Skripsi Hukum Pidana 3

Tuesday, March 13, 2012

“ Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Phedofilia”.

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
            Permasalahan yang sangat penting kiranya untuk membahas tentang Hak Asasi manusia (HAM) pada segala aspek kehidupan, khususnya adalah perlindungan terhadap anak di Indonesia. Masalahnya perlindungan anak baru menjadi perhatian masyarakat Indonesia pada kurun waktu tahun 1990an, setelah secara intensif berbagai bentuk kekerasan terhadap anak di Indonesia diangkat kepermukaan oleh berbagai kalangan. Fenomena serupa muncul pula diberbagai kawasan Asia lainnya, seperti di Thailand, Vietnam dan Philipina, sehingga dengan cepat isu ini menjadi regional bahkan global yang memberikan inspirasi kepada masyarakat dunia tentang pentingnya permasalahan ini.
            Masalah ekonomi dan sosial  yang melanda Indonesia berdampak pada peningkatan skala dan kompleksitas yang di hadapi anak Indonesia yang ditandai dengan makin banyaknya anak yang mengalami perlakuan salah, eksploitasi, tindak kekerasan, anak yang didagangkan, penelantaran, disamping anak-anak yang tinggal di daerah rawan konflik, rawan bencana serta anak yang berhadapan dengan hukum dan lain-lainnya. Dampak nyata yang berkaitan dengan memburuknya kondisi perekonomian dan krisis moneter adalah meningkatnya jumlah anak di Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) milik masyarakat lebih diperberat lagi dengan menurunnya pendapatan masyarakat yang merupakan salah satu sumber dana.[1]
            Dampak negatife dari kemajuan revolusi media elektronik mengakibatkan melemahnya jaringan kekerabatan keluarga besar dan masyarakat yang dimanisfestasikan dalam bentuk-bentuk fenomena baru seperti timbulnya kelompok-kelompok rawan atau marjinal. Misalnya eksploitasi anak di bawah umur 18 tahun sebagai pekerja seks di Indonesia, dimana menurut data DUSPATIN 2002 jumlah anak yang bekerja sebagai pekerja seks komersil di bawah umur 18 tahun adalah 70.000 anak di seluruh Indonesia. Anak-anak yang terjerat pada oknum yang memanfaatkan eksploitasi anak sebagai pekerja seks komersil terus meningkat. Keadaan ini membuat anak beresiko tinggi tertular penyakit yang disebabkan hubungan seksual khususnya HIV/AIDS.
            Laporan dari UNICEF mengenai upaya perlindungan khusus kepada anak-anak, tercatat bahwa dewasa ini banyak anak-anak di Indonesia mendapat perlakuan yang sangat tidak layak, mulai dari masalah anak jalanan yang berjumlah lebih dari 50.000 orang, pekerja anak yang dieksploitasikan mencapai sekitar 1,8 juta anak, sehingga kepada permasalahan perkawinan dini, serta anak-anak yang terjerat penyalahgunaan seksual (eksploitasi seksual komersil) yang menempatkan anak-anak itu beresiko tinggi terkena penyakit AIDS. Dalam analisis situasi yang telah disiapkan untuk UNICEF, diperkirakan bahwa setidaknya ada sekitar 30% dari total eksploitasi anak sebagai pekerja seks di Indonesia dilacurkan ke luar negeri.[2] 
            Berbagai informasi yang valid atau akurat menyangkut perdagangan anak untuk tujuan seksual komersil, dimana selain diperdagangkan dari daerah satu ke daerah lain dalam wilayah hukum Negara Indonesia. Begitu pula terdapat berbagai macam indikator mengenai penggunaan anak untuk produksi bahan-bahan pornografi, dan para korban dari eksploitasi seksual komersil itu pada umumnya rata-rata berusia 16 tahun dimana bukan hanya anak-anak perempuan yang menjadi korban eksploitasi tetapi juga anak laki-laki yang menjadi korban eksploitasi seksual tersebut.
            Masih berkaitan dengan persoalan ini adalah bahwa anak-anak yang obyek eksploitasi seksual komersil menjadi seperti muara atau sebab dari segala persoalan yang ada. Pekerjaan dan anak-anak jalanan dengan amat mudah sekali terjebak ke dalam jaringan perdagangan seks komersil ini. Diperkirakan 30% dari seluruh pekerja seks komersil saat ini adalah anak-anak di bawah umur.[3]
            Di Batam setelah terjadi krisis ekonomi jumlah pekerja seks meningkat hampir empat kali lipat menjadi 10.000 anak yang bekerja sebagai pekerja seks komersil. Bisnis pelacuran anak ini sangat menggiurkan bagi para pelaku yang memanfaatkan anak sebagai pekerja seks, di perkirakan jumlah uang yang berputar dalam industri seks ini berkisar antara Rp 1,8 Milyar sampai Rp 3,3 Milyar pertahun, sebuah angka yang fantastis. Di DKI Jakarta anak-anak yang dilacurkan terdapat di Bongkaran tanah abang, Rawa Bebek, Sepanjang bantaran kali dari manggarai- Dukuh Atas, Kali jodoh dan Jatinegara. Dan mulai lima-enam tahun lalu Indonesia sudah masuk ke dalam peta tujuan kaum pedofil dunia. Anak-anak di bawah umur berada dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan, bahkan boleh dikatakan mereka berada pada garis bahaya yang akan menggangu tumbuh kembang mereka sebagai seorang anak.
Kasus yang pernah terjadi dan terungkap di Indonesia adalah kasus mantan diplomat Australia  William Stuart Brown, atas kasus kejahatan seksual yang dilakukan terhadap dua anak di Karangasem, dipandang beberapa pihak sebagai langkah maju bagi penegakan hukum perlindungan anak di Indonesia. Terlepas dari penyesalan dan simpati atas kasus bunuh diri Brown di Lembaga Pemasyarakatan Amlapura, sehari setelah keputusan vonis itu, ada beberapa pelajaran penting yang bisa diambil dari kasusnya. Kasus itu menggambarkan bagaimana pedofilia dan kejahatan seksual terhadap anak dipahami masyarakat kita serta bagaimana perangkat hukum kita meresponsnya.[4]
Beberapa polemik yang muncul selama persidangan kasus Brown, seperti klaim tidak terjadi kasus pelanggaran Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) dalam kasus ini dengan klaim tidak terjadi kekerasan dan paksaan terhadap korban, menunjukkan betapa pedofilia masih sering dikacaukan pengertiannya. Ada tidaknya unsur kekerasan fisik masih sering dijadikan kriteria untuk mengategorikan tindak pelecehan seksual terhadap anak sebagai bentuk kejahatan atau tidak. Pelecehan seksual terhadap anak sendiri masih cenderung disempitkan artinya, terbatas pada bentuk kontak seksual dengan menafikan bentuk pelecehan nonkontak seksual, seperti exhibitionism dan pornografi. Ada tidaknya unsur paksaan sebenarnya tidak signifikan dalam kasus kejahatan seksual terhadap anak karena adanya kesenjangan pemahaman tentang seks antara orang dewasa dan anak-anak. Sebagaimana contoh yang dikemukakan Gunter Schmidt (2002) dalam artikel The Dilemma of the Male Pedophile, bentuk manipulasi genital yang dilakukan anak-anak, meski mengakibatkan orgasme, tidak bisa serta-merta disamakan dengan bentuk masturbasi yang dilakukan orang dewasa. Keluguan dan rasa ingin tahu yang kuat terhadap kehidupan seksualitas yang menjadi ciri khas anak-anak inilah yang dimanfaatkan pelaku pedofilia (pedophile) untuk menjerat korbannya. Karena itu, dalam kasus pedofilia, penekanannya lebih pada bentuk eksploitasi dan manipulasi yang muncul sebagai akibat ketidakseimbangan power (imbalance of power) antara pelaku dan anak-anak yang menjadi korbannya.[5]
Anak akan menjadi lost generation dikarenakan orang tua yang tidak cakap dalam mendidik. Hal tersebut membuat mereka menjadi sumber daya yang tidak komptitif hingga sangat kecil kemungkinan untuk mampu bekerja disektor formal dan hal yang demikian pada akhirnya membuat atau menyeret mereka menyerbu sektor informal atau illegal.
Ternyata hak asasi hak tidak pernah diberi melainkan harus direbut dengan suatu gerakan perlindungan hukum terhadap anak-anak, anti kekerasan terhadap anak dan mengambil kembali hak asasi anak-anak yang hilang. Gerakan perlindungan hukum terhadap anak harus digencarkan di tengah-tengan masyarakat. Pencanangan gerakan nasional perlindungan anak adalah dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran bangsa secara nasional guna menghargai hak-hak anak dalam rangka menumbuhkan, mengembangkan kepedulian masyarakat agar berperan aktif melindungi anak dari segala macam bentuk gangguan terhadap kelangsungan hidup dan tumbuh kembangnya.
Sebagai suatu gerakan nasioanal di dalam upaya memeberikan perlindungan hukum terhadap anak perlu melibatkan seluruh segmen yang ada. Seperti badan pemerintah, Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), organisasi sosial, aparat hukum, tokoh agama, dari kalangan pers serta lembaga-lembaga akademik dan para pakar-pakar untuk bersama-sama, bahu-membahu dalam mewujudkan anak Indonesia yang teguh imannya, berpendidikan, sehat dan tangguh di dalam bersaing serta dapat menentukan masa depannya sendiri.[6]
Dewasa ini di perkirakan jumlah anak yang membutuhkan perlindungan khusus makin besar terutama pasca krisi. Kasus-kasus yang berkaitan dengan pelanggaran hak-hak anak makin marak. Suatu permasalahan anak yang membutuhkan perlindungan khusus yang cukup luas. Negara kita sebenarnya telah banyak pula memberikan perhatian terhadap hak-hak anak. Hal ini dibuktikan dengan adanya berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang usaha kesejahteraan anak dan ikut serta Indonesia dal;am menandatangai konvensi tentang anak hak-hak anak (Convention On The Right of The Child) sebagai hasil Sidang Umum PBB pada tanggal 26 Januari 1990 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden RI No 36 Tahun 1990. Namun dalam pelaksanaannya masih menghadapi berbagai kendala yang disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain peraturan pemerintah belum semuanya diwujudkan secara efektif, kesigapan aparat dalam penegakan hukum, dan kurangnya perhatian dan peran serta masyarakat dalam permasalahan anak.
Dengan latar belakangan permasalahan yang sangat menarik bagi penulis untuk meneliti masalah ini dan mengangkat permasalahan tersebut dalam skripsi dengan judul: “ Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Phedofilia”.

