“ Tinjauan
Yuridis Terhadap Tindak Pidana Phedofilia”.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Permasalahan yang sangat
penting kiranya untuk membahas tentang Hak Asasi manusia (HAM) pada segala
aspek kehidupan, khususnya adalah perlindungan terhadap anak di Indonesia .
Masalahnya perlindungan anak baru menjadi perhatian masyarakat Indonesia pada kurun waktu tahun 1990an, setelah
secara intensif berbagai bentuk kekerasan terhadap anak di Indonesia diangkat kepermukaan oleh
berbagai kalangan. Fenomena serupa muncul pula diberbagai kawasan Asia lainnya,
seperti di Thailand, Vietnam dan Philipina, sehingga dengan cepat isu ini
menjadi regional bahkan global yang memberikan inspirasi kepada masyarakat
dunia tentang pentingnya permasalahan ini.
Masalah ekonomi dan
sosial yang melanda Indonesia berdampak
pada peningkatan skala dan kompleksitas yang di hadapi anak Indonesia yang
ditandai dengan makin banyaknya anak yang mengalami perlakuan salah,
eksploitasi, tindak kekerasan, anak yang didagangkan, penelantaran, disamping
anak-anak yang tinggal di daerah rawan konflik, rawan bencana serta anak yang
berhadapan dengan hukum dan lain-lainnya. Dampak nyata yang berkaitan dengan
memburuknya kondisi perekonomian dan krisis moneter adalah meningkatnya jumlah
anak di Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) milik masyarakat lebih diperberat lagi
dengan menurunnya pendapatan masyarakat yang merupakan salah satu sumber dana.[1]
Dampak negatife
dari kemajuan revolusi media elektronik mengakibatkan melemahnya jaringan
kekerabatan keluarga besar dan masyarakat yang dimanisfestasikan dalam
bentuk-bentuk fenomena baru seperti timbulnya kelompok-kelompok rawan atau
marjinal. Misalnya eksploitasi anak di bawah umur 18 tahun sebagai pekerja seks
di Indonesia, dimana menurut data DUSPATIN 2002 jumlah anak yang bekerja
sebagai pekerja seks komersil di bawah umur 18 tahun adalah 70.000 anak di
seluruh Indonesia. Anak-anak yang terjerat pada oknum yang memanfaatkan
eksploitasi anak sebagai pekerja seks komersil terus meningkat. Keadaan ini
membuat anak beresiko tinggi tertular penyakit yang disebabkan hubungan seksual
khususnya HIV/AIDS.
Laporan dari UNICEF
mengenai upaya perlindungan khusus kepada anak-anak, tercatat bahwa dewasa ini
banyak anak-anak di Indonesia mendapat perlakuan yang sangat tidak layak, mulai
dari masalah anak jalanan yang berjumlah lebih dari 50.000 orang, pekerja anak
yang dieksploitasikan mencapai sekitar 1,8 juta anak, sehingga kepada
permasalahan perkawinan dini, serta anak-anak yang terjerat penyalahgunaan
seksual (eksploitasi seksual komersil) yang menempatkan anak-anak itu beresiko
tinggi terkena penyakit AIDS. Dalam analisis situasi yang telah disiapkan untuk
UNICEF, diperkirakan bahwa setidaknya ada sekitar 30% dari total eksploitasi
anak sebagai pekerja seks di Indonesia dilacurkan ke luar negeri.[2]
Berbagai informasi
yang valid atau akurat menyangkut perdagangan anak untuk tujuan seksual
komersil, dimana selain diperdagangkan dari daerah satu ke daerah lain dalam
wilayah hukum Negara Indonesia .
Begitu pula terdapat berbagai macam indikator mengenai penggunaan anak untuk
produksi bahan-bahan pornografi, dan para korban dari eksploitasi seksual
komersil itu pada umumnya rata-rata berusia 16 tahun dimana bukan hanya
anak-anak perempuan yang menjadi korban eksploitasi tetapi juga anak laki-laki
yang menjadi korban eksploitasi seksual tersebut.
Masih berkaitan dengan
persoalan ini adalah bahwa anak-anak yang obyek eksploitasi seksual komersil
menjadi seperti muara atau sebab dari segala persoalan yang ada. Pekerjaan dan
anak-anak jalanan dengan amat mudah sekali terjebak ke dalam jaringan
perdagangan seks komersil ini. Diperkirakan 30% dari seluruh pekerja seks
komersil saat ini adalah anak-anak di bawah umur.[3]
Di Batam setelah
terjadi krisis ekonomi jumlah pekerja seks meningkat hampir empat kali lipat
menjadi 10.000 anak yang bekerja sebagai pekerja seks komersil. Bisnis
pelacuran anak ini sangat menggiurkan bagi para pelaku yang memanfaatkan anak
sebagai pekerja seks, di perkirakan jumlah uang yang berputar dalam industri
seks ini berkisar antara Rp 1,8 Milyar sampai Rp 3,3 Milyar pertahun, sebuah
angka yang fantastis. Di DKI Jakarta anak-anak yang dilacurkan terdapat di
Bongkaran tanah abang, Rawa Bebek, Sepanjang bantaran kali dari manggarai-
Dukuh Atas, Kali jodoh dan Jatinegara. Dan mulai lima-enam tahun lalu Indonesia
sudah masuk ke dalam peta tujuan kaum pedofil dunia. Anak-anak di bawah umur
berada dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan, bahkan boleh dikatakan
mereka berada pada garis bahaya yang akan menggangu tumbuh kembang mereka
sebagai seorang anak.
Kasus yang pernah terjadi dan terungkap di Indonesia adalah kasus mantan diplomat
Australia William Stuart Brown, atas
kasus kejahatan seksual yang dilakukan terhadap dua anak di Karangasem,
dipandang beberapa pihak sebagai langkah maju bagi penegakan hukum perlindungan
anak di Indonesia .
Terlepas dari penyesalan dan simpati atas kasus bunuh diri Brown di Lembaga
Pemasyarakatan Amlapura, sehari setelah keputusan vonis itu, ada beberapa
pelajaran penting yang bisa diambil dari kasusnya. Kasus itu menggambarkan
bagaimana pedofilia dan kejahatan seksual terhadap anak dipahami masyarakat
kita serta bagaimana perangkat hukum kita meresponsnya.[4]
Beberapa polemik yang muncul selama persidangan kasus
Brown, seperti klaim tidak terjadi kasus pelanggaran Undang-Undang Perlindungan
Anak (UUPA) dalam kasus ini dengan klaim tidak terjadi kekerasan dan paksaan
terhadap korban, menunjukkan betapa pedofilia masih sering dikacaukan
pengertiannya. Ada
tidaknya unsur kekerasan fisik masih sering dijadikan kriteria untuk
mengategorikan tindak pelecehan seksual terhadap anak sebagai bentuk kejahatan
atau tidak. Pelecehan seksual terhadap anak sendiri masih cenderung disempitkan
artinya, terbatas pada bentuk kontak seksual dengan menafikan bentuk pelecehan
nonkontak seksual, seperti exhibitionism dan pornografi. Ada tidaknya unsur paksaan sebenarnya tidak
signifikan dalam kasus kejahatan seksual terhadap anak karena adanya
kesenjangan pemahaman tentang seks antara orang dewasa dan anak-anak.
Sebagaimana contoh yang dikemukakan Gunter Schmidt (2002) dalam artikel The
Dilemma of the Male Pedophile, bentuk manipulasi genital yang dilakukan
anak-anak, meski mengakibatkan orgasme, tidak bisa serta-merta disamakan dengan
bentuk masturbasi yang dilakukan orang dewasa. Keluguan dan rasa ingin tahu
yang kuat terhadap kehidupan seksualitas yang menjadi ciri khas anak-anak
inilah yang dimanfaatkan pelaku pedofilia (pedophile) untuk menjerat korbannya.
Karena itu, dalam kasus pedofilia, penekanannya lebih pada bentuk eksploitasi
dan manipulasi yang muncul sebagai akibat ketidakseimbangan power (imbalance of
power) antara pelaku dan anak-anak yang menjadi korbannya.[5]
Anak akan menjadi lost generation dikarenakan orang tua
yang tidak cakap dalam mendidik. Hal tersebut membuat mereka menjadi sumber
daya yang tidak komptitif hingga sangat kecil kemungkinan untuk mampu bekerja
disektor formal dan hal yang demikian pada akhirnya membuat atau menyeret
mereka menyerbu sektor informal atau illegal.
Ternyata hak asasi hak tidak pernah diberi melainkan
harus direbut dengan suatu gerakan perlindungan hukum terhadap anak-anak, anti
kekerasan terhadap anak dan mengambil kembali hak asasi anak-anak yang hilang.
Gerakan perlindungan hukum terhadap anak harus digencarkan di tengah-tengan
masyarakat. Pencanangan gerakan nasional perlindungan anak adalah dengan tujuan
untuk meningkatkan kesadaran bangsa secara nasional guna menghargai hak-hak
anak dalam rangka menumbuhkan, mengembangkan kepedulian masyarakat agar
berperan aktif melindungi anak dari segala macam bentuk gangguan terhadap
kelangsungan hidup dan tumbuh kembangnya.
Sebagai suatu gerakan nasioanal di dalam upaya
memeberikan perlindungan hukum terhadap anak perlu melibatkan seluruh segmen
yang ada. Seperti badan pemerintah, Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), organisasi
sosial, aparat hukum, tokoh agama, dari kalangan pers serta lembaga-lembaga
akademik dan para pakar-pakar untuk bersama-sama, bahu-membahu dalam mewujudkan
anak Indonesia yang teguh imannya, berpendidikan, sehat dan tangguh di dalam
bersaing serta dapat menentukan masa depannya sendiri.[6]
Dewasa ini di perkirakan jumlah anak yang membutuhkan
perlindungan khusus makin besar terutama pasca krisi. Kasus-kasus yang
berkaitan dengan pelanggaran hak-hak anak makin marak. Suatu permasalahan anak
yang membutuhkan perlindungan khusus yang cukup luas. Negara kita sebenarnya
telah banyak pula memberikan perhatian terhadap hak-hak anak. Hal ini
dibuktikan dengan adanya berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang usaha kesejahteraan anak dan ikut serta Indonesia dal;am menandatangai
konvensi tentang anak hak-hak anak (Convention On The Right of The Child)
sebagai hasil Sidang Umum PBB pada tanggal 26 Januari 1990 dan diratifikasi
dengan Keputusan Presiden RI No 36 Tahun 1990. Namun dalam pelaksanaannya masih
menghadapi berbagai kendala yang disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain
peraturan pemerintah belum semuanya diwujudkan secara efektif, kesigapan aparat
dalam penegakan hukum, dan kurangnya perhatian dan peran serta masyarakat dalam
permasalahan anak.
