap lagu-lagu
daerah dan lagu gerejani yang dikirim atau dikumpulkan, kemudian ditanggapi,
diperbaiki seperlunya dan diterbitkan. Kadang-kadang diadakan pula lokakarya
bersama para musikus daerah atau lokal. Selain itu PML melakukan rekaman dan
memproduksi Kaset. Kursus Musik Gereja yang ditangani oleh PML mendidik
dirigen, organis dan pemain gamelan. Selain itu diterbitkan pula majalah
bulanan Warta Musik Liturgi.[76]
Dalam
bidang penyediaan sarana dan pendidikan antara Seksi Musik Komisi Liturgi KWI,
Seksi Musik Liturgi Keuskupan dan Sanggar atau Pusat Musik Liturgi mempunyai
tugas yang sama. Dalam bidang penyediaan sarana antara lain:[77]
a. Menginventarisasi lagu dan buku-buku nyanyian
liturgi.
b. Menerjemahkan
lagu-lagu berbahasa asing ke dalam bahasa Indonesia atau daerah atau lagu-lagu
berbahasa Indonesia ke dalam bahasa daerah setempat.
c. Menggubah lagu-lagu baru.
d. Mengusahakan
tersedianya lagu-lagu dan buku-buku nyanyian.
e. Mengusahakan adanya dan terbacanya buku-buku
bacaan untuk menambah pengetahuan dan keterampilan tentang musik liturgi.
f. Memberikan dorongan atau petunjuk kepada
kelompok atau paroki yang ingin memiliki alat musik untuk kebutuhan ibadat.
Salah
satu usaha pengembangan musik liturgi di Indonesia adalah dalam bidang
pendidikan untuk musik liturgi. Mengenai hal ini Gereja-gereja Katolik di
Indonesia menggunakan kaidah no. 115 dari konsili suci yakni bahwa: pendidikan
dan praktek musik harus dijunjung tinggi di dalam seminari-seminari, di dalam
novisiat dan lembaga-lembaga pendidikan biarawati-biarawati demikian pula dalam
lembaga-lembaga dan sekolah-sekolah Katolik lainnya. Untuk menjamin pendidikan
ini, harus dibina dengan baik pengajar-pengajar yang ditugaskan untuk mengajar
musik suci. Selain itu dianjurkan agar apabila mungkin, didirikan Sekolah
Tinggi Musik Suci. Seniman-seniman musik, penyanyi-penyanyi terutama anak-anak
harus pula diberikan pendidikan liturgi.[78]
Dalam
bidang pendidikan tugas komisi-komisi liturgi itu antara lain:[79]
a. Menyelenggarakan atau memberikan penataran
musik liturgi, misalnya penataran dirigen, organis, solis dan pemazmur.
b. Mengadakan
lokakarya musik liturgi.
c. Menyelenggarakan atau memberikan kursus
musik liturgi.
d. Mengusahakan
tersedianya tenaga ahli di bidang musik liturgi.
e. Menanggapi lagu-lagu yang sedang beredar,
dan sejauh perlu memberikan saran-saran perbaikan.
C. Wujud Inkulturasi Musik Liturgi di Indonesia
Penyesuaian
secara oikumenis terjadi di dalam gerakan liturgis (Liturgical Movement).
Gerakan Liturgis dimulai sejak pertengahan abad ke-19 dan memuncak pada Konsili
Vatikan II di gereja Roma Katolik (1963-1965). Penyesuaian dan gerakan
liturgis, memberikan pembaharuan pada unsur-unsur di dalam liturgi. Tata
ibadat, termasuk tata ruang, para petugas, simbolik, tata gerak, musik, dan
sakramen dalam liturgi ditempatkan dalam pemahaman kontekstualisasi dan
semangat gerakan liturgis.[80]
Sejarah
penyesuaian liturgi pada abad ke-20 tiba pada pergumulan kontekstualisasi,
terutama bagi gereja-gereja di Asia, termasuk di Indonesia. Penyesuaian dibuka
terutama dalam hal pelayanan sakramen, sakramentalia, perarakan, bahasa
liturgi, musik, dan seni suci. Inkulturasi liturgi dan musik liturgi adalah
suatu tuntutan dari Konsili Vatikan II serta keputusan Kongres liturgi dan
musik liturgi di Indonesia. Sedangkan Indonesianisasi merupakan suatu langkah
khusus sesuai dengan situasi di Indonesia. Kepulauan Indonesia ternyata tidak
merupakan suatu kesatuan kebudayaan tetapi menunjukkan perbedaan-perbedaan yang
cukup besar antara pulau dan kebudayaan masing-masing. Maka sulit dicari suatu
musik gereja Indonesia karena tidak ada kebudayaan Indonesia. Yang ada adalah
kebudayaan dan musik Flores, Batak, Dayak, Jawa dan sebagainya.