B.     Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka permasalahan yang akan dibahas oleh penulis dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Bagaimana Pengaturan tentang tindak pidana phedofilia dalam peraturan hukum di Indonesia?
2.      Apa sanksi bagi pelaku tindak pidana phedofilia sesuai dengan peraturan hukum di Indonesia?

C.    Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1.      Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana phedofilia dalam peraturan hukum di Indonesia.
2.      Untuk mengetahui saksi apa yang dapat diberikan kepada pelaku tindak pidana phedofilia.
Kegunaan penelitian ini adalah:
1.      Memberikan pengetahuan atau wawasan baru bagi para mahasiswa/mahasiswa yang berminat dalam permasalahan hak anak.
2.      Sebagai tambahan bacaan bagi kalangan yang berminat membahas permasalahan kekerasan seksual atau phedofilia.
3.      Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata-1 pada Fakultas Hukum Universitas Jayabaya. 



D.    Metode Penelitian
            Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini terdiri dari berbagai cara dan kegiatan yang dilakukan dal;am rangka mengumpulkan data-data dan bahan-bahan yang diperlukan untuk melengkapi penyusunan skripsi ini. Penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti dan mengadakan penelusuran literature hukum serta menganalisa data sekunder, tujuan untuk memperoleh data-data atau kebenaran yang akurat sesuai dengan peraturan yang berlaku guna mendapatkan kepastian hukum tetap.
Bahan pustaka yang digunakan terdiri dari:
1.      Bahan Hukum Primer
         Adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat terdiri dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP),  Undang-undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, Undang-undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dan peraturan lainnya.
2.      Bahan Hukum Sekunder
         Adalah bahan hukum yang berupa tulisan-tulisan ilmiah di bidang hukumnya dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti buku-buku mengenai perlindungan hak-hak anak serta buku-buku hukum mengenai kejahatan seksual terhadap anak dibawah umur di Indonesia.
3.      Bahan Hukum Tersier
         Adalah bahan-bahan atau tulisan-tulisan yang dapat menambah penjelasan terhadap bahan hukum primer dan tersier, terdiri dari artikel, kliping, seminar, internet, kamus hukum dan lainnya.
E.     Sistematika Penulisan
            Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab. Pada masing-masing bab terbagi dalam beberapa sub bab, sehingga mempermuda pembaca untuk mengetahui gambaran secara ringkas mengenai uraian yang dikemukakan dalam tiap bab.
BAB I
:
PENDAHULUAN


Bab ini menguraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II
:
TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PHEDOFILIA


Dalam bab ini berisikan tentang pengertian tindak pidana, unsur-unsur tindak pidana, jenis-jenis tindak pidana, pengertian phedofilia, ciri-ciri dan faktor-faktor penyebab terjadi di Indonesia.
BAB III
:
SANKSI PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PHEDOFILIA


Bab ini berisi tentang pengertian anak, hak-hak anak menurut UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana phedofilia baik itu KUHP Maupun UU No 23 Tahun 2002.
BAB IV
:
ANALISA KASUS


Bab ini berisi tentang analisa kasus dan juga tuntutan jaksa serta putusan hakim terhadap kasus phedofila
BAB V
:
KESIMPULAN DAN SARAN


Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini yang berisi kesimpulan yang diambil dari penyusunan dari pokok bahasan yang diangkat untuk dapat menjawab identifikasi masalah dan membuat saran-saran terhadap masalah perlindungan terhadap anak dari kekerasan seksual.


BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG
TINDAK PIDANA PEDOFILIA

A.    Tindak Pidana Umum
1.      Pengertian Tindak Pidana
            Pengertian tentang tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah stratbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana. Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan cirri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.[7]    
            Seperti yang diungkapkan oleh seorang ahli hukum pidana yaitu Prof. Moeljatno, SH, yang berpendapat bahwa pengertian tindak pidana yang menurut istilah beliau yakni perbuatan pidana adalah:
”Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.”[8]    
     
            Jadi berdasarkan pendapat tersebut di atas pengertian dari tindak pidana yang dimaksud adalah bahwa perbuatan pidana atau tindak pidana senantiasa merupakan suatu perbuatan yang tidak sesuai atau melanggar suatu aturan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan sanksi pidana yang mana aturan tersebut ditujukan kepada perbuatan sedangkan ancamannya atau sanksi pidananya ditujukan kepada orang yang melakukan atau orang yang menimbulkan kejadian tersebut. Dalam hal ini maka terhadap setiap orang yang melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku, dengan demikian dapat dikatakan terhadap orang tersebut sebagai pelaku perbuatan pidana atau pelaku tindak pidana. Akan tetapi haruslah diingat bahwa aturan larangan dan ancaman mempunyai hubungan yang erat, oleh karenanya antara kejadian dengan orang yang menimbulkan  kejadian juga mempunyai hubungan yang erat pula.
            Sehubungan dengan hal pengertian tindak pidana ini Prof. DR. Bambang Poernomo, SH, berpendapat bahwa perumusan mengenai perbuatan pidana akan lebih lengkap apabila tersusun sebagai berikut:
 “Bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.”[9]           
            Adapun perumusan tersebut yang mengandung kalimat “Aturan hukum pidana” dimaksudkan  akan memenuhi keadaan hukum di Indonesia yang masih mengenal kehidupan hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis, Prof.DR. Bambang Poernomo, SH, juga berpendapat mengenai kesimpulan dari perbuatan pidana yang dinyatakan hanya menunjukan sifat perbuatan terlarang dengan diancam pidana.[10]
            Maksud dan tujuan diadakannya istilah tindak pidana, perbuatan pidana, maupun peristiwa hukum dan sebagainya itu adalah untuk mengalihkan bahasa dari istilah asing stafbaar feit namun belum jelas apakah disamping mengalihkan bahasa dari istilah sratfbaar feit dimaksudkan untuk mengalihkan makna dan pengertiannya, juga oleh karena sebagian besar kalangan ahli hukum belum jelas dan terperinci menerangkan pengertian istilah, ataukah sekedar mengalihkan bahasanya, hal ini yang merupakan pokok perbedaan pandangan, selain itu juga ditengan-tengan masyarakat juga dikenal istilah kejahatan yang menunjukan pengertian perbuatan melanggar morma dengan mendapat reaksi masyarakat melalui putusan hakim agar dijatuhi pidana.[11]
            Tindak pidana adalah merupakan suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggung jawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya, tapi sebelum itu mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidanya sendiri, yaitu berdasarkan azas legalitas (Principle of legality) asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, biasanya ini lebih dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege  (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu), ucapan ini berasal dari von feurbach, sarjana hukum pidana Jerman. Asas legalitas ini dimaksud mengandung tiga pengertian yaitu:
a.       Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
b.      Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.
c.       Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.
            Tindak pidana merupakan bagian dasar dari pada suatu kesalahan yang dilakukan terhadap seseorang dalam melakukan suatu kejahatan. Jadi untuk adanya kesalahan hubungan antara keadaan dengan perbuatannya yang menimbulkan celaan harus berupa kesengajaan atau kelapaan. Dikatakan bahwa kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa) adalah bentuk-bentuk kesalahan sedangkan istilah dari pengertian kesalahan (schuld) yang dapat menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana adalah karena seseorang tersebut telah melakukan suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum sehingga atas`perbuatannya tersebut maka dia harus bertanggung jawabkan segala bentuk tindak pidana yang telah dilakukannya untuk dapat diadili dan bilamana telah terbukti benar bahwa telah terjadinya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang maka dengan begitu dapat dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan pasal yang mengaturnya.[12]
2.      Unsur-unsur Tindak Pidana
            Dalam kita menjabarkan sesuatu rumusan delik kedalam unsur-unsurnya, maka yang mula-mula dapat kita jumpai adalah disebutkan sesuatu tindakan manusia, dengan tindakan itu seseorang telah melakukan sesuatu tindakan yang terlarang oleh undang-undang. Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif.
            Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus di lakukan.[13] 
Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:
1)      Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau Culpa);
2)      Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;
3)      Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;
4)      Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;
5)      Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana  menurut Pasal 308 KUHP.
Unsur-unsur objektif dari sutau tindak pidana itu adalah:
1)      Sifat melanggar hukum atau wederrechtelicjkheid;
2)      Kwalitas dari si pelaku, misalnya kedaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.
3)      Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
Seorang ahli hukum yaitu simons merumuskan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut[14]:
1)      Diancam dengan pidana oleh hukum
2)      Bertentangan dengan hukum
3)      Dilakukan oleh orang yang bersalah
4)      Orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.

