Skripsi Hukum Pidana 2

Tuesday, March 13, 2012

TINJAUAN TENTANG PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM PERSIDANGAN DAN IMPLIKASI YURIDISNYA TERHADAP KEKUATAN ALAT BUKTI
(Studi Kasus di Pengadilan Negeri Klas IA Surakarta)


ABSTRAK

ANDRE AGUS SETIAWAN, E 0002071, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan Hukum (Skripsi). 2006.
Penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana ketentuan hukum dari pencabutan keterangan terdakwa dalam persidangan pengadilan, dalam hal ini di Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta serta mengetahui bagaimana implikasi yuridis dari pencabutan keterangan terdakwa terhadap kekuatan alat bukti.
Penelitian hukum ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dan apabila dilihat dari tujuannya termasuk dalam penelitian hukum sosiologis. Lokasi penelitian di Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta. Jenis data yang dipergunakan meliputi data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan meliputi: wawancara dan studi kepustakaan baik berupa buku-buku, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen dan sebagainya. Analisis yang digunakan yaitu analisis data kualitatif dengan metode interaktif.
Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa pencabutan keterangan terdakwa dalam putusan perkara perkosaan Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta Nomor: 306/Pid.B/2003/PN.Ska ditolak atau tidak dapat diterima oleh Majelis Hakim karena pencabutan keterangan yang dilakukan oleh terdakwa Joko Kustiono alias Gepeng dinilai tidak berdasar dan tidak logis. Alasan yang mendasar dan logis tersebut mengandung arti bahwa alasan yang menjadi dasar pencabutan tersebut harus dapat dibuktikan kebenarannya dan diperkuat atau didukung oleh bukti-bukti lain yang menunjukkan bahwa alasan pencabutan tersebut benar dan dapat dibuktikan oleh hakim. Implikasi yuridis dari pencabutan keterangan terdakwa terhadap kekuatan alat bukti, adalah apabila pencabutan diterima oleh hakim, maka keterangan terdakwa dalam persidangan pengadilan dapat digunakan sebagai alat bukti dan keterangan terdakwa (tersangka) di tingkat penyidikan tidak digunakan sama sekali untuk menemukan bukti di persidangan karena isinya yang dinilai tidak benar. Sedangkan apabila pencabutan ditolak oleh hakim, maka keterangan terdakwa dalam persidangan pengadilan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti, justru keterangan terdakwa (tersangka) di tingkat penyidikanlah (BAP) yang kemudian dapat digunakan dalam pembuktian.
            Implikasi teoritis penelitian ini adalah bahwa secara yuridis pencabutan keterangan terdakwa dibolehkan asalkan pencabutan dilakukan selama pemeriksaan persidangan pengadilan berlangsung dan pencabutan itu mempunyai alasan yang berdasar dan logis. Implikasi praktis dari penelitian ini adalah bahwa dengan adanya pencabutan keterangan terdakwa dalam persidangan, dapat digunakan hakim sebagai petunjuk dalam membuktikan kesalahan terdakwa di sidang pengadilan.

 

BAB I

PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah


Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Pernyataan tersebut secara tegas tercantum dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, Indonesia menerima hukum sebagai ideologi untuk menciptakan ketertiban, keamanan, keadilan serta kesejahteraan bagi warga negaranya. Konsekuensi dari itu semua adalah bahwa hukum mengikat setiap tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.

Hukum bisa dilihat sebagai perlengkapan masyarakat untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu hukum bekerja dengan cara memberikan petunjuk tentang tingkah laku dan karena itu pula hukum berupa norma (Satjipto Rahardjo, 1982: 14). Hukum yang berupa norma dikenal dengan sebutan norma hukum, dimana hukum mengikatkan diri pada masyarakat sebagai tempat bekerjanya hukum tersebut.

Bila pada uraian di atas dikatakan bahwa konsekuensi dari dianutnya hukum sebagai ideologi oleh suatu negara adalah bahwa hukum mengikat setiap tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia, maka hukum juga wajib memberikan timbal balik terhadap negara yang menerimanya sebagai ideologi, dengan cara memperhatikan kebutuhan dan kepentingan-kepentingan anggota-anggota masyarakat serta memberikan pelayanan kepada masyarakat.

1
 
Dalam rangka memberikan perhatian terhadap penciptaan keadilan dalam masyarakat serta memberikan pelayanan terhadap kepentingan-kepentingan masyarakat, hukum tidak selalu bisa memberikan keputusannya dengan segera, hukum membutuhkan waktu untuk menimbang-nimbang yang bisa memakan waktu lama sekali, guna mencapai keputusan yang seadil-adilnya dan tidak merugikan masyarakat.


Indonesia sebagai negara hukum memiliki beberapa macam hukum untuk mengatur tindakan warga negaranya, antara lain adalah hukum pidana dan hukum acara pidana. Kedua hukum ini memiliki hubungan yang sangat erat, karena pada hakekatnya hukum acara pidana termasuk dalam pengertian hukum pidana. Hanya saja hukum acara pidana atau yang juga dikenal dengan sebutan hukum pidana formal lebih tertuju pada ketentuan yang mengatur bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana. Sedangkan hukum pidana (materiil) lebih tertuju pada peraturan hukum yang menunjukan perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana dan pidana apa yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana tersebut.

Walaupun hukum dibuat untuk suatu tujuan yang mulia, yaitu memberikan pelayanan bagi masyarakat guna terciptanya suatu ketertiban, keamanan, keadilan dan kesejahteraaan, namun pada kenyataannya masih tetap terjadi penyimpangan-penyimpangan atas hukum, baik yang dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja atau lalai. Terhadap penyimpangan-penyimpangan hukum ini tentunya harus ditindaklanjuti dengan tindakan hukum yang tegas dan melalui prosedur hukum yang benar sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Sehingga ideologi Indonesia sebagai negara hukum benar-benar terwujud.

Dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa tujuan hukum acara pidana adalah: “untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”.

Melalui hukum acara pidana ini, maka bagi setiap individu yang melakukan penyimpangan atau pelanggaran hukum, khususnya hukum pidana, selanjutnya dapat diproses dalam suatu acara pemeriksaan di pengadilan, karena menurut hukum acara pidana untuk membuktikan bersalah tidaknya seorang terdakwa haruslah melalui pemeriksaan di depan sidang pengadilan (Darwan Prinst,1998: 132). Dan untuk membuktikan benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan diperlukan adanya suatu pembuktian.

Dalam pembuktian ini, hakim perlu memperhatikan kepentingan korban, terdakwa dan masyarakat. Kepentingan korban berarti bahwa seseorang yang mendapat derita karena suatu perbuatan jahat orang lain berhak mendapatkan keadilan dan kepedulian dari negara, kepentingan masyarakat berarti bahwa demi ketentraman masyarakat maka bagi setiap pelaku tindak pidana harus mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Sedangkan kepentingan terdakwa berarti bahwa terdakwa harus diperlakukan secara adil sedemikian rupa, sehingga tiap individu yang terbukti bersalah harus dihukum.

Pembuktian memegang peranan yang sangat penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan, karena dengan pembuktian inilah nasib terdakwa ditentukan, dan hanya dengan pembuktian suatu perbuatan pidana dapat dijatuhi hukuman pidana. Sehingga apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa dibebaskan dari hukuman, dan sebaliknya jika kesalahan terdakwa dapat dibuktikan, maka terdakwa harus dinyatakan bersalah dan kepadanya akan dijatuhkan pidana.
Pembuktian juga merupakan titik sentral hukum acara pidana. Hal ini dapat dibuktikan sejak awal dimulainya tindakan penyelidikan, penyidikan, prapenuntutan, pemeriksaan tambahan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, putusan hakim bahkan sampai upaya hukum, masalah pembuktian merupakan pokok bahasan dan tinjauan semua pihak dan pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan, terutama bagi hakim. Oleh karena itu hakim harus hati-hati, cermat, dan matang dalam menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian serta dapat meneliti sampai dimana batas minimum kekuatan pembuktian atau bewijskracht dari setiap alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak memberikan penafsiran atau pengertian mengenai pembuktian baik pada Pasal 1 yang terdiri dari 32 butir pengertian, maupun pada penjelasan umum dan penjelasan Pasal demi Pasal. KUHAP hanya memuat macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum acara pidana di Indonesia.

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan (M. Yahya Harahap, 2003: 273).

Menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, jenis alat bukti yang sah dan dapat digunakan sebagai alat bukti adalah :
1.      Keterangan saksi;
2.      Keterangan ahli;
3.      Surat;
4.      Petunjuk;
5.      Keterangan terdakwa.

Maksud penyebutan alat-alat bukti dengan urutan pertama pada keterangan saksi, selanjutnya keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa pada urutan terakhir, menunjukkan bahwa pembuktian (bewijsvoering) dalam hukum acara pidana diutamakan pada kesaksian. Namun perihal nilai alat-alat bukti yang disebut oleh pasal 184 KUHAP tetap mempunyai kekuatan bukti (bewijskracht) yang sama penting dalam menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa.

Dengan kata lain, walaupun pembuktian dalam hukum acara pidana diutamakan pada kesaksian, namun hakim tetap harus hati-hati, dan cermat dalam menilai alat-alat bukti lainnya. Karena pada prinsipnya semua alat bukti penting dan berguna dalam membuktikan kesalahan terdakwa.

Penulis dalam penulisan hukum ini tidak akan membahas lebih jauh mengenai alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan petunjuk karena keempat alat bukti tersebut secara umum sudah lebih dikenal oleh pihak dan pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dan tidak banyak menimbulkan permasalahan dalam penerapannya dalam persidangan. Lain halnya dengan alat bukti keterangan terdakwa yang kadang kala masih sering menimbulkan permasalahan, baik mengenai eksistensinya sebagai alat bukti yang sah, masalah kekuatan nilai pembuktian dan penerapannya di persidangan, maupun kedudukannya sebagai alat bukti terakhir di dalam Pasal 184 ayat (1)  KUHAP.

Bila melihat urutan jenis alat bukti pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP, maka keterangan terdakwa merupakan alat bukti yang terakhir setelah  petunjuk. Akan tetapi karena suatu petunjuk dapat diperoleh dari keterangan terdakwa, maka dalam hal yang demikian petunjuk hanya bisa diperoleh setelah lebih dahulu memeriksa terdakwa, sehingga petunjuklah yang seharusnya menduduki posisi terakhir sebagai alat bukti. Terlepas dari permasalahan di atas, pada kenyataannya keterangan terdakwa masih belum memiliki peraturan yang jelas dalam penerapannya, yang dikhawatirkan dapat mempengaruhi nilai kekuatannya sebagai alat bukti yang sah, sehingga akan berpengaruh juga terhadap putusan pengadilan.

Menurut Pasal 189 ayat (1) KUHAP, Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri. Mengingat bahwa keterangan terdakwa yang memuat informasi tentang kejadian peristiwa pidana bersumber dari terdakwa, maka hakim dalam melakukan penilaian terhadap isi keterangan terdakwa haruslah cermat dan sadar bahwa ada kemungkinan terjadinya kebohongan atau keterangan palsu yang dibuat oleh terdakwa mengenai hal ikhwal kejadian atau peristiwa pidana yang terjadi.

Dalam persidangan sering dijumpai bahwa terdakwa mencabut keterangan yang diberikannya di luar persidangan atau keterangan yang diberikannya kepada penyidik dalam pemeriksaan penyidikan yang dimuat dalam Berita Acara Penyidikan (BAP). Dimana keterangan tersebut pada umumnya berisi pengakuan terdakwa atas tindak pidana yang didakwakan kepadanya.

Menurut Martiman Prodjohamidjojo (1984: 137), terhadap keterangan di muka penyidik dan keterangan dalam persidangan harus dibedakan, keterangan yang diberikan di muka penyidik disebut keterangan tersangka, sedangkan keterangan yang diberikan dalam persidangan disebut keterangan terdakwa. Dengan adanya perbedaan ini, penulis menilai akan memperjelas dari kedudukan masing-masing keterangan dalam pembuktian.

Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa dalam persidangan terdakwa kerap mencabut kembali keterangan pengakuan yang diberikan dalam pemeriksaan penyidikan di sidang pengadilan. Suatu hal yang ironi memang bila melihat bahwa setiap tersangka pasti memberikan keterangan pengakuan di depan penyidik sedemikian rupa jelasnya mengutarakan dan menggambarkan jalannya perbuatan tindak pidana yang disangkakan. Akan tetapi bagaimanapun gamblangnya pengakuan yang tercatat dalam Berita Acara Penyidikan (BAP), akan selalu dicabut kembali dalam pemeriksaan pengadilan. Hampir seluruh terdakwa, mencabut kembali keterangan pengakuan yang tercatat dalam BAP, hanya satu dua yang tetap bersedia mengakui kebenarannya.

Adapun alasan yang kerap dijadikan dasar pencabutan adalah bahwa pada saat memberikan keterangan di hadapan penyidik, terdakwa dipaksa atau diancam dengan kekerasan baik fisik maupun psikis untuk mengakui tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Sedemikian rupa penyiksaan dan ancaman berupa pemukulan, penyulutan bagian badan atau bagian vital tubuh. Kepala dibenturkan di dinding, dan segala macam penganiayaan yang keji, membuat tersangka terpaksa mengakui segala pertanyaan yang didiktekan pejabat pemeriksa. Begitulah selalu alasan yang yang melandasi setiap pencabutan keterangan pengakuan yang dijumpai di sidang pengadilan.

Ditinjau dari segi yuridis, pencabutan ini sebenarnya dibolehkan dengan syarat pencabutan dilakukan selama pemeriksaan persidangan pengadilan berlangsung dan disertai alasan yang mendasar dan logis (M. Yahya Harahap, 2003: 326). Sepintas terkesan bahwa syarat pencabutan tersebut mudah dipahami dan mudah untuk dilakukan sehingga diperkirakan penerapannya pun akan lancar tanpa permasalahan. Akan tetapi, pada kenyataannya tidaklah demikian karena ternyata dalam praktek di persidangan pencabutan begitu banyak menimbulkan permasalahan. Terutama mengenai penilaian hakim terhadap alasan pencabutan keterangan terdakwa, dimana dalam praktek di persidangan hakim tidaklah mudah menerima alasan pencabutan keterangan terdakwa.

Permasalahan lain terkait dengan pencabutan keterangan terdakwa adalah mengenai eksistensi keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang, dalam hal digunakan untuk membantu menemukan alat bukti dalam persidangan sebagaimana ketentuan Pasal 189 ayat (2) KUHAP (Darwan Prinst, 1998: 145). Sebab sesuatu hal yang fungsi dan nilainya digunakan untuk membantu mempertegas alat bukti yang sah, maka kedudukannya pun telah berubah menjadi alat bukti, termasuk pengakuan terdakwa pada tingkat penyidikan (M. Yahya Harahap, 2003: 323).