Dilain
pihak, perbedaan-perbedaan di antara daerah dirasa sebagai kebhinekaan yang
cukup segar, gaya masing-masing daerah atau suku memuat suatu ungkapan yang
khas. Bila nyanyian-nyanyian itu diberi kedudukan dalam ibadat secara
fungsional maka tidak hanya akan menimbulkan suatu variasi yang kaya tetapi
juga masing-masing lagu dapat mendukung apa yang ingin dicapai pada saat itu
dalam ibadat.
1. Inkulturasi Musik
Liturgi di Daerah-daerah Indonesia
1.1. Di Flores dan
Timor
Pada tahun 1966 sampai 1970 di
seminari Tinggi Ledalero Flores merupakan masa jaya pencarian nyanyian ibadat
baru. Meskipun lagu yang dihasilkan berlagu dan bernada Barat, namun bentuk dan
syair sudah bernafas liturgi baru. Hasilnya
diterbitkan dalam seri Turut Serta di Ende 1967 dan seterusnya,
dengan pengarang seperti Jan Riberu, Dan Kitti SVD, Martin Runi, Alfons Hayon
dan sebagainya. Kemudian untuk sebagian lagu Turut Serta masuk pula
dalam buku nyanyian Syukur Kepada Bapa.[81]
Buku ini untuk sebagian besar
merupakan hasil kerja dari tim P. Appie Van der Heijden SVD bersama P. Alex
Beding SVD. Dengan usaha untuk mengambil alih lagu dari Jubilate dengan
mengganti syair serta menambah lebih banyak lagu mazmur maka terkumpullah 403
nyanyian. Namun hanya sedikit sekali lagu yang bernada Flores. Sebagai buku yang
sesuai dengan liturgi sesudah Konsili Vatikan II, buku nyanyian ini tidak
begitu menarik. Akibatnya umat semakin merasa kehilangan tradisi nyanyian
sehingga masuk akal bila ada suara yang ingin kembali pada buku nyanyian Jubilate.
Dengan demikian keadaan musik gereja di Nusa Tenggara Timur menjadi sangat heterogen.
Keinginan untuk mempertahankan tradisi dimana sudah terjadi perubahan di dalam
gereja, liturgi dan dalam kebudayaan menghambat timbulnya rasa dahaga pada
nyanyian baru.
Lebih dekat pada kebudayaan
Flores adalah usaha yang diadakan di Seminari Menengah Mataloko, Bajawa,
Flores. Pada tahun 1970 dirayakan hari ulang tahun ke-40 Seminari Menengah.
Alasan ini mendorong komponis muda, Martin Runi mengarang satu deretan lagu
misa atas dasar motif-motif lagu adat Ngada
yang sekaligus disertai tarian.[82] Dengan
cukup teliti motif-motif dipilih dan dengan dikembangkannya cukup lagu, maka
akhirnya terwujudlah misa Panca Windu karangan Martin Runi yang untuk
pertama kalinya dipentaskan dan ditarikan tahun 1970 di Mataloko. Berdasarkan
pengalaman ini, Martin Runi mengarang sejumlah lagu lain dengan motif Belu, Timor antara lain Misa Senja.
Pada
tahun 1974, Larantuka, Flores Timur mendapat seorang uskup baru Mgr. Darius
Nggawa. Terdorong oleh kebanggaan atas diangkatnya seorang pribumi sebagai
uskup setempat, maka Matius Weruin, seorang guru musik yang cukup terkenal di
seluruh Flores Timur, mengarang sebuah misa dengan mengolah bagian-bagian lagu
daerah setempat yakni lagu Dolo-dolo menjadi Misa Dolo-dolo. Misa
ini dengan cepat tersebar di seluruh wilayah Nusa Tenggara Timur, suatu bukti
betapa tepat hasil karya ini. Meskipun demikian, mula-mula terdapat juga suara
yang merasa teringat lagu daerah aslinya dan kedudukannya sebagai lagu hiburan,
namun nyanyian baru tersebut begitu kuat ungkapannya sehingga berhasil merebut
hati.
Pada
tahun 1977 Seminari Tinggi Ledalero kembali menjadi pusat perkembangan lagu
liturgi, berhubung akan dirayakannya HUT ke-40 Seminari Tinggi ini, maka
lahirlah Misa Pengembara yang diprakarsai antara lain oleh P.
Anton Sigoama, P. Alfons Hayon, serta P. Dan Kitti. Memang pantas untuk dipuji
terutama syair nyanyiannya.[83]
Disamping
itu tentu saja masih terdapat banyak
lagi percobaan di dalam paroki-paroki yang tersebar di kepulauan Flores, Timor,
dan Sumba. Namun tetap terasa bahwa belum ada pengganti untuk Jubilate.