3.      Jenis-jenis Tindak Pidana
         Dalam membahas tindak pidana kita pasti menemukan beragam tindak pidana yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat baik itu sengaja maupun tidak sengaja. Tindak pidana itu sendiri dapat dibedakan atas dasar-dasar tertentu yaitu sebagai berikut:[15]
a)      Menurut system KUHP, dibedakan antara kejahatan dimuat dalam buku II dan pelanggaran dimuat dalam buku III.
Alasan pembedaan antara kejatan dan pelanggaran adalah jenis pelanggaran lebih ringan dari pada kejahatan. Hal ini dapat diketahui dari ancaman pidana pada pelanggaran tidak ada yang diancam dengan pidana penjara, tetapi berupa pidana kurungan dan denda, sedangkan kejahatan lebih di dominasi dengan ancaman pidana penjara.
kriteria lain yang membedakan kejatan dan pelanggaran yakni kejahatan itu meruapakan delik-delik yang melanggar kepentingan hukum dan juga menimbulkan bahaya secara kongkret, sedangkan pelanggaran itu hanya membahayakan in abstracto saja. Secara kuantitatif pembuat Undang-undang membedakan delik kejahatan dan pelanggaran itu sebagai berikut[16]:
1)      Pasal 5 KUHP hanya berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang merupakan kejahatan di Indonesia. Jika seorang Indonesia yang melakukan delik di luar negeri yang digolongkan sebagai delik pelanggaran di Indonesia, maka di pandang tidak perlu dituntut.
2)      Percobaan dan membantu melakukan delik pelanggaran tidak dipidana.
3)      Pada pemidanaan atau pemidanaan terhadap anak di bawah umur tergantung pada apakah itu kejahatan atau pelanggaran.
b)      Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil dan tindak pidana materril.
Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan suatu perbuatan tertentu. Perumusan tindak pidana formil tidak memerlukan dan atau tidak memerlukan timbulnya suatu akibat tertentu dari perbuatan sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan semata-mata pada perbuatannya. Misalnya pada pencurian Pasal 362 untuk selesainya pencurian digantung pada selesainya perbuatan mengambil.
Sebaliknya dalam rumusan tindak pidana materril, inti larangan adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang. Oleh karena itu, siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana. Begitu juga untuk selesainya tindak pidana materiil, tidak bergantung pada sejauh mana wujud perbuatan yang dilakukan, tetapi sepenuhnya di gantungkan pada syarat timbulnya akibat terlarang tersebut. Misalnya wujud membacok telah selesai dilakukan dalam hal pembunuhan, tetapi pembunuhan itu belum terjadi jika dari perbuatan itu belum atau tidak menimbulkan akibat hilangnya nyawa korban, yang terjadi hanyalah percobaan pembunuhan.
c)      Berdasarkan bentuk kesalahan, dibedakan antara tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak dengan senagaja.
Tindak pidana sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan. Sedangkan tindak tidak sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya mengandung culpa.
d)     Berdasarkan macam perbuatan perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi dan tindak pidana pasif/negative, disebut juga tindak pidana omisi.
Tindak pidana aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan aktif, perbuatan aktif adalah perbuatan yang untuk mewujudkan disyaratkan adanya gerakan dari anggotan tubuh orang yang berbuat. Dengan berbuat aktif orang melanggar larangan, perbuatan aktif ini terdapat baik dalam tindak pidana yang dirumuskan secara formil maupun secara materiil. Bagian terbesar tindak pidana yang dirumuskan dalam KUHP adalah tindak pidana aktif.
Tindak pidana pasif ada dua macam yaitu tindak pidana pasif murni dan tindak pidana pasif yang tidak murni. Tindak pidana pasif murni ialah tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya semata-mata unsur perbuatannya adalah berupa perbuatan pasif. Sementara itu, tindak pidana pasif yang tidak murni berupa tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat aktif, atau tindak pidana yang mengandung suatu akibat terlarang, tetapi dilakukan dengan tidak berbuat/atau mengabaikan sehingga akibat itu benar-benar timbul.   
e)      Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus.
Tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk terwujudnya atau terjadinya dalam waktu seketika atau waktu singkat saja, disebut juga dengan aflopende delicten. Sebaliknya ada tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga terjadinya tindak pidana itu berlangsung lama, yakni setelah perbuatan dilakukan, tindak pidana itu masih berlangsung terus, yang disebut juga dengan voordurende dellicten. Tindak pidana ini dapat disebut sebagai tindak pidana yang menciptakan suatu keadaan yang terlarang.
f)       Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus.
Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materiil (Buku II dan Buku III). Sementara itu tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat diluar kodifikasi KUHP.
g)      Dilihat dari sudut subjek hukum, dapat dibedakan antara tindak pidana communia (tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang) dan tindak pidana propria (tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu).
Pada umumnya tindak pidana itu dibentuk dan dirumuskan untuk berlaku pada semua orang, dan memang bagian terbesar tindak pidana itu dirumuskan dengan maksud yang demikian. Akan tetapi, ada perbuatan-perbuatan yang tidak patut tertentu yang khusus hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu saja, misalnya pegawai negeri (pada kejahatan jabatan) atau nakhoda (pada kejahatan pelayaran), dan sebagainya.
h)      Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka dibedakan antara tindak pidana biasa dan tindak pidana aduan.
Tindak pidana biasa yang dimaksudkan ini adalah tindak pidana yang untuk dilakukannya penuntutan pidana terhadap pembuatnya tidak disyaratkan  adanya pengaduan dari yang berhak, sementara itu tindak aduan adalah tindak pidana yang untuk dapatnya dilakukan penuntutan pidana disyaratkan untuk terlebih dahulu adanya pengaduan oleh yang berhak mengajukan pengaduan, yakni korban atau wakilnya dalam perkara perdata, atau keluarga tertentu dalam hal-hal tertentu atau orang yang diberi kuasa khusus untuk pengaduan oleh orang yang berhak.           
i)        Berdasarkan berat-ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat dibedakan antara tindak pidana bentukpokok, tindak pidana yang diperberat dan tindak pidana yang diperingan.
Dilihat dari berat ringannya, ada tindak pidana tertentu yang dibentuk menjadi:
1)      Dalam bentuk pokok disebut juga bentuk sederhana atau dapat juga disebut dengan bentuk strandar;
2)      Dalam bentuk yang diperberat;
3)      Dalam bentuk ringan.
Tindak pidana dalam bentuk pokok dirumuskan secara lengkap, artinya semua unsurnya dicantumkan dalam rumusan, sementara itu pada bentuk yang diperberat dan atau diperingan, tidak mengulang kembali unsur-unsur bentuk pokok itu, melainkan sekedar menyebut kualifikasi bentuk pokoknya atau pasal bentuk pokoknya, kemudian disebutkan atau ditambahkan unsur yang bersifat memberatkan atau meringankan secara tegas dalam rumusan. Karena ada faktor pemberatnya atau faktor peringannya, ancaman pidana terhadap tindak pidana terhadap bentuk yang diperberat atau yang diperingan itu menjadi lebih berat atau lebih ringan dari pada bentuk pokoknya. 
j)        Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana tidak terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang dilindungi.
Sistematika pengelompokan tindak pidana bab per bab dalam KUHP didasarkan pada kepentingan hukum yang dilindungi. Berdasarkan kepentingan hukum yang di lindungi ini maka dapat disebutkan misalnya dalam Buku II. Untuk melindungi kepentingan hukum terhadap keamanan Negara, dibentuk rumusan kejahatan terhadap keamanan Negara (Bab I), untuk melindungi kepentingan hukum bagi kelancaran tugas-tugas bagi penguasa umum, dibentuk kejahatan terhadap penguasa umum (Bab VIII), untuk melindungi kepentingan hukum terhadap hak kebendaan pribadi dibentuk tindak pidana seperti Pencurian (Bab XXII), Penggelapan  (Bab XXIV), Pemerasan dan Pengancaman (Bab XXIII) dan seterusnya.
k)      Dari sudut berapa kali perbuatan untuk mejadi suatu larangan dibedakan antara tindak pidana tunggal dan tindak pidana berangkai.
Tindak pidana tunggal adalah tindak pidana yang dirumusakan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang selesainya tindak pidana dan dapat dipidananya pelaku cukup dilakukan satu kali perbuatan saja, bagian terbesar tindak pidana dalam KUHP adalah berupa tindak pidana tunggal. Sementara itu yang dimaksud dengan tindak pidana berangkai adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang sebagai selesai dan dapat dipidananya pelaku, disyaratkan dilakukan dilakukan secara berulang. 
           