Masalah pencabutan keterangan terdakwa ini juga akan membawa permasalahan lain,  yaitu persoalan berkaitan dengan implikasi pencabutan tersebut terhadap kekuatan alat bukti, serta pengaruhnya terhadap alat bukti lain yang sah menurut undang-undang. Berdasarkan hal inilah, maka penulis merasa perlu untuk mengadakan penelitian sebagai bahan penulisan hukum yang mempunyai judul:

"Tinjauan Tentang Pencabutan Keterangan Terdakwa Dalam Persidangan Dan Implikasi Yuridisnya Terhadap Kekuatan Alat Bukti” (Studi Di Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta).

B.    Perumusan Masalah

Agar permasalahan yang hendak diteliti tidak mengalami perluasan konteks dan supaya penelitian yang dilaksanakan lebih mendalam maka diperlukan suatu pembatasan masalah. Dan untuk memudahkan dalam penyusunan dan pencarian data guna menghasilkan sebuah penelitian yang baik dan menghindari pengumpulan data yang tidak diperlukan dalam penulisan, maka perlu disusun perumusan masalah secara teratur dan sistematis yang merupakan pembatasan masalah yang akan dibahas.


Berdasarkan hal-hal tersebut, maka penulis merumuskan masalah dalam penelitian sebagai berikut:


1.         Apakah terdakwa diperkenankan untuk mencabut keterangannya dalam persidangan?
2.         Bagaimana implikasi yuridis dari pencabutan keterangan terdakwa terhadap kekuatannya sebagai alat bukti?
C.   Tujuan Penelitian

Suatu kegiatan penelitian harus mempunyai tujuan yang hendak dicapai secara jelas. Tujuan penelitian dapat bersifat untuk pengembangan ilmu dalam arti explanation, developmental, atau verifikasi ilmu, atau untuk membantu memecahkan masalah tertentu. Tujuan penelitian diperlukan untuk memberikan arah dalam melangkah sesuai dengan  maksud penelitian.

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.       Tujuan Objektif
a.        Mendeskripsikan apakah terdakwa diperkenankan untuk mencabut keterangannya dalam persidangan.
b.       Mendeskripsikan bagaimana implikasi yuridis dari pencabutan keterangan terdakwa terhadap kekuatannya sebagai alat bukti.

2.       Tujuan Subjektif
a.        Meningkatkan kualitas pengetahuan penulis tentang penggunaan alat-alat bukti dalam pembuktian kesalahan terdakwa di pengadilan.
b.        Memperoleh data yang cukup dan relevan yang diperlukan dalam penulisan hukum sebagai syarat mencapai gelar sarjana di bidang ilmu hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

D.   Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diambil penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.      Manfaat Teoritis
a.        Memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan masalah hukum pembuktian pidana serta dapat menambah bahan-bahan kepustakaan.
b.       Untuk mendalami dan mempraktekan teori-teori yang telah diperoleh penulis selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2.      Manfaat Praktis
a.        Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, dan untuk mengetahui kemampuan peneliti dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
b.       Mencari kesesuaian antara teori yang telah didapatkan di bangku kuliah dengan kenyataan di lapangan.
c.        Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait dengan masalah penelitian ini.

E.    Metode Penelitian

Penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, usaha mana dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah (Sutrisno Hadi, 1984). Pentingnya dilaksanakan penelitian hukum adalah untuk mengembangkan disiplin ilmu dan ilmu hukum sebagai salah satu tridarma perguruan tinggi. Penelitian hukum itu bertujuan untuk membina kemampuan dan keterampilan para mahasiswa dan para sarjana hukum dalam mengungkapkan kebenaran ilmiah, yang objektif, metodik, dan sistematik (Hilman Hadikusuma, 1995: 8).

Sebuah tulisan baru dapat dirasakan bersifat ilmiah apabila ia mengandung kebenaran secara objektif, karena didukung oleh informasi yang teruji kebenarannya (Slamet Suseno, 1986: 2). Untuk dapat membuktikan kebenaran ilmiah dari penelitian yang dilaksanakan, maka perlu dikumpulkan fakta dan data yang menyangkut masalahnya dengan menggunakan metode dan teknik penelitian. Tanpa adanya metode dan teknik penelitian, maka hasil penelitian itu diragukan kebenarannya.

Metode penelitian dapat dirumuskan dengan kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:

1.      Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian.
2.      Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan.
3.      Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur (Soerjono Soekanto, 1986: 5).

Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.     Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum sosiologis atau empiris (sosiolegal research). Pada penelitian hukum sosiologis atau empiris, maka yang diteliti pada awalnya adalah data sekunder, untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian pada data primer di lapangan, atau terhadap masyarakat (Soerjono Soekanto, 1986: 52).

Di dalam penelitian hukum ini, penulis melakukan penelitian dengan mencari perkara-perkara pidana yang berkenaan dengan adanya pencabutan alat bukti keterangan terdakwa dalam persidangan Pengadilan (dalam hal ini di Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta), kemudian melakukan analisis terhadap hasil penelitian tersebut dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta literatur-literatur.

Berdasarkan sifatnya, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini bersifat deskriptif karena penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang pencabutan alat bukti keterangan terdakwa dalam persidangan Pengadilan (dalam hal ini adalah Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta). Selain itu, bersifat kualitatif karena memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia atau kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku (Burhan Ashshofa, 2001: 20-210). Sehingga dapat diperoleh data kualitatif yang merupakan sumber  dari deskripsi yang luas, serta memuat penjelasan tentang proses-proses yang terjadi dalam lingkup setempat. Dengan demikian alur peristiwa secara kronologis, menilai sebab-akibat dalam lingkup pikiran orang-orang setempat dan memperoleh penjelasan yang banyak dan bermanfaat.

2.     Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ditetapkan dengan tujuan agar ruang lingkup permasalahan yang akan diteliti lebih sempit dan terfokus, sehingga penelitian yang dilakukan lebih terarah.

Penelitian hukum ini mengambil lokasi di Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta yang beralamat di Jalan Brigadir Jenderal Slamet Riyadi Nomor 290 Surakarta.

3.     Jenis Data
Jenis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian hukum ini adalah:

a.      Data Primer
Data primer adalah data yang diambil langsung dari narasumber yang ada di lapangan dengan tujuan agar penelitian ini bisa mendapatkan hasil yang sebenarnya dari objek yang diteliti. Dalam hal ini data diperoleh dari Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta.

b.     Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang menunjang dan mendukung data primer, data ini diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan dan studi dokumen yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti oleh penulis.
4.    Sumber Data
Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian hukum (skripsi) ini adalah :

a.      Sumber Data Primer
Sumber data primer yaitu data atau keterangan yang diperoleh langsung dari semua pihak yang terkait langsung dengan permasalahan yang menjadi objek penelitian.

Dalam hal ini yang menjadi narasumber adalah Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta yang pernah menangani perkara pidana yang berkenaan dengan adanya pencabutan keterangan terdakwa dalam persidangan.

b.      Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder dalam penulisan hukum (skripsi) ini diperoleh dari:

1)     Bahan hukum primer yang meliputi peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan (reglement).

2)     Bahan hukum sekunder yang meliputi bahan-bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti bahan-bahan kepustakaan, dokumen, arsip, artikel, makalah, literatur, majalah serta surat kabar.

5.    Teknik Pengumpulan Data

a.     Wawancara

Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu (Burhan Ashshofa, 2001: 95), dalam hal ini wawancara dilakukan dengan tujuan memperoleh keterangan-keterangan yang jelas tentang hal-hal yang berkaitan dengan adanya pencabutan keterangan terdakwa di persidangan. Dalam suatu wawancara terdapat dua pihak yang mempunyai kedudukan yang berbeda, yaitu pencari informasi yang biasa disebut dengan pewancara atau interviewer, dalam hal ini adalah penulis. Dalam pihak lain adalah informan atau responden, dalam hal ini adalah hakim-hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta.

Teknik pelaksanaan wawancara adalah dengan wawancara tidak berencana (tidak berpatokan), yakni penulis dalam mengajukan pertanyaan tidak terikat pada aturan-aturan yang ketat. Alat yang digunakan adalah pedoman wawancara yang memuat pokok-pokok yang ditanyakan.

b.    Penelitian Kepustakaan
Penelitian kepustakaan meliputi pengkajian terhadap bahan-bahan pustaka atau materi yang berkaitan langsung dan tidak langsung dengan permasalahan yang sedang diteliti oleh penulis.

6.    Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian hukum ini adalah teknik analisis data kualitatif yaitu cara penelitian yang menggunakan dan menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa yang dinyatakan responden secara tertulis maupun lisan dan juga perilaku nyata yang akan diteliti dan dipelajari sebagai suatu yang utuh (Soerjono Soekanto, 1986: 250).

Dalam penelitan kualitatif sumber data bisa berupa orang, peristiwa, lokasi, benda, dokumen, atau arsip. Beragam sumber tersebut menuntut cara tertentu yang sesuai guna mendapatkan data. Pada penelitian kualitatif proses analisisnya dilakukan sejak awal bersamaan dengan proses pengumpulan data (H.B. Sutopo, 2002: 86). Secara umum terdapat dua model pokok dalam melakukan analisis di dalam penelitian kualitatif, yaitu: (1) model analisis jalinan atau mengalir (flow model of analysis), dan (2) model analisis interaktif (H.B. Sutopo, 2002: 94).
Dalam penulisan hukum ini penulis menggunakan metode analisis interaktif. Metode analisis interaktif adalah tiga komponen analisis tersebut aktifitasnya dapat dilakukan dengan cara interaktif, baik antar komponennya maupun dengan proses pengumpulan data, dalam proses yang berbentuk siklus. Dalam bentuk ini peneliti tetap bergerak diantara tiga komponen analisis dengan proses pengumpulan selama kegiatan berlangsung. Sesudah pengumpulan data berakhir, peneliti bergerak diantara komponen analisisnya dengan menggunakan waktu yang masih tersisa bagi penelitiannya (H.B. Sutopo, 2002, 95).


Komponen-Komponen Analisis Data Model Interaktif (H.B. Sutopo, 2002: 96).
Analisis dalam penelitian kualitatif terdiri atas tiga komponen pokok, yaitu:

a.      Reduksi Data
Sebagai alur penting pertama, yaitu sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa, sehingga kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi (Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, 1992: 16).

Reduksi data merupakan komponen utama dalam analisis yang merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan dan abstraksi data dari field note (H.B. Sutopo, 2002, 91).

b.      Penyajian Data
Alur penting yang kedua dari kegiatan analisis adalah penyajian data sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan (Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, 1992: 17).

Dengan melihat penyajian-penyajian akan dapat dipahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan lebih jauh menganalisis ataukah mengambil tindakan berdasarkan atas pemahaman yang didapat dari penyajian tersebut.

Sajian data merupakan suatu rakitan organisasi informasi, deskripsi dalam bentuk narasi yang memungkinkan simpulan penelitian dapat dilakukan. Sajian data yang merupakan rakitan kalimat yang disusun logis dan sistematis, sehingga bila dibaca akan mudah dipahami berbagai hal yang terjadi dan harus mengacu pada rumusan masalah yang telah dirumuskan sebagai pertanyaan dalam penelitian.

c.      Penarikan kesimpulan
Kegiatan analisis ketiga yang penting adalah menarik kesimpulan dan verifikasi. Dari yang semula kesimpulan yang belum jelas kemudian meningkat menjadi lebih rinci dan mengakar dengan kokoh (Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, 1992: 18-19).

Dalam penulisan hukum ini, pada tahap pertama penulis melakukan pengumpulan data-data tentang perkara-perkara pidana yang ditangani Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta. Data-data yang diperoleh tersebut direduksi diambil perkara-perkara pidana yang ada kaitannya dengan pencabutan keterangan terdakwa. Kemudian ditarik kesimpulan awal yang merupakan jawaban sementara dari perumusan masalah.

Data-data yang telah direduksi kemudian disajikan dengan kalimat-kalimat yang mudah dipahami, sehingga data-data tersebut akan lebih mudah dianalisis atau dikaji untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun dan membatasi permasalahan agar diperoleh jawaban yang lebih terperinci dan sistematis. Kemudian dari data-data tersebut ditarik kesimpulan, dari yang semula hanya jawaban sementara kemudian ditingkatkan menjadi kesimpulan akhir untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di dalam perumusan masalah yang dirumuskan di dalam penulisan hukum. Penulis kembali melakukan pengumpulan data, untuk melengkapi kekurangan data dan memperkuat kesimpulan-kesimpulan akhir yang dirumuskan.

F.    Sistematika Penulisan Hukum (Skripsi)

Dalam menyusun penulisan hukum ini, penulis berpedoman pada suatu sistematika yang baku. Sistematika memberikan gambaran dan mengemukakan garis besar penulisan hukum agar memudahkan dalam mempelajari isinya. Penulisan hukum terbagi menjadi empat bab yang saling berhubungan. Setiap bab dibagi menjadi beberapa sub bab yang masing-masing merupakan pembahasan dari bab yang bersangkutan. Adapun sistematika penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut:

BAB I    :     PENDAHULUAN
                     Dalam bab ini penulis mengemukakan mengenai latar belakang masalah yang merupakan hal-hal yang mendorong penulis untuk mengadakan penelitian, perumusan masalah merupakan inti permasalahan yang ingin diteliti, tujuan penelitian berisi tujuan dari penulis dalam mengadakan penelitian, manfaat penelitian merupakan hal-hal yang diambil dari hasil penelitian, metode penelitian berupa jenis penelitian, lokasi penelitian, jenis data, sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data, selanjutnya adalah sistematika penulisan hukum yang merupakan kerangka atau susunan isi penelitian.

BAB II   :     TINJAUAN PUSTAKA
                     Bab ini berisi tentang teori-teori kepustakaan yang melandasi penelitian serta mendukung di dalam memecahkan masalah yang diangkat dalam penulisan hukum ini, yaitu: tinjauan umum tentang pembuktian dan tinjauan umum tentang alat bukti keterangan terdakwa.

BAB III :     HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
                     Bab ini menguraikan mengenai pencabutan keterangan terdakwa dalam persidangan, dalam hal ini adalah persidangan di Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta, serta melihat implikasi yuridis dari pencabutan keterangan terdakwa terhadap kekuatan alat bukti.

BAB IV :     PENUTUP
                     Bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran.

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN                                   

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Kerangka Teori


1.      Tinjauan Umum Tentang Pembuktian

a.      Pengertian Pembuktian

KUHAP tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis alat bukti yang sah menurut hukum, yang tertuang dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Walaupun KUHAP tidak memberikan pengertian mengenai pembuktian, akan tetapi banyak ahli hukum yang berusaha menjelaskan tentang arti dari pembuktian.

Subekti (2001: 1) menerangkan bahwa “Membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu sengketa”.

Martiman Prodjohamidjojo (1984: 11) mengemukakan membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.

Yang dimaksud dengan pembuktian, adalah pembuktian bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya (Darwan Prinst, 1998: 133).

19
 
Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan (M. Yahya Harahap, 2003: 273).


Hukum pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003: 10).

Ditinjau dari segi hukum acara pidana sebagaimana yang diatur dalam KUHAP, telah diatur pula beberapa pedoman dan penggarisan:

1).   Penuntut umum bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang untuk mengajukan segala daya upaya membuktikan kesalahan yang didakwakannya kepada terdakwa.

