TINJAUAN TENTANG PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM
PERSIDANGAN DAN IMPLIKASI YURIDISNYA TERHADAP KEKUATAN ALAT BUKTI
(Studi Kasus di Pengadilan Negeri Klas IA Surakarta)
ABSTRAK
ANDRE AGUS SETIAWAN, E 0002071, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan Hukum
(Skripsi). 2006.
Penulisan hukum ini
bertujuan untuk mengetahui bagaimana ketentuan hukum dari pencabutan keterangan
terdakwa dalam persidangan pengadilan, dalam hal ini di Pengadilan Negeri Kelas
IA Surakarta serta mengetahui bagaimana implikasi yuridis dari pencabutan
keterangan terdakwa terhadap kekuatan alat bukti.
Penelitian hukum ini
merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dan apabila dilihat dari
tujuannya termasuk dalam penelitian hukum sosiologis. Lokasi penelitian di
Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta. Jenis data yang dipergunakan meliputi
data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan
meliputi: wawancara dan studi kepustakaan baik berupa buku-buku, peraturan
perundang-undangan, dokumen-dokumen dan sebagainya. Analisis yang digunakan
yaitu analisis data kualitatif dengan metode interaktif.
Berdasarkan penelitian ini
diperoleh hasil bahwa pencabutan keterangan terdakwa dalam putusan perkara perkosaan Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta Nomor: 306/Pid.B/2003/PN.Ska ditolak atau tidak dapat diterima oleh Majelis
Hakim karena pencabutan keterangan yang dilakukan oleh terdakwa Joko Kustiono
alias Gepeng dinilai tidak berdasar dan tidak logis. Alasan
yang mendasar dan logis tersebut mengandung arti bahwa alasan yang menjadi
dasar pencabutan tersebut harus dapat dibuktikan kebenarannya dan diperkuat
atau didukung oleh bukti-bukti lain yang menunjukkan bahwa alasan pencabutan
tersebut benar dan dapat dibuktikan oleh hakim. Implikasi yuridis dari pencabutan keterangan terdakwa terhadap kekuatan
alat bukti, adalah apabila pencabutan diterima oleh
hakim, maka keterangan terdakwa dalam persidangan pengadilan dapat digunakan
sebagai alat bukti dan keterangan terdakwa (tersangka) di tingkat penyidikan
tidak digunakan sama sekali untuk menemukan bukti di persidangan karena isinya
yang dinilai tidak benar. Sedangkan apabila pencabutan ditolak oleh hakim, maka
keterangan terdakwa dalam persidangan pengadilan tidak dapat digunakan sebagai
alat bukti, justru keterangan terdakwa (tersangka) di tingkat penyidikanlah
(BAP) yang kemudian dapat digunakan dalam pembuktian.
Implikasi
teoritis penelitian ini adalah bahwa secara yuridis pencabutan keterangan
terdakwa dibolehkan asalkan pencabutan dilakukan selama pemeriksaan persidangan
pengadilan berlangsung dan pencabutan itu mempunyai alasan yang berdasar dan
logis. Implikasi praktis dari penelitian ini adalah bahwa dengan adanya
pencabutan keterangan terdakwa dalam persidangan, dapat digunakan hakim sebagai
petunjuk dalam membuktikan kesalahan terdakwa di sidang pengadilan.
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah
Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas
kekuasaan belaka (machtsstaat). Pernyataan tersebut secara tegas
tercantum dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini menunjukkan
bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, Indonesia menerima hukum sebagai ideologi untuk menciptakan ketertiban,
keamanan, keadilan serta kesejahteraan bagi warga negaranya. Konsekuensi dari itu semua adalah bahwa hukum
mengikat setiap tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.
Hukum bisa dilihat
sebagai perlengkapan masyarakat untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan
dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu hukum bekerja dengan cara
memberikan petunjuk tentang tingkah laku dan karena itu pula hukum berupa norma
(Satjipto Rahardjo, 1982: 14). Hukum yang berupa norma dikenal dengan sebutan
norma hukum, dimana hukum mengikatkan diri pada masyarakat sebagai tempat
bekerjanya hukum tersebut.
Bila pada uraian di
atas dikatakan bahwa konsekuensi dari dianutnya hukum sebagai ideologi oleh
suatu negara adalah bahwa hukum mengikat setiap tindakan yang dilakukan oleh warga
negara Indonesia, maka hukum juga wajib memberikan timbal balik terhadap negara
yang menerimanya sebagai ideologi, dengan cara memperhatikan kebutuhan dan
kepentingan-kepentingan anggota-anggota masyarakat serta memberikan pelayanan
kepada masyarakat.
|
Dalam rangka memberikan
perhatian terhadap penciptaan keadilan dalam masyarakat serta memberikan
pelayanan terhadap kepentingan-kepentingan masyarakat, hukum tidak selalu bisa
memberikan keputusannya dengan segera, hukum membutuhkan waktu untuk menimbang-nimbang
yang bisa memakan waktu lama sekali, guna mencapai keputusan yang
seadil-adilnya dan tidak merugikan masyarakat.
Indonesia sebagai
negara hukum memiliki beberapa macam hukum untuk mengatur tindakan warga
negaranya, antara lain adalah hukum pidana dan hukum acara pidana. Kedua hukum
ini memiliki hubungan yang sangat erat, karena pada hakekatnya hukum acara
pidana termasuk dalam pengertian hukum pidana. Hanya saja hukum acara pidana
atau yang juga dikenal dengan sebutan hukum pidana formal lebih tertuju pada
ketentuan yang mengatur bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan
haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana. Sedangkan hukum pidana (materiil)
lebih tertuju pada peraturan hukum yang menunjukan perbuatan mana yang
seharusnya dikenakan pidana dan pidana apa yang dapat dijatuhkan kepada pelaku
tindak pidana tersebut.
Walaupun hukum dibuat
untuk suatu tujuan yang mulia, yaitu memberikan pelayanan bagi masyarakat guna
terciptanya suatu ketertiban, keamanan, keadilan dan kesejahteraaan, namun pada
kenyataannya masih tetap terjadi penyimpangan-penyimpangan atas hukum, baik
yang dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja atau lalai. Terhadap
penyimpangan-penyimpangan hukum ini tentunya harus ditindaklanjuti dengan
tindakan hukum yang tegas dan melalui prosedur hukum yang benar sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Sehingga
ideologi Indonesia sebagai negara hukum benar-benar terwujud.
Dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa tujuan hukum acara
pidana adalah: “untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati
kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu
perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan
tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan
melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan
putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak
pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”.
Melalui hukum acara
pidana ini, maka bagi setiap individu yang melakukan penyimpangan atau
pelanggaran hukum, khususnya hukum pidana, selanjutnya dapat diproses dalam suatu acara pemeriksaan di pengadilan, karena menurut hukum acara pidana untuk
membuktikan bersalah tidaknya seorang terdakwa haruslah melalui pemeriksaan di
depan sidang
pengadilan (Darwan Prinst,1998: 132). Dan untuk membuktikan benar tidaknya terdakwa
melakukan perbuatan yang didakwakan diperlukan adanya suatu pembuktian.
Dalam pembuktian ini, hakim perlu
memperhatikan kepentingan korban, terdakwa dan masyarakat. Kepentingan korban
berarti bahwa seseorang yang mendapat derita karena suatu perbuatan jahat orang
lain berhak mendapatkan keadilan dan kepedulian dari negara, kepentingan
masyarakat berarti bahwa demi ketentraman masyarakat maka bagi setiap pelaku
tindak pidana harus mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahannya.
Sedangkan kepentingan terdakwa berarti bahwa terdakwa harus diperlakukan secara
adil sedemikian rupa, sehingga tiap individu yang terbukti bersalah harus
dihukum.
Pembuktian memegang peranan yang sangat
penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan, karena dengan pembuktian
inilah nasib terdakwa ditentukan, dan hanya dengan pembuktian suatu perbuatan
pidana dapat dijatuhi hukuman pidana. Sehingga apabila hasil pembuktian dengan
alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan
yang didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa dibebaskan dari hukuman, dan
sebaliknya jika kesalahan terdakwa dapat dibuktikan, maka terdakwa harus
dinyatakan bersalah dan kepadanya akan dijatuhkan pidana.
Pembuktian juga
merupakan titik sentral hukum acara pidana. Hal ini dapat dibuktikan sejak awal
dimulainya tindakan penyelidikan, penyidikan, prapenuntutan, pemeriksaan
tambahan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, putusan hakim bahkan
sampai upaya hukum, masalah pembuktian merupakan pokok bahasan dan tinjauan
semua pihak dan pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam
proses peradilan, terutama bagi hakim. Oleh karena itu hakim harus hati-hati,
cermat, dan matang dalam menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian serta
dapat meneliti sampai dimana batas minimum kekuatan pembuktian atau bewijskracht
dari setiap alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana tidak memberikan
penafsiran atau pengertian mengenai pembuktian baik pada Pasal 1 yang terdiri
dari 32 butir pengertian, maupun pada penjelasan umum dan penjelasan Pasal demi
Pasal. KUHAP hanya memuat macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum acara
pidana di Indonesia.
Pembuktian adalah
ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan
undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang
dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan
yang didakwakan (M. Yahya Harahap, 2003: 273).
Menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, jenis
alat bukti yang sah dan dapat digunakan sebagai alat bukti adalah :
1.
Keterangan saksi;
2.
Keterangan ahli;
3.
Surat ;
4.
Petunjuk;
5.
Keterangan terdakwa.
Maksud penyebutan alat-alat bukti dengan
urutan pertama pada keterangan saksi, selanjutnya keterangan ahli, surat,
petunjuk dan keterangan terdakwa pada urutan terakhir, menunjukkan bahwa
pembuktian (bewijsvoering) dalam hukum acara pidana diutamakan pada kesaksian.
Namun perihal nilai alat-alat bukti yang disebut oleh pasal 184 KUHAP tetap
mempunyai kekuatan bukti (bewijskracht) yang sama penting dalam
menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa.
Dengan kata lain, walaupun pembuktian
dalam hukum
acara pidana diutamakan pada kesaksian, namun hakim tetap harus hati-hati, dan
cermat dalam menilai alat-alat bukti lainnya. Karena pada prinsipnya semua alat
bukti penting dan berguna dalam membuktikan kesalahan terdakwa.
Penulis dalam penulisan hukum ini tidak akan
membahas lebih jauh mengenai alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan petunjuk karena
keempat alat bukti tersebut secara umum sudah lebih dikenal oleh pihak dan pejabat yang bersangkutan pada semua
tingkat pemeriksaan dan tidak banyak menimbulkan permasalahan dalam
penerapannya dalam persidangan. Lain halnya dengan alat bukti keterangan
terdakwa yang kadang kala masih sering menimbulkan permasalahan, baik mengenai
eksistensinya sebagai alat bukti yang sah, masalah kekuatan nilai pembuktian
dan penerapannya di persidangan, maupun kedudukannya sebagai alat bukti
terakhir di dalam Pasal 184 ayat (1)
KUHAP.
Bila melihat urutan
jenis alat bukti pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP, maka keterangan terdakwa
merupakan alat bukti yang terakhir setelah
petunjuk. Akan tetapi karena suatu petunjuk dapat diperoleh dari
keterangan terdakwa, maka dalam hal yang demikian petunjuk hanya bisa diperoleh
setelah lebih dahulu memeriksa terdakwa, sehingga petunjuklah yang seharusnya
menduduki posisi terakhir sebagai alat bukti. Terlepas dari permasalahan di
atas, pada kenyataannya keterangan terdakwa masih belum memiliki peraturan yang
jelas dalam penerapannya, yang dikhawatirkan dapat mempengaruhi nilai
kekuatannya sebagai alat bukti yang sah, sehingga akan berpengaruh juga
terhadap putusan pengadilan.
Menurut Pasal 189 ayat (1) KUHAP,
Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang
perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri.
Mengingat bahwa keterangan terdakwa yang memuat informasi tentang kejadian
peristiwa pidana bersumber dari terdakwa, maka hakim dalam melakukan penilaian
terhadap isi keterangan terdakwa haruslah cermat dan sadar bahwa ada
kemungkinan terjadinya kebohongan atau keterangan palsu yang dibuat oleh
terdakwa mengenai hal ikhwal kejadian atau peristiwa pidana yang terjadi.
Dalam persidangan
sering dijumpai bahwa terdakwa mencabut keterangan yang diberikannya di luar
persidangan atau keterangan yang diberikannya kepada penyidik dalam pemeriksaan
penyidikan yang dimuat dalam Berita Acara Penyidikan (BAP). Dimana keterangan
tersebut pada umumnya berisi pengakuan terdakwa atas tindak pidana yang
didakwakan kepadanya.
Menurut Martiman
Prodjohamidjojo (1984: 137), terhadap keterangan di muka penyidik dan
keterangan dalam persidangan harus dibedakan, keterangan yang diberikan di muka
penyidik disebut keterangan tersangka, sedangkan keterangan yang diberikan
dalam persidangan disebut keterangan terdakwa. Dengan adanya perbedaan ini,
penulis menilai akan memperjelas dari kedudukan masing-masing keterangan dalam
pembuktian.
Seperti yang telah
diuraikan diatas, bahwa dalam persidangan terdakwa kerap mencabut kembali
keterangan pengakuan yang diberikan dalam pemeriksaan penyidikan di sidang
pengadilan. Suatu hal yang ironi memang bila melihat bahwa setiap tersangka
pasti memberikan keterangan pengakuan di depan penyidik sedemikian rupa
jelasnya mengutarakan dan menggambarkan jalannya perbuatan tindak pidana yang
disangkakan. Akan tetapi bagaimanapun gamblangnya pengakuan yang tercatat dalam
Berita Acara Penyidikan (BAP), akan selalu dicabut kembali dalam pemeriksaan
pengadilan. Hampir seluruh terdakwa, mencabut kembali keterangan pengakuan yang
tercatat dalam BAP, hanya satu dua yang tetap bersedia mengakui kebenarannya.
Adapun alasan yang
kerap dijadikan dasar pencabutan adalah bahwa pada saat memberikan keterangan
di hadapan penyidik, terdakwa dipaksa atau diancam dengan kekerasan baik fisik
maupun psikis untuk mengakui tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
Sedemikian rupa penyiksaan dan ancaman berupa pemukulan, penyulutan bagian
badan atau bagian vital tubuh. Kepala dibenturkan di dinding, dan segala macam
penganiayaan yang keji, membuat tersangka terpaksa mengakui segala pertanyaan
yang didiktekan pejabat pemeriksa. Begitulah selalu alasan yang yang melandasi
setiap pencabutan keterangan pengakuan yang dijumpai di sidang pengadilan.
Ditinjau dari segi
yuridis, pencabutan ini sebenarnya dibolehkan dengan syarat pencabutan
dilakukan selama pemeriksaan persidangan pengadilan berlangsung dan disertai
alasan yang mendasar dan logis (M. Yahya Harahap, 2003: 326). Sepintas terkesan
bahwa syarat pencabutan tersebut mudah dipahami dan mudah untuk dilakukan
sehingga diperkirakan penerapannya pun akan lancar tanpa permasalahan. Akan
tetapi, pada kenyataannya tidaklah demikian karena ternyata dalam praktek di
persidangan pencabutan begitu banyak menimbulkan permasalahan. Terutama
mengenai penilaian hakim terhadap alasan pencabutan keterangan terdakwa, dimana
dalam praktek di persidangan hakim tidaklah mudah menerima alasan pencabutan
keterangan terdakwa.
Permasalahan lain
terkait dengan pencabutan keterangan terdakwa adalah mengenai eksistensi
keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang, dalam hal digunakan untuk
membantu menemukan alat bukti dalam persidangan sebagaimana ketentuan Pasal 189
ayat (2) KUHAP (Darwan Prinst, 1998: 145). Sebab sesuatu hal yang fungsi dan
nilainya digunakan untuk membantu mempertegas alat bukti yang sah, maka
kedudukannya pun telah berubah menjadi alat bukti, termasuk pengakuan terdakwa
pada tingkat penyidikan (M. Yahya Harahap, 2003: 323).
