PELAKSANAAN
PEMBERIAN KREDIT
DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN
ABSTRAKSI
Adanya aturan hukum mengenai pelaksanaan pembebanan Hak Tanggungan dalam suatu perjanjian kredit bertujuan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi semua pihak dalam memanfaatkan tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah sebagai jaminan kredit. Untuk itu, praktik pengikatan kredit dengan jaminan Hak Tanggungan dalam kegiatan dalam kegiatan perbankan hendaknya dapat pula dilaksanakan sesuai dengan apa yang telah diatur dalam UUHT. Permasalahan yang akan diteliti adalah mengenai tata cara pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan pada PD BPR BKK Tengaran, serta hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan beserta cara mengatasinya.
Metode yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah metode pendekatan yuridis sosiologis, yaitu penelitian yang menekankan pada ilmu hukum dan berusaha menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat. Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah PD BPR BKK Tengaran yang berada di Kabupaten Semarang. Pengambilan sampel dilakukan menggunakan teknik non random sampling, karena tidak semua unsur dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi wakil dari populasi. Jenis sampel yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu penelitian dengan menggunakan pertimbangan dalam menentukan sampel berdasarkan pengetahuan yang cukup serta ciri-ciri tertentu yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.
Dari penelitian yang dilakukan pada PD PBR BKK Tengaran diperoleh hasil mengenai tata cara pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan yang meliputi pemberian kredit oleh PD BPR BKK Tengaran yang menimbulkan hak dan kewajiban antara kedua belah pihak (kreditur dan debitur), pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum terhadap hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan, pendaftaran Akta pemberian Hak Tanggungan dimaksudkan untuk mendapatkan kepastian hukum antara pihak kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan dan pihak debitur sebagai pemberi Hak Tanggungan serta mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya, serta hambatan-hambatan yang dihadapi oleh PD BPR BKK Tengaran dan cara mengatasinya. Hambatan-hambatan tersebut adalah mengenai tanaha yang belum bersertifikat dijadikan sebagai jaminan kredit cara mengatasinya adalah dengan memberikan kredit kepercayaan (kredit tanpa jaminan) dan upaya yang dilakukan PD BPR BKK Tengaran dalam mengatasi kredit macet antara lain dengan melakukan pelelangan terhadap benda jaminan debitur dan restrukturisasi kredit. Dari hasil penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan yaitu kredit perbankan mempunyai peran yang sangat penting dalam bidang perekonomian terutama praktik pengikatan jaminan kredit dengan jaminan Hak Tanggungan yang bertujuan untuk memberikan jaminan kepastian hukum antar kedua belah pihak.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pembagunan di bidang ekonomi, merupakan bagian dari pembangunan
nasional, salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Dalam rangka memelihara
kesinambungan pembangunan tersebut, yang para pelakunya meliputi baik
pemerintah maupun masyarakat sebagai orang perorangan dan badan hukum, sangat
diperlukan dana dalam jumlah yang besar. Salah satu sarana yang mempunyai peran strategis dalam pengadaan dana
tersebut adalah Perbankan. Berbagai lembaga keuangan, terutama bank
konvensional, telah membantu pemenuhan kebutuhan dana bagi kegiatan
perekonomian dengan memberikan pinjaman uang antara lain dalam bentuk kredit
perbankan. Kredit perbankan merupakan salah satu usaha bank konvensional yang
telah banyak dimanfaatkan oleh anggota masyarakat yang memerlukan dana.
Pasal 3
dan 4 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 juncto Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998[1] tentang Perbankan disebutkan bahwa fungsi
utama Perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana
masyarakat yang bertujuan menunjang pelaksanan pembangunan nasional ke arah
peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Dalam menjalankan fungsinya tersebut,
maka bank melakukan usaha menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan
berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk
lainnya yang dipersamakan dengan itu. Dalam hal ini bank juga menyalurkan dana
yang berasal dari masyarakat dengan cara memberikan berbagai macam kredit.
Pengertian kredit menurut Pasal 1 angka 11
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam
meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Berdasarkan ketentuan tersebut dalam pembukaan kredit perbankan harus
didasarkan pada persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam atau dengan
istilah lain harus didahului dengan adanya perjanjian kredit.
Perjanjian kredit yang diberikan oleh bank kepada
nasabah bukanlah tanpa risiko, karena suatu risiko mungkin saja terjadi. Risiko
yang umumnya terjadi adalah risiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasan.
Keadaan tersebut sangatlah berpengaruh kepada kesehatan bank, karena uang yang
dipinjamkan kepada debitor berasal atau bersumber dari masyarakat yang disimpan
pada bank itu sehingga risiko tersebut sangat berpengaruh atas kepercayaan
masyarakat kepada bank yang sekaligus kepada keamanan dana masyarakat tersebut.
Kredit yang diberikan oleh bank tentu saja
mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan
asas-asas perkreditan yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan
pemberian kredit dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur
untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor
penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut,
sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang saksama terhadap
watak, kemampuan, modal agunan, dan prospek usaha dari debitur. Apabila
unsur-unsur yang ada telah dapat meyakinkan kreditur atas kemampuan debitur
maka jaminan cukup hanya berupa jaminan pokok saja dan bank tidak wajib meminta
jaminan tambahan. [2]
Jaminan pokok yang dimaksud dalam pemberian kredit
tersebut adalah jaminan yang berupa
sesuatu atau benda yang berkaitan langsung dengan kredit yang dimohon. Sesuatu
yang dimaksud di sini adalah proyek atau prospek usaha yang dibiayai dengan
kredit yang dimohon, sementara itu yang dimaksud benda di sini adalah benda
yang dibiayai atau dibeli dengan kredit yang dimohon. Jenis tambahan yang
dimaksud adalah jaminan yang tidak bersangkutan langsung dengan kredit yang
dimohon. Jaminan ini berupa jaminan kebendaan yang objeknya adalah benda milik
debitur maupun perorangan, yaitu kesanggupan pihak ketiga untuk memenuhi
kewajiban debitur.[3]
Kita mengenal dua jenis hak jaminan kredit dalam
praktik di masyarakat, yaitu:
1. Hak-hak jaminan kredit perorangan (personal
guarantly), yaitu jaminan sesorang pihak ketiga yang bertindak untuk
menjamin dipenuhinya kewajiban- kewajiban debitur. Termasuk dalam golongan ini
antara lain “borg” yaitu pihak ketiga yang menjamin bahwa hutang orang
lain pasti dibayar;
2. Hak-hak jaminan kredit kebendaan (persoonlijke
en zakelijke zekerheid), yaitu jaminan yang dilakukan oleh kreditur dengan
debiturnya, ataupun antara kreditur dengan seseorang pihak ketiga yang menjamin
dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitur. Termasuk golongan ini apabila yang
bersangkutan didahulukan terhadap kreditur-kreditur lainnya dalam hal pembagian
penjualan hasil harta benda debitur, meliputi: previlege (hak istimewa),
gadai, dan hipotek.
Praktik jaminan yang sering digunakan pada
perbankan Indonesia, adalah jaminan kebendaan yang meliputi:
1. Hipotek, yaitu suatu hak kebendaan atas
benda-benda tidak bergerak, untuk mengambil penggantian dari padanya bagi
pelunasan suatu perikatan (pasal 1162 KUH Perdata);
2. Credietverband, yaitu suatu jaminan atas tanah berdasarkan Koninklijk
Besluit (KB) tanggal 6 Juli Tahun 1908 No. 50 (Stbl 1908 No. 542);
Lembaga jaminan Hak Tanggungan digunakan untuk
mengikat objek jaminan utang yang berupa tanah atau benda-benda yang berkaitan
dengan tanah yang bersangkutan. Dengan berlakunya Undang-undang Hak Tanggungan
Tahun 1996, maka hipotek yang diatur oleh KUH Perdata dan credietverband
yang sebelumnya digunakan untuk mengikat tanah sebagai jaminan hutang, untuk
selanjutnya sudah tidak dapat digunakan oleh masyaraat untuk mengikat tanah.
Pengikatan objek jaminan hutang berupa tanah sepenuhnya dilakukan melalui
lembaga jaminan Hak Tanggungan.[5] Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan, yang untuk selanjutnya disebut UUHT memberikan definisi “Hak
Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah”, yang
selanjutnya disebut “Hak Tanggungan”, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1
ayat (1) UUHT sebagai berikut
“Hak Tanggungan
adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur
lain.”
Adanya aturan hukum mengenai pelaksanaan
pembebanan Hak Tanggungan dalam suatu perjanjian kredit bertujuan untuk
memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi semua pihak dalam memanfaatkan
tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah sebagai jaminan kredit.
Untuk itu, praktik pengikatan kredit dengan jaminan Hak Tanggungan dalam
kegiatan perbankan hendaknya dapat pula dilaksanakan sesuai dengan apa yang
telah diatur dalam UUHT. Dari hal tersebut mendorong penulis untuk melakukan
penelitian tentang pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan
di lingkungan perbankan, khususnya bagi masyarakat kecil yang membutuhkan modal
yang tidak terlalu besar, beserta hambatan-hambatan yang dihadapi dalam
pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan hak Tanggungan dalam praktik. Untuk
mengetahui lebih lanjut hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan pemberian
kredit dengan jaminan Hak Tanggungan dan hambatan-hambatan yang dihadapi dalam
praktik maka penulis mengadakan penelitian dengan judul: “Pelaksanaan
Pemberian Kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan pada Perusahaan Daerah Bank
Perkreditan Rakyat Badan Kredit Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang ”.
B.
Perumusan Masalah
Dengan
memperhatikan alasan pemilihan judul penelitian, maka dirumuskan masalah-masalah
untuk dijadikan pedoman penelitian agar mencapai sasarannya. Adapun
masalah-masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut.
1.
Bagaimana tata cara pelaksanaan
pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan di PD BPR BKK Tengaran?
2.
Apa saja hambatan-hambatan yang
dihadapi dalam pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan dan
cara mengatasi di PD BPR BKK Tengaran?
C.
Tujuan Penelitian
Dalam penyusunan penulisan hukum ini mempunyai
tujuan yaitu:
1. Untuk mengetahui tata cara pemberian
kredit dengan jaminan Hak Tanggungan di PD BPR BKK Tengaran;
2. Untuk mengetahui apa saja
hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan pemberian kredit dengan
jaminan Hak Tanggungan dan cara penyelesaiannya di PD BPR BKK Tengaran.
D.
Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian
ini antara lain:
1.
Kegunaan Teoretis
Diharapkan hasil penelitian ini mempunyai kegunaan bagi keberadaan
dan perkembangan ilmu hukum.
2.
Kegunaan Praktis
a.
Menambah wawasan dan cakrawala
bagi penulis dalam kaitannya dengan pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan
Hak Tanggungan dan hambatan-hambatan yang dihadapi dalam praktik;
b.
Sebagai bahan masukan bagi
pihak-pihak yang terkait dengan materi penulisan hukum ini;
c. Dapat digunakan sebagai pedoman bagi
penelitian-penelitian berikutnya.
E.
Metode Penelitian
1. Metode
pendekatan
Di dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode
pendekatan yuridis sosiologis, yaitu penelitian yang menekankan pada ilmu hukum
dan berusaha menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat.[6]
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu penelitian deskriptif analitis. Maksud dari penelitian ini
adalah untuk memperoleh gambaran yang lengkap dan jelas tentang permasalahan
yang ada pada masyarakat yang kemudian dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan
atau peraturan-peraturan hukum yang berlaku, sehingga akhirnya dapat diperoleh
simpulan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data diusahakan sebanyak mungkin data yang
diperoleh guna penyusunan penulisan hukum lebih lanjut yang meliputi : a. Data
Primer
Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari informan
dengan cara wawancara bebas terpimpin, yaitu dengan terlebih dahulu
mempersiapkan pokok-pokok pertanyaan (guide interview) sebagai pedoman
dan variasi-variasi dengan situasi ketika wawancara.
b. Data Sekunder
Data Sekunder yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan
guna mendapatkan landasan teoretis terhadap pelaksanaan perjanjian kredit
dengan jaminan Hak Tanggungan. Disamping itu tidak menutup kemungkinan
diperoleh bahan hukum lain, dimana pengumpulan bahan hukumnya dilakukan dengan
cara membaca, mempelajari, serta menelaah data yang terdapat dalam buku,
literatur, tulisan-tulisan ilmiah, dokumen-dokumen hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan objek penelitian. Bahan-bahan hukum
tersebut berupa:
1)
Bahan Hukum Primer, yaitu bahan
hukum yang mengikat yang terdiri atas:
(a)
Kitab Undang-undang Hukum
Perdata
(b)
Undang-undang No. 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan
(c)
Undang-undang No. 10 Tahun 1998
tentang Perbankan
2)
Bahan hukum sekunder, yaitu
bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer antara lain
buku, tulisan ilmiah, hasil penelitian ilmiah, laporan makalah lain yang
berkaitan dengan materi penelitian.
3)
Bahan hukum tersier, yaitu
bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri atas:
(a)
Kamus Hukum
(b)
Kamus Umum Bahasa Indonesia
4. Populasi
dan Teknik Sampling
Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah PD BPR BKK Tengaran
yang berada di Kabupaten Semarang. Pengambilan sampel dilakukan menggunakan
teknik non random sampling, karena tidak semua unsur dari populasi
mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi wakil dari populasi. Jenis sampel
yang digunakan adalah purposive
sampling, yaitu penelitian dengan menggunakan pertimbangan dalam
menentukan sampel berdasarkan pengetahuan yang cukup serta ciri-ciri tertentu
yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. Dalam penelitian ini
informannya ialah bapak Sudanar, S.E. selaku Direktur dan bapak Edi Suprobo
selaku Kasie Kredit PD BPR BKK Tengaran.
5.
Metode Analisis Data
Data yang telah diperoleh dari penelitian lapangan akan dihubungkan
dengan studi kepustakaan. Kemudian data tersebut dianalisis secara logis dan
disusun dengan menggunakan metode kualitatif, yaitu apa yang dinyatakan oleh
informan secara tertulis maupun lisan diteliti dan dipelajari kemudian dianalisis
secara deskriptif kualitatif yang tersusun dalam kalimat yang sistematis.
F.
Sistematika Penulisan
Di dalam penulisan hukum ini terdiri dari empat
bab. Masing-masing perinciannya sebagai berikut.
Bab I tentang Pendahuluan, di dalamnya
berisi uraian latar belakang pemilihan judul, ruang lingkup penelitian,
perumusan masalah, tujuan, kegunaan penelitian dan diakhiri dengan sistematika
skripsi yang bertujuan untuk mengantarkan pikiran pembaca ke pokok permasalahan
yang akan dibahas.