2).   Sebaliknya terdakwa atau penasihat hukum mempunyai hak untuk melemahkan dan melumpuhkan pembuktian yang diajukan penuntut umum, sesuai dengan cara-cara yang dibenarkan undang-undang.

3).   Terutama bagi hakim, harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang diketemukan selama pemeriksaan persidangan (M. Yahya Harahap, 2003: 274).

b.     Prinsip-Prinsip Pembuktian

Prinsip-prinsip pembuktian antara lain:

1)     Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Prinsip ini terdapat pada Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Hal-hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan” atau disebut dengan istilah notoire feiten.
Secara garis besar fakta notoir dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

a)      Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau peristiwa tersebut memang sudah demikian halnya atau semestinya demikian.
Yang dimaksud sesuatu misalnya, harga emas lebih mahal dari perak.  Dan yang dimaksud dengan peristiwa misalnya, pada tanggal 17 Agustus diadakan peringatan hari kemerdekaan Indonesia.

b)     Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu mengakibatkan demikian atau selalu merupakan kesimpulan demikian. Misalnya, arak adalah termasuk minuman keras yang dalam takaran tertentu bisa menyebabkan seseorang mabuk (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003: 20).

2)     Menjadi saksi adalah kewajiban

Kewajiban seseorang menjadi saksi diatur pada penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan: “Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku. Demikian pula dengan ahli.”

3)     Satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis)

Prinsip ini terdapat pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”.

Menurut KUHAP, keterangan satu saksi bukan saksi tidak berlaku bagi pemeriksaan cepat. Hal ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 184 KUHAP sebagai berikut: “Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah”.

Jadi, ini berarti satu saksi, satu keterangan ahli, satu surat, satu petunjuk, atau keterangan terdakwa disertai keyakinan hakim cukup sebagai alat bukti untuk memidana terdakwa dalam perkara cepat (M. Yahya Harahap, 2003: 267).

4)     Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa

Prinsip ini merupakan penegasan dari lawan prinsip “pembuktian terbalik” yang tidak dikenal oleh hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia.

Menurut Pasal 189 ayat (4) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain”.

5)     Keterangan terdakwa hanya mengikat pada dirinya sendiri

Prinsip ini diatur pada Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri”.

Ini berarti apa yang diterangkan terdakwa di sidang pengadilan hanya boleh diterima dan diakui sebagai alat bukti yang berlaku dan mengikat bagi diri terdakwa sendiri (Adnan Paslyadja, 1997: 8-15).

Menurut asas ini, apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan yang berkedudukan sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang mengikat kepada dirinya sendiri. Keterangan terdakwa A tidak dapat dipergunakan terhadap terdakwa B, demikian sebaliknya (M. Yahya Harahap, 2003: 321).

c.      Teori-Teori atau Sistem Pembuktian

Ada beberapa sistem atau teori pembuktian, yaitu antara lain:

1)     Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Semata (Conviction In Time)

Sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terdakwa terhadap perbuatan yang didakwakan, sepenuhnya tergantung pada penilaian “keyakinan” hakim semata-mata. Jadi bersalah tidaknya terdakwa atau dipidana tidaknya terdakwa sepenuhnya tergantung pada keyakinan hakim. Dan keyakinan hakim tidak harus timbul atau didasarkan pada alat bukti yang ada.

Sekalipun alat bukti sudah cukup kalau hakim tidak yakin, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana, sebaliknya meskipun alat bukti tidak ada tapi kalau hakim sudah yakin, maka terdakwa dapat dinyatakan bersalah. Akibatnya dalam memutuskan perkara hakim menjadi subyektif sekali.

Sistem pembuktian conviction in time banyak digunakan oleh negara-negara yang menggunakan sistem peradilan juri (jury rechtspraak) misalnya di Inggris dan Amerika Serikat (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003: 15).

2)     Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis (Conviction In Raisone)

Sistem pembuktian Convition In Raisone masih juga mengutamakan penilaian keyakinan hakim sebagai dasar satu-satunya alasan untuk menghukum terdakwa, akan tetapi keyakinan hakim disini harus disertai pertimbangan hakim yang nyata dan logis, diterima oleh akal pikiran yang sehat.

Keyakinan hakim tidak perlu didukung alat bukti sah karena memang tidak diisyaratkan, meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh undang-undang tetapi hakim bisa menggunakan alat-alat bukti di luar ketentuan undang-undang. Yang perlu mendapat penjelasan adalah bahwa keyakinan hakim tersebut harus dapat dijelaskan dengan alasan yang logis.

Keyakinan hakim dalam sistem pembuktian convition in raisone harus dilandasi oleh “reasoning” atau alasan-alasan. Dan reasoning itu sendiri harus pula “reasonable” yakni berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima oleh akal dan nalar, tidak semata-mata berdasarkan keyakinan yang tanpa batas. Sistem pembuktian ini sering disebut dengan sistem pembuktian bebas.

3)     Sistem Atau Teori Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif (Positief Wettelijk)

Sistem ini ditempatkan berhadap-hadapan dengan sistem pembuktian conviction in time, karena sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terdakwa didasarkan kepada ada tiadanya alat-alat bukti sah menurut undang-undang yang dapat dipakai membuktikan kesalahan terdakwa.

Teori positif wetteljik sangat mengabaikan dan sama sekali tidak mempertimbangkan keyakinan hakim. Jadi sekalipun hakim yakin akan kesalahan yang dilakukan kepada terdakwa, akan tetapi dalam pemeriksaan di persidangan pengadilan perbuatan terdakwa tidak didukung alat bukti yang sah menurut undang-undang maka terdakwa harus dibebaskan.

Pada pokoknya apabila seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara pembuktian dan alat bukti yang sah menurut undang-undang maka terdakwatersebut bisa dinyatakan bersalah dan harus dipidana. Kebaikan sistem pembuktian ini, yakni hakim akan berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya sehingga benar-benar obyektif karena menurut cara-cara dan alat bukti yang di tentukan oleh undang-undang.

Sistem pembuktian positif yang dicari adalah kebenaran formal, oleh karena itu sistem pembuktian ini digunakan dalam hukum acara perdata.

4)     Sistem Atau Teori Pembuktian Menurut Undang-undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk Stelsel)

Sistem pembuktian negatief wettelijk terletak antara dua sistem yang berhadap-hadapan, yaitu antara sistem pembuktian positif wettelijk dan sistem pembuktian conviction intime. Artinya hakim hanya boleh menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan  apabila ia yakin dan keyakinannya tersebut didasarkan kepada alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Dalam sistem negatif wetteljik ada dua hal yang merupakan syarat untuk membuktikan kesalahan terdakwa, yakni: pertama, Wettelijk yaitu adanya alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan oleh undang-undang dan kedua, Negatif, yaitu adanya keyakinan (nurani) dari hakim, sehingga berdasarkan bukti-bukti tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa. Antara alat-alat bukti dengan keyakinan diharuskan adanya hubungan causal (sebab akibat).
Oleh karena itu, walaupun kesalahan terdakwa telah terbukti menurut cara dan dengan alat-alat bukti sah menurut undang-undang, akan tetapi bila hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa, maka ia dapat saja membebaskan terdakwa. Sebaliknya meskipun hakim yakin akan kesalahan terdakwa, tetapi keyakinannya tidak didasarkan atas alat-alat bukti sah menurut undang-undang, maka hakim harus menyatakan kesalahan terdakwa tidak terbukti. Sistem inilah yang dipakai dalam sistem pembuktian peradilan pidana di Indonesia (Adnan Paslyadja, 1997: 16-22).

d.     Alat-Alat Bukti Yang Sah Dalam Pembuktian Hukum Acara Pidana

Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan terdakwa (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003: 11).

Alat-alat bukti yang sah, adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa (Darwan Prinst,1998:135).

Adapun alat-alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, adalah sebagai berikut:

1).   Keterangan saksi
Menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP, keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

2).   Keterangan ahli
Menurut Pasal 1 butir 28 KUHAP, keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

3).   Surat
Menurut Pasal 187 KUHAP, Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:

(a)       berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;

(b)       surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan.

(c)       surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya;

(d)      surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
4).   Petunjuk
Menurut Pasal 188 KUHAP ayat (1), Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

5).   Keterangan terdakwa
Menurut Pasal 189 ayat (1) KUHAP, Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri.

2.      Tinjauan Umum Tentang Alat Bukti Keterangan Terdakwa

a.     Dasar Hukum Alat Bukti Keterangan Terdakwa.

1).       Keterangan terdakwa:
Pasal 184 huruf e dan Pasal 189 KUHAP.

2).       Pemeriksaan terdakwa
Pasal 175 sampai Pasal 178 KUHAP.

b.    Pengertian Terdakwa dan Tersangka.

Menurut Pasal 1 butir 15 KUHAP terdakwa adalah seorang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan.

Terdakwa adalah orang yang karena perbuatan atau keadaannya berdasarkan alat bukti minimal didakwa melakukan tindak pidana kemudian dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan (Adnan Paslyadja, 1997: 69).

Terdakwa adalah seseorang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana dan ada cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan di muka sidang pengadilan (J.C.T. Simorangkir 1980: 167).
Dari rumusan di atas dapat disimpulkan, bahwa unsur-unsur dari terdakwa adalah:

1)       Diduga sebagai pelaku suatu tindak pidana;
2)       Cukup alasan untuk melakukan pemeriksaan atas dirinya di depan sidang pengadilan;
3)       Atau orang yang sedang dituntut, ataupun
4)       Sedang diadili di sidang pengadilan (Darwan Prinst, 1998: 14-15).

Tersangka akan berubah tingkatannya menjadi terdakwa setelah ada bukti lebih lanjut yang memberatkan dirinya dan perkaranya sudah mulai disidangkan di Pengadilan. Kedudukannya harus dipandang sebagai subjek dan tidak boleh diperlakukan sekehendak hati oleh aparat penegak hukum karena ia dilindungi oleh serangkaian hak yang diatur dalam KUHAP.

Tersangka sendiri menurut Pasal 1 butir 14 KUHAP adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.

c.     Pengertian Alat Bukti Keterangan Terdakwa

Alat bukti keterangan terdakwa diatur secara tegas oleh Pasal 189  KUHAP, sebagai berikut:

1)       Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri.

2)       Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

3)       Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.

4)       Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Menurut Pasal 189 ayat (1) KUHAP di atas, keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Sehingga secara garis besar keterangan terdakwa adalah:

1)       apa yang terdakwa "nyatakan" atau "jelaskan" di sidang pengadilan,

2)       dan apa yang dinyatakan atau dijelaskan itu ialah tentang perbuatan yang terdakwa lakukan atau mengenai yang ia ketahui atau yang berhubungan dengan apa yang terdakwa alami sendiri dalam peristiwa pidana yang sedang diperiksa (M. Yahya Harahap, 2003: 319).

Dari pengertian-pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat sah keterangan terdakwa harus meliputi:

1)         Apa yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan.
2)         Pernyataan terdakwa meliputi:
(a)   Yang terdakwa lakukan sendiri,
(b)  Yang terdakwa ketahui sendiri,
(c)   Yang terdakwa alami sendiri.

Pasal 184 ayat (1) KUHAP mencantumkan keterangan terdakwa sebagai alat bukti yang kelima atau terakhir setelah alat bukti petunjuk. Hal ini berbeda dengan HIR yang menempatkan keterangan terdakwa pada urutan ketiga di atas petunjuk, hanya saja dalam HIR "keterangan terdakwa" seperti dimuat pada Pasal 184 ayat (1) c KUHAP, menurut Pasal 295 butir 3 HIR disebut "pengakuan tertuduh".

Perbedaan kedua istilah ini bila ditinjau dari segi yuridis, terletak pada pengertian "keterangan terdakwa" yang sedikit lebih luas dari istilah "pengakuan tertuduh", karena pada istilah "keterangan terdakwa" sekaligus meliputi "pengakuan" dan "pengingkaran", sedangkan dalam istilah "pengakuan tertuduh", hanya terbatas pada pernyataan pengakuan itu sendiri tanpa mencakup pengertian pengingkaran (M. Yahya Harahap, 2003: 318).

Sehingga dapat dilihat dengan jelas bahwa “keterangan terdakwa” sebagai alat bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan terdakwa hendaknya didengar. Apakah itu berupa penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan (Andi Hamzah, 2002: 273).

Sedangkan alasan ditempatkannya keterangan terdakwa pada urutan ketiga diatas petunjuk dalam HIR, karena suatu petunjuk dapat diperoleh dari keterangan terdakwa, maka dalam hal yang demikian petunjuk hanya bisa diperoleh setelah lebih dahulu memeriksa terdakwa (Adnan Paslyadja, 1997: 69).

d.    Asas Penilaian Keterangan Terdakwa

Sudah barang tentu tidak semua keterangan terdakwa dinilai sebagai alat bukti yang sah. Untuk menentukan sejauh mana keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang, diperlukan beberapa asas sebagai landasan berpijak, antara lain:


1)       Keterangan itu dinyatakan di sidang pengadilan

Keterangan yang diberikan di persidangan adalah pernyataan berupa penjelasan yang diutarakan sendiri oleh terdakwa dan pernyataan yang berupa penjelasan atau jawaban terdakwa atas pertanyaan dari ketua sidang, hakim anggota, dan penuntut umum atau penasihat hukum.

2)       Tentang perbuatan yang terdakwa lakukan, ketahui, atau alami sendiri
Pernyataan terdakwa meliputi:

(a)       Tentang perbuatan yang terdakwa lakukan sendiri.

Terdakwa sendirilah yang melakukan perbuatan itu, dan bukan orang lain selain terdakwa.

(b)       Tentang apa yang diketahui sendiri oleh terdakwa.

Terdakwa sendirilah yang mengetahui kejadian itu. Mengetahui disini berarti ia tahu tentang cara melakukan perbuatan itu atau bagaimana tindak pidana tersebut dilakukan. Bukan berarti mengetahui dalam arti keilmuan yang bersifat pendapat, tetapi semata-mata pengetahuan sehubungan dengan peristiwa pidana yang didakwakan kepadanya.

(c)       Tentang apa yang dialami sendiri oleh terdakwa.

Terdakwa sendirilah yang mengalami kejadian itu, yaitu pengalaman dalam hubungannya dengan perbuatan yang didakwakan. Namun apabila terdakwa menyangkal mengalami kejadian itu, maka penyangkalan demikian tetap merupakan keterangan terdakwa.

(d)      Keterangan terdakwa hanya merupakan alat bukti terhadap dirinya sendiri.
Menurut asas ini, apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan dalam kedudukannya sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan terdakwa hanya mengikat kepada dirinya sendiri. Dengan kata lain keterangan terdakwa yang satu tidak boleh dijadikan alat bukti bagi terdakwa lainnya (M. Yahya Harahap, 2003: 320-321).

e.     Keterangan Terdakwa Saja Tidak Cukup Membuktikan Kesalahannya

Asas ini ditegaskan dalam Pasal 189 ayat (4); "Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain".