B.     Tindak Pidana Phedofilia
1.      Pengertian Phedofilia
            Sebelum kita membahas jauh tentang phedofilia kita perlu mengetahui dulu apa itu phedofilia. Secara harfiah phedofilia berasal dari bahasa yunani yaitu paidohilia yang artinya adalah kondisi yang mempunyai ketertarikan atau hasrat seksual terhadap anak-anak yang belum memasuki remaja, istilah ini sering ditujukan kepada orang-orang dewasa yang memiliki kondisi ini[17]. Dalam bidang kesehatan pedofilia diartikan sebagai kelainan seksual berupa hasrat ataupun fantasi impuls seksual yang melibatkan anak dibawah umur, orang dengan pedofilia umurnya harus di atas 16 tahun, sedangkan anak-anak yang menjadi korban berumur 13 tahun atau lebih muda (anak pre-pubertas).[18]
            Pedofilia masih sering dikacaukan pengertiannya, ada tidaknya unsur kekerasan fisik masih sering dijadikan kriteria untuk mengkategorikan tindak pelecehan seksual  terhadap anak sebagai bentuk kejahatan atau tidak. Pelecehan seksual terhadap anak sendiri masih cenderung disempitkan artinya, terbatas pada bentuk kontak seksual dengan menafikan bentuk pelecehan nonkontak seksual, seperti exhibitionism dan pornografi. Ada tidaknya unsur paksaan sebenarnya tidak signifikan dalam kasus kejahatan seksual terhadap anak karena adanya kesenjangan pemahaman tentang seks antara orang dewasa dan anak-anak. Bentuk manipulasi genital yang dilakukan anak-anak, meski mengakibatkan orgasme, tidak bisa serta-merta disamakan dengan bentuk masturbasi yang dilakukan orang dewasa. Keluguan dan rasa ingin tahu yang kuat terhadap kehidupan seksualitas yang menjadi ciri khas anak-anak inilah yang dimanfaatkan pelaku pedofilia (pedophile) untuk menjerat korbannya. Karena itu, dalam kasus pedofilia, penekanannya lebih pada bentuk eksploitasi dan manipulasi yang muncul sebagai akibat ketidakseimbangan power (imbalance of power) antara pelaku dan anak-anak yang menjadi korbannya.[19]
            Sebagai bentuk kejahatan, pedofilia memiliki beberapa karakteristik yang khas yang membedakannya dengan kejahatan seksual lannya terhadap anak hal ini diungkapkan oleh Ron O’Grady yaitu[20]:
a)      Pedofilia bersifat obsesif, dimana perilaku menyimpang ini menguasai hampir semua aspek kehidupan pelakunya, dari pekerjaan, hobi, bacaan, pakaian, bahkan sampai desain rumah dan perabotannya.
b)      Pedofilia bersifat predatori, dalam arti pelakunya akan berupaya sekuat tenaga dengan beragam upaya dan cara untuk memburu korban yang diinginkannya. Lamanya usaha untuk mendapatkan korban tidak sekedar dalam hitungan hari, minggu, atau bulan. Pelaku bisa melakukan pendekatan pada anak dan orang tuanya selama bertahun-tahun sebelum dia melakukan kejahatannya.
c)      Kemudian kaum pedofilia cenderung menyimpan dokumentasi korbannya dengan rapi, seperti foro, video, catatan, atau rekaman percakapan dengan korban.
            Pedofila sendiri mempunyai beberapa jaringan Internasional dan yang pernah di bongkar seperti Orchid Club tahun 1998 dan Wonderland Club tahun 2001 keduanya berbasis di amerika. Terbukti para pedofilia secara intensif melakukan diskusi dan studi perbandingan hukum perlindungan anak dan penegakannya di berbagai Negara.[21] 
            Di Indonesia kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak di bawah umur sering terjadi, salah satu kasus yang paling menghebohkan adalah kasus Robot Gedek yang terbukti melakukan sodomi terhadap anak-anak di bawah umur. Indonesia menjadi salah satu tempat favorit bagi kaum pedofilia terutama bali karena merupakan tempat pariwisata yang sangat terkenal sehingga banyak kaum pedofilia dari luar yang berdatangan.
2.      Ciri-ciri Pedofila
            Pelecehan seksual pada anak dapat mencakup kontak atau interaksi antara anak dan orang dewasa dimana anak tersebut dipergunakan untuk stimulasi seksual oleh pelaku atau orang lain yang berada dalam posisi memiliki kekuatan atau kendali atas korban. Termasuk di dalamnya kontak fisik yang tidak pantas, membuat anak melihat tindakan seksual atau pornografi, menggunakan anak untuk membuat pornografi atau memperlihatkan alat genital orang dewasa kepada anak.
            Banyaknya kasus pelecehan seksual pada anak tidak lepas dari fenomena fedofilia. Walaupun tidak semua pelecehan seksual pada anak dilakukan oleh penderita fedofilia, tetapi akan banyak manfaatnya bila kita mengetahui ciri-ciri seorang fedofil. Fedofilia memiliki pengertian sebagai suatu gangguan psikoseksual dimana orang dewasa memperoleh kepuasan seksual bersama seorang anak pra remaja. Ciri utamanya adalah bahwa berbuat atau berfantasi tentang kegiatan seksual cara yang paling sesuai untuk memperoleh kepuasan seksual. Empat karakteristik utama yang dimiliki oleh seorang      pedofil :[22]
a)      Pola perilaku jangka panjang dan persisten.
1)      Memiliki latar belakang pelecehan seksual. Penelitian menunjukkan bahwa banyak pelaku kekerasan seksual merupakan korban dari kekerasan seksual berikutnya.
2)      Memiliki kontak sosial terbatas pada masa remaja. Pada waktu remaja, pelaku biasanya menunjukkan ketertarikan seksual yang kurang terhadap seseorang yang seumur dengan mereka.
3)      Riwayat pernah dikeluarkan dari militer. Militer dan organisasi lainnya akan mengeluarkan pedofil dan akan membuat dakwaan dan tuntutan terhadap mereka.
4)      Sering berpindah tempat tinggal. Pedofil menunjukkan suatu pola hidup dengan tinggal di satu tempat selama beberapa tahun, mempunyai pekerjaan yang baik dan tiba-tiba pindah dan berganti pekerjaan tanpa alasan yang jelas.
5)      Riwayat pernah ditahan polisi sebelumnya. Catatan penahanan terdahulu merupakan indikator bahwa pelaku ditahan polisi karena perbuatan yang berulang-ulang, yaitu pelecehan seksual terhadap anak-anak.
6)      Korban banyak. Jika penyidikan mengungkap bahwa seseorang melakukan pelecehan seksual pada korban yang berlainan, ini merupakan indikator kuat bahwa ia adalah pedofil.
7)      Percobaan berulang dan beresiko tinggi. Usaha atau percobaan yang berulang untuk mendapatkan anak sebagai korban dengan cara yang sangat trampil merupakan indikator kuat bahwa pelaku adalah seorang pedofil.
b)      Menjadikan anak-anak sebagai obyek preferensi seksual
1)      Usia > 25 tahun, single, tidak pernah menikah. Pedofil mempunyai preferensi seksual terhadap anak-anak, mereka mempunyai kesulitan dalam berhubungan seksual dengan orang dewasa dan oleh karena itu mereka tidak menikah.
2)      Tinggal sendiri atau bersama orang tua. Indikator ini berhubungan erat dengan indikator di atas.
3)      Bila tidak menikah, jarang berkencan. Seorang laki-laki yang tinggal sendiri, belum pernah menikah dan jarang berkencan , maka harus dicurigai sekiranya dia memiliki karakteristik yang disebutkan di sini.
4)      Bila menikah, mempunyai hubungan khusus dengan pasangan. Pedofil kadang-kadang menikah untuk kenyamanan dirinya atau untuk menutupi dan juga memperoleh akses terhadap anak-anak.
5)      Minat yang berlebih pada anak-anak. Indikator ini tidak membuktikan bahwa seseorang adalah seorang pedofil, tapi menjadi alasan untuk diwaspadai. Akan menjadi lebih signifikan apabila minat yang berlebih ini dikombinasikan dengan indikator-indikator lain.
6)      Memiliki teman-teman yang berusia muda. Pedofil sering bersosialisasi dengan anak-anak dan terlibat dengan aktifitas-aktifitas golongan remaja.
7)      Memiliki hubungan yang terbatas dengan teman sebaya. Seorang pedofil mempunyai sedikit teman dekat dikalangan dewasa. Jika seseorang yang dicurigai sebagai pedofil mempunyai teman dekat, maka ada kemungkinan temannya itu adalah juga seorang pedofil.
8)      Preferensi umur dan gender. Pedofil menyukai anak pada usia dan gender tertentu. Ada pedofil yang menyukai anak lelaki berusia 8-10 tahun , ada juga yang menyukai anak lelaki 6-12 tahun. Semakin tua preferensi umur, semakin eksklusif preferensi umur.
9)      Menganggap anak bersih, murni, tidak berdosa dan sebagai obyek.Pedofil kadang memiliki pandangan idealis mengenai anak-anak yang diekspresikan melalui tulisan dan bahasa, mereka menganggap anak-anak sebagai obyek, subyek dan hak milik mereka.
c)      Memiliki teknik yang berkembang dengan baik dalam mendapatkan korban
1)      Trampil dalam mengidentifikasikan korban yang rapuh. Pedofil memilih korban mereka, kebanyakan anak-anak korban broken home atau korban dari penelantaran emosi atau fisik. Ketrampilan ini berkembang dengan latihan dan pengalaman.
2)      Berhubungan baik dengan anak, tahu cara mendengarkan anak. Pedofil biasanya mempunyai kemampuan untuk berinteraksi dengan anak-anak lebih baik daripada orang dewasa lainnya. Mereka juga tahu cara mendengarkan anak dengan baik.
3)      Mempunyai akses ke anak-anak. Ini merupakan indikator terpenting bagi pedofil. Pedofil mempunyai metode tersendiri untuk memperoleh akses ke anak-anak. Pedofil akan berada di tempat anak-anak bermain, menikah atau berteman dengan wanita yang memiliki akses ke anak-anak, memilih pekerjaan yang memiliki akses ke anak-anak atau tempat dimana dia akhirnya dapat berhubungan khusus dengan anak-anak.
4)      Lebih sering beraktifitas dengan anak-anak, seringkali tidak melibatkan orang dewasa lain. Pedofil selalu mencoba untuk mendapatkan anak-anak dalam situasi dimana tanpa kehadiran orang lain.
5)      Trampil dalam memanipulasi anak. Pedofil menguunakan cara merayu, kompetisi, tekanan teman sebaya, psikologi anak dan kelompok, teknik motivasi dan ancaman.
6)      Merayu dengan perhatian, kasih sayang dan hadiah. Pedofil merayu anak-anak dengan berteman, berbicara, mendengarkan, memberi perhatian, menghabiskan waktu dengan anak-anak dan membeli hadiah.
7)      Memiliki hobi dan ketertarikan yang disukai anak. Pedofil mengkoleksi mainan, boneka atau menjadi badut atau ahli sulap untuk menarik perhatian anak-anak.
8)      Memperlihatkan materi-materi seksual secara eksplisit kepada anak-anak. Pedofil cenderung untuk mendukung atau membenarkan anak untuk menelepon ke pelayanan pornografi atau menghantar materi seksual yang eksplisit melalui komputer pada anak-anak.
d)     Fantasi seksual yang difokuskan pada anak-anak
1)      Dekorasi rumah yang berorientasi remaja. Pedofilia yang tertarik pada remaja akan mendekorasi rumah mereka seperti seorang remaja lelaki. Ini termasuk pernak-pernik seperti mainan, stereo, poster penyanyi rock, dll.
2)      Memfoto anak-anak. Pedofil memfoto anak-anak yang berpakaian lenkap, setelah selesai dicetak, mereka menghayalkan melakukan hubungan seks dengan mereka.
3)      Mengoleksi pornografi anak atau erotika anak. Pedofilia menggunakan koleksi ini untuk mengancam korban agar tetap menjaga rahasia aktivitas seksual mereka, koleksi ini juga digunakan untuk ditukar dengan koleksi pedofilia yang lain.     
            Kewaspadaan masyarakat akan adanya bahaya pedofilia perlu ditingkatkan. Masing-masing keluarga juga harus meningkatkan pengawasan terhadap anak-anak mereka agar tidak menjadi mangsa penderita pedofilia. Orang-orang terdekat dengan keluarga juga harus diwaspadai karena pelaku pedofilia adalah orang yang telah dikenal baik seperti saudara, tetangga, guru, dll. Bila anak-anak mengalami perubahan perilaku, hendaknya orangtua peka dan dapat berkomunikasi dengan anak sehingga diperoleh pemecahan masalah yang dihadapi anak
3.      Faktor-faktor Penyebab Pedofilia di Indonesia
            Perilaku seksual adalah bermacam-macam dan ditentukan oleh suatu interaksi faktor-faktor yang kompleks. Perilaku seksual dipengaruhi oleh hubungan seseorang dengan orang lain, oleh lingkungan seseorang dan oleh kultur dimana seseorang tinggal. Seorang dokter harus mengetahui beragam variasi tentang perilaku seksual dalam lingkungan sosial, sehubungan dengan perilaku tersebut, dimana ada 2 alasan untuk itu. Pertama; pengetahuan tersebut membantu dokter untuk tidak memaksakan perilakunya sendiri terhadap pasiennya. Kedua; membantu dokter mengenali beberapa perilaku seks yang abnormal.
           Kelainan seksual adalah cara yang ditempuh seseorang untuk mendapatkan kenikmatan seksual dengan jalan tidak sewajarnya. Biasanya, cara yang digunakan oleh orang tersebut adalah dengan menggunakan objek seks yang tidak wajar. Penyebab terjadinya kelainan ini bersifat psikologis atau kejiwaan, seperti pengalaman sewaktu kecil, lingkungan pergaulan, trauma dan kelainan genetika.
            Pedofilia sendiri sudah menjadi jaringan internasional dan Indonesia merupaka salah satu daerah tujuan kaum pedofilia. Faktor-faktor penyebab kenapa Indonesia menjadi sasaran kaum phedofilia adalah sebagai berikut:[23]
a)      Lemahnya hukum perlindungan anak dan penegakannya di Indonesia, misalnya dalam KUHP bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak di hukum maksimal penjara 9 (Sembilan) tahun kemudian dengan adanya UU Perlindungan Anak di hukum 15 (limabelas) tahun sedangkan di Filipina bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak di hukum mati.
b)      Lemahnya perangkat keamanan di Indonesia dalam membendung aksi para pedofilia yang kian canggih, kaum pedofilia menggunakan fasilitas internet untuk mencari mangsanya.
c)      Faktor kemiskinan di Indonesia yang kini semakin buruk membuat anak-anak kian rentan terhadap beberapa bentuk kejahatan dan eksploitasi.  
Keterangan tentang trauma psikis yang diderita korban kasus pedofilia di Bali-seperti dijelaskan, korban mengalami berbagai gangguan seperti mudah marah, susah tidur, dan sering mengigau, cenderung mengasingkan diri dari pergaulan teman sebaya, dan sebagainya-menunjukkan perlunya program pendampingan khusus terhadap anak-anak korban kejahatan seksual dengan upaya sosialisasinya yang lebih luas, termasuk pendampingan khusus bagi korban dari kalangan anak laki-laki. Kejahatan seksual biasanya diidentikkan dengan korban kalangan wanita dan anak-anak perempuan sehingga beberapa program pendampingan, seperti yang dilaksanakan beberapa crisis center yang berkembang di Indonesia akhir-akhir ini, sering disalahartikan hanya untuk wanita dan anak-anak perempuan, bukan untuk anak laki-laki. Upaya pendampingan terhadap anak laki-laki korban kejahatan seksual sendiri relatif lebih sulit untuk dilaksanakan dibanding program untuk anak perempuan. Faktor budaya di sebagian masyarakat kita masih menjadi hambatan besar bagi anak laki-laki untuk mengungkap kasusnya. Kenyataan-kenyataan ini semestinya menjadi perhatian lebih serius dari beberapa pihak terkait, baik pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM), dalam program pendampingan terhadap anak-anak korban kejahatan seksual di Indonesia di masa datang.