Masalah pencabutan
keterangan terdakwa ini juga akan membawa permasalahan lain, yaitu persoalan berkaitan dengan implikasi
pencabutan tersebut terhadap kekuatan alat bukti, serta pengaruhnya terhadap
alat bukti lain yang sah menurut undang-undang. Berdasarkan hal inilah, maka
penulis merasa perlu untuk mengadakan penelitian sebagai bahan penulisan hukum
yang mempunyai judul:
"Tinjauan Tentang Pencabutan Keterangan Terdakwa Dalam Persidangan Dan
Implikasi Yuridisnya Terhadap Kekuatan Alat Bukti” (Studi Di Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta).
B. Perumusan Masalah
Agar permasalahan yang hendak diteliti tidak mengalami perluasan konteks
dan supaya penelitian yang dilaksanakan lebih mendalam maka diperlukan suatu
pembatasan masalah. Dan untuk memudahkan dalam penyusunan dan pencarian data
guna menghasilkan sebuah penelitian yang baik dan menghindari pengumpulan data
yang tidak diperlukan dalam penulisan, maka perlu disusun perumusan masalah
secara teratur dan sistematis yang merupakan pembatasan masalah yang akan
dibahas.
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka penulis merumuskan masalah dalam
penelitian sebagai berikut:
1.
Apakah terdakwa diperkenankan untuk mencabut keterangannya dalam
persidangan?
2.
Bagaimana implikasi yuridis dari pencabutan keterangan terdakwa terhadap
kekuatannya sebagai alat bukti?
C. Tujuan Penelitian
Suatu kegiatan
penelitian harus mempunyai tujuan yang hendak dicapai secara jelas. Tujuan
penelitian dapat bersifat untuk pengembangan ilmu dalam arti explanation, developmental, atau
verifikasi ilmu, atau untuk membantu memecahkan masalah tertentu. Tujuan
penelitian diperlukan untuk memberikan arah dalam melangkah sesuai dengan maksud penelitian.
Adapun tujuan yang
hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Objektif
a.
Mendeskripsikan
apakah terdakwa diperkenankan untuk mencabut keterangannya dalam persidangan.
b.
Mendeskripsikan
bagaimana implikasi yuridis dari pencabutan keterangan terdakwa terhadap
kekuatannya sebagai alat bukti.
2. Tujuan Subjektif
a.
Meningkatkan
kualitas pengetahuan penulis tentang penggunaan alat-alat bukti dalam
pembuktian kesalahan terdakwa di pengadilan.
b.
Memperoleh
data yang cukup dan relevan yang diperlukan dalam penulisan hukum sebagai
syarat mencapai gelar sarjana di bidang ilmu hukum Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang
dapat diambil penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a.
Memberikan
sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan
dengan masalah hukum pembuktian pidana serta dapat menambah bahan-bahan
kepustakaan.
b. Untuk mendalami dan mempraktekan teori-teori yang
telah diperoleh penulis selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
2. Manfaat Praktis
a.
Mengembangkan
penalaran, membentuk pola pikir dinamis, dan untuk mengetahui kemampuan
peneliti dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
b. Mencari kesesuaian antara teori yang telah
didapatkan di bangku kuliah dengan kenyataan di lapangan.
c.
Hasil dari
penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait dengan
masalah penelitian ini.
E. Metode Penelitian
Penelitian adalah
suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu
pengetahuan, usaha mana dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah (Sutrisno
Hadi, 1984). Pentingnya dilaksanakan penelitian hukum adalah untuk
mengembangkan disiplin ilmu dan ilmu hukum sebagai salah satu tridarma
perguruan tinggi. Penelitian hukum itu bertujuan untuk membina kemampuan dan
keterampilan para mahasiswa dan para sarjana hukum dalam mengungkapkan
kebenaran ilmiah, yang objektif, metodik, dan sistematik (Hilman Hadikusuma,
1995: 8).
Sebuah tulisan baru
dapat dirasakan bersifat ilmiah apabila ia mengandung kebenaran secara
objektif, karena didukung oleh informasi yang teruji kebenarannya (Slamet
Suseno, 1986: 2). Untuk dapat membuktikan kebenaran ilmiah dari penelitian yang
dilaksanakan, maka perlu dikumpulkan fakta dan data yang menyangkut masalahnya
dengan menggunakan metode dan teknik penelitian. Tanpa adanya metode dan teknik
penelitian, maka hasil penelitian itu diragukan kebenarannya.
Metode penelitian
dapat dirumuskan dengan kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:
1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam
penelitian dan penilaian.
2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan.
3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur
(Soerjono Soekanto, 1986: 5).
Metode yang digunakan penulis
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum sosiologis atau empiris (sosiolegal
research). Pada penelitian hukum sosiologis atau empiris, maka yang
diteliti pada awalnya adalah data sekunder, untuk kemudian dilanjutkan dengan
penelitian pada data primer di lapangan, atau terhadap masyarakat (Soerjono
Soekanto, 1986: 52).
Di dalam penelitian hukum ini, penulis melakukan penelitian dengan
mencari perkara-perkara pidana yang berkenaan dengan adanya pencabutan alat
bukti keterangan terdakwa dalam persidangan Pengadilan (dalam hal ini di
Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta), kemudian melakukan analisis terhadap
hasil penelitian tersebut dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
serta literatur-literatur.
Berdasarkan sifatnya, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif
kualitatif. Penelitian ini bersifat deskriptif karena penelitian ini
dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang pencabutan alat
bukti keterangan terdakwa dalam persidangan Pengadilan (dalam hal ini adalah
Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta). Selain itu, bersifat kualitatif karena
memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan
satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia atau kebudayaan dari
masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang
berlaku (Burhan Ashshofa, 2001: 20-210). Sehingga dapat diperoleh data
kualitatif yang merupakan sumber dari
deskripsi yang luas, serta memuat penjelasan tentang proses-proses yang terjadi
dalam lingkup setempat. Dengan demikian alur peristiwa secara kronologis,
menilai sebab-akibat dalam lingkup pikiran orang-orang setempat dan memperoleh
penjelasan yang banyak dan bermanfaat.
2.
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ditetapkan dengan tujuan agar ruang lingkup
permasalahan yang akan diteliti lebih sempit dan terfokus, sehingga penelitian
yang dilakukan lebih terarah.
Penelitian hukum ini mengambil lokasi di Pengadilan Negeri Kelas IA
Surakarta yang beralamat di Jalan Brigadir Jenderal Slamet Riyadi Nomor 290
Surakarta.
3.
Jenis Data
Jenis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian hukum ini
adalah:
a.
Data Primer
Data primer adalah data yang diambil langsung dari narasumber yang
ada di lapangan dengan tujuan agar penelitian ini bisa mendapatkan hasil yang
sebenarnya dari objek yang diteliti. Dalam hal ini data diperoleh dari
Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta.
b.
Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang menunjang dan mendukung data
primer, data ini diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan dan studi dokumen yang
berhubungan dengan permasalahan yang diteliti oleh penulis.
4.
Sumber Data
Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian hukum (skripsi) ini
adalah :
a.
Sumber Data Primer
Sumber data primer yaitu data atau keterangan yang diperoleh
langsung dari semua pihak yang terkait langsung dengan permasalahan yang
menjadi objek penelitian.
Dalam hal ini yang menjadi narasumber adalah Hakim Pengadilan Negeri
Kelas IA Surakarta yang pernah menangani perkara pidana yang berkenaan dengan
adanya pencabutan keterangan terdakwa dalam persidangan.
b.
Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder dalam penulisan hukum (skripsi) ini diperoleh
dari:
1)
Bahan hukum primer yang
meliputi peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan (reglement).
2)
Bahan hukum sekunder yang
meliputi bahan-bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer,
seperti bahan-bahan kepustakaan, dokumen, arsip, artikel, makalah, literatur,
majalah serta surat kabar.
5.
Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara
Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan
secara lisan guna mencapai tujuan tertentu (Burhan Ashshofa, 2001: 95), dalam
hal ini wawancara dilakukan dengan tujuan memperoleh keterangan-keterangan yang
jelas tentang hal-hal yang berkaitan dengan adanya pencabutan keterangan
terdakwa di persidangan. Dalam suatu wawancara terdapat dua pihak yang
mempunyai kedudukan yang berbeda, yaitu pencari informasi yang biasa disebut
dengan pewancara atau interviewer, dalam hal ini adalah penulis. Dalam pihak
lain adalah informan atau responden, dalam hal ini adalah hakim-hakim
Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta.
Teknik pelaksanaan wawancara adalah dengan wawancara tidak berencana
(tidak berpatokan), yakni penulis dalam mengajukan pertanyaan tidak terikat
pada aturan-aturan yang ketat. Alat yang digunakan adalah pedoman wawancara
yang memuat pokok-pokok yang ditanyakan.
b. Penelitian Kepustakaan
Penelitian kepustakaan meliputi pengkajian terhadap bahan-bahan
pustaka atau materi yang berkaitan langsung dan tidak langsung dengan
permasalahan yang sedang diteliti oleh penulis.
6.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian
hukum ini adalah teknik analisis data kualitatif yaitu cara penelitian yang
menggunakan dan menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa yang
dinyatakan responden secara tertulis maupun lisan dan juga perilaku nyata yang
akan diteliti dan dipelajari sebagai suatu yang utuh (Soerjono Soekanto, 1986:
250).
Dalam penelitan kualitatif sumber data bisa berupa orang, peristiwa,
lokasi, benda, dokumen, atau arsip. Beragam sumber tersebut menuntut cara
tertentu yang sesuai guna mendapatkan data. Pada penelitian kualitatif proses
analisisnya dilakukan sejak awal bersamaan dengan proses pengumpulan data (H.B.
Sutopo, 2002: 86). Secara umum terdapat dua model pokok dalam melakukan
analisis di dalam penelitian kualitatif, yaitu: (1) model analisis jalinan atau
mengalir (flow model of analysis), dan (2) model analisis interaktif
(H.B. Sutopo, 2002: 94).
Dalam penulisan hukum ini penulis menggunakan metode analisis
interaktif. Metode analisis interaktif adalah tiga komponen analisis tersebut
aktifitasnya dapat dilakukan dengan cara interaktif, baik antar komponennya
maupun dengan proses pengumpulan data, dalam proses yang berbentuk siklus.
Dalam bentuk ini peneliti tetap bergerak diantara tiga komponen analisis dengan
proses pengumpulan selama kegiatan berlangsung. Sesudah pengumpulan data
berakhir, peneliti bergerak diantara komponen analisisnya dengan menggunakan
waktu yang masih tersisa bagi penelitiannya (H.B. Sutopo, 2002, 95).
![](file:///C:/Users/HP/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif)
Komponen-Komponen Analisis Data Model Interaktif (H.B. Sutopo, 2002:
96).
Analisis dalam penelitian kualitatif terdiri atas tiga komponen
pokok, yaitu:
a.
Reduksi Data
Sebagai alur penting pertama, yaitu sebagai proses pemilihan,
pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data
“kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. reduksi data
merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan,
membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa,
sehingga kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi (Matthew
B. Miles dan A. Michael Huberman, 1992: 16).
Reduksi data merupakan komponen utama dalam analisis yang merupakan proses
seleksi, pemfokusan, penyederhanaan dan abstraksi data dari field note (H.B.
Sutopo, 2002, 91).
b.
Penyajian Data
Alur penting yang kedua dari kegiatan analisis adalah penyajian data
sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan
kesimpulan dan pengambilan tindakan (Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman,
1992: 17).
Dengan melihat penyajian-penyajian akan dapat dipahami apa yang
sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan lebih jauh menganalisis ataukah
mengambil tindakan berdasarkan atas pemahaman yang didapat dari penyajian
tersebut.
Sajian data merupakan suatu rakitan organisasi informasi, deskripsi
dalam bentuk narasi yang memungkinkan simpulan penelitian dapat dilakukan.
Sajian data yang merupakan rakitan kalimat yang disusun logis dan sistematis,
sehingga bila dibaca akan mudah dipahami berbagai hal yang terjadi dan harus
mengacu pada rumusan masalah yang telah dirumuskan sebagai pertanyaan dalam
penelitian.
c.
Penarikan kesimpulan
Kegiatan analisis ketiga yang penting adalah menarik kesimpulan dan
verifikasi. Dari yang semula kesimpulan yang belum jelas kemudian meningkat
menjadi lebih rinci dan mengakar dengan kokoh (Matthew B. Miles dan A. Michael
Huberman, 1992: 18-19).
Dalam penulisan hukum ini, pada tahap pertama penulis melakukan
pengumpulan data-data tentang perkara-perkara pidana yang ditangani Pengadilan
Negeri Kelas IA Surakarta. Data-data yang diperoleh tersebut direduksi diambil
perkara-perkara pidana yang ada kaitannya dengan pencabutan keterangan
terdakwa. Kemudian ditarik kesimpulan awal yang merupakan jawaban sementara
dari perumusan masalah.
Data-data yang telah direduksi kemudian disajikan dengan
kalimat-kalimat yang mudah dipahami, sehingga data-data tersebut akan lebih
mudah dianalisis atau dikaji untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah
disusun dan membatasi permasalahan agar diperoleh jawaban yang lebih terperinci
dan sistematis. Kemudian dari data-data tersebut ditarik kesimpulan, dari yang
semula hanya jawaban sementara kemudian ditingkatkan menjadi kesimpulan akhir
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di dalam perumusan masalah yang dirumuskan
di dalam penulisan hukum. Penulis kembali melakukan pengumpulan data, untuk
melengkapi kekurangan data dan memperkuat kesimpulan-kesimpulan akhir yang
dirumuskan.
F.
Sistematika Penulisan
Hukum (Skripsi)
Dalam menyusun penulisan hukum ini, penulis berpedoman pada suatu
sistematika yang baku. Sistematika memberikan gambaran dan mengemukakan garis
besar penulisan hukum agar memudahkan dalam mempelajari isinya. Penulisan hukum
terbagi menjadi empat bab yang saling berhubungan. Setiap bab dibagi menjadi
beberapa sub bab yang masing-masing merupakan pembahasan dari bab yang
bersangkutan. Adapun sistematika penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam
bab ini penulis mengemukakan mengenai latar belakang masalah yang merupakan
hal-hal yang mendorong penulis untuk mengadakan penelitian, perumusan masalah
merupakan inti permasalahan yang ingin diteliti, tujuan penelitian berisi
tujuan dari penulis dalam mengadakan penelitian, manfaat penelitian merupakan
hal-hal yang diambil dari hasil penelitian, metode penelitian berupa jenis
penelitian, lokasi penelitian, jenis data, sumber data, teknik pengumpulan
data, dan teknik analisis data, selanjutnya adalah sistematika penulisan hukum
yang merupakan kerangka atau susunan isi penelitian.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab
ini berisi tentang teori-teori kepustakaan yang melandasi penelitian serta
mendukung di dalam memecahkan masalah yang diangkat dalam penulisan hukum ini,
yaitu: tinjauan umum tentang pembuktian dan tinjauan umum tentang alat bukti
keterangan terdakwa.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Bab
ini menguraikan mengenai pencabutan keterangan terdakwa dalam persidangan, dalam hal ini adalah
persidangan di Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta, serta melihat implikasi
yuridis dari pencabutan keterangan terdakwa terhadap kekuatan alat bukti.
BAB IV : PENUTUP
Bab ini berisi tentang
kesimpulan dan saran.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kerangka Teori
1.
Tinjauan Umum Tentang
Pembuktian
a.
Pengertian Pembuktian
KUHAP tidak memberikan penjelasan mengenai
pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis alat bukti yang sah menurut
hukum, yang tertuang dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Walaupun KUHAP tidak
memberikan pengertian mengenai pembuktian, akan tetapi banyak ahli hukum yang
berusaha menjelaskan tentang arti dari pembuktian.
Subekti (2001: 1)
menerangkan bahwa “Membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil
atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu sengketa”.
Martiman Prodjohamidjojo
(1984: 11) mengemukakan membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk
menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal
terhadap kebenaran peristiwa tersebut.
Yang dimaksud dengan pembuktian, adalah pembuktian
bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah
melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya (Darwan Prinst, 1998:
133).
|
Pembuktian
adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang
cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan
kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat
bukti yang dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan
kesalahan yang didakwakan (M. Yahya Harahap, 2003: 273).
Hukum pembuktian adalah
merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti
yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan
tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima,
menolak dan menilai suatu pembuktian (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003: 10).