Pada hakikatnya asas ini hanya merupakan penegasan kembali prinsip batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Pasal 183 KUHAP telah menentukan asas pembuktian bahwa untuk menjatuhkan hukuman pidana terhadap seorang terdakwa, kesalahannya harus dapat dibuktikan; “dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah” (M. Yahya Harahap, 2003: 322).

f.     Keterangan Terdakwa di Luar Sidang (The Confession Outside the Court)

Salah satu asas penilaian yang menentukan sah atau tidaknya keterangan terdakwa sebagai alat bukti adalah bahwa keterangan itu harus diberikan di sidang pengadilan.

Dengan asas ini dapat disimpulkan, bahwa keterangan terdakwa yang dinyatakan di luar sidang pengadilan sama sekali tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti sah. Walaupun keterangan terdakwa yang dinyatakan di luar sidang pengadilan tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti, namun menurut ketentuan Pasal 189 ayat (2) KUHAP, keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat dipergunakan untuk "membantu" menemukan alat bukti di sidang pengadilan, dengan syarat keterangan di luar sidang didukung oleh suatu alat bukti yang sah, dan keterangan yang dinyatakan di luar sidang sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepada terdakwa (M. Yahya Harahap, 2003: 323).

Bentuk keterangan yang dapat dikualifikasi sebagai keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang ialah:

1)       keterangan yang diberikan dalam pemeriksaan penyidikan,
2)       dan keterangan itu itu dicatat dalam berita acara penyidikan,
3)       serta berita acara penyidikan itu ditandatangani oleh pejabat penyidik dan terdakwa.

Kualifikasi di atas sesuai dengan ketentuan Pasal 75 ayat (1) huruf a jo. Ayat (3) KUHAP.

g.    Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Terdakwa

Secara umum dapat dikatakan bahwa undang-undang tidak dapat menilai keterangan terdakwa sebagai alat bukti yang memiliki nilai pembuktian yang sempurna, mengikat, dan menentukan. Namun demikian, keterangan terdakwa tetap memiliki pengaruh terhadap proses persidangan. Adapun nilai kekuatan pembuktian alat bukti keterangan terdakwa dapat dirumuskan sebagai berikut:

1)         Sifat nilai kekuatan pembuktiannya adalah bebas

Hakim tidak terikat pada nilai kekuatan yang terdapat pada alat bukti keterangan terdakwa, dan hakim bebas untuk menilai kebenaran yang terkandung di dalam keterangan terdakwa. Hakim dapat menerima atau menyingkirkan keterangan terdakwa sebagai alat bukti dengan jalan mengemukakan alasan-alasan disertai dengan argumentasi yang proporsional dan akomodatif.

2)         Harus memenuhi batas minimum pembuktian

Sebagaimana ketentuan Pasal 189 ayat (4) yang menyebutkan, "keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain". Dari ketentuan ini jelas dapat disimak keharusan mencukupkan alat bukti keterangan terdakwa dengan sekurang-kurangnya satu lagi alat bukti yang lain, sehingga mempunyai nilai pembuktian yang cukup.

Penegasan Pasal 189 ayat (4) KUHAP, sejalan dan mempertegas asas batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, yang menegaskan, bahwa tidak seorang terdakwa pun dapat dijatuhi pidana kecuali jika kesalahan yang didakwakan kepadanya telah dapat dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.

3)         Harus memenuhi asas keyakinan hakim

Sekalipun kesalahan terdakwa telah terbukti sesuai dengan asas batas minimum pembuktian, tetapi masih perlu dibarengi dengan "keyakinan hakim", bahwa memang terdakwa yang bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.

Asas keyakinan hakim harus melekat pada putusan yang diambilnya sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut Pasal 183 KUHAP yaitu "pembuktian menurut undang-undang secara negatif". Artinya, di samping dipenuhi batas minimum pembuktian dengan alat bukti yang sah, maka dalam pembuktian yang cukup tersebut harus dibarengi dengan keyakinan hakim bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya (M. Yahya Harahap, 2003: 332-333).

Ketentuan yang terkait dengan nilai kekuatan pembuktian keterangan terdakwa sebagaimana yang diutarakan di atas masih dapat ditambah dengan rumusan sebagai berikut:

1)     Keterangan terdakwa yang diberikan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau alami sendiri, merupakan alat bukti keterangan terdakwa yang sah menurut undang-undang.

2)     Keterangan terdakwa sekalipun bersifat pengakuan atas perbuatan pidana yang didakwakan, tetapi tidak didukung dengan alat bukti sah lainnya, tidak cukup untuk menyatakan terdakwa telah bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan karena tidak memenuhi batas minimumnya pembuktian.

3)     Penyangkalan terdakwa yang melalui alat bukti lain dapat dibuktikan sebagai kebohongan dapat diterima sebagai alat bukti petunjuk.

4)     Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang mengenai hal yang didakwakan sepanjang bersesuaian dengan alat bukti sah lainnya dapat berupa alat bukti petunjuk, setidak-tidaknya dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang (Adnan Paslyadja, 1997: 73).







Kerangka Pemikiran           

 






Adanya pelanggaran terhadap aturan-aturan hukum pidana yang berlaku

 

                                                                                                      

 














Putusan pengadilan

 
  

                                                                  

 






BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.    Pencabutan Keterangan Terdakwa Dalam Persidangan (di Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta)

1.      Deskripsi Kasus

Paparan kasus perkara perkosaan di Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta Nomor: 306/Pid.B/2003/PN.Ska:
a.       Kasus Posisi Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta Nomor: 306/Pid.B/2003/PN.Ska. Identitas Terdakwa:

1)      Nama Lengkap            : JOKO KUSTIONO alias GEPENG.
2)      Tempat Lahir               : Surakarta.
3)      Umur/Tanggal Lahir    : 24 Tahun/10 September 1979.
4)      Jenis Kelamin              : Laki-laki.
5)      Kebangsaan                 : Indonesia.
6)      Tempat Tinggal           : Kandangsapi RT.01/35 Jebres Surakarta.
7)      Agama                         : Islam.
8)      Pekerjaan                     : Buruh.

Bahwa terdakwa JOKO KUSTIONO pada hari Rabu tanggal 1 Oktober 2003 sekitar jam 10.00 WIB bertempat di kamar mandi di rumah saksi AGUSTIN SETYAWATI Kelurahan Kandang sapi RT. 01/XXXV. Kecamatan Jebres Kota Surakarta. telah melakukan pemerkosaan terhadap saksi AGUSTIN SETYAWATI atau telah bersetubuh dengan saksi AGUSTIN SETYAWATI yang bukan istrinya atau di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum cukup 15 tahun atau belum waktunya untuk kawin.

38
 
 


b.      Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

1)      Primair: Perbuatan terdakwa diatur dan diancam dengan pidana menurut Pasal 285 Jo Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
2)      Subsidair: Perbuatan terdakwa diatur dan diancam dengan pidana menurut Pasal 287 ayat (1) KUHP tentang perkosaan terhadap anak di bawah umur.

c.       Tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

Berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh selama pemeriksaan di persidangan, akan diuraikan unsur-unsur dakwaan primair dalam Pasal 285 KUHP Jo Pasal 81 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, adalah sebagai berikut:

1)      Unsur barang siapa;
Yang dimaksud barang siapa di sini adalah setiap orang atau siapa saja sebagai subyek hukum yang dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya jelas di sini yang dimaksud adalah terdakwa yang telah melakukan tindak pidana perkosaan atas dasar keterangan saksi-saksi, surat, barang bukti petunjuk, walaupun terdakwa sendiri tidak mengakuinya, karena hal yang demikian adalah petunjuk bagi kesalahan terdakwa.

Dan apa yang telah dilakukan oleh terdakwa dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena sepanjang pemeriksaan dipersidangan terdakwa selalu dalam keadaan sehat jasmani dan sehat rohani. Dan tidak ada hal-hal yang dapat menghapuskan pidana bagi terdakwa.

2)      Unsur dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia;
Jika unsur ini dihubungkan dengan keterangan saksi-saksi yang menyatakan, bahwa telah terjadi perkosaan atau persetubuhan dengan paksa yang dilakukan oleh terdakwa pada hari Rabu tanggal 1 Oktober 2003 sekitar jam 10.00 WIB, bertempat di dalam kamar mandi di rumah saksi korban Agustin Setyawati dimana terdakwa telah mendatangi saksi korban dan dengan memegang tangan saksi korban dan menyentakannya lalu terdakwa mengatakan dengan nada mengancam untuk diam tidak usah berteriak awas kalau berteriak atau melawan akan disembelih, sehingga dengan kata-kata tersebut saksi Agustin Setyawati ketakutan dan tidak berdaya.

Kemudian terdakwa Joko Kustiono alias Gepeng memegang kemaluan saksi Agustin lalu membuka rok dan menurunkan celana dalamnya, kemudian terdakwa juga membuka celana panjang dan celana dalamnya sendiri, lalu dalam keadaan berdiri tersangka Joko Kustiona alias Gepeng menyetubuhi saksi Agustin Setyawati yang bukan istrinya, dengan memasukkan alat kelaminnya atau penisnya ke dalam vagina atau alat kelamin saksi Agustin Setyawati sampai mengeluarkan air mani dan merasa nikmat sekali, dan perbuatan tersebut dilakukan sampai empat kali.

Lalu setelah selesai menyetubuhi saksi Agustin Setyawati, terdakwa Joko Kustiono alias Gepeng langsung meninggalkan saksi Agustin sendirian, sehingga saksi Agustin Setyawati menderita sakit sekali dan pada ditemukan luka baru menunjuk jam 3, 5, 7, 9, 12, dan terdapat sisa sperma pada liang vagina, sebagaimana disebutkan dalam Visum Et Repertum No.Pol.R./VER.224/X/2003/Dokkes tanggal 22 Oktober 2003 dari Seksi Kedokteran dan Kesehatan Polwil Surakarta, yang dibuat oleh Dr. Naniek Darwati, yang menyimpulkan bahwa terdapat luka baru pada selaput dara akibat bersentuhan dengan benda tumpul, walaupun terdakwa sendiri tidak mengakui perbuatannya dan telah mencabut atau tidak mengakui keterangannya, karena hal yang demikian adalah petunjuk terbuktinya perbuatan terdakwa. Maka dari uraian tersebut di atas jelas unsur ini telah terbukti secara sah dan menurut hukum.

3)      Unsur setiap orang;
Unsur setiap orang ini adalah identik dengan barang siapa, yang telah dibuktikan tersebut diatas.

4)      Unsur yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan;
Bahwa terdakwa mendatangi rumah korban Agustin Setyawati dan mengikutinya ke kamar mandi adalah perbuatan yang dimaksudkan atau yang diinginkan oleh terdakwa untuk melakukan persetubuhan dengan paksa, dan ini telah nyata-nyata dilakukan oleh terdakwa dengan menghentakan tangan saksi korban Agustin Setyawati.

Terdakwa juga melakukan dengan mengatakan jangan berteriak dan kalau berteriak akan disembelih sehingga saksi korban takut dan tidak berdaya, sehingga terdakwa dapat melakukan keinginannya menyetubuhi saksi korban Agustin Setyawati dengan memasukkan alat kelamin terdakwa ke dalam alat kelamin saksi Agustin Setyawati, sehingga merasa enak dan sampai keluar air mani.

5)      Unsur memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Bahwa dari keterangan saksi-saksi, terdakwa masuk ke dalam rumah dan terus masuk ke dalam kamar mandi yang didalamnya ada saksi korban Agustin Setyawati, seorang perempuan yang bukan istrinya yang masih tergolong anak-anak dan masih berusia 13 (tiga belas) tahun dan dengan menyentakkan tangannya serta mengatakan jangan berteriak dan kalau berteriak akan disembelih sehingga saksi korban Agustin Setyawati takut dan berdiam diri dan menuruti kemauan terdakwa lalu terdakwa mulai membuka celana dalam saksi korban Agustin Setyawati dan membuka celana dalamnya sendiri lalu menyetubuhi dengan memasukkan alat kelaminnya ke dalam alat kelamin saksi korban Agustin Setyawati, sehingga mengeluarkan air mani. Jelas unsur ini telah terbukti secara sah dan menurut hukum.

Oleh karena semua unsur dakwaan primair dalam Pasal 285 KUHP Jo Pasal 81 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah dinyatakan terbukti secara sah dan menurut hukum, maka Jaksa Penuntut Umum pada pokoknya menuntut supaya Hakim/Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini berkenan memutus hal-hal sebagai berikut:

1.      Menyatakan terdakwa JOKO KUSTIONO alias GEPENG bersalah melakukan tindak pidana perkosaan sebagaimana diatur dalam Pasal 285 KUHP Jo Pasal 81 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dalam surat dakwaan Primair.

2.      Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa JOKO KUSTIONO alias GEPENG dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dikurangkan masa penahanan sementara dengan perintah terdakwa tetap ditahan dan dipidana denda sebesar Rp. 60.000.000,- subsidair 6 (enam) bulan kurungan.

3.      Menyatakan barang bukti berupa satu buah celana dalam warna kusam dikembalikan kepada saksi Agustin Setyawati atau yang paling berhak.

4.      Menetapkan agar terdakwa JOKO KUSTIONO alias GEPENG dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp. 2000,-.

d.      Pembelaan Terdakwa

Pada kesempatan yang diberikan Majelis Hakim kepada terdakwa untuk mengajukan pembelaan, penasehat hukum pada pokoknya memohon agar terdakwa diberikan ampunan dan keringanan seringan-ringannya, sementara dari terdakwa sendiri secara lisan mohon supaya dijatuhi hukuman yang seringan-ringannya, dengan alasan menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi.

e.       Pertimbangan-Pertimbangan Hakim

Menimbang bahwa, dalam dakwaan Primair yaitu Pasal 285 KUHP Jo Pasal 81 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengandung unsur sebagai berikut:

1)      Barang siapa.
2)      Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia atau orang lain.
3)      Perempuan tersebut masih berstatus anak-anak.

Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan satu persatu dari seluruh unsur yang terkandung dalam Pasal 285 KUHP Jo Pasal 81 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tersebut di atas.

a)      Unsur Barang Siapa.

Menimbang, bahwa unsur barang siapa adalah menunjuk siapa saja atau orang sebagai subjek hukum yang diajukan ke muka persidangan oleh Penuntut Umum karena didakwa melakukan suatu tindak pidana.

Menimbang, bahwa yang dimaksud unsur barang siapa dalam perkara ini adalah Joko Kustiono alias Gepeng yang telah ditanyakan identitasnya di muka persidangan, ternyata sesuai dengan identitas terdakwa yang termuat dalam surat dakwaan Penuntut Umum.

Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan, apakah benar terdakwa Joko Kustiono alias Gepeng tersebut di atas benar orang yang dimaksudkan oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai orang yang melakukan tindak pidana? maka Majelis Hakim akan menghubungkan unsur berikutnya.

b)     Unsur “Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia atau orang lain”.

Menimbang, bahwa sebagaimana fakta-fakta yang terungkap di muka persidangan, bahwa sejak semula terdakwa Joko Kustiono telah menyangkal dakwaan Penuntut Umum dan mencabut Berita Acara pemeriksaan terdakwa yang dibuat oleh penyidik, dengan alasan waktu itu dipaksa untuk mengaku, akan tetapi pada akhir persidangan yaitu pada acara pledoi atau pembelaan, Penasehat Hukum terdakwa secara tertulis memohon agar terdakwa diberikan ampunan dan diringankan seringan-ringannya, sementara terdakwa sendiri secara lisan mohon kepada Majelis Hakim supaya dijatuhi hukuman yang seringan-ringannya, dengan alasan terdakwa sangat menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi.