Bab II tentang Tinjauan Pusaka, Bab ini
berisi teori dan kerangka berpikir yang berkaitan dengan masalah pokok yang
diteliti. Di sini penulis menguraikan tinjauan tentang perjanjian kredit yang
meliputi pengertian, bentuk perjanjian kredit, prinsip-prinsip dari perjanjian
kredit, dan kredit dilihat dari sudut pandang islam. Dalam bab II ini juga
diuraikan pengertian dari Hak Tanggungan, ciri-ciri dan sifat Hak Tanggungan,
objek Hak Tanggungan, subjek Hak Tanggungan, proses pembebanan Hak Tanggungan,
dan Eksekusi Hak Tanggungan.
Bab III tentang Hasil Penelitian dan Pembahasan,
dalam Bab ini berisi hasil penelitian yang telah penulis lakukan di PD BPR BKK
Tengaran dan pembahasannya. Pembahasan tersebut menguraikan tentang gambaran
objek penelitian menyangkut sejarah dan dasar hukum berdirinya beserta struktur
organisasi PD BPR BKK Tengaran. Dalam bab III ini juga menjawab permasalahan
yang terkait mengenai tata cara pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan,
hak dan kewajiban kreditur dan debitur dalam perjanjian kredit, dan kendala-kendala
yang dihadapi dalam pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan
dan cara mengatasi di PD BPR BKK Tengaran.
Bab IV tentang Penutup, pada bab IV ini berisi
simpulan dan saran mengenai pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan Hak
Tanggungan dengan harapan dapat dijadikan masukan bagi praktisi hukum dan bagi
masyarakat yang membutuhkan.
Halaman Daftar Pustaka berisi daftar judul
buku-buku yang digunakan sebagai referensi dan pedoman oleh penulis dalam
penyusunan skripsi ini. Buku-buku tersebut berkaitan dengan pelaksanaan
pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan.
Halaman Lampiran berisi tentang lampiran-lampiran
antara lain: surat keterangan riset sebagai bukti bahwa penulis telah melakukan
penelitian pada PD BPR BKK Tengaran, surat-surat perjanjian kreditur dengan
debitur, formulir pengambilan kredit,dan lain sebagainya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kredit
1. Pengertian
Perjanjian dan Perjanjian Kredit
Pengertian perjanjian secara umum dapat
dilihat dalam Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih.
Pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUH
Perdata tersebut menurut para ahli hukum dianggap kurang lengkap dan mengandung
banyak kelemahan, kelamahan-kelemahan tersebut adalah : [7]
a.
Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja
Hal ini dapat diketahui dari rumusan “ satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata
“mengikatkan” merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak
saja, tidak dari kedua belah pihak.
b.
Kata “perbuatan” mencakup juga tanpa
kesepakatan
Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan
mengurus kepentingan orang lain dan perbuatan melawan hukum. Kedua tindakan
tersebut merupakan perbuatan yang tidak mengandung adanya kesepakatan atau
tanpa adanya kehendak untuk menimbulkan akibat hukum. Pengertian perbuatan
sendiri sangat luas, sementara maksud “perbuatan” dalam rumusan Pasal 1313 KUH
Perdata adalah perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang menimbulkan akibat hukum.
c.
Pengertian perjanjian terlalu luas
Pengertian perjanjian dalam rumusan Pasal 1313 KUH Perdata
terlalu luas karena dapat juga diartikan pengertian perjanjian perkawinan,
padahal perjanjian perkawinan telah diatur sendiri dalam hukum keluarga.
Dalam pelaksanaan perjanjian perkawinan disyaratkan ikut
sertanya pejabat tertentu, sedangkan yang dimaksud perjanjian dalam Pasal 1313
KUH Perdata adalah hubungan antara kreditur dan debitur tidak diwajibkan ikut
sertanya pejabat tertentu. Hubungan antara kreditur dan debitur ini terletak
dalam lapangan harta kekayaan.
d.
Pengertian perjanjian tanpa menyebut
tujuan
Dalam perumusan Pasal 1313 KUH Perdata tidak disebutkan
mengenai tujuan diadakannya perjanjian sehingga tidak jelas maksud para pihak
mengikatkan dirinya tersebut
Atas dasar alasan
tersebut di atas maka para ahli hukum merasa perlu untuk merumuskan kembali apa
yang dimaksud dengan perjanjian.
R. Subekti memberikan rumusan perjanjian
yaitu suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana
dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. [8]
Abdul Kadir Muhammad memberikan rumusan
perjanjian yaitu suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling
mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan. [9]
Sudikno Mertokusumo memberikan pengertian
perjanjian sebagai hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata
sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. [10]
Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan syarat
sahnya suatu perjanjian adalah :
a.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b.
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
c.
Suatu hal tertentu; dan
d.
Suatu sebab yang halal.
Keempat syarat tersebut di atas, dapat
diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu :
1) Syarat
Subjektif
Syarat pertama dan kedua disebut sebagai syarat subjektif karena merupakan persyaratan
yang harus dipenuhi oleh subjek perjanjian. Apabila syarat subjektif tidak dipenuhi, maka akibat hukumnya adalah dapat
dibatalkannya perjanjian (vernietigbaar).
2)
Syarat Objektif
Syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat objektif karena merupakan persyaratan
yang harus dipenuhi oleh objek perjanjian. Apabila syarat objektif tidak dapat dipenuhi, maka akibat hukumnya adalah bahwa
perjanjian itu batal demi hukum (van
rechtswege nietig). [11]
Perjanjian ada berbagai macam, salah
satunya adalah perjanjian kredit. Dalam Pasal 3 dan 4 Undang-undang Perbankan
disebutkan bahwa fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan
penyalur dana masyarakat. Dalam menyalurkan dana masyarakat tersebut, bank
memberikan berbagai macam kredit kepada masyarakat.
Kosakata kredit berasal dari bahasa Romawi
yaitu dari kosakata credere yang
berarti kepercayaan, sehingga hubungan yang terjalin dalam kegiatan perkreditan
diantara dua pihak, sepenuhnya juga harus dilandasi oleh adanya rasa saling
mempercayai, yaitu bahwa kreditur yang memberikan kredit percaya bahwa penerima
kredit (debitur) sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjikan, baik
menyangkut jangka waktunya, maupun prestasi, dan kontra prestasinya.
Berjalannya kegiatan perkreditan dapat terlaksana secara lancar apabila
disertai dengan rasa saling percaya antar para pihak yang terkait dalam
kegiatan tersebut.
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 11
Undang-undang Perbankan menyatakan bahwa
yang dimaksud kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara
bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya
setelah jangka waktu tertentu dengan sejumlah bunga.
Berdasarkan pengertian kredit yang
ditetapkan oleh undang-undang sebagaimana tersebut di atas, suatu
pinjam-meminjam uang akan digolongkan sebagai kredit perbankan sepanjang
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut.
a.
Adanya penyediaan uang atau tagihan yang
dapat dipersamakan dengan penyediaan uang
Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan
penyediaan uang tersebut dilakukan oleh bank. Bank adalah pihak penyedia dana
dengan menyetujui pemberian sejumlah dana yang kemudian disebut sebagai jumlah
kredit atau plafon kredit. Sementara tagihan yang dapat dipersamakan dengan
penyediaan uang dalam praktik perbankan misalnya berupa pemberian (penerbitan)
garansi bank dan penyediaan fasilitas dana untuk pembukaan letter of credit (LC).
b.
Adanya persetujuan atau kesepakatan
pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain
Persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam merupakan
dasar dari penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan
penyediaan uang tersebut. Persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam dibuat
oleh bank dengan pihak debitur yang diwujudkan dalam bentuk perjanjian kredit.
Perjanjian kredit sebagai salah satu jenis perjanjian, tunduk kepada ketentuan
hukum perikatan dalam hukum positif di Indonesia. Pengaturan tentang perjanjian
terdapat dalam ketentuan-ketentuan KUH Perdata, Buku Ketiga tentang Perikatan.
Perjanjian kredit yang dibuat secara sah sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku (antara lain memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata) merupakan
undang-undang bagi bank dan debitur. Ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata
menetapkan suatu perjanjian yang sah berlaku sebagai undang-undang bagi pihak
yang berjanji.
c.
Adanya kewajiban melunasi hutang
Pinjam-meminjam uang adalah suatu hutang bagi peminjam.
Pinjam meminjam wajib melunasinya sesuai dengan yang diperjanjikan. Pemberian
kredit oleh bank kepada debitur wajib melakukan pembayaran pelunasan kredit
sesuai dengan jadwal pembayaran yang telah disepakatinya, yang biasanya
terdapat dalam ketentuan perjanjian kredit. Dengan demikian, kredit perbankan
bukan suatu bantuan dana yang diberikan secara cuma-cuma. Kredit perbankan
adalah suatu hutang yang harus dibayar kembali oleh debitur.
d.
Adanya jangka waktu tertentu
Pemberian kredit terkait dengan suatu jangka waktu
tertentu. Berdasarkan jangka waktu tertentu yang ditetapkan atas pemberian
kredit, maka kredit perbankan dapat dibedakan atas kredit jangka pendek, jangka
menengah, dan jangka panjang. Kredit jangka pendek adalah kredit yang mempunyai
jangka waktu satu tahun atau dibawah satu tahun. Kredit jangka menengah adalah
yang mempunyai jangka waktu di atas satu tahun sampai dengan tiga tahun, dan
kredit jangka panjang adalah kredit yang mempunyai jangka waktu di atas tiga
tahun. Jangka waktu suatu kredit ditetapkan berdasarkan kebijakan yang berlaku
pada masing-masing bank dan mempertimbangkan tujuan penggunaan kredit serta
kemampuan membayar dari calon debitur setelah dinilai kelayakannya. Berdasarkan
pengertian kredit tentang jangka waktu tertentu dapat disimpulkan bahwa jangka
waktu kredit harus ditetapkan secara tegas karena menyangkut hak dan kewajiban
masing-masing pihak.
e.
Adanya pemberian bunga kredit
Terhadap suatu kredit sebagai salah satu bentuk pinjaman
uang ditetapkan adanya pemberian bunga. Bank menetapkan suku bunga atas
pinjaman uang yang diberikannya. Suku bunga merupakan harga atas uang yang
dipinjamkan dan disetujui bank kepada debitur. Namun, sering pula disebut
sebagai balas jasa atas penggunaan uang bank oleh debitur. Sepanjang terhadap
bunga kredit yang ditetapkan dalam perjanjian kredit dilakukan pembayarannya
oleh debitur, merupakan salah satu sumber pendapatan yang utama bagi bank.[12]
2. Bentuk
Perjanjian Kredit
Pasal 8 ayat (2) huruf a Undang-undang
Perbankan menjelaskan bahwa pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan dalam bentuk
tertulis. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bank dalam memberikan kredit
wajib mempergunakan perjanjian kredit dalam bentuk tertulis.
Bentuk perjanjian kredit secara tertulis
tersebut bertujuan untuk memudahkan pihak bank maupun nasabah dalam pelaksanaan
kredit, karena dalam isi perjanjian dapat diketahui secara jelas mengenai
subjek, objek, maupun hal-hal lain yang diperjanjikan. Bentuk perjanjian ini
juga dianggap lebih aman bagi para pihak apabila dibandingkan dengan bentuk
lisan, karena dengan bentuk tertulis tersebut para pihak tidak dapat
mengingkari apa yang telah diperjanjikan, dan ini merupakan bukti yang kuat dan
jelas apabila terjadi sesuatu terhadap kredit yang telah disalurkan atau juga
dalam hal terjadi ingkar janji oleh para pihak.
3. Prinsip-prinsip Perkreditan
Menurut ketentuan Pasal 2 Undang-undang
Perbankan, bank dalam menjalankan usahanya menghimpun dan menyalurkan dana
masyarakat harus menggunakan prinsip kehati-hatian. Dalam penjelasan Pasal 8
Undang-undang tersebut juga ditegaskan bahwa dalam melakukan perjanjian kredit,
bank wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk
melunasi hutangnya sesuai yang diperjanjikan. Dari penjelasan dua pasal
tersebut maka dapat diketahui bahwa prinsip utama perkreditan adalah bersandar
pada kepercayaan dan kehati-hatian.
Penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang-undang
No. 10 Tahun 1998 menegaskan bahwa untuk memperoleh keyakinan tersebut, maka
sebelum melakukan kredit bank harus melakukan penilaian-penilaian yang seksama
terhadap watak, kemampuan, modal, dan prospek usaha dari nasabah. Dalam praktik
perbankan hal tersebut dikenal dengan istilah “The Five C’s of Analysis”.
Prinsip-prinsip yang biasa dijadikan acuan
dalam penilaian pemberian kredit perbankan tersebut adalah: [13]
a. Prinsip Kepercayaan
Setiap pemberian kredit sebenarnya
harus selalu disertai oleh kepercayaan, yaitu kepercayaan dari kreditur akan
bermanfaatnya kredit bagi debitur sekaligus kepercayaan bahwa debitur dapat
membayar kembali kreditnya.
b. Prinsip Kehati-hatian
Prinsip kehati-hatian (prudent) adalah salah satu konkretisasi
dari prinsip kepercayaan dalam suatu pemberian kredit. Untuk mewujudkan prinsip
ini maka berbagai jenis usaha pengawasan dilakukan, baik oleh bank yang
bersangkutan (internal) maupun oleh bank luar (eksternal) yang dalam hal ini
adalah bank sentral.
c. Prinsip 5 C
1. Character
(Kepribadian)
Bank sebagai kreditur harus
terlebih dahulu melakukan penilaian terhadap watak atau kepribadian calon
debiturnya sebelum kredit diberikan. Jika debitur memiliki watak yang buruk
maka akan menimbulkan perilaku yang buruk pula, dan hal ini sangat berpengaruh
kepada perilaku debitur dalam hal membayar hutangnya.
2. Capacity
(Kemampuan)
Seorang calon debitur harus pula diketahui
kemampuan bisnisnya, sehingga dapat diprediksikan kemampuan untuk membayar
hutangnya.
3. Capital
(Modal)
Permodalan yang dimiliki debitur juga
merupakan hal penting yang harus diketahui calon krediturnya, karena permodalan
dan kemampuan keuangan seorang debitur akan mempunyai korelasi langsung dengan
tingkat kemampuan dalam pembayaran kredit. Hal ini dapat diketahui melalui
laporan keuangan bisnis atau perusahaan debitur.
4. Condition
of Economy (Kondisi Ekonomi)
Kondisi perekonomian secara makro maupun
mikro merupakan faktor penting untuk dianalisis sebelum suatu kredit diberikan,
terutama yang berhubungan langsung dengan bisnis pihak debitur.