Dengan latar belakangan permasalahan yang sangat menarik
bagi penulis untuk meneliti masalah ini dan mengangkat permasalahan tersebut
dalam skripsi dengan judul: “ Tinjauan
Yuridis Terhadap Tindak Pidana Phedofilia”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah tersebut diatas, maka permasalahan yang akan dibahas oleh
penulis dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.
Bagaimana Pengaturan tentang
tindak pidana phedofilia dalam peraturan hukum di Indonesia ?
2.
Apa sanksi bagi pelaku tindak
pidana phedofilia sesuai dengan peraturan hukum di Indonesia ?
C. Tujuan dan Kegunaan
Penelitian
Tujuan
penelitian ini adalah:
1.
Untuk mengetahui pengaturan
tindak pidana phedofilia dalam peraturan hukum di Indonesia .
2.
Untuk mengetahui saksi apa yang
dapat diberikan kepada pelaku tindak pidana phedofilia.
Kegunaan
penelitian ini adalah:
1.
Memberikan pengetahuan atau
wawasan baru bagi para mahasiswa/mahasiswa yang berminat dalam permasalahan hak
anak.
2.
Sebagai tambahan bacaan bagi
kalangan yang berminat membahas permasalahan kekerasan seksual atau phedofilia.
3.
Sebagai syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Strata-1 pada Fakultas Hukum Universitas Jayabaya.
D. Metode Penelitian
Metode penelitian
yang digunakan dalam penulisan ini terdiri dari berbagai cara dan kegiatan yang
dilakukan dal;am rangka mengumpulkan data-data dan bahan-bahan yang diperlukan
untuk melengkapi penyusunan skripsi ini. Penulis menggunakan metode penelitian
kepustakaan (Library Research) yaitu
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti dan mengadakan penelusuran
literature hukum serta menganalisa data sekunder, tujuan untuk memperoleh
data-data atau kebenaran yang akurat sesuai dengan peraturan yang berlaku guna
mendapatkan kepastian hukum tetap.
Bahan pustaka yang digunakan terdiri dari:
1.
Bahan Hukum Primer
Adalah bahan hukum yang mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat terdiri dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP), Undang-undang No. 4 Tahun 1979
Tentang Kesejahteraan Anak, Undang-undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan
Anak, Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dan peraturan
lainnya.
2.
Bahan Hukum Sekunder
Adalah bahan hukum yang berupa
tulisan-tulisan ilmiah di bidang hukumnya dapat memberikan penjelasan terhadap
bahan hukum primer seperti buku-buku mengenai perlindungan hak-hak anak serta
buku-buku hukum mengenai kejahatan seksual terhadap anak dibawah umur di Indonesia .
3.
Bahan Hukum Tersier
Adalah bahan-bahan atau tulisan-tulisan
yang dapat menambah penjelasan terhadap bahan hukum primer dan tersier, terdiri
dari artikel, kliping, seminar, internet, kamus hukum dan lainnya.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi
ini terdiri dari 5 (lima )
bab. Pada masing-masing bab terbagi dalam beberapa sub bab, sehingga mempermuda
pembaca untuk mengetahui gambaran secara ringkas mengenai uraian yang
dikemukakan dalam tiap bab.
BAB I
|
:
|
PENDAHULUAN
|
|
|
Bab ini menguraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode
penelitian serta sistematika penulisan.
|
BAB II
|
:
|
TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PHEDOFILIA
|
|
|
Dalam bab ini berisikan tentang pengertian
tindak pidana, unsur-unsur tindak pidana, jenis-jenis tindak pidana,
pengertian phedofilia, ciri-ciri dan faktor-faktor penyebab terjadi di
Indonesia.
|
BAB III
|
:
|
SANKSI PIDANA PELAKU
TINDAK PIDANA PHEDOFILIA
|
|
|
Bab ini berisi tentang pengertian anak, hak-hak
anak menurut UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sanksi pidana bagi
pelaku tindak pidana phedofilia baik itu KUHP Maupun UU No 23 Tahun 2002.
|
BAB IV
|
:
|
ANALISA KASUS
|
|
|
Bab ini berisi tentang analisa kasus dan juga
tuntutan jaksa serta putusan hakim terhadap kasus phedofila
|
BAB V
|
:
|
KESIMPULAN DAN SARAN
|
|
|
Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan
skripsi ini yang berisi kesimpulan yang diambil dari penyusunan dari pokok
bahasan yang diangkat untuk dapat menjawab identifikasi masalah dan membuat saran-saran
terhadap masalah perlindungan terhadap anak dari kekerasan seksual.
|
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG
TINDAK PIDANA PEDOFILIA
A. Tindak Pidana Umum
1.
Pengertian Tindak Pidana
Pengertian
tentang tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal
dengan istilah stratbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering
mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu
undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau
tindak pidana. Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu
pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan
kesadaran dalam memberikan cirri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak
pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit
dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti
yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan
istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.[7]
Seperti
yang diungkapkan oleh seorang ahli hukum pidana yaitu Prof. Moeljatno, SH, yang
berpendapat bahwa pengertian tindak pidana yang menurut istilah beliau yakni
perbuatan pidana adalah:
”Perbuatan yang dilarang
oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.”[8]
Jadi
berdasarkan pendapat tersebut di atas pengertian dari tindak pidana yang
dimaksud adalah bahwa perbuatan pidana atau tindak pidana senantiasa merupakan
suatu perbuatan yang tidak sesuai atau melanggar suatu aturan hukum atau
perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan sanksi pidana
yang mana aturan tersebut ditujukan kepada perbuatan sedangkan ancamannya atau
sanksi pidananya ditujukan kepada orang yang melakukan atau orang yang
menimbulkan kejadian tersebut. Dalam hal ini maka terhadap setiap orang yang
melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku, dengan demikian dapat dikatakan
terhadap orang tersebut sebagai pelaku perbuatan pidana atau pelaku tindak
pidana. Akan tetapi haruslah diingat bahwa aturan larangan dan ancaman
mempunyai hubungan yang erat, oleh karenanya antara kejadian dengan orang yang
menimbulkan kejadian juga mempunyai
hubungan yang erat pula.
Sehubungan
dengan hal pengertian tindak pidana ini Prof. DR. Bambang Poernomo, SH,
berpendapat bahwa perumusan mengenai perbuatan pidana akan lebih lengkap
apabila tersusun sebagai berikut:
“Bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan
hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa yang
melanggar larangan tersebut.”[9]
Adapun
perumusan tersebut yang mengandung kalimat “Aturan hukum pidana”
dimaksudkan akan memenuhi keadaan hukum
di Indonesia
yang masih mengenal kehidupan hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak
tertulis, Prof.DR. Bambang Poernomo, SH, juga berpendapat mengenai kesimpulan
dari perbuatan pidana yang dinyatakan hanya menunjukan sifat perbuatan
terlarang dengan diancam pidana.[10]
Maksud
dan tujuan diadakannya istilah tindak pidana, perbuatan pidana, maupun
peristiwa hukum dan sebagainya itu adalah untuk mengalihkan bahasa dari istilah
asing stafbaar feit namun belum jelas apakah disamping mengalihkan bahasa dari
istilah sratfbaar feit dimaksudkan untuk mengalihkan makna dan pengertiannya,
juga oleh karena sebagian besar kalangan ahli hukum belum jelas dan terperinci
menerangkan pengertian istilah, ataukah sekedar mengalihkan bahasanya, hal ini
yang merupakan pokok perbedaan pandangan, selain itu juga ditengan-tengan
masyarakat juga dikenal istilah kejahatan yang menunjukan pengertian perbuatan
melanggar morma dengan mendapat reaksi masyarakat melalui putusan hakim agar
dijatuhi pidana.[11]
Tindak
pidana adalah merupakan suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada
orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggung jawaban
seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya, tapi sebelum itu mengenai
dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidanya
sendiri, yaitu berdasarkan azas legalitas (Principle
of legality) asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang
dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam
perundang-undangan, biasanya ini lebih dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia
lege (tidak ada delik, tidak ada
pidana tanpa peraturan lebih dahulu), ucapan ini berasal dari von feurbach,
sarjana hukum pidana Jerman. Asas legalitas ini dimaksud mengandung tiga
pengertian yaitu:
a.
Tidak ada perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum
dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
b.
Untuk menentukan adanya
perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.
c.
Aturan-aturan hukum pidana
tidak boleh berlaku surut.
Tindak
pidana merupakan bagian dasar dari pada suatu kesalahan yang dilakukan terhadap
seseorang dalam melakukan suatu kejahatan. Jadi untuk adanya kesalahan hubungan
antara keadaan dengan perbuatannya yang menimbulkan celaan harus berupa
kesengajaan atau kelapaan. Dikatakan bahwa kesengajaan (dolus) dan kealpaan
(culpa) adalah bentuk-bentuk kesalahan sedangkan istilah dari pengertian
kesalahan (schuld) yang dapat menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana adalah
karena seseorang tersebut telah melakukan suatu perbuatan yang bersifat melawan
hukum sehingga atas`perbuatannya tersebut maka dia harus bertanggung jawabkan
segala bentuk tindak pidana yang telah dilakukannya untuk dapat diadili dan
bilamana telah terbukti benar bahwa telah terjadinya suatu tindak pidana yang
telah dilakukan oleh seseorang maka dengan begitu dapat dijatuhi hukuman pidana
sesuai dengan pasal yang mengaturnya.[12]
2.
Unsur-unsur Tindak Pidana
Dalam
kita menjabarkan sesuatu rumusan delik kedalam unsur-unsurnya, maka yang
mula-mula dapat kita jumpai adalah disebutkan sesuatu tindakan manusia, dengan
tindakan itu seseorang telah melakukan sesuatu tindakan yang terlarang oleh
undang-undang. Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang
terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif.
Unsur
subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang
berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala
sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah
unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam
keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus di lakukan.[13]
Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak
pidana itu adalah:
1)
Kesengajaan atau
ketidaksengajaan (dolus atau Culpa);
2)
Maksud atau Voornemen pada
suatu percobaan atau pogging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;
3)
Macam-macam maksud atau oogmerk
seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian,
penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;
4)
Merencanakan terlebih dahulu
atau voorbedachte raad seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan
menurut Pasal 340 KUHP;
5)
Perasaan takut yang antara lain
terdapat di dalam rumusan tindak pidana
menurut Pasal 308 KUHP.