Ditinjau dari segi hukum
acara pidana sebagaimana yang diatur dalam KUHAP, telah diatur pula beberapa
pedoman dan penggarisan:
1). Penuntut umum bertindak
sebagai aparat yang diberi wewenang untuk mengajukan segala daya upaya
membuktikan kesalahan yang didakwakannya kepada terdakwa.
2). Sebaliknya terdakwa atau
penasihat hukum mempunyai hak untuk melemahkan dan melumpuhkan pembuktian yang
diajukan penuntut umum, sesuai dengan cara-cara yang dibenarkan undang-undang.
3). Terutama bagi hakim,
harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan
pembuktian yang diketemukan selama pemeriksaan persidangan (M. Yahya Harahap,
2003: 274).
b. Prinsip-Prinsip
Pembuktian
Prinsip-prinsip pembuktian antara lain:
1) Hal yang secara umum
sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Prinsip ini terdapat
pada Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Hal-hal yang secara umum sudah
diketahui tidak perlu dibuktikan” atau disebut dengan istilah notoire feiten.
Secara garis besar fakta
notoir dibagi menjadi dua golongan,
yaitu:
a)
Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau peristiwa
tersebut memang sudah demikian halnya atau semestinya demikian.
Yang dimaksud sesuatu
misalnya, harga emas lebih mahal dari perak.
Dan yang dimaksud dengan peristiwa misalnya, pada tanggal 17 Agustus
diadakan peringatan hari kemerdekaan Indonesia.
b) Sesuatu kenyataan atau
pengalaman yang selamanya dan selalu mengakibatkan demikian atau selalu
merupakan kesimpulan demikian. Misalnya, arak adalah termasuk minuman keras
yang dalam takaran tertentu bisa menyebabkan seseorang mabuk (Hari Sasangka dan
Lily Rosita, 2003: 20).
2) Menjadi saksi adalah
kewajiban
Kewajiban seseorang
menjadi saksi diatur pada penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan:
“Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk
memberikan keterangan tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan
pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku. Demikian pula dengan
ahli.”
3) Satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis)
Prinsip ini terdapat
pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa
terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”.
Menurut KUHAP, keterangan satu saksi bukan saksi tidak
berlaku bagi pemeriksaan cepat. Hal ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal
184 KUHAP sebagai berikut: “Dalam acara
pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah”.
Jadi, ini berarti satu
saksi, satu keterangan ahli, satu surat, satu petunjuk, atau keterangan
terdakwa disertai keyakinan hakim cukup sebagai alat bukti untuk memidana
terdakwa dalam perkara cepat (M. Yahya Harahap, 2003: 267).
4) Pengakuan terdakwa tidak
menghapuskan kewajiban penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa
Prinsip ini merupakan
penegasan dari lawan prinsip “pembuktian terbalik” yang tidak dikenal
oleh hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia.
Menurut Pasal 189 ayat
(4) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya,
melainkan harus disertai dengan alat bukti lain”.
5) Keterangan terdakwa
hanya mengikat pada dirinya sendiri
Prinsip ini diatur pada
Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang berbunyi: “Keterangan terdakwa hanya dapat
digunakan terhadap dirinya sendiri”.
Ini berarti apa yang
diterangkan terdakwa di sidang pengadilan hanya boleh diterima dan diakui
sebagai alat bukti yang berlaku dan mengikat bagi diri terdakwa sendiri (Adnan
Paslyadja, 1997: 8-15).
Menurut asas ini, apa
yang diterangkan seseorang dalam persidangan yang berkedudukan sebagai
terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri.
Jika dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing-masing
keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang mengikat kepada
dirinya sendiri. Keterangan terdakwa A tidak dapat dipergunakan terhadap
terdakwa B, demikian sebaliknya (M. Yahya Harahap, 2003: 321).
c.
Teori-Teori atau Sistem Pembuktian
Ada beberapa sistem atau teori pembuktian, yaitu
antara lain:
1) Sistem Atau Teori
Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Semata (Conviction In Time)
Sistem ini menganut
ajaran bahwa bersalah tidaknya terdakwa terhadap perbuatan yang didakwakan,
sepenuhnya tergantung pada penilaian “keyakinan” hakim semata-mata. Jadi
bersalah tidaknya terdakwa atau dipidana tidaknya terdakwa sepenuhnya
tergantung pada keyakinan hakim. Dan keyakinan hakim tidak harus timbul atau
didasarkan pada alat bukti yang ada.
Sekalipun alat bukti
sudah cukup kalau hakim tidak yakin, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana,
sebaliknya meskipun alat bukti tidak ada tapi kalau hakim sudah yakin, maka
terdakwa dapat dinyatakan bersalah. Akibatnya dalam memutuskan perkara hakim
menjadi subyektif sekali.
Sistem pembuktian conviction in time banyak digunakan oleh
negara-negara yang menggunakan sistem peradilan juri (jury rechtspraak) misalnya di Inggris dan Amerika Serikat (Hari
Sasangka dan Lily Rosita, 2003: 15).
2) Sistem Atau Teori
Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis (Conviction In
Raisone)
Sistem pembuktian Convition In Raisone masih juga
mengutamakan penilaian keyakinan hakim sebagai dasar satu-satunya alasan untuk
menghukum terdakwa, akan tetapi keyakinan hakim disini harus disertai pertimbangan
hakim yang nyata dan logis, diterima oleh akal pikiran yang sehat.
Keyakinan hakim tidak
perlu didukung alat bukti sah karena memang tidak diisyaratkan, meskipun
alat-alat bukti telah ditetapkan oleh undang-undang tetapi hakim bisa
menggunakan alat-alat bukti di luar ketentuan undang-undang. Yang perlu
mendapat penjelasan adalah bahwa keyakinan hakim tersebut harus dapat
dijelaskan dengan alasan yang logis.
Keyakinan hakim dalam
sistem pembuktian convition in raisone
harus dilandasi oleh “reasoning” atau alasan-alasan. Dan reasoning itu sendiri
harus pula “reasonable” yakni berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima
oleh akal dan nalar, tidak semata-mata berdasarkan keyakinan yang tanpa batas.
Sistem pembuktian ini sering disebut dengan sistem pembuktian bebas.
3) Sistem Atau Teori
Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif (Positief Wettelijk)
Sistem ini ditempatkan
berhadap-hadapan dengan sistem pembuktian conviction
in time, karena sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terdakwa
didasarkan kepada ada tiadanya alat-alat bukti sah menurut undang-undang yang
dapat dipakai membuktikan kesalahan terdakwa.
Teori positif wetteljik
sangat mengabaikan dan sama sekali tidak mempertimbangkan keyakinan hakim. Jadi
sekalipun hakim yakin akan kesalahan yang dilakukan kepada terdakwa, akan
tetapi dalam pemeriksaan di persidangan pengadilan perbuatan terdakwa tidak
didukung alat bukti yang sah menurut undang-undang maka terdakwa harus
dibebaskan.
Pada pokoknya apabila
seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara pembuktian dan alat bukti yang sah
menurut undang-undang maka terdakwatersebut bisa dinyatakan bersalah dan harus
dipidana. Kebaikan sistem pembuktian ini, yakni hakim akan berusaha membuktikan
kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya sehingga benar-benar
obyektif karena menurut cara-cara dan alat bukti yang di tentukan oleh
undang-undang.
Sistem pembuktian
positif yang dicari adalah kebenaran formal, oleh karena itu sistem pembuktian
ini digunakan dalam hukum acara perdata.
4) Sistem Atau Teori
Pembuktian Menurut Undang-undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk Stelsel)
Sistem pembuktian negatief wettelijk terletak antara dua
sistem yang berhadap-hadapan, yaitu antara sistem pembuktian positif wettelijk dan sistem pembuktian conviction intime. Artinya hakim hanya
boleh menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan apabila ia yakin dan keyakinannya tersebut
didasarkan kepada alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Dalam sistem negatif
wetteljik ada dua hal yang merupakan syarat untuk membuktikan kesalahan
terdakwa, yakni: pertama, Wettelijk yaitu adanya alat-alat bukti
yang sah dan ditetapkan oleh undang-undang dan kedua, Negatif, yaitu
adanya keyakinan (nurani) dari hakim, sehingga berdasarkan bukti-bukti tersebut
hakim meyakini kesalahan terdakwa. Antara alat-alat bukti dengan keyakinan
diharuskan adanya hubungan causal (sebab akibat).
Oleh karena itu,
walaupun kesalahan terdakwa telah terbukti menurut cara dan dengan alat-alat
bukti sah menurut undang-undang, akan tetapi bila hakim tidak yakin akan
kesalahan terdakwa, maka ia dapat saja membebaskan terdakwa. Sebaliknya
meskipun hakim yakin akan kesalahan terdakwa, tetapi keyakinannya tidak
didasarkan atas alat-alat bukti sah menurut undang-undang, maka hakim harus
menyatakan kesalahan terdakwa tidak terbukti. Sistem inilah yang dipakai dalam
sistem pembuktian peradilan pidana di Indonesia (Adnan Paslyadja, 1997: 16-22).
d. Alat-Alat Bukti Yang Sah
Dalam Pembuktian Hukum Acara Pidana
Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada
hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut,
dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim
atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan terdakwa (Hari
Sasangka dan Lily Rosita, 2003: 11).
Alat-alat bukti yang sah, adalah alat-alat yang
ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat
dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim,
atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa
(Darwan Prinst,1998:135).
Adapun alat-alat bukti yang sah menurut Pasal 184
ayat (1) KUHAP, adalah sebagai berikut:
1). Keterangan saksi
Menurut Pasal 1 butir 27
KUHAP, keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang
berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengetahuannya itu.
2). Keterangan ahli
Menurut Pasal 1 butir 28
KUHAP, keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu
perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan dalam hal serta menurut cara yang
diatur dalam undang-undang.
3).
Surat
Menurut Pasal 187 KUHAP,
Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1)
huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:
(a)
berita acara dan surat lain dalam bentuk
resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di
hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar,
dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan
tegas tentang keterangannya itu;
(b)
surat yang dibuat menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenal hal
yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang
diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan.
(c)
surat keterangan
dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu
hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya;
(d)
surat lain yang hanya dapat
berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
4). Petunjuk
Menurut Pasal 188 KUHAP
ayat (1), Petunjuk adalah perbuatan,
kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan
yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah
terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
5). Keterangan terdakwa
Menurut Pasal 189 ayat (1) KUHAP, Keterangan terdakwa adalah apa
yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia
ketahui sendiri atau ia alami sendiri.
2. Tinjauan Umum Tentang Alat Bukti Keterangan
Terdakwa
a.
Dasar Hukum Alat Bukti
Keterangan Terdakwa.
1).
Keterangan terdakwa:
Pasal 184 huruf e dan Pasal 189 KUHAP.
2).
Pemeriksaan terdakwa
Pasal 175 sampai Pasal 178 KUHAP.
b.
Pengertian Terdakwa dan
Tersangka.
Menurut Pasal 1 butir 15 KUHAP
terdakwa adalah seorang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan.
Terdakwa adalah orang yang karena
perbuatan atau keadaannya berdasarkan alat bukti minimal didakwa melakukan
tindak pidana kemudian dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan
(Adnan Paslyadja, 1997: 69).
Terdakwa adalah seseorang yang diduga
telah melakukan suatu tindak pidana dan ada cukup alasan untuk dilakukan
pemeriksaan di muka sidang pengadilan (J.C.T. Simorangkir 1980: 167).
Dari rumusan di
atas dapat disimpulkan, bahwa unsur-unsur dari terdakwa adalah:
1) Diduga sebagai pelaku suatu tindak pidana;
2) Cukup alasan untuk melakukan pemeriksaan atas
dirinya di depan sidang pengadilan;
3) Atau orang yang sedang dituntut, ataupun
4) Sedang diadili di sidang pengadilan (Darwan
Prinst, 1998: 14-15).
Tersangka akan berubah tingkatannya menjadi
terdakwa setelah ada bukti lebih lanjut yang memberatkan dirinya dan perkaranya
sudah mulai disidangkan di Pengadilan. Kedudukannya harus dipandang sebagai
subjek dan tidak boleh diperlakukan sekehendak hati oleh aparat penegak hukum
karena ia dilindungi oleh serangkaian hak yang diatur dalam KUHAP.
Tersangka sendiri
menurut Pasal 1 butir 14 KUHAP adalah seorang yang karena perbuatannya atau
keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak
pidana.
c.
Pengertian Alat Bukti
Keterangan Terdakwa
Alat bukti keterangan terdakwa diatur secara tegas oleh Pasal
189 KUHAP, sebagai berikut:
1)
Keterangan terdakwa adalah apa
yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia
ketahui sendiri atau ia alami sendiri.
2)
Keterangan terdakwa yang
diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di
sidang asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang
mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
3)
Keterangan terdakwa hanya dapat
digunakan terhadap dirinya sendiri.
4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia
bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus
disertai dengan alat bukti yang lain.
Menurut Pasal 189 ayat (1) KUHAP di
atas, keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan
tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
Sehingga secara garis besar keterangan terdakwa adalah:
1)
apa yang terdakwa
"nyatakan" atau "jelaskan" di sidang pengadilan,
2)
dan apa yang dinyatakan atau
dijelaskan itu ialah tentang perbuatan yang terdakwa lakukan atau mengenai yang
ia ketahui atau yang berhubungan dengan apa yang terdakwa alami sendiri dalam
peristiwa pidana yang sedang diperiksa (M. Yahya Harahap, 2003: 319).
Dari pengertian-pengertian di atas,
dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat sah keterangan terdakwa harus meliputi:
1)
Apa yang terdakwa nyatakan di
sidang pengadilan.
2)
Pernyataan terdakwa meliputi:
(a)
Yang terdakwa lakukan sendiri,
(b)
Yang terdakwa ketahui sendiri,
(c)
Yang terdakwa alami sendiri.
Pasal
184 ayat (1) KUHAP mencantumkan keterangan terdakwa sebagai alat bukti yang
kelima atau terakhir setelah alat bukti petunjuk. Hal ini berbeda dengan HIR
yang menempatkan keterangan terdakwa pada urutan ketiga di atas petunjuk, hanya
saja dalam HIR "keterangan terdakwa" seperti dimuat pada Pasal 184
ayat (1) c KUHAP, menurut Pasal 295 butir 3 HIR disebut "pengakuan
tertuduh".
Perbedaan
kedua istilah ini bila ditinjau dari segi yuridis, terletak pada pengertian
"keterangan terdakwa" yang sedikit lebih luas dari istilah
"pengakuan tertuduh", karena pada istilah "keterangan
terdakwa" sekaligus meliputi "pengakuan" dan
"pengingkaran", sedangkan dalam istilah "pengakuan
tertuduh", hanya terbatas pada pernyataan pengakuan itu sendiri tanpa
mencakup pengertian pengingkaran (M. Yahya Harahap, 2003: 318).
Sehingga
dapat dilihat dengan jelas bahwa “keterangan terdakwa” sebagai alat bukti tidak
perlu sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan terdakwa hendaknya
didengar. Apakah itu berupa penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan sebagian
dari perbuatan atau keadaan (Andi Hamzah, 2002: 273).
Sedangkan
alasan ditempatkannya keterangan terdakwa pada urutan ketiga diatas petunjuk
dalam HIR, karena suatu petunjuk dapat diperoleh dari keterangan terdakwa, maka
dalam hal yang demikian petunjuk hanya bisa diperoleh setelah lebih dahulu
memeriksa terdakwa (Adnan Paslyadja, 1997: 69).
d.
Asas Penilaian Keterangan
Terdakwa
Sudah
barang tentu tidak semua keterangan terdakwa dinilai sebagai alat bukti yang
sah. Untuk menentukan sejauh mana keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai
alat bukti yang sah menurut undang-undang, diperlukan beberapa asas sebagai
landasan berpijak, antara lain:
1)
Keterangan itu dinyatakan di
sidang pengadilan
Keterangan yang diberikan di
persidangan adalah pernyataan berupa penjelasan yang diutarakan sendiri oleh
terdakwa dan pernyataan yang berupa penjelasan atau jawaban terdakwa atas
pertanyaan dari ketua sidang, hakim anggota, dan penuntut umum atau penasihat
hukum.