Menimbang, bahwa dari fakta-fakta sebagaimana terurai di atas, maka terungkap bahwa terdakwa Joko Kustiono telah mengakui perbuatannya sebagaimana dakwaan Penuntut Umum.

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas dihubungkan dengan fakta-fakta yang terungkap di muka persidangan, terungkap bahwa pada hari  Rabu tanggal 1 Oktober 2003 sekitar jam 10.00 WIB, terdakwa telah mendatangi korban yang sedang berada di dalam kamar mandi korban, kemudian memegangi tangan korban dan menyentakannya sambil mengatakan dengan nada mengancam “diam, tidak usah berteriak, awas kalau berteriak atau melawan akan disembelih”.

Menimbang, bahwa dengan kata-kata tersebut saksi Agustin Setyawati ketakutan dan tidak berdaya dan kemudian terdakwa memegang kemaluan saksi Agustin lalu membuka rok dan menurunkan celana dalamnya, kemudian terdakwa juga membuka celana panjang dan celana dalamnya sendiri, lalu terdakwa memasukan kemaluannya yang sudah menegang ke dalam kemaluan korban Agustin Setyawati sambil berdiri, sampai terdakwa mengeluarkan air mani, hal tersebut sesuai pula dengan visum et repertum yang dibuat dan ditandatangani oleh Dr. Naniek Darwati dokter dari Seksi Kedokteran dan Kesehatan Polwil Surakarta dengan No.Pol.R./VER. 224/X/2003/Dokkes tanggal 22 Oktober 2003 dengan kesimpulan bahwa di vagina ditemukan luka baru menunjuk jam 3, 5, 7, 9, 12, dan ditemukan sisa sperma pada liang vagina.

Menimbang, bahwa terdakwa sudah mengerti bahwa korban Agustin Setyawati adalah bukan istrinya.

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka terbukti bahwa terdakwa Joko Kustiono alias Gepeng adalah benar orang yang atau subyek hukum yang melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Penuntut Umum pada bagian primair tersebut sehingga dengan demikian kedua unsur tersebut di atas telah terpenuhi menurut hukum.

c)      Unsur “Perempuan tersebut masih berstatus anak-anak”.

Menimbang, bahwa dari fakta-fakta yang terungkap di muka persidangan, bahwa Agustin Setyawati adalah masih berusia 13 (tiga belas) tahun dimana menurut UURI No. 81 Tahun 2002, bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, hal tersebut sesuai dengan bukti surat kelahiran serta keterangan saksi.

Menimbang, bahwa dengan demikian unsur ini telah terpenuhi pula menurut hukum.

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka terbukti seluruh unsur dari Pasal 285 KUHP Jo Pasal 81 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tersebut di atas telah terpenuhi oleh perbuatan terdakwa, oleh karenanya terdakwa tersebut haruslah dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana tersebut dan kepadanya harus dihukum dengan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya yaitu berupa pidana penjara dan denda.

Menimbang, bahwa oleh karena dakwaan Penuntut Umum pada bagian primair telah terbukti, maka dakwaan subsidair tidak perlu dipertimbangkan lagi.

Menimbang, bahwa selama proses pemeriksaan perkara ini tidak ditemukan adanya alasan pembenar maupun pemaaf terhadap diri terdakwa, maka terhadap terdakwa tersebut haruslah mempertanggung jawabkan atas perbuatannya yang telah dilakukan.

Menimbang, bahwa terhadap barang bukti berupa celana dalam warna kusam haruslah dikembalikan kepada pemiliknya yaitu saksi Agustin Setyawati.

Menimbang, bahwa oleh karena selama pemeriksaan perkara ini terdakwa ditahan, maka cukup alasan bagi Majelis untuk mengurangkan lamanya terdakwa ditahan dari pidana penjara yang dijatuhkan, serta memerintahkan supaya terdakwa tetap ditahan.

Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa dinyatakan bersalah dan dihukum, maka kepadanya dihukum pula untuk membayar biaya perkara.

Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan pidana, Majelis akan mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan maupun hal-hal yang meringankan.

Hal-hal yang memberatkan:
1)      Terdakwa tidak mengakui perbuatannya
2)      Terdakwa tidak merasa bersalah
3)      Terdakwa tidak menyesal karena merasa tidak berbuat
4)      Terdakwa berbelit-belit dalam memberikan keterangan.

Hal-hal yang meringankan:
1)      Terdakwa masih muda dan belum pernah dihukum.
2)      Terdakwa mempunyai tanggungan seorang isteri dan seorang anak.

f.       Putusan

Berdasarkan fakta-fakta hukum dan pertimbangan-pertimbangan diatas, Majelis Hakim memutuskan:

                                                            M e n g a d i l i

1)      Menyatakan terdakwa JOKO KUSTIONO alias GEPENG telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “PERKOSAAN”.

2)      Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan denda Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) subsidair 3 bulan kurungan.

3)      Menetapkan bahwa masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan sepenuhnya dari pidana yang dijatuhkan.

4)      Memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan.

5)      Menetapkan barang bukti berupa celana dalam warna kusam dikembalikan kepada saksi Agustin Setyawati.

6)      Membebankan pula kepada terdakwa untuk membayar ongkos perkara ini sebesar Rp. 2000,- (dua ribu rupiah).

2.      Pembahasan

“Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri” (Pasal 189 ayat (1) KUHAP).

Berpijak pada ketentuan Pasal 189 ayat (1) KUHAP di atas, pada prinsipnya keterangan terdakwa adalah apa yang diberikan terdakwa di sidang pengadilan. Meskipun demikian ketentuan itu ternyata tidak mutlak, karena keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat pula digunakan untuk membantu menemukan bukti di persidangan asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya (Pasal 189 ayat (2) KUHAP).

Dalam persidangan, sering kali dijumpai bahwa terdakwa menyangkal, sebagian atau semua keterangan pengakuan yang diberikannya di tingkat penyidikan. Dengan alasan, bahwa pada saat memberikan keterangan di hadapan penyidik, terdakwa dipaksa atau diancam dengan kekerasan baik fisik maupun psikis untuk mengakui tindak pidana yang didakwakan kepadanya.

Hal ini dapat dimaklumi karena pada prinsipnya KUHAP menganut asas fair trial, dimana dalam asas ini terdakwa memiliki hak untuk memberikan keterangan secara bebas (Pasal 153 ayat (2) huruf b KUHAP), termasuk hak untuk menarik keterangannya di sidang pengadilan. Namun satu hal yang perlu diingat, KUHAP hanya memberikan jaminan kebebasan untuk memberikan keterangan, bukan kebebasan untuk menyampaikan kebohongan.

Dengan menyangkal atau mengingkari pengakuan tersebut, maka sesungguhnya terdakwa telah melakukan pencabutan keterangan di persidangan, yaitu keterangan yang terkait dengan pengakuan yang telah diberikan terdakwa di hadapan penyidik dan tertuang dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

Intinya bahwa keterangan terdakwa yang dicabut dalam persidangan pengadilan adalah keterangan pengakuan terdakwa yang diberikan pada saat pemeriksaan penyidikan. Dan pengakuan tersebut dimuat dalam Berita Acara Pemeriksaan penyidikan yang ditandatangani oleh terdakwa dan penyidik.

Berdasarkan hasil pemeriksaan di persidangan, diketahui bahwa benar telah terjadi pencabutan keterangan terdakwa, dimana terdakwa Joko Kustiono alias Gepeng dalam keterangannya di persidangan, menarik seluruh keterangan pengakuan yang diberikannya pada tingkat pemeriksaan penyidikan di kepolisian. Dengan alasan bahwa pada waktu diinterogasi di depan Penyidik, terdakwa dipaksa untuk mengaku dan dipukul sehingga merasa tersiksa baik fisik maupun psikisnya.

Keterangan terdakwa di muka persidangan yang menyangkal atau mengingkari isi BAP dari Penyidik inilah, yang merupakan inti dari bentuk pencabutan keterangan terdakwa dalam persidangan, dimana dalam persidangan terdakwa Joko Kustiono secara jelas dan terbukti telah menyangkal tuntutan Penuntut Umum dengan memberikan keterangan kepada Majelis Hakim yang pada pokoknya terdakwa tidak membenarkan seluruh isi dari BAP.

Untuk menjelaskan perihal terjadinya pencabutan keterangan oleh terdakwa Joko Kustiono dalam persidangan, berikut akan diuraikan fakta-fakta yang menandakan telah terjadinya pencabutan keterangan terdakwa dalam persidangan:

a.       Fakta dari hasil pemeriksaan alat bukti keterangan terdakwa dalam persidangan disesuaikan dengan pengakuan terdakwa dalam BAP.

Berikut beberapa hasil pemeriksaan di pengadilan terhadap terdakwa Joko Kustiono alias Gepeng yang menunjukan adanya penyangkalan atas isi BAP berdasarkan pertanyaan hakim dalam persidangan:

1)      Terdakwa Joko Kustiono alias Gepeng mengatakan, bahwa dirinya tidak pernah memberikan keterangan mengenai waktu dan tempat terjadinya tindak pidana perkosaan, sebagaimana yang termuat dalam BAP.

2)      Terdakwa Joko Kustiono alias Gepeng mengatakan, bahwa dirinya tidak pernah memberikan keterangan mengenai cara memperkosa korban Agustin Setyawati, sebagaimana yang termuat dalam BAP.

3)      Terdakwa Joko Kustiono alias Gepeng mengatakan, bahwa semua isi BAP tidak benar karena terdakwa merasa dirinya tidak pernah melakukan tindak pidana perkosaan.

4)      Terdakwa Joko Kustiono alias Gepeng mengatakan, bahwa pada saat diperiksa oleh Penyidik dirinya diancam (dipaksa) dan dipukul dengan kayu rotan oleh penyidik.

5)      Terdakwa Joko Kustiono alias Gepeng menerangkan, bahwa pada hari Rabu, tanggal 1 Oktober 2003 sekitar jam 10.00 WIB, ia sedang mengejar ayam miliknya lewat dekat rumah Agustin dan pada waktu itu terdakwa tahu bahwa Agustin sedang di kamar mandi, kemudian terdakwa menyuruh Agustin untuk keluar dari kamar mandi dengan iming-iming akan diberikan uang Rp.1000,00 bila Agustin mau keluar dari kamar mandi. Sehingga terdakwa menganggap keterangan dalam BAP yang mengatakan bahwa pada hari Rabu, tanggal 1 Oktober 2003 sekitar jam 10.00 WIB dirinya melakukan tindak pidana perkosaan adalah tidak benar.

Dari uraian di atas, diketahui bahwa terdakwa Joko Kustiono alias Gepeng telah menyangkal semua isi BAP atau mengingkari semua pengakuan yang diberikannya di tingkat pemeriksaan penyidikan, selain itu terdakwa juga memberikan keterangan baru yang tidak diutarakan di depan penyidik.

Dengan adanya penyangkalan atau pengingkaran tersebut, maka terbukti bahwa terdakwa Joko Kustiono alias Gepeng benar-benar telah mencabut keterangannya di sidang pengadilan.

b.      Fakta yang termuat dalam surat penuntutan.

Dalam petikan surat tuntutan juga terdapat keterangan yang menunjukan adanya pencabutan keterangan terdakwa dalam persidangan, antara lain sebagai berikut:

“Keterangan terdakwa yang tidak mengakui Berita Acara Pemeriksaan dari Penyidik dan tidak mengakui perbuatannya dan memberikan keterangan yang berbelit-belit, juga mencabut semua keterangan yang diberikannya waktu penyidikan, adalah tanpa alasan yang mendasar”.

Dari petikan surat tuntutan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya Penuntut Umum juga menilai telah terjadi pencabutan keterangan terdakwa di persidangan. Penilaian penuntut umum ini semakin memperjelas, bahwa terdakwa Joko Kustiono alias Gepeng memang telah mencabut keterangannya di sidang pengadilan.

c.       Fakta yang tertuang dalam petikan putusan pidana.

Dalam petikan putusan pengadilan terutama pada bagian pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim terhadap keterangan terdakwa, juga terdapat penjelasan yang menandakan adanya pencabutan keterangan terdakwa di persidangan. Berikut petikannya:

Bahwa pada intinya terdakwa dalam keterangannya di muka persidangan menyangkal semua dakwaan Penuntut Umum.

Bahwa di muka persidangan terdakwa menarik seluruh keterangannya yang tertuang di Berita Acara yang di buat Penyidik, dengan alasan bahwa pada waktu diinterogasi di depan Penyidik terdakwa dipaksa untuk mengaku dan waktu di depan Penyidik terdakwa di pukul.

Berdasarkan fakta-fakta di atas, diketahui dan terbukti bahwa terdakwa Joko Kustiono alias Gepeng dalam persidangan benar-benar telah mencabut keterangan pengakuan yang diberikannya di tingkat pemeriksaan penyidikan.

Namun demikian, yang menjadi masalah utama dalam penulisan hukum ini, bukanlah masalah dicabut atau tidaknya keterangan terdakwa dalam persidangan, melainkan masalah mengenai bagaimana hukumnya pencabutan keterangan terdakwa tersebut, dibolehkan atau tidak? Apakah undang-undang membenarkan pencabutan keterangan yang diberikan terdakwa di luar sidang? Dan bagaimana sikap hakim dalam menghadapi dan menilai keterangan pengakuan yang dicabut kembali oleh terdakwa? Untuk menjawabnya, maka penulis dalam pembahasan ini akan menganalisa dan melakukan tinjauan lebih lanjut terkait dengan masalah pencabutan keterangan yang dilakukan oleh terdakwa Joko Kustiono alias Gepeng.

Ditinjau dari segi yuridis, terdakwa “berhak” dan dibenarkan “mencabut kembali” keterangan pengakuan yang diberikan dalam penyidikan. Undang-undang pun pada dasarnya tidak membatasi hak terdakwa untuk mencabut kembali keterangan yang demikian, asalkan pencabutan dilakukan selama pemeriksaan persidangan pengadilan berlangsung dan pencabutan itu mempunyai landasan alasan yang berdasar dan logis (M. Yahya Harahap, 2003: 325).

Pencabutan kembali tanpa dasar yang logis adalah pencabutan yang tidak dapat dibenarkan oleh hukum, sebagaimana ditegaskan oleh beberapa yurisprudensi, yang dijadikan pedoman dalam praktek peradilan sampai sekarang. Hal ini dapat dilihat dari putusan Mahkamah Agung tanggal 23 Februari 1960, No. 299 K/Kr/1959, yang menjelaskan:

“pengakuan terdakwa di luar sidang yang kemudian di sidang pengadilan dicabut tanpa alasan yang berdasar merupakan petunjuk tentang kesalahan terdakwa”.

Dari putusan ini dapat dilihat, antara lain:
1)      Pencabutan keterangan pengakuan yang dibenarkan hukum adalah pencabutan yang dilandasi dengan alasan yang berdasar dan logis,
2)      Pencabutan tanpa dasar alasan, tidak dapat diterima,
3)      Penolakan pencabutan keterangan pengakuan, mengakibatkan pengakuan tetap dapat dipergunakan sebagai pembantu menemukan alat bukti.