Buku Madah Bakti belum banyak beredar di Flores dan Timor, tahun 1986 kurang
lebih hanya terdapat 15.000 buku Madah Bakti di Flores dan 20.000 buku
di Timor. Hanya keuskupan Weetebula, Sumba yang berani mengambil langkah untuk
memakai buku Madah Bakti malah dengan edisi khusus yakni dengan tambahan
47 lagu kesayangan umat Sumba dari buku Syukur Kepada Bapa.
Di
Flores dan Timor umat tidak terlalu aktif dalam ikut bernyanyi terutama karena
tidak ada buku. Secara lokal, kekosongan-kekosongan ini diatasi dengan
komposisi-komposisi oleh dirigen atau komponis setempat. Namun ternyata yang
bernyanyi terutama koor. Lagu-lagu baru sepertinya lenyap seperti stensilan
yang dibuat untuk beberapa kali pakai. Lagu yang khas bergaya Flores dan Timor
ada juga, terutama lagu yang merupakan hasil lokakarya komposisi yang diadakan
dalam kerjasama dengan Pusat Musik Liturgi Yogyakarta tahun 1979 di Detusoko
Flores dan tahun 1986 di Betun, Timor.
1.2.
Di Jawa Tengah
Sebelum
Konsili Vatikan II gendhing sudah digunakan dalam perbuatan liturgi. Namun
setelah Konsili Vatikan II yang secara terang-terangan mendukung ide
inkulturasi, maka dengan marak tumbuhlah banyak sekali gendhing Mazmur antara
lain oleh M. Siswanto, Ign. Pujoharsono, RL. Suwardja, Z. Sudiro, dan V.
Marsudi. Kemudian dikumpulkan oleh RM. Wahyosudibyo Pr dan diterbitkan diawal tahun 70-an dengan judul Kidung
Mazmur Gendhing Jawi, Gendhing Pengiring Bojana Kurban, Kidung Suci Gendhing
Jawi Minggu Adi. Satu langkah lebih baru lagi adalah eksperimen di sekitar
Kisah Sengsara, Macapat, dan kethoprak, Rm. Fx. Wiyono Pr bersama JB. Sukodi
main peranan yang cukup besar. Sebagian eksperimen ini didokumentasikan dalam
kaset gendhing gereja yang diterbitkan oleh PML.[84]
Tahun
1968 Seksi Musik Kolsani menerbitkan buku Kidung Anyar Kagem Gusti dengan
Mazmur-mazmur namun bukan gendhing. Pada tahun 1975 Rm. Wahyusudibyo
menerbitkan 2 jilid buku nyanyian gereja Jawa dengan judul Kidung Puji
Ekaristi, namun peredaran buku nyanyian ini hanya di paroki Jetis saja. PML
menerbitkan pada tahun 1978 suatu kumpulan lagu gereja non gendhing dengan judul
Cahaya Sumunar. Tahun 1983 suatu panitia khusus dari keuskupan Agung
Semarang bersama PML menyusun buku Kidung Adi yang merupakan suatu
paduan antara gaya gendhing dan lagu gereja dengan tangga nada diatonis,
baik dengan lagu dan doa.
1.3. Di Sumatra
Inkulturasi di Sumatra Utara terutama Batak
tidaklah mudah. Hal ini berhubungan dengan kedudukan musik Batak. Dalam suku
Batak Toba umumnya musik tradisional berhubungan dengan gondang, artinya
merupakan iringan tarian (Tortor). Sedangkan lagu daerah Toba sudah
sedikit menjauh dari pola ini dan berbau Barat. Dalam suku Simalungun terdapat
beberapa langkah menciptakan lagu gereja dengan irama cengkok Simalungun: Misa,
lagu kisah sengsara dan sebagaimana dalam bahasa Simalungun antara lain hasil
Seminari Tinggi Pematang Siantar. Di Paroki Seribudolok pada tahun 70-an
seorang pastor Belanda meminta kepada seorang pemusik tradisional yang beragama
Islam untuk menciptakan beberapa lagu gereja yang bercorak dan berbahasa
Simalungun. Lagu ini sidetensil, contohnya terdapat dalam kaset PML 36 Puspa
Ragam Musik Gereja Indonesia.[85]
Suku
Batak kuno dirasa agak asing diantara suku Batak, baru sekarang hal ini mulai
diperhatikan oleh gereja maka belum terdapat banyak sekali hasil inkulturasi.
Sementara suku Batak Pakpak, Dairi merupakan suku Batak yang paling kecil dan
terpencil, maka langkah inkulturasi belum sempat dijalankan.
Sekitar
bulan Juni-Juli 1986, dalam lokakarya Komposisi Keuskupan Agung Medan di
Pematang Siantar untuk pertama kali diadakan langkah serius untuk mempelajari
lagu Batak dan mengolahnya kembali atau mencipta lagu-lagu gereja baru yang
bercorak Batak. Lokakarya ini dibimbing oleh tim dari PML menghasilkan 42 lagu
baru yang belum diterbitkan.