5. Colateral
(Agunan)
Agunan dalam setiap pemberian kredit
sangatlah penting, bahkan Undang-undang mensyaratkan bahwa agunan itu harus ada
dalam setiap perjanjian kredit. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi terhadap
debitur yang benar-benar mengalami kredit macet, sehingga agunan dapat
dieksekusi.
d. Prinsip 5P
1.
Party
(Para pihak)
Para pihak merupakan titik sentral yang
diperhatikan dalam setiap pemberian kredit. Debitur harus memperoleh suatu
kepercayaan dari kreditur mengenai karakter, kemampuan, dan sebagainya.
2.
Purpose
(Tujuan)
Kreditur harus dapat melihat dan
mencermati apakah kredit yang akan disalurkan untuk hal-hal yang positf dan
benar-benar dapat menaikkan income
usaha debitur. Perlu pula dilakukan pengawasan terhadap penggunaan dana
pinjaman tersebut, apakah benar-benar digunakan untuk tujuan sesuai dengan yang
diperjanjikan.
3.
Payment
(Pembayaran)
Kreditur harus dapat melihat dan
menganalisis sumber pendapatan debitur dan apakah sumber pendapatannya
mencukupi untuk membayar kembali kreditnya.
4.
Profability
(Perolehan laba)
Kreditur harus dapat mengantisipasi,
apakah laba yang akan diperoleh oleh debitur lebih besar dari biaya pinjaman
dan apakah pendapatan debitur lebih besar dari biaya pinjaman dan apakah
pendapatan debitur dapat menutupi pembayaran kembali kredit.
5. Protection
(Perlidungan)
Dalam hal ini dilakukan analisis tentang cukup
tidaknya jaminan yang diberikan untuk calon debitur sebagai upaya pengamanan
terhadap kredit yang akan diberikan.
e. Prinsip 3R
1. Return
(Hasil yang diperoleh)
Penilaian harus dilakukan terhadap hasil usaha
yang akan dapat dicapai oleh calon debitur. Terhadap hasil usaha yang akan
dicapai tersebut kemudian dianalisis tentang adanya kemungkinan pengembalian
kredit beserta bunganya.
2.
Repayment (Pembayaran kembali)
Kemampuan calon debitur untuk mengembalikan
kredit harus sudah diperkirakan sejak dini oleh pihak kreditur.
3. Risk
Bearing Ability (Kemampuan Mengandung Risiko)
Analisis harus dilakukan juga terhadap kemampuan
calon debitur untuk menanggung risiko. Hal ini dimungkinkan apabila terjadi
kegagalan pada usaha calon debitur, atau kemungkinan terjadinya kerugian yang
mungkin terjadi karena hal-hal yang tidak dapat diperkirakan sejak semula.
4. Kredit Dilihat
dari Sudut Pandang Islam
Hubungan pinjam-meminjam dalam Islam tidak dilarang, bahkan
dianjurkan agar tejadi hubungan saling menguntungkan yang pada gilirannya
berakibat pada hubungan persaudaraan. Hal yang perlu diperhatikan adalah
apabila hubungan itu tidak mengikuti aturan yang diajarkan oleh Islam. Dalam
perbankan syariah sebenarnya penggunaan kata “pinjam-meminjam” kurang tepat
digunakan. Disebabkan dalam Islam pinjam-meminjam adalah akad sosial, bukan
akad komersial. Artinya, apabila seseorang meminjam sesuatu, ia tidak boleh
disyaratkan untuk memberikan tambahan atas pokok pinjamannya. Hal ini
didasarkan pada hadist Nabi, yang berisi bahwa setiap pinjaman yang
menghasilkan manfaat adalah riba. Sedangkan
para ulama sepakat bahwa riba itu haram. Karena itu, dalam perbankan syariah
pinjaman tidak disebut kredit melainkan disebut pembiayaan (financing).[14]
Dalam Islam, pinjaman diartikan sebagai Al-Qardh (Pinjaman Kebajikan dan Lunak/Soft Loan) yaitu pemberian harta kepada
orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain
meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Dalam literatur fiqh klasik, qardh dikategorikan dalam aqd tathawwui atau akad saling
bantu-membantu dan bukan transaksi komersial.
Transaksi qardh diperbolehkan oleh para ulama berdasarkan
hadist riwayat Ibnu Majjah dan Ijma’ ulama. Sungguhpun demikian, Allah
mengajarkan kepada kepada kita, agar meminjamkan sesuatu bagi agama “Allah”.
Dalam al-Qur’an Allah berfirman:
“Siapakah yang
mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat
gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang
banyak.”(Q,S. Al Hadid: 11)
Yang
menjadi landasan dalil dalam ayat ini adalah kita diseru untuk “meminjamkan
kepada Allah”, artinya untuk membelanjakan harta di jalan Allah. Selaras dengan
meminjamkan kepada Allah maka kita juga diseru untuk “meminjamkan kepada sesama
manusia” sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat (civil society).
Dalam
al-Hadist disebutkan:
“Bukan seorang
muslim (mereka) yang meminjamkan muslim (lainnya) dua kali kecuali yang satunya
adalah (senilai) shadaqah.” (HR. Ibnu Majjah)
Dalam
Ijma’ para ulama menyepakati bahwa al-qardh
boleh dilakukan. Kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak biasa
hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak ada seorangpun yang
memiliki segala barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu pinjam-meminjam sudah
menjadi satu bagian dari kehidupan di dunia ini. Dan Islam adalah agama yang
sangat memperhatikan segenap kebutuhan umatnya.[15]
Di dalam aplikasi perbankan, akad qardh
diterapkan sebagai produk pelengkap kepada nasabah yang telah terbukti
loyalitasnya yang membutuhkan dana talangan segera untuk jangka waktu yang
relatif pendek. Di samping itu juga sebagai produk untuk menyumbang usaha kecil
atau membantu sektor sosial. Sifat al-qardh
tidak memberi keuntungan financial. Karena itu, pendanaan qardh dapat diambil menurut kategori sebagai berikut:
a.
Al-qardh
yang diperlukan untuk membantu keuangan
nasabah secara cepat dan berjangka pendek. Talangan dana tersebut dapat diambilkan
dari modal bank.
b.
Al-qardh
yang diperlukan untuk membantu usaha kecil dan keperluan sosial, dapat
bersumber dari dana zakat, infaq, dan shadaqah. [16]
Didalam perkembangannya, bunga bank pada kegiatan perbankan konvensional
dikatakan halal dan bukanlah riba dengan alasan bahwa bunga bank yang diambil
dan diberikan kepada nasabah tidak berlipat ganda, sebagaimana firman Allah
dalam surat Ali Imran ayat 130;
“Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda”.
Ungkapan
ayat tersebut sesuai dengan riba yang berlaku pada zaman jahiliyah.
Para Ulama Muhammadiyah dalam sidang di Sidoharjo pada tahun 1968 yang
membolehkan umat berhubungan dan melakukan transaksi dengan bank-bank
pemerintah dan menghalalkan bunga bank. Bunga bank dianggap boleh karena
bunganya relatif rendah dan pemberian bunga masih berada dalam batas-batas
wajar. Dalam hal ini Ulama Muhammadiyah berkesimpulan bahwa bunga bank
diperbolehkan sepanjang berhubungan dengan bank negara/milik negara dan
hendaknya tambahan pembayaran (jasa) tidak tidak melampaui laju inflasi. Selain
itu juga untuk kepentingan umum.[17]
Lajnah Bahsul Masa’il Nahdlatul Ulama memutuskan masalah mengenai bank
dan pembungaan uang melalui beberapa kali sidang. Lajnah menghalalkan bunga
dengan alasan bunga bank tidak haram jika bank menetapkan tarif bunganya
terlebih dahulu secara umum.[18]
Beberapa cendekiawan Muslim memberikan pembenaran atas pengambilan bunga
uang dengan alasan bunga diperbolehkan dalam keadaan darurat dan hanya bunga
yang berlipat ganda saja yang dilarang, sedangkan suku bunga yang wajar (tidak
menzalimi) diperbolehkan[19]
Jadi, menurut perkembangannya kredit dengan bunga pada kegiatan
perbankan konvensional menurut pandangan Islam diperbolehkan berdasarkan hasil
keputusan sidang para Ulama Muhammadiyah, Lajnah Bahsul Masa’il Nahdlatul
Ulama, dan para cendekiawan Muslim.
B. Tinjauan Umum Tentang Hak Tanggungan
1.
Pengertian
Hak Tanggungan
Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945
menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di dalam bumi digunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia.
Pelaksanaan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang dasar
1945 yang berkenaan dengan tanah diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria. Undang-undang ini mencabut Buku II KUH Perdata
sepanjang mengenai bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di dalamnya, kecuali
ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai hipotik. Namun demikian ada beberapa
aspek yang perlu diperhatikan, yaitu:
a.
Dengan meningkatnya pembangunan
nasional yang bertitik berat pada bidang ekonomi, dibutuhkan penyediaan dana
yang cukup besar, sehingga memerlukan lembaga hak jaminan yang kuat dan mampu
memberi kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang dapat
mendorong peningkatan pertisipasi masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945;
b.
Sejak berlakunya Undang-undang No. 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria sampai dengan saat ini,
ketentuan-ketentuan yang lengkap mengenai Hak Tanggungan sebagai lembaga hak
jaminan yang dapat dibebankan atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda
yang berkaitan dengan tanah, belum terbentuk;
c.
Ketentuan mengenai hipotik
sebagaimana diatur dalam Buku II KUH Perdata Indonesia sepanjang mengenai
tanah, dan ketentuan mengenai credietverband
dalam staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan staatsblad 1937-190,
yang berdasarkan Pasal 57 Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria, masih diberlakukan sementara sampai dengan
terbentuknya Undang-undang tentang Hak Tanggungan, dipandang tidak sesuai lagi
dengan kebutuhan-kebutuhan perkreditan, sehubungan dengan perkembangan tata
ekonomi Indonesia;
d.
Mengingat perkembangan yang telah dan
akan terjadi di bidang pengaturan dan administrasi hak-hak atas tanah serta
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat banyak selain hak milik, hak guna usaha,
dan hak guna bangunan yang telah ditunjuk sebagai objek Hak Tanggungan oleh
Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, hak
pakai atas tanah tertentu yang wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat
dipindahtangankan, perlu juga dimungkinkan untuk dibebani Hak Tanggungan. [20]
Berhubungan dengan hal tersebut dengan hal-hal
tersebut diatas, pemerintah Republik Indonesia memandang perlu membentuk
Undang-undang yang mengatur Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang
berkaitan dengan tanah, sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, sekaligus mewujudkan unifikasi hukum tanah
nasional. Pada tanggal 9 April 1996, dengan persetujuan DPR, Presiden Republik
Indonesia telah mengesahkan Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah.
Undang-undang ini diundangkan dalam Lembaran Negara RI No. 3632.[21]
Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan Dengan Tanah, yang
secara resmi menurut Pasal 30 Undang-undang tersebut yang selanjutnya disebut
Undang-undang Hak Tanggungan (UUHT), ditetapkan untuk memenuhi ketentuan Pasal
51 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Dasar Pokok-pokok Agraria, atau yang dikenal
sebagai Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Pasal 51 tersebut menyatakan:
“Hak Tanggungan
yang dapat dibebankan pada hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan
tersebut dalam Pasal 25, 33, dan 39 diatur dengan Undang-undang.”
Dengan berlakunya UUHT, maka ketentuan mengenai
hipotek yang diatur dalam Buku II KUH Perdata sepanjang mengenai pembebanan Hak
Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah,
serta ketentuan tentang credietverband
yang diatur dalam staatsblad 1908-542 dan staatsblad 1937-190 dinyatakan tidak
berlaku lagi.
Menurut Pasal 1 angka 1 UUHT, Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, yang untuk selanjutnya
disebut Hak Tanggungan adalah:
“Hak jaminan yang
dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut atau
tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu,
untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.”
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Hak Tanggungan merupakan
lembaga jaminan yang kuat karena Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lain.[22]
2. Ciri-ciri dan Sifat Hak Tanggungan
Dalam Penjelasan Umum Undang-undang Hak
Tanggungan No. 4 Tahun 1996 dikemukakan bahwa sebagai lembaga hak jaminan atas
tanah yang kuat, Hak Tanggungan harus mengandung ciri-ciri:
a. Droit de
preferent, artinya memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului
kepada pemegangnya (Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 ayat 1).
Dalam hal ini pemegang Hak Tanggungan sebagai kreditur memperoleh hak
didahulukan dari kreditur lainnya untuk memperoleh pembayaran piutangnya dari
hasil penjualan (pencairan) objek jaminan kredit yang diikat dengan Hak
Tanggungan tersebut. Kedudukan kreditur yang mempunyai hak didahulukan dari
kreditur lain (kreditur preferen) akan sangat menguntungkan kepada pihak yang
bersangkutan dalam memperoleh pembayaran kembali (pelunasan) pinjaman uang yang
diberikannya kepada debitur yang ingkar janji (wanprestasi).
b. Droit de
suite, artinya selalu mengikuti jaminan hutang dalam tangan siapapun objek tersebut berada (Pasal 7).
Dalam Pasal 7 UUHT disebutkan bahwa Hak tanggungan tetap mengikuti objeknya
dalam tangan siapapun objek itu berada. Sifat ini merupakan salah satu jaminan
khusus bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Meskipun objek dari Hak
Tanggungan sudah berpindah tangan dan menjadi milik pihak lain, kreditur masih
tetap dapat menggunakan haknya melalui eksekusi, jika debitur cidera janji.
c. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas
sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada
pihak-pihak yang berkepentingan.