2)
Tentang perbuatan yang terdakwa
lakukan, ketahui, atau alami sendiri
Pernyataan terdakwa meliputi:
(a)
Tentang perbuatan yang terdakwa
lakukan sendiri.
Terdakwa sendirilah yang melakukan
perbuatan itu, dan bukan orang lain selain terdakwa.
(b)
Tentang apa yang diketahui
sendiri oleh terdakwa.
Terdakwa sendirilah yang mengetahui
kejadian itu. Mengetahui disini berarti ia tahu tentang cara melakukan
perbuatan itu atau bagaimana tindak pidana tersebut dilakukan. Bukan berarti
mengetahui dalam arti keilmuan yang bersifat pendapat, tetapi semata-mata
pengetahuan sehubungan dengan peristiwa pidana yang didakwakan kepadanya.
(c)
Tentang apa yang dialami
sendiri oleh terdakwa.
Terdakwa sendirilah yang mengalami
kejadian itu, yaitu pengalaman dalam hubungannya dengan perbuatan yang
didakwakan. Namun apabila terdakwa menyangkal mengalami kejadian itu, maka
penyangkalan demikian tetap merupakan keterangan terdakwa.
(d)
Keterangan terdakwa hanya
merupakan alat bukti terhadap dirinya sendiri.
Menurut asas ini, apa yang diterangkan
seseorang dalam persidangan dalam kedudukannya sebagai terdakwa, hanya dapat
dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri. Jika dalam suatu
perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan terdakwa
hanya mengikat kepada dirinya sendiri. Dengan kata lain keterangan terdakwa
yang satu tidak boleh dijadikan alat bukti bagi terdakwa lainnya (M. Yahya
Harahap, 2003: 320-321).
e.
Keterangan Terdakwa Saja
Tidak Cukup Membuktikan Kesalahannya
Asas ini ditegaskan dalam Pasal 189
ayat (4); "Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa
ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya melainkan harus
disertai dengan alat bukti yang lain".
Pada hakikatnya asas ini hanya merupakan
penegasan kembali prinsip batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183
KUHAP. Pasal 183 KUHAP telah menentukan asas pembuktian bahwa untuk menjatuhkan
hukuman pidana terhadap seorang terdakwa, kesalahannya harus dapat dibuktikan;
“dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah” (M. Yahya Harahap, 2003:
322).
f.
Keterangan Terdakwa di Luar
Sidang (The Confession Outside the Court)
Salah satu asas penilaian yang
menentukan sah atau tidaknya keterangan terdakwa sebagai alat bukti adalah
bahwa keterangan itu harus diberikan di sidang pengadilan.
Dengan asas ini dapat disimpulkan,
bahwa keterangan terdakwa yang dinyatakan di luar sidang pengadilan sama sekali
tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti sah. Walaupun keterangan terdakwa yang
dinyatakan di luar sidang pengadilan tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti,
namun menurut ketentuan Pasal 189 ayat (2) KUHAP, keterangan terdakwa yang
diberikan di luar sidang dapat dipergunakan untuk "membantu"
menemukan alat bukti di sidang pengadilan, dengan syarat keterangan di luar
sidang didukung oleh suatu alat bukti yang sah, dan keterangan yang dinyatakan
di luar sidang sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepada terdakwa (M. Yahya
Harahap, 2003: 323).
Bentuk keterangan yang dapat
dikualifikasi sebagai keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang ialah:
1)
keterangan yang diberikan dalam
pemeriksaan penyidikan,
2)
dan keterangan itu itu dicatat
dalam berita acara penyidikan,
3)
serta berita acara penyidikan
itu ditandatangani oleh pejabat penyidik dan terdakwa.
Kualifikasi di atas sesuai dengan ketentuan Pasal 75
ayat (1) huruf a jo. Ayat (3) KUHAP.
g.
Nilai Kekuatan Pembuktian
Keterangan Terdakwa
Secara umum dapat dikatakan bahwa undang-undang
tidak dapat menilai keterangan terdakwa sebagai alat bukti yang memiliki nilai
pembuktian yang sempurna, mengikat, dan menentukan. Namun demikian, keterangan
terdakwa tetap memiliki pengaruh terhadap proses persidangan. Adapun nilai
kekuatan pembuktian alat bukti keterangan terdakwa dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1)
Sifat nilai kekuatan
pembuktiannya adalah bebas
Hakim tidak terikat pada nilai
kekuatan yang terdapat pada alat bukti keterangan terdakwa, dan hakim bebas
untuk menilai kebenaran yang terkandung di dalam keterangan terdakwa. Hakim
dapat menerima atau menyingkirkan keterangan terdakwa sebagai alat bukti dengan
jalan mengemukakan alasan-alasan disertai dengan argumentasi yang proporsional
dan akomodatif.
2)
Harus memenuhi batas minimum
pembuktian
Sebagaimana ketentuan Pasal 189 ayat
(4) yang menyebutkan, "keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya
melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain". Dari ketentuan ini
jelas dapat disimak keharusan mencukupkan alat bukti keterangan terdakwa dengan
sekurang-kurangnya satu lagi alat bukti yang lain, sehingga mempunyai nilai
pembuktian yang cukup.
Penegasan Pasal 189 ayat (4) KUHAP,
sejalan dan mempertegas asas batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal
183 KUHAP, yang menegaskan, bahwa tidak seorang terdakwa pun dapat dijatuhi
pidana kecuali jika kesalahan yang didakwakan kepadanya telah dapat dibuktikan
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.
3)
Harus memenuhi asas keyakinan
hakim
Sekalipun kesalahan terdakwa telah
terbukti sesuai dengan asas batas minimum pembuktian, tetapi masih perlu
dibarengi dengan "keyakinan hakim", bahwa memang terdakwa yang
bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
Asas keyakinan hakim harus melekat
pada putusan yang diambilnya sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut Pasal
183 KUHAP yaitu "pembuktian menurut undang-undang secara negatif".
Artinya, di samping dipenuhi batas minimum pembuktian dengan alat bukti yang
sah, maka dalam pembuktian yang cukup tersebut harus dibarengi dengan keyakinan
hakim bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya (M. Yahya Harahap, 2003: 332-333).
Ketentuan yang terkait dengan nilai
kekuatan pembuktian keterangan terdakwa sebagaimana yang diutarakan di atas
masih dapat ditambah dengan rumusan sebagai berikut:
1)
Keterangan terdakwa yang
diberikan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia
ketahui sendiri atau alami sendiri, merupakan alat bukti keterangan terdakwa
yang sah menurut undang-undang.
2)
Keterangan terdakwa sekalipun
bersifat pengakuan atas perbuatan pidana yang didakwakan, tetapi tidak didukung
dengan alat bukti sah lainnya, tidak cukup untuk menyatakan terdakwa telah
bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan karena tidak memenuhi batas
minimumnya pembuktian.
3)
Penyangkalan terdakwa yang
melalui alat bukti lain dapat dibuktikan sebagai kebohongan dapat diterima
sebagai alat bukti petunjuk.
4)
Keterangan terdakwa yang
diberikan di luar sidang mengenai hal yang didakwakan sepanjang bersesuaian
dengan alat bukti sah lainnya dapat berupa alat bukti petunjuk,
setidak-tidaknya dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang (Adnan Paslyadja,
1997: 73).
Kerangka Pemikiran
![](file:///C:/Users/HP/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.gif)
|
![]() |
|
![](file:///C:/Users/HP/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image004.gif)
![]() |
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Pencabutan
Keterangan Terdakwa Dalam Persidangan (di Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta)
1. Deskripsi Kasus
Paparan kasus perkara perkosaan di Pengadilan Negeri Kelas IA
Surakarta Nomor: 306/Pid.B/2003/PN.Ska:
a.
Kasus Posisi Putusan Pengadilan
Negeri Kelas IA Surakarta
Nomor: 306/Pid.B/2003/PN.Ska. Identitas Terdakwa:
1)
Nama Lengkap : JOKO KUSTIONO alias GEPENG.
2)
Tempat Lahir : Surakarta .
3)
Umur/Tanggal Lahir : 24 Tahun/10 September 1979.
4)
Jenis Kelamin : Laki-laki.
5)
Kebangsaan : Indonesia .
6)
Tempat Tinggal : Kandangsapi RT.01/35 Jebres
Surakarta.
7)
Agama : Islam.
8)
Pekerjaan : Buruh.
Bahwa terdakwa JOKO KUSTIONO pada hari Rabu tanggal 1 Oktober 2003
sekitar jam 10.00 WIB bertempat di kamar mandi di rumah saksi AGUSTIN SETYAWATI
Kelurahan Kandang sapi RT. 01/XXXV. Kecamatan Jebres Kota Surakarta. telah
melakukan pemerkosaan terhadap saksi AGUSTIN SETYAWATI atau telah bersetubuh
dengan saksi AGUSTIN SETYAWATI yang bukan istrinya atau di luar perkawinan,
padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum cukup 15
tahun atau belum waktunya untuk kawin.
|
b.
Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
1)
Primair: Perbuatan terdakwa
diatur dan diancam dengan pidana menurut Pasal 285 Jo Pasal 81 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
2)
Subsidair: Perbuatan terdakwa
diatur dan diancam dengan pidana menurut Pasal 287 ayat (1) KUHP tentang
perkosaan terhadap anak di bawah umur.
c.
Tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
Berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh selama pemeriksaan di
persidangan, akan diuraikan unsur-unsur dakwaan primair dalam Pasal 285 KUHP Jo
Pasal 81 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, adalah sebagai berikut:
1)
Unsur barang siapa;
Yang dimaksud barang siapa di sini adalah setiap orang atau siapa
saja sebagai subyek hukum yang dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya jelas
di sini yang dimaksud adalah terdakwa yang telah melakukan tindak pidana
perkosaan atas dasar keterangan saksi-saksi, surat, barang bukti petunjuk,
walaupun terdakwa sendiri tidak mengakuinya, karena hal yang demikian adalah
petunjuk bagi kesalahan terdakwa.
Dan apa yang telah dilakukan oleh terdakwa dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya karena sepanjang pemeriksaan dipersidangan
terdakwa selalu dalam keadaan sehat jasmani dan sehat rohani. Dan tidak ada
hal-hal yang dapat menghapuskan pidana bagi terdakwa.
2)
Unsur dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia;
Jika unsur ini dihubungkan dengan keterangan saksi-saksi yang
menyatakan, bahwa telah terjadi perkosaan atau persetubuhan dengan paksa yang
dilakukan oleh terdakwa pada hari Rabu tanggal 1 Oktober 2003 sekitar jam 10.00
WIB, bertempat di dalam kamar mandi di rumah saksi korban Agustin Setyawati
dimana terdakwa telah mendatangi saksi korban dan dengan memegang tangan saksi
korban dan menyentakannya lalu terdakwa mengatakan dengan nada mengancam untuk
diam tidak usah berteriak awas kalau berteriak atau melawan akan disembelih,
sehingga dengan kata-kata tersebut saksi Agustin Setyawati ketakutan dan tidak
berdaya.
Kemudian terdakwa Joko Kustiono alias Gepeng memegang kemaluan saksi
Agustin lalu membuka rok dan menurunkan celana dalamnya, kemudian terdakwa juga
membuka celana panjang dan celana dalamnya sendiri, lalu dalam keadaan berdiri
tersangka Joko Kustiona alias Gepeng menyetubuhi saksi Agustin Setyawati yang
bukan istrinya, dengan memasukkan alat kelaminnya atau penisnya ke dalam vagina
atau alat kelamin saksi Agustin Setyawati sampai mengeluarkan air mani dan
merasa nikmat sekali, dan perbuatan tersebut dilakukan sampai empat kali.
Lalu setelah selesai menyetubuhi saksi Agustin Setyawati, terdakwa
Joko Kustiono alias Gepeng langsung meninggalkan saksi Agustin sendirian,
sehingga saksi Agustin Setyawati menderita sakit sekali dan pada ditemukan luka
baru menunjuk jam 3, 5, 7, 9, 12, dan terdapat sisa sperma pada liang vagina,
sebagaimana disebutkan dalam Visum Et Repertum No.Pol.R./VER.224/X/2003/Dokkes tanggal
22 Oktober 2003 dari Seksi Kedokteran dan Kesehatan Polwil Surakarta, yang
dibuat oleh Dr. Naniek Darwati, yang menyimpulkan bahwa terdapat luka baru pada
selaput dara akibat bersentuhan dengan benda tumpul, walaupun terdakwa sendiri
tidak mengakui perbuatannya dan telah mencabut atau tidak mengakui
keterangannya, karena hal yang demikian adalah petunjuk terbuktinya perbuatan
terdakwa. Maka dari uraian tersebut di atas jelas unsur ini telah terbukti
secara sah dan menurut hukum.
3)
Unsur setiap orang;
Unsur setiap orang ini adalah identik dengan barang siapa, yang
telah dibuktikan tersebut diatas.
4)
Unsur yang dengan sengaja
melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan;
Bahwa terdakwa mendatangi rumah korban Agustin Setyawati dan
mengikutinya ke kamar mandi adalah perbuatan yang dimaksudkan atau yang
diinginkan oleh terdakwa untuk melakukan persetubuhan dengan paksa, dan ini
telah nyata-nyata dilakukan oleh terdakwa dengan menghentakan tangan saksi
korban Agustin Setyawati.
Terdakwa juga melakukan dengan mengatakan jangan berteriak dan kalau
berteriak akan disembelih sehingga saksi korban takut dan tidak berdaya,
sehingga terdakwa dapat melakukan keinginannya menyetubuhi saksi korban Agustin
Setyawati dengan memasukkan alat kelamin terdakwa ke dalam alat kelamin saksi
Agustin Setyawati, sehingga merasa enak dan sampai keluar air mani.
5)
Unsur memaksa anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Bahwa dari keterangan saksi-saksi, terdakwa masuk ke dalam rumah dan
terus masuk ke dalam kamar mandi yang didalamnya ada saksi korban Agustin
Setyawati, seorang perempuan yang bukan istrinya yang masih tergolong anak-anak
dan masih berusia 13 (tiga belas) tahun dan dengan menyentakkan tangannya serta
mengatakan jangan berteriak dan kalau berteriak akan disembelih sehingga saksi
korban Agustin Setyawati takut dan berdiam diri dan menuruti kemauan terdakwa
lalu terdakwa mulai membuka celana dalam saksi korban Agustin Setyawati dan
membuka celana dalamnya sendiri lalu menyetubuhi dengan memasukkan alat
kelaminnya ke dalam alat kelamin saksi korban Agustin Setyawati, sehingga
mengeluarkan air mani. Jelas unsur ini telah terbukti secara sah dan menurut
hukum.
Oleh karena semua unsur dakwaan primair dalam Pasal 285 KUHP Jo
Pasal 81 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak telah dinyatakan terbukti secara sah dan menurut hukum, maka
Jaksa Penuntut Umum pada pokoknya menuntut supaya Hakim/Majelis Hakim yang
memeriksa dan mengadili perkara ini berkenan memutus hal-hal sebagai berikut:
1.
Menyatakan terdakwa JOKO
KUSTIONO alias GEPENG bersalah melakukan tindak pidana perkosaan sebagaimana
diatur dalam Pasal 285 KUHP Jo Pasal 81 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dalam surat dakwaan Primair.
2.
Menjatuhkan pidana terhadap
terdakwa JOKO KUSTIONO alias GEPENG dengan pidana penjara selama 7 (tujuh)
tahun dikurangkan masa penahanan sementara dengan perintah terdakwa tetap
ditahan dan dipidana denda sebesar Rp. 60.000.000,- subsidair 6 (enam) bulan
kurungan.
3.
Menyatakan barang bukti berupa
satu buah celana dalam warna kusam dikembalikan kepada saksi Agustin Setyawati
atau yang paling berhak.
4.
Menetapkan agar terdakwa JOKO
KUSTIONO alias GEPENG dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp. 2000,-.
d.
Pembelaan Terdakwa
Pada kesempatan yang diberikan Majelis Hakim kepada terdakwa untuk
mengajukan pembelaan, penasehat hukum pada pokoknya memohon agar terdakwa
diberikan ampunan dan keringanan seringan-ringannya, sementara dari terdakwa
sendiri secara lisan mohon supaya dijatuhi hukuman yang seringan-ringannya,
dengan alasan menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi
perbuatan itu lagi.
e.