Situasi
khusus terjadi di pulau Nias, ia terpencil namun berkebudayaan dan berbahasa
khusus. Sebagaimana di Batak begitu juga di Nias, para pendeta pada abad yang
lalu melarang segala unsur adat namun ternyata tidak seratus persen berhasil.
Di pegunungan dan ujung selatan masih hidup musik tradisional, terutama yang
berhubungan dengan perang dan pertandingan. Namun lagunya terlalu galak untuk
diolah begitu saja menjadi lagu ibadat. Sedangkan tari Maena yang sangat
populer di pulau Nias, tidak berakar pada musik adat ini melainkan berbau
Barat. Maka belum banyak terdapat lagu gereja yang khas Nias.
1.4.
Di Kalimantan
Suku-suku
Dayak di Kalimantan tidak merupakan satu kesatuan kultural. Hubungan antara
Kalbar dan Kalteng serta Kaltim cukup sulit pula. Maka tidak mengherankan bahwa
belum terdapat banyak langkah kearah inkulturasi. Atau mungkin ada langkah
namun tidak diketahui selain orang setempat. Kesempatan lokal tentu selalu ada
seperti hari raya (Natal, Paskah, perkawinan, syukur atas panen, tahbisan) atau
kematian. Musik tradisional Kalimantan terutama berupa lagu instrumental
sebagai iringan tarian. Maka sanggar yang dibuka oleh P. Lucius Ginting OFM Cap
di Pahauman Kalbar berupa sanggar tari dengan tim pengiringnya. Hasil berbagai
tari untuk ibadat (persembahan, syukur dan sebagainya) serta kaset dan
musiknya. Namun setelah P. Lucius Ginting OFM Cap pindah ke Pontianak, sanggar
di Pahauman sedikit mengalami kemunduran. Begitu juga dengan nasib
sanggar-sanggar swasta yang pernah didirikan di Sanggau, Putusibau (Kalbar),
Buntok (Kalteng) dan sebagainya.
P.
Huvang MSF (seorang putra asli Kaltim) keuskupan Banjarmasin, pada bulan juli
1984 mengundang tim PML untuk mengadakan lokakarya komposisi di Buntok
Kalimantan Tengah bersama 40 pemusik daerah. Hasilnya adalah 20 lagu gereja
baru. Pada tahun 1985 usaha semacam ini dilakukan di Tering Kalimantan Timur
untuk para pemusik dari Kaltim. Atas inisiatif PML para uskup sedaerah di
Kalimantan memutuskan untuk menerbitkan lagu tersebut sebagai tambahan dalam
Madah Bakti edisi khusus Kalimantan. Sebanyak 45 lagu tersebut termuat pula
dalam buku dan kaset Buluh Puncak Awangan terbitan PML 1986.
1.5.
Di Sulawesi
Daerah di Sulawesi yang sudah menjadi Kristen
adalah Toraja dan Manado. Terutama di Sulawesi Utara sudah terdapat inkulturasi
berkaitan dengan Musik Kolintang. Di seluruh Indonesia alat musik Kolintang
sudah sangat populer. Sejak akhir tahun 60-an terdapat lagu gereja yang
diciptakan terutama di sekitar seminari Tinggi Pineleng Sulawesi Utara.
Lagu-lagu itu mengambil inspirasi irama dan corak dari tari daerah Maengket dan
musik Kolintang. Maka lahirlah sejumlah lagu misa dan Mazmur yang diterbitkan
oleh PML tahun 1974 dengan judul Misa Minahasa dan kaset Majulah ke
Depan. Dalam Madah Bakti terdapat sejumlah lagu terpilih dari
koleksi ini, namun sayang usaha pengolahan musik tradisional Minahasa macet
sejak pertengahan tahun 70-an hal ini disebabkan para tokohnya seperti P.
Tinggogoy, Felix Mongdong, dan Pontoan pindah ke Jawa.
1.6.
Di Maluku dan Irian Jaya
Nasib inkulturasi di kepulauan Maluku sama
seperti di Kalimantan, karena komunikasinya sulit maka kurang diketahui. Namun
sebenarnya ada langkah-langkah lokal hanya tidak ada dokumentasi.
Setelah
Konsili Vatikan II pada tahun 1979 di keuskupan Ambon diterbitkan buku nyanyian
gereja dengan judul Mari Bermadah, namun lagu yang bercorak tradisi Kei
atau Tanimbar atau Ambon tidak termuat dalam buku tersebut. Buku Mari
Bermadah masih tetap dipakai di Ambon karena buku nyanyian Madah Bakti
belum banyak beredar di sana.[86]
Pada
tahun 1978 Irian Jaya menjadi terkenal, karena di sana muncul satu deretan lagu
gereja dengan judul Misa Maiwana. Setelah diteliti lagu ini ternyata
lahir di Papua Nugini dan diIndonesiakan di Irian Jaya. Sebagian dari
misa ini juga termuat dalam Madah Bakti. Yang beredar di sana ada 20.000
eksemplar lebih.