Unsur-unsur objektif dari sutau tindak pidana itu
adalah:
1)
Sifat melanggar hukum atau
wederrechtelicjkheid;
2)
Kwalitas dari si pelaku,
misalnya kedaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan
menurut pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu
Perseroan Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.
3)
Kausalitas yakni hubungan
antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai
akibat.
Seorang ahli hukum yaitu simons
merumuskan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut[14]:
1)
Diancam dengan pidana oleh
hukum
2)
Bertentangan dengan hukum
3)
Dilakukan oleh orang yang
bersalah
4)
Orang itu dipandang bertanggung
jawab atas perbuatannya.
3.
Jenis-jenis Tindak Pidana
Dalam
membahas tindak pidana kita pasti menemukan beragam tindak pidana yang terjadi
dalam kehidupan bermasyarakat baik itu sengaja maupun tidak sengaja. Tindak
pidana itu sendiri dapat dibedakan atas dasar-dasar tertentu yaitu sebagai
berikut:[15]
a)
Menurut system KUHP, dibedakan
antara kejahatan dimuat dalam buku II dan pelanggaran dimuat dalam buku III.
Alasan pembedaan antara kejatan dan pelanggaran adalah
jenis pelanggaran lebih ringan dari pada kejahatan. Hal ini dapat diketahui
dari ancaman pidana pada pelanggaran tidak ada yang diancam dengan pidana
penjara, tetapi berupa pidana kurungan dan denda, sedangkan kejahatan lebih di
dominasi dengan ancaman pidana penjara.
kriteria lain yang membedakan kejatan dan pelanggaran
yakni kejahatan itu meruapakan delik-delik yang melanggar kepentingan hukum dan
juga menimbulkan bahaya secara kongkret, sedangkan pelanggaran itu hanya
membahayakan in abstracto saja. Secara kuantitatif pembuat Undang-undang
membedakan delik kejahatan dan pelanggaran itu sebagai berikut[16]:
1)
Pasal 5 KUHP hanya berlaku bagi
perbuatan-perbuatan yang merupakan kejahatan di Indonesia . Jika seorang Indonesia yang melakukan delik di luar negeri
yang digolongkan sebagai delik pelanggaran di Indonesia , maka di pandang tidak
perlu dituntut.
2)
Percobaan dan membantu
melakukan delik pelanggaran tidak dipidana.
3)
Pada pemidanaan atau pemidanaan
terhadap anak di bawah umur tergantung pada apakah itu kejahatan atau
pelanggaran.
b)
Menurut cara merumuskannya,
dibedakan antara tindak pidana formil dan tindak pidana materril.
Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang
dirumuskan sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang
dirumuskan itu adalah melakukan suatu perbuatan tertentu. Perumusan tindak
pidana formil tidak memerlukan dan atau tidak memerlukan timbulnya suatu akibat
tertentu dari perbuatan sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan
semata-mata pada perbuatannya. Misalnya pada pencurian Pasal 362 untuk
selesainya pencurian digantung pada selesainya perbuatan mengambil.
Sebaliknya dalam rumusan tindak pidana materril, inti
larangan adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang. Oleh karena itu, siapa
yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan
dipidana. Begitu juga untuk selesainya tindak pidana materiil, tidak bergantung
pada sejauh mana wujud perbuatan yang dilakukan, tetapi sepenuhnya di
gantungkan pada syarat timbulnya akibat terlarang tersebut. Misalnya wujud membacok
telah selesai dilakukan dalam hal pembunuhan, tetapi pembunuhan itu belum
terjadi jika dari perbuatan itu belum atau tidak menimbulkan akibat hilangnya
nyawa korban, yang terjadi hanyalah percobaan pembunuhan.
c)
Berdasarkan bentuk kesalahan,
dibedakan antara tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak dengan senagaja.
Tindak pidana sengaja adalah tindak pidana yang dalam
rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan.
Sedangkan tindak tidak sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya
mengandung culpa.
d)
Berdasarkan macam perbuatan
perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana aktif/positif dapat juga
disebut tindak pidana komisi dan tindak pidana pasif/negative, disebut juga
tindak pidana omisi.
Tindak pidana aktif adalah tindak pidana yang
perbuatannya berupa perbuatan aktif, perbuatan aktif adalah perbuatan yang
untuk mewujudkan disyaratkan adanya gerakan dari anggotan tubuh orang yang
berbuat. Dengan berbuat aktif orang melanggar larangan, perbuatan aktif ini terdapat
baik dalam tindak pidana yang dirumuskan secara formil maupun secara materiil.
Bagian terbesar tindak pidana yang dirumuskan dalam KUHP adalah tindak pidana
aktif.
Tindak pidana pasif ada dua macam yaitu tindak pidana
pasif murni dan tindak pidana pasif yang tidak murni. Tindak pidana pasif murni
ialah tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada
dasarnya semata-mata unsur perbuatannya adalah berupa perbuatan pasif.
Sementara itu, tindak pidana pasif yang tidak murni berupa tindak pidana yang
pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan dengan cara
tidak berbuat aktif, atau tindak pidana yang mengandung suatu akibat terlarang,
tetapi dilakukan dengan tidak berbuat/atau mengabaikan sehingga akibat itu benar-benar
timbul.
e)
Berdasarkan saat dan jangka
waktu terjadinya, maka dapat dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika
dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung
terus.
Tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga
untuk terwujudnya atau terjadinya dalam waktu seketika atau waktu singkat saja,
disebut juga dengan aflopende delicten. Sebaliknya ada tindak pidana yang
dirumuskan sedemikian rupa, sehingga terjadinya tindak pidana itu berlangsung
lama, yakni setelah perbuatan dilakukan, tindak pidana itu masih berlangsung
terus, yang disebut juga dengan voordurende dellicten. Tindak pidana ini dapat
disebut sebagai tindak pidana yang menciptakan suatu keadaan yang terlarang.
f)
Berdasarkan sumbernya, dapat
dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus.
Tindak pidana umum adalah semua tindak
pidana yang dimuat dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materiil (Buku II
dan Buku III). Sementara itu tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana
yang terdapat diluar kodifikasi KUHP.
g)
Dilihat dari sudut subjek
hukum, dapat dibedakan antara tindak pidana communia (tindak pidana yang dapat
dilakukan oleh semua orang) dan tindak pidana propria (tindak pidana yang hanya
dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu).
Pada umumnya tindak pidana itu dibentuk
dan dirumuskan untuk berlaku pada semua orang, dan memang bagian terbesar
tindak pidana itu dirumuskan dengan maksud yang demikian. Akan tetapi, ada
perbuatan-perbuatan yang tidak patut tertentu yang khusus hanya dapat dilakukan
oleh orang yang berkualitas tertentu saja, misalnya pegawai negeri (pada
kejahatan jabatan) atau nakhoda (pada kejahatan pelayaran), dan sebagainya.
h)
Berdasarkan perlu tidaknya
pengaduan dalam hal penuntutan, maka dibedakan antara tindak pidana biasa dan
tindak pidana aduan.
Tindak pidana biasa yang dimaksudkan
ini adalah tindak pidana yang untuk dilakukannya penuntutan pidana terhadap
pembuatnya tidak disyaratkan adanya
pengaduan dari yang berhak, sementara itu tindak aduan adalah tindak pidana
yang untuk dapatnya dilakukan penuntutan pidana disyaratkan untuk terlebih
dahulu adanya pengaduan oleh yang berhak mengajukan pengaduan, yakni korban
atau wakilnya dalam perkara perdata, atau keluarga tertentu dalam hal-hal
tertentu atau orang yang diberi kuasa khusus untuk pengaduan oleh orang yang
berhak.
i)
Berdasarkan berat-ringannya
pidana yang diancamkan, maka dapat dibedakan antara tindak pidana bentukpokok,
tindak pidana yang diperberat dan tindak pidana yang diperingan.
Dilihat dari berat ringannya, ada
tindak pidana tertentu yang dibentuk menjadi:
1)
Dalam bentuk pokok disebut juga
bentuk sederhana atau dapat juga disebut dengan bentuk strandar;
2)
Dalam bentuk yang diperberat;
3)
Dalam bentuk ringan.
Tindak pidana dalam bentuk pokok
dirumuskan secara lengkap, artinya semua unsurnya dicantumkan dalam rumusan,
sementara itu pada bentuk yang diperberat dan atau diperingan, tidak mengulang
kembali unsur-unsur bentuk pokok itu, melainkan sekedar menyebut kualifikasi
bentuk pokoknya atau pasal bentuk pokoknya, kemudian disebutkan atau
ditambahkan unsur yang bersifat memberatkan atau meringankan secara tegas dalam
rumusan. Karena ada faktor pemberatnya atau faktor peringannya, ancaman pidana
terhadap tindak pidana terhadap bentuk yang diperberat atau yang diperingan itu
menjadi lebih berat atau lebih ringan dari pada bentuk pokoknya.
j)
Berdasarkan kepentingan hukum
yang dilindungi, maka tindak pidana tidak terbatas macamnya bergantung dari
kepentingan hukum yang dilindungi.
Sistematika pengelompokan tindak pidana
bab per bab dalam KUHP didasarkan pada kepentingan hukum yang dilindungi.
Berdasarkan kepentingan hukum yang di lindungi ini maka dapat disebutkan
misalnya dalam Buku II. Untuk melindungi kepentingan hukum terhadap keamanan
Negara, dibentuk rumusan kejahatan terhadap keamanan Negara (Bab I), untuk
melindungi kepentingan hukum bagi kelancaran tugas-tugas bagi penguasa umum,
dibentuk kejahatan terhadap penguasa umum (Bab VIII), untuk melindungi
kepentingan hukum terhadap hak kebendaan pribadi dibentuk tindak pidana seperti
Pencurian (Bab XXII), Penggelapan (Bab
XXIV), Pemerasan dan Pengancaman (Bab XXIII) dan seterusnya.
k)
Dari sudut berapa kali
perbuatan untuk mejadi suatu larangan dibedakan antara tindak pidana tunggal
dan tindak pidana berangkai.
Tindak pidana tunggal adalah tindak
pidana yang dirumusakan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang selesainya
tindak pidana dan dapat dipidananya pelaku cukup dilakukan satu kali perbuatan
saja, bagian terbesar tindak pidana dalam KUHP adalah berupa tindak pidana
tunggal. Sementara itu yang dimaksud dengan tindak pidana berangkai adalah
tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang sebagai
selesai dan dapat dipidananya pelaku, disyaratkan dilakukan dilakukan secara
berulang.