Berdasarkan hal tersebut maka sahnya pembebanan Hak Tanggungan
disyaratkan wajib disebutkan dengan jelas piutang mana dan berapa jumlahnya
yang dijamin serta benda-benda mana yang dijadikan jaminan (syarat
spesialitas), dan wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan sehingga terbuka untuk
umum (syarat publisitas).
d. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya
Salah satu ciri Hak Tanggungan
yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya jika debitur
cidera janji. Meskipun secara umum ketentuan mengenai eksekusi telah diatur
dalam hukum acara perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukkan secara
khusus mengenai eksekusi Hak Tanggungan dalam Undang-undang ini, yaitu yang
mengatur mengenai lembaga parate executie
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 HIR dan Pasal 258 Reglemen Hukum Acara
untuk Daerah Luar Jawa dan Madura. [23]
Hak Tanggungan memiliki sifat tidak dapat
dibagi-bagi kecuali jika diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan
(APHT), seperti ditetapkan dalam Pasal 2 UUHT. Dengan sifatnya yang tidak dapat
dibagi-bagi, maka Hak Tanggungan akan membebani secara utuh objek Hak
tanggungan. Hal ini mengandung arti bahwa apabila hutang (kredit) yang dijamin
pelunasannya dengan Hak Tanggungan baru dilunasi sebagian, maka Hak Tanggungan
tetap membebani seluruh objek Hak Tanggungan.[24]
Klausula “kecuali jika diperjanjikan dalam APHT”
dalam Pasal 2 UUHT, dicantumkan dengan maksud untuk menampung kebutuhan
perkembangan dunia perbankan, khususnya kegiatan perkreditan. Dengan
menggunakan klausula tersebut, sifat tidak dapat dibagi-bagi dari Hak
Tanggungan dapat disimpangi, yaitu dengan memperjanjikan bahwa apabila Hak
Tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, maka pelunasan kredit yang
dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran. Besarnya angsuran sama dengan
nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari objek Hak
Tanggungan, yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut. Dengan demikian
setelah suatu angsuran dibayarkan, Hak Tanggungan hanya akan membebani sisa
objek Hak tanggungan untuk menjamin sisa kredit yang belum dilunasi (Penjelasan
Pasal 2 ayat (1) jo ayat (2) UUHT).
Sifat lain dari Hak Tanggungan adalah Hak
tanggungan merupakan accecoir dari
perjanjian pokok, artinya bahwa perjanjian Hak Tanggungan bukan merupakan
perjanjian yang berdiri sendiri, tetapi keberadaannya adalah karena adanya
perjanjian lain yang disebut dengan perjanjian pokok. Perjanjian pokok bagi
perjanjian Hak Tanggungan adalah perjanjian hutang piutang yang menimbulkan
hutang yang dijamin itu.[25]
Hal ini sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam butir 8 Penjelasan Umum
UUHT yang memberikan penjelasan bahwa karena Hak Tanggungan menurut sifatnya
merupakan ikatan atau accecoir pada
suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian hutang piutang
atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaanya ditentukan oleh adanya
piutang yang dijamin pelunasannya.
3. Objek Hak Tanggungan
Terhadap benda-benda (tanah) yang akan dijadikan
objek Hak Tanggungan, maka harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
a.
Dapat dinilai dengan uang, karena
hutang yang dijamin berupa uang;
b.
Termasuk hak yang didaftar dalam
daftar umum, karena harus memenuhi syarat publisitas;
c.
Mempunyai sifat dapat dipindah
tangankan, karena apabila debitur cidera janji, benda yang dijadikan jaminan
akan dapat dijual di muka umum;
Berkaitan dengan hal tersebut, Pasal 4 UUHT telah
menentukan hak atas tanah yang dapat dijadikan objek Hak Tanggungan, yaitu
meliputi:
a.
Hak Milik, Hak Guna Bangunan, dan Hak
Guna Usaha sebagaimana dimaksud dalam
UUPA (Pasal 4 ayat (1) UUHT).
b.
Hak Pakai atas Tanah Negara yang
menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat
dipindah tangankan.
Terhadap hak pakai atas tanah negara, yang walaupun wajib didaftarkan,
tetapi karena sifatnya tidak dapat dipindah tangankan, maka hak pakai tersebut
tidak termasuk dalam objek Hak Tanggungan.
c.
Hak atas tanah berikut bangunan (baik
yang berada di atas maupun di bawah tanah), tanaman dan hasil karya yang telah
ada atau akan ada, yamg merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang
merupakan milik pemegang hak atas tanah. Pembebanan Hak Tanggungan atas
bangunan, tanaman dan hasil karya tersebut, dan yang merupakan milik pemegang
hak atas tanah. Pembebanan Hak Tanggungan atas bangunan, tanaman dan hasil
karya tersebut diatas harus dinyatakan dengan tegas di dalam APHT (Pasal 4 ayat
(4) UUHT). Apabila bangunan, tanaman, dan hasil karya sebagaimana disebut
diatas tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah, pembebanan Hak Tanggungan
atas benda-benda tersebut hanya dilakukan dengan penandatanganan serta
(bersama) pada APHT yang bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa
oleh pemilik benda-benda tersebut untuk menandatangani serta (bersama) APHT dengan
akta otentik. Yang dimaksud akta otentik di sini adalah Surat Kuasa Membebankan
Hak Tanggungan (SKMHT) atas benda-benda di atas tanah tersebut yang dibebani
Hak Tanggungan (Pasal 4 ayat (5) UUHT).[27]
Objek Hak Tanggungan menjadi lebih luas jika
dikaitkan dengan Pasal 12 UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, sebagaimana
tertuang dalam Pasal 27 UUHT, yang menyatakan bahwa ketentuan Hak Tanggungan
berlaku juga terhadap pembebanan hak jaminan atas rumah susun. Hak jaminan atas
rumah susun tersebut meliputi:
a.
Rumah susun yang berdiri atas tanah
Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai yang diberikan oleh
negara; dan
b.
Hak milik atas satuan rumah susun
yang bangunannya berdiri di atas tanah hak-hak yang tersebut di atas.
4. Subjek Hak Tanggungan
Yang dimaksud subjek Hak Tanggungan dalam hal ini
adalah pemberi dan pemegang Hak Tanggungan.
a.
Pemberi Hak Tanggungan
Pemberi Hak Tanggungan adalah orang atau badan hukum yang mempunyai
kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan.
Kewenangan tersebut harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran
Hak Tanggungan (Pasal 8 UUHT).
Dari penjelasan umum UUHT antara lain dijelaskan bahwa pada saat
pembuatan SKMHT dan APHT, harus sudah ada keyakinan pada Notaris atau PPAT yang
bersangkutan bahwa pemberi Hak Tanggungan mempunyai kewenangan untuk melakukan
perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang dibebankan. Meskipun
kepastian mengenai dimilikinya kewenangan tersebut baru dipersyaratkan pada
waktu pemberian Hak Tanggungan itu didaftar.
b.
Pemegang Hak Tanggungan
Pemegang Hak Tanggungan adalah orang atau badan
hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang (Pasal 9 UUHT). Karena
Hak Tanggungan sebagai lembaga hak atas tanah tidak mengandung kewenagan untuk
menguasai secara fisik dan menggunakan tanah yang dijadikan pemberi Hak
Tanggungan kecuali dalam keadaan yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) huruf
c, maka pemegang Hak tanggungan dapat dilakukan oleh Warga Negara Indonesia
atau Badan Hukum Indonesia atau Warga Negara Asing atau Badan Hukum Asing.[28]
5. Proses Pembebanan Hak Tanggungan
Secara umum prosedur pemberian kredit dengan
jaminan Hak Tanggungan yang diajukan calon debitur kepada kreditur, yang dalam
hal ini adalah pihak bank yaitu dengan melalui tahap sebagai berikut:
a.
Calon debitur mengajukan permohonan
kredit dan menyerahkan berkas-berkas yang diperlukan dan telah ditentukan pihak bank dalam
pengajuan kredit;
b.
Calon debitur mengisi formulir
permohonan kredit yang telah disediakan oleh pihak bank. Setelah formulir diisi
dengan lengkap dan benar, formulir tersebut kemudian diserahkan kembali kepada
bank;
c.
Pihak bank kemudian melakukan
analisis dan evaluasi kredit atas dasar data yang tercantum dalam formulir
permohonan kredit tersebut. Tujuan analisis ini adalah untuk memastikan
kebenaran data dan informasi yang diberikan dalam permohonan kredit. Selain
itu, hasil analisis dan evaluasi kredit ini digunakan sebagai dasar
pertimbangan akan diterima atau ditolaknya permohonan kredit tersebut.;
d.
Apabila terhadap hasil analisis dan
evaluasi kredit calon debitur dinyatakan layak oleh pihak bank untuk memperoleh
kredit, maka kemudian dilakukan negosiasi antara kedua belah pihak, yaitu pihak
bank dan calon debitur. Negosiasi kredit ini antara lain mengenai maksimal
kredit yang akan diberikan, keperluan kredit, jangka waktu kredit, biaya
administrasi, denda, bunga dan sebagainya;
e.
Apabila telah terjadi kesepakatan
antara kedua belah pihak maka dilakukan penandatanganan perjanjian kredit yang
berupa surat pengakuan hutang dengan pengikatan jaminan, dalam hal ini berupa
jaminan Hak Tanggungan, dihadapan PPAT dan pejabat bank;
f.
Setelah dilakukan pengikatan jaminan
Hak Tanggungan dan PPAT telah memberikan keterangan bahwa calon debitur
dinyatakan telah memenuhi persyaratan, baru kemudian bank merealisasikan kredit
kepada calon debitur.[29]
Pengikatan jaminan Hak Tanggungan yang dilakukan
dalam perjanjian kredit yang dimaksud di sini adalah melalui proses pembebanan
Hak Tanggungan sebagaimana telah ditentukan dalam UUHT yaitu melalui dua tahap
berupa:
a.
Tahap pemberian Hak Tanggungan yang
dilakukan di hadapan PPAT;
b.
Tahap pendaftaran Hak tanggungan yang
dilakukan di Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kota setempat, yang merupakan
saat lahirnya Hak Tanggungan.
Menurut Pasal 1 angka 4 UUHT disebutkan bahwa
PPAT adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak
atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa pembebanan
Hak Tanggungan. Dalam penjelasan umum angka 7 dijelaskan pula bahwa dalam
kedudukan sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 angka 4, maka akta yang dibuat
oleh PPAT merupakan akta otentik.
a. Tahap Pemberian Hak Tanggungan
Sesuai dengan sifat Accecoir dari Hak Tanggungan, Maka pembebanan Hak Tanggungan
didahului dengan perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum hutang piutang yang
dijamin pelunasannya, yang merupakan perjanjian pokoknya. Hal ini adalah
sebagaimana tersebut dalam Pasal 10 ayat (1) UUHT yang menyatakan bahwa
pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan
sebagaimana jaminan pelunasan hutang tertentu, yang dituangkan di dalam dan
merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian hutang piutang yang bersangkutan.
Menurut ketentuan Pasal 10 ayat (2) UUHT
pemberian Hak Tanggungan yang wajib dihadiri oleh pemberi Hak Tanggungan,
pemegang Hak Tanggungan dan dua orang saksi, dilakukan dengan pembuatan APHT
yang dibuat oleh PPAT sesuai peraturan Perundang-undangan yang berlaku. APHT
yang dibuat oleh PPAT tersebut merupakan akta otentik (Penjelasan Umum angka 7
UUHT).
Terhadap objek Hak Tanggungan berupa hak atas
tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat
didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, artinya hak atas tanah
tersebut belum bersertifikat, pemberian Hak Tanggungan dilakukan bersamaan
dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan. Hak lama yang
dimaksud disini adalah hak yang kepemilikan atas tanah menurut hukum adat yang
telah ada akan tetapi proses administrasi dalam konversinya belum selesai
dilaksanakan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.[30]
Terhadap objek Hak Tanggungan yang terdiri lebih
dari satu bidang tanah dan diantaranya ada yang letaknya diluar daerah
kerjanya, untuk pembuatan pemberian APHT yang bersangkutan PPAT memerlukan ijin
dari Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Propinsi. Dengan
ketentuan bahwa bidang-bidang tanah tersebut harus terletak dalam satu daerah
kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota (Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri
Agraria No. 15 Tahun 1961 dan Pasal 3 Keputusan Direktur Jenderal Agraria No.
SK. 67/DDA/1968).[31]
Selanjutnya Undang-undang menetapkan isi yang
sifatnya wajib untuk sahnya APHT. Dengan tidak mencantumkannya secara lengkap
hal-hal yang wajib disebut dalam APHT. Maka mengakibatkan akta yang
bersangkutan menjadi batal demi hukum. Dalam Pasal 11 ayat (1) UUHT disebutkan
hal-hal yang wajib dicantumkan dalam APHT, yaitu:
1.
Nama dan identitas pemberi dan
pemegang Hak Tanggungan;
2.
Domisili pihak-pihak sebagaimana
dimaksud pada angka 1, dan apabila di antara mereka ada yang berdomisili di
luar Indonesia, baginya harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan di
Indonesia. Apabila domisili pilihan itu tidak dicantumkan dalam APHT maka
kantor PPAT tempat pembuatan APHT dianggap sebagai domisili yang dipilih;
3.
Penunjukan secara jelas hutang atau
hutang-hutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan dan meliputi juga
nama dan identitas debitur yang bersangkutan;
4.
Nilai tanggungan;
5.
Uraian yang jelas mengenai objek Hak
Tanggungan, yakni meliputi rincian mengenai sertfikat hak atas tanah yang
bersangkutan, atau bagi tanah yang belum terdaftar sekurang-kurangnya memuat
uraian mengenai pemilikan, letak, batas-batas, dan luas tanah.
Selain hal tersebut di atas, dalam APHT dapat
dicantumkan janji-janji yang sifatnya fakultatif dan tidak mempunyai pengaruh
terhadap sahnya APHT (Pasal 11 ayat (2) UUHT). Dalam hal ini pihak-pihak bebas
menentukan untuk menyebutkan atau tidak menyebutkan janji-janji tersebut dalam
APHT. Dalam dimuatnya janji-janji itu dalam APHT yang kemudian di daftar pada
Kantor Pertanahan, maka janji-janji terdebut juga mempunyai kekuatan mengikat
terhadap pihak ketiga.[32]
Adapun janji-janji yang disebutkan dalam APHT
sebagaimana tersebut dalam Pasal 11 ayat (2), antara lain:
1.
Janji yang membatasi kewenangan
pemberi Hak Tanggungan untuk menyewakan objek Hak Tanggungan dan/ atau
menentukan atau mengubah jangka waktu sewa di muka, kecuali dengan persetujuan
tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
2.
Janji yang membatasi kewenangan
pemberi Hak Tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari
pemegang Hak Tanggungan;
3.
Janji yang memberikan kewenangan
kepada pemegang Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri
yang daerah hukumnya meliputi objek Hak Tanggungan apabila debitur
sungguh-sungguh cidera janji;
4.
Janji yang memberikan kewenangan
kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan objek Hak Tanggungan, jika
hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi
hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi objek Hak Tanggungan karena tidak
dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan Undang-undang;
5.
Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan
pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri objek Hak Tanggungan
apabila debitur cidera janji;
6.
Janji yang diberikan oleh pemegang
Hak Tanggungan pertama bahwa objek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari
Hak Tanggungan;
7.
Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan
tidak akan melepaskan haknya atas objek Hak Tanggungan tanpa persetujuan
tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
8.
Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan
akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak
Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila objek Hak Tanggungan dilepaskan
dari haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan
umum;
9.
Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan
akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi
Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika objek Hak Tanggungan
diasuransikan;
10.
Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan
akan mengosongkan objek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan;
11.