BAB III
SANKSI PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PHEDOFILIA
A.    Hukum Perlindungan Anak
1.      Pengertian Anak
a)      Anak Menurut KUHP
         Pasal 45 KUHP, mendefinisikan bahwa anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16 (enam belas) tahun. Oleh karena itu, apabila ia tersangkut dalam perkara pidana, Hakim boleh memerintahkan supaya sibersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau orang yang memeliharanya, dengan tidak dikenakan suatu hukuman atau memerintahkannya supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukum, namun untuk pasal 45, 46 dan 47 KUHP telah dinyatakan tidak berlaku lagi dengan lahirnya UU No 3 Tahun 1997.
b)      Anak Menurut Hukum Perdata
Pasal 330 KUHPerdata mengatakan orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.
c)      Anak Menurut UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak
Didalam pasal 1 ayat 2 UU No 3 Tahun 1997 dirumuskan bahwa anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun. Sedangkan syarat kedua anak belum pernahy kawin. Maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun pernah kawin dan kemudian cerai. Apabila si anak sedang terikat dalam perkawinan atau perkawinannya putus karena perceraian, maka si anak dianggap telah dewasa, walaupun umurnya belum genap 18 (delapan belas) tahun.        
d)     Anak Menurut UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
         Dalam pasal 1 ayat 1 UU No 23 Tahun 2002 dikatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
            Dalam praktek terdapat kesulitan untuk menentukan usia ini karena tidak semua orang mempunyai akta kelahiran atau surat lahir. Akibatnya adakalanya untuk menentukan usia ini dipergunakan raport, surat baptis ataupun surat keterangan dari kepala desa atau lurah saja. Karenanya kadang kala terdapat kejanggalan, ada anak berbadan besar lengkap dengan kumis dan jenggotnya, tetapi menurut keterangan usia anak itu masih muda. Malah kadangkala ada orang yang terlibat kasus pidana dan membuat keterangan bahwa dia masih anak-anak, sementara usianya sudah dewasa dan sudah kawin.
            KUHP mengatur umur anak sebagai korban pidana adalah belum genap berumur 15 (lima belas) tahun, namun apabila dilakukan terhadap orang dewasa tetapi sebaliknya menjadi tindak pidana karena dilakukan terhadap anak yang belum berusia 15 (lima belas) tahun.[24]  
            Perhatian terhadap anak sudah lama ada sejalan dengan peradaban manusia itu sendiri, yang dari hari kehari semakin berkembang. Secara Internasional pada tanggal 20 November 1989 lahirnya konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang hak-hak anak. Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut dengan Keputusan Presiden No 36 tahun 1990. konvensi memuat kewajiban Negara-negara yang meratifikasinya untuk menjamin terlaksananya hak-hak anak.
            Perlindungan anak itu sendiri adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimapsesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hal ini sesuai dengan pasal 1 butir 2 Undang-undang No 23 Tahun 2003. Sedangkan perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak diexploitasi secara ekonomi dan atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alcohol, psikotropika, dan zat adiktif lainya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran, hal ini terdapat dalam pasal 1 butir 15 Undang-undang No 23 Tahun 2002.[25]         
2.      Hak-hak Anak Menurut UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
            Hak-hak anak sendiri yang perlu dilindungi sesuai dengan UU No 23 Tahun 2002, adalah:
a)      Setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 4).
b)      Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan (Pasal 5)
c)      Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua (Pasal 6).
d)     Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya, apabila orang tua tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak atau anak tersebut terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh oleh orang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 7).
e)      Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial (Pasal 8).
f)       Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran, dan anak cacat pun mempunayi hak yang sama dengan anak biasa dalam memperoleh pendidikan (Pasal 90.
g)      Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan (Pasal 10).
h)      Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi perkembangan diri (Pasal 11).
i)        Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial (Pasal 12).
j)        Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya (Pasal 13).
k)      Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri (Pasal 14).
l)        Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan, pelibatan dalam peperangan (Pasal 15).
m)    Setiap anak berhak atas perlindungan hukum dari tindakan penyiksaan atau penjatuhan hukuamn yang tidak manusiawi, berhak untuk memeperoleh kebebasan sesuai dengan hukum (Pasal 16).
n)      Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh perlakuan yang manusiawi dan dipisahkan dari orang dewasa, berhak memperoleh bantuan hukum, dan yang menjadi korban kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak untuk namanya dirahasiakan (Pasal 17).