B. Tindak Pidana Phedofilia
1.
Pengertian Phedofilia
Sebelum kita
membahas jauh tentang phedofilia kita perlu mengetahui dulu apa itu phedofilia.
Secara harfiah phedofilia berasal dari bahasa yunani yaitu paidohilia yang
artinya adalah kondisi yang mempunyai ketertarikan atau hasrat seksual terhadap
anak-anak yang belum memasuki remaja, istilah ini sering ditujukan kepada
orang-orang dewasa yang memiliki kondisi ini[17].
Dalam bidang kesehatan pedofilia diartikan sebagai kelainan seksual berupa
hasrat ataupun fantasi impuls seksual yang melibatkan anak dibawah umur, orang
dengan pedofilia umurnya harus di atas 16 tahun, sedangkan anak-anak yang
menjadi korban berumur 13 tahun atau lebih muda (anak pre-pubertas).[18]
Pedofilia masih
sering dikacaukan pengertiannya, ada tidaknya unsur kekerasan fisik masih
sering dijadikan kriteria untuk mengkategorikan tindak pelecehan seksual terhadap anak sebagai bentuk kejahatan atau
tidak. Pelecehan seksual terhadap anak sendiri masih cenderung disempitkan
artinya, terbatas pada bentuk kontak seksual dengan menafikan bentuk pelecehan
nonkontak seksual, seperti exhibitionism dan pornografi. Ada tidaknya unsur paksaan sebenarnya tidak
signifikan dalam kasus kejahatan seksual terhadap anak karena adanya
kesenjangan pemahaman tentang seks antara orang dewasa dan anak-anak. Bentuk
manipulasi genital yang dilakukan anak-anak, meski mengakibatkan orgasme, tidak
bisa serta-merta disamakan dengan bentuk masturbasi yang dilakukan orang
dewasa. Keluguan dan rasa ingin tahu yang kuat terhadap kehidupan seksualitas
yang menjadi ciri khas anak-anak inilah yang dimanfaatkan pelaku pedofilia
(pedophile) untuk menjerat korbannya. Karena itu, dalam kasus pedofilia,
penekanannya lebih pada bentuk eksploitasi dan manipulasi yang muncul sebagai
akibat ketidakseimbangan power (imbalance of power) antara pelaku dan anak-anak
yang menjadi korbannya.[19]
Sebagai bentuk
kejahatan, pedofilia memiliki beberapa karakteristik yang khas yang
membedakannya dengan kejahatan seksual lannya terhadap anak hal ini diungkapkan
oleh Ron O’Grady yaitu[20]:
a)
Pedofilia bersifat obsesif,
dimana perilaku menyimpang ini menguasai hampir semua aspek kehidupan
pelakunya, dari pekerjaan, hobi, bacaan, pakaian, bahkan sampai desain rumah
dan perabotannya.
b)
Pedofilia bersifat predatori,
dalam arti pelakunya akan berupaya sekuat tenaga dengan beragam upaya dan cara
untuk memburu korban yang diinginkannya. Lamanya usaha untuk mendapatkan korban
tidak sekedar dalam hitungan hari, minggu, atau bulan. Pelaku bisa melakukan
pendekatan pada anak dan orang tuanya selama bertahun-tahun sebelum dia
melakukan kejahatannya.
c)
Kemudian kaum pedofilia
cenderung menyimpan dokumentasi korbannya dengan rapi, seperti foro, video,
catatan, atau rekaman percakapan dengan korban.
Pedofila sendiri
mempunyai beberapa jaringan Internasional dan yang pernah di bongkar seperti
Orchid Club tahun 1998 dan Wonderland Club tahun 2001 keduanya berbasis di
amerika. Terbukti para pedofilia secara intensif melakukan diskusi dan studi
perbandingan hukum perlindungan anak dan penegakannya di berbagai Negara.[21]
Di Indonesia kasus
pelecehan seksual terhadap anak-anak di bawah umur sering terjadi, salah satu
kasus yang paling menghebohkan adalah kasus Robot Gedek yang terbukti melakukan
sodomi terhadap anak-anak di bawah umur. Indonesia menjadi salah satu tempat
favorit bagi kaum pedofilia terutama bali karena merupakan tempat pariwisata
yang sangat terkenal sehingga banyak kaum pedofilia dari luar yang berdatangan.
2.
Ciri-ciri Pedofila
Pelecehan
seksual pada anak dapat mencakup kontak atau interaksi antara anak dan orang
dewasa dimana anak tersebut dipergunakan untuk stimulasi seksual oleh pelaku
atau orang lain yang berada dalam posisi memiliki kekuatan atau kendali atas
korban. Termasuk di dalamnya kontak fisik yang tidak pantas, membuat anak
melihat tindakan seksual atau pornografi, menggunakan anak untuk membuat
pornografi atau memperlihatkan alat genital orang dewasa kepada anak.
Banyaknya kasus pelecehan seksual pada anak tidak lepas dari fenomena fedofilia. Walaupun tidak semua pelecehan seksual pada anak dilakukan oleh penderita fedofilia, tetapi akan banyak manfaatnya bila kita mengetahui ciri-ciri seorang fedofil. Fedofilia memiliki pengertian sebagai suatu gangguan psikoseksual dimana orang dewasa memperoleh kepuasan seksual bersama seorang anak pra remaja. Ciri utamanya adalah bahwa berbuat atau berfantasi tentang kegiatan seksual cara yang paling sesuai untuk memperoleh kepuasan seksual. Empat karakteristik utama yang dimiliki oleh seorang pedofil :[22]
Banyaknya kasus pelecehan seksual pada anak tidak lepas dari fenomena fedofilia. Walaupun tidak semua pelecehan seksual pada anak dilakukan oleh penderita fedofilia, tetapi akan banyak manfaatnya bila kita mengetahui ciri-ciri seorang fedofil. Fedofilia memiliki pengertian sebagai suatu gangguan psikoseksual dimana orang dewasa memperoleh kepuasan seksual bersama seorang anak pra remaja. Ciri utamanya adalah bahwa berbuat atau berfantasi tentang kegiatan seksual cara yang paling sesuai untuk memperoleh kepuasan seksual. Empat karakteristik utama yang dimiliki oleh seorang pedofil :[22]
a)
Pola perilaku jangka panjang
dan persisten.
1)
Memiliki latar belakang
pelecehan seksual. Penelitian menunjukkan bahwa banyak pelaku kekerasan seksual
merupakan korban dari kekerasan seksual berikutnya.
2)
Memiliki kontak sosial terbatas
pada masa remaja. Pada waktu remaja, pelaku biasanya menunjukkan ketertarikan
seksual yang kurang terhadap seseorang yang seumur dengan mereka.
3)
Riwayat pernah dikeluarkan dari
militer. Militer dan organisasi lainnya akan mengeluarkan pedofil dan akan
membuat dakwaan dan tuntutan terhadap mereka.
4)
Sering berpindah tempat
tinggal. Pedofil menunjukkan suatu pola hidup dengan tinggal di satu tempat
selama beberapa tahun, mempunyai pekerjaan yang baik dan tiba-tiba pindah dan
berganti pekerjaan tanpa alasan yang jelas.
5)
Riwayat pernah ditahan polisi
sebelumnya. Catatan penahanan terdahulu merupakan indikator bahwa pelaku
ditahan polisi karena perbuatan yang berulang-ulang, yaitu pelecehan seksual
terhadap anak-anak.
6)
Korban banyak. Jika penyidikan
mengungkap bahwa seseorang melakukan pelecehan seksual pada korban yang
berlainan, ini merupakan indikator kuat bahwa ia adalah pedofil.
7)
Percobaan berulang dan beresiko
tinggi. Usaha atau percobaan yang berulang untuk mendapatkan anak sebagai
korban dengan cara yang sangat trampil merupakan indikator kuat bahwa pelaku
adalah seorang pedofil.
b)
Menjadikan anak-anak sebagai
obyek preferensi seksual
1)
Usia > 25 tahun, single,
tidak pernah menikah. Pedofil mempunyai preferensi seksual terhadap anak-anak,
mereka mempunyai kesulitan dalam berhubungan seksual dengan orang dewasa dan
oleh karena itu mereka tidak menikah.
2)
Tinggal sendiri atau bersama
orang tua. Indikator ini berhubungan erat dengan indikator di atas.
3)
Bila tidak menikah, jarang
berkencan. Seorang laki-laki yang tinggal sendiri, belum pernah menikah dan
jarang berkencan , maka harus dicurigai sekiranya dia memiliki karakteristik
yang disebutkan di sini.
4)
Bila menikah, mempunyai
hubungan khusus dengan pasangan. Pedofil kadang-kadang menikah untuk kenyamanan
dirinya atau untuk menutupi dan juga memperoleh akses terhadap anak-anak.
5)
Minat yang berlebih pada
anak-anak. Indikator ini tidak membuktikan bahwa seseorang adalah seorang
pedofil, tapi menjadi alasan untuk diwaspadai. Akan menjadi lebih signifikan
apabila minat yang berlebih ini dikombinasikan dengan indikator-indikator lain.
6)
Memiliki teman-teman yang
berusia muda. Pedofil sering bersosialisasi dengan anak-anak dan terlibat
dengan aktifitas-aktifitas golongan remaja.
7)
Memiliki hubungan yang terbatas
dengan teman sebaya. Seorang pedofil mempunyai sedikit teman dekat dikalangan
dewasa. Jika seseorang yang dicurigai sebagai pedofil mempunyai teman dekat,
maka ada kemungkinan temannya itu adalah juga seorang pedofil.
8)
Preferensi umur dan gender.
Pedofil menyukai anak pada usia dan gender tertentu. Ada pedofil yang menyukai anak lelaki berusia
8-10 tahun , ada juga yang menyukai anak lelaki 6-12 tahun. Semakin tua
preferensi umur, semakin eksklusif preferensi umur.
9)
Menganggap anak bersih, murni,
tidak berdosa dan sebagai obyek.Pedofil kadang memiliki pandangan idealis
mengenai anak-anak yang diekspresikan melalui tulisan dan bahasa, mereka
menganggap anak-anak sebagai obyek, subyek dan hak milik mereka.
c)
Memiliki teknik yang berkembang
dengan baik dalam mendapatkan korban
1)
Trampil dalam
mengidentifikasikan korban yang rapuh. Pedofil memilih korban mereka,
kebanyakan anak-anak korban broken home atau korban dari penelantaran emosi
atau fisik. Ketrampilan ini berkembang dengan latihan dan pengalaman.