2. Inkulturasi dalam
Buku Nyanyian Liturgi Madah Bakti
Sebagai
jerih payah para komisi-komisi Musik Liturgi, tokoh-tokoh gereja,
seniman-seniman gereja, atas lokakarya-lokakarya dan musyawarah liturgi serta
musik liturgi yang dilakukan berkaitan dengan penegasan Konsili Vatikan II
pantaslah disebutkan di sini adalah buku Madah Bakti.
Selain
memuat sederetan lagu-lagu daerah yang diambil dari buku-buku nyanyian liturgi
yang telah terbit sebelumnya penerbitan buku ini juga untuk memenuhi keinginan
umat yang haus akan adanya satu buku pedoman untuk nyanyian liturgi. Hal ini
juga didukung oleh ketentuan konstitusi
liturgi mengenai musik suci nomor 117 mengenai penerbitan buku-buku nyanyian
liturgi terutama untuk nyanyian Gregorian dan nyanyian yang lebih
sederhana. Bahwa edisi contoh buku-buku Gregorian harus diselesaikan,
bahkan harus disiapkan penerbitan yang lebih kritis dari buku-buku yang telah
diterbitkan sesudah pembaharuan Santo Pius X. Juga baik apabila disiapkan
penerbitan yang memuat lagu-lagu yang lebih sederhana untuk digunakan di
gereja-gereja yang lebih kecil.[87]
Setelah diterbitkannya beberapa buku nyanyian
liturgi sebelumnya, maka pada saat Kongres Musik Liturgi III pada tahun 1980 di
Jakarta terbit buku doa dan nyanyian gereja berjudul Madah Bakti. Madah
Bakti merupakan salah satu wujud inkulturasi dan Indonesianisasi, suatu
bentuk yang sesuai dengan Konsili Vatikan II. Dalam Madah Bakti tersebut
memuat kebhinekaan Indonesia.
Madah
Bakti
disusun dan disebarkan oleh Pusat Musik Liturgi Yogyakarta. Selain nyanyian di
dalam buku ini terdapat pula sejumlah doa. Nyanyian-nyanyian di dalamnya
mencerminkan perkembangan musik liturgi di Indonesia sesudah Konsili Vatikan
II. Sepertiga (kurang lebih 150 lagu) dari khazanah lagu Madah Bakti merupakan
lagu terjemahan dari Eropa. Lagu yang diambil alih dari gereja Barat (lagu Natal,
Maria, Gregorian). Sepertiga lagi merupakan lagu ciptaan baru
oleh beberapa komponis Indonesia, namun bercorak Barat atau bergaya musik
internasional. Dan sepertiga yang terakhir mencerminkan suatu gaya khas
kedaerahan Indonesia, gaya Flores, Jawa, Kalimantan, Pentatonis dan sebagainya.
Gaya
kedaerahan dalam buku Madah Bakti ini merupakan suatu kesempatan untuk
merayakan ibadat dengan lagu daerah setempat, sehingga lebih mengena di hati.
Kebhinekaan dalam 450 lagu tersebut dimaksudkan agar umat dapat memilih nyanyian
sesuka hati. Madah Bakti memberikan kesempatan untuk mengenal lagu dari
daerah Indonesia, jiwa orang Katolik di Indonesia. Tubuh Kristus mempersatukan
suku, maka boleh juga Madah Bakti ini digunakan di luar daerah yang
bersangkutan asal disenangi.
Pada
Tahun 1992 diterbitkan Madah Bakti Suplemen dengan 270 lagu baru dari
daerah-daerah di Indonesia yang sampai saat itu kurang diwakili. Jumlah Madah
Bakti yang diedarkan sampai tahun 1994 mencapai hampir dua juta eksemplar.
Beberapa keuskupan menambah lampiran khusus pada Madah Bakti.
Mengenai Madah
Bakti 2000
Sejak tahun 1997 Pusat Musik Liturgi berusaha
untuk mengadakan penyegaran buku Madah Bakti yang pertama kali terbit
tahun 1980. Dalam penyegaran ini tetap mempertahankan 450 nyanyian, namun 52
lagu diganti dengan lagu baru. Selain itu, nomor-nomor, syair dan lagu nyanyian
Madah Bakti lama dipertahankan. Hal ini dimaksudkan supaya buku Madah
Bakti lama dapat dipakai bersama dengan buku Madah Bakti baru,
terutama buku-buku kor dan buku-buku iringan tetap berguna. Selain itu Pusat
Musik Liturgi Yogyakarta berpendapat bahwa sebuah nyanyian yang sudah dihapal
tidak boleh dirubah lagu dan syairnya karena sudah menjadi daging, sudah
menjadi milik umat sehingga dapat dinyanyikan sebagai doa.