Janji bahwa sertifikat hak atas tanah
yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan tetap berada di tangan
kreditur sampai seluruh kewajiban debitur dipenuhi sebagaimana mestinya.
Ada janji yang dilarang untuk dilakukan, yaitu
janji yang disebutkan dalam Pasal 12 UUHT, yaitu dilarang diperjanjikan
pemberian kewenangan kepada debitur untuk memiliki objek Hak Tanggungan apabila
debitur cidera janji. Ketentuan tersebut diadakan dalam rangka melindungi
kepentingan debitur dan pemberi Hak Tanggungan lainnya, terutama jika nilai objek
Hak Tanggungan melebihi besarnya hutang yang dijamin. Oleh karena itu pemegang
Hak Tanggungan dilarang untuk serta merta menjadi pemilik objek Hak Tanggungan
jika debitur cidera janji.
b.
Tahap Pendaftaran Hak Tanggungan
Menurut Pasal 13 UUHT, pamberian Hak Tanggungan
wajib didaftarkan ke Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah
penandatanganan APHT. PPAT wajib mengirimkan APHT yang bersangkutan dan berkas
lainnya yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan.
Dengan pengiriman oleh PPAT berarti akta dan
berkas lain yang diperlukan itu disampaikan ke Kantor Pertanahan melalui
petugasnya atau dikirim melalui pos tercatat. PPAT wajib menggunakan cara yang
paling baik dan aman dengan memperhatikan kondisi di daerah dan fasilitas yang
ada, serta selalu berpedoman pada tujuannya untuk didaftarkannya Hak Tanggungan
itu secepat mungkin. Berkas lain yang dimaksud di sini adalah meliputi
surat-surat bukti yang berkaitan dengan objek Hak Tanggungan, dan identitas
pihak-pihak yang bersangkutan, termasuk di dalamnya sertifikat hak atas tanah
dan/ atau surat-surat keterangan mengenai objek Hak Tanggungan. PPAT wajib
melaksanakan ketentuan tersebut karena jabatannya. Sanksi atas pelanggarannya
akan ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur jabatan PPAT. [33]
Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh Kantor
Pertanahan atas dasar data di dalam APHT serta berkas pendaftaran yang
diterimanya dari PPAT, dengan dibuatkan buku tanah Hak Tanggungan. Bentuk dan
isi buku tanah Hak Tanggungan telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri
Agraria No. 3 Tahun 1997.[34]
Dengan dibuatnya buku tanah tersebut, Hak Tanggungan lahir dan kreditur menjadi
kreditur pemegang Hak Tanggungan, dengan kedudukan mendahului dari
kreditur-kreditur lain.
Menurut Pasal 13 ayat (4) UUHT tanggal pembuatan
buku tanah Hak Tanggungan adalah hari ke-7 setelah penerimaan secara lengkap
surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran Hak Tanggungan. Jika hari ke-7
jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya.
Kepastian tanggal buku tanah itu dimaksudkan agar pembuatan buku tanah Hak
Tanggungan tidak berlarut-larut sehingga dapat merugikan pihak-pihak yang
berkepentingan dan mengurangi jaminan kepastian hukum.
Dalam hal hak atas tanah yang dijadikan jaminan
belum bersertifikat terlebih dahulu sebelum dilakukan pendaftaran Hak
Tanggungan. Waktu hari ketujuh yang ditetapkan sebagai tanggal buku tanah Hak
Tanggungan tersebut dalam hal yang demikian, dihitung sejak selesainya
pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan.
Untuk memberikan kekuatan eksekutorial yang sama
dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sertifikat
Hak Tanggungan diberi irah-irah dengan membubuhkan pada sampulnya kalimat “DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” (Pasal 14 ayat (2) dan (3) UUHT).
Dengan pencantuman irah-irah tersebut pada sertifikat Hak Tanggungan, maka
untuk itu dapat dipergunakan Lembaga Parate Eksekusi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 224 HIR dan 258 Rbg.
Setelah sertifikat Hak Tanggungan selesai dibuat,
kemudian sertifikat Hak Tanggungan tersebut diserahkan kepada pemegang Hak
Tanggungan yang bersangkutan.
6. Eksekusi Hak Tanggungan
Salah satu ciri dari Hak Tanggungan adalah mudah
dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya
apabila dikemudian hari debitur wanprestasi. Eksekusi Hak Tanggungan yaitu
terjadi apabila debitur cidera janji sehingga objek Hak Tanggungan kemudian
dijual melalui pelelangan umum menurut cara yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan pemegang Hak Tanggungan berhak mengambil
seluruh atau sebagian dari hasilnya untuk pelunasan piutangnya dengan hak
mendahului daripada kreditur-kreditur lain. [35]
Menurut Pasal 20 ayat (1) UUHT, eksekusi Hak Tanggungan dilakukan berdasarkan:
a.
Hak pemegang Hak Tanggungan pertama
untuk menjual objek Hak Tanggungan atas dasar kewenangan dan janji yang disebut
dalam Pasal 6 UUHT;
b.
Titel eksekutorial yang terdapat
dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2)
UUHT.
Berdasarkan Pasal 6 UUHT disebutkan bahwa apabila
debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk
menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum
serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Penjualan
objek Hak Tanggungan dapat juga dilakukan di bawah tangan asalkan atas
kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan.
Penjualan barang secara prosedural ini
dimungkinkan dapat diperoleh harga yang tertinggi sehingga menguntungkan semua
pihak. Hal ini dilakukan setelah lewat 1 (satu) bulan sejak diberitahukan
secara tertulis oleh pemberi atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak
yang berkepentingan dan diumumkan dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di
daerah yang bersangkutan atau media masa setempat, serta tidak ada pernyataan
keberatan (Pasal 22 ayat (2) dan (3) UUHT).
Eksekusi Hak Tanggungan dengan titel eksekutorial
dapat dilakukan karena berdasarkan Pasal 14 ayat (2) UUHT, sertifikat Hak
Tanggungan sebagai tanda atau alat bukti adanya Hak Tanggungan yang memuat
irah-irah yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
Dengan irah-irah tersebut, sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa pelaksanaan eksekusi objek Hak Tanggungan dapat dilakukan melalui 3
(tiga) cara, yaitu:
a.
Parate Eksekusi (Pasal 14 ayat (2)
UUHT)
Dalam hal ini kreditur pemegang Hak Tanggungan harus menunjukkan bukti
bahwa debitur ingkar janji dalam memenuhi kewajibannya dan dengan menyerahkan
sertifikat Hak Tanggungan yang bersangkutan sebagai dasarnya. Permohonan
eksekusi ini diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Eksekusi kemudian
dilakukan atas dasar perintah dan dengan Pimpinan Ketua Pengadilan Negeri
tersebut, melalui pelelangan umum yang dilakukan oleh Kantor Lelang Negara.
b.
Pelelangan Umum (Pasal 6 UUHT)
Pelaksanaan pelelangan umum berdasarkan pada Pasal 6 UUHT ini lebih
mudah daripada “Parate Eksekusi”, karena dalam pelelangan ini tidak diperlukan
perintah Ketua Pengadilan Negeri untuk melakukan penjualan terhadap objek Hak
Tanggungan yang bersangkutan. Pelelangan ini langsung dapat dilakukan karena
dimilikinya kekuatan eksekutorial yang termuat pada irah-irah sertfikat Hak
Tanggungan tersebut, sehingga dalam hal ini kreditur pemegang Hak Tanggungan
langsung dapat mengajukan permintaan penjualan objek Hak Tanggungan yang
bersangkutan kepada Kantor Lelang Negara.
c.
Penjualan di Bawah Tangan (Pasal 6
UUHT)
Dalam keadaan tertentu apabila melalui pelelangan umum diperkirakan
tidak akan menghasilkan harga tertinggi, maka atas kesepakatan pemberi dan
pemegang Hak Tanggungan, dimungkinkan eksekusi dilakukan dengan cara penjualan
di bawah tangan, jika dengan cara demikian itu akan dapat diperoleh harga
tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Penjualan di bawah tangan terhadap
objek Hak Tanggungan ini wajib dilakukan menurut ketentuan PP No. 14 Tahun 1997
tentang pendaftaran tanah, yaitu harus dilakukan dihadapan PPAT yang membuat
aktanya dan diikuti dengan pendaftarannya di Kantor Pertanahan.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Gambaran Objek Penelitian
Perusahaan
Daerah Bank Perkreditan Rakyat Badan Kredit Kecamatan Tengaran (PD BPR BKK
Tengaran) adalah sebuah perusahaan daerah milik pemerintah daerah tingkat II
Kabupaten Semarang yang berkedudukan dan melaksanakan operasionalnya di
kecamatan Tengaran. Secara resmi berdiri pada tanggal 21 Juni 1976 dengan nama
Badan Kredit Pedesaan (BKPD), atas dasar Surat Keputusan Bupati Daerah Tingkat
II Semarang Nomor 1/BKPD/ 1971. Pada tanggal 1 Januari 1973 BKPD diubah menjadi
Badan Kredit Kecamatan (BKK) atas dasar Surat Keputusan Bupati Daerah Tingkat
II Semarang Nomor G322/1970 yang didukung Peraturan Daerah Nomor II Tahun 1981.
Pada Tanggal 8 Oktober 1991 BKK Tengaran dikukuhkan sebagai Bank Perkreditan
Rakyat (BPR) atas dasar Surat Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor
330/km.B/1991. Pada tanggal 18 April
1995 PD BPR BKK dalam pelaksanaan operasionalnya diatur Peraturan Daerah
Provinsi Dati II Jawa Tengah Nomor 4 Tahun 1995.
PD BPR BKK
Tengaran merupakan suatu usaha pemerintah dibidang perbankan yang bertujuan
meningkatkan taraf hidup masyarakat pedesaan. Tugas pokok PD BPR BKK Tengaran
hampir sama dengan tugas-tugas bank-bank lain pada umumnya, yaitu menghimpun
dan menyalurkan dana kepada masyarakat khususnya masyarakat pedesaan. Latar
belakang dibentuknya PD BPR BKK Tengaran adalah untuk “Pembangunan Desa” (Rural Development). Khususnya diwilayah
kecamatan Tengaran. Tujuan PD BPR BKK Tengaran antara lain: [36]
a.
Memberikan modal pada golongan masyarakat ekonomi lemah di
wilayah pedesaan melalui kredit;
b.
Melindungi pengusaha kecil dari jeratan lintah darat;
c.
Menggerakkan prinsip gemar menabung pada masyarakat pedesaan.
Untuk melaksanakan
kegiatan operasionalnya PD BPR BKK Tengaran membutuhkan sarana yang dapat
menunjang tujuan pokoknya yaitu pembangunan BKK secara merata dan seragam yang
ditinjau dari aspek filosofis, fungsi, dan fisik di seluruh wilayah jawa
tengah. [37]
Struktur
organisasi dapat diperlukan sebagai gambaran secara sistematis tentang
hubungan-hubungan kerjasama dari orang-orang dalam rangka mencapai suatu
tujuan. Setiap badan usaha harus mempunyai struktur organisasi yang tepat dan
memuat pembagian tugas serta wewenang .
Struktur
organisasi dapat menggambarkan kedudukan masing-masimg jabatan dalam suatu
badan usaha sehubungan dengan wewenang dan tanggung jawab yang ada pada
masing-masing bidang kerja. Sementara itu, struktur organisasi yang tepat dan
jelas akan memudahkan pimpinan dalam mengadakan pengawasan maupun meminta
pertanggung jawaban pada bawahannya.
|
Adapun
bentuk struktur organisasi PD BPR BKK Tengaran adalah sebagai berikut: [38]
|
|
|
|
Keterangan:
a.
Bupati Semarang
Bupati Semarang merupakan pemilik sekaligus pemegang saham PD BPR BKK.
Seperti telah dikemukakan di atas bahwa PD BPR BKK adalah suatu perusahaan
daerah yang dimiliki oleh pemerintah daerah tingkat II Kabupaten Semarang.
b.
Dewan Komisaris
Dewan Komisaris merupakan pengawas yang mempunyai tugas menetapkan
kebijaksanaan umum yang digariskan oleh pemegang saham, melaksanakan
pengawasan, pemeriksaan, dan pembinaan terhadap PD BPR BKK. Dewan komisaris
mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut:
1) Menyusun tata cara
pengawasan dan pengelolaan PD BPR BKK;
2) Melakukan pengawasan
terhadap pengurusan PD BPR BKK;
3) Menetapkan kebijaksanaan
anggaran dan keuangan PD BPR BKK;
4) Melakukan pembinaan dan
pengembangan PD BPR BKK.
c. Direksi
Direksi mempunyai tugas menyusun perencanaan, melaksanakan koordinasi
dalam pelaksanaan tugas antar anggota Direksi dan melakukan pembinaan serta
pengendalian terhadap bidang, sekretariat, sub bagian, seksi, cabang atau unit
pelayanan berdasarkan azas keseimbangan dan keserasian. Fungsi Direksi adalah
sebagai berikut:
1)
Pelaksanaan manajemen PD BPR BKK berdasarkan kebijaksanaan
umum pemegang saham yang ditetapkan oleh dewan pengawas;
2)
Penetapan kebijaksanaan untuk melaksanakan pengurusan dan
pengelolaan PD BPR BKK berdasarkan kebijaksanaan umum pemegang saham yang
ditetapkan oleh dewan pengawas;
3)
Penyusunan dan penyampaian RKAP dan perubahannya kepada
Bupati/Walikota melalui dewan pengawas untuk mendapatkan pengesahan setelah
melalui pembahasan dalam rapat pemegang saham;
4)
Penyusunan dan penyampaian laporan bulanan, laporan keuangan
tahunan, dan laporan-laporan lainnya yang diperlukan kepada kantor Bank
Indonesia setempat dan tindasannya disampaikan kepada Badan Pembina Propinsi
dan Badan Pembina Kabupaten/Kota;
5)
Penyusunan dan pengumuman laporan keuangan publikasi dan
melaporkannya kepada kantor Bank Indonesia setempat dan tindasannya disampaikan
kepada Badan Pembina Propinsi dan Badan Pembina Kabupaten/Kota;
6)
Penyusunan dan penyampaian laporan pertanggungjawaban tahunan
kepada pemegang saham;
7)
Penyusunan dan penyampaian laporan akhir masa jabatan kepada
pemegang saham.
d.