2)
Berhubungan baik dengan anak,
tahu cara mendengarkan anak. Pedofil biasanya mempunyai kemampuan untuk
berinteraksi dengan anak-anak lebih baik daripada orang dewasa lainnya. Mereka
juga tahu cara mendengarkan anak dengan baik.
3)
Mempunyai akses ke anak-anak.
Ini merupakan indikator terpenting bagi pedofil. Pedofil mempunyai metode
tersendiri untuk memperoleh akses ke anak-anak. Pedofil akan berada di tempat
anak-anak bermain, menikah atau berteman dengan wanita yang memiliki akses ke
anak-anak, memilih pekerjaan yang memiliki akses ke anak-anak atau tempat
dimana dia akhirnya dapat berhubungan khusus dengan anak-anak.
4)
Lebih sering beraktifitas
dengan anak-anak, seringkali tidak melibatkan orang dewasa lain. Pedofil selalu
mencoba untuk mendapatkan anak-anak dalam situasi dimana tanpa kehadiran orang
lain.
5)
Trampil dalam memanipulasi
anak. Pedofil menguunakan cara merayu, kompetisi, tekanan teman sebaya,
psikologi anak dan kelompok, teknik motivasi dan ancaman.
6)
Merayu dengan perhatian, kasih
sayang dan hadiah. Pedofil merayu anak-anak dengan berteman, berbicara,
mendengarkan, memberi perhatian, menghabiskan waktu dengan anak-anak dan
membeli hadiah.
7)
Memiliki hobi dan ketertarikan
yang disukai anak. Pedofil mengkoleksi mainan, boneka atau menjadi badut atau
ahli sulap untuk menarik perhatian anak-anak.
8)
Memperlihatkan materi-materi
seksual secara eksplisit kepada anak-anak. Pedofil cenderung untuk mendukung
atau membenarkan anak untuk menelepon ke pelayanan pornografi atau menghantar
materi seksual yang eksplisit melalui komputer pada anak-anak.
d)
Fantasi seksual yang difokuskan
pada anak-anak
1)
Dekorasi rumah yang
berorientasi remaja. Pedofilia yang tertarik pada remaja akan mendekorasi rumah
mereka seperti seorang remaja lelaki. Ini termasuk pernak-pernik seperti
mainan, stereo, poster penyanyi rock, dll.
2)
Memfoto anak-anak. Pedofil
memfoto anak-anak yang berpakaian lenkap, setelah selesai dicetak, mereka
menghayalkan melakukan hubungan seks dengan mereka.
3)
Mengoleksi pornografi anak atau
erotika anak. Pedofilia menggunakan koleksi ini untuk mengancam korban agar
tetap menjaga rahasia aktivitas seksual mereka, koleksi ini juga digunakan
untuk ditukar dengan koleksi pedofilia yang lain.
Kewaspadaan
masyarakat akan adanya bahaya pedofilia perlu ditingkatkan. Masing-masing
keluarga juga harus meningkatkan pengawasan terhadap anak-anak mereka agar
tidak menjadi mangsa penderita pedofilia. Orang-orang terdekat dengan keluarga
juga harus diwaspadai karena pelaku pedofilia adalah orang yang telah dikenal
baik seperti saudara, tetangga, guru, dll. Bila anak-anak mengalami perubahan
perilaku, hendaknya orangtua peka dan dapat berkomunikasi dengan anak sehingga
diperoleh pemecahan masalah yang dihadapi anak
3.
Faktor-faktor Penyebab Pedofilia di Indonesia
Perilaku seksual adalah
bermacam-macam dan ditentukan oleh suatu interaksi faktor-faktor yang kompleks. Perilaku seksual dipengaruhi oleh hubungan seseorang dengan orang lain, oleh lingkungan seseorang dan oleh kultur dimana
seseorang tinggal. Seorang dokter
harus mengetahui beragam variasi tentang perilaku seksual dalam lingkungan
sosial, sehubungan dengan perilaku tersebut, dimana ada 2 alasan untuk itu.
Pertama; pengetahuan tersebut membantu dokter untuk tidak
memaksakan perilakunya sendiri terhadap pasiennya. Kedua; membantu
dokter mengenali beberapa perilaku seks yang abnormal.
Kelainan
seksual adalah cara yang ditempuh seseorang untuk
mendapatkan kenikmatan seksual dengan jalan tidak
sewajarnya. Biasanya, cara yang digunakan oleh orang
tersebut adalah dengan menggunakan objek seks yang tidak wajar. Penyebab
terjadinya kelainan ini bersifat psikologis atau kejiwaan, seperti pengalaman
sewaktu kecil, lingkungan pergaulan, trauma dan kelainan genetika.
Pedofilia
sendiri sudah menjadi jaringan internasional dan Indonesia merupaka salah satu
daerah tujuan kaum pedofilia. Faktor-faktor penyebab kenapa Indonesia menjadi sasaran kaum
phedofilia adalah sebagai berikut:[23]
a)
Lemahnya hukum perlindungan
anak dan penegakannya di Indonesia, misalnya dalam KUHP bagi pelaku pelecehan
seksual terhadap anak di hukum maksimal penjara 9 (Sembilan) tahun kemudian
dengan adanya UU Perlindungan Anak di hukum 15 (limabelas) tahun sedangkan di
Filipina bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak di hukum mati.
b)
Lemahnya perangkat keamanan di Indonesia
dalam membendung aksi para pedofilia yang kian canggih, kaum pedofilia
menggunakan fasilitas internet untuk mencari mangsanya.
c)
Faktor kemiskinan di Indonesia
yang kini semakin buruk membuat anak-anak kian rentan terhadap beberapa bentuk
kejahatan dan eksploitasi.
Keterangan tentang
trauma psikis yang diderita korban kasus pedofilia di Bali-seperti dijelaskan,
korban mengalami berbagai gangguan seperti mudah marah, susah tidur, dan sering
mengigau, cenderung mengasingkan diri dari pergaulan teman sebaya, dan
sebagainya-menunjukkan perlunya program pendampingan khusus terhadap anak-anak
korban kejahatan seksual dengan upaya sosialisasinya yang lebih luas, termasuk
pendampingan khusus bagi korban dari kalangan anak laki-laki. Kejahatan seksual
biasanya diidentikkan dengan korban kalangan wanita dan anak-anak perempuan
sehingga beberapa program pendampingan, seperti yang dilaksanakan beberapa
crisis center yang berkembang di Indonesia akhir-akhir ini, sering
disalahartikan hanya untuk wanita dan anak-anak perempuan, bukan untuk anak
laki-laki. Upaya pendampingan terhadap anak laki-laki korban kejahatan seksual
sendiri relatif lebih sulit untuk dilaksanakan dibanding program untuk anak
perempuan. Faktor budaya di sebagian masyarakat kita masih menjadi hambatan
besar bagi anak laki-laki untuk mengungkap kasusnya. Kenyataan-kenyataan ini
semestinya menjadi perhatian lebih serius dari beberapa pihak terkait, baik
pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM), dalam program pendampingan
terhadap anak-anak korban kejahatan seksual di Indonesia di masa datang.
BAB III
SANKSI PIDANA PELAKU
TINDAK PIDANA PHEDOFILIA
A. Hukum Perlindungan Anak
1.
Pengertian Anak
a)
Anak Menurut KUHP
Pasal 45 KUHP, mendefinisikan bahwa
anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16 (enam belas) tahun. Oleh karena
itu, apabila ia tersangkut dalam perkara pidana, Hakim boleh memerintahkan
supaya sibersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau orang yang
memeliharanya, dengan tidak dikenakan suatu hukuman atau memerintahkannya
supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukum, namun
untuk pasal 45, 46 dan 47 KUHP telah dinyatakan tidak berlaku lagi dengan
lahirnya UU No 3 Tahun 1997.
b)
Anak Menurut Hukum Perdata
Pasal 330 KUHPerdata mengatakan orang
yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh
satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.
c)
Anak Menurut UU No. 3 Tahun
1997 Tentang Pengadilan Anak
Didalam pasal 1 ayat 2 UU No 3 Tahun
1997 dirumuskan bahwa anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah
mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun. Sedangkan syarat kedua anak belum pernahy kawin. Maksudnya tidak sedang
terikat dalam perkawinan ataupun pernah kawin dan kemudian cerai. Apabila si
anak sedang terikat dalam perkawinan atau perkawinannya putus karena
perceraian, maka si anak dianggap telah dewasa, walaupun umurnya belum genap 18
(delapan belas) tahun.
d)
Anak Menurut UU No. 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak
Dalam pasal 1 ayat 1 UU No 23 Tahun
2002 dikatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Dalam
praktek terdapat kesulitan untuk menentukan usia ini karena tidak semua orang
mempunyai akta kelahiran atau surat
lahir. Akibatnya adakalanya untuk menentukan usia ini dipergunakan raport, surat baptis ataupun surat
keterangan dari kepala desa atau lurah saja. Karenanya kadang kala terdapat
kejanggalan, ada anak berbadan besar lengkap dengan kumis dan jenggotnya,
tetapi menurut keterangan usia anak itu masih muda. Malah kadangkala ada orang
yang terlibat kasus pidana dan membuat keterangan bahwa dia masih anak-anak,
sementara usianya sudah dewasa dan sudah kawin.
KUHP
mengatur umur anak sebagai korban pidana adalah belum genap berumur 15 (lima belas) tahun, namun apabila dilakukan terhadap orang
dewasa tetapi sebaliknya menjadi tindak pidana karena dilakukan terhadap anak
yang belum berusia 15 (lima
belas) tahun.[24]
Perhatian
terhadap anak sudah lama ada sejalan dengan peradaban manusia itu sendiri, yang
dari hari kehari semakin berkembang. Secara Internasional pada tanggal 20
November 1989 lahirnya konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang
hak-hak anak. Indonesia
telah meratifikasi konvensi tersebut dengan Keputusan Presiden No 36 tahun
1990. konvensi memuat kewajiban Negara-negara yang meratifikasinya untuk
menjamin terlaksananya hak-hak anak.
Perlindungan
anak itu sendiri adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan
hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara
optimapsesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hal ini sesuai dengan pasal 1
butir 2 Undang-undang No 23 Tahun 2003. Sedangkan perlindungan khusus adalah
perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang
berhadapan dengan hukum anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak
diexploitasi secara ekonomi dan atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak
yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alcohol, psikotropika, dan zat
adiktif lainya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak
korban kekerasan baik fisik dan atau mental, anak yang menyandang cacat, dan
anak korban perlakuan salah dan penelantaran, hal ini terdapat dalam pasal 1
butir 15 Undang-undang No 23 Tahun 2002.[25]
2.