B.     Sanksi Pidana Pelaku Tindak Pidana Pedofilia
1.      Menurut KUHP
            Sanksi bagi para pelaku pedofilia menurut KUHP terdiri dari :
a)      Persetubuhan
Dalam hal persetubuhan, adalah persetubuhan yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap wanita diluar perkawinan, dimana pihak korban adalah anak dibawah umur.
Pasal 287 ayat 1 menyatakan bahwa :
barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar pernikahan, padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak ternyata , belum mampu kawin diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun.”
Pasal 288 ayat 1 KUHP menyatakan bahwa:
“barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita didalam pernikahan, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa sebelum mampu kawin, diancam apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka, dengan pidana penjara paling lambat empat tahun”
Perbuatan yang terjadi disini adalah perbuatan memaksakan kehendak dari orang dewasa terhadap anak dibawah umur yang dilakukan tanpa atau dengan kekerasan. Persetubuhan yang dilakukan tanpa kekerasan bisa terjadi dengan cara atau upaya orang dewasa dengan membujuk korban dengan mengiming-imingi korban dengan sesuatu atau hadiah yang membuat korban menjadi senang dan tertarik, dengan demikian sipelaku merasa lebih muda untuk melakukan maksudnya untuk menyetubuhi korban.   
b)      Perbuatan cabul
Perbuatan cabul yang terjadi disini maksudnya adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak dibawah umur untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kehormatan korban.
Pasal 289 KUHP menyatakan: “bahwa barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa sesorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun”
Pasal 290 ayat 2 KUHP menyatakan: “bahwa diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun: barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau belum kawin.”
Pasal 290 ayat 3 KUHP menyatakan: “bahwa barangsiapa membujuk seseorang yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum lima belas tahun atau ternyata belum kawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh diluar pernikahan dengan orang lain.”
Pasal 292 KUHP menyatakan: “bahwa orang yang cukup umur, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sama kelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”
Pasal 293 ayat 1 KUHP menyatakan: “bahwa barangsiapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan penyesatan sengaja menggerakan seorang belum cukup umur dan baik tingkah lakunya, untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul dengan dia, padahal belum cukup umurnya itu diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”
Pasal 294 ayat 1 KUHP menyatakan: “bahwa barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak dibawah pengawasannya yang belum cukup umur, atau dengan orang yang belum cukup umur yang memeliharanya, pendidikannya atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur, dianca dengan pidana paling lama tujuh tahun.”   
Pengertian perbuatan cabul ini adalah perbuatan dengan yang dilakukan dengan cara melakukan perbuatan yang tidak senonoh yang berhubungan dengan tubuh korban dalam hal menyerang kehormatan korban dalam konteks perbuatan asusila, dan yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak di bawah umur.  
c)      Pornografi
Pornografi adalah perbuatan yang memperlihatkan tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, terhadap anak dibawah umur. Memperlihatkan gambar-gambar atau alat yang melanggar kesusilaan terhadap anak dibawah umur dilarang sesuai dengan ketentuan dalam pasal 283 ayat 1 KUHP yang menyatakan: “bahwa seseorang diancam dengan ancaman pidana maksimal Sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus ribu rupiah barang siapa yang menawarkan, memberikan untuk terus maupun untuk sementara waktu menyerahkan atau memperlihatkan, tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan hamil, kepada seorang yang belum cukup umur dan yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum tujuh belas tahun, jika isi tulisan, gambaran, benda atau alat itu telah diketahuinya”.

2.      Menurut UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
         Sanksi bagi pelaku phedofilia menurut UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak adalah:
a)      Persetubuhan
Dalam hal ini persetubuhan adalah persetubuhan yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap perempuan diluar perkawinan dalam hal ini adalah anak dibawah umur , diatur dalam pasal 81 yang isinya sebagai berikut:
1)      Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah);

2)      Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
b)      Perbuatan Cabul
Perbuatan cabul yang terjadi disini adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak dibawah umur untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kehormatan korban, diatur dalam pasal 82 yang isinya sebagai berikut:
“ Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 )enam puluh juta rupiah)”.

c)      Eksploitasi
Eksploitasi dalam hal ini adalah mengeksploitasi seksual anak di bawah umur untuk kepentingan pelaku baik itu komersil ataupun kepuasan seksual, hal ini terdapat dalam Pasal 88 UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak:
“Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)”.
           
            Tindakan para pelaku pedofilia ini dengan berbagai macam cara baik itu melalui internet atau pun organisasi, dan pedofilia juga sudah mempunyai jaringan internasional lewat forum-forum sesame pelaku mereka menyebar atau berbagi informasi daerha tujuan dan siapa-siapa saja yang bisa di jadikan korban.
BAB IV
ANALISA KASUS PHEDOFILIA