Yurisprudensi yang senada dengan putusan di atas, antara lain putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Februari 1960, No. 225 K/Kr/1960, tanggal 25 Juni 1961, No. 6 K/Kr/1961 dan tanggal 27 September 1961, No. 5 K/Kr/196, yang menegaskan:

“pengakuan yang diberikan di luar sidang tidak dapat dicabut kembali tanpa dasar alasan” (M. Yahya Harahap, 2003: 327).

Dari putusan-putusan di atas jelaslah bahwa setiap pencabutan wajib disertai dengan alasan yang berdasar dan logis. Pencabutan harus disertai dengan alasan yang berdasar dan logis mengandung arti, bahwa pencabutan tersebut harus didasari alasan-alasan yang dapat dibuktikan kebenarannya. Sehingga bila ada terdakwa yang mencabut keterangannya di persidangan dengan alasan bahwa pada saat pemeriksaan penyidikan dirinya diancam, dipaksa atau dipukul oleh penyidik, maka hakim harus membuktikan alasan tersebut terlebih dahulu, sebelum menerima atau menolak pencabutan keterangan terdakwa.

Walaupun pada dasarnya terdakwa dibolehkan untuk mencabut keterangannya di persidangan, namun pada kenyataannya pencabutan keterangan terdakwa di persidangan, sulit untuk dapat diterima oleh Hakim, salah satu alasannya adalah bahwa setelah dilakukan cross check dengan saksi verbalisan (penyidik) yang memeriksa terdakwa pada tingkat penyidikan, ternyata alasan terdakwa yang mendasari pencabutan tersebut tidak terbukti, sehingga pencabutan ditolak oleh hakim.

Pada uraian di atas disebutkan bahwa terdakwa Joko Kustiono alias Gepeng dalam persidangan pengadilan mencabut semua keterangan pengakuan yang diberikannya di depan penyidik dengan alasan bahwa pada saat diinterogasi di depan Penyidik, terdakwa dipaksa untuk mengaku dan dipukul dengan kayu rotan sehingga merasa tersiksa baik fisik maupun psikisnya. Akan tetapi, pada akhirnya yaitu saat pembacaan putusan, hakim menolak pencabutan tersebut, dengan pertimbangan-pertimbangan pokok sebagai berikut:

Menimbang, bahwa sejak awal persidangan telah pula didengar keterangan saksi verbalisan yang telah disumpah menurut agamanya, menerangkan bahwa pemeriksaan terdakwa Joko Kustiono alias Gepeng tidak ada pemaksaan.

Menimbang, bahwa sejak awal persidangan yaitu pada waktu pemeriksaan saksi-saksi, terdakwa menanggapi bahwa semua keterangan saksi yang menyangkut inti dakwaan adalah tidak benar, akan tetapi pada akhir persidangan yaitu pada waktu terdakwa ataupun penasehat hukum terdakwa diberikan kesempatan untuk mengajukan pembelaan, pada pokoknya pembelaan penasihat hukum terdakwa mohon supaya terdakwa diberikan ampunan dan keringanan seringan-ringannya, sementara dari terdakwa sendiri secara lisan mohon supaya dijatuhi hukuman yang seringan-ringannya, dengan alasan menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi.

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka tampak jelas terdakwa mengakui perbuatannya sebagaimana dakwaan penuntut umum, dan oleh karenanya penyangkalan dan pencabutan keterangan yang tertuang dalam Berita Acara Penyidik karena tidak beralasan dan mengada-ada, maka haruslah ditolak.

Dari petikan di atas diketahui bahwa setidaknya ada dua unsur penting yang dijadikan alasan atau pertimbangan oleh hakim dalam menolak pencabutan keterangan pengakuan terdakwa Joko Kustiono alias Gepeng, yaitu:

1)      Unsur keterangan saksi verbalisan, dan
2)      Unsur peninjauan terhadap pembelaan terdakwa.

Terhadap kedua unsur di atas penulis akan mencoba untuk melakukan analisa dan kajian lebih jauh dengan tujuan agar diperoleh pembahasan yang lebih mendalam atas permasalahan dalam penulisan hukum ini.

1)      Unsur keterangan saksi verbalisan.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa salah satu pertimbangan hakim dalam menolak pencabutan tersebut karena adanya keterangan saksi verbalisan yang menerangkan bahwa pemeriksaan terhadap terdakwa di kantor polisi tidak ada pemaksaan.

Dengan adanya keterangan saksi verbalisan ini, maka alasan pencabutan yang mengatakan dirinya (terdakwa) telah diancam, dipaksa untuk mengaku dan dipukul oleh penyidik, tidak terbukti. Berdasarkan keterangan ini, hakim menilai bahwa dengan tidak terbuktinya alasan pencabutan tersebut, maka pencabutan tidak dapat diterima.

Bila dilihat dari kebiasaan yang terjadi dalam persidangan, setiap kali terjadi pencabutan keterangan oleh terdakwa terkait dengan adanya pemaksaan maupun penyiksaan dalam penyidikan, maka sudah dapat dipastikan bahwa tindakan pertama dari hakim dalam menyikapi pencabutan ini adalah dengan memanggil saksi verbalisan, guna dilakukan cross check atau klarifikasi dengan penyidik, guna membuktikan kebenaran alasan dari pencabutan keterangan terdakwa. 

Dengan mengetahui secara langsung keterangan dari saksi verbalisan mengenai proses dan tata cara pemeriksaan yang dilakukan penyidik, maka hakim akan mengetahui apakah telah terjadi pemaksaan atau ancaman terhadap diri terdakwa pada saat penyidikan.

Bila ternyata dari hasil klarifikasi diketahui bahwa benar atau terbukti telah terjadi pemaksaan, ancaman dan penyiksaan terhadap diri terdakwa maka alasan pencabutan dapat diterima, sehingga keterangan yang terdapat dalam BAP dianggap tidak benar, dan keterangan itu (BAP) tidak dapat digunakan sebagai landasan untuk membantu menemukan bukti di sidang pengadilan.

Sebaliknya, jika dari hasil klarifikasi diketahui ternyata tidak terjadi pemaksaan, ancaman dan penyiksaan terhadap diri terdakwa, maka alasan pencabutan tidak dibenarkan, sehingga keterangan pengakuan terdakwa yang tercantum dalam BAP tetap dianggap benar dan hakim dapat mempergunakannya sebagai alat untuk membantu menemukan bukti di sidang pengadilan (M. Yahya Harahap, 2003: 326).

Begitu besarnya pengaruh keterangan saksi verbalisan terhadap diterima atau tidaknya pencabutan keterangan terdakwa, membuat kedudukan keterangan saksi verbalisan menjadi sangat penting, terutama bagi hakim.

Melihat begitu besarnya peranan keterangan saksi verbalisan dalam masalah pencabutan ini, maka penulis merasa perlu untuk mengkaji dasar-dasar yang menjadi landasan hakim dalam mempercayai keterangan saksi verbalisan tersebut, karena hakim tentunya mempunyai dasar yang kuat dalam mempercayai keterangan saksi verbalisan.

Pada dasarnya seorang hakim tidak boleh langsung mempercayai  keterangan saksi verbalisan, karena mungkin saja keterangan dari penyidik juga terdapat unsur kebohongan, untuk menghindari hal tersebut hakim memilik beberapa prinsip yang menjadi landasan hakim dalam menilai kebenaran keterangan saksi verbalisan, antara lain yaitu:

a)      Dengan disumpah;

Sumpah dilakukan menurut agama atau keyakinan saksi verbalisan, sumpah bertujuan agar saksi verbalisan dalam memberikan keterangannya tidak berdusta. Karena sumpah dilakukan atas nama Tuhan, maka diyakini bahwa setelah disumpah saksi verbalisan tidak akan memberikan keterangan bohong (lie) maupun keterangan palsu (perjury), dengan asumsi bila saksi verbalisan memberikan keterangan bohong atau palsu, maka akan mendapatkan hukuman langsung dari Tuhan.

Namun demikian, ternyata sumpah saja tidak cukup untuk membuktikan kebenaran keterangan saksi verbalisan dan tidak menjamin sepenuhnya kebenaran keterangan saksi verbalisan, karena pada kenyataannya masih mungkin saksi verbalisan memberikan keterangan bohong maupun keterangan palsu meskipun telah disumpah. Terlepas dari hal demikian, setidaknya sumpah mampu memberikan tambahan keyakinan bagi Hakim dalam menilai dan mempercayai kebenaran keterangan saksi verbalisan.

b)     Menghubungkan keterangan saksi verbalisan dengan alat-alat bukti lainnya;

Hakim tidak serta merta mempercayai keterangan saksi verbalisan, karena tidak tertutup kemungkinan  saksi verbalisan dapat memberikan keterangan bohong maupun keterangan palsu meskipun telah disumpah. Oleh karena itu sekedar sumpah saja tidaklah cukup bagi hakim untuk mempercayai keterangan saksi verbalisan, melainkan harus didukung oleh keterangan alat-alat bukti lain yang mengacu pada kebenaran keterangan saksi verbalisan.

Dengan adanya kesesuaian antara keterangan saksi verbalisan dengan keterangan alat-alat bukti lain, hakim akan merasa lebih yakin dalam mempercayai keterangan saksi verbalisan. Sehingga penting bagi hakim untuk melakukan analisa dan mencari keterkaitan antara keterangan saksi verbalisan dengan keterangan alat-alat bukti lainnya, guna mendapatkan sebenar-benarnya keyakinan atas kebenaran keterangan saksi verbalisan.

c)      Kepercayaan atas kode etik korps jabatan.

Setiap penegak hukum pasti memiliki etika profesi sesuai dengan jabatannya. Selain itu penegak hukum juga berkewajiban melaksanakan jabatannya sesuai dengan kode etik profesinya. Bagi penegak hukum sendiri, ada kode etik yang harus ditaati dan dijunjung tinggi sebagai pedoman dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum.

Salah satu kode etik korps penegak hukum adalah kewajiban untuk berlaku jujur, saling menghormati dan saling membantu antara sesama penegak hukum. Berdasarkan hal ini kiranya dapat dimengerti bahwa sebagai penegak hukum hakim dan penyidik (polisi) harus saling percaya, saling menghormati dan saling membantu atau bekerja sama dalam menegakkan hukum.

Atas dasar tersebut hakim merasa dapat mempercayai keterangan saksi verbalisan, karena hakim menilai bahwa penyidik dalam memberikan keterangan pastilah dilandasi dengan kode etik korps penegak hukum yaitu kejujuran, sehingga tidak mungkin akan memberikan keterangan bohong atau keterangan palsu yang dapat mencoreng kehormatan korps penegak hukum.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa sebenarnya hakim tidak boleh serta-merta mempercayai keterangan saksi verbalisan, dan menjadikannya sebagai dasar penolakan pencabutan keterangan terdakwa, karena jika hakim hanya mempercayai keterangan saksi verbalisan saja, maka dapat dikatakan hakim cenderung tidak adil karena sifatnya yang subyektif atau sepihak.

Apabila hakim mempercayai keterangan saksi verbalisan tanpa mempertimbangkan hal-hal lain, dikhawatirkan dapat merugikan terdakwa dalam pembelaan diri. Untuk itu hakim perlu memikirkan pertimbangan-pertimbangan lain, termasuk isi hati nuraninya sendiri, sebelum memutuskan menerima keterangan saksi verbalisan tersebut.

2)      Unsur peninjauan terhadap pembelaan terdakwa.

Selain keterangan saksi verbalisan, yang menjadi dasar penolakan hakim atas pencabutan keterangan terdakwa Joko Kustiono alias Gepeng adalah adanya kejanggalan pada isi pembelaan terdakwa. Pada pembelaannya penasehat hukum terdakwa pada pokoknya memohon agar terdakwa diberikan ampunan dan keringanan seringan-ringannya, sementara terdakwa sendiri secara lisan mohon supaya dijatuhi hukuman yang seringan-ringannya, dengan alasan menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi.

Dari isi pembelaan tersebut diketahui, bahwa secara tidak langsung terdakwa telah mengakui perbuatannya sebagaimana dakwaan penuntut umum, karena logikanya bila terdakwa memang benar-benar tidak melakukan tindak pidana, pasti dalam pembelaannya akan memuat permohonan untuk dibebaskan dari segala tuntutan. Sedangkan dalam pembelaan terdakwa Joko Kustiono alias Gepeng ini, yang termuat adalah permohonan untuk dijatuhi hukuman yang seringan-ringannya, isi pembelaan ini sangat berlawanan dengan sikap terdakwa yang selama persidangan bersikeras menganggap dirinya tidak melakukan tindak pidana perkosaan sebagaimana dakwaan penuntut umum.

Dengan adanya kejanggalan dalam pembelaan tersebut maka hakim menarik kesimpulan bahwa sebenarnya terdakwa mengakui perbuatannya sesuai dakwaan penuntut umum, walaupun tidak diucapkannya secara langsung. Dan berdasarkan hal ini pula, hakim merasa wajib untuk menolak pencabutan keterangan pengakuan terdakwa yang diberikan pada saat pemeriksaan penyidikan.

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam perkara Joko Kustiono alias Gepeng ini, hakim membuktikan alasan pencabutan keterangan terdakwa dengan mencari petunjuk melalui klarifikasi dengan saksi verbalisan dan melalui peninjauan terhadap isi pembelaan terdakwa. Setelah melakukan peninjauan terhadap dua hal tersebut pada akhirnya hakim cukup merasa yakin untuk memutuskan bahwa alasan pencabutan keterangan terdakwa tersebut tidak dapat diterima karena tidak beralasan atau tidak terbukti kebenarannya.

Menurut pendapat penulis, pertimbangan hakim yang menolak pencabutan keterangan terdakwa hanya dengan dasar petunjuk dari keterangan saksi verbalisan dan isi pembelaan sangatlah riskan dan dikhawatirkan dapat merugikan terdakwa dalam  pembelaan diri.

Oleh karena itu, sebaiknya hakim mencari pertimbangan-pertimbangan lain sebelum memutuskan menerima atau menolak pencabutan keterangan terdakwa, dari pada sekedar mempertimbangkan keterangan saksi verbalisan dan isi pembelaan, walaupun keterangan saksi verbalisan dan peninjauan terhadap isi pembelaan juga cukup penting, namun akan lebih baik bila hakim mencari pertimbangan-pertimbangan lain agar dalam mempertimbangkan alasan penolakan pencabutan dapat lebih mantap dan utuh tanpa keragu-raguan.

Adapun yang masih dapat dijadikan pertimbangan oleh hakim sebelum memutuskan menerima atau menolak pencabutan keterangan terdakwa, adalah dengan mempertimbangkan secara seksama semua alat bukti dan fakta maupun keadaan yang ditemukan selama persidangan berlangsung atau dengan kata lain hakim harus menganalisa keterkaitan hubungan antar tiap-tiap alat bukti, barang bukti dan keadaan selama persidangan berlangsung. 