Hak-hak Anak Menurut UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Hak-hak
anak sendiri yang perlu dilindungi sesuai dengan UU No 23 Tahun 2002, adalah:
a)
Setiap anak berhak untuk hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi (Pasal 4).
b)
Setiap anak berhak atas suatu
nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan (Pasal 5)
c)
Setiap anak berhak untuk
beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat
kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua (Pasal 6).
d)
Setiap anak berhak untuk
mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya, apabila orang
tua tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak atau anak tersebut terlantar maka
anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh oleh orang lain
sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 7).
e)
Setiap anak berhak memperoleh
pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental,
spiritual, dan sosial (Pasal 8).
f)
Setiap anak berhak untuk
memperoleh pendidikan dan pengajaran, dan anak cacat pun mempunayi hak yang
sama dengan anak biasa dalam memperoleh pendidikan (Pasal 90.
g)
Setiap anak berhak menyatakan
dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai
dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan
nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan (Pasal 10).
h)
Setiap anak berhak untuk
beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya,
bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat
kecerdasannya demi perkembangan diri (Pasal 11).
i)
Setiap anak yang menyandang
cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf
kesejahteraan sosial (Pasal 12).
j)
Setiap anak berhak mendapatkan
perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun
seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan, dan
perlakuan salah lainnya (Pasal 13).
k)
Setiap anak berhak untuk diasuh
oleh orang tuanya sendiri (Pasal 14).
l)
Setiap anak berhak untuk
mendapatkan perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan
dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial, pelibatan dalam
peristiwa yang mengandung unsur kekerasan, pelibatan dalam peperangan (Pasal
15).
m)
Setiap anak berhak atas
perlindungan hukum dari tindakan penyiksaan atau penjatuhan hukuamn yang tidak
manusiawi, berhak untuk memeperoleh kebebasan sesuai dengan hukum (Pasal 16).
n)
Setiap anak yang dirampas
kebebasannya berhak memperoleh perlakuan yang manusiawi dan dipisahkan dari
orang dewasa, berhak memperoleh bantuan hukum, dan yang menjadi korban
kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak untuk namanya
dirahasiakan (Pasal 17).
B. Sanksi Pidana Pelaku
Tindak Pidana Pedofilia
1.
Menurut KUHP
Sanksi
bagi para pelaku pedofilia menurut KUHP terdiri dari :
a)
Persetubuhan
Dalam hal persetubuhan, adalah
persetubuhan yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap wanita diluar
perkawinan, dimana pihak korban adalah anak dibawah umur.
Pasal 287 ayat 1 menyatakan bahwa :
”barang
siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar pernikahan, padahal diketahui
atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau
umurnya tidak ternyata , belum mampu kawin diancam dengan pidana penjara paling
lama Sembilan tahun.”
Pasal 288 ayat 1 KUHP menyatakan bahwa:
“barang
siapa bersetubuh dengan seorang wanita didalam pernikahan, yang diketahui atau
sepatutnya harus diduga bahwa sebelum mampu kawin, diancam apabila perbuatan
mengakibatkan luka-luka, dengan pidana penjara paling lambat empat tahun”
Perbuatan yang terjadi disini adalah
perbuatan memaksakan kehendak dari orang dewasa terhadap anak dibawah umur yang
dilakukan tanpa atau dengan kekerasan. Persetubuhan yang dilakukan tanpa
kekerasan bisa terjadi dengan cara atau upaya orang dewasa dengan membujuk
korban dengan mengiming-imingi korban dengan sesuatu atau hadiah yang membuat
korban menjadi senang dan tertarik, dengan demikian sipelaku merasa lebih muda
untuk melakukan maksudnya untuk menyetubuhi korban.
b)
Perbuatan cabul
Perbuatan cabul yang terjadi disini
maksudnya adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak
dibawah umur untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kehormatan
korban.
Pasal 289 KUHP menyatakan: “bahwa barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
sesorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam
karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana
penjara paling lama Sembilan tahun”
Pasal 290 ayat 2 KUHP menyatakan: “bahwa diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:
barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang padahal diketahui atau
sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau belum kawin.”
Pasal 290 ayat 3 KUHP menyatakan: “bahwa barangsiapa membujuk seseorang yang diketahui atau sepatutnya
harus diduga bahwa umurnya belum lima
belas tahun atau ternyata belum kawin, untuk melakukan atau membiarkan
dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh diluar pernikahan dengan orang
lain.”
Pasal 292 KUHP menyatakan: “bahwa orang yang cukup umur, yang melakukan perbuatan cabul dengan
orang lain sama kelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa
belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”
Pasal 293 ayat 1 KUHP menyatakan: “bahwa barangsiapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang,
menyalahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan penyesatan sengaja
menggerakan seorang belum cukup umur dan baik tingkah lakunya, untuk melakukan
atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul dengan dia, padahal belum cukup
umurnya itu diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”
Pasal 294 ayat 1 KUHP menyatakan: “bahwa barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak
tirinya, anak angkatnya, anak dibawah pengawasannya yang belum cukup umur, atau
dengan orang yang belum cukup umur yang memeliharanya, pendidikannya atau
penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang
belum cukup umur, dianca dengan pidana paling lama tujuh tahun.”
Pengertian perbuatan cabul ini adalah
perbuatan dengan yang dilakukan dengan cara melakukan perbuatan yang tidak
senonoh yang berhubungan dengan tubuh korban dalam hal menyerang kehormatan
korban dalam konteks perbuatan asusila, dan yang dilakukan oleh orang dewasa
kepada anak di bawah umur.
c)
Pornografi
Pornografi adalah perbuatan yang
memperlihatkan tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, terhadap
anak dibawah umur. Memperlihatkan gambar-gambar atau alat yang melanggar
kesusilaan terhadap anak dibawah umur dilarang sesuai dengan ketentuan dalam
pasal 283 ayat 1 KUHP yang menyatakan: “bahwa
seseorang diancam dengan ancaman pidana maksimal Sembilan bulan atau denda
paling banyak enam ratus ribu rupiah barang siapa yang menawarkan, memberikan
untuk terus maupun untuk sementara waktu menyerahkan atau memperlihatkan,
tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk
mencegah atau menggugurkan hamil, kepada seorang yang belum cukup umur dan yang
diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum tujuh belas tahun,
jika isi tulisan, gambaran, benda atau alat itu telah diketahuinya”.
2.
Menurut UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Sanksi
bagi pelaku phedofilia menurut UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
adalah:
a)
Persetubuhan
Dalam hal ini persetubuhan adalah persetubuhan yang
dilakukan oleh orang dewasa terhadap perempuan diluar perkawinan dalam hal ini
adalah anak dibawah umur , diatur dalam pasal 81 yang isinya sebagai berikut:
1) Setiap orang yang dengan
sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima
belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah);
2) Ketentuan pidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan
sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
b)
Perbuatan Cabul
Perbuatan cabul yang terjadi disini
adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak dibawah umur
untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kehormatan korban, diatur
dalam pasal 82 yang isinya sebagai berikut:
“
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,
memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak
untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan
paling sedikit Rp 60.000.000,00 )enam puluh juta rupiah)”.
c)
Eksploitasi
Eksploitasi dalam hal ini adalah mengeksploitasi seksual
anak di bawah umur untuk kepentingan pelaku baik itu komersil ataupun kepuasan
seksual, hal ini terdapat dalam Pasal 88 UU No 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak:
“Setiap
orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan
diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah)”.
Tindakan
para pelaku pedofilia ini dengan berbagai macam cara baik itu melalui internet
atau pun organisasi, dan pedofilia juga sudah mempunyai jaringan internasional
lewat forum-forum sesame pelaku mereka menyebar atau berbagi informasi daerha
tujuan dan siapa-siapa saja yang bisa di jadikan korban.
BAB
IV
ANALISA
KASUS PHEDOFILIA
A. Kasus Posisi
Pengadilan Negeri Amlapura yang
memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana dengan acara pemeriksaan biasa
pada Pengadilan Tingkat Pertama telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam
perkara terdakwa saudara Brown William Stuart Alias Tony, dengan tempat dan
tanggal lahir Canberra
Australia 16 April 1952 dan
berkebangsaan Australia
dengan No Passpor E. 7568313. Saudara Brown William Stuart bertempat tinggal di
Indonesia Dusun kuum, Desa Ababi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem, Bali.
Sedangkan diAustralia dengan alamat 17 A Founce Cres O’Connor AOB Canberra.
Beragama Kristen Protestan, beliau berprofesi sebagai Guru Bahasa Inggris SMAP
Jasri. Dalam perkara ini Terdakwa didampingi oleh Penasehat Hukum/ Advokat yang
bernama : Ketutu Suwiga Arya Dauh, SH, I Nengah Maharsa, SH, Ni Ketut Suriasih,
SH yang berkantor di Kantor Advokat & Konsultas Hukum Amarti Justisia Jalan
Pulau tarakan No. 18 Lt II Denpasar-Bali Berdasarkan Surat Kuasa Khusus
tertanggal 7 Januari 2004. Terdakwa ditahan dengan jenis tahanan RUTAN, dan
prosesnya sebagai berikut :
1.
Penyidik Polri sejak tanggal 7
Januari 2004 S/d tanggal 26 Januari 2004;
2.
Perpanjangan Oleh Penuntut Umum
sejak tanggal 27 Januari 2004 s/d tanggal 6 Maret 2004;
3.
Penuntut Umum sejak tanggal 11 Februari
2004 s/d tanggal 1 Maret 2004;
4.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Amplapura sejak tanggal 24 Februari s/d 24 Maret 2004;
5.
Ketua Pengadilan Negeri
Amlapura sejak tanggal 25 Maret 2004 s/d 23 Mei 2004;
B. Tuntutan Jaksa
Dalam kasus Terdakwa Brown William
Stuart alias Tony Jaksa Penuntut Umum Pengadilan Amlapura mengajukan dakwaan
sebagai berikut :
1.