A.    Kasus Posisi
Pengadilan Negeri Amlapura yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana dengan acara pemeriksaan biasa pada Pengadilan Tingkat Pertama telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara terdakwa saudara Brown William Stuart Alias Tony, dengan tempat dan tanggal lahir  Canberra Australia 16 April 1952 dan berkebangsaan Australia dengan No Passpor E. 7568313. Saudara Brown William Stuart bertempat tinggal di Indonesia Dusun kuum, Desa Ababi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem, Bali. Sedangkan diAustralia dengan alamat 17 A Founce Cres O’Connor AOB Canberra. Beragama Kristen Protestan, beliau berprofesi sebagai Guru Bahasa Inggris SMAP Jasri. Dalam perkara ini Terdakwa didampingi oleh Penasehat Hukum/ Advokat yang bernama : Ketutu Suwiga Arya Dauh, SH, I Nengah Maharsa, SH, Ni Ketut Suriasih, SH yang berkantor di Kantor Advokat & Konsultas Hukum Amarti Justisia Jalan Pulau tarakan No. 18 Lt II Denpasar-Bali Berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 7 Januari 2004. Terdakwa ditahan dengan jenis tahanan RUTAN, dan prosesnya sebagai berikut :
1.      Penyidik Polri sejak tanggal 7 Januari 2004 S/d tanggal 26 Januari 2004;
2.      Perpanjangan Oleh Penuntut Umum sejak tanggal 27 Januari 2004 s/d tanggal 6 Maret 2004;
3.      Penuntut Umum sejak tanggal 11 Februari 2004 s/d tanggal 1 Maret 2004;
4.      Majelis Hakim Pengadilan Negeri Amplapura sejak tanggal 24 Februari s/d 24 Maret 2004;
5.      Ketua Pengadilan Negeri Amlapura sejak tanggal 25 Maret 2004 s/d 23 Mei 2004;
B.     Tuntutan Jaksa
Dalam kasus Terdakwa Brown William Stuart alias Tony Jaksa Penuntut Umum Pengadilan Amlapura mengajukan dakwaan sebagai berikut :
1.      Bahwa Terdakwa Brown William Stuart Alias Tony, secara berturut-turut yang harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut yaitu pada hari kamis tanggal 1 Januari 2004 sekitar jam 14.00 Wita dan pada hari jumat tanggal 2 Januari 2004 sekitar jam 14.30 Wita atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain dalam bulan Januari tahun 2004, bertempat di pantai jasri Lingkungan Jasri lingkungan Jasri Kelod, Desa Subagan, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem atau setidak-tidaknya disuatu tempat yang masih dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Amlapura dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak yaitu saksi Ida Bagus Putu Ariana umur 16 (enam belas) tahun, dan saksi I Made Suardika umur 14 (empat belas) tahun untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul
Perbuatan mana oleh Terdakwa dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
-        Pada hari kamis tanggal 1 Januari 2004 sekitar jam 14.00 Wita Terdakwa mengajak saksi Ida Bagus Putu Ariana mandi di Pantai Jasri di Desa Subagan, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem dengan mengendarai mobil merk Daihatsu Espass jenis Pick Up warna putih dengan Nomor Polisi DK 9610 SB yang dikemudikan oleh Terdakwa;
-        Sesampainya di Pantai Jasri Terdakwa dan saksi Ida Bagus Putu Ariana kemudian mandi bersama-sama dilaut dalam keadaan telanjang, sesaat kemudian Terdakwa menuju kepemandian air tawar yang letaknya kurang lebih 5 (lima) meter dari pantai, sedangkan saksi Ida Bagus Putu Ariana masih mandi dilaut;
-        Tidak berapa lama kemudian Terdakwa memanggil saksi Ida Bagus Putu Ariana yang masih dalam keadaan telanjang menuju kepemandian air tawar tempat Terdakwa berada lalu saksi Ida Bagus Putu Ariana masuk kepemandian air tawar tersebut bergabung dengan Terdakwa yang saat itu masih dalam keadaan telanjang dan saling berhadapan;
-        Kemudian Terdakwa membelai kepala saksi Ida Bagus Putu Ariana sambil mencium muka saksi Ida Bagus Putu Ariana, selanjutnya Terdakwa mengisap kemaluan saksi sehingga mengeluarkan sperma atau setidak-tidaknya sampai mengeluarkan cairan. Setelah itu Terdakwa menyuruh saksi Ida Bagus Putu Ariana untuk mengisap kemaluan Terdakwa tetapi saksi tolak, karena saksi Ida Bagus Putu Ariana menolak lalu Terdakwa menyuruh saksi meng-onani kemaluan Terdakwa sampai Terdakwa mengeluarkan sperma, kemudian setelah mencuci kemaluannnya Terdakwa memeluk saksi dari belakang dan menggesek-gesek kemaluannya ke lubang dubur saksi sehingga saksi berontak akhirnya Terdakwa menghentikan aksinya;
-        Setelah melakukan perbuatan tersebut, Terdakwa mengajak saksi Ida Bagus Putu Ariana pulang dan dalam perjalanan Terdakwa memberi uang kepada`saksi sebanyak Rp. 5.000,-(lima ribu rupiah) sambil berpesan agar tidak bercerita kepada orang lain mengenai pristiwa tersebut;
-        Selanjutnya Terdakwa pada Hari Jum’at tanggal 2 Januari 2004 kembali mengajak saksi Ida Bagus Putu Ariana, dan saksi I Made Suardika dengan mengendarai mobil merk Daihatsu Espass warna Putih jenis Pick Up Nomor Polisi DK 9610 SB yang dikemudikan Terdakwa oleh Terdakwa untuk jalan-jalan ke koya Amlapura namun ternayata tidak menuju kota Amlapura tetapi menuju pantai Jasri untuk mandi,  setiba di pantai Jasri, saksi Ida Bagus Putu Ariana, dan saksi I Made Suardika mandi di laut dalam keadaan telanjang sedangkan Terdakwa menunggu dipemandian air tawar; setelah berselang beberapa saat, Terdakwa memanggil saksi Ida Bagus Putu Ariana, dan saksi I Made Suardika untuk mandi dipermandian air tawar, dimana Terdakwa sudah menunggu di tempat itu dalam keadaan telanjang, setelah bergabung dengan Terdakwa dipermandian air tawar tersebut dalam posisi berdiri dan saling berhadapan lalu Terdakwa menyuruh kedua saksi memegang kemaluan Terdakwa secara bersamaan;
-        Setelah itu Terdakwa menyuruh saksi Ida Bagus Putu Ariana untuk mengonani samapai sperma terdakwa keluar seperti pada waktu sebelumnya dan juga menggesek-gesekan kemaluannya ke dubur saksi Ida Bagus Putu Ariana sehingga saksi berontak kesakitan kemudian menghentikannya dan hal ini juga dilakukan terhadap saksi I Made Suardika dan saksi juga melakukan hal yang dilakukan oleh saksi Ida Bagus Putu Ariana, setelah melakukan perbuatan tersebut Terdakwa mengajak saksi Ida Bagus Putu Ariana, dan saksi I Made Suardika pulang dan dalam perjalanan pulang tersebut Terdakwa memberi uang sebesar Rp 20.000,-(dua puluh ribu rupiah kepada masing-masing saksi sambil berpesan agar tidak bercerita kepada orang lain mengenai peristiwa terse but.
-        Bahwa akibat perbuatan terdakwa saksi Ida Bagus Putu ariana menderita luka lecet didaerah dubur pada jam 6 panjang 0.5Cm sebagaimana Visum  Et Repertum Nomor: 370/67/Ver/RSUD/2004 tanggal 19 Januari 2004 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr.Anom Ratmaya pada Rumah Sakit Umum Karangasem dan saksi I Made Suardika menderita lecet didaerah dubur pada jam 6 panjang 0,5cm sebagaimana Visum Et Repertun Nomor 370/66/Ver/RSUD/2004 oleh dr. Anom Ratmaya pada Rumah Sakit Umum Karangasem.
         Perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana dalam pasal 82`Undang-undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 64 KUHP; 
2.      Bahwa ia Terdakwa Brown William Stuart alias Tony, secara berturut-turut yang harus dipandang sebagai perbuatan  berlanjut yaitu pada hari kamis tanggal 1 Januari 2004 sekitar jam 14.00 Wita dan pada hari jum’at tanggal 2 Januari 2004 sekitar jam 14.30 Wita, atau setidak-tidaknya pada`waktu-waktu lain dalam Bulan Januari tahun 2004, bertempat dipantai Jasri, Lingkungan Jasri Kelod, Desa Subagan, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang masih dalam daerah hukum Pengadilan Amlapura, Terdakwa yang telah berumur 52 tahun yang melakukan perbuatan cabul dengan anak yang belum dewasa yaitu saksi Ida Bagus Putu Ariana umur 16 (enam belas)tahun dan saksi I Made Suardika umur 14 (empat belas) tahun, yang sejenis kelamin sama-sama laki-laki dengan Terdakwa, pada hal diketahuinya atau patut dapat disangkanya bahwa anak itu belum dewasa.
               Perbuatan Terdakwa diatur dan diancam pidana dalam pasal 292 KUHP jo Pasal 64 KUHP

C.    Putusan Hakim
               Menimbang bahwa setelah majelis membaca secara seksama dakwaan Penuntut Umum tersebut dapat disimpulkan bahwa bentuk dakwaan Penuntut Umum tersebut dapat disimpulkan bahwa bentuk dakwaan Penuntut Umum tersebut disusun secara alternatif yaitu:
Kesatu    : Pasal 82 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002                       Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak;
Atau
Kedua    :  Pasal 292 KUHP jo Pasal 64 KUHP
               Menimbang, bahwa oleh karena itu Majelis Hakim terlebih dahulu akan mempertimbangkan dakwaan kesatu dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap Terdakwa tersebut, dan jika ini terbukti maka dakwaan kedua tidak perlu dipertimbangkan lagi;
               Menimbang, bahwa dakwaan kesatu yaitu Pasal 82 Undang-undang Republik Indonesia No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo Pasal 64 KUHP, Majelis tidak sependapat dengan uraiaan unsure-unsur delik yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya, dan akan menguraikan sendiri unsure-unsur delik yang terkandung dalam dakwaan kesatu dari Jaksa Penuntut Umum tersebut sebagai berikut:
1)      Setiap orang;
2)      Dengan sengaja;
3)      Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan;
4)      Memaksa;
5)      Membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul;
6)      Perbuatan yang dilakukan berturut-turut/berlanjut;
               Menimbang, bahwa oleh karena unsur-unsur delik dari Pasal 82 Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo Pasal 64 ayat (1) KUHP telah terpenuhi dan terbukti dalam wujud perbuatan Terdakwa, maka telah cukup alas an Majelis Hakim memperoleh Keyakinan bahwa Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan kesatu Jaksa Penuntut Umum dan harus dijatuhi hukuman yang setimpa;
               Menimbang, bahwa dalam menjatuhkan pidana terhadap diri Terdakwa, perlu dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan:
Hal-hal yang memberatkan:
-        Bahwa perbuatan Terdakwa sangat meresahkan masyarakat di Bali Khususnya, dan Indonesia umumnya;
-        Bahwa Terdakwa adalah warga Negara/Kebangsaan asing yang dapat merusak tatanan kehidupan dalam masyarakat, serta merusak moral dan sendi-sendi hukum di Indonesia;
-        Bahwa perbuatan Terdakwa dapat merusak citra Pariwisata Bali, dengan menimbulkan image bahwa Bali adalah surga bagi kaumnya yaitu kaum Pedofilia;
-        Bahwa perbuatan Terdakwa merusak masa depan korbannya, sehingga korban merasa`minder dan berdosa dan mengurung diri, yang mengakibatkan korban menurun minatnya untuk belajar dan bermasyarakat;
-        Terdakwa adalah mantan seorang Diplomat, seorang yang berpendidikan tinggi (master), juga seorang pendidik atau guru yang seharusnya berperilaku yang baik dan santun agar dapat dijadikan panutan oleh masyarakat;
-        Bahwa perbuatan Terdakwa menimbulkan gangguan stress pasca trauma (post traumatic stress disorder) yang bisa mengakibatkan koban cenderung akan mengulangi, dan menularkannya pada orang lain;
-        Bahwa perbuatan Terdakwa sangatlah bertentangan dengan nilai-nilai Agama, budaya, moral dan kepatutan dalam masyarakat Indonesia.;
Hal-hal yang meringankan:
-        Terdakwa belum pernah dihukum;
-        Terdakwa mengakui perbuatannya;
-        Terdakwa berlaku sopan selama mengikuti jalannya persidangan;
-        Terdakwa menyatakan penyesalan dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya;
               Menimbang, bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan tersebut, maka pidana yang dijatuhkan terhadap diri Terdakwa sebagaimana dalam amar putusan ini dipandang sudah setimpal dengan perbuatan Terdakwa;
               Menimbang, bahwa pidana yang dijatuhkan terhadap diri Terdakwa sebagaimana dalam amar putusan ini adalah bukan merupakan suatu pembalasan akan tetapi adalah merupakan suatu penjeraan, dan sebagai seorang penganut Agama Kristen Protestant patutlah di ingatkan kepada Terdakwa yang termuat dalam Bible/Alkitab Surat Korintus 6 ayat (18) yang berbunyi:
               “Flee fornication. Every sin that a man doeth is without the bvody; but he that committeth fornication sinneth against his own body”
Yang artinya:
               “Jauhkanlah dirimu dari perbuatan cabul!. Setiap dosa lain yang dilakukan oleh manusia, terjadi diluar dirinya. Tetapi orang yang melakukan percabulan berdosa terhadap dirinya sendiri”.
               Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi, keterangan Terdakwa, fakta-fakta dan bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan tersebut diatas, Majelis Hakim berpendapat bahwa mobil tersebut adalah barang kepunyaan Terdakwa yang dipergunakan sebagai sarana melakukan kejahatan sesuai dengan Pasal 39 ayat (1) KUHP, oleh karenannya haruslah dinyatkan dirampas untuk Negara;
               Mengingat Pasal-pasal dari KUHP, Pasal 82 Undang-undang Republik Indonesia No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo Pasal 64 ayat (1) KUHP dan ketentuan-ketentuan hukum lainnya yang bersangkutan:
MENGADILI
1.      Menyatakan Terdakwa Brown William Stuart alias Tony telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Perbuatan Cabul Terhadap Anak secara Berlanjut”;
2.      Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 13 (tiga belas) tahun dikurangkan seluruhnya selama Terdakwa berada dalam tahanan;
3.      Menghukum Terdakwa untuk membayar denda sebesar Rp. 150.000.000,-(Seratus lima puluh juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan;
4.      MemerintahkanTerdakwa tetap di tahan didalam Rumah Tahanan Negara;
5.      Memerintahkan barang bukti berupa:
-        1 (satu) lembar kemeja/hem warna coklat muda kombinasi garis hitam;
      Dikembalikan kepada terdakwa
-        1 (satu) unit mobil merk Daihatsu Espass Jenis Pick Up warna putih Nomor Polisi DK 9610 SB;
Dirampas untuk Negara
               Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Majelis Hakim pada hari: Rabu tanggal 5 Mei 2004 oleh kami: I Nyoman Sutama, SH. Ketua Pengadilan Negeri Amlapura, sebagai Ketua Majelis, Lucius Sunarno, SH, dan Sahat Pardaeman. M, Sihombing, SH. Masing-masing sebagai Hakim Anggota, putusan mana telah di ucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum pada hari: Selasa tanggal 11 Mei 2004 oleh Hakim Ketua Majelis tersebut, didampingi oleh Hakim-Hakim Anggota, dibantu oleh: Kelin Ibrahim sebagai Panitera Pengganti, juga dihadiri oleh I Wayan Eka Miartha, SH. Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Amlapura, serta dihadiri pula oleh Terdakwa dan Penasihat hukumnya.