Bagian Pemasaran
Bagian pemasaran mempunyai tugas
menghimpun dana dan menyalurkannya dalam bentuk kredit sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Bagian pemasaran membawahi bagian-bagian
sebagai berikut:
1)
Seksi Kredit
Seksi kredit
mempunyai tugas melaksanakan segala kegiatan yang berhubungan dengan usaha
perkreditan diantaranya pemasaran, pemberian kredit, penagihan,
pengadministrasian, dan pemantauan kolektibilitas. Untuk melaksanakan tugasnya
seksi kredit mempunyai fungsi sebagai berikut:
a)
Pelaksanaan perencanaan kredit;
b)
Penyelenggaraan usaha dengan kolektibilitas yang tinggi;
c)
Pemberian penjelasan tentang syarat-syarat dan prosedur
kepada calon nasabah;
d) Penelitian syarat-syarat
calon nasabah kredit;
e)
Penganalisaan calon nasabah yang mengajukan kredit;
f)
Pemberian rekomendasi permohonan kredit yang diajukan oleh
nasabah;
g)
Pelaksanaan administrasi kredit, mempersiapkan, dan meneliti
perjanjian kredit;
h)
Pelaksanaan penyimpanan dan pemeliharaan dokumen;
i)
Pembinaan kredit usaha kecil, kredit investasi, kredit
konsumsi, program hubungan PD BPR BKK dengan kelompok peminjam, dan penanganan
kredit bermasalah;
j)
Pembinaan nasabah yang kreditnya dihapusbukukan;
k)
Penagihan secara intensif dan semaksimal mungkin atas kredit
yang telah dihapusbukukan;
l)
Pemberian saran dan pertimbangan mengenai langkah-langkah dan
atau tindakan-tindakan yang perlu diambil di bidang tugasnya.
2)
Seksi Dana
Seksi dana
mempunyai tugas melakukan usaha dan koordinasi pengembangan dana dan pembinaan
hubungan nasabah PD BPR BKK. Dalam melakukan tugasnya seksi dana mempunyai
fungsi sebagai berikut:
a)
Penyelenggaraan usaha pengembangan dana;
b)
Pelaksanaan administrasi keluar masuk dana;
c)
Pengelolaan rekening nasabah;
d) Pemberian saran dan
pertimbangan mengenai langkah-langkah dan atau tindakan-tindakan yang perlu
diambil di bidang tugasnya.
e.
Bagian Pelayanan
Bagian pelayanan mempunyai tugas melakukan pengkoordinasian
kegiatan-kegiatan pemasukan dan pengeluaran dana serta melakukan pembukuan dan
penerimaan laporan dari bagian-bagian lain. Bagian pelayanan membawahi bagian-bagian
sebagai berikut:
1)
Pembukuan
Seksi
pembukuan mempunyai tugas melakukan pembukuan dan menerima laporan dari
bagian-bagian lain. Dalam melaksanakan tugasnya seksi pembukuan mempunyai
fungsi sebagai berikut:
a)
Pencatatan atas seluruh transaksi;
b)
Penyusunan laporan keuangan;
c)
Pemberian saran dan pertimbangan-pertimbangan mengenai
langkah-langkah dan atau tindakan-tindakan yang perlu diambil di bidang
tugasnya.
2)
Kasir
Seksi kas
mempunyai tugas melaksanakan koordinasi kegiatan-kegiatan pemasukan dan
pengeluaran uang. Dalam melaksanakan tugasnya seksi kas mempunyai fungsi
sebagai berikut:
a)
Pengkoordinasian pengawasan, pengarahan terhadap kegiatan dan
pelaksanaan tugas:
b)
Penelitian kebenaran laporan kas harian;
c)
Penyetoran dan penarikan uang antar bank;
d) Pemegang kunci brankas;
e)
Pemberian saran dan pertimbangan-pertimbangan mengenai
langkah-langkah dan atau tindakan-tindakan yang perlu diambil di bidang
tugasnya.
B. Tata Cara Pemberian
Kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan
1.
Pemberian Kredit oleh PD
BPR BKK Tengaran
PD BPR BKK dalam memberikan kredit harus mendasarkan pada prinsip
kehati-hatian. Sebagai lembaga keuangan yang melepaskan uangnya kepada
masyarakat, PD BPR BKK Tengaran harus bertindak hati-hati dalam menentukan
siapa yang patut untuk diberikan kredit dan berapa besarnya jumlah kredit yang
diberikan setelah mengetahui apa jaminan yang diberikan oleh calon debitur dan
juga penerapan prinsip 5 C (Collateral,
Capital, Capacity, Character, Condition of Economy)[39]
dengan baik. Selain hal tersebut, PD BPR BKK Tengaran juga harus menjaga bahwa
perjanjian yang dibuat dengan calon debitur tidak cacat dan memenuhi
syarat-syarat sah perjanjian. Apabila sejak dini bank sudah bertindak
hati-hati, dapatlah diharapkan bahwa kredit yang diberikan kepada debitur
terjamin dalam pengembaliannya, yaitu dikembalikan sebelum atau tepat pada
waktu yang telah diperjanjikan.
Di dalam praktik permohonan yang diajukan oleh calon debitur terlalu
berlebihan. Oleh karena itu dalam mengajukan permohonan kredit perlu
diperhitungkan tentang adanya penyimpangan atau hal-hal yang tidak diinginkan.[40]
Dalam menyikapi hal ini PD BPR BKK Tengaran mengadakan “Survey on The Spot” atau peninjauan tempat dimana barang jaminan
berada. Dari hasil “Survey on The Spot”
petugas dapat membuat laporan penilaian jaminan kredit yang kemudian diserahkan
kepada direksi. Syarat calon debitur yang mengajukan kredit antara lain:[41]
a. Syarat Permohonan Kredit
1)
Calon debitur merupakan penduduk yang berdomisili di
kecamatan Tengaran dan sekitarnya yang
berpenghasilan rendah;
2)
Calon debitur memiliki usaha yang produktif.
b. Syarat Pengajuan Kredit
1) Calon debitur mengisi formulir
pengambilan kredit yang telah disediakan;
2) Formulir diketahui dan
diperkuat oleh Kepala Desa atau Kepala Kelurahan setempat.
Selain syarat tersebut calon debitur juga harus melengkapi syarat sebagai
berikut:
a.
Formulir tanda penerimaan jaminan yang berisi tentang barang
yang dijadikan jaminan, apabila barang jaminan berupa hak atas tanah maka
terlebih dahulu harus dibuatkan SKMHT (Surat Kuasa Membebankan Hak tanggungan)
atau APHT (Akta Pemberian Hak Tanggungan) pada Notaris yang ditunjuk;
b.
Formulir penyerahan hak milik jaminan. Formulir ini berisi
daftar barang-barang jaminan. Selanjutnya yang menerangkan sebagai kuasa adalah
PD BPR BKK Tengaran dan surat ini dikuatkan oleh pihak yang berwenang;
c.
Surat kuasa menjual. Yaitu surat yang menerangkan kesanggupan
calon debitur apabila ia tidak dapat melunasi hutangnya setelah jatuh tempo
maka barang yang dijadikan jaminan tersebut menjadi milik PD BPR BKK, yang
kemudian jaminan tersebut dapat dilelang secara umum. Dari hasil pelelangan
tersebut, digunakan untuk melunasi biaya pokok kredit dan kelebihannya
dikembalikan kepada debitur.
Pada saat pengambilan kredit oleh debitur tidak dapat dikuasakan kepada orang
lain namun harus secara langsung oleh yang bersangkutan dan harus menunjukkan
identitas diri. Jika ingin mengajukan tambahan kredit maka debitur harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a.
Pinjaman kredit yang terdahulu telah lunas;
b.
Angsuran kredit yang terdahulu baik, lancar, dan
pengembaliannya sesuai jangka waktu yang telah ditentukan;
c.
Usaha yang dilakukan debitur mengalami perkembangan dengan
pemberian kredit yang terdahulu.
Apabila syarat-syarat tersebut telah dipenuhi maka untuk selanjutnya
surat perjanjian pinjaman penandatanganannya dilakukan oleh petugas dan surat
kuasa tidak berlaku lagi. Pemberian kredit oleh PD BPR BKK Tengaran kepada
masyarakat dilaksanakan dengan mudah, murah, dan cepat hal ini bertujuan untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat menengah ke bawah.[42]
Di dalam pelaksanaan perjanjian kredit tersebut menimbulkan hak dan
kewajiban masing-masing pihak yaitu kreditur (PD BPR BKK Tengaran) dan
debitur memiliki beberapa hak dan
terikat pada beberapa kewajiban yang wajib dipenuhi guna menjamin rasa saling
percaya oleh para pihak serta kegiatan perkreditan dapat dilaksanakan dengan
lancar. Beberapa hak dan kewajiban tersebut antara lain sebagai berikut: [43]
a.
Hak Kreditur
1)
Menerima bunga sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati
bersama;
2)
Menegur atau memperingatkan apabila dalam pembayaran angsuran
kredit dinyatakan kurang lancar atau diragukan;
3)
Menerima administrasi dan provisi.
b.
Kewajiban Kreditur
1)
Memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada debitur;
2)
Memberikan informasi mengenai kredit;
3)
Mematuhi segala ketentuan yang termuat di dalam perjanjian
kredit;
c.
Hak Debitur
1)
Menerima Kredit yang diberikan oleh kreditur;
2)
Menerima tabungan di akhir pelunasan;
3)
Debitur diasuransikan. Artinya, kredit yang ditanggung oleh
pihak asuransi. Yang dijaminkan adalah jumlah plafon kreditnya. Apabila debitur
meninggal dunia sebelum jatuh tempo pembayaran kredit maka kredit dapat diklaim
oleh pihak asuransi.
d.
Kewajiban Debitur
1)
Membayar kredit dengan tertib;
2)
Membayar kredit tepat waktu sesuai dengan ketentuan yang
telah diperjanjikan;
3)
Mematuhi segala ketentuan yang termuat di dalam perjanjian
kredit.
2. Pembuatan Akta
Pemberian Hak Tanggungan (APHT)
Bagi debitur yang melakukan kredit di PD BPR BKK Tengaran, jaminan Hak
Tanggungan yang berupa hak atas tanah harus dibuatkan APHT pada Notaris. Dalam
hal ini subjek dari Hak Tanggungan yaitu orang perseorangan atau badan hukum
yang wajib membuat APHT kepada pejabat yang berwenang yaitu PPAT. Subjek Hak
Tanggungan yaitu pemilik hak atas tanah mendaftarkan Objek Hak Tanggungan yang
berupa tanah. Di dalam mendaftarkan tanah wajib dilakukan sendiri oleh pemilik
hak atas tanah kecuali yang bersangkutan tidak dapat hadir pada penandatanganan
APHT, maka oleh pemilik hak atas tanah dibuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
(SKMHT) secara otentik.[44]
3. Pendaftaran Akta Pemberian Hak Tanggungan
Setelah kredit debitur disetujui oleh pihak PD BPR BKK Tengaran dengan
syarat yang telah ditentukan, maka pihak PD BPR BKK Tengaran bersama-sama
dengan debitur mengadakan penandatanganan perjanjian kredit yang mencantumkan
mengenai: [45]
a.
Jumlah kredit yang diberikan;
b.
Addendum kredit yang berisi
tentang perubahan kredit, penambahan kredit, dan nomor perjanjian;
c.
Jangka waktu kredit;
d.
Agunan yang diserahkan yang meliputi tempat dan siapa
pemiliknya guna pengikatan barang jaminan.
Setelah semua
berkas-berkas telah lengkap, maka dikeluarkanlah APHT. APHT ini dibuat di
hadapan PPAT dimana tanah tersebut berada.[46]
UUHT merupakan Undang-undang yang diamanatkan oleh Pasal 51 UUPA dan
diharapkan dapat memenuhi tuntutan pembangunan bagi mereka yang membutuhkan
dana yang sebagian pembiayaannya diperoleh dari kegiatan pemberian fasilitas
kredit.
Dalam kegiatan tersebut diperlukan adanya jaminan yang mempunyai
kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah sebagai pemberian Hak Tanggungan
yang nantinya akan memperoleh kedudukan yang diutamakan (droit de preference). Di dalam membebankan Hak Tanggungan tersebut
melibatkan pejabat-pejabat yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan Notaris
dalam hal pembuatan akta serta kepala kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN)
dalam hal pencatatan keterangan dalam buku tanah. Ketua Pengadilan Negeri
apabila terjadi sengketa, yang pada setiap tahap pemberian Hak Tanggungan dapat
memenuhi ciri-ciri yang tercantum dalam penjelasan UUHT dalam butir 3 sub c dan
d, yaitu memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak
ketiga serta memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan
dan juga mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
Kegiatan pembebanan Hak Tanggungan yang dimaksudkan untuk menjamin hutang
debitur dan kreditur dimulai dengan janji akan memberikan Hak Tanggungan untuk
menjamin pelunasan hutang tertentu dari debitur kepada kreditur. Janji tersebut
wajib dituangkan dalam perjanjian hutang piutang atau perjanjian lainnya yang
tidak dapat dipisahkan, kemudian disusul dengan pemberian Hak Tanggungan oleh
pemegang hak atas tanah, setelah itu dibuat APHT dihadapan PPAT yang wilayah
kerjanya meliputi letak bidang tanah yang dijaminkan, selanjutnya diikuti
dengan pendaftaran Hak Tanggungan di kantor pertanahan. Dengan dibuatnya buku
tanah Hak tanggungan dan pencatatan dalam buku tanah hak atas tanah menjadi
objek Hak Tanggungan maka lahirlah Hak Tanggungan
Pada umumnya pemberian Hak Tanggungan oleh debitur atau orang yang
memberikan jaminan Hak Tanggungan kepada kreditur atau bank karena adanya transaksi
kredit, dimana bank menilai atau merasa yakin bahwa nasabah layak diberi kredit
dan dilain pihak untuk menjamin pelunasan kredit tersebut nasabah menyerahkan
agunan berupa tanah beserta benda yang melekat diatasnya.
Benda jaminan diberikan oleh debitur kepada bank sebagai jaminan atas
kredit yang diambil oleh debitur. Pengikatan jaminan kredit yang berupa harta
milik debitur yang dilakukan oleh pihak bank, tentunya debitur yang
bersangkutan takut akan kehilangan hartanya tersebut. Hal ini akan mendorong
debitur berupaya untuk melunasi kreditnya kepada bank agar harta yang dijadikan
jaminan kredit tersebut tidak hilang karena harus dicairkan oleh bank.
Nilai jaminan kredit yang diserahkan debitur kepada bank lebih besar bila
dibandingkan dengan nilai kredit yang diberikan bank kepada debitur yang
bersangkutan. Hal ini memberikan motivasi kepada debitur untuk menggunakan
kredit sebaik-baiknya, melakukan kegiatan usahanya secara baik, mengelola
kondisi keuangan secara hati-hati sehingga dapat melunasi kreditnya agar dapat
menguasai kembali hartanya. Tidak dapat dipungkiri siapapun juga pasti tidak
ingin kehilangan harta/asset karena merupakan sesuatu yang dibutuhkan dan
mempunyai nilai-nilai tertentu.