Bahwa Terdakwa Brown William
Stuart Alias Tony, secara berturut-turut yang harus dipandang sebagai perbuatan
berlanjut yaitu pada hari kamis tanggal 1 Januari 2004 sekitar jam 14.00 Wita
dan pada hari jumat tanggal 2 Januari 2004 sekitar jam 14.30 Wita atau
setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain dalam bulan Januari tahun 2004,
bertempat di pantai jasri Lingkungan Jasri lingkungan Jasri Kelod, Desa
Subagan, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem atau setidak-tidaknya
disuatu tempat yang masih dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Amlapura dengan
sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu
muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak yaitu saksi Ida Bagus Putu
Ariana umur 16 (enam belas) tahun, dan saksi I Made Suardika umur 14 (empat
belas) tahun untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul
Perbuatan mana oleh Terdakwa dilakukan
dengan cara-cara sebagai berikut:
-
Pada hari kamis tanggal 1
Januari 2004 sekitar jam 14.00 Wita Terdakwa mengajak saksi Ida Bagus Putu
Ariana mandi di Pantai Jasri di Desa Subagan, Kecamatan Karangasem, Kabupaten
Karangasem dengan mengendarai mobil merk Daihatsu Espass jenis Pick Up warna
putih dengan Nomor Polisi DK 9610 SB yang dikemudikan oleh Terdakwa;
-
Sesampainya di Pantai Jasri
Terdakwa dan saksi Ida Bagus Putu Ariana kemudian mandi bersama-sama dilaut
dalam keadaan telanjang, sesaat kemudian Terdakwa menuju kepemandian air tawar
yang letaknya kurang lebih 5 (lima) meter dari pantai, sedangkan saksi Ida
Bagus Putu Ariana masih mandi dilaut;
-
Tidak berapa lama kemudian
Terdakwa memanggil saksi Ida Bagus Putu Ariana yang masih dalam keadaan
telanjang menuju kepemandian air tawar tempat Terdakwa berada lalu saksi Ida
Bagus Putu Ariana masuk kepemandian air tawar tersebut bergabung dengan
Terdakwa yang saat itu masih dalam keadaan telanjang dan saling berhadapan;
-
Kemudian Terdakwa membelai
kepala saksi Ida Bagus Putu Ariana sambil mencium muka saksi Ida Bagus Putu
Ariana, selanjutnya Terdakwa mengisap kemaluan saksi sehingga mengeluarkan
sperma atau setidak-tidaknya sampai mengeluarkan cairan. Setelah itu Terdakwa
menyuruh saksi Ida Bagus Putu Ariana untuk mengisap kemaluan Terdakwa tetapi saksi
tolak, karena saksi Ida Bagus Putu Ariana menolak lalu Terdakwa menyuruh saksi
meng-onani kemaluan Terdakwa sampai Terdakwa mengeluarkan sperma, kemudian
setelah mencuci kemaluannnya Terdakwa memeluk saksi dari belakang dan
menggesek-gesek kemaluannya ke lubang dubur saksi sehingga saksi berontak
akhirnya Terdakwa menghentikan aksinya;
-
Setelah melakukan perbuatan
tersebut, Terdakwa mengajak saksi Ida Bagus Putu Ariana pulang dan dalam
perjalanan Terdakwa memberi uang kepada`saksi sebanyak Rp. 5.000,-(lima ribu rupiah) sambil
berpesan agar tidak bercerita kepada orang lain mengenai pristiwa tersebut;
-
Selanjutnya Terdakwa pada Hari
Jum’at tanggal 2 Januari 2004 kembali mengajak saksi Ida Bagus Putu Ariana, dan
saksi I Made Suardika dengan mengendarai mobil merk Daihatsu Espass warna Putih
jenis Pick Up Nomor Polisi DK 9610 SB yang dikemudikan Terdakwa oleh Terdakwa
untuk jalan-jalan ke koya Amlapura namun ternayata tidak menuju kota Amlapura
tetapi menuju pantai Jasri untuk mandi,
setiba di pantai Jasri, saksi Ida Bagus Putu Ariana, dan saksi I Made
Suardika mandi di laut dalam keadaan telanjang sedangkan Terdakwa menunggu
dipemandian air tawar; setelah berselang beberapa saat, Terdakwa memanggil
saksi Ida Bagus Putu Ariana, dan saksi I Made Suardika untuk mandi dipermandian
air tawar, dimana Terdakwa sudah menunggu di tempat itu dalam keadaan
telanjang, setelah bergabung dengan Terdakwa dipermandian air tawar tersebut
dalam posisi berdiri dan saling berhadapan lalu Terdakwa menyuruh kedua saksi
memegang kemaluan Terdakwa secara bersamaan;
-
Setelah itu Terdakwa menyuruh
saksi Ida Bagus Putu Ariana untuk mengonani samapai sperma terdakwa keluar
seperti pada waktu sebelumnya dan juga menggesek-gesekan kemaluannya ke dubur
saksi Ida Bagus Putu Ariana sehingga saksi berontak kesakitan kemudian
menghentikannya dan hal ini juga dilakukan terhadap saksi I Made Suardika dan
saksi juga melakukan hal yang dilakukan oleh saksi Ida Bagus Putu Ariana,
setelah melakukan perbuatan tersebut Terdakwa mengajak saksi Ida Bagus Putu
Ariana, dan saksi I Made Suardika pulang dan dalam perjalanan pulang tersebut
Terdakwa memberi uang sebesar Rp 20.000,-(dua puluh ribu rupiah kepada
masing-masing saksi sambil berpesan agar tidak bercerita kepada orang lain
mengenai peristiwa terse but.
-
Bahwa akibat perbuatan terdakwa
saksi Ida Bagus Putu ariana menderita luka lecet didaerah dubur pada jam 6
panjang 0.5Cm sebagaimana Visum Et
Repertum Nomor: 370/67/Ver/RSUD/2004 tanggal 19 Januari 2004 yang dibuat dan
ditandatangani oleh dr.Anom Ratmaya pada Rumah Sakit Umum Karangasem dan saksi
I Made Suardika menderita lecet didaerah dubur pada jam 6 panjang 0,5cm
sebagaimana Visum Et Repertun Nomor 370/66/Ver/RSUD/2004 oleh dr. Anom Ratmaya
pada Rumah Sakit Umum Karangasem.
Perbuatan
terdakwa diatur dan diancam pidana dalam pasal 82`Undang-undang-Undang No 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 64 KUHP;
2.
Bahwa ia Terdakwa Brown William
Stuart alias Tony, secara berturut-turut yang harus dipandang sebagai perbuatan
berlanjut yaitu pada hari kamis tanggal
1 Januari 2004 sekitar jam 14.00 Wita dan pada hari jum’at tanggal 2 Januari
2004 sekitar jam 14.30 Wita, atau setidak-tidaknya pada`waktu-waktu lain dalam
Bulan Januari tahun 2004, bertempat dipantai Jasri, Lingkungan Jasri Kelod,
Desa Subagan, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem atau setidak-tidaknya
pada suatu tempat yang masih dalam daerah hukum Pengadilan Amlapura, Terdakwa
yang telah berumur 52 tahun yang melakukan perbuatan cabul dengan anak yang
belum dewasa yaitu saksi Ida Bagus Putu Ariana umur 16 (enam belas)tahun dan
saksi I Made Suardika umur 14 (empat belas) tahun, yang sejenis kelamin
sama-sama laki-laki dengan Terdakwa, pada hal diketahuinya atau patut dapat
disangkanya bahwa anak itu belum dewasa.
Perbuatan
Terdakwa diatur dan diancam pidana dalam pasal 292 KUHP jo Pasal 64 KUHP
C. Putusan Hakim
Menimbang
bahwa setelah majelis membaca secara seksama dakwaan Penuntut Umum tersebut
dapat disimpulkan bahwa bentuk dakwaan Penuntut Umum tersebut dapat disimpulkan
bahwa bentuk dakwaan Penuntut Umum tersebut disusun secara alternatif yaitu:
Kesatu :
Pasal 82 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak;
Atau
Kedua : Pasal 292 KUHP jo Pasal 64 KUHP
Menimbang,
bahwa oleh karena itu Majelis Hakim terlebih dahulu akan mempertimbangkan
dakwaan kesatu dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap Terdakwa tersebut, dan
jika ini terbukti maka dakwaan kedua tidak perlu dipertimbangkan lagi;
Menimbang,
bahwa dakwaan kesatu yaitu Pasal 82 Undang-undang Republik Indonesia No 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo Pasal 64 KUHP, Majelis tidak sependapat
dengan uraiaan unsure-unsur delik yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum dalam
tuntutannya, dan akan menguraikan sendiri unsure-unsur delik yang terkandung
dalam dakwaan kesatu dari Jaksa Penuntut Umum tersebut sebagai berikut:
1)
Setiap orang;
2)
Dengan sengaja;
3)
Melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan;
4)
Memaksa;
5)
Membujuk anak untuk melakukan
atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul;
6)
Perbuatan yang dilakukan
berturut-turut/berlanjut;
Menimbang,
bahwa oleh karena unsur-unsur delik dari Pasal 82 Undang-undang Republik
Indonesia No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo Pasal 64 ayat (1) KUHP
telah terpenuhi dan terbukti dalam wujud perbuatan Terdakwa, maka telah cukup
alas an Majelis Hakim memperoleh Keyakinan bahwa Terdakwa telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan
kesatu Jaksa Penuntut Umum dan harus dijatuhi hukuman yang setimpa;
Menimbang,
bahwa dalam menjatuhkan pidana terhadap diri Terdakwa, perlu dipertimbangkan
hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan:
Hal-hal yang
memberatkan:
-
Bahwa perbuatan Terdakwa sangat
meresahkan masyarakat di Bali Khususnya, dan Indonesia umumnya;
-
Bahwa Terdakwa adalah warga
Negara/Kebangsaan asing yang dapat merusak tatanan kehidupan dalam masyarakat,
serta merusak moral dan sendi-sendi hukum di Indonesia;
-
Bahwa perbuatan Terdakwa dapat
merusak citra Pariwisata Bali, dengan menimbulkan image bahwa Bali
adalah surga bagi kaumnya yaitu kaum Pedofilia;
-
Bahwa perbuatan Terdakwa
merusak masa depan korbannya, sehingga korban merasa`minder dan berdosa dan
mengurung diri, yang mengakibatkan korban menurun minatnya untuk belajar dan
bermasyarakat;
-
Terdakwa adalah mantan seorang
Diplomat, seorang yang berpendidikan tinggi (master), juga seorang pendidik
atau guru yang seharusnya berperilaku yang baik dan santun agar dapat dijadikan
panutan oleh masyarakat;
-
Bahwa perbuatan Terdakwa
menimbulkan gangguan stress pasca trauma (post traumatic stress disorder) yang
bisa mengakibatkan koban cenderung akan mengulangi, dan menularkannya pada
orang lain;
-
Bahwa perbuatan Terdakwa
sangatlah bertentangan dengan nilai-nilai Agama, budaya, moral dan kepatutan
dalam masyarakat Indonesia. ;
Hal-hal yang
meringankan:
-
Terdakwa belum pernah dihukum;
-
Terdakwa mengakui perbuatannya;
-
Terdakwa berlaku sopan selama
mengikuti jalannya persidangan;
-
Terdakwa menyatakan penyesalan
dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya;
Menimbang,
bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang
meringankan tersebut, maka pidana yang dijatuhkan terhadap diri Terdakwa
sebagaimana dalam amar putusan ini dipandang sudah setimpal dengan perbuatan
Terdakwa;
Menimbang,
bahwa pidana yang dijatuhkan terhadap diri Terdakwa sebagaimana dalam amar
putusan ini adalah bukan merupakan suatu pembalasan akan tetapi adalah
merupakan suatu penjeraan, dan sebagai seorang penganut Agama Kristen
Protestant patutlah di ingatkan kepada Terdakwa yang termuat dalam
Bible/Alkitab Surat Korintus 6 ayat (18) yang berbunyi:
“Flee fornication. Every sin that a man
doeth is without the bvody; but he that committeth fornication sinneth against
his own body”
Yang artinya:
“Jauhkanlah dirimu dari perbuatan cabul!.