Pertimbangan-Pertimbangan Hakim
Menimbang bahwa, dalam dakwaan Primair yaitu Pasal 285 KUHP Jo Pasal
81 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak mengandung unsur sebagai berikut:
1)
Barang siapa.
2)
Dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia atau
orang lain.
3)
Perempuan tersebut masih
berstatus anak-anak.
Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan
satu persatu dari seluruh unsur yang terkandung dalam Pasal 285 KUHP Jo Pasal
81 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak tersebut di atas.
a) Unsur Barang Siapa.
Menimbang, bahwa
unsur barang siapa adalah menunjuk siapa saja atau orang sebagai subjek hukum
yang diajukan ke muka persidangan oleh Penuntut Umum karena didakwa melakukan
suatu tindak pidana.
Menimbang, bahwa yang dimaksud unsur barang siapa dalam perkara ini
adalah Joko Kustiono alias Gepeng yang telah ditanyakan identitasnya di muka
persidangan, ternyata sesuai dengan identitas terdakwa yang termuat dalam surat
dakwaan Penuntut Umum.
Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan,
apakah benar terdakwa Joko Kustiono alias Gepeng tersebut di atas benar orang
yang dimaksudkan oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai orang yang melakukan tindak
pidana? maka Majelis Hakim akan menghubungkan unsur berikutnya.
b)
Unsur “Dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia
atau orang lain”.
Menimbang, bahwa sebagaimana fakta-fakta yang terungkap di muka
persidangan, bahwa sejak semula terdakwa Joko Kustiono telah menyangkal dakwaan
Penuntut Umum dan mencabut Berita Acara pemeriksaan terdakwa yang dibuat oleh
penyidik, dengan alasan waktu itu dipaksa untuk mengaku, akan tetapi pada akhir
persidangan yaitu pada acara pledoi atau pembelaan, Penasehat Hukum terdakwa
secara tertulis memohon agar terdakwa diberikan ampunan dan diringankan seringan-ringannya,
sementara terdakwa sendiri secara lisan mohon kepada Majelis Hakim supaya
dijatuhi hukuman yang seringan-ringannya, dengan alasan terdakwa sangat
menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi.
Menimbang, bahwa dari fakta-fakta
sebagaimana terurai di atas, maka terungkap bahwa terdakwa Joko Kustiono telah
mengakui perbuatannya sebagaimana dakwaan Penuntut Umum.
Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan tersebut di atas dihubungkan dengan fakta-fakta yang terungkap di
muka persidangan, terungkap bahwa pada hari
Rabu tanggal 1 Oktober 2003 sekitar jam 10.00 WIB, terdakwa telah
mendatangi korban yang sedang berada di dalam kamar mandi korban, kemudian
memegangi tangan korban dan menyentakannya sambil mengatakan dengan nada
mengancam “diam, tidak usah berteriak, awas kalau berteriak atau melawan akan
disembelih”.
Menimbang, bahwa dengan kata-kata
tersebut saksi Agustin Setyawati ketakutan dan tidak berdaya dan kemudian
terdakwa memegang kemaluan saksi Agustin lalu membuka rok dan menurunkan celana
dalamnya, kemudian terdakwa juga membuka celana panjang dan celana dalamnya
sendiri, lalu terdakwa memasukan kemaluannya yang sudah menegang ke dalam
kemaluan korban Agustin Setyawati sambil berdiri, sampai terdakwa mengeluarkan
air mani, hal tersebut sesuai pula dengan visum et repertum yang dibuat dan
ditandatangani oleh Dr. Naniek Darwati dokter dari Seksi Kedokteran dan
Kesehatan Polwil Surakarta dengan No.Pol.R./VER. 224/X/2003/Dokkes tanggal 22
Oktober 2003 dengan kesimpulan bahwa di vagina ditemukan luka baru menunjuk jam
3, 5, 7, 9, 12, dan ditemukan sisa sperma pada liang vagina.
Menimbang, bahwa terdakwa sudah
mengerti bahwa korban Agustin Setyawati adalah bukan istrinya.
Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan tersebut diatas, maka terbukti bahwa terdakwa Joko Kustiono alias
Gepeng adalah benar orang yang atau subyek hukum yang melakukan tindak pidana
sebagaimana dakwaan Penuntut Umum pada bagian primair tersebut sehingga dengan
demikian kedua unsur tersebut di atas telah terpenuhi menurut hukum.
c)
Unsur “Perempuan tersebut masih
berstatus anak-anak”.
Menimbang, bahwa dari fakta-fakta yang terungkap di muka
persidangan, bahwa Agustin Setyawati adalah masih berusia 13 (tiga belas) tahun
dimana menurut UURI No. 81 Tahun 2002, bahwa yang dimaksud dengan anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, hal tersebut sesuai
dengan bukti surat kelahiran serta keterangan saksi.
Menimbang, bahwa dengan demikian unsur ini telah terpenuhi pula
menurut hukum.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka
terbukti seluruh unsur dari Pasal 285 KUHP Jo Pasal 81 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tersebut di atas telah
terpenuhi oleh perbuatan terdakwa, oleh karenanya terdakwa tersebut haruslah
dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana tersebut dan kepadanya
harus dihukum dengan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya yaitu berupa
pidana penjara dan denda.
Menimbang, bahwa oleh karena dakwaan Penuntut Umum pada bagian
primair telah terbukti, maka dakwaan subsidair tidak perlu dipertimbangkan
lagi.
Menimbang, bahwa selama proses pemeriksaan perkara ini tidak
ditemukan adanya alasan pembenar maupun pemaaf terhadap diri terdakwa, maka
terhadap terdakwa tersebut haruslah mempertanggung jawabkan atas perbuatannya
yang telah dilakukan.
Menimbang, bahwa terhadap barang bukti berupa celana dalam warna
kusam haruslah dikembalikan kepada pemiliknya yaitu saksi Agustin Setyawati.
Menimbang, bahwa oleh karena selama pemeriksaan perkara ini terdakwa
ditahan, maka cukup alasan bagi Majelis untuk mengurangkan lamanya terdakwa
ditahan dari pidana penjara yang dijatuhkan, serta memerintahkan supaya
terdakwa tetap ditahan.
Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa dinyatakan bersalah dan
dihukum, maka kepadanya dihukum pula untuk membayar biaya perkara.
Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan pidana, Majelis akan
mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan maupun hal-hal yang meringankan.
Hal-hal yang memberatkan:
1)
Terdakwa tidak mengakui
perbuatannya
2)
Terdakwa tidak merasa bersalah
3)
Terdakwa tidak menyesal karena
merasa tidak berbuat
4)
Terdakwa berbelit-belit dalam
memberikan keterangan.
Hal-hal yang meringankan:
1)
Terdakwa masih muda dan belum
pernah dihukum.
2)
Terdakwa mempunyai tanggungan
seorang isteri dan seorang anak.
f.
Putusan
Berdasarkan fakta-fakta hukum dan pertimbangan-pertimbangan diatas,
Majelis Hakim memutuskan:
M
e n g a d i l i
1)
Menyatakan terdakwa JOKO
KUSTIONO alias GEPENG telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “PERKOSAAN”.
2)
Menjatuhkan pidana kepada
terdakwa dengan pidana penjara selama 5 (lima )
tahun dan denda Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) subsidair 3 bulan
kurungan.
3)
Menetapkan bahwa masa penahanan
yang telah dijalani terdakwa dikurangkan sepenuhnya dari pidana yang
dijatuhkan.
4)
Memerintahkan agar terdakwa
tetap berada dalam tahanan.
5)
Menetapkan barang bukti berupa
celana dalam warna kusam dikembalikan kepada saksi Agustin Setyawati.
6)
Membebankan pula kepada
terdakwa untuk membayar ongkos perkara ini sebesar Rp. 2000,- (dua ribu
rupiah).
2.
Pembahasan
“Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang
tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami
sendiri” (Pasal 189 ayat (1) KUHAP).
Berpijak pada ketentuan Pasal 189
ayat (1) KUHAP di atas, pada prinsipnya keterangan terdakwa adalah apa yang
diberikan terdakwa di sidang pengadilan. Meskipun demikian ketentuan itu
ternyata tidak mutlak, karena keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang
dapat pula digunakan untuk membantu menemukan bukti di persidangan asalkan
keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal
yang didakwakan kepadanya (Pasal 189 ayat (2) KUHAP).
Dalam persidangan, sering kali
dijumpai bahwa terdakwa menyangkal, sebagian atau semua keterangan pengakuan
yang diberikannya di tingkat penyidikan. Dengan alasan, bahwa pada saat
memberikan keterangan di hadapan penyidik, terdakwa dipaksa atau diancam dengan
kekerasan baik fisik maupun psikis untuk mengakui tindak pidana yang didakwakan
kepadanya.
Hal ini dapat dimaklumi karena pada
prinsipnya KUHAP menganut asas fair trial, dimana dalam asas ini
terdakwa memiliki hak untuk memberikan keterangan secara bebas (Pasal 153 ayat
(2) huruf b KUHAP), termasuk hak untuk menarik keterangannya di sidang
pengadilan. Namun satu hal yang perlu diingat, KUHAP hanya memberikan jaminan
kebebasan untuk memberikan keterangan, bukan kebebasan untuk menyampaikan kebohongan.
Dengan menyangkal atau mengingkari
pengakuan tersebut, maka sesungguhnya terdakwa telah melakukan pencabutan
keterangan di persidangan, yaitu keterangan yang terkait dengan pengakuan yang
telah diberikan terdakwa di hadapan penyidik dan tertuang dalam Berita Acara
Pemeriksaan (BAP).
Intinya bahwa keterangan terdakwa
yang dicabut dalam persidangan pengadilan adalah keterangan pengakuan terdakwa
yang diberikan pada saat pemeriksaan penyidikan. Dan pengakuan tersebut dimuat
dalam Berita Acara Pemeriksaan penyidikan yang ditandatangani oleh terdakwa dan
penyidik.
Berdasarkan hasil pemeriksaan di
persidangan, diketahui bahwa benar telah terjadi pencabutan keterangan
terdakwa, dimana terdakwa Joko Kustiono alias Gepeng dalam keterangannya di
persidangan, menarik seluruh keterangan pengakuan yang diberikannya pada
tingkat pemeriksaan penyidikan di kepolisian. Dengan alasan bahwa pada waktu
diinterogasi di depan Penyidik, terdakwa dipaksa untuk mengaku dan dipukul
sehingga merasa tersiksa baik fisik maupun psikisnya.
Keterangan terdakwa di muka
persidangan yang menyangkal atau mengingkari isi BAP dari Penyidik inilah, yang
merupakan inti dari bentuk pencabutan keterangan terdakwa dalam persidangan,
dimana dalam persidangan terdakwa Joko Kustiono secara jelas dan terbukti telah
menyangkal tuntutan Penuntut Umum dengan memberikan keterangan kepada Majelis
Hakim yang pada pokoknya terdakwa tidak membenarkan seluruh isi dari BAP.
Untuk menjelaskan perihal terjadinya
pencabutan keterangan oleh terdakwa Joko Kustiono dalam persidangan, berikut
akan diuraikan fakta-fakta yang menandakan telah terjadinya pencabutan
keterangan terdakwa dalam persidangan:
a.
Fakta dari hasil pemeriksaan
alat bukti keterangan terdakwa dalam persidangan disesuaikan dengan pengakuan
terdakwa dalam BAP.
Berikut beberapa hasil pemeriksaan di pengadilan terhadap terdakwa
Joko Kustiono alias Gepeng yang menunjukan adanya penyangkalan atas isi BAP
berdasarkan pertanyaan hakim dalam persidangan:
1)
Terdakwa Joko Kustiono alias
Gepeng mengatakan, bahwa dirinya tidak pernah memberikan keterangan mengenai
waktu dan tempat terjadinya tindak pidana perkosaan, sebagaimana yang termuat
dalam BAP.
2)
Terdakwa Joko Kustiono alias
Gepeng mengatakan, bahwa dirinya tidak pernah memberikan keterangan mengenai
cara memperkosa korban Agustin Setyawati, sebagaimana yang termuat dalam BAP.
3)
Terdakwa Joko Kustiono alias
Gepeng mengatakan, bahwa semua isi BAP tidak benar karena terdakwa merasa
dirinya tidak pernah melakukan tindak pidana perkosaan.
4)
Terdakwa Joko Kustiono alias
Gepeng mengatakan, bahwa pada saat diperiksa oleh Penyidik dirinya diancam
(dipaksa) dan dipukul dengan kayu rotan oleh penyidik.
5)
Terdakwa Joko Kustiono alias
Gepeng menerangkan, bahwa pada hari Rabu, tanggal 1 Oktober 2003 sekitar jam
10.00 WIB, ia sedang mengejar ayam miliknya lewat dekat rumah Agustin dan pada
waktu itu terdakwa tahu bahwa Agustin sedang di kamar mandi, kemudian terdakwa
menyuruh Agustin untuk keluar dari kamar mandi dengan iming-iming akan
diberikan uang Rp.1000,00 bila Agustin mau keluar dari kamar mandi. Sehingga
terdakwa menganggap keterangan dalam BAP yang mengatakan bahwa pada hari Rabu,
tanggal 1 Oktober 2003 sekitar jam 10.00 WIB dirinya melakukan tindak pidana
perkosaan adalah tidak benar.
Dari uraian di atas, diketahui bahwa terdakwa Joko Kustiono alias
Gepeng telah menyangkal semua isi BAP atau mengingkari semua pengakuan yang
diberikannya di tingkat pemeriksaan penyidikan, selain itu terdakwa juga
memberikan keterangan baru yang tidak diutarakan di depan penyidik.
Dengan adanya penyangkalan atau pengingkaran tersebut, maka terbukti
bahwa terdakwa Joko Kustiono alias Gepeng benar-benar telah mencabut
keterangannya di sidang pengadilan.
b.
Fakta yang termuat dalam
surat penuntutan.
Dalam petikan surat tuntutan juga terdapat keterangan yang
menunjukan adanya pencabutan keterangan terdakwa dalam persidangan, antara lain
sebagai berikut:
“Keterangan terdakwa yang tidak mengakui Berita Acara Pemeriksaan
dari Penyidik dan tidak mengakui perbuatannya dan memberikan keterangan yang
berbelit-belit, juga mencabut semua keterangan yang diberikannya waktu
penyidikan, adalah tanpa alasan yang mendasar”.
Dari petikan surat tuntutan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada
prinsipnya Penuntut Umum juga menilai telah terjadi pencabutan keterangan
terdakwa di persidangan. Penilaian penuntut umum ini semakin memperjelas, bahwa
terdakwa Joko Kustiono alias Gepeng memang telah mencabut keterangannya di
sidang pengadilan.
c.
Fakta yang tertuang dalam
petikan putusan pidana.
Dalam petikan putusan pengadilan terutama pada bagian
pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim terhadap keterangan terdakwa, juga
terdapat penjelasan yang menandakan adanya pencabutan keterangan terdakwa di
persidangan. Berikut petikannya:
Bahwa pada intinya terdakwa dalam keterangannya di muka persidangan
menyangkal semua dakwaan Penuntut Umum.
Bahwa di muka persidangan terdakwa menarik seluruh keterangannya
yang tertuang di Berita Acara yang di buat Penyidik, dengan alasan bahwa pada
waktu diinterogasi di depan Penyidik terdakwa dipaksa untuk mengaku dan waktu
di depan Penyidik terdakwa di pukul.
Berdasarkan fakta-fakta di atas,
diketahui dan terbukti bahwa terdakwa Joko Kustiono alias Gepeng dalam
persidangan benar-benar telah mencabut keterangan pengakuan yang diberikannya
di tingkat pemeriksaan penyidikan.
Namun demikian, yang menjadi masalah
utama dalam penulisan hukum ini, bukanlah masalah dicabut atau tidaknya
keterangan terdakwa dalam persidangan, melainkan masalah mengenai bagaimana
hukumnya pencabutan keterangan terdakwa tersebut, dibolehkan atau tidak? Apakah
undang-undang membenarkan pencabutan keterangan yang diberikan terdakwa di luar
sidang? Dan bagaimana sikap hakim dalam menghadapi dan menilai keterangan pengakuan
yang dicabut kembali oleh terdakwa? Untuk menjawabnya, maka penulis dalam
pembahasan ini akan menganalisa dan melakukan tinjauan lebih lanjut terkait
dengan masalah pencabutan keterangan yang dilakukan oleh terdakwa Joko Kustiono
alias Gepeng.