Menilai alasan pencabutan keterangan pengakuan, memerlukan kearifan dan ketelitian, hal ini sering dilupakan oleh hakim. Kadang kala penolakan hakim atas pencabutan, hanya didasari oleh keterangan saksi verbalisan semata tanpa mempertimbangkan keadaan-keadaan lain di sekitarnya.

Dalam menghadapi adanya pencabutan pengakuan dari terdakwa, hakim dituntut memiliki kemampuan kecakapan hukum dan keterampilan penguasaan yang matang akan seluk-beluk pembuktian dan penilaian kekuatan pembuktian yang diatur dalam hukum acara pidana serta dipadu dengan intuisi dan “seni mengadili”. Jika semua ini dimiliki hakim, maka hakim akan mampu menilai dan mempertimbangkan alasan pencabutan dengan mantap dan utuh (M. Yahya Harahap, 2003: 326).

Karena masalah pencabutan keterangan pengakuan terdakwa di muka penyidik terletak sepenuhnya di pundak hakim, maka hakim harus sungguh-sungguh mempertimbangkan pencabutan ini secara arif dan bijaksana. Salah satunya adalah dengan melihat dan mencari keterkaitan hubungan antar tiap-tiap alat bukti, barang bukti dan fakta-fakta selama persidangan berlangsung.

Dengan melakukan penilaian dan mencari hubungan yang ada pada tiap-tiap alat bukti, barang bukti, dan fakta-fakta yang ada selama persidangan berlangsung hakim akan memperoleh petunjuk yang berguna dalam mempertimbangkan diterima atau tidaknya pencabutan tersebut, lebih dari itu hakim akan memperoleh keyakinan dalam menilai kesalahan terdakwa, sehingga tidak ada keraguan dalam diri hakim saat menjatuhkan putusan pidana.

Sebagai gambaran pentingnya hakim untuk mencari keterkaitan antar tiap-tiap alat bukti, barang bukti dan fakta-fakta yang ada selama persidangan dalam menyikapi pencabutan keterangan pengakuan oleh terdakwa, dapat dilihat dari kasus Joko Kustiono alias Gepeng sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.

Dalam kasus ini terdakwa Joko Kustiono alias Gepeng di sidang pengadilan menyangkal semua dakwaan penuntut umum, dan mencabut pengakuannya yang tertuang dalam BAP, akan tetapi setelah dilakukan pemeriksaan terhadap alat-alat bukti ternyata tidak ada satu pun alat bukti yang mendukung penyangkalan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari hasil pemeriksaan alat-alat bukti sebagai berikut:

a)      Keterangan saksi korban Agustin Setyawati.
Dari hasil pemeriksaan terhadap saksi Agustin Setyawati diperoleh keterangan bahwa. Pada intinya benar saksi telah diperkosa dan yang melakukan perkosaan tersebut adalah terdakwa Joko Kustiono.

b)     Keterangan saksi Suyadi.
Dari hasil pemeriksaan terhadap saksi Suyadi di peroleh keterangan bahwa, saksi tahu anaknya diperkosa dari keterangan tetangganya dan dari keterangan terdakwa waktu di kantor polisi.

c)      Keterangan saksi Nanik Setyawati.
Dari hasil pemeriksaan terhadap saksi Nanik Setyawati di peroleh keterangan bahwa, saksi mendengar sendiri dari saksi korban bahwa korban telah diperkosa oleh terdakwa sampai 4 (empat) kali.

d)     Keterangan saksi Suroto Marto Wiharjo.
Dari hasil pemeriksaan terhadap saksi Suroto Marto Wiharjo diperoleh keterangan bahwa, saksi tahu korban Agustin Setyawati diperkosa oleh terdakwa dari keterangan korban sendiri berdasarkan pertanyaan saksi Suroto kepada korban.

e)      Keterangan saksi verbalisan Dewa Nyoman Putra
Dari hasil pemeriksaan terhadap saksi verbalisan di peroleh keterangan bahwa, benar terdakwa Joko Kustiono alias Gepeng dihadapan Penyidik mengaku dengan memberikan keterangan secara jelas bahwa terdakwa telah memperkosa Agustin Setyawati.

f)      Keterangan saksi ahli Dr. Naniek Darwati.
Dari hasil pemeriksaan terhadap saksi ahli di peroleh keterangan bahwa, benar dari hasil pemeriksaan, saksi ahli menemukan luka baru akibat bersentuhan dengan benda tumpul pada selaput dara alat kelamin korban dan juga terdapat sisa sperma pada liang vagina korban.

g)     Barang bukti.
Celana dalam korban Agustin Setyawati warna kusam yang terdapat bekas sperma.

Dari hasil pemeriksaan alat-alat bukti di pengadilan tersebut, diketahui bahwa pada pokoknya semua keterangan alat bukti memberikan keterangan yang sama, yaitu mengarahkan bahwa pelaku perkosaan adalah terdakwa Joko Kustiono alias Gepeng.

Akan tetapi, keterangan saksi saja belum dapat memberikan keyakinan yang utuh kepada hakim tentang kesalahan terdakwa, terlebih lagi dengan tidak adanya seorang saksi pun yang mengetahui dan secara langsung melihat terjadinya tindak pidana perkosaan.

Menghadapi keadaan seperti ini hakim dituntut untuk jeli dan cermat dalam menilai dan mempelajari tiap-tiap alat bukti, karena dengan kejelian dan kecermatan tersebut, hakim akan mampu melihat persesuaian yang ada antara alat bukti, barang bukti dan fakta-fakta yang ada selama persidangan berlangsung. Berdasarkan persesuaian tersebut, hakim akan menemukan petunjuk baru yang dapat memperkuat alasan hakim dalam melakukan penolakan pencabutan keterangan terdakwa.

Hasil pemeriksaan yang dapat digunakan hakim untuk mendapatkan petunjuk kasus Joko Kustiono alias Gepeng adalah:
a)      Keterangan saksi korban yang mengatakan bahwa benar dirinya telah diperkosa oleh terdakwa.
b)     Keterangan semua saksi yang mengarah pada kesalahan terdakwa.
c)      Hasil visum et repertum yang menunjukan adanya indikasi telah terjadi perkosaan terhadap diri korban, yaitu ditemukannya luka baru pada alat kelamin korban akibat benda tumpul.
d)     Adanya barang bukti berupa celana dalam milik korban yang masih ada bekas air mani.

Dengan mendapatkan petunjuk baru tersebut setidaknya hakim akan lebih yakin dalam menguraikan alasan penolakannya terhadap pencabutan keterangan terdakwa. Sebab setidaknya ada petunjuk baru yang memperkuat petunjuk awal, petunjuk awal adalah petunjuk yang diperoleh hakim dari hasil peninjauan terhadap keterangan saksi verbalisan dan terhadap peninjauan isi pembelaan terdakwa (M. Yahya Harahap, 2003: 326).
           
Dari hasil pembahasan terhadap kasus Joko Kustiono alias Gepeng, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya yang menjadi sebab ditolaknya pencabutan oleh hakim adalah karena tidak terbuktinya alasan yang menjadi dasar pencabutan tersebut, dimana setelah hakim melakukan persesuaian dalam persidangan terhadap alat-alat bukti, barang bukti dan fakta-fakta lain yang ada dalam persidangan, ternyata tak satu pun yang dapat membenarkan alasan pencabutan tersebut.

Berdasarkan seluruh uraian di atas dan dari hasil penelitian di Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta dapat ditarik kesimpulan bahwa pada prinsipnya pencabutan keterangan terdakwa dalam persidangan boleh dilakukan oleh terdakwa, dengan syarat pencabutan dilakukan selama pemeriksaan persidangan pengadilan berlangsung dan disertai dengan alasan yang mendasar dan logis.

Alasan yang mendasar dan logis tersebut mengandung arti bahwa alasan yang menjadi dasar pencabutan tersebut harus dapat dibuktikan kebenarannya dan diperkuat atau didukung oleh bukti-bukti lain yang menunjukkan bahwa alasan pencabutan tersebut benar dan dapat dibuktikan oleh hakim.

B.    Implikasi Yuridis Pencabutan Keterangan Terdakwa dalam Persidangan Terhadap Kekuatan Alat Bukti

Pada pembahasan di atas telah dijelaskan bahwa pada dasarnya keterangan pengakuan yang diberikan di tingkat penyidikan, dapat dicabut kembali oleh terdakwa di persidangan. Bahkan undang-undang pun tidak membatasi hak terdakwa untuk mencabut kembali keterangan yang demikian, asalkan pencabutan tersebut dilakukan selama pemeriksaan persidangan pengadilan berlangsung dan disertai dengan alasan yang mendasar dan logis.

Suatu hal yang penting untuk diingat, hakim tidak boleh secara sembrono menolak atau menerima begitu saja alasan pencabutan. Terlampau gampang menolak alasan pencabutan, berarti hakim yang bersangkutan, dengan sengaja merugikan kepentingan terdakwa dalam pembelaan diri. Sebaliknya terlalu gampang menerima alasan pencabutan, mengakibatkan terdakwa yang benar-benar bersalah akan dibebaskan dari pertanggung jawaban hukum, karena tidak jarang dijumpai kasus perkara yang tumpuan pembuktiannya tersimpul dalam pengakuan berita acara penyidikan. Artinya kunci yang membukakan pintu pembuktian sering harus dimulai dari keterangan pengakuan yang diberikan terdakwa dalam berita acara penyidikan.

Terlepas dari diterima atau tidaknya pencabutan keterangan terdakwa oleh hakim, dengan adanya pencabutan tersebut pasti akan mempengaruhi proses persidangan di pengadilan. Oleh karena itu perlu kesiapan dari hakim dan jaksa, terutama dalam hal penguasaan seluk-beluk pembuktian dan “seni mengadili”. Hal ini penting mengingat pengaruh pencabutan tersebut sangat luas mulai dari penilaian pembuktian sampai pada putusan.

Implikasi dari adanya pencabutan keterangan terdakwa terhadap kekuatan alat bukti, dapat diketahui setelah adanya penilaian hakim terhadap alasan pencabutan tersebut, apakah hakim menerima atau menolak alasan pencabutan dari terdakwa? Apabila hakim menerima alasan pencabutan, berarti keterangan yang terdapat dalam berita acara penyidikan dianggap “tidak benar” dan keterangan itu tidak dapat dipergunakan sebagai landasan untuk membantu menemukan bukti di sidang pengadilan. Sebaliknya, apabila alasan pencabutan tidak dapat dibenarkan maka keterangan pengakuan yang tercantum dalam berita acara penyidikan tetap dianggap benar dan dapat dipergunakan sebagai landasan untuk membantu menemukan bukti di sidang pengadilan (M.Yahya Harahap, 2003: 326).

Bila pencabutan keterangan pengakuan terdakwa ditolak oleh hakim, karena dinilai alasan pencabutan keterangan tidak berdasar dan tidak logis, maka penolakan tersebut ikut membawa dampak bagi kekuatan alat bukti keterangan terdakwa itu sendiri, yaitu dengan ditolaknya pencabutan kembali tersebut, Hakim menilai bahwa keterangan terdakwa (tersangka) di depan penyidiklah yang mengandung unsur kebenaran dan mempunyai nilai pembuktian, sedangkan keterangan terdakwa di persidangan yang menyangkal semua isi BAP dinilai tidak benar dan tidak ada nilainya sama sekali dalam pembuktian.

Atas penilaian ini, Hakim kemudian menganggap keterangan terdakwa (tersangka) di depan penyidik (BAP) dapat digunakan sebagai petunjuk untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Karena pada dasarnya dengan ditolaknya pencabutan tersebut berarti pengakuan-pengakuan terdakwa yang tertulis dalam BAP diterima sebagai suatu kebenaran yang sangat membantu hakim dalam membuktikan kesalahan terdakwa.

Penggunaan keterangan pengakuan terdakwa sebagai petunjuk ini dipertegas dengan putusan Mahkamah Agung tanggal 20 September 1977 No. 177 K/Kr/1965, yang menegaskan:

“Bahwa pengakuan-pengakuan para Terdakwa I dan II di muka polisi dan jaksa, ditinjau dalam hubungannya satu sama lain, dapat dipergunakan sebagai petunjuk untuk menetapkan kesalahan terdakwa”.

Isi putusan Mahkamah Agung di atas mengandung kaidah bahwa keterangan pengakuan yang diberikan di luar sidang, dapat dipergunakan hakim sebagai “petunjuk” untuk menetapkan kesalahan terdakwa (M. Yahya Harahap, 2003: 326).

Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa dengan ditolaknya pencabutan keterangan yang ada dalam BAP, maka terhadap keterangan yang tertulis dalam BAP tersebut, oleh hakim kemudian dijadikan petunjuk dalam menetapkan kesalahan terdakwa. Adapun pertimbangan hakim menggunakan keterangan dalam BAP sebagai petunjuk, adalah karena keterangan tersebut secara utuh menggambarkan kejadian peristiwa pidana yang didakwakan. Keutuhan ini mampu melengkapi dan menegaskan alat bukti yang ditemukan dalam persidangan pengadilan. Dengan kata lain, kedudukan keterangan pengakuan yang diberikan terdakwa  di depan pemeriksaan penyidikan, tidak bisa berdiri sendiri. Fungsinya hanya dapat dipergunakan sebagai petunjuk untuk menyempurnakan pembuktian alat bukti lain. Atau berfungsi dan bernilai “untuk mencukupi dan “mengungkapkan” keterbuktian kesalahan terdakwa (M. Yahya Harahap, 2003: 327).

Demikian halnya dengan kasus Joko Kustiono, dimana pencabutan keterangan yang dilakukan terdakwa Joko Kustiono, ditolak oleh Hakim dengan dasar bahwa alasan pencabutan tersebut tidak terbukti kebenarannya, karena setelah dilakukan cross check dengan saksi verbalisan dan setelah Hakim melakukan pengamatan atas fakta-fakta dan alat-alat bukti dalam persidangan ternyata tidak satu pun yang dapat membenaran alasan pencabutan keterangan pengakuan tersebut. Bahkan dengan ditolaknya pencabutan tersebut, Hakim kemudian menjadikan keterangan dalam BAP sebagai petunjuk dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Sebagaimana yang diutarakan oleh Adnan Paslyadja (1997: 73) yang menjelaskan bahwa penyangkalan terdakwa yang melalui alat bukti lain dapat dibuktikan sebagai kebohongan dapat di terima sebagai alat bukti petunjuk. Sehingga, dengan tidak ada satu pun alat bukti yang mendukung pencabutan keterangan oleh terdakwa, maka keadaan ini dapat dijadikan petunjuk bagi hakim dalam menilai atau membuktikan kesalahan terdakwa.

Sehingga dapat ditarik kesimpulan, bahwa implikasi dari ditolaknya pencabutan, terhadap kekuatan alat bukti keterangan terdakwa adalah, hakim akan menilai keterangan terdakwa di sidang pengadilan sebagai suatu keterangan yang tidak mengandung unsur kebenaran dan tidak ada nilainya sama sekali dalam pembuktian (tidak dapat digunakan sebagai alat bukti). 