D.    Analisis
   Berdasarkan dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum berbentuk dakwaan alternatif. Maka perlu penulis jelaskan terlebih dahulu dengan pengertian dakwaan alternatif. Dalam hal dakwaan alternatif, maka menurut Van Bemmelen, masing-masing dakwaan saling mengecualikan satu sama lain. Hakim dapat mengadakan pilihan mana yang telah terbukti dan bebas menyatakan bahwa dakwaan kedua yang terbukti tanpa harus memutuskan terlebih dahulu tentang dakwaan pertama[26]. Namun dalam prakteknya apabila dakwaan pertama telah terbukti maka dakwaan kedua dapat dihiraukan artinya tidak perlu dibuktikan lagi unsur-unsurnya.
               Dalam kasus ini di gunakan asas Lex Spesialis de Rogat Lex`Generalis yaitu aturan hukum yang khusus dapat menyampingkan aturan hukum yang umum, jadi dalam kasus Terdakwa Tony di gunakan Undang-undang No 23 Tahun 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Dalam kasus ini Terdakwa terbukti secara sah melakukan tindakan pencabulan terhadap saksi korban yaitu IDA BAGUS PUTU ARIYANA dan I MADE SUARDIKA, dengan cara membujuk kedua saksi korban dan setelah melakukan aksinya kedua saksi korban di beri uang dan dengan ancaman jangan memberitahukan kepada orang lain.
               Putusan Hakim ini lebih berat dari pada putusan Jaksa Penuntut Umum yang hanya mendakwa dengan ancaman pidana penjara 12 tahun dan denda Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah). Hakim memutuskan Terdakwa di kenai Pasal 82 Undang-undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo Pasal 64 ayat 1 KUHP  yaitu : “ Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 )enam puluh juta rupiah)”.
               Menurut saya seharusnya Hakim bisa menjatuhkan dengan hukuman penjara Maksimum yaitu 15 tahun pidana penjara karena dalam barang bukti Terdakwa juga menyebarkan berita tentang korban-korban pehdofilia berupa fot-foto yang disebarkan melalui internet kepada`komuniatsnya bahkan bisa berakibat lebih banyak lagi pelaku phedofilia di Indonesia dan juga tentunya korban-korbannya.




BAB V
PENUTUP

A.    Kesimpulan
               Berdasarkan uraian di atas dan rumusan masalah maka penulis meberikan kesimpulan sebagai berikut:
1.               Bahwa tindak pidana Phedofilia secara eksplisit tidak di atur dalam hukum Indonesia tetapi hal ini harus di paham tentang arti phedofilia sendiri yang dimana melakukan tindak pidana pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur, dan anak sendiri itu di lindungi dari tindakan eksploitasi seksual yang terdapat dalam Pasal 13 Undang-undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yaitu: “Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya”.
2.      Bahwa bagi pelaku tindak Pidana Phedofilia dapat dikenai Undang-undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pasal 82 Yaitu: “ Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 )enam puluh juta rupiah)”. Seperti yang telah diuraikan dalam kasus Brown William Stuart beliau di dakwa dengan Pasal 82 Undang-undang No 23 Tahun 2002.

B.     Saran
               Setelah memberikan kesimpulan disini penulis ingin mengajukan saran-saran sebagai berikut:
1.      Bahwa seharusnya hukuman bagi para pelaku Phedofilia ini seharusnya hukuman maksimumnya adalah hukuman mati seperti di Filipina karena efek dari para pelaku phedofilia sangat berpengaruh terhadap perkembangan mental anak, dan juga para pelaku ini mempunyai jaringan internasional sehingga bisa menyebarkan informasi daerah-daer5ah mana saja yang bisa menjadi sasaran kaum pehdofilia sehingga bisa menambah korban-korban baru.
2.      Pemerintah dan seluruh masyarakat harus berpartisipasi untuk mencegah kaum phedofilia berkeliaran di Indonesia. Dan orang Tua harus lebih mengawasi anak-anak dengan siapa mereka berhubungan sehingga dapat di cegah terjadi korban-korban phedofilia baru.



[1] Depsos RI, Anak Yang Membutuhkan Perlindungan Khusus, Jakarta,2002, hlm 5
[2] Ibid, hlm 3
[3] Agnes Aristiarini, Seandainya Aku BUkan Anakmu, Penerbit Kompas, Jakarta,2000, hlm 5
[4] Muhrisun Afandi,, artikel: Pedofilia, Belajar dari Kasus Mantan Diplomat,

[5] Ibid
[6] Soeidy, Sholeh,SH, Dasar Hukum Perlindungan Anak, Penerbit CV. Navindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 2001,hlm 2
[7] Kartonegoro, Diktat Kuliah Hukum Pidana, Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, hal 62
[8] Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1987, hal 54
[9] Poernomo, Bambang. Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992, hal 130
[10] Ibid, hal 130
[11] Diktat Kuliah Asas-asas Hukum Pidana
[12] Kartonegoro, Op Cit, hal 156
[13] Drs. P.A.F. Lamintang, SH.Dasar-dasar Hukum PidanaIndonesia; Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1997, Hal n193
[14] DR. Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana; Jakarta, PT. Rineka Cipta, Tahun 2004, Hal 88
[15] Drs. Adami Chazawi, SH, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I; Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, Tahun 2007, hal 121
[16] DR. Andi Hamzah, OP Cit, Hal 98
[17] http://id.wikipedia.org/wiki/Pedofilia, Di akses pada 13 Mei 2007

[19] Muhrisun Afandi,, artikel: Pedofilia, Belajar dari Kasus Mantan Diplomat,
[21] Op Cit
[23] Muhrisun Afandi,, artikel: Pedofilia, Belajar dari Kasus Mantan Diplomat,
[24] Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997, hal 4
[25] Prof.DR.H.R. Abudssalam,SIK, SH, MH, Hukum Perlindungan Anak, Jakarta, Restu Agung, Tahun 2007, hal 6
[26] DR. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafindo, 2004),hlm 180

0 komentar:

Post a Comment

 

Pengikut

Copyright © ZONA SKRIPSI All Rights Reserved • Design by Dzignine
best suvaudi suvinfiniti suv