Ditinjau dari segi yuridis, terdakwa
“berhak” dan dibenarkan “mencabut kembali” keterangan pengakuan yang diberikan
dalam penyidikan. Undang-undang pun pada dasarnya tidak membatasi hak terdakwa
untuk mencabut kembali keterangan yang demikian, asalkan pencabutan dilakukan
selama pemeriksaan persidangan pengadilan berlangsung dan pencabutan itu
mempunyai landasan alasan yang berdasar dan logis (M. Yahya Harahap, 2003:
325).
Pencabutan kembali tanpa dasar yang
logis adalah pencabutan yang tidak dapat dibenarkan oleh hukum, sebagaimana
ditegaskan oleh beberapa yurisprudensi, yang dijadikan pedoman dalam praktek
peradilan sampai sekarang. Hal ini dapat dilihat dari putusan Mahkamah Agung
tanggal 23 Februari 1960, No. 299 K/Kr/1959, yang menjelaskan:
“pengakuan terdakwa di luar sidang yang kemudian di sidang
pengadilan dicabut tanpa alasan yang berdasar merupakan petunjuk tentang
kesalahan terdakwa”.
Dari putusan ini dapat dilihat, antara lain:
1)
Pencabutan keterangan pengakuan
yang dibenarkan hukum adalah pencabutan yang dilandasi dengan alasan yang
berdasar dan logis,
2)
Pencabutan tanpa dasar alasan,
tidak dapat diterima,
3)
Penolakan pencabutan keterangan
pengakuan, mengakibatkan pengakuan tetap dapat dipergunakan sebagai pembantu
menemukan alat bukti.
Yurisprudensi yang senada dengan
putusan di atas, antara lain putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Februari 1960,
No. 225 K/Kr/1960, tanggal 25 Juni 1961, No. 6 K/Kr/1961 dan tanggal 27
September 1961, No. 5 K/Kr/196, yang menegaskan:
“pengakuan yang diberikan di luar
sidang tidak dapat dicabut kembali tanpa dasar alasan” (M. Yahya Harahap, 2003: 327).
Dari putusan-putusan di atas jelaslah bahwa setiap pencabutan wajib
disertai dengan alasan yang berdasar dan logis. Pencabutan harus disertai
dengan alasan yang berdasar dan logis mengandung arti, bahwa pencabutan
tersebut harus didasari alasan-alasan yang dapat dibuktikan kebenarannya.
Sehingga bila ada terdakwa yang mencabut keterangannya di persidangan dengan
alasan bahwa pada saat pemeriksaan penyidikan dirinya diancam, dipaksa atau
dipukul oleh penyidik, maka hakim harus membuktikan alasan tersebut terlebih
dahulu, sebelum menerima atau menolak pencabutan keterangan terdakwa.
Walaupun pada dasarnya terdakwa
dibolehkan untuk mencabut keterangannya di persidangan, namun pada kenyataannya
pencabutan keterangan terdakwa di persidangan, sulit untuk dapat diterima oleh
Hakim, salah satu alasannya adalah bahwa setelah dilakukan cross check
dengan saksi verbalisan (penyidik) yang memeriksa terdakwa pada tingkat
penyidikan, ternyata alasan terdakwa yang mendasari pencabutan tersebut tidak
terbukti, sehingga pencabutan ditolak oleh hakim.
Pada uraian di atas disebutkan bahwa
terdakwa Joko Kustiono alias Gepeng dalam persidangan pengadilan mencabut semua
keterangan pengakuan yang diberikannya di depan penyidik dengan alasan bahwa
pada saat diinterogasi di depan Penyidik, terdakwa dipaksa untuk mengaku dan
dipukul dengan kayu rotan sehingga merasa tersiksa baik fisik maupun psikisnya.
Akan tetapi, pada akhirnya yaitu saat pembacaan putusan, hakim menolak
pencabutan tersebut, dengan pertimbangan-pertimbangan pokok sebagai berikut:
Menimbang,
bahwa sejak awal persidangan telah pula didengar keterangan saksi verbalisan
yang telah disumpah menurut agamanya, menerangkan bahwa pemeriksaan terdakwa
Joko Kustiono alias Gepeng tidak ada pemaksaan.
Menimbang,
bahwa sejak awal persidangan yaitu pada waktu pemeriksaan saksi-saksi, terdakwa
menanggapi bahwa semua keterangan saksi yang menyangkut inti dakwaan adalah
tidak benar, akan tetapi pada akhir persidangan yaitu pada waktu terdakwa
ataupun penasehat hukum terdakwa diberikan kesempatan untuk mengajukan
pembelaan, pada pokoknya pembelaan penasihat hukum terdakwa mohon supaya
terdakwa diberikan ampunan dan keringanan seringan-ringannya, sementara dari
terdakwa sendiri secara lisan mohon supaya dijatuhi hukuman yang
seringan-ringannya, dengan alasan menyesali perbuatannya dan berjanji tidak
akan mengulangi lagi.
Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan tersebut di atas, maka tampak jelas terdakwa mengakui perbuatannya
sebagaimana dakwaan penuntut umum, dan oleh karenanya penyangkalan dan
pencabutan keterangan yang tertuang dalam Berita Acara Penyidik karena tidak
beralasan dan mengada-ada, maka haruslah ditolak.
Dari petikan di atas diketahui bahwa setidaknya ada dua unsur
penting yang dijadikan alasan atau pertimbangan oleh hakim dalam menolak
pencabutan keterangan pengakuan terdakwa Joko Kustiono alias Gepeng, yaitu:
1)
Unsur keterangan saksi
verbalisan, dan
2)
Unsur peninjauan terhadap
pembelaan terdakwa.
Terhadap kedua unsur di atas penulis
akan mencoba untuk melakukan analisa dan kajian lebih jauh dengan tujuan agar
diperoleh pembahasan yang lebih mendalam atas permasalahan dalam penulisan
hukum ini.
1)
Unsur keterangan saksi
verbalisan.
Seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa salah satu pertimbangan hakim dalam
menolak pencabutan tersebut karena adanya keterangan saksi verbalisan yang
menerangkan bahwa pemeriksaan terhadap terdakwa di kantor polisi tidak ada
pemaksaan.
Dengan
adanya keterangan saksi verbalisan ini, maka alasan pencabutan yang mengatakan
dirinya (terdakwa) telah diancam, dipaksa untuk mengaku dan dipukul oleh
penyidik, tidak terbukti. Berdasarkan keterangan ini, hakim menilai bahwa
dengan tidak terbuktinya alasan pencabutan tersebut, maka pencabutan tidak
dapat diterima.
Bila dilihat dari kebiasaan yang terjadi dalam persidangan, setiap
kali terjadi pencabutan keterangan oleh terdakwa terkait dengan adanya
pemaksaan maupun penyiksaan dalam penyidikan, maka sudah dapat dipastikan bahwa
tindakan pertama dari hakim dalam menyikapi pencabutan ini adalah dengan
memanggil saksi verbalisan, guna dilakukan cross check atau klarifikasi
dengan penyidik, guna membuktikan kebenaran alasan dari pencabutan keterangan
terdakwa.
Dengan mengetahui secara langsung keterangan dari saksi verbalisan
mengenai proses dan tata cara pemeriksaan yang dilakukan penyidik, maka hakim
akan mengetahui apakah telah terjadi pemaksaan atau ancaman terhadap diri
terdakwa pada saat penyidikan.
Bila ternyata dari hasil klarifikasi diketahui bahwa benar atau
terbukti telah terjadi pemaksaan, ancaman dan penyiksaan terhadap diri terdakwa
maka alasan pencabutan dapat diterima, sehingga keterangan yang terdapat dalam
BAP dianggap tidak benar, dan keterangan itu (BAP) tidak dapat digunakan
sebagai landasan untuk membantu menemukan bukti di sidang pengadilan.
Sebaliknya, jika dari hasil klarifikasi diketahui ternyata tidak
terjadi pemaksaan, ancaman dan penyiksaan terhadap diri terdakwa, maka alasan
pencabutan tidak dibenarkan, sehingga keterangan pengakuan terdakwa yang
tercantum dalam BAP tetap dianggap benar dan hakim dapat mempergunakannya
sebagai alat untuk membantu menemukan bukti di sidang pengadilan (M. Yahya
Harahap, 2003: 326).
Begitu besarnya pengaruh keterangan saksi verbalisan terhadap
diterima atau tidaknya pencabutan keterangan terdakwa, membuat kedudukan
keterangan saksi verbalisan menjadi sangat penting, terutama bagi hakim.
Melihat begitu besarnya peranan keterangan saksi verbalisan dalam masalah
pencabutan ini, maka penulis merasa perlu untuk mengkaji dasar-dasar yang
menjadi landasan hakim dalam mempercayai keterangan saksi verbalisan tersebut,
karena hakim tentunya mempunyai dasar yang kuat dalam mempercayai keterangan
saksi verbalisan.
Pada dasarnya seorang hakim tidak boleh langsung mempercayai keterangan saksi verbalisan, karena mungkin
saja keterangan dari penyidik juga terdapat unsur kebohongan, untuk menghindari
hal tersebut hakim memilik beberapa prinsip yang menjadi landasan hakim dalam
menilai kebenaran keterangan saksi verbalisan, antara lain yaitu:
a)
Dengan disumpah;
Sumpah dilakukan menurut agama atau keyakinan saksi verbalisan,
sumpah bertujuan agar saksi verbalisan dalam memberikan keterangannya tidak
berdusta. Karena sumpah dilakukan atas nama Tuhan, maka diyakini bahwa setelah
disumpah saksi verbalisan tidak akan memberikan keterangan bohong (lie)
maupun keterangan palsu (perjury), dengan asumsi bila saksi verbalisan
memberikan keterangan bohong atau palsu, maka akan mendapatkan hukuman langsung
dari Tuhan.
Namun demikian, ternyata sumpah saja tidak cukup untuk membuktikan
kebenaran keterangan saksi verbalisan dan tidak menjamin sepenuhnya kebenaran
keterangan saksi verbalisan, karena pada kenyataannya masih mungkin saksi
verbalisan memberikan keterangan bohong maupun keterangan palsu meskipun telah
disumpah. Terlepas dari hal demikian, setidaknya sumpah mampu memberikan
tambahan keyakinan bagi Hakim dalam menilai dan mempercayai kebenaran
keterangan saksi verbalisan.
b)
Menghubungkan keterangan saksi
verbalisan dengan alat-alat bukti lainnya;
Hakim tidak serta merta mempercayai keterangan saksi verbalisan,
karena tidak tertutup kemungkinan saksi
verbalisan dapat memberikan keterangan bohong maupun keterangan palsu meskipun
telah disumpah. Oleh karena itu sekedar sumpah saja tidaklah cukup bagi hakim
untuk mempercayai keterangan saksi verbalisan, melainkan harus didukung oleh
keterangan alat-alat bukti lain yang mengacu pada kebenaran keterangan saksi
verbalisan.
Dengan adanya kesesuaian antara keterangan saksi verbalisan dengan
keterangan alat-alat bukti lain, hakim akan merasa lebih yakin dalam
mempercayai keterangan saksi verbalisan. Sehingga penting bagi hakim untuk
melakukan analisa dan mencari keterkaitan antara keterangan saksi verbalisan
dengan keterangan alat-alat bukti lainnya, guna mendapatkan sebenar-benarnya
keyakinan atas kebenaran keterangan saksi verbalisan.
c)
Kepercayaan atas kode etik
korps jabatan.
Setiap penegak hukum pasti memiliki etika profesi sesuai dengan
jabatannya. Selain itu penegak hukum juga berkewajiban melaksanakan jabatannya
sesuai dengan kode etik profesinya. Bagi penegak hukum sendiri, ada kode etik
yang harus ditaati dan dijunjung tinggi sebagai pedoman dalam menjalankan
tugasnya sebagai penegak hukum.
Salah satu kode etik korps penegak hukum adalah kewajiban untuk
berlaku jujur, saling menghormati dan saling membantu antara sesama penegak
hukum. Berdasarkan hal ini kiranya dapat dimengerti bahwa sebagai penegak hukum
hakim dan penyidik (polisi) harus saling percaya, saling menghormati dan saling
membantu atau bekerja sama dalam menegakkan hukum.
Atas dasar tersebut hakim merasa dapat mempercayai keterangan saksi
verbalisan, karena hakim menilai bahwa penyidik dalam memberikan keterangan
pastilah dilandasi dengan kode etik korps penegak hukum yaitu kejujuran,
sehingga tidak mungkin akan memberikan keterangan bohong atau keterangan palsu
yang dapat mencoreng kehormatan korps penegak hukum.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa sebenarnya hakim
tidak boleh serta-merta mempercayai keterangan saksi verbalisan, dan
menjadikannya sebagai dasar penolakan pencabutan keterangan terdakwa, karena
jika hakim hanya mempercayai keterangan saksi verbalisan saja, maka dapat
dikatakan hakim cenderung tidak adil karena sifatnya yang subyektif atau
sepihak.
Apabila hakim mempercayai keterangan saksi verbalisan tanpa
mempertimbangkan hal-hal lain, dikhawatirkan dapat merugikan terdakwa dalam
pembelaan diri. Untuk itu hakim perlu memikirkan pertimbangan-pertimbangan
lain, termasuk isi hati nuraninya sendiri, sebelum memutuskan menerima
keterangan saksi verbalisan tersebut.
2)
Unsur peninjauan terhadap
pembelaan terdakwa.
Selain keterangan saksi verbalisan, yang menjadi dasar penolakan
hakim atas pencabutan keterangan terdakwa Joko Kustiono alias Gepeng adalah
adanya kejanggalan pada isi pembelaan terdakwa. Pada pembelaannya penasehat
hukum terdakwa pada pokoknya memohon agar terdakwa diberikan ampunan dan
keringanan seringan-ringannya, sementara terdakwa sendiri secara lisan mohon
supaya dijatuhi hukuman yang seringan-ringannya, dengan alasan menyesali
perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi.
Dari isi pembelaan tersebut diketahui, bahwa secara tidak langsung
terdakwa telah mengakui perbuatannya sebagaimana dakwaan penuntut umum, karena
logikanya bila terdakwa memang benar-benar tidak melakukan tindak pidana, pasti
dalam pembelaannya akan memuat permohonan untuk dibebaskan dari segala
tuntutan. Sedangkan dalam pembelaan terdakwa Joko Kustiono alias Gepeng ini,
yang termuat adalah permohonan untuk dijatuhi hukuman yang seringan-ringannya,
isi pembelaan ini sangat berlawanan dengan sikap terdakwa yang selama
persidangan bersikeras menganggap dirinya tidak melakukan tindak pidana
perkosaan sebagaimana dakwaan penuntut umum.
Dengan adanya kejanggalan dalam pembelaan tersebut maka hakim
menarik kesimpulan bahwa sebenarnya terdakwa mengakui perbuatannya sesuai
dakwaan penuntut umum, walaupun tidak diucapkannya secara langsung. Dan
berdasarkan hal ini pula, hakim merasa wajib untuk menolak pencabutan
keterangan pengakuan terdakwa yang diberikan pada saat pemeriksaan penyidikan.
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam
perkara Joko Kustiono alias Gepeng ini, hakim membuktikan alasan pencabutan
keterangan terdakwa dengan mencari petunjuk melalui klarifikasi dengan saksi
verbalisan dan melalui peninjauan terhadap isi pembelaan terdakwa. Setelah
melakukan peninjauan terhadap dua hal tersebut pada akhirnya hakim cukup merasa
yakin untuk memutuskan bahwa alasan pencabutan keterangan terdakwa tersebut
tidak dapat diterima karena tidak beralasan atau tidak terbukti kebenarannya.
Menurut pendapat penulis, pertimbangan hakim yang menolak pencabutan
keterangan terdakwa hanya dengan dasar petunjuk dari keterangan saksi
verbalisan dan isi pembelaan sangatlah riskan dan dikhawatirkan dapat merugikan
terdakwa dalam pembelaan diri.