Sedangkan bila pencabutan keterangan pengakuan terdakwa diterima hakim, karena alasan pencabutan yang dapat dibuktikan kebenarannya, hal ini juga akan membawa dampak bagi kekuatan alat bukti keterangan terdakwa itu sendiri, yaitu dengan diterimanya pencabutan tersebut, hakim akan menilai bahwa keterangan terdakwa di persidanganlah yang mempunyai nilai kebenaran dan dapat digunakan dalam pembuktian, sedangkan terhadap  keterangan terdakwa (tersangka) di depan penyidik (BAP) dinyatakan tidak benar dan tidak ada nilainya sama sekali dalam pembuktian.

Kesimpulannya, bahwa implikasi dari diterimanya pencabutan, terhadap kekuatan alat bukti keterangan terdakwa adalah, hakim akan menilai keterangan terdakwa di sidang pengadilan sebagai suatu keterangan yang mengandung unsur kebenaran dan dapat digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan. 

Kesimpulan akhir dari seluruh uraian di atas, bahwa implikasi dari pencabutan keterangan terdakwa dalam persidangan terhadap kekuatan alat bukti keterangan tersangka adalah:

1       Apabila pencabutan tersebut diterima oleh hakim, maka konsekuensi yuridisnya adalah keterangan terdakwa dalam persidangan pengadilan dapat digunakan sebagai alat bukti dan keterangan terdakwa (tersangka) di tingkat penyidikan tidak dapat digunakan sama sekali untuk menemukan bukti di persidangan karena isinya yang dinilai tidak benar.
2       Sedangkan apabila pencabutan ditolak oleh hakim, maka konsekuensi yuridisnya adalah keterangan terdakwa dalam persidangan pengadilan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti, justru keterangan terdakwa (tersangka), di tingkat penyidikanlah (BAP) yang kemudian dapat digunakan dalam membantu menemukan bukti di persidangan.

BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan


Dari perumusan masalah yang penulis kemukakan serta pembahasannya baik yang berdasarkan atas teori maupun data-data yang penulis dapatkan selama mengadakan penelitian, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:

Bahwa pada prinsipnya pencabutan keterangan terdakwa dalam persidangan boleh dilakukan oleh terdakwa, dengan syarat pencabutan dilakukan selama pemeriksaan persidangan pengadilan berlangsung dan harus disertai dengan alasan yang mendasar dan logis. Alasan yang mendasar dan logis tersebut mengandung arti bahwa alasan yang menjadi dasar pencabutan tersebut harus dapat dibuktikan kebenarannya dan diperkuat atau didukung oleh bukti-bukti lain yang menunjukkan bahwa alasan pencabutan tersebut benar dan dapat dibuktikan oleh hakim.

Implikasi dari pencabutan keterangan terdakwa dalam persidangan terhadap kekuatan alat bukti keterangan tersangka adalah:

1       Apabila pencabutan diterima oleh hakim, maka keterangan terdakwa dalam persidangan pengadilan dapat digunakan sebagai alat bukti dan keterangan terdakwa (tersangka) di tingkat penyidikan tidak digunakan sama sekali untuk menemukan bukti di persidangan karena isinya yang dinilai tidak benar.

2           Sedangkan apabila pencabutan ditolak oleh hakim, maka keterangan terdakwa dalam persidangan pengadilan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti, justru keterangan terdakwa (tersangka), di tingkat penyidikanlah (BAP) yang kemudian dapat digunakan dalam pembuktian.
72

 
 


Saran


Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka sebagai akhir dari seluruh tulisan ini, dapat diajukan saran-saran sebagai berikut:

Hakim hendaknya dalam menolak atau menerima pencabutan keterangan terdakwa harus bersikap hati-hati, arif dan bijaksana. Tidak sembrono dan sewenang-wenang. Harus lebih dulu dengan teliti mengadakan pemeriksaan yang menyeluruh secara cermat dan seksama termasuk mengedepankan sanubari dan hati nuraninya. Jangan hanya bersandar pada kebiasaan-kebiasaan yang bersifat formal di persidangan Keserampangan hakim dalam menolak atau menerima pencabutan keterangan terdakwa, dapat merugikan pembelaan terdakwa.

TINJAUAN TENTANG PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM PERSIDANGAN DAN IMPLIKASI YURIDISNYA
TERHADAP KEKUATAN ALAT BUKTI
(Studi Kasus di Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta)

UNS_LOGO
 









Penulisan Hukum
(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Syarat-syarat
Guna Memperoleh Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta


Oleh:
ANDRE AGUS SETIAWAN
NIM: E 0002071


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2006
PERSETUJUAN


Penulisan Hukum (Skripsi) ini telah disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.



















Dosen Pembimbing Skripsi



Bambang Santoso, S.H., M. Hum.
NIP. 131 863 797
PENGESAHAN

Penulisan Hukum (Skripsi) ini telah diterima dan dipertahankan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada          :
Hari           : Sabtu Kliwon
Tanggal     : 28 Januari 2006


DEWAN PENGUJI


(1)……………………………………..                   ( ­­­­­­­­­­­­­­Kristyadi, S.H., M.Hum )
                                                           
(2)……………………………………..                ( Edy Herdyanto, S.H., M.H. )
                                                           
(3)……………………………………..            ( Bambang Santoso, S.H., M.Hum )
                                                                                               




Mengetahui
Dekan


(Dr. Adi Sulistiyono, S.H., M.H.)
NIP. 131 793 333
MOTTO


$ygƒr'¯»tƒ z`ƒÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qãYÏètGó$# ÎŽö9¢Á9$$Î/ Ío4qn=¢Á9$#ur 4 ¨bÎ) ©!$# yìtB tûïÎŽÉ9»¢Á9$# ÇÊÎÌÈ
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat
sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah
beserta orang-orang yang sabar”
(Al Baqarah: 153).

“Mengapa manusia dapat terjatuh,
agar ia dapat segera bangkit”
(Thomas Wayne)










PERSEMBAHAN

Penulisan hukum ini kupersembahkan untuk:
Orangtuaku,
Saudara Seperguruan,
Almamaterku

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala rahmat dan hidayahnya yang telah memberikan kelapangan dan kemudahan di dalam penulisan hukum ini serta dengan mengucap syukur alhamdulillah, penulisan hukum (skripsi) yang berjudul “TINJAUAN TENTANG PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM PERSIDANGAN DAN IMPLIKASI YURIDISNYA TERHADAP KEKUATAN ALAT BUKTI (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI KELAS IA SURAKARTA)” dapat Penulis selesaikan.

Penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana ketentuan hukum pencabutan keterangan terdakwa dalam persidangan, dalam hal ini di Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta serta guna mengetahui bagaimana implikasi yuridis dari pencabutan keterangan terdakwa terhadap kekuatan alat bukti.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik materiil maupun non materiil sehingga penulisan hukum ini dapat diselesaikan, terutama kepada:
1.      Bapak Dr. Adi Sulistiyono, S.H., M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2.      Bapak Bambang Santoso, S.H, M.Hum, selaku Pembimbing Penulisan Hukum (Skripsi) yang telah menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan bagi penulis dalam menyusun Penulisan Hukum (Skripsi) ini.
3.      Bapak Waluyo, S.H, M.Si, selaku Pembimbing Akademis, yang telah memberikan nasehat, motivasi dan ilmu yang berguna bagi penulis selama menempuh perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4.      Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah menyalurkan pengetahuan dibidang ilmu hukum kepada penulis sehingga dapat menjadi bekal dalam penyusunan penulisan hukum (skripsi) ini dan semoga dapat segera penulis amalkan.
5.      Bapak Suroso, S.H, selaku Ketua Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta yang telah memberi ijin untuk melakukan penelitian dan memperoleh data-data yang penulis butuhkan.
6.      Bapak M. Kadarisman, S.H, selaku Hakim Pembimbing yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dalam melakukan penelitian di Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta.
7.      Bapak Agus Mulyadi, S.H, Bapak Eko S.H, Bapak Ari K S.H, beserta seluruh staf Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta yang telah banyak membantu penulis dalam melakukan penelitian maupun dalam mencari data.
8.      Keluarga Alm. Permadi Winoto tercinta, walaupun jauh namun doa, kasih sayang dan pengorbanan kalian sangat berarti bagi terselesaikannya penulisan hukum ini.
9.      Keluarga Bapak Drs. Agus Widodo terhormat, terima kasih atas segala doa, cinta kasih serta pengorbanan yang tak ternilai kepada penulis dalam menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
10.  Semua sahabatku yang berkaki dua maupun berkaki empat, yang telah membantu menghilangkan kejenuhan dan “refreshing my little brain”

Mengingat keterbatasan kemampuan diri penulis, penulis sadar bahwa penulisan hukum (skripsi) ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu adanya saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca sangat penulis harapkan.

Akhir kata penulis berharap semoga penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua, terutama untuk perkembangan hukum acara pidana, kalangan akademisi, praktisi serta masyarakat umum.


    Surakarta, 12 Januari 2006

Penulis
DAFTAR ISI

                                                                                                            Halaman

HALAMAN JUDUL.…………………………………………………...          i
HALAMAN PERSETUJUAN.…………………………………………         ii
HALAMAN PENGESAHAN.………………………………………….        iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN.……………………….         iv
KATA PENGANTAR.………………………………………………….         v
DAFTAR ISI.……………………………………………………………      vii
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL.…………………………………...          x
DAFTAR LAMPIRAN.………………………………………………...       xi
ABSTRAK.……………………………………………………………...       xii

BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah ……………………………………………         1
B.     Perumusan Masalah.………………………………………………..           8
C.     Tujuan Penelitian.…………………………………………………..           9
D.    Manfaat Penelitian…………………………………………….…….         9
E.     Metode Penelitian…………………………………………………...        10
1.      Jenis Penelitian………………………………………………….          11
2.      Lokasi Penelitian………………………………………….…….          12
3.      Jenis Data……………………………………………………….          12
4.      Sumber Data…………………………………………………….        13
5.      Teknik Pengumpulan Data……………………………….……..          13
6.      Teknik Analisis Data……………………………………………          13
F.      Sistematika Penulisan Hukum (Skripsi)…………………………….         17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.  Kerangka Teori………………………………………………………        19
1.   Tinjauan Umum tentang Pembuktian……………………………        19
a.       Pengertian Pembuktian...........................................................         19
b.      Prinsip-Prinsip Pembuktian...................................................           20
c.       Teori-Teori atau Sistem Pembuktian......................................         23
d.      Alat-Alat Bukti Yang Sah Dalam Pembuktian Hukum
Acara Pidana...........................................................................         26
          
2.   Tinjauan Umum tentang Alat Bukti Keterangan Terdakwa….…         28      
a.       Dasar Hukum Alat Bukti Keterangan Terdakwa...................        28
b.      Pengertian Terdakwa dan Tersangka.....................................          28
c.       Pengertian Alat Bukti Keterangan Terdakwa........................          29
d.      Asas Penilaian Keterangan Terdakwa....................................         31
e.       Keterangan Terdakwa Saja Tidak Cukup Membuktikan
Kesalahannya.........................................................................          33
f.       Keterangan Terdakwa Di Luar Sidang
(The Conffesion Outside The Court).....................................          33
g.      Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Terdakwa...............         34

B.  Kerangka Pemikiran………………………………………………...          37

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.  Pencabutan Keterangan Terdakwa Dalam Persidangan
(di Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta)…………………………         38
1.      Deskripsi Kasus…………………………………………………         38
a.       Posisi Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA
Surakarta Nomor: 306/Pid.B/2003/PN.Ska…………………         38
b.      Dakwaan Jaksa Penuntut Umum……………………….…...         39
c.       Tuntutan Jaksa Penuntut Umum…………………………….         39
d.      Pembelaan Terdakwa………………………………………..         43
e.       Pertimbangan-Pertimbangan Hakim ………………………..         43
f.       Putusan………………………………………………………        48

2.      Pembahasan ..................................................................................        48

B.  Implikasi Yuridis Pencabutan Keterangan Terdakwa Terhadap
Kekuatan Alat Bukti………………………………………………...         67 
    
BAB IV PENUTUP
A.    Kesimpulan……………………………………………………………     72
B.     Saran…………………………………………………………………..      73

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN





DAFTAR GAMBAR DAN TABEL

       Halaman
GAMBAR
Gambar 1.1     Komponen-Komponen Analisis Data
(Model Interaktif)…………….…………………………        15
Gambar 1.2     Kerangka Pemikiran……………………………………..        37





DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran         I           Surat Permohonan Ijin Penelitian.
Lampiran         II         Surat Keterangan Penelitian.
Lampiran         III        Berita Acara Persidangan No: 306/Pid.B/PN.Ska.
                                    (Pemeriksaan persidangan terhadap terdakwa) 
Lampiran         IV        Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta
                                    No. 306/Pid.B/2003/Pn.Ska.
Lampiran         V         Berkas Perkara Penyidikan NO.POL: BP/307/XI/2003.
                                    (Pemeriksaan penyidikan kepolisian terhadap terdakwa)

Adnan Paslyadja. 1997. Hukum Pembuktian. Jakarta: Pusat Diktat Kejaksaan Republik Indonesia.
Andi Hamzah. 2002. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Bambang Poernomo. Pola Dasar Teori-Asas Umum Hukum Acara Pidana Dan Penegakan Hukum Pidana. Yogyakarta: Liberty.
Bambang Waluyo. 1992. Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Burhan Ashshofa. 2000. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.
Darwan Prinst. 1998. Hukum Acara Pidana Dalam Praktik. Jakarta: Djambatan.
Erni Widhayanti. 1988. Hak-hak Tersangka/Terdakwa di dalam KUHAP. Yogyakarta: Liberty.
G. W. Bawengan. 1989. Penyelidikan Perkara Pidana dan Teknik Interogasi. Jakarta: Pradnya Paramita.
Hamrat Hamid dan Hasan M. Husein. 1991. Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang Penuntutan dan Eksekusi: Dalam Tanya jawab. Jakarta: Sinar Grafika.
Hari Sasangka dan Lily Rosita.2003. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana. Bandung: Mandar Maju.
_____________. 2003. Komentar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Bandung: Mandar Maju.
Heribertus Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Hilman Hadikusuma. 1995. Metode Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum. Bandung: Mandar Maju.
Martiman Prodjohamidjojo. 1984. Komentar Atas KUHAP: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Jakarta: Pradnya Paramita.
M. Yahya Harahap. 2003. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemerikasaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika.
Matthew B. Milles dan A. Michael Hubberman. 1992. Analisis Data Kualitatif (diterjemahkan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi). Jakarta: UI-Press.
Moch Faisal Salam. 2001. Hukum Acara Pidana Dalam dan Praktek. Bandung: Mandar Maju.
Moeljatno. 2001. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi Aksara.
Satjipto Rahardjo. 1982. Ilmu Hukum. Bandung: Alumni.
Sinar Grafika. 2000. KUHAP dan KUHP. Jakarta: Sinar Grafika.
Slamet Soeseno. 1986. Teknik Penulisan Ilmiah Populer. Jakarta: Gramedia.
Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Subekti.  2001. Hukum Pembuktian. Jakarta: Pradnya Paramita.











0 komentar:

Post a Comment

 

Pengikut

Copyright © ZONA SKRIPSI All Rights Reserved • Design by Dzignine
best suvaudi suvinfiniti suv