Pemberian kredit oleh PD BPR BKK Tengaran didasarkan pada prinsip
kehati-hatian yaitu bank harus bertindak hati-hati dalam menentukan siapa yang
patut untuk diberikan kredit dan berapa besarnya jumlah kredit yang diberikan
setelah mengetahui jaminan yang diberikan oleh calon debitur. Bank juga harus
menjaga bahwa perjanjian yang dibuat dengan calon debitur tidak cacat dan
memenuhi syarat-syarat sah perjanjian. Hal ini dilakukan oleh PD BPR BKK
Tengaran tidak semata-mata untuk mencapai keuntungan, akan tetapi tujuan yang
lebih penting adalah untuk mempertahankan kelangsungan usahanya dan menjaga
kepercayaan masyarakat pada PD BPR BKK Tengaran sendiri.
Pembuatan Akta Pemberian Hak
Tanggungan bertujuan untuk mendaftarkan hak atas tanah yang dibebani Hak
Tanggungan agar kepastian hukumnya terjamin, baik itu meliputi kepastian
tentang subjek haknya maupun objek haknya.
Pendaftaran Akta Pemberian Hak
Tanggungan dimaksudkan untuk mendapatkan kepastian hukum antara pihak kreditur
sebagai pemegang Hak Tanggungan dan pihak debitur sebagai pemberi Hak
Tanggungan serta mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.
C. Hambatan-Hambatan yang Dihadapi Dalam
Pelaksanaan Pemberian Kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan pada PD BPR BKK
Tengaran dan Cara Mengatasi pada PD BPR BKK Tengaran
PD BPR BKK Tengaran menghendaki bahwa setiap kredit yang diberikan akan
mengalami kelancaran. Di dalam operasionalnya tidak selamanya PD BPR BKK
Tengaran kelancaran, namun juga terdapat kendala-kendala atau
permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh PD BPR BKK Tengaran dalam pemberian kredit khususnya dalam
pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan. Guna menjamin
kelancaran kreditnya, PD BPR BKK Tengaran melakukan upaya-upaya untuk mengatasi
setiap permasalahan-permasalahan yang timbul. Permasalahan-permasalahan
tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Tanah yang Belum Bersertifikat Dijadikan Jaminan Hak
Tanggungan dalam Perjanjian Kredit
Dalam pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan, objek Hak
Tanggungan yaitu tanah harus mempunyai sertifikat. Namun di dalam kenyataannya
banyak tanah-tanah di daerah pedesaan yang belum didaftarkan, sehingga
masyarakat pedesaan tidak mempunyai sertifikat sebagai bukti kepemilikan tanah.
Ketika masyarakat membutuhkan dana untuk kelancaran kegiatan usahanya, mereka melakukan pinjaman
kredit kepada bank. Namun di dalam pemberian kredit, bank meminta jaminan
berupa benda bergerak maupun tidak bergerak sebagai jaminan untuk jaminan
kreditnya. Sementara itu, sebagian besar harta yang dimiliki masyarakat adalah
tanah sehingga mereka memberikan tanahnya sebagai jaminan kredit pada bank.
Dalam hal ini, PD BPR BKK Tengaran tidak menerima kredit dengan jaminan tanah
yang belum memiliki sertifikat kecuali dengan pemberian kredit kepercayaan.
Kredit kepercayaan yaitu kredit yang diberikan oleh PD BPR BKK Tengaran kepada
masyarakat tanpa adanya barang jaminan tetapi jangka waktu pengembalian
kreditnya hanya 3 (tiga) bulan saja.[47]
b.
Upaya yang Dilakukan PD BPR BKK Tengaran dalam Mengatasi
Kredit Macet
Di dalam praktik tidak semua kredit yang diberikan oleh bank berjalan lancar.
Sebagian ada yang kurang lancar dan sebagian macet. Dalam mengatasi hal ini, PD
BPR BKK Tengaran telah mempersiapkan kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi
hal tersebut. Untuk mengatasi debitur yang mulai tersendat-sendat dalam
melakukan kewajibannya membayar kredit, maka PD BPR BKK Tengaran mengupayakan
pendekatan kepada debitur dengan cara memperingatkan secara lisan sebagai
peringatan pertama. Apabila hal ini tidak ditanggapi oleh debitur, maka PD BPR
BKK Tengaran melayangkan surat tertulis sebagai peringatan kedua dan apabila
hal ini tidak ditanggapi juga oleh debitur, maka barang jaminan yang digunakan
sebagai jaminan kredit akan dilelang secara umum oleh PD BPR BKK Tengaran
sebagai pengganti pelunasan kredit dan sisa dari hasil pelelangan tersebut
dikembalikan kepada debitur. Sebelum pelelangan dilakukan, terlebih dahulu
dilakukan pemberitahuan mengenai pelelangan terhadap barang jaminan debitur,
seperti yang telah diperjanjikan pada perjanjian kredit. Dalam pelelangan
tersebut debitur ikut serta dalam pelaksanaan lelang.[48]
Dalam hal kredit dengan jaminan tanah, belum pernah dilakukan pelelangan
maupun penjualan terhadap tanah jaminan yang dikarenakan kredit macet. Pada
umumnya kredit dengan jaminan tanah sebagian besar mengalami kelancaran meskipun
dalam pembayarannya sebagian melewati batas jangka waktu yang telah
diperjanjikan. Hal ini dikarenakan PD BPR BKK Tengaran masih mengacu pada Batas
Maksimal Pemberian Kredit (BMPK), jadi pemberian kredit ditentukan oleh besar
kecilnya nilai dari jaminan kredit yang diberikan oleh debitur.
Akan tetapi sebelum melakukan upaya tersebut diatas, terlebih dahulu PD
BPR BKK Tengaran mengadakan penyelidikan terhadap sebab-sebab terjadinya
kemacetan kredit tersebut. Jika penyebabnya adalah faktor eksternal seperti
debitur tertimpa musibah bencana alam, maka PD BPR BKK Tengaran tidak perlu
lagi mengadakan analisis. Yang perlu dilakukan adalah membantu debitur agar
segera memperoleh penggantian dari pihak asuransi dan menawarkan apakah debitur
masih menghendaki berjalannya usaha atau debitur akan menutup kredit yang masih
tersisa.
Apabila sebab terjadinya kemacetan kredit dikarenakan faktor internal,
misalnya debitur pailit maka, PD BPR BKK Tengaran masih dapat mencarikan jalan
keluar untuk menormalisasi keadaan sehingga usaha yang dijalankan oleh debitur
dapat stabil dan PD BPR BKK Tengaran melakukan restrukturisasi kredit terhadap
kredit debitur yang bersangkutan dengan catatan usaha yang dijalankan oleh
debitur produktif dan berkembang dengan baik. Dengan dilakukannya upaya-upaya
tersebut diharapkan debitur dapat memenuhi kewajibannya dalam membayar
kreditnya.[49]
Guna kelancaran kreditnya, PD BPR BKK Tengaran melakukan upaya-upaya
untuk mengatasi setiap hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaan
pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan. PD BPR BKK Tengaran memberikan
kredit kepercayaan yaitu kredit tanpa jaminan yang jangka waktunya hanya tiga
(3) bulan saja dalam hal debitur memberikan jaminan tanah yang belum
bersertifikat. Akan tetapi pada akhir tahun 1998, pemberian kredit kepeercayaan
dihapuskan hal ini dilakukan karena banyaknya kredit macet yang terjadi pada
waktu itu.
Pelelangan umum terhadap barang jaminan debitur yang berupa benda
bergerak maupun benda tidak bergerak dilakukan apabila debitur tidak dapat
melunasi kreditnya pada jangka waktu yang telah ditentukan, yang sebelumnya
dilakukan pemberitahuan kepada debitur terhadap pelelangan benda jaminan
kredit. Dalam hal ini debitur ikut serta dalam pelaksanaan lelang. Akan tetapi
pelaksanaan lelang tidak dilakukan oleh badan lelang yang sah tetapi
dilaksanakan sendiri oleh PD BPR BKK Tengaran dengan keikutsertaan debitur jadi
kemungkinan dapat terjadi pelelangan secara illegal.
Dalam mengatasi kredit macet, PD BPR BKK Tengaran melakukan penyelidikan
terhadap sebab-sebab terjadinya kemacetan kredit. Kemacetan kredit terjadi
dikarenakan faktor eksternal misalnya debitur terkena bencana alam dan faktor
internal misalnya debitur pailit. Dalam hal ini PD BPR BKK Tengaran berupaya
untuk membantu debitur dengan cara menormalisasi keadaan sehingga usaha debitur
kembali stabil dan melakukan restrukturisasi kredit yang bersangkutan dengan
catatan usaha yang dijalankan oleh debitur berkembang dengan baik.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan
data yang telah diperoleh serta hasil-hasil pembahasan permasalahan pada bab
III, maka dapat diambil simpulan sebagai berikut:
1.
Tata cara pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan Hak
Tanggungan pada PD BPR BKK Tengaran adalah sebagai berikut:
a.
Pemberian kredit oleh PD BPR BKK Tengaran didasarkan pada
prinsip kehati-hatian yaitu bank harus bertindak hati-hati dalam menentukan
siapa yang patut untuk diberikan kredit dan berapa besarnya jumlah kredit yang
diberikan setelah mengetahui jaminan yang diberikan oleh calon debitur. Bank
juga harus menjaga bahwa perjanjian yang dibuat dengan calon debitur tidak
cacat dan memenuhi syarat-syarat sah perjanjian.
b.
Pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan bertujuan untuk
mendaftarkan hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan agar kepastian
hukumnya terjamin, baik itu meliputi kepastian tentang subjek haknya maupun
objek haknya.
c.
Pendaftaran Akta Pemberian Hak Tanggungan dimaksudkan untuk
mendapatkan kepastian hukum antara pihak kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan
dan pihak debitur sebagai pemberi Hak Tanggungan serta mudah dan pasti
pelaksanaan eksekusinya.
2.
PD BPR BKK Tengaran melakukan upaya-upaya untuk mengatasi
setiap hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaan pemberian kredit dengan
jaminan Hak Tanggungan guna kelancaran kredit yang dilepaskan dengan memberikan
kredit kepercayaan. Dalam mengatasi kredit macet, PD BPR BKK Tengaran melakukan
penyelidikan terhadap sebab-sebab terjadinya kemacetan kredit. Kemacetan kredit
terjadi dikarenakan faktor eksternal (misalnya debitur terkena bencana alam)
dan faktor internal (misalnya debitur pailit). Dalam hal ini PD BPR BKK
Tengaran berupaya untuk membantu debitur dengan cara menormalisasi keadaan
sehingga usaha debitur kembali stabil dan melakukan restrukturisasi kredit yang
bersangkutan dengan catatan usaha yang dijalankan oleh debitur berkembang
dengan baik. Dengan dilakukannya upaya-upaya tersebut diharapkan debitur dapat
memenuhi kewajibannya dalam pembayaran kredit.
B.
SARAN
1.
Bank sebagai pemegang peranan dalam pembangunan di bidang
perekonomian hendaknya terus mengupayakan langkah-langkah untuk meningkatkan
kualitas dan kuantitas kredit perbankan dengan tetap memelihara kestabilan
ekonomi. Terutama dalam memperhatikan kelancaran kredit usaha kecil pada masyarakat
pedesaan.
2.
Pelaksanaan pengikatan jaminan debitur dengan menggunakan
ketentuan UUHT hendaknya semakin dipermudah bagi debitur, sehingga pelaksanaan
pembebanan Hak Tanggungan ini tidak mempersulit pihak debitur dan
pelaksanaannya dapat berjalan lancar. Dan dengan diundangkannya Undang-undang
No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan diharapkan dapat menampung sekaligus
mengamankan kegiatan perkreditan dalam upaya memenuhi kebutuhan tersedianya
dana untuk menunjang kegiatan pembangunan.
3.
PD BPR BKK Tengaran diharapkan untuk selalu menjaga
kepercayaan nasabah yaitu dengan cara memberikan pelayanan yang baik dan
meningkatkan profesionalisme baik dari segi manajemen, operasional, organisasi,
serta administrasi.
PELAKSANAAN
PEMBERIAN KREDIT
DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN
PADA PERUSAHAAN DAERAH BANK PERKREDITAN RAKYAT
BADAN KREDIT KECAMATAN TENGARAN KABUPATEN SEMARANG
Penulisan Hukum
dalam Bentuk Skripsi
Diajukan untuk
Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Strata
Satu (S.1) Ilmu Hukum
Program
Kekhususan Hukum Keperdataan
Dipersiapkan dan Disusun oleh :
META
HASTOMY PUTRI
NIM :
03.204.6519
Dosen Pembimbing:
Dr. H. Djauhari, SH, M.Hum.
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM SULTAN AGUNG (UNISSULA)
SEMARANG
2008
PELAKSANAAN PEMBERIAN
KREDIT
DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN
PADA PERUSAHAAN DAERAH BANK PERKREDITAN RAKYAT
BADAN KREDIT KECAMATAN TENGARAN KABUPATEN SEMARANG
Yang Diajukan Oleh :
Meta Hastomy Putri
NIM : 03.204.6519
Telah Disetujui Oleh
Dosen Pembimbing
Dr. H. Djauhari, SH, M.Hum
NIK : 22.03.82.006
Tanggal, 13 Maret 2008
PELAKSANAAN
PEMBERIAN KREDIT
DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN
PADA PERUSAHAAN DAERAH BANK PERKREDITAN RAKYAT
BADAN KREDIT KECAMATAN TENGARAN KABUPATEN SEMARANG
Dipersiapkan dan disusun oleh :
Meta
Hastomy Putri
03.204.6519
Telah dipertahankan di depan Tim Penguji
Pada Tanggal 1 April 2008 September 2006
Dan dinyatakan telah memenuhi syarat dan
lulus
Tim Penguji
Ketua,
H. Umar
Ma’ruf, SH, Sp.N, M.Hum
N H.Umar Ma’ruf, SH, Sp.N, M.Hum IK : 210.391.026
NIK : 21.03.91.026
|
|
||||
Mengetahui :
Dekan Fakultas Hukum,
Rakhmat Bowo Suharto, SH, MH
NIK: 21.03.91.029
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
v “Ahli pikir itu ialah orang-orang
yang mengingat Allah ketika ia sedang berdiri, sedang duduk, sedang berbaring,
dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi.”(Q.S. Ali ‘Imran/ 4: 191)
v “Tegakkanlah salat pada pangkal dan ujung siang, tepatnya pagi dan
petang begitu juga pada permulaan malam.”(Q.S. Hud/ 12: 114)
v “Allah telah menjanjikan ampunan dan pahala yang besar kepada
orang-orang yang beriman dan beramal saleh.”(Q.S. Al-Maidah/ 5: 9)
v Orang beriman selalu optimis bahwa ia dapat mengatasi segala
kesulitan yang dihadapi karena Allah senantiasa bersamanya.