Oleh karena itu, sebaiknya hakim mencari pertimbangan-pertimbangan
lain sebelum memutuskan menerima atau menolak pencabutan keterangan terdakwa,
dari pada sekedar mempertimbangkan keterangan saksi verbalisan dan isi
pembelaan, walaupun keterangan saksi verbalisan dan peninjauan terhadap isi
pembelaan juga cukup penting, namun akan lebih baik bila hakim mencari
pertimbangan-pertimbangan lain agar dalam mempertimbangkan alasan penolakan
pencabutan dapat lebih mantap dan utuh tanpa keragu-raguan.
Adapun yang masih dapat dijadikan pertimbangan oleh hakim sebelum
memutuskan menerima atau menolak pencabutan keterangan terdakwa, adalah dengan
mempertimbangkan secara seksama semua alat bukti dan fakta maupun keadaan yang
ditemukan selama persidangan berlangsung atau dengan kata lain hakim harus
menganalisa keterkaitan hubungan antar tiap-tiap alat bukti, barang bukti dan
keadaan selama persidangan berlangsung.
Menilai alasan pencabutan keterangan pengakuan, memerlukan kearifan
dan ketelitian, hal ini sering dilupakan oleh hakim. Kadang kala penolakan
hakim atas pencabutan, hanya didasari oleh keterangan saksi verbalisan semata
tanpa mempertimbangkan keadaan-keadaan lain di sekitarnya.
Dalam menghadapi adanya pencabutan pengakuan dari terdakwa, hakim
dituntut memiliki kemampuan kecakapan hukum dan keterampilan penguasaan yang
matang akan seluk-beluk pembuktian dan penilaian kekuatan pembuktian yang
diatur dalam hukum acara pidana serta dipadu dengan intuisi dan “seni
mengadili”. Jika semua ini dimiliki hakim, maka hakim akan mampu menilai dan
mempertimbangkan alasan pencabutan dengan mantap dan utuh (M. Yahya Harahap,
2003: 326).
Karena masalah pencabutan keterangan pengakuan terdakwa di muka
penyidik terletak sepenuhnya di pundak hakim, maka hakim harus sungguh-sungguh
mempertimbangkan pencabutan ini secara arif dan bijaksana. Salah satunya adalah
dengan melihat dan mencari keterkaitan hubungan antar tiap-tiap alat bukti,
barang bukti dan fakta-fakta selama persidangan berlangsung.
Dengan melakukan penilaian dan mencari hubungan yang ada pada
tiap-tiap alat bukti, barang bukti, dan fakta-fakta yang ada selama persidangan
berlangsung hakim akan memperoleh petunjuk yang berguna dalam mempertimbangkan
diterima atau tidaknya pencabutan tersebut, lebih dari itu hakim akan
memperoleh keyakinan dalam menilai kesalahan terdakwa, sehingga tidak ada
keraguan dalam diri hakim saat menjatuhkan putusan pidana.
Sebagai gambaran pentingnya hakim untuk mencari keterkaitan antar
tiap-tiap alat bukti, barang bukti dan fakta-fakta yang ada selama persidangan
dalam menyikapi pencabutan keterangan pengakuan oleh terdakwa, dapat dilihat
dari kasus Joko Kustiono alias Gepeng sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
Dalam kasus ini terdakwa Joko
Kustiono alias Gepeng di sidang pengadilan menyangkal semua dakwaan penuntut
umum, dan mencabut pengakuannya yang tertuang dalam BAP, akan tetapi setelah
dilakukan pemeriksaan terhadap alat-alat bukti ternyata tidak ada satu pun alat
bukti yang mendukung penyangkalan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari hasil
pemeriksaan alat-alat bukti sebagai berikut:
a)
Keterangan saksi korban Agustin
Setyawati.
Dari hasil pemeriksaan terhadap saksi Agustin Setyawati diperoleh
keterangan bahwa. Pada intinya benar saksi telah diperkosa dan yang melakukan
perkosaan tersebut adalah terdakwa Joko Kustiono.
b)
Keterangan saksi Suyadi.
Dari hasil pemeriksaan terhadap saksi Suyadi di peroleh keterangan
bahwa, saksi tahu anaknya diperkosa dari keterangan tetangganya dan dari
keterangan terdakwa waktu di kantor polisi.
c)
Keterangan saksi Nanik
Setyawati.
Dari hasil pemeriksaan terhadap saksi Nanik Setyawati di peroleh
keterangan bahwa, saksi mendengar sendiri dari saksi korban bahwa korban telah diperkosa
oleh terdakwa sampai 4 (empat) kali.
d)
Keterangan saksi Suroto Marto
Wiharjo.
Dari hasil pemeriksaan terhadap saksi Suroto Marto Wiharjo diperoleh
keterangan bahwa, saksi tahu korban Agustin Setyawati diperkosa oleh terdakwa
dari keterangan korban sendiri berdasarkan pertanyaan saksi Suroto kepada
korban.
e)
Keterangan saksi verbalisan
Dewa Nyoman Putra
Dari hasil pemeriksaan terhadap saksi verbalisan di peroleh
keterangan bahwa, benar terdakwa Joko Kustiono alias Gepeng dihadapan Penyidik
mengaku dengan memberikan keterangan secara jelas bahwa terdakwa telah
memperkosa Agustin Setyawati.
f)
Keterangan saksi ahli Dr.
Naniek Darwati.
Dari hasil pemeriksaan terhadap saksi ahli di peroleh keterangan
bahwa, benar dari hasil pemeriksaan, saksi ahli menemukan luka baru akibat
bersentuhan dengan benda tumpul pada selaput dara alat kelamin korban dan juga
terdapat sisa sperma pada liang vagina korban.
g)
Barang bukti.
Celana dalam korban Agustin Setyawati warna kusam yang terdapat
bekas sperma.
Dari hasil pemeriksaan alat-alat bukti di pengadilan tersebut,
diketahui bahwa pada pokoknya semua keterangan alat bukti memberikan keterangan
yang sama, yaitu mengarahkan bahwa pelaku perkosaan adalah terdakwa Joko
Kustiono alias Gepeng.
Akan tetapi, keterangan saksi saja belum dapat memberikan keyakinan
yang utuh kepada hakim tentang kesalahan terdakwa, terlebih lagi dengan tidak
adanya seorang saksi pun yang mengetahui dan secara langsung melihat terjadinya
tindak pidana perkosaan.
Menghadapi keadaan seperti ini hakim dituntut untuk jeli dan cermat
dalam menilai dan mempelajari tiap-tiap alat bukti, karena dengan kejelian dan
kecermatan tersebut, hakim akan mampu melihat persesuaian yang ada antara alat
bukti, barang bukti dan fakta-fakta yang ada selama persidangan berlangsung.
Berdasarkan persesuaian tersebut, hakim akan menemukan petunjuk baru yang dapat
memperkuat alasan hakim dalam melakukan penolakan pencabutan keterangan
terdakwa.
Hasil pemeriksaan yang dapat digunakan hakim untuk mendapatkan
petunjuk kasus Joko Kustiono alias Gepeng adalah:
a)
Keterangan saksi korban yang
mengatakan bahwa benar dirinya telah diperkosa oleh terdakwa.
b)
Keterangan semua saksi yang
mengarah pada kesalahan terdakwa.
c)
Hasil visum et repertum yang
menunjukan adanya indikasi telah terjadi perkosaan terhadap diri korban, yaitu
ditemukannya luka baru pada alat kelamin korban akibat benda tumpul.
d)
Adanya barang bukti berupa
celana dalam milik korban yang masih ada bekas air mani.
Dengan mendapatkan petunjuk baru tersebut setidaknya hakim akan lebih
yakin dalam menguraikan alasan penolakannya terhadap pencabutan keterangan
terdakwa. Sebab setidaknya ada petunjuk baru yang memperkuat petunjuk awal,
petunjuk awal adalah petunjuk yang diperoleh hakim dari hasil peninjauan
terhadap keterangan saksi verbalisan dan terhadap peninjauan isi pembelaan
terdakwa (M. Yahya Harahap, 2003: 326).
Dari hasil pembahasan terhadap kasus
Joko Kustiono alias Gepeng, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya yang menjadi
sebab ditolaknya pencabutan oleh hakim adalah karena tidak terbuktinya alasan
yang menjadi dasar pencabutan tersebut, dimana setelah hakim melakukan
persesuaian dalam persidangan terhadap alat-alat bukti, barang bukti dan
fakta-fakta lain yang ada dalam persidangan, ternyata tak satu pun yang dapat
membenarkan alasan pencabutan tersebut.
Berdasarkan seluruh uraian di atas
dan dari hasil penelitian di Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta dapat ditarik
kesimpulan bahwa pada prinsipnya pencabutan keterangan terdakwa dalam
persidangan boleh dilakukan oleh terdakwa, dengan syarat pencabutan dilakukan
selama pemeriksaan persidangan pengadilan berlangsung dan disertai dengan
alasan yang mendasar dan logis.
Alasan yang mendasar dan logis
tersebut mengandung arti bahwa alasan yang menjadi dasar pencabutan tersebut
harus dapat dibuktikan kebenarannya dan diperkuat atau didukung oleh
bukti-bukti lain yang menunjukkan bahwa alasan pencabutan tersebut benar dan
dapat dibuktikan oleh hakim.
B.
Implikasi Yuridis
Pencabutan Keterangan Terdakwa dalam Persidangan Terhadap Kekuatan Alat Bukti
Pada pembahasan di atas telah dijelaskan bahwa pada dasarnya
keterangan pengakuan yang diberikan di tingkat penyidikan, dapat dicabut
kembali oleh terdakwa di persidangan. Bahkan undang-undang pun tidak membatasi
hak terdakwa untuk mencabut kembali keterangan yang demikian, asalkan
pencabutan tersebut dilakukan selama pemeriksaan persidangan pengadilan
berlangsung dan disertai dengan alasan yang mendasar dan logis.
Suatu hal yang penting untuk diingat, hakim tidak boleh secara sembrono
menolak atau menerima begitu saja alasan pencabutan. Terlampau gampang menolak
alasan pencabutan, berarti hakim yang bersangkutan, dengan sengaja merugikan
kepentingan terdakwa dalam pembelaan diri. Sebaliknya terlalu gampang menerima
alasan pencabutan, mengakibatkan terdakwa yang benar-benar bersalah akan
dibebaskan dari pertanggung jawaban hukum, karena tidak jarang dijumpai kasus
perkara yang tumpuan pembuktiannya tersimpul dalam pengakuan berita acara
penyidikan. Artinya kunci yang membukakan pintu pembuktian sering harus dimulai
dari keterangan pengakuan yang diberikan terdakwa dalam berita acara
penyidikan.
Terlepas dari diterima atau tidaknya pencabutan keterangan terdakwa
oleh hakim, dengan adanya pencabutan tersebut pasti akan mempengaruhi proses
persidangan di pengadilan. Oleh karena itu perlu kesiapan dari hakim dan jaksa,
terutama dalam hal penguasaan seluk-beluk pembuktian dan “seni mengadili”. Hal
ini penting mengingat pengaruh pencabutan tersebut sangat luas mulai dari
penilaian pembuktian sampai pada putusan.
Implikasi dari adanya pencabutan keterangan terdakwa terhadap
kekuatan alat bukti, dapat diketahui setelah adanya penilaian hakim terhadap
alasan pencabutan tersebut, apakah hakim menerima atau menolak alasan
pencabutan dari terdakwa? Apabila hakim menerima alasan pencabutan, berarti
keterangan yang terdapat dalam berita acara penyidikan dianggap “tidak benar”
dan keterangan itu tidak dapat dipergunakan sebagai landasan untuk membantu
menemukan bukti di sidang pengadilan. Sebaliknya, apabila alasan pencabutan
tidak dapat dibenarkan maka keterangan pengakuan yang tercantum dalam berita
acara penyidikan tetap dianggap benar dan dapat dipergunakan sebagai landasan
untuk membantu menemukan bukti di sidang pengadilan (M.Yahya Harahap, 2003:
326).
Bila pencabutan keterangan pengakuan terdakwa ditolak oleh hakim,
karena dinilai alasan pencabutan keterangan tidak berdasar dan tidak logis,
maka penolakan tersebut ikut membawa dampak bagi kekuatan alat bukti keterangan
terdakwa itu sendiri, yaitu dengan ditolaknya pencabutan kembali tersebut,
Hakim menilai bahwa keterangan terdakwa (tersangka) di depan penyidiklah yang
mengandung unsur kebenaran dan mempunyai nilai pembuktian, sedangkan keterangan
terdakwa di persidangan yang menyangkal semua isi BAP dinilai tidak benar dan
tidak ada nilainya sama sekali dalam pembuktian.
Atas penilaian ini, Hakim kemudian menganggap keterangan terdakwa
(tersangka) di depan penyidik (BAP) dapat digunakan sebagai petunjuk untuk
membuktikan kesalahan terdakwa. Karena pada dasarnya dengan ditolaknya
pencabutan tersebut berarti pengakuan-pengakuan terdakwa yang tertulis dalam
BAP diterima sebagai suatu kebenaran yang sangat membantu hakim dalam
membuktikan kesalahan terdakwa.
Penggunaan keterangan pengakuan terdakwa sebagai petunjuk ini
dipertegas dengan putusan Mahkamah Agung tanggal 20 September 1977 No. 177 K/Kr/1965, yang
menegaskan:
“Bahwa pengakuan-pengakuan para Terdakwa I dan II di muka polisi dan
jaksa, ditinjau dalam hubungannya satu sama lain, dapat dipergunakan sebagai
petunjuk untuk menetapkan kesalahan terdakwa”.
Isi putusan Mahkamah Agung di atas mengandung kaidah bahwa
keterangan pengakuan yang diberikan di luar sidang, dapat dipergunakan hakim
sebagai “petunjuk” untuk menetapkan kesalahan terdakwa (M. Yahya Harahap, 2003:
326).
Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa dengan ditolaknya
pencabutan keterangan yang ada dalam BAP, maka terhadap keterangan yang
tertulis dalam BAP tersebut, oleh hakim kemudian dijadikan petunjuk dalam
menetapkan kesalahan terdakwa. Adapun pertimbangan hakim menggunakan keterangan
dalam BAP sebagai petunjuk, adalah karena keterangan tersebut secara utuh
menggambarkan kejadian peristiwa pidana yang didakwakan. Keutuhan ini mampu
melengkapi dan menegaskan alat bukti yang ditemukan dalam persidangan
pengadilan. Dengan kata lain, kedudukan keterangan pengakuan yang diberikan
terdakwa di depan pemeriksaan
penyidikan, tidak bisa berdiri sendiri. Fungsinya hanya dapat dipergunakan
sebagai petunjuk untuk menyempurnakan pembuktian alat bukti lain. Atau
berfungsi dan bernilai “untuk mencukupi dan “mengungkapkan” keterbuktian
kesalahan terdakwa (M. Yahya Harahap, 2003: 327).
Demikian halnya dengan kasus Joko Kustiono, dimana pencabutan
keterangan yang dilakukan terdakwa Joko Kustiono, ditolak oleh Hakim dengan
dasar bahwa alasan pencabutan tersebut tidak terbukti kebenarannya, karena
setelah dilakukan cross check dengan
saksi verbalisan dan setelah Hakim melakukan pengamatan atas fakta-fakta dan
alat-alat bukti dalam persidangan ternyata tidak satu pun yang dapat membenaran
alasan pencabutan keterangan pengakuan tersebut. Bahkan dengan ditolaknya
pencabutan tersebut, Hakim kemudian menjadikan keterangan dalam BAP sebagai
petunjuk dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Sebagaimana yang diutarakan oleh
Adnan Paslyadja (1997: 73) yang menjelaskan bahwa penyangkalan terdakwa yang
melalui alat bukti lain dapat dibuktikan sebagai kebohongan dapat di terima
sebagai alat bukti petunjuk. Sehingga, dengan tidak ada satu pun alat bukti
yang mendukung pencabutan keterangan oleh terdakwa, maka keadaan ini dapat
dijadikan petunjuk bagi hakim dalam menilai atau membuktikan kesalahan
terdakwa.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan, bahwa implikasi dari ditolaknya
pencabutan, terhadap kekuatan alat bukti keterangan terdakwa adalah, hakim akan
menilai keterangan terdakwa di sidang pengadilan sebagai suatu keterangan yang
tidak mengandung unsur kebenaran dan tidak ada nilainya sama sekali dalam
pembuktian (tidak dapat digunakan sebagai alat bukti).