Dalam Madah Bakti edisi 2000 ini lagu Gregorian
ditiadakan karena ternyata kurang dipakai, cukup sulit untuk dinyanyikan
sehingga diganti dengan Mazmur dan Kidung. Meski di satu pihak
banyak umat yang belum merasa pas dengan Mazmur, namun di lain pihak isi
sejumlah Mazmur sangat aktual dengan hidup zaman sekarang. Untuk peminat lagu Gregorian
sudah ada buku khusus yang berjudul Lux et Origo terbitan PML juga.
Nyanyian baru dalam buku Madah Bakti 2000
berasal dari 39 lokakarya Komposisi yang diadakan oleh pusat Musik Liturgi di
berbagai daerah bersama lebih dari 1000 pemusik dari berbagai keuskupan.
Lagu-lagu diciptakan bersama-sama dengan tujuan untuk memperkaya liturgi dengan warna-warna unsur musik
tradisi Indonesia.[88]
Begitulah kiranya, musik gereja di Indonesia
ternyata berkembang terus sesuai dengan tugasnya dari Konsili Vatikan II
dan keputusan Konperensi Uskup Indonesia
yakni untuk berinkulturasi.
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Sebelum Konsili Vatikan
II musik liturgi di Indonesia telah mengalami inkulturasi berdasarkan izin dari
keuskupan Roma, dan setelah Konsili Vatikan II usaha inkulturasi musik liturgi
diusahakan secara lebih baik, inkulturasi menjadi tanggung jawab bersama dan
dokumen Konsili Vatikan menjadi sumber dan pedomannya.
2. Keanekaragaman suku,
budaya dan bahasa yang berbeda memang bisa menjadi suatu kebanggaan tersendiri
bagi inkulturasi musik liturgi, namun dalam prosesnya hal itu juga bisa menjadi
suatu kendala, sementara terdapat masalah pokok di sekitar inkulturasi sebagai
akibat kehidupan modern misalnya, adanya sikap kurang menghargai budaya sendiri
dan cenderung mengadopsi kebudayaan dari Barat.
3. Setelah Konsili Vatikan
II kegiatan inkulturasi musik liturgi di Indonesia kian marak, lokakarya musik liturgi yang diadakan menghasilkan kreasi-kreasi
baru dalam musik liturgi seperti dalam buku nyanyian Madah Bakti, sehingga
tidak hanya dikenal musik Gregorian dan Polifoni Suci yang selama ini biasa
digunakan dalam beribadat.
B.
Saran-Saran
1. Musik liturgi di Indonesia
senantiasa terus berkembang sesuai dengan konteks kebudayaan dan masyarakat
yang senantiasa dinamis. Kajian dari seorang sarjana dalam bidang Perbandingan
Agama sungguh diperlukan untuk mengungkap kasus lebih lanjut dari permasalahan
musik liturgi di Indonesia .
2. Adapun manfaat
penelitian ini bagi umat Islam adalah memperluas wacana dan pengetahuan tentang
musik liturgi untuk dijadikan bahan bagi usaha pengembangan khazanah musik
Islami, seperti dibentuknya suatu badan khusus yang menangani pengembangan musik
tersebut.
[1] Theo Witkamp, Th.D, “Mazmur-mazmur
Kekristenan Purba dalam Konteks Yahudi Abad Pertama”, dalam Gema Duta
Wacana, Edisi Musik Gereja (Yogyakarta: Gema Duta Wacana, 1994), hlm. 16.
[2] Ibid.
hlm.18.
[3] “Gregorian adalah lagu ibadat Kristiani
tertua.” Lihat Adolf Heuken SJ, Ensiklopedi Gereja Jilid I (Jakarta:
Yayasan Cipta Loka Caraka, 1991), hlm. 399.
[4] “Pius X
menjabat sebagai Paus (1903-1914) sesuai dengan semboyannya ia ingin membaharui
segalanya dalam Kristus dan memusatkan usahanya pada masalah gereja, memajukan
pembaharuan liturgi dan doa ofisi.“ lihat Adolf Heuken SJ, Ensiklopedi
Gereja Jilid IV (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1994), hlm. 12.
[5]
Karl-Edmund Prier SJ. Pedoman Untuk Nyanyian dan Musik dalam Ibadat
Dokumen Universa Laus (Yogyakarta: PML, 1987), hlm. 8.
[6] Adolf
Heuken SJ, Ensiklopedi Gereja Jilid II (Jakarta: Yayasan Cipta
Loka Caraka, 1992), hlm. 59.
[7] Adolf
Heuken SJ, Ensiklopedi Gereja Jilid III (Jakarta: Yayasan Cipta Loka
Caraka, 1993), hlm. 197.
[8]
Karl-Edmund Prier SJ, Kedudukan Nyanyian Dalam Liturgi
(Yogyakarta: PML, 1987), hlm. 4.
[9] Gabriel
Manek SVD, Instruksi Tentang Musik di dalam Liturgi (Ende: Arnoldus,
1967), hlm. 5.