Setiap dosa lain yang dilakukan oleh manusia, terjadi diluar dirinya. Tetapi
orang yang melakukan percabulan berdosa terhadap dirinya sendiri”.
Menimbang,
bahwa berdasarkan keterangan saksi, keterangan Terdakwa, fakta-fakta dan bukti
yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan tersebut diatas, Majelis
Hakim berpendapat bahwa mobil tersebut adalah barang kepunyaan Terdakwa yang
dipergunakan sebagai sarana melakukan kejahatan sesuai dengan Pasal 39 ayat (1)
KUHP, oleh karenannya haruslah dinyatkan dirampas untuk Negara;
Mengingat
Pasal-pasal dari KUHP, Pasal 82 Undang-undang Republik Indonesia No 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak jo Pasal 64 ayat (1) KUHP dan
ketentuan-ketentuan hukum lainnya yang bersangkutan:
MENGADILI
1.
Menyatakan Terdakwa Brown
William Stuart alias Tony telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “Perbuatan Cabul Terhadap Anak secara Berlanjut”;
2.
Menjatuhkan pidana terhadap
Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 13 (tiga belas) tahun
dikurangkan seluruhnya selama Terdakwa berada dalam tahanan;
3.
Menghukum Terdakwa untuk
membayar denda sebesar Rp. 150.000.000,-(Seratus lima puluh juta rupiah) subsidair 6 (enam)
bulan kurungan;
4.
MemerintahkanTerdakwa tetap di
tahan didalam Rumah Tahanan Negara;
5.
Memerintahkan barang bukti
berupa:
-
1 (satu) lembar kemeja/hem
warna coklat muda kombinasi garis hitam;
Dikembalikan
kepada terdakwa
-
1 (satu) unit mobil merk
Daihatsu Espass Jenis Pick Up warna putih Nomor Polisi DK 9610 SB;
Dirampas untuk Negara
Demikian
diputus dalam Rapat Permusyawaratan Majelis Hakim pada hari: Rabu tanggal 5 Mei
2004 oleh kami: I Nyoman Sutama, SH. Ketua Pengadilan Negeri Amlapura, sebagai
Ketua Majelis, Lucius Sunarno, SH, dan Sahat Pardaeman. M, Sihombing, SH.
Masing-masing sebagai Hakim Anggota, putusan mana telah di ucapkan dalam sidang
yang terbuka untuk umum pada hari: Selasa tanggal 11 Mei 2004 oleh Hakim Ketua
Majelis tersebut, didampingi oleh Hakim-Hakim Anggota, dibantu oleh: Kelin
Ibrahim sebagai Panitera Pengganti, juga dihadiri oleh I Wayan Eka Miartha, SH.
Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Amlapura, serta dihadiri pula oleh
Terdakwa dan Penasihat hukumnya.
D. Analisis
Berdasarkan dakwaan yang diajukan oleh Jaksa
Penuntut Umum berbentuk dakwaan alternatif. Maka perlu penulis jelaskan
terlebih dahulu dengan pengertian dakwaan alternatif. Dalam hal dakwaan
alternatif, maka menurut Van Bemmelen, masing-masing dakwaan saling
mengecualikan satu sama lain. Hakim dapat mengadakan pilihan mana yang telah
terbukti dan bebas menyatakan bahwa dakwaan kedua yang terbukti tanpa harus
memutuskan terlebih dahulu tentang dakwaan pertama[26].
Namun dalam prakteknya apabila dakwaan pertama telah terbukti maka dakwaan
kedua dapat dihiraukan artinya tidak perlu dibuktikan lagi unsur-unsurnya.
Dalam kasus ini di gunakan asas
Lex Spesialis de Rogat Lex`Generalis yaitu aturan hukum yang khusus dapat
menyampingkan aturan hukum yang umum, jadi dalam kasus Terdakwa Tony di gunakan
Undang-undang No 23 Tahun 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Dalam kasus
ini Terdakwa terbukti secara sah melakukan tindakan pencabulan terhadap saksi
korban yaitu IDA BAGUS PUTU ARIYANA dan I MADE SUARDIKA, dengan cara membujuk
kedua saksi korban dan setelah melakukan aksinya kedua saksi korban di beri
uang dan dengan ancaman jangan memberitahukan kepada orang lain.
Putusan
Hakim ini lebih berat dari pada putusan Jaksa Penuntut Umum yang hanya mendakwa
dengan ancaman pidana penjara 12 tahun dan denda Rp. 60.000.000 (enam puluh
juta rupiah). Hakim memutuskan Terdakwa di kenai Pasal 82 Undang-undang No 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo Pasal 64 ayat 1 KUHP yaitu : “
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,
memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak
untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling
sedikit Rp 60.000.000,00 )enam puluh juta rupiah)”.
Menurut
saya seharusnya Hakim bisa menjatuhkan dengan hukuman penjara Maksimum yaitu 15
tahun pidana penjara karena dalam barang bukti Terdakwa juga menyebarkan berita
tentang korban-korban pehdofilia berupa fot-foto yang disebarkan melalui
internet kepada`komuniatsnya bahkan bisa berakibat lebih banyak lagi pelaku
phedofilia di Indonesia dan juga tentunya korban-korbannya.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
uraian di atas dan rumusan masalah maka penulis meberikan kesimpulan sebagai
berikut:
1.
Bahwa tindak pidana Phedofilia secara eksplisit tidak di
atur dalam hukum Indonesia tetapi hal ini harus di paham tentang arti
phedofilia sendiri yang dimana melakukan tindak pidana pelecehan seksual terhadap
anak di bawah umur, dan anak sendiri itu di lindungi dari tindakan eksploitasi
seksual yang terdapat dalam Pasal 13 Undang-undang No 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak yaitu: “Setiap anak
berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi baik
ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan,
ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya”.
2.
Bahwa bagi pelaku tindak Pidana
Phedofilia dapat dikenai Undang-undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak pasal 82 Yaitu: “ Setiap orang yang
dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan
tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 )enam puluh juta rupiah)”. Seperti yang telah diuraikan dalam
kasus Brown William Stuart beliau di dakwa dengan Pasal 82 Undang-undang No 23
Tahun 2002.
B. Saran
Setelah
memberikan kesimpulan disini penulis ingin mengajukan saran-saran sebagai
berikut:
1.
Bahwa seharusnya hukuman bagi
para pelaku Phedofilia ini seharusnya hukuman maksimumnya adalah hukuman mati
seperti di Filipina karena efek dari para pelaku phedofilia sangat berpengaruh
terhadap perkembangan mental anak, dan juga para pelaku ini mempunyai jaringan
internasional sehingga bisa menyebarkan informasi daerah-daer5ah mana saja yang
bisa menjadi sasaran kaum pehdofilia sehingga bisa menambah korban-korban baru.
2.
Pemerintah dan seluruh
masyarakat harus berpartisipasi untuk mencegah kaum phedofilia berkeliaran di Indonesia . Dan
orang Tua harus lebih mengawasi anak-anak dengan siapa mereka berhubungan
sehingga dapat di cegah terjadi korban-korban phedofilia baru.
[1] Depsos RI ,
Anak Yang Membutuhkan Perlindungan Khusus, Jakarta ,2002, hlm 5
[2] Ibid, hlm 3
[3] Agnes Aristiarini, Seandainya Aku BUkan Anakmu, Penerbit Kompas, Jakarta ,2000, hlm 5
[5] Ibid
[6] Soeidy, Sholeh,SH, Dasar Hukum Perlindungan Anak, Penerbit CV.
Navindo Pustaka Mandiri, Jakarta ,
2001,hlm 2
[7] Kartonegoro, Diktat Kuliah
Hukum Pidana, Jakarta :
Balai Lektur Mahasiswa, hal 62
[8] Moeljatno, Asas-asas Hukum
Pidana, Jakarta :
Bina Aksara, 1987, hal 54
[9] Poernomo, Bambang. Asas-asas
Hukum Pidana, Jakarta : Ghalia Indonesia ,
1992, hal 130
[10] Ibid, hal 130
[11] Diktat Kuliah Asas-asas Hukum Pidana
[12] Kartonegoro, Op Cit, hal 156
[13] Drs. P.A.F. Lamintang, SH.Dasar-dasar
Hukum PidanaIndonesia; Bandung ,
PT. Citra Aditya Bakti, 1997, Hal n193
[14] DR. Andi Hamzah, Asas-Asas
Hukum Pidana; Jakarta ,
PT. Rineka Cipta, Tahun 2004, Hal 88
[15] Drs. Adami Chazawi, SH, Pelajaran
Hukum Pidana Bagian I; Jakarta ,
PT. Raja Grafindo Persada, Tahun 2007, hal 121
[16] DR. Andi Hamzah, OP Cit, Hal 98
[19] Muhrisun Afandi,, artikel: Pedofilia, Belajar dari Kasus Mantan
Diplomat,
[21] Op Cit
[23] Muhrisun Afandi,, artikel: Pedofilia, Belajar dari Kasus Mantan
Diplomat,
[24] Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia , Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1997, hal 4
[25] Prof.DR.H.R. Abudssalam,SIK, SH, MH, Hukum Perlindungan Anak, Jakarta ,
Restu Agung, Tahun 2007, hal 6
[26] DR. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Di Indonesia (Jakarta : Sinar Grafindo, 2004),hlm 180
0 komentar:
Post a Comment