Sedangkan bila pencabutan keterangan pengakuan terdakwa diterima
hakim, karena alasan pencabutan yang dapat dibuktikan kebenarannya, hal ini
juga akan membawa dampak bagi kekuatan alat bukti keterangan terdakwa itu
sendiri, yaitu dengan diterimanya pencabutan tersebut, hakim akan menilai bahwa
keterangan terdakwa di persidanganlah yang mempunyai nilai kebenaran dan dapat
digunakan dalam pembuktian, sedangkan terhadap
keterangan terdakwa (tersangka) di depan penyidik (BAP) dinyatakan tidak
benar dan tidak ada nilainya sama sekali dalam pembuktian.
Kesimpulannya, bahwa implikasi dari diterimanya pencabutan, terhadap
kekuatan alat bukti keterangan terdakwa adalah, hakim akan menilai keterangan
terdakwa di sidang pengadilan sebagai suatu keterangan yang mengandung unsur
kebenaran dan dapat digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan.
Kesimpulan akhir dari seluruh uraian di atas, bahwa implikasi dari
pencabutan keterangan terdakwa dalam persidangan terhadap kekuatan alat bukti
keterangan tersangka adalah:
1
Apabila pencabutan tersebut
diterima oleh hakim, maka konsekuensi yuridisnya adalah keterangan terdakwa
dalam persidangan pengadilan dapat digunakan sebagai alat bukti dan keterangan
terdakwa (tersangka) di tingkat penyidikan tidak dapat digunakan sama sekali
untuk menemukan bukti di persidangan karena isinya yang dinilai tidak benar.
2
Sedangkan apabila pencabutan
ditolak oleh hakim, maka konsekuensi yuridisnya adalah keterangan terdakwa
dalam persidangan pengadilan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti, justru
keterangan terdakwa (tersangka), di tingkat penyidikanlah (BAP) yang kemudian
dapat digunakan dalam membantu menemukan bukti di persidangan.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Dari perumusan masalah yang penulis kemukakan serta pembahasannya
baik yang berdasarkan atas teori maupun data-data yang penulis dapatkan selama
mengadakan penelitian, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:
Bahwa pada prinsipnya
pencabutan keterangan terdakwa dalam persidangan boleh dilakukan oleh terdakwa,
dengan syarat pencabutan dilakukan selama pemeriksaan persidangan pengadilan
berlangsung dan harus disertai dengan alasan yang mendasar dan logis. Alasan
yang mendasar dan logis tersebut mengandung arti bahwa alasan yang menjadi
dasar pencabutan tersebut harus dapat dibuktikan kebenarannya dan diperkuat
atau didukung oleh bukti-bukti lain yang menunjukkan bahwa alasan pencabutan
tersebut benar dan dapat dibuktikan oleh hakim.
Implikasi dari
pencabutan keterangan terdakwa dalam persidangan terhadap kekuatan alat bukti
keterangan tersangka adalah:
1
Apabila pencabutan diterima
oleh hakim, maka keterangan terdakwa dalam persidangan pengadilan dapat
digunakan sebagai alat bukti dan keterangan terdakwa (tersangka) di tingkat
penyidikan tidak digunakan sama sekali untuk menemukan bukti di persidangan
karena isinya yang dinilai tidak benar.
2
Sedangkan apabila pencabutan
ditolak oleh hakim, maka keterangan terdakwa dalam persidangan pengadilan tidak
dapat digunakan sebagai alat bukti, justru keterangan terdakwa (tersangka), di
tingkat penyidikanlah (BAP) yang kemudian dapat digunakan dalam pembuktian.
|
Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka sebagai akhir dari seluruh
tulisan ini, dapat diajukan saran-saran sebagai berikut:
Hakim
hendaknya dalam menolak atau menerima pencabutan keterangan terdakwa harus
bersikap hati-hati, arif dan bijaksana. Tidak sembrono dan sewenang-wenang.
Harus lebih dulu dengan teliti mengadakan pemeriksaan yang menyeluruh secara
cermat dan seksama termasuk mengedepankan sanubari dan hati nuraninya. Jangan
hanya bersandar pada kebiasaan-kebiasaan yang bersifat formal di persidangan
Keserampangan hakim dalam menolak atau menerima pencabutan keterangan terdakwa,
dapat merugikan pembelaan terdakwa.
TINJAUAN TENTANG PENCABUTAN KETERANGAN
TERDAKWA DALAM PERSIDANGAN DAN IMPLIKASI YURIDISNYA
TERHADAP KEKUATAN ALAT BUKTI
(Studi Kasus di Pengadilan Negeri Kelas IA
Surakarta )
![]() |
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi
Tugas dan Syarat-syarat
Guna Memperoleh Derajat Sarjana dalam Ilmu
Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret
Surakarta
Oleh:
ANDRE AGUS SETIAWAN
NIM: E 0002071
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2006
PERSETUJUAN
Penulisan Hukum (Skripsi) ini telah disetujui untuk dipertahankan
dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
Dosen Pembimbing Skripsi
Bambang Santoso, S.H., M. Hum.
NIP. 131 863 797
PENGESAHAN
Penulisan Hukum (Skripsi) ini telah diterima dan dipertahankan oleh
Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta
Pada :
Hari :
Sabtu Kliwon
Tanggal : 28
Januari 2006
DEWAN PENGUJI
(1)…………………………………….. ( Kristyadi,
S.H., M.Hum )
(2)…………………………………….. ( Edy Herdyanto, S.H., M.H. )
(3)…………………………………….. ( Bambang Santoso, S.H., M.Hum )
Mengetahui
Dekan
(Dr. Adi Sulistiyono, S.H., M.H.)
NIP. 131 793 333
MOTTO
$ygr'¯»t z`Ï%©!$# (#qãZtB#uä
(#qãYÏètGó$# Îö9¢Á9$$Î/ Ío4qn=¢Á9$#ur 4 ¨bÎ)
©!$# yìtB
tûïÎÉ9»¢Á9$#
ÇÊÎÌÈ
“Hai orang-orang yang beriman,
jadikanlah sabar dan shalat
sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah
beserta orang-orang yang sabar”
(Al Baqarah: 153).
“Mengapa
manusia dapat terjatuh,
agar
ia dapat segera bangkit”
(Thomas
Wayne)
PERSEMBAHAN
Penulisan hukum ini kupersembahkan untuk:
Orangtuaku,
Saudara
Seperguruan,
Almamaterku
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala rahmat
dan hidayahnya yang telah memberikan kelapangan dan kemudahan di dalam
penulisan hukum ini serta dengan mengucap syukur alhamdulillah, penulisan hukum
(skripsi) yang berjudul “TINJAUAN TENTANG PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM
PERSIDANGAN DAN IMPLIKASI YURIDISNYA TERHADAP KEKUATAN ALAT BUKTI (STUDI KASUS
DI PENGADILAN NEGERI KELAS IA SURAKARTA)” dapat Penulis selesaikan.
Penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui
bagaimana ketentuan hukum pencabutan keterangan terdakwa dalam persidangan,
dalam hal ini di Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta serta guna mengetahui
bagaimana implikasi yuridis dari pencabutan keterangan terdakwa terhadap
kekuatan alat bukti.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu baik materiil maupun non materiil
sehingga penulisan hukum ini dapat diselesaikan, terutama kepada:
1.
Bapak Dr. Adi Sulistiyono,
S.H., M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2.
Bapak Bambang Santoso, S.H,
M.Hum, selaku Pembimbing Penulisan Hukum (Skripsi) yang telah menyediakan waktu
dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan bagi penulis dalam
menyusun Penulisan Hukum (Skripsi) ini.
3.
Bapak Waluyo, S.H, M.Si, selaku
Pembimbing Akademis, yang telah memberikan nasehat, motivasi dan ilmu yang
berguna bagi penulis selama menempuh perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
4.
Bapak dan Ibu Dosen Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah menyalurkan pengetahuan
dibidang ilmu hukum kepada penulis sehingga dapat menjadi bekal dalam
penyusunan penulisan hukum (skripsi) ini dan semoga dapat segera penulis
amalkan.
5.
Bapak Suroso, S.H, selaku Ketua
Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta yang telah memberi ijin untuk melakukan
penelitian dan memperoleh data-data yang penulis butuhkan.
6.
Bapak M. Kadarisman, S.H,
selaku Hakim Pembimbing yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran
dalam melakukan penelitian di Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta .
7.
Bapak Agus Mulyadi, S.H, Bapak
Eko S.H, Bapak Ari K S.H, beserta seluruh staf Pengadilan Negeri Kelas IA
Surakarta yang telah banyak membantu penulis dalam melakukan penelitian maupun
dalam mencari data.
8.
Keluarga Alm. Permadi Winoto
tercinta, walaupun jauh namun doa, kasih sayang dan pengorbanan kalian sangat
berarti bagi terselesaikannya penulisan hukum ini.
9.
Keluarga Bapak Drs. Agus Widodo
terhormat, terima kasih atas segala doa, cinta kasih serta pengorbanan yang tak
ternilai kepada penulis dalam menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta
10. Semua sahabatku yang berkaki dua maupun berkaki empat, yang telah
membantu menghilangkan kejenuhan dan “refreshing
my little brain”
Mengingat keterbatasan kemampuan diri penulis, penulis sadar bahwa
penulisan hukum (skripsi) ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu adanya
saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca sangat penulis harapkan.
Akhir kata penulis berharap semoga penulisan hukum ini dapat
memberikan manfaat bagi kita semua, terutama untuk perkembangan hukum acara
pidana, kalangan akademisi, praktisi serta masyarakat umum.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL.…………………………………………………... i
HALAMAN
PERSETUJUAN.………………………………………… ii
HALAMAN
PENGESAHAN.…………………………………………. iii
HALAMAN MOTTO DAN
PERSEMBAHAN.………………………. iv
KATA
PENGANTAR.…………………………………………………. v
DAFTAR
ISI.…………………………………………………………… vii
DAFTAR GAMBAR DAN
TABEL.…………………………………... x
DAFTAR
LAMPIRAN.………………………………………………... xi
ABSTRAK.……………………………………………………………... xii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
…………………………………………… 1
B.
Perumusan
Masalah.……………………………………………….. 8
C.
Tujuan
Penelitian.………………………………………………….. 9
D.
Manfaat
Penelitian…………………………………………….……. 9
E.
Metode
Penelitian…………………………………………………... 10
1.
Jenis
Penelitian…………………………………………………. 11
2.
Lokasi
Penelitian………………………………………….……. 12
3.
Jenis
Data………………………………………………………. 12
4.
Sumber
Data……………………………………………………. 13
5.
Teknik Pengumpulan
Data……………………………….…….. 13
6.
Teknik Analisis
Data…………………………………………… 13
F.
Sistematika Penulisan Hukum
(Skripsi)……………………………. 17
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka
Teori……………………………………………………… 19
1. Tinjauan
Umum tentang Pembuktian……………………………
19
a.
Pengertian
Pembuktian........................................................... 19
b.
Prinsip-Prinsip
Pembuktian................................................... 20
c.
Teori-Teori atau Sistem Pembuktian...................................... 23
d.
Alat-Alat Bukti Yang Sah Dalam Pembuktian Hukum
Acara
Pidana........................................................................... 26
2. Tinjauan
Umum tentang Alat Bukti Keterangan Terdakwa….… 28
a.
Dasar Hukum Alat Bukti Keterangan Terdakwa................... 28
b.
Pengertian Terdakwa dan Tersangka..................................... 28
c.
Pengertian Alat Bukti Keterangan Terdakwa........................ 29
d.
Asas Penilaian Keterangan Terdakwa.................................... 31
e.
Keterangan Terdakwa Saja Tidak Cukup Membuktikan
Kesalahannya.........................................................................
33
f.
Keterangan Terdakwa Di Luar Sidang
(The Conffesion Outside
The Court)..................................... 33
g.
Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Terdakwa............... 34
B. Kerangka
Pemikiran………………………………………………... 37
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pencabutan
Keterangan Terdakwa Dalam Persidangan
(di
Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta )…………………………
38
1.
Deskripsi
Kasus………………………………………………… 38
a.
Posisi Putusan Pengadilan
Negeri Kelas IA
b.
Dakwaan Jaksa Penuntut
Umum……………………….…... 39
c.
Tuntutan Jaksa Penuntut
Umum……………………………. 39
d.
Pembelaan
Terdakwa……………………………………….. 43
e.
Pertimbangan-Pertimbangan Hakim
……………………….. 43
f.
Putusan……………………………………………………… 48
2.
Pembahasan .................................................................................. 48
B. Implikasi Yuridis Pencabutan Keterangan Terdakwa Terhadap
Kekuatan Alat Bukti………………………………………………... 67
BAB IV PENUTUP
A.
Kesimpulan…………………………………………………………… 72
B.
Saran………………………………………………………………….. 73
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL
Halaman
GAMBAR
Gambar 1.1 Komponen-Komponen
Analisis Data
(Model Interaktif)…………….………………………… 15
Gambar 1.2 Kerangka
Pemikiran…………………………………….. 37
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I Surat Permohonan Ijin Penelitian.
Lampiran II
Surat Keterangan Penelitian.
Lampiran III Berita Acara
Persidangan No: 306/Pid.B/PN.Ska.
(Pemeriksaan
persidangan terhadap terdakwa)
Lampiran IV Putusan
Pengadilan Negeri Kelas IA Surakarta
No.
306/Pid.B/2003/Pn.Ska.
Lampiran V Berkas
Perkara Penyidikan NO.POL: BP/307/XI/2003.
(Pemeriksaan
penyidikan kepolisian terhadap terdakwa)
Adnan Paslyadja. 1997. Hukum Pembuktian. Jakarta : Pusat Diktat Kejaksaan Republik Indonesia .
Andi Hamzah. 2002. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika.
Bambang Poernomo. Pola Dasar Teori-Asas Umum Hukum Acara Pidana
Dan Penegakan Hukum Pidana. Yogyakarta : Liberty .
Bambang Waluyo. 1992. Sistem Pembuktian Dalam Peradilan
Indonesia. Jakarta :
Sinar Grafika.
Burhan Ashshofa. 2000. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Rineka Cipta.
Darwan Prinst. 1998. Hukum Acara Pidana Dalam Praktik. Jakarta: Djambatan.
Erni Widhayanti. 1988. Hak-hak Tersangka/Terdakwa di dalam KUHAP.
Yogyakarta : Liberty .
G. W. Bawengan. 1989. Penyelidikan Perkara Pidana dan Teknik
Interogasi. Jakarta: Pradnya
Paramita.
Hamrat Hamid dan Hasan M. Husein. 1991. Pembahasan Permasalahan
KUHAP Bidang Penuntutan dan Eksekusi: Dalam Tanya jawab. Jakarta : Sinar Grafika.
Hari Sasangka dan Lily Rosita.2003. Hukum Pembuktian Dalam
Perkara Pidana. Bandung :
Mandar Maju.
_____________. 2003. Komentar Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana. Bandung :
Mandar Maju.
Heribertus Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta : Sebelas Maret University
Press.
Hilman Hadikusuma. 1995. Metode
Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum. Bandung : Mandar Maju.
Martiman Prodjohamidjojo. 1984. Komentar Atas KUHAP: Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana. Jakarta: Pradnya Paramita.
M. Yahya Harahap. 2003. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP: Pemerikasaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali:
Edisi Kedua. Jakarta :
Sinar Grafika.
Matthew B. Milles dan A. Michael Hubberman. 1992. Analisis Data
Kualitatif (diterjemahkan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi). Jakarta : UI-Press.
Moch Faisal Salam. 2001. Hukum Acara Pidana Dalam dan Praktek.
Bandung : Mandar
Maju.
Moeljatno. 2001. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta : Bumi Aksara.
Satjipto Rahardjo. 1982. Ilmu
Hukum. Bandung :
Alumni.
Sinar Grafika. 2000. KUHAP dan KUHP. Jakarta : Sinar Grafika.
Slamet Soeseno. 1986. Teknik
Penulisan Ilmiah Populer. Jakarta :
Gramedia.
Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Indonesia
Press.
Subekti.
2001. Hukum Pembuktian. Jakarta :
Pradnya Paramita.
0 komentar:
Post a Comment