[10] Seksi
Musik Komisi Liturgi KWI, Directorium Tentang Pengembangan Musik Liturgi di
Indonesia (Yogyakarta: Komisi Liturgi KWI, 1989), hlm. 3.
[11] JB Hari
Kustanto SJ, Inkulturasi Agama Katolik dalam Kebudayaan Jawa
(Yogyakarta: Pusat Pastoral Yogyakarta, 1989), hlm. 8.
[12]
Jean-Yves Calves, “Hakikat Inkulturasi”, dalam Rohani, XXXIII,
No. 8, Agustus 1986, hlm. 266.
[13]
Karl-Edmund Prier SJ, Inkulturasi
Nyanyian Liturgi (Yogyakarta: PML, 1986), hlm. 3.
[14]
Karl-Edmund Prier SJ, Pedoman….op.cit., hlm. 3.
[15] Seksi
Musik Komisi Liturgi KWI, loc.cit..
[16] Romdon, Metodologi
Ilmu Perbandingan Agama: Suatu Pengantar Awal (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1996), hlm. 76-77.
[17] Sutrisno
Hadi, Metodologi Research Jilid I (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas
Psikologi UGM, 1998), hlm. 42.
[18] Winarno
Surakhmad, Pengantar Penelitian
Ilmiah: Dasar, Metode, dan Teknik (Bandung Tarsito, 1990), hlm 131.
[19] “Musik Gereja dan Remaja”, dalam Musik dalam
Ibadah di Komisi Remaja SMP, at http:
//www.gkjmb.or.id.bulletin10/tiwi.html., hlm.1.
[20]
Karl-Edmund Prier SJ, “Perkembangan Musik Gereja Sampai Abad ke-20”,
dalam Gema Duta Wacana, Edisi Musik Gereja (Yogyakarta: Gema Duta
Wacana, 1994), hlm. 35-36.
[21] “Musik
Gereja dan Remaja,……”,op. cit., hlm.1.
[22] Schola adalah sebutan bagi sekelompok
penyanyi terlatih.
[23] Karl-Edmund Prier SJ, “Perkembangan……”.op.
cit., hlm. 36.
[24] Ibid, hlm. 37.
[25] Ibid.
[26] Musik Klerikal
adalah musik yang menjadi bagian tugas atau yang dilakukan oleh Klerus
(orang-orang beriman yang menerima tahbisan diakoniat, imanat atau keuskupan).
[27] “Profan berasal dari kata profane dalam
bahasa Inggris, yang menurut bahasa berarti kotor, tidak senonoh, tidak sopan.
Namun dalam arti yang berlawanan dengan kata sacred (suci) profan
berarti duniawi, biasa.” Lihat John M. Echols dan Hassan Sadily, Kamus
Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm. 449.
[28]
Karl-Edmund Prier, “Perkembangan……..” op. cit, hlm. 37.
[29]
Karl-Edmund Prier SJ,”Perkembangan …..…”, op. cit., hlm.
41.
[30]
Karl-Edmund Prier SJ, Sejarah Musik I (Yogyakarta: PML, 1991), hlm.93.
[31]
Karl-Edmund Prier SJ, “Perkembangan…….”,op. cit., hlm. 47-49.
[32] Devosional
adalah sesuatu yang bersifat kebaktian. Aliran Musik Devosional adalah
aliran yang bersifat ibadat kebaktian keagamaan dalam hubungannya dengan devosi,
ketaatan.
[33]
Karl-Edmund Prier SJ, Pedoman Untuk Nyanyian dan Musik dalam Ibadat Dokumen
Universa Laus (Yogyakarta: PML, 1987), hlm. 4.
[34] Ibid.
hlm. 5.
[35] JB. Hari
Kustanto SJ, Inkulturasi Agama Katolik dalam Kebudayaan Jawa
(Yogyakarta: PPY, 1989), hlm. 40.
[36] R.
Hardawiryana SJ, Dokumen Konsili
Vatikan II (Jakarta: Obor, 1993), hlm.
V.
[37] J.
Riberu, Tonggak Sejarah Pedoman Arah (Jakarta: Dokpen MAWI, 1983), hlm.
II.
[38] R.
Hardawiryana, op. cit., hlm. 42.
[39] J. Riberu, op. cit., hlm. 38.
[40] R.
Hardawiryana, loc.cit..
[41] Ibid, hlm. 44.
[42] Ibid, hlm. 18.
[43]
Jean-Yves Calves, “ Hakikat Inkulturasi”,dalam Rohani, Tahun
XXXIII, No. 8.
[44] JB. Hari Kustanto SJ., Inkulturasi Agama Katolik dalam
Kebudayaan Jawa (Yogyakarta: PPY, 1989),hlm.40.
[45] Rasid
Rachman, Pengantar Sejarah Liturgi (Tangerang: Bintang Fajar, 1999),
hlm.122.