Karya
sederhana ini kupersembahkan untuk:
Ø Ayah dan Ibuku tercinta;
Ø Mbah Kakung dan Mbah Putri;
Ø Adik-adikku tersayang, Aulia, Rais, Lina;
Ø Kedua sahabatku Teteh Iin dan Ima;
Ø Seluruh keluarga besarku, serta teman-teman senasib
seperjuangan di Fakultas Hukum UNISSULA Semarang;
Ø Almamater.
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb,
Syukur
Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “PELAKSANAAN PEMBERIAN KREDIT DENGAN JAMINAN
HAK TANGGUNGAN PADA PERUSAHAAN DAERAH
BANK PERKREDITAN RAKYAT BADAN KREDIT KECAMATAN TENGARAN KABUPATEN SEMARANG”.
Skripsi ini
dibuat selain sebagai tugas akhir dalam menempuh gelar sarjana strata satu
(S-1) pada Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang, juga karena
penulis terdorong untuk lebih memahami tentang segala hal yang berkaitan dengan
pelaksanaan pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan melalui salah satu
bank yaitu PD BPR BKK Tengaran yang berada di wilayah Kecamatan Tengaran
Kabupaten Semarang.
Dalam
penyelesaian skripsi ini penulis banyak mendapatkan bantuan, bimbingan, dan
dorongan dari berbagai pihak baik secara moril maupun materiil. Oleh karena,
itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada beberapa
pihak yang telah membantu yaitu kepada:
1.
Bapak Dr. dr. H. M. Rofiq Anwar Sp.SA selaku Rektor
Universitas Islam Sultan Agung Semarang.
2.
Bapak Rakhmat Bowo Suharto, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang.
3.
Bapak H. Umar Ma’ruf, S.H., Sp.N., M.Hum. selaku Wakil Dekan
I, Ibu Siti Rodhiyah Dwi Istinah, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan II, dan Bapak
Winanto, S.H. selaku Wakil Dekan III.
4.
Bapak Dr. H. Djauhari, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing
yang telah meluangkan waktunya guna memberikan pengarahan, petunjuk, dorongan
serta bekal ilmu pengetahuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5.
Bapak Akhmad khisni, S.H., M.H. selaku Dosen Wali.
6.
Seluruh Dosen, Staf, dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas
Islam Sultan Agung Semarang.
7.
Bapak Sudanar, SE selaku pimpinan PD BPR BKK Tengaran dan
Bapak Edy Suprobo selaku Kasie Kredit yang bersedia meluangkan waktunya untuk
memberikan data dan membimbing penulis.
8.
Bapak, Ibu, Adik-adikku tersayang, serta seluruh keluargaku
tercinta atas doa dan dukungan moril maupun materiil.
9.
Kedua sahabatku tersayang Teteh Iin dan Ima. Chy-chy sahabat
karib. Yanti, Avi Oneng, Mbak Ayu, Ari Mbrot, Tina Bundo, Iqbal, Husna, Wiwid,
Lina teman-teman kos.
10. Fikma, Winda, Mala, Lia
Catur, sahabat-sahabat baikku. Lia Demak, Taufik, M. Tri Mustofa Ucil, Febri,
Antok, teman-teman sebimbingan. Dani, Mbak Devi, Hadi, Fauzi, Abbas, Arief
Boncu, Maharis, Yudith, serta teman-teman senasib seperjuangan angkatan 2004
Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang.
11. Rekan-rekan mahasiswa dan
semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu
baik secara langsung maupun tidak langsung selama penulisan skripsi ini.
Penulis
menyadari penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa yang akan
datang.
Akhir kata,
penulis berharap semoga apa yang tersusun dalam skripsi ini dapat bermanfaat
bagi semua pihak yang memerlukan. Amin
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Semarang, Maret 2008
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN............................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................ iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN................................................ iv
KATA PENGANTAR......................................................................................... v
ABSTRAKSI.................................................................................................... viii
DAFTAR ISI....................................................................................................... ix
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................. 1
B. Perumusan Masalah...................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian.......................................................................... 6
D. Kegunanaan Penelitian................................................................. 7
E. Metode Penelitian......................................................................... 7
F.
Sistematika Penulisan................................................................. 10
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang
Perjanjian Kredit............................................ 12
1.
Pengertian Perjanjian dan Perjanjian Kredit......................... 12
2.
Bentuk Perjanjian Kredit...................................................... 18
3.
Prinsip-prinsip Perkreditan.................................................... 19
4.
Kredit Dilihat Dari Sudut Pandang Islam............................ 23
B. Tinjauan Umum Tentang Hak
Tanggungan................................ 27
1.
Pengertian Hak Tanggungan................................................. 27
2.
Ciri-ciri dan Sifat Hak Tanggungan...................................... 30
3.
Objek Hak Tanggungan........................................................ 33
4.
Subjek Hak Tanggungan....................................................... 35
5.
Proses Pembebanan Hak Tanggungan.................................. 36
6.
Eksekusi Hak Tanggungan................................................... 46
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Objek Penelitian........................................................ 50
B. Tata Cara Pemberian Kredit
Dengan Jaminan Hak Tanggungan
pada PD BPR BKK Tengaran.................................................... 58
1.
Pemberian Kredit oleh PD BPR BKK Tengaran.................. 58
2.
Pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan..................... 62
3.
Pendaftaran Akta Pemberian Hak Tanggungan................... 62
C. Hambatan-hambatan yang
Dihadapi Dalam Pelaksanaan Pemberian
Kredit Dengan
Jaminan Hak Tanggungan dan Cara Mengatasi
pada PD BPR BKK Tengaran.................................................... 66
BAB IV : PENUTUP
A. Simpulan..................................................................................... 72
B. Saran........................................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Kadir Muhammad, 1986. Hukum Perjanjian. Alumni,
Bandung.
Asy-Syekh Al-Akbar
Muhammad Daud Dahlan, Bunga Bank: Halal atau Haram, Makalah.
Boedi Harsosno, 1999. Hukum Agraria
Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi, dan Pelaksanaan. Djambatan,
Jakarta.
Djuhaendah Hasan, 1996. Lembaga Jaminan
Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat pada Tanah dan Benda Lain yang
Melekat pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal. Ctra
Aditya Bakti, Bandung.
Habib Ajie, 2000. Hak Tanggugan Sebagai
Lembaga Jaminan Atas Tanah. Mandar Maju, Bandung.
Hermansyah, 2005. Hukum Perbankan Nasional Indonesia.
Kencana, Jakarta.
J. Satrio, 1998. Hukum Jaminan, Hak
Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan Buku 2. CitraAditya Bakti, Bandung.
Lembaga Kajian Hukum dan Bisnis Fakultas
Hukum USU Medan, 1996. Persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan Di Lingkungan
Perbankan (Hasil Seminanar). Citra Aditya Bakti, Bandung.
M. Bahsan, 2007. Hukum Jaminan dan
Jaminan Kredit Perbankan Indonesia. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Muhamad Djumhana, 1996. Hukum Perbankan
Indonesia. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Muhammad Syafi’I Antonio, 1999. Bank
Syariah Suatu Pengenalan Umum. Central Bank of Indonesia dan Tazkia
Institut, Jakarta.
, 2001. Bank Syariah Dari Teori ke
Praktik. Gema Insani, Jakarta.
Munir Fuadi, 1996. Hukum Perkreditan
Kontemporer. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Purwahid Patrik, 1994. Dasar-Dasar
Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan dari Undang-Undang.
Mandar Maju, Bandung.
R. Subekti, 1987. Hukum Perjanjian. Intermasa, Bandung.
, 1996. Hukum Perjanjian. Intermasa, Jakarta.
,
1996. Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit Termasuk Hak Tanggungan,
Menurut Hukum Indonesia. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Rachmadi Usman, 1999. Pasal-Pasal
Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah. Djambatan, Jakarta.
Roni Hanitijo Soemitro, 1998. Metode
Penelitian Hukum. Gahalia Indonesia, Semarang.
Soeyono dan Siti Ummu Adillah, 2003. Diktat
Mata Kuliah Hukum Kontrak. Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Unissula,
Semarang.
Sudikno Mertokusumo, 1983. Mengenal
Hukum Suatu Pengantar. Liberty,
Yogyakarta.
Sutan Remi Syahdeini, 1996. Hak
Tanggungan: Asas-Asas, Ketentuan-KetentuanPokok, dan Masalah-Masalah yang
Dihadapi oleh Pihak Perbankan, Suatu Kajian Mengenai UUHT. Air Langga
University Press, Surabaya.
Thomas Suyatno, 1993. Dasar-Dasar Hukum
Perkreditan Edisi Ketiga. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Yan Pramadya Puspa, 1977. Kamus Hukum.
Aneka Ilmu, Semarang.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Atas
Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
[1] LN. RI Tahun 1992 No. 31, TLN No. 3472
LN. RI Tahun 1998 No. 182, TLN No. 3790
[2] Hermansyah, 2005, Hukum Perbankan
Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta, hal. 68
[3] Djuhaendah Hasan, 1996, Lembaga
Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah dalam
Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Citra Aditya Bakti, Jakarata, hal. 206
[5] M. Bahsan, 2007, Hukum Jaminan dan
Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 22
[6] Roni Hanitijo Soemitro, 1988, Metode
Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Semarang, 1988,
hal. 106
[7] Purwahid Patrik, 1994, Dasar-dasar
Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan dari Undang-undang,
Mandar Maju, Jakarta
, hal. 45-47
[8] R. Subekti, 1987, Hukum Perjanjian,
Intermasa, Bandung ,
hal. 1
[9] Abdul Kadir Muhammad, 1986,
Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung ,
hal. 95
[10] Sudikno Mertokusumo, 1983, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty ,
Yogyakarta , hal. 97
[11] Soeyono dan Siti Ummu Adillah, 2003, Diktat
Mata Kuliah Hukum Kontrak, Bagian
Hukum Perdata Fakultas Hukum Unissula, Semarang ,
hal. 1
[12] M. Bahsan, 2007, Op.Cit, hal. 75-78
[13] Munir Fuadi, 1996, Hukum
Perkreditan Kontemporer, Citra aditya Bakti, Bandung , hal. 24-28
[14] Muhammad
Syafi’i Antonio, 1999, Bank Syariah Suatu
Pengenalan Umum, Central Bank of
Indonesia dan tazkia Institut, Jakarta , hal. 218
[18] Muhammad Syafi’I
Antonio, 2001, Bank Syariah Dari Teori ke
Praktik, Gema Insani, Jakarta ,
63-64.
[20] Rachmadi
Usman, 1999, Pasal-pasal Tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah, Djambatan, Jakarta ,
hal. 41-42
[21] Subekti, 1996, Jaminan-jaminan untuk Pemberian Kredit,
termasuk Hak Tanggungan, Menurut Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung , hal. 39
[25] Sutan Remi
Syahdeini, 1996, Hak Tanggungan:
Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah-masalah yang dihadapi Oleh
Pihak Perbankan, suatu Kajian Mengenai UUHT, Airlangga University Press,
Surabaya, hal. 20
[26] Boedi Harsono, 1999, Hukum
Agraria Indonesia ,
Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta , hal. 40
[29] Thomas
Suyatno, 1993, Dasar-dasar Hukum
Perkreditan Edisi Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta , hal. 32
[31] Bambang Setijoprodjo dalam Lembaga Kajian Hukum dan Bisnis Fakultas
Hukum USU Medan, 1996, Persiapan
Pelaksanaan Hak Tanggungan di Lingkungan Perbankan (Hasil Seminar), Citra
Aditya Bakti,Bandung , hal. 58-59
[33] Bambang Setijoprodjo
dalam Lembaga Kajian Hukum Bisnis Fakultas Hukum USU Medan, Op.Cit, hal. 69
[34] J. Satrio,
1998, Hukum Jaminan, Hak Jaminan
Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku 2, Citra Aditya Bakti, Bandung , hal. 143
[35] Habib Ajie,
2000, Hak Tanggungan Sebagai Lembaga
Jaminan Atas Tanah, Mandar Maju, Bandung ,
hal. 22
[36] Hasil wawancara dengan bapak Edy Suprobo, selaku Kasie Kredit,
Tanggal 4 Pebruari 2008.
[37] Hasil wawancara dengan bapak Edy Suprobo, selaku Kasie Kredit,
tanggal 4 Pebruari 2008.
[38] Arsip PD BPR BKK Tengaran.
[39] Hasil wawancara dengan bapak Sudanar, selaku Direktur, Tanggal 6
Pebruari 2008
[40] Hasil wawancara dengan bapak Edy Suprobo, selaku Kasie Kredit, Tanggal 13 Pebruari 2008
[41] Hasil wawancara dengan bapak Edy Suprobo, selaku Kasie kredit,
Tanggal 13 Pebruari 2008
[42] Hasil wawancara dengan bapak Edy Suprobo, selaku Kasie Kredit, Tanggal 13 Pebruari
2008.
[43] Hasil wawancara dengan bapak Edy Suprobo, selaku Kasie Kredit,
Tanggal 22 Pebruari 2008.
[44] Hasil wawancara dengan bapak Edy Suprobo,selaku Kasie Kredit,
Tanggal 13 Pebruari 2008
[45] Hasil wawancara dengan bapak Edy Suprobo,selaku Kasie Kredit,
Tanggal 13 Pebruari 2008
[46] Hasil wawancara dengan bapak Edy Suprobo, selaku Kasie Kredit,
Tanggal 13 Pebruari 2008
[47] Hasil wawancara dengan bapak Edy Suprobo, selaku Kasie Kredit,
Tanggal 29 Pebruari 2008. Pernah terjadi kemacetan kredit pada akhir Desember
Tahun 1997 yang disebabkan pemberian
kredit kepercayaan melampaui batas pemberian dan banyak debitur ingkar janji.
Untuk mengatasi hal ini PD BPR BKK Tengaran menghapuskan pemberian kredit
kepercayaan pada akhir tahun 1998.
[48] Hasil wawancara dengan bapak Edy Suprobo, selaku Kasie Kredit,
Tanggal 11 Maret 2008. Pernah terjadi pelelangan terhadap jaminan benda
bergerak berupa motor milik nasabah yang bernama X pada Tanggal 15 Juli 2006.
[49]Hasil wawancara dengan bapak Edy Suprobo, selaku Kasie Kredit, Tanggal
22 Pebruari 2008.
0 komentar:
Post a Comment