[46] Komisi
Liturgi MAWI, “Inkulturasi” dalam Bina Liturgia I (Jakarta: Obor, 1985), hlm. 19.
[47] Adolf
Heuken SJ, Ensiklopedi Gereja Jilid II (Jakarta: Yayasan Cipta Loka
Caraka, 1992), hlm. 103.
6
Sekertariat
PWI Liturgi, Inkulturasi Liturgi (Jakarta: DokPenMawi, 1980), hlm. 219.
7
[50] Anscar
J. Chupungco OSB, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, (Yogyakarta:
Kanisius,1987), hlm. 11.
[51]
Aristarchus Sukarto, “Kontekstualisasi Musik Gerejawi: Suatu
Pertimbangan Teologis dan Kultural”,dalam Gema Duta Wacana no. 48
Edisi Musik Gereja Oktober 1996, hlm. 119.
[52] Ibid. .
.
[53] Antonius K. Budi, Mari Bernyanyi Bersama
at http://www.mudika. com/inspirasi/myview.php?InspID.
.
12 Lee Chong Ming, Musik Gereja Saat Ini:
Musik Bukan Hanya Merupakan Suatu keindahan, at http://
www.gkjmb.or.id/buletin10/kampmusik.html.
13 Aristarchus Sukarto, op.cit., hlm. 122.
14 Ibid.
15 Ibid.I
[54]
Karl-Edmund Prier SJ., Inkulturasi Nyanyian Liturgi (Yogyakarta:
PML, 1986), hlm. 11.
[55] Ibid.,
hlm. 11-12.
[56] Anscar J. Chupungco OSB, Penyesuaian Liturgi
dalam Budaya (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 13.
[57] Rasid Rachman, Pengantar Sejarah Liturgi
(Tangerang: Bintang Fajar, 1999), hlm. 123.
[58] J. Riberu,Tonggak Sejarah Pedoman Arah
(Jakarta: Dokpen MAWI, 1983), hlm. 38.
[59] Ibid, hlm. 39.
[60] Ibid.
[61] Sekretariat PWI Liturgi, Inkulturasi Liturgi
(Jakarta: Dokpen MAWI, 1980), hlm. 233.
[62] Ibid.
hlm. 288.
[63] R.
Hardawiryana, Dokumen Konsili Vatikan II (Jakarta: Dokpen KWI, Obor,
1993), hlm. 18.
[64] Ibid.
[65]J. Riberu, op. cit., hlm. 39-40.
[66] Seksi Musik Komisi Liturgi KWI, Directorium
Tentang Pengembangan Musik Liturgi di Indonesia (Yogyakarta: Komisi Liturgi
KWI, 1989), hlm. 6.
[67] Ibid.
hlm. 8
[68] Ibid.
hlm. 7-8.
[69] Komisi
Liturgi KWI, Profil Liturgi, at http:
//www.kawali.org/profil-liturgi.html.
[70] Seksi
Musik Komisi Liturgi KWI, op. cit., hlm. 10.
[71] Ibid.
hlm. 12.
[72] Ibid.
hlm. 11.
[73] Ibid. hlm. 13.
[74] Ibid. hlm. 14.
[75] Ibid.
[76] Adolf
Heuken SJ, Ensiklopedi Gereja Jilid IV (Jakarta: Cipta Loka Caraka,
1994), hlm. 60-61.
[77] Seksi
Musik Komisi Liturgi KWI, op. cit., hlm. 6-7.
[78] J.
Riberu, Tonggak Sejarah Pedoman Arah (Jakarta: Dokpen MAWI, 1983), hlm. 39.
[79] Seksi
Musik Komisi Liturgi KWI, op. cit., hlm. 7.
[80] Rasid
Rachman, Pengantar Sejarah Liturgi (Tangerang: Bintang Fajar, 1999),
hlm. 121.
[81]
Karl-Edmund Prier SJ, Inkulturasi…..op. cit., hlm. 9.
[82] Dalam
Gereja Katolik selain musik liturgi dikenal pula tari liturgi,
yaitu liturgi yang ditarikan atau tarian yang merupakan bagian dari suatu
liturgi, meskipun tidak setiap saat ada atau digunakan dalam perayaan misa.
[83] Karl-Edmund Prier SJ, Inkulturasi……op.cit.,
hlm. 10.
[84]
Karl-Edmund Prier SJ, Inkulturasi…….op. cit., hlm. 12.
[85] Ibid.,
hlm. 13.
[86]
Karl-Edmund Prier SJ, Inkulturasi…….op. cit., hlm. 16.
[87] J.
Riberu, Tonggak Sejarah Pedoman Arah (Jakarta: Dokpen MAWI, 1983), hlm. 39.
[88] Pusat
Musik Liturgi Yogyakarta, Madah Bakti Buku Doa dan Nyanyian Edisi 2000 (Yogyakarta : Pusat Musik Liturgi, 2000), hlm. Kata
Pengantar.
0 komentar:
Post a Comment